LAPORAN KELOMPOK DISKUSI TUTORIAL BLOK KEDOKTERAN KOMUNITAS SKENARIO 1 KEJADIAN LUAR BIASA (KLB) OLEH: KELOMPOK 14 G0009030 ASRI SUKAWATI P. G0009032 ATIKA ZAHRO N. G0009066 DWI TIARA S. G0009120 LOUIS HADIYANTO G0009144 MUVIDA G0009156 NUR JIWO W. G0009164 OGI KURNIAWAN G0009194 RUBEN STEVANUS G0009198 SAYEKTI ASIH N
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
LAPORAN KELOMPOK
DISKUSI TUTORIAL
BLOK KEDOKTERAN KOMUNITAS SKENARIO 1
KEJADIAN LUAR BIASA (KLB)
OLEH:
KELOMPOK 14
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2012
G0009030 ASRI SUKAWATI P.
G0009032 ATIKA ZAHRO N.
G0009066 DWI TIARA S.
G0009120 LOUIS HADIYANTO
G0009144 MUVIDA
G0009156 NUR JIWO W.
G0009164 OGI KURNIAWAN
G0009194 RUBEN STEVANUS
G0009198 SAYEKTI ASIH N
SOFI ARIANI
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Kedokteran Komunitas merupakan cabang ilmu kedokteran yang memusatkan
perhatian pada kesehatan anggota-anggota komunitas, dengan menekankan
diagnosis dini penyakit, memperhatikan faktor-faktor yang membahayakan
kesehatan yang berasal dari lingkungan dan pekerjaan, serta pencegahan penyakit
pada komunitas (The Free Dictionary, 2010).
Kedokteran komunitas tidak hanya memberikan perhatian kepada anggota
komunitas yang sakit tetapi juga anggota komunitas yang sehat. Tujuan utama
kedokteran komunitas adalah mencegah penyakit dan meningkatkan kesehatan
anggota-anggota komunitas. Karena menekankan upaya pencegahan penyakit,
maka kedokteran komunitas kadang-kadang disebut juga kedokteran pencegahan
(preventive medicine). Kedokteran komunitas memberikan pelayanan
komprehensif dari preventif, promotif, kuratif hingga rehabilitatif.
Pada skenario pertama ini yang menyajikan artikel koran berjudul ’KLB
Difteri di Jatim’, mahasiswa dituntut untuk dapat memahami tentang apa itu
kedokteran komunitas, sehingga dapat mengahasilkan lulusan dokter yang mampu
bersaing di pasar global dan berorientasi kepada Kedokteran Komunitas.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana pencegahan bertambahnya jumlah korban?
2. Apa saja kriteria KLB?
3. Bagaimana cara agar pemberian imunisasi dapat maksimal?
4. Bagaimana penanganan KLB secara khusus oleh pemerintah?
5. Apakah setiap penyakit bias menjadi KLB?
6. Bagaimana epidemiologi, etiologi, cara penularan, dan patofisiologi difteri?
7. Bagaimana riwayat alamiah penyebaran penyakit?
8. Bagaimana upaya deteksi dini terhadap KLB?
9. Apa yang disebut dengan pandemik, endemik, serta wabah?
10. Bagaimana langkah investigasi KLB?
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN
1. Untuk mengetahui pencegahan bertambahnya jumlah korban
2. Untuk mengetahui kriteria KLB
3. Untuk mengetahui cara agar pemberian imunisasi dapat maksimal
4. Untuk mengetahui penanganan KLB secara khusus oleh pemerintah
5. Untuk mengetahui apkah setiap penyakit bisa menjadi KLB
6. Untuk mengetahui epidemiologi, etiologi, cara penularan, dan patofisiologi dif-
teri
7. Untuk mengetahui riwayat alamiah penyebaran penyakit
8. Untuk mengetahui upaya deteksi dini terhadap KLB
9. Untuk mengetahui pengertian pandemik, endemik, serta wabah
10. Untuk mengetahui langkah investigasi KLB
BAB II
HASIL DISKUSI
A. JUMP 1: KLARIFIKASI ISTILAH
1. KLB (Kejadian Luar Biasa): timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan
dan atau kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu daerah
dalam kurun waktu tertentu.
2. Eritromisin: pilihan antibiotik sebagai antibiotik profilaksis pada yang kontak
dengan penderita difteri, atau pada carrier.
3. Difteri: Penyakit infeksi mendadak akibat Corynebacterium
difteriaeI, biasanya di saluran nafas bagian atas
B. JUMP 2: RUMUSAN MASALAH
1 Bagaimana pencegahan bertambahnya jumlah korban?
2 Apa saja kriteria KLB?
3 Bagaimana cara agar pemberian imunisasi dapat maksimal?
4 Bagaimana penanganan KLB secara khusus oleh pemerintah?
5 Apakah setiap penyakit bias menjadi KLB?
6 Bagaimana epidemiologi, etiologi, cara penularan, dan patofisiologi difteri?
7 Bagaimana riwayat alamiah penyebaran penyakit?
8 Bagaimana upaya deteksi dini terhadap KLB?
9 Apa yang disebut dengan pandemik, endemik, serta wabah?
10 Bagaimana langkah investigasi KLB?
C. JUMP 3: ANALISIS MASALAH
1. Terdapat 3 tingkat pencegahan, yaitu :
a. Pecegahan primer adalah upaya memodifikasi faktor resiko atau mence-
gah berkembangnya faktor resiko, sebelum dimulainya perubahan patolo-
gis, dilakukan pada tahap suspectible dan induksi penyakit, dengan tujuan
mencegah atau menunda terjadinya kasus baru penyakit. Terma
yang berkaitan dengan pencegahan primer adalah “pencegahan primor-
dial” dan “reduksi kerugian” (Last, 2001).
b. Pencegahan sekunder merupakan upaya pencegahan pada fase penyakit
asimtomatis, tepatnya pada tahap preklinis, terhadap timbulnya gejala-ge-
jala penyakit secara klinis melalui deteksi dini (early detection). Jika de-
teksi tidak dilakukan dini danterapi tidak diberikan segera, maka akan ter-
jadi gejala klinis yang merugikan. deteksi dini penyakit sering disebut
skrining. Skrining adalah identifikasi yang menduga adanya penyakit atau
kecacatan yang belum diketahui dengan menerapkan suatu tes, pemerik-
saan, atau prosedur lainnya, yang dapat dilakukaan dengan cepat. Orang-
orang yang ditemukan positif atau mencurigakan dirujuk ke dokter untuk
penentuan diagnosis dan pemberian pengobatan yang diperlukan (Last,
2001).
c. Pencegahan tersier adalah upaya pencegahan progresi penyakit ke arah
berbagai akibat penyakit yang lebih buruk, dengan tujuan memperbaiki
kualitas hidup pasien. Pencegahan teriser dilakukan oleh dokter dan pro-
fesi kesehatan lainnya. Pencegahan tersier dibedakan dengan pengobatan
(cure), meskipun batas perbedaan itu tidak selalu jelas. Jenis intervensi
yang dilakukan sebagai pencegahan tersier bisa saja merupakan pengob-
atan. Tetapi dalam pencegahan tersier , target yang ingin dicapai lebih
kepada mengurangi atau mencegah terjadinya kerusakan jaringan dan or-
gan, mengurangi skuele, disfungsi, dan keparahan akibat penyakit, mengu-
rangi komplikasi penyakit, mencegah serangan ulang penyakit, dan mem-
perpanjang hidup. Sedangkan target pengobatan adalah menyembuhkan
pasien dari gejala dan tanda klinis yang telah terjadi (Last, 2001).
2. Kriteria KLB
Dalam menentukan KLB perlu batasan yang jelas tentang komunitas, daerah,
dan waktu terjadinya peningkatan kasus. Untuk dapat dikatakan KLB, jumlah
kasus tidak harus luar biasa banyak dalam arti absolut, melainkan luar biasa
dalam arrti relativ, ketika dibandingkan dengan insidensi biasa pada masa
yang lalu, disebut tingkat endemis (Greenberg et al, 2005). Segelintir ka-
sus bisa merupakan KLB jika muncul pada kelompok, tempat dan waktu
yang tidak biasa. Ditemukannya dua kasus penyakit yang telah lama absen
(misalnya variola) atau pertama kali invasi di suatu populasi atau wilayah
(misalnya HIV/AIDS), dapat dikatakan KLB, dan otoritas kesehatan dapat
memulai melakukan penyelidikan dan pengendalian terhadap KLB itu (Last,
2001).
3. Cara pemberian imunisasi agar dapat maksimal
Kriteria pemberian untuk imunisasi, sebagai berikut :
a. Usia < 3 tahun : DPT-HB
b. Usia 3-7 tahun : DT
c. Usia > 7 tahun : Td
Sebisa mungkin dilakukan pula survey cakupan imunisasi DPT-Hb3 minimal
30 balita di sekitar kasus untuk mengetahui cakupan imunisasi sekitar kasus.
Golongan umur yang paling sering dikenai adalah antara 2 10 tahun., jarang
ditemukan pada bayi berumur dibawah 6 bulan karena mendapat imunisasi
pasif melewati plasenta dari ibunya dan pada dewasa yang berumur diatas 15
tahun, karena sudah mendapat imunisasi pada masa kecilnya.
4. Penangan KLB secara khusus oleh pemerintah
Program penanggulangan KLB adalah adalah suatu proses manajemen yang
bertujuan agar KLB tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat. Pokok
program penanggulangan KLB adalah identifikasi ancaman KLB secara na-
sional, propinsi dan kabupaten/kota; upaya pencegahan terjadinya KLB den-
gan melakukan upaya perbaikan kondisi rentan KLB; penyelenggaraan SKD-
KLB, kesiapsiagaan menghadapi kemungkinan adanya KLB dan tindakan
penyelidikan dan penanggulangan KLB yang cepat dan tepat.
5. Konsep KLB berlaku untuk penyakit infeksi, penyakit non-infeksi, prilaku ke-
sehatan, maupun peristiwa kesehatan lainnya, misalnya epidemik kolera, epi-
demik SARS, epidemik gizi buruk anak balita, epidemik merokok, epidemik
stroke, epidemik Ca paru, dan sebagainya (Gerstman,1998; Last, 2001; Green-
berg el al, 2005; Barreto et al, 2006).
6. Bagaimana epidemiologi, etiologi, cara penularan, dan patofisiologi difteri?
a. Definisi
Difteria adalah suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang tonsil,
faring, laring, hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta
kadang-kadang konjungtiva atau vagina. Timbulnya lesi yang khas
disebabkan oleh cytotoxin spesifik yang dilepas oleh bakteri. Lesi nampak
sebagai suatu membran asimetrik keabu-abuan yang dikelilingi dengan daerah
inflamasi. Tenggorokan terasa sakit, sekalipun pada difteria faucial atau pada
difteri faringotonsiler diikuti dengan kelenjar limfe yang membesar dan
melunak. Pada kasus-kasus yang berat dan sedang ditandai dengan
pembengkakan dan oedema di leher dengan pembentukan membran pada
trachea secara ektensif dan dapat terjadi obstruksi jalan napas.
Difteri hidung biasanya ringan dan kronis dengan satu rongga hidung
tersumbat dan terjadi ekskorisasi (ledes). Infeksi subklinis (atau kolonisasi )
merupakan kasus terbanyak. Toksin dapat menyebabkan myocarditis dengan
heart block dan kegagalan jantung kongestif yang progresif,timbul satu
minggu setelah gejala klinis difteri. Bentuk lesi pada difteri kulit bermacam-
macam dan tidak dapat dibedakan dari lesi penyakit kulit yang lain, bisa
seperti atau merupakan bagian dari impetigo (Kadun,2006).
b. Penyebab
Penyebab penyakit difteri adalah Corynebacterium diphtheriae.
Berbentuk batang gram positif, tidak berspora, bercampak atau kapsul. Infeksi
oleh kuman sifatnya tidak invasive, tetapi kuman dapat mengeluarkan toxin,
yaitu exotoxin. Exotoxin yang diproduksi oleh bakteri merupakan suatu
protein yang tidak tahan terhadap panas dan cahaya. Bakteri dapat
memproduksi toksin bila terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung
toksigen. Toxin difteri ini, karena mempunyai efek patoligik meyebabkan
orang jadi sakit. Ada tiga tipe variants dari Corynebacterium diphtheriae ini
yaitu : tipe mitis, tipe intermedius dan tipe gravis. Corynebacterium
diphtheriae dapat dikalsifikasikan dengan cara bacteriophage lysis menjadi 19
tipe. Tipe 1-3 termasuk tipe mitis, tipe 4-6 termasuk tipe intermedius, tipe 7
termasuk tipe gravis yang tidak ganas, sedangkan tipe-tipe lainnya termasuk
tipe gravis yang virulen. Corynebacterium diphtheriae ini dalam bentuk satu
atau dua varian yang tidak ganas dapat ditemukan pada tenggorokan manusia,
pada selaput mukosa.1,2,5
Organisme ini terlokalisasi di tenggorokan yang meradang bila bakteri
ini tumbuh dan mengeluarkan eksotoksin yang ampuh. Sel jaringan mati,
bersama dengan leukosit, eritosit, dan bakteri membentuk eksudat berwarna
kelabu suram yang disebut pseudomembran pada faring. Di dalam
pseudomembran, bakteri berkembang serta menghasilkan racun. Jika
pseudomembran ini meluas sampai ke trakea, maka saluran nafas akan
tersumbat dan si penderita akan kesulitan bernafas. Sebelum era vaksinasi,
racun yang dihasilkan oleh kuman ini sering meyebabkan penyakit yang
serius, bahkan dapat menimbulkan kematian. Tapi sejak vaksin difteri
ditemukan dan imunisasi terhadap difteri digalakkan, jumlah kasus penyakit
dan kematian akibat kuman difteri menurun dengan drastis.
c. Cara Penularan
Sumber penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik sebagai
penderita maupun sebagai carier. Cara penularannya yaitu melalui kontak
dengan penderita pada masa inkubasi atau kontak dengan carier. Caranya
melalui pernafasan atau droplet infection. Masa inkubasi penyakit difteri ini 2
– 5 hari, masa penularan penderita 2-4 minggu sejak masa inkubasi,
sedangkan masa penularan carier bisa sampai 6 bulan. Penyakit difteri yang
diserang terutama saluran pernafasan bagian atas. 3
Ciri khas dari penyakit ini ialah pembekakan di daerah tenggorokan,
yang berupa reaksi radang lokal, dimana pembuluh-pembuluh darah melebar
mengeluarkan sel darah putih sedang sel-sel epitel disitu rusak, lalu
terbentuklah disitu membaran putih keabu-abuan (psedomembrane). Membran
ini sukar diangkat dan mudah berdarah. Di bawah membran ini bersarang
kuman difteri dan kuman-kuman ini mengeluarkan exotoxin yang
memberikan gejala-gejala yang lebih berat dan Kelenjer getah bening yang
berada disekitarnya akan mengalami hiperplasia dan mengandung toksin.
Eksotoksin dapat mengenai jantung dapat menyebabkan miyocarditisct toksik
atau mengenai jaringan perifer sehingga timbul paralisis terutama pada otot-
otot pernafasan. Toksini ini juga dapat menimbulkan nekrosis fokal pada hati
dan ginjal, malahan dapat timbul nefritis interstisial. Penderita yang paling
berat didapatkan pada difterifauncial dan faringea karena terjadi penyumbatan
membran pada laring dan trakea sehingga saluran nafas ada obstruksi dan
terjadi gagal napas, gagal jantung yang bisa mengakibatkan kematian, ini
akibat komplikasi yang seriing pada bronkopneumoni.
7. Bagaimana riwayat alamiah penyebaran penyakit?
Perjalanan penyakit dimulai dengan terpaparnya individu sebagai
penjamu yang rentan (suspectible) oleh agen kausal. Paparan (exposure)
adalah kontak atau kedekatan (proximity) dengan sumber agen penyakit.
Konsep paparan berlaku untuk penyakit infeksi maupun non-infeksi. Contoh,
paparan virus hepatitis B (HBV) dapat menginduksi terjadinya hepatitis B,
paparan stres terus-menerus dapat menginduksi terjadinya neurosis, paparan
radiasi menginduksi terjadinya mutasi DNA dan menyebabkan kanker, dan
sebagainya. Arti “induksi” itu sendiri merupakan aksi yang mempengaruhi
terjadinya tahap awal suatu hasil, dalam hal ini mempengaruhi awal terjadinya
proses patologis.
Jika terdapat tempat penempelan (attachment) dan jalan masuk sel
(cell entry) yang tepat maka paparan agen infeksi dapat menyebabkan invasi
agen infeksi dan terjadi infeksi. Agen infeksi melakukan multiplikasi yang
mendorong terjadinya proses perubahan patologis, tanpa penjamu
menyadarinya.
Periode waktu sejak infeksi hingga terdeteksinya infeksi melalui tes
laboratorium/ skrining disebut window period. Dalam window period
individu telah terinfeksi, sehingga dapat menularkan penyakit, meskipun
infeksi tersebut belum terdeteksi oleh tes laboratorium. Implikasinya, tes
laboratorium hendaknya tidak dilakukan selama window period, sebab infeksi
tidak akan terdeteksi. Contoh, antibodi HIV (Human Immuno-deficiency
Virus) hanya akan muncul 3 minggu hingga 6 bulan setelah infeksi. Jika tes
HIV dilakukan dalam window period, maka sebagian besar orang tidak akan
menunjukkan hasil positif, sebab dalam tubuhnya belum diproduksi antibodi.
Karena itu tes HIV hendaknya ditunda hingga paling sedikit 12 minggu (3
bulan) sejak waktu perkiraan paparan. Jika seorang telah terpapar oleh virus
tetapi hasil tes negatif, maka perlu dipertimbangkan tes ulang 6 bulan
kemudian. Selanjutnya berlangsung proses promosi pada tahap preklinis, yaitu
keadaan patologis yang ireversibel dan asimtomatis ditingkatkan derajatnya
menjadi keadaan dengan manifestasi klinis (Kleinbaum et al., 1982; Rothman,
2002).
Melalui proses promosi agen kausal akan meningkatkan aktivitasnya,
masuk dalam formasi tubuh, menyebabkan transformasi sel atau disfungsi sel,
sehingga penyakit menunjukkan tanda dan gejala klinis. Dewasa ini telah
dikembangkan sejumlah tes skrining atau tes laboratorium untuk mendeteksi
keberadaan tahap preklinis penyakit (US Preventive Services Task Force,
2002; Barratt et al., 2002; Champion dan Rawl, 2005). Waktu sejak penyakit
terdeteksi oleh skrining hingga timbul manifestasi klinik, disebut sojourn
time, atau detectable preclinical period (Brookmeyer, 1990; Last, 2001;
Barratt et al., 2002). Makin panjang sojourn time, makin berguna melakukan
skrining, sebab makin panjang tenggang waktu untuk melakukan pengobatan
dini (prompt treatment) agar proses patologis tidak termanifestasi klinis.
Kofaktor yang mempercepat progresi menuju penyakit secara klinis pada
sojourn time (detectable preclinical period) disebut akselerator atau progresor
(Achenbach et al., 2005). \Waktu yang diperlukan mulai dari paparan agen
kausal hingga timbulnya manifestasi klinis disebut masa inkubasi (penyakit
infeksi) atau masa laten (penyakit kronis). Pada fase ini penyakit belum
menampakkan tanda dan gejala klinis, disebut penyakit subklinis
(asimtomatis). Masa inkubasi bisa berlangsung dalam hitungan detik pada
reaksi toksik atau hipersentivitas. Contoh, gejala kolera timbul beberapa jam
hingga 2-3 hari sejak paparan dengan Vibrio cholera yang toksigenik. Pada
penyakit kronis masa inkubasi (masa laten) bisa berlangsung sampai
beberapa dekade. Kovariat yang berperan dalam masa laten (masa inkubasi),
yakni faktor yang meningkatkan risiko terjadinya penyakit secara klinis,
disebut faktor risiko. Sebaliknya, faktor yang menurunkan risiko terjadinya
penyakit secara klinis disebut faktor protektif.
Selanjutnya terjadi inisiasi penyakit klinis. Pada saat ini mulai timbul
tanda (sign) dan gejala (symptom) penyakit secara klinis, dan penjamu yang
mengalami manifestasi klinis disebut kasus klinis. Gejala klinis paling awal
disebut gejala prodromal. Selama tahap klinis, manifestasi klinis akan
diekspresikan hingga terjadi hasil akhir/ resolusi penyakit, baik sembuh,
remisi, perubahan beratnya penyakit, komplikasi, rekurens, relaps, sekuelae,
disfungsi sisa, cacat, atau kematian. Periode waktu untuk mengekspresikan
penyakit klinis hingga terjadi hasil akhir penyakit disebut durasi penyakit.
Kovariat yang mempengaruhi progresi ke arah hasil akhir penyakit,
disebut faktor prognostik (Kleinbaum et al., 1982; Rothman, 2002). Penyakit
penyerta yang mempengaruhi fungsi individu, akibat penyakit, kelangsungan
hidup, alias prognosis penyakit, disebut ko-morbiditas (Mulholland, 2005).
Contoh, TB dapat menjadi ko-morbiditas HIV/AIDS yang meningkatkan
risiko kematian karena AIDS pada wanita dengan HIV/AIDS (Lopez-Gatell et
al., 2007).
8. Bagaimana upaya deteksi dini terhadap KLB?
Deteksi Dini KLB Deteksi dini KLB merupakan kewaspadaan terhadap
timbulnya KLB dengan mengidentifikasi kasus berpotensi KLB, pemantauan
wilayah setempat terhadap penyakit-penyakit berpotensi KLB dan
penyelidikan dugaan KLB
a. Identifikasi Kasus Berpotensi KLB.
Setiap kasus berpotensi KLB yang datang ke Unit Pelayanan
Kesehatan, diwawancarai kemungkinan adanya penderita lain disekitar
tempat tinggal, lingkungan sekolah, lingkunganperusahaan atau asrama
yang kemudian dapat disimpulkandugaan adanya KLB. Adanya dugaan
KLB pada suatu lokasitertentu diikuti dengan penyelidikan.
b. Pemantauan Wilayah Setempat Penyakit Berpotensi KLB
Setiap Unit Pelayanan Kesehatan merekam data epidemiologi
penderita penyakit berpotensi KLB menurut desa atau kelurahan. Setiap
Unit Pelayanan Kesehatan menyusun tabel dan grafik pemantauan wilayah
setempat KLB. Setiap Unit Pelayanan Kesehatan melakukan analisis
terusmenerus dan sistematis terhadap perkembangan penyakit yang
berpotensi KLB di daerahnya untuk mengetahui secara diniadanya KLB.
Adanya dugaan peningkatan penyakit dan faktor resiko yangberpotensi
KLB diikuti dengan penyelidikan.
c. Penyelidikan Dugaan KLB Penyelidikan dugaan KLB
Hal ini dilakukan dengan cara :
1) Di Unit Pelayanan Kesehatan, petugas kesehatan menanyakan setiap
pengunjung Unit Pelayanan Kesehatan tentang kemungkinan adanya
peningkatan sejumlah penderita penyakit yang diduga KLB pada
lokasi tertentu.
2) Di Unit Pelayanan Kesehatan, petugas kesehatan meneliti register
rawat inap dan rawat jalan terhadap kemungkinan adanya peningkatan
kasus yang dicurigai pada lokasi tertentu berdasarkan alamat
penderita, umur dan jeniskelamin atau karakteristik lain.
3) Petugas kesehatan mewawancarai kepala desa, kepala asrama dan
setiap orang yang mengetahui keadaan masyarakat tentang adanya
peningkatan penderita penyakityang diduga KLB.
4) Membuka pos pelayanan di lokasi yang diduga terjadi KLB dan
menganalisis data penderita berobat untuk mengetahui kemungkinan
adanya peningkatan penyakit yang dicurigai.
5) Mengunjungi rumah-rumah penderita yang dicurigai atau kunjungan
dari rumah ke rumah terhadap semua penduduk tergantung pilihan tim
penyelidikan
9. Apa yang disebut dengan pandemik, endemik, serta wabah?
Pandemik : Pandemik adalah terjadinya suatu masalah kesehatan dengan
frekuensi yang meningkat tinggi dalam waktu singkat dan mencakup suatu
wilayah yang sangat luas. Menurut WHO, dikatakan sebagai suatu pandemic
jika memenuhi ketiga syarat berikut:
a. Timbulnya penyakit bersangkutan merupakan suatu hal yang baru
pada populasi bersangkutan
b. Agen penyebab penyakit menginfeksi manusia dan menyebabkan sakit
serius
c. Agen penyebab penyakit menyebar dengan mudah dan berkelanjutan
pada manusia
Suatu penyakit atau keadaan tidak dapat dikatakan sebagai pandemik
hanya karena menewaskan banyak orang. Sebagai contoh, kelas penyakit
yang dikenal sebagai kanker menimbulkan angka kematian yang tinggi
namun tidak digolongkan sebagai pandemi karena tidak ditularkan.
Endemik: Endemik adalah terjadinya suatu masalah kesehatan yang
umumnya dikarenakan penyakit, dengan frekuensi yang tetap pada suatu
wilayah tertentu dalam waktu yang lama. Suatu infeksi penyakit dikatakan
sebagai endemik bila setiap orang yang terinfeksi penyakit tersebut
menularkannya kepada tepat satu orang lain (secara rata-rata). Bila infeksi
tersebut tidak lenyap dan jumlah orang yang terinfeksi tidak bertambah
secara eksponensial, suatu infeksi dikatakan berada dalam keadaan tunak
endemik (endemic steady state). Suatu infeksi yang dimulai sebagai suatu
epidemi pada akhirnya akan lenyap atau mencapai keadaan tunak
endemik, bergantung pada sejumlah faktor, termasuk virulensi dan cara
penularan penyakit bersangkutan.
Dalam bahasa percakapan, penyakit endemik sering diartikan sebagai
suatu penyakit yang ditemukan pada daerah tertentu. Sebagai contoh,
AIDS sering dikatakan "endemik" di Afrika walaupun kasus AIDS di
Afrika masih terus meningkat (sehingga tidak dalam keadaan tunak
endemik). Lebih tepat untuk menyebut kasus AIDS di Afrika sebagai
suatu epidemi.
Wabah : kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam
masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi
dari pada keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat
menimbulkan mala petaka
10. Bagaimana langkah investigasi KLB?
a. Identifikasi outbreak
Outbreak adalah peningkatan kejadian kasus penyakit yang lebih
banyak daripada ekspektasi normaldi di suatu area atau pada suatu
kelompok tertentu, selama suatu periode waktu tertentu. Informasi tentang
potensi outbreak biasanya datang dari sumber-sumber masyarakat, yaitu
laporan pasien (kasus indeks), keluarga pasien, kader kesehatan, atau
warga masyarakat. Tetapi informasi tentangpotensi outbreak bisa juga
berasal dari petugas kesehatan, hasil analisis data surveilans,
laporankematian, laporan hasil pemeriksaan laboratorium, atau media
lokal (suratkabar dan televisi).Hakikatnya outbreak merupakan deviasi
(penyimpangan) dari keadaan rata-rata insidensi yang konstan dan
melebihi ekspektasi normal Karena itu outbreak ditentukan dengan cara
membandingkan jumlah kasus sekarang dengan rata-rata jumlah kasus dan
variasinya di masa lalu (minggu, bulan, kuartal, tahun). Besar deviasi yang
masih berada dalam “ekspektasi normal” bersifat arbitrer, tergantung dari
tingkat keseriusan dampak yang diakibatkan bagi kesehatan masyarakat
dimasa yang lalu. Sebagai ancar-ancar kuantitatif, pembuat kebijakan
dapat menggunakan mean+3SD sebagai batas untuk menentukan keadaan
outbreak. Batas mean+/- 3SD lazim digunakan dalam biostatistik untuk
menentukan observasi ekstrim yang disebut outlier (Duffy dan Jacobsen,
2001), jadi suatu kondisi yang sesuai dengan definisi epidemi/ outbreak.
Sumber data kasus untuk menenetukan terjadinya outbreak: (1) Catatan
surveilans dinaskesehatan; (2) Catatan morbiditas dan mortalitas di rumah
sakit; (3) Catatan morbiditas danmortalitas di puskesmas; (4) Catatan