SKRIPSI EVALUASI MUTU GIZI DAN INDEKS GLIKEMIK PRODUK OLAHAN GORENG BERBAHAN DASAR TEPUNG UBI JALAR (Ipomoea Batatas L.) KLON BB00105.10 Oleh : Julia Margareth F24102017 2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
SKRIPSI
EVALUASI MUTU GIZI DAN INDEKS GLIKEMIK PRODUK OLAHAN
GORENG BERBAHAN DASAR TEPUNG UBI JALAR
(Ipomoea Batatas L.) KLON BB00105.10
Oleh :
Julia Margareth
F24102017
2006
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Julia Margareth. F24102017. Evaluasi Mutu Gizi dan Indeks Glikemik Produk Olahan Goreng Berbahan Dasar Tepung Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) Klon BB00105.10. Di bawah Bimbingan Made Astawan dan Sri Widowati. 2006.
RINGKASAN
Permintaan dan pemanfaatan ubi jalar di Indonesia masih cukup rendah.
Pengolahan ubi jalar di Indonesia masih cukup sederhana dan pengolahannya dalam bentuk ubi segar seperti dipanggang, direbus, dan digoreng segar. Ubi jalar dalam bentuk tepung akan lebih mudah diolah menjadi berbagai bentuk olahan, yang lebih bergengsi, dan dapat diterima oleh berbagai lapisan masyarakat. Tepung ubi jalar juga dapat diolah menjadi produk pangan yang memberikan manfaat terhadap kesehatan. Produk pangan ini dapat digolongkan ke dalam pangan fungsional.
Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari penelitian oleh Astawan dan Widowati (2006) mengenai evaluasi mutu gizi dan indeks glikemik ubi jalar sebagai dasar pengembangan pangan fungsional. Berdasarkan penelitian tersebut, klon unggul ubi jalar BB00105.10 memiliki respon glikemik terbaik dibandingkan klon dan varietas unggul ubi jalar lainnya. Aktivitas hipoglikemik tertinggi tersebut didukung oleh pati resisten (3,8%) dan protein (5,47%) yang paling tinggi serta daya cerna pati yang rendah (51,4%). Ubi jalar klon BB00105.10 mempunyai kadar amilosa sedang (24,94%). Indeks glikemik (IG) ubi jalar segar yang diolah dengan cara digoreng paling rendah (47) dibandingkan IG ubi jalar yang dikukus (62), dan yang dipanggang (80). Berdasarkan data tersebut, maka penelitian ini dilakukan untuk menghasilkan produk olahan goreng yang diharapkan memiliki mutu gizi yang baik dan indeks glikemik yang rendah sehingga dapat dijadikan pangan alternatif untuk tujuan diit.
Penelitian ini terbagi menjadi enam tahap. Tahap pertama adalah persiapan bahan baku. Tahap kedua adalah analisis karakteristik fisiko-kimia tepung ubi jalar. Tahap ketiga adalah pembuatan produk. Tahap keempat adalah uji organoleptik. Formulasi terbaik dari masing-masing produk olahan goreng akan dianalisis lanjut mengenai sifat fisik dan kimia pada tahap kelima. Tahap keenam adalah uji indeks glikemik dua produk terpilih berdasarkan hasil analisis kimia yang kemungkinan memiliki nilai indeks glikemik rendah.
Formulasi kue biji ketapang terpilih hasil uji organoleptik adalah formula dengan 70% tepung ubi jalar dan 30% gula. Formulasi donat terpilih hasil uji organoleptik adalah formula dengan 30% tepung ubi jalar dan 16% gula. Formulasi kue bawang terpilih hasil uji organoleptik adalah formula dengan 50% tepung ubi jalar dan 10% margarin.
Uji indeks glikemik dilakukan terhadap kue biji ketapang dan kue bawang. Indeks glikemik kue biji ketapang lebih tinggi dibandingkan kue bawang. Kue biji ketapang dan kue bawang memiliki IG rendah. Indeks glikemik kue biji ketapang adalah 49 + 12, sedangkan kue bawang sebesar 32 + 7. Aktivitas hipoglikemik yang tinggi pada kue bawang didukung oleh kadar amilosa yang sedang (20.94%), total serat pangan yang tinggi (7.87%), dan serat pangan larut yang tinggi (4.68%).
EVALUASI MUTU GIZI DAN INDEKS GLIKEMIK PRODUK OLAHAN
GORENG BERBAHAN DASAR TEPUNG UBI JALAR
(Ipomoea Batatas L.) KLON BB00105.10
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh :
Julia Margareth
F24102017
2006
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
EVALUASI MUTU GIZI DAN INDEKS GLIKEMIK PRODUK OLAHAN
GORENG BERBAHAN DASAR TEPUNG UBI JALAR
(Ipomoea Batatas L.) KLON BB00105.10
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada jurusan Teknologi Pangan dan Gizi
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh :
Julia Margareth
F24102017
Dilahirkan Pada Tanggal 25 Juli 1984
Di Jakarta
Tanggal Lulus : 13 November 2006
Menyetujui,
Bogor, November 2006
Prof.Dr.Ir. Made Astawan, MS Ir. Sri Widowati, M.AppSc Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Mengetahui,
DR. Ir. Dahrul Syah, MSc Ketua Departemen ITP
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 25 Juli 1984. Penulis adalah anak
kedua dari dua bersaudara dari Bapak Sotaronggal Siahaan dan Ibu Lungguk Hutagaol.
Penulis menempuh pendidikan sekolah dasar di TK Yasporbi III Pasar Minggu pada
tahun 1989-1990, SD Yasporbi II Pasar Minggu pada tahun 1990-1996, pendidikan
lanjutan tingkat pertama di SMPN 41 Ragunan pada tahun 1996-1999, dan pendidikan
lanjutan tingkat atas di SMUN 28 Jakarta.
Penulis di terima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2002 melalui jalur Ujian
seleksi masuk IPB (USMI). Selama di perkuliahan penulis aktif di beberapa kegiatan
organisasi, seperti Agria Swara, dan Komisi Kesenian PMK IPB. Selain itu, penulis juga
aktif dalam mengikuti kegiatan non akademis seperti seminar National Students’ Paper
Competition on Food Issue (2003), Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP),
dan IDF International Conference of FGW Student Forum for Milk and Milk Product
(2005). Penulis juga pernah mengikuti kegiatan Praktek Lapang (PL) di PT. Arnott’s
Bekasi pada tahun 2005.
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian dengan tema Evaluasi
Mutu Gizi dan Indeks Glikemik Produk Olahan Goreng Berbahan Dasar Tepung
Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) Klon BB00105.10 dengan bantuan dana dari program B
pada tahun 2006.
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME, karena atas kasih
karuniaNya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Dalam kesempatan ini,
penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang begitu besar
kepada semua pihak yang turut membantu penulis selama kuliah hingga
selesainya skripsi ini, yaitu kepada :
1. Orang tua penulis (Mami dan Papa) serta kakak Nadia, atas semua doa,
dorongan, nasihat, semangat, dan kasih sayang yang tulus yang selalu
diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat selalu termotivasi untuk
berusaha memberikan dan menghasilkan karya-karya yang terbaik.
2. Prof. Dr. Ir. Made Astawan dan Ir. Sri Widowati, M. App.Sc sebagai dosen
pembimbing akademik, yang telah memberikan bimbingan dan saran selama
penulisan skripsi ini, serta nasihat-nasihat yang dapat membuka wawasan
penulis serta menjadi motivasi penulis untuk dapat menghadapi masa depan.
3. Ir. Didah Nur Faridah, MSi selaku dosen penguji yang telah meluangkan
waktu dan pikirannya untuk perbaikan skripsi ini.
4. Program B departemen ITP yang telah membiayai penelitian ini.
5. Seluruh staf pengajar ITP yang telah memberikan bekal pendidikan dan
pengetahuan kepada penulis.
6. Seluruh staf dan pegawai Balai Besar Penelitian Pasca Panen yang telah
membantu penulis dalam melakukan penelitian di Balai Pasca Panen.
7. Laboran-laboran TPG, dan GMSK khususnya Pak Sobirin, Pak Wahid, Bu
Rubiyah, Teh Ida, Pa Rozak, Pa Marsudi, Teknisi Pilot Plan dan SEAFAST
PAU yang telah banyak membantu selama penelitian.
8. Bapak-bapak pustakawan di PAU, Fateta dan LSI yang telah membantu dalam
pencarian literatur untuk penyusunan skripsi ini.
9. Teman satu penelitian (Evrin, dan Nisvi) atas kebersamaan selama menjalani
penelitian dan skripsi.
10. Teman satu bimbingan (Evrin, Nisvi, Fafa, Manto) atas kebersamaan,
dukungan, dan kerjasamanya.
ii
11. Keluarga Bang Bona atas dukungan doa, dan bantuan tenaga yang diberikan
selama penulis melaksanakan penelitian.
12. Teman-teman ITP 39. Semoga kebersamaan yang telah kita jalin akan
berlanjut untuk selamanya.
13. Teman-teman ITP 40 atas dukungan doa dan kerjasamanya sebagai relawan
uji indeks glikemik.
14. Teman-teman di Komisi Kesenian PMK IPB, khususnya komkes 35, 36, 37,
38, 39, 40, dan 41 atas kebersamaan, dukungan dalam doa, tenaga, dan waktu
yang telah dilewati bersama selama 4 tahun.
15. Teman- teman Kopral PMK IPB angkatan 39 atas segala kerjasama yang telah
terjalin, dukungan dalam doa, dan tenaga, serta semangat yang selalu
diberikan kepada penulis.
16. Keluarga besar di Pondok Putri YN atas semangat, kebersamaan, dan
indahnya hubungan yang terjalin, yang menjadikan suatu motivasi kepada
penulis.
17. Kepada semua pihak yang belum disebut namanya namun telah banyak
memberikan bantuan, penulis mengucapkan terima kasih, semoga Tuhan
membalas semua kebaikan Ibu/Bapak dan teman-teman semua.
Penulis menyadari skripsi ini jauh dari kesempurnaan dan tidak lepas
dari kesalahan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari berbagai pihak. Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat
bermanfaat bagi pembacanya.
Bogor, November 2006
Penulis
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...................................................................................... i
DAFTAR ISI ..................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ............................................................................................. v
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ vi
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... vii
I. PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
A. Latar Belakang ......................................................................................... 1
B. Tujuan ...................................................................................................... 3
C. Manfaat .................................................................................................... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 4
A. UBI JALAR .............................................................................................. 4
B. PRODUK OLAHAN GORENG .............................................................. 6
1. Kue Biji Ketapang .............................................................................. 6
2. Donat .................................................................................................. 7
3. Kue Bawang ....................................................................................... 9
C. TEPUNG TERIGU .................................................................................. 10 D. MINYAK GORENG SAWIT .................................................................. 11 E. PATI ......................................................................................................... 12
1. Komposisi Pati ................................................................................... 12
2. Pencernaan dan Penyerapan Pati ....................................................... 14
F. PANGAN FUNGSIONAL ...................................................................... 16
G. INDEKS GLIKEMIK .............................................................................. 17
III. METODOLOGI PENELITIAN ..................................................................... 20
A. BAHAN DAN ALAT .............................................................................. 20
B. METODE PENELITIAN ......................................................................... 20
1. Persiapan Bahan ................................................................................. 20
2. Analisis Karakterisasi Bahan Baku .................................................... 21
3. Pembuatan Produk Olahan Goreng Tepung Ubi Jalar ....................... 21
iv
4. Uji Organoleptik ................................................................................ 26
5. Analisis Karakterisasi Produk Olahan Goreng Terpilih ..................... 26
C. PROSEDUR ANALISIS .......................................................................... 27
1. Analisis Sifat Fisik ............................................................................ 27
2. Analisis Sifat Kimia .......................................................................... 31
3. Uji Organoleptik ................................................................................. 36
4. Analisis Indeks Glikemik ................................................................... 37
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................... 38
A. TEPUNG UBI JALAR .............................................................................. 38
B. KARAKTERISTIK FISIKO-KIMIA BAHAN BAKU ........................... 40
1. Karakteristik Fisik Bahan Baku ......................................................... 40
2. Karakteristik Kimia Bahan Baku ....................................................... 46
C. PRODUK OLAHAN GORENG UBI JALAR ......................................... 49
D. UJI ORGANOLEPTIK PRODUK OLAHAN GORENG ........................ 51
E. KARAKTERISTIK FISIKO-KIMIA PRODUK OLAHAN GORENG ... 55
1. Karakteristik Fisik Produk Olahan Goreng ....................................... 55
2. Karakteristik Kimia Produk Olahan Goreng ...................................... 57
F. INDEKS GLIKEMIK ............................................................................... 67
V. KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 72
A. Kesimpulan .............................................................................................. 72
B. Saran ......................................................................................................... 72
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 73
LAMPIRAN ...................................................................................................... 78
v
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Perbandingan Sifat Kimia Beberapa Varietas dan Klon Ubi Jalar ..... 5
Tabel 2. Komposisi Kimia Ubi Jalar Klon BB00105.10 .................................. 5
Tabel 3. Standar Mutu Minyak Goreng ........................................................... 11
Tabel 4. Formulasi Kue Biji Ketapang Ubi Jalar ............................................. 23
Tabel 5. Formulasi Donat Ubi Jalar .................................................................. 23
Tabel 6. Formulasi Kue Bawang Ubi Jalar ....................................................... 24
Tabel 7. Parameter warna berdasarkan nilai hº (hue) ....................................... 29
Tabel 8. Analisis Fisik Tepung Ubi Jalar Klon BB00105.10 .......................... 41
Tabel 9. Suhu, Waktu, dan Viskositas Gelatinisasi Tepung Ubi Jalar ............ 46
Tabel 10. Komposisi Kimia Tepung Ubi Jalar Klon BB00105.10 .................... 47
Tabel 11. Formula Produk pada Uji Organoleptik ............................................. 52
Tabel 12. Hasil Uji Organoleptik Produk Olahan Goreng ................................. 53
Tabel 13. Formula Terpilih Produk Hasil Uji Organoleptik .............................. 53
Tabel 14. Seting Tekstur Analyzer dalam Pengukuran Kekerasan
Produk Olahan Goreng ....................................................................... 57
Tabel 15. Tingkat Kekerasan Produk Olahan Goreng ....................................... 57
Tabel 16. Hasil Analisis Proksimat Produk Olahan Goreng ............................ 58
Tabel 17. Informasi Nilai Gizi per Takaran Saji ................................................ 58
Tabel 18. Beban Glikemik Produk Olahan Goreng ........................................... 71
vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Struktur Amilosa ......................................................................... 13
Gambar 2. Struktur Amilopektin .................................................................... 13
Gambar 3. Diagram Proses Pembuatan Tepung Ubi Jalar ............................. 21
Gambar 4. Diagram Alir Pembuatan Kue Biji Ketapang Ubi Jalar ............... 24
Gambar 5. Diagram Alir Pembuatan Donat Ubi Jalar ................................... 25
Gambar 6. Diagram Alir Pembuatan Kue Bawang Ubi Jalar ........................ 26
Gambar 7. (a) Tanaman Ubi Jalar; (b) Umbi Ubi Jalar Klon BB00105.10 ... 38
Gambar 8. (a) Sawut Kering; (b) Tepung Ubi Jalar Klon BB00105.10 ........ 39
Gambar 9. Peralatan dalam Pembuatan Tepung Ubi Jalar: (a) Mesin
Penyawut; (b) Mesin Peniris; (c) Oven Pengering; (d) Mesin
Penepung ...................................................................................... 40
Gambar 10. Formula Terpilih Hasil Uji Organoleptik :
(a) Kue Biji Ketapang; (b) Donat; (c) Kue Bawang ..................... 54
Gambar 11. Histogram Rendemen Produk Olahan Goreng ............................. 56
Gambar 12. Kadar Serat Pangan pada Produk Olahan Goreng ...................... 64
Gambar 13. Daya Cerna Pati Produk Olahan Goreng ...................................... 65
Gambar 14. Kadar Amilosa Produk Olahan Goreng ....................................... 67
Gambar 15. Kurva Indeks Glikemik Kue Biji Ketapang ................................. 69
Gambar 16. Kurva Indeks Glikemik Kue Bawang .......................................... 69
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil Analisis Fisik dan Kimia Tepung Ubi Jalar
Klon BB00105.10 ................................................................... 79
Lampiran 2. Hasil Pengukuran Sifat Amilograf .......................................... 80
Lampiran 3. Lembar Penilaian Uji Organoleptik ....................................... 81
Lampiran 4. Rekapitulasi Hasil Uji Organoleptik
Kue Biji Ketapang secara Overall ........................................... 82
Lampiran 5. Rekapitulasi Hasil Uji Organoleptik Donat secara Overall .... 83
Lampiran 6. Rekapitulasi Hasil Uji Organoleptik
Kue Bawang secara Overall .................................................... 84
Lampiran 7. Hasil Uji Hedonik Formula Kue Biji Ketapang
dengan ANOVA dan Uji Duncan ........................................... 85
Lampiran 8. Hasil Uji Rangking Formula Kue Biji Ketapang
dengan Friedman Test ............................................................. 85
Lampiran 9. Hasil Uji Hedonik Formula Donat
dengan ANOVA dan Uji Lanjut Duncan ................................ 86
Lampiran 10. Hasil Uji Rangking Formula Donat dengan Friedman Test ... 86
Lampiran 11. Hasil Uji Hedonik Formula Kue Bawang
dengan ANOVA dan Uji Lanjut Duncan ................................ 87
Lampiran 12. Hasil Uji Rangking Formula Kue Bawang
dengan Friedman Test ............................................................. 87
Lampiran 13. Analisis Fisik Produk Olahan Goreng
Tepung Ubi Jalar Klon BB00105.10 ...................................... 88
Lampiran 14. Analisis Kimia Produk Olahan Goreng
Tepung Ubi Jalar Klon BB00105.10 ....................................... 88
Lampiran 15. Rekapitulasi Indeks Glikemik Kue Biji Ketapang .................. 89
Lampiran 16. Rekapitulasi Indeks Glikemik Kue Bawang ........................... 89
Lampiran 17. Resep Kue Biji Ketapang Ubi Jalar ......................................... 90
Lampiran 18. Resep Donat Ubi Jalar ............................................................. 90
Lampiran 19. Resep Kue Bawang Ubi Jalar .................................................. 91
1
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Penyakit degeneratif di Indonesia saat ini semakin meningkat. Hal
ini disebabkan pola konsumsi pangan dan gaya hidup masyarakat yang
kurang baik. Penyakit degeneratif tersebut antara lain penyakit jantung
koroner, hipertensi, kanker, dan diabetes melitus. Penelitian epidemiologi di
Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi diabetes melitus mencapai 1,5-
2,3% dari jumlah penduduk (Astawan dan Widowati, 2006). Diabetes
melitus merupakan penyakit kronik yang timbul karena kadar glukosa darah
yang terlalu tinggi.
Salah satu cara pencegahan penyakit diabetes melitus dan obesitas
adalah dengan pemilihan konsumsi pangan yang tepat. Beberapa produk
pangan memiliki komponen aktif yang bermanfaat bagi kesehatan. Pangan
tersebut tergolong pangan fungsional. Pangan fungsional yang sesuai untuk
diaplikasikan pada penderita diabetes melitus dan obesitas adalah yang
memiliki indeks glikemik (IG) yang rendah.
Indeks glikemik (IG) adalah tingkatan pangan menurut efeknya
terhadap kadar gula darah (Rimbawan dan Siagian, 2004). Salah satu bahan
pangan yang berpotensi memiliki IG rendah adalah ubi jalar. Namun, tidak
semua jenis ubi jalar memiliki IG rendah. Saat ini telah ditemukan klon
unggul ubi jalar yaitu ubi jalar klon BB00105.10 yang memiliki respon
glikemik lebih baik dibandingkan klon maupun varietas ubi jalar lainnya
(Astawan dan Widowati, 2006).
Ubi jalar merupakan salah satu sumber karbohidrat alternatif
pengganti beras. Tanaman ubi jalar relatif mudah dibudidayakan karena
memiliki daya penyesuaian yang tinggi terhadap kekeringan. Selain itu, zat
gizi yang terkandung dalam ubi jalar dapat mengimbangi zat gizi yang
terdapat pada gandum dan beras. Namun, permintaan dan pemanfaatan ubi
jalar di Indonesia masih cukup rendah. Ubi jalar digunakan sebagai makanan
pokok masyarakat Papua dan beberapa daerah di Indonesia bagian Timur.
2
Pendayagunaan ubi jalar yang belum optimal disebabkan masih sedikitnya
teknologi pengolahan pascapanen yang diterapkan dan nilai ekonomis ubi
jalar yang rendah. Pengolahan ubi jalar di Indonesia masih cukup sederhana
dan pengolahannya masih dalam bentuk ubi segar seperti dipanggang,
direbus, dan digoreng segar.
Ubi jalar dalam bentuk tepung akan lebih mudah diolah menjadi
berbagai produk olahan, yang lebih bergengsi, dan dapat diterima oleh
berbagai lapisan masyarakat. Tepung ubi jalar dapat digunakan sebagai
bahan baku, baik dalam bentuk tepung dan pati murni maupun tepung
campuran. Tepung ubi jalar mempunyai peluang sebagai komoditas
komersial, yaitu sebagai bahan baku berbagai produk pangan olahan,
termasuk pangan fungsional. Tepung ubi jalar yang digunakan sebagai
bahan baku pangan fungsional diharapkan memiliki indeks glikemik yang
rendah sehingga tidak meningkatkan kenaikan glukosa darah secara cepat.
Informasi mengenai indeks glikemik berbagai produk pangan di Indonesia
masih kurang. Oleh karena itu, penelitian mengenai produk olahan berbahan
dasar tepung ubi jalar perlu dilakukan.
Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari penelitian oleh
Astawan dan Widowati (2006) mengenai evaluasi mutu gizi dan indeks
glikemik ubi jalar sebagai dasar pengembangan pangan fungsional.
Berdasarkan penelitian tersebut, ubi jalar klon BB00105.10 memiliki respon
glikemik terbaik dibandingkan klon dan varietas unggul ubi jalar lainnya.
Aktivitas hipoglikemik tertinggi tersebut didukung oleh pati resisten (3,8 %)
dan protein (5,47 %) yang paling tinggi serta daya cerna pati yang rendah
(51,4%). Ubi jalar klon BB00105.10 mempunyai kadar amilosa sedang
(24,94%). IG ubi jalar segar yang digoreng paling rendah (47) dibandingkan
yang dikukus (62), dan yang dipanggang (80). Berdasarkan data tersebut,
maka penelitian ini dilakukan untuk menghasilkan produk olahan goreng
berbahan dasar tepung ubi jalar klon BB00105.10 yang diharapkan memiliki
mutu gizi yang baik dan indeks glikemik yang rendah. Produk ini meliputi
kue biji ketapang, donat, dan kue bawang.
3
B. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan formulasi terbaik pada
tiga jenis produk olahan goreng berbahan dasar tepung ubi jalar klon
BB00105.10. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk menghasilkan
produk olahan goreng yang memiliki mutu gizi yang baik dan indeks
glikemik yang rendah. Informasi yang diperoleh dari penelitian ini
diharapkan dapat digunakan untuk merancang jenis produk pangan alternatif
untuk tujuan diit.
C. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi tentang
sifat fisiko-kimia dari produk olahan panggang berbahan dasar tepung ubi
jalar klon unggul BB00105.10.
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. UBI JALAR
Tanaman ubi jalar merupakan tanaman semusim yang memiliki
susunan tubuh utama yaitu batang ubi, daun, bunga, buah, dan biji. Batang
tanaman ubi jalar berakar banyak, berwarna hijau, kuning, atau ungu,
berbentuk bulat tidak berkayu, berbuku-buku, dan tipe pertumbuhannya tegak
atau merambat (menjalar), dengan panjang tanaman 1 – 3 m (Rukmana, 1997).
Daun ubi jalar berbentuk bulat hati, bulat lonjong, dan bulat runcing
tergantung varietas. Bunga ubi jalar berbentuk terompet. Menurut Juanda dan
Cahyono (2000), taksonomi ubi jalar yaitu:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Ordo : Convolvulales
Famili : Convolvulaceae
Genus : Ipomoea
Spesies : Ipomoea batatas. L. sin. Batatas edulis Choisy
Tanaman ubi jalar merupakan tanaman istimewa dibandingkan dengan
tanaman pangan lain karena memiliki daya penyesuaian paling tinggi terhadap
kondisi lingkungan yang buruk. Menurut Rubatzky dan Yamaguchi (1995),
ubi jalar memiliki kemampuan berproduksi tinggi pada tanah tidak subur
sekalipun. Hasil umbi yang paling bagus adalah di tanah yang memiliki
tingkat kesuburan yang sedang dan cukup mengandung air (Lingga et al.,
1989).
Varietas ubi jalar sangat banyak dan bervariasi dalam hal bentuk umbi,
warna kulit, komposisi kimia, daya tahan terhadap hama dan penyakit, umur
panen, rasa, dan dari segi lainnya. Secara umum ubi jalar dibagi menjadi dua
jenis yaitu berumbi keras (banyak mengandung tepung) dan berumbi lunak
(banyak mengandung air dan rasanya manis). Ubi jalar dapat dibagi menjadi
5
dua jenis berdasarkan umur tanam, yaitu berumur pendek, yang dipanen
setelah 4 sampai 6 bulan, dan berumur panjang, yang dipanen setelah 8 sampai
9 bulan. Berdasarkan warna umbi, ubi jalar dapat dibedakan menjadi ubi jalar
kuning, ubi jalar merah, dan ubi jalar putih. Beberapa varietas unggul ubi jalar
antara lain Sukuh, Binoras Op 95-2, Kidal, Jago, Boko, Sari, MIS 110-1, dan
MIS 159-3 (Yusuf, 2003). Saat ini juga telah ditemukan klon unggul ubi jalar
BB00105.10 yang memiliki indeks glikemik yang paling rendah dibandingkan
varietas unggul lainnya (Astawan dan Widowati, 2006).
Klon BB00105.10 memiliki sifat fisik yaitu kulit berwarna merah
berbintik, daging berwarna jingga tua, dan berbentuk lonjong. Perbandingan
beberapa varietas dan klon ubi jalar yang sedang dikembangkan dapat dilihat
pada Tabel 1. Komposisi kimia ubi jalar klon BB00105.10 dapat dilihat pada
Tabel 2.
Tabel 1. Perbandingan sifat kimia beberapa varietas dan klon ubi jalar.
Komponen (% bk) Kidal Sukuh BB
00105.10 Sari Ungu BO 464
BB 00106.18 Jago
Amilosa 23.86 22.57 24.94 21.62 23.02 30.60 26.08 27.91Amilopektin 76.14 77.43 75.06 78.38 77.03 69.40 73.92 72.09Pati 79.20 88.40 93.00 72.00 85.40 86.60 89.00 81.80Pati resisten 3.00 3.00 3.80 3.40 2.00 2.80 2.90 3.40Gula 0.36 0.34 1.10 2.08 0.12 0.15 0.61 0.45Daya cerna pati 71.05 98.30 51.40 45.13 99.99 99.00 44.57 62.00
Serat pangan larut 14.27 13.89 12.81 21.24 13.28 11.79 17.34 13.30
Sumber : Astawan dan Widowati (2006)
Tabel 2. Komposisi Kimia Ubi Jalar Klon BB00105.10 Komponen Kandungan
Air (% bb) 63.71 Abu (% bk) 1.53 Protein (% bk) 5.47 Lemak (% bk) 0.76 Karbohidrat (% bk) 92.24 Total serat pangan (% bk) 51.37 Serat pangan larut (% bk) 12.81 Serat pangan tidak larut (% bk) 38.56
Sumber : Astawan dan Widowati (2006)
6
B. PRODUK OLAHAN GORENG
Pengolahan produk pangan dewasa ini semakin berkembang. Produk
pangan tidak hanya dapat diolah dari bentuk segar seperti dipanggang,
direbus, dan digoreng segar, namun juga dapat diolah dari bentuk tepung.
Masing-masing teknik pengolahan memiliki karakteristiknya tersendiri.
Produk goreng memiliki ciri khas yaitu menggunakan minyak goreng. Oleh
karena itu, kandungan lemak pada pangan yang diolah dengan cara digoreng
akan lebih tinggi. Minyak berlebih yang menempel pada produk dapat menjadi
masalah karena menyebabkan ketengikan. Semakin besar kandungan air
adonan yang belum digoreng maka semakin banyak minyak yang menempel
pada produk setelah digoreng.
Beberapa makanan ringan diolah dengan cara digoreng seperti kue
bawang, kue biji ketapang, dan donat. Hal yang perlu diperhatikan dalam
pembuatan produk goreng adalah penambahan air. Agar diperoleh adonan
yang dapat dibentuk, maka pada adonan harus ditambahkan air sehingga
dicapai kadar air adonan tertentu. Penambahan air yang terlalu banyak
menyebabkan adonan menjadi lengket dan lembek. Tingginya kadar air pada
adonan kue bawang dapat menyebabkan adonan menjadi lunak dan
menyebabkan strukturnya relatif kurang kokoh.
1. Kue Biji Ketapang
Bahan baku selain tepung yang digunakan dalam pembuatan suatu
produk pangan memiliki fungsinya masing-masing. Bahan baku kue biji
ketapang terdiri dari tepung, telur, kelapa parut, dan gula. Telur berfungsi
memberikan sifat kaku pada produk sehingga kue biji ketapang tidak
rapuh saat digoreng. Pembuatan kue biji ketapang menggunakan kuning
telur dan putih telur. Putih telur mempunyai daya ikat sehingga akan
terbentuk adonan yang kompak (Matz, 1982). Kelapa parut memberi
aroma khas pada kue biji ketapang. Fungsi gula dalam pembuatan kue biji
ketapang, antara lain memberikan rasa manis, memperbaiki tekstur, dan
membentuk warna kecoklatan akibat reaksi pencoklatan (browning).
7
Penggunaan gula yang tinggi pada adonan kue biji ketapang menghasilkan
produk yang memiliki tekstur keras.
2. Donat
Bahan baku donat terdiri dari tepung, gula, ragi, margarin, telur,
baking powder, dan bahan pelembut. Gula berfungsi untuk memberikan
rasa manis, membentuk warna kecoklatan akibat reaksi pencoklatan
(browning), membentuk flavor karamel, dan sebagai nutrisi bagi khamir
agar dapat bekerja menghasilkan gas selama proses fermentasi. Margarin
berfungsi sebagai pelumas bagi partikel-partikel adonan sehingga
terdispersi merata, sebagai stabilizer, mencegah pati dan protein tepung
lainnya menggumpal, membuat tekstur lebih halus dan lunak,
meningkatkan cita rasa, meningkatkan volume donat, dan mencegah donat
agar tidak cepat kering (Hartono, 1993).
Faktor utama yang mempengaruhi pengembangan adonan donat
adalah ragi. Ragi yang digunakan yaitu khamir Saccharomyces cerevisiae.
Ragi akan bekerja jika kontak dengan tepung, dan air. Menurut
Khutschevar (1975), suhu fermentasi yang baik adalah 32 – 38oC, dengan
kelembapan relatif 80-85%. Waktu fermentasi yang baik adalah 15 – 45
menit. Waktu fermentasi yang berlebihan menyebabkan adonan menjadi
asam. Jika ragi, air, dan tepung dikombinasikan, enzim diastase di dalam
tepung saat proses fermentasi akan memecah pati menjadi maltosa yang
diperlukan sebagai sumber makanan bagi ragi (Beranbaum, 2003). Oleh
karena itu, semakin rendah kadar pati, maka volume donat juga akan
menurun, terutama jika tidak dikombinasikan dengan tepung yang
mengandung gluten. Ragi bekerja mengkonsumsi gula dari pati sehingga
dihasilkan gas CO2, dan etil alkohol. Gas CO2 akan ditahan dalam adonan
oleh jaringan yang dibentuk oleh gluten sehingga adonan mengembang.
Alkohol yang dihasilkan memberi flavor pada donat. Gas CO2 dan alkohol
yang dihasilkan akan menguap selama penggorengan.
Telur dalam adonan donat berfungsi sebagai koagulator, emulsifier,
dan pengembang, pemberi warna, dan cita rasa produk. Telur
meningkatkan nilai gizi dan penerimaan konsumen (U.S. Wheat
8
Associates, 1983). Telur mempunyai suatu reaksi mengikat bila digunakan
dalam jumlah besar sehingga produk yang dihasilkan akan lebih
mengembang. Telur akan menangkap udara saat adonan dikocok sehingga
udara menyebar merata pada adonan (Winarno, 1997). Bagian dari telur
yang digunakan dalam pembuatan donat adalah kuning telurnya. Adonan
yang menggunakan kuning telur akan menghasilkan donat dengan tekstur
yang lebih empuk daripada menggunakan seluruh telur. Hal ini disebabkan
adanya daya emulsi dari lesitin yang terdapat dalam kuning telur.
Baking powder merupakan bahan peragi hasil reaksi asam dengan
sodium bikarbonat (NaHCO3) dengan memakai atau tidak memakai pati
atau tepung sebagai bahan pengisi. Asam yang biasa digunakan adalah
bubuk tartrat, bubuk fosfat, dan bubuk sulfat. Sodium bikarbonat dalam air
pada adonan akan terurai dan menghasilkan gas CO2 dalam adonan donat.
Saat penggorengan, gas CO2 akan dilepaskan sehingga adonan
mengembang sempurna, dan donat yang dihasilkan tidak rusak. Fungsi
baking powder yaitu membentuk volume, mengatur rasa, mengontrol
penyebaran, dan membuat hasil produksi menjadi ringan. Penggunaan
sodium bikarbonat sebaiknya digunakan sesuai ukuran. Bikarbonat yang
terdapat dalam sodium bikarbonat bersifat melemahkan gluten dalam
adonan.
Permasalahan utama yang timbul dalam pembuatan donat dari
bahan selain terigu adalah lemahnya adonan, dan kurangnya daya penahan
gas. Hal ini mempengaruhi mutu fisik produk yang dihasilkan. Selain itu,
donat yang terbuat dari bahan selain terigu akan cepat mengalami stalling
(pengerasan) dan penurunan kualitas simpan. Pengerasan dapat terjadi
karena tepung non-terigu tidak memiliki ikatan disulfida pada proteinnya.
Ikatan disulfida terdapat pada gluten dan memiliki pengaruh dalam
menstabilkan protein (Nosoh dan Sekiguchi, 1991). Bahan tambahan yang
dapat mengurangi pengerasan pada donat adalah potasium bromat.
Garam bromat digunakan dalam pembuatan donat sebagai bahan
pelembut (dough improver). Bentuk yang paling banyak digunakan adalah
potasium bromat (KBrO3). Penambahan garam bromat pada tepung dapat
9
mencegah pelunakan gluten yang berlebihan selama pembuatan adonan.
Bromat dapat meningkatkan konsumsi oksigen tepung pada saat
pembuatan adonan. Selain itu, bromat juga membantu mempercepat
pematangan adonan dan meningkatkan volume roti dengan tidak
menyebabkan penurunan mutu remah, serta dapat memperbaiki teksturnya.
3. Kue Bawang
Bahan baku kue bawang terdiri dari tepung, garam, margarin,
bawang merah, dan daun seledri. Bawang merah, dan daun seledri
berfungsi sebagai penghasil aroma bawang. Garam untuk meningkatkan
cita rasa, memperkuat tekstur, dan mengikat air. Dalam pembuatan
adonan, penambahan garam sebesar 1-3% dapat memperkuat lembaran
adonan dan mengurangi kelengketan. Margarin berfungsi untuk
meningkatkan rasa gurih pada kue bawang. Pada saat menggoreng,
margarin akan mencair dan keluar dari bahan. Proses pengeluaran
margarin dari dalam bahan diharapkan mempercepat proses pindah panas
pada bahan dan juga meninggalkan ruang kosong dalam keping kue
bawang sehingga meningkatkan kerenyahan.
Masalah yang umumnya terjadi dalam pembuatan kue bawang ubi
jalar adalah diskolorasi, kekerasan, kerenyahan, dan variasi dalam kualitas.
Diskolorasi pada produk disebabkan oleh reaksi non-enzimatis.
Diskolorasi non-enzimatis terjadi karena kandungan gula pereduksi pada
ubi jalar yang tinggi. Diskolorasi dipengaruhi oleh suhu minyak yang
digunakan dan lama pemasakan. Suhu optimum penggorengan kue
bawang adalah sekitar 143oC dan 177oC. Suhu penggorengan yang terlalu
rendah menyebabkan warna kue bawang yang kurang terang dan
membutuhkan waktu penggorengan yang lebih lama, sedangkan suhu yang
terlalu tinggi menyebabkan reaksi pencoklatan (Woolfe, 1999). Selama
pemasakan terjadi peningkatan kadar maltosa mulai dari jumlah yang kecil
pada bahan baku menjadi lebih dari 2% sehingga dapat menyebabkan
diskolorasi.
Variasi dalam kualitas kue bawang umumnya terjadi karena
ketebalan kue bawang yang berbeda-beda. Bentuk dan ketebalan lembaran
10
adonan yang seragam akan memudahkan penetrasi panas pada saat
pengolahan. Adonan yang baik untuk kue bawang yaitu yang dapat dibuat
lembaran tipis dan mudah dicetak (Meilianti, 2003).
Kualitas kue bawang setelah proses pengolahan dapat menurun
apabila produk terlalu lama kontak dengan oksigen dan uap air di udara,
dimana produk menjadi melempem dan tengik. Oleh karena itu, kue
bawang yang telah diproses harus segera dikemas dengan kemasan yang
dapat mencegah udara dan uap air masuk.
C. TEPUNG TERIGU
Tepung merupakan komposisi dasar pada produk makanan ringan.
Pada umumnya, tepung yang digunakan untuk membuat kue biji ketapang,
donat, dan kue bawang adalah tepung terigu. Dalam adonan, tepung berfungsi
sebagai pembentuk tekstur, pengikat bahan-bahan lain, dan
mendistribusikannya secara merata, serta berperan dalam membentuk citarasa
(Matz dan Matz, 1978). Manley (1983) membagi tepung menjadi tiga jenis
berdasarkan kandungan proteinnya, yaitu terigu keras (kadar protein minimal
12%), terigu sedang (kadar protein sebesar 10-11%), dan terigu lunak (kadar
protein sebesar 7-9%).
Tepung terigu yang digunakan dalam pembuatan kue biji ketapang dan
kue bawang adalah terigu sedang. Tepung terigu sedang biasa digunakan
dalam skala industri rumah tangga. Tepung terigu sedang (Segitiga Biru) dapat
digunakan untuk membuat berbagai jenis makanan. Menurut Matz (1982),
penggunaan tepung terigu jenis sedang agar dihasilkan produk dengan tekstur
yang keras dan penampakannya kasar. Jika digunakan tepung terigu jenis
lunak yang memiliki kadar protein rendah (8-10%), tekstur produk menjadi
kurang keras.
Tepung yang biasa digunakan untuk membuat produk yang
membutuhkan pengembangan seperti roti, dan donat adalah terigu keras
(Cakra Kembar). Menurut Subarna (1992), tepung terigu kuat mampu
menyerap air dalam jumlah besar, dapat mencapai konsistensi adonan yang
tepat, dan mempunyai elastisitas yang baik untuk memproduksi roti dengan
11
remah yang halus, tekstur lembut, volume besar. Pembuatan adonan donat
dengan terigu kuat umumnya membutuhkan air yang lebih banyak, waktu
pengadukan, dan fermentasi lebih lama daripada tepung lemah, serta
mempunyai kemampuan menahan gas lebih besar (Pomeranz dan
Shellenberger, 1971). Tepung terigu keras memiliki kandungan gluten yang
tinggi, yang dibutuhkan dalam pengembangan adonan. Gluten adalah protein
yang mempunyai sifat membentuk struktur bahan (jaringan sel) berongga.
Dengan adanya gluten, produk akan lebih mengembang setelah digoreng
dibandingkan tanpa gluten.
D. MINYAK GORENG SAWIT
Lemak dan minyak sebagai bahan pangan dibagi menjadi dua yaitu
lemak yang siap dikonsumsi tanpa dimasak seperti mentega, dan lemak yang
dimasak bersama-sama bahan pangan lainnya atau dijadikan medium
penghantar panas dalam memasak bahan pangan seperti minyak goreng
(Ketaren, 1986). Minyak goreng adalah minyak yang telah mengalami proses
pemurnian seperti degumming, netralisasi, pemucatan, dan deodorisasi. Selain
sebagai medium penghantar panas, minyak goreng juga meningkatkan rasa
gurih, dan meningkatkan nilai gizi serta energi bahan pangan dalam proses
penggorengan. Standar mutu minyak goreng berdasarkan SNI 01-3741-1995
dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Standar Mutu Minyak Goreng Komponen Persyaratan maksimum
Air 0.3 %Bilangan peroksida 1.0 mg oksigen/100 g Asam lemak bebas (dianggap sebagai asam laurat)
0.3 %
Minyak pelikan - Bau, warna, rasa Normal Besi 1.5 (mg/kg) Timbal 0.1 (mg/kg) Tembaga 0.1 (mg/kg) Seng 40.0 (mg/kg) Raksa 0.05 (mg/kg) Timah 40.0 (mg/kg) Arsen 0.1 (mg/kg)
12
Sumber : BSN (1995)
Menurut Ketaren (1986), untuk menggoreng bahan pangan yang
dibungkus dan tidak segera dikonsumsi, dibutuhkan lemak yang bersifat stabil
terhadap panas, misalnya minyak kelapa, atau minyak nabati dihidrogenasi.
Asam lemak palmitat dan oleat merupakan asam lemak utama yang terdapat
dalam minyak sawit. Kandungan asam lemak jenuh dan tidak jenuh minyak
sawit memiliki proporsi yang seimbang. Minyak sawit terdiri dari lemak-
lemak netral (96.2%), fosfolipid, dan glikolipid (3.8%). Beberapa keunggulan
minyak sawit dibandingkan minyak nabati lainnya, yaitu tahan lama, tahan
terhadap tekanan dan suhu tinggi, tidak cepat tengik, dan hampir tidak
mengandung kolesterol. Ketahanan terhadap tengik antara lain disebabkan
oleh kandungan karoten dan tokoferol yang cukup tinggi.
E. PATI
1. Komposisi Pati
Pati terbentuk pada jaringan tanaman dalam bentuk granula.
Ukuran diameter granula pati bermacam-macam berkisar antara 1-100 μm.
Bentuk dan ukuran granula pati merupakan karakteristik setiap jenis pati.
Butir pati bersifat semi kristalin yang mempunyai unit kristal dan unit
amorphous. Unit kristal lebih tahan terhadap perlakuan asam kuat dan
enzim, sedangkan unit amorphous bersifat dapat menyerap air dingin
sampai 30% tanpa merusak struktur secara keseluruhan.
Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik.
Granula pati tersusun dari dua fraksi utama, yaitu amilosa dan amilopektin
dalam rasio yang berbeda-beda pada setiap jenis pati (Lineback dan
Inglett, 1982). Amilosa dan amilopektin terdapat dalam bentuk kristalin
pada pati. Hal ini menyebabkan amilosa-amilopektin bersifat tidak larut air
dan sukar untuk dicerna dalam keadaan mentah. Struktur kristalin tersebut
akan hancur bersamaan dengan proses gelatinisasi yang melibatkan air dan
suhu tinggi. Perbandingan amilosa dan amilopektin akan mempengaruhi
sifat kelarutan dan derajat gelatinisasi pati. Semakin besar kandungan
amilopektin maka pati akan lebih basah, lengket dan cenderung sedikit
menyerap air. Pati yang lebih banyak mengandung amilosa bersifat lebih
13
resisten terhadap pencernaan pati dibandingkan dengan pati yang lebih
banyak mengandung amilopektin karena struktur linier amilosa yang
bersifat kompak (Rashmi dan Urooj, 2003).
Amilosa adalah homopolimer lurus D-glukosa yang dihubungkan
dengan ikatan α-(1,4) dari cincin piranosa. Amilosa mengandung 250 -
2000 unit glukosa dengan bobot molekul lebih kurang 40000 - 340000.
Molekul amilosa bersifat hidrofilik dan gugusnya bersifat polar. Amilosa
dapat menyerap air sekitar empat kali beratnya. Penyerapan air tersebut
menyebabkan viskositas meningkat. Amilosa mampu membentuk ikatan
kristal karena adanya interaksi molekuler yang kuat. Rantai lurusnya
cenderung membentuk susunan paralel satu sama lain dan saling berikatan
dengan ikatan hidrogen. Struktur amilosa dapat dilihat pada Gambar 1.
Amilopektin adalah glukan bercabang yang terdiri dari ± 4000 unit
glukosa. Pada rantai lurus amilopektin terdapat ikatan α-(1,4) dan pada
titik percabangan terdapat ikatan α-(1,6). Ikatan percabangan ini terjadi
setiap interval 20-30 unit glukosa (Lineback dan Inglett, 1982).
Percabangan ini menyusun sekitar 4-5% dari seluruh ikatan pada
amilopektin. Berat molekul amilopektin lebih dari satu juta. Molekul ini
membentuk sifat kohesif dan pengental pada pati. Struktur amilopektin
dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 1. Struktur Amilosa (Winarno, 1984)
Gambar 2. Struktur Amilopektin (Winarno, 1984)
14
Perbedaan tingkat kekerasan dan kerenyahan berkaitan erat dengan
perbedaan komposisi bahan dasarnya, terutama komposisi amilosa dan
amilopektin. Kadar amilosa yang tinggi dalam bahan akan mampu
meningkatkan kerenyahan dari keripik yang dihasilkan karena amilosa
dalam bahan akan mampu membentuk ikatan hidrogen dengan air dalam
jumlah yang lebih banyak. Dengan demikian, saat penggorengan, air akan
menguap dan meninggalkan ruang kosong dalam bahan dan membuat
keripik lebih renyah (Rahmanto, 1994).
2. Pencernaan dan Penyerapan Pati
Karbohidrat dari pati yang akan diserap tubuh harus diubah
menjadi penyusun-penyusunnya, yaitu glukosa. Enzim yang dapat
memecah karbohidrat yaitu enzim α-amilase yang terdapat dalam air liur
yang dihasilkan oleh kelenjar saliva, dan enzim yang dihasilkan oleh
pankreas. Pencernaan karbohidrat dimulai sejak makanan masuk ke dalam
mulut oleh enzim α-amilase dalam air liur. Enzim α-amilase ini stabil pada
kisaran pH 5.5-8. Enzim α-amilase yang berasal dari kelenjar saliva
menjadi inaktif oleh pH rendah dalam lambung. Enzim α-amilase yang
berasal dari pankreas berperan dalam memecah pati di usus halus menjadi
unit-unit dimerik terutama maltosa. Proses tersebut akan diselesaikan pada
bagian brush border usus halus dengan bantuan enzim dari glucoamylase
dan α-dextrinase. Pada brush border usus halus juga terjadi pemecahan
disakarida menjadi monosakarida (unit-unit heksosa) oleh enzim-enzim
disakaridase (Sardesai, 2003). Kemudian unit heksosa tersebut diserap ke
dalam mukosa usus dan diedarkan ke hati melalui peredaran darah. Proses
penyerapan dibantu oleh carrier atau pembawa khusus yang bersifat ATP-
dependent. Glukosa merupakan monosakarida yang paling cepat diserap
oleh usus halus. Proses penyerapan fruktosa terjadi melalui proses difusi
dan berlangsung lambat.
Karbohidrat yang dikonsumsi makhluk hidup akan dicerna dan
diserap pada laju yang berbeda-beda dan juga akan diubah menjadi fraksi
pati yang berbeda-beda pada usus kecil. Daya cerna pati adalah
kemampuan pati untuk dihidrolisis oleh enzim pemecah pati sehingga
15
menjadi unit-unit yang lebih kecil (gula-gula sederhana seperti maltosa
atau glukosa dan alfa limit dekstrin) yang dapat diserap oleh tubuh. Proses
pencernaan pati oleh enzim amilase dipengaruhi oleh ukuran partikel
bahan pangan, dan serat pangan. Semakin kecil ukuran partikel maka luas
permukaannya semakin besar sehingga pati lebih cepat dicerna. Serat
pangan dapat menyebabkan penurunan waktu transit pada usus halus
sehingga waktu pencernaan lebih cepat. Menurut Tharanthan dan
Mahadevam (2003), pencernaan terhadap pati dapat dipengaruhi oleh dua
faktor, yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik yang
memperlambat pencernaan pati adalah bentuk makanan yang mengganggu
pengeluaran amilase pankreatik, dinding sel granula pati yang tidak lentur
yang dapat menghalangi pembengkakan dan dispersi pati, dan kemampuan
untuk membentuk kristal. Faktor ekstrinsik yang mempengaruhi hidrolisis
pati adalah waktu transit, bentuk makanan, konsentrasi amilase pada usus,
jumlah pati, dan keberadaan komponen pangan lainnya. Proses pengolahan
juga dapat mempengaruhi daya cerna pati. Semakin tinggi daya cerna
suatu pati berarti semakin banyak pati yang dihidrolisis dalam waktu
tertentu yang ditunjukkan oleh semakin banyaknya glukosa dan maltosa
yang dihasilkan. Faktor yang paling mendukung hidrolisis ini adalah
enzim amilase yang bertindak sebagai biokatalisator.
Pati dapat dibedakan menjadi beberapa fraksi pati berdasarkan
kecepatan pencernaannya, yaitu RDS (Rapidly Digestible Starch), SDS
(Slowly Digestible Starch), RS (Resistant Starch). RDS adalah pati yang
dapat dicerna dengan cepat. Pati yang dapat dicerna dengan cepat akan
meningkatkan persediaan glukosa dalam tubuh dengan cepat. SDS adalah
pati yang lambat dicerna sehingga menyebabkan kenaikan glukosa dalam
darah menjadi lambat. Resistant starch adalah fraksi pati yang tidak dapat
dihidrolisis pada usus halus tetapi kemudian difermentasi oleh mikroflora
usus (Haralampu, 2000). Resistant starch tidak dapat dihidrolisis oleh
enzim-enzim amilolitik pada manusia yang sehat. Dengan demikian,
pembentukan resistant starch dapat menurunkan daya cerna pati.
16
Pati yang lambat dicerna dan resistant starch bagus untuk
dikonsumsi oleh penderita diabetes melitus dan obesitas karena kenaikan
glukosa darah menjadi lambat. Pangan yang dikonsumsi sebaiknya
memiliki SDI (Starch Digestion Index) yang rendah.
F. PANGAN FUNGSIONAL
Definisi pangan fungsional yang disepakati secara universal sampai
saat ini belum ditetapkan. Menurut Badan POM (2005), definisi pangan
fungsional adalah pangan yang secara alamiah maupun melalui proses,
mengandung satu atau lebih senyawa yang berdasarkan kajian-kajian ilmiah
dianggap mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu yang bermanfaat bagi
kesehatan, dikonsumsi sebagaimana layaknya makanan atau minuman,
mempunyai karakteristik sensori berupa penampakan, warna, tekstur, dan
citarasa yang dapat diterima oleh konsumen, tidak menimbulkan kontradiksi,
dan tidak memberikan efek samping pada jumlah penggunaan yang dianjurkan
terhadap metabolisme zat gizi lainnya.
Golongan senyawa yang dianggap mempunyai fungsi-fungsi fisiologis
tertentu di dalam pangan fungsional adalah senyawa-senyawa alami di luar zat
gizi dasar yang terkandung dalam pangan bersangkutan, yaitu : 1) serat
pangan (dietary fiber); 2) oligosakarida; 3) gula alkohol; 4) asam lemak tidak
jenuh jamak (poly unsaturated fatty acid); 5) peptida dan protein tertentu; 6)
glikosida dan isoprenoid; 7) polifenol dan isoflavon; 8) kolin dan lesitin; 9)
bakteri asam laktat; 10) fitosterol; dan 11) vitamin dan mineral tertentu.
Committee on Opportunities in the Nutrition and Food Sciences, Food and
Nutrition Board, Institute of Medicine (1994) menyatakan bahwa yang
tergolong pangan fungsional adalah pangan yang konsentrasi satu atau lebih
bahan bakunya telah dimodifikasi atau dimanipulasi untuk meningkatkan
kontribusinya sebagai pangan yang menyehatkan.
Menurut konsensus pada The First International Conference on East-
West Perspective on Functional Foods yang diorganisir dan disponsori oleh
International Life Sciences Institute (ILSI) tahun 1996, pangan fungsional
adalah pangan yang karena kandungan komponen aktifnya dapat memberikan
17
manfaat bagi kesehatan, di luar manfaat yang diberikan oleh zat-zat gizi yang
terkandung di dalamnya (Clydesdale, 1999). Pangan fungsional dibedakan
dari suplemen makanan atau obat berdasarkan penampakan dan pengaruhnya
terhadap kesehatan. Fungsi obat terhadap penyakit bersifat kuratif, maka
pangan fungsional bersifat membantu pencegahan suatu penyakit (Badan
POM, 2005).
G. INDEKS GLIKEMIK
Definisi indeks glikemik pangan (IG), menurut Rimbawan dan Siagian
(2004), adalah tingkatan pangan menurut efeknya terhadap kadar gula darah.
IG merupakan suatu ukuran yang menggambarkan luas kurva kenaikan dan
penurunan kadar gula darah setelah mengkonsumsi suatu makanan tertentu
dibandingkan dengan suatu standar. IG dipengaruhi oleh beberapa faktor,
yaitu proses pengolahan, kadar amilosa amilopektin, kadar gula dan daya
osmotik pangan, kadar serat pangan, kadar lemak dan protein pangan, kadar
antigizi pangan, dan daya cerna pati.
Proses pengolahan dapat mengubah karakteristik kimia ubi jalar.
Menurut Astawan dan Widowati (2006), ubi jalar mentah yang digoreng
memiliki IG yang paling rendah (47) dibandingkan ubi jalar mentah yang
dikukus (62) dan dipanggang (80). Rendahnya IG ubi jalar yang digoreng
kemungkinan disebabkan oleh pengaruh minyak pada proses penggorengan.
Pangan berlemak tinggi cenderung memperlambat laju pengosongan lambung,
sehingga penyerapan di dalam usus halus juga lambat.
Respon glikemik dan daya cerna pati tidak berhubungan dengan
panjangnya rantai sakarida, melainkan oleh ukuran partikel (Ludwig, 2000).
Karbohidrat sederhana tidak semuanya memiliki IG lebih tinggi daripada
karbohidrat kompleks. Jenis gula yang terdapat dalam pangan mempengaruhi
indeks glikemik pangan tersebut. Fruktosa memiliki IG sangat kecil (IG = 23),
sedangkan sukrosa memiliki IG sedang (IG = 65). Selain itu, kehadiran gula di
dalam pangan juga menghambat gelatinisasi pati dengan cara mengikat air.
Semakin kecil ukuran partikel, semakin mudah pati terdegradasi oleh enzim
18
sehingga semakin cepat pencernaan karbohidrat pati yang dapat menyebabkan
IG pangan tersebut semakin tinggi (Rimbawan dan Siagian, 2004).
Struktur amilosa-amilopektin yang berbeda menyebabkan daya cerna
yang berbeda. Amilosa mempunyai struktur tidak bercabang sehingga amilosa
terikat lebih kuat. Granula pati yang lebih banyak kandungan amilosanya,
mempunyai struktur yang lebih kristalin. Dengan demikian amilosa sulit
tergelatinisasi dan sulit dicerna. Selain itu, amilosa juga mudah bergabung dan
mengkristal sehingga mudah mengalami retrogradasi yang bersifat sulit untuk
dicerna (Meyer, 1973). Amilopektin mempunyai struktur bercabang, ukuran
molekul lebih besar dan lebih terbuka sehingga lebih mudah tergelatinisasi
dan lebih mudah dicerna (Rimbawan dan Siagian, 2004).
Jenis serat berpengaruh terhadap indeks glikemik pangan. Dalam
bentuk utuh, serat dapat bertindak sebagai penghambat fisik pada pencernaan.
Akibatnya, IG cenderung lebih rendah. Serat terlarut dapat menurunkan
respon glikemik pangan secara nyata, sedangkan serat kasar mempertebal
kerapatan atau ketebalan campuran makanan dalam saluran pencernaan. Serat
memperlambat laju makanan pada saluran pencernaan dan menghambat
pergerakan enzim, proses pencernaan menjadi lambat, sehingga respon
glukosa darah juga rendah. Selain menurunkan IG pangan, serat juga dapat
mengurangi resiko terkena kanker kolon, diabetes, penyakit jantung, dan
penyakit saluran pencernaan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Astawan dan Widowati (2006), total serat pangan ubi jalar klon unggul
BB00105.10 yaitu sebesar 51.37% (bk), dan kandungan serat larut sebesar
12.81% (bk).
Pangan yang mengandung lemak dan protein tinggi cenderung
memperlambat laju pengosongan lambung, sehingga pencernaan makanan di
usus halus juga diperlambat. Oleh karena itu, pangan berkadar lemak tinggi
mampunyai IG lebih rendah daripada pangan sejenis, berlemak rendah.
Menurut Ludwig (2000), laju penyerapan karbohidrat dan indeks glikemik
akan meningkat setelah mengkonsumsi makanan rendah lemak.
Setiap jenis makanan memiliki IG yang berbeda-beda. Makanan yang
memiliki IG rendah akan menghasilkan kenaikan dan penurunan kadar gula
19
darah yang tidak terlalu curam sesaat setelah makanan tersebut dicerna dan
dimetabolisme oleh tubuh. Klasifikasi bahan pangan berdasarkan nilai IG
adalah sebagai berikut : (1) bahan pangan dengan IG rendah (<55), (2) bahan
pangan dengan IG sedang (55-69), dan (3) bahan pangan dengan IG tinggi
(>70) (Foster-Powell et al., 2002).
Pati yang dicerna dan diserap oleh tubuh akan menyebabkan kenaikan
kadar gula darah (plasma glucose). Puncak kenaikan akan terjadi sekitar 15 –
45 menit setelah konsumsi, tergantung dari kecepatan pencernaan dan
penyerapan karbohidrat dalam tubuh manusia. Kadar glukosa darah akan
kembali normal setelah dua sampai tiga jam. Hormon yang diproduksi oleh
tubuh untuk menurunkan kadar glukosa darah adalah hormon insulin. Hormon
insulin akan diproduksi sebanding dengan jumlah glukosa yang terkandung
dalam darah. Hormon insulin dihasilkan di kelenjar Langherns pada pankreas.
Hormon insulin bertugas meningkatkan laju transpor glukosa ke dalam sel dan
laju pengubahan glukosa menjadi glikogen (Wardlaw, 1999). Kadar glukosa
darah normal menurut Sardesai (2003) berkisar antara 55 – 140 mg/dl. Kadar
glukosa darah minimum sebesar 40 – 60 mg/dl diperlukan untuk menyediakan
energi bagi susunan saraf pusat, yang memerlukan glukosa sebagai sumber
energi utama. Otot dan jaringan adiposa juga menggunakan glukosa sebagai
sumber energi utama. Hormon yang berperan dalam meningkatkan kadar
glukosa darah adalah hormon adrenalin dan glukagon. Kedua hormon ini
dihasilkan di kelenjar adrenal (Wardlaw, 1999).
Indeks glikemik dikaitkan dengan berbagai isu kesehatan seperti
obesitas, diabetes, dan penyakit jantung koroner. Menurut Jones (2002),
pangan yang memiliki IG tinggi menyebabkan pengeluaran insulin dalam
jumlah besar sebagai akibat dari kenaikan gula darah yang tinggi dan cepat.
Hal tersebut akan menyebabkan peningkatan rasa lapar setelah makan dan
penumpukan lemak pada jaringan adiposa dalam tubuh. Penderita diabetes
(baik tipe I maupun tipe II) dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan yang
mengandung IG rendah sehingga membantu kontrol kadar gula darah dalam
tubuh. Konsumsi makanan yang memiliki IG rendah akan meningkatkan
sensitivitas produksi insulin dalam pankreas (Ragnhild et al., 2004) .
20
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah ubi jalar,
minyak goreng, tepung terigu, garam, gula, baking powder, pelembut adonan
(bakerine plus), bawang merah, daun seledri, kelapa parut, margarin, ragi,
telur, air destilata, K2SO4, HgO, H2SO4, NaOH-Na2S2O3, H3BO3, indikator
merah metil dan biru metil, HCl, pelarut dietil/petroleum eter, NaOH, alkohol
95%, buffer Na-Fosfat 0.05 M, asam asetat 1 N, larutan iod, enzim α-amilase,
pereaksi dinitrosalisilat, larutan maltosa standar, buffer Na-Fosfat 0.1 M,
suspensi enzim termamil, suspensi enzim pankreatin, aseton, dan etanol 78%.
Alat-alat yang dibutuhkan antara lain alat penggorengan, termometer
suhu tinggi, mortar, penggiling mie, slicer, oven, disc mill, gelas ukur, gelas
piala, pipet ukur, mikro pipet, sentrifus, corong, buchner, kertas saring, pisau,
desikator, cawan alumunium, cawan porselin, tanur, labu Kjeldahl, alat
destilasi, buret, ekstraktor Soxhlet, labu lemak, labu takar, kapas bebas lemak,
erlenmeyer, neraca analitik, hot plate, inkubator, spektrofotometer, tabung
reaksi, kromameter, mesin amilograf, dan texture analyzer.
B. METODE PENELITIAN
1. Persiapan Bahan
Bahan baku utama dalam pembuatan produk olahan ubi jalar
adalah tepung ubi jalar. Ubi jalar mentah terlebih dahulu diolah menjadi
tepung ubi jalar. Diagram pembuatan tepung ubi jalar dapat dilihat pada
Gambar 3.
21
Ubi jalar mentah ↓
Dicuci dengan air ↓
Dikupas ↓
Disawut ↓
Direndam dalam larutan sodium metabisulfit 0.3%
selama satu jam ↓
Dikeringkan dengan oven
pada suhu 60-70oC hingga kadar air 12 - 14 % ↓
Digiling dengan disc mil ↓
Diayak (80 mesh) ↓
Tepung ubi jalar
Gambar 3. Diagram Proses Pembuatan Tepung Ubi Jalar
2. Analisis Karakterisasi Bahan Baku
Analisis yang dilakukan pada bahan baku meliputi analisis sifat
fisik dan komposisi kimia tepung ubi jalar. Analisis sifat fisik tepung ubi
jalar meliputi : berat yang dapat dimakan (BDD), rendemen, densitas
kamba, densitas padat, kelarutan dalam air, warna, aw, dan amilograf.
Analisis komposisi kimia tepung ubi jalar meliputi : kadar air, abu,
protein, lemak, dan karbohidrat.
3. Pembuatan Produk Olahan Goreng Tepung Ubi Jalar
a. Rancangan Percobaan
Penentuan formula produk terbaik dalam penelitian ini
menggunakan rancangan percobaan acak lengkap (RAL) faktorial,
dengan dua faktor pada masing-masing jenis produk..
22
Kue biji ketapang
Faktor I : persentase tepung ubi jalar (T) terhadap total tepung,
yaitu sebesar 50%, 60%, dan 70%
Faktor II : persentase gula (G) terhadap total tepung, yaitu sebesar
30%, dan 40%.
Donat
Faktor I : persentase tepung ubi jalar (T) terhadap total tepung,
yaitu sebesar 20%, 30%, dan 40%
Faktor II : persentase gula (G) terhadap total tepung, yaitu sebesar
8%, dan 16%
Kue bawang
Faktor I : persentase tepung ubi jalar (T) terhadap total tepung,
yaitu sebesar 30%, 40%, dan 50%
Faktor II : persentase margarin (G) terhadap total tepung, yaitu
sebesar 0%, dan 10%
Model matematis untuk rancangan percobaan acak lengkap
dengan 2 faktor sebagai berikut:
Dimana:
Yijk : variabel respon karena kombinasi perlakuan T ke i, G ke j dan
ulangan ke-k (k = 1, 2)
μ : pengaruh rata-rata umum
Ti : pengaruh faktor T pada taraf ke-i (i = 1, 2)
Gj : pengaruh faktor G pada taraf ke-j (j = 1, 2)
(TG)ij : pengaruh interaksi antara taraf ke-i faktor T dengan taraf ke-j
faktor G
Σijk : pengaruh kesalahan (galat) percobaan pada ulangan ke-k (k =
1, 2)
Yijk = μ + Ti + Gj + (TG)ij + Σijk
23
b. Produk Olahan Goreng Tepung Ubi Jalar
Formulasi kue biji ketapang, donat, dan kue bawang ubi jalar
dilakukan secara trial and error untuk menentukan formulasi yang
secara organoleptik cukup disukai. Masing-masing jenis produk olahan
goreng berbahan dasar tepung ubi jalar tersebut dibuat dalam enam
formula. Formulasi produk dapat dilihat pada Tabel 4 sampai dengan
Tabel 6. Diagram alir pembuatan produk dapat dilihat pada Gambar 4
sampai dengan Gambar 6.
Tabel 4. Formulasi Kue Biji Ketapang Ubi Jalar
Bahan (%) Formulasi Kue Biji Ketapang
F1 F2 F3 F4 F5 F6
Terigu 50 50 40 40 30 30
Tepung ubi jalar 50 50 60 60 70 70
Gula 30 40 30 40 30 40
Kelapa parut 16 16 16 16 16 16
Telur 42.4 42.4 42.4 42.4 42.4 42.4
Tabel 5. Formulasi Donat Ubi Jalar
Bahan (%) Formulasi Donat
F1 F2 F3 F4 F5 F6
Terigu 80 80 70 70 60 60
Tepung ubi jalar 20 20 30 30 40 40
Gula 8 16 8 16 8 16
Margarin 20 20 20 20 20 20
Kuning telur 5.2 5.2 5.2 5.2 5.2 5.2
Ragi 2.4 2.4 2.4 2.4 2.4 2.4
Baking powder 0.64 0.64 0.64 0.64 0.64 0.64
Bahan pelembut 1.28 1.28 1.28 1.28 1.28 1.28
24
Dibentuk bulat panjang
Tabel 6. Formulasi Kue Bawang Ubi Jalar
Bahan (%) Formulasi Kue Bawang
F1 F2 F3 F4 F5 F6
Terigu 70 70 60 60 50 50
Tepung ubi jalar 30 30 40 40 50 50
Margarin 0 10 0 10 0 10
Garam 2 2 2 2 2 2
Bawang merah 27 27 27 27 27 27
Daun seledri 3 3 3 3 3 3
Gambar 4. Diagram Alir Pembuatan Kue Biji Ketapang Ubi jalar
Tepung terigu
Tepung ubi jalar
Kelapa parut
Disangrai
Ditumbuk
Gula, dan telur
Dicampur hingga homogen
Dicampur hingga kalis
Dipotong dengan tebal 0.5 cm dan panjang 3 cm
Digoreng
Dicampur
Air
25
Gambar 5. Diagram Alir Pembuatan Donat Ubi Jalar
Tepung terigu, tepung ubi jalar, gula, ragi, margarin,
bahan pelembut, baking powder, dan telur
Dicampur hingga kalis
Didiamkan selama 20 menit
Dibentuk bulat-bulat dengan berat 55 gram
Didiamkan selama 10 menit
Digoreng
Dicampur hingga homogen
Air
Dicampur hingga kalis
26
Gambar 6. Diagram Alir Pembuatan Kue Bawang Ubi Jalar
4. Uji Organoleptik
Pemilihan produk dilakukan dengan uji organoleptik hedonik
rating dan ranking terhadap sifat keseluruhan (overall). Formulasi terbaik
ditunjukkan oleh penerimaan panelis uji organoleptik.
5. Analisis Karakterisasi Produk Olahan Goreng Terpilih
Kue biji ketapang, donat, dan kue bawang dengan formulasi
terpilih yang didapatkan dari hasil uji organoleptik selanjutnya dianalisis.
Analisis yang dilakukan meliputi analisis fisik, kimia, dan indeks
glikemik. Analisis fisik produk meliputi rendemen dan tekstur. Analisis
sifat kimia produk meliputi komposisi proksimat, kadar serat pangan, daya
cerna pati, dan kadar amilosa. Analisis indeks glikemik dilakukan terhadap
dua jenis produk olahan goreng yang kemungkinan memiliki indeks
glikemik terendah dilihat dari hasil analisis kimia produk.
Bawang merah dan garam
Dihaluskan
Tepung terigu, tepung ubi jalar, margarin, dan daun seledri
Dicampur
Dicampur
Dipipihkan dengan mesin pembuat mie
Dicetak
Dipotong dengan panjang 5 cm
Digoreng
Air
Dicampur hingga kalis
27
C. PROSEDUR ANALISIS
1. Analisis Sifat Fisik
a. Berat yang dapat dimakan (BDD)
Berat yang dapat dimakan dari ubi jalar dihitung berdasarkan
perbandingan berat umbi segar tanpa kulit terhadap berat umbi segar
dengan kulit yang dinyatakan dalam persen. Perhitungan berat yang
dapat dimakan dihitung dengan menggunakan rumus :
Keterangan :
a = berat umbi ubi jalar segar tanpa kulit (g)
b = berat umbi ubi jalar segar dengan kulit (g)
b. Rendemen
Rendemen tepung ubi jalar dihitung berdasarkan perbandingan
berat tepung yang diperoleh terhadap berat umbi segar tanpa kulit yang
dinyatakan dalam persen. Perhitungan rendemen dihitung dengan
menggunakan rumus :
Keterangan :
a = berat tepung yang diperoleh (g)
b = berat umbi ubi jalar segar tanpa kulit (g)
Pengukuran rendemen produk dihitung berdasarkan berat
adonan. Rendemen produk olahan goreng dapat dihitung menggunakan
rumus sebagai berikut :
Keterangan:
a = berat produk olahan goreng (g)
b = berat adonan basah (g)
Berat dapat dimakan (%) = %100ba×
Rendemen tepung (%) = %100ba×
Rendemen produk olahan goreng (%) %100ba×=
28
c. Densitas kamba (Khalil, 1999)
Densitas kamba diukur dengan cara memasukkan tepung ke
dalam gelas ukur sampai volume tertentu tanpa dipadatkan, kemudian
berat tepung ditimbang. Densitas kamba dihitung dengan cara
membagi berat tepung dengan volume ruang yang ditempati. Densitas
kamba dinyatakan dalam satuan kg/m3 atau g/ml.
d. Densitas padat (Khalil, 1999)
Densitas padat diukur dengan cara memasukkan tepung ke
dalam gelas ukur dan dipadatkan sampai volumenya konstan,
kemudian berat tepung ditimbang. Densitas padat dihitung dengan
cara membagi berat tepung dengan volume ruang yang ditempati.
Densitas kamba dinyatakan dalam satuan kg/m3 atau g/ml.
e. Kelarutan dalam air (Sathe dan Salunkhe, 1981 dalam Muchtadi
dan Sumartha, 1992)
Sejumlah 0.75 gram sampel dilarutkan dalam 150 ml air,
kemudian disaring menggunakan corong buchner. Sebelumnya kertas
saring dikeringkan terlebih dahulu dalam oven 100ºC selama 30 menit
dan ditimbang (berat sudah diketahui). Kertas saring dan endapan
yang tertinggal pada kertas saring dikeringkan dalam oven 100ºC
selama 3 jam (sampai mencapai berat yang konstan), didinginkan
dalam desikator, dan ditimbang.
Keterangan:
a = berat kering sampel (gram)
b = berat endapan dan kertas saring (gram)
c = berat kertas saring (gram)
f. Warna, metode Hunter (Hutching, 1999 dalam Djuanda, 2003)
Pengukuran untuk warna tepung dilakukan dengan
menggunakan alat chromameter “Minolta CR-200”. Warna tepung
Kelarutan (%) = %100a
c) - (b - a×
29
dibaca dengan detektor digital lalu angka hasil pengukuran akan
terbaca pada layar. Pada alat ini yang terukur adalah nilai-nilai L, a, b,
dan hº (hue).
Keterangan:
L = nilai yang menunjukkan kecerahan, berkisar antara 0-100
a = merupakan warna campuran merah-hijau
a positif (+) antara 0-100 untuk warna merah
a negatif (-) antara 0-(-80) untuk warna hijau
b = merupakan warna campuran biru-kuning
b positif (+) antara 0-70 untuk warna kuning
b negatif (-) antara 0-(-80) untuk warna biru
hº (hue) = parameter untuk kisaran warna (Tabel 7)
Tabel 7. Parameter warna berdasarkan nilai hº (hue) Warna Nilai hº (hue)
Red purple 342 – 18 Red 18 – 54 Yellow red 54 – 90 Yellow 90 – 126 Yellow green 126 – 162 Green 162 – 198 Blue green 198 – 234 Blue 234 – 270 Blue purple 270 – 306 Purple 306 – 342
g. Aktivitas air
Pengukuran aktivitas air (aw) dilakukan dengan menggunakan
alat aw meter ”Shibaura aw meter WA-360”. Alat dikalibrasi dengan
NaCl jenuh yang memiliki nilai aw 0.7547; 0.7529; dan 0.7509 yang
berturut-turut pada suhu 20, 25 dan 290C dengan cara memasukkan
NaCl jenuh tersebut dalam wadah aw meter. Nilai aw dapat dibaca
setelah ada tulisan “completed” di layar.Bila aw yang terbaca tidak
tepat 0.750 maka bagian switch diputar sampai mencapai tepat 0.750.
Pengukuran aw sampel dilakukan dengan cara yang sama dengan
30
kalibrasi alat yaitu sampel dimasukkan dalam wadah aw meter. Nilai aw
dan suhu pengukuran akan terbaca setelah ada tulisan “completed” di
layar.
h. Amilograf
Uji amilograf bertujuan untuk mengetahui suhu gelatinisasi
tepung ubi jalar. Sebanyak 45 gram sampel ditimbang dan dilarutkan
dengan 450 ml air destilata, kemudian dimasukkan ke dalam bowl.
Lengan sensor dipasang dan dimasukkan ke dalam bowl dengan cara
menurunkan head amilograf. Suhu awal termoregulator diatur pada
suhu 20°C atau 25°C. Switch pengatur diletakkan pada posisi bawah
sehingga jika mesin dihidupkan suhu akan meningkat 1.5°C setiap
menit.
Mesin amilograf dihidupkan. Begitu suspensi mencapai suhu
30°C, pena pencatat diatur pada skala kertas amilogram. Setelah pasta
mencapai suhu 95°C, mesin dimatikan. Parameter analisis amilograf
terdiri dari:
1. Suhu awal gelatinisasi, yaitu suhu pada saat kurva mulai naik
2. Suhu pada puncak gelatinisasi, yaitu suhu pada saat nilai
maksimum viskositas dapat dicapai
3. Viskositas maksimum pada puncak gelatinisasi dinyatakan
dalam Brabender Unit
i. Tekstur (kekerasan dan kerenyahan)
Pengukuran tekstur kue bawang, kue biji ketapang, dan donat
dilakukan dengan menggunakan alat texture analyzer TAXT-2. Alat
dihidupkan lalu sampel diletakkan pada tempat yang telah disediakan
dan diukur teksturnya. Produk akan mendapat tekanan dari alat yang
bergerak. Besar kecilnya tekanan akan masuk ke dalam amplifier yang
ada di dalam recorder dan keluarannya berupa grafik. Kekerasan
dinyatakan sebagai kg gaya dari puncak tertinggi pada saat kurva
mulai menaik yang dinyatakan sebagai titik nol. Kekerasan dinyatakan
dalam satuan gram force (gf)
31
2. Analisa Sifat Kimia
a. Analisa Kadar Air, Metode Oven (AOAC, 1995)
Sejumlah sampel (kurang lebih 5 gram) dimasukkan ke dalam
cawan yang telah diketahui beratnya. Kemudian cawan dimasukkan ke
dalam oven bersuhu 100oC hingga diperoleh berat yang konstan.
Perhitungan kadar air dilakukan dengan menggunakan rumus :
b. Analisa Kadar Abu, Metode Oven (AOAC, 1995)
Cawan porselin dikeringkan dalam tanur bersuhu 400-600oC,
kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sebanyak 3-5
gram sampel ditimbang dan dimasukkan ke dalam cawan porselin.
Selanjutnya sampel dipijarkan di atas nyala pembakar bunsen sampai
tidak berasap lagi, kemudian dilakukan pengabuan di dalam tanur
listrik pada suhu 400-600oC selama 4-6 jam atau sampai terbentuk abu
berwarna putih. Kemudian sampel didinginkan dalam desikator dan
selanjutnya ditimbang. Perhitungan kadar abu menggunakan rumus :
c. Analisa Kadar Lemak, Metode Soxhlet (AOAC, 1995)
Labu lemak yang akan digunakan dikeringkan dalam oven
bersuhu 100-110oC, didinginkan, dalam desikator dan ditimbang.
Sampel dalam bentuk tepung ditimbang sebanyak 5 gram dibungkus
dengan kertas saring dan dimasukkan ke dalam alat ekstraksi (soxhlet),
yang telah berisi pelarut (dietil eter atau heksana).
Refluks dilakukan selama 5 jam (minimum) dan pelarut yang
ada di dalam labu lemak didistilasi. Selanjutnya labu lemak yang berisi
lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 1000C hingga
Kadar air (% bb) = (berat awal – berat akhir) x 100 % berat awal
Kadar abu (% bb) = berat abu (gram) x 100 % berat sampel (gram)
32
beratnya konstan, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang.
Perhitungan kadar lemak dilakukan dengan menggunakan rumus :
d. Analisa Kadar Protein, Metode Mikro-Kjeldahl (AOAC, 1995)
Sejumlah kecil sampel (kira-kira membutuhkan 3-10 ml HCl
0.01 N atau 0.02 N) yaitu sekitar 0.1 gram ditimbang dan diletakkan ke
dalam labu Kjeldahl 30 ml. Kemudian ditambahkan 1.9 gram K2SO4,
40 mg HgO, dan 2 ml H2SO4.
Sampel didinginkan dan ditambah sejumlah kecil air secara
perlahan-lahan, kemudian didinginkan kembali. Isi tabung dipindahkan
ke alat destilasi dan labu dibilas 5-6 kali dedngan 1-2 ml air. Air
cucian dipindahkan ke labu distilasi. Erlenmeyer berisi 5 ml larutan
H3BO3 dan 2 tetes indikator (campuran 2 bagian merah metil
0.2%dalam alkohol dan 1 bagian metilen blue 0.2% dalam alkohol)
diletakkan di bawah kondensor. Ujung tabung kondensor harus
terendam di bawah larutan H3BO3. Ditambah larutan NaOH-Na2S2O3
sebanyak 8-10 ml, kemudian didestilasi dalam erlenmeyer. Tabung
kondensor dibilas dengan air dan bilasannya ditampung dalam
erlenmeyer yang sama. Isi erlenmeyer diencerkan sampai kira-kira 50
ml, kemudian dititrasi dengan HCl 0.02 N sampai terjadi perubahan
warna. Penetapan untuk blanko juga dilakukan dengan cara yang sama.
Perhitungan kadar protein dilakukan dengan menggunakan rumus :
Kadar lemak (% bb) = berat lemak (gram) x 100 % berat sampel (gram)
Kadar N (%) = (ml HCl – ml blanko) x N x 14.007 x 100 mg sampel
Kadar protein (% bb) = % N x faktor konversi (6.25)
33
e. Kadar Karbohidrat by diffeerence (AOAC, 1995)
Keterangan :
f. Analisis nilai energi (Almatsier, 2001)
Penentuan nilai energi makanan melalui perhitungan dapat
dilakukan menurut komposisi karbohidrat, lemak, protein, serta nilai
energi makanan tersebut.
g. Kadar total serat pangan (Asp et al., 1983)
Sebanyak 1 gram sampel diekstrak lemaknya lalu dimasukkan
ke dalam erlenmeyer, ditambahkan 25 ml larutan buffer Na-fosfat 0.1
M pH 6 dan dibuat menjadi suspensi kemudian aduk. Selanjutnya
ditambahkan 0.1 ml enzim termamil, tutup erlenmeyer dengan
aluminium foil, dan diinkubasi dalam penangas air bersuhu 100°C
selama 15 menit sambil sesekali diaduk.
Sampel diangkat dan didinginkan lalu ditambahkan 20 ml air
destilata dan pH diatur menjadi 1.5 dengan menggunakan HCl 4 M.
Selanjutnya ditambahkan 100 g enzim pepsin, tutup erlenmeyer dan
diinkubasi dalam penangas air bergoyang bersuhu 40°C selama 60
menit. Selanjutnya ditambahkan 20 ml air destilata dan pH diatur
menjadi 6.8 dengan menggunakan NaOH kemudian ditambahkan 100
mg enzim pankreatin ditambahkan, tutup erlenmeyer dan diinkubasi
dalam penangas air bergoyang bersuhu 40°C selama 60 menit. Atur
pH menjadi 4.5 dengan menggunakan HCl. Larutan sampel disaring
P = kadar protein (%)
KA = kadar air (%)
A = kadar abu (%)
L = kadar lemak (%)
Kadar karbohidrat (%) = 100% - (P + KA + A + L)
Energi = (4 kkal/g x kadar karbohidrat) + (4 kkal/g x kadar protein )
+ (9 kkal/g x kadar lemak)
34
melalui crucible kering yang telah ditimbang beratnya (porositas 2)
dan ditambahkan 0.5 gram celite kering (berat tepat diketahui). Pada
penyaringan dilakukan pencucian dengan 2 x 10 ml air destilata.
1. Residu (serat tidak larut)
Cuci dengan 2x 10 ml etanol 95% dan 2x 10 ml aseton.
Keringkan pada suhu 1050C sampai mencapai berat konstan
(semalam). Timbang setelah didinginkan dalam desikator (D1).
Abukan pada suhu 5500C selama 5 jam. Timbang setelah
didinginkan dalam desikator (I1).
2. Filtrat (serat larut)
Atur volume filtrat menjadi 100 ml. Tambahkan 400 ml etanol
95% hangat (600C). Biarkan mengendap selama 1 jam. Saring
dengan crucible kering yang telah ditimbang beratnya (porositas 2)
dan ditambahkan 0.5 gram celite kering (berat tepat diketahui).
Cuci dengan 2x 10 ml etanol 78%, 2x 10 ml etanol 95% dan 2x 10
ml aseton. Keringkan pada suhu 1050C sampai mencapai berat
konstan (semalam). Timbang setelah didinginkan dalam desikator
(D2). Abukan pada suhu 5500C selama 5 jam. Timbang setelah
didinginkan dalam desikator (I2).
3. Blanko
Blanko untuk serat tidak larut dan serat larut diperoleh
dengan cara seperti prosedur untuk sampel tetapi tanpa sampel (B1
dan B2).
Perhitungan:
% serat tidak larut (IDF) = (D1-I1- B1) x 100% Berat sampel
% serat larut (SDF) = (D2-I2- B2) x 100% Berat sampel
% total serat (TDF) = (SDF+IDF) (%) Keterangan:
D = Berat setelah pengeringan (g)
I = Berat setelah pengabuan (g)
B = Berat blanko bebas abu (g) = (D-I)blanko
35
h. Daya cerna pati in vitro (Muchtadi et al., 1992 yang dimodifikasi)
Enzim α-amilase dilarutkan di dalam buffer Na-Fosfat 0.05 M.
Pereaksi dinitrosalisilat dibuat dengan melarutkan 1 gram 3,5-
dinitrosalisilat, 30 gram Na-K tartarat dan 1,6 gram NaOH dalam 100
ml aquades. Larutan maltosa standar yang digunakan adalah 0-10 mg
masing-masing dalam 10 ml aquades.
Sampel tanpa lemak dibuat suspensi dalam aquades (1%),
kemudian dipanaskan dalam penangas air selama 30 menit pada suhu
90°C kemudian didinginkan. Sebanyak 2 ml sampel dalam tabung
ditambahkan 3 ml aquades dan 5 ml buffer Na-Fosfat 0.1 M. Lalu
diinkubasikan pada suhu 37°C selama 15 menit. Selanjutnya
ditambahkan larutan enzim amilase dan diinkubasi lagi pada suhu
37°C selama 30 menit.
Sebanyak 1 ml sampel dipipet ke dalam tabung reaksi lain,
ditambah 2 ml pereaksi dinitrosalisilat. Lalu dipanaskan pada suhu
100°C selama 10 menit. Warna merah oranye yang tebentuk diukur
absorbansinya pada panjang gelombang 520 nm. Kadar maltosa
campuran reaksi dihitung dengan menggunakan kurva standar maltosa
murni yang diperoleh dengan mereaksikan larutan maltosa standar
dengan pereaksi dinitrosalisilat menggunakan prosedur seperti di atas.
Blanko dibuat untuk menghitung kadar maltosa awal (bukan
hasil hidrolisis enzim). Prosedur pembuatan blanko sama seperti
prosedur untuk sampel hanya saja tanpa sampel dan tidak ditambahkan
larutan enzim α-amilase. Sebagai gantinya untuk blanko diganti buffer
Na-fosfat 0.1M pH 7. Daya cerna pati dihitung sebagai berikut:
Keterangan:
a = kadar maltosa sampel
b = kadar maltosa blanko sampel
c = kadar maltosa pati murni
d = kadar maltosa blanko pati murni
Daya cerna pati (%) = a - b 100%c - d
×
36
i. Kadar amilosa (Metode IRRI, 1964 yang dimodifikasi)
Pembuatan kurva standar
Amilosa murni ditimbang sebanyak 40 mg, dimasukkan ke
dalam labu takar 100 ml, dan ditambahkan dengan 1ml etanol dan 9 ml
NaOH 1 N. Larutan standar didiamkan selama 24 jam dan ditepatkan
sampai tanda tera dengan akuades. Selanjutnya larutan tersebut dipipet
masing-masing sebanyak 1, 2, 3, 4, dan 5 ml lalu dimasukkan ke dalam
labu takar 100 ml. Ke dalam masing-masing labu takar tersebut
ditambahkan asam asetat 1 N sebanyak masing-masing 0.2; 0.4; 0.6;
0.8 dan 1 ml, lalu ditambahkan larutan iod sebanyak 2 ml. Setelah itu,
larutan ditepatkan sampai tanda tera dengan akuades, dikocok, lalu
didiamkan selama 20 menit, dan diukur intensitas warna yang
terbentuk dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 620 nm.
Penetapan sampel
Sejumlah 100 mg sampel dimasukkan ke dalam labu takar 100
ml, dan ditambahkan 1 ml etanol dan 9 ml NaOH 1 N. Setelah itu,
larutan sampel didiamkan selama 24 jam dan ditepatkan sampai tanda
tera dengan akuades. Pipet 5 ml larutan tersebut, lalu dimasukkan ke
dalam labu takar 100 ml, dan ditambahkan 1 ml asam asetat 1 N dan 2
ml larutan iod. Setelah itu, larutan ditepatkan sampai tanda tera dengan
akuades, dikocok, lalu didiamkan selama 20 menit, dan diukur
intensitas warna yang terbentuk dengan spektrofotometer pada panjang
gelombang 620 nm. Kadar amilosa dapat dihitung dengan rumus:
3. Uji Organoleptik (Soekarto, 1990)
Pengujian organoleptik yang dilakukan adalah berupa pengujian
kesukaan inderawi terhadap produk olahan panggang. Pengujian meliputi
uji hedonik untuk mengetahui tingkat kesukaan produk dan uji ranking
untuk mengetahui formulasi yang paling disukai. Skor penilaian yang
digunakan dalam uji hedonik ada 7 tingkat, yaitu 7 = sangat suka, 6 =
Kadar amilosa (%) (g) sampelberat
0,2slope
absorban×=
37
suka, 5 = agak suka, 4 = netral, 3 = agak tidak suka, 2 = tidak suka, 1 =
sangat tidak suka. Pada uji ranking, ranking 1 menunjukkan produk yang
paling disukai. Penilaian dilakukan oleh 30 orang panelis tidak terlatih.
Produk yang diujikan adalah produk olahan goreng (kue biji
ketapang, donat, dan kue bawang). Untuk mengetahui pengaruh perlakuan
terhadap tingkat kesukaan panelis maka dilakukan analisis sidik ragam
terhadap data hasil uji organoleptik. Hasil uji hedonik akan dianalisis
dengan analisis sidik ragam (ANOVA), dan dilanjutkan dengan uji
Duncan, sedangkan hasil uji rangking akan dianalisis dengan uji
Friedman.
4. Analisis Indeks Glikemik (Miller et al., 1996 yang dikutip Rimbawan
dan Siagian, 2004)
Setiap porsi sampel yang akan ditentukan IG-nya (mengandung 50
g karbohidrat) diberikan kepada panelis yang telah menjalani puasa penuh
(kecuali air) selama semalam (sekitar pukul 20.00 sampai pukul 08.00 pagi
besoknya). Panelis yang digunakan ialah individu sehat, tidak menderita
diabetes, dan memiliki IMT dengan kisaran normal (18-25).
Panelis yang digunakan berjumlah 16 orang (8 pria dan 8 wanita).
Selanjutnya panelis dibagi menjadi dua grup masing-masing 8 orang (4
pria dan 4 wanita) untuk menguji kedua sampel yang berbeda sehingga
masing-masing grup mempunyai standar glukosa sendiri. Selama dua jam
pasca-pemberian, sampel darah sebanyak 50 μL (finger-prick cappillary
blood samples method) diambil setiap 30 menit selama 2 jam untuk diukur
kadar glukosanya (pengukuran menit ke-0, ke-30, ke-60, ke-90 dan ke-
120). Pada waktu berlainan, hal yang sama dilakukan dengan memberikan
50 g glukosa murni (sebagai pangan acuan) kepada panelis.
Kadar gula darah (pada setiap waktu pengambilan sampel) ditebar
pada dua sumbu, yaitu sumbu waktu (X) dan sumbu kadar gula darah (Y).
Indeks glikemik ditentukan dengan membandingkan luas daerah di bawah
kurva antara pangan yang diukur IG-nya dengan pangan acuan (glukosa
murni).
38
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. TEPUNG UBI JALAR
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah ubi jalar klon
unggul BB00105.10 yang diperoleh dari Kebun Percobaan Muara, Bogor.
Tanaman ubi jalar dan umbi ubi jalar klon unggul BB00105.10 dapat dilihat
pada Gambar 7. Ubi jalar memiliki karakteristik yaitu kulit berwarna merah
berbintik, daging berwarna jingga tua, berbentuk lonjong, dan memiliki berat
± 350 gram. Pemanenan ubi jalar dilakukan setelah ubi berumur lebih dari tiga
bulan dan siap panen.
(a) (b)
Gambar 7. (a) Tanaman Ubi Jalar; (b) Umbi Ubi Jalar Klon BB00105.10
Tanaman ubi jalar yang telah panen dibuat tepung. Proses pembuatan
tepung diawali dengan pembersihan. Proses pembersihan merupakan unit
operasi di mana bagian yang dapat mengkontaminasi dibuang atau dipisahkan
sehingga bahan pangan dapat diolah lebih lanjut. Proses pembersihan
sebaiknya dilakukan di awal proses (Fellows, 2000). Proses pembersihan
meliputi pengupasan dan pencucian ubi jalar. Ubi yang telah dikupas,
langsung direndam dalam air agar tidak terjadi pencoklatan (browning).
Pencoklatan yang terjadi merupakan pencoklatan enzimatis karena adanya
enzim fenolase dari getah umbi yang banyak terdapat pada kulit yang
menyebabkan pencoklatan pada umbi jika ada luka (William et al., 1982).
Ubi yang telah dibersihkan, selanjutnya disawut (diiris tipis-tipis)
dengan slicer dan direndam dalam larutan sodium metabisulfit 0.3% selama
39
satu jam. Tujuan perendaman adalah menghambat reaksi browning enzimatis,
sehingga warna sawut dan tepung tetap cerah dan sesuai dengan warna bahan
baku. Sebelum dikeringkan dengan oven, sawut yang sudah direndam harus
ditiriskan dengan mesin peniris. Penirisan bertujuan untuk mengurangi kadar
air sehingga pengeringan dengan oven berlangsung lebih cepat. Selain itu,
penirisan juga dapat mengurangi kadar senyawa fenol (Suismono, 2001).
Pengeringan sawut menggunakan oven, suhu 60-70˚C selama + 8 jam
hingga kadar air mencapai 12 - 14%. Sawut yang telah dikeringkan dengan
oven dapat dilihat pada Gambar 8 (a). Sebelum digiling menjadi tepung, sawut
kering dikemas dalam kantong plastik dan dikelim (seal) agar sawut kering
tidak menyerap air dari udara sekitar. Penepungan dilakukan dengan
menggunakan disc mill. Tepung ubi jalar klon BB00105.10 dapat dilihat pada
Gambar 8 (b).
Mutu sawut kering, dan tepung dipengaruhi oleh beberapa hal, antara
lain kadar air, dan keberadaaan senyawa phenol pada sawut kering dan tepung.
Untuk menyeragamkan dan mempertahankan mutu tepung, tepung yang sudah
dihasilkan, selanjutnya diayak dengan ayakan berukuran 80 mesh, dan
disimpan dalam kantong plastik, dan dikelim (seal). Peralatan yang digunakan
dalam pembuatan tepung ubi jalar dapat dilihat pada Gambar 9.
(a) (b)
Gambar 8. (a) Sawut Kering; (b) Tepung Ubi Jalar Klon BB00105.10
40
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 9. Peralatan dalam Pembuatan Tepung Ubi Jalar: (a) Mesin Penyawut; (b) Mesin Peniris; (c) Oven Pengering; (d) Mesin Penepung
B. KARAKTERISTIK FISIKO-KIMIA BAHAN BAKU Karakteristik Fisik Bahan Baku
Analisis sifat fisik yang dilakukan pada tepung ubi jalar adalah berat
dapat dimakan, rendemen, densitas kamba, densitas padat, kelarutan dalam air,
warna, aw, dan amilograf tepung yang dihasilkan. Hasil analisis sifat fisik
tepung ubi jalar klon BB00105.10 dapat dilihat pada Tabel 8 dan Lampiran 1.
41
Tabel 8. Analisis Fisik Tepung Ubi Jalar Klon BB00105.10 No Jenis analisis Rataan 1 Rendemen tepung (%) 28.46 2 Berat yang dapat dimakan (BDD) (%) 83.74 3 Densitas kamba (g/ml) 0.482 4 Densitas padat (g/ml) 0.647 5 Kelarutan dalam air (%) 19.71
6
Warna : L 63.50 a + 5.50 b + 7.40 ho 53.5
7 Aw 0.350 Suhu (oC) 29.6
8
Suhu awal gelatinisasi (oC) 75.3 Waktu awal gelatinisasi (menit) 30.2 Suhu puncak gelatinisasi (oC) 93.6 Waktu puncak gelatinisasi (menit) 42.4 Viskositas (BU) 535
a. Berat yang dapat dimakan (BDD)
Data berat yang dapat dimakan diperoleh dengan membandingkan
berat umbi ubi jalar segar tanpa kulit terhadap berat umbi segar dengan
kulit yang dinyatakan dalam persen. Berdasarkan hasil analisis, BDD ubi
jalar adalah 83.74%. BDD ubi jalar klon BB00105.10 lebih kecil daripada
BDD ubi jalar menurut Suismono (2001) yaitu 89.96%. Hal ini
kemungkinan terjadi karena BDD ubi jalar yang dilakukan dalam
penelitian ini tidak hanya memperhitungkan jumlah kulit yang terbuang
saat pengupasan, tapi juga memperhitungkan jumlah daging umbi yang
terbuang karena adanya hama (ulat). Ketebalan pengupasan kulit umbi
dapat mempengaruhi nilai BDD.
b. Rendemen
Rendemen tepung ubi jalar dihitung berdasarkan perbandingan
antara bobot tepung dengan bobot ubi jalar tanpa kulit kemudian dikalikan
dengan 100%. Rendemen dapat digunakan sebagai indikasi keefektifan
suatu proses maupun bahan baku yang digunakan. Jika rendemen yang
dihasilkan besar, maka proses pembuatan produk tersebut semakin efisien.
Rendemen tepung ubi jalar klon BB00105.10 adalah 28.46%. Rendemen
42
tepung ubi jalar dalam penelitian ini lebih besar daripada rendemen tepung
ubi jalar menurut Suismono (2001) yaitu 22.55%. Perbedaan nilai
rendemen dapat dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya alat yang
digunakan, sifat bahan penyusun produk tersebut, adanya sawut basah
yang tertinggal di mesin penyawut pada tahap penyawutan, adanya sawut
basah yang tertinggal di mesin peniris pada penirisan, adanya sawut kering
yang tercecer pada saat pengangkatan dari oven pengering, dan banyaknya
tepung yang tertinggal di disc mill pada tahap penepungan.
c. Densitas kamba dan densitas padat
Densitas kamba dan densitas padat merupakan sifat bahan pangan
khusus biji-bijian dan tepung-tepungan, yang penting terutama dalam hal
pengemasan dan penyimpanan. Densitas kamba adalah massa partikel
yang menempati suatu unit volume tertentu tanpa dipadatkan, sedangkan
densitas padat adalah massa partikel yang menempati suatu unit volume
tertentu dengan dipadatkan. Menurut Ainah (2004), densitas kamba dan
densitas padat dipengaruhi oleh ukuran bahan dan kadar air. Ukuran bahan
dari partikel menunjukkan porositas bahan yaitu jumlah rongga diantara
partikel-partikel bahan.
Pengetahuan tentang densitas kamba dan densitas padat diperlukan
dalam hal kebutuhan ruang, baik pada saat penyimpanan maupun
pengangkutan. Bahan dengan densitas kamba dan densitas padat yang
kecil akan membutuhkan tempat yang lebih luas dibandingkan dengan
bahan dengan densitas kamba dan densitas padat yang besar untuk berat
yang sama. Suatu bahan dinyatakan kamba apabila mempunyai densitas
kamba bernilai kecil yang berarti untuk berat yang ringan dibutuhkan
volume (ruang) yang besar. Tepung ubi jalar klon BB00105.10 memiliki
densitas kamba sebesar 0.482 g/ml, dan densitas padat sebesar 0.647 g/ml.
Densitas kamba tepung ubi jalar klon BB00105.10 dengan tepung terigu
tidak jauh berbeda. Menurut Anwar et al. (1993), densitas kamba tepung
terigu adalah 0.48 g/ml, sedangkan menurut Ainah (2004), densitas kamba
terigu Cakra Kembar adalah 0,504 g/ml. Densitas kamba tepung ubi jalar
lebih rendah dibandingkan tepung terigu sehingga tepung ubi jalar
43
membutuhkan ruang lebih besar dibandingkan tepung terigu. Nilai
densitas kamba tepung ubi jalar klon BB00105.10 lebih besar bila
dibandingkan dengan tepung ubi jalar merah varietas Toquicita (0.38 g/ml)
(Anwar et al., 1993).
d. Kelarutan dalam air
Kelarutan dalam air menunjukkan jumlah partikel tepung yang
dapat larut dalam air. Kelarutan dalam air tepung ubi jalar klon
BB00105.10 sebesar 19,71%, lebih rendah dibandingkan tepung ubi jalar
merah varietas Toquicita (30.02%), dan tepung terigu (30.84%) (Anwar et
al., 1993). Rendahnya nilai kelarutan dalam air tepung ubi jalar klon
BB00105.10 dapat disebabkan oleh rendahnya kandungan komponen-
komponen yang bersifat larut air seperti gula, protein dan komponen
lainnya, serta tingginya kandungan komponen yang tidak larut air seperti
serat pangan tidak larut. Kadar serat pangan tidak larut tepung ubi jalar
klon BB00105.10 yaitu 38.56% (bk), sedangkan kadar gulanya sebesar
1.1% (bk) (Astawan dan Widowati, 2006).
e. Warna
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui warna produk secara
obyektif, karena pengujian warna secara subyektif akan menghasilkan data
yang sangat beragam. Warna merupakan unsur yang mempengaruhi
penerimaan konsumen terhadap suatu produk. Pengujian kualitas warna
dengan menggunakan alat Minolta Chromameter CR-200 dengan metode
hunter. Berdasarkan hasil pengukuran diperoleh nilai L, a, b, dan ho.
Berdasarkan hasil analisis, nilai L tepung ubi jalar klon
BB00105.10 yaitu 63.50. Nilai L menunjukkan tingkat kecerahan, dimana
0 menunjukkan warna hitam, dan 100 menunjukkan bahwa warna putih.
Berdasarkan nilai L, tepung ubi jalar klon BB00105.10 cenderung cerah.
Nilai a tepung ubi jalar klon BB00105.10 adalah + 5.50 (warna merah).
Nilai b tepung ubi jalar dalam penelitian ini adalah + 7.40 (warna kuning).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tepung ubi jalar klon
BB00105.10 memiliki sifat berwarna merah dan kuning. Tepung ubi jalar
44
memiliki kisaran ho sebesar 51.3o sampai 55.6o (Lampiran 1), tergolong
yellow red (merah kuning) dan red (merah). Kisaran ho untuk warna
yellow red adalah 54 - 90, dan red adalah 51.3 – 55.6. Warna merah
kuning ini disebabkan oleh kandungan pigmen karotenoid pada tepung ubi
jalar. Beta-karoten merupakan pigmen utama ubi jalar berwarna jingga.
Kandungan beta-karoten tepung ubi jalar kuning dengan pengeringan oven
sebesar 11.32 ppm (Ningrum, 1999).
f. Aktivitas air
Aktivitas air (aw) adalah jumlah air bebas yang dapat digunakan
oleh mikroba untuk pertumbuhannya. Aktivitas air (aw) sangat penting
dalam menentukan umur simpan bahan pangan terutama tepung-tepungan.
Aktivitas air dapat digunakan untuk menjelaskan air yang tidak terikat atau
bebas dalam suatu sistem yang dapat menunjang reaksi biologis dan
kimiawi. Air yang terkandung dalam bahan pangan apabila terikat kuat
dengan komponen bukan air akan lebih sukar digunakan, baik untuk
aktivitas mikrobiologis, maupun aktivitas kimia hidrolitik (Syarief dan
Halid, 1993). Menurut Troller dan Christian (1978), reaksi-reaksi dalam
bahan pangan yang dipengaruhi oleh aw antara lain reaksi pencoklatan,
baik enzimatis maupun non enzimatis, oksidasi lipid, perubahan warna,
dan kualitas nutrisi, serta pertumbuhan mikoba.
Berdasarkan hasil analisis, aktivitas air (aw) tepung ubi jalar klon
BB00105.10 sebesar 0.350 pada suhu 29.6oC (Tabel 8). Nilai aw yang
rendah menunjukkan bahwa air pada tepung ubi jalar termasuk dalam
daerah monolayer. Air pada lapisan monolayer sangat stabil, dan
merupakan bagian dari padatan (Troller dan Christian, 1978). Hal ini
menunjukkan bahwa pada tepung ubi jalar, aktivitas mikroba, reaksi
pencoklatan enzimatis, dan non-enzimatis dapat dikurangi. Namun, tepung
ubi jalar rentan akan terjadinya penyerapan air dari lingkungan (adsorpsi).
g. Amilograf
Pengukuran sifat amilograf tepung ubi jalar menggunakan alat
brabender amylograf, dan didapatkan data suhu dan waktu awal
45
gelatinisasi, suhu dan waktu puncak gelatinisasi, serta viskositas. Suhu
awal gelatinisasi adalah suhu pada saat kurva mulai naik. Suhu awal
gelatinisasi ditentukan berdasarkan perhitungan hasil konversi waktu yang
dibutuhkan pada saat kurva mulai naik dikalikan dengan kenaikan suhu
(1.50C/menit) kemudian ditambahkan dengan suhu awal yang digunakan
pada saat pengukuran. Suhu awal yang digunakan pada saat pengukuran
adalah 300C.
Jika suspensi tepung dengan air tersebut terus dipanaskan setelah
suhu awal gelatinisasinya telah tercapai, viskositas suspensi akan
meningkat. Peningkatan viskositas terjadi karena granula pati
mengembang akibat menyerap air. Fenomena ini disebut pasting.
Pemanasan terus dilanjutkan sampai suhu 95oC, dimana pada suatu titik
akan terjadi penurunan viskositas secara drastis yang disebabkan oleh
lepasnya molekul amilosa dari granula pati. Fenomena ini disebut shear
thinning (Hoseney, 1998). Suhu puncak gelatinisasi adalah suhu dimana
viskositas maksimum dicapai. Suhu puncak gelatinisasi ditentukan
berdasarkan perhitungan hasil konversi waktu yang dibutuhkan pada saat
kenaikan kurva mencapai maksimum dikalikan dengan kenaikan suhu
(1.50C/menit) kemudian ditambahkan dengan suhu awal yang digunakan
pada saat pengukuran. Suhu awal yang digunakan pada saat pengukuran
adalah 300C. Viskositas tepung ubi jalar ditentukan dengan satuan
brabender unit (B.U) pada saat suhu puncak gelatinisasi tercapai.
Viskositas berhubungan langsung dengan suhu gelatinisasi. Semakin
tinggi suhu gelatinisasi maka semakin lambat granula pati mengembang
dan semakin lambat pula waktu viskositas tercapai.
Berdasarkan hasil analisis (Tabel 8 dan Lampiran 1), waktu yang
dibutuhkan untuk mencapai suhu awal gelatinisasi adalah 30.2 menit.
Suhu awal gelatinisasi tepung ubi jalar klon BB00105.10 yaitu 75.3oC.
Suhu puncak gelatinisasi tepung ubi jalar klon BB00105.10 adalah 93.6ºC.
Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai puncak gelatinisasi adalah 42.4
menit. Viskositas tepung ubi jalar klon BB00105.10 adalah 535 BU. Hasil
analisis amilograf dapat dilihat pada Lampiran 2.
46
Hasil analisis amilograf tepung ubi jalar klon BB00105.10 tidak
jauh berbeda dengan analisis amilograf menurut Suismono (2001),
Perbandingan hasil analisis amilograf tepung ubi jalar klon BB0105.10
dan tepung ubi jalar menurut Suismono (2001) dapat dilihat pada Tabel 9.
Viskositas tepung ubi jalar dalam penelitian ini lebih tinggi dibandingkan
viskositas tepung ubi jalar menurut Suismono (2001). Hal ini mungkin
terjadi karena kadar amilosa tepung ubi jalar klon BB00105.10 lebih
tinggi. Semakin tinggi kandungan amilosa, maka viskositas pada saat
terjadi gelatinisasi akan lebih tinggi. Kadar amilosa tepung ubi jalar klon
BB00105.10 adalah 24.94% (Astawan dan Widowati, 2006).
Suhu awal gelatinisasi tepung ubi jalar klon BB00105.10 sedikit
lebih tinggi dibandingkan suhu awal gelatinisasi tepung ubi jalar menurut
Suismono (2001). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh lebih tingginya
kadar gula pada tepung ubi jalar klon BB00105.10. Tingginya kadar gula
diduga dapat menyebabkan meningkatnya suhu gelatinisasi pati (Anwar et
al., 1993). Keberadaan gula dapat menghalangi pengembangan pati di
dalam air dan memperlambat proses gelatinisasi pati karena gula
berkompetisi dengan pati dalam menyerap air sehingga pati kekurangan air
untuk tergelatinisasi.
Tabel 9. Suhu, Waktu, dan Viskositas Gelatinisasi Tepung Ubi Jalar
Analisis Tepung Ubi Jalar Klon BB00105.10 Suismono (2001)
Suhu awal gelatinisasi (oC) 75.3 75.0 Waktu awal gelatinisasi (menit) 30.2 30 Suhu puncak gelatinisasi (oC) 93.6 64.5 Waktu puncak gelatinisasi (menit) 42.4 43.0 Viskositas (BU) 535 490
Karakteristik Kimia Bahan Baku
Analisis sifat kimia yang dilakukan pada tepung ubi jalar klon
BB00105.10 yaitu analisis kadar air, abu, protein, lemak, dan karbohidrat (by
difference) (Tabel 10 dan Lampiran 1).
47
Tabel 10. Komposisi Kimia Tepung Ubi jalar Klon BB00105.10 Komposisi kimia Kandungan (% bb) Kandungan (% bk)
Air 5.63 - Abu 1.86 1,97 Protein 1.86 1,97 Lemak 0.96 1,02 Karbohidrat 89.80 95,16
a. Kadar Air
Kadar air berkaitan dengan daya tahan produk (Winarno, 1997).
Bahan pangan yang kandungan airnya rendah memiliki umur simpan yang
lebih lama dibandingkan bahan pangan dengan kadar air yang tinggi. Agar
kadar air tepung ubi jalar tidak meningkat, sawut kering dan tepung ubi
jalar disimpan dan dikelim (seal) dalam kantong plastik yang
permeabilitas terhadap udara rendah. Kadar air mempengaruhi mutu
tepung, baik secara kimia maupun mikrobiologi (deMan, 1997).
Berdasarkan hasil analisis, kadar air tepung ubi jalar klon unggul
BB00105.10 yaitu sebesar 5.63% (bb). Kadar air tepung ubi jalar ini lebih
rendah dibandingkan kriteria kadar air yang ditetapkan dalam SNI 01-
3751-1995 untuk tepung terigu, yaitu maksimum 14% (bb) (Indrasti,
2004).
b. Kadar Abu
Kadar abu merupakan unsur mineral sebagai sisa yang tertinggal
setelah bahan dibakar sampai bebas karbon. Mineral terdiri dari kalsium,
natrium, klor, fosfor, belerang, magnesium, dan komponen lain dalam
jumlah kecil (Ainah, 2004). Kadar abu juga dapat diartikan sebagai
komponen yang tidak mudah menguap, tetap tertinggal dalam pembakaran
dan pemijaran senyawa organik (Soebito, 1988). Berdasarkan hasil analisis
(Tabel 10), kadar abu tepung ubi jalar klon unggul BB00105.10 adalah
1.86% (bb). Nilai kadar abu tepung ubi jalar klon BB00105.10 melebihi
kriteria kadar abu SNI untuk tepung-tepungan yaitu 0,6-1,5%. Hal ini
menunjukkan bahwa mineral yang terdapat dalam tepung ubi jalar klon
BB00105.10 cukup tinggi. Mineral-mineral yang terdapat dalam tepung
48
ubi jalar per 100 g bahan adalah kalsium (152 mg), fosfor (150 mg) dan
zat besi (2,4 mg) (Woolfe, 1999).
c. Protein
Protein merupakan zat makanan yang amat penting bagi tubuh
manusia, karena berfungsi sebagai bahan bakar, bahan pembangun, dan
pengatur dalam tubuh (Winarno, 1997). Berdasarkan hasil analisis, kadar
protein tepung ubi jalar klon BB00105.10 adalah 1.86% (bb), atau 1.97%
(bk). Kadar protein tepung ubi jalar lebih rendah dibandingkan kadar
protein tepung terigu. Tepung terigu sedang memiliki kadar protein
sebesar 11% (bb), sedangkan tepung terigu keras memiliki kadar protein
sebesar 13.5% (bb). Kandungan jenis protein yang terdapat pada tepung
ubi jalar berbeda dengan jenis protein yang terdapat pada tepung terigu.
Jenis protein pada terigu didominasi oleh gliadin dan glutenin yang
memungkinkan terigu memiliki kemampuan untuk membentuk gluten.
Tepung ubi jalar tidak memiliki jenis protein ini. Gluten sangat dibutuhkan
terutama untuk membuat produk pangan yang membutuhkan
pengembangan seperti donat. Oleh karena itu, penggantian terigu dengan
tepung ubi jalar sebagai bahan baku suatu produk pangan memiliki
keterbatasan.
d. Lemak
Lemak merupakan salah satu komponen utama dalam bahan
pangan yang dapat menghasilkan energi selain karbohidrat dan protein,
yaitu sebesar 9 kkal per gram. Kadar lemak tepung ubi jalar berhubungan
erat dengan ketahanan produk yang dihasilkan terhadap ketengikan karena
oksidasi lemak. Berdasarkan hasil analisis, kadar lemak tepung ubi jalar
klon BB00105.10 adalah 0.96% (bb) atau 1.02% (bk). Kadar lemak tepung
ubi jalar klon BB00105.10 lebih rendah dari kadar lemak tepung gandum
yaitu sekitar 1-2% (bb) (Ainah, 2004), tetapi lebih tinggi dibandingkan
kadar lemak tepung ubi jalar merah menurut Anwar et al., (1993) yaitu
0.76 % (bk).
49
e. Karbohidrat
Kadar karbohidrat tepung ubi jalar dihitung berdasarkan metode by
difference. Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, kadar karbohidrat
tepung ubi jalar klon BB00105.10 adalah 89.8% (bb) atau 95.16% (bk).
Kadar karbohidrat tepung ubi jalar klon BB00105.10 lebih tinggi
dibandingkan kadar karbohidrat tepung ubi jalar merah menurut Anwar et
al., (1993) yaitu 65.03% (bk), dan kadar karbohidrat terigu yaitu 77.3%
(bb). Kadar karbohidrat yang cukup tinggi pada tepung ubi jalar
menjadikan tepung ubi jalar berpotensi sebagai sumber karbohidrat.
Karbohidrat dalam tepung terdiri dari karbohidrat dalam bentuk gula-gula
sederhana, pentosa, dekstrin, selulosa, dan pati. Rasa manis pada tepung
ubi jalar terutama disebabkan oleh tingginya kandungan karbohidrat yang
terdapat dalam bentuk gula-gula sederhana.
C. PRODUK OLAHAN GORENG UBI JALAR
Produk yang dibuat dalam penelitian ini adalah kue bawang, donat,
dan kue biji ketapang. Ketiga produk tersebut merupakan produk yang diolah
dengan cara digoreng. Formulasi produk dilakukan secara trial and error.
Pada ketiga jenis produk, semakin tinggi tepung ubi jalar yang digunakan,
penambahan air dalam adonan semakin banyak. Hal ini terjadi karena kadar
air tepung ubi jalar lebih rendah dibandingkan kadar air tepung terigu
sehingga air yang dibutuhkan untuk membentuk adonan yang kompak pada
pembuatan produk olahan ubi jalar akan lebih banyak. Kadar air tepung ubi
jalar klon BB00105.10 adalah 5.63% (Tabel 10), sedangkan kadar air tepung
terigu yang ditetapkan dalam SNI 01-3751-1995, yaitu maksimum 14%
(Indrasti, 2004).
Bahan yang diberi perlakuan dalam formulasi kue biji ketapang adalah
tepung dan gula. Tepung ubi jalar yang digunakan dalam formulasi kue biji
ketapang sebesar 50%, 60%, dan 70% dari total tepung. Penggunaan tepung
ubi jalar yang melebihi 70% menyebabkan adonan kurang dapat menyatu
sehingga produk akan hancur saat digoreng. Tepung terigu yang digunakan
dalam pembuatan kue biji ketapang adalah tepung terigu sedang, yaitu terigu
50
‘Segitiga Biru’. Penggunaan tepung terigu jenis sedang akan menghasilkan
produk dengan tekstur yang keras dan penampakan kasar (Matz, 1982). Jika
digunakan tepung terigu jenis lunak yang memiliki kadar protein rendah (8-
10%), tekstur produk menjadi kurang keras. Gula yang ditambahkan dalam
formulasi kue biji ketapang sebesar 30% dan 40% dari total tepung.
Penggunaan gula di bawah 30% menyebabkan kue biji ketapang menjadi
kurang manis.
Bahan yang diberi perlakuan dalam formulasi donat adalah tepung dan
gula. Tepung ubi jalar yang digunakan dalam formulasi donat adalah 20%,
30%, dan 40% dari total tepung. Tepung terigu yang digunakan dalam
pembuatan donat adalah tepung terigu ‘Cakra Kembar’ karena terigu ‘Cakra
Kembar’ merupakan jenis terigu keras yang memiliki kadar protein yang
tinggi yaitu sebesar 13.5%. Kadar protein pada terigu keras didominasi oleh
gluten yang dibutuhkan dalam pengembangan adonan. Tepung terigu keras
biasa digunakan untuk produk yang membutuhkan pengembangan tinggi. Gula
yang ditambahkan dalam formulasi donat adalah sebesar 8%, dan 16% dari
total tepung. Konsentrasi gula minimal sebesar 8% karena jika konsentrasi
gula terlalu rendah, ragi tidak akan bekerja secara maksimal yang dapat
menyebabkan adonan menjadi kurang mengembang.
Tepung ubi jalar yang digunakan dalam formulasi kue bawang adalah
30%, 40%, dan 50% dari total tepung. Penggunaan tepung ubi jalar yang lebih
tinggi dari 50% menyebabkan adonan menjadi sangat rapuh sehingga sulit
dibentuk lembaran tipis, dan sulit dicetak, serta tidak memungkinkan untuk
digoreng. Tepung terigu yang digunakan dalam pembuatan kue bawang adalah
tepung terigu ‘Segitiga Biru’. Margarin yang ditambahkan dalam formulasi
kue bawang adalah sebesar 0%, dan 10% dari total tepung. Margarin
digunakan sebagai bahan baku kue bawang untuk meningkatkan kerenyahan.
Selain itu, margarin juga digunakan untuk menurunkan nilai indeks glikemik.
Namun, penggunaan margarin yang tinggi dapat menyebabkan adonan
menjadi rapuh sehingga sulit dibentuk lembaran.
Optimasi suhu dan waktu penggorengan dilakukan pada tahap trial and
error. Suhu optimum penggorengan kue biji ketapang adalah sekitar 140oC
51
selama 4 menit. Jika suhu penggorengan lebih besar daripada suhu optimum,
kue biji ketapang yang dihasilkan memiliki tekstur yang keras di luar, namun
tidak matang di dalam. Jika suhu penggorengan lebih kecil daripada suhu
optimum, waktu penggorengan yang dibutuhkan akan lebih lama dan kue biji
ketapang yang dihasilkan memiliki tekstur yang sangat keras.
Suhu optimum minyak penggorengan dalam pembuatan donat adalah
sekitar 136oC selama 4 menit. Suhu dalam produk donat tersebut saat digoreng
adalah sekitar 68oC. Suhu optimum penggorengan kue bawang adalah sekitar
160oC selama 1 menit. Jika suhu penggorengan terlalu rendah, warna kue
bawang yang dihasilkan akan lebih gelap, dan tidak secerah jika dengan
penggorengan 160oC. Jika suhu penggorengan terlalu tinggi, bagian luar
produk akan matang lebih cepat, namun bagian dalam produk menjadi kurang
matang, dan produk yang digoreng menjadi cepat gosong.
D. UJI ORGANOLEPTIK PRODUK OLAHAN GORENG
Uji organoleptik merupakan uji dengan menggunakan indra manusia
sebagai instrumennya. Uji organoleptik yang dilakukan pada penelitian ini
bertujuan untuk mendapatkan satu formula terbaik yaitu formula yang paling
disukai panelis dari enam formula yang diuji. Formula produk dapat dilihat
pada Tabel 11. Uji organoleptik yang dilakukan pada penelitian ini adalah uji
hedonik dan uji ranking dimana kedua uji tersebut termasuk ke dalam kategori
uji afektif atau uji kesukaan. Tingkat kesukaan panelis terhadap produk
dilakukan secara overall.
Jumlah panelis uji afektif pada penelitian ini berjumlah 30 orang
panelis semi terlatih. Menurut Resurreccion (1998), minimal diperlukan 25
orang panelis untuk uji afektif di laboratorium yang berfungsi untuk
meminimalisasi standar deviasi.
Uji hedonik merupakan salah satu jenis uji penerimaan. Dalam uji ini
panelis diminta mengungkapkan tanggapan pribadinya tentang tingkat
kesukaan atau ketidaksukaan. Tingkat kesukaan ini disebut sebagai skala
hedonik, misalnya sangat suka, suka, agak suka, netral, agak tidak suka, tidak
52
suka, dan sangat tidak suka (Rahayu, 1998). Pada penelitian ini, digunakan uji
hedonik dengan 7 tingkat, dimana 7 = sangat suka dan 1 = sangat tidak suka.
Uji ranking merupakan cara yang paling sederhana untuk
membandingkan beberapa formula. Metode ini mengurutkan formula dengan
skala intensitas dari atribut yang dipilih dan memberikan penanda berupa
angka terhadap perbedaan diantara formula dan tingkat perbedaannya. Uji
ranking membutuhkan waktu yang lebih sedikit dibandingkan metode lain dan
sangat berguna jika formula yang diranking akan dianalisis lebih lanjut
(Meilgard et al., 1999). Pada uji ranking, panelis harus mengurutkan formula
berdasarkan tingkat kesukaannnya secara keseluruhan. Pada penelitian ini,
nilai ranking berkisar antara 1-6, karena formula yang disajikan berjumlah 6.
Ranking 1 adalah formula yang paling disukai dan ranking 6 adalah formula
yang tidak disukai.
Tabel 11. Formula Produk pada Uji Organoleptik
Produk VariabelJumlah Bahan (Per 100 g Total Tepung) F1 F2 F3 F4 F5 F6
Kue Biji Ketapang
T 50 50 60 60 70 70 G 30 40 30 40 30 40
Donat T 20 20 30 30 40 40 G 8 16 8 16 8 16
Kue Bawang T 30 30 40 40 50 50 M 0 10 0 10 0 10
Keterangan: F1 = formula 1; F2 = formula 6; F3 = formula 3; F4 = Formula 4; F5 = Formula 5; F6 = Formula 6; T = tepung ubi jalar; G = gula; M = margarin
Hasil uji organoleptik dianalisis secara statistik. Pengujian statistik uji
hedonik menggunakan analisis sidik ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan.
Pengujian statistik uji ranking menggunakan uji Friedman. Hasil uji
organoleptik dapat dilihat pada Tabel 12 dan Lampiran 4 sampai Lampiran 12.
Komposisi bahan dari formula terpilih produk hasil uji organoleptik dapat
dilihat pada Tabel 13.
53
Tabel 12. Hasil Uji Organoleptik Produk Olahan Goreng
Formula Kue Biji Ketapang Donat Kue Bawang
Rating Ranking Rating Ranking Rating Ranking
1 4.17a 4.076 3.83ab 4.475 4.97b 3.203
2 4.53a 3.332 5.43d 1.831 5.17b 3.172
3 4.27a 3.534 4.07bc 3.674 4.90b 3.234
4 4.13a 3.635 5.00d 2.732 5.23b 2.931
5 4.27a 3.333 3.47a 5.006 4.03a 4.606
6 4.27a 3.101 4.43c 3.303 4.87b 3.875
Keterangan: Hedonik : nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada setiap kolom menunjukkan nilai tidak
berbeda nyata (uji Duncan α = 5%) Ranking : nilai berdasarkan urutan kesukaan 1 = yang paling disukai; 6 = yang paling tidak disukai
Tabel 13. Formula Terpilih Produk Hasil Uji Organoleptik
Bahan (%) Formula Terpilih
Kue Biji Ketapang Donat Kue Bawang
Terigu 30 70 50
Tepung ubi jalar 70 30 50
Gula 30 16 -
Kelapa parut 16 - -
Telur 42.4 - -
Margarin - 20 10
Kuning telur - 5.2 -
Ragi - 2.4 -
Baking powder - 0.64 -
Bahan pelembut - 1.28 -
Garam - - 2
Bawang merah - - 27
Daun seledri - - 3
Berdasarkan uji hedonik, skor rata-rata kesukaan panelis terhadap kue
biji ketapang ubi jalar berkisar antara 4.13-4.53 (Tabel 12) atau netral. Hasil
analisis sidik ragam (Lampiran 7) menunjukkan bahwa formula tidak
54
berpengaruh nyata terhadap kesukaan panelis pada selang kepercayaan 95%.
Perubahan komposisi tepung ubi jalar dari 50% sampai 70% dan gula dari 30
hingga 40% pada kue biji ketapang tidak berpengaruh nyata terhadap
kesukaan panelis. Hasil uji ranking kue biji ketapang (Lampiran 8)
menunjukkan formula yang paling disukai adalah formula 6, sedangkan yang
paling tidak disukai oleh panelis adalah formula 1. Urutan kesukaan masing-
masing formula dapat dilihat pada Tabel 12.
Berdasarkan uji rating dan ranking, formula kue biji ketapang yang
dipilih untuk analisis selanjutnya adalah formula 5 (tepung ubi jalar 70%, dan
gula 30%). Formula ini dipilih karena memiliki persentase tepung ubi jalar
paling tinggi, dan persentase gula paling rendah. Persentase gula dipilih yang
memiliki persentase rendah karena mempertimbangkan pengaruh gula
terhadap kenaikan indeks glikemik produk. Formula terpilih kue biji ketapang
dapat dilihat pada Gambar 10 (a).
(a) (b) (c)
Gambar 10. Formula Terpilih Hasil Uji Organoleptik :
(a) Kue Biji Ketapang; (b) Donat; (c) Kue Bawang
Berdasarkan hasil uji hedonik, skor rata-rata kesukaan panelis terhadap
donat ubi jalar berkisar antara 3.47 (agak tidak suka) sampai 5.43 (agak suka).
Berdasarkan analisis sidik ragam (Lampiran 9), formula donat ubi jalar
berpengaruh nyata pada taraf kepercayaan 95%. Berdasarkan uji lanjut
Duncan (Lampiran 9) dapat disimpulkan bahwa persentase penggunaan
tepung ubi jalar dan gula terhadap donat berpengaruh terhadap kesukaan
panelis.
55
Hasil uji ranking donat (Lampiran 10) menunjukkan formula yang
paling disukai adalah formula 2, sedangkan yang paling tidak disukai oleh
panelis adalah formula 5. Walaupun formula 2 paling disukai, namun
berdasarkan uji rating, formula 2 tidak berbeda nyata dengan formula 4.
Berdasarkan pertimbangan substitusi tepung ubi jalar yang semaksimal
mungkin, penggunaan gula yang rendah, dan kesukaan panelis, maka formula
terpilih donat ubi jalar adalah formula 4 (tepung ubi jalar 30%, dan gula 16%).
Formula terpilih donat dapat dilihat pada Gambar 10 (b).
Berdasarkan hasil uji hedonik, skor rata-rata kesukaan panelis terhadap
kue bawang ubi jalar berkisar antara 4.03 (netral) sampai 5.23 (agak suka).
Berdasarkan analisis sidik ragam (Lampiran 11), formula berpengaruh nyata
pada taraf kepercayaan 95%. Pada uji Duncan (Lampiran 11), dapat dilihat
bahwa formula 5 berbeda nyata dengan formula 1, 2, 3, 4, dan 6. Formula 1, 2,
3, 4, dan 6 tidak berbeda nyata satu sama lain dan berada pada subset 2.
Hasil uji ranking kue bawang (Lampiran 12) menunjukkan formula
yang paling disukai adalah formula 4, sedangkan yang paling tidak disukai
oleh panelis adalah formula 5. Berdasarkan pertimbangan tingkat kesukaan
panelis, substitusi tepung ubi jalar yang semaksimal mungkin, dan
penggunaan margarin untuk menurunkan indeks glikemik, maka formula
terpilih kue bawang ubi jalar adalah formula 6 (tepung ubi jalar 50% dan
margarin 10%). Formula terpilih kue bawang dapat dilihat pada Gambar 10
(c). Pemilihan formula 6 yang menggunakan margarin, karena
mempertimbangkan pengaruh lemak pada margarin dalam menurunkan nilai
indeks glikemik kue bawang.
E. KARAKTERISTIK FISIKO-KIMIA PRODUK OLAHAN GORENG
Karakteristik Fisik Produk Olahan Goreng
Analisis sifat fisik yang dilakukan pada produk olahan goreng tepung
ubi jalar klon BB00105.10 yaitu rendemen, dan tekstur. Analisis dilakukan
terhadap produk dengan formula terpilih hasil uji organoleptik.
56
a. Rendemen
Rendemen produk dihitung berdasarkan perbandingan adonan
sebelum digoreng dengan produk akhir, yang dinyatakan dalam persen.
Berdasarkan analisis, rendemen kue biji ketapang sebesar 98.15%, donat
sebesar 99.65%, dan kue bawang sebesar 96.56%. Rendemen donat paling
besar. Hal ini kemungkinan disebabkan penyerapan minyak yang tinggi
pada saat donat digoreng. Perbandingan rendemen ketiga jenis produk
olahan goreng dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11. Histogram Rendemen Produk Olahan Goreng
b. Tekstur
Pengukuran tekstur menggunakan Texture Analyzer TAXT-2.
Probe yang digunakan untuk mengukur tekstur masing-masing jenis
produk berbeda-beda. Probe yang digunakan pada pengukuran kekerasan
kue biji ketapang dan kue bawang adalah P/0.25s (1/4’’ ball probe). Probe
yang digunakan pada pengukuran kekerasan donat adalah P/75. Tabel 14
menunjukkan setting texture analyzer yang digunakan dalam pengukuran
tekstur masing-masing produk. Berdasarkan hasil analisis (Lampiran 13),
tekstur (kekerasan) kue biji ketapang berkisar antara 1648 dan 1598 gf.
Kekerasan donat berkisar antara 2945 dan 2843 gf. Tingkat kerenyahan
kue bawang berkisar antara 636 dan 586 gf. Hasil pengukuran kekerasan
produk olahan goreng dapat dilihat pada Tabel 15.
98.15 99.65 96.56
020406080
100
Ren
dem
en (%
)
Kue BijiKetapang
Donat KueBawang
Jenis Produk
Rendemen Produk
57
Tabel 14. Seting Tekstur Analyzer dalam Pengukuran Kekerasan Produk Olahan Goreng
Parameter Setting
Kue Biji Ketapang Donat Kue
Bawang Pre test speed (mm/s) 1.5 mm/s 1.0 mm/s 1.0 mm/s
Test speed (mm/s) 2.0 mm/s 1.7 mm/s 1.0 mm/s
Post test speed (mm/s) 10.0 mm/s 10.0 mm/s 10.0 mm/s
Rupture test distance (mm) 1.0 mm 1.0 mm 1.0 mm
Distance (mm) 25.0 mm 40.0 mm 3.0 mm
Force (g) 100 g 100 g 100 g
Time (sec) 5 sec 5 sec 5 sec
Count 2 2 2
Jenis probe P/0.25s P/75 P/0.25s
Tabel 15. Tingkat Kekerasan Produk Olahan Goreng Produk Tingkat Kekerasan (gf)
Kue biji ketapang 1623
Donat 2894
Kue bawang 611
Karakteristik Kimia Produk Olahan Goreng
Analisis sifat kimia yang dilakukan pada produk olahan goreng tepung
ubi jalar klon BB00105.10 yaitu analisis kadar air, abu, protein, lemak,
karbohidrat, serat, daya cerna pati, dan kadar amilosa-amilopektin. Analisis
dilakukan terhadap produk dengan formula terpilih hasil uji organoleptik.
Hasil analisis proksimat formulasi terpilih kue biji ketapang, donat, dan kue
bawang dapat dilihat pada Tabel 16 dan Lampiran 14. Berdasarkan hasil
analisis proksimat, dapat dihitung nilai gizi produk berdasarkan takaran saji
(Tabel 17).
58
Tabel 16. Hasil Analisis Proksimat Produk Olahan Goreng
Komposisi Komposisi (per 100 g bahan)
Kue Biji Ketapang Donat Kue Bawang
Air (g) 3.38 21.33 1.97
Abu (g) 1.12 1.02 2.14
Protein (g) 5.27 6.43 4.41
Lemak (g) 31.09 16.27 29.76
Karbohidrat (g) 59.14 54.95 61.72
Energi (kkal) 537 392 553
Tabel 17. Informasi Nilai Gizi per Takaran Saji
Produk Berat per takaran saji (g)
Komposisi Gizi per Takaran Saji
Energi (kkal)
Karbohidrat (g)
Lemak (g)
Protein (g)
Kue biji ketapang 24 129 14.19 (4) 7.46 (14) 1.26 (3)
Donat 50 196 27.48 (8) 8.14 (15) 3.22 (6)
Kue bawang 30 166 18.52 (6) 8.93 (16) 1.32 (3) Keterangan : angka-angka di dalam ( ) adalah % terhadap Angka Kecukupan
Gizi (AKG) berdasarkan diet 2000 kkal (karbohidrat : 325 g;
lemak : 55 g; protein : 50 g)
a. Kadar Air
Kadar air merupakan faktor yang mempengaruhi penampakan
tekstur, cita rasa pangan, daya tahan produk, kesegaran, dan penerimaan
konsumen (Winarno, 1997). Kadar air merupakan parameter utama yang
terlibat dalam kebanyakan reaksi perusakan bahan pangan. Berdasarkan
hasil analisis, kadar air kue biji ketapang sebesar 3.38%, donat sebesar
21.33%, dan kue bawang sebesar 1.97%. Kadar air kue bawang dan kue
biji ketapang tergolong rendah. Kadar air yang rendah dapat
memperpanjang umur simpan produk. Oleh karena itu, kue biji ketapang
dan kue bawang memiliki umur simpan yang lebih lama dibandingkan
donat.
59
Kadar air pada produk kue bawang dan kue biji ketapang
mempengaruhi tekstur (kerenyahan dan kekerasan) produk. Produk dengan
kadar air rendah bersifat higroskopis (mudah menyerap air) sehingga harus
dilindungi terhadap masuknya uap air. Untuk menghambat atau mencegah
masuknya uap air diperlukan bahan pengemas dengan permeabilitas uap
air yang rendah. Kadar air yang tinggi pada kue biji ketapang
menyebabkan produk menurun kekerasannya, sedangkan pada kue bawang
menyebabkan produk menjadi tidak renyah.
Kadar air rendah pada kue biji ketapang dan kue bawang dapat
menghambat terjadinya berbagai kerusakan, sehingga mutu produk tetap
terjaga. Menurut Winarno (1984), kadar air pada bahan berkisar 3 – 7%
akan mencapai kestabilan optimum, sehingga pertumbuhan mikroba dan
reaksi-reaksi kimia yang merusak bahan seperti browning, hidrolisis atau
oksidasi lemak dapat dikurangi. Donat memiliki kadar air yang tinggi
sehingga mudah rusak.
b. Kadar Abu
Abu merupakan mineral-mineral anorganik yang memiliki
ketahanan cukup tinggi terhadap suhu pemasakan sehingga keberadaannya
dalam bahan pangan bisa mengalami perubahan, namun cenderung tetap.
Berdasarkan hasil analisis (Tabel 14), kadar abu kue biji ketapang sebesar
1.12% (bb), donat sebesar 1.02% (bb), dan kue bawang sebesar 2.14%
(bb). Kadar abu kue bawang paling tinggi kemungkinan disebabkan
penggunaan garam (2% dari total tepung) sebagai bahan baku yang
memiliki kandungan sodium tinggi. Kue biji ketapang dan donat tidak
menggunakan garam sebagai bahan bakunya.
c. Kadar Protein
Protein merupakan senyawa yang mengandung unsur-unsur C, H,
O, dan N. Penetapan kadar protein dilakukan dengan metode mikro-
Kjeldahl. Kadar protein yang diperoleh adalah kadar protein kasar karena
dihitung berdasarkan nitrogen yang terkandung dalam bahan.
60
Berdasarkan hasil analisis, kadar protein donat paling tinggi, yaitu
6.43% (bb), dan kadar protein kue bawang paling rendah, yaitu 4.41%
(bb). Kadar protein kue biji ketapang adalah 5.27% (bb). Sumber protein
pada donat sebagian besar berasal dari terigu dan telur (kuning telur dan
putih telur). Kadar protein yang tinggi pada donat disebabkan persentase
tepung terigu pada donat paling tinggi (70%) dibandingkan kue biji
ketapang (30%) dan kue bawang (50%). Selain itu, terigu yang digunakan
dalam pembuatan donat memiliki kadar protein yang lebih tinggi
dibandingkan terigu yang digunakan pada pembuatan kue biji ketapang
dan kue bawang. Terigu yang digunakan pada pembuatan kue biji
ketapang dan kue bawang adalah terigu sedang yang memiliki kandungan
protein 11%. Terigu yang digunakan pada pembuatan donat adalah terigu
keras dengan kandungan protein 13.5%.
Sumber protein kue biji ketapang sebagian besar berasal dari terigu
dan kuning telur, dan sumber protein pada kue bawang sebagian besar
berasal dari terigu. Menurut Depkes (1979) seperti yang dikuti oleh
Almatsier (2002), kadar protein telur ayam adalah 12%. Tepung ubi jalar
hanya mengandung protein dalam jumlah yang kecil, yaitu 1.86% (Tabel
10).
Berdasarkan satu takaran saji (Tabel 17), kebutuhan protein yang
dapat dipenuhi dalam satu kali konsumsi donat sebesar 6%, sedangkan
pada kue bawang dan kue biji ketapang sebesar 3%. Persentase AKG kue
biji ketapang dan kue bawang relatif sama walaupun kandungan protein
kue biji ketapang lebih tinggi daripada kue bawang. Hal ini disebabkan
berat produk yang dikonsumsi dalam satu takaran saji berbeda.
d. Kadar Lemak
Lemak berfungsi sebagai sumber citarasa, sumber energi,
pembentuk tekstur yang lembut pada produk, dan pembawa vitamin larut
lemak (Winarno, 2002). Lemak memberikan nilai energi lebih besar
daripada karbohidrat dan protein, yaitu 9 kkal per gram. Lemak pada
produk diukur dengan menggunakan metode ekstraksi Soxhlet.
61
Berdasarkan hasil analisis (Tabel 14), kadar lemak kue biji
ketapang paling tinggi, yaitu 31.09 % (bb), dan donat paling kecil, yaitu
16.27% (bb). Kadar lemak kue bawang yaitu 29.76% (bb). Lemak pada
kue biji ketapang sebagian besar berasal dari telur, terutama kuning telur
yang tinggi kolesterol, kelapa parut yang disangrai, dan minyak goreng.
Lemak pada donat sebagian besar berasal dari kuning telur, margarin, dan
minyak goreng. Lemak pada kue bawang sebagian besar berasal dari
margarin, dan minyak goreng. Menurut Depkes (1979) seperti yang
dikutip oleh Almatsier (2002), kadar lemak margarin adalah 81%, telur
ayam 11.5%, dan minyak kelapa sawit 100%. Kuning telur merupakan
sumber utama kolesterol yaitu sebesar 2630 mg/100g.
Berdasarkan satu takaran saji (Tabel 17), kebutuhan lemak yang
dapat dipenuhi dalam satu kali konsumsi kue bawang (16%) paling tinggi
dibandingkan dengan donat (15%), dan kue biji ketapang (14%). Dengan
demikian, kebutuhan lemak yang dapat dipenuhi dari kue bawang dan
donat lebih tinggi dibandingkan kue biji ketapang walaupun kandungan
lemak pada kue biji ketapang paling tinggi.
Lemak memiliki peranan penting dalam menurunkan indeks
glikemik (IG). Kadar lemak donat paling rendah sehingga kemungkinan
IG yang dihasilkan akan paling tinggi dibandingkan kue biji ketapang dan
kue bawang. Namun pangan berlemak harus dikonsumsi secara bijaksana.
Total konsumsi lemak tidak boleh melebihi 30% dari total energi dan total
konsumsi lemak jenuh tidak melebihi 10% dari total energi. Konsumsi
lemak jenuh dengan jumlah yang sangat tinggi dapat meningkatkan
konsentrasi kolesterol darah dan dapat berkorelasi dengan penyakit pada
sistem kardiovaskuler (Goldberg, 1994). Menurut WHO seperti yang
dikutip oleh Almatsier (2002), konsumsi lemak sebanyak 15 – 30%
kebutuhan energi total dianggap baik untuk kesehatan.
e. Kadar Karbohidrat
Karbohidrat merupakan salah satu sumber energi utama bagi tubuh.
Komponen karbohidrat yang banyak terdapat pada produk pangan adalah
pati, gula, pektin, dan selulosa. Karbohidrat berperan dalam pembentukan
62
karakteristik produk pangan. Di dalam tubuh, karbohidrat membantu
metabolisme protein dan lemak (Winarno, 2002). Kadar karbohidrat
produk dihitung dengan metode by difference. Analisis kimia
menunjukkan bahwa kadar karbohidrat kue biji ketapang sebesar 59.14%
(bb), donat sebesar 54.95% (bb), kue bawang sebesar 61.72% (bb).
Menurut Astawan dan Widowati (2006), energi yang dapat dimanfaatkan
di dalam tubuh dan kemampuan meningkatkan kadar glukosa darah tidak
selalu sejalan dengan kadar pati atau karbohidrat bahan pangan, karena
sangat dipengaruhi oleh daya cerna dan pati resisten.
Berdasarkan satu takaran saji (Tabel 17), kebutuhan karbohidrat
yang dapat dipenuhi dalam satu kali konsumsi donat (8%) paling tinggi
dibandingkan dengan kue bawang (6%), dan kue biji ketapang (4%).
Karbohidrat tetap dibutuhkan sebagai sumber energi walaupun terdapat
lemak yang juga dapat digunakan sebagai sumber energi. Hal ini
disebabkan zat yang dapat digunakan oleh tubuh sebagai sumber energi
bagi otak dan syaraf adalah glukosa (Almatsier, 2001).
f. Nilai Energi
Nilai energi merupakan nilai yang diperoleh dari konversi protein,
lemak, dan karbohidrat menjadi energi. Sumber energi terbesar adalah
lemak yang menghasilkan 9 kkal energi per gram, sedangkan karbohirat
dan protein menghasilkan energi sebesar 4 kkal per gram. Pada kue biji
ketapang, donat, dan kue bawang, komponen gizi yang memberikan nilai
energi terbesar adalah karbohidrat dan lemak yang kandungannya cukup
tinggi. Berdasarkan hasil analisis kimia, urutan nilai energi ketiga produk
terpilih dari yang terbesar hingga terkecil yaitu kue biji ketapang, kue
bawang, dan donat (Tabel 16). Berdasarkan satu takaran saji (Tabel 17),
energi paling tinggi pada donat (196 kkal) dibandingkan kue biji ketapang
(129 kkal) dan kue bawang (166 kkal). Hal ini disebabkan konsumsi donat
dalam satu takaran saji paling tinggi (50 gram) dibandingkan kue biji
ketapang (24 gram) dan kue bawang (30 gram).
63
g. Kadar Serat Pangan
Serat pangan sangat penting bagi tubuh, karena dapat memberikan
pertahanan tubuh terhadap timbulnya berbagai macam penyakit seperti
kanker usus besar, penyakit divertikular, penyakit kardiovaskuler, penyakit
diabetes melitus, dan obesitas (Muchtadi, 2001). Serat dapat digolongkan
menjadi dua macam, yaitu serat larut (Soluble Dietary Fiber) dan serat
tidak larut (Insoluble Dietary Fiber). SDF merupakan komponen non-
struktural, sedangkan IDF merupakan bagian dari struktural tanaman.
Kadar serat pangan produk olahan goreng dapat dilihat pada Gambar 12.
Serat pangan tidak larut (IDF) adalah serat pangan yang tidak dapat
larut dalam air panas atau air dingin (Winarno, 2002). Serat pangan tidak
larut berperan penting dalam pencegahan disfungsi alat pencernaan seperti
konstipasi, hemoroid, kanker usus besar, dan infeksi usus buntu (Prosky
dan Vries, 1992). Komponen yang tergolong ke dalam IDF adalah
selulosa, lignin, sebagian besar hemiselulosa, lilin tanaman, dan senyawa
pektat. Berdasarkan hasil analisis, kue biji ketapang memiliki kadar IDF
tertinggi, yaitu sebesar 4.29%, sedangkan donat memiliki kadar IDF
terendah, yaitu sebesar 2.94%. Kadar IDF kue bawang sebesar 3.20%.
Serat pangan larut (SDF) adalah serat pangan yang dapat larut
dalam air hangat atau air panas dan dapat terendapkan oleh air yang telah
dicampur dengan empat bagian etanol. Komponen yang tergolong ke
dalam SDF adalah gum, pektin, dan hemiselulosa larut air. Kadar serat
terutama serat pangan larut sangat mempengaruhi indeks glikemik.
Menurut Chandalia et al. (2000), peningkatan konsumsi serat pangan,
terutama serat pangan larut dapat menurunkan kolesterol plasma, dan
meningkatkan kontrol glikemik. Serat pangan dapat meningkatkan kontrol
glikemik dengan menurunkan atau menunda penyerapan karbohidrat.
Berdasarkan hasil analisis, produk pangan yang memiliki total
serat tertinggi adalah kue bawang, yaitu sebesar 7.87%. SDF yang
terkandung dalam kue bawang juga tertinggi, yaitu sebesar 4.68%. Total
serat kue biji ketapang sebesar 7.04%, dan donat sebesar 6.39%. Kadar
SDF kue biji ketapang sebesar 2.76%, dan donat sebesar 3.44%. Total
64
serat kue bawang paling tinggi kemungkinan dipengaruhi oleh penggunaan
daun seledri yang mengandung serat cukup tinggi. Dalam penentuan
produk terpilih untuk uji lanjut indeks glikemik, faktor serat yang
dipertimbangkan adalah serat pangan larut, dan total serat. Hal ini
disebabkan pengaruh serat pangan larut terhadap indeks glikemik.
Gambar 12. Kadar Serat Pangan pada Produk Olahan Goreng
h. Daya Cerna Pati
Salah satu faktor yang mempengaruhi nilai indeks glikemik adalah
daya cerna pati. Produk yang memiliki daya cerna pati rendah cenderung
memiliki nilai indeks glikemik yang rendah. Daya cerna pati rendah berarti
kemampuan pati untuk dihidrolisis menjadi gula-gula sederhana bersifat
rendah sehingga peningkatan kadar glukosa darah akan lebih lambat.
Peningkatan kadar glukosa yang rendah dapat meningkatkan sensitivitas
produksi insulin dalam pankreas (Ragnhild et al., 2004).
Metode pengukuran daya cerna pati dilakukan secara in vitro
(Muchtadi, 1989). Dalam metode ini pati dihidrolisis oleh enzim α-
amilase menjadi unit-unit maltosa. Jumlah maltosa yang dihasilkan diukur
dengan spektrofotometer setelah direaksikan dengan asam dinitrosalisilat
(DNS), dan dihitung melalui kurva standar maltosa. Daya cerna pati
produk dihitung sebagai persentase terhadap pati murni (soluble starch).
Daya cerna pati produk olahan goreng dapat dilihat pada Gambar 13.
Kadar Serat Produk
7,87
4,29
2,94 3,203,44
2,76
4,68
7,04 6,39
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kue biji ketapang Donat Kue bawangJenis produk
Kad
ar s
erat
(% b
b)
serat tidak larut
serat larut
total serat
65
Gambar 13. Daya Cerna Pati Produk Olahan Goreng
Berdasarkan hasil analisis, daya cerna pati donat paling tinggi,
yaitu 69.05 %, sedangkan daya cerna pati kue biji ketapang paling rendah,
yaitu 57.05%. Daya cerna pati kue bawang yaitu 67.26%. Tingginya daya
cerna pati donat dibandingkan kue biji ketapang dan kue bawang dapat
disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain jumlah pati, interaksi antara
pati dengan komponen non pati, dan jumlah resistant starch yang terdapat
dalam pati. Resistant starch adalah fraksi pati yang tidak dapat dihidrolisis
pada usus halus tetapi kemudian difermentasi oleh mikroflora usus
(Haralampu, 2000). Pati yang mengalami retrogradasi merupakan salah
satu contoh dari resistant starch. Pati yang mengalami retrogradasi
menjadi sulit dicerna karena ikatan antar amilosa menjadi lebih kuat
dibandingkan dengan sebelum terjadi gelatinisasi.
Keberadaan komponen lain seperti serat pangan dan zat anti-gizi
dapat mempengaruhi daya cerna pati. Tepung ubi jalar memiliki zat anti-
gizi seperti rafinosa sebesar 0.5% berat basah (Palmer, 1982). Rafinosa
merupakan oligosakarida yang tidak dapat dicerna oleh bakteri karena
tidak adanya enzim galaktosidase, tetapi dapat dicerna oleh bakteri pada
usus bagian bawah sehingga menyebabkan terbentuknya gas dalam usus
besar atau yang disebut flatulensi. Berdasarkan hasil analisis (Gambar 13),
kue biji ketapang yang mengandung persentase tepung ubi jalar paling
tinggi, memiliki daya cerna pati yang rendah. Semakin tinggi tepung ubi
57,0569,05 67,26
010203040506070
Daya cerna pati (% )
Kue biji ketapang Donat Kue bawang
Jenis produk
Daya Cerna Pati Produk
66
jalar dalam produk tersebut, semakin tinggi zat anti-gizi pada produk
sehingga daya cerna patinya akan semakin rendah. Serat dapat
menghambat pemecahan pati oleh enzim amilolitik karena terhalangnya
granula pati yang menjadi substrat enzim oleh serat. Kue biji ketapang dan
kue bawang memiliki daya cerna pati yang lebih rendah dibandingkan
dengan donat sehingga kemungkinan indeks glikemik yang dihasilkan kue
biji ketapang dan kue bawang juga akan lebih rendah dibandingkan
dengan donat.
i. Kadar Amilosa
Molekul granula pati tersusun dari dua fraksi utama, yaitu amilosa
dan amilopektin dalam rasio yang berbeda-beda pada setiap jenis pati
(Lineback dan Inglett, 1982). Pengukuran amilosa dilakukan berdasarkan
prinsip iodine-binding. Amilosa akan berikatan dengan iodin pada pH
rendah (4.5 – 4.8) sehingga terbentuk kompleks berbentuk heliks yang
berwarna biru. Kadar amilosa produk olahan goreng dapat dilihat pada
Gambar 14.
Berdasarkan hasil analisis (Gambar 14), kadar amilosa kue biji
ketapang paling rendah yaitu 15.38%, sedangkan kadar amilosa kue
bawang paling tinggi yaitu 20.94%. Amilosa mempengaruhi nilai indeks
glikemik produk. Pati yang lebih banyak mengandung amilosa bersifat
lebih resisten terhadap pencernaan pati karena struktur linier amilosa yang
bersifat kompak (Rashmi dan Urooj, 2003) sehingga lebih sulit untuk
mengalami gelatinisasi. Selain itu, pati yang telah mengalami retrogradasi
memiliki ikatan antar amilosa yang lebih kuat dibandingkan dengan ikatan
antar amilosa sebelum terjadinya gelatinisasi yang menyebabkan pati
menjadi lebih resisten terhadap pencernaan (Haralampu, 2000). Dengan
demikian, kadar amilosa yang tinggi cenderung menurunkan nilai indeks
glikemik produk. Kadar amilosa donat dan kue bawang lebih tinggi
dibandingkan kue biji ketapang. Hal ini dapat memberi pengaruh terhadap
perbedaan nilai indeks glikemik.
Berdasarkan klasifikasi dari IRRI (International Rice Research
Institute), kadar amilosa bahan berpati digolongkan menjadi tiga, yaitu
67
amilosa rendah (< 20%), amilosa sedang (20-25%) dan amilosa tinggi (>
25%). Berdasarkan penggolongan tersebut, maka kue biji ketapang dan
donat tergolong pangan beramilosa rendah, sedangkan kue bawang
tergolong pangan beramilosa sedang.
Gambar 14. Kadar Amilosa Produk Olahan Goreng
F. INDEKS GLIKEMIK
Pengujian indeks glikemik (IG) dilakukan terhadap dua jenis produk
dari tiga jenis produk goreng terpilih dari hasil uji organoleptik. Pemilihan
produk untuk analisis IG dilakukan berdasarkan hasil analisis kimia produk.
Produk yang terpilih untuk uji IG diharapkan akan memiliki IG yang rendah.
Faktor yang dipertimbangkan antara lain kadar lemak, protein, daya cerna pati,
amilosa, dan serat pangan produk. Dibandingkan kue biji ketapang dan kue
bawang, kadar lemak donat paling rendah, daya cerna patinya paling tinggi,
dan total serat pangan paling rendah. Ketiga faktor ini dapat memberikan
pengaruh terhadap kenaikan IG donat. Kadar amilosa donat tergolong rendah
sehingga kemungkinan pengaruhnya dalam penurunan IG kecil. Kadar protein
donat paling tinggi dibandingkan kue biji ketapang dan kue bawang. Namun,
protein tidak memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap IG (Khan et al.,
1992, dan Fernandes et al., 2005). Berdasarkan pertimbangan hasil analisis
Kadar Amilosa Produk
19,79 20,94
15,38
0
5
10
15
20
25
Kue biji ketapang Donat Kue bawang
Jenis produk
Kad
ar a
milo
sa(%
bb)
Amilosa
68
kimia tersebut, kue biji ketapang dan kue bawang dipilih untuk analisis IG,
sedangkan donat hanya dianalisis sampai analisis kimia, dan tidak dilanjutkan
kepada analisis IG.
Manusia merupakan subyek yang umum digunakan dalam penelitian
IG, karena metabolisme tubuh manusia sangan rumit sehingga sulit untuk
ditiru secara in vitro (Ragnhild et al., 2004). Produk yang diberikan kepada
panelis dalam pengujian IG setara dengan 50 gram karbohidrat total (El,
1999). Kadar karbohidrat kue biji ketapang sebesar 59.14% (bb) sehingga
untuk mendapatkan 50 gram karbohidrat, panelis harus mengkonsumsi produk
sebanyak 84 gram. Kadar karbohidrat kue bawang sebesar 61.72% (bb),
berarti 50 gram karbohidrat setara dengan 81 gram produk. Menurut Marsono
(2002), perhitungan IG dilakukan berdasarkan perbandingan luas kurva
kenaikan gula darah setelah makan formula dan standar (glukosa).
Pengujian IG standar dan formula dilakukan pada hari yang berbeda.
Pangan diuji pada delapan relawan yang memiliki indeks massa tubuh yang
normal. Indeks massa tubuh (IMT) adalah suatu besaran yang
menggambarkan suatu kondisi umum tubuh berdasarkan perbandingan berat
dan tinggi badan (Ogden, 2003). Kisaran IMT normal adalah 18.5 – 24.9.
Seleksi panelis dilakukan pada saat uji IG awal, yaitu pada saat pengujian
standar glukosa. Seleksi bertujuan untuk meminimalisasi variasi yang
mungkin timbul antar panelis. Relawan terdiri dari dua kelompok. Relawan
kelompok 1 untuk menguji indeks glikemik kue biji ketapang, dan relawan
kelompok 2 untuk menguji indeks glikemik kue bawang.
Pengambilan darah dilakukan melalui pembuluh darah kapiler yang
terdapat di jari tangan. Pembuluh darah kapiler dipilih karena darah yang
diambil dari pembuluh kapiler mempunyai variasi kadar glukosa darah antar
panelis yang lebih kecil dibandingkan darah yang diambil dari pembuluh vena
(Ragnhild et al., 2004). Glukosa yang terdapat dalam darah akan bereaksi
dengan enzim glucose oxydase (GOD) dan potassium ferricyanide yang
terdapat dalam test strip menghasilkan potassium ferrocyanide. Jumlah
potassium ferrocyanide yang dihasilkan setara dengan jumlah glukosa yang
terkandung dalam sample (Arkray, 2001).
69
Gambar 15. Kurva Perubahan Kadar Glukosa Darah
Setelah Konsumsi Kue Biji Ketapang
Gambar 16. Kurva Perubahan Kadar Glukosa Darah
Setelah Konsumsi Kue Bawang
Berdasarkan hasil analisis (Lampiran 15 dan 16), IG kue biji ketapang
sebesar 49 + 12, dan IG kue bawang sebesar 32 + 7. Kurva perubahan kadar
glukosa darah setelah mengkonsumsi produk dapat dilihat pada Gambar 15
dan 16. Klasifikasi bahan pangan berdasarkan nilai IG adalah sebagai berikut :
(1) bahan pangan dengan IG rendah (<55), (2) bahan pangan dengan IG
sedang (55-69), dan (3) bahan pangan dengan IG tinggi (>70) (Foster-Powell
et al., 2002). Berdasarkan klasifikasi tersebut, kue biji ketapang dan kue
bawang tergolong pangan yang memiliki IG rendah Konsumsi pangan yang
Kue Bawang
0102030405060
0 30 60 90 120
Waktu (menit)
Peru
baha
n ka
dar g
ula
dara
h (m
g/dl
)
Glukosa
Kue bawang
Kue Biji Ketapang
0102030405060
0 30 60 90 120Waktu (menit)
Peru
baha
n ka
dar g
luko
sa
dara
h (m
g/dl
)
GlukosaKue biji ketapang
70
memiliki IG rendah dapat meningkatkan sensitivitas produksi insulin dalam
pankreas (Ragnhild et al., 2004). Dengan demikian, kue biji ketapang dan kue
bawang dapat diaplikasikan sebagai pangan alternatif untuk tujuan diit.
Faktor-faktor yang mempengaruhi IG suatu bahan pangan adalah daya
cerna pati, interaksi antara pati dengan protein, jumlah dan jenis asam lemak,
kadar serat pangan, cara pengolahan, anti-gizi pangan, dan bentuk fisik dari
bahan pangan (Ragnhild et al., 2004). IG kue biji ketapang lebih tinggi
daripada kue bawang. Hal ini disebabkan oleh kadar amilosa, serat pangan
larut, dan total serat pangan kue biji ketapang yang lebih rendah daripada kue
bawang.
Kadar amilosa kue biji ketapang (15.38%) lebih rendah dibandingkan
kadar amilosa kue bawang (20.94%). Kadar amilosa yang tinggi berperan
dalam menurunkan kadar glukosa darah karena struktur linier amilosa yang
bersifat kompak sehingga pati sulit dicerna (Rashmi dan Urooj, 2003).
Struktur linier amilosa yang kompak juga menyebabkan pati menjadi lebih
sulit untuk tergelatinisasi. Jika pati mengalami retrogradasi, pembentukan
ikatan hidrogen lebih mudah terjadi pada amilosa dibandingkan amilopektin.
Percabangan amilopektin menghambat gerakan molekul-molekul amilopektin
untuk saling berikatan. Retrogradasi amilosa membentuk struktur yang sangat
kompak. Hal ini menunjukkan bahwa dalam pangan yang mengandung
amilosa yang tinggi, akan terjadi peningkatan pati resisten jika terjadi
retrogradasi pati yang berpengaruh terhadap nilai indeks glikemik pangan
tersebut.
Kadar serat pangan larut dan total serat pangan kue biji ketapang lebih
rendah dibandingkan kue bawang. Hal ini menyebabkan kecepatan
penyerapan karbohidrat pada kue bawang lebih rendah dibandingkan pada kue
biji ketapang sehingga kecepatan peningkatan kadar glukosa darah pada kue
bawang lebih rendah dibandingkan pada kue biji ketapang. Dengan demikian,
IG kue bawang menjadi lebih rendah dibandingkan kue biji ketapang. Kadar
serat pangan larut kue biji ketapang, dan kue bawang berturut-turut adalah
2.76%, dan 4.68% (Gambar 12). Total serat pangan kue biji ketapang, dan kue
bawang berturut-turut adalah 7.04%, dan 7.87% (Gambar 12). Kadar serat
71
terutama serat pangan larut mempengaruhi nilai IG. Menurut Chandalia et al.
(2000), peningkatan konsumsi serat pangan, terutama serat pangan larut dapat
menurunkan kolesterol plasma, dan meningkatkan kontrol glikemik.
Kadar lemak dan protein kue biji ketapang lebih tinggi dibandingkan
kue bawang. Kadar lemak kue biji ketapang dan kue bawang berturut-turut
adalah 31.09% (bb) dan 29.76% (bb) (Tabel 16). Kadar protein kue biji
ketapang dan kue bawang berturut-turut adalah 5.27% (bb), dan 4.41% (bb)
(Tabel 16). Lemak dan protein dapat menurunkan indeks glikemik. Namun,
pada penelitian ini, perbedaan kadar lemak dan protein kue biji ketapang dan
kue bawang tidak berbeda jauh sehingga tidak memperlihatkan pengaruh yang
nyata terhadap penurunan indeks glikemik. Menurut Khan et al., (1992), dan
Fernandes et al., (2005), protein tidak memiliki pengaruh yang cukup besar
terhadap indeks glikemik, walaupun mempunyai potensi untuk menurunkan
nilai indeks glikemik pangan.
Aplikasi produk pangan untuk tujuan diit harus mempertimbangkan
beban glikemik produk. Beban glikemik bertujuan untuk menilai dampak
konsumsi karbohidrat dengan memperhitungkan IG pangan (Rimbawan dan
Siagian, 2004). Beban glikemik memberikan informasi yang lebih lengkap
mengenai pengaruh konsumsi pangan aktual terhadap peningkatan kadar gula
darah. Berdasarkan Tabel 18, beban glikemik kue biji ketapang (7) lebih tinggi
dibandingkan kue bawang (6). Hal ini menunjukkan bahwa kue biji ketapang
memiliki pengaruh yang lebih tinggi dalam meningkatkan kadar glukosa darah
berdasarkan konsumsi pangan aktual. Kue biji ketapang dan kue bawang dapat
digolongkan sebagai pangan yang memiliki beban glikemik rendah (Tabel 18).
Tabel 18. Beban Glikemik Produk Olahan Goreng
Produk IG Karbohidrat per takaran saji (g) Beban Glikemik
Kue biji ketapang 49 14.19 7
Kue bawang 32 18.52 6
Keterangan : BG = IG x karbohidrat per takaran saji 100 Klasifikasi BG : rendah (<10); sedang (11-19); tinggi (>20)
72
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Formula terpilih kue biji ketapang berdasarkan uji organoleptik
memiliki komposisi : tepung terigu 30%, tepung ubi jalar 70%, gula 30%,
kelapa parut 16%, dan telur 42.4%. Formula terpilih donat berdasarkan uji
organoleptik memiliki komposisi : tepung terigu 70%, tepung ubi jalar 30%,
gula 16%, margarin 20%, kuning telur 5.2%, ragi 2.4%, baking powder
0.64%, dan bahan pelembut 1.28%. Formula terpilih kue bawang berdasarkan
uji organoleptik memiliki komposisi : tepung terigu 50%, tepung ubi jalar
50%, margarin 10%, garam 2%, bawang merah 2%, dan daun seledri 3%.
Kue bawang memiliki respon glikemik yang lebih baik dibandingkan
kue biji ketapang. Kue biji ketapang dan kue bawang digolongkan sebagai
pangan dengan IG rendah. IG kue biji ketapang sebesar 49, sedangkan IG kue
bawang sebesar 32. Aktivitas hipoglikemik kue bawang yang tinggi didukung
oleh kadar amilosa yang sedang (20.94%), total serat pangan yang tinggi
(7.87%), dan serat pangan larut yang tinggi (4.68%). Kue biji ketapang dan
kue bawang dapat diaplikasikan sebagai pangan alternatif untuk tujuan diit.
B. SARAN
Kurangnya informasi tentang indeks glikemik berbagai macam pangan
yang ada di masyarakat menyebabkan keterbatasan pengetahuan masyarakat
akan pangan yang baik untuk penderita obesitas dan diabetes melitus. Oleh
karena itu, perlu dilakukan analisis lanjutan terhadap indeks glikemik berbagai
pangan olahan di Indonesia. Mengingat tingginya kadar beta karoten pada
ubijalar, perlu dilakukan analisis beta karoten pada tepung ubijalar klon
BB00105.10. Selain itu, perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk
meningkatkan umur simpan produk, terutama terhadap produk yang tidak
tahan lama.
73
DAFTAR PUSTAKA
Ainah, N. 2004. Karakterisasi Sifat Fisik dan Kimia Tepung Biji Bunga Teratai Putih (Nymphae pubescens Willd) dan Aplikasinya pada Pembuatan Roti. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Almatsier, S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Anwar, F., B. Setiawan dan A. Sulaeman. 1993. Studi Karakteristik Fisiko Kimia Dan Fungsional Pati dan Tepung Ubi Jalar serta Pemanfaatannya dalam Rangka Diversifikasi Pangan. PAU, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
AOAC. 1995. Official Methods of Analysis. Association of Official Analytical Chemist, Washington DC.
Arkray, Inc. 2001. Instruction Manual for Glucometer. Arkray Corp, Kyoto.
Asp, N.G., C.G. Johanson, H. Halmer, M. Siljestrom. 1983. Rapid enzymatic assay of insoluble and soluble dietary fiber. J. Agric. Food. Chem. (31): 476 – 482.
Astawan, M. dan S. Widowati. 2006. Evaluasi Mutu Gizi dan Indeks Glikemik Ubi Jalar sebagai Dasar Pengembangan Pangan Fungsional. Laporan Penelitian RUSNAS, Bogor.
Badan POM. 2005. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Indonesia No. HK 00.05.52.0685. Di dalam : http://www.pom.go.id [28 April 2006]
Badan Standardisasi Nasional. 1995. Standardisasi Nasional Indonesia. SNI No. 01-3741-1995. Standar Mutu Minyak Goreng. BSN, Jakarta.
Beranbaum, R.L. 2003. The Bread Bible. W.W. Norton and Company, New York.
Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet, dan M. Wotton. 1987. Ilmu Pangan. Diterjemahkan oleh: H. Purnomo dan Adiono. UI Press, Jakarta.
Chandalia, M., A. Garg, D. Lutjohann, K. Bergmann, S.M. Grundy, dan L.J. Brinkley. 2000. Beneficial Effects of High Dietary Fiber Intake in patients with Type 2 Diabetes Mellitus. http://content.nejm.org/cgi/content/full/342/19/1392. [26 September 2006]
Clydesdale, F.M. 1999. ILSI North America Food Component Reports. Crit. Rev. Food Sci. nutr. 39 (3): 203-316.
Committee on Opportunities in the Nutrition and Food Sciences, Food and Nutrition Board, Institute of Medicine. 1994. Opportunities in the Nutrition and Food Sciences : Research Challenges and the Next Generation of Investigators. National Academy Press, Washington, DC.
74
deMan, J. M. 1997. Kimia Makanan Edisi Kedua. Diterjemahkan oleh: Kosasih Padmawinata. Penerbit ITB, Bandung.
Djuanda, V. 2003. Optimasi Formulasi Cookies Ubi Jalar (Ipomea batatas) Berdasarkan Kajian Preferensi Konsumen. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
El, S.N. 1999. Determination of Glycemic Index for Some Breads. Journal of Food Chemistry. 67 : 67 – 69.
Fellows, P. J. 2000. Food Processing Technology, Principle and Practice. 2nd Ed.. CRC Press, England.
Fernandes, G. A. Velangi, T.M.S. Wolever. 2005. Glycemic Index of Potatoes Commonly Consumed in North America. J. Am. Diet. Assoc. 105:557-562.
Foster-Powell, K., S.H.A. Holt, dan J.C. Brand-Miller. 2002. International Table of Glycemic Index and Glycemic Load Values. Am. J. Clin. Nutr. 75 : 5 – 56.
Frei, M., P. Siddhuraju, dan K. Becker. 2003. Studies on the In Vitro Starch Digestibility and The Glycemic Index of Six Different Indigenous Rice Cultivars from The Philippines. Journal of Food Chemistry. 83 : 395 – 402.
Goldberg, I. 1994. Functional Food. Designer Foods, Pharmafoods Nutraceuticals Disease. Chapman Hall, New York.
Haralampu, S.G. 2000. Resistant starch : a review of the physical properties and biological impact of RS3. Journal of Carbohydrate Polymers. 41 : 285 – 292.
Hartono. 1993. Bagaimana Kita Membuat Roti, Bolu, Cake, Taart, dan Kue. Depot Informasi Obat, Jakarta.
Hoseney, R.C. 1998. Principal of Cereal Science and Technology, 2nd Ed. American Association of Cereal Chemists, Inc., St. Paul, Minnesota.
Indrasti, D. 2004. Pemanfaatan Tepung Talas Belitung (Xanthosoma sagittifolium) dalam Pembuatan Cookies. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB, Bogor.
Jones, J.M. 2002. Contradiction and Challenges : A Look at Glycemic Index. Wheat Foods Council, Colorado.
Juanda, D.J., dan B. Cahyono. 2000. Ubi Jalar : Budidaya dan Analisis Usaha Tani. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
75
Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UI Press, Jakarta.
Khalil. 1999. Pengaruh Kandungan Air dan Ukuran Partikel Terhadap Perubahan Perilaku Fisik Bahan Pangan Lokal : Kerapatan Tumpukan, Kerapatan Pemadatan, dan Bobot Jenis. Media Peternakan. 22 (1) :1-11.
Khan, M.A., M.C. Gnnon, dan F.Q. Nuttal. 1992. Glucose Appearance Rate Following Protein Ingestion in Normal Subjects. J. Am. College Nutr. 11 (6) : 701 - 706.
Khutschevar, L.H. 1975. Standard Principles and Techniques in Quantity Food Production. A Devition of Corner Publ. Co. Inc., Boston, Massachusets.
Lineback, D.R.dan G.E. Inglett. 1982. Food Carbohydrate. AVI Publishing. Co., Westport, Connecticut.
Lingga, P., B. Sarwono, I. Rahardi, P.C. Rahardjo, J.J. Afriastini, R. Widianto, W.H. Apriadji. 1989. Bertanam Umbi-umbian. PT Penebar Swadaya, Jakarta.
Ludwig, D.S. 2000. Dietary Glycemic Index and Obesity. J. of Nutrition. 130 (2) :280s-282s.
Manley, D. J. R. 1983. Technology of Biscuits, Cracers, adn Cookies. Ellis Horwood Limited, Chicester.
Marsono, Y., P. Wiyono, dan Z. Noor. 2002. Indeks Glisemik Kacang-kacangan. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. 13 (3) :2002.
Matz, S. A. 1982. Bakery Technology and Engineering 3rd Ed. Pan-tech International Inc., Texas.
------- dan T. D. Matz. 1978. Cookies and Crackers Technology. The AVI Publishing Company Incorporation. Westport, Connecticut.
Meilgaard, M., G. V. Civille, dan B. T. Carr. 1999. Sensory Evaluation Techniques 3rd Ed. CRC Press, Boca Raton.
Meyer, L.H. 1973. Food Chemistry. Affiliated East-West PVT. Ltd., New Delhi.
Muchtadi, D. 1989. Evaluasi Nilai Gizi Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, IPB, Bogor.
Muchtadi, D. 2001. Sayuran sebagai sumber serat pangan untuk mencegah timbulnya penyakit degeneratif. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. 12: 61-71.
76
-------, N. S. Palupi dan M. Astawan. 1992. Metoda Kimia Biokimia dan Biologi dalam Evaluasi Nilai Gizi Pangan Olahan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, IPB. Bogor.
------- dan I. G. Sumartha. 1992. Formulasi dan Evaluasi Mutu Makanan Anak Balita dari Bahan Dasar Tepung Singkong dan Pisang. Laporan Penelitian. PAU Pangan dan Gizi, IPB, Bogor.
Ningrum, E. N. 1999. Kajian Teknologi Pembuatan Tepung Ubi Jalar Kaya Vitamin A. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.
Nosoh, Y. dan T. Sekiguchi.1991. Protein Stability and Stabilization Through Protein Engineering. Ellis Horwood Limited, England.
Ogden, J. 2003. The Psychology of Eating, Healthy to Disordered Behaviour. Blackwell Publication, Cornwall.
Palmer. 1982. Carbohydrate in sweet potato. Di dalam : Villareal, R.L., dan T.D. Griggs (Eds.), Sweet Potato : Proceeding of The First International Symposium Asian Vegetable Research and Development Center, Cina.
Pomeranz, Y., dan Shellenberger. 1971. Bread Science and Technology. The AVI Publ. Co. Inc. Westport. Connecticut.
Prosky, L., J.W. de Vries. 1992. Controlling Dietary Fiber in Food Products. Van Nostrand Reinhold, New York.
Ragnhild, A.L., N.L. Asp, M. Axelsen, dan A. Raben. 2004. Glycemic Index Relevance for Health, Dietary Recommendations, and Nutritional Labeling. Scandinavian Journal of Nutrition. 48 (2) : 84-94.
Rahayu, W. P. 1998. Penuntun Praktikum Penilaian Organoleptik. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Rahmanto, F. 1994. Teknologi Pembuatan Keripik Simulasi dari Talas Bogor (Colocasia esculenta (L) SHOTT). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB, Bogor.
Rashmi, S. dan A. Urooj. 2003. Effects of processing on Nutritionally important starch fractions in rice varieties. International Journal of Food Sciences and Nutrition. 54, 27-36.
Ressurreccion, A. V. 1998. Consumer Sensory Testing for Product Development. An Aspen Publisher, Inc., Gaithersburg, Maryland.
Rimbawan dan A. Siagian. 2004. Indeks Glikemik Pangan, Cara Mudah Memilih Pangan yang Menyehatkan. Penebar Swadaya, Jakarta.
77
Rubatzky, V.E., dan M. Yamaguchi. 1995. Sayuran Dunia I : Prinsip, Produksi, dan Gizi. Second edition. ITB, Bandung.
Rukmana, R. 1997. Ubi Jalar : Budi Daya dan Pasca Panen. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Sardesai, V.M. 2003. Introduction to Clinical Nutrition, 2nd Ed. Marcel Dekker, Inc., New York.
Soebito, S. 1988. Analisis Farmasi. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Soekarto, S. T. 1990. Penilaian Organoleptik Untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Penerbit Bharata Karya Aksara, Jakarta.
Subarna. 1992. Baking Technology. Pelatihan Singkat Prinsip-prinsip Teknologi Pangan Bagi Food Inspector. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. IPB, Bogor.
Suismono. 2001. Teknologi Pembuatan Tepung dan Pati Ubi-ubian Untuk Menunjang Ketahanan Pangan. Puslitbang Bulog, Jakarta.
Syarief dan Halid, 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB, Bogor
Tharanthan, R.N dan S. Mahadevam. 2003. Grain Legumes A Boon to Human Nutrition. Trends in Food Science and Technology. Vol 14 (12):507-518.
Troller, J.A., dan J.H.B. Christian. 1978. Water Activity and Food. Academic Press, New York.
U.S. Wheat Associates. 1983. Pedoman Pembuatan Roti dan Kue. Penerbit Djambatan, Jakarta.
Wardlaw, G.M. 1999. Perspective in Nutrition. Mc-Graw Hill, Boston.
William, M., J.R. Walter, dan E.S. William. 1982. Effect of Lye Peeling Conditions on Sweet Potato Tissue. J. of Science
Winarno, F. G. 1984. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia. Jakarta.
Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia. Jakarta.
Winarno, F. G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia. Jakarta.
Woolfe, J. A. 1999. Sweet Potato an Untapped Food Resource. Chapman and Hall, New York.
Yusuf, M. 2003. Varietas Unggul Ubi Jalar Untuk Bahan Baku Industri. Makalah disajikan pada Seminar Puslitbang Tanaman Pangan. Jakarta, 28 Agustus 2003. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor.
79
Lampiran 1. Hasil Analisis Fisik dan Kimia Tepung Ubijalar Klon BB00105.10 No. Jenis Analisis Ulangan 1 Ulangan 2 Rataan
1. Densitas kamba (g/ml) 0,474 0,491 0,482
2. Densitas padat (g/ml) 0,644 0,649 0,647
3. Kelarutan dalam air (%) 20,51 18,90 19,71
4.
Suhu awal gelatinisasi (°C) 75,0 75,6 75,3
Waktu gelatinisasi (menit) 30,0 30,4 30,2
Suhu gelatinisasi puncak (°C) 93,0 94,2 93,6
Waktu gelatinisasi puncak (menit) 42,0 42,8 42,4
Viskositas (BU) 540 530 535
5.
Warna : L 63,70 63,29 63,50
a (+) 5,72 (+) 5,29 (+) 5,50
b (+) 7,26 (+) 7,55 (+) 7,40
h° (hue) 51,9 55,1 53,5
6. aw 0,372 0,329 0,350
Suhu (°C) 29,4 29,9 29,6
7. Kadar air (% bb) 6,04 5,22 5,63
8. Kadar abu (% bb) 1,94 1,78 1,86
9. Kadar protein (% bb) 1,77 1,95 1,86
10. Kadar lemak (% bb) 0,95 0,98 0,96
11. Kadar karbohidrat (% bb) 89,3 90,07 89,69
80
Lampiran 2. Hasil Pengukuran Sifat Amilograf
Ulangan 1
Ulangan 2
Suhu dan waktu gelatinisasi
Viskositas puncak
Suhu dan waktu gelatinisasi puncak
Viskositas puncak
Suhu dan waktu gelatinisasi
Suhu dan waktu gelatinisasi puncak
81
Lampiran 3. Lembar Penilaian Uji Organoleptik
FORM UJI HEDONIK
Produk : Nama panelis : Telp/HP :
KUESIONER*
1. Apakah Anda pernah mengkonsumsi produk ini? Pernah (lanjutkan ke nomor 2) / tidak pernah (jangan lanjutkan)
2. Kapan Anda terakhir mengkonsumsi produk ini? 1/ 2-3/ >3 bulan yang lalu 3. Apakah Anda menyukai produk ini? Ya/tidak
*) Coret yang tidak perlu
UJI RATING Instruksi : 1. Cicipilah sampel satu per satu dari kiri ke kanan. 2. Pada kolom respon, berikan penilaian Anda berdasarkan tingkat kesukaan dengan memberikan check list (√). 3. Netralkan indera pengecap Anda dengan air putih setiap selesai mencicipi satu sampel. 4. Jangan membandingkan tingkat kesukaan antar sampel. 5. Setelah selesai berikan komentar Anda dalam ruang yang disediakan.
Respon Kode sampel
372 374 799 461 276 486 Sangat suka Suka Agak suka Netral Agak tidak suka Tidak suka Sangat tidak suka
Komentar : __________________________________________________________ __________________________________________________________ __________________________________________________________
UJI RANKING Instruksi : 1. Jangan lupa netralkan lidah anda sebelum mencicipi sampel. 2. Cicipilah sampel satu per satu dari kiri ke kanan. 3. Netralkan indera pengecap anda dengan air putih setiap selesai mencicipi satu sampel. 4. Bandingkanlah tingkat kesukaan Anda terhadap setiap sampel. 5. Urutkan ranking sampel berdasarkan tingkat kesukaan Anda, jangan ada angka ranking yang sama. Kode Sampel 372 374 799 461 276 486 Urutan ranking
Note : Urutan Ranking (1-6) Ranking 1 (untuk sampel yang paling Anda sukai), Ranking 6 (untuk sampel yang paling tidak Anda sukai)
Komentar : Apa Alasan Anda Memilih? ____________________________________________________________________________________________________________________________________________
☺ Terima kasih ☺
82
Lampiran 4. Rekapitulasi hasil uji organoleptik kue biji ketapang secara overall
Panelis Hedonik Ranking
F1 F2 F3 F4 F5 F6 F1 F2 F3 F4 F5 F6 1 6 5 4 2 2 5 6 2 4 3 1 5 2 5 5 6 4 4 5 2 3 1 6 5 4 3 4 5 4 5 5 4 4 3 6 1 2 5 4 6 5 6 6 5 6 3 6 1 4 5 2 5 3 4 6 6 5 6 6 5 4 3 2 1 6 3 5 6 3 6 5 5 4 3 6 2 1 7 3 3 2 3 3 5 4 2 5 6 3 1 8 5 6 5 6 5 5 5 1 6 2 4 3 9 4 6 3 3 4 4 4 1 5 6 2 3 10 3 5 4 3 5 5 2 4 3 1 6 5 11 1 1 2 1 2 1 4 5 3 2 1 6 12 3 4 4 3 2 3 5 6 1 4 3 2 13 2 3 3 3 4 4 6 2 1 4 5 3 14 2 2 2 3 3 3 5 1 3 6 4 2 15 4 5 6 4 4 3 2 5 6 3 1 4 16 4 6 4 3 5 5 4 1 6 5 2 3 17 4 4 3 3 4 4 5 6 1 2 3 4 18 6 6 3 6 4 5 4 6 5 1 3 2 19 6 6 5 5 5 5 4 6 2 1 3 5 20 6 5 7 4 6 3 6 5 1 4 3 2 21 4 3 5 5 4 3 2 1 6 4 5 3 22 6 5 6 6 6 6 2 3 6 1 5 4 23 6 6 7 7 6 6 2 3 6 4 5 1 24 4 6 2 3 5 4 5 1 4 3 6 2 25 7 5 3 6 7 6 3 2 1 4 6 5 26 1 2 1 1 1 1 4 6 5 1 3 2 27 3 5 6 4 3 5 6 3 5 4 1 2 28 6 5 6 6 6 6 4 2 1 6 5 3 29 5 4 5 5 6 4 3 4 1 6 2 5 30 3 4 2 5 1 1 5 1 4 6 2 3
Jumlah 125 136 128 124 128 128 122 100 106 109 100 93Rata-rata 4.17 4.53 4.27 4.13 4.27 4.27 4,07 3,33 3,53 3,63 3,33 3,10
Keterangan: Hedonik : 1 (sangat tidak suka); 2 (tidak suka); 3 (agak tidak suka); 4(netral); 5 (agak suka); 6 (suka); 7 (sangat suka) Ranking : 1 = produk yang paling disukai; 6 = produk yang paling tidak disukai F1 : tepung ubi jalar 50 %, gula 30 % F2 : tepung ubi jalar 50 %, gula 40 % F3 : tepung ubi jalar 60 %, gula 30 %
F4 : tepung ubi jalar 60 %, gula 40 % F5 : tepung ubi jalar 70 %, gula 30 % F6 : tepung ubi jalar 70 %, gula 40 %
% dihitung terhadap total tepung
83
Lampiran 5. Rekapitulasi hasil uji organoleptik donat secara overall
Panelis Hedonik Ranking
F1 F2 F3 F4 F5 F6 F1 F2 F3 F4 F5 F6 1 2 7 3 6 2 5 3 6 2 1 5 4 2 3 6 6 5 5 6 5 1 2 4 6 3 3 6 6 6 5 3 6 6 2 1 5 3 4 4 5 4 5 4 4 4 5 2 3 4 6 1 5 5 6 2 4 3 6 6 1 3 5 4 2 6 4 7 6 4 4 6 3 6 2 1 5 4 7 2 6 3 5 3 2 5 3 4 1 6 2 8 3 5 3 4 2 4 5 1 4 2 3 6 9 4 5 3 5 4 4 6 2 3 1 4 5 10 5 6 5 6 3 6 4 1 6 2 5 3 11 5 6 5 6 5 5 4 1 3 6 5 2 12 3 5 4 3 2 1 3 1 2 5 6 4 13 5 7 5 6 4 6 5 2 4 3 6 1 14 4 6 2 5 3 6 2 6 4 1 3 5 15 5 6 5 6 5 5 3 1 5 4 6 2 16 3 6 2 5 6 3 6 2 5 1 4 3 17 4 6 5 6 5 5 5 1 6 2 3 4 18 4 5 2 4 2 5 4 1 3 2 6 5 19 5 3 4 6 4 3 5 2 4 1 6 3 20 2 3 2 3 2 3 5 1 4 2 6 3 21 5 6 6 4 2 5 2 1 3 4 5 6 22 4 5 5 5 3 5 3 2 6 1 5 4 23 1 6 2 5 1 2 5 1 4 3 6 2 24 3 6 6 7 6 3 5 2 6 1 4 3 25 4 7 3 6 5 3 5 1 4 3 6 2 26 3 5 3 5 3 5 5 1 3 2 4 6 27 5 3 6 6 3 4 4 1 2 5 6 3 28 4 5 4 4 4 5 3 1 5 4 6 2 29 4 7 6 5 3 6 6 1 3 4 5 2 30 3 2 3 5 3 4 6 1 4 2 5 3
Jumlah 115 163 122 150 104 133 134 55 110 82 150 99Rata-rata 3,83 5,43 4,07 5,00 3,47 4,43 4,47 1,83 3,67 2,73 5,00 3,30
Keterangan: Hedonik : 1 (sangat tidak suka); 2 (tidak suka); 3 (agak tidak suka); 4(netral); 5 (agak suka); 6 (suka); 7 (sangat suka) Ranking : 1 = produk yang paling disukai; 6 = produk yang paling tidak disukai F1 : tepung ubi jalar 20 %, gula 8 % F2 : tepung ubi jalar 20 %, gula 16 % F3 : tepung ubi jalar 30 %, gula 8 %
F4 : tepung ubi jalar 30 %, gula 16 % F5 : tepung ubi jalar 40 %, gula 8 % F6 : tepung ubi jalar 40 %, gula 16 %
% dihitung terhadap total tepung
84
Lampiran 6. Rekapitulasi hasil uji organoleptik kue bawang secara overall
Panelis Hedonik Ranking
F1 F2 F3 F4 F5 F6 F1 F2 F3 F4 F5 F6 1 4 5 4 4 4 4 4 6 5 3 2 1 2 3 4 2 2 2 4 3 5 1 2 6 4 3 5 6 3 3 5 2 6 1 4 2 3 5 4 6 5 4 6 4 4 5 2 4 1 6 3 5 5 5 6 6 4 4 4 5 1 2 6 3 6 5 5 6 7 6 6 3 6 5 2 4 1 7 4 3 5 5 4 4 2 1 4 3 6 5 8 5 6 6 5 4 6 5 3 1 4 2 6 9 6 6 6 6 3 6 2 3 1 5 4 6 10 2 5 3 6 4 4 6 1 3 2 5 4 11 6 7 7 5 4 5 2 1 6 3 5 4 12 4 2 5 5 3 6 5 1 3 4 6 2 13 5 7 3 6 2 6 1 2 3 4 5 6 14 7 5 7 6 6 6 5 2 4 6 3 1 15 5 7 6 6 2 7 1 2 6 3 5 4 16 4 4 6 5 5 3 1 2 5 3 4 6 17 6 5 4 5 4 3 4 5 1 3 2 6 18 6 6 3 5 4 5 5 2 4 3 6 1 19 5 6 6 4 6 7 1 6 2 4 5 3 20 7 6 5 5 4 3 4 1 5 3 6 2 21 4 6 5 5 2 6 4 6 2 3 5 1 22 6 7 3 5 5 5 1 3 2 4 6 5 23 3 7 4 6 3 4 1 5 4 3 6 2 24 5 6 4 4 3 4 3 5 2 1 4 6 25 4 3 4 5 4 5 6 5 2 1 3 4 26 5 3 7 6 2 5 4 3 2 1 5 6 27 6 6 7 7 7 7 2 3 4 1 5 6 28 5 6 6 6 6 5 2 1 4 5 3 6 29 6 3 7 6 3 4 3 1 5 4 6 2 30 5 3 3 5 6 6 1 6 2 3 4 5
Jumlah 149 155 147 157 121 146 96 95 97 88 138 116Rata-rata 4.97 5.17 4.90 5.23 4.03 4.87 3,20 3,17 3,23 2,93 4,60 3,87
Keterangan: Hedonik : 1 (sangat tidak suka); 2 (tidak suka); 3 (agak tidak suka); 4(netral); 5 (agak suka); 6 (suka); 7 (sangat suka) Ranking : 1 = produk yang paling disukai; 6 = produk yang paling tidak disukai F1 : tepung ubi jalar 30 %, margarin 0% F2 : tepung ubi jalar 30 %, margarin 10% F3 : tepung ubi jalar 40 %, margarin 0 %
F4 : tepung ubi jalar 40 %, margarin 10 % F5 : tepung ubi jalar 50 %, margarin 0 % F6 : tepung ubi jalar 50 %, margarin 10 %
% dihitung terhadap total tepung
85
Lampiran 7. Hasil uji hedonik formula kue biji ketapang dengan ANOVA dan uji Duncan
Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: SKOR
3566.461a 35 101.899 102.224 .000278.161 29 9.592 9.622 .000
2.961 5 .592 .594 .704144.539 145 .997
3711.000 180
SourceModelPANELISSAMPELErrorTotal
Type III Sumof Squares df Mean Square F Sig.
R Squared = .961 (Adjusted R Squared = .952)a.
Homogeneous Subsets
SKOR
Duncana,b
30 4.1330 4.1730 4.2730 4.2730 4.2730 4.53
.181
SAMPEL413562Sig.
N 1Subset
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.Based on Type III Sum of SquaresThe error term is Mean Square(Error) = .997.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000.a.
Alpha = .05.b.
Lampiran 8. Hasil uji ranking formula kue biji ketapang dengan Friedman Test
Friedman Test
Test Statisticsa
304.762
5.446
NChi-SquaredfAsymp. Sig.
Friedman Testa.
Ranks
4.073.333.533.633.333.10
SKOR_1SKOR_2SKOR_3SKOR_4SKOR_5SKOR_6
Mean Rank
86
Lampiran 9. Hasil uji hedonik formula donat dengan ANOVA dan uji lanjut Duncan
Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: SKOR
3637.994a 35 103.943 87.117 .000115.228 29 3.973 3.330 .000
81.828 5 16.366 13.716 .000173.006 145 1.193
3811.000 180
SourceModelPANELISSAMPELErrorTotal
Type III Sumof Squares df Mean Square F Sig.
R Squared = .955 (Adjusted R Squared = .944)a.
Homogeneous Subsets
SKOR
Duncana,b
30 3.4730 3.83 3.8330 4.07 4.0730 4.4330 5.0030 5.43
.196 .409 .196 .127
SAMPEL513642Sig.
N 1 2 3 4Subset
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.Based on Type III Sum of SquaresThe error term is Mean Square(Error) = 1.193.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000.a.
Alpha = .05.b.
Lampiran 10. Hasil uji ranking formula donat dengan Friedman Test
Friedman Test Ranks
4.471.833.672.735.003.30
SKOR_1SKOR_2SKOR_3SKOR_4SKOR_5SKOR_6
Mean Rank
Test Statisticsa
3056.724
5.000
NChi-SquaredfAsymp. Sig.
Friedman Testa.
87
Lampiran 11. Hasil uji hedonik formula kue bawang dengan ANOVA dan uji lanjut Duncan
Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: SKOR
4385.394a 35 125.297 90.117 .000104.028 29 3.587 2.580 .000
27.894 5 5.579 4.012 .002201.606 145 1.390
4587.000 180
SourceModelPANELISSAMPELErrorTotal
Type III Sumof Squares df Mean Square F Sig.
R Squared = .956 (Adjusted R Squared = .945)a.
Homogeneous Subsets
SKOR
Duncana,b
30 4.0330 4.8730 4.9030 4.9730 5.1730 5.23
1.000 .292
SAMPEL563124Sig.
N 1 2Subset
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.Based on Type III Sum of SquaresThe error term is Mean Square(Error) = 1.390.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000.a.
Alpha = .05.b.
Lampiran 12. Hasil uji ranking formula kue bawang dengan Friedman Test
Friedman Test Ranks
3.203.173.232.934.603.87
SKOR_1SKOR_2SKOR_3SKOR_4SKOR_5SKOR_6
Mean Rank
Test Statisticsa
3016.610
5.005
NChi-SquaredfAsymp. Sig.
Friedman Testa.
88
Lampiran 13. Analisis Fisik Produk Olahan Goreng Tepung Ubi Jalar Klon BB00105.10 Sampel Rendemen (%) Kekerasan (gf)
1 2 rataan 1 2 rataan Biji ketapang 98.29 98.02 98.15 1648 1598 1623 Donat 99.80 99.50 99.65 2945 2843 2894 Kue bawang 97.34 95.79 96.56 636 586 611
Lampiran 14. Analisis Kimia Produk Olahan Goreng Tepung Ubi Jalar Klon BB00105.10
Sampel Kadar air (% bb) Kadar abu (% bb) Protein (% bb) Lemak (% bb) Karbohidrat (% bb) 1 2 rataan 1 2 rataan 1 2 rataan 1 2 rataan 1 2 Rataan
Biji ketapang 3.67 3.09 3.38 1.16 1.09 1.12 5.40 5.15 5.27 29.63 32.55 31.09 60.14 58.13 59.14 Donat 21.96 20.70 21.33 1.00 1.04 1.02 6.05 6.80 6.43 19.51 13.04 16.27 51.48 58.43 54.95 Kue bawang 2.03 1.92 1.97 2.11 2.16 2.14 4.41 4.40 4.41 29.60 29.92 29.76 61.85 61.60 61.72
Sampel Daya cerna pati (%) Kadar amilosa Serat makanan tidak larut (%)
Serat makanan larut (%)
Total serat makanan (%)
1 2 rataan 1 2 rataan 1 2 rataan 1 2 rataan 1 2 RataanBiji ketapang 57.50 56.61 57.05 15.40 15.36 15.38 4.19 4.38 4.29 2.91 2.60 2.76 7.10 6.99 7.04 Donat 68.54 69.56 69.05 18.94 20.64 19.79 2.81 3.08 2.94 3.24 3.64 3.44 6.05 6.72 6.39 Kue bawang 63.00 71.51 67.26 20.70 21.19 20.94 3.04 3.35 3.20 4.64 4.71 4.68 7.68 8.06 7.87
89
Lampiran 15. Rekapitulasi Indeks Glikemik Kue Biji Ketapang
Panelis
Glukosa Kue Biji Ketapang Indeks
GlikemikWaktu
Luas Waktu
Luas 0 30 60 90 120 0 30 60 90 120
1 89 119 134 121 101 3390 91 140 95 91 113 1920 57
2 88 147 142 83 63 3309 88 120 124 97 85 2274 69
3 85 133 123 93 90 2895 85 110 85 97 95 1260 44
4 86 138 165 160 96 6300 81 126 117 99 82 2985 47
5 84 138 109 65 76 2207,5 86 108 99 88 96 1260 57
6 86 148 150 117 102 4950 88 137 107 101 98 2580 52
7 88 148 143 124 108 4830 89 113 98 93 101 1290 27
8 88 138 127 116 115 3915 81 108 85 96 100 1665 43
Indeks Glikemik Total 49 + 12
Lampiran 16. Rekapitulasi Indeks Glikemik Kue Bawang
Panelis
Glukosa Kue Bawang Indeks
GlikemikWaktu
Luas Waktu
Luas 0 30 60 90 120 0 30 60 90 120
1 82 122 115 101 94 2940 84 92 96 91 95 975 33
2 94 144 133 105 74 2890 98 120 103 98 108 960 33
3 94 130 128 100 95 2295 91 117 94 91 87 867 38
4 90 133 131 123 100 3660 81 104 95 93 95 1680 46
5 87 146 161 159 123 6690 81 103 96 99 99 1920 29
6 87 134 127 114 102 3645 89 106 101 98 104 1365 37
7 82 166 164 136 97 6825 79 106 92 86 96 1665 24
8 79 128 109 107 94 3435 88 96 97 97 90 810 24
Indeks Glikemik Total 32 + 7
90
Lampiran 17. Resep Kue Biji Ketapang Ubi Jalar
Bahan : 37.5 gram tepung terigu
87.5 gram tepung ubi jalar
37.5 gram gula pasir
Kelapa parut digongseng, lalu ditumbuk
1 butir telur
Cara membuat :
1. Campur tepung terigu, dan tepung ubi jalar, aduk rata
2. Kocok telur dan gula hingga gula larut, masukkan kelapa parut, kocok hingga rata
3. Masukkan campuran telur ke dalam campuran tepung, aduk rata
4. Tambahkan air sedikit demi sedikit sambil diuleni hingga kalis
5. Pulung adonan lalu potong miring 1 cm
6. Goreng hingga kuning kecoklatan
Lampiran 18. Resep Donat Ubi Jalar
Bahan : 175 gram tepung terigu
75 gram tepung ubi jalar
40 gram gula
50 gram margarin
½ sdm ragi
1 butir kuning telur
½ sdt baking powder
1 sdt pelembut
Cara membuat :
1. Campur tepung terigu, tepung ubi jalar, gula, ragi, baking powder, dan pelembut, aduk
rata
2. Masukkan margarin, aduk rata
3. Masukkan telur, aduk rata
4. Tambahkan air sedikit demi sedikit sambil diuleni hingga kalis
5. Tutup adonan dengan lap basah dan diamkan selama 20 menit
6. Bagi adonan menjadi beberapa bagian dan dibentuk donat
7. Goreng dengan api kecil
91
Lampiran 19. Resep Kue Bawang Ubi Jalar
Bahan : 50 gram tepung terigu
50 gram tepung ubi jalar
10 gram margarin
2 gram garam
bawang merah dihaluskan
daun seledri secukupnya
Air
Cara membuat :
1. Campur tepung terigu, tepung ubi jalar, margarin, garam. Masukkan bawang merah
yang sudah dihaluskan, aduk sampai rata
2. Tambahkan air sedikit demi sedikit sambil diuleni hingga adonan kalis
3. Gilas adonan dengan mesin pembuat mie hingga membentuk lembaran tipis
4. Potong adonan dengan panjang 5 – 6 cm
5. Goreng hingga matang dan kering