1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keadilan telah menjadi pokok pembicaraan serius sejak awal munculnya filsafat Yunani. Pembicaraan mengenai keadilan memiliki cakupan yang luas, mulai dari yang bersifat etik, filosofis, hukum, sampai pada keadilan sosial. Banyak orang yang berpikir bahwa bertindak adil dan tidak adil tergantung pada kekuasaan dan kekuatan yang dimiliki. Untuk menjadi adil cukup terlihat mudah. Namun, tentu saja tidak sama penerapannya dalam kehidupan manusia. Kata “keadilan” dalam bahasa Inggris adalah “justice” yang berasal dari bahasa latin “iustitia”. Kata “justice” memiliki tiga macam makna yang berbeda yaitu; 1) Secara atributif berarti suatu kualitas yang adil atau fair (sinonimnya justness),
137
Embed
Skripsi S1: Tinjauan Hukum Islam terhadap Tindak Pidana Pembunuhan dengan Pendekatan Keadilan Restoratif
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keadilan telah menjadi pokok pembicaraan serius
sejak awal munculnya filsafat Yunani. Pembicaraan
mengenai keadilan memiliki cakupan yang luas, mulai
dari yang bersifat etik, filosofis, hukum, sampai
pada keadilan sosial. Banyak orang yang berpikir
bahwa bertindak adil dan tidak adil tergantung pada
kekuasaan dan kekuatan yang dimiliki. Untuk menjadi
adil cukup terlihat mudah. Namun, tentu saja tidak
sama penerapannya dalam kehidupan manusia.
Kata “keadilan” dalam bahasa Inggris adalah
“justice” yang berasal dari bahasa latin “iustitia”. Kata
“justice” memiliki tiga macam makna yang berbeda
yaitu;
1) Secara atributif berarti suatu kualitas yang
adil atau fair (sinonimnya justness),
2
2) Sebagai tindakan berarti tindakan menjalankan
hukum atau tindakan yang menentukan hak dan
ganjaran atau hukuman (sinonimnya judicature),
dan
3) Orang, yaitu pejabat publik yang berhak
menentukan persyaratan sebelum suatu perkara
di bawa ke pengadilan (sinonimnya judge, jurist,
magistrate).1
Sedangkan kata “adil” bisa dilihat melalui
adaptasi dari bahasa Arab “al-‘adl” yang artinya
sesuatu yang baik, sikap yang tidak memihak,
penjagaan hak-hak seseorang dan cara yang tepat
dalam mengambil keputusan.2 Untuk menggambarkan
keadilan juga menggunakan kata-kata yang lain
(sinonim) seperti qisth, hukm, dan sebagainya.
Sedangkan akar kata ‘adl dalam berbagai bentuk
konjugatifnya bisa saja kehilangan kaitannya yang
langsung dengan sisi keadilan itu (misalnya “ta’dilu”
1 http://iddiens.wordpress.com/2010/06/14/teori-keadilan,diakses pada 5 November 2011.
2 Dep. Dikbud, Kamus Besar Bahasa Indinesia, cet.III Jakarta:Balai Pustaka, 1994
memperlakukan sama atau tidak membedakan seseorang
dengan yang lain. Tetapi harus digarisbawahi bahwa
persamaan yang dimaksud adalah persamaan dalam hak.
Dalam surat al-Nisa' (4): 585 dinyatakan bahwa:
Artinya: “sesungguhnya Allah menyuruh kamumenyampaikan amanat kepada yang berhakmenerimanya, dan (menyuruh kamu) apabilamenetapkan hukum diantara manusia supaya kamumenetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allahmemberi pengjaran yang sebaik-baiknya kepadamu.Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Mahamelihat.”
Kata "adil" dalam ayat ini -bila diartikan
"sama"- hanya mencakup sikap dan perlakuan hakim
pada saat proses pengambilan keputusan. Ayat ini
menuntun sang hakim untuk menempatkan pihak-pihak
yang bersengketa di dalam posisi yang sama,
misalnya ihwal tempat duduk, penyebutan nama (dengan
atau tanpa embel-embel penghormatan), keceriaan
wajah, kesungguhan mendengarkan, dan memikirkan
5 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: CV. Toha Putera
5
ucapan mereka, dan sebagainya yang termasuk dalam
proses pengambilan keputusan. Apabila persamaan
dimaksud mencakup keharusan mempersamakan apa yang
mereka terima dari keputusan, maka ketika itu
persamaan tersebut menjadi wujud nyata kezaliman.
Kedua, adil dalam arti seimbang. Keseimbangan
ditemukan pada suatu kelompok yang didalamnya
terdapat beragam bagian yang menuju satu tujuan
tertentu, selama syarat dan kadar tertentu terpenuhi
oleh setiap bagian. Dengan terhimpunnya syarat ini,
kelompok itu dapat bertahan dan berjalan memenuhi
tujuan kehadirannya. Dalam surat al-Infithar (82) :
6-7, dinyatakan;
Artinya: “Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan
kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu YangMaha Pemurah? Yang menciptakan kamu lalumenyempurnakan kejadianmu, dan menjadikan kamu(menjadikan susunan tubuh)mu seimbang.” 6
6 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: CV. Toha Putera
6
Seandainya ada salah satu anggota tubuh manusia
berlebih atau berkurang dari kadar atau syarat yang
seharusnya, maka pasti tidak akan terjadi
kesetimbangan (keadilan). Di sini, keadilan identik
dengan kesesuaian (keproporsionalan), bukan lawan
kata “kezaliman”. Perlu dicatat bahwa keseimbangan
tidak mengharuskan persamaan kadar dan syarat bagi
semua bagian unit agar seimbang. Bisa saja satu
bagian berukuran kecil atau besar, sedangkan kecil
dan besarnya ditentukan oleh fungsi yang diharapkan
darinya.
Ketiga, adil adalah perhatian terhadap hak-hak
individu dan memberikan hak-hak itu kepada setiap
pemiliknya. Pengertian ini mendefinisikan dengan
menempatkan sesuatu pada tempatnya atau memberi
pihak lain haknya melalui jalan yang terdekat.
Lawannya adalah "kezaliman", dalam arti pelanggaran
terhadap hak-hak pihak lain. Dengan demikian
menyirami tumbuhan adalah keadilan dan menyirami
duri adalah lawannya. Sungguh merusak permainan
7
(catur), jika menempatkan gajah di tempat raja,
demikian ungkapan seorang sastrawan yang arif.
Pengertian keadilan seperti inilah yang kemudian
melahirkan keadilan sosial.
Keempat, adil yang dinisbatkan kepada Ilahi. Adil
di sini berarti memelihara kewajaran atas
berlanjutnya eksistensi, tidak mencegah kelanjutan
eksistensi dan perolehan rahmat sewaktu terdapat
banyak kemungkinan untuk itu. Semua wujud tidak
memiliki hak atas Allah. Keadilan Ilahi pada
dasarnya merupakan rahmat dan kebaikan-Nya.
Keadilan-Nya konsekuensi bahwa rahmat Allah tidak
tertahan untuk diperoleh sejauh makhluk itu dapat
meraihnya.7
Demikian pentingnya makna keadilan bagi manusia
sehingga memunculkan konsepsi-konsepsi yang kemudian
dipahami sebagai hak yang melekat pada setiap
individu. Dari sinilah kemudian para filsuf dan ahli
hukum tertarik untuk merumuskan makna keadilan yang7 M. Quraish Shihab, Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat,
Bandung: PT. Mizan, 2000, hal 20
8
terus berputar dan tidak pernah berhenti dengan
segala problematikanya.
Diantara problema ini, yang paling sering
menjadi diskursus adalah tentang persoalan keadilan
yang berkaitan dengan hukum. Hal ini dikarenakan
hukum atau aturan perundangan harusnya adil, tapi
dalam realitanya seringkali tidak ditemukan.
Keadilan hanya bisa dipahami jika diposisikan
sebagai keadaan yang hendak diwujudkan oleh hukum.
Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam hukum tersebut
merupakan proses yang dinamis yang memakan banyak
waktu. Upaya ini seringkali juga didominasi oleh
kekuatan-kekuatan yang bertarung dalam kerangka umum
tatanan politik untuk mengaktualisasikannya.8
Dalam sejarahnya, perkembangan hukum liberal
menjadi hukum modern (pasca liberal) berdampak pada
keterlibatan negara untuk berperan aktif dalam
menentukan segala kebijakan,9 sehingga negara8 Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis,
Bandung: Nuansa dan Nusamedia, 2004, hal 239.9 Satjipto Rahardjo, penegakan Hukum Progresif, Jakarta: PT.
Kompas Media Nusantara, 2010, hal 38
9
diposisikan sebagai lembaga yang memiliki hak untuk
menetapkan sejumlah norma sebagai bentuk redistibusi
kekuasaan yang dalam pandang ilmu hukum khususnya
hukum pidana merupakan bentuk kongkrit dari kontrak
sosial.10
Redistribusi kekuasaan yang diterima oleh
negara inilah yang kemudian membuat negara dalam
sistem peradilan pidana memiliki kewenangan untuk
mengambil alih peran korban jika terjadi suatu
tindak pidana dalam masyarakat.11
Akan tetapi konstruksi sistem peradilan pidana
yang ada saat ini dianggap belum mampu memberikan
rasa keadilan karena tempat korban dan masyarakat
dalam sistem diambil alih oleh lembaga melalui
penuntut umum. Dalam hal demikian maka korban dan
masyarakat tidak dapat berpartisipasi secara10 Dalam hal ini otoritas Negara dapat dilihat dari
kewenangan Negara untuk menetapkan sejumlah norma yang berlakudalam hukum pidana (ius punale) dan hak memidana (ius puniendi)sebagai betuk penanganan dalam suatu tindak pidana yang terjadidalam masyarakat. H.A. Zainal Abidin, Hukum Pidana 1, Jakarta: sinarGrafika, 2007, cet.II, hal. 1.
11 Peran Negara dalam hal ini dilaksanakan oleh penuntutumum yang kewenangannya diatur dalam pasal 14 Kitab Undang-undangHukum Acara Pidana (KUHAP).
10
langsung dalam penentuan akhir dari suatu
penyelesaian perkara pidana. Dalam kaitannya dengan
konsepsi hukum yang membahagiakan semua pihak12
tentunya akses masyarakat dan korban dalam
penyelesaian suatu perkara pidana yang menyangkut
kepentingannya harus dibuka, sehingga keadilan dapat
dimaknai secara hakiki.13
Di Indonesia, sistem peradilan pidana hampir
tidak memberikan tempat terhadap upaya penyelesaian
perkara pidana di luar sistem ini. Padahal hakikat
dari hukum pidana harus ditafsirkan sebagai suatu
upaya terakhir yang hanya dapat dijatuhkan apabila
mekanisme penegakan hukum lainnya yang lebih ringan
telah tidak berdaya guna atau dipandang tidak
memadai.14
12 Hukum hendaknya memberikan kebahagiaan kepada rakyat,yang setiap individu didalamnya dengan suka rela melaksanakantanpa adanya keterpaksaan ataupun menjadi beban budaya lokal.Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, Jakarta: PT. KompasMedia Nusantara, 2010, hal 42.
pemidaan klasik yang bersifat retributif15, dimana
keberhasilan sanksi atau pemidanaan dapat dilihat
dari besar kecilnya penderitan yang diterima oleh
pelaku tindak pidana.16 Kemudian yang menjadi
persoalan sekarang adalah penderitaan yang diterima
oleh pelaku ternyata tidak mampu memulihkan korban
pada keadaan yang semula, karena korban tidak
memilki ruang untuk mengutarakan keinginannya.17
Oleh karena itu sangat perlu bagi sistem
peradilan pidana untuk memberikan ruang bagi
keadilan yang lebih bersifat restoratif (Restorative
15 Dalam teori ini dipandang bahwa pemidanaan adalah akibatnyata/mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada pelakutindak pidana. Eva Achjani Zulfa. Keadilan Restoratif , Jakarta:BadanPenerbit FH UI, 2009, hlm.66
16 Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam hukum Pidana, Jakarta: RajaGrafindo, 2004, hal.71.
17 Sebagai contoh adalah korban pemerkosaan, sebesar apapunpenderitaan yang diterima oleh pelaku sebagai pembalasan atastindak pidana pemerkosaan yang dilakukan tetap saja tidak mampumemulihkan apa yang telah terenggut dari korban.
12
Justice). Keadilaan restoratif merupakan suatu model
pendekatan yang muncul dalam era tahun 1960-an dalam
upaya penyelesaian perkara pidana. Berbeda dengan
pendekatan yang dipakai pada sistem peradilan pidana
konvensional. Pendekatan ini menitik beratkan pada
adanya partisipasi langsung pelaku, korban dan
masyarakat dalam proses penyelesaian perkara
pidana.18
Dalam pandangan keadilan restoratif makna
tindak pidana pada dasarnya sama seperti pandangan
19 Dalam kenyataan pandangan ini tidak lepas dari pandanganilmu kriminologi yang melihat adanya perkembangan dalam melihatpelaku tindak pidana, pendefinisian tindak pidana serta responyang terjadi atas suatu tindak pidana. Meskipun tidak dapatdinyatakan bahwa pandangan kriminologi baru adalah serupa denganpandangan keadilan restoratif, akan tetapi tidak dapat dipungiribahwa kehadiran keduanya berdampak pada perubahan paradigmasebagai akibat perkembangan pemikiran ini. KoesrianiSiswosoebroto, Pendekatan Baru Dalam Kriminologi, Jakarta: PenerbitUniversitas Trisakti, 2009, hal 41
13
suatu tindak pidana bukanlah negara, sebagaimana
dalam sistem peradilan pidana yang sekarang ada.
Oleh karenanya kejahatan menciptakan kewajiban untuk
membenahi rusaknya hubungan akibat terjadinya suatu
tindak pidana. Semantara keadilan dimaknai sebagai
proses pencarian pemecahan masalah yang terjadi atas
suatu perkara pidana dimana keterlibatan korban,
masyarakat dan pelaku menjadi penting dalam usaha
perbaikan, rekonsiliasi dan penjaminan
keberlangsungan usaha perbaikan tersebut.20
Kedilan restoratif bukanlah suatu yang asing
dan baru, karena keadilan ini telah dikenal dalam
hukum tradisional yang hidup dalam masyarakat. Dalam
wacana tradisional, keadilan restoratif pada
dasarnya merupakan model pendekatan dalam sistem
peradilan pidana yang dominan pada masyarakat adat
diberbagai belahan dunia yang hingga kini masih
berjalan. Keadilan ini menjadi suatu yang baru
karena dalam kenyataannya justru masyarakat modern20 Eva Achjani Zulfa. Keadilan Restoratif, Jakarta:Badan Penerbit
FH UI, 2009, hlm 3.
14
kembali mempertanyakan bagaimana sistem peradilan
pidana tradisional dapat digunakan kembali dalam
menangani tindak pidana yang sangat berkembang pada
masa sekarang.21
Selain bukan menjadi hal baru yang sebelumnya
telah ada dalam hukum tradisional yang hidup dalam
masyarakat, prinsip dasar keadilan restoratif juga
telah lama ada dan menjadi landasan filosofis,
doktrin, dan tradisi yang diberlakukan oleh umat
Hindu, Budha, Islam, Yahudi, Tao, atau Kristen.
Dalam kepercayaan yang dianut oleh umat Hindu
dinyatakan bahwa proses reinkarnasi dari seseorang
dalam setiap kehidupan yang dijalaninya merupakan
gambaran dari perilaku yang dibuat pada kehidupn
sebelumnya. Dalam pandangan Kristen, keadilan dan
kebenaran dalam injil perjanjian lama merupakan
terminologi yang tak terpisahkan satu dengan yang
lain, sama halnya dengan istilah damai, maaf dan
cinta kasih yang merupakan inti dari ajaran
21 Ibid, hal 55.
15
Kristiani. Ajaran ini juga terdapat dalam ajaran
Budha, Tao, dan Confusian.22
Sementara dalam konsep hukum Islam prinsip
dasar keadilan restoratif dapat dilihat pada proses
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas
kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yangdibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka,
22 Ibid, hal 13.23 Qishash-Diyat merupakan jarimah yang telah diancam dengan
hukuman-hukuman yang telah ditentukan batasnya dan tidak mempunyaibatas terendah atau tertinggi, tapi telah menjadi hakperseorangan. Ahmad hanafi,M.A, Azas-azas Hukum pidana Islam, Jakarta:PT. Bulan Bintang,2005
24 Djazuli, H.A, Fiqh jinayat: Upaya menanggulangi Kejahatan dalamIslam, Jakarta: Raja Grafindo Persada,1996 hal 149.
16
hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita.Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafandari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan)mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah(yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yangmemberi maaf dengan yang baik (pula). Yangdemikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhankamu dan suatu rahmat. Barang siapa yangmelampaui batas sesudah itu, maka baginya siksayang amat pedih”. (178) “Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan)hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supayakamu bertakwa”. (179) 25
Sebagaimana dikutip dalam tafsir Al-Maraghi,
Al-Baidawi dalam tafsirnya mengatakan bahwa di masa
jahiliyyah ketika diantara dua kabilah (misalnya
hutang darah) sedang keadaan salah satu kabilah
lebih utama, maka kabilah yang lebih utama itu akan
bersumpah kepada kabilah lainnya, jika seorang hamba
dari kalangan kami terbunuh, maka harus ditebus
dengan seorang merdeka dari kalian, dan wanita harus
ditebus dengan seorang lelaki. Ketika agama Islam
datang, mereka meminta keputusan hukum kepada
Rasulullah SAW, kemudian turun ayat ini yang
25 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: CV. Toha Putera
17
memerintahkan agar mereka berlaku sebanding didalam
melaksanakan hukum qishash.26
Hukum qishash terhadap kejahatan pembunuhan
merupakan ketentuan hukum yang tak dapat ditawar
lagi menurut agama Yahudi yang tersebut dalam kitab
keluaran sembilan belas. Dan hukum diyat juga tidak
bisa dirubah lagi menurut agama Nasrani. Sedang
bangsa Arab kuno menghukum pembunuhan ini tergantung
dari kuat atau lemahnya kabilah. Terkadang mereka
lebih memilih sepuluh orang sebagai pengganti
seorang yang dibunuh, meminta seorang laki-laki
sebagai pengganti wanita yang dibunuh, atau meminta
seorang merdeka dari hamba yang dibunuh. Jika
permintaan salah satu kabilah ini ditolak, maka akan
terjadi pertempuran yang dahsyat antara kedua belah
kabilah. Jelas, masalah ini merupakan sebuah
kedzaliman yang melampaui batas, dan merupakan
kekerasan yang sangat menyedihkan, bahkan mereka
26 Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, Semarang,CV. Toha Putra, 1993, Cet. II, hal. 102
18
tidak hanya melakukan pembunuhan terhadap pelakunya
saja.27
Tetapi, terkadang jika pelaksanaan hukum qishash
itu dilaksanakan akan sangat membahayakan, dan
membiarkan tidak dilaksanakannya hukum qishash adalah
lebih baik. Misalnya, seorang membunuh saudaranya
dalam keadaan kalap melakukannya. Sedang pelakunya
adalah orang yang menanggung pihak terbunuh dalam
hal penghidupan. Jika dilaksanakan hukum qishash
kepadanya, tentu ahlul bait akan kehilangan orang yang
mencarikan nafkah untuk penghidupan mereka. Dengan
demikian pelaksanaan qishash terhadap pembunuh
tersebut akan timbul kerusakan (mafsadah) bagi
mereka sendiri. Dan jika pelaku pembunuh adalah
orang lain yang bukan dari lingkungan keluarga
sendiri, sebaiknya ahli waris tidak usah menuntut
hukum qishash demi menolak bahaya dan mendapat diyat.
Dalam kasus seperti ini, ahli waris dibolehkan
27 Ibid
19
memilih antara memberi maaf dengan mengambil diyat,
atau memberi maaf sama sekali tanpa diyat.28
Terlepas dari kontroversi, pada dasarnya dalam
pelaksanaan hukum qishash ini akan tecipta suatu
kehidupan yang tenang. Dengan sendirinya masyarakat
akan terpelihara dari berbagai penganiayaan dan
permusuhan dari anggota masyarakat. Hal ini karena
siapapun yang mengetahui bahwa pelaku pembunuhan
juga akan mendapatkan hukuman dengan dibunuh, maka
ia tak akan berani melakukan pembunuhan. Dengan
demikian jiwa masyarakat akan terpelihara, dan orang
yang akan melakukan pembunuhan pun akan terpelihara
dari hukum qishash karena tidak jadi melakukan
pembunuhan. Disamping itu, jika yang diberlakukannya
hanya hukum diyat, maka tak segan-segan orang
melakukan pembunuhan terhadap orang lain. Hal ini
karena ada sebagian orang orang yang mampu
28 Ibid
20
mengeluarkan harta benda sebanyak itu, demi untuk
melenyapkan saingannya.29
Jika ditarik dalam konteks kekinian, persoalan
hukum Islam kaitannya dengan tindak pidana
pembunuhan tentu akan terlihat berbenturan dengan
konsep Hak Asasi Manusia (HAM) yang menjadi semangat
perkembangan hukum pidana di dunia saat ini. Namun
terlepas dari itu semua perlu adanya penggalian
lebih dalam lagi untuk membuktikan Islam sebagai
rahmatan lil ‘alamin dengan tidak melihat Syari’at Islam
sebagai suatu konsep baku yang kaku dan anti
perubahan, akan tetapi melihat syari’at sebagai
nilai-nilai ideal yang akan terus hidup sepanjang
masa yang didalamnya terdapat semangat keadilan
restoratif.
Oleh karena itu, dari latar belakang yang telah
diuraikan diatas, penulis tertarik untuk mengangkat
permasalahan ini untuk dijadikan kajian peeniltian
dengan judul “Tinjauan Hukum Islam terhadap Tindak
29 Ibid
21
Pidana Pembunuhan dengan Pendekatan Keadilan
Restoratif”
B. Rumusan Masalah
Untuk membuat permasalahan menjadi lebih
spesifik dan sesuai dengan titik tekan kajian, maka
harus ada rumusan masalah yang benar-benar fokus.
Ini dimaksudkan agar pembahasan dalam karya tulis
ini, tidak melebar dari apa yang dikehendakai.
Berangkat dari deskripsi diatas, ada beberapa
rumusan masalah yang penulis jadikan kajian dalam
penelitian ini adalah;
1. Bagaimana tinjauan hukum islam terhadap tindak
pidana pembunuhan dengan pendekatan keadilan
restoratif?
2. Bagaimana relevansi tinjauan hukum islam terhadap
tindak pidana pembunuhan dengan pendekatan
keadilan restoratif
22
3. Bagaimana prospek penyelesaian perkara pidana
dengan pendekatan keadilan restoratif dalam
sistem peradilan pidana?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penulisan karya ini sebenarnya
untuk menjawab apa yang telah dirumuskan dalam
rumusan masalah diatas. Diantara beberapa tujuan
dari penelitian ini adalah
1. Mengungkapkan tinjauan hukum islam yang terkait
dengan tindak pidana pembunuhan.
2. Selain itu penulisan karya ini juga bertujuan
untuk mengaitkan konsep hukum islam tentang
tindak pidana pembunuhan dengan prinsip-prinsip
keadilan restoratif. Dan untuk memagari
pembahasan, penulis akan melihat keadilan
restoratif sebagai konsep yang bersifat
filosofis yang secara substansial sudah ada dan
dipraktekkan masyarakat adat diberbagai belahan
dunia. Dari sini maka penulis mencoba menjawab
23
relevansi tinjauan hukm islam terhadap tindak
pidana pembunuhan dengan pendekatan keadilan
restoratif.
3. Penulis juga bertujuan untuk melihat prospek
penyelesaian perkara pidana dengan pendekatan
keadilan restoratif dalam sistem peradilan
pidana.
D. Telaah Pustaka
Beberapa pustaka yang dapat dijadikan acuan
sebagai bahan penulisan adalah sebagai berikut: Adul
Qadir Audah dalam kitabnya At-Tasyri’ al-Jin’i al-Islamiy
Muqaranan bil Qanunil Wad’iy yang diterjamahkan dalam
Bahasa Indonesia dengan judul Ensiklopedi Hukum
Pidana islam. Dalam karyanya ini, Abdul Qadir Audah
menerangkan berbagai persoalan hukum pidana islam
yang didalamnya dibahas juga secara panjang lebar
terkait tindak pidana pembunuhan (Qishash-Diyat)
beserta prinsip-prinsip yang mendasarinya.
24
Selain karya Abdil Qadir Audah, untuk
mengarahkan penulisan skripsi agar sesui dengan
tujuan penelitian, maka penulis menggunakan karya
Eva Achjani Zulfa yang berjudul Keadilan Restoratif.
Dalam karyanya ini memuat teori-teori keadilan
restoratif yang diawali dengan difinisi keadilan
restoratif, prinsip-prinsip dasar keadilan
restoratif, serta penggunaan keadilan retoratif
dalam sistem peradilan pidana diberbagai negara.
Disini dapat dilihat bagaimana kegagalan sistem
peradilan pidana untuk menciptakan keadilan yang
mampu memulihkan kondisi sosial dan memberikan
ruang kepada masyarakat untuk masuk secara aktif
menyelesaikan perkara pidana yang terjadi dalam
masyarakat. Sehingga hukum dapat dimaknai
sebagaimana mestinya, yakni hukum yang membahagiakan
semua pihak.
Disamping menelaah pendapat para fuqaha dan
ahli hukum dalam penulisan ini, penulis juga
menelaah skripsi yang berkaitan dengan keadilan
25
restoratif dan tindak pidana pembunuhan dalam hukum
islam, diantaranya:
1. Tinjauan terhadap Penerapan Prinsip-prinsip
Keadilan Restoratif sebagai Pertimbangan Hakim
dalam Putusan Mahkamah Agung No.107PK/PID/2006
karya Krisantiwi Meira Anggarini mahasiswi
Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) lulus
tahun 2011. Dalam skripsi ini dijelaskan bahwa
keadilan restoratif pada tahapan Ajudikasi adalah
suatu penyelesaian perkara pidana untuk mencapai
keadilan yeng bersifat restoratif atau pemulihan.
Keadilan restoratif yang diwujudkan melalui upaya
restoratif ini dapat diakomodir oleh hakim
sebagai dasar peringanan pidana atau dasar
penghapusan pidana.
2. Qishash dan Upaya Pencapaian Maslahah dalam Al-
Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 178 karya Imron
mahasiswa Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Walisongo Semarang lulus tahun
2006. Dalam Skripsi ini dijelaskan bahwa qishash
26
merupakan suatu sistem pemidanaan sebagai bentuk
adopsi hukum islam atas masyarakat arab pra
islam. Ketentuan qishash ini mengedepankan
prinsip kesimbangan sebagai upaya untuk
merekayasa keadaan sosial (sosial engineering),
sehingga tidak terjadi pertumpahan darah yang
melampaui batas sebagaimana yang telah
dipraktekkan pada zaman sebelum islam.
Pembahasan mengenai tinjauan hukum islam
terhadap tindak pidana pembunuhan sudah pernah
dibahas sebelumnya oleh beberapa mahasiswa Fakultas
Syari’ah, baik melalui kajian kitab maupun kajian
hukum pidana islam. Akan tetapi pembahasan mengenai
tinjauan hukum islam terhadap tindak pidana
pembunuhan dengan pendekatan keadilan restoratif
belum pernah disinggung sebelumnya oleh mahasiswa
Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo.
E. Metodologi Penelitian
27
1. Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini
adalah paradigma kualitatif,30 karenanya metode
pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan
metode pengumpulan data library research31 yang
mengandalkan atau memakai sumber karya tulis
kepustakaan. Metode ini penulis gunakan dengan
jalan membaca, menelaah buku-buku dan artikel
yang berkaitan dengan penelitian ini.
2. Sumber Data
Kerena penelitian ini merupakan studi terhadap
karya dari seorang tokoh, maka data-data yang
dipergunakan lebih merupakan data pustaka. Ada
dua macam data yang dipergunakan, yakni data
primer dan data skunder.
30 Adalah penelitian yang bersifat atau memilkikarakteristik, bahwa datanya dinyatakan dalam keadaan sewajarnya,atau sebagaimana aslinya (natural setting), dengan tidak dirubahdalam bentuk simbol-simbol atau bilangan. penelitian kualitatifini tidak bekerja menggunakan data dalam bentuk atau diolah denganrumusan dan tidak ditafsirkan/diinterpretasikan sesuai ketentuanstatistik/matematik. Hadawi dan Mimi Martin, Penelitian Terapan,Yogyakarta: Gajahmada University Press, 1996, hal.174.
tentang tindak pidana pembunuhan, meliputi: definisi
pembunuhan menurut KUHP dan Hukum Islam, klasifikasi
pembunuhan menurut KUHP dan Hukum Islam, dan sanksi
pidana menurut KUHP dan Hukum Islam.
Pada Bab Ketiga mengkaji konsep keadilan
retoratif yang meliputi: Pengertian keadilan
restoratif, prinsip-prinsip dasar keadilan
restoratif, dan kedudukan keadilan restoratif.
Bab Keempat berisi tentang Analisis tinjauan
hukum islam terhadap tindak pidana pembunuhan dengan
pendekatan keadilan restoratif yang meliputi:
Analisis tinjauan hukum islam terhadap tindak pidana
32
pembunuhan dengan pendekatan keadilan restoratif,
relevansi tinjauan hukum islam terhadap tindak
pidana pembunuhan dengan pendekatan keadilan
restoratif, dan prospek penyelesaian perkara pidana
dengan pendekatan keadilan restoratif dalam sistem
peradilan pidana.
Bab Kelima merupakan akhir dari pembahasan
skripsi ini yang meliputi: Kesimpulan, Saran-saran,
dan Penutup.
BAB II
TINJAUAN UMUM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN
A. PEMBUNUHAN MENURUT KUHP
1. Definisi Tindak Pidana Pembunuhan Menurut KUHP
Tindak pidana adalah salah satu istilah yang
dikenal dalam hukum pidana Belanda dengan
33
“Strafbaar feit”, yang sebenarnya merupakan istilah
resmi dalam Strafwetboek atau Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana, yang sekarang berlaku di Indonesia.
Menururt Wirjono Prodjodikoro tindak pidana
berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat
dikenakan hukuman pidana.35 Sedangkan Soerdjono
Soekanto dan Purnadi Purwacakara, tindak pidana
diartikan sebagai sikap tindak pidana atau
prilaku manusia yang masuk kedalam ruang lingkup
tingkah laku perumusan kaidah hukum pidana, yang
melanggar hukum dan didasarkan kesalahan.36.
Dari pengertian tindak pidana diatas, dapat
diketahui unsur-unsur tindak pidana yaitu:
1) Adanya perbuatan atau tingkah laku;
2) Perbuatan tersebut dilarang atau melawan
hokum;
35 Wirjono Projodikoro, Asas-asa Hukum di Indonesia, Bandung :PT.Eresco, __, hal 55
36 Soerdjono Soekanto dan Purnadi Purwacaraka, Sendi-Sendi danHukum Indonesia, , Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992, hal 85
34
3) Kesalahan (yang dilakukan oleh orang yang
dapat dipertanggung jawabkan);
4) Diancam dengan pidana atau hukuman pidana
Sehingga dapat disimpulkan tindak pidana
adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh
seseorang yang melawan hukum dan diancam dengan
hukuman pidana.
Tindak pidana pembunuhan dalam kitab undang-
undang Hukum Pidana (KUHP) termasuk ke dalam
kejahatan terhadap nyawa. Kejahatan terhadap
nyawa (misdrjn tegen het leven) adalah berupa
penyerangan terhadap nyawa orang lain.37
Pembunuhan sendiri berasal dari kata bunuh yang
berarti mematikan, menghilangkan nyawa. Membunuh
artinya membuat agar mati. Pembunuhan artinya orang
atau alat hal membunuh. Suatu perbuatan dapat
dikatakan sebagai pembunuhan adalah perbuatan
37 Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nywa, , Jakarta :Raja Grafindo Persada hal 55
35
oleh siapa saja yang dengan sengaja merampas
nyawa orang lain.38
Untuk memahami arti pembunuhan ini dapat
dilihat pada paal 338 KUHP yang berbunyi :
“Barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa
orang, karena pembunuhan biasa, dipidana dengan
pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun.”
Dari pasal tersebut dapat dipahami bahwa:
1. Pembunuhan merupakan perbuatan yang
mengakibatkan kematian orang lain;
2. Pembunuhan itu sengaja, artinya diniatkan
untuk membunuh;
3. Pembunuhan itu dilakukan dengan segera sesudah
timbul maksud untuk membunuh.39
2. Kalsifikasi Tindak Pidana Pembuuhan Menurut KUHP
Dalam kitab undang-undang Hukum Pidana
(KUHP) diatur pada buku II title XIX (paal 338-38 Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum, , Jakarta: Sinar Grafika
2007 hal 2439 R. Soesilo, KUHP Serta Komentar-Komentar Lengkap Pasal Demi Pasal,
Bandung: PT. Karya Nusantara, 1989, hal 207
36
350), tentang “kejahatan-kejahatan terhadap nyawa orang”.
Pembunuhan adalah termasuk tindak pidana material
(material delict), artinya untuk kesempurnaan tindak
pidana ini tidak cukup dengan dilakukannya
perbuatan itu, akan tetapi menjadi syarat juga
adanya akibat dari perbuatan itu.
Pada dasarnya pembunuhan itu terbagi dalam
dua bagian, yaitu dilihat dari kesalahan pelaku
(subjective element) dan sasaran (objective element).
Jika didasarkan pada kesalahan pelakunya,
maka diperinci atas dua golongan, yakni:
1) Kejahatan yang ditujukan terhadap jiwa manusia
yang dilakukan dengan sengaja (dolense misdrijven).
Terdapat pada Bab XIX pasal 338-350 KUHP;
2) Kejahatan yang ditujukan terhadap jiwa manusia
yang terjadi karena kealpaan (culpose misdrijven).
Terdapat pada pasal 359 KUHP.40
40 M.Amin Suma, dkk, Hukum Pidana Islam di Indonesia Peluang Prospekdan Tantanagan, , Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001, hal 143
37
Sedangkan jika didasarkan kepada sasaranya,
dibedakan kepada tiga macam:
1) Kejahatan yang ditujukan terhadap jiwa manusia
pada umumya;
2) Kejahatan yang ditujukan terhadap jiwa
seseorang anak yang sedang atau belum lama
dilahirkan;
3) Kejahatan yang ditujukan terhadap jiwa
seseorang anak yang masih dalam kandungan.41
Dibawah ini akan dijelaskan kejahatan
terhadap nyawa manusia yang dilakukan dengan
sengaja dan yang dilakukan dengan kealpaan.
Pembunuhan sengaja adalah perbuatan yang
mengakibatkan kematian orang lain, kematian itu
dikehendaki oleh pelaku. Dalam KUHP pembunuhan
yang dilakukan dengan senagaja, dikelompokkan ke
dalam beberapa jenis, yakni :
a) Pembunuhan biasa;
41 Ibid, hal 144
38
b) Pembunuhan terkwalifikasi;
c) Pembunuhan yang direncanakan;
d) Pembunahan anak;
e) Pembunuhan atas permintaan si korban;
f) Membunuh diri;
g) Menggugurkan kandungan (abortus).42
Dibawah ini akan dijelaskan ketujuh macam
pembunuhan tersebut.
a) Pembunuhan biasa
Pembuhuhan biasa ini terdapat dalam pasal
338 KUHP, yang berbunyi:
“Barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa
orang lain dipidana karena pembunuhan dengan
pidana paling lama lima belas tahun”43
Istilah “orang lain” dalam pasal 338 itu,
maksudnya adalah bukan dirinya sendiri, jadi
terhadap siapa pembunuhan itu dilakukan tidak
42 M. Sudrajat Bassar, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di dalam KUHP,__, Bandung : Remaja karya, 1986, hal 121
43 Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP hal 134
39
menjadi soal, meskipun pembunuhan itu
dilakukan terhadap bapak, ibu atau anak
sendiri.
Dalam pembunuhan biasa (doodslag), harus
dipenuhi unsur :
1. Bahwa perbuatan itu harus disengaja dan
kesengajaan itu harus timbul seketika itu
juga, ditunjukan kepada maksud supaya orang
itu mati.
2. Melenyapkan nyawa orang itu harus
merupakan perbuatan yang “positif” atau
sempurna walaupun dengan perbuatan yang
kecil sekalipun.
3. Perbuatan itu harus menyebabkan matinya
orang, seketika itu juga atau beberapa saat
setelah dilakukannya perbuatan itu.44
b) Pembunuhan terkwalifikasi
44 M. Sudrajat Bassar, Tindak-Tindak Pidana tertentu di dalam KUHP,hal 121
40
Maksud dari pembunhan ini adalah
pembunhan yang diikuti, disertai, atau
didahului dengan perbuatan lain. Sebagaimana
yang dirumuskan dalam pasal 339 yaitu:
“Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahuli
oleh suatu delik, yang dilakukan dengn maksud
untuk mempersiapkan atau mempermudah
pelaksanaannya, atau untuk melepaskan diri sendiri
maupun peserta lainnya dari pidana dalam hal
tertangkap tangan, ataupun untuk memastikan
penguasaan barang yang diperolehnya secara
melawan hukum, diancam pidana dengan pidana
penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu,
paling lama dua puluh tahun”.45
Apabila rumusan diatas dirinci, maka
terdiri beberapa unsur sebagai berikut:
1. Semua unsur pembunuhan dalam pasal 338;
45 Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, hal 134
41
2. Yang diikuti, disertai, atau didahului oleh
tindak pidan lain;
3. Pembunuhan yang dilakukan dengan maksud:
a. Untuk mempersiapkan tindak pidana
b. Untuk mempermudah pelaksanaan tindak
piudana lain dan jika tertangkap tangan
bertujuan untuk menghidarkan diri sendiri
ataupun orang lain yang ikut terlibat atau
untuk memastikan penguasaan benda yang
didapatkanya dengan cara melawan hukum.
c) Pembunuhan yang direncanakan (moord)
Pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja
dan direncanakan terlebih dahulu dalam keadaan
tenang untuk melenyapkan nyawa orang atau
lebih dikenal dengan pembunuhan berencana.
Pembunuhan ini diatur dalam pasal 340 KUHP
dengan ancaman hukuman yang paling berat,
yaitu hukuman mati atau pidana penjara seumur
hidup.
42
Unsur-unsur dari pembunuhan jenis ini
adalah:
1. Adanya kesengajaan, yaitu kesengajan yang
disertai perencanaan terlebih dahulu;
2. Yang bersalah dalam keadaan tenang
memikirkan untuk melakukan pembunuhan itu
dan kemudian melakukan maksudnya dan tidak
menjadi soal berapa lama waktunya;
3. Diantara saat timbulnya pikiran untuk
membunuh dan saat melakukan pembunuhan itu,
ada waktu ketenangan pikiran.46
d) Pembunuhan anak (kinderdoodslag)
Dalam pembunuhna jenis ini yang terkena
pasal adalah seorang Ibu, baik kawin mauapun
tidak, yang dengan sengaja membunuh anaknya
pada waktu dilahairkan atau beberapa lama
setelah dilahairkan. Pembunuhan ini dirumuskan
dalam pasal 341 dan 342.47 46 M. Sudrajat Bassar, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di dalam KUHP,
hal 12447 Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, hal 135
43
Untuk pembunuhan dalam 341 diancam dengan
hukuman selama-lamanya tujuh tahun pnjara.
Pasal 342 memuat perbuatan yang eujudnya sama
dengan yang dimuat dalam pasal 341 dengan
perbedaan bahwa dalam pasal 342 perbuatannya
dilakukan untuk menjalankan kehendak yang
ditentukan sebelum anak dilahairkan. Tindak
pidana ini diancam dengan maksimum hukuman
Sembilan tahun penjara.
e) Pembunuhan atas permintaan si korban
Pembunuhan ini dirumuskan dalam pasal
344:
“Barang siapa yang merampas jiwa orang lain
atas permintaan yang sangat tegas dan
sungguh-sungguh, diancam dengan pidana
penjara paling lama dua belas tahun.”
Dari bunyi pasal diatas diketahui bahwa
pembunuhan ini mempunyai unsure: atas
44
permintaan yang tegas dari si korban dan
sungguh-sungguh nyata
f) Masalah bunuh diri
Pada dasarnya tidak ada permasalahan
dalam bunuh diri karena tidak ada pelaku
secara langsung didalamnya. Hanya saja disini
akan diancam hukuman bagi orang yang sengaja
menghasut atau menolong orang lain untuk bunuh
diri, yaitu akan dikenakan pasal 354 KUHP yang
akan diancam dengan pidana penjara paling lama
empat tahun. Dengan syarat membunuh diri itu
harus benar-benar terjadi dilakukanya, artinya
orangnya sampai mati karena bunuh diri
tersebut.
g) Menggugurkan kandungan (abortus)
Dilihat dari subjek hukumnya maka
pembunuhan jenis ini dapat dibedakan menjadi :
1. Pembunuhan yang dilakukan oleh perempuan
hamil itu sendiri (pasal 346) dengan ancama
45
hukumanya adalah pidana penjara paling lama
empat tahun;
2. Pembunuhan yang dilakukan oleh orang lain
atas persetujuannya (pasal 347) atau tidak
atas persetujuannya (pasal 348);
3. Pembunuhan yang dilakukan oleh orang lain
yang mempunyai kualitas tertentu seperti
dokter, bidan dan juru obat atas
persetujuan ataupun tidak.
3. Sanksi Tindak Pidana Pembunuhan Menurut KUHP
Ancaman hukuman terhadap suatu kejahatan
pembunuhan termaktub dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP). KUHP menetapkan jenis-jenis
pidana atau hukuman yang termaktub dalam pasal 10
KUHP yang terbagi dalam dua bagian, yaitu hukuman
pokok dan hukuman tambahan.
1. Hukuman pokok terdiri atas empat macam,
yaitu:48
a. Hukuman mati
48 Leden Marpaung, Asas-Teori Praktek Hukum Pidana, hal.107-110
46
Hukuman jenis ini yang terberat dari
semua pidana yang diancamkan terhadap
berbagai kejahatan yang sangat berat,
misalnya pembunuhan berencana (pasal 340
KUHP)
b. Hukuman penjara
Hukuman ini membatasi kemerdekaan atau
kebebasan seseorang. Hukuman penjara
ditujukan kepada penjahat yang melakukan
perbuatan buruk dan nafsu jahat. Hukuman
penjara minimun satu hari dan maksimum
seumur hidup.
Hukum penjara diancam pada berbagai
kejahatan, diantaranya adalah pembunuhan
biasa (pasal 338 KUHP), pembunuhan
terkualifikasi (pasal 339 KUHP), pembunuhan
anak (pasal 341 dan 342 KUHP), pembunuhan
atas permintaan korban (pasal 344 KUHP),
dan menggugurkan kandungan (pasal 346, 347,
348, dan 349 KUHP).
47
c. Hukuman kurungan
Hukuman kurungan lebih ringan aripada
hukuman penjara karena hukuman ini diancam
terhadap pelanggaran atau kejahatan yang
dilakukan sebab kelalaian. Pelaksanaan
hukuman kurungan paling sedikit satu hari
dan paling lama satu tahun.
Kejahatan yang dapat diancam dengan
hukuman kurungan diantaranya; pasal 490
KUHP tentang izin memelihara binatang
buruan, pasal 492 KUHP tentang mabuk di
muka umum, dan lain-lain yang berkaitan
dengan pelanggaran keamanan umum.
d. Denda
Hukuman denda selain diancamkan pada
pelaku pelanggaran juga diancamkan terhadap
kejahatan yang adakalanya sebagai
alternatif atau komulatif jumlah yang
dikenakan pada hukuman denda ditentukan
48
dengan nilai minimum 25 sen sedang jumlah
maksimum tidak ada ketentuan.
2. Hukuman tambahan terdiri dari tiga jenis;49
a. Pencabutan hak-hak tertentu
Hal ini diatur pada pasal 35 KUHP, yaitu
pencabutan hak si bersalah berdasarkan
putusan hakim dalam hal yang ditentukan
undang-undang. Hak tersebut bisa saja
jabatan atau kekuasaan, seperti mencabut
haknya sebagai pegawai negeri sipil atau
PNS;
b. Perampasan barang tertentu
Karena putusan suatu perkara mengenai
diri terpidana, maka barang yang dirampas
itu adalah barang hasil kejahatan atau
barang milik terpidana yang digunakan untuk
melaksanakan kejahatannya;
c. Pengumuman putusan hakim
49 Ibid hal. 112
49
Hukuman ini dimaksudkan untuk
mengumumkan kepada khalayak ramai agar
dengan demikian masyarakat umum lebih
berhati-hati terhadap si terhukum. Biasanya
ditentukan oleh hakim dalam surat kabar
yang semuanya atas biaya si terhukum.
Di dalam KUHP, tindak pidana pembunuhan
merupakan suatu bentuk kejahatan yang serius. Hal
ini dapat dilihat dari ancaman hukuman bentuk
tindak pidana pembunuhan dibawah ini:
1. Pembunuhan sengaja, dalam bentuk umum atau
pokok diatur dalam pasal 338 KHUP:
“Barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain,
diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara
paling lama lima belas tahun”.
2. Pembunuhan berencana, diatur dalam pasal 340
KUHP:
“Barang siapa dan dengan rencana lebih dahulu
merampas nyawa orang lain diancam, karena
pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana
50
mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama
waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”;
3. Pembunuhan tidak dengan sengaja. Diatur dalam
pasal 359 KUHP:
“Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan matinya
orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama
lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun”.
B. PEMBUNUHAN MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM
1. Definisi Tindak Pidana Pembunuhan Prespektif
Hukum Islam
Tindak pidana dalam hukum Islam dikenal
dengan Jinayah dan meunurut ahli fikh perkataan
Jinayah berarti perbuatan-perbuatan yang terlarang
menururt syara’ yang diancam dengan hukuman
hudud50 dan qishas51.
50 Hudud jamak dari hadd, arti aslinya batas antara dua hal.menurut bahasa bisa juga cegahan. sedangkan menurut syari'at yangdimaksud ialah hukuman yang telah ditetapkan dalam al qur'ansebagai hak Allah.
51 H. A Djazuli, Fiqh Jinayah Upaya Menanggulangi Kejahatan DalamIslam, ,Jakarta: Grafindo Persada, 2000, hal 2
51
Menururt Abdul Qodir Audah, Jinayah adalah
suatu perbuatan yang dilarang oleh syara’, baik
perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta, atau
lainnya52
Istilah yang mempunyai makna yang sepadan
dengan Jinayah adalah Jarimah.53 Akan tetapi
kebanyakan para ulama’ menggunakan istilah
jarimah dalam menjelaskan perbuatan yang dilarang
dan diancam hukuman atasnya. Selain itu, ulama’
juga bersepakat pembunuhan termasuk dalam
kategori dosa besar karena pembunuhan berarti
tindakan yang membuat orang lain kehilangan
nyawanya.
Dalam bahasa Arab, pembunuhan disebut ل ت� ال�ق�berasal dari kata ل ت� ات� yang sinonimnya ق�� � م yang ا�artinya mematikan.
52 Abdul Al-Qadir Audah, AL-Tasyri’ Al-islami Juz I, Beirut: Muassasahal-Risalah 1992, hal 9
53 Jarimah diartikan sebagai perbuatan-perbuatan yangdilarang oleh menurut syara dan ditentukan hukumannya oleh Tuhan,baik dalam bentuk sanksi-sanksi yang sudah jelas ketentuannya (had)maupun sanksi-sanksi yang belum jelas ketentuannya oleh Tuhan(ta'zir).
52
Sedang mengenai pengertian dari pembunuhan
itu sendiri, Abdul Qadir Al-Audah mendefinisikan
sebagai berikut :
دمّى ع ل ا� ف� دمّى ب�� اق� روح ا�ّ � ه ر� ه ا� �� ول ب ز# �� اد ت � ع ل ال�عت و ف�� � ل ه ت� ال�ق�ر خ�� ا�
Artinya: “Pembunuhan adalah perbuatan manusiayang menghilangkan kehidupan yaknipembunuhan itu adalah menghilangkan nyawamanusia dengan sebab perbuatan manusiayang lain.”54
Wahbah zuhaili memberikan pengertian
pembunuhan dengan mengutip pendapat Syarbini
khatib sebagai berikut:
ل ات,� ى ال�ق� ه�ق� ا� عل ال�مز� ل ه�و ف�� ت� ال�ق�س ق� ل�لن�
Artinya: “Pembunuhan adalah perbuatan yangmenghilangkan atau mencabut nyawaseseorang”.55
Dari definisi diatas dapat diambil beberapa
kesimpulan bahwa unsur-unsur dalam tindak pidana
pembunuhan dalam Hukum Islam adalah:54 Abdul Al-Qadir Audah, op. Cit, hal 217 55 Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-islami wa Adillatuhu, juz VI, Damaskus: Dar
Al-kitab Al-‘Arabi tanapa tahun, hal 6
53
a) Menghilangkan nyawa manusia;
b) Adanya perbuatan, baik perbuatan itu aktif
maupun pasif. Maksud dari prbuatan aktif
adalah adanya perbuatan atau tingkah laku yang
dilakukan sehingga mengakibatkan hilangnya
nyawa seseorang, misalnya menusuk seseorang
dengan pisau. Maksud dari perbuatan pasif
adalah tidak adanya perbuatan atau tingkah
laku yang dilakukan tetapi karena tidak
berbuat itu mengakibatkan hilangnya nyawa
seseorang;
c) Dilakukan oleh orang lain, karena jika
dilakukan oleh diri sendiri dinamakan bunuh
diri meskipun dilarang oleh syara’ tetapi tidak
ada ancaman hukuman di dalamnya, dikarenakan
pelaku sudah tiada.
2. Klasifikasi Tindak Pidana Pembunuhan dalam Hukum
Islam
54
Tindak pidana pembunuhan dalam Hukum islam
secara garis besar dibagi dalam dua bagian
sebagai berikut:
1) pembunuhan yang dilarang, yaitu pembunuhan
yang dilakukan dengan melawan hukum;
2) pembunuhan dengan hak, yaitu pembunuhan yang
dilakukan dengan tidak melawan hukum, seperti
membunuh orang murtad atau pembunuhan oleh
seorang algojo yang diberi tugas melaksanakan
hukuman mati.56
Pembunuhan yang dilarang terbagi kepada
beberapa bagian, menururt Abdul Qodir Audah jika
pembagian tersebut dilihat dari maksud kehendak
si pelaku melakukan pembunuhan, maka dalam ini
para fuqoha’ berbeda pendapat. Menururt Imam
Malik pembunuhan dilihat dari segi kehendak si
pelaku terbagi kepada dua bagian, yaitu:
a. Pembunuhan sengaja;
b. pembunuhan karena kesalahan atau57
56 Abdul Al-Qadir Audah, op. Cit, hal 6 57 Ibid hal 7
55
Sedang Jumhur fuqoha’ (ulama’ hanafiyah, syafi’iyah, dan
hanabillah) membagi pembunuhan menjadi tiga macam
jika dilihat dari segi kehendak si pelaku, yaitu:
1) Pembunuhan sengaja;
2) Pembunuhan menyerupai sengaja;
3) Pembunuhan karena kesalahan.
inilah pendapat yang masyhur di kalangan
ulama’ yakni membagi pembunuhan menjadi tiga
macam. Meskipun sebenarnya masih ada pendapat
lain yang membagi pembunuhan kepada empat dan
lima bagian, namun pembagian tersebut hanyalah
pengembangan dari pembagian yang dikemukakan oleh
jumhur Ulama’. Oleh karena itu dalam pembahasan
selanjutnya penulis akan mengikuti pendapat
jumhur Ulama’ dan di bawah ini akan dijelaskan
ketiga macam tersebut.
1) Pembunuhan sengaja
Pembunuhan sengaja adalah perbuatan
pembunuhan terhadap seseorang dengan maksud
untuk menghilangkan nyawa orang tersebut.
56
Sebagai indikator dari kesengajaan untuk
pembunuhan sengajaa dapat dilihat dari alat
yang digunakan. Dalam hal ini alat yang
digunakan untuk membunuh adalah alat yang
ghalib (lumrah) dapat mematikan korban, seperti
senjata apai, senjata tajam, dan sebagainya.
Pembunuhan sengaja ini merupakan pembunuhan
yang haram dan Allah berfirman:
Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh jiwa
yang diharamkan Allah (membunuhnya),melainkan dengan suatu (alasan) yang benardan Barangsiapa dibunuh secara zalim,Maka Sesungguhnya Kami telah memberikekuasaan kepada ahli warisnya, tetapijanganlah ahli waris itu melampaui batasdalam membunuh. Sesungguhnya ia adalahorang yang mendapat pertolongan”.
Pembunuhan sengaja mempunyai beberapa
unsur sebagai berikut:
1. Korban adalah orang yang hidup, artinya
adalah bahwa korban itu manusia yang hidup
57
ketika terjadi pembunuhan walaupun dia
sedang sakit parah. Menururt Wardi Muslich
dalam bukunya “Hukum Pidana Islam”, selain
syarat bahwa korban itu hidup juga
ditambahkan bahwa korban adalah orang yang
mendapatkan jaminan keselamatan oleh negara
artinya korban merupakan seorang warga
negara yang dilindungi;
2. Perbuatan pelaku yang mengakibatkan
kematian korban, artinya perbuatan yang
dilakukan oleh pelaku yang menyebabkan
kematian. Hubungan antara kematian dan
perbuatan seseorang ini juga harus jelas
menerangkan bahwa akibat dari perbuatan
seseorang tersebut adalah kematian bagi
orang lain begitu juga sebaliknya dan jika
dikaitkan diantaranya terputus maka pelaku
dianggap tidak sengaja membunuh dan
menyebabkan penjatuhan hukuman yang
berbeda. Selain itu juga berhubungan dengan
58
alat yang digunakan. Yang dimaksud alat
yang digunakan adalah alat yang pada
umumnya dapat mematikan. Sedangakan menurut
Imam Malik, setiap cara atau alat yang
mengakibatkan kematian dianggap sebagai
pembunuhan jika dilakukan dengan sengaja.58
3. Ada niat dari pelaku untuk menghilangkan
nyawa korban. Menurut para ulama’ niat
memegang peranan penting dalam pembunuhan
yang disengaja, namun karena itu sesuatu
yang tidak bisa dilihat maka dapat
diperkirakan niat si pelaku melalui alat
yang digunakan.
2) Pembunuhan menyerupai (semi) sengaja
Pembunuhan menyerupai (semi) sengaja
adalah perbuatan penganiayaan terhadap
seseorang tidak dengan maksud membunuhnya
tetapi malah mengakibatkan kematian. Dari
definisi ini pembunuhan menyerupai sengaja
58 Abdul Al-Qadir Audah, op. Cit, hal 27
59
memiliki dua unsur, yaitu unsur kesengajaan
dan unsur kekeliruan. Unsur kesengajaan
terlihat dalam kehendak pelaku berupa
penganiayaan terhadap korban. Sedang unsur
kekeliruan terlihat dalam ketiadaan niat
pelaku untuk menghilangkan nyawa korban.
Pembunuhan menyerupai sengaja memang
perbuatanya dilakukan dengan sengaja, tetapi
tidak ada niat dalam diri pelaku untuk
membunuh korban. Sebagai bukti tentang tidak
adanya niat membunuh tersebut dapat dilihat
dari alat yang digunakan. Apabila alat
tersebut pada umumnya tidak mematikan, seperti
tongkat, ranting kayu, batu kerikil, atau sapu
lidi maka pembunuhan yang terjadi termasuk
pembunuhan menyerupai sengaja. Akan tetapi
jika alat yang digunakan untuk membunuh pada
umumnya mematikan, seperti senjata api,
60
senjata tajam, atau racun maka pembunuhan
tersebut temasuk pembunuhan sengaja.59
Ada tiga unsur dalam bentuk tindak pidana
pembunuhan menyerupai sengaja ini adalah:
1. Pelaku melakukan sesuatu dalam bentuk apa
pun yang mengakibatkan kematian korban;
2. Ada maksud penganiayaan dan permusuhan,
artinya perbuatan pelaku yang dilakukan
kepada korban memang disengaja dan tidak
mungkin tanpa sebab. Sebab itu bisa saja
karena dendam atau permusuhan. Tindakan
pelaku itu dilakukan hanya menganiaya saja
tidak untuk sampai membunuh, inilah yang
menjadi pembeda antara pembunuhan sengaja
dengan pembunuhan semi sengaja, yaitu niat
untuk membunuh;
3. Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan
pelaku dengan kematian si korban, yaitu
penganiayaan yang dilakukan si pelaku telah59 A. Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam,:Jakarta,: Sinar
Grafika 2005 hal 142
61
menyebabkan kematian korban secara langsung
atau merupakan sebab yang membawa
kematiannya.
3) Pembunuhan Karena Kesalahan
Pengertian Pembunuhan karena kesalahan
adalah pembunuhan yang disebabkan salah dalam
perbuatan60, salah dalam maksud61, kelalaian.62.
Wahbah Zuhaili memberikan definisi pembunuhan
karena kesalahan sebagai berikut:
ل ع داء لال�لف� � ع�ت د الا� ص ر ق�� Aي � غ ادتD ب�� ل ال�ح � ت و ال�ق� � ا� ه ط وال�خ�ص خ� Dولال�لش
Artinya: “Pembunuhan karena kesalahan adalahpembunuhan yang terjadi tanpa maksudmelawan hukum, baik dalam perbuatannyamaupun objeknya”.63
Pembunuhan ini dikatakan kesalahan,
karena sesorang melakukan perbuatan yang tidak
60 Misalnya melakukan dengan tidak ada maksud melakukankejahatan, tetapi mengakibatkan hilangnya nyawa orang.
61 Seseorang melakukan perbuatan dengan niat maksud membunuhseseorang yang dalam perasangkaannya boleh dibunuh, namun ternyatatidak boleh dibunuh. Misalnya sengaja menembak seseorang yangdisangka musuh dalam peperangan tapi ternyata kawan sendiri.
62 Pelaku tidak bermaksud melakukan kejahatan akan tetapikarena kelalaiannya menimbulkan kematian orang.
63 Wahbah zuhaili, IV, op. Cit. Hal 223
62
dilarang namun mengakibatkan sesuatu yang
dilarang disebabkan kelalaiannya atau kekurang
hati-hati dalam mengendalikan perbuatan itu.
Untuk itu pembunuhan ini juga harus
dipertanggung jawabkan dan pertanggung
jawabanya ini dibebankan karena kelalaian dan
kekurang hati-hati tindakan tersebut.
Kekeliruan dalam pembunuhan itu ada dua
macam,64 yaitu:
a) Pembunuhan karena keliruan semata;
b) Pembunuhan karena disamakan dengan
kekeliruan.
Pembunuhan karena kekeliruan semata
didefinisikan oleh Abdul Qodir audah sebagai
suatu pembunuhan dimana pelaku sengaja
melakukan suatu perbuatan, tetapi tidak ada
maksud untuk mengenai orang . melainkan
terjadi kekeliruan, baik dalam perbuatan
maupun dalam dugaanya.65
64 A. wardi muslich, op.cit. hal 14465 Abdul Al-Qadir Audah, op. Cit, hal 104
63
Kekeliruan yang pertama, pelaku sadar
dalam melakukan perbuatannya, tetapi tidak ada
niat mencelakai orang atau korban. Sedang
dalam kekeliruan yang kedua, pelaku sama
sekali tidak menyadari perbuatanya dan tidak
ada niat untuk mencelakai tetapi karena
kelalaian dan kekurang hati-hatiannya,
perbuatanya mengakibatkan hilang nyawa
seseorang.
Unsur-unsur yang terdapat dalam
pembunuhan karena kesalahan adalah:
1. Adanya perbuatan yang mengakibatkan
kematian;
2. Terjadinya perbuatan karena kesalahan atau
kelalaian pelaku;
3. Antara perbuatan kekeliruan dan kematian
korban terdapat hubungan sebab akibat.
3. Sanksi tindak pidana pembunuhan dalam Hukum
Pidana Islam
64
Sanksi dari tindak pidana pembunuhan di
dalam hukum pidana islam ada beberapa jenis.
Secara garis besarnya adalah hukuman itu sendiri
terdiri ari hukuman pokok, hukuman pengganti dan
hukuman tambahan. Hukuman pokok dalam tindak
pidanan pembunuhan adalah qishash. Apabila
dimaafkan oleh keluarga korban, maka hukuman
pengganatinya adalah diyat dan jika sanksi qishash
atau diyat itu dimaafkan pula maka akan ada
hukuman ta’zir dan hukuman tambahan yang dimaksud
adalah seperti pencabutan hak waris.
Hukuman yang dijatuhkan untuk masing-masing
jenis pembunuhan juga berbeda, yaitu sebagai
berikut:
1. Hukuman pembunuhan sengaja
Hukuman pokoknya adalah qishash atau
balasan setimpal. Yang dimaksud balasan
setimpal adalah perbuatan yang mengakibatkan
kematian maka balsanya juga kematian. Hal ini
65
berdsarkan firman Allah swt pada Q.S Al-
Baqarah ayat 178-179:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu qishaash berkenaandengan orang-orang yang dibunuh; orangmerdeka dengan orang merdeka, hambadengan hamba, dan wanita dengan wanita.Maka Barangsiapa yang mendapat suatupema'afan dari saudaranya, hendaklah (yangmema'afkan) mengikuti dengan cara yangbaik, dan hendaklah (yang diberi ma'af)membayar (diat) kepada yang memberi ma'afdengan cara yang baik (pula). yang demikianitu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamudan suatu rahmat. Barangsiapa yangmelampaui batas sesudah itu, Maka baginyasiksa yang sangat pedih. dan dalam qishaashitu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu,Hai orang-orang yang berakal, supaya kamubertakwa”.
Apabila qishash tidak dilaksanakan baik
karena tidak memenuhi syarat-syarat
pelaksanaanya maupun mendapatkan maaf dari
keluarga korban maka hukuman penggantinya
66
adalah dengan membayar diyat berupa 100
(seratus) ekor unta kepada keluarga korban.
Hal ini sesuai dengan hadist Nabi Muhammad saw
kepada penduduk yaman :
Aى ول وانL ف� � ت اء ال�مق� A ىA اول�ت ود الا انL ت��زض� ه ق� اب�� ة� ف�� ن� Wي Yت� Lلا ع�ن ت� ا ق�� م�ت� ط م�و� ب� نL م�نL اع�ت� ا�انL و � نL ح�ت ه� اب�� � اى� اب��نL م�اج س و داود ال�ن� �� ل ... ورواه اب �� ه� م�نL الات �� اب ه� ن�� A� س ال�دب ق� ال�ن�
اح�مد Artinya: “sesunguhnya barang siapa yang
membunuh seorang yang mukmin tanpaalasan yang sah dan ada saksi, ia harusdiqishas kecuali apabila keluarga korbanmerelakan (memaafkan) dan sesungguhnyadalam menghilangkan nyawa harusmembayar diyat berupa seratus ekor unta”.(H.R Abu Daud, Al-Nasa’i, IbnuKhuzaimah, Ibnu Hibban dan Ahmad).
Walaupun sudah ada hukuman pengganti yang
berbentuk diyat namun dalam pelaksanaanya
diserahkan kembali kepada keluarga korban,
apakah akan menuntut hukuman diyat itu atau
tidak namun pelaku akan tetap dikenai hukuman
tambahan atau kifarat yang merupakan hak dari
Allah.
67
Bentuk pertama dari hukuman kifarat iani
adalah memedekakan hamba sahaya dan bila tidak
melakukannya maka wajib menggantinya dengan
puasa dua bulan berturut-turut dan hukuman
kedua dari kifarat ini adalah kehilangan hak
mewarisi yang dibunuhnya. Sesuai hadist Nabi :
ء Aى Dش DراتAال�مي Lل م�ن ات,� س ل�لق� Aل�نArtinya: “si Pembunh tidak boleh mewarisi harta
yang dibunuhnya”. (H.R N-Nasa’i danDaruqutni)
2. Hukuman pembunuhan semi sengaja
Hukuman pokoknya adalah diyat mughalladzah
artinya diyat yang diperberat. Dasar dari
hukuman diyat mughalladzah ini adalah:
ا ه طون�� ىA ب�� ونL ف� ع ا ارب,� ه ل م�ن� �� ه� م�نL الات �� د م�اب ه ال�عم ن� D� اء وش ط ه� ال�خ� A� نL دب الا ا� Lان نL ح�ت� ه� و ص�ححه اب�� نL م�اج� ساى� و اب�� و داود و ال�ن� ه اب�� رج� اولاده�ا...اخ��
Perbedaan antara diyat pembunuhan senagaja
dengan pembunuhan semi sengaja terletak pada
pembebanan dan waktu pembayaran. Pada
pembunuhan senagaja diyat dibebankan kepada
68
pelaku sendiri dan pembayarannya tunai
sedangkan pada pembunuhan semi sengaja, diyat
dibebankan kepda keluarga pelaku atau aqilah dan
pembayaran dapat diangsur selama tiga tahun.
Hukuman kifarat terhadap pembunuhan semi
sengaja adalah memerdekakan hamba sahaya dan
dapat diganti dengan berpuasa selama dua bulan
berturut-turut. Jika hukuman diyat gugur karena
adanya pengampunan maka pelaku akan dikenakan
hukuman ta’zir yang diserahkan kepada hakim yang
berwenang ssuai dengan perbuatan si pelaku.
Hukuman tambahan pada pembunuhan semi sengaja
sama dengan hukuman tambahan pada pembunuhan
sengaja, yaitu tidak mewarisi dari orang yang
telah dibunuhnya.
3. Hukuman pembunuhan karena kesalahan
Hukuman pokok yang dijatuhkan adalah diyat
dan kaffarat, diyat ini oleh Imam Syafi’i
digolongkan dalam diyat mukhaffafah, yaitu diyat
69
yang diperingan. Keringanan tersebut dapat
dilihat dari tiga aspek, yaitu :
a. Kewajiban pembayaran dibebankan kepada
aqilah (keluarga);
b. Pembayaran dapat diangsur selama tiga
tahun;
c. Komposisi diyat dibagi menjadi lima
kelompok :
1. 20 ekor anak sapi betina, berusia 1-2
tahun
2. 20 ekor sapi betina yang sudah besar
3. 20 ekor sapi jantan yang sudah besar
4. 20 ekor unta yang masih kecil, berusia
3-4 tahun
5. 20 ekor unta yang sudah bear, berusia
4-5 tahun
Sedangkan hukuman penggantinya adalah
puasa. Mmenurut fuqoha tidak ada ta’zir dalam
pembunuhan tersalah, hal ini dikarenakan dua
hukuman pokok, yaitu diyat dan kafarat serta
70
hukuman-hukuman tambahan dianggap cukup.
Artinya didalam hukum islam tidak ada larangan
untuk menentukan hukuman ta’zir ketika hukuman
diyat diampuni. Hal ini jika dinilai ada
kebaikan untuk bersama.66
66 Abdul Qodir audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Bogor:PT.Kharisma Ilmu, hal.348-351
71
BAB III
KEADILAN RESTORATIF
A. PENGERTIAN
Dalam buku berjudul Keadilan Restoratif, Eva
Achjani Zulfa menyatakan bahwa restorative justice
atau yang sering diterjemahkan sebagai
keadilan restoratif merupakan suatu model pendekatan
yang muncul sejak era tahun 1960-an dalam upaya
penyelesaian perkara pidana. Pendekatan keadilan
restoratif menekankan pada adanya partisipasi
langsung pelaku, korban dan masyarakat dalam proses
penyelesaian perkara pidana. Ini merupakan hal yang
membedakannya dengan pendekatan yang dipakai dalam
72
system peradilan pidana konvensional, sehingga
secara teoritis pendekatan ini masih
diperdebatkan. Namun pada kenyataannya pandangan ini
berkembang dan banyak mempengaruhi kebijakan hukum
dan praktik di berbagai negara.67 Berikut akan
dipaparkan beberapa pengertian keadilan restoratif.
Keadilan restoratif adalah sebuah konsep
pemikiran yang merespon pengembangan sistem
peradilan pidana dengan menitik beratkan pada
kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang
dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja
pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat
ini.68
Restorative justice is a process that aims to put things right for
the people who have been victims of offences. It does this through a
meeting between the victim and the offender called a restorative
justice conference.69 (Keadilan Restoratif adalah sebuah67 Eva Achjani Zulfa. Keadilan Restoratif, Jakarta:Badan Penerbit
FH UI, 2009, hal 268 Ibid, hal.369 h tt p :/ / ww w . ii rp.or g /a r ticle _d etail .p h p ?
a r ticle _ i d= ND I y ,ditelusur pada tanggal 12 November 2011
73
proses yang bertujuan untuk memberikan hak-hak
kepada korban kejahatan. Untuk mencapai tujuan
tersebut diadakan pertemuan antara korban dengan
pelaku).
Restorative justice is a system or practice which emphasized the
healing of wounds suffered by victims, offenders, and communities
that are caused or revealed by offending conduct.70 Definisi
ini mengartikan keadilan restoratif sebagai sebuah
sistem yang menekankan pemulihan bukan hanya kepada
korban, tetapi juga kepada pelaku dan masyarakat
terkait.
Menurut Tony Marshall, restorative justice is a process
whereby parties with a stake in a specific offence collectively resolve
how to deal with the aftermath of the offence and its implications for
the future.71 Di sini Marshall mengartikan keadilan
restoratif sebagai sebuah proses dimana semua pihak
yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu70 Restorative Justice in New Zealand: A Model For U.S. Criminal Justice,
Wellington: Ian Axford Fellowship, 2001, hal.571 Ibid, hal.6
74
bertemu bersama untuk menyelesaikan secara bersama
bagaimana menyelesaikan akibat dari pelanggaran
tersebut demi kepentingan masa depan.
PBB mendefinisikan keadilan restoratif sebagai
a way of responding to criminal behaviour by balancing the needs of
the community, the victims and the offenders,72 yang terjemahan
bebasnya adalah sebuah penyelesaian terhadap
perilaku pidana dengan cara menyelaraskan kembali
harmonisasi antara masyarakat, korban, dan pelaku.
Berdasarkan definisi-definisi di atas, penulis
berusaha mendefinisikan keadilan restoratif sebagai
sebuah konsep pencapaian keadilan yang menekankan
pada pemulihan atas kerusakan yang timbul akibat
terjadinya suatu tindak pidana, dengan melibatkan
korban, pelaku, masyarakat terkait serta pihak-
pihak yang berkepentingan. Yang dimaksud dengan
pemulihan di sini bukan hanya kepada diri korban,
72 Handbook on Restorative Justice Programme, New York: UnitedNations, 2006, hal 6
perhatian hanya kepada pelaku dan masyarakat luas.
73 Eva Achjani Zulfa. Keadilan Restoratif, Jakarta:Badan PenerbitFH UI, 2009, hal 66.
76
B. PRINSIP DASAR
Upaya restoratif adalah upaya yang menggunakan
konsep keadilan restoratif dan menghasilkan tujuan
dari konsep tersebut yaitu kesepakatan antara para
pihak yang terlibat. Kesepakatan ini merupakan
kesepakatan para pihak yang didasarkan pada upaya
pemenuhan kebutuhan korban dan masyarakat atas
kerugian yang timbul dari tindak pidana yang
terjadi. Kesepakatan tersebut juga dapat diartikan
sebagai suatu upaya memicu proses reintegrasi
antara korban dan pelaku, sehingga kesepakatan
tersebut dapat berbentuk sejumlah program seperti
reparasi (perbaikan), restitusi ataupun community
service.74
PBB mengemukakan beberapa prinsip yang mendasari
program keadilan restoratif yaitu:75
1. That the response to crime should repair as much as
possible the harm suffered by the victim;74 Ibid, hal.1575 Handbook on Restorative Justice Programme, New York: United
Nations, 2006, hal 8
77
Penanganan terhadap tindak pidana harus
semaksimal mungkin membawa pemulihan bagi
korban. Prinsip ini merupakan salah satu tujuan
utama manakala pendekatan keadilan restoratif
dipakai sebagai pola pikir yang mendasari suatu
upaya penanganan tindak pidana. Penyelesaian
dengan pendekatan keadilan restoratif membuka
akses bagi korban untuk menjadis alah satu pihak
yang menentukan penyelesaian akhir dari tindak
pidana karena korban adalah pihak yang paling
dirugikan dan yang paling menderita. Oleh
karenanya pada tiap tahapan penyelesaian yang
dilakukan harus tergambar bahwa proses yang
terjadi merupakan respon positif bagi korban
yang diarahkan pada adanya upaya perbaikan atau
penggantian kerugian atas kerugian yang
dirasakan korban.76
2. That offenders should be brought to understand that their
behaviour is not acceptable and that it had some real76 Eva Achjani Zulfa. Keadilan Restoratif, Jakarta: Badan Penerbit
FH UI, 2009, hal.15
78
consequences for the victim and community;
Pendekatan keadilan restoratif dapat dilakukan
hanya jika pelaku menyadari dan mengakui
kesalahanya. Dalam proses restoratif, diharapkan
pelaku juga semakin memahami kesalahannya
tersebut serta akibatnya bagi korban dan
masyarakat. Kesadaran ini dapat membawa pelaku
untuk bersedia bertanggungjawab secara sukarela.
Makna kerelaan harus diartikan bahwa pelaku
mampu melakukan introspeksi diri atas apa yang
telah dilakukannya dan mampu melakukan evaluasi
diri sehingga muncul akan kesadaran untuk
menilai perbuatannya dengan pandangan yang
benar. Suatu proses penyelesaian perkara pidana
diharapkan merupakan suatu program yang dalam
setiap tahapannya merupakan suatu proses yang
dapat membawa pelaku dalam suatu suasana yang
dapat membangkitkan ruang kesadaran untuk pelaku
mau melakukan evaluasi diri. Dalam hal ini
pelaku dapat digiring untuk menyadari bahwa
79
tindak pidana yang dilakukannya adalah suatu
yang tidak dapat diterima dalam masyarakat,
bahwa tindakan itu merugikan korban dan pelaku
sehingga konsekuensi pertanggungjawaban yang
dibebankan pada pelaku dianggap sebagai suatu
yang memang seharusnya diterima dan dijalani.77
3. That offenders can and should accept responsibility for their
action;
Dalam hal pelaku menyadari kesalahannya,
pelaku dituntut untuk rela bertanggungjawab atas
“kerusakkan” yang timbul akibat tindak pidana
yang dilakukannya tersebut. Ini merupakan tujuan
lain yang ditetapkan dalam pendekatan keadilan
restoratif. Tanpa adanya kesadaran atas
kesalahan yang dibuat, maka mustahil dapat
membawa pelaku secara sukarela bertanggung jawab
atas tindak pidana yang telah dilakukannya.78
4. That victims should have an opportunity to express their needs
77 Ibid, hal 1678 Eva Achjani Zulfa. Keadilan Restoratif, Jakarta:Badan Penerbit
FH UI, 2009, hal.17
80
and to participate in determining the best way for the
offender to make reparation.
Prinsip ini terkait dengan prinsip pertama,
dimana proses penanganan perkara pidana dengan
pendekatan keadilan restoratif membuka akses
kepada korban untuk berpartisipasi secara
langsung terhadap proses penyelesaian tindak
pidana yang terjadi. Partisipasi korban bukan
hanya dalam rangka menyampaikan tuntutan atas
ganti kerugian, karena sesungguhnya korban juga
memiliki posisi penting untuk mempengaruhi
proses yang berjalan termasuk membangkitkan
kesadaran pada pelaku sebagaimana dikemukakan
dalam prinsip kedua. Konsep dialog yang diusung
oleh pendekatan ini memberikan suatu tanda akan
adanya kaitan yang saling mempengaruhi antara
korban dan pelaku dalam memilih penyelesaian
terbaik sebagai upaya pemulihan hubungan sosial
antara keduanya.79
79 Ibid
81
5. That the community has a responsibility to contribute to this
process.
Suatu upaya restoratif bukan hanya melibatkan
korban dan pelaku, tetapi juga masyarakat.
Masyarakat memiliki tanggung jawab baik dalam
penyelenggaraan proses ini maupun dalam
pelaksanaan hasil kesepakatan, Maka, dalam upaya
restoratif, masyarakat dapat berperan sebagai
penyelenggara, pengamat maupun fasilitator.
Secara langsung maupun tidak langsung,
masyarakat juga merupakan bagian dari korban
yang harus mendapatkan keuntungan atas hasil
proses yang berjalan.80
C. KEDUDUKAN KEADILAN RESTORATIF
Kedudukan keadilan restoratif pada sistem
peradilan pidana terbagi menjadi dua yaitu:
1. Di Luar Sistem Peradilan Pidana81
Meskipun secara normatif banyak80 Ibid, hal 1881 Ibid hal. 151-153
82
dipertanyakan, namun dalam kenyataannya terdapat
praktik penyelesaian perkara pidana di luar
sistem peradilan pidana. Praktik ini didukung
oleh PBB dalam Declaration on The Right of Indigenous
People (Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat
Adat) yang disahkan pada tanggal 7 September
2007. Pasal 5 deklarasi tersebut meyatakan bahwa
masyarakat adat berhak untuk mempertahankan dan
memperkukuh lembaga-lembaga politik, hukum,
ekonomi, sosial dan budaya mereka, sementara
tetap mempertahankan hak mereka untuk mengambil
bagian sepenuhnya kalau mereka juga memilih,
dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial dan
budaya dari negara. Lalu Pasal 34 merumuskan
bahwa masyarakat adat berhak untuk memajukan,
mengembangkan dan memelihara struktur
kelembagaan dan adat, kerohanian dan tradisi,
prosedur, praktek mereka yang berbeda, dan dalam
kasus jika ada, sistem peradilan mereka atau
adat, sesuai dengan standar- standar HAM
83
internasional.
Praktek peradilan adat ini digunakan dan
dimasukkan dalam regulasi sebagai mekanisme
alternatif. Dalam bukunya yang berjudul
Keadilan Restoratif, Eva Achjani Zulfa
menyatakan bahwa di Samoa Barat, Kepulauan Fiji,
Papua Nugini, Kepuluan Solomon serta beberapa
negara lain di Pasifik tetap mempertahankan
hukum asli masyarakat mereka. Selain itu
terdapat pula record bahwa praktik penerapan hukum
adat melalui lembaga peradilan adat ditemui di
negara-negara Afrika Utara, Peru, Bangladesh dan
Filipina.
Lembaga peradilan adat tetap dipertahankan
eksistensinya di beberapa negara untuk
menyelesaikan sengketa atau permasalahan,
ternasuk didalamnya perkara pidana. Hal ini
karena akar nilai yang diusung oleh keadilan
restoratif berakar dari nilai-nilai tradisional
dalam masyarakat tradisional seperti nilai
84
keseimbangan, harmonisasi serta kedamaian dalam
masyarakat.
2. Di Dalam Sistem Peradilan Pidana
Kenyataan menunjukkan masyarakat sebagian
besar masih bersandar pada hukum negara dan
prosedur hukum yang ada. Selain itu, para
pembuat kebijakan juga masih percaya dan
bergantung kepada sistem peradilan pidana yang
sudah berjalan. Dalam hal ini, legislatif maupun
eksekutif memandang bahwa penggunaan pendekatan
keadilan restoratif hanya merupakan alternatif
model penyelesaian perkara pidana yang
ditawarkan dalam sistem hukum yang berbeda
dengan hukum negara yang berlaku. Berikut
merupakan contoh paparan relasi antara sistem
peradilan pidana dalam praktik di beberapa
negara.82
a. Tahap Pra Ajudikasi
Pendekatan keadilan restoratif pada tahap
82 Ibid, hal 146
85
ini dalam contoh di berbagai negara
diterapkan melalui mekanisme yang ditawarkan
pada fase awal dari sistem peradilan pidana
atau pada fase pra-ajudikasi. Dalam model
yang demikian, maka program yang dirancang
dengan menggunakan pendekatan keadilan
restoratif, merupakan mekanisme penyelesaian
di luar sistem. Penyelesaian yang dilakukan
biasanya merupakan upaya perdamaian yang
difasilitasi oleh pihak kepolisian. Dalam hal
ini mediasi merupakan salah satu bentuk
penyelesaian perkara pidana yang digunakan
dengan pendekatan keadilan restoratif sebagai
bingkainya. Model ini dapat diterapkan oleh
pihak kejaksaan, namun terutama di tingkat
kepolisian dan dijumpai antara lain di
Selandia Baru dan Filipina.83
Di Selandia Baru, untuk dapat mengikuti
program keadilan restoratif pada tahap pra
83 Ibid, hal 147
86
ajudikasi84, bagi tersangka yang termasuk
dalam kelompok dewasa, maka harus terlebih
dahulu mengakui kesalahannya atau setidaknya
tidak mengingkari tanggungjawabnya atas
tindak pidana yang terjadi.
Bagi tersangka anak, polisi diberikan
kewenangan sangat besar untuk memilih dan
menentukan model penanganan yang akan
dilakukannya pada tersangka anak yaitu berupa
peringatan dan/atau penyelesaian melalui
dengan program keadilan restoratif. Jika
Polisi telah melakukan upaya pendahuluan
berupa peringatan secara informal dan/atau
tertulis, maka Polisi dapat merancang suatu
pogram yang merupakan dari keewenangan
diskresinya sebagai upaya diversi dari proses
peradilan pidana.
Hasil dari program keadilan restoratif
dapat menyertakan rekomendasi atau laporan84 Tahap Pra Ajudikasi di Selandia Baru dikenal dengan Pre-Conviction Stage.
87
kepada pengadilan. Atau, kasus dapat
diselesaikan dan dituangkan dalam kesepakatan
antara korban, pelaku, dan pihak
kepolisian/kejaksaan tanpa berlanjut ke
pengadila.85
b. Tahap Ajudikasi
Sebagaimana banyak dikeluhkan oleh
masyarakat, Pengadilan yang seharusnya
menjadi tempat mencari kebenaran (khususnya
kebenaran materiil) dan keadilan, ternyata
dipandang sebagai lembaga yang hanya
menjalankan fungsi prosedural saja. Khususnya
di negara- negara yang menganut sistem civil law
dimana asas legalitas meupakan asas yang
harus dijunjung tinggi baik dalam hukum
pidana formil maupun materiilnya sebagai
suatu kepastian hukum. Asas nulla poena sine lege
menyebabkan hakim tidak leluasa berkreasi di85h tt p :/ / ww w . j u s tice . g o v t . n z/ pub licati o ns / p u b licati on s-
a r c h i v e d / 19 9 6 / r e s t or ati v e - j u s tice - a - d i s c u s s i on - p a p e r - 199 6 ,Restorative Justice: A Discussion Paper - Published 1996, ditelusur pada tanggal12 November 2011.
selain pidana penjara, pengadilan juga dapat89h tt p :/ / ww w . j u s tice . g o v t . n z/ pub licati o ns / p u b licati on s-
a r c h i v e d / 19 9 6 / r e s t or ati v e - j u s tice - a - d i s c u s s i on - p a p e r - 199 6 ,Restorative Justice: A Discussion Paper - Published 1996, ditelusur pada tanggal12 November 2011.
introduced in 1985. It involves the payment of money by
an offender to the victim of an offence through the court
as recompense fo emotional harm or loss of or damage
to property. Reparation is not available in respect of
physical injuries.
Jenis hukuman ini diperkenalkan pada
tahun 1985, yaitu berupa pembayaran
sejumlah uang kepada korban melalui
pengadilan. Ganti rugi hanya diberikan
jika terdapat kerugian psikis dan/atau
kerugian harta benda.
- Fines (Denda)
Where an unprovoked offence causes emotional or
physical harm to a victim and the court imposes a fine, it
is required to consider whether all or part of the fine
should be awarded to the victim.
90 Ibid
92
Dalam hal pengadilan menjatuhkan hukuman
denda, jika terdapat korban mengalami
kerugian fisik ataupun psikis, maka
pengadilan harus mempertimbangkan apakah
seluruh atau sebagian denda tersebut yang
akan diberikan kepada korban.
- Community Service (Kerja Sosial).
Where convicted offenders consent, the court may
impose an order requiring that they complete between 20
and 200 hours of service for certain types of community
organizations. The imposition of this sentence is limited
by the suitability of the offender and the availibility of
suitable work.
Jika pelaku memiliki kualifikasi khusus
dan terdapat lowongan pekerjaan yang
sesuai, pengadilan juga dapat menjatuhkan
hukuman berupa kerja sosial di suatu
organisasi masyarakat.
- Periodic Detention (Penahanan Berkala)
Periodic detainees carry out community work in small
93
groups supervised by a Department of Justice employee.
Penahanan berkala dapat diberikan kepada
terpidana yang melakukan kerja social di
bawah supervisi pegawai Departemen Hukum.
- Community Programme (Program Khusus)
This sentence seeks to have offenders comply with
programmes which address the individual causes of their
offending.
Jika pengadilan menilai bahwa pelaku
membutuhkan suatu program khusus agar
tidak mengulang kembali tindak pidana,
pengadilan dapat menjatuhkan hukuman
dimana pelaku diharuskan mengikuti program
tersebut. Misalkan dalam kasus kecelakaan
yang mengakibatkan kematian orang lain,
dimana hal tersebut disebabkan pengemudi
dalam keadaan mabuk, maka pengadilan dapat
meminta pelaku mengikuti alcohol and drug
counselling class.
c. Tahap Purna Ajudikasi
94
Pendekatan keadilan restoratif dalam
model ini umumnya merupakan mekanisme yang
ditawarkan pasca putusan atau dalam fase
purna ajudikasi. Program yang dirancang
dengan menggunakan pendekatan keadilan
restoratif merupakan program pendamping dari
pidana konvensional yang dijatuhkan dalam
putusan.91
Upaya restoratif yang dilakukan pada
tahap ini bisa dalam bentu pertemuan antara
pelaku dan korban yang terjadi di penjara.
Program ini telah dijalankan di beberapa
negara, antara lain Amerika Serikat, Kanada,
Inggris, Belgia, Belanda, dll dan sering
dinyatakan sebagai Post Sentencing Mediation.
Korban didorong untuk dapat bertemu dengan
para pelakunya, berbagi perasaan dan
pemikiran serta solusi atas apa yang pernah
terjadi dan dampak dari tindak pidana
91 Zulfa, op. cit., hal. 149.
95
tersebut.92
Pertemuan ini bertujuan untuk membantu
mereka dalam proses pemulihan dimana mereka
berkesempatan untuk saling bertemu dan
menyampaikan keinginan masing-masing yang
belum dapat disampaikan sepanjang proses
peradilan pidana berlangsung. Hal ini dapat
terjadi karena dalam proses sebelumnya korban
atau pelaku saling tidak mengenal satu sama
lain atau dalam posisi dan persepsi saling
menyalahkan.93
Walaupun hanya sedikit, terdapat
beberapa program keadilan restoratif di
Selandia Baru yang berlangsung ketika pelaku
sudah dijatuhi hukuman oleh pengadilan.
Tujuannya bervariasi, misalkan karena korban
dan/atau pelaku menginginkan pemulihan dalam
hidup mereka, tanpa dibayang-bayangi kejadian
masa lalu. Program keadilan restoratif yang92 Ibid. hal. 150.93 Ibid
96
berlangsung pada tahap ini dapat
dipertimbangkan untuk pembebasan bersyarat.94
Di samping itu di Selandia Baru
dikembangkan Prison Fellowship bekerjasama dengan
Department of Correction New Zealand. Pendekatan
keagamaan dikembangkan di dalam penjara baik
dalam bentuk penanaman nilai maupun pola
hidup, termasuk juga penyadaran yang telah
diperbuat atas korban dan masyarakat.
Kegiatan ini ditunjang oleh berbagai
pertemuan antara korban dan pelaku yang
difasilitatori dan sebagai project manager-nya
adalah seorang mantan narapidana Jackie
Kautas. Jackie Kautas dalam proyek ini
bekerja sebagai fasilitator yang berusaha
menggugah para narapidana untuk mau bertemu
dengan para korban, saling memaafkan dan
berusaha membuat suatu program rekonsiliasi94h tt p :/ / ww w . j u s tice . g o v t . n z/ pub licati o ns / p u b licati on s-
a r c h i v e d / 19 9 6 / r e s t or ati v e - j u s tice - a - d i s c u s s i on - p a p e r - 199 6 ,Restorative Justice: A Discussion Paper - Published 1996, ditelusur pada tanggal12 November 2011.
÷/ 79 &# ># 9& Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas
kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yangdibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka,
96 Syara’ dalam hal ini adalah ketentuan-ketenyuan yang terdapat dalam Al-Qur’an dan sunnah.
100
hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita.Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafandari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan)mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah(yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yangmemberi maaf dengan yang baik (pula). Yang demikianitu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dansuatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batassesudah itu, maka baginya siksa yang amat pedih”.
Qishash merupakan pembalasan yang setimpal yang
dikenakan terhadap pelaku tindak pidana pembunuhan
atau pelukaan. Semisal jika seseorang melakukan
dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang, maka
hukum qisash yag akan dikenakan adalah hukum bunuh
bagi pelaku pembunuhan. Demikian juga jika ada
seseorang yang melakukan pelukaan terhadap seseorang
yang mengakibatkan luka atau putusnya anggota badan,
maka sanksi hukum yang dikenakan pada pelaku adalah
pelukaan yang sama di bagian anggota tubuh itu luka.
Sedangkan Diyat adalah hukuman pengganti bagi
pelaku tindak pidana pembunuhan atau pelukaan. Diyat
merupakan pemberian sejumlah harta yang dibebankan
pada pelaku tindak pidana apabila korban atau
101
keluarga korban tidak menghendaki dilaksanakannya
qishash.
Dalam hal tindak pidana pembunuhan ini secara
umum hukum islam mengklasifikasikan pembunuhan
menjadi tiga macam97,yaitu: (1) pembunuhan yang
sengaja dan diniati untuk membunuh; (2) sengaja
memukulnya tapi tak ada niat untuk membunuh (semi
sengaja); (3) pembunuhan dengan tersalah.
Untuk pembunuhan yang disengaja dan diniati
untuk membunuh, secara global pembunuh wajib terkena
tiga perkara, yaitu: (1) dosa besar; (2) diqishash;
(3) terhalang menerima warisan. Sanksi asal pertama
adalah qishash, mengenai hal ini Imam Syafi’i
berpendapat bahwa wali korban boleh memilih antara
mengambil qishash dan diyat sesukanya. Baik orang yang
membunuh itu rela atau tidak.
97 Pengklasifikasian ini didasarkan pada pendapat Jumhur fuqoha (ulama’ Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabillah), sedangkan menurut Imam Malik pengkasifikasian tindak pidana pembunuhan terbagi kedalam dua macam, yaitu pembunuhan disengaja dan tidak disengaja.
102
Sedangkan unsur-unsur dalam tindak pembunuhan
sengaja yang harus dipenuhi adalah: (1) korban
adalah orang yang hidup; (2) Perbuatan pelaku
mengakibatkan kematian korban; (3) Ada niat dari
pelaku untuk menghilangkan nyawa korban. Jadi jika
unsur-unsur yang ada terpenuhi dalam tindak pidana
pembunuhan ini maka pelaku akan dikenai hukuman
qishash sebagai sanksi pokoknya, dan diyat sebagai
sanksi pengganti jika ada pemaafan dari keluarga
korban.
Sementara untuk tindak pidana pembunuhan
menyerupai sengaja pelaku dapat dikenai sanksi diyat
sebagai hukuman pokoknya, dalam pembunuhan jenis ini
Imam Syafi’i berpendapat bahwa pelaku diberi
ganjaran dengan memberi diyat mughalladzah kepada
keluarga korban, diyat ini sama seperti membunuh
dengan sengaja. Hanya saja bedanya terletak pada
penanggungjawab dan waktu membayarnya yang
dibebankan kepada keluarga (aqilah), dan pembayaran
dapat diangsur selama tiga tahun.
103
Apabila dalam pembunuhan semi sengaja diyat gugur
karena adanya pengampunan maka pelaku akan tetap
dikenai hukuman ta’zir yang diserahkan pada hakim yang
berwenang sesuai dengan perbuatan pelaku.
Sedangkan dalam pembunuhan karena tersalah,
pelaku dapat dikenai diyat dan kafarat sebagai sanksi
pokoknya, berpuasa sebagai hukuman penggantinya, dan
hukuman tambahan berupa pencabutan hak mewarisi dan
hak menerima wasiat.
Jika melihat hukum pidana islam yang
mengklasifikasikan pembunuhan berdasarkan jenis
perbuatan dengan ada tidaknya unsur kesengajaan
sebagai indikatornya, maka hal ini merupakan upaya
untuk menemukan kebenaran materiil. Dalam hukum
pidana konvensional yang merupakan hukum pidana yang
banyak dipakai dalam sistem peradilan pidana
diberbagai negara khususnya Indonesia, hal yang
paling mendasar dalam sistem peradilan pidana adalah
untuk menemukan kebenaran meteriil, baik itu dalam
hukum acara pidananya maupun hukum materiilnya yang
104
termaktub dalam pasal perpasal dalam KUHP. Tentu
saja dengan menegakkan hukum (law enforcemet) maka
sudah boleh dikatakan hukum dapat bekerja
sebagaimana mestinya, bukan hanya sebagai fungsi
kontrol dan fungsi perekayasa belaka akan tetapi
hukum telah selangkah lebih maju yakni, hukum telah
berfungsi sebagai penegak kedilan yang pada dasarnya
keadilan disini dipahami sebagai nilai-nilai yang
diyakini dan hidup dalam masyarakat dalam pengertian
yang universal.
Dalam hukum pidana konvensional, pembunuhan
termasuk kedalam tindak pidana murni yang terlepas
sama sekali dari unsur-unsur keperdataan. Ini
artinya jika ada seseorang yang melakukan tindak
pidana pembunuhan maka tidak dikenal upaya
perdamaian dalam sistem hukum pidana, dengan kata
lain proses peradilan pidana harus berjalan baik
keluarga korban memaafkan ataupun tidak. Ini terjadi
karena adanya asas kepastian hukum yang harus ada
dalam sistem peradilan pidana. Inilah yang kemudian
105
menjadikan korban dalam sistem peradilan pidana
tidak memiliki ruang untuk berpartisipasi karena
adanya redistribusi kekuasan yang memposisikan
negara sebagai korban sehingga peran korban diwakili
oleh oleh negara dalam hal ini polisi dan jaksa
penuntut umum dalam proses peradilan pidana.
Asas kepastian hukum ini juga yang kemudian
melahirkan hukuman bagi pelaku pembunuhan lebih
bersifat retributif, yaitu mengartikan pemidanaan
sebagai hal yang mutlak dengan menyertakan unsur
derita yang harus ada sebagai akibat dari terjadinya
tindak pidana yang telah dilakukan. Penerapan sanksi
yang bersifat retributif inilah yang kemudian
dianggap mengabaikan kepentingan korban untuk
mendapatkan pemulihan atas kerugian yang telah
diterima atas terjadinya tindak pidana.
Berbeda dengan hukum konvensional yang
menempatkan korban sesara pasif dalam tindak pidana
pembunuhan, hukum islam memandang tindak pidana
pembunuhan sebagai perkara yang didalamnya terdapat
106
unsur keperdataan yang menempatkan korban memiliki
ruang yang sangat luas untuk menentukan penyelesaian
perkara pidana. Korban memiliki kewenangan untuk
malakukan upaya restoratif dan menentukan sanksi apa
yang akan di berikan kepada pelaku tindak pidana
pembunuhan guna memulihkan kerugian yang telah
dialaminya.
Upaya restoratif hukum islam dalam tindak pidana
pembunuhan adalah dengan melibatkan korban atau
dalam hal ini keluarga korban, pelaku, serta hakim
sebagai representasi dari masyarakat untuk proses
mediasi dan eksekusi. Keluarga korban sebagai orang
yang terkena dampak secara langsung atas terjadinya
tindak pidana pembunuhan memiliki kewenangan untuk
menentukan sanksi terhadap pelaku berupa qishash,
diyat, ataupun pemaafan tanpa diyat sekalipun. Pelaku
dalam hal ini sebagai orang yang paling bertanggung
jawab atas kerugian yang telah ditimbulkan
diharuskan memiliki kerelaan untuk bertanggungjawab
dengan memenuhi permintaan dari korban, hakim disini
107
sebagai representasi masyarakat dapat bertindak
sebagai mediator dan pengawas bahkan pelaksana
eksekusi jika dalam musyawarah tersebut korban
menginginkan dilaksanakan hukuman qishash.
Mengenai pembayaran diyat hukum pidana islam
membedakannya menjadi dua, yaitu diyat mughalladzah dan
diyat mukhafafah. Pada prinsipnya sama antara diyat
mughalladzah dan diyat mukhaffafah, yaitu beban berupa
pembayaran yang harus diberikan oleh pelaku kepada
keluarga korban tindak pidana pembunuhan. Yang
membedakan disini adalah waktu pembayaran, antara
tunai dan kebolehan diangsur tergantung pada
klasifikasi tindak pidana pembunuhan yang dilakukan.
Diyat merupakan hukuman pengganti dari hukuman pokok
qishash yang diharapkan mempu memulihkan kerugian
yang dialami oleh keluarga korban dengan terbunuhnya
anggota keluarganya. Konsep diyat inilah yang
kemudian menjadikan hukum islam menjadi lebih
dinamis dalam rangka untuk memperoleh keadilan.
108
Dalam hukum konvensioal konsep diyat hampir sama
dengan restitusi atau denda. Restitusi adalah denda yang
harus dibayarkan untuk mengganti atas kerugian yang
telah ditimbulkan. Biasanya restitusi ini sering
ditemukan dalam sistem hukum perdata yang pada
dasarnya memiliki ciri perseorangan dan terlepas
dari unsur pidana (publik). Akan tetapi, terlepas
dari perkara pidana atau perdata, fungsi hukum
adalah untuk menciptakan keadilan dengan memulihkan
apa yang telah terenggut dari korban. Sehingga
pemikiran syafi’i tentang diyat tentu berdasarkan
pada pemulihan yang harus didapatkan oleh korban.
Selain itu diyat bagi pelaku merupakan bentuk
pertanggungjawaban yang harus dipenuhi atas kerugian
yang ditimbulkannya. Akan tetapi lebih dari itu,
proses dialog antara korban dan pelaku dalam
penyelesaian perkara pidana diharapkan mampu
menumbuhkan kesadaran pada pelaku atas tindakannya,
sehingga keadilan restoratif bukanlah semata-mata
bertumpu pada pemulihan korban, akan tetapi juga
109
dapat memberikan kesadaran pada pelaku dan lebih
meningkatkan peran serta mesyarakat untuk ikut
berpartisipasi dalam menciptakan suasana yang tertib
dan aman.
B. RELEVANSI TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP TINDAK
PIDANA PEMBUNUHAN DENGAN PENDEKATAN KEADILAN
RESTORATIF
Keadilan restoratif adalah sebuah konsep
pemikiran yang merespon pengembangan sistem
peradilan pidana dengan menitik beratkan pada
kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang
dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja
pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini.
Berjalannya proses peradilan adalah untuk
mencapai keadilan yang bukan hanya berhenti pada
pemberian sanksi pidana pada pelaku sebagai
pembalasan atas kerusakan yang dilakukan, akan
tetapi proses peradilan diharapkan mampu untuk
memulihkan kerugian yang dialami korban kepada
110
posisi semula dimana kejahatan belum terjadi. Itulah
yang kemudian menjadi idaman masyarakat dunia saat
ini yang merasa tidak puas dengan sistem peradilan
pidana yang ada karena tidak memberikan ruang bagi
korban untuk terlibat secara langsung dalam proses