SINUSITIS MAKSILARIS SINISTRA
Disusun oleh:
Mustika zeinia malinda (1102010188)Tiara anggun nurarto
(1102008253)Pembimbing:
Dr. Yose Rizal, SpTHT-KLKEPANITERAAN KLINIK THT
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SERANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
22 JULI 2015KATA PENGANTARAssalamualaikum Wr. Wb
Segala puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas
berkah dan karunia-Nya sehingga dapat menyelesaikan presentasi
kasus yang berjudul SINUSITIS MAKSILARIS SINISTRA sebagai salah
satu syarat untuk mengikuti ujian di kepaniteraan klinik SMF THT di
RSUD Serang.
Pada kesempatan kali ini, izinkan kami sebagai penulis untuk
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
kami untuk menyelesaikan presentasi kasus ini, terutama kepada
pembimbing saya Dr.Yose Rizal, Sp.THT-KL yang telah meluangkan
waktunya untuk membimbing kami. Terima kasih juga kami ucapkan
kepada keluarga kami yang selalu memberikan dukungan dan memotivasi
kami hingga saat ini, serta kepada teman-teman kami yang sedang
menjalani kepanitraan di RSUD Serang.
Kami menyadari bahwa penulisan pada presentasi kasus ini banyak
terdapat kekurangan. Oleh sebab itu kami mengharapkan saran serta
kritik yang dapat membangun dalam presentasi kasus ini guna untuk
perbaikan di kemudian hari. Semoga presentasi kasus ini dapat
berguna dan bermanfaat bagi kita semua baik sekarang maupun dihari
yang akan datang.
Serang, 22 juli 2015PenulisBAB IPRESENTASI KASUS
I. IDENTITAS
Nama
: Ny. ZUsia
: 48 Tahun Agama
: IslamJenis kelamin
: PerempuanAlamat
: Padarincang, PandeglangStatus
: Menikah
Pekerjaan
: Ibu rumah tanggaTanggal Periksa: 22 Juli 2015II. ANAMNESA
Keluhan utama : Keluar cairan yang dari kedua hidung terus
menerusKeluhan tambahan : - Bersin-bersin Nyeri kepala Demam
Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang ke poliklinik THT RSUD Serang dengan keluhan
sering keluar cairan yang berwarna putih kekuningan dari kedua
hidung yang menyebabkan pasien merasa meler dan mampet hingga
mengganggu aktifitas. Cairan yang keluar berwarna kekuningan dan
kadang-kadang berbau amis. Keluhan ini sudah dirasakan 2 tahun SMRS
dan semakin memberat sejak 1 minggu terakhir. Rasa lendir mengalir
ditenggorokan diakui oleh pasien. Rasa penuh di hidung diakui oleh
pasien. Keluhan disertai dengan bersin yang dirasakan sering 5 10x
/ hari. Selain itu pasien juga mengeluh nyeri kepala yang lebih
dirasakan pada pagi hari. Selain itu pasien juga merasa nyeri di
daerah hidung. Pasien juga merasakan demam yang hilang timbul tidak
menentu sejak tiga hari terakhir. Gangguan penciuman disangkal.
Pasien mengatakan kontrol ke dokter spesialis THT sejak satu tahun
terakhir.
Pasien mengatakan sebelumnya mempunyai riwayat sering bersin dan
meler sejak satu tahun yang lalu dan tidak mendapat terapi apapun.
Gangguan pendengaran, nyeri telinga, pusing berputar dan berdenging
disangkal. Nyeri menelan, sulit bicara dan adanya massa disangkal.
Keluhan sakit gigi dan disangkal, tetapi gigi berlubang diakui oleh
pasien. Keluhan keluar darah dari hidung disangkal.Riwayat penyakit
dahulu:
Rhinitis alergika sejak satu tahun yang lalu
Riwayat hipertensi disangkal Riwayat diabetes mellitus
disangkalRiwayat penyakit keluarga: Keluarga pasien menyangkal yang
mengalami penyakit serupaIII. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum: Sakit Sedang
Kesadaran
: Compos mentis. Tanda-tanda vital: T : 120 / 60 mmHg. N : 72 X/
mmt.
R : 24 X/ mmt. S : 36,3 C.
Status Lokalis : TELINGA
Bagian Telinga Telinga KananTelinga Kiri
Aurikula :
- Deformitas
- Hiperemis
- Edema(-)
(-)
(-)(-)
(-)
(-)
Daerah preaurikula :
- Hiperemis
- Edema
- Fistula
- Nyeri tekan(-)
(-)
(-)
(-)(-)
(-)
(-)
(-)
Daerah retroaurikula :
- Hiperemis
- Edema
- Fistula
- Nyeri tekan(-)
(-)
(-)
(-)(-)
(-)
(-)
(-)
CAE :
- Serumen
- Edema
- Hiperemis
- Furunkel
- Otore
- Granuloma
- Darah (-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
Membran timpani :
- Perforasi
- Cone of light(-)
(+)(-)
(+)
Gambar
HIDUNGRinoskopi Anterior Kavum Nasi DekstraKavum Nasi
Sinistra
MukosaEdema (-), hiperemi (-), nyeri tekan (+)Edema (-),
hiperemi (-), nyeri tekan (+)
Septum :
- Deviasi
- Deformitas
- HematomaMengarah ke sinistra(-)
(-)
Konka nasi media & inferior :
- Hipertrofi
- Hiperemis(-)
(+)(-)
(+)
Meatus nasi media & inferior
- Sekret kering- Polip- Darah(+)
(-)(-)(+)
(-)(-)
Gambar : SHAPE \* MERGEFORMAT
TENGGOROKAN
BagianKeterangan
Mukosa orofaringHiperemis (-), massa (-),
UvulaDitengah , hiperemis (-)
Palatum durum & palatum mole Hiperemis (-), massa (-)
Mukosa FaringHiperemis (-), edema (-),massa (-), granul (-),
ulkus (-)
Tonsil(T1 T1), kripta (-)
Gambar
Gigi : 87654321 12345678 87654321 12345678Keterangan :Missing :
6 supperior sinistraIII. RESUME
Pasien datang ke poliklinik THT RSUD Serang dengan keluhan
sering keluar cairan yang berwarna putih kekuningan dari kedua
hidung yang semakin memberat sejak satu minggu terakhir. Pasien
mengatakan sebelumnya mempunyai riwayat sering bersin dan meler
sejak satu tahun yang lalu. Dari pemeriksaan fisik didapatkan nyeri
tekan pada daerah sekitar hidung, concha media dan inferior
hiperemis dan terdapat sekret di kedua hidung.
SARAN
Dilakukan Pemeriksaan :
1. darah tutin (hemoglobin, hemotokrit, leukosit,
trombosit),
2. roentgen sinus paranasal / SPN, 3. konsul dokter gigiIV.
DIAGNOSIS KERJA
Sinusitis maksillaris sinistraV. PENATALAKSANAAN
Medikamentosa
Antibiotika:
Cefixime capsul 2 x 100 mg (5-7 hari)Analgetik: Asam mefenamat
tablet 3 x 500 mg
Dekongestan oral
Pseudoefedrin 60 mg + Triproliclin 2,5 mg 2x1
(tablet)Nonmedikamentosa (bedah)
SinusektomiPrognosa1. Quo ad vitam
: ad bonam
2. Quo ad functionam: ad bonam
3. Quo ad sanactionam: dubia ad bonamBAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Latar Belakang Sinusitis maksilaris kronis merupakan
penyakit yang sering ditemukan dalam praktek dokter sehari-hari,
bahkan dianggap salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di
seluruh dunia (Mangunkusumo & Soetjipto dalam Soepardi dkk,
2011), Sedangkan menurut Dorland (2000) sinusitis merupakan suatu
peradangan membran mukosa yang dapat mengenai satu ataupun beberapa
sinus paranasal.
Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang
sulit dideskripsikan karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap
individu. Ada empat pasang sinus paranasal, mulai dari yang
terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid, dan
sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil
pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di
dalam tulang (Soetjipto dalam Soepardi dkk, 2011).
Sinus paranasal terdiri dari empat pasang rongga bertulang yang
dilapisi oleh mukosa hidung dan epitel kolumnar bertingkat semu
yang bersilia. Rongga udara ini dihubungkan oleh serangkaian duktus
yang mengalir ke dalam rongga hidung.
Sinus paranasal terdiri dari, sinus frontalis, sinus etmoidalis,
sinus sfenoidalis, dan sinus maksilaris (Brunner & Suddarth,
2001).
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi
mukosa rongga hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia
3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan sinus frontal. Sinus maksila
dan sinus etmoid telah ada saat bayi lahir, sedangkan sinus frontal
berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang
lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10
tahun dan berasal dari bagian posterosuperior rongga hidung.
Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara
15-18 tahun (Soetjipto dalam Soepardi dkk, 2011). Sinus maksila
atau antrum highmore, merupakan sinus paranasal yang terbesar, dan
yang pertama terbentuk, diperkirakan pembentukan sinus tersebut
terjadi pada hari ke 70 masa kehamilan. Saat lahir sinus maksila
bervolume 6-8 ml, yang kemudian berkembang dengan cepat dan
akhirnya mencapai ukuran maksimal yaitu 15 ml pada saat dewasa
(Mangunkusumo & Soetjipto dalam Soepardi dkk, 2011).
Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang
sulit dideskripsi karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap
individu. Ada empat pasang sinus paranasal, mulai dari yang
terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus
sfenoid kanan dan kiri (Mehra dan Murad, 2004). Sinus paranasal
merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga
terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara
(ostium) ke dalam rongga hidung (Soetjipto dan Mangunkusomo,2007).
Semua sinus dilapisi oleh epitel saluran pernafasan bersilia yang
mengalami modifikasi dan mampu menghasilkan mukus serta sekret yang
disalurkan ke dalam rongga hidung. Pada orang sehat, sinus
terutamanya berisi udara (Hilger,1997).
Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus
media, ada muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal,
dan sinus etmoid anterior. Daerah ini rumit dan sempit, dan
dinamakan kompleks ostio-meatal (KOM), terdiri dari infundibulum
etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus, resesus
frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya
dan ostium sinus maksila (Drake,1997).
Sinus Maksilaris
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Sinus
maksila disebut juga antrum Highmore (Tucker dan Schow, 2008). Saat
lahir, sinus maksila bervolume 6-8 ml. Sinus ini kemudian
berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal,
yaitu 15 ml saat dewasa (Mehra dan Murad, 2004). Sinus maksila
berbentuk piramid. Dinding anterior sinus adalah permukaan fasial
os maksila yang disebut fossa canina, dinding posteriornya adalah
permukaan infratemporal maksila, dinding medialnya adalah dinding
lateral rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar orbita, dan
dinding inferiornya adalah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium
sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan
bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid ( Tucker
dan Schow, 2008).
Menurut Soetjipto dan Mangunkusomo (2007) dari segi klinik yang
perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah:a. Dasar sinus
maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas yaitu
premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), dan kadang-kadang juga
gigi taring dan gigi M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat
menonjol ke dalam sinus sehingga infeksi gigi rahang atas mudah
naik ke atas menyebabkan sinusitis.
b. Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita.
c. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus,
sehingga drainase hanya tergantung dari gerak silia, lagipula
drainase juga harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum
adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat
radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus
maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis.
Dikutip dari: Paranasal Sinuses: Atlas of Human Anatomy (Netter,
F.H., 2006)
Gambar 2.1 : Anatomi Sinus Maksila
Sinus Frontal Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai
terbentuk sejak bulan ke-empat fetus, berasal dari sel-sel resesus
frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus
frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai
ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun (Ramalinggam, 1990).
Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih
besar daripada lainya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di
garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu
sinus frontal dan kurang lebih lima persen sinus frontalnya tidak
berkembang (Lee, 2008). Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang
relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga
infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini (Lund,
1997; Soetjipto dan Mangunkusomo,2007).
Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di
resesus frontal, yang berhubungan dengan infundibulum etmoid (Lee,
2008). Ukuran sinus frontal adalah mempunyai tinggi 2.8 cm ,
lebarnya 2.4 cm dan dalamnya 2 cm. Sinus frontal biasanya
bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk (Netter, 2006;
Soetjipto dan Mangunkusomo,2007). Tidak adanya gambaran
septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto Rontgen
menunjukkan adanya infeksi sinus (Rachman,2005).
Sinus Etmoid Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang
paling penting karena dapat merupakan fokus infeksi bagi
sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti
piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari
anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2.4 cm dan lebarnya 0.5 cm di
bagian anterior dan 1.5 cm di bagian posterior (Netter, 2006;
Mangunkusomo, 2007).
Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang
menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian
lateral os etmoid, yang terletak di antara konka media dan dinding
medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi. Berdasarkan
letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang
bermuara ke meatus media dan sinus etmoid posterior bermuara ke di
meatus superior. Sel-sel etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan
banyak, letaknya di depan lempeng yang menghubungkan bagian
posterior konka media dengan dinding lateral (lamina basalis),
sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan
sedikit jumlahnya dan terletak di posterior dari lamina basalis
(Hilger, 1997; Ballenger, 2009).
Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit,
disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel
etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior
terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat
bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di
resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan
pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila
(Mehra dan Murad, 2004). Atap sinus etmoid yang disebut fovea
etmoidalis berbatasan dengan lamina kribrosa. Dinding lateral sinus
adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus
etmoid dari rongga orbita (Soetjipto dan Mangunkusomo,2007 ;
Ballenger, 2009). Di bagian belakang sinus etmoid posterior
berbatasan dengan sinus sfenoid (Hilger,1997). Sinus Sfenoid Sinus
sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid
posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum
intersfenoid. Ukurannya adalah 2 cm tingginya, dalamnya 2.3 cm dan
lebarnya 1.7 cm. Volumenya bervariasi dari 5-7.5 ml. Saat sinus
berkembang, pembuluh darah dan nervus di bagian lateral os sfenoid
akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus (Hilger, 1997;
Netter, 2006).
Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa superior
serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya atap
nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan
arteri karotis interna dan di sebelah posteriornya berbatasan
dengan fosa serebri posterior di daerah pons (Ramalinggam,
1990).
2.2 Fisiologi Sinus Paranasal Menurut Drake (1997) dan Soetjipto
dan Mangunkusomo (2007) sampai saat ini belum ada persesuaian
pendapat mengenai fisiologi sinus paranasal. Ada yang berpendapat
bahwa sinus paranasal ini tidak mempunyai fungsi apa-apa, karena
terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka. Menurut Lund
(1997) beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus
paranasal antara lain adalah:
a. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning) Sinus
berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur
kelembaban udara inspirasi. Volume pertukaran udara dalam ventilasi
sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tipa kali bernapas,
sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam
sinus.
b. Sebagai penahan suhu (thermal insulator)Sinus paranasal
berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita dan
fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi
kenyataannya sinus-sinus yang besar tidak terletak di antara hidung
dan organ-organ yang dilindungi. c. Membantu keseimbangan kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang
muka, akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang,
hanya akan memberikan pertambahan berat sebesar satu persen dari
berat kepala, sehingga teori ini dianggap tidak bermakna.
d. Membantu resonansi suara Sinus mungkin berfungsi sebagai
rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi kualitas suara. Akan
tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak
memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonansi yang efektif. Lagi
pula tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus
pada hewan-hewan tingkat rendah.
e. Sebagai perendam perubahan tekanan udaraFungsi ini berjalan
bila ada perubahan tekanan besar dan mendadak, misalnya pada waktu
bersin atau membuang ingus. f. Membantu produksi mukus Mukus yang
dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan
dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan
partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi kerana mukus ini
keluar dari meatus media, tempat yang paling strategis.
Seperti pada mukosa hidung, di dalam sinus juga terdapat mukosa
bersilia dan palut lendir di atasnya (Hilger,1997). Di dalam sinus
silia bergerak secara teratur untuk mengalirkan lendir menuju
ostium alamiahnya mengikuti jalur-jalur yang sudah tertentu
polanya. Pada dinding lateral hidung terdapat dua aliran transport
mukosiliar dari sinus. Lendir yang berasal dari kelompok sinus
anterior yang bergabung di infundibulum etmoid dialirkan ke
nasofaring di depan muara tuba Eustachius. Lendir yang berasal dari
kelompok sinus posterior bergabung dengan resesus sfenoetmoidalis,
dialirkan ke nasofaring di postero-superior muara tuba. Inilah
sebabnya pada sinusitis didapati sekret pasca-nasal (post nasal
drip), tetapi belum tentu ada sekret di rongga hidung (Ramalinggam,
1990; Adam, 1997).
2.3 Klasifikasi Sinusitis Konsensus internasional tahun 1995
membagi rinosinusitis hanya akut dengan batas sampai delapan minggu
dan kronik jika lebih dari delapan minggu (Mangunkusomo dan
Soetjipto,2007).
Konsensus tahun 2004 membagi rinosinusitis menjadi akut dengan
batas sampai empat minggu, subakut antara empat minggu sampai tiga
bulan dan kronik jika lebih dari tiga bulan atau berdasarkan jenis
atau tipe inflamasinya yaitu infectious atau non-infectious
(Mangunkusomo dan Soetjipto,2007; Sobol, 2011).
Klasifikasi secara klinis untuk sinusitis dibagi atas sinusitis
akut, subakut dan kronis (Hilger, 1997). Sedangkan berdasarkan
penyebabnya sinusitis dibagi kepada sinusitis tipe rinogen dan
sinusitis tipe dentogen. Sinusitis tipe rinogen terjadi disebabkan
kelainan atau masalah di hidung dimana segala sesuatu yang
menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan sinusitis.
Sinusitis tipe dentogen pula terjadi disebabkan kelainan gigi serta
yang sering menyebabkan sinusitis adalah infeksi pada gigi geraham
atas yaitu gigi pre molar dan molar (Mangunkusomo dan
Soetjipto,2007).Sinusitis Tipe Dentogen 2.4.1 DefinisiSinusitis
didefinikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya
disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut
rinosinusitis (Kumar dan Clark, 2005). Lapisan mukosa dari sinus
paranasal merupakan lanjutan dari mukosa hidung. Hidung dan sinus
paranasal merupakan bagian dari sistem pernapasan. Penyakit yang
menyerang bronkus dan paru-paru juga dapat menyerang hidung dan
sinus paranasal. Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan proses
infeksi, seluruh saluran nafas dengan perluasan-perluasan anatomik
harus dianggap sebagai satu kesatuan (Hueston,2002).2.4.2 Insidens
dan Epidemiologi Menurut Wald (1990) di Amerika menjumpai insiden
pada orang dewasa antara 10-15% dari seluruh kasus sinusitis yang
berasal dari infeksi gigi. Ramalinggam (1990) di Madras, India
mendapatkan bahwa rinosinusitis maksila tipe dentogen sebanyak
sepuluh persen kasus yang disebabkan oleh abses gigi dan abses
apikal. Menurut Becker et al. (1994) dari Bonn, Jerman menyatakan
sepuluh persen infeksi pada sinus paranasal disebabkan oleh
penyakit pada akar gigi. Granuloma dental, khususnya pada premolar
kedua dan molar pertama sebagai penyebab rinosinusitis maksila
dentogen. Hilger (1994) dari Minnesota, Amerika Serikat menyatakan
terdapat sepuluh persen kasus rinosinusitis maksila yang terjadi
setelah gangguan pada gigi. Menurut Farhat (2004) di Medan
mendapatkan insiden rinosinusitis dentogen di Departemen
THT-KL/RSUP Haji Adam Malik sebesar 13.67% dan yang terbanyak
disebabkan oleh abses apikal (71.43%). 2.4.3 Etiologi dan Faktor
Predisposisi Etiologi sinusitis tipe dentogen ini adalah :
a) Penjalanan infeksi gigi seperti infeksi periapikal atau abses
apikal gigi dari gigi kaninus sampai gigi molar tiga atas. Biasanya
infeksi lebih sering terjadi pada kasus-kasus akar gigi yang hanya
terpisah dari sinus oleh tulang yang tipis, walaupun kadang-kadang
ada juga infeksi mengenai sinus yang dipisahkan oleh tulang yang
tebal (Ross, 1999). b) Prosedur ekstraksi gigi. Pencabutan gigi ini
dapat menyebabkan terbukanya dasar sinus sehingga lebih mudah bagi
penjalanan infeksi (Saragih, 2007). c) Penjalaran penyakit
periodontal yaitu dijumpai adanya penjalaran infeksi dari membran
periodontal melalui tulang spongiosa ke mukosa sinus (Prabhu;
Padwa; Robsen; Rahbar, 2009). d) Trauma, terutama fraktur maksila
yang mengenai prosesus alveolaris dan sinus maksila (Ross, 1999).
e) Adanya benda asing dalam sinus berupa fragmen akar gigi dan
bahan tambahan akibat pengisian saluran akar yang berlebihan
(Saragih, 2007). f) Osteomielitis pada maksila yang akut dan kronis
(Mangunkusomo; Rifki, 2001).g) Kista dentogen yang seringkali
meluas ke sinus maksila, seperti kista radikuler dan folikuler
(Prabhu; Padwa; Robsen; Rahbar, 2009). h) Deviasi septum kavum
nasi, polip, serta neoplasma atau tumor dapat menyebabkan obstruksi
ostium yang memicu sinusitis (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).
2.4.4. Patofisiologi Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi
ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens mukosiliar (mucociliary
clearance) di dalam kompleks osteo-meatal. Sinus dilapisi oleh sel
epitel respiratorius. Lapisan mukosa yang melapisi sinus dapat
dibagi menjadi dua yaitu lapisan viscous superficial dan lapisan
serous profunda. Cairan mukus dilepaskan oleh sel epitel untuk
membunuh bakteri maka bersifat sebagai antimikroba serta
mengandungi zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan
tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan. Cairan
mukus secara alami menuju ke ostium untuk dikeluarkan jika
jumlahnya berlebihan (Ramalinggam, 1990; Mangunkusomo dan
Soetjipto,2007).Faktor yang paling penting yang mempengaruhi
patogenesis terjadinya sinusitis yaitu apakah terjadi obstruksi
dari ostium. Jika terjadi obstruksi ostium sinus akan menyebabkan
terjadinya hipooksigenasi, yang menyebabkan fungsi silia berkurang
dan epitel sel mensekresikan cairan mukus dengan kualitas yang
kurang baik (Kieff dan Busaba, 2004). Disfungsi silia ini akan
menyebabkan retensi mukus yang kurang baik pada sinus (Hilger,
1997).
Kejadian sinusitis maksila akibat infeksi gigi rahang atas
terjadi karena infeksi bakteri (anaerob) menyebabkan terjadinya
karies profunda sehingga jaringan lunak gigi dan sekitarnya rusak
(Prabhu; Padwa; Robsen; Rahbar, 2009). Pulpa terbuka maka kuman
akan masuk dan mengadakan pembusukan pada pulpa sehingga membentuk
gangren pulpa. Infeksi ini meluas dan mengenai selaput periodontium
menyebabkan periodontitis dan iritasi akan berlangsung lama
sehingga terbentuk pus. Abses periodontal ini kemudian dapat meluas
dan mencapai tulang alveolar menyebabkan abses alveolar. Tulang
alveolar membentuk dasar sinus maksila sehingga memicu inflamasi
mukosa sinus. Disfungsi silia, obstruksi ostium sinus serta
abnormalitas sekresi mukus menyebabkan akumulasi cairan dalam sinus
sehingga terjadinya sinusitis maksila (Drake, 1997).
Dengan ini dapat disimpulkan bahwa patofisiologi sinusitis ini
berhubungan dengan tiga faktor, yaitu patensi ostium, fungsi silia,
dan kualitas sekresi hidung. Perubahan salah satu dari faktor ini
akan merubah sistem fisiologis dan menyebabkan sinusitis.2.4.5
Gejala Klinis Gejala infeksi sinus maksilaris akut berupa demam,
malaise, dan nyeri kepala yang tidak jelas yang biasanya reda
dengan pemberian analgetik biasanya seperti aspirin. Wajah terasa
bengkak, penuh, dan gigi terasa nyeri pada gerakan kepala mendadak,
misalnya sewaktu naik dan turun tangga (Tucker dan Schow, 2008).
Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk, serta
nyeri di tempat lain karena nyeri alih (referred pain). Sekret
mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang berbau busuk.
Batuk iritatif non-produktif juga seringkali ada (Sobol,2011).
Sinusitis maksilaris dari tipe odontogen harus dapat dibedakan
dengan rinogen karena terapi dan prognosa keduanya sangat
berlainan. Pada sinusitis maksilaris tipe odontogenik ini hanya
terjadi pada satu sisi serta pengeluaran pus yang berbau busuk. Di
samping itu, adanya kelainan apikal atau periodontal
mempredisposisi kepada sinusitis tipe dentogen. Gejala sinusitis
dentogen menjadi lebih lambat dari sinusitis tipe rinogen
(Mansjoer,2001).a. Sinusitis akut
Sinusitis maksillaris
Demam, malaise
Nyeri kepala yang tak jelas yang biasanya reda dengan pemberian
aspirin. Sakit dirasa mulai dari pipi ( di bawah kelopak mata ) dan
menjalar ke dahi atau gigi. Sakit bertambah saat menunduk.
Wajah terasa bengkak dan penuh
Nyeri pipi yang khas : tumpul dan menusuk, serta sakit pada
palpasi dan perkusi.
Kadang ada batuk iritatif non-produktif
Sekret mukopurulen yang dapat keluar dari hidung dan kadang
berbau busuk
Adanya pus atau sekret mukopurulen di dalam hidung, yang berasal
dari metus media, dan nasofaring.
Sinusitis ethmoidalis
Sering bersama dengan sinusitis maksillaris dan sinusitis
frontalis
Nyeri dan nyeri tekan di antara kedua mata dan di atas jembatan
hidung menjalar ke arah temporal
Nyeri sering dirasakan di belakang bola mata dan bertambah
apabila mata digerakkan
Sumbatan pada hidung
Pada anak sering bermanifestasi sebagai selulitis orbita karena
lamina papiracea anak seringkali merekah
Mukosa hidung hiperemis dan udem
Adanya pus dalam rongga hidung yang berasal dari meatus
media
Sinusitis frontalis
Hampir selalu bersamaan dengan sinusitis ethmoidalis
anterior
Nyeri kepala yang khas di atas alis mata. Nyeri biasanya pada
pagi hari, memburuk pada tengah hari dan berangsur angsur hilang
pada malam hari.
Pembengkakan derah supraorbita
Nyeri hebat pada palpasi atau perkusi daerah sinus yang
terinfeksi
Sinusitis sphenoidalis
Nyeri kepala dan retro orbita yang menjalar ke verteks atau
oksipital
Sinusitis kronis
Postnasal drip
Rasa tidak nyaman dan gatal di tenggorok
Pendengaran terganggu karena oklusi tuba eustachii
Nyeri atau sakit kepala
Infeksi pada mata yang menjalar dari duktus nasolakrimalis
Gastroenteritis ringan pada anak akibat mukopus yang
tertelan
Sebagian besar kasus sinusitis melibatkan lebih dari satu sinus
paranasal dan yang paling sering yaitu sinus maksilaris dan sinus
etmoidalis. Hal ini disebabkan sinus maksila adalah sinus yang
terbesar, letak ostiumnya lebih tinggi dari dasarnya, dimana
dasarnya merupakan dasar akar gigi sehingga sinusitis maksilaris
sering berasal dari infeksi gigi (Manjoer, 2000).
Berdasarkan perjalanan penyakit sinusitis maksilaris terbagi
atas sinusitis akut, terjadi bila infeksi beberapa hari sampai
beberapa minggu, sinusitis subakut, terjadi bila infeksi beberapa
minggu sampai beberapa bulan, dan sinusitis kronik, terjadi bila
infeksi beberapa bulan sampai beberapa tahun (Adams dalam Manjoer,
2000).
Insiden sinusitis didapat antara 1,3 - 1,5 per 100 kasus orang
dewasa pertahun. Peneliti dari Norwegia mengemukakan insiden
sinusitis yaitu 3,5 per 100 kasus pada orang dewasa dengan 7%
pasien memiliki dua kali kunjungan dan 0,5% memiliki tiga kali atau
lebih kunjungan selama periode 12 bulan (Hickner, 2005).
2.4.6 Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang Diagnosis ditegakkan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Pemeriksaan dengan palpasi turut membantu menemukan
nyeri tekan pada daerah sinus yang terkena (Saragih, 2007)
Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior,
nasoendoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat
dan dini (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007). Rinoskopi anterior
memberi gambaran anatomi dan mukosa yang edema, eritema, dan sekret
yang mukopurulen. Lokasi sekret dapat menentukan sinus mana yang
terkena. Rinoskopi posterior dapat melihat koana dengan baik,
mukosa hipertrofi atau hiperplasia (Mansjoer, 2001).Pemeriksaan
penunjang lain adalah transiluminasi. Hanya sinus frontal dan
maksila yang dapat dilakukan transiluminasi. Pada sinus yang sakit
akan menjadi suram atau gelap (Ross, 1999). Dengan nasal endoskopi
dapat diketahui sinus mana yang terkena dan dapat melihat adanya
faktor etiologi lokal. Tanda khas ialah adanya pus di meatus media
pada sinusitis maksila, etmoidalis anterior dan frontal atau pus di
meatus superior pada sinusitis etmoidalis posterior dan sfenoidalis
(Mehra dan Murad, 2004; Mangunkusomo dan Soetjipto,2007). Selain
itu, nasal endoskopi dilakukan untuk menegakkan diagnosis sinusitis
akut dimana pus mengalir ke bawah konka media dan akan jatuh ke
posterior membentuk post nasal drip (Ross, 1999).
Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos posisi atau
CT-scan. Foto polos posisi Waters, posteroanterior, dan lateral
umumnya hanya mampu menilai kondisi sinus-sinus besar seperti sinus
maksila dan frontal. Kelainan yang akan terlihat adalah
perselubungan, batas udara-cairan (air-fluid level) pada sinusitis
maksila atau penebalan mukosa (Mehra dan Murad, 2004). CT-scan
sinus merupakan gold standard karena mampu menilai anatomi hidung
dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara
keseluruhan dan perluasannya. Namun karena mahal hanya dikerjakan
sebagai penunjang diagnosis sinusitis kronik yang tidak membaik
dengan pengobatan atau pra-operasi sebagai panduan operator saat
melakukan operasi sinus (Mangunkusomo dan
Soetjipto,2007).Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi
dilakukan dengan mengambil sekret dari meatus media atau superior,
untuk mendapat antibiotik yang tepat guna. Lebih baik lagi bila
diambil sekret yang keluar dari pungsi sinus maksila (Mangunkusomo
dan Soetjipto,2007). Kebanyakan sinusitis disebabkan infeksi oleh
Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Moraxella
catarrhalis. Gambaran bakteriologik dari sinusitis yang berasal
dari gigi geligi didominasi oleh infeksi gram negatif sehingga
menyebabkan pus berbau busuk dan akibatnya timbul bau busuk dari
hidung (Ross, 1999).
Di samping itu, sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus
dinding medial sinus maksila melalui meatus inferior, dengan alat
endoskopi dapat dilihat kondisi sinus maksila yang sebenarnya,
selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi
(Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).2.4.7 Terapi
Terapi primer dari sinusitis akut adalah secara
medikamentosa.
1. Analgetik
Rasa sakit yang disebabkan oleh sinusitis dapat hilang dengan
pemberian aspirin atau preparat codein.
Kompres hangat pada wajah juga dapat menbantu untuk
mengjilangkan rasa sakit tersebut
2. Antibiotik
Secara umum, dapat diberikan antibiotika yang sesuia selama 10
14 hari walaupun gejala klinik telah hilang.
Antibiotik yang sering diberikan adalah amoxicillin, ampicillin,
erythromicin plus sulfonamid, sefuroksim dan trimetoprim plus
sulfonamid
3. Dekongestan
Pemberian dekongestan seperti pseudoefedrin, dan tetes hidung
poten seperti fenilefrin dan oksimetazolin cukup bermanfaat untuk
mengurangi udem sehingga dapat terjadi drainase sinus.
4. Irigasi antrum
Indikasinya adalah apabila ketiga terapi di atas gagal, dan
ostium sinus sedemikian udematosa sehingga terbentuk abses
sejati.
Irigasi antrum maksiilaris dilakukan dengan mengalirkan larutan
salin hangat melalui fossa incisivus kedalam antrum maksillaris.
Caian ini kemudian akan mendorong pus untuk keluar melalui ostium
normal.
5. Diatermi gelombang pendek
6. Menghilangkan faktor predisposisiPrinsip utama penanganan
sinusitis kronik adalah:1. Mengenali faktor penyebab dan
mengatasinya
2. Mengembalikan integritas dari mukosa yang udem
Pengembalian ventilasi sinus dan koreksi mukosa akan
mengembalikan fungsi lapisan mukosilia.
1. Antibiotika
Sinusitis kronis biasanya disebabkan oleh bakteri anaerob.
Antibiotik yang biasanya digunakan adalah metronidazole,
co-amoxiclav dan clindamycin
2. Mukolitik
Sinusitis kronis biasanya menghasilkan sekret yang kental.
Terapi dengan mukolitik ini biasanya diberikan pada penderita
rinosinusitis. Sekret yang encer akan lebih mudah dikeluarkan
dibandingkan dengan sekret yang kental.
3. Nasal toilet
Pembersihan hidung dan sinus dari sekret yang kental dapat
dilakukan dengan saline sprays atau irigasi.
Cara yang efektif dan murah adalah dengan menggunakan canula dan
Higgisons syringe4. Kortikosteroid
Kortikosteroid merupakan obat yang paling efektif untuk
mengurangi udem pada mukosa yang berkaitan dengan infeksi.
5. Pembedahan
Pembedahan dilakukan apabila pengobatan dengan medikamentosa
sudah gagal.
Pembedahan radikal dilakukan dengan mengankat mukosa yang
patologik dan membuat drainase dari sinus yang terkena. Untuk sinus
maksila dilakukan operasi Caldwell Luc, sedangkan untuk sinus
ethmoid dilakukan etmoidektomi.
Pembedahan tidak radikal yang akhir akhir ini sedang
dikembangkan adalah menggunakan endoskopi yang disebut Bedah Sinus
Endoskopi Fungsional.Prisnsipnya adalah membuka daerah osteomeatal
kompleks yang menjadi sumber penyumbatan dan infeksi sehingga
ventilasi dan drainase sinus dapat lancar kembali melaui ostium
alami.
2.4.8 Komplikasi Komplikasi sinusitis adalah kelainan orbital
disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata. Yang
paling sering ialah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal
dan maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan
perkontinuitatum. Kelainan yang dapat timbul ialah
edema palpebra, selulitis orbita, abses subperiostal, abses
orbita dan selanjutnya dapat terjadi thrombosis sinus kavernosus
(Mangunkusomo dan Soetjipto,2007). Komplikasi lain adalah infeksi
orbital menyebabkan mata tidak dapat digerakkan serta kebutaan
karena tekanan pada nervus optikus (Hilger, 1997). Osteomielitis
dan abses subperiosteal paling sering timbul akibat sinusitis
frontal dan biasanya ditemukan pada anak-anak. Pada osteomielitis
sinus maksila dapat timbul fistula oroantral atau fistula pada pipi
(Tucker dan Schow, 2008)
Infeksi otak yang paling berbahaya karena penyebaran bakteri ke
otak melalui tulang atau pembuluh darah. Ini dapat juga
mengakibatkan meningitis, abses otak dan abses ekstradural atau
subdural (Hilger, 1997).
Komplikasi sinusitis yang lain adalah kelainan paru seperti
bronkitis kronis dan bronkiektasi. Adanya kelainan sinus paranasal
disertai dengan kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain
itu, dapat juga menyebabkan kambuhnya asma bronchial yang sukar
dihilangkan sebelum sinusitisnya disembuhkan (Ballenger, 2009).
Komplikasi lain yang mungkin terjadi adalah:
1. Kelainan intrakranial
Abses extradural, subdural, dan intracerebral
Meningitis
Encephalitis
Trombosis sinus cavernosus atau sagital
2. Kelainan pada tulang
Osteitis
Osteomyelitis
3. Kelainan pada paru
Bronkitis kronik
Bronkhiektasis
4. Otitis media
5. Toxic shock syndrome
6. Mucocele , pyococele
2.4.9 Prognosis Prognosis sinusitis tipe dentogen sangat
tergantung kepada tindakan pengobatan yang dilakukan dan komplikasi
penyakitnya. Jika, drainase sinus membaik dengan terapi antibiotik
atau terapi operatif maka pasien mempunyai prognosis yang baik
(Mehra dan Murad, 2004).