-
SINERGITAS KERJASAMA ANTARA BNN DAN POLRI DALAM
PROSES PENYIDIKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA
NASKAH PUBLIKASI
Oleh :
Rohmah Wulan Sari
1500024193
Skripsi ini untuk Melengkapi Persyaratan dalam Memperoleh
Gelar Sarjana Ilmu Hukum di Fakultas Hukum
Universitas Ahmad Dahlan
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN
2019
-
JOURNAL
THE SYNERGY OF COOPERATION BETWEEN BNN AND POLRI IN
THE NARCOTICS CRIMINAL INVESTIGATION PROCESS
Written by:
Rohmah Wulan Sari
1500024193
This Thesis submitted as a fulfillment of the requirements
to attain the Bachelor Degree of legal studies
FACULTY OF LAW
UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN
2019
-
NASKAH PUBLIKASI || ROHMAH WULAN SARI
1
Sinergitas Kerjasama antara BNN dan Polri dalam
Proses Penyidikan Tindak Pidana Narkotika
Rohmah Wulan Sari
ABSTRAK
Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum.
Konsekuensi
logis dari adanya prinsip tersebut, maka segala sesuatu di
Indonesia harus diatur
oleh seperangkat peraturan perundang-undangan. Persoalan
narkotika merupakan
masalah klasik tetapi masih menjadi ganjalan besar dalam
penegakan hukum dan
perkembangan bangsa. Narkotika adalah bahan zat adiktif yang
dapat
membahayakan kehidupan manusia, jika dikonsumsi dengan cara yang
tidak tepat,
bahkan dapat menyebabkan kematian.
Pemerintah bersama BNN dan Polri melakukan segala upaya baik
penindakan maupun penanganan untuk memberantas narkotika.
Undang-Undang
No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika telah memberi kewenangan
pada pihak
BNN dan Polri untuk melaksanakan proses penyidikan
penyalahgunaan narkotika.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan
menjelaskan
pelaksanaan proses penyidikan tindak pidana penyalahgunaan
narkotika di BNN
dan Satuan Narkoba Polres Cilacap, hambatan yang ditemui
penyidik dalam
pelaksanaan proses penyidikan perkara penyalahgunaan Narkotika,
serta upaya
yang dilakukan dalam mengatasi hambatan dalam penyidikan tindak
pidana
penyalahgunaan narkotika.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa berdasarkan
Undang-Undang
No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, disebutkan kewenangan yang
dapat
dilakukan penyidik BNN dan penyidik Polri. Kerjasama yang
dilakukan BNN dan
Polri dalam penanganan tindak pidana narkotika yaitu dengan
dibentuknya Tim
Asesment Terpadu (TAT). Tim Asesment Terpadu terdiri dari BNN,
Polri,
Kejaksaan, Dokter dan Psikolog sebagai tim medis.
Kata Kunci : Narkotika, Penyalahgunaan, Penyidikan, BNN,
Polri
-
NASKAH PUBLIKASI || ROHMAH WULAN SARI
2
The Synergy of Cooperation between BNN and Polri in the
Narcotics
Criminal Investigation Process
Rohmah Wulan Sari
ABSTRACT
Indonesia is a state of law. The logical consequence of this
principle is
that everything in Indonesia must be governed by a set of laws
and regulations.
Narcotics is a classic problem but is still a big obstacle in
law enforcement and the
development of the nation. Narcotics are addictive substances
which can endanger
human life if consumed improperly, can even cause death.
The Indonesian government, together with the National
Narcotics
Agency (BNN) and the Indonesian National Police (Polri) is
making every effort
to take action and handling the eradication of narcotics. The
issuance of Law
Number 35 of 2009 on Narcotics has given the authority to the
BNN and Polri to
carry out an investigation process that deals with
Narcotics.
The purpose of this research is to discover and explain the
investigation
process of narcotics crime at the BNN and the Narcotics Unit of
Cilacap Regional
Police, the obstacles encountered by the investigators in the
investigation process,
as well as the means in overcoming the obstacles found in the
investigation.
The result shows that based on the Law Number 35 of 2009 on
Narcotics,
the authority of BNN and Polri investigators are regulated. The
cooperation of the
BNN and the Polri in handling narcotics crime is carried out
through the
formation of an Integrated Assessment Team (TAT). The Integrated
Assessment
Team consists of the BNN, the Polri, the Attorney General, while
doctors and
psychologists as the medical team.
Keywords: Narcotics, Abuse, Investigation, BNN, Polri.
-
NASKAH PUBLIKASI || ROHMAH WULAN SARI
3
A. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum,
bukan
negara yang berdasarkan atas kekuasaan. Konsekuensi logis dari
adanya
prinsip negara hukum tersebut, maka segala sesuatu di Indonesia
harus diatur
oleh seperangkat peraturan perundang-undangan. Tujuannya adalah
demi
terwujudnya ketertiban umum untuk menuju masyarakat yang
sejahtera lahir
dan batin. Peraturan perundang-undangan mengatur mengenai hak
dan
kewajiban individu sebagai warga negara.
Persoalan narkotika merupakan masalah klasik tetapi masih
menjadi
ganjalan besar dalam penegakan hukum dan perkembangans bangsa.
Tindak
pidana tidak lagi dilakukan secara sembunyi-sembunyi tetapi
sudah sangat
terang-terangan yang dilakukan oleh pemakai dan pengedar
dalam
menjalankan operasi barang berbahaya tersebut. Fakta yang dapat
disaksikan,
hampir setiap hari baik melalui media cetak maupun media
elektronik,
ternyata barang haram tersebut telah merebak ke mana-mana tanpa
pandang
bulu, terutama diantara generasi remaja yang sangat diharapkan
menjadi
generasi penerus bangsa dimasa mendatang.
Narkotika dan psikotropika, dalam rentang sejarahnya, telah
dikenal
dalam peradaban, yang semula berguna untuk kesehatan. Sejalan
dengan
perkembangannya yang cepat, ternyata, tidak hanya sebagai obat,
tetapi
merupakan suatu kesenangan, dan pada akhirnya melumpuhkan
produktivitas
kemanusiaan, yang berpotensi menurunkan derajat kemanusiaan.
Karenanya,
peredaran secara ilegal terhadap seluruh jenis narkotik dan
psikotropika pada
-
NASKAH PUBLIKASI || ROHMAH WULAN SARI
4
akhirnya menjadi perhatian seluruh umat manusia yang beradab,
bahkan
menjadi suatu nomenklatur baru dalam kejahatan yakni kejahatan
narkoba.
(Bakhri, 2012: 1).
Penggunaan narkotika dan psikotropika dapat mengakibatkan
beberapa
kelumpuhan psikis yang berakibat hilangnya kemampuan manusia
berpresepsi terhadap suatu hal. Hilangnya kemampuan yang
demikian itu
berpotensi menghilangkan kemampuan konsentrasi dan mengambil
keputusan. Pada hakikatnya perbuatan pidana sesungguhnya
perbuatan yang
cenderung tidak akan dilakukan oleh manusia apabila
kemampuan
berpresepsi manusia tersebut dalam keadaan baik. Penggunaan
narkotik jelas
mempunyai kaitan yang erat dalam menimbulkan suatu
kejahatan.
Sejalan dengan konsep negara hukum, negara hukum yang
dimaksud
adalah negara yang menegakkan supremasi hukum untuk
menegakkan
kebenaran dan keadilan. Secara umum, dalam setiap negara yang
menganut
paham negara hukum terdapat tiga prinsip dasar, yaitu supremasi
hukum
(supremacy of law), kesetaraan di hadapan hukum (equality before
the law),
dan penegakan hukum dengan cara yang tidak bertentangan dengan
hukum
(due process of law). Penjabaran selanjutnya, pada setiap
negara, hukum
mempunyai ciri-ciri: Jaminan perlindungan hak-hak asasi manusia;
kekuasaan
kehakiman atau peradilan yang merdeka; legalitas dalam arti
hukum, yaitu
bahwa baik pemerintah/negara maupun warga negara dalam bertindak
harus
berdasar atas hukum. Hukum adalah himpunan petunjuk hidup,
yang
-
NASKAH PUBLIKASI || ROHMAH WULAN SARI
5
mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat yang bersangkutan.
(Bakhri,
2012: 5).
Tindak pidana penyalahgunaan narkotika bagi diri sendiri diatur
dalam
Pasal 127 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,
yang
bunyinya:
(1) Setiap penyalahguna: a. Narkotika golongan I bagi diri
sendiri
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun;
b.
Narkotika golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana
penjara
paling lama 2 (dua) tahun; dan, c. Narkotika golongan III bagi
diri
sendiri dipidana dengan pidana perjara paling lama 1 (satu)
tahun.
(2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat
(1),
hakim wajb memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam
Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103. (3) Dalam Penyalahguna
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dibuktikan atau
terbukti
sebagai korban penyalahgunaan, penyalah guna tersebut wajib
menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Sanksi pidana berupa pidana penjara yang dapat dijatuhkan
Hakim.
Hakim juga diberikan kemungkinan untuk tidak menjatuhkan pidana
penjara,
karena dalam pasal-pasal yang berkaitan dengan Pasal 127,
terdapat pula
kemungkinan penjatuhan sanksi tindakan rehabilitasi oleh
Hakim.
Secara singkat, jumlah pengguna narkoba suntikan di
Indonesia
cenderung meningkat. Indonesia ternyata merupakan salah satu
negara di
kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara yang jumlah pengguna
narkoba
suntikannya telah melampaui 100.000 orang selain Banglades,
India, Iran,
Pakistan, Malaysia, Myanmar, dan Vietnam. Pengguna narkoba
suntikan di
Indonesia pada mulanya hanya terdapat di kota-kota besar, tetapi
sekarang
juga sudah didapati di kota-kota kecil diseluruh Indonesia.
(Tarigan, 2017: 6)
-
NASKAH PUBLIKASI || ROHMAH WULAN SARI
6
Kecenderungan peningkatan pengguna narkoba suntikan ini
rupanya
terjadi diseluruh dunia. Pada akhir tahun 2003 diperkirakan
terdapat 13,2 juta
pengguna narkoba suntikan di dunia. Sekitar 22 persen
diantaranya hidup di
negara maju, sedangkan sisanya berada di negara yang sedang
berkembang
atau sedang mengalami transisi. (Tarigan, 2017: 6)
Berdasarkan data BNN, diketahui bahwa jumlah tindak pidana
narkoba
yang diungkap meningkat dari 17.355 kaus pada tahun 2006 menjadi
22.630
kasus. Jumlah pelaku tindak pidana narkoba juga meningkat dari
31.635
orang menjadi 36.169 orang. Sedangkan jumlah barang bukti
meningkat
seperti ganja naik 79 persen, heroin 23 persen, psikotropika
ekstasi tablet 156
persen.(Tarigan,2017,https://books.google.co.id/books?hl=en&lr=&id=cm85
DwAAQBAJ&oi=fnd&pg=PA1&dq=kewenangan+BNN+dan+polri+dalam+
proses+penyidikan+narkotika&ots=P48Dlrrbss&sig=4UDhSV4oZ9bTyBAtY
wSNTUAhR90&redir_esc=y#v=onepage&q&f=false diakses
pada 12 April
2019).
Menyadari bahwa penyalahguna narkoba ini sama halnya dengan
penyakit masyarakat lainnya seperti perjudian, pelacuran, dan
pembunuhan
yang sulit diberantas. Secara realistis yang dapat dilakukan
hanyalah
bagaimana cara menekan dan mengendalikan sampai seminimal
mungkin
angka penyalahgunaan narkoba serta bagaimana melakukan upaya
untuk
mengurangi dampak buruk yang diakibatkan oleh penyalahgunaan
narkoba
ini. (Tarigan, 2017: 7)
https://books.google.co.id/books?hl=en&lr=&id=cm85DwAAQBAJ&oi=fnd&pg=PA1&dq=kewenangan+BNN+dan+polri+dalam+proses+penyidikan+narkotika&ots=P48Dlrrbss&sig=4UDhSV4oZ9bTyBAtYwSNTUAhR90&redir_esc=y#v=onepage&q&f=falsehttps://books.google.co.id/books?hl=en&lr=&id=cm85DwAAQBAJ&oi=fnd&pg=PA1&dq=kewenangan+BNN+dan+polri+dalam+proses+penyidikan+narkotika&ots=P48Dlrrbss&sig=4UDhSV4oZ9bTyBAtYwSNTUAhR90&redir_esc=y#v=onepage&q&f=falsehttps://books.google.co.id/books?hl=en&lr=&id=cm85DwAAQBAJ&oi=fnd&pg=PA1&dq=kewenangan+BNN+dan+polri+dalam+proses+penyidikan+narkotika&ots=P48Dlrrbss&sig=4UDhSV4oZ9bTyBAtYwSNTUAhR90&redir_esc=y#v=onepage&q&f=falsehttps://books.google.co.id/books?hl=en&lr=&id=cm85DwAAQBAJ&oi=fnd&pg=PA1&dq=kewenangan+BNN+dan+polri+dalam+proses+penyidikan+narkotika&ots=P48Dlrrbss&sig=4UDhSV4oZ9bTyBAtYwSNTUAhR90&redir_esc=y#v=onepage&q&f=false
-
NASKAH PUBLIKASI || ROHMAH WULAN SARI
7
Sampai dengan saat ini upaya untuk penanggulangan narkoba
yang
dilakukan oleh lembaga formal pemerintah (Dep.Kes, Imigrasi, Bea
Cukai,
POLRI, BNN, BNP, dan lain-lain) maupun oleh lembaga swadaya
masyarakat lainnya masih belum optimal, kurang terpadu dan
cenderung
bertindak sendiri-sendiri secara sektoral. Masalah
penyalahgunaan narkoba
tidak tertangani secara maksimal, sehingga kasus penyalahgunaan
narkoba
makin hari bukannya semakin menurun tetapi cenderung meningkat
baik
secara kualitas dan kuantitas.
Salah satu unsur penegak hukum yang ada di Indonesia adalah
Kepolisian Republik Indonesia (Kepolisian Republik Indonesia
untuk
selanjutnya disebut POLRI) selaku alat negara penegak hukum
dituntut untuk
mampu melaksanakan tugas penegakan hukum secara profesional
dengan
memutus jaringan sindikat dari luar negeri melalui kerjasama
dengan instansi
terkait dalam memberantas kejahatan penyalahgunaan narkoba,
dimana
pengungkapan kasus narkoba bersifat khusus yang memerlukan
proaktif
dalam mencari dan menemukan pelakunya serta senantiasa
berorientasi
kepada tertangkapnya pelaku tindak pidana di bidang narkoba.
Efektifitas
berlakunya Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
sebagai
pengganti Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 dan Undang-Undang No.
5
Tahun 1997 tentang Psikotropika sangatlah tergantung pada
seluruh jajaran
penegak hukum, dalam hal ini seluruh instansi yang terkait
langsung yakni
aparat Polri serta aparat penegak hukum lainnya.
-
NASKAH PUBLIKASI || ROHMAH WULAN SARI
8
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka Penulis tertarik
untuk
melakukan penelitian dengan mengambil judul “SINERGISITAS
KERJASAMA ANTARA BNN DAN POLRI DALAM PROSES
PENYIDIKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA”
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka identifikasi masalah
yang
dapat diangkat untuk selanjutnya diteliti dan dibahas dalam
penulisan skripsi
ini sebagai berikut :
1) Bagaimana pengaturan kewenangan penyidikan terhadap tindak
Pidana
Narkotika antara BNN dan Polri ?
2) Bagaimana problematika dan solusi dalam pelaksanaan kerjasama
antara
BNN dan Polri dalam proses penyidikan tindak pidana Narkotika
?
C. PEMBAHASAN
1. Pengaturan Kewenangan Penyidikan terhadap Tindak Pidana
Narkotika
antara BNN dan Polri
a. Profil BNN Kabupaten Cilacap
Badan Narkotika Nasional (BNN) dibentuk berdasarkan
Peraturan
Presiden No. 23 Tahun 2010 tentang Badan Narkotika Nasional.
BNN
bertugas untuk mengkordinasikan instansi pemerintah terkait
dalam
penyusunan kebijakan dan pelaksanaan di bidang
ketersediaaan,
-
NASKAH PUBLIKASI || ROHMAH WULAN SARI
9
pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran
gelap
narkotika dan zat adiktif lainnya.
Badan Narkotika Nasional Kabupaten Cilacap secara
struktural,
dibawah pengawasan Badan Narkotika Nasional Provinsi Jawa
Tengah
dan diakui secara resmi di Indonesia. BNN Kabupaten Cilacap
berdiri
dan disahkan sejak tahun 2012 yang sebelumnya bernama Badan
Narkotika Kabupaten Cilacap dibawah pengawasan Pemda
Cilacap.
b. Profil Satuan Reserse Narkoba Polres Cilacap
Satuan Reserse Narkoba Polres Cilacap berdiri tahun 2004
berawal dari reserse narkotik, kemudian bergabung pada satuan
reserse
dikarenakan perkembangan kejahatan narkotika semakin
berkembang.
c. Kewenangan Penyidikan Tindak Pidana Narkotika
Berdasarkan Pasal 6 KUHAP tersebut, dengan jelas
menyatakan bahwa penyidik terdiri dari dua yaitu penyidik
Polri
dan penyidik pegawai negeri sipil. Mengenai penyidik Polri
dari
segi diferensiasi fungsional, KUHAP telah meletakkan
tanggung
jawab fungsi penyidikan kepada instansi kepolisian yang
dalam
pelaksanaannya oleh penyidik dan penyidik pembantu.
Bagi penyidik pegawai negeri sipil diberi kewenangan yang
bersumber dari ketentuan undang-undang pidana khusus untuk
melakukan penyidikan, sehingga wewenang penyidikan yang
dimiliki oleh penyidik pengawai negeri sipil hanya terbatas
sepanjang yang menyangkut dengan tindak pidana yang diatur
-
NASKAH PUBLIKASI || ROHMAH WULAN SARI
10
dalam undang-undang pidana khusus tersebut, dan dalam
pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan
pengawasan dari penyidik Polri (Harahap, 2012:110-113).
Syarat-syarat sebagai penyidik diatur dalam Pasal 2
Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2010 tentang perubahan
atas
Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan
KUHAP, sebagai berikut:
Cara untuk dapat diangkat sebagai penyidik Kepolisian
negera Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
huruf a, harus memenuhi persyaratan:
1) Berpangkat paling rendah Inspektur Dua Polisi dan
berpendidikan paling rendah strata satu atau yang setara;
2) Bertugas di bidang fungsi penyidikan paling singkat dua
tahun;
3) Mengikuti pendidikan pengembangan spesialisasi fungsi
reserse kriminal;
4) Sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat
keterangan dokter;
5) Memiliki kemampuan dan integritas moral.
Sedangkan syarat bagi pegawai negeri sipil untuk
mengajukan diri sebagai calon Penyidik Pegawai Negeri Sipil
adalah :
a) Masa kerja sebagai PNS paling singkat dua tahun;
-
NASKAH PUBLIKASI || ROHMAH WULAN SARI
11
b) Berpangkat paling rendah Penata Muda/Golongan
III/a;
c) Berpendidikan paling rendah Sarjana Hukum atau
sarjana lain yang setara;
d) Bertugas di bidang teknis operasional penegakan
hukum;
e) Sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat
keterangan dokter rumah sakit pemerintah;
f) Setiap unsur pelaksanaan pekerjaan PNS paling sedikit
bernilai baik dalam dua tahun terakhir;
g) Mengikuti dan lulus pendidikan dan pelatihan di bidang
penyidikan.
Mengenai wewenang penyidik diatur dalam Pasal 7
KUHAP, yaitu:
1. Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1)
huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang :
a. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang
tentang adanya tindak pidana;
b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat
kejadian;
c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan
memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
-
NASKAH PUBLIKASI || ROHMAH WULAN SARI
12
d. Melakukan penangkapan, penggeledahan,penyitaan,
dan penahanan;
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa
sebagai tersangka atau saksi;
h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam
hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
i. Mengadakan penghentian penyidikan;
j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang
bertanggung jawab.
2. Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 1
huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-
undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing
dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah
koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam
Pasal 6 ayat 1 huruf a.
3. Dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud
dalam ayat 1 dan ayat 2, penyidik wajib menjunjung
tinggi hukum yang berlaku.
Selanjutnya, penyidik pembantu menurut Pasal 1 angka 3
KUHAP, adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia
yang karena diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas
-
NASKAH PUBLIKASI || ROHMAH WULAN SARI
13
penyidikan yang diatur dalam undang-udang ini. Lebih lanjut,
Pasal 10 KUHAP menyatakan :
a. Penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian negara
Republik Indonesia yang diangkat oleh Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia berdasarkan
syarat kepangkatan dalam ayat 2 pasal ini.
b. Syarat kepangkatan sebagaimana tersebut pada ayat 1
diatur dengan peraturan pemerintah.
Mengenai kewenangan penyidik pembantu diatur dalam
Pasal 11 KUHAP yaitu penyidik pembantu mempunyai
wewenang seperti tersebut dalam Pasal 7 ayat 1, kecuali
mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan
wewenang dari penyidik. Selain kewenangan penyidikan kepada
penyidik sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP), juga terdapat penyidik lain
menurut undang-undang tindak pidana khusus seperti penyidik
pada Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,
memberikan kewenangan penyidikan terhadap penyidik Badan
Narkotika Nasional. Dalam Pasal 71 Undang-Undang No. 35
Tahun 2009 menyatakan bahwa alam melaksanakan tugas
pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika
dan Prekursor Narkotika, BNN berwenang melakukan
-
NASKAH PUBLIKASI || ROHMAH WULAN SARI
14
penyelidikan dan penyidikan penyalahgunaan dan peredaran
gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Lebih lanjut, dalam Pasal 72 dalam undang-undang
tersebut memberikan pengaturan tentang penyidik BNN, sebagai
berikut :
a) Kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71
dilaksanakan oleh penyidik BNN.
b) Penyidik BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diangkat dan diberhentikan oleh Kepala BNN.
c) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
pengangkatan dan pemberhentian penyidik BNN
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Kepala BNN.
Mengenai kewenangan penyidik BNN diatur dalam Pasal
75 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,
sebagai berikut:
(1) Melakukan penyelidikan atas kebenaran laporan serta
keterangan tentang adanya penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
(2) Memeriksa orang atau korporasi yang diduga melakukan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika;
-
NASKAH PUBLIKASI || ROHMAH WULAN SARI
15
(3) Memanggil orang untuk didengar keterangannya sebagai
saksi;
(4) Menyuruh berhenti orang yang diduga melakukan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika serta memeriksa tanda pengenal diri
tersangka;
(5) Memeriksa, menggeledah, dan menyita barang bukti
tindak pidana dalam penyalahgunaan dan peredaran
gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
(6) Memeriksa surat dan/atau dokumen lain tentang
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika;
(7) Menangkap dan menahan orang yang diduga melakukan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika;
(8) Melakukan interdiksi terhadap peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika di seluruh wilayah
juridiksi nasional;
(9) Melakukan penyadapan yang terkait dengan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika setelah terdapat bukti awal yang
cukup;
-
NASKAH PUBLIKASI || ROHMAH WULAN SARI
16
(10) Melakukan teknik penyidikan pembelian terselubung
dan penyerahan di bawah pengawasan;
(11) Memusnahkan Narkotika dan Prekursor Narkotika;
(12) Melakukan tes urine, tes darah, tes rambut, tes
asam dioksiribonukleat (DNA), dan/atau tes bagian tubuh
lainnya;
(13) Mengambil sidik jari dan memotret tersangka;
(14) Melakukan pemindaian terhadap orang, barang,
binatang, dan tanaman;
(15) Membuka dan memeriksa setiap barang kiriman melalui
pos dan alat-alat perhubungan lainnya yang diduga
mempunyai hubungan dengan penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
(16) Melakukan penyegelan terhadap Narkotika dan
Prekursor Narkotika yang disita;
(17) Melakukan uji laboratorium terhadap sampel dan barang
bukti Narkotika dan Prekursor Narkotika;
(18) Meminta bantuan tenaga ahli yang diperlukan dalam
hubungannya dengan tugas penyidikan penyalahgunaan
dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
dan
-
NASKAH PUBLIKASI || ROHMAH WULAN SARI
17
(19) Menghentikan penyidikan apabila tidak cukup bukti
adanya dugaan penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Kewenangan lain yang dimiliki oleh penyidik BNN diatur
dalam Pasal 80 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, bahwa penyidik BNN sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 75, juga berwenang :
a. Mengajukan langsung berkas perkara, tersangka, dan barang
bukti, termasuk harta kekayaan yang disita kepada jaksa
penuntut umum;
b. Memerintahkan kepada pihak bank atau lembaga keuangan
lainnya untuk memblokir rekening yang diduga dari hasil
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika milik tersangka atau pihak lain yang terkait;
c. Untuk mendapat keterangan dari pihak bank atau lembaga
keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka yang
sedang diperiksa;
d. Untuk mendapat informasi dari Pusat Pelaporan dan
Analisis
Transaksi Keuangan yang terkait dengan penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
e. Meminta secara langsung kepada instansi yang berwenang
untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri;
-
NASKAH PUBLIKASI || ROHMAH WULAN SARI
18
f. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka
kepada
instansi terkait; Menghentikan sementara suatu transaksi
keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau
mencabut sementara izin, lisensi, serta konsesi yang
dilakukan
atau dimiliki oleh tersangka yang diduga berdasarkan bukti
awal yang cukup ada hubungannya dengan penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang
sedang diperiksa; dan
g. Meminta bantuan interpol Indonesia atau instansi penegak
hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan,
dan penyitaan barang bukti di luar negeri.
Kewenangan penyidikan Narkotika sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tidak
hanya
kepada diberikan penyidik BNN, tetapi juga kepada penyidik
Polri
sebagaimana diatur dalam Pasal 81, yang menyatakan bahwa
penyidik
Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penyidik BNN
berwenang
melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan dan peredaran
gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika berdasarkan undang-undang
ini.
Maksud dari Pasal 81 di atas, bahwa penyidik Polri dalam
melakukan upaya pemberantasan Narkotika juga memiliki
kewenangan penyidikan sebagaimana kewenangan penyidikan oleh
penyidik BNN. Tidak ada yang lebih superior antara penyidik
Polri
dan penyidik BNN, keduanya memiliki kewenangan yang sama,
dan
-
NASKAH PUBLIKASI || ROHMAH WULAN SARI
19
saling bekerjasama satu sama lain dalam upaya pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika (A.R Sujono dan Bony Daniel, 2013:154).
Bahwa sejak berlakunya Undang-Undang No. 35 Tahun 2009
tentang Narkotika, maka Badan Narkotika Nasional mempunyai
kewenangan dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan
terhadap
perkara tindak pidana Narkotika menurut tata cara sebagaimana
diatur
baik dalam hukum pidana materiil maupun formil yang harus
dipatuhi
dalam proses penanganan perkara penyalahgunaan dan peredaran
gelap
Narkotika dan Preskursor Narkotika di wilayah Republik
Indonesia. (A.R Sujono dan Bony Daniel, 2013: 132-133).
Sistem Penegakan Hukum Narkotika yang Efektif berdasarkan
UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, berfungsi untuk
menjamin
ketersediaan obat guna kepentingan ilmu pengetahuan,
teknologi,
serta kesehatan, mencegah penyalahgunaan narkotika, dan juga
berfungsi untuk memberantas peredaran gelap narkotika.
Berdasarkan
tujuan hukum ini, maka diperlukan strategi untuk penegakan
hukum
secara efektif, meliputi:
a. General Prevention
Masalah pengaturan produksi, penyediaan, peredaran,
penyaluran, dan penggunaan psikotropika, diperlukan aturan
hukum yang berfungsi sebagai regulation, serta pencegahan
dan
peredaran gelap narkotika dan psikotropika memerlukan
-
NASKAH PUBLIKASI || ROHMAH WULAN SARI
20
perhatian sebagai bentuk general prevention. Upaya
pencegahan
ini amat diperlukan sehingga dapat diketahui seberapa jauh
maksimal kebutuhan tahunan akan narkotika dan psikotropika,
memang diperlukan. Karena, kalau tidak dikontrol
pengadaannya
akan memberikan dampak terhadap penyalahgunaan produksi
narkotika dan psikotropika yang melebihi kebutuhan. Oleh
karena itu, untuk mengantisipasi terhadap peredaran gelap
narkotika dan psikotropika tersebut, maka diperlukan suatu
kebijakan dalam rangka pemberantasan peredaran gelap
narkotika dan psikotropika melalui kebijakan kriminal
(criminal
policy).
b. Criminal Policy
Kebijakan kriminal ini dapat dilakukan dengan dua cara,
yakni: melalui sarana penal atau penegakan hukum pidana, dan
dengan sarana nonpenal, antara lain melalui kegiatan
penyuluhan
hukum kepada masyarakat. Program criminal policy ini,
menjadi
tanggungjawab aparat penegak hukum dengan menegakkan
hukum sebagai upaya punishment, namun juga kadang-kadang
diperlukan sarana reward untuk membangkitkan motivasi
masyarakat guna menunjang penegakan hukum.
Dalam proses penegakan hukum (law enforcement),
menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2009, dalam penerapan
suatu sanksi kepada para pengguna, tidak hanya terbatas
dengan
-
NASKAH PUBLIKASI || ROHMAH WULAN SARI
21
sanksi pidana dan juga tidak selamanya penegak hukum harus
memenjarakan sebanyak-banyaknya para pengguna narkotika
dan psikotropika di lembaga pemasyarakatan. Dalam hal ini,
hakim juga berwenang memberikan putusan hukum agar
dilakukan perawatan medis sebagai salah satu bentuk upaya
terapi dan rehabilitasi sosial, yang diselenggarakan oleh
pemerintah. Pelanggaran terhadap aturan hukum ini, dianggap
telah melakukan tindak pidan.
c. Medical Rehabilitation and Social Rehabilitation
Para pecandu narkotika tidak jarang memberikan dampak
terhadap rasa aib bagi anggota keluarganya. Mereka sembunyi-
sembunyi untuk melakukan perawatan medis sendiri
(swamedikasi), padahal tindakan tersebut dapat dikategorikan
sebagai tindak pidana. Oleh sebab itu, peranan masyarakat
untuk
membangun fasilitas sarana rehabilitasi medis amat
diperlukan
dalam rangka rehabilitasi sosial.
Disisi lain, bagi para terpidana narkotika dan psikotropika
diharapkan untuk dibangun fasilitas lembaga pemasyarakatan
khusus, yang dijauhkan dengan para pelaku tindak pidana
lainnya. Para terpidana narkotika dan psikotropika selama
menjalani hukuman, dapat pula dimanfaatkan oleh aparat
penegak hukumuntuk dilakukan pelatihan tentang kewajiban
memberikan informasi, pelatihan keterampilan dalam teknik
-
NASKAH PUBLIKASI || ROHMAH WULAN SARI
22
pembelian terselubung sehingga dapat menunjang peranan
penegak hukum.
d. International Coorperation
Penegakan hukum terhadap peredaran gelap narkotika dan
psikotropika, tidak selamanya menjadi hak dan kewajiban
penegak hukum. Kejahatan ini secara umum merupakan salah
satu bentuk kejahatan terorganisasi dan modus operandinya
dapat
melewati lintas batas antarnegara atau dapat disebut sebagai
kejahatan transnasional. Maka, peran serta masyarakat sangat
dibutuhkan, baik masyarakat lokal, regional, maupun
internasional.
Pelembagaan masyarakat internasional sangat penting
untuk ditumbuh kembangkan dengan menetapkan sejumlah hak
dan kewajiban masyarakat baik nasional maupun internasional.
Hak masyarakat antara lain: hak memperoleh informasi yang
mudah dan transparan, hak memperoleh pelayanan yang adil dan
tidak diskriminatif, hak untuk memperoleh jaminan keamanan
dan perlindungan hukum, hak untuk menyampaikan informasi
yang bertanggung jawab.
Selain itu, masyarakat juga dituntut kewajibannya yakni
memberikan kesempatan seluas-luasnya dalam pencegahan
peredaran gelap narkotika dan psikotropika serta kewajiban
melaporkan kepada penegak hukum, terhadap setiap
-
NASKAH PUBLIKASI || ROHMAH WULAN SARI
23
penggunaan, peredaran, penyimpanan narkotika dan
psikotropika
yang diketahuinya diperoleh secara tidak sah.
Kelembagaan masyarakat tersebut, dimulai dari lingkungan
kehidupan keluarga, lingkungan kehidupan di sekolah atau
lingkungan tempat kerja, hingga dalam kehidupan sosial
masyarakat. Bentuk-bentuk kelembagaan tersebut bertujuan
untuk membangun persepsi yang sama sebagai kelompok
antinarkoba, sehingga secara substansial amat menunjang
penegakan hukum, maupun untuk pengawasan sosial, yang pada
akhirnya tercipta sebuah institusi pengendalian sosial
masyarakat.
Penegakan hukum terhadap narkotika agar berhasil efektif
amat ditentukan oleh dua faktor, yakni faktor penerapan
sanksi
pidana dan penggunaan teknik penyidikan yang tepat. Sanksi
pidana harus dapat berfungsi sebagai detterence effect
(penjeraan) dan penggunaan teknik penyidikan yang tepat dan
efektif.
Strategi pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan
narkotika dan psikotropika yang dilakukan oleh Polri yaitu
melakukan langkah-langkah Pre-emtif, preventif dan represif
maupun perawatan dan rehabilitasi para penderita
penyalahguna
narkotika dan psikotropika yang dalam pelaksanaannya
-
NASKAH PUBLIKASI || ROHMAH WULAN SARI
24
melibatkan instansi terkait maupun lembaga swadaya
masyarakat.
Penetapan tersangka berdasarkan Pasal 1 angka 14 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang dimaksud
dengan tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya
atau
keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai
pelaku tindak pidana.
Selanjutnya dalam Pasal 66 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan
Kapolri No. 12 Tahun 2009 Pengawasan Dan Pengendalian
Penanganan Perkara Pidana Di Lingkungan Kepolisian Negara
Republik Indonesia (Perkap 12/2009) disebutkan bahwa :
1) Status sebagai tersangka hanya dapat ditetapkan oleh
penyidik kepada seseorang setelah hasil penyidikan
yang dilaksanakan memperoleh bukti permulaan
yang cukup yaitu paling sedikit 2 (dua) jenis alat
bukti.
2) Untuk menentukan memperoleh bukti permulaan
yang cukup yaitu paling sedikit 2 (dua) jenis alat
bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditentukan melalui gelar perkara.
Bahwa untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka
haruslah didapati bukti permulaan yang cukup yaitu paling
sedikit 2 (dua) jenis alat bukti, dan ditentukan melalui
gelar
-
NASKAH PUBLIKASI || ROHMAH WULAN SARI
25
pekara. Sehingga harus ada proses terlebih dahulu dalam
menetapkan seseorang menjadi tersangka.
Berdasarkan Pasal 1 angka 11 jo. Pasal 14 ayat (1) Perkap
12/2009, prosedur penyelesaian perkara termasuk penyidikan
dan
penetapan tersangka, harus dilakukan secara profesional,
proporsional dan transparan agar tidak ada penyalahgunaan
wewenang dan lebih jauh tidak semata-mata bertendensi
menjadikan seseorang menjadi tersangka.
Hasil wawancara yang dilakukan dengan Rizky Hastono
selaku penyidik BNN Cilacap, bahwa BNN adalah Badan
Narkotika Nasional yang secara vertikal bertanggung jawab
langsung kepada Presiden dan berada diluar Polri. Sedangkan
di
Polri memiliki Direktorat Narkotika. Kewenangan Polri dan
BNN yaitu Polri hanya memiliki kewenangan penegakan hukum
di dalam mencegah dan menindak pelaku tindak pidana
narkotika.
Polri tidak memiliki kewenangan di dalam bidang
pencegahan dan pemberdayaan masyarakat (P2M) dan tidak
memiliki kewenangan untuk melakukan rehabilitasi kepada
korban penyalahguna narkotika. Sedangkan kewenangan BNN
itu sendiri lebih lengkap di dalam bidang pencegahan dan
pemberdayaan masyarakat (P2M), kewenangan untuk melakukan
rehabilitasi bagi korban penyalahguna narkotika dan
kewenangan
-
NASKAH PUBLIKASI || ROHMAH WULAN SARI
26
pemberantasan di dalam mencegah dan menindak pelaku tindak
pidana narkotika. Kewenangan pemberantasan ini memiliki arti
yang sama dengan kewenangan penegakan hukum di Polri yakni
penegakan hukum terhadap peredaran gelap narkotika dan
prekusor narkotika.
Ketika melakukan penyelidikan, apabila terbukti: ada
barang bukti, ada narkotikanya, maka dilanjutkan ditingkat
penyidikan, yang melakukan penyidikan adalah penyidik BNN,
ketika tidak terbukti, tetapi dia positif menggunakan
narkotika
maka yang menampung adalah seksi rehabilitasi. Adapun
kerjasama yang dilaksanakan antara BNN dan Polri dalam
bentuk sebagai berikut :
a. Kerjasama antara BNN dan Polri dilaksanakan dalam
bentuk TAT (Tim Asesment Terpadu)
Tim Asesment Terpadu (TAT) adalah tim yang
terdiri dari BNN, Polri, Kejaksaan, Psikolog/Dokter, seksi
rehabilitasi. Terkait dengan rehabilitasi yang diatur di
dalam peraturan bersama Nomor 01/PB/MA/III/2014,
Nomor 03 tahun 2014, Nomor 11 tahun 2014, NomorPER-
005/A/JA/03/2014,Nomor1TAHUN2014,PERBER/01/III/
2014/BNN tentang Penanganan Pecandu dan Korban
Penyalahguna Narkotika dalam Lembaga Rehabilitasi
dengan sekretariatnya adalah BNN.
-
NASKAH PUBLIKASI || ROHMAH WULAN SARI
27
BNN dan Polri telah menjalin Nota kesepahaman
(MoU) mengenai kerjasama di dalam mencegah dan
menindak pelaku tindak pidana narkotika. Apabila Polri
maupun BNN menemukan adanya informasi mengenai
peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika, Polri
dan BNN sama-sama melakukan Press release atas
temuan tersebut.
Kerjasama dalam mencegah dan menindak pelaku
tindak pidana narkotika, BNN dan Polri saling terkait
apabila Polri meminta dukungan masalah penyuluhan,
pihak BNN siap melakukan penyuluhan dan sosialisasi
tentang narkotika dan bahaya narkotika. Dalam
mengadakan operasi sidak ataupun razia pihak BNN
meminta bantuan ke Polri karna keterbatasan jumlah
anggota.
Perbuatan menggunakan dan menyalahgunakan narkotika
merupakan satu perbuatan pidana, sehingga terhadap pelaku
sudah
selayaknya dilakukan proses hukum sebagaimana layaknya
penegakan
hukum terhadap perkara pidana lainnya. Namun untuk saat ini
penegakanan hukum terhadap pecandu sudah tidak selalu
menggunakan sarana penal, karena adanya keharusan rehabilitasi
bagi
pecandu yang melaporkan diri pada instansi tertentu penerima
wajib
-
NASKAH PUBLIKASI || ROHMAH WULAN SARI
28
lapor, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 54 Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 25 Tahun 2011 tentang
Pelaksanaan Wajib lapor bagi Pecandu Narkotika, pada Pasal 13
Ayat
(3) disebutkan bahwa pecandu yang sedang menjalani proses
peradilan dapat ditempatkan dalam lembaga rehabilitasi medis
dan/atau rehabilitasi sosial. Lebih lanjut dalam Ayat (4)
ditentukan
bahwa penentuan rehabilitasi pecandu menjadi kewenangan
penyidik,
penuntut umum dan hakim setelah mendapat rekomendasi dari
tim
dokter.
Berdasarkan ketentuan dalam peraturan pemerintah tersebut
tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang dapat direhabilitasi
medis
maupun sosial tidak hanya terbatas bagi pecandu yang
melaporkan
diri, namun pecandu, korban penyalahguna yang perkaranya
diperiksa
oleh penegak hukum, yaitu mereka yang ditangkap, tertangkap
tangan,
dapat direhabilitasi oleh petugas yang sedang menangani
perkaranya.
Penegakan hukum terhadap persoalan narkotika terutama
terhadap para pecandu maupun korban penyalahguna yang belum
sesuai dengan amanahnya, menimbulkan permasalahan narkotika
semakin kompleks sehingga jumlah korban penyalahguna,
pecandu
dan pengedar dari tahun ke tahun semakin bertambah banyak.
Melihat kenyataan tersebut BNN berinisiatif untuk lebih
memberi perhatian terutama pada pecandu, korban
penyalahgunaan
-
NASKAH PUBLIKASI || ROHMAH WULAN SARI
29
narkotika dengan menggiatkan pemberian rehabilitasi. Bahwa
untuk
itu, BNN melakukan kerjasama dengan beberapa instansi
pemerintah
yang dapat dilibatkan dalam rehabilitasi. Bentuk kerjasama
tersebut
diwujudkan dalam bentuk Peraturan Bersama.
Bahwa dengan ditetapkan Peraturan Bersama antara 7 (tujuh)
Lembaga Negara Republik Indonesia pada tanggal 11 Maret 2014
tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban
Penyalahgunaan
Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi, proses penyidikan
terhadap
pecandu maupun penyalahguna narkotika mengalami perubahan.
Bagi
pecandu dan penyalahguna narkotika yang ditangkap maupun
tertangkap tangan, maka akan dilakukan asesmen oleh tim
asesmen
terpadu yang terdiri dari unsur :
a. Tim dokter yang terdiri dari dokter dan psikolog
b. Tim hukum yang terdiri dari unsur Polri, BNN, Kejaksaan
dan Kemenkumham.
Tugas dari tim asesmen terpadu yaitu untuk menghentikan
peredaran gelap narkotika dan penyalahgunaan narkotika serta
melakukan asesmen dan analisa medis, psikososial dan
merekomendasi rencana terapi dan rehabilitasi pecandu dan
penyalahguna narkotika.
Tim asesmen terpadu juga mempunyai beberapa kewenangan
yang mencakup beberapa hal seperti, permintaan penyidik
untuk
melakukan analisis peran seorang yang ditangkap atau
tertangkap
-
NASKAH PUBLIKASI || ROHMAH WULAN SARI
30
tangan, sebagai korban penyalahguna, pecandu atau pengedar
narkotika, menentukan kriteria tingkat keparahan pengguna
narkotika
sesuai dengan jenis kandungan yang dikonsumsi, merekomendasi
rencana terapi dan rehabilitasi terhadap pecandu dan korban
penyalahguna narkotika.
Dalam praktek, ada beberapa pecandu yang tertangkap baik
oleh
penyidik Polri, Penyidik PPNS maupun BNN. Namun tindakan
para
penyidik terhadap pecandu tersebut tidak selalu sama.
Sebenarnya
dengan adanya undang-undang narkotika, peraturan pemerintah
dan
peraturan bersama, sudah ada ketentuan yang seragam untuk
penindakan terhadap pecandu.
Proses penanganan terhadap tersangka pecandu narkotika,
dalam
jangka waktu 1x24 jam oleh Penyidik Polres Cilacap melakukan
pemeriksaan/wawancara dengan tersangka, apabila mereka
diindikasi
sebagai pecandu maka dilakukan tindakan asesment. Untuk
pemeriksaan kesehatan dilakukan oleh dokter dari RSUD Cilacap
atau
dari RSUD Majenang. Selanjutnya dari hasil asesmen mereka
diberi
rekomendasi untuk direhabilitasi di Panti Sosial
Rehabilitasi
Gangguan Jiwa dan Narkoba Tambihul Ghofilin Yayasan Assalam
Kesugihan, Cilacap.
Tindakan Penyidik Polres Cilacap memberi kesempatan untuk
rehabilitasi bagi pecandu ini mendasarkan pada Peraturan
Bersama
Pasal 3 Ayat (1) dan Pasal 4 ayat (1,2 dan 3) serta Surat
Telegram
-
NASKAH PUBLIKASI || ROHMAH WULAN SARI
31
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) Nomor:
STR/701/VII/2014, Tanggal 22 Agustus 2014.
Ketentuan tersebut pada prinsipnya menyebutkan bahwa
terhadap pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika dapat
direhabilitasi, yaitu mereka yang merupakan pecandu dan korban
yang
dalam Peraturan Bersama Pasal 4 Ayat (1) ditegaskan sebagai
pecandu dan korban yang ditangkap tetapi tanpa barang bukti,
namun
dari hasil tes urine, darah, rambut dinyatakan positif
menggunakan
narkotika dan mereka yang dalam Pasal 4 Ayat (2) disebutkan
sebagai
pecandu dan korban yang ditangkap dengan barang bukti dalam
jumlah tertentu dengan atau tidak memakai narkotika sesuai hasil
tes
urine, rambut, darah atau DNA, selama perkaranya dalam
proses
peradilan, dalam jangka waktu tertentu dapat ditempatkan di
lembaga
rehabilitasi, setelah dibuatkan Berita Acara Pemeriksaan
Hasil
laboratorium dan Berita Acara pemeriksaan oleh Penyidik BNN
dan
dilengkapai surat hasil asesmen terpadu.
Persyaratan barang bukti dalam jumlah tertentu yang dibawa
tersangka, penyidik Polres Cilacap mengacu pada Surat Edaran
Mahkamah Agung Republik Indonesia, selanjutnya disebut SEMA
Nomor: 04 Tahun 2010, Tanggal 7 April 2010 tentang
Penempatan
Penyalahgunaan, Korban penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika
ke
dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilisi Sosial.
Sebenarnya
SEMA tersebut ditujukan pada hakim yang menangani perkara
-
NASKAH PUBLIKASI || ROHMAH WULAN SARI
32
pecandu, korban penyalahgunaan narkotika yang memberi
petunjuk
pada hakim ketika akan menjatuhkan putusan berupa tindakan
rehabilitasi bagi pecandu, korban yang tertangkap tangan,
dengan
barang bukti pemakaian dalam satu hari paling banyak 5 gram.
Penyidik Polres Cilacap hanya memberi kesempatan
rehabilitasi
pada tersangka pecandu narkotika di Kabupaten Cilacap,
dengan
membawa barang bukti dan batasan pemakaian paling banyak 5
gram.
Apabila barang bukti yang dibawa tersangka lebih dari 5
gram,
penyidik Polres Cilacap tidak memberi rekomendasi untuk
dilakukan
tes asesmen.
Berdasarkan Pasal 4 Ayat (4) Peraturan Bersama, terhadap
pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika sebagai
tersangka,
terdakwa yang ditangkap dengan barang bukti melebihi jumlah
tertentu (mengacu pada SEMA Nomor: 4 tahun 2010 yaitu yang
dimaksud jumlah tertentu adalah sebanyak 5 gram) dan positif
menggunakan narkotika dari hasil pemeriksaan medis dengan
Berita
Acara Pemeriksaan Penyidik, hasil asesmen tetap ditahan dan
dapat
diberikan pengobatan dalam rangka rehabilitasi.
Batasan ketentuan jumlah narkotika yang menjadi barang bukti
tersebut juga diatur dalam Pasal 112 Ayat (2) Undang-Undang No.
35
Tahun 2009 tentang Narkotika, yang menyebutkan bahwa
perbuatan
memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan narkotika
Golongan I bukan tanaman, apabila beratnya melebihi 5 gram,
-
NASKAH PUBLIKASI || ROHMAH WULAN SARI
33
ancaman pidana bagi pelaku yaitu pidana penjara seumur hidup
atau
pidana penjara paling singkat 5 tahun dan denda maksimum 8
milyar
ditambah 1/3. Namun aturan tersebut ditujukan bagi orang
yang
menyimpan, memiliki dan menguasai, bukan pecandu atau korban
penyalahguna. Bahwa dari aturan tersebut, bisa dilihat betapa
berat
ancaman pidana bagi orang yang melakukan tindak pidana
narkotika
dengan membawa barang bukti melebihi 5 gram.
Menurut keterangan Koliq Salis Hirmawan selaku Kepala satuan
Narkoba Polres Cilacap, tindakan penyidik Polres Cilacap
untuk
melakukan rehabilitasi terhadap para pecandu tersebut
berdasarkan
inisiatif dari penyidik, sementara permohonan dari tersangka
atau
kuasa hukum belum pernah ada. Sebenarnya apa yang dilakukan
oleh
penyidik narkoba Polres Cilacap dengan berinisiatif untuk
melakukan
tindakan rehabilitasi pada pecandu narkotika sudah sesuai amanat
dari
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 dan Peraturan
Bersama,
sehingga tidak perlu menunggu pemohonan dari tersangka,
karena
belum tentu aturan-aturan yang memberi kesempatan rehabilitasi
bagi
pecandu tersebut diketahui oleh masyarakat.
Tindakan rehabilitasi yang dilakukan oleh Panti Sosial
Rehabilitasi Narkoba Cilacap, bukan termasuk bentuk tindakan
penahanan oleh penyidik, karena Penyidik sudah menyerahkan
sepenuhnya tanggung jawab tersangka termasuk keamanan kepada
lembaga rehabilitasi. Keamanan tersangka dilakukan oleh
Polisi
-
NASKAH PUBLIKASI || ROHMAH WULAN SARI
34
Sektor Cilacap yang diminta oleh Panti Sosial Rehabilitasi
Narkoba
untuk turut mengawasi dan menjaga mereka. Apa yang dilakukan
oleh
Panti Sosial Rehabilitasi Narkoba ini sesuai dengan ketentuan
dalam
Pasal 3 e Peraturan Bersama, yang menyatakan bahwa keamanan
dan
pengawasan pelaksanaan rehabilitasi medis dan rehabilitasi
sosial bagi
pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika yang
dilaksanakan
oleh rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi yang ditunjuk
oleh
pemerintah dalam pelaksanaannya dapat berkerjasama dengan
polri
setempat.
Berdasarkan Pasal 80 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009
tentang Narkotika, disebutkan kewenangan yang dapat dilakukan
oleh
penyidik BNN, meliputi: tindakan penyelidikan atas kebenaran
laporan serta keterangan tentang adanya penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika, memeriksa
orang
atau korporasi yang diduga melakukan penyalahgunaan dan
peredaran
gelap narkotika dan prekursor narkotika, menyuruh berhenti
orang
yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkotika dan prekursor narkotika serta memeriksa tanda
pengenal
tersangka, memeriksa, menggeledah dan menyita barang bukti
tindak
pidana narkotika, memeriksa surat dan/atau dokumen lain
tentang
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, menangkap dan
menahan orang yang diduga melakukan penyalahgunaan dan
peredaran narkotika dan prekursor, melakukan penyadapan
terkait
-
NASKAH PUBLIKASI || ROHMAH WULAN SARI
35
tindak pidana narkotika, melakukan teknik pembelian terselubung
dan
penyerahan dibawah pengawasan, memusnahkan narkotika,
menagmabil sidik jari, tes urine, tes darah, tes rambut, tes
DNA, dan
tindakan-tindakan lain yang berhubungan dengan tindak pidana
narkotika.
2. Problematika dan Solusi dalam Pelaksanaan Kerjasama antara
BNN dan
Polri dalam Proses Penyidikan Tindak Pidana Narkotika
Menurut penjelasan Kepala Satuan Reserse Narkoba Polres
Cilacap, BNN Kabupaten Cilacap hingga saat ini masih
kekurangan
penyidik, sehingga apabila ada pecandu, korban
penyalahgunaan
narkotika maupun pengedar narkotika yang ditangkap maupun
tertangkap
tangan, penyidikan dilakukan oleh penyidik polisi, dalam hal ini
penyidik
dari Unit Narkoba Polres Cilacap. Seperti yang terjadi saat ini
di
Kabupaten Cilacap pada Tahun 2018 sejak bulan Januari hingga
November, terdapat 69 tersangka. Untuk perkara-parkara nakotika
yang
besar, seperti penyelundupan, peredaran gelap, maka
penyidikan
dilakukan oleh penyidik PPNS dari Kantor Imigrasi, Kantor Bea
Cukai,
BNN Kabupaten Cilacap dan penyidik Polisi Daerah Cilacap.
Penyidik BNNK Cilacap akan mendapat laporan dari penyidik
PPNS, dalam rangka melakukan kerjasama. Hal ini dilakukan
apabila
penyidikan perkara narkotika telah dilaksanakan oleh Penyidik
PPNS,
selain itu juga dilakukan kerjasama dengan Penyidik Polres
Kabupaten
Cilacap. Tindakan penyidik PPNS ini seperti yang diatur dalam
Pasal 85
-
NASKAH PUBLIKASI || ROHMAH WULAN SARI
36
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dan Pasal 7
Ayat
(2) KUHAP.
Suatu perkara narkotika yang disidik oleh Polri, maka
dilakukan
pemberitahuan secara tertulis kepada penyidik BNN, begitu
juga
sebaliknya. Apa yang dilakukan penyidik Polri dan penyidik BNN
sesuai
dengan ketentuan Pasal 84 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009
tentang
Narkotika. Dalam hal perkara tersebut dilakukan oleh anak, maka
akan
melibatkan Balai Pemasyarakatan yang akan melakukan
penelitian
kemasyarakatan yang hasilnya dipakai untuk asesmen maupun
untuk
proses penyidikan perkaranya.
Amanah dari Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika
dan Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2011 yang memberi
kemungkinan
pecandu, korban yang ditangkap atau tertangkap tangan untuk bisa
diberi
kesempatan direhabilitasi, hanya dilakukan pada orang-orang
tertentu atau
hanya pada pecandu yang melaporkan diri.
Menurut keterangan Kepala BNNK Cilacap, BNN sebagai lembaga
yang menginisiasi adanya Peraturan Bersama sangat berkeyakinan
untuk
dapat segera mengoptimalkan pelaksanaan Peraturan Bersama
tersebut.
Menurut BNN, peraturan bersama ini merupakan peraturan yang
sangat
penting dalam proses penanganan kasus narkotika karena
banyaknya
peraturan yang dibuat di Indonesia namun gagal untuk
penyembuhan
pecandu narkotika.
-
NASKAH PUBLIKASI || ROHMAH WULAN SARI
37
Penegak hukum dalam menangani kasus pecandu narkotika, lebih
sering tidak melakukan upaya rehabilitasi. Adanya kenyataan
seperti ini,
menjadi pendorong BNN mengumpulkan pimpinan 6 lembaga
lainnya
yakni Mahkamah Agung, Kejaksaan, Kepolisian Republik
Indonesia,
Kementrian Kesehatan, Kementrian Sosial, serta Kementrian Hukum
dan
HAM Republik Indonesia untuk menandatangani sebuah
kesepakatan
dalam produk hukum Peraturan Bersama yang tujuannya untuk
menyamakan persepsi bahwa pecandu narkotika seharusnya
direhabilitasi.
Bagi lembaga BNN, adanya Peraturan Bersama ini, menjadi
penguat
peranannya dalam melakukan penyidikan, yang selama ini telah
terjadi
pemahaman untuk tidak memidanakan pecandu narkotika. Setelah
adanya
Peraturan Bersama, ada kesiapan yang lebih pada
infrastruktur
kelembagaan misalnya terkait dengan tim asesmen terpadu dan
juga
kesiapan dana misalnya terkait dengan tersedianya pos anggaran
dana
untuk asesmen dan rehabilitasi.
Sejak diberlakukan Peraturan Bersama, proses penyidikan
narkotika
di BNN terhadap pecandu yang melaporkan diri akan
direkomendasikan
untuk mendatangi Insitusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) untuk
dilakukan
asesmen untuk menentukan taraf kecanduannya sebagai penentu
waktu
rehabilitasinya. Hal ini tidak dilakukan oleh BNN ketika
menangkap
seorang tersangka kasus narkotika. Terhadap kasus tersebut, BNN
terlebih
dahulu akan menyerahkan tersangka kepada tim asesmen terpadu
untuk
-
NASKAH PUBLIKASI || ROHMAH WULAN SARI
38
dapat ditentukan taraf kecanduannya dan untuk menentukan apakah
orang
tersebut memang layak untuk mendapatkan tindakan
rehabilitasi.
Hasil dari penilaian tim asesmen terpadu merupakan dasar
bagi
penyidik BNN dalam menentukan apakah seorang tersangka
pecandu
narkotika direhabilitasi di lembaga rehabilitasi atau ia
direhabilitasi di
rutan karena posisinya yang tidak hanya sebagai pecandu
narkotika namun
juga pengedar, kurir, atau bandar. (Wawancara dengan Budiharso,
Kepala
Badan Narkotika Nasional Kabupaten Cilacap tanggal 17 Mei
2019).
Sejak diberlakukan Peraturan Bersama, penyidik BNNK Cilacap
pernah menangani kasus narkotika, ketika melakukan razia di
rumah
hiburan dan kafe. Pada saat itu penyidik menangkap 2 orang yang
bekerja
di sebuah kafe. Kemudian penyidik BNNP bekerjasama dengan
dokter
dari salah satu Rumah Sakit di Cilacap, untuk melakukan asesmen.
Dari
hasil asesmen, keduanya dinyatakan sebagai pecandu tahap awal,
sehingga
kemudian terhadap keduanya diberi kesempatan untuk
direhabilitasi
dengan cara rawat jalan.
Pelaksanaan rehabilitasi dilakukan di RSUD Cilacap. Tempat
tersebut mendapat rekomendasi pemerintah sebagai salah satu
rumah sakit
untuk tempat rehabilitasi pecandu narkotika. Selama jangka waktu
3 bulan
proses rehabilitasi tersebut harus dijalani, dan mereka pada
saat-saat
tertentu harus datang ke BNNP maupun RSUD Cilacap. Lamanya
jangka
waktu rehabilitasi ini disesuaikan dengan pelaksanaan Peraturan
Bersama
yang berlangsung sejak bulan Agustus hingga Desember 2014.
-
NASKAH PUBLIKASI || ROHMAH WULAN SARI
39
Berdasarkan laporan dari dokter RSUD Cilacap yang menangani
rehabilitasi keduanya, mereka menunjukkan perkembangan yang
bagus,
baik perilaku maupun kesehatannya, sehingga oleh BNNP perkara
mereka
tidak dilanjutkan prosesnya. Selain kedua orang yang bekerja di
kafe
tersebut, BNN juga tengah merehabilitasi 3 orang tersangka
pecandu
narkotika yang berhasil ditangkap pada saat dilakukan razia.
Dari hasil
asesmen yang dilakukan oleh Tim Asesmen Terpadu,
merekomendasi
ketiganya untuk direhabilitasi di Panti Sosial Rehabilitasi
Narkoba,
Cilacap. Meskipun tengah menjalani rehabilitasi, namun
penanganan
perkara ketiganya tetap dilanjutkan oleh penyidik. Tindakan
terhadap 2
orang dan 3 tersangka tersebut menjadi tugas dari Bagian
Pemberantasan
BNNK Cilacap.
Pendanaan selama proses asesmen dan proses rehabilitasi
tersangka
pecandu narkotika, BNN akan menanggung secara keseluruhan,
apabila
rehabilitasi dilakukan ditempat yang ditunjuk pemerintah. Namun
apabila
pecandu memilih untuk direhabilitasi ditempat lainnya yang
mendapat
rekomendasi pemerintah, maka biaya ditanggung oleh yang
bersangkutan.
Adanya mekanisme-mekanisme tersebut, penyidik BNN dalam
melakukan
penanganan pecandu narkotika memang bertujuan untuk tidak
selalu
berakhir pada pemidanaan, namun diarahkan pada diberikannya
sanksi
tindakan berupa rehabilitasi.
Adapun batasan barang bukti yang ada pada tersangka, BNN
juga
mengacu pada SEMA No. 4 Tahun 2010, yaitu maksimal 5 gram.
SEMA
-
NASKAH PUBLIKASI || ROHMAH WULAN SARI
40
tersebut merupakan surat yang menjadi arahan dan acuan bagi
hakim
pengadilan negeri dan hakim pengadilan tinggi dalam memutus
perkara
pecandu narkotika yang tertangkap tangan untuk dapat dijatuhi
pidana
berupa tindakan rehabilitasi seperti yang diatur dalam Pasal 103
Undang-
Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Berdasarkan Pasal 82 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika ditentukan kewenangan tersebut, meliputi :
berwenang
memeriksa kebenaran laporan, orang, bukti-bukti, surat,
melakukan
penangkapan dalam hal telah terjadi tindak pidana narkotika dan
prekursor.
Penanganan perkara ini, penyidik PPNS dalam melakukan kerjasama
tidak
hanya dengan penyidik Polri tetapi juga harus berkerjasama
dengan
penyidik BNN.
Kewenangan penyidikan terhadap penyalahgunaan dan peredaran
gelap narkotika dan prekursor narkotika dimiliki oleh Penyidik
Polri dan
Penyidik BNN. Sedangkan Penyidik PPNS tertentu sebagaimana
dimaksud
dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana berwenang
melakukan
penyidikan terhadap tindak pidana penyalahgunaan narkotika dan
prekursor
narkotika. (Pasal 81 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
(Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143, Tambahan
Lembaaran
Negara Rebuplik Indonesia Tahun 2009 Nomor 5062))
Berdasarkan hasil penelitian di Kabupaten Cilacap, penyidik
yang
menangani perkara narkotika adalah penyidik Polri dan Penyidik
BNN
-
NASKAH PUBLIKASI || ROHMAH WULAN SARI
41
Kabupaten Cilacap. Penyidik PPNS yang salah satunya dapat
berasal dari
Kementrian Kesehatan dalam hal ini adalah Dinas Kesehatan
Kabupaten
Cilacap belum pernah melaksanakan fungsi penyidikan
sebagaimana
ditegaskan dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika
tersebut.
Menurut Kepala Bidang Kesehatan Khusus Dinas Kesehatan
Kabupaten Cilacap, ketiadaaan fungsi penyidikan disebabkan
karena Dinas
Kesehatan memiliki masalah dengan Sumber Daya Manusia dan
Sumber
dana. Sumber Daya Manusia yang dimaksud berkaitan dengan
ketiadaan
satupun penyidik PPNS terlatih yang diberikan oleh Kabupaten
Cilacap,
sedangkan permasalahan Sumber Dana yang dimaksud berkaitan
dengan
ketiadaan pos anggaran untuk penyidikan kasus narkotika dalam
rencana
anggaran tahunan Dinas Kesehatan Kabupaten Cilacap. Oleh karena
itu,
pasca Peraturan Bersama diterbitkan, bagi Dinas Kesehatan memang
tidak
terdapat banyak perubahan signifikan.
Posisi Dinas Kesehatan Kabupaten Cilacap pasca peraturan
tersebut
sebatas mendukung pelaksanaannya melalui penggalakan
upaya-upaya
preventif menekan bahaya narkotika dan psikotropika. Upaya
tersebut
diwujudkan misalnya melalui pelaksanaan lomba kampung bersih
narkotika,
serta sosialisasi di sekolah-sekolah dan karang taruna. Segala
hal berkaitan
dengan upaya represif penanganan narkotika, menurut Dinas
Kesehatan
Cilacap sampai saat ini menjadi tugas dan tanggung jawab BNN
Kabupaten
Cilacap.
-
NASKAH PUBLIKASI || ROHMAH WULAN SARI
42
Pada prinsipnya penanganan terhadap pecandu narkotika pasca
berlakunya Peraturan Bersama dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu
pecandu
secara sukarela melaporkan diri ke IPWL, atau melalui penegakan
hukum.
a. Pecandu secara sukarela melaporkan diri ke IPWL
Telah ditegaskan dalam Pasal 54 Undang-Undang No.
35 Tahun 2009 tentang Narkotika bahwa pecandu narkotika
wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Berdasar ketentuan ini maka orang tua atau wali dari
pecandu narkotika yang belum cukup umur wajib
melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah
sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi
sosial yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mendapatkan
pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis
dan rehabilitasi sosial.
Disamping itu, bagi pecandu narkotika yang sudah
cukup umur juga wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh
keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah
sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi
sosial yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mendapatkan
pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis
dan rehabilitasi sosial.
Oleh karena itu, diharapkan para pecandu narkotika
yang saat ini "bersembunyi" dapat keluar dan tidak perlu
-
NASKAH PUBLIKASI || ROHMAH WULAN SARI
43
takut akan ditangkap dan dikenakan pidana penjara, untuk
melaporkan diri secara sukarela kepada IPWL agar
mendapatkan perawatan. IPWL adalah pusat kesehatan
masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi
medis dan lembaga rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh
pemerintah.
Pecandu narkotika atau keluarganya juga dapat
melaporkan diri secara suka rela selain pada IPWL yaitu
melalui Polri dan BNN. Selanjutnya petugas di Polri atau
BNN yang menerima laporan meneruskannya kepada IPWL.
IPWL wajib melakukan asesmen meliputi aspek medis dan
aspek sosial terhadap pecandu narkotika untuk mengetahui
kondisi pecandu narkotika. Asesmen dilakukan dengan cara
wawancara, observasi, serta pemeriksaan fisik dan psikis
terhadap Pecandu Narkotika.
Wawancara dalam kegiatan asesmen meliputi riwayat
kesehatan, riwayat penggunaan Narkotika, riwayat
pengobatan dan perawatan, riwayat keterlibatan pada tindak
kriminalitas, riwayat psikiatris, serta riwayat keluarga dan
sosial Pecandu Narkotika. Observasi meliputi observasi atas
perilaku Pecandu Narkotika.
Hasil asesmen dicatat pada rekam medis atau catatan
perubahan perilaku Pecandu Narkotika dan bersifat rahasia.
-
NASKAH PUBLIKASI || ROHMAH WULAN SARI
44
Hasil asesmen merupakan dasar dalam rencana rehabilitasi
terhadap pecandu narkotika yang bersangkutan, dan rencana
rehabilitasi harus disepakati oleh pecandu narkotika,
orangtua, wali, atau keluarga Pecandu Narkotika dan
pimpinan IPWL.
Pecandu narkotika yang telah melaporkan diri atau
dilaporkan kepada IPWL diberi kartu lapor diri setelah
menjalani asesmen. Kartu lapor diri tersebut berlaku untuk 2
(dua) kali masa perawatan. Masa perawatan adalah suatu
layanan program rencana terapi dibuat berdasarkan hasil
asesmen yang komprehensif yang sesuai dengan kondisi
klien dengan jenis gangguan penggunaan narkotika dan
kebutuhan individu/klien/pecandu narkotika dengan program
yang dijalankan mengikuti program yang tersedia di
layanan, dengan waktu minimal 1 (satu) sampai 6 (enam)
bulan sesuai dengan Standar Pelayanan Terapi dan
Rehabilitasi Gangguan Penggunaan Narkotika yang
ditetapkan Menteri.
Pendanaan penyelenggaraan ketentuan Wajib Lapor
oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah dibebankan pada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Pendanaan pelaksanaan
-
NASKAH PUBLIKASI || ROHMAH WULAN SARI
45
rehabilitasi bagi pecandu narkotika yang tidak mampu
menjadi tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasca berlakunya Peraturan Bersama, berdasar hasil
penelitian, belum pernah ada pecandu narkotika yang secara
sukarela melaporkan diri melalui Polres Cilacap maupun
BNN Kabupaten Cilacap. Padahal program Wajib Lapor
secara resmi telah dimulai pada akhir Tahun 2011 sehingga
diharapkan dapat lebih banyak menarik kesadaran pecandu
dan/atau keluarganya untuk melaporkan diri guna menerima
perawatan terkait perilaku ketergantungannya. Dengan
semakin meningkatnya jumlah pecandu narkotika yang
melaporkan dirinya ke puskemas, rumah sakit jiwa, dan
rumah sakit umum yang ditetapkan sebagai IPWL, maka
diharapkan semakin sedikit pecandu yang diputus pidana
oleh pengadilan. Namun fakta dalam pelaksanaan, program
Wajib Lapor masih jauh dari yang diharapkan karena belum
pernah ada pecandu narkotika yang secara sukarela
melaporkan diri.
b. Penanganan terhadap Pecandu Narkotika Pasca Berlakunya
Peraturan Bersama yang Dilakukan melalui Penegakan
Hukum
-
NASKAH PUBLIKASI || ROHMAH WULAN SARI
46
Penegakan hukum memainkan peran yang sangat
penting dalam mengintegrasikan dan menyeimbangkan
pendekatan kebutuhan (demand) dan peredaran gelap
narkotika (supply). Dalam kaitan ini sistem pemidanaan
dalam UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menganut
double tracksystem terhadap pecandu narkotika yaitu
mencantumkan sanksi pidana berupa pidana penjara dan
sanksi tindakan berupa rehabilitasi. Menjatuhkan sanksi
tindakan berupa rehabilitasi bagipecandu narkotika adalah
pilihan terbaik yang memiliki nilai tambah karena dapat
menurunkan angka prevalensi pecandu narkotika yang
merupakan indikator keberhasilan dalam menanggulangi
masalah narkotika.
Penanggulangan permasalahan narkotika membutuhkan
kerjasama antar lembaga. Diperlukan kesamaan cara
bertindak dalam menangani masalah narkotika secara
integratif dan seimbang dengan tujuan mengurangi
kebutuhan dan peredaran gelap narkotika.
Pecandu Narkotika yang sedang menjalani proses
peradilan dapat ditempatkan dalam lembaga rehabilitasi
medis dan/atau rehabilitasi sosial. Penempatan dalam
lembaga rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial
merupakan kewenangan penyidik, penuntut umum, atau
-
NASKAH PUBLIKASI || ROHMAH WULAN SARI
47
hakim sesuai dengan tingkat pemeriksaan setelah
mendapatkan rekomendasi dari tim dokter.
Sehubungan dengan hal tersebut, kerjasama antar
penyidik dapat dilakukan untuk mencegah dan memberantas
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan
prekursor narkotika. Dalam melakukan penyidikan terhadap
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan
prekursor narkotika, penyidik Polri memberitahukan secara
tertulis dimulainya penyidikan kepada penyidik BNN begitu
pula sebaliknya.
Telah ditegaskan dalam UU No. 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika bahwa kewenangan penyidik PPNS kementrian
seperti kementrian kesehatan atau lembaga pemerintah non
kementrian dalam hal ini Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
dan Badan Pengawas Obat dan Makanan sesuai dengan
bidang tugasnya masing-masing, dalam pelaksanaannya
tetap memperhatikan fungsi kerjasama sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Ketika melakukan
penyidikan terhadap penyalahgunaan narkotika dan
prekursor narkotika, penyidik PPNS tertentu berkerjasama
dengan penyidik BNN atau penyidik Polri sesuai dengan
Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana.
-
NASKAH PUBLIKASI || ROHMAH WULAN SARI
48
Berdasarkan ketentuan perundang-undangan, kerjasama
antar penyidik tersebut dilakukan dengan cara saling
memberitahukan secara tertulis dimulainya penyidikan
terhadap penyalahgunaan narkotika, dalam hal ini penyidik
Polri memberitahukan secara tertulis dimulainya penyidikan
kepada penyidik BNN begitu pula sebaliknya. Pada tanggal
26 Agustus 2014 telah dimulai pelaksanaan Peraturan
Bersama di 16 (enam belas) daerah, salah satunya adalah
Kabupaten Cilacap.
Berdasarkan hasil penelitian, fungsi penyidikan
memiliki kaitan erat dengan penanganan pecandu narkotika
ke dalam lembaga rehabilitasi. Kewenangan penyidik Polri
dalam penempatan pecandu narkotika didasarkan pada Surat
Telegram Kapolri No. STR/701/VIII/2014 yang antara lain
menegaskan bahwa pelaksanaan rehabilitasi bagi pecandu
narkotika benar-benar didasarkan pada pertimbangan bahwa
pelaku adalah pecandu dan bukan didasarkan pada besar
kecilnya barang bukti yang disita serta bukan pelaku
pengedar atau anggota jaringan peredaran gelap narkotika.
Selanjutnya juga dijelaskan bahwa tempat rehabilitasi
pecandu narkotika di Kabupaten Cilacap ditetapkan di Panti
Sosial Rehabilitasi Narkoba Cilacap. Berdasarkan hasil
penelitian di Polres Cilacap, jumlah pecandu narkotika yang
-
NASKAH PUBLIKASI || ROHMAH WULAN SARI
49
berstatus tersangka pasca berlakunya Peraturan Bersama
sebanyak 3 (tiga) orang dengan latar belakang pekerjaan
swasta.
Permohonan rehabilitasi bagi pecandu narkotika yang
berstatus tersangka harus diajukan secara tertulis oleh
pihak
keluarga atau penasehat hukumnya kepada penyidik. Dalam
proses penyidikan berdasarkan pertimbangan yang layak dan
wajar, penyidik dapat menempatkan pecandu narkotika ke
tempat rehabilitasi medis dan atau sosial setelah mendapat
surat rekomendasi hasil asesmen dari tim asesmen terpadu.
Penempatan tersangka pecandu narkotika ke tempat
rehabilitasi medis ditindaklanjuti dengan memberitahukan
kepada Ketua Pengadilan Negeri Cilacap dengan tembusan
disampaikan kepada Kepala Kejaksaan Negeri Cilacap.
Selama tersangka pecandu narkotika berada di tempat
rehabilitasi medis dan atau sosial, maka faktor pengamanan
menjadi tanggungjawab lembaga rehabilitasi dalam hal ini
Panti Sosial Rehabilitasi Narkoba dan dalam pelaksanaannya
berkerjasama dengan Polres Cilacap. Seluruh biaya yang
ditimbulkan ditanggung oleh BNN.
Selanjutnya terkait dengan tempat pelaksanaan
rehabilitasi, sebagaimana diamanatkan dalam pasal 54
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
-
NASKAH PUBLIKASI || ROHMAH WULAN SARI
50
maka pecandu narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis
dan rehabilitasi sosial. Tempat pelaksanaan rehabilitasi
harus
memenuhi standar dari menteri kesehatan bagi rehabilitasi
medis dan standar dari menteri sosial bagi rehabilitasi
sosial.
Rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial dilaksanakan
di fasilitas rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial
yang
diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah atau
masyarakat.
Fasilitas rehabilitasi medis mempunyai kewajiban
(Pasal 8 Peraturan Menteri Kesehatan No. 2415
th/menkes/per/XII/2011 tentang Rehabilitasi Medis Pecandu,
Penyalahguna dan Korban Penyalahgunaan Narkotika) :
1) Menyelenggarakan rehabilitasi medis sesuai standar
profesi, standar pelayanan dan standar prosedur
operasional;
2) Melaksanakan fungsi sosial;
3) Berperan serta dalam jejaring dan melaksanakan fungsi
rujukan;
4) Melaksanakan serangkaian terapi dan upaya
pencegahan penularan penyakit melalui penggunaan
narkotika suntik;
5) Menyusun standar prosedur operasional
penatalaksanaan rehabilitasi sesuai dengan modalitas
-
NASKAH PUBLIKASI || ROHMAH WULAN SARI
51
yang digunakan dengan mengacu pada standar dan
pedoman penatalaksanaan medis;
6) Melakukan pencatatan dan pelaporan dalam
penyelenggaraan rehabilitasi medis.
Sedangkan tujuan standar rehabilitasi sosial bagi pecandu
narkotika yaitu:
a) Menjadi acuan dalam melaksanakan rehabilitasi sosial
bagi pecandu penyalahgunaan narkotika;
b) Memberikan perlindungan terhadap pecandu dari
kesalahan praktik;
c) Memberikan arah dan pedoman kinerja bagi
penyelenggara rehabilitasi sosial pecandu
penyalahgunaan narkotika;
d) Meningkatkan kualitas dan jangkauan pelayanan
penyelenggara rehabilitasi sosial pecandu
penyalahgunaan narkotika.
Berdasarkan hasil penelitian, bahwa RSUD Cilacap, RSUD
Majenang, RSU Santa Maria Cilacap, Klinik Karlina Sidareja,
dan
Panti Sosial Rehabilitasi Gangguan Jiwa dan Narkoba Tambihul
Ghofilin Yayasan Assalam Kesugihan merupakan rumah sakit
yang
ditunjuk untuk melaksanakan rehabilitasi medis maupun
rehabilitasi
sosial.
-
NASKAH PUBLIKASI || ROHMAH WULAN SARI
52
Kerjasama antara penyidik BNN Cilacap dengan rumah sakit
tersebut berlangsung dalam tahap asesmen ketika bekerjasama
sebagai
bagian dari tim asesmen terpadu yang menentukan apakah
terhadap
tersangka perlu dilakukan asesmen atau tidak, termasuk untuk
mengetahui apakah tersangka merupakan pecandu, bagaimana
taraf
ketergantungannya sehingga dapat ditentukan rehabilitasi yang
tepat
bagi yang bersangkutan.
D. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, beberapa faktor yang ditemukan
dalam
penelitian ini menunjukkan variabel-variabel yang mendasari
dalam
kerangka membangun sistem penegakan hukum dalam hubungannya
dengan kepentingan kesejahteraan sosial dan kepentingan
keamanan, ialah
peran penegak hukum untuk menciptakan efektivitas hukum
secara
esensial lebih banyak ditentukan oleh 2 (dua) faktor, yakni
pentingnya
sanksi pidana sehingga dapat menimbulkan efek jera dan faktor
kedua
ialah, penggunaan teknik penyidikan yang tepat, seperti teknik
pembelian
secara terselubung, penyerahan narkotika yang diawasi.
Bahwa adanya kerjasama dalam bentuk Tim Asesment Terpadu
(TAT) yang terdiri dari BNN, Polri, Kejaksaan, Mahkamah Agung
dan
Kemenkumham sebagai tim hukum sedangkan Dokter dan Psikolog
sebagai tim medis, sangat efektif untuk memudahkan dalam
proses
penanganan pecandu narkotika dan korban penyalahguna narkotika
ke
dalam lembaga rehabilitasi.
-
NASKAH PUBLIKASI || ROHMAH WULAN SARI
53
Kendala yang sering dihadapi dalam proses kerjasama antara
BNN
dan Polri yaitu terbatasnya kualitas sumber daya manusia di
dalam
mencegah dan menindak pelaku tindak pidana narkotika baik itu
Pihak
BNN dan Pihak Polri, terbatasnya jumlah anggota yang dimiliki
oleh
Pihak BNN, dan keterbatasan alat yang dimiliki didalam
mencegahan dan
menindak pelaku tindak pidana narkotika.
E. SARAN
1. Kerjasama antara BNN dan POLRI sudah berjalan dengan baik,
tetapi
perlu ditingkatkan lagi agar dapat efektif dan dapat memutus
peredaran
gelap narkotika dan prekusor narkotika agar bangsa Indonesia
terlepas
dari tindakan penyalahgunaan narkotika.
2. Meningkatkan kinerja Tim Asesment Terpadu (TAT) dalam
proses
rehabilitasi narkotika.
3. Jumlah anggota penyidik yang dimiliki BNN maupun POLRI
sebaiknya ditambah agar lebih efektif didalam melakukan tugas
dan
kewenangannya.
4. Memperbaharui alat-alat yang dimiliki dengan yang lebih
modern agar
lebih efektif dalam mencegah dan menindak pelaku tindak
pidana
narkotika
-
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Bakhri, Syaiful. (2012). Kejahatan Narkotik dan Psikotropik.
Gramata
Publishing:Jakarta
Dirdjosisworo, Soedjono. (1987). Hukum Narkotika Indonesia.
Offset Alumni:
Bandung.
Hadiman. (1996). Perlakukanlah Barang Haram Ecstasy, Narkotika
Dll Seperti
Barang Haram Lainnya. Yayasan Washilah: Jakarta.
Hamzah Andi & Surachman. (1994). Kejahatan Narkotika Dan
Psikotropika.
Sinar Grafika: Jakarta.
Sasangka, Hari (2003). Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum
Pidana.
Mondar Maju:Bandung.
Hamzah, Andi. (2001). Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara
Pidana. Ghalia
Indonesia: Jakarta.
Bisri, Ilham. (1998). Sistem Hukum Indonesia. Grafindo Persada:
Jakarta.
Dellyana, Shant. (1988). Konsep Penegakan Hukum. Yogyakarta:
Liberty.
Djoko Prakoso, Bambang Riyadi Lany dan Muhksin. (1987).
Kejahatan-
Kejahatan yang Merugikan dan Membahayakan Negara. Bina
Aksara:
Jakarta.
Lamintang, P.A.F. (1996). Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia.
PT. Citra
Adityta Bakti: Bandung.
Ronny, Hanitijo Soemitro. (1983). Metodologi Penelitian Hukum.
Ghalia
Indonesia: Jakarta
Soedjono, D. (1987). Hukum Narkotika Indonesia. Penerbit Alumni:
Bandung.
-
NASKAH PUBLIKASI || ROHMAH WULAN SARI
55
Soekanto, Soerjono. (2004). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Penegakan
Hukum Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Supramono, G. (2001). Hukum Narkotika Indonesia. Djambatan:
Jakarta
Ma’asum, Sumarno. (1987). Penanggulangan Bahaya Narkotika
dan
Ketergantungan Obat. CV. Mas Agung: Jakarta.
Kelana, Momo. (1972). Hukum Kepolisian Perkembangan Di Indonesia
Suatu
Studi Komperatif. PTIK: Jakarta.
Sunarso, Siswanto. (2004). Penegakan Hukum Psikotropika, Raja
Grafindo,
Jakarta.
W.J.S. Purwodarminto. (1986). Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka:
Jakarta.
A.R Sujono dan Bony Daniel. (2013). Komentar & Pembahasan
Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Sinar Grafika:
Jakarta.
Harahap, M. Yahya. (2012). Pembahasan Penerapan dan Permasalahan
KUHAP
; Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika: Jakarta.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika
Jurnal
Juliantro, (2016). Koordinasi antara Kepolisian Negara Republik
Indonesia
(POLRI) dan Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam Mencegah
dan
Menindak Pelaku Tindak Pidana Narkotika:Universitas Atma
Jaya
Yogyakarta.
Ineke Ariani Motif, dkk. (2016). Upaya Penanggulangan
Penyalahgunaan
Narkotika oleh Badan narkotika Nasional Kabupaten/Kota
-
NASKAH PUBLIKASI || ROHMAH WULAN SARI
56
(BNNK)Karawang Terhadap Remajadi Kabupaten
Karawang.Diponegoro
Law Journal Volume 5 Nomor 3. www.ejournal-s1.undip.ac.id.
Debby Dwi Damayanti Siahaan. (2016). Pembentukan Badan Narkotika
Nasional
Provinsi Jawa Tengah dalam Penanggulangan Masalah Narkotika.
Diponegoro Law Review Vol.5 No.2.www.ejournal-s1.undip.ac.id
Gatot Sugiharto. (2016). Relevansi Kebijakan Penetapan Pidana
Kerja Sosial
dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia. Jurnal Hukum Novelty,
7(1). doi:
http://journal.uad.ac.id/index.php/Novelty/article/view/3936
Website
http://hukum.studentjournal.ub.ac.id/index.php/hukum/article/view/743,
diakses
pada 16 Juli 2019
Munawarman, Andi. (2016), Sejarah Singkat POLRI,
http://digilib.unila.ac.id/9033/9/BAB%20II.pdf, diakses pada
tanggal 28
Juli 2019
Irwan Jasa Tarigan. (2017), Narkotika dan Penanggulangannya
https://books.google.co.id/books?hl=en&lr=&id=cm85DwAAQBAJ&oi=f
nd&pg=PA1&dq=kewenangan+BNN+dan+polri+dalam+proses+penyidik
an+narkotika&ots=P48Dlrrbss&sig=4UDhSV4oZ9bTyBAtYwSNTUAhR
90&redir_esc=y#v=onepage&q&f=false diakses pada 12
April 2019
http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/http://journal.uad.ac.id/index.php/Novelty/article/view/3936http://hukum.studentjournal.ub.ac.id/index.php/hukum/article/view/743http://digilib.unila.ac.id/9033/9/BAB%20II.pdfhttps://books.google.co.id/books?hl=en&lr=&id=cm85DwAAQBAJ&oi=fnd&pg=PA1&dq=kewenangan+BNN+dan+polri+dalam+proses+penyidikan+narkotika&ots=P48Dlrrbss&sig=4UDhSV4oZ9bTyBAtYwSNTUAhR90&redir_esc=y#v=onepage&q&f=falsehttps://books.google.co.id/books?hl=en&lr=&id=cm85DwAAQBAJ&oi=fnd&pg=PA1&dq=kewenangan+BNN+dan+polri+dalam+proses+penyidikan+narkotika&ots=P48Dlrrbss&sig=4UDhSV4oZ9bTyBAtYwSNTUAhR90&redir_esc=y#v=onepage&q&f=falsehttps://books.google.co.id/books?hl=en&lr=&id=cm85DwAAQBAJ&oi=fnd&pg=PA1&dq=kewenangan+BNN+dan+polri+dalam+proses+penyidikan+narkotika&ots=P48Dlrrbss&sig=4UDhSV4oZ9bTyBAtYwSNTUAhR90&redir_esc=y#v=onepage&q&f=falsehttps://books.google.co.id/books?hl=en&lr=&id=cm85DwAAQBAJ&oi=fnd&pg=PA1&dq=kewenangan+BNN+dan+polri+dalam+proses+penyidikan+narkotika&ots=P48Dlrrbss&sig=4UDhSV4oZ9bTyBAtYwSNTUAhR90&redir_esc=y#v=onepage&q&f=false