PELAKSANAAN HUTANG DIBAYAR DENGAN HARI KERJA PERSPEKTIF HUKUM EKONOMI SYARIAH (Studi Kasus di Jorong Padang Panjang Nagari Pariangan Kecamatan Pariangan Kabupaten Tanah Datar) SKRIPSI Ditulis Sebagai Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH) Jurusan Ekonomi Syariah Oleh : LENA FITRIYENI NIM. 15301300025 JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS SYARIAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ( IAIN ) BATUSANGKAR 2019
104
Embed
SKRIPSI Jurusan Ekonomi Syariah LENA FITRIYENI NIM ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PELAKSANAAN HUTANG DIBAYAR DENGAN HARI KERJAPERSPEKTIF HUKUM EKONOMI SYARIAH
(Studi Kasus di Jorong Padang Panjang Nagari ParianganKecamatan Pariangan Kabupaten Tanah Datar)
SKRIPSI
Ditulis Sebagai Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)Jurusan Ekonomi Syariah
Oleh :
LENA FITRIYENINIM. 15301300025
JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAHFAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ( IAIN )BATUSANGKAR
2019
i
i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillaahirabbil’alamiin Puji dan Syukur penulis ucapkan atas kehadirat
Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya kepada kita semua,
sehingga dengan limpahan Rahmad dan Hidayah-Nya itu penulis dapat menyelesaikan
kuliah dan membuat sebuah karya ilmiyah berbentuk Skripsi dengan judul
“Pelaksanaan Hutang Dibayar dengan Hari Kerja Perspektif Hukum Ekonomi
Syariah (Studi Kasus di Jorong Padang Panjang Nagari Pariangan Kecamatan
Pariangan Kabupaten Tanah Datar)”
Allahumma shalli’ala sayyidina Muhammad wa‘ala aali sayyidina Muhammad.
Sholawat dan salam penulis mohonkan kepada Allah SWT, semoga tetap dilimpahkan
kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umatnya dari zaman kebodohan
hingga zaman yang berilmu pengetahuan seperti yang kita rasakan pada saat sekarang
ini.
Skripsi ini penulis susun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk
mendapatkan gelar Sarjana Hukum (SH) pada Jurusan Hukum Ekonomi Syariah (HES)
Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Batusangkar. Penulis menyadari bahwa
dalam menyelesaikan skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan dan bantuan dari
berbagai pihak, baik secara moril maupun materil. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini
penulis sampaikan ucapan terimakasih yang tulus kepada orang tua, Ibunda Laila dan
Suami tercinta Riswandi yang selalu memberikan dukungan dan motivasi sehingga
penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini. Selanjutnya penulis juga
mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Dr. H. Kasmuri, M.A, selaku Rektor Institut Agama Islam Negeri
Batusangkar yang telah memberikan segala fasilitas pada penulis hingga penulis
dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
ii
2. Bapak Dr.H. Zainuddin, MA, selaku Dekan Fakultas Syariah Institut Agama Islam
Negeri Batusangkar yang telah memberikan arahan kepada penulis.
3. Ibu Yustiloviani, S.Ag. M.Ag, selaku Ketua Jurusan Hukum Ekonomi Syariah
Institut Agama Islam Negeri Batusangkar yang telah memberikan solusi dan saran
kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
4. Bapak Dr. H. Eficandra, S.Ag., M.Ag, selaku Pembimbing Akademik sekaligus
sebagai Dosen Pembimbing Skripsi yang begitu banyak memotivasi penulis mulai
dari awal penulis kuliah hingga penulis menyelesaikan tugas penulis, dan telah
banyak meluangkan waktu, tenaganya untuk membimbing, mengarahkan dan
memberikan masukan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan
baik.
5. Ibu Dr. H. Sri Yunarti, M.Ag, dan Bapak Drs. Syamsuwir, M.Ag selaku penguji
yang telah membimbing, mearahkan dan memberi masukan kepada penulis dalam
pembuatan skripsi ini hinnga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik
dan benar.
6. Bapak/Ibu informan penulis yang telah memberikan informasi-informasi kepada
penulis, sehingga penulis mendapatkan data-data terkait skripsi penulis yang dapat
penulis gunakan untuk pembuatan skripsi penulis.
7. Ibu Dewi Sasmita, MSi yang telah menfasilitasi penulis dalam perkuliahan,
sehingga penulis bisa menjalankan perkuliahan hingga sejauh ini.
8. Bapak/Ibuk dosen Institut Agama Islam Negeri Batusangkar yang telah
mencurahkan berbagai ilmu kepada penulis.
9. Bapak Kepala Perpustakaan IAIN Batusangkar beserta Karyawan yang telah
membantu dan menfasilitasi penulis dalam melengkapi daftar bacaan dalam
penulisan skripsi ini.
10. Semua saudara penulis Ayunda Yulia Refia Sari, SPd.I., Kakanda Irwan
Oktavianto dan Rahmat Nasrul yang selalu mengingatkan dan memotivasi penulis
selama ini.
iii
11. Para sahabat Hukum Ekonomi Syariah keseluruhan dan terutaman angkatan 2015
yang seperjuangan dengan penulis dan semua pihak yang terkait dalam membatu
penulis yang tidak tersebutkan namanya satu persatu sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini terdapat kekurangan-kekurangan dan
masih jauh dari kesempurnaan sebagaimana yang diharapkan. Oleh karena itu, penulis
berharap masukan dan kritikan demi kesempurnaan skripsi ini. Penulis berdoa semoga
segala bantuan dan pertolongan yang diberikan dapat menjadi amal ibadah di sisi Allah
SWT dan dibalas dengan pahala yang berlipat ganda. Amin ya rabbal’aalamin.
Batusangkar, 16 September 2019Penulis
Lena FitriyeniNIM. 15301300025
iv
ABSTRAK
Lena Fitriyeni, NIM 15301300025, “Pelaksanaan Hutang Dibayar denganHari Kerja Perspektif Hukum Ekonomi Syariah (Studi Kasus di Jorong PadangPanjang Nagari Pariangan Kecamatan Pariangan Kabupaten Tanah Datar)”,Skripsi, Hukum Ekonomi Syariah, Fakultas Syariah, Institut Agama Islam NegeriBatusangkar, Batusangkar, 2019.
Pokok permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimana pelaksanaan hutangdibayar dengan hari kerja dan tinjauan Hukum Ekonomi Syariah terhadap pelaksanaanhutang dibayar dengan hari kerja di Jorong Padang Panjang Nagari ParianganKecamatan Pariangan Kabupaten Tanah Datar. Tujuan penelitian ini adalah untukmengetahui dan menjelaskan pelaksanaan hutang dibayar dengan hari kerja dantinjauan Hukum Ekonomi Syariah terhadap pelaksanaan hutang dibayar dengan harikerja di Jorong Padang Panjang Nagari Pariangan Kecamatan Pariangan KabupatenTanah Datar.
Jenis penelitian yang penulis gunakan adalah jenis penelitian lapangan (fieldresearch). Sumber data terdiri dari sumber data primer yaitu; petani dan pekerja sawah,sedangkan sumber data sekunder terdiri dari niniak mamak, alim ulama, cadiak padai,dan bundo kanduang. Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan adalahwawancara dan observasi. Adapun teknik analisis data yang penulis gunakan yaituteknik analisis kualitatif deskriptif.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pelaksanaan hutang dibayar dengan harikerja yang terjadi di Jorong Padang Panjang Nagari Pariangan Kecamatan ParianganKabupaten Tanah Datar merupakan suatu akad hutang piutang antara pekerja sawahdengan petani dengan standar hutang yang bervariatif bahkan cenderung adanya unsurketidakjelasan, adakalanya dalam bentuk uang, hari kerja, atau dengan uang dan harikerja sekaligus. Adapun tinjauan Hukum Ekonomi Syariah terhadap pelaksanaanhutang dibayar dengan hari kerja di Jorong Padang Panjang Nagari Pariangandibolehkan selama standar hutangnya jelas dan pasti, serta tidak ada kelebihan jasadalam pembayaran hutang. Jika ada kelebihan jasa dalam pembayaran hutang, makahal ini terkategori kepada riba yang diharamkan dalam Islam.
Kata kunci: Hutang, Hari Kerja, dan Hukum Ekonomi Syariah
v
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
PERSETUJUAN PEMBIMBING
PENGESAHAN TIM PENGUJI
PERSEMBAHAN
RIWAYAT HIDUP
KATA PENGANTAR ......................................................................................... i
ABSTRAK ........................................................................................................... iv
DAFTAR ISI........................................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.................................................................................1
B. Fokus Masalah.................................................................................6
C. Rumusan Masalah ...........................................................................6
D. Tujuan Penelitian.............................................................................7
E. Manfaat Penelitian...........................................................................7
F. Defenisi Operasional .......................................................................8
BAB II KAJIAN TEORI
A. Akad.................................................................................................10
9. Tanggungjawab Orang yang Digaji/Upah ................................ 46
10. Hukum Ijarah Atas Pekerjaan (Upah-Mengupah.....................46
D. Penelitian yang Relefan ...................................................................47
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian ................................................................................50
B. Tempat dan Waktu Penelitian.......................................................... 50
C. Insterumen Penelitian ......................................................................51
D. Sumber Data ....................................................................................51
E. Tehnik Pengumpulan Data .............................................................. 52
F. Tehnik Analisis Data ......................................................................53
G. Tehnik Penjaminan Keabsahan Data ...............................................53
BAB IV TEMUAN/HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHSAN
A. Gambaran Umum Jorong Padang Panjang Nagari Pariangan KecamatanPariangan Kabupaten Tanah Datar .................................................56
vii
B. Pelaksanaan Hutang Dibayar dengan Hari Kerja ........................... 62
1. Bentuk Pelaksaan Hutang.........................................................65
2. Bentuk Pelaksaan Pembayaran Hutang ....................................68
3. Pandangan Masyarakat terhadap pelaksanaan Hutang Dibayardengan Hari Kerja.....................................................................72
C. Tinjauan Hukum Ekonomi Syariah tehadap Pelaksaan Hutang Dibayardengan Hari Kerja...........................................................................75
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan.....................................................................................85
B. Saran ............................................................................................... 85
DAFTAR PUSTAKA
Lampiran-Lapiran
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama Islam kaya akan tuntunan hidup bagi umatnya. Selain sumber
hukum utama Al-Quran dan As-Sunnah, Islam juga mengandung aspek penting
yakni fiqih. Fiqih Islam sangat penting dan dibutuhkan oleh umat Islam, karena
ia merupakan sebuah pegangan dalam menjalankan praktik ajaran Islam itu
sendiri, baik dari sisi ibadah, muamalah, syariah, dan sebagainya. (Sunani,
2015)
Manusia dalam memenuhi kebutuhannya tidak dapat bekerja sendiri, ia
harus bermasyarakat dengan orang lain. (Rasjid, 2004, hal. 278) Karena
manusia adalah makhluk sosial, yaitu makhluk yang berkodrat hidup dalam
masyarakat. Sebagai mahkluk sosial, dalam hidupnya manusia memerlukan
adanya manusia-manusia lain yang bersama-sama hidup dalam masyarakat.
Dalam hidup bermasyarakat, manusia selalu berhubungan satu sama lain
disadari atau tidak, untuk mencukupkan kebutuhan-kebutuhan hidupnya.
Pergaulan hidup tempat setiap orang melakukan perbuatan dalam hubungannya
dengan orang lain disebut dengan muamalat.
Dalam pergaulan hidup ini, tiap-tiap orang mempunyai kepentingan
terhadap orang lain. Timbullah dalam pergaulan hidup ini hubungan hak dan
kewajiban. Setiap orang mempunyai hak yang wajib selalu diperhatikan orang
lain dan dalam waktu sama juga memikul kewajiban yang harus ditunaikan
terhadap orang lain. Hubungan hak dan kewajiban itu diatur dengan kaidah-
kaidah hukum guna menghindari terjadinya bentrokan antara berbagai
kepentingan. Kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hak dan
kewajiban dalam bermasyarakat itu disebut hukum muamalat. (Basyir, 2000)
2
Selain diciptakan sebagai makhluk sosial, manusia pun diciptakan
sebagai makhluk yang serba kekurangan, jika mempunyai kelebihan pada suatu
bidang tertentu maka tidak dipungkiri bahwa di sisi lain akan mempunyai
kekurangan. Maka dari itu manusia haruslah saling tolong-menolong untuk
menutupi kekurangannya, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an Surat al-
Maidah ayat 2 yang berbunyi:
....
“...dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,
dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan
bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya”.
Salah satu bentuk tolong-menolong manusia terhadap manusia lainnya
yaitu hutang piutang. Hutang piutang merupakan bentuk muamalah yang
bercorak ta’awun (pertolongan) kepada pihak lain untuk memenuhi
kebutuhannya. Bahkan Al-Qur’an menyebutkan piutang untuk menolong atau
meringankan orang lain yang membutuhkan dengan istilah menghutangkan
kepada Allah SWT dengan hutang yang baik. (Mas'adi, 2000, hal. 171)
Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surat al Hadid ayat 1:
“siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, MakaAllah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan Dia akanmemperoleh pahala yang banyak”.
Menghutangkan harta kepada Allah dalam ayat ini dimaksud untuk
memberikan harta dengan cara menghutangkan kepada orang yang
3
membutuhkan. Memberikan hutang hukumnya sunat bahkan menjadi wajib jika
orang yang berhutang itu adalah orang yang terlantar dan sangat membutuhkan.
(Rasjid, 2004, hal. 307)
Transaksi hutang piutang ini mempunyai arti dalam kehidupan agar saling
memberi pertolongan dan mempunyai nilai kebaikan yang berpahala disisi
Allah SWT. Sebagaimana rasulullah bersabda:
:
)(
Artinya: “Dari Ibn Mas’ud bahwa Rasulullah SAW, bersabda, “tidak ada
seorang muslim yang menukarkan kepada seorang muslim qarad dua
kali, maka seperti sedekah sekali.” (HR. Ibn Majah dan Ibn Hibban)
Ulama telah sepakat atas keabsahan hutang piutang. Hutang piutang
disunnahkan bagi orang yang memberikan pinjaman dan diperbolehkan bagi
peminjam. Sebagaimana hadis rosulullah yang artinya:
::لو
Artinya: “Anas bin Malik berkata, Rasulullah SAW bersabda,”pada malamsaya di-Isra’-kan , saya melihat pada sebuah pintu surga tertulissedekah akan dibalas 10 kali lipat dan hutang dibalas 18 kali lipat,lalu saya bertanya: wahai Jibril mengapa menghutangkan lebihutama dari pada sedekah, lalu Jibril menjawab: karna bagaimanapunpengemis meminta minta, namun ia masih mempunyai harta,sedangkan orang yang berhutang pasti karena iya sangatmembutuhkan” (HR. Ibnu Majah dan Baihaqi)
4
Dalam hutang piutang juga terdapat rukun dan syarat yang harus dipenuhi
oleh sipengutang dan sipemberi hutang. Adapun rukun dan syaratnya yaitu:
1. Orang yang berakada. Berakalb. Atas kehendak sendiric. Balighd. Tidak dibawah perwalian (Basyir, 2000)
2. Obyek hutang piutanga. Benda yang dapat diukurb. Benda yang dapat diketahui jumlahnyac. Benda tersebut halal (Lubis, 1994, hal. 137)
3. Sighat akada. Adanya kejelasan maksud antara keduabelah pihakb. Adanya kesesuaian antara ijab dan kabulc. Adanya pertemuan antara ijab dan kabul (berurutan dan menyambung)
Masyarakat Jorong Padang Panjang Nagari Pariangan Kecamatan
Pariangan sebahagian besar dalam memenuhi kebutuhan hidupnya mereka
bermata pencaharian sebagai petani. Dalam memenuhi kebutuhan hidup
masyarakat bertani dan bercocok tanam di ladang yang mereka miliki seperti
menanam cabe, padi, kacang-kacangan, sayuran, bawang-bawang bahkan
umbi-umbian dan lainnya yang menjadi rutinitas masyarakat untuk memenuhi
kebutuhannya.
Dalam bercocok tanam masyarakat terkadang tidak hanya bekerja
sendirian di ladangnya. Tetapi mereka juga terkadang membutuhkan tenaga
kerja tambahan. Bagi masyarakat yang mebutuhkan tenaga kerja tambahan
tersebut ada mereka saling tolong-menolong dan ada juga yang mengupahkan
kepada orang lain agar bercocok tanam dapat segera diselesaikan. Biasanya di
Jorong Padang Panjang Nagari Pariangan upah yang diberikan kepada pekerja
sawah sebesar 1 sukek (4 liter) beras buat perempuan dan 1,5 sukek (6 liter)
beras buat laki-laki per harinya. Kalaupun tidak diupah dengan beras terkadang
juga dengan uang yang mana uangnya senilai dengan harga beras diwaktu ia
bekerja tersebut yang dihitung dalam ukuran sukek.
5
Dalam memenuhi kebutuhannya bagi masyarakat yang bekerja sebagai
pekerja sawah yang memiliki perekonomian yang rendah tidak memiliki cukup
uang untuk kebutuhannya mereka meminjam uang kepada orang lain. Adapun
bentuk hutang piutang yang dilakukan oleh masyarakat Jorong Padang Panjang
Nagari Pariangan adalah peminjaman uang dibayar dengan hari karajo (jasa).
Biasanya orang yang meminjam uang bekerja di ladang orang yang memberi
pinjaman tersebut. Hutang piutang seperti ini terjadi ketika masyarakat yang
memiliki perekonomian rendah tersebut membutuhkan uang untuk memenuhi
kebutuhannya seperti kebutuhan rumah tangga bahkan juga kebutuhan
pendidikan anak-anaknya. Hutang piutang tersebut bisa terjadi ketika masa
panen, sebulum panen, mau bercocok tanam bahkan ada juga setelah bercocok
tanam.
Dilihat dari transaksi hutang piutang yang dilakukan oleh masyarakat
tersebut terdapat selang waktu yang relatif. Karena peminjam meminjam uang
ketika ia butuh dan membayarnya dengan hari karajo (jasa) yang tak pasti
kapan dibutuhkan oleh sipemberi pinjaman di ladanganya. Selang waktu
tersebut bisa pendek bahkan juga panjang. Dalam selang waktu yang relatif
tersebut tentu harga beras yang menjadi patokan upah tidak tetap, karena beras
harganya relatif sesuai dengan pasaran.
Berdasarkan survei awal di saat penulis melakukan wawancara dengan
pekerja sawah yang bernama Jusmarni yang melakukan hutang dibayar dengan
hari kerja yang akan penulis paparkan sebagai berikut: Jusmarni
(pekerja/peminjam) meminjam uang Rp 100.000 kepada Liza (petani/pemberi
pinjaman) untuk kebutuhan pendidikan anaknya, yang nanti akan dibayar ketika
Liza membutuhkan tenaga kerja di ladangnya. Ketika peminjaman uang
tersebut harga beras Rp 50.000/sukek nya. Jadi Jusmarni akan membayar
dengan 2 sukek beras atau dengan 2 hari kerja. Beberapa waktu kemudian Liza
membutuhkan tenaga Jusmarni untuk bekerja di ladangnnya, dan ketika itu
6
harga beras turun menjadi Rp 44.000/sukek. Jika Jusmarni bekerja 2 hari berarti
upah Jusmarni waktu ia bekerja Rp 88.000 dan hutang Jusmarni yang Rp
100.000. Jika dibayar 2 hari kerja tentu masih kurang dan Jusmarni masih
memiliki hutang sebesar Rp 12.000. Karena Liza merasa hutang Jusmarni
belum lunas maka ia menyuruh Jusmarni untuk bekerja sehari lagi, sehingga
Jusmarni bekerja 3 hari di ladang Liza. (Wawancara dengan Jusmarni sebagai
pekerja).
Dalam kasus yang sama Ela meminjam uang kepada Nun senilai Rp
40.000 dengan perjanjian akan dibayar nanti ketika ada uang 3 hari kemudian
Nun memanggil Ela untuk bekerja di ladangnya, karena Ela memiliki hutang
terhadap Nun maka Ela bekerja di ladangnya Nun. Saat hari bekerja harga beras
Rp 44.000/Sukek setelah bekerja Nun mengatakan la ado utang ka awak patang
Rp 40.000, jo tu see awak bayia upah la yo (Ela ada hutang kemaren Rp 40.000
kepada saya, dengan itu saja saya bayar upah Ela ya). Yo lah ni Nun lapeh utang
wak ka ni Nun (ya kak Nun lepas hutang saya sama kak Nun). Saat itu Nun
tidak mengatakan harga beras saat Ela bekerja di ladangnya, hanya Nun
mengatakan bahwa hutangnya Ela lunas (wawancara dengan Laila sebagai
pekerja)
Berdasarkan permasalahan atau hasil penemuan penulis di atas, penulis
merasa penting untuk membahas permasalahan tersebut yang akan penulis
tuangkan dalam karya ilmiah berbentuk skripsi yang berjudul “Pelaksanaan
Hutang Dibayar dengan Hari Kerja Perspektif Hukum Ekonomi Syariah
(Studi Kasus di Jorong Padang Panjang Nagari Pariangan Kecamatan
Pariangan Kabupaten Tanah Datar)”
B. Fokus Masalah
Berdasarkan latar belakang yang penulis paparkan di atas, maka fokus
masalahnya adalah:
7
1. Pelaksanaan hutang dibayar dengan hari kerja di Jorong Padang Panjang
Nagari Pariangan Kecamatan Pariangan Kabupaten Tanah Datar
2. Tinjauan Hukum Ekonomi Syariah terhadap pelaksanaan hutang dibayar
dengan hari kerja di Jorong Padang Panjang Nagari Pariangan Kecamatan
Pariangan Kabupaten Tanah Datar
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan fokus masalah di atas, maka penulis dapat merumuskan
masalahnya adalah:
1. Bagaimana pelaksanaan hutang dibayar dengan hari kerja di Jorong Padang
Panjang Nagari Pariangan Kecamatan Pariangan Kabupaten Tanah Datar
2. Bagaimana tinjauan Hukum Ekonomi Syariah terhadap pelaksanaan
hutang dibayar dengan hari kerja di Jorong Padang Panjang Nagari
Pariangan Kecamatan Pariangan Kabupaten Tanah Datar
D. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui dan menjelaskan pelaksanaan hutang dibayar dengan
hari kerja di Jorong Padang Panjang Nagari Pariangan Kecamatan
Pariangan Kabupaten Tanah Datar
2. Untuk menjelaskan dan menganalisa tinjauan Hukum Ekonomi Syariah
terhadap pelaksanaan hutang dibayar dengan hari kerja di Jorong Padang
Panjang Nagari Pariangan Kecamatan Pariangan Kabupaten Tanah Datar
E. Manfaat dan Luaran penelitian
Adapun manfaat penelitian yang penulis lakukan adalah sebagai berikut:
1. Manfaat praktis
a. Memberikan masukan bagi para pihak yang terkait dalam hal hutang
dibayar dengan hari kerja tersebut .
8
b. Bermanfaat bagi masyarakat luas yang berkepentingan berupa masukan
dan wawasan mengenai hutang piutang terutama kepada masyarakat
yang melakukan hutang piutang tersebut.
2. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis yang
berupa sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan Hukum
Ekonomi Syariah, kususnya yang berkaitan dengan hutang piutang dalam
hukum Islam.
Adapun luaran penelitian penulis ini sebagai berikut:
1. Dapat dipublikasikan pada jurnal kampus IAIN Batusangkar.
2. Materi ini dapat menjadi materi yang berguna dan dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat.
3. Sebagai bahan bacaan di perpustakaan Fakultas Syariah Jurusan Hukum
Ekonomi Syariah IAIN Batusangkar.
4. Diproyeksikan untuk mendapat Gelar sarjana Strata Satu (S1) Gelar
Sarjana Hukum IAIN Batusangkar.
F. Devenisi Operasional
Untuk menghindari terjadinya kekeliruan dalam memamahami skripsi ini
maka penulis akan mengemukakan kata kunci dari judul penulisan:
Hutang dalam bahasa Arab berarti Qardh. Qardh yaitu harta yang diberikan
kepada orang yang meminjam (debitur) disebut dengan qard , karena
merupakan potongan dari harta orang yang memberikan pinjaman (kreditur).
Secara istilah Hanafiyah qard adalah harta yang memiliki kesepadanan yang
anda berikan untuk anda tagih kembali. Atau dengan kata lain, suatu transaksi
yang dimaksudkan untuk memberikan harta yang memiliki kesepadanan
kepada orang lain untuk dikembalikan yang sepadan dengan itu (Az-Zuhaili,
2011, hal. 373). Hutang adalah akad tertentu antara dua pihak, satu pihak
menyerahkan hartanya kepada pihak lain dengan ketentuan pihak yang
9
menerima harta mengembalikan kepada pemiliknya dengan nilai yang sama”.
(Rozalinda, 2005, hal. 146). Sedangkan jasa adalah setiap tindakan atau
kegiatan yang dapat ditawarkan oleh satu pihak kepada pihak lain, pada
dasarnya tidak berwujud dan tidak mengakibatkan perpindahan kepemilikan
apapun (Kotler, 2014, hal. 7).
Hutang dibayar dengan hari kerja adalah suatu kegiatan masyarakat yang
melakukan hutang piutang di mana orang yang berhutang akan membayar
hutangnya dengan bekerja dalam hitungan hari di sawah orang yang
memberikan hutang tersebut dengan perhitungan upah 1 sukek (4 liter) beras
untuk perempuan dan 1,5 sukek (6 liter) beras untuk laki laki per harinya.
Hukum Ekonomi Syariah adalah himpunan peraturan-peraturan yang
bersifat memaksa dalam suatu usaha atau kegiatan yang dilakukan oleh orang
perorangan, kelompok orang, badan usaha yang berbadan hukum atau tidak
berbadan hukum dalam rangka memenuhi kebutuhan yang bersifat komersial
dan tidak komersial menurut prinsip syariah (Suhrawardi, 2000).
Menurut penulis Hukum Ekonomi Syariah yang akan penulis bahas adalah
seperangkat peraturan yang mengatur tentang hutang dibayar dengan hari kerja
yang terdapat dalam Al-Qur’an, Hadist, Ijtihad para ulama, KHES, fatwa DSN-
MUI maupun pendapat pendapat ahli ekonomi Islam lainnya.
Berdasarkan defenisi diatas dapat dipahami maksud judul penelitian ini
adalah sebuah hukum yang mengatur segala hal yang berkaitan dengan sistem
ekonomi berdasarkan Al-Qur’an, Hadist, Ijtihad para ulama, KHES, fatwa
DSN-MUI maupun pendapat pendapat ahli ekonomi Islam lainnya terhadap
kegiatan yang melakukan hutang dibayar dengan hari kerja yang terjadi di
Jorong Padang Panjang Nagari Pariangan Kecamatan Pariangan Kabupaten
Tanah datar.
10
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Akad
1. Pengertian akad
Akad berasal dari bahasa arab yaitu “aqdi” yang berarti perjanjian atau
persetujuan. Kata ini juga bisa diartikan tali yang mengikat karena adanya
ikatan antara orang yang berakad. Selain itu, kata akad diartikan dengan
hubungan (ar-rabtu) dan kesepakatan (al-ittifaq). (Suhendi, 2002, hal. 44)
Dalam al-Quran terdapat dua istilah yang berhubungan dengan
perjanjian yaitu al-aqdu (akad) dan al-ahdu (janji). Kata aqdu terdapat
dalam Q.S Al-Maidah ayat 1 yang berbunyi:
....Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu[388].
...”
Adapun pengertian akad secara istilah yaitu:
a. Menurut ulama Syafiiyah, Malikiyah, dan Hanabilah akad adalah
segala sesuatu yang diniatkan oleh seseorang untuk dikerjakan, baik
timbul karena satu kehendak, seperti wakaf, talak dan sumpah,
pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan dua
orang, seperti jual beli, sewa menyewa, perwakilan, dan gadai.
(Zuhaili, 2007, hal. 80)
b. Menurut ulama Hanafiyah Akad adalah pertalian antara ijab dan
qabul menurut ketentuan syara’ yang menimbulkan akibat hukum
pada objeknya atau dengan redaksi yang lain: keterkaitan antara
pembicaraan salah seorang yang melakukan akad dengan yang
11
lainnya menurut syara’ pada segi yang tampak pengaruhnya pada
objek. (Zuhaili, 2007, hal. 81)
c. Menurut wahbah zuhaili akad adalah kesepakatan dua kehendak
untuk menimbulkan akibat-akibat hukum, baik berupa menimbulkan
kewajiban, memindahkannya, mengalihkan, maupun
menghentikannya. (Zuhaili, 2007, hal. 81)
d. KH. Ahmad Azhar Basyir dalam bukunya asas-asas hukum
muamalat menyatakan bahwa yang dimaksud dengan akad adalah
suatu perikatan ijab dan qabul dengan cara yang dibenarkan syarak
yang menetapkan adanya akibat hukum pada objeknya. Ijab adalah
pernyataan pihak pertama mengenai isi perikatan yang diinginkan,
sedangkan qabul adalah pernyataan pihak kedua untuk menerima.
(Basyir, 2000, hal. 65)
e. Adbul Aziz Mhammad Azzam dalam bukunya Fiqh Muamalat
Sistem Transaksi dalam Fiqh Islam menyatakan bahwa makna akad
secara syar’i yaitu “hubungan antara ijab dan qabul dengan cara yang
dibolehkan oleh syariat yang mempunyai pengaruh secara langsung”.
Artinya bahwa akad termasuk dalam kategori hubungan yang
mempunyai nilai menurut pandangan syara’ antara dua orang sebagai
hasil dari kesepakatan antara keduanya yang kemudian dua
keinginan itu dinamakan ijab dan qabul. (Azzam, 2017, hal. 17)
f. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah pasal 20 (1) mendefenisikan
bahwa akad adalah kesepakatan dalam satu perjanjian antara dua
pihak atau lebih untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan
hukum tertentu. (Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, 2011: 21)
Dari defenisi tersebut dapat diketahui pengertian akad secara bahasa
yaitu ikatan antara ujung sesuatu. Adapun secara istilah yaitu pertalian
antara ijab dan qabul menurut ketentuan syara’ yang menimbulkan akibat-
12
akibat hukum pada objeknya berupa menimbulkan kewajiban,
memindahkannya, mengalihkan, maupun menghentikannya.
2. Rukun dan syarat akad
Rukun adalah unsur yang mutlak harus ada dalam sesuatu hal, peristiwa
atau tindakan. Rukun menentukan sah dan tidaknya suatu perbuatan hukum
tertentu. Suatu akad akan menjadi sah jika akad tersebut memenuhi rukun-
rukun akad. Adapun rukun-rukun akad itu adalah sebagai berikut: (Suhendi,
Fikih Muamalah, 2011, hal. 47)
a. Aqid
Aqid adalah orang yang berakad. Terkadang masing-masing pihak yang
berakad terdiri dari satu orang atau terdiri dari beberapa pihak orang.
Seseorang yang berakad terkadang merupakan orang yang memiliki hak
ataupun wakil dari yang memiliki hak.
b. Ma’qud ‘alaih
Ma’qud ‘alaih adalah benda-benda yang diakadkan. Benda yang
diakadkan seperti benda-benda yang dijual dalam akad jual beli, dalam
hibah (pemberian), dalam akad gadai, utang yang dijamin seseorang
dalam akad kafalah.
c. Maudu’ al-‘aqd
Maudu’ al-‘aqd adalah tujuan atau maksud pokok mengadakan akad.
Berbeda akad, maka berbeda pula tujuan pokok akad. Misalnya tujuan
pokok akad jual beli adalah memindahkan barang dari penjual kepada
pembeli dengan diberi ganti. Tujuan pokok akad hibah adalah
memindahkan barang dari pemberi kepada yang diberi untuk
dimilikinya tanpa ada pengganti (‘iwad).
Tujuan akad ditandai dengan beberapa karakteristik: (Anwar, 2007, hal.
220)
13
1) Bersifat objektif, dalam arti dalam akad sendiri, tidak berubah dari
satu akad kepada akad yang lain sejenis dan karenanya terlepas dari
kehendak para pihak sebab tujuan akad ditetapkan oleh para
pembuat hukum.
2) Menentukan jenis tindakan hukum, dalam arti tujuan akad ini
membedakan satu jenis akad dari jenis lainnya.
3) Tujuan akad merupakan fungsi hukum dari tindakan hukum dalam
pengertian bahwa ia membentuk sasaran hukum, baik dilihat dari
sudut pandang ekonomi maupun sudut pandang sosial, yang hendak
diwujudkan oleh tindakan hukum yang bersangkutan.
d. Sighat al-‘aqd
Sighat al-‘aqd adalah ijab dan qabul. Ijab adalah permulaan penjelasan
yang keluar dari salah seorang yang berakad sebagai gambaran
kehendaknya mengadakan akad. Qabul adalah perkataan yang keluar
dari pihak berakad pula, yang diucapkan setelah adanya ijab. Jadi
pengertian ijab qabul dalam berakad adalah bertukarnya sesuatu dengan
yang lain di mana pihak pertama mengucapkan kata menyerahkan objek
akad dan pihak kedua mengucapkan kata menerima objek akad.
Ahmad Azhar Basyir menyatakan bahwa yang dimaksud sighat akad
adalah dengan cara bagaimana ijab dan qabul yang merupakan rukun-
rukun akad itu dinyatakan. Sighat akad dapat dilakukan dengan secara
lisan, tulisan, atau isyarat yang memberi pengertian dengan jelas adanya
ijab dan qabul, dan dapat juga berupa perbuatan menjadi kebiasaan
dalam ijab dan qabul. (Basyir, 2000, hal. 68)
Syarat adalah sesuatu yang kepadanya tergantung sesuatu yang lain, dan
sesuatu itu keluar dari hakikat sesuatu yang lain itu. Syarat-syarat akad yang
harus dipenuhi ada empat macam : (Muslich, 2015, hal. 150)
a. Syarat terjadinya akad
14
Syarat terjadinya akad adalah sesuatu yang disyaratkan terwujudnya
untuk menjadikan suatu akad dalam zatnya sah menurut syara’. Apabila
syarat tidak terwujud maka akad menjadi batal. Syarat ini di bagi
menjadi dua macam:
1) Syarat umum
Syarat umum akad, yaitu syarat yang harus dipenuhi dalam setiap
akad. Syarat ini meliputi:
a) Syarat 'aqid Syarat-syarat ‘aqid, ia harus memenuhi ketentuan
sebagai berikut:
1)) ’qid harus memenuhi kriteria ahliyah. Maksudnya, orang
yang bertransaksi atau berakad harus cakap dan mempunyai
kepatutan untuk melakukan transaksi. Biasanya, orang yang
telah memiliki ahliyah adalah orang yang sudah baligh dan
orang yang berakal.
2)) ‘Aqid harus memenuhi kriteria wilayah. Maksudnya, hak
atau kewenangan seseorang yang memiliki legalitas secara
syar‟i untuk melakukan objek akad. Artinya, orang tersebut
memang merupakan pemilik asli, wali atau wakil atau suatu
objek transaksi, sehingga ia memiliki hak otoritas untuk
mentransaksikannya.
b) Syarat objek akad
Objek akad adalah benda-benda yang menjadi objek akad.
Wahbah Az-Zuhaili menyebutkan bahwa objek akad harus
memenuhi ketentuan sebagai berikut: (Zuhaili, 2007, hal. 173-
181)
1)) Objek transaksi harus ada ketika akad atau transaksi sedang
dilakukan. Tidak dibolehkan melakukan transaksi terhadap
15
objek akad yang belum jelas dan tidak ada waktu akad,
karena akan menimbulkan masalah saat serah terima.
2)) Objek transaksi merupakan barang yang diperbolehkan
syariah untuk ditransaksikan dan dimiliki penuh oleh
pemiliknya. Tidak boleh bertransaksi atas bangkai, darah,
babi dan lainnya. Begitu pula barang yang belum berada
dalam genggaman pemiliknya, seperti ikan masih dalam
laut, burung dalam angkasa.
3)) Objek akad bisa diserahterimakan saat terjadinya akad atau
dimungkinkan dikemudian hari. Walaupun barang itu ada
dan dimiliki akid, namun tidak bisa diserahterimakan, maka
akad itu akan batal.
4)) Adanya kejelasan tentang objek transaksi. Artinya, barang
tersebut diketahui secara detail oleh kedua belah pihak, hal
ini untuk menghindari terjadinya perselisihan dikemudian
hari. Objek transaksi tidak bersifat tidak diketahui dan
mengandung unsur gharar.
5)) Objek transaksi harus suci, tidak terkena najis dan bukan
barang najis. Syarat ini diajukan oleh ulama selain mazhab
Hanafiyah.
Ahmad Azhar Basyir menyebutkan bahwa agar ijab dan qabul
benar-benar mempunyai akibat hukum, diperlukan tiga syarat
sebagai berikut: (Basyir, 2000, hal. 66)
1) Ijab dan qabul dinyatakan oleh orang yang sekurang-
kurangnya telah mencapai umur tamyiz yang menyadari dan
mengetahui isi perkataan yang diucapkan hingga ucapan-
ucapan itu benar-benar menyatakan keinginan hatinya.
Dengan kata lain, ijab dan qabul harus dinyatakan dari orang
yang cakap melakukan tindakan-tindakan hukum.
16
2) Ijab dan qabul harus tertuju pada suatu objek yang
merupakan objek akad.
3) Ijab dan qabul harus berhubungan langsung dalam suatu
majelis apabila dua belah pihak sama-sama hadir, atau
sekurang-kurangnya dalam majelis diketahui ada ijab oleh
pihak yang tidak hadir. Misalnya, ijab dinyatakan kepada
pihak ketiga dalam ketidakhadiran pihak kedua, maka pada
saat pihak ketiga menyampaikan kepada pihak kedua
tentang adanya ijab itu, berarti bahwa ijab itu disebut majelis
akad juga dengan akibat bahwa bila pihak kedua kemudian
menyatakan menerima (qabul), akad dipandang telah terjadi.
2) Syarat Khusus
Syarat khusus yaitu syarat yang dipenuhi dalam sebagian akad,
bukan dalam akad lainnya. Contohnya, syarat adanya saksi alam
akad nikah, syarat penyerahan barang dalam akad kebendaan seperti
akad hibah, gadai dan lain-lain.
b. Syarat sah akad
Syarat sah akad adalah syarat yang diterapkan oleh syara’ untuk
timbulnya akibat-akibat hukum dari suatu akad. Apabila syarat tersebut
tidak ada maka akadnya menjadi fasid, tetapi tetap sah dan eksis.
Contohnya, dalam jual beli disyaratkan oleh Hanafiah, terbebas dari
salah satu ‘aib (cacat) seperti ketidak jelasan (jahalah), paksaan (ikrah),
pembatasan waktu (tauqit), tipuan atau ketidakpastian (gharar), darar,
syarat yang fasid. (Zuhaili, 2007, hal. 228)
c. Syarat kelangsungan akad
Syarat kelangsungan akad, ada dua macam: (Muslich, 2015, hal. 151)
1) Adanya kepemilikan atau kekuasaan. Artinya orang yang
melakukan akad harus pemilik barang yang menjadi objek akad,
atau mempunyai kekuasaan (perwakilan). Apabila tidak ada
17
kepemilikan dan tidak ada kekuasaan (perwakilan), maka akad tidak
bisa dilangsungkan, melainkan mauquf (ditangguhkan).
2) Di dalam objek akad tidak ada hak orang lain. Apabila di dalam
barang yang menjadi objek akad terdapat hak orang lain, maka
akadnya mauquf , tidak nafiz.
d. Syarat luzum.
Pada dasarnya, setiap akad sifatnya mengikat (lazim). Untuk mengikat
suatu akad seperti dalam jual beli disyaratkan dan ijarah disyaratkan
adanya hak khiyar, yang memungkinkan di fasakhnya akad oleh salah
satu pihak. Apabila di dalam akad tersebut terdapat khiyar, maka akad
tersebut tidak mengikat bagi orang yang memiliki hak khiyar tersebut.
Dalam kondisi seperti itu ia boleh membatalkan atau menerima akad.
(A-Siddieqy, 2001, hal. 83-85) Dalam bukunya Drs. H. Ahmad Wardi
Muslich Fiqh Muamalah iya mengatakan bahwa syarat akad ada 4:
Dalam bukunya Sohari Sahrani dan Ruf’ah Abdullah menyatakan
bahwa macam-macam akad antara lain:
a. ‘Aqad munjiz, yaitu akad dilaksanakan langsung pada waktu selesainya
akad. Pernyataan akad yang diikuti dengan pelaksanaan akad ialah tidak
disertai dengan syarat-syarat dan tidak pula ditentukan waktu
pelaksanaan setelah adanya akad.
18
b. ‘Aqad mu’alaq ialah akad yang dalam pelaksanaannya terdapat syarat-
syarat yang telah ditentukan dalam akad, misalnya penentuan
penyerahan barang-barang yang diakadkan setelah adanya pembayaran.
c. ‘Aqad mudhaf ialah akad yang dalam pelaksanaanya terdapat syarat-
syarat mengenai penanggulangan pelaksanan akad, pernyataan yang
pelaksaannya ditangguhkan hingga waktu yang ditentukan. Perkataan
ini sah dilakukan pada waktu akad, tetapi belum mempunyai akibat
hukum sebelum tibany waktu yang telah ditentukan. (Abdullah, 2011,
hal. 47)
B. Hutang Piutang/Qardh
1. Pengertian Hutang Piutang/Qardh
Manusia sebagai makhluk sosial dalam menjalani kehidupannya
sangat membutuhkan pertolongan dari orang lain dalam berbagai kegiatan
tukar menukar harta atau benda seperti sewa menyewa, jual beli, pinjam
meminjam dan hutang piutang, sehingga kebutuhan hidup dapat terpenuhi.
Salah satu bentuk transaksi yang banyak dilakukan manusia adalah
transaksi hutang piutang. Dalam kamus bahasa Indonesia kata hutang dapat
diartikan dengan uang yang dipinjam dari orang lain, kewajiban membayar
kembali apa yang sudah diterima dan kata piutang bermakna uang yang
dipinjamkan kepada orang lain dan dapat ditagih. (Bandung, 2001, hal.
348)
Jika dilihat dalam kamus bahasa Arab hutang piutang dikenal
dengan Qardh yang berarti meminjam. Menurut pendapat Wahbah adalah
qardh berarti al-qath. Harta yang di berikan kepada orang yang meminjam
(debitur) disebut qardh karena merupakan “potongan” dari harta orang
yang meminjamkan pinjaman (kreditur). (Syahbari), 1995, hal. 375)
19
Qardh menurut bahasa qaradha yang sinonimnya qatha’a
(potongan), yakni harta yang diserahkan kepada orang yang berhutang
secara potongan, karena orang yang menghutangkan memotong sebagian
harta yang dihutangkan. (Arianti, 2014, hal. 22)
Qardh adalah suatu akad antara dua pihak, dimana pihak pihak
pertama memberikan uang atau barang kepada pihak kedua untuk
dimanfaatkan dengan ketentuan bahwa uang atau barang tersebut harus
dikembalikan persis seperti yang ia terima dari pihak pertama. (Muslich,
2015, hal. 274)
Pengertian utang adalah harta yang diberikan oleh seseorang yang
memberikan utang kepada orang yang berhutang, agar orang yang
berhutang mengembalikan barang yang serupa dengannya kepada orang
yang memberi hutang. (Sabiq, 2012, hal. 234)
“Hutang piutang adalah memberikan sesuatu kepada seseorang
dengan perjanjian dia akan membayar yang sama dengan itu”. Pengertian
“sesuatu” dari definisi yang diungkapkan di atas tentunya mempunyai
makna yang luas, selain berbentuk uang juga bisa berbentuk barang asal
barang tersebut habis akibat pemakaian. (Rasyid, 2005, hal. 287)
Menurut para ulama dan pakar, mereka berbeda pendapat dalam
mendefenisikan qardh antara lain:
a. Menurut Hanafiyah qardh adalah harta yang diberikan kepada orang
lain dari mal misli untuk kemudian dibayar atau dikembalikan, atau
dengan ungkapan yang lain, qardh adalah suatu perjanjian yang khusus
untuk menyerahkan harta kepada orang lain untuk kemudian
dikembalikan persis seperti yang diterima. (Muslich, 2015, hal. 275)
b. Menurut Hanabila qardh adalah memberikan harta kepada orang yang
memanfaatkannya dan kemudian mengembalikan penggantinya.
20
c. Menurut syafiiyah qardh adalah istilah syara’ diartikan dengan sesuatu
yang diberikan kepada orang lain (yang pada suatu saat harus
dikembalikan).
d. Menurut Malikiyah qardh adalah menyerahkan sesuatu yang bernilai
harta kepada orang lain untuk mendapatkan manfaatnya, di mana harta
yang diserahkan tadi tidak boleh di tuangkan lagi dengan cara yang tidak
halal, dengan ketentuan barang itu harus diganti pada waktu yang akan
datang, dengan syarat gantinya tidak beda dengan yang diterima.
e. Menurut wahbah al-Zuhailiy dalam karyanya al-fiqh al-islamiy wa
Adillatuhu juz IV, piutang adalah penyerahan sesuatu harta kepada
orang lain yang tidak disertai dengan imbalan dan tambahan dalam
pengembaliannya. (Zuhaili, 2007)
f. Menurut Sulaiman Rasjid dalam bukunya fikih Islam mendefinisikan
utang piutang atau qardh adalah memberika sesuatu kepada seseorang
dengan perjanjian dia akan membayar yang sama dengan itu. (Rasjid,
2012, hal. 306)
g. Menurut pendapat Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnah yaitu utang
piutang adalah utang harta yang diberikan oleh muqrid (orang yang
berpiutang) kepada muqtarid (orang yang berutang) untuk dikembalikan
sesuai menurut semisalnya. (Sayyid Sabiq, 2009, hal.134)
h. Menurut “Amir Syarifuddin bahwa utang piutang adalah penyerahan
harta berbentuk uang untuk dapat dikembalikan pada waktunya dengan
nilai yang sama. (Syarifuddin, 2003, hal. 222)
i. Menurut pendapat “Ibrahim Lubis mengatakan bahwa utang piutang
adalah memberikan sesuatu kepada orang dengan perjanjian akan
membayarnya sama dengan itu”. (Ibrahim Lubis, t.th, hal. 359).
j. Menurut pendapat “Rozalinda menyatakan bahwa utang piutang adalah
akad tertentu antara dua pihak, satu pihak menyerahkan hartanya kepada
pihak lain dengan ketentuan pihak yang menerima harta mengembalikan
21
kepada pemiliknya dengan nilai yang sama”. (Rozalinda, 2005, hal.
146)
k. Dalam PBI No.7/46/PBI/2005 qardh adalah pinjaman meminjam dana
tanpa imbalan dengan kewajiban pihak peminjam mengembalikan
pokok pinjaman secara sekaligus atau cicilan dalam jangka waktu
tertentu.
Dari uraiyan di atas utang piutang/qardh merupakan pemberian
harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali dengan
jumlah yang sama. Karena qardh merupakan akad tabarru’ yang tujuannya
adalah tolong menolong (taawuun), sehingga pengembaliannya harus sama
dengan jumlah yang diterima tanpa adanya imbalan.
2. Dasar Hukum Hutang Piutang/Qardh
Qardh merupakan salah satu bentuk ibadah untuk mendekatkan
diri kepada Allah SWT sebab dengan memberikan uang atau barang
berarti menyayangi manusia, mengasihi mereka, memudahkan urusan
mereka dan menghilangkan kesusahannya.
Islam menganjurkan dan menyarankannya bagi orang yang
(berkecukupan) untuk memberi pinjaman. (Arianti, 2014, hal. 23).
Hukum memberi hutang piutang bersifat fleksibel tergantung setuasi
dan toleransi, namun pada umumnya memberi hutang hukumnya
sunnah. Akan tetapi memberi hutang atau pinjaman hukumnya bisa
menjadi wajib ketika diberikan kepada orang yang membutuhkan
seperti memberi hutang kepada tetangga yang membutuhkan uang untuk
berobat karena ada keluarganya yang sakit. Hukum memberi hutang
bisa menjadi haram, misalnya memberi hutang untuk hal-hal yang
dilarang dalam Islam.
Mengenai pembolehan dari hutang piutang juga dijelaskan
dalam al-Qur’an dan Sunnah serta ijmak para ulama.
22
a. Al-Qur’an
1) QS. Al-Maidah: 2
....
Artinya: “....Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolongdalam berbuat dosa dan pelanggaran. Danbertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allahamat berat siksa-Nya”
2) QS. Al- Baqarah: 280
Artiya: “Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran,maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan, danmenyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baikbagimu, jika kamu mengetahui.”
3) QS. Al-Baqarah: 282
…. . …
Artinya: “….Dan janganlah penulis enggan menuliskannyasebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah iamenulis, dan hendaklah orang yang berhutang itumengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), danhendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan
23
janganlah ia mengurangi sedikitpun daripadahutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemahakalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidakmampu mengimlakkan, maka hendaklah walinyamengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengandua orang saksi dari orang-orang lelaki (diantaramu)...”
4) QS. Al-Muzzammil: 20
....
Artinya: “....Dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan
berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik.Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimuniscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allahsebagai balasan yang paling baik dan yang paling besarpahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah;sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi MahaPenyayang.”
5) QS. Al- Baqarah: 245
Artinya: “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah,pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalanAllah), Maka Allah akan meperlipat gandakanpembayaran kepadanya dengan lipat ganda yangbanyak. dan Allah menyempitkan dan melapangkan(rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.”
6) QS. Al Hadid: 11
24
Artinya: “Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allahpinjaman yang baik, Maka Allah akan melipat-gandakan(balasan) pinjaman itu untuknya, dan Dia akanmemperoleh pahala yang banyak.”
7) QS At-Taghabun: 17
Artinya: “Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yangbaik, niscaya Allah melipat gandakan balasannyakepadamu dan mengampuni kamu. dan Allah Mahapembalas Jasa lagi Maha Penyantun.”
b. Hadits
Hutang piutang telah terjadi atas belangsun sejak pada zaman
Nabi Saw. Hadist-hadist yang terkait dengan hutang piutang antara
lain adalah:
Selain dari ayat di atas juga ada hadits Nabi yang dapat
dijadikan sebagai dasar hukum dari utang piutang, antara lain:
:
)
(
Artinya: “Dari Ibn Mas’ud bahwa Rasulullah SAW, bersabda,“tidak ada seorang muslim yang menukarkan kepadaseorang muslim qarad dua kali, maka seperti sedekahsekali.” (HR. Ibn Majah dan Ibn Hibban)
25
Artinya: Setiap muslim yang memberikan pinjaman kepadasesamanya dua kali, maka dia itu seperti orang yangbersedekah satu kali.”
Sistem hutang piutang telah berlangsung sejak zaman Nabi
Saw dan Nabi menyaksikan sendiri para sahabat melakukan transaksi
hutang piutang
:
)(
Artinya: “Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah bersabda, barangsiapa melepaskan dari seorang muslim satu kesusahan darikesusahan-kesusahan dunia, niscaya Allah melepaskan diadari kesusahan-kesusahan hari kiamat, barang siapamemberikan kelonggaran kepada seseorang yangkesusahan, niscaya Allah akan memberi kelonggaranbaginya di dunia dan akhirat dan barang siapamenutupi(aib) seseorang muslim. Dan Allah selamanya menolonghamba-Nya, selama hamba itu mau menolongsaudaranya”(HR Muslim)”.
3. Rukun dan Syarat Sah Hutang Piutang
Menurut Hanafiyah, rukun qardh adalah ijab dan qabul. Sdangkan
menurut jumhur ulama, rukun hutang piutang yaitu:
a. ’aqaid (orang yang berakat) yakni muqrid dan muqtarid
b. Dana atau objek pinjaman (qardh)
c. Ijab qabul (shigat)
26
Dengan demikian, maka dalam transaksi utang piutang atau qardh
dianggap telah terjadi apabila sudah memenuhi rukun dan syarat dari
pada utang piutangitu sendiri. Adapun yang menjadi rukun dan syarat
dari hutang piutang adalah:
a. ‘Aqaid (orang yang berakat) yakni muqrid dan muqtarid
Orang yang berhutang dan memberi hutang mempunyai kapabilitas
dalam melakukan akad. Artinya muqrid (pemberi hutang) dan
muqtarid (orang yang berhutang) adalah orang yag mempunyai
kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum, dengan syarat:
1) Baligh
2) Berakal
3) Dapat berlaku dewasa
4) Berkehendak sendiri tanpa paksaan
5) Boleh untuk melakukan tabarru’
Karena qardh adalah bentuk akad tabarru’, sehingga tidak boleh
dilakukan oleh anak kecil, orang gila, orang yang dipaksa. Hal itu
karena mereka semua bukanlah orang yang dibolehkan melakukan
akad tabarru’. (Zuhaili, 2007, hal. 379)
b. Dana atau objek utang piutang (qardh)
Menurut Hanafiyah harta yang dipinjamkan haruslah harta
mithli yaitu harta yang memiliki persamaan dan kesetaran dipsar.
Sedangkan jumhur ulama memperbolehkan dengan harta apa saja
yang bisa dijadikan tanggungan, sepertiuang dan biji-bijian. Dan
harta qimi seperti binatang ternak barang tak bergerak dan lain-
lainya. (Zuhaili, 2007, hal. 378)
Untuk itu obek hutang-piutang memiliki syarat sebagai berikut:
1) Merupakan benda yang bernilai dan memiliki persamaan dan
kesetaraan di pasar
27
2) Jelas ukuranya, baik dalam takaran, timbangan, bilangan
maupun ukuran panjang supaya mudah dikembalikan
3) Harta yang berbentuk barang harus jelas nilainya
4) Milik sempurna dari pemberi hutang
5) Dapat diserahkan pada akad serta harus dibayar dalam jumlah
dan nilai yang diterima dari pemiliknya. (Syarifuddin, 2003, hal.
224)
c. Ijab qabul (shigat)
Akad qardh dilakukan dengan sighat ijab qabul atau bentuk lain
yang bisa menggantikannya, seperti cara mu’atah (melakukan akad
tanpa ijab qabul)dalam pandangan jumhur ulama.
4. Prinsip Hutang Piutang
a. Prinsip Al-‘adalah (keadilan)
Perintah-perintah untuk menegakan keadilan dalam Al-Qur’an
disampaikan dalam berbagai konteks. Sedangkan pengertian pokok
tentang keadilan menurut Murtthadla al-muthari ada empat, yaitu:
1) Pertimbangan atau keadaan seimbang (mauzun), tidak pincang,
jika misalnya suatu masyarakat ingin mampu bertahan dan
mantap, maka ia harus berada dalam keseimbangan (muta’adil),
dalam arti bahwa keadilan tidak mesti menurut persamaan. Suatu
bagian dalam hubungannya dengan bagian lain dan dengan
keseluruhan kesatuan menjadi efektif tidak karena ia miliki
ukuran dan bentuk hubungan yang “pas”.
2) Persamaan (musawah) dan tiadanya diskriminasi dalam bentuk
apapun. Pelakuan yang dimaksud di sini adalah perlakuan yang
sama pada orang-orang yang mempunyai hak yang sama (karena
kemampuan, tugas, fungsi yang sama), maka pengertian
persamaan sebagai makna keadilan dapat dibenarkan. Seorang
28
manajer diperlakukan perisis sama dengan seorang pesuruh,
maka yang terwujud bukanlah keadilan, melainkan kezaliman.
3) Pemberian hak kepada setiap orang yang berhak (i’ tha’ kulli dzi
haqqin Haqquhu), kezaliman dalam artian ini adalah
perampasan hak dari orang yang berhak, dan pelanggaran hak
orang yang tidak berhak. Berkaitan dengan adil dalam
pengertian ini menyangkut dua hal, yaitu masalah hak dan
kepemilikan dan kekhususan hakiki manusia atau kualitas
manusiawi tertentu yang harus dipenuhi oleh dirinya dan diakui
oleh orang lain.
4) Keadilan tuhan (al-‘adl al-ilahi), berupa kemurahannya dalam
melimpahkan rahmat kepada seseorang sesuai dengan
kesediannya untuk menerima eksistensi dirinya dan
pertumbuhan ke arah yang lebih baik atau sempurna.
b. ‘Adamu Tadlis, Al-Gharar, wa Riba
Tadlis adalah transaksi yang mengandung suatu hal yang tidak
diketahui oleh salah satu pihak. Setiap transaksi dalam Islam harus
didasarkan kepada prinsip kerelaan kedua belah pihak (sama-sama
ridha). Mereka harus mempunyai informasi yang sama sehingga
tidak ada pihak yang merasa dicurangi / ditipu karena ada rukun
qardh itu hanya ijab dan qabul, (Arianti, 2014, hal. 26)
5. Objek Hutang Piutang
Segala sesuatu yang boleh diperjual belikan boleh dijadikan objek
qardh, seperti uang, makanan, pakaian, mobil dan lain-lain. Hal ini
mencakup: (Agus Rijal)
a. Mitsliyyat,yaitu harta yang satuannya tidak berbeda dengan lainnya
dari sisi nilai, seperti: uang, kurma, gandum dan besi.
29
b. Qimiyyat, yaitu harta yang satuannya berbeda dengan yang lain dari
sisi nilai, seperti: hewan ternak, properti, dan lain-lain. Berdasarkan
hadist yang menjelaskan bahwa nabi saw meminjam unta.
c. Manafi (jasa), seperti menepati sebuah rumah. Menurut Ibnu
Taimiyah, kita boleh meminjamkan jasa seperti: seseorang
membantu temannya mengambil hasil panen dan dan bergiliran dia
yang panen, temannya juga ikut membantu, atau ia mempersilahkan
temannya tinggal dirumahnya dengan imbalan dia boleh tinggal di
rumahnya dengan imbalan dia boleh tinggal di rumah temannya.
6. Tambahan dalam Hutang Piutang
Perutangan iyalah salah satu sarana ibadah untuk mendekatkan
diri kepada Allah Swt. Karena memberikan hutang berarti menyayangi
manusia, mengasihani mereka, memudahkan urusan mereka, serta
menghilangkan kesusahan mereka (orang yang membutuhkan).
Hutang piutang bukanlah salah satu sarana untuk memperoleh
keuntungan dan bukan pula salah satu metode untuk mengeksploitasi
orang lain (Sabiq, Fikih Sunnah, 2012, hal. 115). Karena qardh atau
hutang piutang merupakan salah satu transaksi muamalah yang
berbentuk akad tabarru’ yaitu akad tolong menolong tanpa
mengharapkan balasan kecuali dari Allah. (Sabiq, Fikih Sunnah, 2012,
hal. 118)
Dalam hal ini telah dijelaskan oleh Allah dalam firmannya surah
Ali Imran ayat 130:
Artinya: “hai orang orang yang beriman janganlah kamu memakanRiba dengan berlipat gnda dan bertakwalah kamu kepadaAllah supaya kamu mendapat keberuntungan”
Juga telah diperkuat dengan hadist Rasulullah SAW:Artinya: “telah menceritakan padaku, Yazid bin Abi Khabib dari Abi
Marzaq At-Tajji dari Fahola bin Ubaid bahwa RasulullahSAW bersabda: “tiap tiap piutang yang mengambil manfaat,
30
maka itu salah satu dari beberapa macam Riba” (HRBaihaqi)”
Yang dimaksud mengambil manfaat dari hadist di atas iyalah
keuntungan atau kelebihan atau tambahan dari pembayaran yang
disyaratkan dalam akad hutang piutang atau yang telah di tradisikan
untuk menambah pembayaran. Bila kelebihan itu merupakan kehendak
yang ikhlas dari orang yang berpiutang sebagai balas jasa yang
diterimanya, maka demikian bukanlah riba dan boleh serta menjadi
kebaikan bagi sipenghutang karena ini dihitung sebagai husnul qardh
(Syarifuddin, 2003, hal. 224).
Dalam hal ini, terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama
fiqih mengenai boleh tidaknya menerima manfaat dari akad utang
piutang tersebut, antara lain:
a. Mazhab Hanafi dalam pendapatnya menyatakan bahwa qardh yang
mendatangkan keuntungan hukumya haram, jika keuntungan
tersebut diisyaratkan sebelumnya. Jika belum diisyaratkan
sebelumnya dan bukan merupakan kebiasaan dan tradisi yang biasa
berlaku, maka tidak mengapa. (Zuhaili, 2007, hal. 379)
b. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa tidaklah sah akad qardh yang
mendatangkan keuntungan karena ia adalah riba. Dan haram
hukumnya mengambil manfaat dari harta pinjaman, seperti
mengambil manfaat dari harta pinjaman
c. Ulama syafi’iyah berpendapat bahwa qardh yang mendatangkan
keuntungan tidak diperbolehkan, seperti mengutangkan seribu
dinar dengan syarat dikembalikan seribu dinar dengan mutu koin
dinar yang lebih baik atau dikembalikan lebih banyak dari pada itu.
d. Ulama Hanabilah berpendapat bahwa pengembalian qardh pada
harta yang ditakar atau ditimbang harus dengan sejenisnya. Adapun
pada benda benda lainya yang tidak dihitung dan ditakar dikalangan
31
mereka ada dua. Pertama, sebagaimana pendapat jumhur ulama
yaitu membayar nilainya pada hari akad. Kedua, mengembalikan
benda sejenis dengan yang mendekti pada sifatnya.
e. Menurut Syaikh Zainuddin al-Malibary menyebutkan bahwa boleh
bagi muqarrid menerima kemanfaatan yang diberikan kepadanya
oleh muqtarid tanpa diisyaratkan sewaktu akad. Misalya kelebiha
ukuran atu mutu barang pengembalian lebih baik dari pada yang
telah muqtarid terima.
f. Menuerut Sayiid Sabiq bahwa debitur tidak boleh mengembalikan
kepada kreditut kecuali apa yang telah diutangnya atau yang serupa
dengannya sesuai dengan kaidah fikih yang menyatakan “setiap
piutang yang mendatangkan keuntungan adalah riba”. Namun
keharaman itu berlaku apabila manfaat dari piutang disyaratkan
atau telah dikenal dalam tradisi. Apabila manfaat ini tidak
disyaratkan dan tidak dikenal dalam tradisi maka debutur boleh
membayar utangnya dengan sesuatu yang lebih baik kualitas dan
kwantitasnya dari pada apa yang diutangkan. (Sabiq, Fikih Sunnah,
2012, hal. 119)
Para ulama sepakat bahwa wajib hukumnya bagi peminjam
untuk mengembalikan harta semisal apabila untuk mengembalikan
harta mitli (harta yang memiliki kesamaandan kesetaraan di pasar), dan
mengembalikan harta semisal dalam bentuknya (dalam pandangan
ulama selain Hanafiyah) bila pinjamannya adalah harta qimi (hewan
dan benda tak bergerak). Seperti mengembalikan kambing yang ciri-
cirnya mirip dengan kambing yang dipinjam.
Dari berbagai pendapat ulama di atas maka dapat diambil
kesimpulan bahwa kelebihan dalam hutang piutang boleh diambil
dengan syarat kelebihan itu tidak disyaratkan di awal dan merupakan
kehendak dari yang berpiutang. Dan apabila kelebihan itu disyaratkan
32
di awal, dan merupakan keinginan sipemberi hutang maka hukumnya
adalah haram.
7. Adab dalam Hutang Piutang
a. Niatan kuat untuk membayar
Seseorang yang berhutang hendaknya sejak awal meniatkan
untuk membayar dengan segera dan bukan menunda-nunda, apalagi
tidak meniatkan untuk tidak membayar, hal tersebut tergolong dalam
keburukan yang dicela dalam sabda Rasulullah SAW:
Artinya: “Barang siapa mengambil pinjaman harta orang laindengan maksud untuk mengemblikannya maka Allah akanmenunaikan untuknya, barang siapa yang meminjamdengan niatan tidak mengembalikannya, maka Allah akanmemusnahkan harta tersebut”(HR Bukhari)
..
.
)( ًArtinya: Dari Abu Hurairah, ia berkata: “Nabi mempunyai hutang
kepada seseorang, (yaitu) seekor unta dengan usiatertentu. Orang itupun datang menagihnya. Makabeliaupun berkata,“Berikan kepadanya” kemudianmereka mencari yang seusia dengan untanya, akan tetapimereka tidak menemukan kecuali yang lebih berumur dariuntanya. Nabi pun berkata: “Berikan kepadanya”, Diapun menjawab, “Engkau telah menunaikannya denganlebih. Semoga Allah membalas dengan setimpal”. MakaNabi bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yangpaling baik dalam pengembalian hutang (HR.Bukhari)”.
b. Menuliskan pernyataan bagi yang berhutang
33
Pada saat ini fungsi akuntansi atau pencatatan transaksi sudah
menjadi kebutuhan, karena begitu padat dan rumitnya jenis aktifitas
ekonomi seseorang.
Syari’at Islam menganjurkan kepada kita untuk menaruh
perhatian dalam masalah pencatatan hutang piutang tersebut, Allah
SWT berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 282 yang berbunyi:
.....
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamubermu´amalah tidak secara tunai untuk waktu yangditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Danhendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannyadengan benar. Dan janganlah penulis engganmenuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya,meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yangberhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu),dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya”
c. Tidak ada perjanjian kelebihan dalam mengembalikan saat akad
terjadi
Dalam kaidah fiqih dikatan bahwa:
قَـرْضٍ
Artinya: Setiap pinjaman dengan menarik manfaat (oleh kreditor)adalah sama dengan riba (Kasmidin, 2015. Hal.77)
Karenanya, kita perlu hati-hati saat melakukan aktifitas hutang
piutang, jangan sampai mensyaratkan kelebihan atau tambahan
sampai saat pengembalian, meskipun kelebihan tadi bukan uang tapi
barang misalnya.
d. Bagi yang menghutangi, hendaknya memberi tenggang waktu
34
Khusus bagi yang menghutangi, adab yang harus dijaga adalah
cara penagihan yang baik yaitu dengan tetap menjunjung tinggi
ukhuwah sesama muslim. Jika memang kondisi yang berhutang
benar-benar tidak memungkinkan, maka anjuran Islam bagi kita
adalah memberikan toleransi waktu, Allah SWT berfirman dalam
surat al-Baqarah ayat 280 yang berbunyi:
Artinya: “Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran,maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Danmenyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebihbaik bagimu, jika kamu mengetahui”
e. Tidak menunda pembayaran
Hendaknya manusia berusaha untuk menyegerakan
pelunasan hutang, karena itu menjadi bagian dari komitmen seorang
muslim yang harus berusaha menepati janji yang keluar dari lisannya.
Apalagi jika kondisi benar-benar telah lapang dan mempunyai
kemampuan, maka sikap menunda-nunda hanya akan menambah
sikap tercela dalam diri kita.
رضى
Artinya: “Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda:“Memperlambat pembayaran hutang yang dilakukan olehorang kaya merupakan perbuatan zhalim. Jika salahseorang kamu dialihkan kepada orang yang mudahmembayar hutang, maka hendaklah beralih (diterimapengalihan tersebut)”
Rasulullah Saw bersabda “menunda-nunda pembayaranhutang oleh orang-orang yang mampu adalah suatu kezaliman” (HRAbu Daud)
C. Ijarah/(Upah)
1. Pengertian Ijarah
35
Secara etimologi kata al-ijarah berasal dari kata al-ajru yang berarti
al-‘iwadh yang dalam bahasa Indonesia berarti ganti atau upah (Suhendi,
2002, hal. 114). Secara terminologi ijarah merupakan akad pemindahan hak
guna atas barang atau jasa dalam batasan waktu tertentu melalui
pembayaran sewa tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas
barang. Menurut Dimyauddin Djuwaini, akad ijarah identik dengan akad
jual beli, namun dalam akad ijarah kepemilikan barang dibatasi dengan
waktu. (Djuwaini, 2008, hal. 153)
Secara harfiah, al-ijarah bermakna jual beli manfaat yang juga
merupakan makna istilah syar’i. Al-ijarah bisa diartikan sebagai akad
pemindahan hak guna atas barang atau jasa dalam batasan waktu
tertentu, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan
pemindahan kepemilikan atas barang. (Hariri, 2011, hal. 250)
Ada beberapa definisi yang dikemukakan para ulama (Abdullah,
2011, hal. 167-168).
a. Menurut Hanafiyah, ijarah adalah:
“Akad untuk membolehkan pemilikan manfaat yang diketahui dansengaja dari suatuzat yang disewa dengan imbalan”
b. Menurut Malikiyah, ijarah adalah:
“Nama bagi akad-akad untuk kemanfaatan yang bersifat manusiawidan untuk sebagian yang dapat dipindahkan”
c. Menurut Asy-Syafi’iyah, ijarah adalah:
36
Akad atas sesuatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentuyang mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan denganpengganti tertentu”
d. Menurut Fatwa DSN-MUI Nomor 09/DSN/MUI/IV/2000,
mendefinisikan akad ijarah yaitu akad pemindahan hak guna
(manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui
pembayaran sewa/upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan
barang itu sendiri.
e. Menurut Komplikasi Hukum Ekonomi Syariah Pasal 20 ayat (9), ijarah
adalah sewa barang dengan jangka waktu tertentu dengan pembayaran
f. Menurut Hasbi As-Siddigie bahwa ijarah adalah Akad yang objeknya
ialah penukaran manfaat untuk masa tertentu atau pemilikan manfaat
dengan imbalan, sama juga menjual manfaat.
g. Menurut Amir Syarifuddin ijarah secara sederhana diartikan dengan
“transaksi manfaat atau jasa dengan imbalan tertentu”. Bila yang
menjadi objek transaksi adalah manfaat atau jasa dari suatu benda
disebut ijarat al-‘ain (sewa menyewa); seperti menyewa rumah untuk
ditempati. Bila yang menjadi objek transaksi adalah manfaat atau jasa
dari tenaga seseorang disebut ijarat al- ẓimmah (upah mengupah)
seperti upah menjahit pakaian.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, akad ijarah ditentukan
berdasarkan waktu, waktu kerjanya ataupun juga waktu pembayarannya.
Menurut Ibnu Qayyim, konsep yang digunakan para fuqaha adalah
tentang pemanfaatan atas suatu barang bukan memilikinya. Sehingga akad
ijarah tidak berlaku pada pepohonan, yang bertujuan untuk diambil
buahnya karena buah itu sendiri termasuk materi, sedangkan akad
37
ijarah itu hanya ditujukan pada suatu manfaat. Demikian halnya dengan
ijarah pada binatang ternak yang bertujuan untuk diambil susunya,
diikarenakan susu binatang tersebut termasuk materi.
Jumhur ulama fiqih juga tidak membolehkan air mani hewan
ternak pejantan seperti sapi, kerbau, kuda, karena yang dimaksudkan
dengan hal itu adalah mendapatkan keturunan hewan, dan mani itu
sendiri merupakan termasuk kategori materi.
Demikian juga ulama fiqih tidak membolehkan ijarah pada nilai
tukar uang, seperti dirham atau dinar, karena menyewakan hal itu berarti
sama saja dengan menghabiskan materinya. Sedangkan dalam ijarah yang
dituju hanyalah manfaat dari suatu benda. (Haroen, Fiqh Muamalah, 2007,
hal. 229)
Bila dilihat dari uraian di atas, mustahil manusia bisa hidup
berkecukupan tanpa ber-ijarah dengan orang lain. Karena itu boleh
dikatakan bahwa pada dasarnya ijarah itu adalah salah satu bentuk
aktivitas antara dua pihak yang berakad guna meringankan salah satu
pihak atau saling meringankan satu sama lain, dan juga merupakan
cerminan bentuk tolong menolong yang diajarkan agama. Ijarah
merupakan salah satu jalan untuk mengetahui keperluan manusia. Oleh
sebab itu, para ulama menilai bahwa ijarah ini merupakan suatu hal
yang boleh dan bahkan kadang-kadang perlu dilakukan.
Dalam hukum Islam orang yang menyewakan disebut dengan
Mu’ajjir, sedangkan orang yang menyewakan disebut dengan Musta’jir,
benda yang disewakan diistilahkan dengan Ma’jur dan uang sewa atau
imbalan atas pemakaiyan manfaat barang tersebut disebut dengan “Ajaran
atau Ujrah”. (Pasaribu, 1996, hal. 52)
2. Dasar Hukum Ijarah
a. QS. Al Zukhruf ayat 32:
38
Artinya: “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu?Kami telah menentukan antara mereka penghidupan merekadalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikansebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapaderajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakansebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apayang mereka kumpulkan”.
b. QS. Al-Qashash ayat 26 yang berbunyi:
.
Artinya: “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakkuambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karenaSesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambiluntuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapatdipercaya".
c. QS.Thalaq ayat 6 yang berbunyi:
Artinya: Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempattinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamumenyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka.dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang
39
hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hinggamereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya,dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu)dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Makaperempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.
d. Q.S AL Baqarah ayat 233
Artinya: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama duatahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakanpenyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaiankepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidakdibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karenaanaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispunberkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih(sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya danpermusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. danjika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Makatidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikanpembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepadaAllah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yangkamu kerjakan.
Hadits
40
عن ابن عمر رضي الله عنحما قاا ل: قا ل رسول الله صلى الله عليه وسلم: أعطوا الاا ف عر قه (رواه ابن ما جه) جيرآجره قبل ان يج
Artinya: Dari Ibnu Umar RA, berkata bahwa Rasulullah Saw. Telahbersabda: Berikanlah olehmu upah buru itu sebelumkeringatannya kering (Riwayat Ibnu Majah)
صلعم احجم واعطى ا لحجا م أجره (رواه البخا رى ومسلم وأحمد)أن ر سو ل الله Artinya: “Rasulullah Saw. Berbekam, lalu beliau membayar upahnya
kepada orang yang membekamnya”
3. Rukun dan Syarat Ijarah
Ulama Mazhab Hanafi mengatakan, bahwa rukun ijarah hanya satu,
yaitu: ijab dan qabul saja (ungkapan menyerahkan dan persetujuan)
Jumhur ulama berpendapat, bahwa rukun ijarah ada empat yaitu
(Muslich, 2015, hal. 321) :
a. “aqid, yaitu mu’ajir (orang yang menyewakan) dan musta’jir (orang
yang menyewa)
b. Shighat (ijab dan qabul)
c. Ujrah (uang sewa atau upah)
d. Manfaat, baik manfaat dari suatu barang yang disewakan atau jasa dan
tenaga dari orang yang bekerja
Adapun syarat akad ijarah ialah (Ali Hasan, 2004. hal. 231):
a. Syarat bagi kedua orang yang berakad, adalah telah baligh dan berakal
(Mazhab Syafi’i dan Hambali). Dengan demikian, apabila orang itu
belum atau tidak berakal, seperti anak kecil atau orang gila,
menyewakan hartanya, atau diri mereka sebagai buruh (tenaga dan ilmu
boleh disewa), maka ijaarahnya tidak sah.
Berbeda dengan Mazhab Hanafi dan Maliki mengatakan, bahwa
orang yang melakukan akad, tidak harus mencapai usia baligh, tetapi
anak yang telah mumayyiz pun boleh melakukan akad ijaarah dengan
ketentuan, disetujui oleh walinya.
41
b. Kedua belah pihak yang melakukan akad menyatakan, kerelaannya
untuk melakukan akad ijaarah itu. Apabila di antar keduanya terpaksa
melakukan akad, maka akadnya tidak sah. Sebagaimana landasannya
firman Allah Q.S An-Nisa’:29:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu salingmemakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecualidengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.
c. Manfaat yang menjadi objek ijarah harus diketahui secara jelas,
sehingga tidak terjadi perselisihan dibelakang hari. Jika manfaatnya
tidak jelas, maka akad itu tidak sah.
d. Objek ijarah dapat diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan
tidak ada cacatnya.
e. Hendaknya objek ijarah diperbolehkan secara syara’. Dengan kata
lain, tidak diperbolehkan menyewa barang yang bertentang dengan
hukum Islam. Seperti menyewa tempat untuk maksiat, untuk
melakukan hiburan yang diharamkan, mengajarkan sihir dan lain
sebagainya.
f. Hendaknya pekerjaan yang ditugaskan bukan termasuk kategori
ibadah mahdhah, yaitu ibadah yang diwajibkan. Misalkan
mengupahkan seseorang untuk melakukan shalat atau berpuasa di bulan
Ramadhan.
42
g. Tidak boleh mengambil manfaat dari pekerjaannya. Hal itu karena
orang yang disewa menimati hasil pekerjaannya sehingga ia
sepertinya melakukan semua itu untuk dirinya sendiri.
h. Manfaat dari akad harus dimaksudkan dan biasa dicapai melalui
akad ijarah. Misalnya, menyewa pohon untuk mejemur pakaian atau
untuk berlindung. Maka hal seperti ini tidak diperbolehkan dikarenakan
manfaat itu tidak dimasukkan dalam kegunaan pohon.
4. Macam-macam Ijarah
Ijarah ada dua (Muslich, 2015, hal. 329):
a. Ijarah atas manfaat, disebut juga sewa menyewa. Dalam ijarah
bagian pertama ini objek akadnya adalah manfaat dari suatu benda
b. Ijarah atas pekerjaan, disebut juga upah mengupah. Dalam ijarah
bagian kedua ini, bjek akadnya adalah amalan atau pekerjaan
seseorang
5. Pengertian upah (ujrah)
Upah dalam bahasa Arab penyebutannya disebut ujrah .(اجرة) Ujrah
berasal dari kata al-Ajr yang bermakna sama dengan al-Tsawab. Dalam
istilah Arab dibedakan antara al-Ajr dan al-Ijarah, ajr yaitu pahala dari
Allah sebagai imbalan taat. Jadi, yang dimaksud upah dalam pembahasan
ini adalah imbalan yang diberikan atas pemanfaatan suatu jasa.
Sedangkan dalam UU Ketenagakerjaan dalam Pasal 1 (ayat 30) No.
13 Tahun 2003, yang berbunyi:
“Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan
dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja
kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayar menurut suatu perjanjian
kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang undangan, termasuk
tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/jasa
yang telah atau akan dilakukan”
43
Menurut pernyataan Professor Benham yang dikutip oleh Afzalur
Rahman bahwa upah didefinisikan dengan sejumlah uang yang dibayar
oleh orang yang memberi pekerjaan kepada seorang pekerja atas
jasanya sesuai perjanjian. Sedang pendapat ini disetujui oleh Nurimansyah
Haribuan, yang juga mendifinisikan bahwasannya upah adalah segala
macam bentuk penghasilan (earning) yang diterima buruh (tenaga kerja)
baik berupa uang ataupun barang dalam jangka waktu tertentu pada suatu
kegiatan ekonomi. (Rahman, 1995, hal. 361)
Jadi, upah (al-ujrah) yang dimaksud dalam pengertian di atas
adalah setiap harta yang diberikan sebagai kompensasi atas pekerjaan yang
dilakukan oleh manusia, baik berupa uang atau barang, yang memiliki
nilai harta yaitu yang dapat dimanfaatkan. Pembahasan upah dalam Islam
terkategori pada konsep ijarah. Konsep ijarah dalam kitab fiqih umumnya
hanya berkisar padapersoalan sewa menyewa.
Konsep sewa menyewa yang ditekankan adanya asas manfaat. Maka
dari itu, transaksi ijarah yang tidak terdapat asas manfaat hukumnya haram.
6. Dasar Hukum Ujrah
Landasan hukum yang membolehkan upah dalam firman Allah dalam Al
Qur’an, yang berbunyi:
a. Q.S at Taubah ayat 105
Artinya: “Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmuitu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yangmengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu
44
diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamukerjakan”.
Jadi menurut ayat di atas, setiap pekerjaan yang kita lakukan pastiakan
mendapatkan suatu balasan atau upah. Apabila kita tidak
mendapatkan upah dari hasil bekerja kepada sesama manusia, maka
Allah akan tetap membalas segala upaya kita. Meskipun
pembalasannya tidak berupa materil.
b. Q.S Ali Imran ayat 57
Artinya: “Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakanamalan-amalan yang saleh, Maka Allah akan memberikankepada mereka dengan sempurna pahala amalan-amalanmereka; dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim”.
Jadi menurut ayat di atas, setiap pekerjaan yang dilakukan oleh
orang yang bekerja harus dihargai, dengan cara diberi upah atau
gaji. Karena bila kita tidak memberikan upah bagi para pekerja
adalah suatu kezaliman yang tidak disukai Allah.
c. Hadist riwayah Bukhari no 2075
Artinya: “dari Abi Hurairah ra dari Nabi SAW bersabda: Allah Ta’alaberfirman ada tiga jenis orang yang aku menjadi musuhmereka pada hari qiamat, seseorang yang bersumpah atasnamaKu lalu mengingkarinya, seseorang yang menjualorang yang telah merdeka lalu memakan (uang dari)harganya dan seseorang yang mempekerjakan pekerja
45
kemudian pekerja itu menyelesaikan pekerjaannya namuntidak dibayar upahnya”. (H.R Buhkari: 2075).
Menurut hadist di atas Islama melarang kepada pemberi kerja untuk
tidak meberikan upah pekerjanya yang telah selesai melakukan pekerja
tersebut, bahkan Rasullah melaknatnya.
d. Hadist yang diriwayatkan oleh Abu Yu’la dan Ibnu Majah dan
Thabmrin dan Tarmizi
Artinya: “Berikanlah olehmu upah orang bayaran sebelumkeringatnya kering” (HR. Abu Yu’la, Ibnu Majah, Thabrani,dan Thirmidzi)
Menurut hadist di atas, pembayaran upah harus dilakukan sesuai dengan
kesepakatan atau sesuai dengan batas waktu yang ditentukan. Kita
diperintahkan untuk segera dalam membayar upah seseorang pekerja,
setidaknya kita tidak menunda nunda dalam memberikan upah perkerja
dari waktu yang telah disepakati
7. Syarat-syarat Ujrah
Menurut Wahbah Zuhaili, syarat-syarat Ujrah itu ada dua macam,
yaitu sebagai berikut:
a. Hendaknya upah tersebut yang bernilai dan dapat diketahui.
Maksudnya:
1) Upah berupa harta berguna dan bermanfaat
2) Upah tersebut harus diketahui. Hal ini untuk mencegah terjadinya
perselisihan dikemudian hari. Untuk mengetahui upah dapat
dilakukan dengan isyarat, penentuan, dan juga dengan penjelasan.
Apabila mempekerjakan orang dengan upah makan, merupakan
contoh upah yang tidak jelas karena mengandung unsur jihalah
(ketidakpastian). Ijarah seperti ini menurut jumhur ulama, selain
46
malikiyah tidak sah. Ulama Malikiah menetapkan keabsahan ujrah
tersebut sepanjang ukuran upah yang dimaksudkan dan dapat
diketahui serta berdasarkan adat kebiasaan. (Zuhaili, 2007, hal.
525)
3) Penjelasan waktu. Ulama Hanafiyah tidak mensyaratkan untuk
menetapkan awal waktu akad, sedangkan ulama Syafi’iyah
mensyaratkannya, sebab bila tidak dibatasi hal itu dapat
menyebabkan ketidak tahuan waktu yang wajib dipenuhi.
(Nabhani, 1996, hal. 88)
b. Upah tidak berbentuk manfaat yang sejenis dengan Mauqud Alaihi
(Objek Akad). Misalkan ijarah tempat tinggal dibayar dengan tempat
tinggal; ijarah dalam pertanian dibayar dengan pertanian. Syarat
ini menurut Malikiyah merupakan cabang dari riba, dengan alasan,
adanya satuan jenis, sehingga salah satu pihak menjadi terlambat
dalam menerima manfaat secara seutuhnya. (Zuhaili, 2007, hal. 546)
Bila upah yang menjadi bagian dari obyek, terdapat dua ketentuan;
a. Tidak diperbolehkan dengan alasan, karena tidak diketahui
kejelasan nilai upah dari objeknya. Misalkan pengupahan kulit dengan
hewan yang ia kuliti, dan ia tidak dapat diketahui apakah kulit itu
bisa berhasil dilepas dengan baik sehingga hasilnya bagus atau tidak;
b. Diperbolehkan, dengan alasan karena menyewa dengan upah bagian
yang nilainya dapat diketahui, dan nilai dari bagian objek itu juga jelas.
(Nabhani, 1996, hal. 88)
8. Klasifikasi Ujrah
Upah di klasifikasikan menjadi dua yaitu:
a. Upah yang sepadan (al-ujrah al-misli)
Ujrah al-misli adalah upah yang sepadan dengan kerjanya serta
sepadan dengan jenis pekerjaannya, sesuai dengan jumlah nilai yang
disebutkan dan disepakati oleh kedua belah pihak. Pada saat transaksi
47
pembelian jasa, maka dengan itu untuk menentukan tarif upah atas
kedua belah pihak yang melakukan transaksi pembeli jasa, tetapi belum
menentukan upah yang disepakati maka mereka harus menentukan
upah yang wajar sesuai dengan pekerjaannya atau upah yang dalam
situasi normal biasa diberlakukan dan sepadan dengan tingkat jenis
pekerjaan tersebut.
Tujuan ditentukan tarif upah yang sepadan adalah untuk menjaga
kepentingan kedua belah pihak, baik penjual jasa, maupun pembeli jasa,
dan menghindarkan adanya unsur eksploitasi di dalam setiap transaksi-
transaksi dengan demikian, melalui tarif upah yang sepadan, setiap
perselisihan yang terjadi dalam transaksi jual beli jasa akan dapat
terselesaikan secara adil.
b. Upah yang telah disebutkan (al-ujrah al-musamma)
Upah yang disebut (ujrah al-musamma) syaratnya ketika
disebutkan harus disertai adanya kerelaan kedua belah pihak yang
sedang melakukan transaksi ijarah. Dengan demikian, pihak musta’jir
tidak boleh dipaksa untuk membayar lebih besar dari apa yang telah
disebutkan, sebagaimana pihak muajjir juga tidak boleh dipaksa untuk
mendapatkan lebih kecil dari apa yang telah disebutkan, melainkan
upah tersebut merupakan upah yang wajib mengikuti ketentuan
syara’. Apabila upah tersebut disebutkan pada saat melakukan
transaksi, maka upah tersebut pada saat itu merupakan upah yang
Liza : “lai bisa tolong karajo bisuak?”(apa bisa tolong kerja
besok?)
Jusmarni : “jadih karajo wak bisuak” (iya kerja kita besok)
Dari dialog diatas dapat kita pahami bahwa Jusmarni berhutang
kepada Liza, dan Liza pun meminta Jusmarni untuk bekerja keesokan
harinya. Hal tersebut juga diakui oleh Liza bahwa ia ada meminjamkan
uang kepada Jusmarni, dan meminta Jusmarni untuk bekerja di sawahnya
keesokan harinya. (Liza, wawancara 7 Juni 2019)
Pak Amir merupakan seorang petani berumur 46 tahun, yang telah
menjadi petani selama lebih kurang 20 tahun. Pak Amir bekerja sebagai
pengolah lahan orang lain yang menjadi sumber kehidupannya. Pak Amir
ada berhutang kepada pemilik lahan yang digunakan untuk pengolahan
lahan pertanian dan juga untuk kebutuhan sehari-hari. Karena jika tidak
71
meminjam uang kepada pemilik lahan Pak Amir tidak bisa mengolah
lahannya karena tidak memiliki cukup dana untuk pengolahan lahan.
Hutang tersebut dibayar secara berangsur-angsur dengan uang juga dibayar
dengan bekerja dilahan pemilik lahan tersebut. Pak Amir membayar hutang
dengan hari kerja karena tidak memiliki cukup uang untuk membayar
hutang tersebut. (Amiruddin , wawancara 7 Juni 2019)
Kasus yang tidak jauh berbeda juga terjadi kepada Pak Amir yang
bekerja sebagai peggarap lahan pertanian orang lain. Pak Amir berhutang
kepada petani Rp 200.000 untuk membeli pupuk pertaniannya. Dengan
dijanjikan akan membayar secepatnya, dan jika petani membutuhkan
tenaga kerja di lahan pertanian petani tersebut, maka Pak Amir siap untuk
membantunya. Seperti bunyi akad yang terjadi antara Pak Amir dengan
petani:
Pak Amir : “sutan pakai pitih Rp 200.000 pambali pupuak lu, sacapek e
bayia ko” (Sutan pinjam saya uang Rp 200.000 dulu untuk
membeli pupuk, secepatnya saya bayar).
Sutan : “yo pitih ko lai ha” (ya uang ada ini).
Pak Amir : “tarimokasih lu ha” (terimakasih sebelumnya).
Sutan : “yo samo samo”(iya sama sama).
2. Bentuk pelaksanaan pembayaran hutang
Transaksi hutang piutang yang terjadi di Jorong Padang Panjang
antara Petani dengan pekerja merupakan suatu wujud tolong menolong
antar sesama manusia dengan asas suka sama suka, jelas zatnya dan ada
manfaatnya. Pelaksanaan hutang piutang dalam prakteknya ada yang
72
berbeda, contohnya saja dalam bentuk pembayaran hutang yang harus
dibayar dengan hari kerja, dimana membuat terjadinya kelebihan yang
harus dibayar oleh orang yang berutang yaitu si pekerja kepada petani.
Adapun bentuk dari pelaksanaan hutang piutang yang terjadi di
Jorong Padang Panjang Nagari Pariangan saat penulis melakukan
penelitian di daerah setempat dengan beberapa informan. Sebagaimana
wawancara yang penulis lakukan dengan Ibu Laila yang melakukan hutang
kepada Ibu Nun Rp 200.000 ketika itu harga beras Rp 40.000/sukek dalam
melaksanakan pembayaran hutangnya bahwa ketika berhutang Ibu Laila
berjanji akan membayar hutang tersebut secepatnya. Beberapa waktu
setelah Ibu Laila berhutang, Ibu Nun meminta Ibu Laila untuk bekerja di
ladangnya,
Ibu Nun : “la ado utang patang nak, lai bisa la karajo bisuak?” (La ada
hutang kemaren kan, bisa La bekerja besok?).
Ibu Laila : “bisuak, InsyaAllah kak” (besok, InsyaAllah kak).
Ketika itu harga beras turun menjadi Rp. 37.000;- per sukek. Setelah
hutang dibayar 3 hari kerja tersebut Ibu Laila menambah membayar
hutangnya Rp 30.000 dan melanjutkan bekerja beberapa hari berikutnya
selama1 hari. Karena Ibu Nun merasa hutang Ibu Laila belum lunas jadi
Ibu Nun meminta Ibu Laila untuk bekerja sehari lagi sehabis selesai bekerja
pada hari itu.
Ibu Nun : “La pitih nan kotang alun lunas lai, awak sudahan lah karajo
ko sahari bisuak lai dih!”(La uang kemaren belum lunas, kita
selesaikan kerjaan ini besok ya)
Ibu Laila : “jadih kak” (jadi kak)
73
Jika dijumlahkan seluruhnya bahwa Ibu Laila bekerja 5 hari dengan
upah Rp 37.000 per harinya, maka upahnya adalah Rp 185.000 dan
ditambah dengan membayar hutang Rp 30.000. Jika dijumlahkan
seluruhnya, maka total Ibu Laila membayar hutang adalah Rp 215.000.
(Laila, wawancara 7 Juni 2019)
Hal seperti ini juga di akui oleh Ibu Nun yang memberikan hutang
kepada Ibu Laila, bahwa Ibu Nun ada meminta Ibu Laila untuk bekerja
sehari lagi karena hutangnya Ibu Laila belum lunas. Setalah penulis
menanyakan apakah Ibu Nun tidak memberikan tambahan upah kepada Ibu
Laila, Ibu Nun mengatakan tidak karena Ibu Laila membayarnya dengan
hari kerja. (Nun, wawancara 8 Juni 2019)
Dalam kasus yang hampir sama yag dialami oleh Syamsiar yang
berhutang kepada Epi Rp 500.000 untuk pengolahan sawahnya. Ketika itu
Syamsiar berjanji akan membayar hutang secepatnya. Ketika meminjam
uang tersebut harga beras di pasaran Rp 45.000/sukek. Beberapa hari
kemudia Syamsiar membayar hutangnya Rp 200.000. Keesokan harinya
Epi meminta Syamsiar bekerja selama 5 hari, ketika itu harga beras masih
Rp 45.000/sukek.
Epi : “Yar lai bisa karajo bisuak?”(Yar bisa kerja besok)
Syamsiar : “InsyaAllah kak Pi”(InsyaAllah kak Pi)
Beberapa hari kemudian Epi meminta Syamsiar bekerja lagi 1 hari.
Karena Epi merasa hutangnya Syamsiar belum lunas keesokan harinya Epi
meminta Syamsiar bekerja 1 hari, ketika itu harga beras turun menjadi Rp
43.000. Jika Syamsiar bekerja 2 hari, maka seharusnya upah Syamsiar pada
waktu itu Rp 86.000. Ketika dihitung dari jumlah uang dan upah kerja
Syamsiar, 5 hari bekerja dengan upah 45.000 = 225.000 ditambah dengan
uang 200.000 setelah itu bekerja lagi 2 hari dengan upah 43.000 = 86.000.
74
Jika dijumlahkan 225.000 + 200.000 + 86.000 = 511.000, maka terdapat
kelebihan bekerja atau pembayaran hutang oleh Syamsiar terhadap Epi.
(Syamsiar, wawancara 10 Juni 2019)
Kasus lain yang juga dialami oleh Jusmarni, dia mengatakan bahwa
pernah berhutang kepada Liza Rp 200.000, dijanjikan akan dibayar dengan
hari kerja. Ketika berhutang harga beras Rp 45.000/sukek. Setelah itu Liza
meminta Jusmarni untuk bekerja di sawahnya.
Liza : “lai bisa tolong karajo bisuak juh?”(apa bisa tolong kerja
besok Jus?)
Jusmarni : “jadih karajo wak bisuak” (iya kerja kita besok)
Ketika Jusmarni bekerja di sawahnya Liza harga beras turun
menjadi Rp 43.000/sukek, dan Liza meminta Jusmarni bekerja 5 hari.
Liza : “Juh utang kotang 200 bareh 43 kini karajo gak 5 hari ko lu
di”(Jus hutang kemaren Rp 200 beras sekarang Rp 43 sekarang
kerja kita 5 hari ini)
Jusmarni : “43 bareh kini tu, dih nah” (43 beras sekarang tu, ok lah)
Setelah pekerjaan selesai Liza tidak membayar upah kerja
Jusmarni karena harga beras turun, seharusnya Liza menambah upah kerja
Jusmarni Rp. 15.000 ini tidak ada di tambah. Ketika penulis tanya kepada
Jusmarni apa tidak diminta tambahan upah, Jusmarni mengatakan segan
untuk minta tambah upah, karena sudah biasa bekerja dan meminjam uang
Liza. (Jusmarni, wawancara, 13 Juni 2019)
Hal tersebut juga di akui oleh Liza yang meminjamkan uang kepada
Jusmari. Dia mengatakan memang ada meminjamkan uang kepada
Jusmarni dan meminta Jusmarni untuk bekerja di sawahnya. Upah dari
75
bekerja Jusmarni tersebut diambilnya sebagai pengganti hutang Jusmarni.
Liza juga mengatakan bahwa sering meminjamkan uang kepada Jusmarni
dan biasanya hutang Jusmarni tersebut di bayar dengan hari kerjanya. Jika
ada kelebihan upah ataupun jasa antara Jusmarni dengan Liza, maka
mereka saling mengikhlaskan saja. (Liza, wawancara 14 Juni 2019)
Kasus yang tidak jauh berbeda juga terjadi kepada Pak Amir. Pak
Amir berhutang kepada Sutan Rp 200.000 untuk membeli pupuk
pertaniannya. Dengan dijanjikan akan membayar secepatnya, dan jika
Sutan membutuhkan tenaga kerja di lahan pertaniannya, maka Pak Amir
siap untuk membantunya. Ketika Pak Amir tersebut meminjam uang harga
beras Rp 48.000/ Sukek. Keesokan harinya Pak Amir bekerja di sawahnya
Sutan selama 3 hari. Seharusnya Sutan menambah upah Pak Amir Rp
16.000 lagi. Tapi Sutan tidak memberikan upah tersebut. Upah laki-laki 1,5
sukek/6 liter beras, jika harga beras Rp 48.000 berarti 6 liter Rp 72.000.
Jika Pak Amir bekerja 3 hari seharusnya upah Pak Amir Rp 216.000, tapi
Pak Amir tidak menerima tambahan upahnya. (Amiruddin, wawancara, 7
Juni 2019)
Dari beberapa kasus di atas dapat penulis simpulkan bahwa bentuk-
bentuk dari transaksi hutang piutang yang terjadi di Jorong Padang Panjang
Nagari Pariangan adalah, pertama pelaksanaan hutang dibayar dengan hari
kerja, kedua pelaksanaan hutang dibayar dengan uang dan hari kerja.
Dengan standar hutang dengan hari kerja dan juga ada dengan harga beras.
3. Pandangan Masyarakat terhadap Pelaksanaan Hutang Dibayar dengan Hari
Kerja
Salah satu faktor paling menonjol penyebab terjadinya transaksi
hutang piutang ini adalah karena ekonomi masyarakat yang lemah, untuk
memenuhi kebutuhan hidup saja susah hanya bertumpu pada hasil
76
pertanian, sedangkan faktor yang lain adalah minimnya tingkat
pengetahuan agama.
Seperti yang dikemukakan oleh Ibu Asnar (55 tahun) kebanyakan
dari orang yang berutang itu adalah orang-orang yang tidak sanggup untuk
membayar biaya sekolah anaknya dan juga yang bekerja sebagai pekerja
sawah, mereka hanya mengandalkan ekonomi kepada petani yang
memintanya untuk bekerja, maksudnya mereka tidak memiliki uang untuk
biaya sekolah anaknya dan untuk membeli kebutuhan harian, mereka hanya
memiliki uang yang terbatas untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan
juga untuk biaya sekolah anak-anak mereka. Keuntungan yang pemilik
lahan dapatkan berupa kelebihan terhadap jasa pekerja tersebut karena
disebabkan oleh perbedaan harga beras sewaktu berhutang dengan waktu
pembayaran hutang. (Asnar, wawancara, 9 Juni 2019)
Sebagai seorang yang melakukan hutang dibayar dengan hari kerja
Ibu Laila tidak ada merasa keberatan dalam melakukan pembayaran hutang
dengan hari kerja tersebut. Karena Ibu Laila menyadari bahwa hutang
tersebut wajib hukumnya untuk dibayar. Selama Ibu Laila menjadi
muqtarid belum pernah terjadinya sengketa dengan petani karena mereka
saling memahami dan mengerti sesama muqrid dan muqtarid akan
kewajiban mereka masing-masing. Dan adanya rasa kerelaan dan saling
membutuhkan. (Laila, wawancara 7 Juni 2019)
Begitu juga yang dikatakan oleh Bapak Amir bahwa dalam
melakukan hutang dibayar dengan hari kerja tersebut beliau tidak keberatan
untuk membayar, karena hutang itu tanggung jawab kita untuk melunasi.
(Amiruddin, wawancara 7 Juni 2019)
Agama merupakan salah satu jalan petunjuk yang akan
mengarahkan manusia ke jalan yang lebih baik, sehingga dapat hidup
77
dengan syari’at Islam. Keterangan yang diperoleh dari Alim Ulama yang
berada di Jorong Padang Panjang yang bernama Junardi Pakiah Lano Basa,
berusia 48 tahun mengatakan bahwa masyarakat Jorong Padang Panjang
ada yang melakukan hutang dibayar dengan hari kerja, menurut beliau
pelaksanaan hutang dibayar dengan hari kerja boleh dilakukan selagi
patokan upah sesuai dengan hutangnya, sebaiknya pelaksanaan hutang
dibayar dengan hari kerja tersebut dilakukan dengan akad yang jelas dan
jangan sampai menimbulkan permasalahan dan upat-mengupat sesama
manusia. (Junardi, wawancara 8 Juni 2019)
Masyarakat melakukan praktek muamalah dengan jalan sendiri
tanpa adanya aturan yang menuntun yang penting bagi mereka adalah bisa
bertahan hidup. Sedangkan nilai-nilai agama dalam setiap sendi kehidupan
masyarakat kurang teraplikasikan.
Bapak H. Arisno Dt Andomo, seorang alim ulama sekaligus niniak
mamak di Jorong Padang Panjang mengatakan bahwa adanya pelaksanaan
hutang dibayar dengan hari kerja di Jorong Padang Panjang. Menurut
beliau pelaksanaan hutang dibayar dengan hari kerja tersebut boleh
dilakukan jika yang menghedaki adalah pekerja, karena dapat membantu
pekerja yang tidak memiliki uang untuk membayar hutangnya. Tapi jika
yang menghendaki pelaksanaan hutang dibayar dengan hari kerja tersebut
adalah petani maka tidak boleh, karena jatuhnya pada riba. Menurut beliau
pelaksanaan hutang dibayar dengan hari kerja tersebut jika perhitungannya
sesuai dengan harga upah pada saat transaksi maka boleh dilakukan, dan
kelebihan yang terdapat dalam transaksi tersebut termasuk ke dalam riba.
Beliau mengatakan sebagai contoh, orang memberikan hutang dengan
adanya syarat di awal itu adalah riba, walau hanya kecil saja. (H. Arisno Dt
Andomo, wawancara 7 Juni 2019)
78
Adapun menurut Wali Jorong Padang Panjang Afridi, 37 Tahun,
mengatakan bahwa pelaksanaan hutang dibayar dengan hari kerja tersebut
jika dilakukan atas suka sama suka, maka boleh dilakukan selama tidak ada
perselisihan antara kedua belah pihak. Sebaiknya pelaksanaan hutang
dibayar dengan hari kerja tersebut dilakukan dengan terpisah antara hutang
dengan hari kerja tersebut jangan digabungkan, karena jika digabung akan
terdapat kelebihan dari salah satu pihak yang akan menimbulkan
persengketaan nantinya, walaupun selama ia menjadi Wali Jorong belum
ada warga yang mengatakan terdapat persoalan mengenai pelaksanaan
hutang dibayar dengan hari kerja, tapi lebih baik menjaga sebelum
terjadinya suatu sengketa. (Afridi, wawancara 8 Juni 2019)
Kehidupan bermasyarakat tentu tidak selalu mulus seperti yang kita
bayangkan. Semuanya tergantung kepada orang yang berada di
lingkungan, bisa atau tidaknya seseorang berhubungan baik dengan
mereka. Apalagi dalam persoalan hutang piutang, ada pemberi hutang yang
meminta hutangnya dalam waktu penghutang tidak memiliki uang untuk
membayar, atau pemberi hutang mendesakkan hutangnya dan lain
sebagainya.
Pelaksanaan hutang dibayar dengan hari kerja yang tidak adanya
kepastian waktu pembayaran dan takaran upah pembayaran hutang
tersebut. Dalam hutang piutang seperti ini ada terdapat perselisihan antara
peminjam dengan yang memberi pinjaman. Seperti yang dikatakan oleh
Bapak Amirruddin bahwa adanya perselisihan antara Bapak Amir ini
dengan petani tempat dia berhutang. Adapun cara penyelesaian
perselisihan dalam hutang tersebut dibuatnya akad baru dengan perjanjian
baru antar pekerja dengan petani. Bentuk akad baru yang dibuat seperti
dibatalkannya akad hutang dibayar dengan hari kerja tersebut dan dibuat
akad baru yaitu hutang tetap hutang, hari kerja tetap dibayarkan upahnya.
79
Dibayarkan upah kepada hutang atau tidak itu tanggung jawab
sipenghutang. Dengan membuat akad atau perjanjian baru itu maka
perselisihan antara petani dengan pekerja dapat diselesaikan dengan jalan
kekeluargaan. (Amiruddin, pekerja wawancara 7 Juni 2019)
C. Tinjauan Hukum Ekonomi Syariah terhadap Proses Pembayaran dengan
Hari Kerja
Dari hasil penelitian di atas dapat penulis simpulkan bahwa bentuk-bentuk
dari transaksi hutang piutang yang terjadi di Jorong Padang Panjang Nagari
Pariangan dengan standar hutang hari kerja dan juga ada dengan harga beras
ada 2 bentuk, yaitu:
1. Pelaksanaan hutang dibayar dengan hari kerja
2. Pelaksanaan hutang dibayar dengan uang dan hari kerja.
Dari hasil penelitian tersebut ada beberapa aspek yang menurut hemat
penulis perlu ditinjau dari segi Hukum Ekonomi Syariah. Seperti dalam
pelaksanaan pembayaran hutang menurut penulis terdapatnya suatu kezhaliman
terhadap pekerja yang membutuhkan bantuan dari petani. Dimana terdapatnya
kelebihan jasa pekerja yang menurut penulis jasa tersebut harus dibayarkan
upahnya.
Pelaksanaan hutang dibayar dengan hari kerja jika dilihat dari segi
pelaksanaannya, merupakan suatu bentuk tolong menolong masyarakat antar
sesama manusia dalam buntuk hutang piutang. Hutang piutang tersebut dibayar
dengan bekerja di lahan pertanian milik pemberi hutang. Pemberi hutang
mempekerjakan pekerja di ladangnya dan nanti akan diberi upah. Upah tersebut
dibayarkan oleh pemberi hutang terhadap hutang pekerja, yang terjadi sebelum
pemberi hutang mempekerjakannya. Jadi upah atau ujrah telah diterima oleh
pekerja sebelum iya bekerja.
80
Pelaksanaan hutang dibayar dengan hari kerja jika dilihat dari segi
pembayarannya, terdapat jarak waktu yang tidak pasti. Ada yang cepat dan ada
juga yang lambat. Karena petani meminta pekerja untuk bekerja ketika petani
tersebut membutuhkan tenaga kerja di ladangnya.
Pelaksanaan hutang dibayar dengan hari kerja tersebut terdapat kelebihan
jasa pekerja kepada petani. Pekerja melakukan hutang tersebut dengan
keterpaksaan karena jika tidak dipinjam, maka kebutuhan hidup tidak
terpenuhi. Petani menghutangkan juga atas rasa toleransi dan saling tolong
menolong. Bukankah kelebihan jasa pekerja tersebut merupakan suatu
kezhaliman terhadap pekerja. Tanpa petani mengetahui bahwa dia telah
melakukan kezhaliman terhadap pekerja yang sangat membutuhkan
bantuannya. Allah SWT berfirman dalam Q:S Ali Imram Ayat 57:
Artinya: “Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, Maka Allah akan memberikan kepada merekadengan sempurna pahala amalan-amalan mereka; dan Allah tidakmenyukai orang-orang yang zalim” (Kementrian Agama RI, Al-Qur’an Al Karim: Surat Ali Imran ayat 57)
Setiap pekerjaan yang dilakukan oleh orang yang bekerja harus
dihargai, dengan cara diberi upah atau gaji. Karena bila kita tidak
memberikan upah bagi para pekerja adalah suatu kezaliman yang tidak
disukai Allah. Nabi SAW juga telah mengatakan bahwa:
81
Artinya: “dari Abi Hurairah ra dari Nabi SAW bersabda: Allah Ta’alaberfirman ada tiga jenis orang yang aku menjadi musuh mereka padahari qiamat, seseorang yang bersumpah atas namaKu lalumengingkarinya, seseorang yang menjual orang yang telah merdekalalu memakan (uang dari) harganya dan seseorang yangmempekerjakan pekerja kemudian pekerja itu menyelesaikanpekerjaannya namun tidak dibayar upahnya”. (H.R Buhkari: 2075).
Bila dilihat dari hadist diatas, Allah memusuhi yang berarti Allah tidak
menyukai atau membenci orang yang mempekerjakan orang lain, tapi tidak
membayar upahnya. Islam melarang seseorang yang tidak memberikan upah
orang yang bekerja padanya.
Seseorang yang berhutang tidak akan mungkin membiarkan dirinya
berlama-lama terjerat dengan hutang karena hutang itu akan membuat
seseorang selalu dihantui rasa diburu hutang. Sebagaimana hadits Nabi yang
berbunyi:
,:أ
.)(
Artinya:”Dari Abu Hurairah ra. Rasulullah Saw bersabda jiwa orang mukminitu tergantung pada utangnya hingga utang itu dilunasi.” ( riwayahAt-Tarmizi)
82
Hadits di atas menjelaskan tidak baik seorang muslim membiarkan dirinya
terlalu lama terjerat hutang karena hutang itu membuat orang selalu gelisah,
karena berhutang mempunyai arti penyegeraan pelunasan hutang, sebab hutang
akan menghantui seseorang sampai hutang tersebut dilunasi.
Berdasarkan hasil penelitian dapat penulis pahami bahwa berakhirnya
hutang yang dilakukan oleh pekerja dengan petani yang ada di Jorong Padang
Panjang adalah pada waktu petani membutuhkan tenaga pekerja yang
berhutang, dimana pekerja sendiri yang nantinya akan bekerja di ladang petani
untuk membayar hutang tersebut.
Penambahan jumlah waktu kerja yang harus dibayar pekerja pada jatuh
tempo atau pada waktu membayar hutang adalah karena adanya waktu yang
berbeda antara waktu hutang dengan waktu membayar hutang dimana
kelebihan ini di peroleh oleh petani dengan memasukkan nilai jual atau harga
beras pada awal hutang dulu. Dengan adanya perbedaan harga pada waktu
hutang dengan waktu membayar hutang ini, maka dari perbedaan itulah petani
memperoleh keuntungan dalam pelaksanaan hutang dibayar dengan hari kerja
tersebut.
Dalam transaksi hutang dibayar dengan hari kerja antara pekerja dengan
petani di Jorong Padang Panjang yang menjadi standar hutang di awal ada
dengan hari kerja, dan ada juga dengan harga beras. Objek transaksi adalah
uang yang diterima oleh pekerja dan untuk pembayarannya dilakukan dengan
hari kerja yang dibayarkan ketika petani membutuhkan tenaga pekerja yang
berhutang tersebut. Dalam hal ini apabila dilihat dari segi objek yang akan
dibayarkan pada dasarnya hutang itu dilakukan dengan semua yang sejenis.
Apabila hutang itu dilakukan dalam bentuk uang maka pembayarannya juga
dalam bentuk uang, apabila hutang itu dalam bentuk barang maka
pembayarannya juga dalam bentuk barang yang sejenis dengan yang
dihutangkan, dan apabila hutang tersebut dengan hari kerja maka
83
pembayarannya juga dengan hari kerja yang sama takaran waktunya. Misalnya
hutang uang dibayar dengan uang dan jika hutang hari kerja dibayar dengan
hari kerja.
Dalam kitab fiqih al-Islami wa’adillatuhu, Ulama Syafi’iyah berpendapat
bahwa :
,أ,
,ر
أ:Artinya : “peminjam mengembalikan harta yang semisal manakala harta
yang dipinjam adalah harta yang mitsli, karena yang demikian itulebih dekat dengan kewajibannya. Dan jika yang dipinjam adalahqimiy, maka ia mengembalikan dengan barang semisal secarabentuk, karena Rasulullah telah berutang unta bakr (yang berusiamuda) lalu mengembalikan unta usia ruba’iyah, seraya berkata“sesungguhnya sebaik-baik kmau adalah yang paling baik dalammembayar hutang”. (az-Zuhaili, 2011, hal.513)
Kutipan di atas menjelaskan bahwa muqtarid harus mengembalikan
utangnya dengan sesuatu yang serupa dengan apa yang telah dihutangnya
dahulu. Pendapat ini diperkuat oleh hadits Nabi bahwa Nabi pernah
menghutangkan seekor unta yang masih muda dan membayarnya dengan unta
yang lebih tua, dan Nabi pun pernah bersabda. Sesungguhnya orang yang
paling baik diantara kamu adalah orang yang paling baik dalam membayar
hutang, cara membayar hutang itu harus sejenis dengan yang dihutang.
Sedangkan Ulama Malikiyah berpendapat :
84
أ,وأ,يأض ز.,أ,أم
Artinya : “peminjam diperbolehkan mengembalikan harta semisal yangtelah dipinjamkan dan boleh juga mengembalikan harta yangdipinjam itu sendiri. Baik harta itu termasuk harta mitsli maupuntidak. Hal itu selama harta tersebut tidak mengalami perubahandengan bertambah atau berkurang, jika berubah, maka harusmengembalikan harta yang semisalnya. (az-Zuhaili, 2011, hal. 513)
Kutipan di atas menjelaskan bahwa menurut Malikiyah dibolehkan adanya
hutang piutang yang pembayarannya dilakukan dengan benda yang tidak
sejenis atau selain dari asalnya, selama sesuatu yang dijadikan sebagai
pembayaran itu sama nilainya dengan yang dihutang dan tidak mempunyai
kelebihan ataupun nilai tidak kurang.
Sedangkan Ulama Hanabilah berpendapat:
,.
:_.
_
Artinya : “Hanabilah mengharuskan pengembaian harta semisal jika yangdiutang adalah harta yang ditakar dan ditimbang, sebagaimanayang disepakati oleh seluruh ahli fikih. Sedangkan jika objek akadqardh bukan harta yang ditakar dan ditimbang, maka ada duariwayat, yaitu harus dikembalikan nilainya sesuai nilai pada hariakad, atau harus dikembalikam semisalnya dengan sifat-sifat yangmungkin”. (az-Zuhaili, 2011, hal. 514)
Dalam pengembalian utang, ulama Hanabilah membedakan atas hutang
yang dapat digantang dan ditimbang, kalau hutang itu berupa benda yang
digantang dan yang ditimbang maka wajib mengembalikanya dengan yang
85
serupa. Tetapi apabila hutang itu berupa barang yang bukan digantang atau
ditimbang maka ada dua pendapat, yang pertama wajib mengembalikan
nilainya sesuai dengan apa yang dihutang, yang kedua wajib
mengembalikannya dengan sesuatu yang sama sifatnya. (az-Zuhaili, 2011,
hal.378)
Pada dasarnya pembayaran hutang yang dilakukan dengan sesuatu yang
sejenis maka pembayarannya pun berupa barang yang sejenis dengan yang
dihutang, misalnya hutang uang dibayar dengan uang, utang hari kerja dibayar
dengan hari kerja. Pembayaran dengan sesuatu yang lain sebagai gantinya dan
atas persetujuan pihak yang berutang, dan jika pihak yang berutang tidak dapat
mengembalikannya dengan sesuatu yang lain dan harus berusaha untuk
mendapatkannya, apabila untuk itu memerlukan waktu maka pihak yang
berutang harus sabar menunggu. (Baasyir , 1987: 41)
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa pembayaran hutang dengan
benda yang tidak sejenis dibolehkan, selama sesuatu yang dijadikan sebagai
pembayaran itu sama nilainya dengan yang dihutang dan tidak mempunyai
kelebihan ataupun nilai tidak kurang. Namun apabila pembayaran akan
dilakukan dengan benda yang tidak sejenis, terlebih dahulu harus ada
persetujuan dari pihak yang berpiutang sebelumnya dan tidak bertentangan
dengan aturan Allah.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa boleh menggunakan hari
kerja sebagai alat pembayaran hutang dengan patokan upah kerja yang sesuai
dengan hutangnya, artinya selama jasa atau hari kerja yang digunakan sebagai
alat pembayaran hutang itu sama patokan nilai dengan barang yang dihutang.
Pekerja mudah mendapatkan apa yang ingin dihutangnya untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya sementara petani memperoleh tenaga yang dibutuhkan
untuk pengolahan ladangnya.
86
Bila dianalisa dalam KHES pada pasal 22 telah terpenuhi rukun dan syarat
dari hutang piutang, sedangkan pada pasal 21 huruf d dan e yang mengatakan
bahwa setiap akad yang digunakan dalam bertransaksi harus luzum/tidak
berobah dan saling menguntungkan. Sedangkan yang terjadi dilapangan bahwa
pelaksanaan hutang dibayar dengan hari kerja tersebut terdapatnya perubahan
akad dan pekerja sawah dirugikan dalam pemberian upahnya, dimana diawal
akad dinyatakan akan dibayar dengan hari kerja dengan upah mahal karena
harga beras mahal, ketika pelaksanaan pembayaran harga beras turun dan petani
tersebut meminta pekerja sawah untuk bekerja sehari lagi untuk memenuhi
hutangnya. Padahal pada awal akad yang seharusnya bekerja 2 hari lantaran
harga beras turun membuat pekerja bekerja 3 hari.
Bila dianalisa dalam teori riba, maka pelaksanaan hutang dibayar dengan
hari kerja yang terjadi di Jorong Padang Panjang tersebut menurut penulis
termasuk ke dalam riba yang diharamkan dalam Islam. Karena dalam hutang
piutang tidak boleh mengambil keuntungan, jika hutang Rp 100.000
kembaliannya tetap Rp 100.000 tidak boleh lebih. Kelebihan tersebut termasuk
kedalam riba. Sebagaimana kaidah fikih yang berbunyi:
“setiap hutang piutang yang medatangkan manfaat maka itu adalahriba”
Rasulullah bersabda bahwa:
Artinya: “(Ibnu Abbas) Berkata: Tidaklah demikian, tapi saya pernahmendengar Usamah bin Zaid bercerita bahwa Rasulullahshallallahu 'alaihi wasallam bersabda: " Tidak ada riba kecuali
87
dalam hutang, " atau bersabda "Kecuali dalam nasi`ah”. (HR.Ahmad. 20816)
Adapun penjelasan yang terkandung dalam hadist di atas adalah
pengambilan tambahan atau kelebihan dalam hal utang piutang oleh orang yang
memberi piutang atas suatu perjanjian sebelumnya, maka itu dikategorikan ke
dalam riba yaitu riba nasi’ah dan haram untuk menerimanya, petani mengambil
keuntungan dalam pelaksanaan hutang piutang tersebut karena kehendaknya
sendiri, yang nanti pekerja akan terpaksa menerima keinginannya tersebut
karena alasan petani telah melapangkannya.
Jika kelebihan jasa pekerja tersebut atas keinginan pekerja sendiri maka
boleh dilakukan, karena sebaik baik orang adalah orang yang paling baik dalam
mengembalikan hutangnya, karena telah diberi kemudahan ketika kesulitan
dan memberi kelapangan ketika kesempitan. Sebagaimana hadist Rasulullah:
Artinya: “Telah mengabarkan kepada kami Al Hakam bin Al Mubarak dariMalik dengan membacakan riwayat, dari Zaid bin Aslam dari 'Atha`bin Yasar dari Abu Rafi' mantan budak Rasulullah shallallahu 'alaihiwasallam, dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallampernah berhutang seekor unta muda. Lalu unta sedekah datang
88
kepada balaiu. Abu Rafi' berkata; kemudian beliau memerintah aku(mengambil unta tersebut) untuk kubayarkan kepada orang tersebut.aku berkata; "Aku tidak mendapatkan kecuali unta pilihan yangberumur tujuh tahun." Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallambersabda: "Berikan kepadanya, sesungguhnya sebaik-baik orangadalah orang yang paling baik dalam membayar (hutang)."Abdullah berkata; "Hal ini menguatkan pendapat orang yangmengatakan bolehnya (hutang) hewan dibayar dengan hewan."(HR.Darimi No 2452, At-tarmizi, dan Ahmad)
Dari hadis tersebut jelas bahwa pengembalian yang lebih baik itu tidak
disyaratkan sejak awal, tetapi murni keinginan orang yang berhutang. Hal itu
bukan merupakan tambahan atau jumlah sesuatu yang dihutang karena tidak
ada tambahan atas jumlah unta yang dibayar dan tidak ada pula tambahan
apapun atas unta yang dihutang. Jika kelebihan jasa merupakan kehendak dari
pekerja, maka tidak masalah dan boleh dilakukan. Tapi jika yang memintanya
adalah petani, maka haram hukumnya karena termasuk kedalam riba.
Bila dilihat permasalahan pada transaksi hutang dibayar dengan hari kerja
antara pekerja dengan petani di Jorong Padang Panjang dimana terdapatnya
kelebihan pada waktu pembayaran yang disebabkan oleh harga beras di
pasaran. Pada waktu mengutang harga beras mahal dan waktu membayar beras
murah. Dari selisih harga beras inilah pekerja dirugikan dalam pembayaran
hutang tersebut, dan petani diuntungkan. Letak riba dalam pelaksanaan hutang
dibayar dengan hari kerja di Jorong Padang Panjang adalah kelebihan jasa
pekerja yang diperoleh petani pada waktu pembayaran hutang tersebut. karena
petani meminta pekerja bekerja sehari lagi untuk melunasi hutangnya yang pada
awal seharusnya 2 hari kerja karena terjadinya perbedaan harga beras di pasaran
membuat petani merasa dirugikan, maka petani meminta pekerja untuk bekerja
sehari lagi tanpa ditambah upah petani tersebut.
Dari uraian di atas transaksi hutang piutang jika standar hutang adalah hari
kerja dan dibayar dengan hari kerja, maka dibolehkan. Kerena pelaksanaan
89
akad telah sesuai. Jika standar hutang adalah uang dan pelaksanaan
pembayarannya adalah hari kerja, maka tidak dibolehkan, karena terdapat
kelebihan jasa pekerja yang merupakan kezhaliman terhadap pekerja. Serta jika
yang menjadi standar hutang adalah hari kerja dan pelaksanaan hutang adalah
hari kerja dan uang, maka dilihat terlebih dahulu apakah terdapat kelebihan
dalam hutang piutang tersebut jika ada kelebihan, maka dilarang dan termask
kedalam riba, jika tidak ada kelebihan maka dibolehkan. Jadi pelaksanaan
hutang dibayar dengan hari kerja sebaiknya menggunakan akad hutang uang
dibayar dengan upah kerja atau hutang uang sebanyak upah kerja dibolehkan,
tapi pinjam uang dibayar dengan hari kerja tidak dibolehkan karena nantinya
akan terdapat kelebihan jasa pekerja.
86
BAB V
PENUTUP
D. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian penulis di lapangan terhadap pelaksanaan hutang
dibayar dengan hari kerja yang teradi di Jorong Padang Panjang Nagari
Pariangan Kecamatan Pariangan Kabupaten Tanah Datar yang telah penulis
uraikan dalam BAB sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Pelaksaan hutang dibayar dengan hari kerja yang terjadi di Jorong Padang
Panjang Nagari Pariangan Kecamatan Pariangan Kabupaten Tanah Datar
merupakan suatu akad hutang piutang antara pekerja sawah dengan petani
dengan standar hutang yang bervariatif bahkan cenderung adanya unsur
ketidakjelasan. Adakalanya dalam bentuk uang, hari kerja, atau dengan
uang dan hari kerja sekaligus.
2. Tinjauan Hokum Ekonomi Syariah terhadap Pelaksaan hutang dibayar
dengan hari kerja yang terjadi di Jorong Padang Panjang Nagari Pariangan
Kecamatan Pariangan Kabupaten Tanah Datar dibolehkan selama standar
hutangnya jelas dan pasti, serta tidak ada kelebihan jasa dalam pembayaran
hutang. Jika ada kelebihan jasa dalam pembayaran hutang, maka hal ini
dikategorikan kedalam riba yang diharamkan dalam Islam.
E. Saran
Dari realita yang penulis temukan di lapangan, maka penulis memberikan saran
terhadap:
1. Kepada petani yang memberikan hutang terhadap pekerja sawah janganlah
mengambil kelebihan dari jasa mereka, dan bayarkanlah upah pekerjaan
mereka sesuai dengan takaran upah pekerja yang seharusnya.
2. Kepada pekerja sawah yang berhutang sebaiknya pembayaran hutang
dilakukan setelah bekerja di sawah petani agar upah yang diberikan oleh
87
petani dapat dibayarkan terhadap hutang, jika terdapat kelebihan akan dapat
digunakan untuk kebutuhan.
3. Kepada masyarakat Jorong Padang Panjang Nagari Pariangan Kecamatan
Pariangan sebaiknya dalam pelaksanaan hutang haus jelas jelas dalam akad
hutang piutang dan pelaksanaan akad tersebut.
4. Kepada alim ulama dalam pemberian wirid dijelaskan bagaimana hutang
yang baik dan benar dalam Islam, agar masyarakat tidak terjerumus dalam
hal yang bertentangan dengan aturan Allah.
DAFTAR PUSTAKA
Az-Zuhaily, Wahbah, 2014, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, Jilid IV, Beirut:
Darul Fikri
Al-Zuhaili, Wahbah, 2011, Fikih Islam Wa Adilatuhu, Jilid V, Cetakan Pertama,
Jakarta: Gema Insani
An-Nabhani. Taqyudidin, 1996, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif, , Cet II,
Surabaya : Risalah Gusti
Anwar, Syamsul, 2008 , Hukum Perjanjian Syariah, Cet 1 Ed 1, Jakarta: Rajawali
Press
Arianti, Farida, 2014, FiqhMuamalah II, Batusangkar: STAIN Batusangkar Press