Top Banner
i ANALISIS TERHADAP BATAS USIA DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 Dalam Ilmu Syariah Oleh : MUHAMMAD FAKHRUDDIN ZUHRI NIM. 072211025 JURUSAN JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2012
136

Skripsi zuhri full

Jun 25, 2015

Download

Documents

kipanji
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Skripsi zuhri full

i

ANALISIS TERHADAP BATAS USIA DAN PERTANGGUNGJAWABAN

PIDANA ANAK DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1997

TENTANG PENGADILAN ANAK

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat

Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1

Dalam Ilmu Syari’ah

Oleh :MUHAMMAD FAKHRUDDIN ZUHRI

NIM. 072211025

JURUSAN JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG

2012

Page 2: Skripsi zuhri full

ii

Drs. H. Eman Sulaeman, M.H.Tugurejo A.3 RT 2/l Semarang.Moh. Khasan, M.Ag.Bukit Permata Puri C II A/8 Nagilyan Semarang.

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Lamp : 4 ( empat ) eks.

Hal : Naskah skripsi

An. Sdr. Muhammad Fakhruddin Zuhri

Kepada Yth.

Dekan Fakultas Syari’ah

IAIN Walisongo Semarang

Di Semarang

Assalamualaikum Wr. Wb.

Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya bersama ini

saya kirim naskah skripsi saudara :

Nama : MUHAMMAD FAKHRUDDIN ZUHRI

Nim : 072211025

Jurusan : Siyasah Jinayah

Judul skripsi : Analisis Terhadap Batas Usia dan Pertanggungjawaban

Pidana Anak dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun

1997 Tentang Pengadilan Anak

Dengan ini mohon kiranya skripsi saudara tersebut dapat segera

dimunaqosahkan. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Semarang, 12 Juni 2012

Page 3: Skripsi zuhri full

iii

KEMENTRIAN AGAMAINSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG

FAKULTAS SYARI’AH SEMARANGJl.Raya Boja Km.2 Ngaliyan Telp/Fax. (024) 7601291 Semarang 50185

PENGESAHANNama : Muhammad Fakhruddin Zuhri

Nim : 072211025

Jurusan : Siyasah Jinayah

Judul skripsi : Analisis Terhadap Batas Usia dan Pertanggungjawaban

Pidana Anak dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997

Tentang Pengadilan Anak

Telah dimunaqosahkan oleh dewan penguji Fakultas Syari’ah Institut Agama

Islam Walisongo Semarang, dan dinyatakan lulus dengan predikat cumlaude /

baik / cukup, pada tanggal :

20 Juni 2012

Dan dapat diterima sebagai syarat guna memperoleh gelar sarjana strata 1 tahun

akademik 2012/2013.

Semarang, 28 Juni 2012

Page 4: Skripsi zuhri full

iv

MOTTO

Calves are easily bound and slaughteres, never knowing the reason why..

But, whoever treasure freedom, like the swallow has learned to fly… (Joan

Baez)

“Kita tidak boleh menerima nasib buruk dan menganggapnya sebagai jalan hidup

yang telah ditentukan bagi kita, pasrah menerimanya sebagai kutukan.. Kalau

kita ingin hidup bebas, kita harus belajar terbang…”

Polos dan Apa Adanya…

Page 5: Skripsi zuhri full

v

PERSEMBAHAN

Allah SWT, untuk segala Rahmat & Hidayahnya dalam memberikanpenulis kemudahan dalam menjalani hidup dan menyelesaikan

skripsi ini.

Kedua orangtua, Bapak dan Amak untuk segala doa, dukungandan restunya bagi penulis selama ini dan seterusnya.

Kakak dan adikku, Wakhid, Nikmah, Syam, Qomar dan Aulia,terima kasih untuk segala pengertian dan dukungannya.

Wury Ariyanty, Abdul Khakim, Daneil Dip, Mba’ Sofi dan MiftahulKhoiriyah yang telah memberikan semangat, dorongan serta cacimakinya, sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini dengan

penuh semangat.

Teman-teman di tempat pertapaan, Hajir, Lutfi, Ibad, Ghufron,Qomeng, Nuril, faqeh dan Tozinx selaku partner penulis dan teman

ngobrol dan ngopi, terima kasih atas kebaikan tempat danfasilitasnya.

Kawan-kawan SJ B ’07 (Genk Thongklo); Kholis, Nita, Sukron, Arif,Fajrin, Faqeh, Ghufron, Khumae, Tozink, Nasron, Nunik, Yantsen,

Hasan dan Shohibul Ibad, terima kasih banyak untuk segalakebersamaan, pengalaman, dukungan dan segalanya selama

penulis menyelesaikan kuliah di kampus tercinta.

Keluarga besar Justisia yang menjadi tempat berproses, terima kasihbanyak ilmunya. Untuk Wadyabala ’07; Sholy, Rifa’ah, Ainung,Khamid, Salam, Kholik dkk. Buat kalian yang sekarang masih

berproses; Nazar, Lyntha, Wahid dkk. Good Luck.

Teman-teman KKN; Fajri, Gus Hasan, Sai, Ulil, Risma, Ani, Corinah,Dian, Mautah dan Ela, Khususnya Mbah Rais & Mak e, Mbah As, PakJun & Bu Lurah, serta Mas Khafid, Mas Edy dkk. maturnuwun sanget

atas semua kebaikan, kebersamaan, pengalaman hidup dandoanya, Kulo nyuwun pangapunten sedoyo kelepatan.

Terima kasih ter-spesial untuk M Lutfi Fauzi dan Fahriza Fahmi,terima kasih banyak untuk motto hidup dan spirit hidup serta

pengalaman batinnya.

Page 6: Skripsi zuhri full

vi

DEKLARASI

Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis

menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang

telah atau pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan.

Dengan demikian skripsi ini tidak berisi satupun pikiran

orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi

yang menjadi bahan rujukan.

Semarang, 12 Juni 2012

Deklarator,

Muhammad Fakhruddin ZuhriNIM. 072211025

Page 7: Skripsi zuhri full

vii

ABSTRAK

Anak menjadi salah satu subjek dalam undang-undang yang mendapatkankeistimewaan. Sehingga anak benar-benar dilindungi haknya. Meski padakenyataannya, hak-hak anak tersebut terabaikan oleh subjektifitas aparat penegakhukum yang semena-mena dalam menangani anak yang melakukan kejahatan(juvenile delinquency). Adanya ketidakharmonisan instrumen peraturanperundangan mengenai pengklasifikasian umur anak yang dapat dimintakanpertanggungjawaban, membuat anak berada pada posisi yang rentan ketika beradadihadapan hukum. Perbedaan tersebut membawa implikasi proses hukum anak itusendiri. Sehingga banyak sekali anak yang pada akhirnya dimasukkan ke dalampenjara.

Skripsi ini adalah hasil penelitian tentang Analisis Terhadap Batas Usiadan Pertanggungjawaban Pidana Anak dalam Undang-Undang No 3 Tahun 1997tentang Pengadilan Anak yang bertujuan untuk menjawab permasalahan mengenai: (1) Bagaimana ketentuan mengenai batasan usia anak yang melakukan kejahatandalam UU No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (2) Bagaimana tinjauanyuridis terhadap penjatuhan sanksi pidana bagi anak yang melakukan tindakpidana menurut UU No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dalam hukumpidana Islam.

Metode yang digunakan dalam penelitian adalah deskriptif-analitik, yaitupenelitian yang memaparkan suatu masalah tentang batas usia anak danpertanggungjawaban pidananya dari ketentuan-ketentuan yang ada dalam hukumpidana Islam dan hukum Positif yang dianalisis memakai analisa deduktif yangdiinterpretasikan dan kemudian disimpulkan. Pengumpulan data menggunakanstudi kepustakaan (library research) yang meliputi dokumentasi, membaca,menelaah buku-buku/kitab dan kaidah-kaidah hukum normatif.

Hasil penelitian ini yang pertama, adalah bahwa batas usia anak yangdapat dimintakan pertanggungjawaban pidana sebagaimana diatur dalam UU No 3Tahun 1997 didapatkan batasan usia antara 8-18 tahun (Pasal 4). Namun,ketentuan tersebut dihapuskan oleh putusan MK yang menyatakan usia 8 tahundihapus dan diganti 12 tahun. Sehingga batas usia minimum anak yang dapatdimintakan pertanggungjawaban seiring adanya putusan MK tersebut jelasmenjadi 12 tahun. Yang kedua, hukuman bagi seorang anak dalam hukum pidanaIslam dinyatakan bahwa seorang anak yang belum berusia 7-12 tahun, anaktersebut tidak akan dikenakan hukuman hudud dan qishash meskipun si anakmelakukan jarimah hudud. Sehingga, hukuman yang diterapkan hukum pidanaIslam terkait jarimah anak hanyalah hukuman ta’zir dan diyat. Sedangkan dalamUU No 3 tahun 1997, sanksi hukum yang dikenakan pada anak memilikikesamaan dengan hukum pidana Islam yakni hukuman penjara, tindakan, dendadan pengawasan.

Page 8: Skripsi zuhri full

viii

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim.

Segala puji bagi Allah, karena karunia, rahmat, hidayah dan inayah-Nya

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam mudah-mudahan

tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad beserta keluarga dan sahabatnya, yang

telah membawa risalah Islam dan menyampaikan kepada umat manusia serta

penulis harapkan syafa’at-Nya kelak di hari kiamat.

Penulis menyadari bahwa dalam menyusun skripsi yang berjudul:

“Analisis Terhadap Batas Usia dan Pertanggungjawaban Pidana Anak

dalam UU No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak” ini tidak terlepas dari

bantuan berbagai pihak yang telah memberikan bimbingan dan dorongan, baik

segi moril maupun materiil, sehingga akhirnya penulis dapat menghadapi berbagai

kendala yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini dengan baik.

Dalam kesempatan ini, tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih

kepada:

1. Prof. DR. Muhibbin, M.Ag., selaku Rektor IAIN Walisongo Semarang.

2. DR. Imam Yahya, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo

Semarang dan stafnya.

3. Drs. M. Solek, M.Ag., selaku Ketua Jurusan Jinayah Siyasah dan Rustam

DKHA, M.Ag., selaku Sekretaris Jurusan Jinayah Siyasah IAIN Walisongo

Semarang.

4. Drs. H. Eman Sulaeman, M.H., selaku pembimbing I dan Moh. Khasan,

M.Ag., selaku pembimbing II yang telah mencurahkan segala kemampuan

akademik maupun spiritualnnya untuk menggembleng mental dan

membimbing penyusun hingga selesai.

5. Seluruh Dosen Jurusan Jinayah Siyasah beserta staf Tata Usaha Fakultas

Syari’ah.

6. Kedua orang tua penulis beserta segenap keluarga besar dan saudara penulis

atas segala doa, perhatian dan bantuan yang tidak dapat penulis balas hanya

lewat untaian kata-kata dalam tulisan ini.

Page 9: Skripsi zuhri full

ix

7. Teman-teman senasib dan seperjuangan di jurusan Jinayah Siyasah angkatan

2007 serta Wadyabala Justisia, never ending story.

8. Dan seluruh Keluarga Besar Institut Agama Islam Negeri Walisongo

Semarang yang saya hormati.

Penulis menyadari betul adanya banyak kekurangan untuk dikatakan

sempurna dari penulisan skripsi ini. Untuk itu, semua kritik dan saran yang

membangun sangat penulis harapkan. Semoga hasil penelitian ini dapat

bermanfaat bagi semua kalangan pembaca. Amiin.

Semarang, 12 Juni 2012

Penulis

Muhammad Fakhruddin ZuhriNIM. 072211025

Page 10: Skripsi zuhri full

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……………………………………………………i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ………………….…..ii

HALAMAN PENGESAHAN……………………………………….....iii

HALAMAN MOTTO……….…………………………………….….....iv

HALAMAN PERSEMBAHAN………………………………….….….v

HALAMAN DEKLARASI....………………………………………….vi

HALAMAN ABSTRAK……………………………………………….vii

HALAMAN KATA PENGANTAR…………………………………..viii

HALAMAN DAFTAR ISI………………………………………………x

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah…………………………………..1

B. Rumusan Masalah………………………………………...15

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian…………………………..15

D. Telaah Pustaka …………………………………………...16

E. Kerangka Teori……………………………………………20

F. Metode Penelitian ………………………………………...34

G. Sistematika Penulisan ……………………………………38

BAB II PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ATAS

KEJAHATAN YANG DILAKUKAN ANAK MENURUT

HUKUM PIDANA ISLAM

A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana…….…………...40

B. Batasan Umur Pertanggungjawaban Pidana Anak………46

1. Pengertian Anak………………………………………46

2. Pengertian Hukuman………………………………….53

C. Ketentuan Pemidanaan Anak..………………………......57

Page 11: Skripsi zuhri full

xi

BAB III BATAS USIA SERTA PERTANGGUNGJAWABAN

PIDANA ANAK DALAM PERSPEKTIF UU NO 3

TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK

A. Pertanggungjawaban Pidana Menurut Hukum Positif..….63

B. Pengertian dan Batasan Umur Anak Dalam

Pertanggungjawaban Pidana .........................................….70

C. Jenis Sanksi Bagi Anak................................................. .....75

BAB IV ANALISIS TERHADAP BATAS USIA DAN

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK DALAM

UU NO 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN

ANAK

A. Analisis Tentang Batasan Umur Pidana Anak..................84

B. Analisis Tentang Sanksi Bagi Anak................................100

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan.................................................................... ...116

B. Saran-saran .................................................................... ...117

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Page 12: Skripsi zuhri full

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Anak sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki hak asasi

sejak dilahirkan, sehingga tidak ada manusia atau pihak lain yang boleh

merampas hak tersebut.1 Sebagaimana diatur dalam pasal 53 Undang-Undang

Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan untuk kepentingan

Hak Anak diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan.

Hak dasar anak adalah untuk memperoleh perlindungan baik dari Orang tua,

Masyarakat dan Negara. Memperoleh pendidikan, terjamin kesehatan dan

kesejahteraan merupakan sebagian dari hak-hak anak. Jaminan perlindungan

hak anak tersebut sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan tujuan negara

sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.2 Sehingga perlu

dilakukan berbagai upaya untuk memberikan pembinaan dan perlindungan

terhadap anak, baik menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum

yang lebih memadai.

Dalam berbagai upaya pembinaan dan perlindungan tersebut sering

dihadapkan pada permasalahan dan tantangan dalam masyarakat yang

kadang-kadang dijumpai penyimpangan perilaku dikalangan anak itu sendiri.

Bahkan lebih dari itu, terdapat anak yang melakukan perbuatan melanggar

hukum, tanpa mengenal status sosial dan ekonomi. Dan disamping itu

terdapat pula anak, yang karena satu dan lain hal tidak mempunyai

1 Irsan Koesparmono, Hukum Perlindungan Anak, Jakarta: UPN, 2006, hlm. 2.2 Irsan Koesparmono, ibid, hlm. 20.

Page 13: Skripsi zuhri full

2

kesempatan memperoleh perhatian baik secara fisik maupun tidak sengaja

sering juga anak melakukan tindak pidana.

Menurut survey yang dilakukan oleh UNICEF Indonesia, lebih dari

4.000 anak Indonesia diajukan ke pengadilan setiap tahunnya atas kejahatan

ringan seperti pencurian. Pada umumnya mereka tidak mendapatkan

dukungan dari pengacara maupun dinas sosial. Maka tidak mengherankan,

kebanyakan dari mereka ini akhirnya dijebloskan ke penjara. Dan yang begitu

memprihatinkan, mereka ini seringkali disatukan dengan orang dewasa

karena kurangnya alternatif terhadap hukuman penjara.3

Mereka ditempatkan dalam posisi yang penuh bahaya, terjerumus ke

dalam penyiksaan dan kekerasan oleh narapidana dewasa dan aparat penegak

hukum. Hukum itu sendiri tidak banyak membantu terhadap perkembangan

jiwa anak dan telah menyimpang dari eksistensinya sendiri terkait

dibentuknya hukum itu, karena hukum itu tidak melindungi hak anak

sepenuhnya.4 Meskipun Pemerintah Indonesia telah mengesahkan Undang-

Undang Pengadilan Anak pada tahun 1997 (UU No. 3 Tahun 1997), undang-

undang ini belum ditindaklanjuti dalam proses penerapannya.

Berbicara mengenai anak menjadi sesuatu yang penting karena anak

merupakan potensi nasib manusia hari mendatang, merekalah yang ikut

berperan menentukan sejarah bangsa sekaligus cermin sikap hidup bangsa

pada masa mendatang. Perhatian terhadap anak sudah dimulai pada akhir

3 Jurnal Penelitian oleh Purnianti, Mamik Sri Supatmi serta Ni Made Martini Tindukdari Departemen Kriminologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesiayang didukung oleh UNICEF tentang “Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak(Juvenile Justice System) Di Indonesia”, hlm. 1.

4 Ibid.

Page 14: Skripsi zuhri full

3

abad ke-19, dimana anak dijadikan sebagai objek yang dipelajari secara

ilmiah. Hal ini dapat dilihat dari mulai berkembangnya beberapa penelitian

tentang kehidupan dan psikologi anak.5

Dalam konteks perlindungan hak asasi manusia, anak-anak

dikategorikan sebagai kelompok yang rentan (vulnerable groups), disamping

kelompok rentan lainnya seperti: pengungsi (refugees), pengungsi dalam

negeri (internally displaced persons), kelompok minoritas (national

minorities), pekerja migrant (migrant workers), penduduk asli pedalaman

(indigenous peoples) dan perempuan (women).6

Di dalam perspektif kerangka Konvensi Hak Anak (KHA), terdapat

sekelompok anak yang disebut dengan anak-anak dalam situasi khusus

(children in need of special protection/CNSP). Mengacu pada Komite Hak

Anak PBB, terdapat kelompok anak yang termasuk kategori tersebut yaitu

anak yang berhadapan dengan hukum. Sedangkan anak-anak yang

diidentifikasi masuk dalam kelompok dengan kondisi yang tidak

menguntungkan ini diantaranya adalah anak-anak dalam penjara.7

Seperti halnya dalam negara hukum Indonesia ataupun negara-negara

lainnya. Terhadap anak yang melakukan tindak pidana juga akan dikenakan

sanksi. Hal semacam ini tidak bisa dilepaskan karena pemidanaan (sanksi

atau hukuman) merupakan unsur dari hukum pidana itu sendiri. Namun,

5 Dr. Wagiati Soetodjo, SH., M.S., Hukum Pidana Anak, Bandung: PT. RefikaAditama, 2006, hlm. 6.

6 Willem Van Genugten J.D dalam Iskandar Hosein, Perlindungan TerhadapKelompok Rentan (Wanita, Anak-Anak, Suku Terasing, dll) dalam perspektif HAM, Makalahdalam Seminar Pembangunan Hukum VIII, http://www.hukumonline.com, diakses padatanggal 31 Oktober 2011 pukul 21.25 WIB.

7 Willem Van Genugten J.D., ibid.

Page 15: Skripsi zuhri full

4

apabila berbicara mengenai pemidanaan anak sering menimbulkan

perdebatan yang panjang, karena masalah ini mempunyai konsekuensi yang

sangat luas, baik menyangkut diri anak itu sendiri (pelaku) maupun

masyarakat.

Menurut hukum positif (KUHP), tindak pidana yang dilakukan anak

sama dengan yang dilakukan oleh orang dewasa. Karena itu, penyidikannya

mengikuti penyidikan orang dewasa sebagaimana yang diatur jika tersangka

khawatir melarikan diri dan menghilangkan barang bukti. Jika kriteria

tersebut dipenuhi, maka tindakan penahanan dianggap sah.8 Hal ini jelas

sekali menjadi persoalan tersendiri, mengingat anak memiliki kekhususan

dalam proses peradilan dan pemberian sanksi hukumnya. Dalam penjatuhan

pidana terhadap anak ini harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan

yang berlaku, baik mulai dari penangkapan, pemeriksaan, penahanan dan

penghukuman bagi seorang anak.

Berbeda halnya dengan hukum pidana Islam, seorang anak tidak akan

dikenakan hukuman had karena kejahatan yang dilakukannya, karena tidak

ada beban tanggung jawab hukum terhadap seorang anak atas usia berapapun

sampai dia mencapai usia dewasa (baligh), hakim hanya berhak untuk

menegur kesalahannya atau menetapkan beberapa pembatasan baginya yang

8 http://www.angelfire.com, “Kejahatan Anak Tanggung Jawab Siapa”, diaksespada tanggal 31 Oktober 2011 pukul 22.50 WIB.

Page 16: Skripsi zuhri full

5

akan membantu memperbaikinya dan menghentikannya dari membuat

kesalahan di masa yang akan datang.9

Bila kita mengacu pada Pasal 45 KUHP mengenai kriteria dan usia

anak yang dapat diajukan ke sidang pengadilan karena kejahatan yang

dilakukannya adalah bila anak tersebut telah mencapai usia 16 tahun.10

Sedangkan bila kita melihat pada Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang

Peradilan Anak, Pasal 4 yang menetapkan batas usia anak yang dapat dijatuhi

hukuman atau sanksi pidana sangatlah berbeda. Dalam pasal tersebut

diterangkan bahwa batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke

persidangan adalah sekurang-kurangnya berumur 8 (delapan) tahun tapi

belum mencapai 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.11

Pemerintah Indonesia sebagai anggota PBB, mempunyai kewajiban

dalam menjalankan Konvensi Hak Anak (KHA) yang telah disahkan oleh

PBB sebagai langkah bersama untuk melindungi kepentingan dan hak anak-

anak di seluruh dunia. Untuk itulah, pemerintah Indonesia meratifikasi KHA

melalui Keppres No. 36 tahun 1990. Selain UU No. 3 tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak, pemerintah juga menerbitkan UU No. 5 tahun 1998 sebagai

ratifikasi terhadap Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau

Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan

Martabat Manusia. Kemudian, Pemerintah juga mengeluarkan UU No. 39

9 Abdurrahman I. Doi, Tindak Pidana dalam Syari’at Islam, diterjemahkan oleh H.Wadi Masturi, S.E. & Drs. H. Basri Iba Asghary, “Shari’ah the Islamic Lam”, Cet. ke-1,Jakarta: Rineka Cipta, 1992, hlm. 16.

10 Lihat KUHP, BAB III Hal-hal yang Menghapuskan, Mengurangi atauMemberatkan Pidana, Trinity, hlm. 17.

11 Lihat UU No 3 tahun 1997 Tentang Perlindungan Anak, Jakarta: Sinar Grafika,hlm. 5.

Page 17: Skripsi zuhri full

6

tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dan yang paling baru dan

merupakan langkah maju, adalah ditetapkannya UU No. 23 tahun 2002

tentang Perlindungan Anak.12 Semua instrumen hukum nasional itu

dimaksudkan untuk memberikan jaminan perlindungan hak-hak anak secara

lebih kuat ketika mereka berhadapan dengan hukum dan harus menjalani

proses peradilan.13

Namun, instrumen-instrumen tersebut ternyata belum mampu untuk

menjawab atas ketidakharmonisan penyelesaian proses peradilan yang

dihadapi anak, baik ketika anak berurusan dengan polisi, penuntut umum,

maupun ketika anak menjalani sidang pengadilan. Batasan dan konsep

tentang usia anak dan pertanggungjawaban pidananya yang berbeda pada tiap

instrumen perundang-undangan yang menangani perkara anak adalah salah

satu contoh nyata betapa penanganan terhadap anak masih mengalami

ketidakberesan.

Pengklasifikasian umur akan menentukan dapat tidaknya seseorang

dijatuhi hukuman serta dapat tidaknya suatu tindak pidana

dipertanggungjawabkan kepadanya dalam lapangan kepidanaan. Secara

umum klasifikasi yang ingin ditonjolkan sebagai inti dalam persoalan ini

(masalah usia bagi pertanggungjawaban pidana) sebenarnya adalah

kedewasaan atau kalau dalam Islam dinamakan kemampuan berpikir (idrak)

seseorang, walaupun kedewasaan seseorang dengan orang lain tidak dapat

disamakan. Namun dalam peristiwa hukum, klasifikasi ini akan selalu sama

12 Jurnal Penelitian oleh Purnianti, Mamik Sri Supatmi serta Ni Made MartiniTinduk dari Departemen Kriminologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, op. cit., hlm. 2.

13 Ibid, hlm. 3.

Page 18: Skripsi zuhri full

7

untuk suatu lapangan tertentu, karena menyangkut titik akhir yang ingin

dicapai oleh para hakim dalam memutuskan suatu perkara dalam perasaan

keadilan yang sebenarnya.14

Banyak terjadi kesalahan dalam penanganan masalah hukum anak.

Hal semacam ini dapat dilihat dari beberapa peristiwa dimana seorang anak

kecil di bawah umur duduk dibangku tertuduh dan ditahan seperti layaknya

orang dewasa hanya karena perkara sepele. Seperti kasus Andang Pradika

Purnama, bocah 9 tahun. Pihak kepolisian Yogyakarta sempat menahannya

sampai 52 hari. Menurut laporan polisi Kotagede, Andang terbukti mencuri

dua burung Merpati dan mengaku telah melakukan pencurian sebanyak

delapan kali. Juga, menurut laporan polisi itu, ayahnya sudah tak sanggup

mengasuhnya, sehingga polisi menyebutnya residivis. Kapolwil Daerah

Istimewa Yogakarta, mengatakan, penahanan Andang untuk diajukan ke

Pengadilan Negeri sudah sesuai dengan KUHAP.15

Kasus lain yang mendapatkan perhatian banyak kalangan mengenai

proses penegakan hukum bagi anak adalah kasus yang menimpa Muhammad

Azuar (Raju) yang berusia 8 tahun saat itu (2006) yang dalam persidangan

diperlakukan layaknya orang dewasa bahkan ia sempat ditahan di dalam sel

bersama orang dewasa. Ia dilaporkan kepada polisi dengan tuduhan Pasal 351

KUHP tentang penganiayaan yang dilakukan terhadap temannya Armansyah

(14 tahun) dan disidangkan di Pengadilan Negeri Stabat Kabupaten Langkat

14 E. Sumaryono, Kejahatan Anak: Suatu Tinjauan dari Psikologi dan Hukum,Yogyakarta: Liberty, 1985, hlm. 19.

15 http://mytahkim.wordpress.com/artikel-2, Penegakan Hukum TerhadapKejahatan Anak Perspektif Hukum Islam, diakses pada tanggal 31 Oktober 2011 pukul 22.47WIB.

Page 19: Skripsi zuhri full

8

Sumatera Utara. Majelis hakim PN Stabat memvonis bersalah pada Raju.

Meski divonis bersalah, hakim mengembalikannya kepada orangtua untuk

dibina dan tidak dipenjara. Namun, Komisi Yudisial (KY) menemukan

banyak kesalahan saat menggelar sidak terkait sidang kasus Raju, sehingga

pada akhirnya hakim yang menangani kasus tersebut diberi sanksi oleh

Mahkamah Agung.16

Hukum Acara untuk sidang Pengadilan Anak Nakal, adalah Kitab

Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), ini konsekuensi dari

Pengadilan Anak yang masuk dalam Peradilan Umum dan hanya menyangkut

kasus pidana. Dalam pada itu, mengenai ruang lingkup berlakunya KUHAP

di dalam Pasal 2 KUHAP dinyatakan bahwa: Undang-undang ini berlaku

untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan peradilan umum

pada semua tingkat peradilan.17 Oleh karenanya, ketentuan-ketentuan dalam

KUHAP (Undang-undang No. 8 Tahun 1981) tetap berlaku dalam sidang

Pengadilan Anak. Kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang Pengadilan

Anak (Undang-undang No. 3 Tahun 1997).18

Untuk itulah, ketika batas usia anak yang dapat diajukan

kepersidangan dan dimintakan pertanggungjawabannya masih menjadi

perdebatan, maka wajarlah selama ini penanganan kejahatan yang dilakukan

anak sering mengandalkan unsur-unsur subjektivitas aparat penegak hukum

16 Nurvita Indarini, Dianggap Tidak Profesional, Hakim Kasus Raju TerancamSanski, diambil dari http://www.detikNews.com, diakses pada tanggal 31 Oktober 2011pukul 22.50 WIB.

17 Suryono Sutarto, SH, MS., Hukum Acara Pidana Jilid I, Badan PenerbitUniversitas Diponegoro Semarang, Cet. IV, 2005, hlm. 6.

18 Darwan Prinst, Hukum Anak Di Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,2003, hlm. 36.

Page 20: Skripsi zuhri full

9

meskipun telah ada undang-undang yang khusus mengatur tentang anak (UU

No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan UU No. 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak).

Misalnya saja polisi yang menganggap anak jalanan yang dipandang

sebagai anak nakal yang tidak bisa diatur. Ketika anak tersebut melakukan

tindak kejahatan, bisa jadi polisi dan hakim langsung menjustifikasi anak

tersebut dengan stigma negatif. Sehingga diawal pun, para penegak hukum

telah memvonis anak tersebut sebagai anak nakal. Berbeda halnya jika polisi

atau hakim melihat anak yang melakukan kejahatan adalah anak rumahan

(“anak mama”). Maka dalam pandangan polisi pun berbeda, karena anak

tersebut dianggap sebagai anak baik-baik yang jauh dari kondisi atau

lingkungan yang jahat.

Penegakan hukum terhadap anak semacam ini ternyata menimbulkan

masalah, baik dari sudut pandang hukum nasional Indonesia maupun hukum

pidana Islam. Karena menurut Undang-undang Peradilan Anak, anak di

bawah umur yang melakukan kejahatan yang layak diproses adalah anak

yang telah berusia 8 tahun dan diproses secara khusus, sehingga prosesnya

berbeda dengan penegakan hukum terhadap orang dewasa tanpa melihat

lingkungan dimana anak itu berada. Sehingga diharapkan, jangan sampai

seorang anak hanya karena melakukan kesalahan kecil, akhirnya divonis

penjara. Mengingat penjara sendiri bukanlah alternatif yang baik untuk

mendidik ataupun menghukum anak.

Page 21: Skripsi zuhri full

10

Berbeda halnya dalam hukum pidana Islam, meskipun jelas

ditegaskan bahwa seseorang tidak bertanggung jawab kecuali terhadap

jarimah yang telah diperbuatnya sendiri dan juga tidak bertanggung jawab

atas perbuatan jarimah orang lain bagaimanapun dekatnya tali kekeluargaan

atau tali persahabatan antara dirinya dan orang lain tersebut. Akan tetapi

untuk masalah anak ini Islam memiliki perkecualian tersendiri, mengingat

dalam al-Qur’an maupun hadits sendiri telah diterangkan bahwa seorang anak

tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban sebelum ia dewasa (baligh).

Hukum Islam mengampuni anak-anak dari hukuman yang semestinya

dijatuhkan bagi orang dewasa kecuali jika ia telah baligh. Hal ini berdasarkan

firman Allah SWT,

Artinya: “Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur balig, makahendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yangsebelum mereka meminta izin. Demikianlah Allahmenjelaskan ayat-ayat-Nya, dan Allah Maha mengetahuilagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nur: 59).19

Sebenarnya dalam asbabul nuzul (sebab turunnya ayat) tersebut

adalah mengenai anak kecil dan budak belian untuk meminta izin ketika

memasuki kamar ayah-ibunya atau tuannya pada tiga waktu yakni sebelum

sembahyang subuh, ketika waktu sembahyang dhuhur dan sesudah

sembahyanh isya’. Hal ini karena berkaitan dengan waktu dimana seseorang

19 Departemen Agama RI , Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: 1983, hlm. 323.

Page 22: Skripsi zuhri full

11

istirahat dan saat aurat seseorang tidak sempurna. Namun, dalam Tafsir Al-

Qur’anul Majid An-Nur penjelasan mengenai ayat tersebut adalah firman

Allah tersebut memberi peringatan bahwa membebani seseorang dengan

hukum-hukum syari’at adalah apabila orang tersebut telah sampai umur

(baligh), dan sampai umur itu adalah dengan mimpi (laki-laki bermimpi

mengeluarkan sperma) atau denga tahun (umur 15 tahun). Anak-anak yang

telah sampai umur tidak boleh memasuki kamar orang tuanya tanpa izin

terlebih dahulu, sama dengan orang lain.20 Sehingga umumnya ulama

berpendapat bahwa batas usia sampai umur (baligh) adalah 15 tahun.

Menurut Abu Hanifah, 18 tahun untuk anak laki-laki dan 17 tahun untuk anak

perempuan.21

Dalam hukum pidana positif pun telah dibentuk peraturan yang

khusus mengurusi mengenai tindakan nakal anak, diantaranya Undang-

Undang No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang proses peradilannya

membedakan dengan orang dewasa, serta Undang-Undang No 23 Tahun

2002 tentang Perlindungan Anak. Meskipun telah dibentuk peraturan khusus

yang menangani masalah anak, tetap saja masih terjadi permasalahan jika

menyangkut usia anak dan pertanggungjawabannya jika seorang anak terlibat

dalam tindak kejahatan.

Sedikit gambaran bahwa peraturan yang terkait dengan kecakapan

dan kewenangan bertindak berdasarkan batasan umur anak sendiri terjadi

ketidakseragaman dalam menentukan berapa usia minimum anak yang dapat

20 Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur,Jilid 4, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2000, hlm. 2849.

21 Ibid, hlm. 2850.

Page 23: Skripsi zuhri full

12

dimintakan pertanggungjawaban pidananya. Ketidakselarasan dalam

peraturan perundang-undangan ini nyatanya membawa dampak pada proses

peradilan anak dan putusan pengadilannya.

Disharmoni peraturan perundangan-undangan berkaitan dengan anak

cukup mengkhawatirkan. Anak bisa dirugikan akibat ketidakseragaman

undang-undang, antara lain menyangkut batas usia anak. Penentuan batas

usia anak seyogyanya dibuat seragam karena berkaitan dengan batas usia

pertanggungjawaban pidana si anak. Ketidakseragaman batas usia anak ini

dapat mengganggu proses penegakan hukum.22

Undang-Undang Perlindungan Anak sudah menentukan batas usia

yang dinamakan anak adalah sampai ia berusia 18 tahun.23 Batasan ini sejalan

dengan Konvensi Hak Anak (KHA) yang pernah dilaksanakan oleh

Indonesia. Namun batasan berbeda dapat ditemukan pada sejumlah

perundang-undangan nasional lainnya. KUH Pidana dalam pasal 45 misalnya,

memandang anak yang sudah berusia 8 tahun bisa dimintai

pertanggungjawaban pidana. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

menetapkan usia nikah 16 tahun untuk perempuan, dan 19 tahun untuk laki-

laki. Bahkan, di bawah usia yang ditentukan pun, anak bisa dikawinkan

dengan izin dari pengadilan.24

Dari berbagai problematika yang muncul karena ketidakselarasan

pemahaman dan penafsiran undang-undang mengenai konsepsi usia bagi

22 http://www.kumham-jakarta.info., “Perlu Harmonisasi Peraturan Batas UsiaAnak”, diakses pada tanggal 31 Oktober 2011 pukul 22.35 WIB.

23 Lihat Pasal 1 Ayat 1 Undang-undang RI No.23 Tahun 2002 tentang PerlindunganAnak, Bandung: Citra Umbara, 2003, hlm. 4.

24 http://www.kumham-jakarta.info., op. cit.

Page 24: Skripsi zuhri full

13

anak nakal sehingga pada akhirnya banyak terjadi permasalahan yang

kompleks mulai dari penangkapan, penahanan dan penjatuhan sanksi oleh

para penegak hukum inilah yang melatarbelakangi Komisi Perlindungan

Anak Indonesia (KPAI) dan Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak

Medan (YPKPAM) mengajukan uji materiil (judicial review) beberapa pasal

dalam UU No 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak kepada Mahkamah

Konstitusi (MK). KPAI menilai beberapa pasal di undang-undang tersebut

bukannya melindungi anak, akan tetapi justru mengadili anak.25 Terutama

pasal yang berkaitan dengan batas minimum usia anak yang dapat diajukan

ke persidangan (Pasal 4) dan pasal yang berkaitan dengan sanksi pidana

penjara bagi anak (Pasal 22 dan 23).

Sejalan dikeluarkannya keputusan Mahkamah Konstitusi terkait

judicial review yang diajukan tersebut usia anak menjadi jelas. Karena dalam

putusan tersebut MK memberikan batasan usia 12 tahun sebagai patokan

anak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidananya. Meski usia 12 tahun

ini oleh beberapa pakar masalah anak tidak mencerminkan perlindungan

terhadap hakikat seorang anak, karena usia tersebut masih terlalu belia untuk

seorang anak dapat menerima konsekuensi hukuman pidana yang akan

dibebankan padanya. Dan hal ini dikhawatirkan justru membelenggu masa

depan anak itu sendiri.

Sementara itu dalam hukum Islam sendiri tidak memberi batasan

terhadap batasan usia anak-anak selain kata baligh sebagai batas anak

25 http://www.republikaonline.nasional/politik/, KPAI Ajukan Judicial Review UUPengadilan Anak, diakses pada tanggal 31 Oktober 2011 pada pukul 23.23 WIB.

Page 25: Skripsi zuhri full

14

dianggap dewasa disamping banyaknya perbedaan pendapat diantara para

ulama. Hal ini menjadi sebuah persoalan karena akan menyulitkan bagi

hakim dalam menentukan hukumannya, sebab hukum Islam mengampuni

anak-anak dari hukuman yang semestinya dijatuhkan bagi orang dewasa

kecuali jika ia telah baligh dan mukallaf. Sedangkan batasan umur baligh

sendiri tidak pasti dan berbeda-beda dalam setiap diri seorang anak-anak.

Dalam hal pertanggungjawaban pidana, hukum pidana Islam hanya

membebankan hukuman pada manusia yang masih hidup dan mukallaf.

Karena itu, apabila seseorang telah meninggal dunia, ia tidak dibebani hukum

dan tidak dianggap sebagai objek pertanggungjawaban pidana. Hal ini juga

berlaku untuk anak yang belum baligh.26 Memang, kenakalan dan kejahatan

yang dilakukan oleh anak menjadi ganjalan dan masalah bagi masyarakat,

mengingat kekhususannya sehingga perlu penanganan khusus pula dalam

menyelesaikan masalah tersebut.

Asumsi yang dibangun, apakah seorang anak yang melakukan

kejahatan bebas dari pertanggungajawaban atas kejahatan yang dilakukannya

secara mutlak ataukah ada kemungkinan pertanggungjawabannya dibebankan

kepada orangtuannya ataukah harus dijalani anak itu sendiri. Menurut hukum

Islam, orang tua wajib mendidik anak-anaknya menjadi orang baik. Jika anak

menjadi nakal atau penjahat, maka orang tualah yang menanggung akibatnya

karena kelalaiannya.

26 Alie Yafie, dkk., Ensiklopedia Hukum Pidana Islam, terjemahan dari “At-Tasyri’al-Jina’ i al-Islamiy Muqaranan bil Qanunil Wad’iy” karya Abdul Qadir Audah, Jilid 4,Bogor: PT Kharisma Ilmu, hlm. 57.

Page 26: Skripsi zuhri full

15

Permasalahan batas umur anak dan sanksi pemidanaannya menjadi

perbincangan yang menarik untuk dibahas mengingat terjadi disharmoni

dalam peraturan perundang-undangan yang ada. Maka dalam penelitian ini,

penulis tertarik untuk mencoba menjelaskan dan menuangkan permasalahan

ini dalam skripsi.

B. Rumusan Masalah

Berangkat dari paparan latar belakang yang terurai di atas, guna

mempermudah dan memperjelas arah penelitian, maka dapat penulis

rumuskan permasalahan, sebagai berikut :

1. Bagaimana ketentuan mengenai batasan usia anak yang melakukan

kejahatan dalam Undang-Undang No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan

Anak ?

2. Bagaimana tinjauan yuridis terhadap penjatuhan sanksi pidana bagi anak

yang melakukan tindak pidana menurut UU No. 3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak dalam hukum pidana Islam ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui dan menjelaskan batas usia anak dan

pertanggungjawaban pidananya menurut hukum pidana positif dan

hukum pidana Islam.

Page 27: Skripsi zuhri full

16

b. Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai bagaimana

penjatuhan sanksi (hukuman) terhadap anak yang melakukan tindak

pidana menurut hukum pidana Islam.

2. Manfaat Penelitian

a. Secara teoritis sebagai sumbangsih pemikiran terhadap khazanah ilmu

pengetahuan, khususnya dibidang ilmu hukum mengenai

pertanggungjawaban pidana anak di bawah umur.

b. Secara praktis, hasil studi diharapkan dapat memperluas cakrawala

pengetahuan bagi perkembangan wacana hukum yang berkaitan dengan

usia anak dan pertanggungjawaban pidananya terkait atas kejahatan

yang dilakukan oleh anak.

D. Telaah Pustaka

Dalam kajian pustaka ini, penulis memaparkan beberapa literatur

yang penulis jadikan sebagai previous finding (penelitian maupun penemuan

sebelumnya). Ada banyak karya ilmiah, baik berupa jurnal, buku maupun

skripsi yang telah membahas tentang masalah anak dan pertanggungjawaban

pidana. Namun mengenai pertanggungjawaban pidana yang dijatuhkan

terhadap pelaku delik pidana di bawah umur masih jarang ditemui, khususnya

pertanggungjawaban pidana anak di bawah umur. Buku-buku yang

membahas secara khusus tentang pertanggungjawaban pidana anak di bawah

umur sangat sedikit ditemui, dari beberapa buku tersebut juga tidak

mambahas secara keseluruhan mengenai apa yang di bahas penyusun.

Page 28: Skripsi zuhri full

17

Ada beberapa skripsi yang telah membahas tentang anak di

lingkungan hukum, diantaranya skripsi Affan Hurhaq Salahudin salah satu

mahasiswa UIN Sunan Kalijaga yang berjudul “Pemenjaraan Anak Menurut

Perspektif Hukum Pidana Islam Dan Hukum Positif”.27 Skripsi ini

menjelaskan tentang bagaimana konsep pemenjaraan terhadap kejahatan yang

dilakukan oleh anak dilihat dari ketentuan hukum positif dan hukum pidana

Islam yang diteliti dengan menggunakan metode deskriptif-analitik-

komparatif, sehingga dari perbandingan dua hukum yang dianalisis tersebut

didapatkan kesimpulan mengenai ketentuan hukum terhadap pemenjaraan

anak. Skripsi tersebut memberikan gambaran bahwa ketentuan hukum

terhadap pemenjaraan yang dilakukan oleh pemerintah (aparat penegak

hukum) atas kesalahan yang dilakukan anak di bawah umur adalah sesuatu

yang tidak dibenarkan dalam pandangan hukum Islam. Dikarenakan anak

dalam hukum Islam belum wajib dikenakan pembebanan hukum (taklif).

Imam Zamahsari, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pasal 26 UU

No. 3 Tahun 1997 Tentang Penjatuhan Pidana Bagi Anak Nakal”.28 Dalam

skripsi tersebut mengkaji tentang Pasal 26 UU No. 3 Tahun 1997 tentang

pidana anak nakal dalam perspektif hukum Islam. Dengan memakai metode

deskriptif analitis, dan menggali latar belakang serta substansi dari pasal

tersebut ditemukan bahwa penjatuhan pidana bagi anak nakal merupakan

sesuatu yang tepat karena sesuai dengan Pasal 5 ayat 1 Undang-undang Dasar

27 Affan Nurhaq Salahudin, “Pemenjaraan Anak Menurut Perspektif Hukum PidanaIslam Dan Hukum Positif”, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2011

28 Imam Zamahsari, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pasal 26 UU No. 3 Tahun1997 Tentang Penjatuhan Pidana Bagi Anak Nakal”, Semarang: IAIN Walisongo, 2004.

Page 29: Skripsi zuhri full

18

1945. Dari kajian yang dilakukan oleh si penulis, dapat dikatakan bahwa

berbagai macam persoalan yang terkait dengan anak nakal, maka Pasal 26

tersebut menjadi substansi penting dalam melindungi anak tersebut dan

secara yuridis formal tidak ada alasan bagi yudikatif untuk tidak menjalankan

dalam memberikan vonis bagi anak nakal yang terlibat pidana sesuai dengan

UU tersebut. Adanya Pasal tersebut, secara substansi sangat berpengaruh

dalam melindungi kondisi psikologis anak.

Selanjutnya, skripsi dari Nopiyanti Fajriyah yang berjudul

“Penjatuhan Pidana dan Pemidanaan terhadap Anak Di Bawah Umur (Studi

Komparatif Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Indonesia)”.29 Di

dalam skripsi tersebut dijelaskan bahwa proses penjatuhan pidana dan

pemidanaan yang dilakukan terhadap anak memiliki batasan-batasan tertentu,

yang sesuai menurut undang-undang, yakni pasal 10 Undang-Undang No. 15

Tahun 1995, Undang-Undang No. 3 Tahun 1997. Sehingga dalam

memberikan putusan bagi anak yang melakukan kejahatan tidak terjadi

persoalan yang dapat merugikan anak tersebut.

Tesis dari Novi Amalia Nugraheni, SH yang berjudul “Sistem

Pemidanaan Edukatif terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana”.30

Tulisan tersebut menitik beratkan pada kajiannya terhadap hakim dalam

pemberian hukuman yang sesuai terhadap anak. Hal ini dikarenakan pada

proses penjatuhan hukuman, hakim sering memberikan putusan yang bersifat

29 Nopiyanti Fajriyah, “Penjatuhan Pidana dan Pemidanaan terhadap Anak DiBawah Umur (Studi Komparatif Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Indonesia)”,Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2006, td.

30 Novi Amalia Nugraheni, SH, “Sistem Pemidanaan Edukatif Terhadap AnakSebagai Pelaku Tindak Pidana”, Semarang: Universitas Diponegoro, 2009.

Page 30: Skripsi zuhri full

19

menghukum (punitive) ketimbang pemberian hukuman yang bersifat

mendidik sang anak tersebut. Padahal banyak sekali alternatif hukuman yang

dapat dipilih oleh para hakim selain menjatuhkan hukuman penjara kepada

anak nakal. Hukuman yang diberikan oleh hakim, bagaimanapun juga akan

mempengaruhi perkembangan anak pada waktu yang akan datang. Oleh

karenanya, sebisa mungkin hakim memberikan hukuman yang tidak

mengabaikan aspek-aspek perkembangan anak pada masa mendatang.

Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Purnianti, Mamik Sri

Supatmi serta Ni Made Martini Tinduk dari Departemen Kriminologi,

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia yang didukung

oleh UNICEF tentang “Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak

(Juvenile Justice System) Di Indonesia”,31 yang meneliti mengenai

bagaimana situasi dan keadaan anak-anak yang berada dalam administrasi

peradilan anak serta situasi anak yang berada di lembaga penahanan dan

pemenjaraan ditinjau dari hukum internasional dan hukum nasional disertai

rekomendasi yang diberikan terkait situasi tersebut.

Dari data pustaka yang telah penulis kemukakan di atas, maka

sekiranya dapat penulis simpulkan bahwa tentang kajian atau penelitian yang

akan penulis lakukan berbeda dengan karya ilmiah atau skripsi yang telah

dipaparkan di atas. Skripsi ini membahas tentang Analisis Hukum Islam

31 Purnianti, Mamik Sri Supatmi serta Ni Made Martini Tinduk dari DepartemenKriminologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, “Analisa Situasi Sistem PeradilanPidana Anak (Juvenile Justice System) Di Indonesia", Universitas Indonesia, diambil dariwww.unicef.org/indonesia/uni-jjs, diakses pada tanggal 29 September 2011 pukul 15.03WIB.

Page 31: Skripsi zuhri full

20

Terhadap Batas Usia dan Pertanggungjawaban Pidana Anak dalam Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

E. Kerangka Teori

1. Pertanggungjawaban Pidana Anak

Salah satu prinsip dalam fiqh jinayah adalah seseorang tidak

bertanggung jawab kecuali terhadap jarimah yang telah diperbuatnya sendiri

dan bagaimanapun juga tidak bertanggung jawab atas perbuatan jarimah

orang lain. Prinsip tersebut ditandaskan dalam al-Qur’an dalam beberapa

ayatnya, salah satunya yaitu sebagai berikut :

Artinya: “Katakanlah: "Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah.Padahal Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu dan tidaklahseorang membuat dosa melainkan kemudharatannyakembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosatidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepadaTuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nyakepadamu apa yang kamu perselisihkan.” (QS. Al-An’am:164).32

Dari penjelasan arti ayat tersebut, dapat diketahui bahwa seseorang

harus bertanggungjawab atas perbuatan yang telah dilakukannya. Arti

pertanggungjawaban pidana (al-Mas’uliyyah al-Jināiyyah) sendiri adalah

pembebanan seseorang dengan akibat perbuatan atau tidak adanya perbuatan

32 Departemen Agama RI , Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: 1983, hlm. 136

Page 32: Skripsi zuhri full

21

yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri, dimana orang tersebut

mengetahui maksud dan akibat dari perbuatannya.33

Dalam fiqh jinayah pertanggungjawaban itu didasarkan kepada tiga

hal:

1. Adanya perbuatan yang dilarang;

2. Perbuatan itu dikerjakan dengan kemauan sendiri (tidak dipaksa); dan

3. Si pelaku mengetahui terhadap akibat perbuatan tersebut (idrak).34

Ketiga hal tersebut di atas harus terpenuhi, sehingga apabila tidak

terdapat maka tidak terdapat pula pertanggungjawaban pidananya. Dalam hal

pertanggungjawaban pidana, hukum pidana Islam hanya membebankan

hukuman pada manusia yang masih hidup dan mukallaf. Hukum pidana Islam

juga mengampuni anak-anak dari hukuman yang semestinya dijatuhkan bagi

orang dewasa kecuali ia telah baligh. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT,

Artinya: “Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur balig, makahendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yangsebelum mereka meminta izin. Demikianlah Allahmenjelaskan ayat-ayat-Nya, dan Allah Maha mengetahuilagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nur: 59).35

33 A. Hanafi, M. A., Asas-Asas Hukum Pidana Islam, cet. ke-IV Jakarta: BulanBintang, 1990, hlm. 121

34 Alie Yafie, dkk., Ensiklopedia Hukum Pidana Islam, terjemahan dari “At-Tasyri’al-Jina’ i al-Islamiy Muqaranan bil Qanunil Wad’iy” karya Abdul Qadir Audah, Jilid 4,Bogor: PT Kharisma Ilmu, hlm. 66.

35 Departemen Agama RI , Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: 1983, hlm. 323

Page 33: Skripsi zuhri full

22

Mengenai hukuman bagi anak-anak, perundang-undangan dalam

bidang hukum perdata untuk anak jauh lebih memadai dari pada bidang

hukum pidana bagi anak.36 Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau

belum pernah melangsungkan pernikahan, ada di bawah kekuasaan orang tua

selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. Orang tua mewakili anak

tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan di luar gedung

pengadilan.37

Begitu juga dalam sistem hukum pidana positif, pertanggungjawaban

pidana terkait erat dengan kesalahan dan perbuatan melawan hukum,

sehingga seseorang mendapatkan pidana tergantung pada dua hal, yaitu:

a. Unsur obyektif, yaitu harus ada unsur melawan hukum.

b. Unsur subyektif, yaitu terhadap pelakunya harus ada unsur kesalahan

dalam bentuk kesengajaan dan atau kealpaan.38

Menurut Pompe, sebagaimana dikutip oleh Martiman Projohamidjo,

unsur-unsur pertanggungjawaban tersebut adalah:

a. Kemampuan berfikir (psychis) pada pembuat yang memungkinkan

pembuat menguasai pikirannya dan menentukan kehendaknya.

b. Dan oleh sebab itu, dapat mengerti makna dan akibat perbuatannya.

c. Dan oleh sebab itu pula, pembuat menentukan kehendaknya sesuai dengan

pendapatnya (tentang makna dan akibat).39

36 Soeaidy, Sholeh, dan Zulkhair, Dasar Hukum Perlindungan Anak, cet. ke-1,Jakarta: CV. Novindo Pustaka Mandiri, 2001, hlm. 17.

37 Soeaidy, Sholeh, dan Zulkhair, ibid, hlm. 19.38 Martiman Projohamidjojo, Memahami Dasar-dasar Hukuman Pidana Di

Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 1997, hlm. 31.39 Martiman Projohamidjojo, ibid, hlm. 32.

Page 34: Skripsi zuhri full

23

Dari unsur-unsur tersebut, dapat diterangkan bahwa

pertanggungjawaban terkait erat dengan kesalahan yang dilakukan oleh

seseorang, karena tanpa adanya kesalahan tidak mungkin seseorang

dimintakan pertanggungjawaban. Pertanggungajawaban juga memperhatikan

beberapa keadaaan dari seorang tersebut. Sebab tidak semua orang yang

melakukan kejahatan dapat dipidana. Ini tidak lain karena ada ketentuan yang

berkaitan erat dengan kemampuan bertanggungjawab yang ada pada diri

orang tersebut, semisal anak-anak dan orang yang cacat mentalnya.40

Dalam hukum pidana Islam sendiri pengecualian hukuman juga bagi

anak dan orang cacat juga dibedakan dengan orang mukallaf. Menurut

fuqaha, dasar dalam menentukan pertanggungjawaban bagi anak kecil adalah

sabda Rasulullah saw,

ن ة ع قتاد ن ام ع ثنا ھم د ح قاال فان ثنا ع د ح ثنا بھز و د ن ح س ري الح البص

نھ ع ي هللا ض ر لي ع ن القلم ع فع ر قال لم س لیھ و ع لى هللا ص النبي أن

تى نون ح ج الم قال توه أو ع الم ن ع تیقظ و تى یس ح النائم ن ثة ع ثال ن ع

غ الص ن ع و قل یع ب تى یش یر ح

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Bahz dan telahmenceritakan kepada kami Affan berkata; telahmenceritakan kepada kami Hammam dari Qatadah dari AlHasan Al bashri dari Ali Radhiallah 'anhu bahwa Nabishallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Diangkat pena daritiga hal: orang yang tidur hingga bangun, orang yangtertimpa ayan -atau beliau bersabda: - orang yang gilasampai sadar dan anak kecil sampai baligh”.41

40 Prof. Moeljanto, S.H., Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2009,hlm. 178.

41 Ahmad Ibnu Hambal, Musnad Imam Ahmad bin Hambal, Beirut: Dar al-Kitab al-‘Ilmiyah, Hadist No. 968.

Page 35: Skripsi zuhri full

24

Dalam hal hukuman bagi anak nakal pada hukum pidana positif,

proses hukum dan ancaman sansksi pidana bagi anak ditentukan oleh

Undang-undang No. 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak yang penjatuhan

pidananya ditentukan setengah dari maksimal ancaman pidana yang

dilakukan oleh orang dewasa. Adapun penjatuhan pidana penjara seumur

hidup dan pidana mati tidak diperlakukan terhadap anak. Pemberian sanksi

tersebut juga diklasifikasikan sesuai dengan usia si anak saat melakukan

perbuatan pidana tersebut. Sehingga antara anak berusia 7 tahun dengan anak

usia 12 tahun, tentunya ada perbedaan dalam perlakuan dan jenis sanksi yang

diberikan bagi si anak tersebut.

Perbedaan perlakuan dan ancaman pidana tersebut dimaksudkan

untuk lebih melindungi dan mengayomi agar anak dapat menyongsong masa

depan yang masih panjang. Perbedaan ini dimaksudkan pula untuk memberi

kesempatan kepada anak agar melalui pembinaan akan diperoleh jati dirinya

guna menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab dan berguna bagi

keluarga dan masyarakat. Hal tersebut sesuai dalam KHA yang telah

menjamin beberapa hak yang khusus memberikan proteksi untuk anak-anak

diseluruh dunia. Diantaranya hak untuk kelangsungan hidup, hak terhadap

perlindungan, hak untuk tumbuh kembang dan hak untuk berpartisipasi.42

Mengenai sanksi terhadap anak ditentukan berdasarkan perbedaan

umur, yakni bagi anak yang masih berumur 8 hingga 12 tahun hanya

dikenakan hukuman semisal dikembalikan kepada orang tuanya, ditempatkan

42 Muhammad Joni, S.H., & Zulchaina Z. Tanamas, S.H., Aspek HukumPerlindungan Anak Dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, Bandung: PT. Cipta Aditya Bakti,1999, hlm. 35.

Page 36: Skripsi zuhri full

25

pada organisasi sosial, atau diserahkan pada negara. Adapun terhadap anak

yang telah berumur di atas 12 hingga 18 tahun dijatuhi pidana.

Namun demikian hukum pidana Islam mempunyai aturan yang jelas,

kedudukan anak dalam Islam merupakan “amanah” yang harus dijaga oleh

kedua orang tuanya. Kewajiban mereka pula untuk mendidiknya hingga

berperilaku sebagaimana yang dituntun agama. Jika terjadi penyimpangan

dalam tingkah laku anak, Islam dalam keadaan tertentu masih memberi

kelonggaran.

Dalam hukum pidana Islam itu sendiri, pertanggungjawaban pidana

pada dasarnya tidak hanya ditentukan oleh usia semata. Namun yang menjadi

tolak ukur dari adanya pertanggungjawaban adalah kemampuan berfikir

(idrak) dan pilihan yang dimiliki seseorang. Sehingga ada batasan bahwa

yang dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana bagi hukum pidana Islam,

kriteria dan ukurannya adalah orang mukallaf yang memiliki kemampuan

untuk berfikir secara sempurna. Oleh karena itu, dalam Islam bila seorang

anak mencuri atau membunuh sekalipun, ia tidak bisa dikenai hukuman

apapun, karena dalam fiqh tindakan anak tersebut belum termasuk tindakan

kriminal (jinayah).43 Hal ini bisa dipahami bahwa seorang anak dilihat dari

faktor psikologi dan mental yang melatarbelakanginya dianggap belum

sepenuhnya memiliki kemampuan berfikir penuh layaknya orang dewasa

yang berusia 21 tahun ke atas.

43 Alie Yafie, dkk., op. cit., hlm. 359.

Page 37: Skripsi zuhri full

26

Dalam hukum pidana Islam, anak kecil bukan orang yang pantas

menerima hukuman. Hukum pidana Islam tidak menentukan jenis hukuman

untuk mendidik anak yang dapat dijatuhkan kepada anak di bawah umur.

Hukum pidana Islam memberikan hak kepada waliy al-amr (hakim atau

penguasa) untuk menentukan hukuman yang sesuai menurut pandangannya.

Dalam hukuman ini hakim berhak menjatuhkan sanksi:

a. Memukul si anak,

b. Menegur atau mencelanya,

c. Menyerahkannya kepada waliy al-amr atau orang lain,

d. Menaruhnya pada tempat rehabilitasi anak atau sekolah anak-anak nakal,

e. Menempatkannya disuatu tempat dengan pengawasan khusus.44

Karenanya, apabila anak kecil melakukan tindak pidana apapun

sebelum dia berusia 7 tahun, dia tidak dihukum, baik pidana maupun

hukuman ta’diby (hukuman untuk mendidik). Anak kecil tidak dijatuhi

hukuman hudud dan qishash meskipun si anak melakukan jarimah tersebut.

Meskipun begitu, adanya pengampunan tanggung jawab pidana terhadap

anak kecil bukan berarti membebaskannya dari tanggung jawab perdata atas

semua tindakan yang dilakukannya. karena itu, seorang anak yang melakukan

jarimah, dia akan tetap terbebani untuk menerima ta’zir dan juga diyat

sebagai atas jarimah yang telah dilakukannya tersebut.

44 Alie Yafie, dkk., ibid, hlm. 259.

Page 38: Skripsi zuhri full

27

2. Batas Usia Anak dalam Hukum Pidana Positif dan Hukum

Pidana Islam

Hukum Islam dipandang sebagai hukum pertama di dunia yang

membedakan secara sempurna antara anak kecil dan orang dewasa dari segi

tanggung jawab pidana. Hukum Islam juga merupakan hukum pertama yang

meletakkan tanggung jawab anak-anak yang tidak berubah dan berevolusi

sejak dikeluarkannya. Ironisnya, meski telah dikeluarkan sejak empat belas

abad yang lalu, hukuman ini dianggap sebagai hukum terbaru dalam hal

pertanggungjawaban anak kecil (belum dewasa) pada masa sekarang ini.45

Seiring perjalanan hukum, akhirnya berkembanglah peraturan yang

menguraikan tentang permasalah dalam mengambil pertanggungjawaban

pidana terhadap anak kecil. Polemik muncul ketika terjadi perdebatan

mengenai batas minimum usia anak yang dapat dimintai pertanggungjawaban

atas perbuatan pidana yang dilakukannya. Sebab, baik dalam hukum Islam

maupun hukum positif (KUHP ataupun UU No. 3 Tahun 1997 tentang

Peradilan Anak) terjadi perbedaan dalam penentuan batas usia minimum

untuk anak kecil yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidananya

(pemenjaraan).

Dalam Islam sendiri terjadi perbedaan pendapat diantara para fuqaha

dalam menentukan usia baligh. Hal ini dikarenakan perbedaan penafsiran atas

hadits Nabi saw,

45 Alie Yafie, dkk., ibid, hlm. 255.

Page 39: Skripsi zuhri full

28

ن س الح ن ة ع قتاد ن ام ع ثنا ھم د ح قاال فان ثنا ع د ح ثنا بھز و د ري ح البص

نھ ع ي هللا ض ر لي ع ن القلم ع فع ر قال لم س لیھ و ع لى هللا ص النبي أن

تى ح النائم ن ثة ع ثال ن تى ع نون ح ج الم قال توه أو ع الم ن ع تیقظ و یس

ب تى یش یر ح غ الص ن ع و قل یع

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Bahz dan telahmenceritakan kepada kami Affan berkata; telahmenceritakan kepada kami Hammam dari Qatadah dari AlHasan Al bashri dari Ali Radhiallah 'anhu bahwa Nabishallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Diangkat pena daritiga hal: orang yang tidur hingga bangun, orang yangtertimpa ayan -atau beliau bersabda: - orang yang gilasampai sadar dan anak kecil sampai baligh”.46

Makna hadis “diangkatkan pembebanan hukum dari tiga jenis orang:

anak kecil sampai ia baligh (mimpi basah/yahtalim)” adalah menjadikan

mimpi basah sebagai adanya khitab (tuntutan fiqh). Hukum asal menetapkan

bahwa adanya khitab karena baligh. Hadis tersebut menunjukkan bahwa

baligh ditetapkan oleh mimpi basah. Ini karena baligh dan kekuatan berpikir

merupakan ibarah (sesuatu yang dapat diambil) atas balighnya seseorang dan

kesempurnaan keadaannya. Semua itu ada melalui kesempurnaan

kemampuan dan kekuatan untuk mempergunakan semua anggota tubuh.

Semua kesempurnaan ini terwujud ditandai ketika mimpi basah.47

Mayoritas fuqaha membatasi usia 15 (lima belas) tahun untuk laki-

laki dan perempuan sebagai batas akhir dianggap baligh. Untuk itulah, jika

diusia tersebut tanda-tanda baligh masih belum tampak juga, maka anak yang

telah berusia 15 tahun, secara sendirinya ia telah dianggap baligh. Karena

46 Ahmad Ibnu Hambal, op. cit.47 Alie Yafie, dkk., op.cit, hlm. 256.

Page 40: Skripsi zuhri full

29

baligh inilah, secara hukum seorang anak dianggap dan dibebani suatu

kewajiban bagi dirinya sendiri. Meski kalau diperhatikan kembali, bisa jadi

ketentuan usia baligh ini hanyalah batas untuk kewajiban dan

pertanggungjawaban hukum dalam ranah ibadah semata. Namun masih

menjadi pemikiran bersama juga, karena banyak dalam literatur yang

menjelaskan, usia baligh itu sendiri menjadi batasan juga dalam ranah

pertanggungjawaban pidana pula.

Tentu hal ini berbeda kalau yang dijadikan dasar pertanggungjawaban

bukanlah batas usia, namun kemampuan dalam berfikir dan menerima pilihan

bagi seorang pelaku tersebut. Karena, situasi dan mental serta hal-hal yang

melatarbelakangi seorang anak melakukan kejahatan berbeda dengan hal-hal

yang ada pada orang dewasa. Untuk itu, ada sebagian kalangan yang

berpendapat jika pertanggungjawaban pidana berkaitan dengan akal

seseorang. Mereka beralasan karena yang mempengaruhi kedewasaan

seseorang sebenarnya adalah akal. Akal adalah tanggung jawab hukum dan

dengannya hukum berdiri.48

Alasan lain dari pendapat yang memberikan batas baligh pada usia 18

(delapan belas) atau 19 (sembilan belas) tahun adalah karena hukum Islam

mengaitkan pembebanan hukum dan adanya khitab (tuntutan fiqh) pada

mimpi basah. Karena itu, hukum harus diberlakukan atas dasar ketetapan

tersebut. Hukum tidak dapat dihapuskan dari seorang anak selama belum

diyakini tidak adanya mimpi basah dan terjadi keputusasaan atas keberadaan

48 Alie Yafie, dkk., ibid.

Page 41: Skripsi zuhri full

30

mimpi basah tersebut, sebab keputusasaan atas keberadaan mimpi basah

terjadi pada masa ini (yakni usia delapan belas hingga sembilan belas

tahun).49

Di dalam Bidayatul Mujtahid dijelaskan, bahwa yang menjadi syarat

adanya pertanggungjawaban bagi seorang pelaku kejahatan, entah itu

melukai, membunuh atau mencuri adalah orang itu harus mukallaf. Sebab

mukallaf adalah batasan usia dan kecerdasan seseorang dikenai beban untuk

melaksanakan syari’at. Kecerdasan disini berkaitan dengan kedewasaan dan

akal yang ada pada diri seseorang. Meski masih ada perselisihan tentang

batas usia, namun menurut Syafi’i, maksimal berusia delapan belas tahun,

dan minimal usia lima belas tahun.50

Untuk itulah, orang mukallaf yang melakukan tindak pidana, ia akan

dikenai sanksi atas perbuatan yang dilakukannya tersebut. Sedangkan

pembagian sanksi yang dapat dikenakan bagi pelaku tersebut dalam hukum

pidana Islam terbagi-bagi sesuai dengan jarimah yang dilakukannya, meliputi

qishah, diyat, ta’zir bahkan pemaafan.51 Akan tetapi jika pelaku jarimah itu

adalah anak-anak, ada ketentuan yang berbeda dalam pemberian sanksinya.

Karena masih ada perselisihan dalam penentuan batas usia baligh yang disitu

menjadi patokan sebagai pembebanan dikenainya syari’at, maka timbul pula

perselisihan dalam penentuan sanksi yang dikaitkan dengan hal tersebut.

49 Alie Yafie,dkk., ibid, hlm. 257.50 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Analisa Fiqih Para Mujtahid, penerjemah, Drs.

Imam Ghazali Said, MA. & Drs. Achmad Zaidun, terjemahan dari Bidayatul Mujtahid waNihayatul Muqtashid, Jakarta: Pustaka Amani, 2007, hlm. 530.

51 Ibid.

Page 42: Skripsi zuhri full

31

Sedangkan dasar penetapan usia dewasa menurut para mujtahid ialah

hadis Ibnu Umar r.a:

ن ني نافع ع بر أخ قال بید هللا ع ن یى ع ثنا یح د ح نبل ح د بن م ثنا أح د ح

ر م بع ابن ع أر ابن ھو د و م أح ھ یو ض ر لم ع س لیھ و ع لى هللا ص النبي أن

ھ ض ر ع ه و ز یج نة فلم ة س ر ش نة ع ة س ر ش ع س م خ ابن ھو ق و ند م الخ یو

ه از فأج

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Hanbalberkata, telah menceritakan kepada kami Yahya dariUbaidullah ia berkata; telah mengabarkan kepadaku Nafi'dari Ibnu Umar bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallampernah memeriksa dirinya pada waktu perang uhud, waktuitu umurnya baru empat belas tahun. Sehingga Nabi tidakmengizinkan untuk ikut berperang. Dan pada perangKhandaq beliau juga memeriksanya, waktu itu umurnyalima belas tahun, maka beliau pun memberinya izin.52

Sedangkan dalam hukum positif (KUHP) dalam pasal 45 secara jelas

disebutkan bahwa dari pasal tersebut dapat diketahui bahwa anak sebagai

pelaku tindak pidana dapat dikenai pidana adalah seseorang sebelum umur 16

(enam belas) tahun. Namun dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997

tentang Peradilan Anak disebutkan bahwa, anak adalah orang yang dalam

perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum

mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin dan

dikenal dengan sebutan anak nakal. Sebagaimana kutipan dalam Pasal 1 ayat

(1) dan (2) berbunyi:

52 Ibnu Rusyd, Ibid, hlm. 531 dan Abu Daud, Sunan Abu Daud, Juz 4, Beirut: Daral-Kitab al- ‘Ilmiyah, Hadist No. 3827, hlm. 246.

Page 43: Skripsi zuhri full

32

1. Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telahmencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapaiumur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.

2. Anak nakal adalah:a. Anak yang melakukan tindak pidana; ataub. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan

terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yanghidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.53

Kemudian dalam Pasal 4 Undang-undang No. 3 tahun 1997 yang

menjadi poin penting dalam skrispi ini, menyebutkan bahwa:

1. Batas umur Anak Nakal yang dapat diajukan ke Sidang Anakadalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belummencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernahkawin.

2. Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umursebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan diajukan ke sidangpengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui batasumur tersebut, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluhsatu) tahun, tetap diajukan ke Sidang Anak.54

Dengan diundangkannya undang-undang ini, maka Pasal 45 KUHP

tidak berlaku lagi. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 67 Undang-Undang No. 3

Tahun 1997 tentang Peradilan Anak yang berbunyi “pada saat mulai

berlakunya undang-undang ini, maka Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 Kitab

Undang-undang Hukum Pidana dinyatakan tidak berlaku lagi”.

Batasan umur untuk anak sebagai korban pidana diatur dalam Pasal 1

butir 1 Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Anak

dirumuskan sebagai seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,

termasuk anak yang masih dalam kandungan. Dari rumusan tersebut dapat

diketahui bahwa anak yang berhak mendapat perlindungan hukum tidak

53 Redaksi Sinar Grafika, Undang-undang No 3 Tahun 1997 Tentang PeradilanAnak, Jakarta: Sinar Grafika, 2000, hlm. 3.

54 Ibid, hlm. 4.

Page 44: Skripsi zuhri full

33

memiliki batasan minimal umur.55 Dari sejak masih dalam kandungan, ia

berhak mendapatkan perlindungan.

Sedangkan dalam hukum perdata dijelaskan dalam Pasal 370 Bab

Kelima Belas Bagian kesatu tentang Kebelumdewasaan Kitab Undang-

undang Hukum Perdata yang berbunyi lengkap pasalnya adalah sebagai

berikut: ”Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21

tahun dan tidak lebih dahulu kawin”.56

Jadi jelas, batas usia minimum dalam penetapan anak kecil dapat

dimintai pertanggungjawaban pidana (pemenjaraan) terdapat perbedaan

antara hukum Islam (fiqh jinayah), hukum perdata dan hukum positif (KUHP

dan UU No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak). Dari hal inilah,

kemudian muncul problem ketika pemerintah mulai melakukan proses

pemidanaan (pemenjaraan) terhadap anak yang melakukan tindak pidana

demi alasan mengurangi dan mencegah merebaknya kasus-kasus kejahatan

yang dilakukan oleh seorang anak.

Batas usia yang menjadi patokan dalam menjatuhkan sanksi

sebenarnya menjadi sesuatu yang penting. Hal ini dilakukan untuk

memudahkan para hakim dan para penegak hukum dalam menjalankan dan

memproses berbagai masalah terkait kejahatan yang dilakukan anak.

Sehingga tidak lagi ada problematika dan subjektivitas penegakan hukum

55 Redaksi Citra Umbara, Undang-undang RI No.23 Tahun 2002 tentangPerlindungan Anak, Bandung: Citra Umbara, 2003, hlm. 4.

56 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, BurgelijkWetboek: Dengan Tambahan UU Pokok Agraria dan UU Perkawinan, Jakarta: PradnyaParamita, 1994, hlm. 76.

Page 45: Skripsi zuhri full

34

oleh para penegak hukum yang selama ini dianggap semena-mena dalam

menangani dan memproses kejahatan yang dilakukan oleh anak.

F. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah suatu cara atau jalan yang digunakan dalam

mencari, menggali, mengolah dan membahas data dalam suatu penelitian

untuk memperoleh kembali pemecahan terhadap permasalahan.57 Untuk

memperoleh dan membahas data dalam penelitian ini penulis menggunakan

metode-metode sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Penelitian yang penulis lakukan dalam penyusunan skripsi ini

termasuk ke dalam penelitian kepustakaan (library research), yaitu dengan

cara melakukan penelitian terhadap sumber-sumber tertulis. Dalam

penelitian ini dilakukan dengan mengkaji dokumen atau sumber tertulis

seperti buku, majalah, jurnal dan lain-lain. Penelitian ini juga bersifat

deskriptif analitik, yaitu suatu metode penelitian dengan mengumpulkan

data-data yang tertuju pada masa sekarang, disusun, dijelaskan, dianalisis

serta diinterpretasikan dan kemudian disimpulkan.

Sebagai konsekuensi pemilihan topik permasalahan yang akan dikaji

dalam penelitian yang objeknya adalah permasalahan hukum, maka jenis

penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif, yakni

penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau

57 Joko Subagyo, Metodologi Penelitian Dalam Teori Dan Praktek, Jakarta: PT.Rineka Cipta, 1994, hlm. 2.

Page 46: Skripsi zuhri full

35

norma-norma dalam hukum positif.58 Dimana jenis penelitian ini

digunakan untuk mengetahui bagaimana usia anak dan

pertanggungjawaban pidannya serta seperti apa efektifitas pemidanaan

anak yang menggunakan tolak ukur perundang-undangan yang berlaku

serta norma agama atau hukum pidana Islam sehingga didapatlah usulan

dari jenis penelitian yang dipakai.

2. Pendekatan Masalah

Dalam kaitannya dengan penelitian normatif di sini penulis

menggunakan beberapa pendekatan, diantaranya yaitu:

a. Pendekatan Perundang-undangan (Statue Approach)

Digunakan berkenaan dengan peraturan hukum yang mengatur tentang

penanganan dan peradilan anak yang terjerat masalah hukum

sebagaimana telah ditetapkan dalam undang-undang. Pendekatan

perundang-undangan dilakukan untuk meneliti aturan-aturan yang

berkaitan dengan masalah peradilan anak.

b. Pendekatan Konsep (Conceptual Approach)

Pendekatan konsep digunakan untuk memahami konsep-konsep

penanganan terhadap kejahatan yang dilakukan oleh anak di bawah

umur sehingga diharapkan penormaan dalam aturan hukum tidak lagi

memungkinkan ada pemahaman yang ambigu dan kabur, sehingga

menjadi celah yang justru dapat menjadikan terjadinya disharmoni

penegak hukum dalam menangani masalah anak.

58 Dr. Jhonny Ibrahim, S.H., M.Hum., Teori dan Metodologi Penelitian HukumNormatif, Edisi Revisi, Malang: Bayumedia Publishing, 2005, hlm. 295.

Page 47: Skripsi zuhri full

36

c. Pendekatan Kasus (Case Approach)

Pendekatan ini digunakan dengan tujuan untuk mempelajari penerapan

norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum.

Terutama mengenai kasus-kasus yang berkaitan dengan proses

penanganan tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Kasus-kasus

tersebut dipelajari untuk memperoleh gambaran terhadap suatu aturan

hukum dalam praktik hukum yang ada dilapangan, serta menggunakan

hasil analisisnya untuk bahan masukan dalam eksplanasi hukum.

3. Sumber Data

Sumber-sumber penelitian terdiri dari dua sumber, diantaranya adalah

sumber primer dan sumber sekunder. Sumber hukum primer merupakan

bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas.

Sumber-sumber primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan

resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-

putusan hakim. Sedangkan sumber hukum sekunder berupa semua

publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen

resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus

hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentar-komentar tentang hal-hal yang

berkaitan dengan penelitian.59

a. Sumber data primer, yakni bahan hukum yang terdiri dari aturan hukum

yang menjadi sumber utama bagi penelitian ini, yaitu berupa Undang-

undang No 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak dan Al-Qur’an,

59 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2010, hlm 141.

Page 48: Skripsi zuhri full

37

Hadits serta At-Tasyri’ al-Jina’ i al-Islamiy Muqaranan bil Qanunil

Wad’iy karya Abd. Qodir Audah.

b. Sumber data sekunder, sebagai sumber pendukung yaitu segala sumber

yang memuat informasi tentang objek penelitian di atas baik dari

undang-undang, kitab-kitab fiqh, ensiklopedia, artikel-artikel dari

internet dan lain sebagainya yang terkait dengan masalah batas usia

anak dan pertanggungjawaban pidananya sebagai pelaku tindak pidana.

4. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah metode

dokumentasi, yaitu mencari dan mengumpulkan data mengenai suatu hal

atau variable tertentu yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar,

majalah, artikel dan lain sebagainya.60 Untuk mengumpulkan data yang

dimaksud di atas digunakan teknik studi kepustakaan (library research).

Teknik ini dilakukan dengan cara mencari, mencatat, menginventarisasi,

menganalisis dan mempelajari data-data yang berupa bahan-bahan

pustaka.

5. Analisis Data

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode content-analysis

yang dirangkai secara kualitatif dengan teknik analisis deduktif, yaitu

analisis data yang bertitik tolak atau berdasar pada kaidah-kaidah yang

bersifat umum, kemudian diambil suatu kesimpulan khusus.61 Dengan

metode analisis ini penulis dapat menyimpulkan konsep penanganan anak

60 Suharmi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta:Rineka Cipta, 1993, hlm. 202.

61 Dr. Jhonny Ibrahim, S.H., M.Hum., op. cit., hlm. 250.

Page 49: Skripsi zuhri full

38

di bawar umur (yang bersifat khusus) dalam UU No 3 Tahun 1997

Tentang Peradilan Anak yang diambil dari sumber-sumber sekunder lain

(yang bersifat umum).

G. Sistematika Penulisan Skripsi

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan pokok bahasan

secara sistematis yang terdiri dari lima bab sabagaimana berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini memuat latar belakang permasalahan, pokok masalah,

tujuan penelitian, kerangka teori, telaah pustaka, metode penelitian

dan sistematika penulisan.

BAB II PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ATAS KEJAHATAN

YANG DILAKUKAN ANAK DALAM HUKUM ISLAM

Dalam bab ini akan dibahas tentang konsep pertanggungjawaban

pidana atas kejahatan anak dalam perspektif hukum Islam yang

meliputi: pengertian pertanggungjawaban, batasan umur

pertanggungjawaban pidana anak, serta ketentuan pemidanaan

anak dalam Islam.

BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG USIA ANAK SERTA

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK DALAM

PERSPEKTIF UU NO. 3 TAHUN 1997 TENTANG

PERADILAN ANAK

Page 50: Skripsi zuhri full

39

Bab ini membahas tentang tentang gambaran umum batas usia

anak dan pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh anak-

anak dalam UU RI No. 3 Tahun 1997 yang meliputi: pengertian

dan batasan umur anak dalam pertanggungjawaban pidana,

tinjauan tentang anak dan tindak pidana anak, penjatuhan sanksi

terhadap anak serta ketentuan pemidanaannya.

BAB IV ANALISIS

Bab ini berisi tentang analisis terhadap batas usia

pertanggungjawaban pidana anak serta sanksi pidananya dalam UU

No. 3 Tahun 1997 ditinjau dari hukum pidana Islam.

BAB V PENUTUP

Bab ini merupakan bab terakhir dari skripsi yang berisi kesimpulan

saran-saran dan kata penutup.

Page 51: Skripsi zuhri full

40

BAB II

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ATAS KEJAHATAN YANG

DILAKUKAN ANAK MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM

A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Sebelum membahas lebih jauh tentang batasan umur dalam

pertanggungjawaban pidana anak, penulis ingin memaparkan terlebih dahulu

apa yang dimaksud dengan pertanggungjawaban itu sendiri. Ada 3 hal pokok

dalam hukum pidana materiil yaitu perumusan perbuatan yang dilarang,

pertanggungjawaban pidana (kesalahan) dan sanksi yang diancamkan.1 Jika

melihat pada permasalahan pidana materiil, maka pembahasan

pertanggungjawaban pidana merupakan pembahasan yang cukup menarik,

berbicara pertanggungjawaban pidana maka tidak akan terlepas pada

pembahasan mengenai kesalahan.

Hal ini didasarkan pada prinsip pertanggungjawaban pidana yang

berdasar pada asas “tidak ada pidana tanpa kesalahan” yang dikenal dengan

asas kesalahan, dalam hukum positif dikenal dengan asas legalitas. Artinya,

pelaku pidana dapat dipidana bila melakukan perbuatan pidana yang

dilandasi sikap batin yang salah atau jahat. Meski dalam perkembangannya

ada pula pertanggungjawaban pidana yang menyimpang dari Asas Kesalahan

tersebut.2

1 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Cet. Ke-1, Semarang: BadanPenerbit Universitas Diponegoro, 1995, hlm. 50.

2 Mualdi, ibid.

Page 52: Skripsi zuhri full

41

Menurut hukum pidana Islam, para fuqaha menggunakan dua kaidah

umum yang dapat menentukan keadaan tersalah. Dengan menerapkan

keduanya, kita dapat mengetahui apakah seseorang tersalah atau tidak.

Kaidah pertama, apabila pelaku melakukan perbuatan yang mubah (tidak

dilarang) atau menyangka bahwa perbuatan itu dibolehkan kemudian

perbuatan itu menimbulkan keadaan yang tidak dibolehkan, ia

bertanggungjawab secara pidana, baik keadaan tersebut ditimbulkannya

dengan langsung maupun tidak langsung. Bila ternyata pelaku sebenarnya

dapat menghindarinya. Apabila ia benar-benar tidak mampu menghindarinya,

tidak ada pertanggungjawaban pidana padanya. Kaidah kedua, apabila

perbuatan tidak diperbolehkan (dilarang), namun pelaku melakukannya, baik

secara langsung maupun tidak langsung tanpa ada keadaan darurat yang

memaksa, hal itu dianggap bukan bukan keadaan darurat dan apa yang

ditimbulkan darinya menyebabkan pelaku harus bertanggungjawab secara

pidana, baik perbuatan itu dapat dihindari maupun tidak.3

Menurut A. Hanafi yang disadur oleh Ahmad Wardi Muslich,

pengertian pertanggungjawaban pidana dalam syari’at Islam adalah

pembebanan seseorang dengan akibat perbuatan atau tidak adanya perbuatan

yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri, dimana orang tersebut

mengetahui maksud dan akibat dari perbuatannya itu.4

3 Alie Yafie, dkk., Ensiklopedia Hukum Pidana Islam, terjemahan dari “At-Tasyri’al-Jina’ i al-Islamiy Muqaranan bil Qanunil Wad’iy” karya Abdul Qadir Audah, Jilid 4,Bogor: PT Kharisma Ilmu, hlm. 106.

4 Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam; FikihJinayah, Jakarta: Sinar Grafika, 2004, hlm. 74.

Page 53: Skripsi zuhri full

42

Pertanggungjawaban pidana juga mengandung pengertian bahwa

seseorang bertanggungjawab atas sesuatu perbuatan pidana yang secara sah

dan telah diatur oleh nash (syar’i). Bisa dikatakan bahwa pidana itu dapat

dikenakan secara sah berarti untuk tindakan ini telah ada aturannya dalam

sistem hukum tertentu dan sistem hukum itu telah berlaku dan mengikat atas

perbuatan itu. Singkatnya dapat dikatakan bahwa tindakan ini dibenarkan

oleh sistem hukum. Hal inilah yang menjadi konsep mengenai

pertanggungjawaban pidana.5

Jadi tidak ada suatu jarimah, kecuali sesudah ada penjelasan, dan

tidak ada hukuman kecuali sesudah ada aturan yang mengikatnya

sebagaimana firman Allah:

Artinya: “Katakanlah: "Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah.Padahal Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu. Dan tidaklahseorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembalikepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akanmemikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulahkamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yangkamu perselisihkan." (Q.S. al-An’am: 164)6

Para fuqaha merumuskan sebuah kaidah yang berbunyi, sebelum ada

ketentuan nash, tidak ada hukum bagi perbuatan orang-orang berakal. Dari

kaidah tersebut, dapat dipahami bahwa perbuatan atau sikap tidak dipandangi

5 Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, ibid, hlm. 75.6 Departemen Agama RI , Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: 1983, hlm. 217.

Page 54: Skripsi zuhri full

43

sebagai jarimah, kecuali bila ada nash yang jelas melarang perbuatan

tersebut. Apabila tidak ada nash seperti itu, tidak ada tuntutan atau hukuman

terhadap pelakunya.7 Jadi dari kedua kaidah tersebut dapat disimpulkan

bahwa tidak ada jarimah dan tidak ada hukuman, kecuali dengan suatu nash.

Di dalam fiqh jinayah, pertanggungjawaban pidana didasarkan kepada

tiga prinsip, Pertama; Melakukan perbuatan yang dilarang dan atau

meninggalkan perbuatan yang diwajibkan, Kedua; Perbuatan tersebut

dikerjakan atas kemauan sendiri, artinya si pelaku memiliki pilihan yang

bebas untuk melaksanakan atau tidak melakukan perbuatan tersebut, Ketiga;

Si pelaku mengetahui akan akibat perbuatan yang dilakukan.8

Dengan adanya syarat tersebut terlihat bahwa yang dapat dibebani

pertanggungjawaban pidana hanyalah orang dewasa, mempunyai akal pikiran

yang sehat, serta mempunyai kemauan sendiri. Apabila tidak, maka tidak ada

pertanggungjawaban pidana padanya, sehingga dia punya akal pikiran yang

bisa memahami dan mengetahui serta mempunyai pilihan terhadap apa yang

akan dilakukannya. Dengan kata lain, dalam Islam bahwa pelaku tindak

pidana yang dapat dimintakan pertanggungjawaban adalah ia mukallaf, yaitu

yang dapat dipertanggungjawabkan perbuatan pidana. Orang yang tidak

berakal bukanlah orang yang mengetahui dan bukanlah orang yang

mempunyai pilihan. Demikian juga pada orang yang yang belum dewasa

tidak bisa dijatuhi hukuman melihat kondisi mental dan sosialnya.

7 Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, op. cit.8 A. Djazuli, Fiqh Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, Edisi

Revisi, Cet. Ketiga, Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2000, hal. 242.

Page 55: Skripsi zuhri full

44

Tingkat kedewasaan tidak bisa berpatokan pada batasan umur.

Seorang anak karena perkembangan fisik dan mental setiap anak berbeda-

beda sesuai dengan kondisi lingkungan sosialnya, maka tingkat

kedewasaannya pun berbeda. Mengenai batasan umur dan kedewasaan ini

akan dibahas pada sub bab berikutnya. Berdasarkan hal ini, syari’at Islam

tidak mengenal tempat (subjek) pertanggungjawaban pidana kecuali manusia

hidup, mukallaf yang menikmati kebebasan memilih pada saat berbuat. Nash-

nash syari’at menegaskan makna ini dengan jelas melalui hadits Rasulullah

saw. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud disebutkan:

نھا ع ي هللا ض ة ر ائش ع ن ع لم قال س لیھ و ع لى هللا ص سول هللا ر أن

أ تى یبر بتلى ح الم ن ع تیقظ و تى یس ح النائم ن ثة ع ثال ن ع القلم فع ر

بر تى یك ح بي الص ن ع وArtinya: “Dari Aisyah ra. ia berkata: telah bersabda Rasulullah saw:

Dihapuskan ketentuan dari tiga hal, dari orang yang tidursampai ia bangun, dari orang yang gila sampai ia sembuh,dan anak kecil sampai ia dewasa.”9

Hukuman yang merupakan cara pembebanan pertanggungjawaban

pidana dimaksudkan untuk memelihara ketertiban dan keamanan masyarakat,

dengan kata lain sebagai alat menegakkan kepentingan masyarakat,

karenanya besarnya hukuman harus disesuaikan dengan kebutuhan dan

kesadaran masyarakat. Syari’at Islam ada dengan tujuan yang begitu jelas dan

luas, sehingga dengan adanya ketentuan tersebut akan menjamin keamanan

9 Ahmad Ibnu Hambal, Musnad Imam Ahmad bin Hambal, Beirut: Dar al-Kitab al-‘Ilmiyah, Hadist No. 3822, hlm. 243.

Page 56: Skripsi zuhri full

45

dari kebutuhan-kebutuhan hidup manusia. Dalam kehidupan manuisa, hal ini

merupakan hal penting, sehingga tidak bisa dipisahkan.

Apabila kebutuhan-kebutuhan ini tidak terjamin, akan terjadi

kekacauan dan ketidaktertiban dimana-mana. Pada dasarnya pengertian

pertanggungjawaban pidana dalam hukum positif dengan

pertanggungjawaban pidana dalam hukum Islam (syari’at Islam) tidak jauh

beda, hanya saja beberapa bentuk hukum positif yang menegakkan

pertanggungjawaban pidana diambil atas filsafat jabar (determinisme,

fatalisme).10 Dalam hukum pidana Islam sendiri ada ketentuan-ketentuan

khusus yang dapat menghapuskan pertanggungjawaban pidana bagi

seseorang, salah satu faktornya karena pelaku adalah anak-anak.

Seorang anak yang melakukan jarimah pastinya juga akan menerima

pertanggungjawaban. Akan tetapi, ketentuan dalam Islam menyebutkan

bahwa pertanggungjawaban yang akan dibebankan pada seorang anak

berbeda dengan beban pertanggungjawaban yang yang dibebankan pada

orang dewasa (mukallaf). Menurut Syafi’i dan beberapa kalangan fuqaha

lainnya bersepakat bahwa seorang anak yang belum baligh hanya akan

dikenakan hukuman ta’zir dan diyat atas jarimah apapun yang

dilakukannya.11

10 Ahmad Hanafi, Azas-azas Hukum Pidana Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang,1967, hlm. 156.

11 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Analisa Fiqih Para Mujtahid, penerjemah, Drs.Imam Ghazali Said, MA. & Drs. Achmad Zaidun, terjemahan dari Bidayatul Mujtahid waNihayatul Muqtashid, Jakarta: Pustaka Amani, 2007, hlm. 546.

Page 57: Skripsi zuhri full

46

B. Batasan Umur Pertanggungjawaban Pidana Anak

Berbicara mengenai batasan umur kedewasaan seseorang maka tidak

lepas dari dua perkara, yaitu kekuatan berfikir (idrak) dan pilihan (ikhtiar),

maka setiap manusia pasti melalui beberapa masa berbeda dalam menjalani

hidupnya mulai dari ia lahir sampai dewasa dan cakap dalam hukum. Untuk

itulah, disini penulis ingin menjelaskan terlebih dahulu mengenai siapa yang

dinamakan anak itu.

1. Pengertian Anak

Pengertian anak dari segi bahasa adalah keturunan kedua sebagai hasil

dari hubungan antara pria dan wanita. Di dalam bahasa Arab terdapat

berbagai macam kata yang digunakan untuk arti anak, sekalipun terdapat

perbedaan di dalam pemakaiannya. Kata-kata sinonim ini tidak sepenuhnya

sama artinya. Umpamanya “walad” artinya secara umum anak, tetapi dipakai

untuk anak yang dilahirkan oleh manusia dan binatang yang bersangkutan.12

Sedangkan pengertian anak dalam berbagai disiplin ilmu berbeda-

beda. Dalam hukum Islam telah menetapkan bahwa yang dimaksud dengan

anak adalah seorang manusia yang telah mencapai umur tujuh tahun dan

belum baligh, sedangkan menurut kesepakatan para ulama, manusia dianggap

baligh (dewasa) apabila mereka telah mencapai usia 15 tahun.13

Mengenai batasan umur dewasa dilihat dari kekuatan berfikir dan

pilihan (iradah dan ikhtiar) pada diri orang tersebut. Setiap manusia melalui

beberapa masa berbeda dalam menjalani hidupnya mulai dari ia lahir sampai

12 Fuad, M. Fachruddin, Masalah Anak dalam Hukum Islam, Jakarta: Pedoman IlmuJaya, 1991, hlm. 24.

13 Ahmad Hanafi, op. cit, hlm. 369.

Page 58: Skripsi zuhri full

47

dewasa dan cakap dalam hukum. Untuk itu, dalam fase perkembangan itulah,

hukum pidana Islam memberikan perbedaan dalam memahami seorang anak,

sehingga mempengaruhi pula sanksi dalam pemidanaannya. Pendapat dari

para ahli fiqh mengenai kedudukan anak adalah berbeda-beda menurut masa

yang dilaluinya yaitu:

1. Masa tidak adanya kemampuan berfikir

Pada masa ini dimulai sejak anak lahir sampai usia 7 tahun dan pada

masa tersebut seorang anak tidak mempunyai kemampuan berfikir atau

belum tamyiz. Apabila seorang anak melakukan perbuatan jarimah, maka

jarimah yang dilakukan anak tidak dikenakan hukuman baik pemidanaan

maupun pengajaran. Akan tetapi anak tersebut dikenakan

pertanggungjawaban perdata, yang dibebankan atas hak milik pribadi

yakni memberikan ganti rugi kepada korban yang dirugikan anak tersebut.

2. Masa kemampuan berfikir lemah

Pada masa ini dimulai sejak anak berusia 7 tahun sampai anak

mencapai masa kedewasaan. Kebanyakan fuqaha membatasinya sampai

anak usia 15 tahun. Kalau seorang anak sudah mencapai usia tersebut

maka sudah dianggap dewasa meskipun belum dewasa dalam arti

sebenarnya. Pada masa ini seorang anak tidak bisa dikenakan

pertanggungjawaban pidana atas jarimah yang dilakukannya, akan tetapi

dikenakan tindakan dan pengajaran.

Page 59: Skripsi zuhri full

48

3. Masa kemampuan berfikir penuh

Pada masa ini dimulai sejak mulai mencapai usia kecerdasan yang

pada umumnya telah mencapai usia 15 tahun atau 18 tahun. Pada masa ini

anak telah dikenakan pertanggung jawaban pidana atas tindak pidana yang

dilakukan.14

Sedangkan menurut mazhab Hanafiyah bahwa hukum-hukum

mengenai asal mula seseorang dimulai dengan pembentukannya hingga

sempurna akalnya dibagi kedalam empat periode, yaitu:

a. Periode Janin

Periode ini dimulai semenjak seseorang ini berupa alaqah (segumpal

darah) dalam kandungan ibunya sampai ia lahir, pada periode ini sifat

kemanusiaannya belum sempurna. Karena jika dilihat dari ujud badannya

seolah-olah ia merupakan bagian ibunya. Ia makan dari apa yang dimakan

ibunya, ia bergerak jika ibunya bergerak dan ia pindah dari suatu tempat

ketempat lain jika ibunya berpindah tempat. Tapi dari segi adanya ruh dia

telah merupakan suatu jiwa tersendiri.

b. Periode Tufulah (kanak-kanak)

Dimulai sejak dia lahir kedunia, setelah lahirnya maka telah sempurnalah

sifat kemanusiaannya, karena dia telah terpisah dari ibunya. Kemampuan

akalnya berkembang sedikit demi sedikit, masa ini sudah mendekati

tamyiz.

14 Sudarsono, Kenakalan Remaja, cet. Ke-2., Jakarta: Rineka Cipta, 1991, hlm. 10.

Page 60: Skripsi zuhri full

49

c. Periode Tamyiz

Periode ini dimulai semenjak umur 7 tahun, dia telah memiliki ahliyah al-

wujub -kelayakan seseorang untuk mendapatkan hak-hak yang ditentukan

oleh syara’ atau undang-undang- secara sempurna karena tidak diragukan

lagi keberadaannya sebagai manusia. Seseorang dikatakan tamyiz apabila

sudah bisa membedakan antara yang baik dan buruk baik bagi dirinya

maupun orang lain.

d. Periode Baligh

Periode baligh adalah masa kedewasaan hidup seseorang, tanda-tanda

mulai dewasa apabila telah mengeluarkan air sperma dalam mimpi dan

mengeluarkan darah haid bagi wanita dan ditandai dengan tumbuhnya

rambut disekitar kemaluan.15

Menurut Abdul Qodir Audah anak yang belum baligh dapat

ditentukan bahwa laki-laki itu belum keluar sperma dan bagi perempuan

belum haid, ihtilam dan belum pernah hamil. Menurut jumhur fuqaha

berpendapat bahwa kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan sama

yakni tentang kedewasaannya yaitu keluarnya sperma dan telah haid serta

terlihatnya kecerdasan.16 Dari dasar ayat al-Qur’an dan hadits serta dari

berbagai pendapat dapat dipahami bahwa kedewasaan menurut Islam

mengacu pada batas ihtilam, namun terjadi perselisihan mengenai batas

umurnya. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan iklim, suhu,

temperamen, tabiat dan lingkungan seseorang tersebut berada.

15 Syeikh Muhammad Hudai Beik, Ushul Fiqh, Mesir: Maktabah Tijariyah Kubra,1965, hlm. 99.

16 Alie Yafie, dkk., op. cit., hlm. 258.

Page 61: Skripsi zuhri full

50

Adapun yang menjadi dasar tidak cakapnya seorang anak adalah

disandarkan pula pada ketentuan hukum yang terdapat dalam al-Qur’an

yakni:

Artinya: “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untukkawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telahcerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepadamereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anakyatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barangsiapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah iamenahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) danbarangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itumenurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkanharta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplahAllah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).” (Q.S. An-Nisa’: 6)17

Dalam penjelasan ayat tersebut memang memberikan keterangan

mengenai anak yatim berkaitan dengan urusan hartanya. Namun, dapat

diambil pemahaman bahwa ini juga berkaitan dengan kecapakan seorang

anak dalam menerima beban pertanggungjawaban atas dirinya sendiri. Dalam

kitab al-Amwal wa Nadzriyatul Aqdi disebutkan, ayat ini tegas menyatakan

17 Departeman Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, op. cit., hlm. 115.

Page 62: Skripsi zuhri full

51

bahwa anak yatim wajib diasuh sampai umur dewasa atau dengan kata lain,

perlu (tetap diasuh) sampai seseorang mencapai dewasa.18

Para fuqaha dan ahli undang-undang sepakat menetapkan, seseorang

diminta pertanggungjawaban atas perbuatannya dan mempunyai kebebasan

menentukan hidupnya setelah cukup umur. Menurut pandangan Syafi’iyah,

Hanbaliyah, dan Malikiyah, umur 15 tahun merupakan usia minimal untuk

disebut seorang anak telah cukup umur, baik lelaki maupun perempuan.

Namun, seorang anak laki-laki bermimpi yang mengeluarkan sperma dan

seorang perempuan haid, sebelum berumur 10 tahun, tidak cukup untuk

mempertanggungjawabkan beban dan resiko-resiko perbuatannya dan belum

boleh mengurus dirinya sendiri jika mereka belum bersikap dewasa, baik

secara psikologi maupun akal. Karena itu wajib dipegang dalam menentukan

anak cukup umur yang bisa dibebani pertanggungjawaban pidana adalah

dengan ketentuan kedewasaannya secara kejiwaan, bukan dari banyaknya

umur dan tanda-tanda fisik.19

Menurut Imam Syafi’I yang disadur oleh Chairuman, seorang anak

telah dikatakan mencapai dewasa apabila telah sempurna umur anak yakni 15

tahun, baik laki-laki maupun perempuan. Kecuali bagi anak laki-laki yang

sudah ihtilam maupun perempuan yang sudah haid sebelum mencapai umur

15 tahun, maka sudah dianggap dewasa.20

18 Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur,Jilid 1, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2000, hlm. 785.

19 Ibid, hlm. 786.20 Chairuman dan Suwardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Jakarta: Sinar

Grafika, 1996, hlm. 10.

Page 63: Skripsi zuhri full

52

Seorang anak laki-laki yang telah bermimpi sehingga mengeluarkan

air mani walau belum berumur 15 tahun, sudah dianggap dewasa. Hal ini

dikarenakan adanya ketentuan hukum yang ada dalam al-Qur’an yaitu:

Artinya: “Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur balig, Makahendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yangsebelum mereka meminta izin. Demikianlah Allahmenjelaskan ayat-ayat-Nya. dan Allah Maha mengetahui lagiMaha Bijaksana.” (QS. An-Nur: 59)21

Pada tingkatan pertama, kesepakatan ulama menyatakan bahwa tidak

adanya kemampuan menggunakan alam pikirannya, bermula dari anak

tersebut dilahirkan sampai umur 7 tahun. Dalam tingkatan kedua,

kemampuan untuk mempergunakan alam pikirannya. Akan tetapi, masih

dianggap lemah karena kondisi jiwa yang masih labil dan pada tingkatan ini

bermula pada usia 7 tahun hingga berakhir sampai pada ia baligh. Sedangkan

untuk tingkatan ketiga, kemampuan dalam mempergunakan alam pikirannya

secara sempurna. Bermula dari baligh-nya seorang anak setelah berumur 15

tahun maupun setelah berumur 18 tahun. Sehingga jelas bahwa usia anak

dalam hukum pidana Islam berkaitan erat dengan pertanggungjawaban yang

akan dibebabnkan padanya. Sebab batasan baligh dan mukallaf menjadi

21 Departeman Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, op. cit., hlm. 554.

Page 64: Skripsi zuhri full

53

patokan bagi seseorang dalam menerima beban syari’at yang akan

ditanggungnya.

2. Pengertian Hukuman

Dalam suatu peraturan hukum pidana baik yang memuat larangan

melakukan maupun perintah untuk melakukan sudah semestinya disertai

dengan adanya sanksi atau hukuman supaya bentuk larangan maupun

perintah itu diakui oleh segenap masyarakat yang bersangkutan. Kemudian

bagaimana cara menghukum pelanggar aturan itu tentunya memerlukan

aturan lebih lanjut yang merupakan bagian dari suatu sistem hukuman.

Sanksi atau hukuman dalam hukum pidana Islam disebut ‘uqubah

yang memiliki arti siksaan atau balasan terhadap kejahatan. Abdul Qadir

Audah memberikan definisi hukuman sebagai pembalasan atas pelanggaran

perintah syara’ yang ditetapkan untuk kemashlahatan masyarakat. Hukuman

adalah salah satu tindakan yang diberikan oleh syara’ sebagai pembalasan

atas perbuatan yang melanggar ketentuan syara’, dengan tujuan untuk

memelihara ketertiban dan kepentingan masyarakat, sekaligus juga untuk

melindungi kepentingan individu.22

Sedangkan menurut Abu Zahrah, hukuman merupakan siksaan bagi si

pelaku kejahatan sebagai balasan baginya dan hukuman itu merupakan suatu

ketetapan syara’ di dalam menghilangkan mafsadah, dan menghilangkan

mafsadah itu sendiri merupakan kemashlahatan.23 Dalam hal ini hukuman itu

lebih bersifat prevensi (pencegahan) khusus yaitu bagi pelaku jarimah.

22 Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, op. cit., hlm. 137.23 Alie Yafie, dkk., op. cit., hlm. 67.

Page 65: Skripsi zuhri full

54

Berbeda dengan pemaparan Audah yang lebih bersifat prevensi umum atau

dengan mempertimbangkan kepentingan masyarakat.

Dari beberapa pengertian di atas dapat dikemukakan bahwa hukuman

merupakan balasan atas perbuatan pelaku kejahatan yang mengakibatkan

orang lain menjadi korban dari perbuatannya dan ditetapkannya hukuman

bertujuan untuk kemashlahatan bersama. Esensi dari hukuman bagi pelaku

suatu jarimah menurut Islam adalah, pertama, pencegahan serta balasan (ar-

rad ‘u wa al-zairu) dan kedua adalah perbaikan dan pengajaran (al-islah wa

at-tahzib). Dengan tujuan tersebut, pelaku jarimah diharapkan tidak

mengulangi perbuatan jeleknya. Disamping itu juga merupakan tindakan

preventif bagi orang lain untuk tidak melakukan hal yang sama.

Agar hukuman itu diakui keberadaannya maka harus dipenuhi tiga

syarat. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut.

1. Hukuman Harus Ada Dasarnya Dari Syara’

Hukum dianggap mempunyai dasar apabila ia didasarkan kepada

sumber-sumber syara’, seperti al-Qura’n, as-Sunnah, ijma’ atau undang-

undang yang ditetapkan oleh lembaga yang berwenang (ulil amri) seperti

hukuman ta’zir. Dalam hal hukuman ditetapkan oleh ulil amri maka

disyaratkan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan syara’.

Apabila bertentangan maka ketentuan hukuman tersebut menjadi batal.

Dengan adanya persyaratan tersebut maka seorang hakim tidak boleh

menjatuhkan hukuman atas dasar pemikirannya sendiri walaupun ia

Page 66: Skripsi zuhri full

55

berkeyakinan bahwa hukuman tersebut lebih baik dan lebih utama

daripada hukuman yang telah ditetapkan.

2. Hukuman Harus Bersifat Pribadi (Perorangan)

Hukum disyaratkan harus bersifat pribadi atau perorangan. Ini

mengandung arti bahwa hukuman harus dijatuhkan kepada orang yang

melakukan tindak pidana dan tidak mengenai orang lain yang bersalah.

Syarat ini merupakan salah satu dasar dan prinsip yang ditegakkan oleh

syari’at Islam dan ini telah dibicarakan berkaitan dengan masalah

pertanggungjawaban.

3. Hukuman Harus Berlaku Umum

Selain dua syarat yang telah disebutkan di atas, hukuman juga

disyaratkan harus berlaku umum. Ini berarti hukuman harus berlaku

untuk semua orang tanpa adanya diskriminasi, apa pun pangkat, jabatan,

status, dan kedudukannya. Di depan hukum semua orang statusnya sama,

tidak ada perbedaan antara yang kaya dan miskin, antara pejabat dengan

rakyat biasa, antara bangsawan dengan rakyat jelata.24

Di dalam hukum pidana Islam, persamaan yang sempurna itu hanya

terdapat dalam jarimah dan hukuman had atau qishash, karena keduanya

merupakan hukuman yang telah ditentukan syara’. Setiap orang yang

melakukan jarimah hudud seperti zina, pencurian dan sebagainya, akan

dihukum dengan hukuman yang sesuai dengan jarimah yang dilakukannya,

kecuali orang-orang yang sudah ditentukan lain dalam al-Qur’an (anak kecil

24 Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, op. cit, hlm. 141.

Page 67: Skripsi zuhri full

56

dan orang gila). Adapun dalam hukuman ta’zir, persamaan dalam jenis dan

kadar hukuman, tentu saja tidak diperlukan, sebab apabila demikian

keadaannya maka ta’zir itu tidak ada bedanya dengan had.25

Persamaan yang dituntut dari hukuman ta’zir itu adalah persamaan

dalam aspek dampak hukuman terhadap pelaku, yaitu mencegah, mendidik,

dan memperbaikinya. Sebagian pelaku mungkin cukup dengan hukuman

peringatan, sebagian lagi perlu dipenjara dan sebagian lagi mungkin harus

didera atau bahkan ada pula yang harus dikenakan hukuman mati.

Namun, hukum Islam juga datang dengan dasar yang lain, yakni

dengan memberikan pengampunan hukuman terhadap pelaku meskipun ia

patut mendapatkannya karena dia melakukan perbuatan yang dilarang dan dia

mempunyai pengetahuan dan pilihan. Dasar (aturan pokok) ini dianggap

sebagai pengecualian dari kaidah-kaidah umum. Dalam menetapkan

ketentuan ini, syar’i kemungkinan bermaksud untuk mendorong agar pelaku

bertobat dari tindak pidana yang besar dan mengurungkan diri untuk turut

serta dalam perbuatan tersebut.26

Oleh karena itu, dalam hukum pidana Islam apabila seorang anak

yang melakukan jarimah, tentunya ia akan tetap mendapatkan sanksi atas

jarimah yang dilakukannya tesebut. Tidak mungkin seseorang yang

melakukan kejahatan akan bebas dari segala akibat dari perbuatan jahat yang

dilakukannya. Namun, ketentuan hukuman atau sanksi yang akan diterima

oleh seorang anak, tentunya memiliki perbedaan dengan sanksi yang

25 Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, ibid, hlm. 142.26 Alie Yafie, dkk., op. cit., hlm. 261.

Page 68: Skripsi zuhri full

57

diberikan kepada orang dewasa (mukallaf). Sejauh apapun kejahatan yang

dilakukan anak, dia tidak akan dikenakan had ataupun qishash atas jarimah

hudud yang dilakukannya.

C. Ketentuan Pemidanaan Anak

Penjatuhan sanksi atau pemidanaan dalam hukum pidana Islam

disebut dengan istilah arab yaitu ‘uqubah bentuk balasan bagi seseorang atas

perbuatannya melanggar ketentuan syara’ yang ditetapkan Allah dan Rasul-

Nya.27 Menurut syari’at Islam, jarimah adalah larangan-larangan syara’ yang

diancam dengan hukuman had atau ta’zir. Yang dimaksud dengan larangan

adalah pelanggaran perbuatan yang dilarang atau mengabaikan perbuatan

yang diperintahkan karena meliputi hal-hal yang merugikan.

Jadi, jarimah itu melakukan perbuatan yang dilarang dengan ancaman

sanksi atas perbuatan yang dilarang tersebut atau mengabaikan perbuatan

yang dilarang tersebut. Menurut Ahmad Wardi Muslich, memberi pengertian

bahwa jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’, yang

diancam dengan hukuman had atau ta’zir.28

Kalangan fuqaha menyamakan istilah jinayah dan jarimah yang

merupakan perbuatan yang dilarang, karena perbuatan jarimah yang

dilakukan tersebut menimbulkan kerugian kepada pihak lain. Pengertian

jinayah adalah setiap perbuatan yang dilarang oleh syara’ baik perbuatan

mengenai jiwa, harta benda atau lain-lainnya.

27 Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, Cet. Ke-I, Yogyakarta:Logung Pustaka, 2004, hlm. 39.

28 Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, op. cit, hlm. 9.

Page 69: Skripsi zuhri full

58

Dalam memberikan definisi tentang jarimah, Imam Al Mawardi

mengemukakan sebagai berikut, yakni:

الجرائم محظورات شرعیة زجرهللا تعالى عنھا بحد اوتعزیر“Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang olehsyara’, yang diancam dengan hukuman had atau ta’zir”.29

Suatu perbuatan baru dianggap sebagai pidana apabila unsur-unsurnya

telah terpenuhi. Unsur-unsur ini ada yang umum dan ada yang khusus. Unsur

umum berlaku untuk semua jarimah, sedangkan unsur khusus yang berlaku

untuk masing-masing jarimah berbeda antara jarimah yang satu dengan

jarimah yang lain. Abdul Qadir Audah mengemukakan bahwa unsur-unsur

umum untuk jarimah itu ada tiga macam.

1. Unsur formal yaitu adanya (الركن الشرعى) nash (ketentuan) yang melarang

perbuatan dan mengancamnya dengan hukuman.

2. Unsur material (الركن المادي) yaitu adanya tingkah laku yang membentuk

jarimah, baik berupa perbuatan nyata (positif) maupun sikap yang tidak

berbuat (negatif).

3. Unsur moral (الركن االدبي) yaitu bahwa pelaku adalah orang yang

mukallaf, yakni orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindak

pidana yang dilakukannya.30

Dari ketiga unsur tersebut, secara umum dapat dipahami bahwa

sebuah tindak pidana (jarimah) dapat dimintakan pertanggungjawabannya

jika telah memenuhi unsur-unsur tersebut. Tidak ada hukuman kecuali

29 Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, ibid.30 Ahmad Wardi Muslich, loc. cit, hlm. 28.

Page 70: Skripsi zuhri full

59

adanya nash atau undang-undang yang mengaturnya. Kalau dalam hukum

positif dikenal dengan asas legalitas tidak ada pidana dan sanksi sebelum ada

peraturan yang mengaturnya, maka dalam hukum pidana Islam pun sudah

mengaturnya.

Ada beberapa jenis hukuman dan sanksi yang bisa diterapkan kepada

pelaku jarimah bagi anak di bawah umur dalam hukum pidana Islam, yaitu:

a. Hukuman fisik yang meliputi pemukulan terhadap anak pada bagian-

bagian tertentu yang tidak merusak atas fisik anak, jadi yang dipukul

hanya bagian-bagian tertentu semisal kaki dan tangan.

b. Membatasi kebebasan yang berupa mengirim si anak ke sebuah lembaga

atau departemen sosial yang bergerak dibidang pendidikan dan pembinaan.

c. Membayar denda.

d. Peringatan yang diberikan oleh hakim.31

Adapun secara rinci sebuah sanksi atau hukuman yang diterapkan

terhadap pelaku pidana dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu:

1. Ditinjau dari segi pertalian antara satu hukuman dengan hukuman yang

lainnya, hukuman dibagi menjadi empat macam, yaitu:

a. Hukuman pokok ('Uqubah Ashliyah), yaitu hukuman yang ditetapkan

untuk jarimah yang bersangkutan sebagai hukuman asal dari sebuah

jarimah, seperti hukuman qishash untuk jarimah pembunuhan, rajam,

cambuk untuk perzinahan dan potong tangan untuk jarimah pencurian.

31 Abdurrahman I. Doi, Tindak Pidana dalam Syari’at Islam, diterjemahkan oleh H.Wadi Masturi, S.E. & Drs. H. Basri Iba Asghary, “Shari’ah the Islamic Lam”, Cet. ke-1,Jakarta: Rineka Cipta, 1992, hlm. 11.

Page 71: Skripsi zuhri full

60

b. Hukuman pengganti (‘Uqubah Badaliyah), yaitu hukuman yang

menggantikan hukuman pokok, apabila hukuman pokok tidak dapat

dilaksanakan karena alasan yang sah, seperti hukuman denda (diat)

sebagai hukuman pengganti qishash, atau hukuman ta’zir sebagai

hukuman pengganti had atau qishash yang tak bisa dilaksanakan.

c. Hukuman tambahan (‘Uqubah Taba’iyah), yaitu hukuman yang

mengikuti hukuman pokok tanpa memerlukan keputusan secara

tersendiri, seperti larangan menerima warisan bagi orang yang

membunuh orang yang akan diwarisnya, sebagai tambahan untuk

hukuman qishash atau diat.

d. Hukuman pelengkap (‘Uqubah Takmiliyah), yaitu hukuman yang

mengikuti hukuman pokok dengan syarat harus ada keputusan

tersendiri dari hakim dan syarat inilah yang membedakannya dengan

hukuman tambahan.32

Guna memperbaiki tingkah laku anak, Islam mengajarkan sesuatu

yang positif yang tidak menyakiti atau bisa merusak masa depan anak dengan

nasehat dan tidak boleh menyakitinya. Jika ta’zir dan nasehat bisa

menyadarkan anak, maka tidak boleh dipukul dan melukai anak selagi

semuanya bersifat mendidik. Maksud pokok hukuman dalam Islam adalah

memelihara dan menciptakan kemashlahatan manusia dan menjaga mereka

dari hal-hal yang mafsadah. Karena itu, hukuman yang baik adalah hukuman

yang mampu memenuhi ketentuan sebagai berikut:

32 Ahmad Hanafi, loc. cit, hlm. 260-261.

Page 72: Skripsi zuhri full

61

a. Mampu mencegah seseorang dari perbuatan maksiat dan mampu

menjerakan setelah terjadinya perbuatan (preventif).

b. Batas tertinggi dan terendah suatu hukuman disesuaikan dengan kebutuhan

kemashlahatan masyarakat.

c. Memberikan hukuman bukanlah untuk membalas dendam namun untuk

kebaikan dan ketertiban serta keadilan masyarakat.

d. Hukuman merupakan upaya terakhir dalam menjaga seseorang supaya

tidak jatuh dalam suatu kejahatan.33

Di dalam zaman yang begitu kompleks ini, tidak dapat dipungkuri

banyak faktor yang menyebabkan seorang anak cenderung berbuat kenakalan

yang bila diklasifikasikan sebagai perbuatan kejahatan (jarimah) yang

dianggap sebagai kenakalan anak, yang oleh para ahli disebut dengan juvenile

delinguency menyebabkan seorang anak berurusan dengan hukum. Tidak

jarang, perbuatan itu telah merambah pada tingkat kejahatan atau pidana yang

sangat mengkhawatirkan bagi tingkat anak-anak. Akan tetapi, tidak adil

rasanya bila anak yang melakukan kenakalan dan meresahkan masyarakat

tersebut tidak dikenai hukuman, tetapi tidak pantas juga anak-anak tersebut

mendaptkan hukuman yang sama dengan yang diterima oleh orang dewasa.

Hukuman had hanya diberikan bila pelanggaran atas hak-hak

masyarakat. Dalam hukum pidana Islam, hudud dibatasi untuk hukuman

karena tindak pidana yang disebutkan oleh al-Qur’an atau sunnah Nabi saw,

sedangkan hukuman lain ditetapkan dengan pertimbangan qadhi atau

33 Ibid.

Page 73: Skripsi zuhri full

62

penguasa.34 Meskipun dalam hukum pidana Islam telah jelas dikemukakan

bahwa hukuman had atau sanksi pidana diberikan kepada seseorang karena

melanggar hak-hak masyarakat lainnya. Akan tetapi ada pengecualian

terhadap seorang anak yang melakukan pelanggaran jarimah hudud tersebut.

Untuk itulah, hal yang menjadi latar belakang atau tujuan para

mujtahid mempidanakan dan menjatuhkan hukuman suatu perbuatan pidana

yaitu bertujuan untuk menjaga tatanan kemasyarakatan, menjaga

kepercayaan-kepercayaan atau menjaga harta benda, menjaga nama baik,

menjaga kehormatan, menjaga jiwa dan lain sebagainya, serta pada umumnya

menjaga kepentingan dan ketentraman masyarakat. Sehingga tujuan hukuman

pun akan tercapai yaitu menjaga akhlak, karena jika akhlak terpelihara maka

akan terpelihara juga kesehatan badan, akal, hak milik, jiwa dan ketentraman

masyarakat.35

34 Abdurrahman I. Doi, op. cit., hlm. 6.35 Makhrus Munajat, op. cit., hlm. 8.

Page 74: Skripsi zuhri full

63

BAB III

BATAS USIA SERTA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK

DALAM PERSPEKTIF UU NO. 3 TAHUN 1997 TENTANG

PENGADILAN ANAK

A. Pertanggungjawaban Pidana Menurut Hukum Positif

Berbicara mengenai pertanggungjawaban pidana dalam ranah hukum

positif tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan mengenai kesalahan. Orang

tidak mungkin dipertanggungjawabkan untuk dipidana, apabila ia tidak

melakukan kesalahan. Pada waktu membicarakan pengertian perbuatan

pidana, telah diajukan bahwa dalam istilah tersebut tidak termasuk

pertanggungjawaban. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan

diancamnya perbuatan dengan suatu pidana. Apakah orang yang melakukan

perbuatan kemudian juga dijatuhi pidana, sebagaimana telah diancamkan, ini

tergantung dari soal apakah dalam melakukan perbuatan ini seseorang

mempunyai kesalahan. Sebab azas dalam pertanggungjawaban dalam hukum

pidana adalah tidak dipidana jika tidak ada kesalahan.1

Adanya pemisahan perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana

dalam RKUHP memberi penekanan yang berbeda dalam memisahkan unsur-

unsur obyektif yang terkandung dalam dalam perbuatan pidana dan unsur-

unsur subyektif yang menjadi ranah pertanggungjawaban pidana sehingga

keduanya terlepas dari lainnya dan diterapkan secara serial untuk dijadikan

1 Prof. Moeljanto, S.H., Asas-Asas Hukum Pidana, Cet. Ke-V, Jakarta: RinekaCipta, hlm.153.

Page 75: Skripsi zuhri full

64

dasar pemidanaan. Hal ini berimplikasi pada kesalahan (dalam arti luas)

sebagai unsur subyektif dalam perbuatan pidana. Kendati para ahli hukum

lebih banyak menganut pandangan monistis tentang delik yang menyatukan

perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana.

Gambaran sederhananya bahwa dalam menjatuhkan pidana dalam

hukum positif, unsur “kesalahan” dan “pertanggungjawaban pidana” harus

dipenuhi. Jadi, perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarangnya

perbuatan. Apabila orang yang melakukan perbuatan pidana itu memang

mempunyai kesalahan, tentu dia akan dipidana. Tetapi, manakala dia tidak

mempunyai kesalahan, walaupun dia telah melakukan perbuatan yang

terlarang dan tercela, dia tentu tidak dipidana.2

Pada dasarnya, dalam teori monistis yang menjadi dasar dalam KUHP

yang ada sekarang ini banyak diperdebatkan oleh para ahli hukum. Hal ini tak

lain karena dalam monistis kesengajaan merupakan satu kesatuan yang tak

terpisahkan dari perbuatan. Karenanya, perbuatan pidana hanya ditunjukkan

kepada perbuatan dan akibat yang ditimbulkan berdasarkan penetapan

kesengajaan pelaku. Maka kesalahan (kesengajaan) dijadikan sebagai unsur

subyektif dari perbuatan pidana.

Hal ini berbeda dengan teori dualistis yang sekarang banyak

diwacanakan ahli hukum yang berusaha memisahkan perbuatan pidana dan

pertanggungjawaban pidana. Teori dualistis memandang bahwa unsur

obyektif hanya dapat dikandung dalam perbuatan pidana. Atas dasar itu,

2 Prof. MR. Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana;Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana, Jakarta: Aksara Baru, 1983, hlm. 75.

Page 76: Skripsi zuhri full

65

perbuatan pidana hanya dapat dilarang karena tidak mungkin suatu perbuatan

dijatuhi pidana. pemidanaan hanya diterapkan kepada pembuat setelah

terbukti melakukan perbuatan pidana dan dapat dipertanggungjawabkan atas

perbuatan yang dilakukan.3 Pelaksanaan perbuatan pidana tidak serta merta

menyebabkan seseorang dapat dipidana lantaran perbuatan pidana hanya

menunjuk pada sifat perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika

dilanggar. Sementara itu, pemidanaan bergantung kepada kesalahan pembuat

manakala melakukan perbuatan. Jadi, perbuatan pidana dan

pertanggungjawaban pidana merupakan hal yang terpisahkan.4

Pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing disebut

“toerekenbaarheid”, “criminal responsibility”, “criminal liability”.

Pertanggungjawaban pidana disini dimaksudkan untuk menentukan apakah

seseorang tersebut dapat dipertanggungjawabkan atasnya pidana atau tidak

terhadap tindakan yang dilakukannya itu.5 Roscoe Pound, mengartikan bahwa

pertanggungjawaban pidana adalah sebagai suatu kewajiban untuk membayar

pembalasan yang akan diterima pelaku dari seseorang yang telah dirugikan,

menurutnya juga bahwa pertanggungjawaban yang dilakukan tersebut tidak

hanya menyangkut masalah hukum semata, akan tetapi menyangkut pula

3 Ainul Syamsu, Dualisme Tentang Delik: Sebuah Kecenderungan Baru dalamHukum Pidana Indonesia, http://hukumpidana.blogspot.com/2007/04/.html, diakses padatanggal 22 Juni 2012 pukul 20.30 WIB.

4 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1993, cet. V, hlm. 54.5 S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Cet. 4,

Jakarta: Alumni Ahaem-Petehaem, 1996, hlm. 245.

Page 77: Skripsi zuhri full

66

masalah nilai-nilai moral ataupun kesusilaan yang ada dalam suatu

masyarakat.6

Dalam Pasal 34 Naskah Rancangan KUHP Baru (1991/1992)

dirumuskan bahwa pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan

yang objektif pada tindak pidana berdasarkan ketentuan hukum yang

berlaku.7 Secara subjektif kepada pembuat pidana yang memenuhi syarat-

syarat dalam undang-undang (pidana) untuk dapat dikenai pidana karena

perbuatannya itu. Sedangkan syarat untuk adanya pertanggungjawaban

pidana atau dikenakannya suatu pidana, maka harus ada unsur kesalahan

berupa kesengajaan atau kealpaan.

Konsep Rancangan KUHP Baru Tahun 2004/2005, di dalam Pasal 34

memberikan definisi pertanggungjawaban pidana sebagai berikut:

Pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yangobejektif yang ada pada tindak pidana dan secara subjektifkepada seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhipidana karena perbuatannya itu.8

Di dalam penjelasannya dikemukakan, tindak pidana tidak berdiri

sendiri, itu baru bermakna manakala terdapat pertanggungjawaban pidana. Ini

berarti setiap orang yang melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya

harus dipidana. Untuk dapat dipidana harus ada pertanggungjawaban pidana.

Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan

(vewijbaarheid) yang objektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai

6 Roscoe Pound, “An Introductio to the Philosophy of Law” dalam RomliAtmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, Cet. II, Bandung: Mandar Maju, 2000, hlm. 65.

7 http://imanherlambang.blogspot.com, Pertanggungjawaban Pidana.html, diaksespada tanggal 19 April 2012 pukul 16.59 WIB.

8 http://imanherlambang.blogspot.com/2011/12/, ibid.

Page 78: Skripsi zuhri full

67

tindak pidana yang berlaku, dan secara subjektif kepada pembuat tindak

pidana yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenai pidana karena

perbuatannya.9

Pertanggungjawaban pidana hanya dapat dilakukan jika sebelumnya

telah terjadi suatu tindak pidana dan ada unsur kesalahan di dalamnya. Tidak

mungkin seseorang dipertanggunjawabkan (dijatuhi hukuman) kalau dia tidak

melakukan perbuatan pidana. Dengan demikian pertanggungjawaban pidana

itu akan terjadi manakala perbuatan atau tindak pidana telah dilakukan

seseorang yang menurut undang-undang bahwa perbuatan tersebut dilarang,

untuk itu kepada pelaku tersebut layak dimintakan pertanggungjawaban.

Unsur tindak pidana dan kesalahan (kesengajaan) adalah unsur yang

sentral dalam hukum pidana. Unsur perbuatan pidana terletak dalam lapangan

objektif yang diikuti oleh unsur sifat melawan hukum, sedangkan unsur

pertanggungjawaban pidana merupakan unsur subjektif yang terdiri dari

kemampuan bertanggungjawab dan adanya kesalahan (kesengajaan dan

kealpaan).

Orang yang melakukan perbuatan pidana akan dipidana apabila dia

mempunyai kesalahan. Seseorang dianggap mempunyai kesalahan, apabila

pada waktu melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakat, dia

dapat dicela oleh karenanya, sebab dianggap dapat berbuat lain, jika memang

tidak ingin berbuat demikian. Dilihat dari segi masyarakat, ini menunjukkan

pandangan yang normatif mengenai kesalahan. Seperti diketahui mengenai

9 http://imanherlambang.blogspot.com/2011/12/, op. cit.

Page 79: Skripsi zuhri full

68

kesalahan ini dulu orang berpandangan psikologis. Tetapi kemudian

pandangan ini ditinggalkan orang dan orang lalu berpandangan normatif. Ada

atau tidaknya kesalahan tidaklah ditentukan bagaimana keadaan batin (niat)

dari seorang pelaku, tetapi bergantung pada bagaimanakah penilaian hukum

mengenai keadaan batinnya itu, apakah dinilai ada ataukah tidak ada

kesalahan.10

Dipidana atau tidaknya si pembuat kejahatan bukanlah bergantung

pada apakah ada perbuatan pidana atau tidak, melainkan pada apakah si

terdakwa tercela atau tidak karena telah melakukan perbuatan pidana itu.

Karena itulah maka juga dikatakan, dasar daripada adanya perbuatan pidana

adalah asas legalitet, yaitu asas yang menentukan bahwa sesuatu perbuatan

adalah terlarang dan diancam dengan pidana barangsiapa yang

melakukannya, sedangkan dasar daripada dipidananya si pembuat adalah asas

“tidak dipidana jika tidak ada kesalahan”.11 Sehingga dapat dikatakan bahwa

orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana kalau tidak

melakukan perbuatan pidana. Tetapi meskipun dia melakukan perbuatan

pidana, tidaklah selalu dia dapat dipidana.

Perlu dilihat juga, dalam hukum positif ada juga ketentuan-ketentuan

yang dapat menghapuskan pertanggungjawaban pada diri seorang pelaku

tindak pidana. Pembuat undang-undang bertolak pangkal bahwa setiap orang

bertanggung jawab, karena setiap orang dianggap mempunyai jiwa yang

sehat. Pasal 44 KHUP menentukan tindak pidana seseorang yang melakukan

10 Prof. MR. Roeslan Saleh, op. cit, hlm. 77.11 Prof. MR. Roeslan Saleh, Loc. cit. hlm. 76.

Page 80: Skripsi zuhri full

69

suatu tindakan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya (non

compos mentis). Jadi dari pasal tersebut ada juga seseorang yang tidak akan

dimintai pertanggungjawaban pidananya. Hal ini dikarenakan ada sesuatu dari

seseorang tersebut yang membuatnya tidak dikenai pidana, ini karena:

a. Jiwanya cacat dalam pertumbuhannya (gagu, idiot, imbecile dan

sebagainya).

b. Jiwanya terganggu karena penyakit (gila) terus-menerus atau temporarie.12

Pasal 44 dirumuskan sebagai perkecualian dari ketentuan tersebut,

sehingga tidak semua yang melakukan tindak pidana, dapat dimintakan

pertanggunjawaban pidana juga. Kemudian dalam Pasal 45 KUHP

menentukan batas usia dewasa bagi anak pelaku tindak pidana adalah 16

tahun, sebelum usia tersebut seorang anak yang melakukan tindak pidana

akan dijatuhi pidana yang berbeda dengan orang dewasa (Pasal 45, 46 dan 47

KUHP yang dengan adanya UU No. 3 tahun 1997 dinyatakan tidak berlaku).

Undang-undang menganggap setiap anak mampu bertanggungjawab asal

jiwanya sehat. Namun ada pemahaman tentang kemungkinan untuk tidak

memidana seorang anak karena alasan masih sangat muda sehigga belum

dapat menilai tindakannya yang tercela.

Kemudian dengan adanya Undang-undang No 3 tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak, maka segala bentuk pemberian sanksi atau

pertanggungjawaban pidana yang dibebabnkan pada seorang anak yang

melakukan tindak pidana yang tertuang di dalam KUHP sudah tidak berlaku

12 Lihat Pasal 44 KUHP, Trinity, 2009, hlm. 17.

Page 81: Skripsi zuhri full

70

lagi. Untuk itu, segala hal yang berkaiatan dengan hukum anak menggunakan

ketentuan undang-undang baru tersebut.

B. Pengertian dan Batasan Umur Anak Dalam Pertanggungjawaban

Pidana

Merujuk dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, seorang anak diartikan

sebagai manusia yang masih kecil atau belum dewasa.13 Pengertian anak dari

segi bahasa adalah keturunan kedua sebagai hasil dari hubungan antara pria

dan wanita. Anak menurut KHA didefinisikan setiap individu yang umurnya

di bawah 18 tahun. Namun definisi itu tidak tunggal, di dalam Konvensi Hak

Anak ada tambahan kecuali ditentukan dalam perundangan yang berlaku,

kedewasaan itu ditentukan lebih awal. Jadi KHA sebagai hukum Internasional

mengakui kalau ada hukum nasional yang menyatakan bahwa anak itu adalah

mereka yang umurnya lebih rendah dari 18 tahun sejauh itu diakui dalam

undang-undang nasional.

Ditinjau dari aspek yuridis maka pengertian anak dimata hukum

positif Indonesia biasa diartikan sebagai orang yang belum dewasa, orang di

bawah umur atau juga disebut sebagai anak yang di bawah pengawasan

wali.14 Maka dengan bertitik tolak pada pengertian-pengertian tersebut di atas

dapat dikatakan bahwa ternyata hukum positif Indonesia tidak mengatur

13 W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka:Armico, 1984, hlm. 25.

14 Lilik Mulyadi, Pengadilan Anak di Indonesia (Terori, Praktif danPermasalahannya), Bandung: CV. Mandar Maju, 2005, hlm. 3.

Page 82: Skripsi zuhri full

71

adanya unifikasi hukum yang baku dan berlaku universal untuk menentukan

kriteria batasan umur bagi seorang anak.

Kalau melihat UU Peradilan Anak, yang dimaksud dengan anak

dalam perkara Anak Nakal adalah orang yang telah mencapai umur 8

(delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan

belum pernah kawin. Dalam Pasal 1 ayat 2 UU No 3 tahun 1997 dijelaskan

bahwa yang dinamakan Anak Nakal adalah:

1. Anak yang melakukan tindak pidana, atau2. Anak yang melakukan perbutan yang dinyatakan terlarang bagi

anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupunmenurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalammasyarakat.15

Adapun di dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No 23 Tahun 2002

tentang perlindungan anak, disebutkan bahwa anak adalah seseorang yang

belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam

kandungan. Dari rumusan tersebut dapat diketahui bahwa anak yang berhak

mendapat perlindungan hukum tidak memiliki batasan minimal umur.16 Dari

anak masih dalam kandungan, sampai ia berhak mendapatkan perlindungan.

Dalam Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang No 4 Tahun 1979 tentang

Kesejahteraan Anak, yang disebut anak adalah seseorang yang belum

mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.17

15 Tim Redaksi Pustaka Yustisia, Perundangan tentang Anak; Undang-Undang RINo. 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak, Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2010, hlm. 16.

16 Tim Redaksi Pustaka Yustisia, Perundangan tentang Anak; Undang-Undang RINo. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2010, hlm.66.

17 Tim Redaksi Pustaka Yustisia, Perundangan tentang Anak; Undang-Undang RINo. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2010, hlm. 6.

Page 83: Skripsi zuhri full

72

Apabila dijabarkan secara lebih detail dan terperinci maka akan

didapatkan dan ditemui beberapa batasan umur seorang anak dari hukum

positif yang ada di Indoensia tentang seseorang yang disebut anak tersebut.

1. UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, anak adalah seorang

yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan

(Pasal 1 ayat 1).

2. UU No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, anak adalah setiap

manusia yang berusia di bawah 18 tahun dan belum menikah termasuk

anak yang masih dalam kandungan papbila hal tersebut adalah demi

kepentingannya (Pasal 1 ayat 5)

3. Kitab Undang-undang Hukum Perdata, anak adalah mereka yang belum

mencapai umur genap 21 tahun dan belum kawin (Pasal 370)

4. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), anak adalah yang berumur

dibawah 16 tahun (Pasal 45 dan 72). Dalam KUHP terdapat juga batasan

umur yang lain bagi seorang anak, yakni Pasal 283 ayat 1 (batasan umur

17 tahun), kemudian Pasal 287 ayat 1 serta Pasal 290 ayat 2 dan 3 (batasan

umur 15 tahun).

5. Undang-undang No 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, yaitu anak

adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah

kawin (Pasal 1 ayat 1).

6. Undang-undang No 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP), batasan umur anak di sidang pengadilan yang

boleh diperiksa tanpa sumpah dipergunakan umur di bawah 15 tahun dan

Page 84: Skripsi zuhri full

73

belum pernah kawin (Pasal 171) dan dalam hla-hal tertentu hakim dapat

menentukan anak yang belum mencapai umur 17 tahun tidak

diperkenankan menghadiri sidang (Pasal 153 ayat 5)

Batasan umur merupakan sesuatu yang sangat penting dalam perkara

pidana anak, karena hal tersebut digunakan untuk mengetahui seseorang yang

diduga melakukan kejahatan termasuk kategori anak atau bukan. Mengenai

batasan umur anak-anak, terjadi keberagaman diberbagai negara yang

mengatur usia anak yang dapat dihukum. Di Swiss batas usia anak yang dapat

dihukum bila telah mencapai usia 6 tahun, di Inggris 8 tahun, Jerman 14

tahun sehingga dikenal dengan istilah can be guilty if any offence yang berarti

di atas umur tersebut relatif dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya

seperti orang dewasa yang mendapat putusan berupa tindakan maupun pidana

yang bersifat hukuman.18

Dalam KUHP ditegaskan bahwa, seorang dapat

dipertanggungjawabkan atas perbuatannya disyaratkan adanya kesadaran diri

yang bersangkutan. Ia harus mengetahui perbutan itu terlarang menurut

hukum yang berlaku, sedangkan anak dalam hal ini memiliki usia tetentu,

dimana dia mampu dikategorikan orang dewasa yang karakteristiknya

memiliki cara berfikir yang normal akibat dari perkembangan jiwa yang

normal, pribadi yang dewasa, menampakkan tangungjawab sehingga dapat

mempertanggungjawabkan atas segala tindakan yang dipilihnya karena ia

berada pada posisi dewasa.

18 Bambang Purnomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Cet. IV, Jakarta: Ghalia, 1983,hlm. 145.

Page 85: Skripsi zuhri full

74

Namun kalau mengacu pada Pasal 45 KUHP mengenai anak-anak

yang dapat diajukan ke sidang pengadilan adalah jika anak tersebut telah

mencapai usia 16 tahun.19 Tapi kalau melihat Undang-undang No. 3 tahun

1997 tentang Peradilan Anak Pasal 4, hukuman atau sanksi pidana disitu

sangatlah berbeda. Ketentuan Pasal tersebut berbunyi:

1. Batas umur Anak Nakal yang dapat diajukan ke Sidang Anakadalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belummencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernahkawin.

2. Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umursebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan diajukan ke sidangpengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui batasumur tersebut, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluhsatu) tahun, tetap diajukan ke Sidang Anak.20

Memang dalam pergaulan sehari-hari, masalah batas umur antara kata

dewasa dan kata anak cukup menjadi problem yang rumit. Klasifikasi umur

akan menentukan dapat tidaknya seseorang dijatuhi hukuman serta dapat

tidaknya suatu tindak pidana dipertanggungjawabkan kepadanya dalam

lapangan kepidanaan. Secara umum klasifikasi yang ingin ditonjolkan sebagai

inti dalam persoalan ini (pertanggungjawaban) adalah kedewasaan. Walaupun

kedewasaan seseorang dengan orang lain tidak dapat disamakan, namun

dalam klasifikasi ini akan selalu sama untuk suatu lapangan tertentu.21 Hal ini

karena akan menyangkut titik akhir yang ingin dicapai oleh para hakim dalam

memutuskan suatu perkara dalam perasaan keadilan yang sebenarnya.

19 Lihat KUHP Pasal 45, Trinity, 2009, hlm. 17.20 Lihat UU No. 3 tahun 1997 Pasal 4, Jakarta: Sinar Grafika, 2000, hlm. 4.21 E. sumaryono, Kejahatan Anak: Suatu Tinjauan dari Psikologi dan Hukum,

Yogyakarta: Liberty, 1985, hlm. 19.

Page 86: Skripsi zuhri full

75

Dengan adanya ketentuan yang berbeda-beda dalam setiap instrumen

perundangan mengenai batasan umur anak yang dapat dimintakan

pertanggunjawaban. Tentunya hal ini akan menjadikan kekacauan hukum,

sehingga dikhawatirkan justru akan memberikan dampak negatif bagi seorang

anak. Hal semacam telah tampak dari berbagai permasalahan yang muncul

dalam proses penanganan anak nakal, sehingga banyak kalangan menilai

bahwa aparat penegak hukum dianggap telah merampas masa depan anak-

anak tersebut.

Demi meminimalisir kejadian dan ketidaksepahaman dalam

menafsirkan perundangan yang ada, maka Mahkamah Konstitusi

memutuskan terkait beberapa pasal yang dianggap menjadi polemik di dalam

UU No 3 tahun 1997. Salah satu dari tiga poin yang menjadi putusan MK

diantaranya adalah mengenai masalah umur anak yang dapat diajukan ke

persidangan. Sehingga begitu jelas, bahwa usia anak menjadi poin penting

dalam sebuah penegakan hukum karena berkaitan dengan konsekuensi yang

akan diterima anak-anak yang dianggap melakukan tindakan pidana.

C. Jenis Sanksi Bagi Anak

Tindakan kriminalitas yang dilakukan oleh anak akhir-akhir ini

memang sangat meresahkan. Hal ini yang kemudian oleh pemerintah

dicarikan solusi dalam menanggulanginya dan salah satu aspek yang mulai

dilakukan oleh pemerintah yakni dengan pemenjaraan terhadap anak yang

melakukan tindak pidana. Pemenjaraan tersebut merupakan salah satu solusi

Page 87: Skripsi zuhri full

76

dari pemerintah dalam mengatasi masalah tindak kriminalitas yang dilakukan

oleh anak tersebut.

Padahal hal ini oleh banyak pihak masih diperselisihkan. Mengingat

efektivitas dari pidana penjara itu sendiri yang masih dipertanyakan. Menurut

Barda Nawami Arief, efektivitas pidana penjara memiliki dua aspek pokok

tujuan, yaitu aspek perlindungan masyarakat dan aspek perbaikan pelaku.22

Namun disisi yang lain, banyak sekali kritik yang muncul terkait sistem

pemidanaan penjara yang ada saat ini.

Di dalam hukum positif jelas sudah undang-undang yang telah

mengatur mengenai jenis sanksi yang akan diberikan kepada seorang anak

yang melakukan tindak pidana, yakni UU No. 3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak, yang mana dalam undang-undang tersebut telah mengatur

tata cara peradilan anak dan beberpa jenis sanksi yang akan diberikan pada

anak pelaku tindak pidana. Hukum memang berlaku untuk semua kalangan,

entah itu orang dewasa ataupun anak-anak. Akan tetapi undang-undang juga

telah mengatur ada beberpa hal yang menjadikan seseorang itu tidak dihukum

atau diringankan hukumannya.

Belum cukup umur (minderjarig) merupakan salah satu hal yang

meringankan pemidanaan karena usia yang masih muda belia itu

kemungkinan sangat besar dapat diperbaiki kelakuannya dan diharapkan

kelak bisa menjadi warga yang baik dan berguna bagi negara. Dalam

hubungannya dengan pertanggungjawaban pidana timbul pertanyaan, apakah

22 Prof. Dr. Dwidja Priyanto, SH., MH., Sp.N., Sistem Pelaksanaan Pidana PenjaraDi Indonesia, Bandung: PT. Refika Aditama, 2008, hlm. 82.

Page 88: Skripsi zuhri full

77

setiap anak yang bersalah melakukan suatu tindak pidana dapat

dipertanggungjawabkan?

Pada mulanya, sistem pertanggungjawaban bagi anak-anak didasarkan

kepada kemampuan bertanggungjawab. Sistem yang mendasarkan kepada

kemampuan bertanggungjawab dan batas usia tertentu bagi seorang anak,

tidak dianut lagi dalam hukum pidana di Indonesia sekarang ini. Namun yang

dianut sekarang adalah sistem pertanggungjawaban yang menyatakan bahwa

semua anak asal jiwanya sehat dianggap mampu bertanggungjawab dan dapat

dituntut. Untuk itulah kenapa KUHP yang ada sekarang sudah tidak

representatif lagi bagi penanganan bagi masalah anak yang berhadapan

hukum.

Berlakunya Undang-undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan

Anak antara lain telah menetapkan apa yang dimaksud anak. Undang-undang

ini berlaku lexpecialis terhadap KUHP, khususnya berkaitan dengan tindak

pidana yang dilakukan oleh anak. Lahirnya Undang-undang Pengadilan

Anak, diharapkan menjadi acuan dalam perumusan pasal-pasal KUHP baru

berhubungan dengan pidana dan tindak pidana bagi anak. Dengan demikian,

tidak akan terjadi tumpang tindih ataupun saling bertentangan. Sehingga

penegak hukum tidak boleh menggunakan KUHP dalam menangani masalah

anak.

Undang-undang No. 3 tahun 1997 menyatakan bahwa anak nakal

adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan)

Page 89: Skripsi zuhri full

78

tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum

pernah kawin (Pasal 1 ayat 1). Sedangkan yang dimaksud anak nakal adalah:

a. Anak yang melakukan tindak pidana, ataub. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi

anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupunmenurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalammasyarakat yang bersangkutan.23

Menurut UU No. 3 tahun 1997, secara tekstual jenis-jenis sanksi bagi

anak diatur di dalam BAB III tentang Pidana dan Tindakan yang terangkum

dalam Pasal 22-32. Sanksi-sanksi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

Pasal 22 di dalamnya menjelaskan:

Terhadap Anak Nakal hanya dapat dijatuhkan pidana atau tindakan yangditentukan dalam undang-undang ini.

Pasal 23:

1. Pidana yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah pidana pokokdan pidana tambahan.

2. Pidana poko yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah:a. pidana penjara;b. pidana kurungan;c. pidana denda; ataud. pidana pengawasan.

3. Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terhadapAnak Nakal dapat juga dijatuhi pidana tambahan, berupa perampasanbarang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi.

4. Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pembayaran ganti rugi diaturlebih lanjut dengan peraturan Pemerintah.

Pasal 24:

1. Tindakan yang dapat dijauhkan kepada Anak Nakal ialah:a. mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh;b. menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan,

pembinaan, dan atau latihan kerja; atau

23 Tim Redaksi Pustaka Yustisia, Perundangan tentang Anak; Undang-Undang RINo. 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak, op. cit, hlm. 16.

Page 90: Skripsi zuhri full

79

c. menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi SosialKemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan,dan latihan kerja.

2. Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat disertai denganteguran dan syarat tambahan yang ditetapkan oleh Hakim.

Pasal 25:

1. Terhadap Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2huruf a, Hakim menjatuhkan pidana sebagaimana dimaksud dalamPasal 23 atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.

2. Terhadap Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2huruf b, Hakim menjatuhkan tindakan sebagaimana dimaksud dalamPasal 24.

Pasal 26:

1. Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal sebagaimanadimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama ½ (satu perdua)dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.

2. Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2huruf a, melakukan tindakan pidana yang diancam dengan pidana matiatau pidana seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkankepada anak tersebut paling lama 10 (sepuluh) tahun.

3. Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2huruf a, belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindakpidana yang diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup,maka terhadap Anak Nakal tersebut hanya dapat dijatuhkan tindakansebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf b.

4. Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2huruf a, belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindakpidana yang tidak diancam pidana mati atau tidak diancam pidanapenjara seumur hidup, maka terhadap Anak Nakal tersebut dijatuhkansalah satu tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.

Pasal 27:

Pidana kurungan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal sebagaimanadimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama ½ (satu per dua) darimaksimum ancaman pidana kurungan bagi orang dewasa.

Pasal 28:

1. Pidana denda yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal paling banyak½ (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana denda bagi orangdewasa.

Page 91: Skripsi zuhri full

80

2. Apabila pidana denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ternyatatidak dapat dibayar maka diganti dengan wajib latihan kerja.

3. Wajib latihan kerja sebagai pengganti denda dilakukan paling lama 90(sembila puluh) hari kerja dan lama latihan kerja tidak lebih dari 4(empat) jam sehari serta tidak dilakukan pada malam hari.

Pasal 29:

1. Pidana bersyarat dapat dijatuhkan oleh Hakim, apabila pidana penjarayang dijatuhkan paling lama 2 (dua) tahun.

2. Dalam putusan pengadilan mengenai pidana bersyarat sebagaimanadimaksud dalam ayat (1) ditentukan syarat umum dan syarat khusus.

3. Syarat umum adalah bahwa Anak Nakal tidak akan melakukan tindakpidana lagi selama menjalani masa pidana bersyarat.

4. Syarat khusus ialah untuk melakukan atau tidak melakukan hal tertentuyang ditetapkan dalam putusan hakim dengan tetap memperhatikankebebasan anak.

5. Masa pidana bersyarat bagi syarat khusus lebih pendek daripada masapidana bersyarat bagi syarat umum.

6. Jangka waktu masa pidana bersyarat sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) paling lama (3) tahun.

7. Selama menjalani masa pidana bersyarat, Jaksa melakukanpengawasan, dan Pembimbing Kemasyarakatan melakukan bimbinganagar Anak Nakal menepati persyaratan yang telah ditentukan.

8. Anak Nakal yang menjalani pidana bersyarat dibimbing oleh BalaiPemasyarakatan dan berstatus sebagai Klien Pemasyarakatan.

9. Selama Anak Nakal berstatus sebagai Klien Pemasyarakatan dapatmengiktui penidikan sekolah.

Pasal 30:

1. Pidana pengawasan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakalsebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling singkat 3(tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun.

2. Apabila terhadap Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1angka 2 huruf a, dijatuhkan pidana pengawasan sebagaimana dimaksuddalam ayat (1), maka anak tersebut ditempatkan di bawah pengawasanJaksa dan bimbingan Pembimbing Kemasyarakatan.

3. Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pelaksanaan pidanapengawasan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 31:

1. Anak Nakal yang oleh Hakim diputus untuk diserahkan kepada Negara,ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak sebagai Anak Negara.

2. Demi kepentingan anak, Kepala Lembaga Pemasyarakatan Anak dapatmengajukan izin kepada Menteri Kehakiman agar Anak Negara

Page 92: Skripsi zuhri full

81

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditempatkan di lembagapendidikan anak yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau swasta.

Pasal 32:

Apabila Hakim memutuskan bahwa Anak Nakal wajib mengikutipendidikan, pembinaan, dan latihan kerja sebagaimana dimaksud dalamPasal 24 ayat (1) huruf c, Hakim dalam keputusannya sekaligusmenentukan lembaga tempat pendidikan, pembinaan, dan latihan kerjatersebut dilaksanakan.24

Terhadap Anak Nakal hanya dapat dijatuhkan pidana atau tindakan

yang ditentukan dalam undang-undang ini, hal tersebut sesuai dengan Pasal

22 UU No. 3 Tahun 1997. Klasifikasi umur anak yang ditetepkan oleh

undang-undang tersebut yaitu anak yang masih berusia 8-12 tahun hanya

dikenai tindakan, anak yang berusia 12-18 tahun dijatuhkan pidana

didasarkan atas pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial

anak.

Hukum pidana positif memandang bahwa seorang anak ketika

melakukan perbuatan yang melanggar hukum itu dapat dipidanakan jika

perbuatan tersebut mengandung beberapa unusr yakni:

a. Perbuatan yang dilakukan oleh anak-anak

b. Perbuatan itu melanggar aturan atau norma

c. Perbuatan itu merugikan bagi perkembangan si anak tersebut.

Ketiga unsur itu harus dipenuhi untuk dapat diklasifikasikan sebagai

suatu perbuatan pidana yang dilakukan oleh anak.

24 Tim Redaksi Pustaka Yustisia, Perundangan tentang Anak; Undang-Undang RINo. 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak, ibid, hlm. 21-24.

Page 93: Skripsi zuhri full

82

Ancaman pidana yang dapat dijatuhkan terhadap anak nakal yang

telah melakukan tindak pidana sesuai Pasal 26 ayat (1) Undang-undang No. 3

tahun 1997 paling lama setengah dari maksimum ancaman pidana penjara

bagi orang dewasa. Dalam hal tindak pidana yang dilakukan diancam dengan

hukuman mati atau penjara seumur hidup sesuai ketentuan KUHP, maka bagi

anak ancaman pidana itu maksimum 10 (sepuluh) tahun.

Dengan ketentuan Pasal 26 ini, maka ketentuan-ketentuan dalam

KUHP tentang ancaman pidana bagi anak harus dibaca setengah dari

ancaman bagi orang dewasa.25 Bagi anak nakal yang belum mencapai umur

12 (dua belas) tahun dan melakukan tindak pidana yang diancam dengan

hukuman mati atau pidana penjara seumur hidup, sesuai Pasal 24 ayat (1)

huruf a Undang-undang No. 3 tahun 1997, maka terhadap anak tersebut tidak

dapat dijatuhkan hukuman pidana, melainkan menyerahkan anak tersebut

kepada negara untuk pendidikan, pembinaan dan latihan kerja.

Pidana kurungan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal sesuai

Pasal 2 angka 2 huruf a Undang-undang No. 3 tahun 1997, paling lama

(maksimum) setengah dari maksimum ancaman kurungan bagi orang dewasa.

Demikian juga pidana denda yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal (Pasal

28 UU No. 3 tahun 1997) adalah setengah dari maksimum ancaman pidana

denda bagi orang dewasa.26

Namun seperti halnya batas usia anak yang menjadi perdebatan.

Penjatuhan sanksi penjara atau penahanan terhadap anak menjadi polemik

25 Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003,hlm. 24.

26 Darwan Prinst, ibid.

Page 94: Skripsi zuhri full

83

tersendiri juga. Karena itulah, para pemohon atas pengujian materi (judicial

review) terhadap Undang-undang No 3 tahun 1997 juga menggugat

penjatuhan sanksi penjara bagi seorang anak. Para pemohon menganggap

bahwa masih banyak alternatif hukuman lain yang lebih manusiawi dan

mendidik bagi anak selain pidana penjara. Sebab, anak yang sejatinya masih

memiliki masa depan yang lebih panjang, akan tersita dan terkungkung dalam

dunia yang tidak relevan dengan kondisi anak-anak lainnya karena harus

mendiami penjara tersebut.

Begitu kompleksnya unsur-unsur dalam diri anak yang berhadapan

dengan hukum. Penegakan hukum yang tidak bijaksana yang bertentangan

dengan aspirasi masyarakat, biasanya disebabkna oleh kualitas sumber daya

manusia yang kurang baik atau penerapan legal spirit yang ketinggalan

zaman. Sehubungan dengan hal itu, perlu peningkatan profesionalisme aparat

penegak hukum dan aparat pemerintah agar selalu concerned terhadap

perkembangan masyarakat, sehingga dapat menjaga keseimbangan antara

kepastian dan keadilan hukum yang ada agar tidak terjadi kekacauan dalam

penanganan masalah anak yang berhadapa dengan hukum.27

27 Dr. Maidin Gultom, SH., M.Hum., Perlindungan Hukum Terhadap Anak DalamSistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, hlm. 154.

Page 95: Skripsi zuhri full

84

BAB IV

ANALISIS TERHADAP BATAS USIA DAN PERTANGGUNGJAWABAN

PIDANA ANAK DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1997

TENTANG PENGADILAN ANAK

A. Analisis Tentang Batasan Umur Pidana Anak

Dalam hal pemidanaan anak ada batasan usia minimal dan maksimal

anak tersebut dapat dijatuhi sanksi pidana. Batas usia anak adalah

pengelompokan usia maksimal sebagai wujud kemampuan anak dalam status

hukum, sehingga anak tersebut beralih status menjadi dewasa atau menjadi

seorang subjek hukum yang dapat bertanggungjawab secara mandiri terhadap

perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakan hukum yang dilakukan oleh anak

itu.1

Menurut hukum pidana Islam, batasan terhadap usia minimum

seorang anak tidak dijelaskan secara pasti, disamping banyaknya perbedaan

pendapat di antara para ulama. Adanya perbedaan pendapat dikalangan para

ulama fiqh mengenai batas usia minimum bagi anak yang dikenakan

pemidanaan, dapat dijadikan sebuah rujukan dalam menetapkan sanksi

pemidanaan terhadap anak.

Penetapan umur dianggap penting, karena baik dalam hukum nasional

maupun hukum pidana Islam, umur dijadikan sebagai acuan bagi hakim

dalam menentukan jenis sanksi yang akan dibebankan pada seorang anak

1 Bambang Mulyono, Pendekatan Analisis Kenakalan Remaja danPenanggulangannya, Yogyakarta: Kanisius, 1984, hlm. 26.

Page 96: Skripsi zuhri full

85

tersebut. Seperti halnya dalam hukum pidana Islam, ketentuan adanya pidana

dibebankan terhadap orang yang telah dibebani kewajiban hukum (mukallaf),

dan bukan orang yang belum mengerti dan paham akan hukum (anak-anak).2

Ketentuan tersebut dijelaskan dalam sebuah hadits Nabi saw yang berbunyi:

تى ی ح النائم ن ثة ع ثال ن ع القلم فع ر قال توه أو ع الم ن ع تیقظ و س

ب تى یش یر ح غ الص ن ع و قل تى یع نون ح ج المArtinya: "Diangkat pena dari tiga hal: orang yang tidur hingga

bangun, orang yang tertimpa ayan -atau beliau bersabda: -orang yang gila sampai sadar dan anak kecil sampai baligh”.3

Para ulama fiqh bersepakat bahwa seorang anak laki-laki bila telah

mimpi (ihtilam) maka anak tersebut dipandang telah baligh, begitu juga bagi

anak perempuan yang telah haid, maka dia pun juga telah dianggap baligh.

Kriteria baligh merupakan batasan bagi seseorang dianggap dewasa dan

mampu berpikir secara sempurna. Sehingga dengan acuan baligh tersebut,

bagi Islam, jelas menjadi ambang batas untuk menerima kewajiban bagi

seorang muslim untuk memikul sendiri tanggungjawabnya dan menjadi

penanda bagi seseorang lepas dari predikat seseorang dinamakan anak. Hal

ini sesuai dengan ayat al-Qur’an:

2 Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakarta: Lembaga Studi Islamdan Kemasyarakatan, 1992, hlm. 86.

3 Ahmad Ibnu Hambal, Musnad Imam Ahmad bin Hambal, Beirut: Dar al-Kitab al-‘Ilmiyah, Hadist No. 968, hlm. 243.

Page 97: Skripsi zuhri full

86

Artinya: “Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur balig, Makahendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yangsebelum mereka meminta izin. Demikianlah Allahmenjelaskan ayat-ayat-Nya. dan Allah Maha mengetahuilagi Maha Bijaksana”.(Q.S. an-Nuur:59)4

Namun disatu sisi, terjadi ikhtilaf (perbedaan) pandangan diantara

para ulama dalam penentuan umur dimana seorang anak dianggap baligh

tersebut. Dalam tulisan Ihsan Badroni dikemukakan ada beberapa pendapat

tentang penentuan batas umur tersebut, yaitu:

1. Mazhab Hanafi

Mereka berpendapat bahwasannya seorang laki-laki tidak dipandang

baligh sebelum ia mencapai usia 18 tahun. Adapun hujjahnya adalah:

Artinya: “Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali

dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai iadewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangandengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepadasesorang melainkan sekedar kesanggupannya. Danapabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil,

4 Departemen Agama RI , Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: 1983, hlm. 554.

Page 98: Skripsi zuhri full

87

kendatipun ia adalah kerabat(mu) dan penuhilah janjiAllah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamuagar kamu ingat. (Q.S. Al-An’am: 152)5

Kedewasaan anak laki-laki sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu

Abbas adalah dari usia 18 tahun. Adapun anak perempuan perkembangan dan

kesadarannya adalah lebih cepat. Oleh sebab itu usia awal kedewasaannya

dikurangi satu tahun sehingga anak perempuan menjadi dewasa pada usia 17

tahun.6

2. Mazhab Syafi’i dan Hambali

Keduanya berpendapat bahwa bila seorang anak laki-laki dan

perempuan apabila telah sempurna berusia 15 tahun, kecuali bagi laki-laki

yang sudah ihtilam dan perempuan yang sudah haid sebelum usia 15 tahun

maka keduanya dinyatakan telah baligh. Mereka juga berhujjah dengan apa

yang diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa dirinya diajukan kepada Nabi saw

pada hari perang Uhud sedang ia ketika itu berusia 14 tahun, kemudian Nabi

tidak memperkenankannya ikut dalam peperangan. Setelah setahun dirinya

mengajukan kembali pada hari perang Khandak yang ketika itu ia telah

berumur 15 tahun dan diperkenankan oleh Nabi untuk perang Khandak.7

Adapun hadits yang menyatakan batasan umur tersebut adalah:

أخ قال بید هللا ع ن یى ع ثنا یح د ح نبل ح د بن م ثنا أح د ني نافع ح بر

ر م ابن ع ن ع ھو د و أح م ھ یو ض ر لم ع س لیھ و ع لى هللا ص النبي أن

5 Departemen Agama RI , Al-Qur’an dan Terjemahnya, ibid, hlm. 214.6 Ihsan Badroni, Hukum Pidana Bagi Anak Kecil,

http://ihsan26theblues.wordpress.com, diakses pada tanggal 31 oktober 2011, pukul 23.50WIB.

7 Muhammad Ali al-Sabuni, Rawai’ul Bayan Tafsir fi al-Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, diterjemahkan oleh Saleh Mahfud, Tafsri Ayat-ayat Hukum dalam Al-Qur’an,Bandung: Al-Ma’arif, 1994, hlm. 369.

Page 99: Skripsi zuhri full

88

ابن ھو ق و ند م الخ ھ یو ض ر ع ه و ز یج نة فلم ة س ر ش بع ع أر ابن

ه از نة فأج ة س ر ش ع س م ثم خ ثنا ع د ح ثنا ابن د یبة ح أبي ش بن ان

یث د ا الح بھذ ثت د نافع ح قال قال ر م ع بن بید هللا ع ن ع ریس إد

بیر الك یر و غ الص د بین ا الح ھذ إن زیز فقال بد الع ع بن ر م ع

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Hanbalberkata, telah menceritakan kepada kami Yahya dariUbaidullah ia berkata; telah mengabarkan kepadaku Nafi'dari Ibnu Umar bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallampernah memeriksa dirinya pada waktu perang uhud,waktu itu umurnya baru empat belas tahun. SehinggaNabi tidak mengizinkan untuk ikut berperang. Dan padaperang Khandaq beliau juga memeriksanya, waktu ituumurnya lima belas tahun, maka beliau pun memberinyaizin." Telah menceritakan kepada kami Utsman bin AbuSyaibah berkata, telah menceritakan kepada kami IbnuIdris dari Ubaidullah bin Umar ia berkata, "Nafi' berkata,"Aku telah menceritakan hadits ini kepada Umar binAbdul Aziz, lalu ia berkata, "(maka) hadits ini adalahbatas untuk membedakan anak kecil dengan orangdewasa”.8

3. Mazhab Maliki

Pendapat yang terkenal dalam mazhab Maliki adalah 18 tahun

sebagaimana yang dikemukakan oleh Abu Hanifah, bahwa orang tersebut

harus mempunyai ahliyah (kecakapan) untuk melaksanakan ketentuan hukum

kepadanya. Dan usia 18 tahun merupakan pedoman dimana anak dianggap

mampu dan memiliki kecakapan tersebut.9

Sedangkan dalam literatur bahasa yang lain disebutkan juga anak

dengan istilah mumayyiz yaitu anak yang telah mengerti maksud dari kata-

8 Abu Daud, Sunan Abu Daud, Juz 4, Beirut: Dar al-Kitab al- ‘Ilmiyah, Hadits No.3827, hlm. 246.

9 Ihsan Badroni, op. cit.

Page 100: Skripsi zuhri full

89

kata yang diucapkannya. Biasanya usia anak itu genap 7 tahun sehingga bila

kurang dari 7 tahun maka belum dikatakan mumayyiz. Hukum anak

mumayyiz itu tetap berlaku sampai anak itu dewasa. Seseorang yang dianggap

telah cukup umur itu muncul tanda-tanda laki-laki dan perempuan yang

biasanya pencapaian umur bagi laki-laki berusia 12 tahun sedangkan

perempuan 9 tahun.10

Kemudian kalau sudah dalam masa cukup umur tersebut bagi laki-laki

12 tahun dan 9 tahun bagi perempuan, namun belum tampak tanda-tanda

bahwa ia sudah dewasa dari segi lahiriah maka keduanya ditunggu sampai

berusia 15 tahun. Ketika ada yang menentukan usia dewasa bagi laki-laki 18

tahun dan bagi perempuan 17 tahun, para ulama tersebut memiliki alasan

sesuai pendapat Ibnu Abbas bahwa usia 18 tahun dianggap deawasa karena

telah matang dari segi kematangan fisik dan psikis seorang anak.

Apa yang telah ditetapkan oleh para ulama fiqh tersebut hanyalah

standar relatif dalam penetapan berapa umur seorang anak yang bisa

dianggap dewasa. Bahwasannya seorang anak dilahirkan dalam keadaan tidak

memiliki kemampuan sehingga si anak mencapai usai mumayyiz (ulama

bersepakat usia mumayyiz anak adalah 7 tahun), hanya saja akal dan bakatnya

masih tetap muda, belum kuat untuk menilai perbuatan-perbuatan yang

dilakukannya, walaupun melakukannya dengan sengaja. Kemampuan menilai

itu baru diperoleh seseorang setelah ia dewasa, yaitu setelah akalnya cukup

memiliki kebijaksanaan dan pandangan yang jauh ke depan.

10 Alie Yafie, dkk., Ensiklopedia Hukum Pidana Islam, terjemahan dari “At-Tasyri’al-Jina’ i al-Islamiy Muqaranan bil Qanunil Wad’iy” karya Abdul Qadir Audah, Jilid 4,Bogor: PT Kharisma Ilmu, hlm. 256.

Page 101: Skripsi zuhri full

90

Dalam menetapkan batas usia dewasa, perundangan-undangan yang

ada saat ini juga berbeda-beda. Jadi tidak hanya dalam Islam, dalam hukum

nasional pun terjadi perbedaan mengenai batasan umur seorang anak

dianggap dewasa. Dalam hukum Islam dan hukum positif sendiri terdapat

perbedaan dalam penentuan berapakah usia anak yang dapat dimintakan

pertanggungjawaban ketika si anak melakukan jarimah. Ketentuan-ketentuan

terhadap usia minimum bagi anak dalam hukum positif memiliki perbedaan-

perbedaan antara instrumen hukum yang satu dengan instrumen hukum yang

lain. Hal ini yang kemudian terbawa dalam masalah penanganan pemidanaan

terhadap anak yang acapkali disalahgunakan oleh aparat penegak hukum,

sehingga seringkali aparat penegak hukum justru melakukan kekerasan

terhadap anak, baik dalam proses penangkapan, pemeriksaan dan penjatuhan

putusannya.11

Undang-undang No. 3 tahun 1997 menjelaskan bahwa hukuman

terhadap anak terbagi menjadi tiga kriteria, yakni: usia anak dari 0 (nol)

sampai 8 (delapan) tahun adalah tidak dikenakan hukuman atau hanya

dikembalikan kepada orang tuanya. Usia 8 sampai 12 tahun anak hanya

dikenakan hukuman berupa tindakan, yakni: nasehat, teguran ataupun

dimasukkan dalam Lembaga atau Dinas Sosial. Sedangkan usia 12 sampai 18

tahun anak baru dapat dikenakan hukuman berupa fisik atau pemenjaraan,

11Hadi Supeno, Refleksi Akhir Tahun 2009, Aparat Penegak Hukum Masih MenjadiPelaku Kekerasan Terhadap Anak, http://kpai.go.id, diakses pada tanggal 12 Januari 2012pukul 11. 20 WIB.

Page 102: Skripsi zuhri full

91

akan tetapi hanya sebagai upaya terakhir.12 Hal ini berarti penerapan dan

penjatuhan pemenjaraan terhadap anak apabila terbukti melakukan atau

melanggar hukum dapat dilakukan.

Sedangkan di dalam Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak tidak dijelaskan secara spesifik batas minimum usia anak

apabila terkait masalah pidana dan diterapkannya hukuman. Di dalam

undang-undang perlindungan anak tersebut hanya menyebutkan bahwa yang

dinamakan anak adalah orang yang belum berusia 18 tahun. Hal ini berarti

penerapan dan penjatuhan hukuman pidana terhadap anak apabila terbukti

melakukan atau melanggar hukum di dalam undang-undang tersebut adalah

selama anak belum melebihi usia 18 tahun, maka anak tersebut tidak dapat

dikenakan sanksi pidana.

KUH Pidana, memandang anak yang sudah berusia 8 tahun bisa

dimintai pertanggungjawaban pidana. Namun, ketentuan ini sudah tidak

berlaku lagi seiring diundangkannya UU No 3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak. Batasan lain juga ditemukan dalam UU No. 1 tahun 1974

tentang Perkawinan menetapkan usia nikah 16 tahun untuk perempuan dan 19

tahun untuk laki-laki. Bahkan di bawah usia yang ditentukan pun, anak bisa

dinikahkan dengan izin dari pengadilan. Dan yang lebih mudah sekali untuk

dijadikan pedoman adalah umur 17 tahun, sebab sebagaimana yang terjadi di

seluruh wilayah Indonesia, umur 17 tahun adalah umur bagi seseorang untuk

wajib membuat Kartu Tanda Pengenal (KTP).

12 Redaksi Sinar Grafika, Pasal 4, Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentangPeradilan Anak, Jakarta: Sinar Grafika, 2000, hlm. 17.

Page 103: Skripsi zuhri full

92

Disinilah titik kritik kenapa batas usia anak menjadi problematika

yang banyak diwacanakan berbagai kalangan. Karena perbedaan batas usia

yang terdapat dalam setiap rumusan peraturan dan undang-undang itulah

yang menyebabkan setiap proses dan pelaksanaan peradilan terhadap anak

seringkali terjadi disharmoni penanganan dan putusan. Selain itu, ada

ambiguitas dalam pemaknaan Pasal 4 UU No 3 Tahun 1997 terkait masalah

umur tersebut yang menambah rancu peraturan tersebut. Oleh karena itu,

kebanyakan kasus yang terjadi di lapangan menunjukkan bahwa ketentuan

adanya batas minimum usia terhadap anak yang dapat dipidanakan tidak

terlalu diperhatikan. Sehingga setiap adanya kasus pidana yang menimpa

anak selalu berakhir pada pemidanaan walaupun pelakunya masih di bawah

umur.

Dapat dipastikan bahwa terdakwa dalam sidang anak adalah anak

nakal. Pengertian anak nakal di sini ada dua kelompok, yakni anak yang

melakukan tindak pidana dan anak yang melakukan perbuatan yang terlarang

bagi anak. Hal tersebut telah jelas diterangkan dalam Pasal 1 ayat 1 UU No. 3

tahun 1997. Di dalam proses persidangan anak, yang menjadi salah satu tolok

ukur hakim menentukan pertanggungjawaban pidana bagi anak nakal adalah

masalah umur. Dalam hal itu, masalah umur merupakan masalah yang urgen

bagi terdakwa untuk dapat diajukan dalam sidang anak. Umur dapat berupa

umur minimum maupun umur maksimum.13 Untuk itulah poin penting dalam

rumusan masalah yang ada terletak pada penafsiran Pasal 4 ayat (1) Undang-

13 Bambang Waluyo, S.H., Pidana Dan Pemidanaan, Jakarta: Sinar Grafika, Cet.Ke- II, 2004, hlm. 106.

Page 104: Skripsi zuhri full

93

undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dimana ketentuan umur

yang dimaksudkan menjadi tolak ukur dalam menangani dan melindungi

seorang anak yang berhadapan dengan hukum.

Dalam konteks KHA, penetapan batas umur ini menjadi begitu

penting terutama jika dikaitkan dengan perlindungan anak yang

di“promosikan” oleh banyak negara anggota PBB. Misalnya saja sehubungan

dengan penetapan batas umur anak untuk bisa diajukan ke sidang anak dan

dimintakan pertanggungjawab pidananya. Bagi anak yang berumur 9 tahun

yang melakukan pencurian misalnya, menjadi begitu penting artinya apakah

batas umur anak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana ditetapkan 8

tahun atau 18 tahun.

Kalau batas umur ditetapkan 8 tahun, maka anak tersebut akan

dianggap bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dan karenanya pula,

jika terbukti bersalah, bisa dikenai hukuman pidana, baik itu penahanan atau

penjara, atau bisa juga denda atau kombinasi diantaranya. Tapi akan lain

ceritanya apabila legislasi nasional menetapkan batas umur anak itu 18 tahun.

Maka bagaimanapun juga, si anak akan dibebaskan dari pertanggujawaban

pidana.

Undang-undang No. 3 Tahun 1997 Pasal 1 butir 1 tentang kriteria

anak sudah menjelaskan bahwa, yang dimaksud dengan anak dalam perkara

Anak Nakal adalah orang yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi

belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.

Kemudian dalam undang-undang tersebut juga menjelaskan batasan dan

Page 105: Skripsi zuhri full

94

klasifikasi umur anak dalam hal pemeriksaan bahwa klasifiksai umur anak,

yaitu anak yang masih berusia 8-12 tahun hanya dikenai tindakan, anak yang

berusia 12-18 tahun dijatuhkan pidana didasarkan atas pertumbuhan dan

perkembangan fisik, mental dan sosial si anak.

Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa mengenai sanksi terhadap

anak juga ditentukan berdasarkan perbedaan umur. Ketika anak yang masih

berumur 8 hingga 12 tahun, maka anak tersebut hanya dikenakan tindakan

semata. Semisal dikembalikan kepada orang tuanya, ditempatkan pada

lembaga sosial, atau diserahkan pada negara. Adapun terhadap anak nakal

yang telah berumur di atas 12 hingga 18 tahun, maka bagi anak tersebut dapat

dijatuhi sanksi pidana.

Jika terjadi penyimpangan dalam tingkah laku anak, Islam dalam

keadaaan tertentu masih memberikan batas kelonggaran. Kelonggaran di sini

dapat dipahami karena dalam Islam ada ketentuan yang menjadi dasar atas

perilaku anak kecil. Pertanggungjawaban pidana dalam Islam didasarkan atas

dua unsur utama, yakni kekuatan berfikir (idrak) dan pilihan (ikhtiar). Karena

itu, hukum bagi anak kecil berbeda seiring dengan perbedaan fase yang

dilalui oleh manusia semenjak lahirnya sampai pada waktu sempurnanya

kekuatan berfikir dan menentukan pilihan.

Atas dasar adanya tahapan dalam membentuk idrak ini, maka

dibuatlah kaidah tanggungjawab pidana. Inilah yang membedakan hukum

Islam dan hukum konvensional dalam menentukan batas

pertanggungjawaban pidana anak. Kalau melihat hukum konvensional kuno

Page 106: Skripsi zuhri full

95

atau klasik, hukum Romawi dipandang sebagai hukum yang paling maju di

antara hukum konvensional pada masa turunnya hukum Islam. Akan tetapi,

hukum tersebut hanya membedakan antara tanggungjawab anak kecil dan

orang dewasa dalam batas-batas tertentu, yakni antara anak berusia 7 (tujuh)

tahun ke atas.14

Hukum konvensional klasik ini menjadikan anak kecil yang berusia

lebih dari tujuh tahun memiliki tanggungjawab pidana, sedangkan anak yang

berusia kurang dari tujuh tahun, ia tidak memiliki tanggungjawab pidana

kecuali ketika melakukan tindak pidana, ia berniat membahayakan orang lain.

Dalam keadaan seperti ini, si anak kecil bertanggungjawab secara pidana atas

perbuatannya tersebut. Teori seperti itu sangat jauh berbeda dengan apa yang

ada dalam hukum Islam.15

Banyak yang menafsirkan bahwa penetapan pertanggungjawaban

pidana anak dikaitkan dengan kedewasaan. Sedangkan kedewasaan di sini

berkaitan erat dengan usia seseorang, keduanya tidak dapat dipisahkan

sendiri-sendiri. Kedewasaan dianggap sebagai batas dimana seseorang

sanggup membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Untuk itu, para

ulama dahulu memberikan batas dewasa dengan istilah baligh. Akan tetapi,

berapa usia baligh tersebut dalam Islam bisa dijelaskan lebih luas. Hal

tersebut dikarenakan tidak disebutkan secara terperinci dengan tidak adanya

nash al-Qur’an yang membatasi batasan umur bagi anak-anak yang sudah

baligh.

14 Alie Yafie, dkk., op. cit, hlm. 255.15 Ibid.

Page 107: Skripsi zuhri full

96

Di dalam KHI di Indonesia, dalam Bab XIV Pasal 98 kaitannya

dengan Pemeliharaan Anak, disebutkan bahwa anak adalah seseorang yang

belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, bunyi lengkap dari pasal

tersebut sebagai berikut:

“Batasan usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasaadalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisikmaupun mental atau belum pernah melangsungkanpernikahan.”16

Nah, jika KHI tersebut dianggap sebagai salah satu penafsiran yang

sah atas hukum Islam, maka batasan yang diberikan oleh KHI tersebut dapat

disebut sebagai aturan Islam yang patut dijadikan pegangan. Meski pada

dasarnya dalam Islam para fuqaha telah membatasi bahwa seorang dianggap

dewasa adalah ketika si anak tersebut berusia 15 (lima belas) tahun. Apabila

seorang anak telah menginjak usia tersebut, ia dianggap telah dewasa secara

hukum meskipun dia belum dewasa dalam arti yang sebenarnya.17 Kalau

seandainya seorang anak sudah mengalami masa ihtilam tersebut, maka anak

sudah dianggap dewasa dan sudah bisa dikenai hukuman bila melakukan

suatu jarimah meski belum mencapai usia 15 tahun.

Dalam hal menentukan batas-batas kemampuan berpikir

(kedewasaan) seseorang, hukum pidana Islam melalui para fuqaha mengacu

pada usia agar bisa berlaku bagi semua orang, dengan mendasarkan kepada

keadaan yang banyak terjadi pada anak-anak kecil. Pembatasan ini diperlukan

agar nantinya tidak terjadi kekacauan hukum dan agar memudahkan bagi

16 Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: DirektoratPembinaan Peradilan Agama Islam Departemen Agama, 2001, hlm. 50.

17 Alie Yafie, dkk., loc. cit, hlm. 257.

Page 108: Skripsi zuhri full

97

seorang hakim untuk meneliti apakah kemampuan berfikir sudah ada pada

diri seorang anak atau belum sebab usia anak dapat diketahui dengan mudah.

Sehingga dengan diketahuinya usia seorang anak, dengan mudah pula

seorang hakim akan memberikan sanksi bagi anak tersebut.

Pengelompokan anak berdasarkan pertimbangan dan batas umur

sangatlah penting, mengingat pada tiap tingkatan usia anak berbeda pula

tingkat kematangan anak dalam berfikir sehingga akan berbeda pula cara

memperlakukan anak tersebut. Batasan dari segi usia anak sangat

berpengaruh pada kepentingan hukum anak yang bersangkutan.

Pertanggungjawaban pidana anak diukur dari tingkat kesesuain antara

kematangan moral dan kejiwaan anak dengan kenakalan yang dilakukan

anak, keadaan dan kondisi fisik, mental serta sosial anak menjadi perhatian.18

Adanya batasan usia dimaksudkan agar ada perlindungan dan pembinaan

bagi anak demi menjamin masa depan anak tersebut.

Konvensi Hak Anak yang dikeluarkan oleh PBB, menjadi kemajuan

terbesar dalam memahami anak dalam berbagai aspek. Hukum konvensional

menjadi lebih dipahami sebagai bagian hukum yang telah mengangkat hak-

hak anak dari keterpurukan realitas kehidupan yang begitu menyengsarakan

bagi anak-anak. Meski penegasan tentang ungkapan indah yang

memposisikan anak sebagai sesuatu yang bernilai, penting, penerus masa

depan bangsa dan sejumlah simbolik lainnya belum tercapai. Pada tataran

18 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem PeradilanPidana Anak di Indonesia, Bandung: PT. Refika Aditama, 2008, hlm. 33.

Page 109: Skripsi zuhri full

98

hukum, hak-hak yang diberikan hukum kepada anak belum sepenuhnya bisa

ditegakkan.19

Untuk itulah, beberapa poin yang menjadi masalah dalam Undang-

undang No. 3 tahun 1997, diantaranya Pasal 1 ayat (2) mengenenai ketentuan

yang mendefinisikan Anak Nakal, Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1)

mengenai umur anak, Pasal 22 dan Pasal 23 ayat (2) huruf a yang berkaitan

dengan jenis pidana penjara bagi anak yang melakukan tindak pidana serta

Pasal 31 ayat (1) yang mengatur tentang Lembaga Pemasyarakat Anak, oleh

KPAI dimintakan uji materi (judicial review) kepada Mahkamah Konstitusi

untuk dikaji ulang serta memohon untuk menghapuskan beberapa frasa dalam

ketentuan pasal-pasal tersebut.20

Dari beberapa pasal yang diajukan tersebut, MK hanya mengabulkan

permohonan untuk para Pemohon sebagian. Putusan Mahkamah Konstitusi

terhadap pengujian UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang

termaktub dalam Putusan Nomor 1/PUU-VIII/2010 Tanggal 24 Februari

2011 adalah:

i. Menyatakan frasa, “.... 8 (delapan) tahun…,” dalam Pasal 1angka 1, Pasal 4 ayat (1), dan Pasal 5 ayat (1) Undang-UndangNomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (LembaranNegara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 3, TambahanLembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3668), besertapenjelasan Undang-Undang tersebut khusunya terkait denganfrasa “… 8 (delapan) tahun…” adalah bertentangan denganUndang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1946

19 Muhammad Joni, S.H., dan Zulchaina Z. Tanamas, S.H., Aspek HukumPerlindungan Anak Dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, Bandung: PT. Citra Aditya Bajti,1999, hlm.1.

20 http://hukumonline.com, “Mahkamah Konstitusi Diminta Hapuskan KetentuanKriminalisasi Anak”, diakses pada tanggal 13 Januari 2012 pukul 11.45 WIB.

Page 110: Skripsi zuhri full

99

secara bersyarat (conditionally unconstitutional), artinyainkonstitusional, kecuali dimaknai “…. 12 (dua belas) tahun…”;

ii. Menyatakan frasa, “… 8 (delapan) tahun…,” dalam Pasal 1angka 1, Pasal 4 ayat (1), dan Pasal 5 ayat (1) Undang-UndangNomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (LembaranNegara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 3, TambahanLembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3668), besertapenjelasan Undang-Undang tersebut khususnya terkait frasa “…8 (delapan) tahun…” tidak mempunyai kekuatan hukummengikat secara bersyarat (conditionally unconstitutional),artinya inkonstitutional, kecuali dimaknai “… 12 (dua belas)tahun…”;

iii.Menolak permohonan para Pemohon untuk selain danselebihnya.21

Salah satu poin penting dari putusan MK tersebut adalah berkaitan

dengan usia anak yang dapat diajukan kepersidangan dan dimintakan

pertanggungjawabannya. Atas dasar putusan tersebut, pasal yang berkaitan

dengan usia anak yang memiliki penafsiran ganda menjadi jelas. Bahwa usia

8 (delapan) tahun dihilangkan dan usia 12 (dua belas) tahun menjadi batas

bawah usia anak yang bisa dimintai pertanggungjawaban hukum. “Sebab usia

8 (delapan) tahun dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 4 ayat 1 dan Pasal 5 ayat 1

UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak bertentangan dengan UUD

1945,” kata ketua majelis hakim konstitusi Mahfud MD.22

Adanya putusan dari Mahkamah Konstitusi tersebut menjadi

momentum kemajuan bagi masa depan anak yang menjadi lebih jelas. Anak

tidak akan lagi terkatung-katung dalam proses penanganan hukumnya karena

batas usia yang tidak harmonis. Meski pada dasarnya usia 12 tahun tersebut

21 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Nomor 1/PUU-VIII/2010,Perihal Pengujian Undang-Undang nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak TerhadapUndang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

22 Silvi Wahyuni, MK: Usia Anak Dapat Dipidana Minimal 12 Tahun,http://Silviwahyuni’s.WordPress.com, diakses pada tanggal 12 Januari 2012 pukul 12.05WIB.

Page 111: Skripsi zuhri full

100

tidak menjamin tingkat kedewasaan seorang anak. Namun seperti dalam

hukum pidana Islam, usia menjadi sesuatu yang begitu penting bagi seorang

hakim dalam menentukan proses sidang bagi seorang anak, apakah si anak

bisa diproses ataukah tidak.

B. Analisis Tentang Sanksi Bagi Anak

Hukum adalah sesuatu yang berkenaan dengan kehidupan manusia. Ia

lahir dalam pergaulan dan perkembangan ditengah masyarakat serta berperan

di dalam hubungan antara individu dan kelompok, norma yang bernama

hukum ini memiliki ciri khas yang berbeda dengan norma sosial lainnya,

yaitu hukum memiliki daya paksa yang harus dipatuhi dan ditaati. Daya

paksa itulah yang dikenal dengan sanski.23

Sanksi atau hukuman terhadap anak yang melakukan tindak pidana,

memang sudah seharusnya dibedakan dengan sanksi tindak pidana yang

dilakukan terhadap orang dewasa. Hal ini mengingat kondisi anak yang jauh

lebih rentan (masih labil) dibandingkan dengan kondisi orang dewasa. Dalam

hukum pidana Islam disebutkan bahwa, ketentuan adanya pidana ditunjukkan

terhadap orang yang telah dibebani kewajiban hukum (mukallaf) dan bukan

orang yang belum mengerti dan paham akan hukum (anak-anak).24

Hukuman had, seperti potong tangan bagi pencuri, hukuman mati

bagi orang yang membunuh dalam hukum pidana Islam tidak dikenakan

kepada seorang anak karena kejahatan yang dilakukannya. Ini dikarenakan

23 Soedjono Dirdjosisworo, Hukum Narkotika Indonesia, Bandung: PT. Citra AdityaBakti, 1990, hlm. 2.

24 Dede Rosyada, op. cit.

Page 112: Skripsi zuhri full

101

tidak ada beban tanggung jawab hukum atas seorang anak pada usia

berapapun sampai dia mencapai usia baligh (dewasa). Qadhi hanya berhak

untuk menegur kesalahannya atau menetapkan beberapa pembatasan baginya

yang akan membantu memperbaikinya dari membuat kesalahan di masa yang

akan datang.25

Pemidanaan yang dikenakan terhadap anak yang melakukan tindak

pidana sudah dijelaskan secara mendetail dalam hukum pidana Islam.

Hukuman terhadap anak dalam hukum pidana Islam merupakan bagian dari

peringatan dan proses pendisiplinan terhadap anak tersebut. Hal ini

diterangkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al-Hakim dan Abu

Daud, yakni:

وا ا بلغ لیھا إذ ع ربوھم اض ا و بع ا بلغوا س ة إذ ال بالص م بیانك وا ص ر م

ع اج في المض قوا بینھم فر ا و ر ش د بن ع م ح الطفاوي م قال أبي و قال

طأ فیھ أخ ة و ز م أبو ح ار و دیث س ا الح ن في ھذ م ح بد الر ع

Artinya: "Suruhlah anak-anak kecil kalian untuk melaksanakanshalat pada sa'at mereka berumur tujuh tahun, danpukullah mereka (karena meninggalkannya) pada saatberumur sepuluh tahun, serta pisahkanlah tempat tidurmereka."26

Karena itu, tujuan diadakannya hukuman bagi anak dalam hukum

pidana Islam adalah hukuman untuk mendidik murni (ta’dibiyyah khalisah),

25 Abdurrahman I. Doi, Tindak Pidana dalam Syari’at Islam, diterjemahkan oleh H.Wadi Masturi, S.E. & Drs. H. Basri Iba Asghary, “Shari’ah the Islamic Lam”, Cet. ke-1,Jakarta: Rineka Cipta, 1992, hlm. 16.

26 Abu Tauhid, Beberapa Aspek Pendidikan Islam, Yogyakarta: Sekretariat FakultasTarbiyah IAIN SuKa, 1990, hlm. 96.

Page 113: Skripsi zuhri full

102

jadi bukan hukuman pidana.27 Sedangkan tujuan-tujuan dari pemidanaan dan

penjatuhan sanksi dalam hukum nasional Indonesia adalah untuk pembalasan

(revenge), penghapusan dosa (explation), menjerakan (deferent),

perlindungan terhadap umum (protection of the public) dan memperbaiki

sifat si pelaku (penjahat).

Syari’at Islam memiliki kesamaan dengan hukum positif dalam

menetapkan jarimah atau tindak pidana dan hukumannya, yaitu dari segi

tujuannya. Baik hukum pidana Islam maupun hukum positif keduanya sama-

sama bertujuan untuk menjaga dan memelihara kepentingan dan ketentraman

masyarakat serta menjamin kelangsungan hidupnya. Meskipun demikian

terdapat perbedaan yang jauh antara keduanya, karena sifat dan karaktersitik

keduanya jauh berbeda.28 Karena perbedaan sifat dan karakteristiknya inilah

ada perbedaan pada substansi penjatuhan sanksi terhadap anak.

Selain itu, pemberian sanksi bagi anak tidak dapat begitu saja

dipisahkan dari perbedaan masa dan umur yang ada pada anak itu sendiri.

Sebab, sanksi yang akan diterima oleh sang anak akan berbeda-beda sesuai

dengan masa yang ada pada dirinya. Karena itulah, sanksi yang akan diterima

oleh anak berkaitan erat dengan berapa umur anak tersebut ketika melakukan

jarimah. Sehingga tiap umur yang ada pada anak tersebut, mempunyai

implementasi hukum baginya.

Jelas disebutkan dalam hukum pidana Islam, anak kecil bukan orang

yang pantas menerima hukuman. Hukum pidana Islam tidak menentukan

27 Abu Tauhid, ibid, hlm. 97.28 Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (Fiqh

Jinayah), Jakarta: Sinar Grafika, 2004, hlm. 15.

Page 114: Skripsi zuhri full

103

jenis hukuman untuk mendidik anak yang dapat dijatuhkan kepada anak

kecil. Hukum pidana Islam memberikan hak kepada waliy al-amr (penguasa)

untuk menentukan hukuman yang sesuai menurut pandangannya. Para fuqaha

menerima hukuman pemukulan dan pencelaan sebagai bagian dari hukuman

untuk mendidik.29

Pemberian hak kepada penguasa (hakim) untuk menentukan hukuman

agar ia dapat memilih hukuman yang sesuai bagi anak kecil di setiap tempat

dan waktu. Dalam hal hukuman ini penguasa berhak menjatuhkan sanksi:

a. Memukul si anak,

b. Menegur atau mencelanya,

c. Menyerahkannya kepada waliy al-amr atau orang lain,

d. Menaruhnya pada tempat rehabilitasi anak atau sekolah anak-anak nakal,

e. Menempatkannya di suatu tempat dengan pengawasan khusus.30

Di dalam tatanan keluarga pun, sebagai seorang ayah atau ibu (orang

tua) dari si anak, mereka mempunyai kewajiban yang harus diperhatikan

terhadap kondisi anak. Karena bagaimanapun juga anak adalah sebuah

amanah yang harus dijaga dan diarahkan. Seperti disebutkan dalam sebuah

hadits:

ب ر اك بن ح م س ن ع بید هللا ح أبي ع ناص ن ثابت ع بن لي ثنا ع د ح

ة ر م ابر بن س ج ن ع ن لم قال أل س لیھ و ع لى هللا ص هللا سول ر أن

اع ص ف بنص م دق كل یو یتص أن ن یر لھ م ه خ لد ل و ج الر دب یؤ

29 Alie Yafie, dkk., op. cit, hlm. 259.30 Alie Yafie, dkk., ibid.

Page 115: Skripsi zuhri full

104

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Ali bin Tsabit dariNashih Abu Ubaidullah dari Simak bin Harb dari Jabirbin Samurah, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihiwasallam bersabda: "Seseorang mendidik anaknya lebihbaik dari pada ia bersedekah dengan setengah sha' setiaphari.”31

Untuk itulah, dalam hukum pidana Islam meski batasan usia hanya

menjelaskan yang dapat dipidana adalah saat si anak sudah baligh. Orang tua

punya tanggung jawab besar atas anak dari ia lahir sampai si anak dewasa.

Bisa dikatakan, orang tua juga menanggung atas perbuatan pidana si anak

sebelum ia sampai usia baligh tersebut. Meski pernyataan ini masih menjadi

polemik bagi kalangan fuqaha.

Anak dianggap belum mumayyiz jika usianya belum sampai 7 (tujuh)

tahun meskipun ada anak di bawah usia tujuh tahun lebih cepat untuk dapat

membedakan yang baik dan buruk (tamyiz) daripada anak lain seusianya.

Kenapa diambil kesepakatan secara general tentang usia tersebut, tak lain hal

ini karena hukum didasari atas kebanyakan orang, bukan atas perseorangan.

Hukum pada kebanyakan orang menegaskan bahwa tamyiz belum dianggap

ada pada diri seorang anak sebelum dia berusia tujuh tahun.

Karenanya, apabila anak kecil melakukan tindak pidana apapun

sebelum dia berusia tujuh tahun, dia tidak dihukum, baik pidana maupun

hukuman ta’diby (hukuman untuk mendidik). Anak kecil tidak dijatuhi

hukuman hudud dan qishash apabila dia melakukan tindak pidana hudud dan

qishash. Walaupun begitu, adanya pengampunan tanggung jawab pidana

terhadap anak kecil bukan berarti membebaskannya dari tanggung jawab

31 Imam Ahmad, Musnad Ahmad, Juz 5, Beirut: Dar al-Kitab al- ‘Ilmiyah, HaditsNo. 20065, hlm. 102.

Page 116: Skripsi zuhri full

105

perdata atas semua tindakan yang dilakukannya. Ia bertanggungjawab untuk

mengganti semua kerusakan harta dan jiwa orang lain.32

Tangggung jawab perdata tidak dapat hilang, tidak seperti tanggung

jawab pidana yang dapat hilang, sebab menurut kaidah asal hukum Islam,

darah dan harta benda itu maksum (tidak dihalalkan/mendapat jaminan

keamanan) dan juga udzur-udzur syar’i tidak menafikan kemaksuman. Hal

ini berarti udzur-udzur syar’i tidak menghapuskan dan menggugurkan ganti

rugi meski hukuman pidananya digugurkan.33 Karena itulah, orang tua

berperan besar dalam masalah anak dan juga iktu menanggung terkait

tanggung jawab perdata yang diterima oleh si anak. Ibarat pepatah jawa

“anak polah, wong tuo keno pulut e”. Meski saat ini kita tidak dapat menutup

mata bahwa realitas kehidupan sosial begitu berkembang pesat, sehingga

anak dapat belajar darimanapun, tapi peran orang tualah yang begitu besar

dalam perkembangan anak.

Di dalam hukum positif, peraturan-peraturan yang mengatur masalah

problematika anak yang berkaitan dengan hukum termuat dalam UU No. 3

Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak. Kedua undang-undang tersebut telah membahas dan

memperincikan segala hal yang berkaitan dengan persoalan hukum yang

berkaitan dengan anak. Mulai dari sanksi dan proses peradilan anak, dari

penangkapan, penahanan atau tindak pidana penjara anak harus sesuai dengan

hukum dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.

32 Alie Yafie, op. cit., hlm. 359.33 Ibid.

Page 117: Skripsi zuhri full

106

Undang-undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

menjelaskan tentang beberapa ketentuan mengenai sanksi bagi anak, seperti

disebutkan dalam Pasal 23 berikut ini:

1. Pidana yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah pidanapokok dan pidana tambahan.

2. Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal adalah:a. Pidana penjara;b. Pidana kurungan;c. Pidana denda; ataud. Pidana pengawasan.

3. Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)terhadap Anak Nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan,berupa perampasan barang-barang tertentu dan atau pembayaranganti rugi.

4. Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pembayaran ganti rugidiatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.34

Terhadap anak nakal tidak dapat dijatuhkan pidana mati, maupun

penjara seumur hidup. Akan tetapi penjara bagi anak nakal maksimal 10

tahun. Kemudian adanya hukuman tambahan berupa perampasan dan

pembayaran ganti rugi menjadi bagian dari hukuman yang menyertai

hukuman pokok. Ada jenis pidana baru dalam undang-undang ini yakni

pidana pengawasan yang diatur dalam KUHP sebagai alternatif pengganti

dari hukuman pokok yang berupa penjara., meskipun pada pelaksanaannya

jarang dan hampir tidak pernah dilakukan.35

Kemudian ancaman pidana yang dapat dijatuhkan terhadap anak nakal

yang melakukan tindak pidana sesuai Pasal 26 ayat (1) UU No. 3 tahun 1997

paling lama setengah dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang

34 Redaksi Sinar Grafika, Pasal 23, Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentangPeradilan Anak, Jakarta: Sinar Grafika, 2000, hlm. 21.

35Lilik Mulyadi, Pengadilan Anak di Indonesia (Teori, Praktik danPermasalahannya), Bandung: CV. Mandar Maju, 2005, hlm. 131.

Page 118: Skripsi zuhri full

107

dewasa. Dalam hal tindak pidana yang dilakukan diancam dengan hukuman

mati atau penjara seumur hidup, maka bagi anak ancaman pidana itu

maksimum hanya 10 (sepuluh) tahun. Untuk itulah, dengan adanya ketentuan

Pasal 26 ini, maka ketentuan-ketentuan dalam KUHP tentang ancaman

pidana bagi anak harus dibaca setengah dari ancaman bagi orang dewasa.36

Bagi anak nakal yang belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun dan

melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati atau pidana

penjara seumur hidup, maka sesuai Pasal 24 ayat (1) huruf a UU No. 3 tahun

1997, terhadapnya tidak dapat dijatuhkan hukuman pidana, melainkan

menyerahkan anak tersebut kepada negara untuk pendidikan, pembinaan dan

latihan kerja.37

Pidana kurungan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal sesuai

Pasal 1 ayat (2) huruf a UU No. 3 tahun 1997, paling lama (maksimum)

setengah dari maksimum ancaman kurungan bagi orang dewasa. Demikian

juga pidana denda yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal Pasal 28 UU No.

3 tahun 1997 adalah setengah dari maksimum ancaman pidana denda bagi

orang dewasa.38

Sebenarnya dalam UU No. 3 tahun 1997 juga sudah diterangkan

adanya hukuman yang berupa tindakan, yakni Pasal 24 ayat (1) yakni:

Mengembalikan kepada orang tua, wali atau orang tua asuh. Putusan

demikian dapat dipertimbangkan apabila dilingkungan si anak diyakini dapat

36 Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003,hlm. 24.

37 Lihat Pasal 24, Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak, op.cit., hlm. 25.

38 Darwan Prinst, op. cit., hlm. 22.

Page 119: Skripsi zuhri full

108

membantu si anak agar tidak melakukan perbuatan pidana lagi. Sedangkan

menurut penjelasan autentik Pasal 24 ayat (2) undang-undang tersebut yang

dimaksud dengan “teguran” adalah peringatan dari Hakim baik secara

langsung terhadap anak yang dijatuhi tindakan maupun secara tidak langsung

melalui orang tua, wali atau orang tua asuhnya, agar anak tersebut tidak

mengulangi perbuatan yang menyebabkan dia dijatuhi sanksi tindakan.

Sedangkan yang dimaksud dengan “syarat tambahan” misalnya kewajiban

untuk melapor secara periodik kepada Pembimbing Kemasyarakatan.39

Oleh karena karakteristik seorang anak itulah, maka ketentuan pidana

terhadap anak tentu saja berbeda dengan ketentuan bagi orang dewasa.

Terhadap anak memerlukan pertimbangan-petimbangan yang sangat spesifik

dari berbagai segi sehingga dalam menjatuhkan sanksi harus

mempertimbangkan aspek psikologis, sosiologis dan pedagogis seorang anak.

Demi perkembangan anak, maka seorang anak memerlukan adanya perhatian

khusus dari berbagai aspek, baik dari lingkunga keluarga, sekolah,

masyarakat dan pemerintah.40 Hal ini dikarenakan kondisi anak yang

memang mengharuskan adanya bimbingan dan perlindungan dari pihak-pihak

terkait.

Perlakuan dan perlindungan ini merupakan usaha yang dilakukan

untuk menciptakan kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan

kewajibannya demi perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar dan

39 Lilik Mulyadi, op. cit, hlm. 142.40 Lilik Mulyadi, ibid.

Page 120: Skripsi zuhri full

109

baik fisik, mental maupun sosial si anak.41 Adanya bimbingan serta

perlindungan terhadap anak diharapkan supaya anak dapat terpenuhi

kebutuhannya, baik berupa pendidikan, bersosialisasi dengan lingkungan

yang aman dan kesejahteraan si anak. Jangan sampai anak terjerumus dalam

perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan dan menyengsarakan anak.

Islam memberikan hak sepenuhnya kepada orang tua dalam mendidik

anak. Karena baik buruknya anak adalah cerminan dari pendidikan dan

bimbingan yang diberikan oleh kedua orang tua si anak. Dalam Islam ada

syarat dalam mendidik seorang anak. Seorang ayah memiliki kewajiban

untuk mendidik anaknya, akan tetapi pendidikan wajib di sini diberikan

kepada anak atas kesalahan yang dilakukannya, bukan atas kesalahan yang

dikhawatirkan akan dilakukan si anak.42 Seorang pendidik juga boleh

memukul anak didiknya, dengan batas yang sudah ditentukan, yakni tanpa

melukai dan membuat cacat si anak didik. Jadi memukul dilakukan tidak

dibagian yang rawan, seperti muka, kepala atau perut.

Untuk itulah, jika hukuman bagi si anak dipandang sebagai hukuman

untuk mendidik, bukan hukuman pidana, maka si anak tidak dianggap

residivis ketika ia kembali melakukan tindak pidana yang pernah dilakukan

sebelum baligh pada waktu ia telah baligh. Ketentuan inilah yang

membantunya untuk menjalani jalan yang masih panjang dan lurus serta

memudahkannya untuk melupakan masa lalu.

41 Maidin Gultom, op. cit, hlm. 33.42 Alie Yafie, dkk., op. cit, hlm. 181.

Page 121: Skripsi zuhri full

110

Karena sisi-sisi kehidupan dari anak yang memang mengkhususkan

seperti itulah. Maka dalam hukum pidana Islam apabila seorang anak

melakukan tindak pidana, maka hukuman yang dikenakan padanya hanyalah

hukuman diyat dan ta’zir saja. Dan ketentuan ini secara tidak langsung dianut

dalam konsep hukum nasional modern yang terangkum dalam UU No. 3

tahun 1997 meski pada dasarnya hukuman pokok berupa penjara masih saja

diaplikasikan terhadap kebanyakan kasus yang terjadi pada anak berhadapan

dengan hukum. Padahal hukuman penjara merupakan alternatif hukuman

terakhir yang bisa diberikan pada seorang anak.

Ta’zir diartikan mendidik ( التادیب( karena ta’zir dimaksudkan untuk

mendidik dan memperbaiki si anak agar ia menyadari perbuatan jarimahnya

kemudian meninggalkan dan menghentikannya. Ibrahim Unais dan al-

Mawardi mengartikan ta’zir sebagai berikut:

التعزیرتادیب علئ ذنوب لم تشرع فیھاالحدود“Ta’zir adalah hukuman yang bersifat pendidikan atas perbuatandosa yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara”.43

Dari definisi tersebut, maka dapat dipahami bahwa jarimah ta’zir

terdiri atas perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had

dan tidak pula kifarat. Hukuman ta’zir dapat pula dijatuhkan apabila hal itu

dikehendaki oleh kemashlahatan umum, meskipun perbuatannya bukan

maksiat, melainkan pada awalnya mubah. Sifat yang menjadi alasan (illat)

dikenakannya hukuman ta’zir atas perbuatan jarimah yang dilakukan oleh

anak di bawah umur adalah karena perbuatan tersebut dapat membahayakan

43 H. Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, Cet. II,2005, hlm. 249.

Page 122: Skripsi zuhri full

111

dan merugikan kepentingan anak tersebut serta orang lain. Meskipun ta’zir

sendiri terdiri dari banyak macam, namun hukuman bagi anak adalah ta’zir

yang mendidik, bukan menghukum.44

Karena hal tersebutlah, alangkah baiknya jika para penegak hukum

menjatuhkan sanksi yang paling meringankan bagi seorang anak. Penjara

bukan merupakan hukuman mutlak bagi para pelaku tindak pidana terutama

anak-anak. Jelas sudah disebutkan dalam Undang-undang No. 3 tahun 1997

tentang Pengadilan Anak, bahwa penjara adalah sebagai upaya terakhir dalam

pemberian sanksi bagi anak pelaku tindak pidana.

Pada dasarnya hal ini adalah substansi dari perwujudan dari adanya

usaha perlindungan yang dilakukan oleh pembuat kebijakan terhadap masalah

anak-anak khususnya dalam tindak pidana yang dilakukan oleh anak tersebut.

Akan tetapi, sayang sekali implementasi dari penerapan undang-undang yang

berusaha melindungai hak dan kepentingan anak tersebut tidak sesuai dengan

kenyataan di lapangan karena subjektifitas yang diperlihatkan oleh para

penegak hukum itu sendiri.

Meskipun dalam judicial review yang diajukan KPAI terkait

permohonan untuk menghapuskan hukuman penjara dan menghilangkan

kekuatan hukum Lembaga Pemasyarakatn Anak karena dinilai akan

membawa dampak traumatik dan membelenggu masa depan anak ditolak

oleh Mahkamah Konstitusi. Namun ada alternatif menarik yang disampaikan

oleh Adi Fahrudin, salah satu pemohon dalam pengajuan judicial review atas

44 H. Ahmad Wardi Muslich, ibid.

Page 123: Skripsi zuhri full

112

beberapa pasal dalam UU No. 3 Tahun 1997 yang memberikan solusi

mengenai alternatif lain penjatuhan sanksi penjara bagi anak. Dalam

pemaparannya, program community service order merupakan solusi yang

sesuai diterapkan untuk anak, menggantikan sistem pemenjaraan yang ada

selama ini.

Community service order (CSO) atau program pelayanan masyarakat,

merupakan bentuk pemberian hukuman kepada anak dengan memberikan

kewajiban kepadanya untuk memberikan pelayanan sukarela kepada

masyarakat yang ditentukan oleh pengadilan. Namun, penerapan program

CSO, setidaknya harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain berkaitan

dengan tindak pidana tertentu atau tidak berat, masa hukuman tidak melebihi

waktu tertentu, kemudian crime againt property. Syarat lainnya yang perlu

juga mendapat perhatian yaitu, pelaku masih anak. Penerapan pidana CSO

harus memperhatikan UU Tenaga Kerja, karena usia anak dilarang untuk

melakukan kerja.45

Program CSO memiliki kelebihan ketimbang membiarkan anak yang

melakukan tindak pidana dimasukkan dalam LP Anak atau justru

membiarkannya bebas berkeliaran. Sebab, pidana CSO menisbikan proses

stigmatisasi yang akan meniadakan efek negatif berupa “pendidikan

kejahatan oleh penjahat”. Selain itu, anak yang menjalani pidana CSO masih

dapat menjalankan kehidupan secara normal, seperti masuk sekolah,

berkumpulan dengan lingkungan sosial. Sehingga proses dehumanisasi bisa

45 http://almahkamah_judicialreview.go.id, Alternatif Pemidanaan Anak:“Community Service Order”, diakses pada tanggal 12 Januari 2012 pukul 12.20 WIB.

Page 124: Skripsi zuhri full

113

dihindari, karena de-humanisasi ini selalu menjadi efek negatif dari pidana

perampasan kemerdekaan.46

Ada sebuah istilah double track system, yakni sistem sanksi dalam

hukum pidana dimana sanksi ini menempatkan kedudukan yang sama antara

sanksi pidana dan sanksi tindakan. Penekanan pada kesetaraan sanksi pidana

dan sanksi tindakan dalam kerangka double track system, sesungguhnya

terkait dengan fakta bahwa unsur pencelaan atau penderitaan (lewat sanksi

pidana) dan unsure pembinaan (lewat sanksi tindakan) sama-sama penting.47

Dengan kata lain, sanksi pidana sesungguhnya bersifat reaktif

terhadap suatu perbuatan, sedangkan sanksi tindakan lebih bersifat antisipatif

terhadap pelaku perbuatan tersebut. Jika fokus sanksi pidana tertuju pada

perbuatan salah seseorang lewat pengenaan penderitaan (agar yang

bersangkutan jera), maka fokus sanksi tindakan terarah pada upaya member

pertolongan agar dia berubah.48 Sehingga jelaslah, bahwa sanksi pidana lebih

menekankan unsur pembelasan. Sanksi pidana merupakan penderitaan yang

sengaja dibebankan kepada seorang pelanggar. Sedangkan sanksi tindakan

bersumber dari ide dasar perlindungan masyarakat dan perlindungan si

pembuat pelanggaran.

Dengan demikian, perbedaan prinsip antara sanksi pidana dan sanksi

tindakan terletak ada apa tidaknya unsur penderitaan. Karena diketahui, jika

seorang dikenakan sanksi pidana, pastinya sanksi itu dibuat untuk membuat

46 Ibid.47 DR. M. Sholehuddin, S.H., M.H., Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar

Double Track System dan Implementasinya, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet. Ke-2,2004, hlm. 28.

48 DR. M. Sholehuddin, S.H., M.H., ibid, hlm. 32.

Page 125: Skripsi zuhri full

114

jera si pelaku dan merampas kemerdekaan seseorang. Berbeda halnya dengan

sanksi tindakan, sebab sanksi tindakan tujuannya lebih bersifat mendidik.

Sanksi tindakan semata-mata ditujukan pada prevensi (pencegahan) untuk

melindungi. Maka dari itu, dikatakan dalam undang-undang, bahwa sanksi

penjara (pidana) bagi anak merupakan solusi akhir yang dapat dikenakan

pada anak. Sehingga sebelum memberikan sanksi tersebut, lebih baik hakim

diarahkan untuk memilih sanksi tindakan (mendidik) bagi anak yang

melakukan pelanggaran. Ini tak lain adalah bentuk dari perlindungan terhadap

hak anak itu sendiri. Walaupun pada kenyataannya yang terjadi di lapangan,

justru sanksi pidana lebih banyak diterapkan bagi anak yang melakukan

pelanggaran.

Untuk itulah, meski tidak dikabulkannya permohonan penghapusan

pidana penjara bagi anak yang terlibat dalam tindak pidana, bukan berarti

keistimewaan yang diperoleh para penegak hukum, dengan peraturan yang

telah menempatkan kedudukan polisi sebagai penyidik tunggal, dalam arti

bahwa dalam KUHAP hanya polisi negaralah sebagai pejabat satu-satunya

yang mempunyai monopoli penyidikan terhadap tindak pidana umum dan

tindak pidana khusus boleh berbuat sesukanya dalam menangani masalah

anak dengan dalih yang dilakukannya telah sesuai dengan aturan yang

berlaku.

Tidak dipungkiri, berbagai upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak

untuk melindungi hak setiap anak, masih mengalami hambatan. Sebab,

komitmen yang dibangun, kadang kala mendapatkan hadangan dari aparat

Page 126: Skripsi zuhri full

115

penegak hukum (polisi) itu sendiri. Harapan untuk melindungi hak setiap

anak diacuhkan oleh para penegak hukum, dengan alasan hukum positif

masih memerintahkan bahwa anak yang melanggar hukum bisa dipidanakan

dan dipenjara.49 Penegakan hukum terhadap anak, akan lebih baik jika

melalui pendekatan restoraktive justice dan diversi. Sehingga anak jangan

sampai masuk pada proses persidangan di pengadilan.

Restoraktive justice adalah bentuk yang paling disarankan dalam

melakukan diversi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Hal ini

dikarenakan konsep restoraktive justice melibatkan berbagai pihak untuk

menyelesaikan suatu permasalahan yang terkait dengan tindak pidana yang

dilakukan oleh anak. Restoraktive justice bertujuan untuk memberdayakan

para korban, pelaku, keluarga dan masyarakat untuk memperbaiki suatu

perbuatan melawan hukum dengan menggunakan kesadaran dan keinsyafan

sebagai landasan untuk memperbaiki kehidupan bermasyarakat. Sehingga

akan tercipta moral justice dan social justice dalam penegakan hukum selain

mempertimbangkan legal justice.

49 http://kpai.go.id, “Pernyataan Terakhir (Closing Statement) KPAI Dalam SidangDi Mahkamah Konstitusi”, dikases pada tanggal 12 Januari 2012 pukul 12.45 WIB.

Page 127: Skripsi zuhri full

116

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah melalui proses penelitian kepustakaan yang panjang, akhirnya

penyusun sampai pada penghujung pembahasan yang memang masih banyak

kekurangan dalam memandang sebuah masalah dengan perspektif

pengetahuan yang penulis miliki masih benar-benar jauh dari yang

diharapkan. Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, maka dapat

penulis simpulkan bahwa:

1. Batas usia anak yang dapat dikenakan sanksi pidana dalam Undang-

undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak adalah usia 8

(delapan) tahun sampai sebelum 18 (delapan belas) tahun. Hal tersebut

justru menandakan bahwa terjadi ketidakselarasan terkait batas usia anak

dalam tiap instrumen perundangan yang terkait dengan usia minimum

anak dapat dipidana. Akan tetapi, dengan adanya putusan MK Nomor

1/PUU-VIII/2010 Tanggal 24 Februari 2011, maka telah jelas bahwa usia

minimum anak dapat dimintakan pertanggungjawabannya adalah usia 12

tahun. Sedangkan hukum pidana Islam, ketentuan mengenai batasan usia

anak yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana tidak jelas karena

hanya ditentukan oleh kata baligh. Namun meskipun ketentuan berapa

umur baligh di dalam Islam begitu luas, karena tidak ada nash al-Qur’an

yang menjelaskan secara spesifik berapa usia baligh tersebut. Akan tetapi

Page 128: Skripsi zuhri full

117

bisa disimpulkan bahwa usia 15 tahun menjadi standar dan dasar bagi

seorang hakim atau penguasa untuk menjatuhkan sanksi bagi anak yang

melakukan jarimah.

2. Pemberian sanksi bagi anak yang melakukan pelanggaran, baik menurut

hukum pidana Islam maupun UU No 3 Tahun 1997 memiliki kesamaan.

Dalam UU No 3 Tahun 1997, anak akan dikenakan sanksi pidana dan

sanksi tindakan. Hal ini disesuaikan dengan usia anak tersebut saat

melakukan perbuatan pidana. Namun, dalam hukum pidana Islam,

walaupun pertanggungjawaban pidana (hudud dan qishash) bagi anak

yang belum baligh tersebut dihapuskan. Seorang anak yang melakukan

pelanggaran, dia tetap akan dikenakan ta’zir dan diyat sebagai

kompensasi atas perbuatan yang telah dilakukannya tersebut. Sehingga

anak tidak benar-benar bebas dari konsekuensi hukum atas perbuatan

jarimahnya tersebut.

B. Saran

Dari hasil pengamatan dan analisis penulis, kiranya saran-saran

berikut penting untuk diperhatikan bagai kalangan aktifis anak, akademisi

hukum, para penegak hukum dan pembaca pada umumnya guna penegakan

terhadap hak-hak anak yang hingga saat ini kurang mendapat perhatian dari

berbagai kalangan:

1. Pemerintah ketika akan mengeluarkan dan menetapkan peraturan

perundang-undangan, hendaknya benar-benar memperhatikan segala

Page 129: Skripsi zuhri full

118

aspek yang berkaitan dengan peraturan tersebut. Sehingga dicapai titik

paling minim untuk didapati ketidakberesan dan kesalahan dalam

penafsiran dan implementasi sebuah perundang-undangan itu seperti

yang terdapat dalam Undang-undang No. 3 Tahun 1997 dan KUHP serta

KUHAP mengenai usia pertanggungjawaban seorang anak yang

melakukan kejahatan. Alasannya, ketidakharmonisan dalam setiap

peraturan perundang-undangan yang ada justru akan menjadikan

kacaunya penegakan hukum itu sendiri.

2. Dalam konsep penjatuhan sanksi pidana bagi anak hendaknya tidak

hanya didasarkan pada batasan usia yang sudah menjadi ketetapan di

dalam perundang-undangan saja. Karena mau bagaimanapun juga,

perbedaan geografis dan lingkungan sosial dimana anak itu tinggal,

sangat berpengaruh besar terhadap perkembangan mental serta fisik

seorang anak. Maka dari itu, standar kedewasaan dan batasan umur yang

telah ditentukan dalam Islam seperti baligh, bisa menjadi acuan

penjatuhan sanksi pidana dalam lingkungan hukum.

3. Akan lebih baik jika proses penanganan terkait masalah anak yang

berkaitan dengan hukum, hendaknya dilakukan saja dengan pendekatan

restoraktif jaustice dan diversi dari aparat penegak hukum. Sehingga,

hak-hak anak yang terlindungi oleh undang-undang dapat tercapai

dengan sempurna.

Page 130: Skripsi zuhri full

119

Demikian pembahasan skripsi ini. Penulis berharap, kerja keras dalam

penyusunan skripsi ini mendapatkan respon dari pembaca, baik kritik maupun

saran demi kelanjutan penelitian ini. Karena bagaimanapun juga dibutuhkan

pengembangan lebih lanjut tentang urgensi dan efektifitas pemberian sanksi

di dalam UU No 3 Tahun 1997 agar tercapai kebaikan hukum yang memang

bertujuan untuk melindungi masyarakat. Semoga penelitian ini berguna bagi

perkembangan hukum di Indonesia dan mahasiswa lain yang ingin

melanjutkan penelitian tentang permasalahan ini. Amiin.

Page 131: Skripsi zuhri full

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Ali al-Sabuni, Muhammad, Rawai’ul Bayan Tafsir fi al-Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, diterjemahkan oleh Saleh Mahfud, Tafsri Ayat-ayat Hukum dalamAl-Qur’an, Bandung: Al-Ma’arif, 1994.

Arikunto, Suharmi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta:Rineka Cipta, 1993.

Departemen Agama RI , Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: 1983.

Daud, Abu, Sunan Abu Daud, Juz 4, Beirut: Dar al-Kitab al- ‘Ilmiyah.

Dirdjosisworo, Soedjono, Hukum Narkotika Indonesia, Bandung: PT. CitraAditya Bakti, 1990.

Djazuli, A., Fiqh Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, EdisiRevisi, Cet. Ketiga, Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2000.

Doi, Abdurrahman I, Tindak Pidana dalam Syari’at Islam, diterjemahkan oleh H.Wadi Masturi, S.E. & Drs. H. Basri Iba Asghary, “Shari’ah the IslamicLam”, Cet. ke-1, Jakarta: Rineka Cipta, 1992.

Gultom, Maidin, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem PeradilanPidana Anak di Indonesia, Bandung: PT. Refika Aditama, 2008.

Hambal, Ahmad Ibnu, Musnad Imam Ahmad bin Hambal, Beirut: Dar al-Kitab al-‘Ilmiyah.

Hanafi, Ahmad, M. A., Asas-Asas Hukum Pidana Islam, cet. ke-IV, Jakarta:Bulan Bintang, 1990.

Ibrahim, Jhonny, S.H., M.Hum., Teori dan Metodologi Penelitian HukumNormatif, Edisi Revisi, Malang: Bayumedia Publishing, 2005.

Joni, S.H., Muhammad, Zulchaina Z. Tanamas, S.H., Aspek Hukum PerlindunganAnak Dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, Bandung: PT. Citra AdityaBajti, 1999.

Koesparmono, Irsan, Hukum Perlindungan Anak, Jakarta: UPN, 2006.

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2010.

Page 132: Skripsi zuhri full

M. Fachruddin, Fuad, Masalah Anak dalam Hukum Islam, Jakarta: Pedoman IlmuJaya, 1991.

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Cet. Ke-1, Semarang: BadanPenerbit Universitas Diponegoro, 1995.

Mulyadi, Lilik, Pengadilan Anak di Indonesia (Teori, Praktik danPermasalahannya), Bandung: CV. Mandar Maju, 2005.

Mulyono, Bambang, Pendekatan Analisis Kenakalan Remaja danPenanggulangannya, Yogyakarta: Kanisius, 1984.

Munajat, Makhrus, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, Cet. Ke-I, Yogyakarta:Logung Pustaka, 2004.

Moeljanto, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2009.

_________, (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), Jakarta: Bumi Aksara,2009.

Purnomo, Bambang, Asas-Asas Hukum Pidana, Cet. IV, Jakarta: Ghalia, 1983.

Prinst, Darwan, Hukum Anak Di Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,1997.

Priyanto, Dwidja, SH., MH., Sp.N., Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara DiIndonesia, Bandung: PT. Refika Aditama, 2008.

Projohamidjojo, Martiman, Memahami Dasar-Dasar Hukuman Pidana DiIndonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 1997.

Rosyada, Dede, Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakarta: Lembaga Studi Islamdan Kemasyarakatan, 1992.

Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid, Analisa Fiqih Para Mujtahid, penerjemah, Drs.Imam Ghazali Said, MA. & Drs. Achmad Zaidun, terjemahan dariBidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Jakarta: Pustaka Amani,2007.

Salahudin, Affan Nurhaq, Pemenjaraan Anak Menurut Perspektif Hukum PidanaIslam dan Pidana Positif, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2011.

Sholehuddin, M., Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double TrackSystem dan Implementasinya, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.

Page 133: Skripsi zuhri full

Sianturi, S.R., Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Cet. 4,Jakarta: Alumni Ahaem-Petehaem, 1996.

Soeaidy, Sholeh, dan Zulkhair, Dasar Hukum Perlindungan Anak, cet. ke-1,Jakarta: CV. Novindo Pustaka Mandiri, 2001.

Soemintro, Irma Setyowati, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Jakarta: BumiAksara, 1990.

Soetodjo, Wagiati, Hukum Pidana Anak, Bandung: PT. Refika Aditama, 2000.

Subagyo, Joko, Metodologi Penelitian Dalam Teori Dan Praktek, Jakarta: PT.Rineka Cipta, 1994.

Subekti, R., dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata,Burgelijk Wetboek: Dengan Tambahan UU Pokok Agraria dan UUPerkawinan, Jakarta: Pradnya Paramita, 1994.

Sudarsono, Kenakalan Remaja, cet. Ke-2., Jakarta: Rineka Cipta, 1991.

Sumaryono, E, Kejahatan Anak: Suatu Tinjauan dari Psikologi dan Hukum,Yogyakarta: Liberty, 1985.

Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT Raja GrafindoPersada, 2007.

Sutarto, Suryono, Hukum Acara Pidana Jilid I, Badan Penerbit UniversitasDiponegoro Semarang, Cet. IV, 2005.

Syahar, Saidus, Asas-Asas Hukum Islam (Himpunan Kuliah), Bandung: Alumni,1986.

Tauhid, Abu, Beberapa Aspek Pendidikan Islam, Yogyakarta: Sekretariat FakultasTarbiyah IAIN SuKa, 1990.

Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, Jakarta: SinarGarfika Offset, 2000.

Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Jakarta: SinarGrafika, 2003.

Waluyo, Bambang, Pidana Dan Pemidanaan, Jakarta: Sinar Grafika, Cet. Ke- II,2004.

Wardi Muslich, Ahmad, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: SinarGrafika, 2004.

Page 134: Skripsi zuhri full

____________________, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, Cet. II,2005.

Yafie, Alie, dkk., Ensiklopedia Hukum Pidana Islam, terjemahan dari “At-Tasyri’al-Jina’ i al-Islamiy Muqaranan bil Qanunil Wad’iy” karya Abdul QadirAudah, Jilid 4, Bogor: PT Kharisma Ilmu.

Zamahsari, Imam, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pasal 26 UU No. 3 Tahun1997 Tentang Penjatuhan Pidana Bagi Anak Nakal”, Semaranga: IAINWalisongo, 2004.

B. Internet

http://kpai.go.id/, “Tips Penegakan Hukum Bagi Anak yang Berkonflik DenganHukum”, diakses pada tanggal 29 September 2011 pukul 14.52 WIB.

http://kpai.go.id, Hadi Supeno, Refleksi Akhir Tahun 2009, Aparat PenegakHukum Masih Menjadi Pelaku Kekerasan Terhadap Anak, , diakses padatanggal 12 Januari 2012 pukul 11. 20 WIB.

http://kpai.go.id, “Pernyataan Terakhir (Closing Statement) KPAI Dalam SidangDi Mahkamah Konstitusi”, dikases pada tanggal 12 Januari 2012 pukul12.45 WIB.

http://www.kumham-jakarta.info/berita-terkini/, “Perlu Harmonisasi PeraturanBatas Usia Anak”, diakses pada tanggal 31 Oktober 2011 pukul 22.35WIB.

http://www.lawskripsi.com, “Kajian Kriminologis Perilaku Jahat Anak-Anak”,diakses pada tanggal 29 September 2011 pukul 14.34 WIB.

http://mytahkim.wordpress.com/artikel-2, “Penegakan Hukum TerhadapKejahatan Anak Perspektif Hukum Islam”, diakses pada tanggal 31Oktober 2011 pukuk 22.47 WIB

www.unicef.org/indonesia/uni-jjs, Jurnal Penelitian Purnianti, Mamik Sri Supatmiserta Ni Made Martini Tinduk dari Departemen Kriminologi, FakultasIlmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, didukung olehUNICEF “Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile JusticeSystem) Di Indonesia", diakses pada tanggal 29 September 2011 pukul15.03 WIB.

http://www.hukumonline.com, Willem Van Genugten J.D dalam Iskandar Hosein,Perlindungan Terhadap Kelompok Rentan (Wanita, Anak-Anak, Suku

Page 135: Skripsi zuhri full

Terasing, dll) dalam perspektif HAM, Makalah dalam SeminarPembangunan Hukum VIII, diakses pada tanggal 31 Oktober 2011 pukul21.25 WIB.

http://www.detikNews.com, Nurvita Indarini, Dianggap Tidak Profesional,Hakim Kasus Raju Terancam Sanski, diakses pada tanggal 31 Oktober2011 pukul 22.50 WIB.

http://www.republikaonline.nasional/politik, KPAI Ajukan Judicial Review UUPengadilan Anak, diakses pada tanggal 31 Oktober 2011 pada pukul 23.23WIB.

http://imanherlambang.blogspot.com, Pertanggungjawaban Pidana, diakses padatanggal 19 April 2012 pukul 16.59 WIB.

http://ihsan26theblues.wordpress.com, Ihsan Badroni, Hukum Pidana Bagi AnakKecil, diakses pada tanggal 31 oktober 2011, pukul 23.50 WIB.

http://hukumonline.com, “Mahkamah Konstitusi Diminta Hapuskan KetentuanKriminalisasi Anak”, diakses pada tanggal 13 Januari 2012 pukul 11.45WIB.

http://Silviwahyuni’s.WordPress.com, Silvi Wahyuni, MK: Usia Anak DapatDipidana Minimal 12 Tahun, , diakses pada tanggal 12 Januari 2012 pukul12.05 WIB.

http://almahkamah_judicialreview.go.id, Alternatif Pemidanaan Anak:“Community Service Order”, diakses pada tanggal 12 Januari 2012 pukul12.20 WIB.

Page 136: Skripsi zuhri full

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI:

Nama Lengkap : Muhammad Fakhruddin Zuhri

Tempat, Tanggal Lahir : Semarang, 14 Oktober 1988

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Agama : Islam

Alamat : Tugurejo RT 08 RW 3 Kec. Tugu Semarang

No. HP : 085 641 559 652

PENDIDIKAN FORMAL :

SD Negeri 04 Tugurejo Semarang lulus tahun 2001

MTs Negeri Rejoso Peterongan I, Jombang lulus tahun 2004

SMA Darul ‘Ulum 2 Unggulan BPPT, Jombang lulus tahun 2007

PENGALAMAN ORGANISASI :

Anggota BEMJ Jinayah Siyasah Fakultas Syariah tahun 2010

Wadyabala Justisia

Semarang, 12 Juni 2012

Penulis,

Muh. Fakhruddin ZuhriNIM. 072211025