Top Banner
ANALISIS PENDAPAT IMAM SYAFI'I TENTANG SAHNYA NIKAH MUHALLIL SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata I Dalam Ilmu Syari’ah Oleh: M. DA'IN FAZANI NIM: 2103206 JURUSAN AHWAL SYAHSIYAH FAKULTAS SYARI’AH IAIN WALISONGO SEMARANG 2010
88

skiripsi muhallil

Nov 25, 2015

Download

Documents

Eneng Agnez
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • ANALISIS PENDAPAT IMAM SYAFI'I TENTANG SAHNYA

    NIKAH MUHALLIL

    SKRIPSI

    Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata I

    Dalam Ilmu Syariah

    Oleh: M. DA'IN FAZANI NIM: 2103206

    JURUSAN AHWAL SYAHSIYAH

    FAKULTAS SYARIAH

    IAIN WALISONGO SEMARANG

    2010

  • ii

    PERSETUJUAN PEMBIMBING

    Lamp : 5 (lima) eksemplar Kepada Yth Hal : Naskah Skripsi Dekan Fakultas Syari'ah

    a.n. Sdr. M. Da'in Fazani IAIN Walisongo Di Semarang

    Assalamuaalaikum Wr.Wb.

    Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama ini

    saya kirimkan naskah skripsi saudara:

    Nama : M. Da'in Fazani

    Nomor Induk : 2103206

    Jurusan : AS

    Judul Skripsi : ANALISIS PENDAPAT IMAM SYAFI'I

    TENTANG SAHNYA NIKAH MUHALLIL

    Selanjutnya saya mohon agar skripsi saudara tersebut dapat segera

    dimunaqasyahkan

    Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih

    Wassalamualaikum Wr.Wb.

    Semarang, Desember 2009

    Pembimbing,

    Dra. Hj. Siti Mujibatun, M.Ag NIP. 19590413 198703 2001

  • iii

    DEPARTEMEN AGAMA RI INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO

    FAKULTAS SYARIAH SEMARANG Jl. Prof. Dr. HAMKA km.2 (Kampus III) Ngalian 50159 Semarang

    PENGESAHAN

    Skripsi saudara : M. Da'in Fazani

    NIM : 2103206

    Fakultas : Syariah

    Jurusan : AS

    Judul : ANALISIS PENDAPAT IMAM SYAFI'I TENTANG

    SAHNYA NIKAH MUHALLIL

    Telah dimunaqasahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syariah Institut

    Agama Islam Negeri Walisongo Semarang dan dinyatakan lulus, pada tanggal:

    29 Desember 2009

    Dan dapat diterima sebagai syarat guna memperoleh gelar sarjana Strata1

    tahun akademik 2008/2009.

    Semarang, Januari 2010 Ketua Sidang, Sekretaris Sidang,

    Dra. Hj. Endang Rumaningsih, M.Hum Dra. Hj. Siti Mujibatun, M.Ag NIP. 19560101 198403 2 001 NIP. 19590413 198703 2 001 Penguji I, Penguji II, Drs. H. Muhyiddin, M.Ag Dr. H. Moh. Arja Imroni, M.Ag NIP. 19550228 198303 1 003 NIP. 19690709 199703 1 001

    Pembimbing,

    Dra. Hj. Siti Mujibatun, M.Ag NIP. 19590413 198703 2001

  • iv

    M O T T O

    ) :

    230( Artinya: Jika ia mentalak isterinya maka tidak halal baginya kemudian

    sehingga ia kawin dengan laki-laki lain. Jika kemudian ditalaknya juga, maka tidaklah berdosa bagi mereka untuk kembali rujuk, jika mereka yakin akan dapat menjalankan hukum Allah. (QS.Al-Baqarah.-230).

    Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya,

    Surabaya: Depag RI, 1986, hlm. 55..

  • v

    PERSEMBAHAN

    Kupersembahkan karya ini untuk:

    o Bapak H. Sholeh Asy'ari dan Ibu Hj. Siti Shofiati selaku orang tuaku tercinta yang selalu memberi semangat, membimbing dan mengarahkan

    hidupku, yang memberi tahu arti hidup ini.

    o Kakak-kakakku tercinta (Miftakhul Falakh, Nichlatun Nafi'ah, M.Imam Nafi', dan Umi Zarin) yang selalu tak henti-hentinya memberi semangat dan

    motivasi dalam hidup ini terutama dalam menyelesaikan studi dan khususnya

    skripsi ini.

    o Nida Naily 'Illiyyun, yang telah banyak membantu dan memotivasi dalam penulisan skripsi ini

    o Teman-Temanku (Ucup, Gepeng, Eko, Syafiq, Fendy dan teman-teman WSC yang tak dapat kusebutkan satu persatu yang selalu bersama-sama dalam

    meraih cita-cita

    Penulis

  • vi

    DEKLARASI

    Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab,

    penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak

    berisi materi yang telah pernah ditulis oleh

    orang lain atau diterbitkan. Demikian juga

    skripsi ini tidak berisi satupun pemikiran-

    pemikiran orang lain, kecuali informasi yang

    terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan

    rujukan.

    Semarang, 8 Desember 2009

    M. DA'IN FAZANI NIM: 2103206

  • vii

    ABSTRAK

    Nikah muhallil adalah nikah yang dimaksudkan untuk menghalalkan

    bekas istri yang telah ditalak tiga kali. Imam Malik berpendapat bahwa nikah muhallil dapat dibatalkan. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa nikah muhallil itu sah. Adapun Imam Malik berpendapat bahwa akadnya rusak dan batal sehingga perkawinan selanjutnya oleh mantan suami pertama tidak sah. Yang menjadi perumusan masalah yaitu bagaimana pendapat Imam Syafi'i tentang sahnya nikah muhallil? Bagaimana metode istinbat hukum Imam Syafi'i tentang sahnya nikah muhallil?

    Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan (library research), yaitu dengan jalan melakukan penelitian terhadap sumber-sumber tertulis, maka penelitian ini bersifat kualitatif. Sumber data primernya yaitu Al-Umm sedangkan sumber data sekundernya yaitu literatur lainnya yang relevan dengan judul di atas, di antaranya: Sahih al-Bukhari; Sahih Muslim; Tasir Ibnu Kasir; Tafsir al-Maragi, Tafsir Ahkam; Fath al-Mu'in; Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid; Fiqh al-Sunnah. Dalam pengumpulan data ini penulis menggunakan metode library research (penelitian kepustakaan) yaitu suatu kegiatan penelitian yang dilakukan dengan menghimpun data dari literatur, dan literatur yang digunakan tidak terbatas hanya pada buku-buku tapi juga berupa artikel dan penelitian-penelitian sebelumnya. Data hasil penelitian kepustakaan yang telah terkumpul kemudian dianalisis dengan metode penelitian deskriptif analisis.

    Hasil penulisan menunjukkan bahwa Menurut Imam Syafi'i nikah muhallil sah. Dalam pandangan Imam Syafi'i, nikah muhallil itu sah sepanjang dalam ijab qabul pada saat akad nikah tidak disebutkan suatu persyaratan, meskipun adanya niat untuk menghalalkan wanita itu menikah lagi dengan suami yang lama. Menurut penulis, tampaknya Imam Syafi'i lebih melihat kepada aspek zahir atau luarnya saja yaitu ucapan dianggap bisa membatalkan keabsahan nikah muhallil, sedangkan niat tampaknya kurang dihiraukan oleh Imam Syafi'i. Padahal niat itu justru yang lebih menentukan suatu perbuatan. Meskipun calon suami mengucapkan suatu persyaratan, namun jika tidak ada niat seperti ucapannya, dengan kata lain, berbedanya niat dengan ucapan, maka sepatutnya ucapan dikalahkan oleh niat. Namun justru sebaliknya dalam perspektif Imam Syafi'i "niat" bisa dikalahkan oleh "ucapan". Dalam hubungannya dengan sahnya nikah muhallil, Imam Syafi'i menggunakan metode istinbat hukum berupa qiyas yaitu meng-qiyaskan nikah muhallil dengan nikah biasa.

  • viii

    KATA PENGANTAR

    Segala puji bagi Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang, bahwa atas

    taufiq dan hidayah-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi

    ini. Skripsi yang berjudul: ANALISIS PENDAPAT IMAM SYAFI'I

    TENTANG SAHNYA NIKAH MUHALLIL ini disusun untuk memenuhi salah

    satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S.1) Fakultas Syariah

    Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang.

    Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan

    saran-saran dari berbagai pihak sehingga penyusunan skripsi ini dapat

    terselesaikan. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada :

    1. Bapak Drs. H. Muhyiddin, M.Ag selaku Dekan Fakultas Syariah IAIN

    Walisongo Semarang.

    2. Ibu Dra. Hj. Siti Mujibatun, M.Ag selaku Dosen Pembimbing yang telah

    bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan

    bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.

    3. Bapak Pimpinan Perpustakaan Institut yang telah memberikan izin dan

    layanan kepustakaan yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini.

    4. Para Dosen Pengajar di lingkungan Fakultas Syariah IAIN Walisongo,

    beserta staf yang telah membekali berbagai pengetahuan

    5. Orang tuaku yang senantiasa berdoa serta memberikan restunya, sehingga

    penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

    Akhirnya hanya kepada Allah penulis berserah diri, dan semoga apa yang

    tertulis dalam skripsi ini bisa bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan para

    pembaca pada umumnya. Amin.

    Penulis

  • ix

    DAFTAR ISI

    HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i

    HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................ ii

    HALAMAN PENGESAHAN....................................................................... iii

    HALAMAN MOTTO ................................................................................... iv

    HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................. v

    HALAMAN DEKLARASI........................................................................... vi

    ABSTRAK ................................................................................................... vii

    KATA PENGANTAR................................................................................... viii

    DAFTAR ISI ................................................................................................. ix

    BAB I : PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah .................................................... 1

    B. Perumusan Masalah .................................................... 5

    C. Tujuan Penelitian .................................................... 6

    D. Telaah Pustaka .................................................... 6

    E. Metode Penelitian .................................................... 9

    F. Sistematika Penulisan .................................................... 11

    BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG AKAD NIKAH MUHALLIL

    A. Pengertian Akad .................................................... 13

    B. Unsur-Unsur Akad .................................................... 14

    C. Rukun dan Syarat Akad . ................................................... 17

    D. Akad Nikah Muhallil .. 30

    BAB III : PENDAPAT IMAM SYAFI'I TENTANG SAHNYA NIKAH

    MUHALLIL

    A. Biografi Imam Syafi'i, Pendidikan dan Karyanya ................. 35

    1. Latar Belakang Imam Syafi'i ..................................... 35

    2. Pendidikan ..................................... 38

  • x

    3. Karyanya ..................................... 40

    B. Pendapat Imam Syafi'i tentang Sahnya Nikah Muhallil ........ 42

    C. Metode Istinbat Hukum Imam Syafi'i tentang Sahnya

    Nikah Muhallil ..................................... 43

    BAB IV : ANALISIS PENDAPAT IMAM SYAFI'I TENTANG NIKAH

    MUHALLIL

    A. Analisis Pendapat Imam Syafi'i tentang Sahnya

    Nikah Muhallil ..................................... 52

    B. Metode Istinbat Hukum Imam Syafi'i tentang Sahnya

    Nikah Muhallil ..................................... 62

    BAB V : PENUTUP

    A. Kesimpulan .................................................... 73

    B. Saran-saran .................................................... 73

    C. Penutup .................................................... 74

    DAFTAR PUSTAKA

    LAMPIRAN

    DAFTAR RIWAYAT HIDUP

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perceraian berarti

    perpisahan atau perpecahan.1 Islam melarang perceraian yang bisa

    merobohkan sendi-sendi keluarga dan menyebarkan aib-aibnya,

    melemahkan kesatuan umat dan membuat perasan mendendam serta

    mengkoyak-koyak tabir kehormatan.2

    Abul A'la Maududi mengatakan, salah satu prinsip hukum

    perkawinan Islam adalah bahwa ikatan perkawinan itu harus diperkuat

    sedapat mungkin. Oleh karena itu, segala usaha harus dilakukan agar

    persekutuan tersebut dapat terus berlangsung. Namun, apabila semua

    harapan dan kasih sayang telah musnah dan perkawinan menjadi sesuatu

    yang membahayakan sasaran hukum untuk kepentingan mereka dan

    kepentingan masyarakat, maka perpisahan di antara mereka boleh

    dilakukan. Islam memang berusaha untuk menguatkan ikatan perkawinan,

    namun berbeda dengan ajaran agama lain, Islam tidak mengajarkan bahwa

    pasangan perkawinan itu tidak dapat dipisahkan lagi. Bila pasangan tersebut

    telah benar-benar rusak dan bila mempertahankannya malah akan

    1Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002, hlm. 209. 2Syekh Muhammad Alwi al-Maliki, Adab al-Islam fi Nidham al-Usrah, "Sendi-Sendi

    Kehidupan Keluarga Bimbingan Bagi Calon Pengantin", Terj. Ms. Udin dan Izzah Sf, Yogyakarta: Agung Lestari, 1993, hlm. 87.

  • 2

    menimbulkan penderitaan berkepanjangan bagi kedua belah pihak dan akan

    melampaui ketentuan-ketentuan Allah, ikatan itu harus dikorbankan. Itu

    berarti pintu perceraian harus dibuka, walaupun tidak selebar yang

    dilakukan negara Rusia, Amerika, dan sebagian negara Barat.3

    Meskipun tidak ada ayat al-Quran yang menyuruh atau melarang

    melakukan talak, namun talak itu termasuk perbuatan yang tidak disenangi

    Nabi Saw. Ketidaksenangan Nabi Saw kepada perceraian itu terlihat dalam

    hadisnya dari Ibnu Umar menurut riwayat Abu Daud, Ibnu Majah dan

    disahkan oleh Al-Hakim, sabda Nabi:

    : )

    (4 Artinya: Ibnu Umar ra., mengatakan: Rasulullah Saw bersabda:

    perbuatan halal yang sangat dibenci oleh Allah ialah talak (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah dan disahkan oleh al-Hakim).

    Walaupun talak itu dibenci namun terjadi dalam suatu rumah tangga,

    dan sebagai jalan terakhir bagi kehidupan rumah tangga dalam keadaan

    tertentu (darurat, logis dan argumentatif) boleh dilakukan.5

    Dengan melihat kepada kemungkinan bolehnya si suami kembali

    kepada mantan istrinya, talaq itu ada dua macam:

    3Abul A'la Maududi, The Laws of Marriage and Divorce in Islam, Terj. Achmad Rais,

    "Kawin dan Cerai Menurut Islam", Jakarta: anggota IKAPI, 1991, hlm. 41. 4Al-Hafidz ibn Hajar al-Asqalani, Bulug al-Marram, Bairut: Daar al-Kutub al-Ijtimaiyah,

    tth, hlm. 223 5Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media,

    2006, hlm. 201

  • 3

    1). Talaq raj'iy. Menurut Muhammad Jawad Mughniyah yaitu talaq dimana

    suami masih memiliki hak untuk kembali kepada istrinya (rujuk)

    sepanjang istrinya tersebut masih alam masa 'iddah, baik istri tersebut

    bersedia dirujuk maupun tidak.6 Hal senada dikemukakan juga oleh Ibnu

    Rusyd bahwa talaq raj'iy adalah suatu talaq dimana suami memiliki hak

    untuk merujuk istri.7

    Dalam al-Qur'an diungkapkan bahwa talaq raj'iy adalah talaq satu

    atau talaq dua tanpa didahului tebusan dari pihak istri, dimana suami boleh

    ruju' kepada istri, sebagaimana firman Allah pada surat al-Baqarah (2)

    ayat 229:

    ) :229(

    Artinya: Talaq itu adalah sampai dua kali, sesudah itu tahanlah dengan baik atau lepaskanlah dengan baik. (Q.S. al-Baqarah: 229)8

    Lafaz mengandung arti ruju' pada waktu

    masih berada dalam masa 'iddah.

    2). Talaq bain. Menurut Ibrahim Muhammad al-Jamal, talaq bain adalah talaq

    yang menceraikan istri dari suaminya sama sekali, dimana suami tak dapat

    lagi secara sepihak merujuki istrinya.9 Dengan kata lain, takak bain yaitu

    6Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh Ala al-Mazahib al-Khamsah, Terj. Masykur,

    Afif Muhammad, Idrus al-Kaff, "Fiqih Lima Mazhab", Jakarta: Lentera, 2001, hlm. 451. 7Ibnu Rusyd, Bidyah al Mujtahid Wa Nihyah al Muqtasid, Juz. II, Beirut: Dr Al-Jiil,

    1409 H/1989, hlm. 45. 8Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya,

    Surabaya: Depag RI, 1986, hlm. 55. 9Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqh al-Marah al-Muslimah, Terj. Anshori Umar

    Sitanggal, Fiqih Wanita, Semarang: CV Asy-Syifa, 1986, hlm. 411.

  • 4

    talaq yang putus secara penuh dalam arti tidak memungkinkan suami

    kembali kepada istrinya kecuali dengan nikah baru, talaq bain inilah yang

    tepat untuk disebut putusnya perkawinan.

    Talaq bain ini terbagi pula kepada dua macam:

    a. Bain sughra, ialah talaq yang menghilangkan hak-hak rujuk dari bekas

    suaminya, tetapi tidak menghilangkan hak nikah baru kepada bekas

    istrinya itu.10 Atau talaq yang suami tidak boleh ruju' kepada mantan

    istrinya, tetapi ia dapat kawin lagi dengan nikah baru tanpa melalui

    muhallil.

    b. Bain kubra, yaitu talaq yang telah dijatuhkan tiga.11 Atau dengan kata lain

    talaq yang tidak memungkinkan suami ruju' kepada mantan istrinya. Dia

    hanya boleh kembali kepada istrinya setelah istrinya itu kawin dengan

    laki-laki lain dan bercerai pula dengan laki-laki itu dan habis 'iddahnya.

    Sebagian berpendapat, perkawinan istri dengan suami kedua tersebut

    bukanlah suatu rekayasa licik, akal-akalan, seperti nikah muhallil (sengaja

    diselang). Sebagian lainnya mengatakan, hal itu dapat saja terjadi dan

    halal bagi suami pertama.

    Nikah muhallil adalah nikah yang dimaksudkan untuk menghalalkan

    bekas istri yang telah ditalak tiga kali. Imam Malik berpendapat bahwa nikah

    muhallil dapat dibatalkan. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa nikah

    muhallil itu sah.12 Adapun Imam Malik berpendapat bahwa akadnya rusak dan

    batal sehingga perkawinan selanjutnya oleh mantan suami pertama tidak sah.

    10Djamaan Nur, Fiqih Munakahat, Semarang: CV Toha Putra, 1993, hlm. 140. 11Ahmad Azhar Basyir, op. cit, hlm. 81. 12Ibnu Rusyd, op.cit., hlm. 44.

  • 5

    Menurut Imam Syafi'i akadnya dianggap sah, hal ini sebagaimana ia

    katakan dalam kitabnya al-Umm:

    13 Artinya: Seperti demikian juga, kalau lelaki itu kawin dengan seorang

    wanita. Niatnya lelaki dan niatnya wanita atau niatnya salah seorang dari keduanya, tidak yang lain, bahwa lelaki tersebut tidak menahan wanita itu, selain kadar ia menytubuhinya. Maka perkawinan itu menghalalkan wanita tersebut bagi suaminya, yang tetaplah nikah itu. Sama saja diniatkan oleh wali itu bersama kedua suami isteri tersebut atau diniatkan oleh bukan wali atau tidak diniatkan oleh wali dan oleh yang lain dari wali.

    Berdasarkan keterangan tersebut mendorong penulis memilih tema ini

    dengan judul: Analisis Pendapat Imam Syafi'i tentang Sahnya Nikah Muhallil

    B. Perumusan Masalah

    Dengan memperhatikan latar belakang masalah, maka yang menjadi

    perumusan masalah sebagai berikut:

    1. Bagaimana pendapat Imam Syafi'i tentang sahnya nikah muhallil ditinjau

    dari aspek sahnya?

    2. Bagaimana metode istinbat hukum Imam Syafi'i tentang sahnya nikah

    muhallil?

    13Imam Syafi'i, al-Umm. Juz V, Beirut: Dar al-Kutub, Ijtimaiyyah, t.th, hlm. 86.

  • 6

    C. Tujuan Penelitian

    Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini sebagai berikut:

    1. Untuk mengetahui pendapat Imam Syafi'i tentang sahnya nikah muhallil

    ditinjau dari aspek sahnya

    2. Untuk mengetahui metode istinbat hukum Imam Syafi'i tentang sahnya

    nikah muhallil

    D. Telaah Pustaka

    Dalam penelitian di perpustakaan, peneliti belum mampu menemukan

    skripsi yang membahas nikah muhallil, dan berdasarkan penelitian baru

    ditemukan skripsi yang judulnya hanya membahas talaq tapi belum

    menyentuh persoalan nikah muhallil. Skripsi yang dimaksud di antaranya:

    1. Penelitian yang disusun Mukhsin, 2199141 (Fakultas Syariah IAIN

    Walisongo Semarang): Studi Analisis Pendapat Ibnu Hazm tentang

    Batalnya Talaq dengan Sumpah Talaq. Dalam skripsi ini dijelaskan

    bahwa menurut Ibnu Hazm, talaq dengan sumpah talaq tidak berlaku

    sehingga dengan sendirinya talaq yang demikian tidak sah atau batal.

    Apabila seorang suami berkata seperti, "apabila akhir bulan datang maka

    engkau tertalaq atau ia menyebutkan waktu tertentu maka dengan ucapan

    seperti ini tidak berarti jatuh talaq baik sekarang ini maupun nanti ketika

    akhir bulan tiba. Alasannya ialah karena di dalam Al-Qur'an dan Sunnah

    Nabi tidak ada keterangan tentang jatuhnya talaq seperti itu atau karena

  • 7

    Allah telah mengajarkan kepada kita tentang mentalaq isteri yang sudah

    dikumpuli atau yang belum dikumpuli.

    2. Penelitian yang disusun oleh Siti Nur Khasanah, 2100146 (Fakultas

    Syariah IAIN Walisongo Semarang) dengan judul: Studi Komperatif

    Terhadap Pendapat Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Hazm Tentang Taklik

    Talaq Kaitannya Dengan Waktu Yang Akan Datang. Menurut penyusun

    skripsi ini bahwa ucapan ta'lik talaq yang dikaitkan pada waktu akan

    datang maksudnya ialah: talaq yang diucapkan dikaitkan dengan waktu

    tertentu sebagai syarat dijatuhkannya talaq, dimana talaq itu jatuh jika

    waktu yang dimaksud telah datang. Contohnya: seorang suami berkata

    kepada isterinya: Engkau besok tertalaq atau engkau tertalaq pada akhir

    tahun; dalam hal ini talaqnya akan berlaku besok pagi atau pada akhir

    tahun, selagi perempuannya masih dalam kekuasaannya ketika waktu

    yang telah tiba yang menjadi syarat bergantungnya talaq.

    3. Penelitian yang disusun oleh Nur Kheli, 2100043 (Fakultas Syariah IAIN

    Walisongo Semarang) dengan judul: Analisis Pendapat Imam Syafi'i

    tentang Talaq Tiga yang Dijatuhkan Sekaligus Sebagai Talaq Sunni.

    Penyusun skripsi ini menjelaskan bahwa talaq tiga yang dijatuhkan

    sekaligus menurut Imam Malik adalah bukan talaq sunni, sedangkan

    Imam Syafi'i dan juga menurut daud al-Zhahiriy memandang yang

    demikian adalah talaq sunni. Alasannya adalah bahwa selama talaq yang

    diucapkan itu berada sewaktu suci yang belum dicampuri adalah talaq

    sunni. Menurut ulama Hanafiyah talaq tiga yang termasuk talaq sunni itu

  • 8

    adalah talaq tiga yang setiap talaq dilakukan dalam masa suci, dalam arti

    talaq tiga tidak dengan satu ucapan.

    4. Penelitian yang disusun oleh Aliyatulhikmah, 2101339 (Fakultas Syariah

    IAIN Walisongo Semarang)dengan judul: Analisis Pendapat Imam Syafi'i

    tentang Hak Waris Istri yang Ditalaq Bain oleh Suami Yang Sedang Sakit

    Parah. Menurut penulis skripsi ini bahwa mengenai orang sakit yang

    menjatuhkan talaq ba'in kemudian meninggal karena penyakitnya, maka

    Imam Malik dan segolongan fuqaha berpendapat bahwa istrinya (yakni

    bekas istri) menerima warisan. Sedang Imam Syafi'i dan fuqaha lainnya

    berpendapat bahwa istrinya itu tidak menerima warisan. Fuqaha yang

    menetapkan istri menerima warisan terbagi menjadi tiga golongan.

    Golongan pertama berpendapat bahwa istri menerima warisan selama ia

    masih berada dalam masa 'iddah (ketika suaminya meninggal). Di antara

    fuqaha yang berpendapat demikian adalah Imam Abu Hanifah bersama

    para pengikutnya dan ats-Tsauri. Golongan kedua berpendapat bahwa istri

    mendapat warisan selama ia belum kawin lagi. Fuqaha yang berpendapat

    demikian antara lain Imam Ahmad dan Ibnu Abi Laila. Golongan ketiga

    berpendapat bahwa istri menerima warisan tanpa dibedakan apakah ia

    masih berada dalam masa 'iddah atau tidak, dan apakah ia sudah kawin

    lagi atau belum. Ini adalah pendapat Imam Malik dan al-Laits. Silang

    pendapat ini disebabkan oleh perselisihan mereka tentang keharusan

    diterapkannya saddu 'dz-dzara-i' (penyumbatan jalan). Demikian itu

    karena suami yang sedang sakit yang dalam sakitnya itu menceraikan

  • 9

    istrinya, dapat dituduh bahwa ia bermaksud menghapuskan bagian

    warisan istrinya.

    Berdasarkan telaah pustaka yang telah disebutkan di atas, maka

    penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya. Perbedaannya yaitu

    penelitian yang telah dijelaskan tersebut belum mengungkapkan pendapat

    Imam Syafi'i tentang sahnya nikah muhallil..

    E. Metode Penelitian

    Metode penelitan bermakna seperangkat pengetahuan tentang langkah-

    langkah sistematis dan logis dalam mencari data yang berkenaan dengan

    masalah tertentu untuk diolah, dianalisis, diambil kesimpulan dan selanjutnya

    dicarikan cara pemecahannya. Metode penelitian dalam skripsi ini dapat

    dijelaskan sebagai berikut:14

    1. Jenis Penelitian

    Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif doktrinal

    yaitu dengan jalan melakukan penelitian terhadap sumber-sumber tertulis,

    maka penelitian ini bersifat kualitatif. Sedangkan Library Research

    menurut Sutrisno Hadi, adalah suatu riset kepustakaan atau penelitian

    murni.15 Dalam penelitan ini dilakukan dengan mengkaji dokumen atau

    sumber tertulis seperti kitab/buku, majalah, dan lain-lain.

    2. Sumber Data

    a. Data Primer, yaitu karya Imam Syafi'i yang berjudul: Al-Umm. Kitab

    14Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986, hlm. 21 - 22.. 15Cik Hasan Bisri, Model Penelitian Fiqih, Jakarta: Prenada Media, 2003, hlm. 89.

  • 10

    ini disusun langsung oleh Imam Syafi'i secara sistematis sesuai dengan

    bab-bab fikih dan menjadi rujukan utama dalam Mazhab Syafii. Kitab

    ini memuat pendapat Imam Syafi'i dalam berbagai masalah fikih.

    Dalam kitab ini juga dimuat pendapat Imam Syafi'i yang dikenal

    dengan sebutan al-qaul al-qadim (pendapat lama) dan al-qaul al-jadid

    (pendapat baru). Al-qaul al-qadim di kemukakan Imam Syafi'i ketika

    di Bagdad, sedangkan al-qaul al-qadim dikemukakan Imam Syafi'i

    ketika di Mesir. Kitab ini dicetak berulang kali dalam delapan jilid.

    Pada tahun 1321 H kitab ini dicetak oleh Dar asy-Sya'b Mesir,

    kemudian dicetak ulang pada tahun 1388H/1968M.16

    b. Data Sekunder, yaitu literatur lainnya yang relevan dengan judul di

    atas, di antaranya: Sahih al-Bukhari; Sahih Muslim; Fath al-Mu'in;

    Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid; Kifayah al-Akhyar;

    Subulus Salam; Fiqh al-Sunnah.

    3. Metode Pengumpulan Data

    Dalam pengumpulan data ini penulis menggunakan metode library

    research (penelitian kepustakaan) yaitu suatu kegiatan penelitian yang

    dilakukan dengan menghimpun data dari literatur, dan literatur yang

    digunakan tidak terbatas hanya pada buku-buku tapi berupa bahan

    dokumentasi, agar dapat ditemukan berbagai teori hukum, dalil, pendapat,

    guna menganalisa masalah, terutama masalah yang berkaitan dengan

    masalah yang sedang dikaji.

    16Djazuli, Ilmu Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005, hlm. 131-132

  • 11

    4. Metode Analisis Data

    Data-data hasil penelitian kepustakaan yang telah terkumpul

    kemudian dianalisis dengan metode komparatif yaitu dengan

    membandingkan pendapat Imam Syafi'i dengan ulama lainnya . Metode ini

    diterapkan dengan cara mendeskripsikan pendapat dan metode istinbat

    hukum Imam Syafi'i tentang sahnya nikah muhallil dan pendapat para

    ulama yang berbeda dan yang sama pandangannya dengan Imam Syafi'i.

    F. Sistematika Penulisan

    Sistematika penulisan skripsi ini terdiri atas lima bab yang masing-

    masing menampakkan titik berat yang berbeda, namun dalam satu kesatuan

    yang saling mendukung dan melengkapi.

    Bab pertama berisi pendahuluan, merupakan gambaran umum secara

    dengan memuat: latar belakang masalah, permasalahan, tujuan penelitian,

    telaah pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.

    Bab kedua berisi tinjauan umum tentang pernikahan muhallil yang

    meliputi pengertian nikah muhallil, rukun dan syarat nikah, pernikahan yang

    diharamkan, larangan pernikahan, pendapat para ulama tentang nikah

    muhallil.

    Bab ketiga berisi pendapat Imam Syafi'i tentang sahnya nikah muhallil

    yang meliputi biografi Imam Syafi'i, pendidikan dan karya-karyanya, pendapat

    Imam Syafi'i tentang sahnya nikah muhallil, metode istinbat hukum Imam

    Syafi'i tentang sahnya nikah muhallil.

  • 12

    Bab keempat berisi analisis pendapat imam Syafi'i tentang nikah

    muhallil yang meliputi analisis pendapat Imam Syafi'i tentang sahnya nikah

    muhallil, metode istinbat hukum Imam Syafi'i tentang sahnya nikah muhallil.

    Bab kelima merupakan penutup yang berisi kesimpulan, saran dan

    penutup.

  • 13

    BAB II

    TINJAUAN UMUM TENTANG AKAD NIKAH MUHALLIL

    A. Pengertian Akad

    Akad adalah pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan kabul

    (pernyataan menerima ikatan), sesuai dengan kehendak syariah yang

    berpengaruh kepada obyek perikatan1 Rukun yang pokok dalam akad

    (perjanjian) itu adalah ijab-qabul yaitu ucapan penyerahan di satu pihak dan

    ucapan penerimaan di pihak lain. Adanya ijab-qabul dalam pernikahan ini

    merupakan indikasi adanya saling ridha dari pihak-pihak yang mengadakan

    akad pernikahan.

    Pernikahan berlangsung secara hukum bila padanya telah terdapat

    saling ridha yang menjadi kriteria utama dan sahnya suatu akad. Namun suka

    saling ridha itu merupakan perasaan yang berada pada bagian dalam dari

    manusia, yang tidak mungkin diketahui orang lain. Oleh karenanya diperlukan

    suatu indikasi yang jelas yang menunjukkan adanya perasaan dalam tentang

    saling ridha itu. Para ulama terdahulu menetapkan ijab-qabul itu sebagai suatu

    indikasi.2

    Ijab-qabul adalah salah satu bentuk indikasi yang meyakinkan tentang

    adanya rasa suka sama suka. Bila pada waktu ini kita dapat menemukan cara

    lain yang dapat ditempatkan sebagai indikasi seperti saling mengangguk atau

    1Mustafa Ahmad Zarqa, al-Madhal al-Fiqh alam, Beirut: Darul al-Fikr, 1968, hlm. 247-

    248 2Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh, Jakarta: Kencana, 2003, hlm. 195

  • 14

    saling menanda tangani suatu dokumen, maka yang demikian telah memenuhi

    unsur suatu akad.

    B. Unsur-Unsur Akad

    Setidaknya ada 2 (dua) istilah dalam Al-Qur'an yang berhubungan

    dengan perjanjian, yaitu al-'aqdu (akad) dan al-'ahdu (janji). Pengertian akad

    secara bahasa adalah ikatan, mengikat. Dikatakan ikatan (al-rabth) maksudnya

    adalah menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan

    salah satunya pada yang lainnya hingga keduanya bersambung dan menjadi

    seperti seutas tali yang satu.3 Kata al-'aqdu terdapat dalam QS. al-Maidah (5):

    1, bahwa manusia diminta untuk memenuhi akadnya. Menurut Fathurrahman

    Djamil, istilah al-'aqdu ini dapat disamakan dengan istilah verbintenis dalam

    KUH Perdata.4 Sedangkan istilah al-'ahdu dapat disamakan dengan istilah

    perjanjian atau overeenkomst, yaitu suatu pernyataan dari seseorang untuk

    mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu yang tidak berkaitan dengan

    orang lain.5 Istilah ini terdapat dalam QS. Ali Imran (3): 76, yaitu "sebenarnya

    siapa yang menepati janji (huruf tebal dari penulis) (yang dibuat)nya dan

    bertakwa, maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa."6

    Para ahli Hukum Islam (jumhur ulama) memberikan definisi akad

    sebagai: "pertalian antara ijab dan kabul yang dibenarkan oleh syara yang

    3Ghufron A. Mas'adi, Fiqih Muamalah Kontekstual, cet. 1, Jakarta: Raja Grafindo

    Persada, 2002, hlm. 75. 4 Faturrahman Djamil, "Hukum Perjanjian Syari'ah", dalam Kompilasi Hukum Perikatan

    oleh Mariam Darus Badrulzaman et al., cet. 1, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001, hlm. 247-248. 5Ibid., hlm. 248 6Departemen Agama, Al-Qur'an dan Terjemahnya, ed. Revisi, Semarang: Kumudasmoro

    Grafindo Semarang, 1994, hlm. 88.

  • 15

    menimbulkan akibat hukum terhadap obyeknya."7 Abdoerraoef

    mengemukakan terjadinya suatu perikatan (al-aqdu) melalui tiga tahap, yaitu

    sebagai berikut:8

    1. Al'Ahdu (perjanjian), yaitu pernyataan dari seseorang untuk melakukan

    sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dan tidak ada sangkut pautnya

    dengan kemauan orang lain. Janji ini mengikat orang yang menyatakannya

    untuk melaksanakan janjinya tersebut, seperti yang difirmankan oleh

    Allah SWT dalam QS. Ali Imran (3): 76.

    2. Persetujuan, yaitu pernyataan setuju dari pihak kedua untuk melakukan

    sesuatu atau tidak melakukan sesuatu sebagai reaksi terhadap janji yang

    dinyatakan oleh pihak pertama. Persetujuan tersebut hams sesuai dengan

    janji pihak pertama.

    3. Apabila dua buah janji dilaksanakan maksudnya oleh para pihak, maka

    terjadilah apa yang dinamakan 'akdu' oleh al-Qur'an yang terdapat dalam

    QS. al-Maidah (5): 1. Maka, yang mengikat masing-masing pihak sesudah

    pelaksanaan perjanjian itu bukan lagi perjanjian atau 'ahdu itu, tetapi akdu.

    Sebagai contoh, jika A menyatakan janji untuk membeli sebuah mobil

    kemudian B menyatakan janji untuk menjual sebuah mobil, maka A dan B

    berada pada tahap 'ahdu. Apabila merek mobil dan harga mobil disepakati

    oleh kedua pihak, maka terjadi persetujuan. Jika dua janji tersebut

    7Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam), ed. Revisi,

    Yogyakarta: U1I Press, 2000, hlm. 65; dan Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Fiqih Mu'amalah, cet. 1, ed. 2, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 14.

    8Abdoerraoef, Al-Qur'an dan llmu Hukum: A Comparative Study, Djakarta: Bulan Bintang, 1970, hlm. 122-123.

  • 16

    dilaksanakan, misalnya dengan membayar uang tanda jadi terlebih dahulu oleh

    A, maka terjadi perikatan atau 'akdu di antara keduanya.

    Proses perikatan ini tidak terlalu berbeda dengan proses perikatan yang

    dikemukakan oleh Subekti yang didasarkan pada KUH Perdata. Subekti

    memberi pengertian perikatan adalah "suatu perhubungan hukum antara dua

    orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut

    sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk

    memenuhi tuntutan itu."9 Sedangkan, pengertian perjanjian menurut Subekti

    adalah "suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di

    mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal."10

    Peristiwa perjanjian ini menimbulkan hubungan di antara orang-orang tersebut

    yang disebut dengan perikatan. Dengan demikian, hubungan antara perikatan

    dengan perjanjian adalah perjanjian menerbitkan perikatan. Seperti yang

    tercantum dalam Pasal 1233 KUH Perdata, bahwa perjanjian merupakan salah

    satu sumber perikatan.

    Perbedaan yang terjadi dalam proses perikatan antara Hukum Islam

    dan KUH Perdata adalah pada tahap perjanjiannya. Pada Hukum Perikatan

    Islam, janji pihak pertama terpisah dari janji pihak kedua (merupakan dua

    tahap), baru kemudian lahir perikatan. Sedangkan pada KUH Perdata,

    perjanjian antara pihak pertama dan pihak kedua adalah satu tahap yang

    kemudian menimbulkan perikatan di antara mereka. Menurut A Gani

    Abdullah, dalam Hukum Perikatan Islam, titik tolak yang paling

    9 Subekti, Hukum Perjanjian, cet. 14, Jakarta: Intermasa, 1992, hlm. 1. 10 Ibid.

  • 17

    membedakannya adalah pada pentingnya unsur ikrar (ijab dan kabul) dalam

    tiap transaksi. Apabila dua janji antara para pihak tersebut disepakati dan

    dilanjutkan dengan ikrar (ijab dan kabul), maka terjadilah 'aqdu (perikatan).

    C. Rukun dan Syarat Akad .

    Telah disebutkan sebelumnya, bahwa definisi akad adalah pertalian

    antara ijab dan kabul yang dibenarkan oleh syara' yang menimbulkan akibat

    hukum terhadap obyeknya. Dari definisi tersebut dapat diperoleh tiga unsur

    yang terkandung dalam akad, yaitu sebagai berikut:11

    1. Pertalian ijab dan kabul

    Ijab adalah pernyataan kehendak oleh satu pihak (mujib) untuk

    melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Kabul adalah pernyataan

    menerima atau menyetujui kehendak mujib tersebut oleh pihak lainnya

    (qaabil). Ijab dan kabul ini harus ada dalam melaksanakan suatu perikatan.

    Bentuk dari ijab dan kabul ini beraneka ragam dan diuraikan pada bagian

    rukun akad.

    2. Dibenarkan oleh syara'

    Akad yang dilakukan tidak boleh bertentangan dengan syari'ah atau

    hal-hal yang diatur oleh Allah SWT. dalam al Qur'an dan Nabi

    Muhammad SAW, dalam Hadits. Pelaksanaan akad, tujuan akad, maupun

    objek akad tidak boleh bertentangan dengan syari'ah. Jika bertentangan,

    akan mengakibatkan akad itu tidak sah. Sebagai contoh, suatu perikatan

    yang mengandung riba atau objek perikatan yang tidak halal (seperti

    11Mas'adi, op. cit., hlm 1. 76-77 dan Djamil, op. cit., hlm. 248

  • 18

    minuman keras), mengakibatkan tidak sahnya suatu perikatan menurut

    Hukum Islam.

    3. Mempunyai akibat hukum terhadap obyeknya

    Akad merupakan salah satu dari tindakan hukum (tasharruf).

    Adanya akad menimbulkan akibat hukum terhadap objek hukum yang

    diperjanjikan oleh para pihak dan juga memberikan konsekuensi hak dan

    kewajiban yang mengikat para pihak.

    Akad adalah salah satu bentuk perbuatan hukum atau disebut dengan

    tasharruf. Musthafa Az-Zarqa, mendefinisikan tasharruf adalah "segala

    sesuatu (perbuatan) yang bersumber dari kehendak seseorang dan syara'

    menetapkan atasnya sejumlah akibat hukum (hak dan kewajiban).12 Menurut

    Mustafa az-Zarqa, tasharruf memiliki dua bentuk, yaitu sebagai berikut:13

    a. Tasharruf fi'li (perbuatan). Tasharruf fi'li adalah usaha yang dilakukan

    manusia dari tenaga dan badannya, seperti mengelola tanah yang tandus

    atau mengelola tanah yang dibiarkan kosong oleh pemiliknya.

    b. Tasharruf qauli (perkataan). Tasharruf qauli adalah usaha yang keluar dari

    lidah manusia. Tidak semua perkataan manusia digolongkan pada suatu

    akad. Ada juga perkataan yang bukan akad, tetapi merupakan suatu

    perbuatan hukum. Tasharruf qauli terbagi dalam dua bentuk, yaitu sebagai

    berikut:

    1) Tasharruf qauli aqdi adalah sesuatu yang dibentuk dari dua ucapan dua

    pihak yang saling bertalian, yaitu dengan mengucapkan ijab dan

    12Ibid, hlm. 77 13Ibid., hlm. 78. Lihat juga Ash Shiddieqy, op.cit., hlm. 25-27.

  • 19

    kabul. Pada bentuk ini, ijab dan kabul yang dilakukan para pihak ini

    disebut dengan akad yang kemudian akan melahirkan suatu perikatan

    di antara mereka.

    2) Tasharruf qauli ghairu aqdi merupakan perkataan yang tidak bersifat

    akad atau tidak ada ijab dan kabul. Perkataan ini ada yang berupa

    pernyataan dan ada yang berupa perwujudan.

    (a) Perkataan yang berupa pernyataan, yaitu pengadaan suatu hak atau

    mencabut suatu hak (ijab saja), seperti ikrar wakaf, ikrar talak,

    pemberian hibah. Namun, ada juga yang tidak sependapat

    mengenai hal ini, bahwa ikrar wakaf dan pemberian hibah

    bukanlah suatu akad. Meskipun pemberian wakaf dan hibah hanya

    ada pernyataan ijab saja tanpa ada pernyataan kabul, kedua

    tasharruf ini tetap termasuk dalam tasharruf yang bersifat akad.

    (b) Perkataan yang berupa perwujudan, yaitu dengan melakukan

    penuntutan hak atau dengan perkataan yang menyebabkan adanya

    akibat hukum. Sebagai contoh, gugatan, pengakuan di depan

    hakim,. sumpah. Tindakan tersebut tidak bersifat mengikat,

    sehingga tidak dapat dikatakan akad, tetapi termasuk perbuatan

    hukum.

    Dalam melaksanakan suatu perikatan, terdapat rukun dan syarat yang

    harus dipenuhi. Secara bahasa, rukun adalah "yang harus dipenuhi untuk

  • 20

    sahnya suatu pekerjaan,"14 sedangkan syarat adalah "ketentuan (peraturan,

    petunjuk) yang harus diindahkan dan dilakukan."15

    Dalam buku Muhammad Amin Suma dijelaskan: rukun (Arab, rukn],

    jamaknya arkan, secara harfiah antara lain berarti tiang, penopang dan

    sandaran, kekuatan, perkara besar, bagian, unsur dan elemen. Sedangkan

    syarat (Arab, syarth jamaknya syara'ith) secara literal berarti pertanda,

    indikasi dan memastikan. Dalam istilah para ahli hukum Islam, rukun

    diartikan dengan sesuatu yang terbentuk (menjadi eksis) sesuatu yang lain dari

    keberadaannya, mengingat eksisnya sesuatu itu dengan rukun (unsurnya) itu

    sendiri, bukan karena tegaknya. Kalau tidak demikian, maka subjek (pelaku)

    berarti menjadi unsur bagi pekerjaan, dan jasad menjadi rukun bagi sifat, dan

    yang disifati (al-maushuf) menjadi unsur bagi sifat (yang mensifati). Adapun

    syarat, menurut terminologi para fuqaha seperti diformulasikan Muhammad

    Al-Khudlari Bek, ialah: "sesuatu yang ketidakadaannya mengharuskan

    (mengakibatkan) tidak adanya hukum itu sendiri." Yang demikian itu terjadi,

    kata Al-Khudlari, karena hikmah dari ketiadaan syarat itu berakibat pula

    meniadakan hikmah hukum atau sebab hukum.16

    Dalam syari'ah, rukun, dan syarat sama-sama menentukan sah atau

    tidaknya suatu transaksi. Secara defenisi, rukun adalah "suatu unsur yang

    merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang

    menentukan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dan ada atau tidak adanya

    14Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai

    Pustaka, 2002, hlm. 966. 15Ibid., hlm. 1114. 16Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: Raja

    Grafindo Persada, 2004, hlm. 95

  • 21

    sesuatu itu."17 Definisi syarat adalah "sesuatu yang tergantung padanya

    keberadaan hukum syar'i dan ia berada di luar hukum itu sendiri, yang

    ketiadaannya menyebabkan hukum pun tidak ada."18 Perbedaan antara rukun

    dan syarat menurut ulama Ushul Fiqih, bahwa rukun merupakan sifat yang

    kepadanya tergantung keberadaan hukum dan ia termasuk dalam hukum itu

    sendiri, sedangkan syarat merupakan sifat yang kepadanya tergantung

    keberadaan hukum, tetapi ia berada di luar hukum itu sendiri.19 Sebagai

    contoh, rukuk dan sujud adalah rukun shalat. la merupakan bagian dari shalat

    itu sendiri. Jika tidak ada rukuk dan sujud dalam shalat, maka shalat itu batal,

    tidak sah. Syarat shalat salah satunya adalah wudhu. Wudhu merupakan

    bagian di luar shalat, tetapi dengan tidak adanya wudhu, shalat menjadi tidak

    sah.

    Pendapat mengenai rukun perikatan atau sering disebut juga dengan

    rukun akad dalam Hukum Islam beraneka ragam di kalangan para ahli fiqih.

    Di kalangan mazhab Hanafi berpendapat, bahwa rukun akad hanya sighat al-

    'aqd, yaitu ijab dan kabul. Sedangkan syarat akad adalah al-'aqidain (subjek

    akad) dan mahallul 'aqd (objek akad). Alasannya adalah al-'aqidain dan

    mahallul 'aqd bukan merupakan bagian dari tasharruf aqad (perbuatan hukum

    akad). Kedua hal tersebut berada di luar perbuatan akad. Berbeda halnya

    dengan pendapat dari kalangan mazhab Syafi'i termasuk Imam Ghazali dan

    kalangan mazhab Maliki termasuk Syihab al-Karakhi, bahwa al-'aqidain dan

    17Abdul Azis Dahlan, ed.. Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 5, Jakarta: Ichtiar Barn van

    Hoeve, 1996, hlm. 1510 18Ibid., hlm. 1691. 19Ibid., hlm. 1692.

  • 22

    mahallul 'aqd termasuk rukun akad karena kedua hal tersebut merupakan

    salah satu pilar utama dalam tegaknya akad.20

    Jumhur ulama berpendapat, bahwa rukun akad adalah al-'aqidain,

    mahallul 'aqd, dan sighat al-'aqd. Selain ketiga rukun tersebut, Musthafa az-

    Zarqa menambah maudhu'ul 'aqd (tujuan akad). la tidak menyebut keempat

    hal tersebut dengan rukun, tetapi dengan muqawimat 'aqd (unsur-unsur

    penegak akad).21 Sedangkan menurut T. M. Hasbi Ash-Shiddiqy, keempat hal

    tersebut merupakan komponen-komponen yang harus dipenuhi untuk

    terbentuknya suatu akad.22

    Dalam konteksnya dengan uraian di atas, bahwa dalam transaksi

    ekonomi dikenal pula istilah khiyar. Kata al-khiyar dalam bahasa Arab, berarti

    pilihan. Pembahasan al-khiyar dikemukakan para Ulama Fiqih dalam

    permasalahan yang menyangkut transaksi dalam bidang perdata khususnya

    transaksi ekonomi, sebagai salah satu hak bagi kedua belah pihak yang

    melakukan transaksi (akad) ketika terjadi beberapa persoalan dalam transaksi

    dimaksud.

    Secara terminologis para Ulama Fiqih mendefinisikan al-khiyar

    dengan: Hak pilih bagi salah satu atau kedua belah pihak yang melaksanakan

    transaksi untuk melangsungkan atau membatalkan transaksi yang disepakati

    sesuai dengan kondisi masing-masing pihak yang melakukan transaksi.

    Hak khiyar ditetapkan syariat Islam bagi orang-orang yang melakukan

    transaksi perdata agar tidak dirugikan dalam transaksi yang mereka lakukan,

    20Mas'adi, op. cit., hlm. 79 21Ibid. hlm. 81. Lihat juga Djamil, op.cit, hlm. 252-258. 22Ash-Shiddieqy, op. cit., hal. 23. 80-86 3.

  • 23

    sehingga kemaslahatan yang dituju dalam suatu transaksi tercapai dengan

    sebaik-baiknya, Status khiyar, menurut Ulama Fiqih, adalah disyariatkan atau

    dibolehkan karena masing-masing pihak yang melakukan transaksi.

    Berikut dikemukakan beberapa pengertian masing-masing khiyar:

    1) Khiyar al-Majlis

    Yang dimaksud dengan khiyar al-majlis, yaitu hak pilih kedua

    belah pihak yang berakad untuk membatalkan akad, selama keduanya

    masih berada dalam majelis akad (di ruangan toko) dan belum berpisah

    badan. Artinya, suatu transaksi baru dianggap sah apabila kedua belah

    pihak yang melaksanakan akad telah terpisah badan atau salah seorang di

    antara mereka telah melakukan pilihan untuk menjual dan atau membeli.

    Khiyar seperti ini hanya berlaku dalam suatu transaksi yang bersifat

    mengikat kedua belah pihak yang melaksanakan transaksi, seperti jual-beli

    dan sewa menyewa.

    Dasar hukum adanya khiyar al-majlis ini adalah Sabda Rasulullah

    SAW. yang berbunyi: "Apabila dua orang melakukan akad jual-beli, maka

    masing-masing pihak mempunyai hak pilih, selama keduanya belum

    berpisah badan ,. ."(HR. al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah ibn 'Umar)

    Para pakar hadis menyatakan, bahwa yang dimaksudkan

    Rasulullah SAW. dengan kalimat "berpisah badan" adalah setelah

    melakukan akad jual-beli barang diserahkan kepada pembeli dan harga

    barang diserahkan kepada penjual. Imam an-Nawawi, muhadis dan pakar

    fiqih Syafi'i, mengatakan bahwa untuk menyatakan penjual dan pembeli

  • 24

    telah berpisah badan, seluruhnya diserahkan sepenuhnya kepada kebiasaan

    masyarakat setempat di mana jual-beli itu berlangsung.

    2) Khiyar at-Ta'yin

    Yang dimaksud dengan khiyar at-ta'yin, yaitu hak pilih bagi

    pembeli dalam menentukan barang yang berbeda kualitas dalam jual-beli.

    Contoh adalah dalam pembelian keramik, misalnya, ada yang berkualitas

    super (KW 1) dan sedang (KW 2). Akan tetapi, pembeli tidak mengetahui

    secara pasti mana keramik yang super dan mana keramik yang berkualitas

    sedang. Untuk menentukan pilihan itu ia memerlukan bantuan pakar

    keramik dan arsitek. Khiyar seperti ini, menurut Ulama Hanafiyah adalah

    boleh. Dengan alasan, bahwa produk sejenis yang berbeda kualitas sangat

    banyak, yang kualitas itu tidak diketahui secara pasti oleh pembeli,

    sehingga ia memerlukan bantuan seorang pakar. Agar pembeli tidak

    tertipu dan agar produk yang ia cari sesuai dengan keperluannya, maka

    khiyar at'ta'yin diperbolehkan.

    3) Khiyar asy-Syarth

    Yang dimaksud dengan khiyar asy-syarth, yaitu hak pilih yang

    ditetapkan bagi salah satu pihak yang berakad atau keduanya atau bagi

    orang lain untuk meneruskan atau membatalkan jual-beli, selama masih

    dalam tenggang waktu yang ditentukan. Misalnya, pembeli mengatakan

    "saya beli barang ini dari engkau dengan syarat saya berhak memilih

    antara meneruskan atau membatalkan akad selama seminggu.

  • 25

    Para Ulama Fiqih sepakat menyatakan, bahwa khiyar asy-syarth ini

    dibolehkan dengan tujuan untuk memelihara hak-hak pembeli dari unsur

    penipuan yang mungkin terjadi dari pihak penjual. Khiyar asy-syarth,

    menurut mereka hanya berlaku dalam transaksi yang bersifat mengikat

    kedua belah pihak, seperti jual-beli, sewa menyewa, perserikatan dagang,

    dan ar-rahn (jaminan utang). Untuk transaksi yang sifatnya tidak mengikat

    kedua belah pihak, seperti hibah, pinjam-meminjam, perwakilan (al-

    wakalah), dan wasiat, khiyar seperti ini tidak berlaku. Demikian juga

    halnya dalam akad jual- beli pesanan (bai' as-salam) dan ash-sharf (valuta

    asing), khiyar asy-syarth juga tidak berlaku sekalipun kedua akad itu

    bersifat mengikat kedua belah pihak yang berakad, karena dalam jual beli

    pesanan, diisyaratkan pihak pembeli menyerahkan seluruh harga barang

    ketika akad disetujui, dan dalam akad ash-sharf diisyaratkan nilai tukar

    uang yang dijualbelikan harus diserahkan dan dapat dikuasai (diterima)

    masing-masing pihak setelah persetujuan dicapai dalam akad. Sedangkan

    khiyar asy-syarth menentukan, bahwa baik barang maupun nilai/ harga

    barang baru dapat dikuasai secara hukum, setelah tenggang waktu khiyar

    yang disepakati itu selesai.

    Menurut Imam Abu Hanifah, Zufar ibn Huzail (728- 774 M), pakar

    fiqih Hanafi dan Imam asy-Syafi'i (150- 204 H/767- 820 M), tenggang

    waktu dalam khiyar asy-syarth tidak lebih dari tiga hari. Hal ini sejalan

    dengan hadis yang berbicara tentang khiyar asy-syart, yaitu hadis tentang

    kasus Habban ibn Munqiz yang melakukan penipuan dalam jual-beli,

  • 26

    sehingga para konsumen mengadu kepada Rasulullah SAW. yang ketika

    itu bersabda sebagai berikut:

    "Apabila seseorang membeli suatu barang, maka katakanlah (pada

    penjual): Jangan ada tipuan! Dan saya berhak memilih dalam tiga

    hari".(HR. al-Bukhari dan Muslim dari Umar).

    Ulama Malikiyah berpendapat, bahwa tenggang waktu itu

    ditentukan sesuai dengan keperluan itu boleh berbeda untuk setiap objek

    akad. Untuk buah-buahan, khiyar tidak boleh lebih dari satu hari. Untuk

    objek lainnya, seperti tanah dan rumah diperlukan waktu lebih lama.

    Dengan demikian, menurut mereka, tenggang waktu amat tergantung pada

    objek yang diperjualbelikan.

    Khiyar syarat berakhir dengan salah satu dari sebab berikut itu:

    a) Terjadi penegasan pembatalan akad atau penetapannya.

    b) Berakhir batas waktu khiyar.

    c) Terjadi kerusakan pada objek akad. Jika kerusakan tersebut terjadi

    dalam penguasaan pihak penjual, maka akadnya batal dan berakhirlah

    Khiyar. Namun, apabila kerusakan tersebut terjadi dalam penguasaan

    pembeli, maka berakhirlah khiyar namun tidak membatalkan akad.

    d) Terjadi penambahan atau pengembangan dalam penguasaan pihak

    pembeli, baik dari segi jumlah seperti, beranak atau bertelur atau

    mengembang

    e) Wafatnya shahibul khiyar, ini menurut pendapat Mahzab Hanafiyah

    dan Hanabilah. Sedangkan Mahzab Syafi'iyah dan Malikiyah

  • 27

    berpendapat bahwa hak khiyar dapat berpindah kepada ahli waris

    ketika shahibul khiyar berakhir.

    4) Khiyar al'Aib

    Yang dimaksud dengan Khiyar al'Aib, yaitu hak untuk

    membatalkan atau melangsungkan jual-beli bagi kedua belah pihak yang

    berakad, apabila terdapat suatu cacat pada objek yang diperjualbelikan,

    dan cacat itu tidak diketahui pemiliknya ketika akad berlangsung.

    Misalnya, seseorang membeli telur ayam satu kilogram, kemudian satu

    butir di antaranya sudah busuk atau ketika telur dipecahkan sudah menjadi

    anak ayam. Hal ini sebelumnya belum diketahui, baik oleh penjual

    maupun pembeli. Dalam kasus seperti ini, menurut para pakar fiqih,

    ditetapkan hak khiyar bagi pembeli. Dasar hukum khiyar al'Aib di

    antaranya; adalah sabda Rasulullah SAW. yang berbunyi: "Sesama muslim

    itu bersaudara; tidak halal bagi seorang muslim menjadi barangnya kepada

    muslim lain, padahal pada barang terdapat 'aib/cacat. (HR. Ibn Majah dari

    'Uqbah ibn 'Amir)

    Khiyar al'Aib ini, menurut kesepakatan Ulama Fiqih, berlaku sejak

    diketahuinya cacat pada barang yang dijualbelikan dan dapat diwarisi oleh

    ahli waris pemilik hak khiyar.

    Adapun cacat yang menyebabkan munculnya hak khiyar, menurut

    Ulama Hanafiyah dan Hanabilah adalah seluruh unsur yang merusak objek

    jual-beli itu dan mengurangi nilainya menurut tradisi para pedagang.

    Tetapi, menurut ulama Malikiyah dan Syafi'iyah seluruh cacat yang

  • 28

    menyebabkan nilai barang itu berkurang atau hilang unsur yang diinginkan

    daripadanya.

    Adapun syarat-syarat berlakunya khiyar al'-Aib, menurut para

    pakar fiqih, cacat pada barang itu adalah:

    a) cacat itu diketahui sebelum atau setelah akad tetapi belum serah terima

    barang dan harga; atau cacat itu merupakan cacat lama.

    b) pembeli tidak mengetahui, bahwa pada barang itu ada cacat ketika akad

    berlangsung.

    c) ketika akad berlangsung, pemilik barang (penjual) tidak mensyaratkan,

    bahwa apabila ada cacat tidak boleh dikembalikan.

    d) cacat itu tidak hilang sampai dilakukan pembatalan akad.

    5) Khiyar ar' Ru'yah

    Yang dimaksud dengan Khiyar ar-Ru'yah, yaitu hak pilih bagi

    pembeli untuk menyatakan berlaku atau batal jual-beli yang ia lakukan

    terhadap suatu objek yang belum ia lihat ketika akad berlangsung. Jumhur

    ulama fiqih, yang terdiri atas Ulama Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah, dan

    Zahiriyah menyatakan, bahwa khiyar ar-Ru'yah disyariatkan dalam Islam

    berdasarkan Sabda Rasulullah SAW, yang mengatakan: "Siapa yang

    membeli sesuatu yang belum ia lihat, maka ia berhak khiyar apabila telah

    melihat barang itu". (HR. ad-Daruqutni dari Abu Hurairah).

    Akad seperti ini, menurut mereka, boleh terjadi disebabkan objek

    yang akan dibeli itu tidak ada di tempat berlangsungnya akad, atau karena

  • 29

    sulit dilihat, seperti ikan kaleng (sardencis). Khiyar ar-Ru'ya, menurut

    mereka, mulai berlaku sejak pembeli melihat barang yang akan ia beli.

    Akan tetapi, Ulama Syafi'iyah dalam pendapat baru (Al-Mahzab

    al-jadid), mengatakan bahwa jual-beli yang gaib tidak sah, baik barang itu

    disebutkan sifatnya waktu akad maupun tidak. Oleh sebab itu, menurut

    mereka, khiyar ar-Ru'yah tidak berlaku, karena akad itu mengandung

    unsur penipuan yang boleh membawa kepada perselisihan, dan hadis

    Rasulullah SAW. menyatakan: Rasulullah SAW. melarang jual-beli yang

    mengandung penipuan. (HR .al-Jamaah) {mayoritas pakar hadis}, kecuali

    al-Bukhari.

    Hadis yang dikemukakan jumhur di atas, menurut mereka, adalah

    hadis dho'if (lemah), tidak boleh dijadikan dasar hukum. jumhur Ulama

    mengemukakan beberapa syarat berlakunya Khiyar ar-Ru'yah, yaitu:

    a) Obyek yang dibeli tidak dilihat pembeli ketika akad berlangsung.

    b) Obyek akad itu berupa materi, seperti tanah, rumah, dan kendaraan.

    c) Akad itu sendiri mempunyai alternatif untuk dibatalkan, seperti jual-beli

    dan sewa menyewa. Apabila ketiga syarat ini tidak terpenuhi, menurut

    Jumhur Ulama, maka Khiyar ar-Ruyah tidak berlaku. Apabila akad ini

    dibatalkan berdasarkan Khiyar ar-Ru'yah menurut Jumhur Ulama,

    pembatalan harus memenuhi syarat-syarat berikut:

    1) hak khiyar masih berlaku bagi pembeli;

    2) pembatalan itu tidak berakibat merugikan penjual, seperti pembatalan

    hanya dilakukan pada sebagian objek yang dijual belikan; dan

  • 30

    3) pembatalan itu diketahui pihak penjual.

    6) Khiyar Naqad (pembayaran) pihak melakukan jual-beli dengan ketentuan, jika

    pihak pembeli tidak melunasi pembayaran, atau jika pihak penjual tidak

    menyerahkan barang, dalam batas waktu tertentu, maka pihak yang dirugikan

    mempunyai hak untuk membatalkan akad atau tetap melangsungkannya.

    D. Akad Nikah Muhallil

    Kata nikah menurut bahasa sama dengan kata kata, zawaj. Dalam

    Kamus al-Munawwir, kata nikah disebut dengan an-nikah ( ) dan az-

    ziwaj/az-zawj atau az-zijah - - ( ). Secara harfiah, an-nikah

    berarti al- wath'u ( ), adh-dhammu ( ) dan al-jam'u ( ). Al-

    wath'u berasal dari kata wathi'a - yatha'u - wath'an - - ( ), artinya

    berjalan di atas, melalui, memijak, menginjak, memasuki, menaiki, menggauli

    dan bersetubuh atau bersenggama.23 Adh-dhammu, yang terambil dari akar

    kata dhamma - yadhummu dhamman ( - - ) secara harfiah

    berarti mengumpulkan, memegang, menggenggam, menyatukan,

    menggabungkan, menyandarkan, merangkul, memeluk dan menjumlahkan.

    Juga berarti bersikap lunak dan ramah.24

    Sedangkan al-jam'u yang berasal dari akar kata jamaa - yajma'u -

    jam'an - - ( ) berarti: mengumpulkan, menghimpun,

    menyatukan, menggabungkan, menjumlahkan dan menyusun. Itulah sebabnya

    23Ahmad Warson Al-Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap,

    Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997, hlm. 1461. 24Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: PT.Raja

    Grafindo Persada, 2004, hlm.42-43

  • 31

    mengapa bersetubuh atau bersenggama dalam istilah fiqih disebut dengan al-

    jima' mengingat persetubuhan secara langsung mengisyaratkan semua

    aktivitas yang terkandung dalam makna-makna harfiah dari kata al-jam'u.25

    Sebutan lain buat pernikahan ialah az-zawaj/az-ziwaj dan az-zijah.

    Terambil dari akar kata zaja-yazuju-zaujan ( - - - ) yang secara

    harfiah berarti: menghasut, menaburkan benih perselisihan dan mengadu

    domba. Namun yang dimaksud dengan az-zawaj/az-ziwaj di sini ialah at-

    tazwij yang mulanya terambil dari kata zawwaja- yuzawwiju- tazwijan )-

    - ( dalam bentuk timbangan "fa'ala-yufa'ilu- taf'ilan" )- -

    ( yang secara harfiah berarti menikahkan, mencampuri, menemani,

    mempergauli, menyertai dan memperistri.26 Syeikh Zainuddin Ibn Abd Aziz

    al-Malibary dalam kitabnya mengupas tentang pernikahan. Pengarang kitab

    tersebut menyatakan nikah adalah suatu akad yang berisi pembolehan

    melakukan persetubuhan dengan menggunakan lafadz menikahkan. Kata

    nikah itu sendiri secara hakiki bermakna persetubuhan.27

    Dari segi pengertian ini maka jika dikatakan: "Si A belum pernah

    nikah", artinya bahwa si A belum pernah mengkabulkan untuk dirinya

    terhadap ijab akad nikah yang memenuhi rukun dan syaratnya. Jika dikatakan:

    "Anak itu lahir diluar nikah", artinya bahwa anak tersebut dilahirkan oleh

    25Ibid, hlm. 43. 26Ibid, hlm. 43-44. 27Syaikh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malibary, Fath al-Muin, Beirut: Dar al-Fikr, t.th,

    hlm. 72.

  • 32

    seorang wanita yang tidak berada dalam atau terikat oleh ikatan pernikahan

    berdasarkan akad nikah yang sah menurut hukum.

    Dalam pasal 1 Bab I Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, dinyatakan;

    "Pernikahan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita

    sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang

    bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".28

    Dalam konteksnya dengan pernikahan muhallil, maka yang dimaksud

    dengan nikah muhallil adalah nikah untuk menghalalkan mantan istri yang

    telah ditalak tiga kali. Menurut Ibnu Rusyd, nikah muhallil adalah nikah yang

    dimaksudkan untuk menghalalkan bekas istri yang telah ditalaq tiga kali.29

    Secara etimologi tahlil berarti menghalalkan sesuatu yang hukumnya adalah

    haram. Kalau dikaitkan kepada nikah akan berarti perbuatan yang

    menyebabkan seseorang yang semula haram melangsungkan nikah menjadi

    boleh atau halal. Orang yang dapat menyebabkan halalnya orang lain

    melakukan nikah itu disebut muhallil, sedangkan orang yang telah halal

    melakukan nikah disebabkan oleh nikah yang dilakukan muhallil dinamai

    muhallallah.30

    Nikah tahlil dengan demikian adalah nikah yang dilakukan untuk

    menghalalkan orang yang telah melakukan talak tiga untuk segera kembali

    28Muhammad Amin Suma, op. cit, hlm. 203. Dalam pasal 2 Kompilasi Hukum Islam

    (INPRES No 1 Tahun 1991), pernikahan miitsaaqan ghalizhan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

    29Ibnu Rusyd, Bidayah al Mujtahid Wa Nihayah al Muqtasid, Juz II, Beirut: Dar Al-Jiil, 1409 H/1989, hlm. 44.

    30Amir Syarifuddin, Hukum Nikah Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2006, hlm.. 103.

  • 33

    kepada istrinya dengan nikah baru. Bila seseorang telah menceraikan istrinya

    sampai tiga kali, baik dalam satu masa atau berbeda masa, si suami tidak

    boleh lagi kawin dengan bekas istrinya itu kecuali bila istrinya itu telah

    menikah dengan laki-laki lain, kemudian bercerai dan habis pula iddahnya.

    Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 230:

    ):230( Artinya: Kemudian jika suami menalaknya (setelah talak yang kedua), maka

    perempuan itu tidak halal lagi baginya kecuali bila dia telah kawin dengan suami lain. (QS. al-Baqarah: 230).31

    Yang dimaksud dengan menikah dengan laki-laki lain dalam ayat

    tersebut bukan hanya sekadar melakukan akad nikah, tetapi lebih jauh telah

    melakukan hubungan kelamin sebagaimana layaknya kehidupan suami istri

    pada umumnya.

    Suami kedua yang telah mengawini perempuan itu secara biasa dan

    kemudian menceraikannya dengan cara biasa sehingga suami pertama boleh

    kawin dengan mantan istrinya itu sebenarnya dapat disebut muhallil. Namun

    tidak diperkatakan dalam hal ini, karena nikahnya telah berlaku secara

    alamiah dan secara hukum.32

    Suami yang telah menalak istrinya tiga kali itu sering ingin kembali

    lagi kepada bekas istrinya itu. Kalau ditunggu cara yang biasa menurut

    ketentuan nikah yaitu mantan istri kawin dengan suami kedua dan hidup

    secara layaknya suami istri, kemudian karena suatu hal yang tidak dapat

    31Depag RI, Al-Quran dan Terjemahnya, Surabaya: Surya Cipta Aksara, 1993, hlm. 56. 32Djamaan Nur, Fiqih Munakahat, Semarang: Dina Utama, 1993, hlm. 43 44.

  • 34

    dihindarkan suami yang kedua itu menceraikan istrinya dan habis pula

    iddahnya, mungkin menunggu waktu yang lama. Untuk mempercepat

    maksudnya itu ia mencari seorang laki-laki yang akan mengawini bekas

    istrinya itu secara pura-pura, biasanya dengan suatu syarat bahwa setelah

    berlangsung akad nikah segera diceraikan sebelum sempat digaulinya. Ini

    berarti kawin akal-akalan untuk cepat menghentikan suatu yang diharamkan.

    Atau sengaja melakukan nikah secara akal-akalan untuk mempercepat

    berlangsungnya nikah suami pertama dengan mantan istrinya. Nikah akal-

    akalan seperti inilah yang, disebut nikah tahlil dalam arti sebenarnya. Suami

    kedua disebut muhallil dan suami pertama yang merekayasa nikah kedua

    disebut muhallallah.33

    Nikah tahlil biasanya dalam bentuk persyaratan yang dilakukan

    sebelum akad atau syarat itu disebutkan dalam ucapan akad, seperti: "Saya

    kawinkan engkau kepadanya sampai batas waktu engkau menggaulinya"; atau

    "Saya kawinkan engkau dengan syarat setelah engkau menghalalkannya tidak

    ada lagi nikah sesudah itu"; atau "saya kawinkan engkau kepadanya dengan

    ketentuan setelah engkau halalkan segera menalaknya". Dalam bentuk ini

    nikah tahlil nikah dengan akad bersyarat. Nikah tahlil ini tidak menyalahi

    rukun yang telah ditetapkan; namun karena niat orang yang mengawini itu

    tidak ikhlas dan tidak untuk maksud sebenarnya, nikah ini dilarang oleh Nabi

    dan pelakunya baik laki-laki yang menyuruh kawin (muhallallah) atau laki-

    laki yang menjadi penghalal itu (muhallil) dilaknat.

    33Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat, Bandung: Pustaka Setia, 1999, hlm.

    21.

  • 35

    BAB III

    PENDAPAT IMAM SYAFI'I TENTANG

    SAHNYA NIKAH MUHALLIL

    A. Biografi Imam Syafi'i, Pendidikan dan Karyanya

    1. Latar Belakang Imam Syafi'i

    Imam Syafi'i adalah imam ketiga dari empat imam madzhabi

    menurut urutan kelahirannya.1 Nama lengkap Imam Syafi'i adalah

    Muhammad ibn Idris ibn al- Abbas ibn Usman ibn Syafii ibn al-Saib ibn

    Ubaid ibn Abd Yazid ibn Hasyim ibn Abd al-Muthalib ibn Abd Manaf.2

    Lahir di Ghaza (suatu daerah dekat Palestina) pada tahun 150

    H/767 M, kemudian dibawa oleh ibunya ke Makkah. Ia lahir pada zaman

    Dinasti Bani Abbas, tepatnya pada zaman kekuasaan Abu Jafar al

    Manshur (137-159 H./754-774 M.), dan meninggal di Mesir pada tahun

    204 H/820 M.3

    Imam Syafi'i berasal dari keturunan bangsawan yang paling tinggi

    di masanya. Walaupun hidup dalam keadaan sangat sederhana, namun

    kedudukannya sebagai putra bangsawan, menyebabkan ia terpelihara dari

    perangai-perangai buruk, tidak mau merendahkan diri dan berjiwa besar.

    1Ahmad Asy Syurbasyi, Al-Aimmah al-Arba'ah, Terj. Futuhal Arifin, "Biografi Empat

    Imam Madzhabi", Jakarta: Pustaka Qalami, 2003, hlm. 127. 2Syeikh Ahmad Farid, Min A'lam al-Salaf, Terj. Masturi Ilham dan Asmu'i Taman, 60,

    "Biografi Ulama Salaf", Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006, hlm. 355. 3Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam Studi tentang Qaul Qadim dan Qaul Jadid,

    Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 27.

  • 36

    Ia bergaul rapat dalam masyarakat dan merasakan penderitaan-penderitaan

    mereka.

    Imam Syafi'i dengan usaha ibunya telah dapat menghafal al-Qur'an

    dalam umur yang masih sangat muda. Kemudian ia memusatkan perhatian

    menghafal hadi. Ia menerima haditsdengan jalan membaca dari atas

    tembikar dan kadang-kadang di kulit-kulit binatang. Seringkali pergi ke

    tempat buangan kertas untuk memilih mana-mana yang masih dapat

    dipakai.4

    Di samping itu ia mendalami bahasa Arab untuk menjauhkan diri

    dari pengaruh Ajamiyah yang sedang melanda bahasa Arab pada masa itu.

    Ia pergi ke Kabilah Huzail yang tinggal di pedusunan untuk mempelajari

    bahasa Arab yang fasih. Sepuluh tahun lamanya Imam Syafi'i tinggal di

    pedusunan itu, mempelajari syair, sastra dan sejarah. Ia terkenal ahli dalam

    bidang syair yang digubah kabilah Huzail itu, amat indah susunan

    bahasanya. Di sana pula ia belajar memanah dan mahir dalam bermain

    panah. Dalam masa itu Imam Syafi'i menghafal al-Qur'an, menghafal

    hadits, mempelajari sastra Arab dan memahirkan diri dalam mengendarai

    kuda dan meneliti keadaan penduduk-penduduk Badiyah.

    Imam Syafi'i belajar pada ulama-ulama Mekkah, baik pada ulama-

    ulama fiqih, maupun ulama-ulama hadits, sehingga ia terkenal dalam

    bidang fiqh dan memperoleh kedudukan yang tinggi dalam bidang itu.

    Gurunya Muslim Ibn Khalid Al-Zanji, menganjurkan supaya Imam Syafi'i

    4Mahmud Syalthut, Fiqih Tujuh Madzhab, terj. Abdullah Zakiy al-Kaaf, Bandung: CV

    Pustaka Setia, 2000, hlm. 17.

  • 37

    bertindak sebagai mufti. Sungguh pun ia telah memperoleh kedudukan

    yang tinggi itu namun ia terus juga mencari ilmu.5

    Sampai kabar kepadanya bahwa di Madinah al-Munawwarah ada

    seorang ulama besar yaitu Imam Malik, yang memang pada masa itu

    terkenal di mana-mana dan mempunyai kedudukan tinggi dalam bidang

    ilmu dan hadits. Imam Syafi'i ingin pergi belajar kepadanya, akan tetapi

    sebelum pergi ke Madinah ia lebih dahulu menghafal al-Muwatta',

    susunan Imam Malik yang telah berkembang pada masa itu. Kemudian ia

    berangkat ke Madinah untuk belajar kepada Imam Malik dengan

    membawa sebuah surat dari gubernur Mekkah. Mulai ketika itu ia

    memusatkan perhatian mendalami fiqh di samping mempelajari al-

    Muwatta'. Imam Syafi'i mengadakan mudarasah dengan Imam Malik

    dalam masalah-masalah yang difatwakan Imam Malik. Di waktu Imam

    Malik meninggal tahun 179 H, Imam Syafi'i telah mencapai usia dewasa

    dan matang.6

    Di antara hal-hal yang secara serius mendapat perhatian Imam

    Syafi'i adalah tentang metode pemahaman Al-Qur'an dan sunnah atau

    metode istinbat (ushul fiqih). Meskipun para imam mujtahid sebelumnya

    dalam berijtihad terikat dengan kaidah-kaidahnya, namun belum ada

    kaidah-kaidah yang tersusun dalam sebuah buku sebagai satu disiplin ilmu

    yang dapat dipedomani oleh para peminat hukum Islam. Dalam kondisi

    demikianlah Imam Syafi'i tampil berperan menyusun sebuah buku ushul

    5Jaih Mubarok, op.cit, hlm. 28. 6TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab, Semarang: PT

    Putaka Rizki Putra, 1997, hlm. 480 481.

  • 38

    fiqih. Idenya ini didukung pula dengan adanya permintaan dari seorang

    ahli haditsbernama Abdurrahman bin Mahdi (w. 198 H) di Baghdad agar

    Imam Syafi'i menyusun metodologi istinbat.7

    Imam Muhammad Abu Zahrah (w. 1394 H/1974 M; ahli hukum

    Islam berkebangsaan Mesir) menyatakan buku itu disusun ketika Imam

    Syafi'iberada di Baghdad, sedangkan Abdurrahman bin Mahdi ketika itu

    berada di Mekkah. Imam Syafi'i memberi judul bukunya dengan "al-

    Kitab" (Kitab, atau Buku) atau "Kitabi" (Kitabku), kemudian lebih dikenal

    dengan "al-Risalah" yang berarti "sepucuk surat." Dinamakan demikian,

    karena buku itu merupakan surat Imam Syafi'i kepada Abdurrahman bin

    Mahdi. Kitab al-Risalah yang pertama ia susun dikenal dengan ar-Risalah

    al-Qadimah (Risalah Lama). Dinamakan demikian, karena di dalamnya

    termuat buah-buah pikiran: Imam Syafi'i sebelum pindah ke Mesir. Setelah

    sampai di Mesir, isinya disusun kembali dalam rangka penyempurnaan

    bahkan ada yang diubahnya, sehingga kemudian dikenal dengan sebutan

    al-Risalah al-Jadidah (Risalah Baru). Jumhur ulama ushul-fiqih sepakat

    menyatakan bahwa kitab ar-Risalah karya Imam Syafi'i ini merupakan

    kitab pertama yang memuat masalah-masalah ushul fiqih secara lebih

    sempurna dan sistematis. Oleh sebab itu, ia dikenal sebagai penyusun

    pertama ushul fiqih sebagai satu disiplin ilmu.8

    7Jaih Mubarok, op.cit, hlm. 29. 8Syaikh Ahmad Farid, Min A'lam As-Salaf, Terj. Masturi Irham dan Asmu'i Taman, "60

    Biografi Ulama Salaf", Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 2006, hlm. 361.

  • 39

    2. Pendidikan

    Imam Syafi'i menerima fiqih dan haditsdari banyak guru yang

    masing-masingnya mempunyai manhaj sendiri dan tinggal di tempat-

    tempat berjauhan bersama lainnya. Imam Syafi'i menerima ilmunya dari

    ulama-ulama Mekkah, ulama-ulama Madinah, ulama-ulama Iraq dan

    ulama-ulama Yaman.9

    Ulama Mekkah yang menjadi gurunya ialah: Sufyan Ibn Uyainah,

    Muslim ibn Khalid al-Zanzi, Said ibn Salim al-Kaddlah, Daud ibn abd-

    Rahman al-Atthar, dan Abdul Hamid ibn Abdul Azizi Ibn Abi Zuwad.

    Ulama-ulama Madinah yang menjadi gurunya, ialah: Imam Malik ibn

    Annas, Ibrahim ibn Saad al-Anshari Abdul Aziz ibn Muhammad ad-

    Dahrawardi, Ibrahim ibn Abi Yahya al-Asami, Muhammad ibn Said Ibn

    Abi Fudaik, Abdullah ibn Nafi teman ibn Abi Zuwaib.10

    Ulama-ulama Yaman yang menjadi gurunya ialah: Mutharraf ibn

    Mazim, Hisyam ibn Yusuf, Umar ibn abi Salamah, teman Auzain dan

    Yahya Ibn Hasan teman Al-Laits. Ulama-ulama Iraq yang menjadi

    gurunya ialah: Waki ibn Jarrah, Abu Usamah, Hammad ibn Usamah, dua

    ulama Kuffah Ismail ibn Ulaiyah dan Abdul Wahab ibn Abdul Majid, dua

    ulama Basrah. Juga menerima ilmu dari Muhammad ibn al-Hasan yaitu

    dengan mempelajari kitab-kitabnya yang didengar langsung dari padanya.

    Dari padanyalah dipelajari fiqih Iraqi.11

    9Mahmud Syalthut, op.cit. hlm. 18. 10Ibid 11TM. Hasbi Ash Shiddieqy, op.cit, hlm, 486-487.

  • 40

    Setelah sekian lama mengembara menuntut ilmu, pada tahun 186 H

    Imam Syafi'i kembali ke Makah. Di masjidil Haram ia mulai mengajar dan

    mengembangkan ilmunya dan mulai berijtihad secara mandiri dalam

    membentuk fatwa-fatwa fiqihnya. Tugas mengajar dalam rangka

    menyampaikan hasil-hasil ijtihadnya ia tekuni dengan berpindah-pindah

    tempat. Selain di Makah, ia juga pernah mengajar di Baghdad (195-197

    H), dan akhirnya di Mesir (198-204 H). Dengan demikian ia sempat

    membentuk kader-kader yang akan menyebarluaskan ide-idenya dan

    bergerak dalam bidang hukum Islam. Di antara murid-muridnya yang

    terkenal ialah Imam Ahmad bin Hanbal (pendiri madzhabi Hanbali),

    Yusuf bin Yahya al-Buwaiti (w. 231 H), Abi Ibrahim Ismail bin Yahya al-

    Muzani (w. 264 H), dan Imam Ar-Rabi bin Sulaiman al-Marawi (174-270

    H). tiga muridnya yang disebut terakhir ini, mempunyai peranan penting

    dalam menghimpun dan menyebarluaskan faham fiqih Imam Syafi'i.12

    Imam Syafi'i wafat di Mesir, tepatnya pada hari Jumat tanggal 30

    Rajab 204 H, setelah menyebarkan ilmu dan manfaat kepada banyak

    orang. Kitab-kitabnya hingga saat ini masih banyak dibaca orang, dan

    makamnya di Mesir sampai detik ini masih diziarahi orang.13

    3. Karyanya

    Karya-karya Imam Syafi'i yang berhubungan dengan judul di atas

    di antaranya: (1) Al-Umm. Kitab ini disusun langsung oleh Imam Syafi'i

    secara sistematis sesuai dengan bab-bab fiqih dan menjadi rujukan utama

    12Abdul Aziz Dahlan, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997, hlm. 1680.

    13Ibid, hlm. 18.

  • 41

    dalam Madzhab Syafi'i. Kitab ini memuat pendapat Imam Syafi'i dalam

    berbagai masalah fiqih. Dalam kitab ini juga dimuat pendapat Imam

    Syafi'i yang dikenal dengan sebutan al-qaul al-qadim (pendapat lama) dan

    al-qaul al-jadid (pendapat baru). Kitab ini dicetak berulang kali dalam

    delapan jilid bersamaan dengan kitab usul fiqih Imam Syafi'i yang

    berjudul Ar-Risalah. Pada tahun 1321 H kitab ini dicetak oleh Dar asy-

    Sya'b Mesir, kemudian dicetak ulang pada tahun 1388H/1968M.14

    (2) Kitab al-Risalah. Ini merupakan kitab ushul fiqih yang pertama

    kali dikarang dan karenanya Imam Syafi'i dikenal sebagai peletak dasar

    ilmu ushul fiqih. Di dalamnya diterangkan pokok-pokok pikiran Syafi'i

    dalam menetapkan hukum.15 (3) Kitab Imla al-Shagir; Amali al-Kubra;

    Mukhtasar al-Buwaithi;16 Mukhtasar al-Rabi; Mukhtasar al-Muzani; kitab

    Jizyah dan lain-lain kitab tafsir dan sastra.17 Siradjuddin Abbas dalam

    bukunya telah mengumpulkan 97 (sembilan puluh tujuh) buah kitab dalam

    fiqih Imam Syafi'i. Namun dalam bukunya itu tidak diulas masing-masing

    dari karya Imam Syafi'i tersebut.18 Ahmad Nahrawi Abd al-Salam

    menginformasikan bahwa kitab-kitab Imam Syafi'i adalah Musnad li al-

    Syafi'i; al-Hujjah; al-Mabsut, al-Risalah, dan al-Umm.19

    14TM. Hasbi Ash Shiddieqy, op.cit, hlm, 488. 15Djazuli, Ilmu Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005, hlm. 131-132. 16Ahmad Asy Syurbasyi, Al-Aimmah al-Arba'ah, Terj. Futuhal Arifin, "Biografi Empat

    Imam Madzhabi", Jakarta: Pustaka Qalami, 2003, hlm. 144. 17Ali Fikri, Ahsan al-Qashash, Terj. Abd.Aziz MR: "Kisah-Kisah Para Imam Madzhab",

    Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003, hlm. 109-110. 18Siradjuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafii, Jakarta: Pustaka

    Tarbiyah, 2004, hlm. 182-186. 19Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam, Studi tentang Qaul Qadim dan Qaul Jadid,

    Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 44.

  • 42

    B. Pendapat Imam Syafi'i tentang Sahnya Nikah Muhallil

    Nikah muhallil adalah nikah yang dimaksudkan untuk menghalalkan

    bekas istri yang telah ditalak tiga kali. Imam Malik berpendapat bahwa nikah

    muhallil dapat dibatalkan. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa nikah

    muhallil itu sah.20 Adapun Imam Malik berpendapat bahwa akadnya rusak dan

    batal sehingga perkawinan selanjutnya oleh mantan suami pertama tidak sah.

    Menurut Imam Syafi'i akadnya dianggap sah, hal ini sebagaimana ia

    katakan dalam kitabnya al-Umm:

    21 Artinya: Seperti demikian juga, kalau lelaki itu kawin dengan seorang

    wanita. Niatnya lelaki dan niatnya wanita atau niatnya salah seorang dari keduanya, tidak yang lain, bahwa lelaki tersebut tidak menahan wanita itu, selain kadar ia menytubuhinya. Maka perkawinan itu menghalalkan wanita tersebut bagi suaminya, yang tetaplah nikah itu. Sama saja diniatkan oleh wali itu bersama kedua suami isteri tersebut atau diniatkan oleh bukan wali atau tidak diniatkan oleh wali dan oleh yang lain dari wali.

    Dalam perspektif Imam Syafi'i apabila seorang suami menceraikan

    istrinya dengan talak yang sudah berjumlah tiga, kemudian istri itu menikah

    lagi dengan pria lain. niat keduanya untuk menghalalkan kembalinya istri itu

    pada suami pertama, maka jika hanya sekedar niat tanpa diucapkan syarat itu

    dalam akad nikah, maka pernikahan yang demikian dianggap halal. Yang

    20Ibnu Rusyd, op.cit., hlm. 44. 21Imam Syafi'i, al-Umm. Juz V, Beirut: Dar al-Kutub, Ijtimaiyyah, t.th, hlm. 86.

  • 43

    penting telah melakukan layaknya hubungan suami istri, maka jika terjadi

    perceraian lagi dan istri ingin menikah lagi dengan suami pertama, maka

    nikahnya halal.

    C. Metode Istinbat Hukum Imam Syafi'i tentang Sahnya Nikah Muhallil

    Dalam hubungannya dengan sahnya nikah muhallil, Imam Syafi'i

    menggunakan metode istinbat hukum berupa qiyas yaitu meng-qiyaskan nikah

    muhallil dengan nikah biasa.

    Sumber hukum Islam adalah Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah. Dua

    sumber tersebut disebut juga dalil-dalil pokok hukum Islam karena keduanya

    merupakan petunjuk (dalil) utama kepada hukum Allah. Ada juga dalil-dalil

    lain selain al-Qur'an dan sunnah seperti qiyas, istihsan dan istishlah, tetapi

    tiga dalil disebut terakhir ini hanya sebagai dalil pendukung yang hanya

    merupakan alat bantu untuk sampai kepada hukum-hukum yang dikandung

    oleh Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah. Karena hanya sebagai alat bantu untuk

    memahami al-Qur'an dan sunnah, sebagian ulama menyebutnya sebagai

    metode istinbat. Imam al-Ghazali misalnya menyebut qiyas sebagai metode

    istinbat. Dalam tulisan ini, istilah sumber sekaligus dalil digunakan untuk Al-

    Qur'an dan Sunnah, sedangkan untuk selain Al-Qur'an dan Sunnah seperti

    ijma', qiyas, istihsan, maslahah mursalah, istishab, 'urf dan sadd az-zari'ah

    tidak digunakan istilah dalil. Dalam kajian Ushul Fiqh terdapat dalil-dalil

    yang disepakati dan dalil-dalil yang tidak disepakati,22 yang disepakati yaitu

    al-Qur'an, as-sunnah, ijma, qiyas. Sedangkan yang belum disepakati yaitu

    22Satria Efendi, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2007, hlm. 77-78.

  • 44

    istihsan, maslahah mursalah, istishhab, mazhab shahabi, syari'at kaum

    sebelum kita.

    Dalam hubungannya dengan sahnya nikah muhallil, Imam Syafi'i

    menggunakan metode istinbat hukum berupa qiyas yaitu meng-qiyaskan nikah

    muhallil dengan nikah biasa. Qiyas menurut bahasa Arab berarti

    menyamakan, membandingkan atau mengukur.23 Menurut Hanafi, qiyas

    menurut istilah, ialah menetapkan hukum sesuatu perbuatan yang belum ada

    ketentuannya, berdasarkan sesuatu yang sudah ada ketentuan hukumnya.24

    Menurut Abd al-Wahhb Khalf, qiyas menurut istilah ahli ilmu ushul fiqh

    adalah mempersamakan suatu kasus yang tidak ada nash hukumnya dengan

    suatu kasus yang ada nash hukumnya, dalam hukum yang ada nashnya, karena

    persamaan kedua itu dalam illat hukumnya.25 Sejalan dengan itu, menurut

    Abu Zahrah, qiyas adalah menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada

    nashnya dalam al-Qur'an dan hadis dengan cara membandingkannya dengan

    sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash atau menyamakan

    sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash

    hukumnya karena adanya persamaan illat hukum.26

    Apabila suatu nash telah menunjukkan hukum mengenai suatu kasus

    dan illat hukum itu telah diketahui melalui salah satu metode untuk

    mengetahui illat hukum, kemudian ada kasus lainnya yang sama dengan kasus

    23Kamal Muchtar, dkk, Ushul Fiqh, Jiid I, Jakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995, hlm. 107. 24A. Hanafie, Ushul Fiqh, Jakarta: Wijaya, 2001, hlm. 128. 25Abd al-Wahhb Khalf, Ilm usl al-Fiqh, Terj. Moh. Zuhri dan Ahmad Qarib,

    Semarang: Dina Utama, 1994, hlm. 66. 26Muhammad Abu Zahrah, Usl al-Fiqh, Terj. Saefullah Ma'shum, et al, Jakarta: Pustaka

    Firdaus, 2003, hlm. 336.

  • 45

    yang ada nashnya itu dalam suatu illat yang illat hukum itu juga terdapat pada

    kasus itu, maka hukum kasus itu disamakan dengan hukum kasus yang ada

    nashnya, berdasarkan atas persamaan illatnya, karena sesungguhnya hukum

    itu ada di mana illat hukum ada.27

    Qiyas baru dianggap sah bilamana lengkap rukun-rukunnya. Para

    ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa yang menjadi rukun qiyas ada empat yaitu:28

    (1). Ashal (pokok tempat mengqiyaskan sesuatu), yaitu masalah yang telah

    ditetapkan hukumnya baik dalam Al-Qur'an atau dalam Sunnah

    Rasulullah. Ashal disebut juga al-maqis 'alaih (tempat mengiyaskan

    sesuatu). Misalnya, khamar yang ditegaskan haramnya dalam ayat:

    ) :90(

    Artinya: Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum)

    khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan Al-Qur'an. (QS. al-Maidah/5:90).29

    Beberapa syarat ashal, seperti dikemukakan A. Hanafi adalah:

    a). Hukum yang hendak dipindahkan kepada cabang masih ada pada

    pokok (ashal). Kalau sudah tidak ada, misalnya sudah dihapuskan

    (mansukh) di masa Rasulullah, maka tidak mungkin terdapat

    pemindahan hukum.

    27Abd al-Wahhb Khalf, op.cit., hlm. 66. 28Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005, hlm. 132 29Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya, Surabaya:

    DEPAG RI, 1999, hlm. 179.

  • 46

    b). Hukum yang terdapat pada ashal itu hendaklah hukum syara',

    bukan hukum akal atau hukum yang berhubungan dengan bahasa,

    karena pembicaraan kita adalah qiyas syara'.

    c). Hukum ashal bukan merupakan hukum pengecualian seperti

    sahnya puasa orang yang lupa, meskipun makan dan minum.

    Mestinya puasa menjadi rusak, sebab sesuatu tidak akan tetap ada

    apabila berkumpul dengan hal-hal yang menafikannya

    (meniadakannya), tetapi puasanya tetap ada.30

    (2). Adanya hukum ashal, yaitu hukum syara' yang terdapat pada ashal yang

    hendak ditetapkan pada far'u (cabang) dengan jalan qiyas. Misalnya

    hukum haram khamar yang ditegaskan dalam Al-Qur'an.

    Syarat-syarat hukum ashal, menurut Abu Zahrah, antara lain adalah:

    a). Hukum ashal hendaklah berupa hukum syara' yang berhubungan

    dengan amal perbuatan, karena yang menjadi kajian Ushul Fiqh

    adalah hukum yang menyangkut amal perbuatan.

    b). Hukum ashal dapat ditelusuri 'illat (motivasi) hukumnya. Misalnya

    hukum haramnya khamar dapat ditelusuri mengapa khamar itu

    diharamkan yaitu karena memabukkan dan bisa merusak akal

    pikiran, bukan hukum-hukum yang tidak dapat diketahui 'illat

    hukumnya (gairu ma'qul al-ma'na), seperti masalah bilangan rakaat

    shalat.

    c). Hukum ashal itu bukan merupakan kekhususan bagi Nabi

    30Hanafie, op.cit., hlm. 129.

  • 47

    Muhammad SAW misalnya kebolehan Rasulullah beristri lebih dari

    empat orang wanita sekaligus.31

    (3). Adanya cabang (far'u), yaitu sesuatu yang tidak ada ketegasan

    hukumnya dalam Al-Qur'an, Sunnah, atau ijma', yang hendak ditemukan

    hukumnya melalui qiyas, misalnya minuman keras wisky. Syarat-

    syaratnya, seperti dikemukakan A. Hanafi, antara lain yang terpenting:

    a). Cabang tidak mempunyai ketentuan tersendiri. Ulama ushul fiqh

    menetapkan bahwa: "Apabila datang nas (penjelasan hukumnya

    dalam Al-Qur'an atau sunnah), qiyas menjadi batal". Artinya, jika

    cabang yang akan di-qiyas-kan itu telah ada ketegasan hukumnya

    dalam Al-Qur'an dan Sunnah, maka qiyas tidak lagi berfungsi dalam

    masalah tersebut.

    b). 'Illat yang terdapat pada cabang terdapat sama dengan yang terdapat

    pada ashal.

    c). Hukum cabang harus sama dengan hukum pokok.32

    (4). 'Illat, rukun yang satu ini merupakan inti bagi praktik qiyas, karena

    berdasarkan 'illat itulah hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur'an

    dan Sunnah Rasulullah dapat dikembangkan. 'Illat menurut bahasa

    berarti "sesuatu yang bisa mengubah keadaan", misalnya penyakit

    disebut 'illat karena sifatnya mengubah kondisi seseorang yang terkena

    penyakit itu.33

    31Muhammad Abu Zahrah, op.cit., hlm. 359. 32Hanafie, op.cit., hlm. 129. 33Satria Effendi, M. Zein, op.cit., hlm. 135.

  • 48

    Dalam hubungannya dengan sahnya nikah muhallil, Imam Syafi'i

    menggunakan metode istinbat hukum berupa qiyas yaitu meng-qiyaskan nikah

    muhallil dengan nikah biasa yang dapat dijelaskan sebagai berikut:.

    (1) Ashal yaitu nikah biasa yaitu dipenuhinya syarat dan rukun

    (2) Hukum ashal yaitu menikah itu menghalalkan hubungan suami istri

    (3) Fara yang berarti nikah muhallil

    (4) Illat, ada ijab qabul, ada kedua calon mempelai, ada saksi, ada wali.

    Hadi