Sistem saraf simpatis telah menjadi target teknik menghilangkan rasa nyeri sejak awal abad ke 20, meski saat ini teknik tersebut lebih jarang digunakan jika dibandingkan dengan masa lalu. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Dua faktor terpenting adalah semakin baiknya pemahaman mengenai mekanisme nyeri dan timbulnya kesadaran bahwa peranan sistem saraf simpatis terhadap rasa nyeri terlalu dilebih-lebihkan (di masa lalu) (Schott 1998). Hal ini menyebabkan diadakannya peninjauan ulang mengenai peranan blok saraf dalam penatalaksanaan nyeri kronis, dan pengembangan terapi yang lebih logis dengan menggunakan pengobatan sistemik, teknik stimulasi, terapi fisik, dan pendekatan psikologis (Boas 1998). Analisis terhadap bukti efektifitas blok simpatis terhadap penatalaksanaan nyeri hanya didasari anekdot (pendapat-pendapat) dan tidak ada penelitian mengenai hal ini yang menggunakan uji kontrol-acak dengan kontrol. (Kozin 1992, Kingery 1997). Masih belum sepenuhnya dipahami tentang bagaimana sistem saraf simpatis terlibat dalam patofisiologi beberapa kondisi nyeri atau mengapa blok simpatis dapat menghilangkan rasa nyeri. Hilangnya nyeri dapat disebabkan oleh adanya interupsi saraf nosiseptif aferen yang berjalan bersama saraf otonom. Mekanisme inilah yang dapat menjelaskan hilangnya nyeri persalinan oleh blok epidural obstetri dan blok pleksus koeliak menghilangkan nyeri viseral akibat karsinoma pankreas. Pada kasus lain, mekanismenya mungkin saja lebih rumit dan terkait dengan interupsi aktifitas eferen simpatis yang berperan dalam timbulnya kondisi-kondisi nyeri (sering disebut nyeri “yang dipengaruhi simpatis”). Mekanisme kerja blok simpatis lain mungkin melibatkan gangguan sistem kendali refleks sehingga dapat merubah proses sensoris sentral atau perifer. Yang terakhir, blok simpatis menyebabkan vasodilatasi perifer sehingga dapat meredakan nyeri iskemik serta memudahkan penyembuhan ulkus kulit yang amat nyeri. PRINSIP-PRINSIP UMUM INDIKASI BLOK SIMPATIS Penyakit vaskular perifer Blokade simpatis dapat digunakan untuk kondisi-kondisi berikut : 1. Gangguan vaskuler akut: vasospasme pasca-trauma; oklusi akut pada arteri atau vena; cedera karena suhu dingin, injeksi obat intra-arterial yang salah, contohnya thiopentone atau penyalahgunaan obat yang terkontaminasi.
92
Embed
Sistem Saraf Simpatis Telah Menjadi Target Teknik Menghilangkan Rasa Nyeri Sejak Awal Abad Ke 20
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Sistem saraf simpatis telah menjadi target teknik menghilangkan rasa nyeri sejak awal
abad ke 20, meski saat ini teknik tersebut lebih jarang digunakan jika dibandingkan
dengan masa lalu. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Dua faktor terpenting
adalah semakin baiknya pemahaman mengenai mekanisme nyeri dan timbulnya
kesadaran bahwa peranan sistem saraf simpatis terhadap rasa nyeri terlalu dilebih-
lebihkan (di masa lalu) (Schott 1998). Hal ini menyebabkan diadakannya peninjauan
ulang mengenai peranan blok saraf dalam penatalaksanaan nyeri kronis, dan
pengembangan terapi yang lebih logis dengan menggunakan pengobatan sistemik,
teknik stimulasi, terapi fisik, dan pendekatan psikologis (Boas 1998). Analisis terhadap
bukti efektifitas blok simpatis terhadap penatalaksanaan nyeri hanya didasari anekdot
(pendapat-pendapat) dan tidak ada penelitian mengenai hal ini yang menggunakan uji
kontrol-acak dengan kontrol. (Kozin 1992, Kingery 1997).
Masih belum sepenuhnya dipahami tentang bagaimana sistem saraf simpatis terlibat
dalam patofisiologi beberapa kondisi nyeri atau mengapa blok simpatis dapat
menghilangkan rasa nyeri. Hilangnya nyeri dapat disebabkan oleh adanya interupsi
saraf nosiseptif aferen yang berjalan bersama saraf otonom. Mekanisme inilah yang
dapat menjelaskan hilangnya nyeri persalinan oleh blok epidural obstetri dan blok
pleksus koeliak menghilangkan nyeri viseral akibat karsinoma pankreas. Pada kasus
lain, mekanismenya mungkin saja lebih rumit dan
terkait dengan interupsi aktifitas eferen simpatis yang berperan dalam timbulnya
kondisi-kondisi nyeri (sering disebut nyeri “yang dipengaruhi simpatis”).
Mekanisme kerja blok simpatis lain mungkin melibatkan gangguan sistem kendali
refleks sehingga dapat merubah proses sensoris sentral atau perifer. Yang terakhir,
blok simpatis menyebabkan vasodilatasi perifer sehingga dapat meredakan nyeri
iskemik serta memudahkan penyembuhan ulkus kulit yang amat nyeri.
PRINSIP-PRINSIP UMUM
INDIKASI BLOK SIMPATIS
Penyakit vaskular perifer
Blokade simpatis dapat digunakan untuk kondisi-kondisi berikut :
1. Gangguan vaskuler akut: vasospasme pasca-trauma; oklusi akut pada arteri atau
vena; cedera karena suhu dingin, injeksi obat intra-arterial yang salah, contohnya
thiopentone atau penyalahgunaan obat yang terkontaminasi.
2. Kondisi Vasospastik kronis : sindrom Raynaud; acrocyanosis; livedo retikulkaris,
gejala sisa akibat cedera atau penyakit pada medulla spinalis (seperti polio).
3. Penyakit sumbatan arteri kronis : Tromboangitis obliterans (penyakit Buerger); dan
aterosklerosis.
4. Untuk penggunaan perioperatif : Bedah mikrovaskuler, operasi untuk membuat
fistula arteriovena untuk tujuan dialisis.
Namun, tidak ada uji kontrol mengenai simpatektomi (dengan bahan) kimia pada
penyakit pembuluh darah perifer dan banyak diantara bukti-bukti hanya merupakan
pendapat (anekdot) (Gordon 1994). Sulit untuk memprediksikan hasil blok pada pasien
aterosklerosis. Blok simpatis neurolitik lumbal disinyalir dapat meredakan nyeri dan
mempercepat penyembuhan ulkus kulit pada 65-75% pasien aterosklerosis meski
prosedurnya kurang menguntungkan untuk dilakukan. Hal ini disebabkan karena
simpatektomi dapat meningkatkan aliran darah ke kulit, namun tidak memperbaiki
aliran nutrisi ke otot. Namun, Gleim dkk (1995) tidak sependapat dengan pandangan
ini dan mereka melaporkan hilangnya rasa nyeri dalam waktu singkat dan bertahan
lama secara signifikan pada saat pasien berjalan jauh setelah dilakukan blok simpatis
lumbal dengan neurolitik. Efek ini dapat berlangsung sampai 6-9 bulan dan selama
kurun waktu ini dapat terbentuk sirkulasi kolateral pada pasien.
Hasil ini sebanding dengan simpatektomi melalui pembedahan, namun dengan
morbiditas dan mortalitas yang lebih rendah. Pada prosedur amputasi, blok simpatis
preoperatif dapat membantu menentukan batas-batas viabilitas jaringan, dan juga
mempercepat penyembuhan ujung luka amputasi namun hanya sedikit bukti yang
mendukung pendapat umum selama ini bahwa bahwa blok epidural preoperatif dapat
menghilangkan nyeri pada ujung luka amputasi atau nyeri phantom setelah
Neuropati karsinomatosa. Invasi oleh karsinoma, terutama pada pleksus lumbal atau
brachialis, dan karsinoma pada kepala dan leher dapat menimbulkan nyeri neuropatik
yang umumnya berespon terhadap blok simpatis.
Sindrom nyeri regional kompleks (CRPS). Causalgia dan distrofi refleks simpatis (RSD)
merupakan istilah yang digunakan untuk mengambarkan dua kelainan yang kurang
dimengerti yang biasanya muncul nyeri bersamaan dengan berbagai kombinasi
gangguan sensoris, kelainan motorik, pembengkakan, dan perubahan vasomotor,
sudomotor dan tropik. Causalgia terjadi setelah cedera saraf mayor, dan RSD terjadi
setelah berbagai penyebab lainnya. Istilah ‘distrofi refleks simpatis” saat ini dipandang
tidak tepat dan telah ada istilah baru. Distrofi refleks simpati saat ini dikenal dengan
nama CRPS Tipe I dan Causalgia menjadi CRPS Tipe II (Meskey & Bogduk 1994,
Walker & Cousins, 1997)
Kriteria diagnostik untuk CPRS tipe I (Merskey & Bogduk 1994) antara lain.
1. Adanya kejadian yang merusak atau penyebab imobilisasi
2. Nyeri terus menerus, allodynia atau hiperalgesia di mana nyeri yang muncul tidak
sesuai dengan penyebabnya.
3. Bukti adanya edema pada waktu tertentu, perubahan aliran darah pada kulit atau
kelainan aktifitas sudomotor pada region yang terasa nyeri.
4. harus ditemukan keadaan di mana tidak ada kondisi lain yang diduga menjadi
penyebab beberapa derajat nyeri dan disfungsi yang semestinya terjadi.
Kriteria 2 sampai 4 sudah dapat menentukan diagnosis.
Kriteria diagnosis untuk CRPS tipe II, antara lain:
1. Adanya rasa nyeri terus menerus, allodynia, atau hiperagesia setelah cedera saraf,
tidak hanya terbatas pada daerah saraf yang terkena (cedera).
2. Adanya bukti edema pada waktu tertentu, perubahan aliran darah pada kulit atau
adanya kelainan aktifitas sudomotor pada region nyeri.
3. harus ditemukan keadaan di mana tidak ada kondisi lain yang diduga menjadi
penyebab nyeri dan disfungsi yang semestinya terjadi.
Bila 3 kriteria tersebut terpenuhi, maka diagnosis dapat ditegakkan.
Saat ada bukti atau dugaan keterlibatan simpatis, terapi agresif termasuk blokade
saraf simpatis, harus segera dilakukan. Sayangnya, hasil yang dicapai kurang
memuaskan dan pada beberapa kasus masih sulit dikendalikan, melihat setiap terapi
hanya berdasarkan coba-coba. Kemungkinan peranan terbesar blok adalah untuk
mengurangi nyeri dan menfasilitasi fisioterapi (Charlton 1990). Penyembuhan menjadi
lambat begitu terjadi perubahan distrofik dan berbagai kondisi dapat terjadi menyusul
peningkatan nyeri dan disabilitas yang tidak dapat pulih. Blok anestetik lokal
tampaknya lebih baik dari terapi konservatif dalam sebuah penelitian tanpa kontrol
terhadap pasien-pasien RSD (Wang dkk 1985) Blok simpatis dan somatik ekstremitas
atas secara terus menerus dapat dilakukan dengan menggunakan infus yang diberikan
melalui kateter pleksus brachialis. Teknik ini telah digunakan dalam perawatan RSD
dan setelah bedah mikrovaskuler rekonstruktif (Manriques & Pallares 1978).
Tidak diragukan lagi, terkadang pasien dengan nyeri neuropatik atau CRPS merasakan
manfaat blok simpatis, namun pengidentifikasian pasien-pasien ini amat sulit dan
banyak pertanyaan mengenai patologinya yang harus dijawab. Belum ada pedoman
jelas mengenai indikasi untuk teknik-teknik dan frekuensi optimal yang berbeda,
interval dan durasi terapinya masih belum ditegakkan.
Indikasi lainnya
Sebagai tambahan terhadap kondisi-kondisi tersebut diatas, penulis lain telah
menyarankan blok simpatis antara lain : blok ganglion stellata untuk “Bell’s Palsy” ,
toksisitas kinin, oklusi arteri retina dan tipe-tipe tertentu dari kehilangan pendengaran
akut.
Kontraindikasi blok simpatis:
Terapi antikoagulan dan gangguan perdarahan.
Terdapat resiko bermakna pada kerusakan pembuluh darah dengan penggunaan
teknik ini oleh karena trunkus simpatis terletak dalam dan dekat ke pembuluh darah
utama. Hematoma besar terbentuk bila ada gangguan pembekuan.
Infeksi lokal atau neoplasma.
Jarum sebaiknya tidak disuntikkan melalui jaringan yang terinfeksi atau jaringan
neoplastik karena ada resiko penyebaran ke struktur yang lebih dalam.
Anomali anatomi atau vaskuler.
dapat membuat blok menjadi lebih sulit dan mengurangi tingkat keberhasilan.
Pembuluh darah yang mengalami anomali meningkatkan resiko kecelakaan pungsi
jarum.Kelainan anatomis (seperti tekanan dari tumor atau skoliosis spinal
Hipovolemia.
Blok simpatis splanik, koeliak dan lumbal bilateral dapat memicu hipotensi yang nyata.
Fasilitas tak lengkap.
Fasilitas lengkap untuk resusitasi dan kontrol radiografis terhadap prosedur-prosedur
yang dilakukan harus tersedia (lihat dibawah)
Aplikasi klinis blok simpatis.
Tidaklah tepat jika menggunakan blok simpatis sebagai dasar terapi penatalaksanaan
kontrol nyeri. Pemeriksaan komprehensif dan pendekatan multidisipliner dengan
menggunakan metode-metode perawatan seperti pengobatan sistemik, terapi fisik,
teknik stimulasi (seperti TENS) dan pendekatan psikologis sangat penting dalam
penetalaksanaan blok saraf. Ada beberapa kondisi di mana tanggung jawab ahli
anestesi adalah untuk melakukan blok simpatis, sementara aspek-aspek penanganan
lainnya dikoordinasikan dengan dokter lain. Contohnya, sebuah prosedur simpatektomi
lumbal untuk pasien dengan penyakit vaskuler perifer atau blok pleksus coeliac untuk
pasien dengan karsinoma pankreas. Penting untuk ahli anestesi agar bekerja sebagai
bagian dari tim dalam situasi-situasi tersebut.
Blok diagnostik dapat digunakan untuk membedakan antara nyeri somatik dan
visceral, untuk mengenali komponen simpatis, untuk memeriksa apakah aliran darah
meningkat, atau produksi keringat menurun. Bila ada usaha yang dilakukan untuk
menentukan peranan simpatis terhadap sindrom nyeri tertentu, blok diagnostik harus
merupakan blok simpatis murni tanpa disertai blok somatik. Hal ini hanya dapat
dicapai dengan interupsi yang tepat terhadap rantai simpatis. Baik teknik injeksi
epidural maupun intravena regional dengan anestetik lokal atau guanetidin bukanlah
teknik yang selektif dan tidak membantu diagnosis nyeri yang dipengaruhi oleh
simpatis. Sebuah gambaran radiografis yang jelas dapat digunakan untuk melihat
ketepatan posisi jarum dan penyebaran larutan injeksi. Tanda-tanda objektif blok
simpatis harus diketahui dengan melihat perubahan temperatur kulit atau
konduktifitas, atau dengan uji produksi keringat dengan ninhdrin, kobalt biru atau
tepung yodium. Temperatur kulit dapat diuji dengan sentuhan, termometer
permukaan, atau strip sensitif temperatur dengan layar penunjuk cair (LCD). Ketika
ekstremitas diblok, vena yang mengalami dilatasi menjadi tampak jelas dan
peningkatan aliran darah dapat diukur dengan menggunakan probe aliran Doppler
atau pletysmograf vena (Breivik dkk 1998). Adanya sindrom Horner tidak menegaskan
bahwa terjadi blok simpatis pada tangan.
Hasil positif palsu dapat berhubungan dengan penyebaran larutan pada saraf somatik
didekatnya atau ke dalam ruang epidural, efek sistemik agen anestesi lokal yang
diserap dari lokasi injeksi, atau merupakan respons terhadap plasebo. Hasil negatif
palsu dapat menyusul setelah blok yang tidak lengkap atau tidak semestinya dan tidak
lengkapnya pemeriksaan sebelum atau setelah pemblokan. Sebuah blok simpatis
lengkap sulit untuk dilakukan (Malmgvist dkk 1987). Banyak secara bersamaam
melibatkan komponen simpatis dan somatis dalam nyeri yang dialaminya. Tidak ada
hubungan jelas antara derajat atau durasi hilangnya nyeri dengan periode blok
simpatis, dan pada pasien yang sama dapat memberikan respon yang bervariasi dalam
situasi yang berbeda. Beberapa pasien menunjukkan respons yang tidak diperkirakan
atau tidak biasa. Seperti blok kontralateral atau blok yang terlambat dan pada
beberapa kondisi nyeri justru semakin buruk. (Purcell – Jones & Justin 1988).
Uji intravena dengan pemberian obat blok α adrenergik secara intravena dengan
pentolamine telah diajukan sebagai uji terhadap keterlibatan simpatis pada nyeri
kronis dan merupakan prediktor dari hasil blok saraf simpatis (Arner 1991, Raja dkk
1991). Namun masih belum ada kepastian mengenai sensitifitas, spesifitas, dan
keandalan uji ini.
Sebuah blok prognostik dapat digunakan untuk menunjukkan pada pasien efekdari
blok terhadap nyeri, aliran darah, atau produksi keringat, namun sedikit ditemukan
hubungan yang tidak memuaskan antara hasil blok prognostik dengan hasil prosedur
bedah atau neuroablatif apapun setelahnya. Sebuah blok dengan anestetik lokal
menghasilkan gangguan yang lebih luas terhadap fungsi saraf. Bila neuroblasi
didasarkan pada hasil blok prognostik, maka diperlukan lebih dari satu tindakan di
mana diperoleh respons yang konsisten. Terkadang, blok prognostik dapat
menghasilkan peningkatan nyeri atau peningkatan temperatur ekstremitas, sehingga
pasien merasa tidak nyaman dan tidak dapat menerimanya.
Blok terapeutik dapat dilakukan dengan anestetik lokal bahan kimia neurolitik seperti
fenol atau alkohol, dengan teknik neuroablatif seperti pembentukan lesi menggunakan
frekuensi-radio, atau dengan obat-obatan seperti guanetidin dan Bretylium dengan
teknik intravena regional. Blok neurolitik diindikasikan utamanya untuk nyeri pada
kanker abdomen dan penyakit vaskuler perifer yang amat nyeri, dan harus digunakan
secara hati-hati dan waspada pada kondisi lainnya. Blok simpatis dengan anestetik
lokal dilaporkan lebih baik dibanding terapi konservatif terhadap sejumlah pasien RSD
(Wang dkk 1985). Blok pleksus aksillaris brachial memberi hasil yang lebih baik
dibanding blok ganglion stellata terhadap sejumlah pasien yang mengalami RSD
ekstremitas atas (Defalque 1984). Tidak ada pedoman yang jelas tentang indikasi
penggunaan teknik yang berbeda-beda dan frekuensi serta terapi durasi optimal yang
ditetapkan.
Hal-hal penting yang dilakukan untuk blok simpatis
1. Penatalaksanaan blok simpatis memerlukan pemahaman menyeluruh mengenai
anatomi yang relevan dan patofisiologi kondisi yang mendasarinya. Komplikasi blok
simpatis amat sering terjadi dan dapat bersifat amat serius.
2. Persetujuan tindakan (inform consent) harus diselenggarakan bersama pasien
sebelum dilakukannya blok sehingga pasien mengerti mengenai tindakan apa yang
direncanakan dan untuk tujuan apa blok dilakukan.
3. Perangkat resusitasi harus tersedia dan dapat digunakan dengan cepat.
4. Akses vena yang aman penting bagi setiap pasien dan fasilitas-fasilitas untuk
perawatan hipotensi harus tersedia. Cairan intravena pre-load berupa larutan
kristaloid biasanya diberikan untuk semua blokade bilateral (Splanik, coeliac,
hipogastrika superior simpatis lumbal)
5. Pasien-pasien dapat mengalami rasa tak nyaman saat blok dilakukan dan banyak
dokter yang melakukan sedasi dengan obat-obatan seperti midazolam dan alfentanil
sebagai tambahan terhadap infiltrasi dengan anestetik lokal. Anestesi umum jarang
diperlukan. Telah dikemukakan bahwa kerusakan saraf dapat tidak diketahui pada
pasien yang telah dianestesi, di mana mereka tidak dapat berbicara maupun berespon.
6. Monitoring ketat harus termasuk pengukuran secara teratur terhadap tekanan
darah dan oksimetri denyut nadi. Desaturasi oksigen dapat terjadi pada saat sedasi,
terutama saat pasien berada dalam posisi pronasi.
7. Kontrol radiologis dalam bentuk penajam gambar (image intensifier), USG, atau CT-
Scan harus dilakukan pada blok splanik, celiak, simpatis lumbal dan hipogastrik. Bila
diperlukan, hasil cetak pencitraan tersebut dapat dibuat kapan saja, untuk
kelengkapan catatan pasien, terutama untuk prosedur neurolitik. Penajam gambar ini
memungkinkan prosedur yang lebih cepat dan aman, mengatasi masalah-masalah
anatomis, memudahkan pemasangan jarum dengan tepat, menunjukkan luasnya
penyebaran larutan injeksi dan menunjukkan injeksi intravaskuler yang tidak
semestinya bila tes aspirasi negatif. Dengan penempatan jarum yang tepat, hanya
sedikit saja larutan neurolitik yang digunakan sehingga meminimalkan resiko
komplikasi.
8. Teknik aseptik penting dilakukan.
Larutan neurolitik untuk blok simpatis
Sejumlah larutan dapat merusak (jaringan) saraf, tapi fenol dan alkohol paling sering
digunakan untuk blok simpatis dengan neurolitik.
Fenol dapat merusak semua tipe saraf dengan cara denaturasi protein. Tidak bersifat
selektif dan akan merusak baik saraf motorik dan sensorik, meskipun saraf-saraf
tersebut dapat mengalami regenerasi, jadi, blok tersebut sebaiknya tidak boleh
dipandang untuk penggunaan permanen. Larutan cair terkuat memiliki prosentase
6,6% namun konsentrasi yang lebih tinggi dapat diperoleh dengan menggunakan
minyak seperti media kontras sinar X dan ini telah direkomendasikan. Kontras yang
mengenai saraf somatic dapat menyebabkan neuritis. Reaksi toksik dapat terjadi
diberikan bila dosis 600 mg dalam tubuh pria dengan berat badan 70 Kg.
Alkohol memiliki sifat destruktif non-selektif yang serupa, namun zat ini menghasilkan
insidens neuritis yang amat tinggi dan biasanya digunakan untuk blok pleksus coeliac,
di mana injeksi dalam volume besar mengalahkan keamanan penggunaan fenol.
Teknik Blok SimpatisBlok ganglion stellata
Anatomi
Ganglion stellata (cervicothorax) dibentuk oleh gabungan ganglia servikal inferior dan
thoraks simpatis pertama. Berada di depan proc.transverses vertebra servikal VII dan
vertebra thoraks I dan leher dari rusuk (costa) I. (gambar 21,1) bagian anterior dari
fasia prevertebral, bagian bawahnya diselubungi kubah pleura, dan berada di posterior
selubung carotid (carotid sheath). Aliran simpatis ke ekstremitas atas utamanya
berasal dari ganglia T2 dan T3, sehingga blok ganglion stellata yang menyebabkan
sindrom Horner tidak dapat menjamin bahwa suplai aliran simpatis menuju lengan
bawah juga dapat diblok. Konfirmasi efektifitas pemblokan pada lengan perlu diketahui
dengan pengukuran suhu.
Teknik
Sejumlah pendekatan terhadap ganglion stellata telah diketahui, namun yang paling
sederhana dan memuaskan adalah pendekatan paratrakeal anterior. Pada posisi
terlentang kepala diekstensikan dan dibuat tanda 2-3 cm diatas dan 2 cm lateral dari
lengkung suprasternal. Dilakukan penekanan dengan 2 jari pada alur antara trakea
dan selubung carotid. (gambar 21-2) pada pasien yang amat kurus dapat didasarkan
prosesus transversus C6 yang berada setingkat kartilago krikoidea. Jarum 23G 30 mm
diinsersikan langsung ke arah belakang agar melewati antara trakea dan selubung
carotid hingga menyentuh proc.transversus C6 sekitar 2,5 – 3 cm dari kulit. Jarum
tersebut kemudian harus ditarik 2-3 mm sehingga ujungnya tepat berada di anterior
fasia prevertebra dan M.longus colli. Jarum kemudian difiksasi dalam posisi ini dengan
satu tangan sambil dilakukan uji aspirasi. Dosis uji harus dinjeksikan kemudian larutan
sebesar 10-15mL diinjeksikan secara lambat, disertai uji aspirasi berulang kali.
Penggunaan kateter pendek antara jarum dan spoit dapat membantu melakukan
injeksi dalam keadaan jarum tetap tidak bergerak. Pasien harus diberitahu agar jangan
berbicara atau menelan saat injeksi dilakukan, namun cukup mengangkat tangan bila
terasa nyeri agar injeksi dihentikan. Bila jarum berada dalam fasia yang benar, maka
akan terasa sedikit tahanan saat injeksi, namun tidak terjadi pembengkakan. Untuk
menghasilkan blok simpatis lengkap terhadap ekstremitas atas maka larutan harus
meluas ke ganglion T3 dan diperlukan volume yang lebih besar dari 10 mL. Meski
sering dilakukan, hanya terdapat sedikit keuntungan bila memposisikan pasien dalam
keadaan duduk untuk membantu penyebaran ke ganglia thoraks (Hardy & Wells 1987 :
Hogan dkk 1992).
Pendekatan lainnya. Pendekatan lateral dan posterior hanya dapat digunakan saat
pendekatan anterior mengalami kesulitan oleh karena distorsi anatomis. Teknik-teknik
ini memiliki kemungkinan insidensi komplikasi yang lebih tinggi, termasuk injeksi
epidural dan intratekal.
Pemilihan Larutan
Lignokain 1% sesuai untuk blok diagnosis, sedangkan bupivacaine 0,25% atau 0,5%
merupakan pilihan untuk blok lainnya. Infus berkelanjutan pada ganglion stellata
dilakukan dengan menggunakan teknik paratrakeal anterior klasik untuk
menginsersikan kateter (seperti kateter epidural). Bupivacaine 0,25% dapat diinfuskan
hingga 8 mL/jam untuk mempertahankan blok simpatis pada lengan (Owen Falkenberg
dkk 1992).
Blok Neurolitik ganglion Stellata berpotensi amat membahayakan dan sebaiknya hanya
dilakukan oleh dokter yang berpengalaman. Bila teknik ini yang digunakan, sejumlah
kecil (kurang dari 1 ml) medium radioopak dapat diinjeksikan dibawah kendali sinar X
guna memastikan bahwa struktur di sekitarnya tidak rusak. (Racz & Holkbec 1989).
Sebuah teknik untuk menghasilkan lesi frekuensi radio telah dilakukan oleh Geurts
dan Stolker (1993). Namun penggunaan teknik endoskopis transtorakal lebih aman
dan lebih mudah diprediksi.
Komplikasi
Toksisitas sistemik. Ganglion stellata amat terkait dengan beberapa pembuluh darah
utama, terutama arteri vertebra. Injeksi intra-arterial meski hanya dengan dosis
semenit dari anestetik lokal dapat menghasilkan dan memulai tanda-tanda toksisitas
sentral karena obat dihantarkan langsung ke otak.
Reaksi vasovagal telah siap terpicu dari leher dan hal ini perlu dibedakan dari,
toksisitas anestetik lokal. Pasien merasa cemas, pucat, berkeringat dan mual disertai
bradikardi dan hipotensi. Penarikan jarum dan elevasi kaki biasanya dapat membantu
pemulihan.
Sindrom horner. (meiosis unilateral, ptosis, dan enophthalmus) merupakan hasil dari
berhasilnya blok ganglion stellata dan pasien harus diperingatkan mengenai hal ini
sebelumnya. Vasodilatasi konjungtiva dan kongesti nasal unilateral juga dapat terjadi.
Tidak ada perawatan khusus yang perlu dilakukan, meski miosis dapat dipulihkan
dengan obat tetes phenilephine 10%.
Blok saraf lainnya. Bila injeksi berada dalam jaringan yang salah, maka anestetik lokal
dapat mempengaruhi akar pleksus brachialis. Tidak diperlukan perawatan, tapi blok
tersebut dapat menimbulkan kerancuan diagnostik dan prognostik. Blok nervus
phrenicus dapat terjadi bila larutan diinjeksikan terlalu jauh ke arah depan, namun hal
ini jarang menimbulkan masalah. Namun, injeksi epidural atau spinal dapat
menyebabkan masalah-masalah yang bermakna dan dapat terjadi bila jarum
diinjeksikan hingga berada di antara proc.tranversus vertebra didekatnya. Sehingga
larutan anestetik lokal juga dapat menyebar sehingga menyebabkan kelumpuhan saraf
laringeal rekurens yang ditandai dengan suara parau : pasien harus diingatkan bahwa
hal ini kemungkinan dapat menjadi komplikasi.
Kerusakan jaringan. Kubah pleura berada diatas costa I dan amat berhubungan
dengan ganglion. Pasien menjadi rentan terhadap pneumothoraks bila jarum
diinsersikan kearah kaudal. Esofagus juga rentan mengalami kerusakan bila jarumnya
salah penempatan, dan neuralgia interkostal, dapat muncul sebagai nyeri dinding dada
yang berat, yang digambarkan terjadi setelah blok ganglion stellata.
Blok stellata bilateral sebaiknya tidak dilakukan karena adanya resiko pneumithoraks,
blok n.phrenicus dan kelumpuhan n.laryngeal rekurens.
Blok simpatis thoraks
Segmen atas ganglia simpatis thoraks terletak diatas caput costa dan diselubungi oleh
pleura. Ganglia simpatis thoraks kedua atau ketiga di bawahnya berada di sisi Corpus
vertebra. Badan simpatis thoraks berjalan diantara ganglia dan tepat berada di depan
saraf somatik. Hubungan erat antara saraf somatic dan simpatis antara lain bila ada
larutan apapun yang disuntikkan dekat saraf simpatis juga akan menyebar ke akar
simpatis. Untuk alas an ini hanya sedikit aplikasi blok simpatis thoraks atas. Teknik
bedah endoskopik visualisasi langsung memberikan hasil yang lebih baik.
Teknik
Untuk blok simpatis thoraks atas, pasien sebaiknya berbaring tengkurap. Di bawah
pengawasan penguat pencitraan, tingkatan vertebral yang sesuai dapat dikenali dari
sebuah jarum spinal dapat diinsersikan 4-5 cm kearah lateral proc. Spinosus, garis
tengah antara proc. Transverses. Jarum tersebut kemudian diarahkan ke cephal dan
medial pada proc. Transversus yang lebih ke arah cephal dari tingkat tersebut. Jarum
kemudian ditarik dan diarahkan ulang kearah kaudal dari proc.Transversus dan ke
arah sisi korpus vertebral. Pandangan lateral diperiksa untuk memastikan bahwa jalur
jarum ke arah cephal dari foramen vertebra untuk menghindari saraf somatik yang
muncul (dari foramen tersebut?). Jarum kemudian ditusukkan lebih jauh hingga
ujungnya berada di sisi korpus vertebra di anterior foramen vertebra dan di samping
aspek anterior leher costa. Injeksi sebaiknya dibatasi hanya 2-3 mL, dan larutan
neurolitik sebaiknya digunakan dengan amat hati-hati untuk kondisi-kondisi non-
maligna karena cenderung lebih banyak menimbulkan blok somatik.
MAU GAJI 20 JUTA ? KERJA 2 JAM MODAL CUMA 95RIBU
INVESTASI 95 RIBU HASIL 30 JUTA/BULAN, MAU ?
SEX KUAT EREKSI KERAS & TAHAN LAMA, MAU?
MAU GAJI 20 JUTA ? KERJA 2 JAM MODAL CUMA 95RIBU
FOREDI ANTI EJAKULASI DINI REKOMENDASI BOYKE!
GASA UNTUK EREKSI KENCENG REKOMENDASI BOYKE!
INVESTASI 95 RIBU HASIL 30 JUTA/BULAN, MAU ?
CARA ALAMI MEMPERBESAR ALAT VITAL
LOWONGAN KERJA ONLINE 2013 JADILAH JUTAWAN BARU DARI BISNIS TIKET PESAWAT
FOREDI UNTUK TAHAN LAMA SEX REKOMENDASI BOYKE!
TURUN 3-5 KG dalam SEMINGGU..!
1X Pakai VAGINA LGS RAPAT PERUT KEMPES DALAM 3 HARI!
KumpulBlogger.com
Sebuah teknik frekuensi radio perkutaneus simpatektomi segmen atas thoraks telah
dikemukakan oleh Yarzebski dan Wilkinson (1987) ini merupakan prosedur yang sulit
dan telah dilengkapi dengan teknik bedah endoskopik (Malone dkk 1986),
simpatektomi thorakoskopik menjadi kesuksesan besar dalam perawatan hiperhidrosis
(Byrne dkk 1990, Gordon & Collin 1994). Blok inter pleura merupakan jalan alternatif
untuk menghasilkan blok simpatis umlateral pada lengan, dan Reiestad dkk (1989)
menggunakan teknik ini untuk memberikan injeksi harian 3 mL Bupivacaine 0,5%
dengan epinefrin melalui kateter terpasang. Akhirnya, infus epidural thoraks dapat
digunakan untuk menghasilkan blok simpatis maupun blok somatik.
Komplikasi
Terdapat beberapa resiko komplikasi yang bermakna, termasuk diantaranya
pneumothoraks, injeksi subarachnoid, cedera saraf somatic, dan blok saraf somatik.
Credit by : Ana AdryanaPEMBIMBING : dr.Bau Indah Auliyansyah
SUPERVISOR :dr.Syamsu Hilal Salam, Sp.AnDIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIKPADA BAGIAN ANESTESIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN, MAKASSAR 2 0 0 6jurnal july 2006
erupakan sebuah teknik penghilang nyeri (analgesik) yang sederhana dan non-invasive, yang telah digunakan secara luas di dunia medis oleh ahli fisioterapi, perawat, atau bidan. (Johnson, 1997; Pope, Mockett and Wright,1995; Reeve, Menon and Corabian, 1996; Robertson and Spurritt, 1998)
TENS biasanya juga digunakan untuk meringankan berbagai jenis nyeri, seperti nyeri paska persalinan, nyeri paska operasi, nyeri punggung, nyeri akibat artritis, nyeri neuropatik, nyeri menstruasi, nyeri kepala, dan migrain. (Hansson, 1999).
TENS merupakan teknik penghilang nyeri yang non-invasive ,tidak menyebabkan adiksi, dan hampir tanpa efek samping yang bermakna.
Latar belakang terapi TENS
Nyeri (pain)
Nyeri merupakan rasa atau sensasi yang paling sering dirasakan oleh setiap orang di manapun. Definisi nyeri adalah pengalaman sensorik (fisik) dan emosional (psikologis) yang tidak menyenangkan yang disertai oleh kerusakan jaringan secara potensial dan aktual (The International Association for the Study of Pain).
Proses terjadinya nyeri melibatkan beberapa organ pada sistem saraf manusia, seperti :
1. Organ perifer sebagai sumber nyeri. 2. Serabut saraf sebagai lintasan penghantar impuls atau rangsangan nyeri.3. Medulla spinalis sebagai organ perantara antara organ perifer dan otak.4. Sistem saraf pusat (batang otak, talamus, dan korteks serebri) sebagai pusat sensorik.
A δ 1 - 6 5 - 30 Nosiseptor untuk mekanik, termal, mekanotermal (polimodal), reseptor rambut, reseptor visera
C <15 0,5 - 20 Nosiseptor C, reseptor polimodal C, reseptor viseral, reseptor panas, dingin, dan mekanik
Sumber : Meliala Krt L.Terapi Rasional Nyeri. 1st ed.Yogyakarta:Aditya Media ; 2004.p.1-13.
Melzack & Wall menjelaskan melalui gate control theory bahwa sensasi nyeri akan dirasakan bila impuls / rangsangan nyeri dari sumber nyeri berhasil dihantarkan oleh serabut saraf ke pusat nyeri di sistem saraf pusat (otak) melalui gerbang nyeri (pain gate). Gerbang nyeri dapat ditutup dengan cara mengaktifkan serabut saraf Aβ melalui rangsangan raba, tekanan, sentuhan, atau getaran (rangsangan TENS) pada sumber nyeri, sehingga impuls nyeri tidak diteruskan ke medula spinalis dan juga ke otak dan akhirnya seseorang tidak merasakan sensasi nyeri.
Gambar Gate control theory. A) saat gerbang nyeri terbuka, rangsangan nyeri dapat dihantarkan ke otak sehingga timbul rasa nyeri. B) rangsangan dari TENS mengaktifkan serabut saraf Aβ untuk menutup gerbang nyeri, sehingga rasa nyeri tidak muncul.
Tens 21
Penggunaan alat terapi TENS saat ini pada umumnya tidak praktis, karena diperlukan keterampilan dan pengetahuan khusus untuk menyesuaikan program yang ada pada alat terapi TENS dengan keluhan dan jenis terapi yang diinginkan. Akibatnya alat terapi TENS lebih banyak digunakan di klinik rehabilitasi medik dan fisioterapi.
Kemajuan teknologi di dunia medis dan kesehatan memberikan banyak kemudahan, baik bagi praktisi medis maupun bagi masyarakat luas, salah satunya perkembangan pada teknologi TENS. Teknologi TENS terbaru yang berhasil dikembangkan saat ini menghadirkan alat terapi Tens 21 yang lebih praktis, lengkap, dan modern, sehingga lebih mudah digunakan, baik bagi para praktisi medis, maupun masyarakat umum. Hal ini memungkinkan penggunaan alat terapi TENS bukan hanya di klinik rehabilitasi medik dan fisioterapi, tetapi bisa juga di klinik - klinik lain, bahkan sebagai alat terapi rumah tangga.
Keunggulan Tens 21 :
Lengkap dan praktis, karena memiliki 3 (tiga) pilihan terapi.
Dilengkapi dengan temperatur (heat function) sampai 430C untuk melengkapi pilihan fisioterapi.
temperature panel dan heat function
Tidak menimbulkan rasa nyeri pada permukaan kulit
Teknologi TENS selama ini seringkali menimbulkan rasa nyeri pada permukaan kulit yang diterapi, akibat arus muatan listrik yang melalui permukaan kulit terlalu tinggi. Hal ini juga menyebabkan arus muatan listrik yang masuk ke lapisan di bawah kulit pada daerah nyeri menjadi berkurang (black pulse), sehingga efek terapi menjadi kurang maksimal.
Tens 21 memiliki pola arus muatan listrik seperti parabola, dimana arus yang masuk melalui permukaan kulit tidak terlalu besar, tetapi terus meningkat saat memasuki lapisan di bawah kulit pada daerah nyeri (mengurangi black pulse). Dengan demikian efek terapi menjadi lebih maksimal
Dapat digunakan sebagai alat terapi rumah tangga karena lengkap dan praktis.
Departemen Kesehatan Indonesia : DEPKES RI AKL 21403700039
Nyeri pengalaman sensoris dan emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan atau potensial akan menyebabkan kerusakan jaringan.
Nosisepsion persepsi
Nosiseptor reseptor
Nyeri dibagi menjadi:
1. nyeri nosiseptif jika ujung saraf sensorik pada kulit atau organ menerima rangsangan yg ditimbulkan oleh kerusakan jaringan akibat stimulus mekanis, termal, kekurangan oksigen, dan bahan kimia.
2. nyeri neuropatik akibat kerusakan jaringan saraf dpt karena operasi, trauma, keganasan, peny. metabolik, pd penderita herpes zoster.
Gejala: nyeri spontan, rasa terbakar/mati rasa pd daerah tertentu
Jumlah Na dan K pada kesetimbangan selalu berbanding terbalik. Pada nyeri akut keseimbangan ion masih dapat dipertahankan. Saat kesimbangan sudah tidak dapat dipertahankan lagi, akan terjadi nyeri kronik.
Refleks beraarti tidak merasakan /hanya tindakan tanpa sadar, sedangkan sensasi baru dapat merasakan. Refleks dan sensasi tidak terjadi bersamaan (refleks lebih dulu), tetapi karena kecepatanyya 2m/s maka seperti terjadi bersamaan.
Mekanisme Nyeri
Terdapat stimulasi nosiseptor oleh stimulus noxious pada jaringan yang kemudian diubah menjadi potensial aksi (transduksi atau aktivasi reseptor)
Potensial ditransmisikan menuju neuron susunan saraf pusat yang berhubungan dengan nyeri, tahapannya adalah : terjadi konduksi impuls dari neuron aferen primer ke kornu dorsalis medula spinalis pada kornu dorsalis ini neuron aferen bersinap dengan neuron susunan saraf pusat → batang otak dan talamus → terjadi hubungan timbal balik antara talamus dan pusat-pusat yang lebih tinggi di otak yang mengurusi respon persepsi dan afektif yang berhubungan dengan nyeri. Tetapi rangsangan nosiseptif tidak selalu menimbulkan persepsi nyeri dan sebaliknya persepsi nyeri bisa terjadi tanpa stimulasi nosiseptif
Terjadi proses modulasi sinyal yang mampu mempengaruhi proses nyeri tersebut (pada kornu dorsalis medula spinalis)
Lalu, proses persepsi, dimana pesan nyeri direlai menuju ke otak dan menghasilkan pengalaman yang tidak menyenangkan.
Secara singkat: stimulus noxious → kerusakan jaringan → pelepasan bahan kimia endogen → aktivasi nosiseptor → transmisi impuls nosiseptif ke SSP → integrasi informasi nosiseptif pada level spinal → integrasi pada level supraspinal → respon nyeri.
Serabut saraf yang berperan A: diameter paling besar, bermielin, memberikan respons maksimal thd sentuhan dan/rabaan
didapatkan > pd saraf yg menginervasi kulit. A: diameter 2-5m, bermielin, kecepatan konduksi 12-30m/s, nyeri menusuk. Berperan dalam first pain:
menimbulkan sensasi nyeri yg cepat, tajam, terlokalisasi. C: diameter 0,4-1,2m, tdk bermielin, kcpatan konduksi 0,5-2m/s, nyeri lemah. Berperan dalam second
pain: sensasi nyeri yg lama, nyeri tumpul, intense, menyebar. Serabut saraf A dan C berada pada saraf yg menuju ke kulit, somatik dalam dan visceral Nociceptor A tersebar hampir pd semua permukaan kulit, sebagian kecil pd otot dan
sendi, > sensitif thd stimulus mekanis. Nociceptor serabut C bagian dalam kulit, di setiap jaringan sensitif thd stimulus
noxious mekanis, termal, kimiawi.
Kornu dorsalis medula spinalis merupakan relay point pertama yang membawa informasi sensoris ke otak. Di sini terdapat 3 jenis neuron, yaitu neuron proyeksi sebagai pembawa sinyal ke pusat yang lebih tinggi, interneuron eksitasi dan interneuron inhibisi yang berfungsi mengatur aliran informasi ke pusat yang lebih tinggi.
Stimulus noxious mencetuskan pelepasan glutamat dan beberapa asam amino. Glutamat dan aspartat adalah neurotransmitter utama dalam exitatory transmission pada tingkat spinal. Glutamat berhubungan dengan reseptor NMDA (Ca2+) AMPA (Na+)
Glutamat : untuk nyeri ringan , yg timbul cepat Substansi P : untuk nyeri intensitas sedang/kuat, yg timbul lambat
Zat kimia endogen dapat menstimulasi nosiseptor, antara lain potasium, bradikinin,
histamin, serotonin, dan prostaglandin. Sinyal di bawa ke otak melalui:
Traktus spinotalamikus (jalur utama)
Lamina I, II, dan V di kornu dorsalis (gray matter) → menyeberang melalui ventral white
comissure → ventrolateral funiculus → talamus di diensephalon
Traktus spinomesensephalic
Lamina I, II, dan V → menyeberang melalui ventral white comissure → ventrolateral funiculus → periaqueductal gray dan nucleus cuneiformis di mesensephalon → talamus di diensephalon
Traktus spinoretikularis
Lamina I, II, dan V → menyeberang melalui ventral white comissure → ventrolateral funiculus → reticular formation di medula →periaqueductal gray di mesensephalon → talamus di diensephalon
Dari talamus, sinyal ditransmisikan ke korteks serebral (area somatosensorik 1 dan 2, korteks insular, korteks cingulata anterior, korteks prefrontal medial) sehingga terbentuk kompleks talamus-limbik yang berfungsi sebagai diskriminatif sensorik (persepsi intensitas, lokasi, durasi, pola, kualitas) dan afektif motivasi (hubungan dengan nyeri, suasana hati, perhatian, toleransi, rasionalisasi).
Persepsi nyeri terjadi di korteks serebrum dan sensasi terjadi di talamus.
Modulasi pada tingkat spinal aktivitas nosiseptif melibatkan sistem opioid endogen, inhibisi segmental, keseimbangan aktivitas antara input nosiseptif dan input aferen lainnya serta descending control mechanism.
Reseptor opioid merupakan tempay kunci dalam analgesia melalui inhibisi presinap dari injury-evoked neurotrnsmitter release dari neuron nosiseptif aferen primer. GABA dan glisin berperan penting pada inhibisi segmental nyeri di medula spinalis. GABA memodulasi transmisi aferen nosiseptif melalui mekanisme presinap dan postsinap. Konsentrasi terbesar GABA ada pada kornu dorsalis karena merupakan neurotransmiter inhibisi utama. Sedangkan mekanisme modulasi glisin di kornu dorsalis adalah melalui inhibisi postsinap.
Aktivitas neuron di medula spinalis dapat dimodifikasi oleh input dari neuron non-nosiseptif. Menurut teori ini aktivitas pada serabut aferen A-β menghambat respon neuron kornu dorsalis dari input serabut A-δ dan serabut C.
Kontrol nyeri supraspinal melalui 2 jalur yang berasal dari otak tengah dan medula oblongata. Sistem modulasi ini menuju medula spinalis melalui funikulus dorsolateral. Neuron-neuron di rostroventral medula onblongata membuat koneksi inhibisi pada kornu dorsalis lamina I, II, dan V. Sehingga stimulasi neuron di rostroventral medula oblongata akan menghambat neuron-neuron kornu dorsalis dati traktus spinotalamikus. Neurotransmiter utama yang berperan adalah serotonin dan norepinefrin.
Reffered pain merupakan nyeri viseral tetapi sensasi dirasakan di permukaan tubuh (kebanyakan di otot dan kulit). Misalnya akibat iskemi, viseral pain, modulasi (talamus, gate control magnification), analgetic drugs (aspirin, opiads).
Morfin bekerja pada reseptor opiad di presinaps (dengan meningkatkan kerja kanal K+), sedangkan di postsinaps tidak sembarang obat dapat bekerja.
Prostaglandin mengaktifkan reseptor IP dan EP Terapi untuk menghilangkan nyeri antara lain dengan non-farmako, farmako, psikologi. Istilah tambahan
Allodynia
Nyeri akibat stimulus yang biasanya tidak menimbulkan nyeri. Secara klinik allodynia mekanik diperiksa menggunakan sikat atau kain wol atau dengan von Frey hair.
Stimulus non-noxious sensory dari modalitas lain seperti panas atau dingin dapat juga dites.
Hyperalgesia
Peningkatan respon terhadap stimulus yang sangat menyakitkan. Hyperalgesia mekanik dites dengan von Frey hairs (of
sufficient strength to provide a painful punctuate stimulus),
dan hyperalgesia thermal dengan thermotesting.
Dysaesthesia
Sensasi abnormal yang tidak menyenangkan. Hyperalgesia dan allodynia adalah kasus spesifik dari dysaesthesia
Hyperaesthesia
Peningkatan sensitivitas terhadap stimulasi, kecuali sensasi spesial
Hyperalgesia and allodynia adalah kasus specifik dari hyperaesthesia
Tambahan Nyeri
Definisi
Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan
Klasifikasi Nyeri
1. Nyeri tekan
Nyeri tekan dapat terungkap dengan penekanan pada daerah keluhan, terutama pada tempat tendon melekat pada tulang (tuberositas), bagian tendon yang beralih ke otot, ototnya sendiri, fasia otot, kapsul, tulang persendian, epikondilus, tulang yang retak/patah, pembuluh darah dan berkas saraf.
2. Nyeri gerak pasif
Nyeri muskuloskeletal dapat timbul pada waktu rehat, gerakan voluntar, gerakan pasif atau gerakan isometrik dilakukan. Pembatasan lingkup gerakan bisa disebabkan oleh tenaga otot yang berkurang atau oleh adanya nyeri. Dengan melakukan gerakan pasif, maka faktor berkurangnya tenaga dalam melakukan gerakan dikesampingkan, sehingga faktor nyeri yang merupakan penyebab dari pembatasan gerak dapat diungkapkan secara tersendiri. Nyeri yang ditimbulkan pada gerakan pasif biasanya menunjuk pada persendian yang menjadi sumber nyeri, karena pada gerakan pasif ini otot tidak berkontraksi.
3. Nyeri gerak aktif
Pada kondisi dimana pada gerakan pasif tidak terasa nyeri, tetapi suatu pola gerakan aktif membangkitkan nyeri, maka sumber nyeri terletak pada otot atau tendonnya. Dengan dikenalnya kelompok otot yang bertindak aktif pada pola gerakan tertentu, maka sumber nyeri tendomiogenik dapat ditentukan.
4. Nyeri gerak isometrik
Pada adanya nyeri tendomiogenik, maka kontraksi isometrik pun menimbulkan nyeri.
Menurut patofisiologinya dapat dibagi atas 4, yaitu
1. Nyeri nosiseptif atau nyeri inflamasi → nyeri yang timbul akibat adanya stimulus mekanis terhadap nosiseptor
2. Nyeri neuropatik → nyeri yang timbul akibat disfungsi primer pada system saraf.3. Nyeri idiopatik → nyeri dimana kelainan patologik tidak dapat ditemukan4. Nyeri psikologik → bersumber dari emosi/psikis dan biasanya tidak disadari.
Nyeri Cepat dan Lambat
Keberadaan dari dua jaras nyeri, satu cepat dan satu lambat, menjelaskan observasi fisiologik yang
menyebutkan bahwa ada dua jenis nyeri. Suatu stimulus nyeri menyebabkan sebuah sensasi yang tajam dan terlokalisasi diikuti sebuah perasaan tumpul, menyakitkan, dan tersebar. Dua sensasi ini disebut nyeri cepat dan lambat atau nyeri pertama dan kedua. Semakin jauh stimulus dari otak, makin besar pembagian temporal dari kedua komponen. Ini dan bukti lainnya menjelaskan bahwa nyeri cepat disebabkan oleh aktivitas serat saraf nyeri Aδ, sementara nyeri lambat disebabkan oleh aktivitas dari serat saraf nyeri C.
Jalur Transmisi Nyeri
Bagian utama untuk merasakan rasa nyeri adalah ujung saraf bebas (free nerve endings)/nosiseptor yang ditemukan hampir di semua jaringan tubuh. Impuls nyeri ditransmisikan ke SSP oleh dua sistem yang berbeda. Sistem yang pertama tersusun atas serat Aδ dengan diameter 2-5 μm dengan kecepatan rangsang 12-30 m/s. Sistem yang lain tersusun atas serat C yang tidak termyelinisasi dengan diameter 0.4-1.2 μm. Serat C tersebut ditemukan di bagian lateral dari akar dorsal dan sering disebut dorsal root C fibers. Dorsal root C fibers berkonduksi dengan kecepatan rangsang lambat (0.5-2 m/s). Kedua bentuk sistem tersebut berakhir pada traktus spinotalamikus lateral dan rasa nyeri berimpuls naik ke atas melalui traktus ini menuju bagian nuklei ventral posteromedial dan nuklei posterolateral dari talamus. Dari sana, kedua sistem tersebut relay menuju girus postcentral dari korteks serebri. Meskipun tidak ada serat saraf penghantar nyeri pada kolumna dorsalis, bagian dari serat kolumna dorsalis dapat membuat stimulus nyeri lebih parah dan terasa tidak menyenangkan.
Nyeri Otot
Biasanya, pada otot yang berkontraksi secara ritmis, dengan keberadaan suplai darah yang cukup, tidak akan menimbulkan rasa nyeri. Namun, ketika suplai darah ke otot berkurang, kontraksi dengan segera akan menimbulkan nyeri. Rasa nyeri yang timbul akan bertahan setelah kontraksi hingga aliran darah kembali seperti semula. Jika sebuah otot dengan suplai darah normal dibuat untuk berkontraksi secara berkelanjutan tanpa
periode relaksasi, otot tersebut juga mulai akan terasa sakit/nyeri karena kontraksi yang dipertahankan mengkompress pembuluh darah yang mensuplai otot tersebut.
Secara umum, nyeri yang berasal dari otot rangka, dapat terjadi melalui 3 mekanisme.
Pertama, karena aktivitas motorneuron sebuah otot berkontraksi keras. Melalui serabut kolateral, impuls motorik itu disampaikan juga ke nukleus proprius. Pada gilirannya, aktivitas nukleus proprius mengakibatkan terasanya nyeri di otot yang berkontraksi itu. Nyeri otot ini dikenal sebagai nyeri otot reflektorik.
Kedua, nyeri otot dapat berasal dari iskhemia muskular. Kontraksi yang berkepanjangan dapat mengakibatkan tertimbunnya sampah metabolik di dalam otot, sedangkan pada saat itu juga terjadi vasokonstriksi. Penimbunan sampah metabolik itu bertindak sebagai iritasi yang membangkitkan rasa pegal-pegal yang umum dijumpai pada otot tegang.
Ketiga, nyeri otot dapat timbul pada waktu otot berkontraksi secara keras dan berkepanjangan. Keregangan ini meregangkan kaitan miofasial dengan periosteum, yang membangkitkan nyeri dengan lokalisasi yang tepat.Nyeri ini lebih dikenal sebagai entesialgia.
Nyeri otot karena iskhemia dan nyeri otot reflektorik bersifat difus dalam distribusinya. Lagipula nyeri otot itu bisa menjalar atau merujuk ke bagian distalnya. Sering pula nyeri tidak dirasakan pada tempat asalnya. Hal ini berlaku bila sumber nyeri berlokasi di komponen lunak bagian dalam. Namun demikian, nyeri yang berasal dari tulang dan periosteum terasa tepat pada sumbernya.
Manajemen Nyeri
TINDAKAN FARMAKOLOGIS
Umumnya nyeri direduksi dengan cara pemberian terapi farmakologi. Nyeri ditanggulangi dengan cara memblokade transmisi stimulant nyeri agar terjadi perubahan persepsi dan dengan mengurangi respon kortikal terhadap nyeri
Adapun obat yang digunakan untuk terapi nyeri adalah:
1. Analgesik NarkotikOpiat merupakan obat yang paling umum digunakan untuk mengatasi nyeri pada klien, untuk nyeri sedang hingga nyeri yang sangat berat. Pengaruhnya sangat bervariasi tergantung fisiologi klien itu sendiri. Klien yang sangat muda dan sangat tua adalah yang sensitive terhadap pemberian analgesic ini dan hanya memerlukan dosisi yang sangat rendah untuk meringankan nyeri (Long,1996).
Narkotik dapat menurunkan tekanan darah dan menimbilkan depresi pada fungsi – fungsi vital lainya, termasuk depresi respiratori, bradikardi dan mengantuk. Sebagian dari reaksi ini menguntungkan contoh : hemoragi, sedikit penurunan tekanan darah sangan dibutuhkan. Namun pada pasien hipotensi akan menimbulkan syok akibat dosis yang berlebihan.
2. Analgesik LokalAnalgesik bekerja dengan memblokade konduksi saraf saat diberikan langsung ke serabut saraf.
3. Analgesik yang dikontrol klienSistem analgesik yang dikontrol klien terdiri dari infus yang diisi narkotik menurut resep, dipasang dengan pengatur pada lubang injeksi intravena. Pengandalian analgesik oleh klien adalah menekan sejumlah tombol agar masuk sejumlah narkotik. Cara ini memerlukan alat khusus untuk mencegah masuknya obat pada waktu yang belum ditentukan. Analgesik yang dikontrol klien ini penggunaanya lebih sedikit
dibandingkan dengan cara yang standar, yaitu secara intramuscular. Penggunaan narkotik yang dikendalikan klien dipakai pada klien dengan nyeri pasca bedah, nyeri kanker, krisis sel.
4. Obat – obat nonsteroidObat – obat nonsteroid antiinflamasi bekerja terutama terhadap penghambatan sintesa prostaglandin. Pada dosis rendah obat – obat ini bersifat analgesic. Pada dosis tinggi, obat obat ini bersifat antiinflamatori sebagai tambahan dari khasiat analgesik.Prinsip kerja obat ini adalah untuk mengendalikan nyeri sedang dari dismenorea, arthritis dan gangguan musculoskeletal yang lain, nyeri postoperative dan migraine. NSAID digunakan untuk menyembuhkan nyeri ringan sampai sedang.
TINDAKAN NON FARMAKOLOGISMenurut Tamsuri (2006), selain tindakan farmakologis untuk menanggulangi nyeri ada pula tindakan nonfarmakologis untuk mengatasi nyeri terdiri dari beberapa tindakan penaganan berdasarkan :1. Penanganan fisik/stimulasi fisik meliputi :
1. Stimulasi kulitMassase kulit memberikan efek penurunan kecemasan dan ketegangan otot. Rangsangan masase otot ini dipercaya akan merangsang serabut berdiameter besar, sehingga mampu mampu memblok atau menurunkan impuls nyeri
2. Stimulasi electric (TENS)Cara kerja dari sistem ini masih belum jelas, salah satu pemikiran adalah cara ini bisa melepaskan endorfin, sehingga bisa memblok stimulasi nyeri. Bisa dilakukan dengan massase, mandi air hangat, kompres dengan kantong es dan stimulasi saraf elektrik transkutan (TENS/ transcutaneus electrical nerve stimulation). TENS merupakan stimulasi pada kulit dengan menggunakan arus listrik ringan yang dihantarkan melalui elektroda luar.
3. PlaseboPlasebo dalam bahasa latin berarti saya ingin menyenangkan merupakan zat tanpa kegiatan farmakologik dalam bentuk yang dikenal oleh klien sebagai “obat” seperti kaplet, kapsul, cairan injeksi dan sebagainya.
2. Intervensi perilaku kognitif meliputi :
1. RelaksasiRelaksasi otot rangka dipercaya dapat menurunkan nyeri dengan merelaksasikan keteganggan otot yang mendukung rasa nyeri. Teknik relaksasi mungkin perlu diajarkan bebrapa kali agar mencapai hasil optimal.Dengan relaksasi pasien dapat mengubah persepsi terhadap nyeri.
2. Umpan balik biologisTerapi perilaku yang dilakukan dengan memberikan individu informasi tentang respon nyeri fisiologis dan cara untuk melatih kontrol volunter terhadap respon tersebut. Terapi ini efektif untuk mengatasi ketegangan otot dan migren, dengan cara memasang elektroda pada pelipis.
3. HipnotisMembantu mengubah persepsi nyeri melalui pengaruh sugesti positif.
4. DistraksiMengalihkan perhatian terhadap nyeri, efektif untuk nyeri ringan sampai sedang. Distraksi visual (melihat TV atau pertandingan bola), distraksi audio (mendengar musik), distraksi sentuhan (massase, memegang mainan), distraksi intelektual (merangkai puzzle, main catur)
5. Guided Imagery (Imajinasi terbimbing)Meminta klien berimajinasi membayangkan hal-hal yang menyenangkan, tindakan ini memerlukan suasana dan ruangan yang tenang serta konsentrasi dari klien. Apabila klien mengalami kegelisahan, tindakan harus dihentikan. Tindakan ini dilakukan pada saat klien merasa nyaman dan tidak sedang nyeri akut
Nb: maav temen2, kalau tentir nyerinya nggak lengkap niih,,semoga bisa lebih dipahami lagi dari slide dan jurnal2 pdf yang dikasih dokter Nurhadi. Semangat yaah..
Oiya, jangan lupa juga pelajari dari buku2 faal dan ltm temen kelompok tentang nyeri..Semangat^_^
K-10 Low Back Pain (LBP) / Nyeri Pinggang Bawah
oleh: I Nyoman Murdana (Rehabilitasi Medik)
LBP adalah rasa nyeri yang di rasakan pada bagian pinggang bawah (daerah lumbo sakral), disebabkan diantaranya oleh kelainan sistem muskuloskeletal,sistem neuromuskular, vaskular, viseral, dan psikogenik
LBP hanyalah gejala, bukan merupakan diagnosis.
Kasus LBP terjadi pada kira-kira 85% orang dewasa yang usianya lebih dari 50 tahun Pada sebagian besar (lebih dari 80%) kasus, tidak diketahui penyebab pastinya. Onset biasanya pada usia 30-50 tahun, bila terjadi pada anak-anak, kemungkinan berasal dari etiologi yang serius seperti infeksi atau keganasan.
LBP dapat terjadi lokal, radikular (nyeri terjadi sepanjang dermatom saraf karena adanya tekanan pada radiks akar saraf), atau keduanya.
LBP dapat di sebarkan ke bagian lain (vice versa), atau nyeri pada bagian lain bisa disebarkan ke pinggang bawah (referred pain).
Penyebab
Penyakit degenerative Penyakit diskus seperti HNP, Stenosis spinal <saluran spinal menyempit karena pengapuran>, Spondilitis, Hipertrofi sendi faset
Pengapuran / osteoarthrosis stenosis spinal
foramen intervertebra menyempit radiks keluar radiks tertekan iritasi radiks gangguan sensori pada daerah yang dipersarafinya.
Neoplasma/Keganasan Primer, Metastase Inflamasi Arachnoiditis, artritis, ankilosing spondilitis Infeksi Osteomyelitis vertebra, Abses epidural, Infeksi traktus urinarius, Discitis intervertebra Radikulopati Penyakit Metabolik Osteoporosis, Penyakit Paget’s, Radikulopati diabetic Trauma Fraktur vertebra, Peregangan lumbal misalnya akibat kecelakaan Referred pain Abdomen dan pelvis, Paha
Gambaran Klinis
Non spesifik lumbago/simple/benign/idiopathic LBP:
Frekuensi pada usia 25-55 tahun Pasien terlihat sehat Nyeri pada bagian lumbo sakral,panggul, dan paha Nyeri mekanik bervariasi antara aktifitas fisik dan waktu (misal pada saat bergerak, duduk atau berdiri
dalam waktu yang lama)
Nyeri radikular
Prognosis baik,50% membaik dalam waktu 6 minggu Nyeri pada satu sisi kaki menggambarkan LBP yang lebih buruk Nyeri selalu menjalar ke kaki atau jari kaki Rasa baal (numbness) dan kesemutan (paresthesia) Tanda adanya iritasi saraf (SLR +/ Laseque) Tanda ganguan neurologi lokal (motorik, sensorik atau refleks nyeri )
Waspada akan adanya Red Flags (keterlibatan spinal yang serius)
Usia < 20 tahun atau timbul pada usia > 55 tahun Nyeri non mekanik Nyeri di bagian torak
Riwayat karsinoma, steroid, dan HIV Terlihat tidak sehat, penurunan berat badan Menunjukan gejala dan tanda ganguan neurologis Deformitas struktural (karena terjadi perubahan postur (misalnya saat berjalan dicari postur dimana nyeri
berkurang), maka akan mengakibatkan perubahan bentuk struktur Sindroma Kauda Equina
Sindroma Kauda Equina
Masalah pada saluran kemih Gangguan tonus sfingter anus atau gangguan menahan kencing Kelemahan anggota gerak bawah atau gangguan berjalan karena persarafan lumbosakral terganggu
(menyebabkan kelainan berjalan dan sensorik tungkai bawah) Keluhan ganguan saraf meluas (gangguan lebih dari satu akar saraf) Saddle Anaesthesi (terdapat anestesi di daerah anal)
Red Flags
Tanda bahaya (keadaan yang serius pada )
Biasanya terjadi LBP bukan karena adanya perubahan fungsi atau pergerakan (seperti duduk terlalu lama)
Sindrom Cauda equina (retensi urine, tanda-tanda neurologi bilateral, anestesi sadel ) Defisit neurologi ( parestesia, paresa, dan tanda neurologis lain ) Trauma Penurunan berat badan Demam Penggunaan medikasi intra vena Penggunaan steroid menyebabkan osteoporosis bila terjadi di vertebrae dapat menyebabkan LBP Usia lebih dari 50 tahun berpeluang besar menderita keganasan Nyeri hebat yang tidak berkurang pada malam hari Nyeri makin hebat pada posisi terlentang
Yellow Flags
Keadaan yang dapat memperlama LBP :
Tingkah laku yang berhubungan dengan timbulnya nyeri pinggang (misal perkerjaan mengangkut beban yang berat, posisi duduk yang salah, mengangkat beban dengan posisi salah, terlalu lama memasak dapat menyebabkan gangguan mekanik yang menimbulkan nyeri)
Kebiasaan (postur berjalan yang salah seperti bungkuk, duduk, atau tidur yang salah) Kompensasi masalah Masalah diagnosis dan terapi Emosi (psikologis) Masalah keluarga Masalah pekerjaan
Tanda Neurologi
Gangguan urinasi Saddle Anestesi Kelemahan motorik pada ekstremitas bawah (Possible Cauda Equina Syndrome ) Lokasi dan radiasi nyeri
Diagnosis
Evaluasi yang sukses tergantung dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti dan tepat. Berikut ini adalah keterangan lebih lanjut mengenai diagnosis yang dapat dilakukan (NB : bukan urutan)
1. Hal pertama yang harus dilakukan adalah menyingkirkan penyebab serius yang menimbulkan kedaruratan (red dan yellow flags)
2. Anamnesa1. Riwayat penyakit; termasuk timbulnya,lokasi dan beratnya nyeri.
Timbulnya saat duduk, berdiri, atau saat mengangkat barang
2. Faktor yang memperberat dan memperingan rasa nyeri
Misalnya apabila banyak berjalan menjadi semakin sakit.
1. Trauma dan Stres psikologis2. Riwayat Timbul Penyakit
1. Gambaran gejala dan lamanya2. Efek dari gejala itu pada aktifitas sehari-hari3. Respon pada pengobatan yang lebih awal
Misalnya apabila diberi NSAID atau analgesic, rasa nyeri berkurang atau tidak.
1. Riwayat trauma2. Riwayat Penyakit Dahulu
1. Imuno supresi
Sering terjadi pada penyakit yang sering digunakan kortison sebagai obatnya.
2. Penurunan berat badan tanpa penyebab yang jelas (kanker)3. Nyeri menetap ( kanker, infeksi ) tidak dipengaruhi posisi.4. Nyeri makin berat (tumor intraspinal, infeksi)5. Nyeri berkurang pada posisi terlentang (HNP) pengaruh gravitasi6. Nyeri makin berat pada pagi hari
1. Nyeri pada posisi duduk ( HNP, Facet Joint Patology, Canal Stenosis,Paraspinal Muscle Patologi, Sakroiliac join patologi, Spondilosis/Spondilolistesis, Non spesifik LBP)
2. Adanya deman ( infeksi )3. Gangguan hormonal (dismenorhea, Post Menopause / Andropause)4. Gangguan Viscera ( Referred pain )
2. Pemeriksaan Fisik1. Pemeriksaan fisik dilakukan secara komprehensif dgn perhatian khusus pada riwayat nyeri yang
diberikan oleh pasien2. Intensitas nyeri diukur dengan VAS (visual analog scale).
Pemeriksaan ini diusahakan seobjektif mungkin walaupun tetap terdapat unsus subjektif dari pasien. Oleh karena itu harus disesuaikan dengan ekspresi pasien.
3. Pemeriksaan pada tulang belakang meliputi observasi pola jalan, posture saat berjalan, palpasi, ROM, test mobilitas dan straigt leg raise test/SLR test (kaki diangkat setinggi 70o, bila terasa nyeri berarti ada penekanan pada radiks)
4. Pemeriksaan neurologis untuk mengetahui terkenanya akar saraf yang spesifik5. Evaluasi kemungkinan adanya penyakit sistemik untuk mencari penyebab dari nyeri pinggang6. Pemerikasaan pada abdomen, pelvis dan rektum dilakukan untuk mengetahui sumber nyeri dan
kemungkinan nyeri menjalar.
NB : tujuan mengetahui derajat nyeri adalah untuk mengevaluasi keberhasilan suatu pengobatan.
6. Pemeriksaan Radiologi1. Pemeriksaan radiologi (Foto polos) pada lumbo sakral bukan pemeriksaan yang rutin, terutama
pada pasien pasien LBP yang ringan.2. Pemeriksaan radiologi lumbosakral mungkin dapat membantu menegakkan diagnosa terutama
bila ada riwayat trauma dan kecurigaan pada infeksi, keganasan atau penyakit metabolik.3. Posisi antero posterior dan lateral cukup baik untuk menemukan fraktur, tumor, infeksi, adanya
instabilitas, spondiloarthropathy dan osteoartritis pada lumbal.4. Posisi oblik diperlukan untuk evaluasi keterlibatan sendi faset dan pars interartikularis.5. Pemeriksaan radiologis (foto polos) tdk dapat menggambarkan adanya gangguan diskus
Intervertebralis atau gangguan otot dan ligamen.6. Magnetic resonance imaging ( MRI ) dan CT scan dilakukan untuk pasien dengan defisit
neurologis yang progresif atau kecurigaan adanya infeksi atau keganasan. Juga diperlukan pada kasus yang akan menjalani operasi.
7. MRI, CT scan atau Myelografi dapat memastikan diagnosa lumbal canal stenosis.8. Bone scanning berguna pada keadaan dimana pemeriksaan radiografi menunjukkan hasil
abnormal yang dicurigai adanya osteomyelitis, keganasan atau fraktur7. Pemeriksaan Elektrodiagnostik
Pasien dengan kondisi yang meragukan dan membutuhkan pemeriksaan elektrodiagnostik harus dikirim ke spesialis yang berkompeten. Pemeriksaan elektromiografi (EMG) dan tes konduksi saraf untuk membedakan neuropati perifer dengan radikulopati atau myopati. Tes ini berguna untuk menentukan lokasi lesi, luasnya
kerusakan saraf tersebut, prediksi kesembuhan, dan untuk menentukan bahwa struktur abnormal yang terlihat pada pemeriksaan radiologis akan menimbulkan gangguan fungsi secara signifikan.
8. Pemeriksaan Laboratorium1. Pemeriksaan laboratorium seperti Laju endap darah (LED) darah rutin dan urinalisa hanya
dilakukan bila ada kecurigaan adanya penyakit sistemik yang mendasari. Misalnya infeksi, rhematoid arthritis.
2. LED yang meningkat mungkin ditemukan pada kasus infeksi, keganasan dan ankylosing spondilitis.
3. Anemia ditemukan pada keganasan dan ankilosing spondilitis.4. Kultur dan test tuberkulin dilakukan bila ada kecurigaan infeksi.5. Pemeriksaan human leucocyte antigen (HLA-B27) dianjurkan dilakukan bila ada kecurigaan
ankilosing spondilitis, rhematoid arthritis.
Diagnosis Banding
Penyebab NPB pada umumnya dikelompokkan pada trauma, penyakit degeneratif, keganasan, infeksi, radikulopati (penekanan pada radiks saraf), metabolik dan nyeri radikular.
Penyebab yang sering, dan menyebabkan pasien datang ke dokter adalah disfungsi sendi intervertebral yang berhubungan dengan trauma ( 72%) dan dengan spondilosis lumbal ( 10%) (infeksi lumbal).
Penatalaksanaan
Tujuan utama = mengurangi nyeri dan mencegah disabilitas. Adanya risiko psikososial berarti LBP juga memerlukan penanganan serius.
Pasien dengan risiko umumnya dapat diobati dengan efektif tanpa perlu ditangani psikolog. Pengobatannya : analgesik, modalitas fisik agar pasien dapat tetap aktif dan kembali normal.
Penanganan dini :o riwayat penyakit dan pemeriksaan fisiko memastikan tidak ada Red Flag untuk kelainan spinal yang seriuso memastikan dan menjelaskan bahwa tidak diperlukan pemeriksaan khusus bila tidak ada red flago informasi yang akuran untuk menetapkan prognosis kesembuhano memastikan dan menjelaskan bahwa aktivitas yang ringan adalah amano Petunjuk-petunjuk praktis agar tetap aktif dan kembali bekerja
Pilar penatalaksanaan LBP
1. identifikasi adanya red flags dan yellow flags2. edukasi3. aktivitas4. terapi medikamentosa5. refferal6. operasi7. tim multidisipliner (misalnya dari IPD, Urologi, dll)
Terapi pada keadaan dengan perbaikan klinik yang signifikano Tetap aktif dan melanjutkan kegiatan sehari-hario Paracetamol.o NSAIDs (non steroid anti inflamatory drugs)o Muscle relaksan.
Terapi pada keadaan dengan perbaikan klinik kurang baik (lebih dari 2 minggu tidak kunjung hilang)o Istirahat lebih dari 2 hari.o TENS ( trans cutaneus electrical nerve stimulation)o Traksi intermiten (tarik tulang belakang)o Latihan/olah raga yang spesifik.o Edukasi tentang gejala LBP.
Terapi pada keadaan bahayao Beri narkotik/diasepam, terutama bila lebih dari 2 minggu.o Traksi kontinyu.o Manipulasi dengan anestesi umum.o Plaster jaket (orthose)
Indikasi Bedah
1. Skiatik (nyeri yang menjalar) dan herniasi diskus
o Sindrom cauda ekuina.o Defisit neurologis yang progresif dan berat.o Defisit neuromotor yang menetap sesudah 4-6 minggu dgn terapi konservatif.o Skiatika yang menetap lebih dari 4-6 minggu.
2. Stenosis spinal
o Defisit neurologis yang progresif dan berat.o Nyeri pinggang bawah dan anggota gerak bawah.o Rasa nyeri yang berkurang dengan fleksi tulang belakang.
3. Spondylolistesis
o Defisit neurologis yang progresif dan berat.o Spinal stenosis dgn indikasi diatas.o NPB berat atau Skiatika dengan gangguan fungsi berat yg menetap selama 1 tahun / lebih.
Rujukan
Dilakukan untuk LBP yang lebih dari 12 minggu. Tim terdiri dari orang profesional kesehatan yang dilatih dibidang Muskuloskletal, Psikososial, penanganan khusus dan dokter spesialis yang terkait ( Rematologis, Orthopaedic,Neurologis, Rehabilitasi Medik dan Bedah saraf ). Tim multidisipliner akan memberikan penanganan dan evaluasi yang komprehensif.
Tambahan :
HNP
Pada usia 45 tahun ke atas kelenturan menurun karena cairan annulus fibroosusnya menurun tidak mampu menahan tekanan nucleus pulposus tekanan jadi kea rah samping robek menekan radiks
Sering melemaskan leher dengan sentakan (bunyi “treg-treg”) dapat memicu mikrotrauma lebih awal karena permukaan sendi menjadi cepat aus.
Saat tidur jika seseorang memiliki masalah dengan tulang belakang, tempat tidur harus rata karena apabila tidak rata, tulang akan mengikuti bentuk yang tidak rata tersebut sehingga saat tidur pun otot tetap tegang.
Kelainan tulang belakang berupa skoliosis dapat terjadi karena ada bagian otot yang teregang dan tidak teregang. Bagian yang teregang ini lah yang menyebabkan nyeri.
NYERI
Alasan paling umum orang mencari perawatan Sumber penyebab frustasi
\Suatu sensori subyektif dan pengalaman emosional yg tidak menyenangkan berkaitan dng kerusakan
jaringan yg aktual atau potensial atau yg dirasakan dlm kejadian2 di mana terjadi kerusakan (IASP, 1979)
Perawat bertanggung jawab mengontrol nyeri dan menghilangkan penderitaan nyeri klien
Pengertian Nyeri
Nyeri → Perasaan atau keadaan emosi yang tidak menyenangkan karena potensial kerusakan jaringan
atau jaringan rusak. PENGERTIAN NYERI Mc Coffery (1979) : suatu keadaan yg mempengaruhi seseorang, yg keberadaanya diketahui hanya
jika orang itu pernah mengalaminya Wolf W. Feurst (1974) : suatu perasaan menderita secara fisik dan mental atau perasaan yg
menimbulkan ketegangan Arthur C. Curton (1983) : suatu mekanisme produksi bagi tubuh, timbul ketika jaringan sedang
rusak,dan menyebabkan individu tersebut bereaksi utk menghilangkan nyeri
SIFAT NYERI Subyektif dan sangat individual Gejala Objektif merupakan manifestasi rangsangan simpatis Tidak menyenangkan Merupakan suatu kekuatan yg mendominasi Bersifat tidak berkesudahan Melelahkan dan menuntut energi Mengganggu hub. personal dan mempengaruhi makna hidup Tidak dapat diukur secara obyektif Gunakan pemeriksaan yang cermat dalam mengkaji nyeri (PQRST) Perawat jangan salah konsep atau bias
P (pemacu) : faktor yg mempengaruhi gawat dan ringannya nyeri Q (quality):seperti apa-> tajam, tumpul, atau tersayat R (region) : daerah perjalanan nyeri S (severity/SKALA NYERI) : keparahan / intensitas nyeri T (time) : lama/waktu serangan atau frekuensi nyeri
Penyebab/Stimulus Nyeri Trauma Gangguan pada jaringan tubuh ex : edema Tumor Iskemia pada jaringan Spasme otot
Tahap Trasduksi Stimulus akan memicu sel yang terkena nyeri utk melepaskan mediator kimia
(prostaglandin, bradikinin, histamin, dan substansi P) yg mensensitisasi nosiseptor Mediator kimia akan berkonversi mjd impuls2 nyeri elektrik
Tahap Transmisi
Terdiri atas 3 bagian :
1. Nyeri merambat dari serabut saraf perifer (serabut A-delta dan serabut C) ke medula spinalis2. Transmisi nyeri dari medula spinalis ke batang otak dan thalamus melalui jaras spinotalamikus (STT)
-> mengenal sifat dan lokasi nyeri3. Impuls nyeri diteruskan ke korteks sensorik motorik, tempat nyeri di persepsikan
Tahap Persepsi Tahap kesadaran individu akan adanya nyeri memunculkan berbagai strategi perilaku kognitif utk mengurangi kompenen sensorik dan afektif nyeri
Disebut juga tahap desenden Fase ini neuron di batang otak mengirim sinyal2 kembali ke medula spinalis Serabut desenden itu melepaskan substansi (opioid, serotonin, dan norepinefrin) yg akan
menghambat impuls asenden yg membahayakan di bag dorsal medula spinalis
Teori Pengendalian GerbangGate Control Theory
Impuls nyeri dpt diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang SSP Mekanisme pertahanan ditemukan di sel2 gelatinosa substansia “ impuls nyeri dihantar saat pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat pertahanan ditutup” Neuron delta A & C melepaskan subtansi P bersifat membuka pertahanan Neuron beta A menghambat pelepasan subtansi P, bersifat menutup pertahanan Menutup pertahanan dpt dng cara menggosok punggung, plasebo (obat tdk berisi analgetik tetapi
berisi gula, air atau saline)
Teori Pengendalian Gerbang / Gate Control Theory MEKANISME KERJA TEORI GATE CONTROL
Dikemukanan oleh Melzack dan wall pada tahun 1965 Teori ini mengusulkan bahwa impuls nyeri dapat diatur atau bahkan dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat.
TEORI GATE CONTROLImpuls nyeri dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem syaraf pusat.
Nyeri Secara Umum
Nyeri akut : Nyeri yang timbul karena kerusakan jaringan, nyeri yang timbul secara mendadak dan
diikuti aktifitas syaraf otonom. Nyeri akut terjadi kurang dari 6 bulan
2. Tidak melebihi 6 bulan3. Ditandai adanya peningkatan tegangan otot.4. Takikardi5. Hipertensi6. Pucat7. Miadriasis
Nyeri akut Aktifitas syaraf otonom: takikardi, hipertensi, keringat dingin, pucat, pupil medriasis. Nyeri akan hilang setelah penyembuhan jaringan Pengobatan paling baik jika dilakukan pada etiologinya Terapi dengan analgetik Rangsangan pada kulit→Impuls →Nosiseptor (Tipe α, ∂, dan C) →Saraf aferen → Medulla spinalis
→Traktus spinotalmikus → Talamus → diproyeksikan pd korteks somatosintesis (Proses deskriminatif informasi: Menentukan lokasi dikulit shg dapat merasakannyeri dibagian kulit tertentu)
Nosiseptor dapat diaktifkan melalui: rangsangan mekanik yang kuat Dingin yang ekstrim Panas yang tinggi
Dikenal dengan: Tranduksi, transmisi, Modulasi, dan persepsi.
Nyeri akut: nyeri post operasi
Ditangani dengan: Obat anagetik, Blok Syaraf, Epidural, dan Patient Controled analgesia (PCA) atau
kombinasi obat dan teknik
Nyeri kronis : nyeri yang timbul secara perlahan-lahan, menetap, biasanya berlangsung dalam waktu
cukup lama, yaitu lebih dari 6 bln, sukar dicari penyebabnya, tidak disertai aktivitas syaraf otonom
Ex: nyeri terminal
Nyeri kronis Umumnya karena kanker Tidak disertai dengan aktifitas saraf otonom Disertai gejala: Kecemasan, ketakutan, putus asa, gangguan tidur, nafsu makan dan libido berkurang,
BB↓
Hal yang harus diperhatikan dalam penanganan nyeri kronik: Tidak fokus pada PF saja Faktor psikologis Latar belakang Sosial Ekonomi
Mekanisme nyeri perifer Proses paologis jaringan berupa perubahan kimia, mekanik, dan termal→ terlepasnya pain product
substansi → ↑aktifitas saraf simpatis → ↓/↑ nyeri Serabut saraf Tipe α, ∂, dan C yg telah mengalami kerusakan → >> sensitif
Nyeri perifer sentral1. Mekanisme lingkaran setan
2. Mekanisme decrease of pheripheral inhibition
Mekanisme lingkaran setan
Kerusakan jaringan →Reflek otot dan reflek simpatis→ spasme, vasokonstriksi → ischemia → pain
product subtance →aktifitas simpatis →↑ noradrenalin (sensitifitas terhadap nyeri)→ Nyeri yang menetap.
Mekanisme decrease of pheripheral inhibition Substansi gelatinosa (SG) pada konureseptor medula spinalis sebagai pintu kontrol jalur rangsang
nyeri ke perifer dan ke medula spinalis untuk selanjutnya terus ke otak Stimulasi nyeri mengalami dari perifer lebih dulu mengalami modulasi di SG sebelum diteruskan ke
spinal
Mekanisme nyeri sentral Mekanisme nyeri yang pasti beum jelas tetapi diduga disebabkan oleh hilangnya pengaruh inhibisi
desending Nyeri sentral bisa mengenai SSP Nyeri dirasakan seperti: rasa terbakar, hiperalgelsia
Mekanisme Nyeri Operant Nyeri kronik tidak relefant dengan kelainan yang diderita Kompensasi untuk mendapat perhatian tetapi kemudian menjadipain behavior dan pain learning
Mekanisme Nyeri Psikogen Nyeri somatic yang tidak dapat dinyatakan dalam bentuk fisik Sebagian adalah Nyeri kronik Dihubungkan dengan kecemasan, ketakutan,
Mekanisme Nyeri Psikiatri
Kadang merupakan gejala depresi, histeri, atau gangguan psikiatri lainnya.
Nyeri Secara Spesifik Nyeri somatis dan viseral : nyeri yang bersumber dari kulit dan jaringan di bawah kulit ,pada otot dan
tulang Nyeri menjalar : nyeri yg terasa pada bagian tubuh yg lain, umumnya terjadi akibat kerusakan pada
cedera organ viseral Nyeri psikogenik : nyeri yg tidak diketahui secara fisik yg timbul akibat psikologis Nyeri phantom : nyeri yang disebabkan karena salah satu ekstremitas diamputasi Nyeri neurologis : nyeri yang tajam karena adanya spasme di sepanjang atau di beberapa jalur syaraf
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nyeri Usia dan jenis kelamin Kebudayaan Makna dan toleransi nyeri Perhatian Ansietas Keletihan
Pengalaman sebelumnya Gaya koping Dukungan keluarga dan sosial
PENANGANAN NYERI
1. FARMAKOLOGIS SAID (Steroid Anti-Inflamasion Drugs)
Dua jenis utama SAID murni:1. Agonis murni2. Kombinasi agonis-integonis
NSAID (Non Steroid Anti-Iflamasion Drugs)1. NON FARMAKOLOGIS
Perjalanan nyeri impuls melalui saraf dengan cara memberikan obat pada batang saraf.Obat ini dilakukan dengan cara disuntikkan pada situs dimana saraf terlindungi tulangTerdiri atas 2 analgesia yaitu:o Analgesia Lokalo Analgesia Infiltrasi
Nyeri merupakan pengalaman yang subjektif dan dirasakan secara berbeda pada masing-masing
individu, maka perawat perlu mengkaji semua factor yang mempengaruhi nyeri, seperti factor psikologis,
fisiologis, perilaku, emosional, dan sosiokultural. Pengkajian nyeri terdiri atas dua komponen utama,
yakni:
Asuhan keperawatan klien yang mengalami nyeri :
PENGKAJIAN
Riwayat nyeri untuk mendapatkan data dari klien
Observasi langsung pada respons perilaku dan fisiologis klien. Tujuan pengkajian adalah untuk
mendapatkan pemahaman objektif terhadap pengalaman subjektif.
HAL-HAL YANG PERLU DIKAJI
Karakteristik Nyeri (PQRST) P (Provokative) : faktor yg mempengaruhi gawat dan ringannya nyeri Q (quality):seperti apa-> tajam, tumpul, atau tersayat R (region) : daerah perjalanan nyeri S (severity/SKALA NYERI) : keparahan / intensitas nyeri T (time) : lama/waktu serangan atau frekuensi nyeri
Hal-hal yang perlu dikaji :
1. Lokasi
Untuk menentukan lokasi nyeri yang spesifik minta klien untuk menunjukkan area nyerinya, bisa dengan
bantuan gambar. Klien bisa menandai bagian tubuh yang mengalami nyeri.
2. Intensitas nyeri
Penggunaan skala intensitas nyeri adalah metode yang mudah dan terpercaya untuk menetukan
intensitas nyeri pasien.
3. Kualitas nyeri
Terkadang nyeri bisa terasa seperti dipukul-pukul atau ditusuk-tusuk. Perawat perlu mencatat kata-kata
yang digunakan klien untuk menggambarkan nyerinya. Sebab informasi berpengaruh besar pada
diagnosis dan etiologi nyeri.
4. Pola
Pola nyeri meliputi waktu awitan, durasi, dan kekambuhan atau interval nyeri. Karenanya, perawat perlu
mengkaji kapan nyeri dimulai, berapa lama nyeri berlangsung, apakah nyeri berulang, dan kapan nyeri
terakhir muncul.
5. Faktor presipitasi
Terkadang, aktivitas tertentu dapat memicu munculnya nyeri sebagai contoh, aktivitas fisik yang berat
dapat menimbulkan nyeri dada. Selain itu, factor lingkungan ( lingkungan yang sangat dingin atau sangat
panas), stressor fisik dan emosionaljuga dapat memicu munculnya nyeri.
Kualitas nyeri
Terkadang nyeri bisa terasa seperti dipukul-pukul atau ditusuk-tusuk. Perawat perlu mencatat kata-kata
yang digunakan klien untuk menggambarkan nyerinya. Sebab informasi berpengaruh besar pada
diagnosis dan etiologi nyeri.
Pola
Pola nyeri meliputi waktu awitan, durasi, dan kekambuhan atau interval nyeri. Karenanya, perawat perlu
mengkaji kapan nyeri dimulai, berapa lama nyeri berlangsung, apakah nyeri berulang, dan kapan nyeri
terakhir muncul.
Gejala yang menyertai
Gejala ini meliputi mual, muntah, pusing, dan diare. Gejala tersebut dapat disebabkan awitan nyeri atau
oleh nyeri itu sendiri.
Pengaruh pada aktivitas sehari-hari
Dengan mengetahui sejauh mana nyeri mempengaruhi aktivitas harian klien akan membantu perawat
memahami perspektif klien tentang nyeri. Beberapa aspek kehidupan yang perlu dikaji terkait nyeri
adalah tidur, napsu makan, konsentrasi, pekerjaan, hubungan interpersonal, hubungan pernikahan,
aktivitas dirumah, aktivitas diwaktu senggang serta status emosional.
Sumber koping
Setiap individu memiliki strategi koping yang berbeda dalam menghadapi nyeri. Strategi tersebut dapat
dipengaruhi oleh pengalaman nyeri sebelumnya atau pengaruh agama atau budaya.
Respon afektif
Respon afektif klien terhadap nyeri bervariasi, bergantung pada situasi, derajat, dan durasi nyeri,
interpretasi tentang nyeri, dan banyak factor lainnya. Perawat perlu mengkaji adanya perasaan ansietas,
takut, lelah, depresi, atau perasaan gagal pada klien.
OBSERVASI RESPON PERILAKU DAN FISIOLOGIS
Respon non verbal yang bisa dijadikan indicator nyeri. Salah satu yang paling utama adalah ekspresi
wajah.
Perilaku seperti menutup mata rapat-rapat atau membukanya lebar-lebar, menggigiti bibir bagian bawah,
dan seringai wajah dapat mengindikasikan nyeri.
Selain ekspresi wajah, respon perilaku lain yang dapat menandakan nyeri adalah vokalisasi (misalnya
erangan, menangis, berteriak), imobilisasi bagian tubuh yang mengalami nyeri, gerakan tubuh tanpa
tujuan (misalnya menendang-nendang, membolak-balikan tubuh diatas kasur), dll.
Sedangkan respon fisiologis untuk nyeri bervariasi, bergantung pada sumber dan durasi nyeri. Pada awal awitan nyeri akut, respon fisiologis dapat meliputi peningkatan tekanan darah, nadi, dan
pernafasan, diaphoresis, srta dilatasi pupil akibat terstimulasinya system saraf simpatis. Akan tetapi, jika nyeri berlangsung lama, dan saraf simpatis telah beradaptasi, respon fisiologis
tersebut mungkin akan berkurang atau bahkan tidak ada. Karenanya, penting bagi perawat untuk mengkaji lebih dari satu respon fisiolodis sebab bisa jadi respon tersebut merupakan indicator yang buruk untuk nyeri.
PENETAPAN DIAGNOSIS
Menurut NANDA ( 2009-2011 ), diagnosis keperawatan untuk klien yang mengalami nyeri:
PATOFISIOLOGI NYERI DADA
Nyeri dada merupakan salah satu keluhan yang paling banyak ditemukan di klinik. Salah satu bentuk nyeri dada yang paling sering ditemukan adalah angina pektoris yang merupakan gejala penyakit jantung koroner dan dapat bersifat progresif serta menyebabkan kematian, sehingga jenis nyeri dada ini memerlukan pemeriksaan yang lebih lanjut dan penanganan yang serius.
Angina terjadi akibat miokard mengalami iskemia. Iskemik miokard terjadi bila kebutuhan oksigen miokard tidak dapat dipenuhi oleh aliran darah koroner. Pada penyakit jantung koroner aliran darah ke jantung akan berkurang karena adanya penyempitan/obstruksi pembuluh darah koroner oleh proses atherosklerosis.
Nyeri yang timbul berasal dari persarafan eferen viseral yang terangsang selama iskemik miokard. Akan tetapi korteks serebral tidak dapat menentukan apakah nyeri berasal dari miokard karena rangsangan saraf melalui medula spinalis T1-T4 yang juga merupakan jalannya rangsangan saraf sensoris dari sistem somatis yang lain. Maka dari itu, anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap sangat membantu dalam menentukan etiologi dari nyeri dada yang dialami pasien.
ALGORITMA NYERI DADA
KLASIFIKASI NYERI DADA
A. Nyeri dada pleuritik
Nyeri dada pleuritik biasa lokasinya posterior atau lateral. Sifatnya tajam dan seperti ditusuk. Bertambah nyeri bila batuk atau bernafas dalam dan berkurang bila menahan nafas atau sisi dada yang sakit digerakan. Nyeri berasal dari dinding dada, otot, iga, pleura perietalis, saluran nafas besar, diafragma, mediastinumdan saraf interkostalis.
Nyeri dada pleuritik dapat disebakan oleh :
Efusi pelura akibat infeksi paru, emboli paru, keganasan atau radang subdiafragmatik Pneumotoraks Penumomediastinum
B. Nyeri dada non pleuritik
Nyeri dada non-pleuritik biasanya lokasinya sentral, menetap atau dapat menyebar ke tempat lain. Paling sering disebabkan oleh kelainan di luar paru.
1. Kardial
a. Iskemik miokard akan menimbulkan rasa tertekan ataunyeri substernal yang menjalar ke aksila dan turun ke bawah ke bagian dalamlengan terutama lebih sering ke lengan kiri. Rasa nyeri juga dapat menjalar ke epigastrium, leher, rahang, lidah, gigi, mastoid dengan atau tanpa nyeri dada substernal. Nyeri disebabkan karena saraf eferan viseral akan terangsang selamaiekemik miokard, akan tetapi korteks serebraltidak dapat menentukan apakahnyeri berasal sari miokard. Karena rangsangan saraf melalui medula spinalis T1-T4 yang juga merupakan jalannya rangsangan saraf sensoris dari sistemsomatis yang lain. Iskemik miokard terjadi bila kebutuhan oksigen miokard tidak dapat dipenuhi oleh aliran darah koroner. Pada penyakit jantung koroner aliran darah ke jantung akan berkurang karena adanya penyempitan pembuluh darah koroner.
b. Prolaps katup mitral dapat menyebabkan nyeri dada prekordinal atau substernal yang dapat berlangsung sebentar maupun lama. Adanya murmur akhir sisttolik dan midsistolik-click dengan gambaran echokardiogramdapat membantu menegakan diagnosis.
c. Stenosisaorta berat atau substenosis aorta hipertrofi yang idiopatik juga dapat menimbulkan nyeri dada iskemik.
2. Perikardial
Saraf sensoris untuk nyeri terdapat pada pericardium parietalis di atas diafragma. Nyeri perikardial lokasinya di daerah sternal dan area preokordinal, tetapi dapat menyebar ke epigastrium, leher, bahu dan punggung. Nyeri bisanya seperti ditusuk dan timbul pada waktu menarik nafas dalam, menelan, miring atau bergerak. Nyeri hilang bila penderita duduk dan berdandar ke depan. Gerakan tertentu dapat
menambah rasa nyeri yang membedakannya dengan rasa nyeri angina. Radang perikardial diafragma lateral dapat menyebabkan nyeri epigastrum dan punggung seperti pada pancreatitis atau kolesistasis.
3. Aortal
Penderita hipertensi, koartasio aorta, traumadinding dada merupakan resiko tinggi untuk pendesakan aorta. Diagnosa dicurigai bila rasa nyeri dada depan yang hebat timbul tiba- tiba atau nyeri interskapuler. Nyeri dada dapat menyerupai infark miokard akan tetapi lebih tajam dan lebih sering menjalar ke daerah interskapuler serta turun ke bawah tergantung lokasi dan luasnya pendesakan.
4. Gastrointestinal
Refluks geofagitis, kegansan atauinfeksi esofagus dapat menyebabkan nyeri esofageal. Nyeri esofageal lokasinya ditengah, dapat menjalar ke punggung, bahu dan kadang–kadang ke bawah ke bagian dalam lengan sehingga seangat menyerupai nyeri angina. Perforasi ulkus peptikum, pankreatitis akutdistensi gasterkadang –kadang dapat menyebabkan nyeri substernal sehingga mengacaukan nyeri iskemik kardinal. Nyeri seperti terbakar yang sering bersama – sama dengan disfagia dan regurgitasi bila bertambah pada posisi berbaring dan berurang dengan antasid adalah khas untuk kelainan esofagus, foto gastrointestinal secara serial, esofagogram, test perfusi asam, esofagoskapi dan pemeriksaan gerakan esofageal dapat membantu menegakan diagnosa.
5. Muskuloskeletal
Trauma lokal atau radang dari rongga dada otot, tulang kartilago sering menyebabkan nyeri dada setempat. Nyeri biasanya timbul setelah aktivitas fisik, berbeda halnya nyeri angina yang terjadi waktu exercise. Seperti halnya nyeri pleuritik, nyeri dada dapat bertambah waktu bernafas dalam. Nyeri otot juga timbul pada gerakan yang berputar sedangkan nyeri pleuritik biasanya tidak demikian.
6. Fungsional
Kecemasan dapat menyebabkan nyeri substernalatau prekordinal, rasa tidak enak di dada, palpilasi, dispnea, using dan rasatakut mati. Gangguan emosi tanpa adanya kelainan objektif dari organ jantung dapat membedakan nyeri fungsional dengan nyeri iskemik miokard.
7. Pulmonal
Obstruksi saluran nafas atas seperti padapenderita infeksi laring kronis dapat menyebakan nyeri dada, terutama terjadi pada waktu menelan. Pada emboli paru akut nyeri dada menyerupai infark miokard akut dan substernal. Bila disertai dengan infark paru sering timbul nyeri pleuritik. Pada hipertensi pulmoral primer lebih dari 50%
penderita mengeluh nyeri prekordial yang terjadi pada waktu exercise. Nyeri dada merupakan keluhan utama pada kanker paru yang menyebar ke pleura, organ medianal atau dinding dada.
LO 02 . DDx BESERTA TANDA DAN GEJALA KLINIS MASING-MASING
Penyakit yang memiliki symptom chest pain :
1. Tension Pneumothorax : chest pain (90%), dyspnea (80%), anxiety, fatigue, or acute epigastric pain (a rare finding).
2. Acute Coronary Syndrome : Palpitations, Pain ( which is usually described as pressure, squeezing, or a burning sensation across the precordium and may radiate to the neck, shoulder, jaw, back, upper abdomen, or either arm ), Exertional dyspnea that resolves with pain or rest, Diaphoresis from sympathetic discharge, Nausea from vagal stimulation, Decreased exercise tolerance
3. Pneumonia : Chest pain that often feels worse when you cough or breathe in, Fast heartbeat, Feeling feeling very weak, Nausea and vomiting, fever, Diarrhea, cough, short of breath.
4. COPD : acute chest illness, Breathlessness, Wheezing5. Esophagitis : Heartburn, Retrosternal discomfort or pain, difficult of swallowing,
Nausea, vomiting, Fever, sepsis, Abdominal pain, Epigastric pain, weight loss (depends on chronicity and severity of underlying illness), Cough
6. Myocarditis : chest pain, fever, sweats, chills, and dyspnea
LO 03 . DEFINISI ACS
Sindrom koroner akut (ACS) mengacu pada spektrum gejala klinis mulai dari yang untuk segmen ST-elevasi miokard infark (STEMI), untuk gejala yang ditemukan di non-ST-segmen miokard infarkelevasi (NSTEMI) atau angina tidak stabil. Dalam hal patologi, ACS hampir selalu dikaitkan dengan pecahnya plak aterosklerosis dan trombosis parsial atau lengkap dari arteri infarct terkait (sumber:medscape.com)
Sindrom koroner akut adalah istilah yang digunakan untuk setiap kondisi yang terjadi secara tiba-tiba, berkurangnya aliran darah ke jantung. Sindrom koroner akut dapat menggambarkan nyeri dadaAnda merasa selama serangan jantung, atau nyeri dada Anda merasa saat Anda sedang beristirahat atau melakukan aktivitas fisik ringan (angina tidak stabil). Sindrom koroner akut sering didiagnosis di ruang gawat darurat atau rumah sakit.
Sindrom koroner akut dapat diobati jika didiagnosis dengan cepat. Akut perawatan sindrom koroner bervariasi, tergantung pada, Anda gejala tanda-tanda dan kondisi kesehatan secara keseluruhan. (sumber:mayoclinic)
LO 04 . HIPERTENSI SEBAGAI FAKTOR RESIKO ACS
Jika pembuluh darah menyempit dan mengeras, jantung harus memompa lebih keras untuk mengalirkan darah. Jantung adalah sebuah massa otot, dan seperti massa otot lainnya kerja keras itu membuat jantung Anda membesar. Ventrikel kiri dapat menebal atau mengeras (hipertrofi ventrikel kiri). Hal ini tidak baik. Jantung Anda akan melar dan sejumlah darah yang seharusnya terpompa ke tubuh Anda tetap berada di dalam jantung. Akhirnya, jantung Anda mulai melemah karena tidak bisa terus-menerus bekerja keras untuk memompa darah. Ketika jantung tidak bisa lagi memompa darah dengan sempurna ke pembuluh-pembuluh arteri, Anda memiliki apa yang dikenal sebagai gagal jantung atau payah jantung.
Jika arteri jantung (arteri koroner) tersumbat sehingga tidak memungkinkan darah mengalir bebas ke dalam jantung Anda, Anda mengalami apa yang disebut sebagaipenyakit jantung koroner. Hipertensi meningkatkan risiko penyakit jantung koroner karena tekanan darah yang terus-menerus tinggi membebani dinding arteri. Seiring waktu, tekanan ekstra ini dapat merusak arteri. Pembuluh arteri yang terluka lebih mungkin untuk menyempit dan mengeras oleh deposit lemak (plak),dan menyebabkan rasa nyeri
LO 05. DM TIPE 2 SEBAGAI FAKTOR RESIKO ACS
Awal terjadinya lesi aterosklerosis yaitu berupa adanya perubahan-perubahan fungsi sel endotel. Disfungsi endotel dapat terjadi baik pada penderita DM tipe 2 dan juga pada penderita DM tipe 1 terutama bila telah terjadi manifestasi klinis mikroalbuminuria. Disfungsi endotel juga dapat terjadi pada individu dengan resistensi insulin (pasien obese) atau yang mempunyai risiko tinggi untuk menderita DM tipe 2 (toleransi glukosa terganggu). Pada penderita DM, risiko payah jantung kongestif meningkat 4 sampai 8 kali. Peningkatan risiko ini tidak hanya disebabkan karena penyakit jantung iskemik. Dalam beberapa tahun terakhir ini diketahui bahwa diabetes dapat mempengaruhi otot jantung secara independen selain melalui keterlibatan aterosklerosis dini arteri koroner yang menyebabkan penyakit jantung iskemik
Lesi aterosklerosis pada pasien DM dapat terjadi akibat:
1. Hiperglikemia kronik menyebabkan disfungsi endotel melalui:
Hiperglikemia kronik menyebabkan glikosilasi non enzimatik dari protein dan makromolekul seperti DNA, yang akan mengakibatkan perubahan sistem antigenik dari protein dan DNA. Hal ini akan menyebabkan perubahan tekanan intravaskular akibat gangguan keseimbangan Nitrat Oksida (NO) dan prostaglandin.
Overekspresi growh factors meningkatkan proliferasi sel endotel dan otot polos pembuluh darah, sehingga terjadi neovaskularisasi.
Terjadinya stres oksidatif dan peningkatan oksidized lipoprotein, terutama small dense LDL-cholesterol (oxidized LDL) yang lebih bersifat aterogenik. Peningkatan kadar asam
lemak bebas dari keadaan hiperglikemia dapat meningkatkan oksidasi fosfolipid dan protein.
Hiperglikemi akan disertai tendensi protrombotik dan agregasi platelet.. DM akan disertai keadaan protrombotik, yaitu perubahan-perubahan proses trombosis dan fibrinolisis. Hal ini disebabkan oleh adanya resistensi insulin. Peningkatan fibrinogen serta aktivitas faktor VII dan PAI-I dalam plasma maupun plak aterosklerotik san menyebabkan penurunan urokinase dan menyebabkan agregasi platelet. Terjadinya proteolisis pada daerah fibrous cap dari plak yang menunjukkan peningkatan aktivasi sel T dan makrofag akan memicu terjadinya ruptur plak yang menyebabkan terjadinya sindrom koroner akut
Keadaan hiperglikemi secara langsung akan menyebabkan peningkatan produksi ROS.Reactive Oxygen Species (ROS) akan merangsang oksidasi LDL membentuk oxidized LDL (ox-LDL) yang tidak dikenal oleh reseptor LDL, akan ditangkap oleh makrofag sehingga akan membentuk sel-sel busa dan plak aterosklerosis. Radikal superoksida pada DM dapat mengakibatkan berbagai kerusakan melalui pembentukan Advanced Glycation End Products (AGEs), jalur poliol, jalur heksosamin dan Protein Kinase C (PKC) yang pada akhirnya menimbulkan komplikasi mikro dan makrovaskular.
2. Dislipidemia dapat menimbulkan stres oksidatif, terjadi akibat gangguan metabolisme lipoprotein yang disebut lipid triad, meliputi:
Peningkatan kadar VLDL atau trigliserida Penurunan kadar kolesterol HDL Terbentuknya small dense LDL yang lebih bersifat aterogenik
Hal tersebut akan mengurangi cadangan antioksidan alamiah. Modified lipoprotein akan mengalami retensi di dalam tunica intima yang memicu terjadinya aterogenesis.
Terjadi Peningkatan pembentukan kompleks imun yang mengandung modified lipoprotein tinggi kadar kompleks imun yang mengandung modified LDL akan meningkatkan resiko komplikasi makrovaskuler pada penderita diebetes melitus Makrofag pun teraktivasi TNF menyebabkan up regulasi sintesis C-reactive protein(ditemukan pada penderita resistensi insulin) menyebabkan timbulnya atherosklerosis + proses rupturnya plak atherosklerosis dan komplkasi kardiovaskuler
Terjadi peningkatan dari berbagai proses yang mengaktivasi makrofagpelepasan sitokin+growth factors pada DM meningkatkan sintesis platelet activating factor, merangsang lipolisis, ekspresi aktivitas prokoagulan di dalam sel endotel proses lesi awal atherosklerosis
LO 06 . KURANGNYA AKTIFITAS FISIK SEBAGAI FAKTOR RESIKO ACS
Sepertiga orang dewasa di dunia tidak aktif melakukan aktivitas fisik, dan gaya hidup bermalasan telah membunuh sekitar lima juta orang setiap tahunnya. Para remaja bahkan lebih mengkhawatirkan, di mana empat dari lima remaja berusia 13 hingga 15 tahun rupanya tidak cukup bergerak atau melakukan aktivitas. Kurangnya aktivitas fisik menyebabkan sekitar enam persen kasus penyakit jantung koroner.
Kurangnya aktifitas fisik merupakan faktor resiko yang dapat diubah (modifiable), atau minimal bisa diatur. Aktifitas fisik yang dimaksud salah satunya adalah olahraga yang teratur dan terukur. Olahraga yang dianjurkan adalah olahraga yang bersifat aerobik. Adapula pola olahraga yang dianjurkan adalah aktivitas latihan fisik selama 30 menit sebanyak lima kali dalam seminggu atau 20 menit aktivitas berat sebanyak tiga kali dalam sepekan atau kombinasi latihan fisik dari keduanya.
LO 07 . MEROKOK SEBAGAI FAKTOR RESIKO ACS
Zat nikotin yang terdapat dalam rokok dapat menyebabkan penyakit kardiovaskuler, antara lain :
Menurunkan kadar oksigen yang menuju jantung Meningkatkan BP dan HR Meningkatkan blood clotting dan meningkatkan kemungkinan terjadinya gumpalan
platelet sehingga bisa menghambat aliran darah menuju jantung serangan jantung Merusak lapisan sel yang melapisi arteri koroner dan pembuluh darah
lainnya mempercepat terjadinya proses aterosklerosis (arteri menjadi keras dan sempit sehingga mengurangi pasokan oksigen dan darah menuju jantung yang berujung pada angina)
LO 08. DIET TINGGI LEMAK SEBAGAI FAKTOR RESIKO ACS
Gulai kambing mengandung banyak lemak LDL, jika terus-menerus dikonsumsi akan mengakibatkan kadar LDL yang tinggi sehingga lemak HDL tidak dapat mengimbanginya. Jadi kadar LDL tinggi tetapi HDL rendah. LDL merupakan kolesterol jahat karena dapat menyusup ke dinding pembuluh darah yang menjadi awal mulanya terjadi plak.
Penimbunan plak erat hubungannya dengan atherosclerosis. Proses atherosclerosis sebenarnya diawali ketika masih kanak-kanak dan manifest secara klinis pada usia menengah dan lanjut. Proses ini terutama mengenai arteri-arteri berukuran sedang. Dalam pertumbuhannya lesi-lesinya dibagi menjadi:
Fatty streak: lesi ini tumbuh pada masa kanak-kanak makroskopik berbentuk bercak berwarna kekuningan yang terdiri dari sel yang disebut foam cells. Sel-sel ini adalah sel-sel otot polos dan makrofag yang mengandung lipid, termasuk dalam bentuk ester kolesterol.
Fibrous plaque: lesi ini berwarna keputihan dan sudah menonjol kedalam lumen arteri. Fibrous plaque berisi sejumlah besar sel-sel otot polos dan makrofag yang berisi kolesterol dan ester kolesterol, disamping jaringan kolagen dan jaringan fibrotic, proteoglikan dan timbunan lipid dalam sel-sel jaringan ikat. Fibrous plaque biasanya memiliki fibrous cap yang terdiri dari otot-otot polos dan sel-sel kolagen. Di bagian bawah fibrous plaque terdapat daerah nekrosis dengan debris dan timbunan ester kolesterol.
Complicated lesion: lesi ini merupakan bentuk lanjut dari atheroma, yang disertai kalsifikasi, nekrosis, trombosi, ulserasi. Dengan membesarnya atheroma, dinding arteri menjadi lemah, sehingga menyebabkan oklusi arteri.
Guguran plak atherosclerosis meninggalkan luka pada dinding pembuluh darah.
FAKTOR UTAMA:
1. Hipertensi2. Dyslipidemia3. Diabetes4. Perokok
FAKTOR LAINNYA:
1. Kurangaktifitasfisik2. Stress3. Kadar asamuratdiatas normal (hiperuricemia)
LO 09. FAKTOR RESIKO LAIN ACS
Faktor risiko tidak dapat diintervensi meliputi :
1. Usia
Usia memiliki pengaruh dominan, angka kematian akibat penyakit jantung iskemik meningkat setiap dekade bahkan sampai lanjut usia. Penyempitan biasanya belum nyata secara klinis sampai
usia pertengahan atau lebih, saat lesi di arteri mulai mencederai organ. Antara usia 40 dan 60 tahun, insiden infark miokardium meningkat lima kali lipat.
2. Jenis kelamin
Bila faktor lain setara, laki-laki jauh lebih rentan terkena penyempitan pembuluh darah dan akibatnya dibandingkan dengan perempuan. Infark miokardium dan penyulit lain aterosklerosis jarang pada perempuan pramenopause, kecuali mereka memiliki predisposisi diabetes, hiperlipidemia atau hipertensi berat. Namun, setelah menopause insiden penyakit terkait aterosklerosis meningkat, mungkin akibat menurunnya kadar estrogen alami, memang frekuensi infark miokardium pada kedua jenis kelamin setara pada usia 70 sampai 80-an tahun. Terapi sulih hormon pascamenopause sedikit banyak memberi perlindungan terhadap serangan aterosklerosis.
3. Riwayat keluarga
Predisposisi familial terhadap aterosklerosis dan penyakit jantung iskemik kemungkinan besar bersifat poligenik. Pada sebagian kasus, predisposisi tersebut berkaitan dengan berkumpulnya sekelompok faktor resiko lain, misalnya hipertensi atau diabetes, sedangkan pada yang lain, predisposisi metabolisme lipoprotein yang menyebabkan kadar lemak darah sangat tinggi, seperti hiperkolesterolemia familial (Robbins, 2007).
Faktor risiko yang dapat diintervensi :
1. Merokok
Merokok adalah faktor risiko yang sudah terbukti pada laki-laki dan diperkirakan merupakan penyebab peningkatan insiden dan keparahan aterosklerosis pada perempuan. Merokok satu bungkus atau lebih per hari selama beberapa tahun dapat meningkatkan angka kematian akibat penyakit jantung iskemik sampai 200%. Berhenti merokok mengurangirisiko secara bermakna.
2. Hipertensi
Hipertensi adalah faktor utama untuk aterosklerosis pada semua usia. Laki-laki berusia 45 sampai 62 tahun yang tekanan darahnya lebih dari 169/95 mmHg memperlihatkan peningkatan risiko penyakit jantung iskemik lebih dari 5 kali lipat dibandingkan dengan mereka yang tekanandarahnya 140/90 mmHg atau kurang. Baik tingkat sistol maupun diastol, sama
pentingnya dalam meningkatkan risiko. Terapi antihipertensi mengurangi insiden penyakit terkait aterosklerosis, terutama stroke dan penyakit jantung iskemik (Robbins, 2007).
3. Diabetes mellitus
Diabetes mellitus memicu hiperkolesterolemia dan peningkatan mencolok predisposisi terjangkit aterosklerosis. Bila faktor lain setara, insiden infark miokardium setara , insiden infark mikardium dua kali lebih besar pada pengidap diabetes daripada yang tidak mengidap. Juga terjadi pengingkatan risiko terkena stroke dan, bahkan yang lebih mencolok mungkin ateroskelrosis di ekstremitas bawah.
4. Hiperkolesterolemia
Hiperlipidemia adalah fakor risiko utama untuk aterosklerosis. Sebagian besar bukti secara spesifik menunjukkan hiperkolesterolemia. Komponen utama serum total yang menyebabkan peningkatan risiko adalah kolesterol lipoprotein densitas rendah (LDL). Sebaliknya peningkatan kadar lipoprotein densitas tinggi (HDL) menurunkan risiko. HDL diperkirakan berperan memobilisasi kolesterol dan atheroma yang sudah ada memindahkan ke hati untuk diekskresikan ke empedu, sehingga molekul ini disebut „kolesterol baik‟. Oleh karena itu, perhatian banyak dicurahkan pada metode farmakologik, dietetik dan perilaku yang menurunkan LDL, dan meningkatkan HDL serum. Olahraga dan konsumsi etanol dalam jumlah moderate meningkatkan kadar HDL, sedangkan obesitas dan merokok menurunkannya. (Robbins, 2007)
LO 10 . PATOFISIOLOGI UA, NSTEMI, & STEMI
Proses pembentukan plak yang rapuh.
1. Arteri normal2. Inisiasi lesi endotel. Dimana sel endotel teraktivasi oleh beberapa faktor resiko yang
akhirnya mengekspresikan molekul adhesi (ICAM-1, VCAM-1, Selectin) dan kemoatraktan yang menarik sel leukosit inflamasi seperti monosit dan limfosit T. Lipid ekstraseluler juga mulai terakumulasi pada bagian intima pada fase ini.
3. Evolusi ke fase fibrofatty. Monosit yang datang ke dinding arteri berubah menjadi makrofag dan mengekspresikan reseptor scavenger yang membawa lipoprotein yang termodifikasi. Makrofag menjadi foam cell yang sarat lipid yang menyelimuti lipoprotein yang telah termodifikasi. Leukosit dan sel-sel dinding vaskuler sekitar menyekresikan sitokin inflamasi (IL-6, IL-9, TNF-α) dan faktor pertumbuhan yang menambah kedatangan leukosit dan mengakibatkan sel otot polos bermigrasi dan proliferasi.
4. Selama lesi terus terbentuk, mediator inflamasi mengakibatkan ekspresi faktor jaringan, pro-koagulan yang poten dan matrix-degrading proteinase yang melemahkan fibrosa penutup plak.
5. Fibrosa penutup ruptur karena proses pelemahan, faktor koagulasi pada darah dapat menambah akses untuk menjadi trombogenik, faktor jaringan yang mengandung inti lipid, menyebabkan trombosis pada plak atherosclerosis non-oklusi. Jika keseimbangan antara mekanisme protrombotik dan fibrinolitik pada tempat tersebut dan pada waktu tertentu kurang baik, sumbatan trombus bisa saja menyebabkan terjadinya ACS.
6. Saat trombus di serap, produk yang berasosiasi dengan trombosis seperti trombin, dan mediator yang dilepaskan dari platelet yang mengaami degranulasi, dapat menyebabkan respon penyembuhan yang menyebabkan meningkatnya akumulasi kolagen dan pertumbuhan sel otot polos. Pada kasus ini, lesi fibrofatty dapat brubah menjadi jaringan fibrosa dan kadang plak yang terkalsifikasi yang mengakibatkan stenosis dan menunjukkan gejala angina pectoris yang stabil.
7. Pada beberapa kasus, trombus penyumbat muncul bukan dari fkraktur dari fibrosa penutup, tapi dari erosi superfisiallapisan endotel. Yang menghasilkan trombus mural, yang deenden pada keseimbangan protrombotik dan fibrinolitik lokal yang bisa menyebabkan myocard infarc. Erosi superfisial tidak selalu terjadi setelah penutup fibrosa ruptur. (Anderson et al., 2007)
Kumar et al., (2009) dua jenis trombus dapat membentuk: gumpalan kaya platelet (disebut sebagai gumpalan putih) yang terbentuk di daerah gesekan tegangan tinggi dan hanya sebagian menyumbat arteri, atau gumpalan kaya fibrin (disebut sebagai gumpalan merah) yang adalah hasil dari suatu aktivasi kaskade koagulasi dan penurunan arus di arteri
Perbedaan patofisiologi UA, NSTEMI dan
UA NON STEMI STEMI
Masih terjadi Masih terjadi Sudah
STEMI
trombosis Belum
tersumbat penuh
Hanya iskemia Gumpalan
putih
(manajemennya mencegah trombosis lebih lanjut dan untuk memungkinkan fibrinolisis endogen untuk melarutkan trombus dan mengurangi tingkat koroner stenosis. Revaskularisasi sering digunakan untuk meningkatkan aliran darah dan mencegah reoklusi atau ischemia berulang)
trombosis Belum
tersumbat penuh
Sudah ada nekrosis
Gumpalan putih
(manajemennya mencegah trombosis lebih lanjut dan untuk memungkinkan fibrinolisis endogen untuk melarutkan trombus dan mengurangi tingkat koroner stenosis. Revaskularisasi sering digunakan untuk meningkatkan aliran darah dan mencegah reoklusi atau ischemia berulang)
tersumbat penuh
Sudah ada nekrosis
Gumpalan merah
(Arteri infarct terkait biasanya benar-benar tersumbat, dan reperfusi farmakologis atau kateter berbasis langsung adalah pendekatan awal, dengan tujuan memperoleh darah normal koroner flow. Terapi lain, seperti anti-iskemik dan menurunkan lipid, digunakan dalam semua kasus untuk menstabilkan plak dalam jangka panjang.
LO 11 . TANDA KLINIS UA, NSTEMI, & STEMI
UNSTABLE ANGINA
Faktor Presipitasi
Tidak begitu jelas, karena serangan sakit dada dapat timbul, baik pada waktu istirahat, waktu tidur, atau aktivitas yang ringan dan dibutuhkan nitrogliserin yang lebih banyak untuk menghilangkan angina ini.
Lama Sakit Dada
lamanya sakit dada jauh lebih lama daripada angina biasa, bahkan dapat sampai beberapa jam. frekuensi angina jauh lebih sering dibandingkan angina biasa.
Elektrokardiogram
pada pemeriksaan EKG sering ditemukan depresi segmen ST dibanding angina pektoris yang stabil. tetapi kelainan EKG pada angina yang tidak stabil masih reversible.
STEMI
Keluhan Utama
nyeri dada sentral yang berat, seperti rasa terbakar, ditindih benda berat, seperti ditusuk, rasa diperas, tertekan yang berlangsung >=20 menit, tidak berkurang dengan pemberian nitrat.
Gejala yang Menyertai
berkeringat, pucat, mual, sulit bernapas, cemas dan lemas
Pada Manula
bisa kolaps atau bingung
Pada Diabetes
perburukan status metabolik atau gagal jantung bisa tanpa disertai nyeri dada.
NON STEMI
Keluhan
nyeri dada dengan lokasi khas substernal atau kadang kala di epigastrium dengan ciri seperti diperas, perasaan seperti diikat, perasaan terbakar, nyeri tumpul, rasa penuh, berat atau tertekan.
LO 12 . PEMERIKSAAN FISIK PADA UA, NSTEMI, & STEMI
Pemeriksaan fisik rinci harus dilakukan untuk mengidentifikasi atau mengecualikan kondisi yang berhubungan dengan angina, bukti adanya penyakit non-koroner aterosklerotik, dan tanda-tanda lainnya.
Pemeriksaan yang dilakukan:
Tekanan darah Heart rate Mendengarkan suara jantung BMI
Yang harus di perhatikan untuk STEMI Angina pectoris: xanthelasma, xanthomas, earlobe crease, arcus senilis, eksudat retina, bruit femoral - yang menunjukkan adanya faktor risiko CAD. Tanda-tanda signifikan co-morbid kondisi seperti gagal jantung, anemia, diabetes, dan insufisiensi ginjal penting untuk risiko stratifikasi dan keputusan pengobatan. Pemeriksaan fisik juga harus mencakup penilaian indeks massa tubuh (BMI), lingkar pinggang dan rasio pinggang pinggul untuk membantu dalam evaluasi dari sindrom metabolik.
Yang di perhatikan untuk NSTEMI dan UA: Diseksi aorta, Bocor atau pecah aneurisma toraks, Perikarditis dengan tamponade, Emboli paru, Pneumotoraks. Bukti disfungsi ventrikel kiri (hipotensi, respiratory crackles atau gallop S3) membawa prognosis buruk. Kehadiran karotid bruit atau penyakit pembuluh darah perifer mengidentifikasi pasien dengan tinggi kemungkinan CAD (Coronary Artery Disease) signifikan. Pemeriksaan fisik juga harus mencakup penilaian indeks massa tubuh (BMI), lingkar pinggang dan rasio pinggang pinggul untuk membantu dalam evaluasi dari sindrom metabolik.
LO 13 . PEMERIKSAAN EKG PADA UA, NSTEMI, & STEMI
UA : Normal ATAU ST depresi ATAU T inversi ATAU keduanya
NSTEMI : sda
STEMI : ST elevasi DAN/ATAU abnormal Q-waves
UA dan NSTEMI memiliki gambaran EKG yang hampir sama, sehingga diperlukan pemeriksaan cardiac marker untuk pembeda. UA dan NSTEMI menjadi satu kelompok yakni NSTEACS. Gambaran ST depresi ataupun T inverse masih belum terlalu dimengerti bagaimana mekanismenya, namun diduga karena adanya aktivitas elektrik yang abnormal di antara jaringan yang iskemia dengan jaringan yang normal. Q waves abnormal tidak muncul pada NSTEACS karena masih ada jaringan myocard yang sehat dan dapat menghantarkan impuls sehingga ventrikel masih dapat depolarisasi. NSTEMI juga disebut sebagai ‘non-Q wave MI’, ‘partial thickness MI’, dan ‘subendocardial MI’. STEMI disebut juga ‘Q-waves MI’, ‘fully thickness MI’, dan ‘transmural MI’.
ST depresi bermakna bila : > 1 mm di bawah garis dasar PT di titik J (akhir kompleks QRS dan permulaan segmen ST)
ST elevasi bermakna bila : Letaknya di dua sadapan yang bersebelahan, Amplitudonya lebih dari 1 mV, Keluhan nyeri dada khas
Area yang terkena berdasarkan lead :
Anterior : V3 dan V6
Septal : V1 dan V2
Lateral : I, aVL, V5, V6
Inferior : II, III, aVF
VIDEO www.ecgteacher.com
LO 14. PEMERIKSAAN PENUJANG LAIN NON-EKG PADA UA, NSTEMI, & STEMI
Pemeriksaan laboratorium membantu klinik melengkapi syarat-syarat diagnostic pada MCI terutama dalam stadium permulaan, dapat dibagi dalam 3 golongan :
1. Cardiac Imaging2. Pemeriksaan darah rutin3. Pemeriksaan enzim jantung4. Pemeriksaan laboratorium lain untuk mencari keadaan/penyakit lain yang sering
menyertai MCI.
Cardiac Imaging
Kepentingannya adalah untuk memperoleh gambaran anatomis jantung dan perfusi myocard yang abnormal. Ada 4 yaitu:
Echocardiography Coronary angiography CT angiogram Magnetic Resonance Imaging (MRA)
1. Echocardiography
Digunakan untuk visualisasi ukuran, gerakan, dan kondisi dari ruang jantung.
Pada ACS digunakan untuk mengamati kerja ventrikel dan melihat apakah ada pembentukan thrombus di dalam ruang jantung, namun lebih banyak digunakan untuk melihat komplikasi.
2. Coronary angiography
Teknik invasive menggunakan catheter untuk melihat lokasi penyumbatan thrombus. Biasanya digunakan untuk melakukanoperasi bypass coroner atau angioplasty.
3. CT angiography
Menyuntikkan contrast lalu dilihat dengan multiple slice X-ray untuk melihat gambaran lokasi atherosclerosis dan okklusi thrombus pada coroner.
4. MRA
Sama dengan CT angio namun teknik ini lebih aman karena tanpa radiasi dan gambaran untuk vascular lebih baik.
Pemeriksaan Darah Rutin
Jumlah leukosit dalam darah perifer meninggi. Lambat laun jumlah leukosit menurun pada hari-hari berikutnya.
Laju endap darah naik, yang pada hari-hari berikutnya lebih meningkat. Namun, kelainan ini tidak khas dan tidak selalu timbul.
Pemeriksaan elektrolit terutama monitoring ion kalium dan magnesium karena pada penderita ACS penurunan dari 2 elektrolit tersebut dapat menyebabkan ventricular arrhythmia.
Cardiac Marker
Enzim-enzim jantung yang bermanfaat dalam diagnosis dan pemantauan MCI di antaranya :
SGOT/AST kadarnya naik sekitar 2-4 jam setelah mulainya MCI dan umumnya mencapai kadar normal pada hari ke-2 (bila tidak ada penyulit). Tidak spesifik karena juga meningkat pada penyakit paru, hepar dan otot rangka.
LDH kadarnya naik dalam waktu 12-24 jam setelah terjadinya MCI, mencapai kadar tertinggi pada hari ke-4 dan menjadi normal kembali dalam waktu 8-12 hari. Isoenzim terpenting adalah α HBDH (LDH 1).
CK/CPK kadarnya naik sekitar 6 jam setelah berjangkitnya MCI dan pada kasus-kasus tanpa penyulit mencapai kadar tertinggi dalam waktu 24 jam untuk menjadi normal kembali dalam waktu 72-96 jam. Terdapat 3 isoenzim CK : MM (ototskelet), MB (miokardium merupakan 5-15% dari CPK total), dan BB (otak).
CK-MB isoenzim CK yang spesifik untuk sel otot jantung, karena itu kenaikan aktivitas CK-MB lebih mencerminkan kerusakan otot jantung. Kadar CK-MB seperti CK (total) mulainaik 6 jam setelah mulainya MCI, mencapai kadar tertinggi lebih kurang 12 jam kemudian dan biasanya lebih cepat mencapai kadar normal daripada CPK, yaitu 12-48 jam. Sensitivitas tes CK-MB sangat baik (sekitar 95%) dengan spesifitas agak rendah. Untuk
meningkatkan ketelitian penentuan diagnosis MCI dapat digunakan rasio antara CK-MB terhadap CK total. Apabila kadar CK-MB dalam serum melampaui 6-10% dari CK total, dan tes-tes tersebut diperiksa selama 36 jam pertama setelah onset penyakit maka diagnosis MCI dapat dianggap hamper pasti.
Troponin dibedakan 3 tipe yaitu : C, I, dan T di mana I dan T lebih spesifik untuk otot jantung. Troponin adalah protein spesifik berasal dari miokard (otot jantung), kadarnya dalam darah naik bila terjadi kerusakan otot jantung. Kadar troponin dalam darah mulai naik dalam waktu 3-12 jam setelah permulaan MCI, selanjutnya meningkat terus dan mencapai puncak setelah 24-48 jam, kemudian kembali normal setelah 5-14 hari. Tes troponin sebaiknya disertai dengan pemeriksaan lain seperti CK-MB, CK, CRP, hs-CRP, dan AST.
Marker Detection Peak Disappearance
Myoglobin
CK-MB mass
Total CK
cTnT
cTnI
1 – 4 h
3 – 12 h
4 – 8 h
4 – 12 h
4 – 12 h
6 – 7 h
12 – 18 h
12 – 30 h
12 – 48 h
12 – 24 h
24 h
2 – 3 days
3 – 4 days
5 – 15 days
5 – 7 days
Untuk pemeriksaan laboratorium lain yang digunakan dalam mencari keadaan/penyakit lain sebagai penyerta MCI di antaranya :
Gula darah post prandial atau bila perlu tes toleransi glukosa Pemeriksaan profil lipid (kolesterol total, trigliserida, HDL kolesterol, LDL
kolesterol) Pemeriksaan faal ginjal bila ada hipertensi.
1. STEMI – Cardiac Enzyme meningkat
2. NSTEMI – ada peningkatan Cardiac Enzyme
3. UA – Tidak ada peningkatan Cardiac Enzyme
LO 15 . MANAJEMEN TERAPI UA, NSTEMI, & STEMI
UA
1. Antiplatelet
Aspirin : Mencegah trombus yang bisa berkaitan dengan MI Clopidogrel : Menghambat Adenosine Diphosphate berikatan dengan
Atorvastatin : 60% mereduksi LDL-C. Punya half-life yang lebih panjang dibanding statin yang lain
Pitavastatin : Indikasi untuk hiperlipidemia primer atau campuran. Pravastatin : Menghambat HMG CoA reduktase
3. Beta Adrenergic Blocking Agents
Atenolol : Menghambat beta1 reseptor tanpa mengganggu beta 2. Propanolol : Nonselective beta-bloker yang lipophilic
4. Antikoagulan
Heparin : Mengkatalis efek antitrombin III. Menghambat klot
reakumulasi sehabis fibrinolisis
5. Trombin inhibitor
Bivalirudin : Digunakan untuk pasien dengan unstavle angina PTCA Desirudin : Inhibitor selektif dari free circulating and clot bound human trombin
6. Vasodilator
Nitrogliserin IV : Merelaksasi otot polos vaskular dengan menstimulasi produksi intracellular cyclic guanosine monophosphate
7. Angiotensin-Converting Enzyme inhibitor
Kaptopril : Mencegah konversi angiotensi I menjadi angiotensi II dan berfungsi sebagai vasokonstriktor
8. Cardiac Catheterization
Pasien dengan unstable angina dan klinis lain seperti shock kardiogenik, disfungsi ventikular kiri, akut mitral regurgitasi, unstable takiritmia, dianjurkan melakukan kateterisasi jantung.
9. Diet rendah kolesterol dan lemak tersaturasi serta rendah garam.
Prevensi
mengurangi rokok Munurunkan lemak kontrol hipertensi manajemen DM kontrol berat badan dan konseling nutrisi manajemen aktivitas dan lifestyle (menghindari cuaca dingin)
STEMI
Morphine (class I, level C)
Analgesia
Reduce pain/anxiety—decrease sympathetic tone, systmic vascular resistance and oxygen demand
Careful with hypotension, hypvolemia, respiratory dpression
Oxygen (2-4 liters/minute) (class I, level C)
Up to 70% of ACSpatient demonstrate hypoxemia
May limit ischemic myocardial damage by increasing oxygen delivery/reduce ST elevation
Nitroglycerin (class I, level B)
Analgesia—titrate infusion to keep patient pain free
Dilates coronary vessels—increase blood flow
Reduces systemic vascular resistance and preload
Careful with recent D (eectile dysfunction) meds, hypotension, bradycardia, tachycardia, RV infarction
Aspirin (160-325mg chewed & swallowed) (class I, level A)
Irreversible inhibition of platelet aggregation
Stabilize plaque and arrest thrombus
Reduce mortality in patients with STEMI
Careful with active gastroitestinal bleedng, hpersensitivity,Bleeding disorders
Beta-Blockers (class I, level A)
14% reduction in mortality risk at 7 days at 23% long term mortality reduction in STEMI
Approximate 13% reduction in risk of progression to MI in patients with threatening or evolving MI symptoms
Be aware of contraindications (CHF, Heart block, Hypotension)
Reassess for therapy as contraindications resolve
ACE-Inhibitors / ARB (class I, level A)
Start in patients with anterior MI, pulmonary congestio, LVEF < 40% inabsence of contraindication/hypotension
Start in first 24 hours
ARB as substitute for patients unable to use ACE-I
Heparin (class I, level C to class IIa, level C)
LMWH or UFH (max 4000u bolus, 1000u/hr)
Indirect inhibitor of thrombin
less supporting evidence of benefit inera of reperfusion
Adjunct to surgical revascularization and thrombolytic / PCI reperfusion
24-48 hours of treatment
Coordinate with PCI team (UFH preferred)
Used in combo with aspirin and/or other platelet inhibitors
Changing from one to the other not recommended
Heparin (class I, level C to class IIa, level C)
LMWH or UFH (max 4000u bolus, 1000u/hr)
Indirect inhibitor of thrombin
less supporting evidence of benefit in era of reperfusion
Adjunct to surgical revascularization and thrombolytic / PCI reperusion
24-48 hours of treatment
Coordinate with PCI team (UFH preferred)
Used in combo with aspirin and/or other platelet inhibitors
Changing from one to the other not recomended
Manajemen akut
Initial evaluation & stabilization Efficient risk stratification Focused cardiac care
NSTEMI
(High Risk)
Seharusnya diberikan penanganan yang agresif seperti aspirin, clopidogrel, unfranctionated heparin, low muscular weight heparin, intravenous platelet glycoprotein IIb/IIIa complex blocker (tirofiban, eftifibatide), beta blocker.
Goal : early revascularization
(Intermediate Risk)
Dengan cepat dilakukan evaluasi diagnstik dan pemeriksaan lebih lanjut untuk menentukan resiko kategori.
(Low Risk)
Follow Up untuk biomarker dan pemeriksaan klinis.
Dibeian juga medikamentosa seperti beta blocker, aspirin, unfranctionated heparin, LMWH, clopidogrel