ASITES ET CAUSA SIROSIS HEPATIS
Yenti Puspita Sari10-2009-012**mahasiswa Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Krida WacanaAlamat: Jl. Arjuna Utara No. 6
Jakarta 11510E-mail: [email protected] adalah
penimbunan cairan secara abnormal di rongga peritoneum. Asites
dapat disebabkan oleh banyak penyakit. Pada dasarnya penimbunan
cairan di rongga peritoneum dapat terjadi melalui 2 mekanisme
dasar, yaitu transudasi dan eksudasi. Asites yang ada hubungannya
dengan sirosis hati dan hipertensi portal adalah salah satu contoh
penimbunan cairan di rongga peritoneum yang terjadi melalui
mekanisme transudasi. Asites jenis ini paling sering dijumpai di
Indonesia. Asites merupakan tanda prognosis yang kurang baik pada
beberapa penyakit. Asites juga menyebabkan pengelolaan penyakit
dasarnya menjadi semakin kompleks. Infeksi pada cairan asites lebih
memperberat perjalanan penyakit dasarnya, sehingga asites harus
dikelola dengan baik.
Skenario Bapak T berusia 65 tahun datang ke unit gawat darurat
dengan keluhan sesak napas sejak 1 minggu yang lalu. Keluhan
disertai rasa mual, cepat merasa lelah, tidak nafsu makan, dan
bengkak pada kedua tungkai sejak 4 minggu yang lalu. Pada
pemeriksaan fisik tampak sakit berat, tekanan darah 110/75 mmHg,
denyut nadi 68x/menit, suhu afebril, sklera kuning. Perut tampak
membuncit, hepar tidak teraba, lien teraba di Schuffner 1, edema
kedua tungkai. Hasil pemeriksaan laboratorium: Hb 9 g/dL, kadar
albumin 2g/dL, globulin 4 g/dL.Dari kasus di atas, diagnosis
bandingnya antara lain asites et causa sirosis hati, karsinoma
hepatoseluler, dan Hepatitis C.Sirosis HatiPemeriksaanPemeriksaan
dibagi menjadi 3, yaitu anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.1. AnamnesisPada anamnesis, ditanyakan nama,
umur, jenis kelamin, keluhan utama, riwayat penyakit dahulu,
riwayat penyakit sekarang, riwayat sosial, riwayat keluarga, dan
riwayat obat.Keluhan utamaKeluhan utama pasien sirosis hati
biasanya meliputi nyeri di kuadran kanan atas, mual, anoreksia,
perut buncit, bengkak pada kaki, dan cepat lelah.Riwayat penyakit
dahulu Ditanyakan apakah pernah mengalami penyakit kuning
sebelumnya dan bagaimana penanganannya.Riwayat penyakit
sekarangDitanyakan adanya mual atau muntah, frekuensi terjadinya,
warna muntahan, disertai darah atau tidak, jumlah muntahan, terasa
asam atau tidak, dan berkaitan dengan nyeri atau tidak. Bila ada
keluhan nyeri abdomen, ditanyakan lokasi nyeri, penjalaran nyeri,
dan onset nyeri. Bila ada anoreksia ditanyakan ada/tidaknya
penurunan berat badan, nafsu makan normal atau tidak ada, atau
takut makan akibat nyeri. bila ada keluhan sesak napas, ditanyakan
berapa jauh jarak yang ditempuh sehingga merasa sesak, dapat
berbaring telentang atau tidak, terbangun pada malam hari atau
tidak karena sesak. Bila ada pembengkakan pada pergelangan kaki
disertai sesak napas dicurigai adanya kelainan pada jantung. Pada
ikterus ditanyakan onsetnya dan warna urin ketika sakit.Riwayat
pribadi dan sosialDitanyakan ada riwayat konsumsi alkohol atau
tidak, berapa banyak alkohol yang dikonsumsi. Bila dianggap perlu,
dapat pula ditanyakan riwayat penggunaan obat-obatan terlarang,
baik menggunakan jarum suntik atau tidak, riwayat transfusi darah,
dan riwayat penggunaan obat-obatan lain (yang mungkin mempengaruhi
hati).dates2. Pemeriksaan fisikPada pasien sirosis hati, dilakukan
pemeriksaan keadaan umum, pemeriksaan tanda-tanda vital, dan
pemeriksaan abdomen lengkap (inspeksi, auskultasi, palpasi,
perkusi)Pemeriksaan keadaan umumAmati dan nilai tingkat kesadaran
pasien. Perhatikan postur tubuh, otot dan keadaan kulit pasien.
Cari tanda-tanda awal ikterus pada kulit atau sclera dan tanda
anemia di konjungtiva. Kemudian cari tanda-tanda penyakit hati
(stigmata sirosis) pada tangan, seperti eritema palmaris karena
penurunan metabolisme estrogen di hati, kontraktur Dupuytren
(deformitas fleksi pada jari keempat dan kelima) pada penyakit hati
dan penyalahgunaan alkohol, leukonikia (dasar kuku yang memutih
akibat hipoproteinemia), spider naevi (malformasi vaskular kecil
berwarna merah akibat kelebihan estrogen, berasal dari arterior
sentral dan dapat dibuat pucat dengan menekan arteriol
tersebut).Pemeriksaan tanda-tanda vitalPemeriksaan yang dilakukan
antara lain mengukur suhu tubuh pasien, menghitung frekuensi nadi
dan pernapasan, dan mengukur tekanan darah pasien.Pemeriksaan
abdomenInspeksi untuk melihat apakah ada vena-vena kolateral pada
dinding anterior abdomen, apakah ada caput medusae, apakah ada
massa tumor sehingga abdomen tampak tidak simetris, dan dilihat
juga apakah ada pembuncitan abdomen. Pada auskultasi didengarkan
suara bising usus, ada tidaknya bruit sistolik yang dapat didengar
pada aneurisma aorta atau pada pembesaran hati karena hepatoma.
Pada palpasi, cari ada/tidaknya massa, ada/tidaknya pembesaran hati
atau limpa, dan ada nyeri tekan atau tidak. Pada perkusi, dilakukan
pengetukan pada dinding abdomen. Normalnya akan didapatkan bunyi
timpani pada seluruh dinding abdomen (kecuali daerah hepar). Pada
keadaan asites, dimana di dalam abdomen terdapat cairan bebas
sedangkan di sampingnya udara bebas, dilakukan pemeriksaan shifting
dullness untuk menilai pekak yang berpindah yang menandakan adanya
perpindahan cairan. Bila shifting dullness tidak dapat dilakukan
karena asites yang masif, dilakukan pemeriksaan undulasi untuk
merasakan adanya gelombang cairan.1
3. Pemeriksaan penunjangPemeriksaan penunjang meliputi
pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan kadar bilirubin total dan
albumin, dan globulin serum, pemeriksaan alkali fosfatase, AST,
ALT, dan PT (Protrombin Time), pemeriksaan radiologi, dan
pemeriksaan histologi dari biopsi hati.Pada sirosis hati,
pemeriksaan darah lengkap memperlihatkan adanya anemia, leucopenia,
atau trombositopenia. Hipersplenisme menyebabkan leucopenia dan
trombositopenia, sedangkan defisiensi vitamin dan kehilangan darah
kronis menyebabkan anemia. Defisiensi vitamin K menyebabkan
pemanjangan PT karena faktor pembekuan yang tidak seimbang.2 Kadar
bilirubin total cenderung meningkat, lebih dari 1.1 mg/dL
(normalnya 0-1.1 mg/dL), kadar globulin serum cenderung meningkat
(normalnya 1.5-3.0 g.dL) dan kadar albumin serum cenderung menurun,
normalnya 3.8-5.1 g/dL.3 Pasien sirosis dapat memiliki kadar AST
dan ALT yang normal, namun peningkatan AST dan ALT dapat terjadi
pada pasien dengan hepatitis autoimun, hepatitis virus, hepatitis
alkoholik, dan cedera hati karena obat. Pasien dengan penyakit hati
karena kolestasis biasanya mengalami peningkatan alkali fosfatase,
-glutamiltranferase, dan bilirubin direk.Pemeriksaan lain untuk
menyingkirkan diagnosis antara lain pemeriksaan serologi untuk
hepatitis B (HbsAg), C (anti HCV), pemeriksaan jumlah besi dan gen
HFE untuk analisis hemokromatosis herediter, pemeriksaan Cu pada
serum dan urin 24 jam dan kadar seruloplasmin untuk penyakit
Wilson, kadar 1-antitripsin dan genotip terhadap antitrypsin
defisinsi, dan pemeriksaan serum autoantibodi dan serum
immunoglobulin kuantitatif untuk diagnosis penyakit hati autoimun.
Evaluasi secara periodic dengan tumor marker (alfa-fetoprotein,
CEA, dan CA 19-9) diindikasikan untuk mendeteksi komplikasi
karsinoma hepatoseluler primer. Pemeriksaan radiologis tidak selalu
dibutuhkan namun dapat memberiikan informasi tambahan untuk
screening karsinoma hepatoseluler primer dan kolangiokarsinoma.
Pemeriksaan ini dihubungkan dengan tumor marker yang biasanya
dihubungkan dengan sirosis karena berbagai penyebab.Pemeriksaan
histologi dari spesiemen biopsi seringkali merupakan kunci
diagnosis. Pada sirosis alkoholik, terdapat mikronodul, infiltrasi
lemak, dan badan Mallory. Pada sirosis biliaris primer, kolangitis
sklerosis primer dan sekunder, dan hepatitis autoimun memiliki
gambaran histologi yang sama,2 yaitu adanya infiltrasi limfosit
pada daerah portal, terbentuk bridging fibrosis, dan akhirnya
terjadi sirosis.4
Diagnosis KerjaDiagnosis kerja ditetapkan dari hasil anamnesis
dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan
darah, pemeriksaan radiologi, dan pemeriksaan histologi juga
penting untuk memastikan diagnosis dan mencari penyebab
sirosis.Dari kasus di atas, hasil pemeriksaan menunjukkan adanya
ikterus pada sclera, adanya asites, adanya oedem pada kaki,
pembesaran limpa pada Schuffner 1, penurunan albumin, dan
peningkatan globulin, dapat disimpulkan bahwa Bapak T menderita
asites et causa sirosis hati.
Etiologi Sirosis hati adalah suatu keadaan patologis yang
menggambarkan stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung
progresif yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur hepar dan
pembentukan nodulus regeneratif. Gambaran ini terjadi akibat
nekrosis hepatoselular. Jaringan penunjang retikulin kolaps
disertai deposit jaringan ikat, distorsi jaringan vaskular, dan
regenerasi nodularis parenkim hati. Sirosis hati secara klinis
dibagi menjadi sirosis hati kompensata yang berarti belum ada
gejala klinis yang nyata dan sirosis hati dekompensata yang
ditandai gejala-gejala dan tanda klinis yang jelas. Sirosis secara
konvensional diklasifikasikan sebagai makronodular (besar nodul
> 3mm) atau mikronodular (besar nodul < 3mm) atau campuran
mikro dan makronodular.5Penyebab dari sirosis dapat dilihat pada
tabel 1.6
Tabel 1. Penyebab sirosis. 6
Sebagian besar jenis sirosis dapat diklasifikasikan secara
etiologis dan morfologis menjadi sirosis alkoholik, sirosis akibat
hepatitis virus kronis (post-nekrotik), sirosis biliaris, dan
sirosis karena penyebab lain yang lebih jarang seperti sirosis
kardiak dan sirosis kriptogenik.5
Patofisiologi1. Sirosis alkoholik/Sirosis Lannec Konsumsi
alkohol yang berlebihan dapat menyebabkan berbagai penyakit hati
kronis, termasuk perlemakan hati alkoholik, hepatitis alkoholik,
dan sirosis alkoholik. Lebih parah, konsumsi alkohol yang
berlebihan dapat berperan pada kerusakan hati pada pasien dengan
kerusakan hati yang lain seperti hepatitis C, hemokromatosis, dan
pasien yang mengalami perlemakan hati karena obesitas. Konsumsi
alkohol secara kronis dapat menyebabkan fibrosis dimana ketiadaan
proses perbaikan yang mendampingi inflamasi dan atau nekrosis.
Ketika fibrosis telah mencapai derajat tertentu, terjadi gangguan
pada arsitektur normal hati dan penggantian sel hati oleh nodul
regeneratif. Pada sirosis alkoholik, diameter ukuran nodul biasanya
< 3mm, sehingga disebut mikronodular. Perlemakan hati, akumulasi
droplet trigliserid pada hati, adalah respon yang paling sering dan
paling awal dari penggunaan alkohol yang berlebihan (lebih dari
120-150 g/hari selama 2-3 minggu), dan studi klasik menunjukkan
bahwa abstinensia selama 4 minggu merupakan solusinya. Sintesis
asam lemak dan trigliserid yang berlebihan dari kemampuan untuk
mengoksidasinya atau mengeluarkannya bersama partikel lipoprotein
menyebabkan steatosis hepatitis.
Etanol umumnya diabsorpsi di usus halus, dan sedikit di lambung.
Gastric alkohol dehidrogenase (ADH) memulai metabolismee alkohol.
Ada 3 sistem enzim berperan pada metabolismee alkohol di hati,
yaitu ADH sitosolik, microsomal-oxidizing system (MEOS), dan
katalase peroksimal. Oksidasi etanol mayoritas terjadi dengan
bantuan ADH di sitosol membentuk asetaldehid, molekul sangat
reaktif yang mempunyai banyak efek multiple, dan NADH.6 Peningkatan
rasio NADH sitosolik dan mitokondrial menyebabkan terjadinya
kompetisi dengan substrat lain di rantai pernafasan sehingga
menurunkan aktivitas siklus asam sitrat, yang akhirnya menghambat
oksidasi lemak. Penghambatan oksidasi asam lemak ini meningkatkan
esterifikasi asam lemak menjadi triasilgliserol (TG), menghasilkan
perlemakan hati.7 Kemudian, asetaldehid masuk ke mitokondria dan
dimetabolismee menjadi asetat oleh aldehid dehidrogenase (ALDH).
.Peningkatan konsumsi alkohol menyebabkan akumulasi trigliserid
intraselular karena peningkatan uptake asam lemak dan penurunan
oksidasi asam lemak dan sekresi lipoprotein. Sintesis protein,
glikosilasi, dan sekresi tidak seimbang. Kerusakan oksidatif pada
membrane hepatosit terjadi karena pembentukan senyawa reaktif
oksigen, asetaldehid adalah molekul yang sangat reaktif yang
berikatan dengan protein membentuk protein-acetaldehid adducts.
Adducts ini dapat bergabung dengan aktivitas enzim spesifik,
termasuk pembentukan mikrotubular dan penangkapan protein hati.
Bersama asetaldehid yang memediasi kerusakan hepatosit, senyawa
reaktif oksigen tertentu dapat menyebabkan aktivasi sel Kupffer.
Sebagai hasilnya, sitokin profibrogenik diproduksi dan menginisiasi
dan mengabadikan aktivasi sel stelata, yang menghasilkan produksi
kolagen dan matriks ekstraselular yang berlebihan.6
Jaringan ikat muncul di daerah periportal dan perisentral dan
akhirnya menghubungkan triad portal dengan vena sentralis membentuk
nodul regeneratif. Nodul biasanya kecil, berukuran 1-3 mm dan
ukurannya serupa.4,8 Etanol menekan regenerasi sel hati, sehingga
abstinensia (tidak menggunakan alkohol) menyebabkan nodul
regenerasi menjadi semakin meningkat , menghasilkan campuran
mikro/makronodular atau sirosis makronodular.8
Terjadi kehilangan hepatosit, dan bersama peningkatan produksi
dan deposisi kolagen dan destruksi hepatosit yang terus menerus,
hati berkontraksi dan menyusut. Proses ini memerlukan waktu tahunan
sampai dekade.6
2. Sirosis post-nekrotik (akibat virus hepatitis B atau C)Dari
pasien yang terpajan virus hepatitis C (HCV), hampir 80% berkembang
menjadi hepatitis C kronis, dan sekitar 20-80% menjadi sirosis
dalam waktu 20-30 tahun. Kebanyakan dari pasien ini juga
mengonsumsi alkohol, dan insiden murni dari dari sirosis karena
hepatitis C belum diketahui. Virus hepatitis C adalah virus
non-sitopatik, dan kerusakan hati kemungkinan karena dimediasi oleh
imun.
Progresi penyakit hati karena hepatitis C kronis dilihat dari
adanya fibrosis di daerah portal dengan bridging fibrosis dan
pembentukan nodul, dan akhirnya memuncak pada sirosis. Hati menjadi
kecil dan mengerut disertai campuran sirosis mikro dan makronodul
yang terlihat pada biopsi hati. Selain terlihat peningkatan
fibrosis, juga ditemukan infiltrat inflamasi di daerah portal
bersama dan kadang-kadang terdapat cedera lobular hepatoselular dan
inflamasi. Pada pasien dengan HCV genotip 3, sering terjadi
steatosis.
Temuan yang sama didapatkan pada pasien dengan hepatitis B
kronis. Dari pasien yang terekspos hepatitis B, 5% berkembang
menjadi hepatitis B kronis, dan kira-kira 20% menjadi sirosis.
HbsAg dan HbcAg akan positif, dan dapat ditemukan ground glass
hepatosit yang menunjukkan adanya HbsAg .
3. Sirosis karena hepatitis autoimun dan perlemakan
non-alkoholikPenyebab lain dari sirosis post-nekrotik meliputi
hepatitis autoimun dan sirosis karena steatohepatitis non
alkoholik. Banyak pasien dengan hepatitis autoimun muncul bersama
dengan sirosis yang sudah ada. Secara khas, pasien ini tidak
responsif terhadap terapi imunosupresif seperti glukokortikoid atau
azatioprin. Pada situasi ini, biopsi hati tidak menunjukkan
infiltrat inflamasi yang signifikan. Diagnosis kasus ini
membutuhkan marker autoimun yang positif seperti antinuclear
antibody (ANA) atau antismooth-muscle antibody (ASMA). Ketika
pasien dengan hepatitis autoimun bersama dengan sirosis dan
inflamasi aktif, disertai peningkatan enzim hati, dapat dipikirkan
penggunaan terapi imunosupresif.
Dari hasil penelitian, ditemukan peningkatan pasien dengan
steatohepatitis non alkoholik akan berkembang menjadi sirosis.
Karena banyaknya kasus obesitas sekarang ini, semakin banyak pasien
yang diidentifikasi memiliki perlemakan hati non-alkoholik. Dari
sejumlah pasien ini, sejumlah orang mempunyai steatohepatitis non
alkoholik dan dapat berkembang menjadi fibrosis dan sirosis.
Selama beberapa tahun yang lalu, ditemukan peningakatan bahwa
pasien yang didiagnosis menderita sirosis kriptogenik pada dasarnya
memiliki setatohepatitis non alkoholik.6 Pada pemerikasaan biopsi
ditemukan peradangan campuran di parenkim hati berisi neutrofil dan
sel mononukleus, hepatosit yang mengandung hialin Malory.8
4. Sirosis biliarisSirosis biliaris mempunyai gamabran patologis
yang berbeda dari sirosis alkoholik arau sirosis post-hepatitis,
walaupun manifestasi akhirnya pada penyakit hari sama. Penyebab
utama dari sindrom kolestasis kronis adalah sirosis biliaris
primer, kolangitis autoimun, kolangitis sklerosing primer, dan
idiopatik ductopenia dewasa. a. Sirosis biliaris primerSirosis
biliaris primer terdapat pada 100-200 individu tiap juta, dengan
lebih banyak pada wanita dan usia pertengahan sekitar 50 tahunan
ketika didiagnosis. Penyebabnya belum diketahui, gambarannya adalah
inflamasi portal dan nekrosis kolangiosit pada duktus biliaris.
Gambaran kolestatis dan sirosis biliaris ditandai dengan
peningkatan level bilirubin dan kegagalan hati yang progresif.
Transplantasi hati adalah terapi piluhan untuk pasien dengan
sirosis dekompensata karena sirosis biliaris primer. Dari banyak
pilihan terapi, baru asam ursodeoksikolat yang diterima karena
memperlambat progresi penyakit.
Antimitokondrial antibodi (AMA) positif pada 90% pasien dengan
sirosis bilier primer. Autoantibodi ini mengenali protein membrane
intermitokondrial yang mengandung enzim piruvat dehydrogenase
complex (PDC), rantai cabang 2-oxacoid dehydrogenase complex, dan
2-oxogluterate dehydrogenase complex. Autoantibodi ini tidak
patogenik, tapi merupakan marker yang berguna untuk pembuatan
diagnosis.
b. Kolangitis sklerosing primerSeperti pada sirosis biliaris
primer, penyebab dari kolangitis sklerosing primer juga belum
diketahui. Kolangitis sklerosing primer merupakan sindrom
kolestasis kronis yang ditandai dengan inflamasi yang difus dan
fibrosis duktus biliaris. Proses patologis ini menghasilkan
obliterasi kedua duktus biliaris, intra dan ekstrahepatik, sehingga
menyebabkan sirosis biliaris, hipertensi portal, dan gagal hati.
Penyebab utamanya belum pasti, namun diduga terkait infeksi bakteri
dan virus, toksin, predisposisi genetik, dan mekanisme
imunologik.
Perubahan patologis dapat terjadi pada kolangitis sklerosing
primer yang menunjukkan proliferasi seperti ductopenia dan
kolangitis fibrosa (perikolangitis). Seringkali, perubahan biopsi
liver tidak patognomonik dan diagnosis kolangitis sklerosis primer
harus mencakup visualisasi (imaging) duktus biliaris. Fibrosis
periductal kadang-kadang terlihat pada spesimen biopsi dan dapat
membantu dalam membuat diagnosis. Selama penyakit berlangsung,
sirosis biliaris adalah manifestasi tahap akhir dari kolangitis
sklerosing primer.6
5. Sirosis kardiakPasien dengan gagal jantung kanan dalam waktu
lama dapat berkembang menjadi cedera hati kronis dan sirosis
kardiak. Pada gagal jantung kanan dalam waktu lama, terdapat
peningkatan tekanan vena melalui vena cava inferior dan vena
hepatika, ke sinusoid-sinusoid hati, yang menjadi dilatasi dan
terisi oleh darah. Hati menjadi membesar dan bengkak, dan pada
kongesti pasif dalam waktu lama, dan relatif ischemia karena
sirkualsi yang tidak baik, hepatosit sentrolobuler dapat menjadi
nekrosis, menuju ke fibrosis perisentral. Pola fibrosis ini dapat
meluas ke perifer sampai terjadinya sirosis.
Gejala klinisnya, pasien bisanya memiliki gagal jantung karena
kongesti dan pembesaran hati. Terjadi peningkatan level ALP, dan
peningkatan AST lebih tinggi dari ALT.6
Manifestasti KlinisPasien dapat asimptomatik atau muncul dengan
gejala konstitusional yang tidak spesifik, atau gejala gagal hati,
komplikasi hipertensi portal, atau keduanya. Gejala yang tidak
spesifik seperti kelelahan, mual, muntah, anoreksia, perubahan pola
tidur, perubahan libido, nyeri perut, dan malaise.2
Manifestasi utama dan lanjut dari sirosis terjadi akibat 2 tipe
gangguan fisiologis: gagal hepatoselular dan hipertensi portal. 1.
Manifestasi gagal hepatoselularTerjadi ikterus pada 60% penderita
dan biasanya minimal. Hiperbilirubinemia tanpa ikterus lebih sering
terjadi. Gangguan endokrin sering terjadi pada sirosis karena
hormon korteks adrenal, testis, dan ovarium diinaktivasi di hati,
sehingga terjadi peningkatan hormon-hormon tersebut dalam tubuh.
Akibatnya, terjadi spider naevi pada kulit, atrofi testis,
ginekomastia, alopesia pada dada dan aksila, dan eritema palmaris,
karena kelebihan estrogen dalam sirkulasi.Gangguan hematologik yang
seing terjadi antara lain kecenderungan perdarahan karena masa
proterombin memanjang akibat kurangnya sintesis faktor pembekuan
oleh hati. Anemia, leucopenia, dan trombositopenia diduga terjadi
akibat hipersplenisme. Limpa tidak hanya membesar (splenomegali),
tapi juga lebih aktif menghancurkan sel-sel darah dari sirkulasi
sehingga dapat terjadi pansitopenia. Mekanisme lain yang
menimbulkan anemia adalah defisiensi folat, vitamin B12, dan besi
yang terjadi sekunder akibat kehilangan darah dan peningkatan
hemolisis eritrosit.Edema perifer umumnya terjadi setelah timbulnya
asites, dan terjadi karena hipoalbuminemia dan retensi daram dan
air akibat kegagalan hati menginaktifkan aldosteron dan hormon
antidiuretik. Fetor hepatikum (bau apek manis yang terdeteksi dari
napas penderita, terutama koma hepatikum) terjadi karena
ketidakmampuan hati dalam memetabolisme metionin.Gangguan
neurologis yang paling serius pada sirosis lanjut adalah
ensefalopati hepatik atau koma hepatikum, akibat kelebihan ammonia
dan peningkatan kepekaan otak terhadap toksin. Berkembangnya
ensefalopati hepatik sering merupakan keadaan terminal
sirosis.9
2. Manifestasi hipertensi portalHipertensi portal secara
langsung menyebabkan 2 komplikasi utama dari sirosis, yaitu
perdarahan varises dan asites. Selain itu, hipertensi portal juga
menyebabkan splenomegali dan hipersplenisme.Hipertensi portal
didefinisikan sebagai keadaan dimana terjadi peningkatan tekanan
vena porta hepatika > 5 mmHg. Keadaan ini disebabkan oleh
kombinasi 2 proses hemodinamik yang berlangsung terus menerus,
yaitu:1. Peningkatan resistensi intrahepatik terhadap pasase aliran
darah melewati hati karena adanya sirosis dan nodul regeneratif,
dan2. Peningkatan sekunder aliran darah splanknikus karena
vasodilatasi dari pembuluh darah splanknikus.6,9Kombinasi kedua
faktor ini menghasilkan beban berlebihan pada sistem portal yang
akhirnya merangsang timbulnya aliran kolateral untuk menghindari
obstruksi hepatik sehingga terjadi varises. Saluran kolateral
penting yang timbul akibat sirosis dan hipertensi portal terdapat
pada esofagus bagian bawah sehingga terjadi varises esofagus.
Perdarahan dari varises ini sering menyebabkan kematian. Selain
itu, sirkulasi kolateral juga melibatkan vena superficial dinding
abdomen, sehingga mengakibatkan dilatasi vena-vena sekitar
umbilicus (caput medusae). Sistem vena rectal membantu dekompensasi
tekanan portal sehingga vena-vena berdilatasi dan dapat menyebabkan
berkembangnya hemoroid interna. Namun perdarahan dari hemoroid yang
pecah biasanya tidak hebat, karena tekanan di daerah ini tidak
setinggi tekanan pada esofagus karena jarak yang lebih jauh dari
vena porta. Splenomegali pada sirosis terjadi karena kongesti pasif
kronis akibat aliran balik dan tekanan darah yang lebih tinggi pada
vena lienalis. Peningkatan tekanan portal juga menyebabkan
peningkatan tekanan hidrostatik pada kapiler usus dan penurunan
tekanan osmotik koloid akibat hipoalbunemia sehingga menyebabkan
oedem dan asites.9
Komplikasi1. Perdarahan saluran cernaPenyebab perdarahan saluran
cerna yang paling sering dan paling berbahaya pada sirosis adalah
perdarahan dari varises esofagus yang merupakan penyebab dari
sepertiga kematian. Penyebab lain perdarahan adalah tukak lambung
dan duodenum (pada sirosis, insidensi gangguan ini meningkat), dan
kecenderungan perdarahan akibat masa perdarahan yang memanjang dan
trombositopenia. Perdarahan saluran cerna ini bermanifestasi pada
hematemesis dan melena.
2. AsitesAsites adalah penimbunan cairan serosa dalam rongga
peritoneum. Beberapa faktor yang turut terlibat dalam patogenesis
asites pada sirosis hati antara lain:1. Hipertensi portal2.
Hipoalbuminemia3. Meningkatnya pembentukan dan aliran limfe hati4.
Retensi natrium5. Gangguan ekskresi airMekanisme primer penginduksi
hipertensi portal adalah resistensi terhadap aliran darah melalui
hati. Hal ini menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik dalam
jaringan pembuluh darah intestinal. Hipoalbuminemia terjadi karena
menurunnya sintesis protein karena sel-sel hati yang terganggu
akibat sirosis. Hipoalbuminemia menyebabkan menurunnya tekanan
osmotik koloid. Kombinasi antara tekanan hidrostatik yang meningkat
dengan tekanan osmotik yang menurun dalam jaringan pembuluh darah
intestinal menyebabkan terjadinya transudasi cairan dari ruang
intravaskular ke ruang interstisial sesuai dengan hukum gaya
Starling. Dalam hal asites, ruang interstisial yang dimaksud adalah
peritoneum. Hipertensi porta kemudian meningkatkan pembentukan
limfe hepatik, yang dialirkan dari hari ke rongga peritoneum.
Mekanisme ini dapat turut menyebabkan tingginya kandungan protein
dalam cairan asites, sehingga meningkatkan tekanan osmotik koloid
dalam cairan rongga peritoneum dan memicu terjadinya transudasi
cairan dari rongga intravaskuler ke ruang peritoneum. Retensi
natrium dan gangguan ekskresi air juga merupakan faktor penting
dalam berlanjutnya asites karena hiperaldosteronisme sekunder.Suatu
tanda asites adalah meningkatnya lingkar abdomen. Penimbunan cairan
yang nyata dapat menyebabkan nafas pendek karena diafragma terdesak
naik.
3. Ensefalopati hepatik (koma hepatikum)Ensefalopati hepatik
(koma hepatikum) merupakan sindrom neuropsikiatri pada penderita
penyakit hati berat. Sindrom ini ditandai oleh kekacauan mental,
tremor otot, dan flapping tremor yang disebut sebagai
asteriksis.Ensefalopati hepatik merupakan suatu bentuk intosikasi
otak disebabkan oleh isi usus yang tidak mengalami metabolismee
dalam hati, karena kerusakan sel hati akibat nekrosis atau terdapat
pirau yang memungkinkan darah portal mencapai sirkulasi sistemik
dalam jumlah besar tanpa melewati hati. Metabolit yang menyebabkan
intoksikasi pada otak adalah NH3 yang merupakan hasil pemecahan
protein oleh bakteri pada saluran cerna dan seharusnya diubah
menjadi urea oleh hati. NH3 merupakan salah satu zat yang bersifat
toksik dan diyakini dapat mengganggu metabolisme otak.Gejala dan
tanda klinis ensefalopati hepatik dapat timbul sangat cepat dan
berkembang menjadi koma bila terjadi gagal hati pada penderita
hepatitis fulminan. Pada penderita sirosis, perkembangannya
berlangsung lebih lambat dan bila ditemukan pada stadium dini masih
bersifat reversibel. Perkembangan ensefalopati hepatik menjadi koma
biasanya dibagi dalam 4 stadium:Stadium 1: sedikit perubahan
kepribadian dan tingkah laku, penampilan tidak terawatt baik,
pandangan mata kosong, bicara tidak jelas, tertawa sembarangan,
pelupa, tidak mampu memusatkan perhatian, tidak kooperatif, banyak
tidur, sedikit letargi.Stadium 2: perubahan perilaku yang tidak
semestinya, pengendalian sfingter yang tidak dapat terus
dipertahankan, kedutan otot generalisata dan asteriksis merupakan
temuan khas, perubahan sifat dan kepribadian, letargi, apraksia
konstitusional (tidak dapat menulis dan menggambar dengan
baik)Stadium 3: mengalami kebingungan yang nyata dengan perubahan
perilaku, tidur sepanjang waktu, elektroensefalogram (EEG) mulai
berubah pada stadium 2 dan menjadi abnormal pada stadium 3 dan 4,
prognosis fatal.Stadium 4: koma yang tidak dapat dibangunkan,
timbul refleks hiperaktif dan tanda Babinsky, adanya fetor
hepatikum (merupakan tanda prognosis buruk dan intensitas baunya
sangat berhubungan dengan derajat somnolensia dan kekacauan).9
4. Peritonitis bakterial spontanPeritonitis bakterial spontan
adalah komplikasi umum dan parah dari asites, ditandai dengan
ainfeksi spontan pada cairan asites tanpa sumber dari intraabdomen.
Translokasi bakteri adalah mekanisme yang diasumsikan pada
berkembangnya peritonitis bakterial spontan, dengan flora usus yang
melewati usus kemudian masuk ke nodus limfe mesenterikus, yang
mengarah pada bakteremia dan masuk ke cairan asites. Organisme yang
paling sering adalah Escherichia coli dan bakteri usus lain, dan
dapat juga ditemukan bakteri gram positif seperti Streptococcus
viridans, Staphococcus aureus, and Enterococcus sp. Jika terdapat
lebih dari 2 organisme, harus dipikirkan kemungkinan peritonitis
bakterial sekunder karena perforasi. Diagnosis peritonitis
bakterial spontan dibuat ketika jumlah nautrofil pada cairan sampel
>250/mm3. .5. Sindrom hepatorenalSindrom hepatorenal adalah
bentuk dari gagal ginjal fungsional tanpa kelainan ginjal patologis
yang terjadi pada sekitar 10% pasien dengan sirosis berat atau
gagal hati akut. Adanya gangguan pada sirkulasi arteri renalis pada
pasien dengan sindrom hepatorenal, yaitu peningkatan resistensi
vascular (vasodilatasi splanknikus) dibarengi penurunan resistensi
vaskular sistemik (vasokonstriksi sistemik) menyebakan penurunan
hebat aliran darah ginjal, terutama korteks.. Alasan mengapa
terjadi vasokonstriksi arteri renalis sepertinya multifaktorial dan
belum dapat dipahami. Diagnosis dibuat bila ada asites masif pada
pasien yang mengalami peningkatan kreatinin secara progresif.
Sindrom hepatorenal tipe 1 ditandai dengan ketidakseimbangan fungsi
renal yang progresif dan penurunan bersihan kreatinin yang
signifikan selama 1-2 minggu. Sindrom hepatorenal tipe 2 ditandai
dengan penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) karena penurunan
perfusi ginjal akibat kerusakan hati lanjut dengan peningkatan
kadar serum kreatinin, namun keadaan ini lebih stabil dan
diasosiasikan dengan hasil yang lebih baik daripada tipe 1.6 Fungsi
ginjal akan pulih jika gagal hati dapat diatasi. Gagal ginjal dapat
mempercepat kematian pada pasien dengan penyakit hati fulminan akut
atau penyakit hati kronis lanjut.8
PenatalaksanaanEtiologi sirosis mempengaruhi penanganan sirosis.
Terapi ditujukan untuk mengurangi progresi penyakit, menghindarkan
bahan-bahan yang bisa menambah kerusakan hati, pencegahan, dan
pengobatan komplikasi.
Pengobatan sirosis kompensataTatalaksana pasien sirosis yang
masih kompensata ditujukan untuk mengurangi progresi kerusakan
hati. Terapi pasien ditujukan untuk menghilangkan etiologi, di
antaranya menghentikan alkohol dan bahan-bahan lain yang toksik dan
dapat mencederai hati. Pada hepatitis autoimun, dapat diberikan
steroid atau imunosupresif. Pada hemokromatosis, flebotomi setiap
minggu sampai konsentrasi besi menjadi normal dan diulang sesuai
kebutuhan. Pada penyakit hati non-alkoholik, penurunan berat badan
akan mencegah terjadinya sirosis. Pada hepatitis B, interferon alfa
dan lamivudin merupakan terapi utama. Pada hepatitis C kronis,
kombinasi interferon denga ribavirin merupakan terapi standar. Pada
pengobatan fibrosis hati, pengobatan antifibrotik saat ini lebih
mengarah pada peradangan dan tidak terhadap fibrosis. Di masa
datang, sel stelata akan ditempatkan sebagai target pengobatan dan
mediator fibrogenik sebagai terapi utama untuk mengurangi
aktivitasnya. Interferon mempunyai aktivitas antifibrotik yang
dihubungkan dengan pengurangna aktivitas sel stelata. Kolkisin
memiliki efek antiperadangan dan mencegah pembentukan kolagen namun
belum terbukti dalam penelitian sebagai antifibrosis dan sirosis.
Metotreksat dan viramin A juga dicobakan sebagai antifibrosis.
Pengobatan sirosis dekompensata Varises esofagus: sebelum
berdarah dan sesudah berdarah dapat diberikan obat beta bloker
(propanolol). Waktu perdarahan akut, dapat diberikan preparat
somatostatin atau okreotide, diteruskan dengan tindakan
skleroterapi atau ligasi endoskopi. Asites: tirah baring dan
diawali dengan diet rendah garam, konsumsi garam sebanyak 5.2 gram
atau 90 mmol/ hari, dikombinasi dengan obat-obatan diuretic.
Awalnya dengan pemberian spironolakton dengan dosis 100-200 mg
sekali sehari. Repsons diuretic bisa dimonitor dengan penurunan
berat badan 0.5 kg.hari tanpa ada edema kaki, atau 1 kg/hari bila
ada edema kaki. Bila pemberian spironolakton tidak adekuat dapat
dikombinasi dengan furosemid dengan dosis 20-40 mg.hari. pemberian
furosemid dapat ditingkatkan dosisnya bila tidak ada respons (dosis
maksimal 160 mg.hari). parasentesis dilakukan bila asites sangat
besar. Pengeluaran asites dapat mencapai 4-6 Liter dan dilindungi
dengan pemberian albumin IV untuk menghindari ketidakseimbangan
elektrolit seperti hipovolemia, hiponatremia, hipokalemia,
ensefalopati hepatikum dan gagal ginjal.5 Ensefalopati hepatik:
pengobatan awal adalah menyingkirkan semua protein dari diet sampai
0.5g/kg BB per hari dan menghambat kerja bakteri terhadap protein
usus. Neomisin (suatu antibiotik yang tidak diabsorpsi)dengan dosis
4-12 g/hari digunakan untuk mengurangi bakteri usus. Laktulosa
membantu pasien mengeluarkan ammonia yang kemudian diekskresi dalam
feses.5,9 Peritonitis bakterial spontan: pemberian antibiotik
seperti sefotaksim intravena, amoksilin, atau aminoglikosida.
Sindrom hepatorenal: mengatasi perubahan sirkulasi darah di hati,
mengatur keseimbangan garam dan air, tranplantasi hati.
EpidemiologiLebih dari 40% pasien sirosis asimptomatis. Pada
keadaan ini sirosis ditemukan waktu pemeriksaan rutin kesehatan
atau waktu autopsy. Keseluruhan insidensi sirosis di Amerika
diperkirakan 360 per 100.000 penduduk. Penyebabnya sebagian besar
akibat penyakit hati alkoholik maupun infeksi virus kronik. Hasil
penelitian lain menyebutkan bahwa perlemakan hati akan
mengakibatkan steatohepatitis non alkoholik dengan prevalensi 4%
dan berakhir dengan sirosis hari dengan prevalensi 0.3%. prevalensi
sirosis hati akibat steatohepatitis non alkoholik dilaporkan 0.3%
juga.
Di Indonesia data prevalensi sirosis hati belum ada, hanya
laporan-laporan dari beberapa pusat pendidikan saja. Di RS
Dr.Sardjito Yogyakarta jumlah pasien sirosis hati berkisar 4.1%
dari pasien yang dirawat di bagian penyakit dalam dalam kurun waktu
1 tahun (2004, tidak dipublikasi). Di Medan dalam kurun waktu 4
tahun dijumpai pasien sirosis hati sebanyak 819 (4%) dari seluruh
pasien di bagian penyakit dalam. 5
PrognosisPrognosis sirosis sangat bervariasi dipengaruhi
sejumlah faktor, meliputi etiologi, beratnya kerusakan hati,
komplikasi dan penyakit lain yang menyertai.
Klasifikasi Child-Pugh juga untuk menilai prognosis pasien
sirosis yang akan menjalani operasi. Lihat tabel 2. Klasifikasi ini
terdiri dari Child A, B, C. Klasifikasi Child-Pugh berkaitan dengan
kelangsungan hidup. Angka kelangusngan hidup selama satu tahun
untuk pasien dengan Child A 100%, Child B 80%, dan Child C 45%.
Tabel 2. Klasifikasi Child Pasien Sirosis Hati dalam Terminologi
Cadangan Fungsi Hati
Derajat KerusakanMinimalSedangBerat
Bil.serum (mu.mol/dl)50
Alb.serum (gr/dl)>3530-35400 ng/mL adalah diagnostic atau
sangat sugestif untuk karsinoma hepatoselular. Pemeriksaan USG
untuk neoplasma hati memiliki sensitivitas 70-80%, dengan gambaran
khas pada HCC berupa gambaran mosaik, formasi septum, bagian
perifer sonolusen (ber-halo), bayangan lateral yang dibentuk oleh
pseudokapsul fibrotik, serta penyangatan eko posterior. HCC yang
diameternya kurang dari 2 cm mempunyai gambaran bentuk cincin yang
khas.
Diagnosis KerjaDiagnosis kerja ditegakkan bila ada tumor dengan
diameter lebih dari 2 cm disertai penyakit hati kronis, dengan satu
gambaran radiologis yang menunjukkan hipervaskularisasi arterial
dan penurunan aliran vena, serta kadar AFP serum 400 ng/mL, atau
jika lesi kurang dari 2 cm disertai dua gambaran radiologis secara
bersamaan yang menunjukkan hipervaskularisasi arterial dan
penurunan aliran vena. Diagnosis histologi diperlukan bila tidak
ada kontraindikasi untuk lesi berdiameter. 2 cm dan diagnosis pasti
diperlukan untuk menetapkan pilihan terapi.Untuk tumor berdiameter
kurang dari 2 cm, sulit untuk menegakkan diagnosis secara
non-invasif (dengan radiologi) karena berisiko tinggi terjadinya
diagnosis negatif palsu akibat belum matangnya vaskularisasi
arterial pada nodul.4,5
EtiologiKarsinoma hepatoselular (hepatocellular carcinoma=HCC)
merupakan tumor ganas primer pada hati yang berasal dari
hepatosit.5 Ada hubungan etiologis yang kuat antara HCC dengan
infeksi virus hepatitis B kronis dan virus hepatitis C, sirosis
alkoholik, dan penyebab lain dari penyakit hari kronis, dan pajanan
terhadap diet yang mengandung aflatoksin.
Faktor risiko utama1. Sirosis hatiSirosis hati merupakan faktor
risiko utama HCC di dunia dan melatarbelakangi lebih dari 80% kasus
HCC. Setiap tahun, 3-5% dari pasien sirosis hati akan menderita
HCC, dan HCC merupakan penyebab utama kematian pada sirosis. Otopsi
pada pasien sirosis hati menunjukkan 20-80% telah menderita HCC.
Pada sirosis hepatis makronodul, 60-80% ditemukan adanya HCC, dan
pada sirosis mikronodul, 3-10% ditemukan adanya HCC. Prediktor
utama HCC pada sirosis hati adalah jenis kelamin laki-laki,
peningkatan AFP serum, beratnya penyakit dan tingginya aktivitas
proliferasi sel hati.
2. Virus hepatitis BHubungan antara infeksi kronik HBV dengan
timbulnya HCC terbukti kuat, baik secara epidemiologis, klinis,
maupun eksperimental. Sebagian besar wilayah yang hiperendemik HBV
menunjukkan angka kekerapan HCC yang tinggi. Karsinogenisitas HBV
terhadap hati mungkin terjadi melalui proses inflamasi kronik,
peningkatan proliferasi hepatosit, integrasi HBV DNA ke dalam DNA
sel pejamu, dan aktivitas protein spesifik-HBV berinteraksi dengan
gen hati, yang menyebabkan perubahan hepatosit dari kondisi inaktif
menjadi sel yang aktif bereplikasi dan menentukan tingkat
karsinogenesis hati.
3. Virus hepatitis CDi wilayah dengan tingkat infeksi HBV
rendah, HCV merupakan faktor risiko penting dari HCC. Di daerah
hiperendemik HBV, prevalensi anti-HCV jauh lebih tinggi pada kasus
HCC dengan HBsAg negatif daripada HbsAg positif. Juga ditemukan
prevalensi HCV RNA dalam serum dan jaringan lebih tinggi pada
pasien HCC dengan HbsAg negatif dibandingkan dengan yang HbsAg
positif. Hal ini menujukkan bahwa infeksi HCV berperan penting
dalam pathogenesis HCC pada pasien yang bukan pengidap HBV. Pada
kelompok pasien penyakit hati akibat transfusi darah dengan anti
HCV positif, interval antara saat transfusi sampai terjadinya HCC
dapat mencapai 29 tahun. Hepatokarsinogenesis akibat infeksi HCV
diduga melalui aktivitas nekroinflamasi kronik dan sirosis
hati.5
4. Aflatoksin Aflatoksin merupakan mikotoksin yang diproduksi
oleh jamur Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus. Ada
paling sedikit 13 tipe aflatoksin, dimana aflatoksin B1 (AFB1)
dianggap paling toksik.4 Metabolit AFB1 yaitu AFB 1-2-3-epoksid
merupakan karsinogen utama dari kelompok aflatoksin yang mampu
membentuk ikatan dengan DNA maupun RNA. Salah satu mekanisme
hepato-karsinogenesisnya ialah kemampuan AFB1 menginduksi mutasi
pada kodon 249 dari gen supresor tumor p53. Beberapa penilitian
dengan menggunakan biomarker menunjukkan adanya korelasi kuat
antara pajanan aflatoksin dalam diet dengan morbiditas dan
mortalitas HCC.
5. Obesitas, alkohol, dan Diabetes MellitusObestitas dan alkohol
berkaitan dengan meningkatnya insidensi perlemakan hati yang akan
menyebabkan sirosis hati yang meningkatkan risiko timbulnya HCC.
Diabetes mellitus dihubungkan dengan peningkatan kadar insulin dan
insulin like growth faktors (IGFs) yang merupakan faktor promotif
potensial untuk kanker.
Faktor risiko lainSelain yang telah disebutkan di atas, kondisi
lain yang merupakan faktor risiko HCC namun lebih jarang
dibicarakan/ditemukan antara lain:1. Penyakit hati autoimun
(hepatitis autoimun, sirosis biliaris primer)2. Penyakit hati
metabolic (hemokromatosis genetik, defisiensi antitripsin alfa-1,
penyakit Wilson)3. Kontrasepsi oral4. Senyawa kimia (thorotrast,
vinil klorida, nitrosamine, insektisida organoklorin, asam tanik)5.
Tembakau (masih kontroversial)5
PatogenesisAktivasi onkogen dan inaktivasi tumor supresor gen
memainkan peranan penting dalam karsinogenesis. Aktivasi onkogen
terjadi melalui aktivasi transkripsional, amplifikasi gen, atau
aktivasi gen yang mutasi. Inaktivasi tumor supresor gen dapat
terjadi melalui delesi genom, translokasi, mutasi, melalui
modifikasi epigenetik seperti metilasi promoter. Sel somatik
manusia normal memiliki masa hidup dan akan mengalami penuaan sel
yang dapat diprediksi setelah mengalami beberapa kali pembelahan.
Penuaan sel ini dipicu 2 mekanisme:1. Induksi siklus sel akibat
aktivasi tumor supresor gen, p53 dan pRb2. Pemendekan telomer
setiap pembelahan selKetika mekanisme pengaturan sel ini tidak
diaktivasi, maka pembelahan sel yang tidak terkontrol akan menjadi
kanker. Sel yang memiliki masa hidup lebih lama dari sel normal
karena regulasi faktor pertumbuhan ataupun karena cedera sel kronis
dan regenerasi, memiliki kecenderungan mengalami perubahan genom
yang mengarah pada aktivasi onkogen dan inaktivasi tumor supresor
gen. Pajanan lingkungan terhadap karsinogen juga dapat menyebabkan
aktivasi onkogen atau inaktivasi tumor supresor gen. Lihat gambar
2.
Karsinoma hepatoselular metastasisDisfungsi RbMutasi
p53Karsinoma hepatoselularp21WAF4/CIp1Diet aflatoksinMetilasi DNA
yg menyimpangInaktivasi P16INK4Hepatitis kronis dan sirosisHati
normalHBV, HCV, AlkoholMutasi p53Gambar 2. Jalur molekular mayor
hepatokarsinogenesis 4
Hipermetilasi pada gen promoter p16 adalah perubahan paling awal
pada dari perkembangan karsinoma hepatoselular. Pada daerah dengan
pajanan makanan yang mengandung aflatoksin tinggi, perkembangan
mutasi pada gen p53 terjadi awal. Pada daerah dengan pajanan
aflatoksin rendah, kelainan jalur p53 dan dan pRb terjadi lebih
lambat dalam hepatokarsinogenesis.
Pada sirosis hati, nodul makroregeneratif dengan displasia
hepatosit diindentifikasi lesi praneoplastik dari HCC. Secara
histologi, lesi displasia diklasifikasikan sebagai lesi dengan sel
kecil dan sel sel besar atau hiperplasia adenomatous. Bukti yang
ada menyebutkan bahwa displasia sel kecil dan hiperplasia
adenomatous adalah lesi praneoplastik predominat. Sayangnya,
penelitian yang ada masih cukup jauh dari pengertian komprehensif
tentang karsinoma hati.4
Manifestasi KlinisManifestasi klinis sangat bervariasi, dari
asimtomatik hingga yang gejala dan tandanya sangat jelas dan
disertai gagal hati. Gejala yang paling sering dikeluhkan adalah
nyeri atau perasaan tak nyaman di kuadran kanan atas abdomen.
Pasien sirosis hati yang makin memburuk kondisinya, disertai
keluhan nyeri di kuadran kanan atas, atau teraba pembangkakan local
di hepar patut dicurigai menderita HCC. Demikian pula bila tidak
terjadi perbaikan pada asites, perdarahan varises atau pre-koma
setelah diberi terapi yang adekuat, atau pasien penyakit hati
kronik dengan HbsAg atau anti-HCV positif yang mengalami perburukan
kondisi secara mendadak. Juga harus diwaspadai bila ada keluhan
rasa penuh di abdomen disertai perasaan lesu, penurunan berat badan
dengan atau tanpa demam.
Keluhan gastrointestinal lain adalah anoreksia, kembung,
konstipasi, diare, sesak nafas. Sebagian besar pasien HCC sudah
menderita sirosis hati, baik yang masih dalam stadium kompensasi,
maupun yang sudah menunjukkan tanda-tanda gagal hati seperti
malaise, anoreksia, penurunan berat badan dan ikterus.
Temuan tersering pada HCC adalah hepatomegali, splenomegali,
asites, ikterus demam, dan atrofi otot. Sebagian dari pasien yang
dirujuk ke rumah sakit karena perdarahan varises esofagus atau
peritonitis bacterial spontan ternyata sudah menderita HCC. Pada
suatu laporan serial nekrospi didapatkan bahwa 50% dari pasien HCC
telah menderita asites hemoragik, yang jarang ditemukan pada pasien
sirosis hati saja. Pada 10-40% pasien dapat ditemukan
hiperkolesterolemia akibat dari berkurangnya produksi enzim
beta-hidroksimetilglutaril koenzim-A reduktase, karena tiadanya
kontrol umpan balik yang normal pada sel hepatoma.
KomplikasiKomplikasi dari karsinoma hepatoselular pada umumnya
sama dengan kanker lain, yaitu metastasis. Metastasis intrahepatik
dapat melalui pembuluh darah, saluran limfe atau infiltrais
langsung. Metastasis ekstrahepatik dapat melibatkan vena hepatika,
vena porta, atau vena cava. Dapat terjadi metastasis pada varises
esofagus dan paru. Metastasis sistemik seperti ke kelenjar getah
bening di porta hepatis tidak jarang terjadi, dapat juga sampai di
mediastinum. Bila sampai di peritoneum, dapat menimbulkan asites
hemoragik, yang berarti sudah memasuki stadium terminal.
PenatalaksanaanPilihan terapi ditetapkan berdasarkan atas ada
tidaknya sirosis, jumlah dan ukuran tumor, serta derajat pemburukan
hepatik.
1. Terapi non-medikamentosaMeliputi terapi reseksi hepatik,
transplantasi hati, terapi TACE (transarterial emolozation/chemo
embolization). Reseksi hepatic dilakukan pada pasien dalam kelompok
non-sirosis yang biasanya mempunyai fungsi hati normal. Parameter
yang digunakan untuk seleksi adalah skor Child-Pugh dan derajat
hipertensi portal atau kadar bilirubin serum dan derajat hipertensi
portal saja. Kontraindikasi tindakan ini adalah adanya metastasis
ekstrahepatik, HCC difus atau multifocal, sirosis stadium lanjut
dan penyakit penyerta yang dapat mempengaruhi ketahanan pasien
menjalani operasi.
Bagi pasien HCC dan sirosis hati, transplantasi hati memberiikan
kemungkinan untuk menyingkirkan kemungkinan tumor dan menggantikan
parenkim hati yang mengalami disfungsi. Dilaporkan angka ketahan
hidup 3 tahun mencapai 80%, bahkan dengan pengobatan antiviral
seperti lamivudin, ribavirin, dan interferon, angka ketahan hidup 5
tahun mencapai 92%.Destruksi dari sel neoplastik dapat dicapai
dengan bahan kimia (alkohol, asam asetat) atau dengan memodifikasi
suhu (radiofrekuensi, gelombang mikro, laser dan krioablasi).
Injeksi etanol perkutan (PEI) merupakan teknik terpilih untuk tumor
kecil karena efikasinya tinggi, efek sampingnya rendah serta
relatif murah. Dasar kerjanya adalah menimbulkan dehidrasi,
nekrosis, oklusi vascular dan fibrosis. Radiofrequency ablation
(RFA) menunjukkan angka keberhasilan yang lebih itnggi daripada PEI
dan efikasinya tertinggi untuk tumor > 3cm namun tidak
berpengaruh pada harapan hidup pasien. Selain itu RFA lebih mahak
dan efek sampingnya lebih banyak dibandingkan PEI.
2. Terapi medikamentosaMeliputi imunoterapi dengan interferon,
terapi antiestrogen, antiandrogen, okreotide, kemoterapi arterial
atau sistemik. Namun terapi ini masih memerlukan penelitian lanjut
untuk mendapatkan penilaian yang meyakinkan.
Epidemiologi HCC meliputi 5.6% dari seluruh kasus kanker pada
manusia serta menempati peringkat kelima pada laki-laki dan
kesembilan pada perempuan sebagai kanker tersering di dunia, dan
urutan ketiga dari kanker saluran cerna setelah kanker kolorektal
dan kanker lambung. Tingkat kematian HCC ada di urutan kedua
setelah kanker pancreas. Tingkat kekerapan tertinggi HCC( lebih
dari 10 kasus per 100.00 penduduk) ada di Asia Timur dan Tenggara
serta di Afrika Tengah, yang diketahui sebagai wilayah dengan
prevalensi tinggi hepatitis virus.5
PrognosisUntuk melihat prognosis pada kanker, digunakan staging.
Dalam staging klini HCC terdapt pemilahan atas kelompok-kelompok
yang prognosisnya berbeda berdasarkan parameter klinis, biokimia,
dan radiologis. Sistem staging yang ideal seharusnya juga
mencantumkan penilaian ekstensi tumor, derajat gangguan fungsi
hati, keadaan umum pasien, serta keefektifan terapi. Sebagian besar
pasien HCC adalah pasien sirosis yang juga mengurangi harapan
hidup. Sistem yang banyak digunakan untuk menilai status fungsional
hati dan prediksi prognosis pasien sirosis adalah sistem
klasifikasi Child-Turcotte-Pugh, tetapi sistem ini tidak ditujukan
untuk penialian staging HCC. Beberapa sistem yang dapat dipakai
untuk staging HCC dapat dilihat pada tabel 3.Tabel 3. Sistem
klasifikasi berdsarkan derajat prognosis untuk karsinoma
hepatoselular 4
KlasifikasiParameter
BCLCStatus performansi, gejala konstitusional, invasi vaskular,
penyebaran ekstrahepatik
CLIPStage Child-Turcott-Pugh, ukuran tumor atau nodularitas,
invasi vaskular, kadar -fetoprotein 400 mg/ml
GETHCIndeks Karnofsky 2x BANN, invasi vaskular
OkudaAsites, ukuran tumor < 50% dari hati, albumin 3
mg/dL.
Keterangan: BCLC, Barcelona Clinic Liver Cancer; CLIP, Cancer of
the Liver Italian Program; GETCHC, Group dEtude et de Traitement du
Carcinoma Hepatocellulaire; BANN, batas atas nilai normal.
PreventifTindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah HCC antara
lain: Menghindari konsumsi alkohol Menurunkan berat badan pada
pasien obesitas Pemberian vaksin Hepatitis B untuk mencegah
terinfeksi virus Hepatitis B Tidak menggunakan jarum suntik secara
bersama-sama Tidak menggunakan narkoba Menghindari diet yang
mengandung aflatoksin (pada kacang-kacangan yang terinfeksi jamur
Aspergillus)
Hepatitis C
PemeriksaanPemeriksaan meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis, ditanyakan riwayat
penggunaan narkotika dan obat-obatan terlarang melalui jarum
suntik, riwayat transfusi darah, riwayat sirosis, lesu, mual, bila
ada ikterus ditanyakan onsetnya. Pada pemeriksaan fisik, ditemukan
hepatomegali ringan dan nyeri tekan, splenomegali ringan dan
limfadenopati. Diperiksa juga ada atau tidaknya stigmata sirosis.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain tes fungsi hati
(AST, ALT), tes serologi anti-HCV.
Diagnosis Kerja
Gambar 1. Skema laboratoris selama hepatitis C akut menjadi
kronis.6Infeksi HVC diidentifikasi dengan memeriksa antibodi yang
dibentuk tubuh terhadap HVC (anti HCV). Antibodi ini akan bertahan
lama setelah infeksi terjadi dan tidak mempunyai arti protektif.
Deteksi HCV RNA digunakan untuk mengetahui adanya virus ini dalam
tubuh pasien terutama dalam serum sehingga memberikan gambaran
infeksi sebenarnya. Lihat gambar 3. Pada masa akut, terjadi
peningkatan ALT, anti HCV positif dan HCV RNA positif. HCV RNA
merupakan penanda yang paling awal muncul pada infeksi akut. Pada
masa kronis, terjadi fluktuasi ALT dan HCV RNA dan anti HCV tetap
positif.5,6
Etiologi
Gambar 2. Organisasi genom virus Hepatitis C dan 3000 asam
aminonya.6Hepatitis C adalah penyakit hepatitis yang disebabkan
oleh virus hepatitis C (HCV). Virus ini merupakan virus yang
digolongkan dalam famili Flaviviridae bersama-sama dengan virus
hepatitis G, yellow fever, dan dengue, dan genus hepacivirus. HCV
merupakan virus RNA rantai tunggal, linear, berdiameter 50-60 nm,
partikel sferis dengan inti nukelokapsid 33 nm. Genom HCV terdiri
atas 9400 nukleotida, mengkode protein besar sekitar residu 3000
asam amino. Sepertiga bagian dari poliprotein terdiri atas protein
struktural. Protein selubungnya dapat menimbulkan antibody
netralisasi. Dua pertiga dari poliproteinnya terdiri atas protein
non-struktural (dinamakan NS2, NS3, NS4A, NS4B, dan NS5B) terlibat
dalam replikasi HCV. Lihat gambar 4. Hanya ada satu serotype yang
dapat diidentifikasi, namun terdapat banyak genotip dengan
distribusi yang bervariasi di seluruh dunia.
Seperti HBV, HCV diyakini terutama ditularkan melalui jalur
parenteral dan kemungkinan melalui pemakaian obat IV dan transfusi
darah. Risiko penularan melalui hubungan seksual masih menjadi
pedebatan, namun efikasi dan frekuensinya rendah. Masa inkubasi
berkisara antara 15-160 hari, dengan rata-rata sekitar 50 hari.
Infeksi yang berkaitan dengan HCV (maupun HBV) melalui transfusi
darah tidak lagi menjadi masalah utama karena semua darah menjalani
pemeriksaan sebelum transfusi. Namun, HCV merupakan sebagian besar
penyebab kasus hepatitis yang berkaitan dengan transfusi. Transmisi
melalui maternal-neonatal efikasi dan frekuensinya rendah dan
transmisi melalui fekal-oral tidak terbukti. 5,9
PatogenesisKerusakan sel hati akibat HVC atau partikel virus
secara langusng masih belum jelas. Namun beberapa bukti menunjukkan
adanya mekanisme imunologis yang menyebabkan kerusakan sel-sel
hati. Reaksi cytotoxic T-cell (CTL) spesifik yang kuat diperlukan
untuk terjadinya eliminasi menyeluruh HVC pada infeksi akut. Pada
infeksi kronik, reaksi CTL yang relatif lemah masih mampu merusak
sel-sel hati dan melibatkan respon inflamasi di hati, tetapi tidak
bisa menghilangkan virus maupun menekan evolusi genetik HVC
sehingga kerusakan sel hati berjalan terus menerus, sehingga
fibrosis semakin lama semakin banyak dan sel-sel hati yang ada
semakin sedikit, sehingga mengarah pada kerusakan hati lanjut dan
sirosis hati.5
Pada gambaran histopatologis pasien hepatitis C kronis dapat
ditemukan proses inflamasi kronis berupa nekrosis gerigit, maupun
lobular, disertai dengan fibrosis di daerah portal, yang lebih
lanjut dapat masuk ke lobulus hati (fibrosis septal) dan kemudian
dapat menyebabkan bridging necrosis. Gamabaran yang agak khas untuk
infeksi HVC adalah agregat limfosit di lobulus hati namun tidak
didapatkan pada semua kasus inflamasi akibat HVC.4,5
Manifestasi klinisUmumnya infeksi akut HVC tidak memberi gejala
atau hanya bergejala minimal. Hanya 20-30% kasus saja yang
menunjukkan tanda-tanda hepatitis akut 7-8 minggu (berkisar 2-26
minggu) setelah terjadinya paparan. Gejala yang terlihat pada
infeksi akut ini sama dengan virus hepatitis A dan B, yaitu
malaise, mual, ikterus, ALT meninggi beberapa kali di atas batas
atas nilai normal. Infeksi ini akan menjadi kronik pada 70-90%
kasus dan seringkali tidak menimbulkan gejala apapun walaupun
proses kerusakan hati berjalan terus. Dari pasien hepatitis C
kronis, 15-20% akan berkembang menjadi sirosis hati dalam waktu
20-30 tahun.
Kerusakan hati akibat infeksi kronik tidak dapat tergambar pada
pemeriksaan fisik maupun laboratorik, kecuali bila sudah terjadi
sirosis hati. Pada pasien dengan ALT selalu normal, 18-20% sudah
terdapat kerusakan hati yang bermakna, sedangkan pada pasien yang
mengalami peningkatan ALT, hampir semuanya sudah mengalami
kerusakan hati sedang sampai berat.
Progresifitas hepatitis kronik menjadi sirosis hati tergantung
beberapa faktor risiko, yaitu:1. Konsumsi alkohol2. Ko-infeksi
dengan HBV3. Ko-infeksi dengan HIV4. Jenis kelamin laki-laki5. Usia
tua saat terjadi infeksiSetelah terjadi sirosis hati, maka dapat
timbul kanker hati dengan frekuensi 1-4% tiap tahunnya. Kanker hati
dapat terjadi tanpa melalui sirosis hati walaupun hal ini amat
jarang terjadi.5
KomplikasiKomplikasi pada infeksi HCV antara lain:1.
Terbentuknya autoantibodi, seperti ANA, ASMA, dan antibody
anti-tiroid pada sekitar 40-65% pasien dengan infeksi HCV kronis2.
Kelainan ginjal, seperti vaskulitis sekunder yang menyebabkan
krioglobulinemia, proteinuria, hematuria mikroskopik, gagal ginjal
akut, atau sindrom nefrotik. (Diduga karena penumpukan kompleks
imun pada glomerulus)4,63. Kelainan endokrin, seperti diabetes
mellitus tipe II dan tiroiditis autoimun4. Kelainan rematologi,
seperti krioglobulinemia, vaskulitis, sicca symptoms, mialgia,
arthritis, dan fibromyalgia.5. Lesi pada kulit dan mukosa seperti
lichen planus dan oral lichen planus.6. Disfungsi jantung, seperti
hipertrofi kardiomiopati, dialtasi kardiomiopati, dan aritmia.7.
Limfoma hepatic primer, seperti imunositoma, limfoma zona marginal,
limfoma sel besar difus.8. Karsinoma hepatoselular. Faktor risiko
perkembangan infeksi HCV menjadi HCC yaitu usia di atas 60 tahun,
jenis kelamin laki-laki, pengguna alkohol, koinfeksi dengna HBV,
porfiria kutanea tarda, peningkatan jumlah Fe hepatik, dan sirosis
parah.9. Kolangiokarsinoma. 4
PenatalaksanaanPengobatan hepatitis C kronis adalah dengan
menggunakan interferon alfa dan ribavirin. Bila genotype HVC adalah
genotip 1 dan 4, terapi diberikan selama 48 minggu dan bila
genotype 2 dan 3, terapi cukup diberikan selama 24 minggu.
Kontaindikasi terapi interferon dan ribavirin ini adalah pasien
dengna umur > 60 tahun, Hb < 10 g/dL, leukosit < 2500 /uL,
trombosit < 100.000/uL, adanya gangguan jiwa yang berat, adanya
hipertiroid, adanya gangguan ginjal.
Pada awal pemberian interferon dan ribavirin, dilakukan
pemantauan klinis, laboratoris (Hb, leukosit, trombosit, asam urat,
dan ALT) setiap 2 minggu yang kemudian dapat dilakukan setiap
bulan. Terapi tidak boleh dilanjutkan bila Hb 80%).5 Hepatitis
kronis terjadi pada sekitar 80% dari semua orang yang terinfeksi
HCV, dan sekitar 70% akhirnya berkembang menjadi sirosis hati dan
kanker hati. 5,9
PrognosisMungkin, indikator prognosis yang terbaik untuk
hepatitis C kronis adalah histology hati; kecepatan fibrosis hati
dapat lambat, moderat, atau cepat. Pasien dengan nekrosis dan
inflamasi ringan dengan fibrosis yang terbatas mempunyai prognosis
yang baik dan sedikit progresi ke sirosis. Sebaliknya, pasien
dengan aktivitas nekroinflamasi moderat sampai parah, atau fibrosis
termasuk septal dan bridging nekrosis, progresi ke sirosis cukup
tinggi dalam waktu 10-20 tahun. Pada pasien dengan sirosis
kompensata yang dihubungkan dengan hepatitis C, angka ketahanan
hidup 10 tahun mendekati 80%, angka kematian mencapai 2-6% per
tahun, angka pasien sirosis dekompensata 4-5% per tahun, dan pada
HCC, 1-4% per tahun.6
Preventif Tidak menggunakan jarum suntik secara bersama-sama
Tidak menggunakan narkoba
KesimpulanDari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa
diagnosis kerja untuk pasien Bapak T pada skenario di atas adalah
asites et causa sirosis hati. Dengan demikian, karsinoma
hepatoselular dan Hepatitis C merupakan diagnosis bandingnya. Tabel
perbedaan sederhana yang membandingkan kondisi pasien dengan
diagnosis kerja dan diagnosis bandingnya dapat dilihat pada tabel
5.
Tabel 5. Perbedaan secara sederhana kondisi pasien dengan
diagnosis kerja dan banding
Simpt+PF+PNOSAsites ec Sirosis HatiHCCHepatitis C
Sesak nafas++ (karena asites)+ (karena tumor)-
Mual++++
Cepat lelah++++
Anoreksia++++
Kaki bengkak++--
Tampak sakit berat+++-
Suhu afebril++++
Sclera kuning++-+
Splenomegali++-+
Perut buncit+++-
Penurunan BB--++
Anti HVC +-+/-+/-+
Adanya tumor--+-
Albumin ++Tidak spesifikTidak spesifik
Globulin ++Tidak spesifikTidak spesifik
Riwayat jarum suntik-++/-+
Riwayat alkohol-++/--
Keterangan: Simp+PF+PN= gejala+pemeriksaan fisik+pemeriksaan
penunjang; HCC=Hepatocellular carcinoma; OS= orang sakit, dalam
kasus ini Bapak T, 65 tahun.
Daftar Pustaka1. Dacre, Jane dan Kopelman, Peter. Buku saku
keterampilan klinis. Cetakan pertama. Jakarta: EGC;
2005.h.109-1342. Cirrhosis. Dalam: Runge, M. S., Greganti, M.A.
Netters internal medicine. Edisi ke-2. China: Elsevier Saunders;
2009.h.457-63.3. Sutedjo, AY. Buku saku mengenal penyakit melalui
hasil pemeriksaan laboratorium. Edisi revisi. Cetakan ke-5.
Yogyakarta: Amara Books; 2009.h.93-104.4. Yamada, T. Textbook of
gastroenterology. Volume 2. Edisi ke-5. Singapore: Blackwell
Publishing Ltd: 2009. h.2256-405.5. Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B.,
Alwi, I., Simadibrata, M., setiati, S. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Jilid III. Edisi ke-5. Cetakan pertama. Jakarta: Interna
Publishing; 2009.h.647-91.6. Fauci, Braunwald, Kasper, Longo.
Harrisons: principle of internal medicine [e-book]. Edisi ke-17.
McGraw-Hill; 2008.h.2177-8, 2213-21.7. Mayes, P.A., Botham, K.M.
Lipid transport & storage. Dalam: Murray, R.K., Granner, D.K.,
Mayes, P.A., Rodwell, V.W. Harper illustrated biochemistry. Edisi
ke-26. USA: The McGraw-Hills Companies, Inc.; 2003.h.223-4.8.
Kumar, Cotran, Robbins. Buku ajar patologi Robbins. Volume 2. Edisi
ke-7. Cetakan pertama. Jakarta: EGC; 2007.671-83.9. Lindseth,
Glenda N. Sirosis hati. Dalam: Price, S.A., Wilson, L.M.
Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Volume 1.
Edisi ke-6. Cetakan pertama. Jakarta: EGC; 2006.h.493-501
1