BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembesaran prostat benigna atau lebih dikenal sebagai BPH sering diketemukan pada pria yang menapak usia lanjut. Istilah BPH atau benign prostatic hyperplasia sebenarnya merupakan istilah histopatologis, yaitu terdapat hiperplasia sel-sel stroma dan sel-sel epitel kelenjar prostat. Hiperplasia prostat benigna ini dapat dialami oleh sekitar 70% pria di atas usia 60 tahun. Angka ini akan meningkat hingga 90% pada pria berusia di atas 80 tahun. Reseksi kelenjar prostat (TURP) dilakukan transuretra dengan mempergunakan cairan pembilas agar daerah yang akan direseksi tetap terang dan tidak tertutup oleh darah. Cairan yang digunakan adalah berupa larutan non ionic, yang dimaksudkan agar tidak terjadi hantaran listrik pada saat operasi. Cairan yang sering dipakai dan harganya cukup murah yaitu H 2 O steril (aquades). Salah satu kerugian dari aquades adalah sifatnya yang hipotonik sehingga cairan ini dapat masuk ke sirkulasi sistemik melalui pembuluh darah vena yang terbuka pada saat reseksi. Kelebihan H 2 O dapat menyebabkan terjadinya hiponatremia relatif atau gejala 1
sindrom pasca TRUP sebagai komplikasi timdakan anestesi
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pembesaran prostat benigna atau lebih dikenal sebagai BPH sering
diketemukan pada pria yang menapak usia lanjut. Istilah BPH atau benign
prostatic hyperplasia sebenarnya merupakan istilah histopatologis, yaitu terdapat
hiperplasia sel-sel stroma dan sel-sel epitel kelenjar prostat. Hiperplasia prostat
benigna ini dapat dialami oleh sekitar 70% pria di atas usia 60 tahun. Angka ini
akan meningkat hingga 90% pada pria berusia di atas 80 tahun.
Reseksi kelenjar prostat (TURP) dilakukan transuretra dengan
mempergunakan cairan pembilas agar daerah yang akan direseksi tetap terang dan
tidak tertutup oleh darah. Cairan yang digunakan adalah berupa larutan non ionic,
yang dimaksudkan agar tidak terjadi hantaran listrik pada saat operasi. Cairan
yang sering dipakai dan harganya cukup murah yaitu H2O steril (aquades).
Salah satu kerugian dari aquades adalah sifatnya yang hipotonik sehingga
cairan ini dapat masuk ke sirkulasi sistemik melalui pembuluh darah vena yang
terbuka pada saat reseksi. Kelebihan H2O dapat menyebabkan terjadinya
hiponatremia relatif atau gejala intoksikasi air atau dikenal dengan sindroma
TURP. Sindroma ini ditandai dengan pasien yang mulai gelisah, kesadaran
somnolen, tekanan darah meningkat, dan terdapat bradikardi. Jika tidak segera
diatasi, pasien akan mengalami edema otak yang akhirnya jatuh ke dalam koma
dan meninggal. Angka mortalitas sindroma TURP ini adalah sebesar 0,99%.
Selain itu, penyulit saat operasi meliputi perdarahan, sindroma TURP, dan
perforasi. Penyulit pasca bedah dini meliputi perdarahan dan infeksi lokal atau
sistemik. Penyulit pasca bedah lanjut meliputi inkontinensia urin, disfungsi ereksi,
ejakulasi retrograd, dan striktura uretra.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Teknik Anestesi Pada TURP
Anestesi regional sudah sejak lama dipertimbangkan sebagai teknik
anestesi pilihan pada TURP. Teknik anestesi ini memungkinkan pasien untuk
tetap terbangun, yang memungkinkan diagnosis awal dari sindrom TUR atau
ekstravasasi dari irigasi cairan. Beberapa studi memperlihatkan penurunan
hilangnya darah ketika prosedur TURP dilakukan dengan menggunakan anestesi
regional dan anestesi umum.
Penggunaan dari anestesi regional jangka panjang, dibandingkan dengan
anestesi umum, pada pasien yang mengalami TURP dihubungkan dengan kontrol
nyeri dan penurunan kebutuhan penyembuhan nyeri postoperatif. Bowman dkk
menemukan bahwa hanya 15 % dari pasien yang mendapatkan anestesi spinal
pada TURP membutuhkan pengobatan nyeri selain daripada acetaminophen tetapi
kebutuhan analgesik meningkat empat kali lipat setelah anestesi umum.
Studi prospektif yang membandingkan efek dari anestesi umum versus
anestesi spinal pada fungsi kognitif setelah TURP ditemukan penurunan yang
signifikan pada status mental pada kedua kelompok pada 6 jam setelah
pembedahan, tetapi tidak memiliki perbedaan pada fungsi mental postoperatif
pada kapan saja pada 30 hari pertama setelah pembedahan. Ghoneim dkk juga
menemukan tipe anestesi (regional versus umum) tidak mempengaruhi keadaan
pasien yang mengalami prostatektomi, histerektomi, atau penggantian sendi.
Morbiditas dan mortalitas pada pasien yang berusia lebih dari 90 tahun
yang mengalami TURP tidak bergantung dari tipe anestesi yang digunakan.
Sebuah studi dari kejadian iskemik miokardial perioperatif pada pasien yang
mengalami pembedahan transuretral, ditentukan bahwa kedua insidens dan durasi
dari iskemik miokardial meningkat mengikuti pembedahan TUR tetapi tidak
memiliki perbedaan antara anestesi umum atau anestesi spinal. Studi kedua
membuktikan bahwa penemuan-penemuan ini dan disimpulkan bahwa adanya
2
durasi yang singkat atas iskemik miokardial tidak berhubungan dengan efek
samping pada pasien berusia lanjut yang mengalami prosedur TURP.
Bila anestesi regional digunakan pada prosedur, tingkat dermatom anestesi
T10 dibutuhkan untuk memblok nyeri dari saluran kemih dengan irigasi cairan.
Bagaimanapun, tingkat S3 dilaporkan adekuat pada 25 % pasien jika saluran
kemih tidak diijinkan untuk terisi penuh. Anestesi spinal merupakan pilihan utama
jika dibandingkan anestesi epidural karena tulang-tulang sakral tidak terblok
sepenuhnya dengan teknik epidural.
Anestesi lokal juga digunakan sebagai prosedural TURP pada pasien
dengan kelenjar prostat stadium ringan hingga sedang. Teknik anestesi ini
melibatkan infiltrasi dari 1-3 ml enceran anestesi lokal (0.25% bupivacaine, 1%
lidocaine) ke dalam kandung kemih dan lobus lateral dari prostat untuk memblok
pleksus saraf hipogastrik inferior kemudian dengan injeksi anestesi lokal
transuretral ke dalam glandula di sekitar uretra prostatikus. Dengan tipe anestesi
ini, dokter bedah dapat memindahkan sejumlah kecil dari jaringan prostat dengan
ketidaknyamanan pasien yang seminimal mungkin. Meskipun penulis melaporkan
bahwa teknik ini sulit dilaksanakan dalam skala besar, mereka meyakini bahwa
teknik ini dapat berguna pada pasien dengan resiko tinggi yang tidak dapat
ditoleransi dengan anestesi umum maupun spinal.
II.2. Transurethral Resection of The Prostate Syndrome
II.2.1. Definisi
Transurethral Resection Syndrome merupakan suatu bentuk intoksikasi air
iatrogenik, suatu kombinasi kelebihan cairan dan hiponatremia yang terlihat pada
berbagai prosedur bedah endoskopik, walaupun secara klasik terlihat setelah
prosedur Transurethral Resection of The Prostate (TURP). TURP sering
membuka jaringan pleksus venosus di dalam prostat dan menyebabkan absorpsi
sistemik cairan irigasi. (Morgan et al., 2005). TURP syndrome terjadi ketika
cairan irigasi diserap dalam jumlah yang cukup (2 L atau lebih) untuk
menimbulkan manifestasi sistemik.
3
TURP syndrome dilaporkan juga terjadi setelah transurethral resection of
bladder tumor, sitoskopi diagnostik, percutaneus nephrolithotomy, artroskopi, dan
prosedur ginekologik yang menggunakan irigasi.( Hawary A, et all, 2009)
II.2.2. Epidemiologi dan Faktor Resiko
Insiden TURP syndrome terjadi antara 0,5-8% dengan tingkat mortalitas
0,2-0,8%. Pada satu penelitian menunjukkan morbiditas dan mortalitas pasien
yang menjalani TURP tidak berhubungan dengan lama operasi, kecuali ketika
operasi berlangung lebih dari 150 menit.( Yao FS, 2008)
TURP syndrome lebih sering terjadi jika ukuran kelenjar prostat besar,
terjadi kerusakan kapsul prostat selama pembedahan, dan tekanan hidrostatik
tinggi dari cairan irigasi. Kelenjar prostat yang besar kaya akan jaringan vena
sehingga memungkinkan absorpsi cairan irigasi intravaskular. Kerusakan kapsul
prostat selama pembedahan memungkinkan masuknya cairan irigasi ke dalam
ruang periprostatik dan retroperitoneal. Tekanan hidrostatik cairan irigasi
merupakan penentu yang penting dalam kecepatan absorpsi cairan irigasi.( Yao
FS, 2008)
II.2.3. Patofisiologi
TURP syndrome memiliki karakteristik berupa pergeseran volume
intravaskular dan efek osmolaritas (plasma-solute).( Yao FS, 2008)
Kelebihan Cairan
Pada setiap prosedur TURP hampir selalu terjadi penyerapan cairan irigasi
ke dalam aliran darah melalui sinus vena prostatik yang terbuka dan terakumulasi
dalam ruang periprostatik dan retroperitoneal. Jumlah cairan irigasi yang
diabsorpsi tergantung dari tinggi wadah cairan irigasi yang menentukan besar
tekanan hidrostatik dan durasi pembedahan.(Miller RD, 2010). Sebagian besar
reseksi berlangsung selama 45-60 menit, dan rata-rata 20 ml/menit cairan
diabsorpsi. (Morgan et al., 2005) Uptake 1 L irigan ke dalam sirkulasi dalam satu
jam menyebabkan penurunan akut konsentrasi natrium serum 5-8 mmol/L.
(Hawary A, et al, 2009)
4
Baik hipertensi maupun hipotensi dapat terjadi pada TURP syndrome;
hipertensi dan refleks takikardia terjadi karena ekspansi volume yang cepat hingga
mencapai 200 ml/menit. Pasien dengan fungsi ventrikel kiri yang buruk dapat
mengalami edema pulmoner akibat kelebihan sirkulasi akut. .(Hawary A, et al,
2009). Absorpsi cairan manitol menyebabkan ekspansi volume intravaskular dan
memperberat kelebihan cairan. (Morgan et al., 2005).
Hipertensi transien, yang dapat tidak terjadi jika terjadi perdarahan hebat,
diikuti dengan periode hipotensi yang panjang. Hiponatremia dengan hipertensi
menyebabkan perubahan tekanan osmotik dan hidrostatik yang mengakibatkan
perpindahan cairan dari intravaskular ke dalam interstisial pulmoner sehingga
menimbulkan edema pulmoner dan syok hipovolemik. Pelepasan endotoksin ke
dalam sirkulasi dan asidosis metabolik juga dapat menyebabkan hipotensi. .
(Hawary A, et al, 2009)
Hiponatremia
Penurunan konsentrasi natrium serum hingga <120 mmol/L menandakan
TURP syndrome yang berat. Penurunan konsentrasi natrium ini menyebabkan
gradien osmotik antara cairan intraselular dan ekstraselular di dalam otak, yang
mengakibatkan perpindahan cairan dari intravaskular yang menimbulkan edema
otak, peningkatan tekanan intrakranial, dan gejala neurologik. .(Hawary A, et al,
2009). Konsentrasi natrium ekstraselular harus berada pada batas fisiologis untuk
depolarisasi sel dan produksi potensial aksi. Gejala sistem saraf pusat meliputi
iritabilitas, konfusi dan nyeri kepala merupakan tanda awal terjadinya
hiponatremia. Hiponatremia lebih lanjut (Na ≤102 mEq/L) dan menurunya
osmolalitas serum dapat menyebabkan terjadinya kejang dan koma. Hiponatremia
berat dapat menimbulkan efek kardiovaskular berupa inotropik negatif, hipotensi,
dan disritmia. Pada kadar natrium < 115 mEq/L, dapat terjadi perubahan
elektrokardiografi berupa pelebaran QRS dan elevasi segmen ST.(Miller RD,
2010)
Hipo-osmolalitas
5
Penyebab kerusakan sistem saraf pusat tidak berasal dari hiponatremia saja,
tetapi juga hipo-osmolalitas akut. Otak memiliki respon terhadap stres hipo-
osmotik berupa penurunan natrium, kalium, dan klorida intraselular. .(Hawary A,
et al, 2009).
Penurunan natrium, kalium, dan klorida intraselular menyebabkan
penurunan osmolalitas intraselular dan mencegah pembengkakan. Edema otak
merupakan suatu komplikasi berat, dan perkembangan herniasi serebral dalam
beberapa jam postoperasi adalah penyebab kematian utama dari absorpsi air. .
(Hawary A, et al, 2009).
Hiperglisinemia dan Hiperamonemia
Glisin masuk ke dalam intravaskular dan dimetabolisme oleh ginjal dan
portal bed melalui deaminasi oksidatif. Otak juga mengandung sistem enzim
pemecah glisin yang memecah glisin menjadi karbon dioksida dan amonia.
Peningkatan level amonia serum selama endoskopi terjadi sekunder akibat
penyerapan glisin di mana hiperamonemia tidak terjadi pada pasien yang
menjalani reseksi retropubik tanpa glisin. .(Hawary A, et al, 2009). Penggunaan
cairan irigasi sorbitol atau dekstros dalam jumlah besar juga dapat menimbulkan
hiperglisinemia.5 Hiperglisinemia dapat menjadi penyebab TURP ensefalopati
melalui aktivitas positif pada reseptor N-methyl-D-aspartic acid.(Bhakta P, et
al,2007). Hiperglisinemia juga berkontribusi terhadap timbulnya depresi
kardiovaskular dan toksisitas sistem saraf pusat.(Hawary A, et al,2009).
Keracunan amonia berhubungan dengan lambatnya peningkatan kesadaran dan
beberapa gejala sistem saraf pusat lainnya.(MIlerr RD, 2010)
6
Gambar 1. Patofisiologi TURP syndrome
II.2.4. Manifestasi Klinis
TURP syndrome bersifat multifaktorial, diawali dengan absorpsi cairan
irigasi yang menyebabkan perubahan kardiovaskular, sistem saraf pusat, dan
metabolik. Gambaran klinis bervariasi sesuai dengan tingkat keparahannya dan
dipengaruhi tipe irigan yang digunakanan, faktor pasien, dan faktor pembedahan.
(Hawary A, et al,2009). Manifestasi klinis ini terutama diakibatkan oleh kelebihan
cairan sirkulasi, intoksikasi air, dan toksisitas zat yang terkandung dalam cairan
irigasi. (Morgan et al., 2005). TURP syndrome dapat terlihat 15 menit setelah
reseksi dimulai hingga 24 jam postoperasi. .(Hawary A, et al,2009).
Tanda yang paling awal muncul adalah rasa menusuk dan sensasi terbakar
pada daerah wajah dan leher disertai letargi, pasien gelisah dan mengeluh sakit
kepala. Tanda yang selalu muncul adalah bradikardia dan hipotensi arterial.
Distensi abdomen sekunder terhadap absorpsi cairan irigasi melalui perforasi
kapsul prostatik juga dapat terjadi. .(Hawary A, et al,2009).
Pada periode postoperasi selanjutnya, dapat terjadi mual dan muntah,
gangguan penglihatan, kedutan dan kejang fokal atau umum, serta perubahan
kesadaran dari konfusi ringan hingga koma. Penyebab gangguan sistem saraf
7
pusat ini berhubungan dengan hiponatremia, hiperglisinemia, dan atau
hiperamonemia. Hiponatremia dapat terjadi ketika menggunakan semua jenis
cairan irigasi, tetapi hiperglisinemia dan hiperamonemia terjadi ketika
menggunakan glisin sebagai cairan irigasi. .(Hawary A, et al,2009).
Gangguan visual sering dilaporkan sebagai komplikasi TURP syndrome,
tetapi gangguan ini hanya muncul jika terjadi kombinasi penggunaan glisin dan
hiponatremia berat. Gejala visual ini bervariasi dari penglihatan redup hingga
kebutaan sementara yang berlangsung selama beberapa jam. Pupil mengalami
dilatasi dan tidak bereaksi terhadap rangsang cahaya. .(Hawary A, et al,2009).
Kebutaan akibat TURP disebabkan karena efek toksik dari glisin terhadap retina.
Tingkat keparahan kebutaan akibat TURP secara langsung berhubungan dengan
jumlah glisin dalam darah. Penglihatan secara gradual meningkat seiring dengan
penurunan glisin darah.(Yao FS, 2008)
Tabel 1. Tanda dan Gejala Transurethral Resection of The Prostate
Kardiovaskular dan respiratori Sistem saraf pusat Hematologik dan Renal
Hipertensi
Bradiaritmia/takiaritmia
Gagal jantung kongestif
Edema pulmoner dan hipoksemia
Infark miokard
Hipotensi
Syok
Mual/muntah
Agitasi/konfusi
Kejang
Letargi/paralisis
Kebutaan
Pupil non-reaktif/dilatasi
Koma
Hiponatremia
Hiperglisinemia
Hiperamonemia
Hipoosmolalitas
Hemolisis/anemia
Gagal ginjal akut
II.2.5. Tatalaksana TURP syndrome
Terapi yang direkomendasikan jika terjadi gejala TURP syndrome: (Yao FS,
2008)
- Terminasi segera operasi.
- Berikan furosemid, 20 mg IV.
- Berikan oksigen melalui nasal kanul atau face mask.
8
- Jika terjadi edema pulmoner, dapat dilakukan intubasi trakeal dan ventilasi
tekanan positif dengan oksigen.
- Periksa darah untuk analisa gas darah dan natrium serum.
- Jika natrium serium rendah dan tanda klinis hiponatremia terlihat, berikan
saline hipertonik (3-5%) IV. Kecepatan pemberian saline hipertonik se-
baiknya tidak melebihi 100 ml/jam. Pada sebagian besar kasus dibutuhkan
tidak lebih dari 300 ml untuk mengkoreksi hiponatremia. Pemberian saline
hipertonik dapat mengurangi edema serebral, mengekspansi volume
plasma, mengurangi edema selular, dan meningkatkan ekskresi urinari
tanpa meningkatkan total ekskresi zat terlarut. .(Hawary A, et al,2009).
- Jika terjadi kejang, dapat diberikan agen antikonvulsan jangka pendek
seperti diazepam 5-20 mg atau midazolam 2-10 mg IV. Jika kejang tidak
berhenti, dapat ditambah barbiturat atau fenitoin 10-20 mg/kg IV. Relak-
san otot dapat diberikan juga.
- Jika terjadi edema pulmoner atau hipotensi, perlu dilakukan monitoring
hemodinamik invasif.
- Jika terjadi kehilangan darah signifikan, dapat diberikan packed red blood
cell.
Sebagian besar pasien yang menjalani prosedur TURP adalah orang dengan
usia tua. Fungsi kapasitas organ berkurang sesuai dengan usia, menyebabkan
penurunan cadangan dan kemampuan kompensasi. Penyakit penyerta menekan
fungsi organ dan meningkatkan resiko. .(Hawary A, et al,2009).
Kemampuan ginjal dalam mengatur keseimbangan natrium dan air juga
terganggu pada orang dengan usia tua menyebabkan aktivitas renin plasma
menurun, jumlah aldosteron darah dan urinari menurun, dan menurunnya respon
terhadap hormon antidiuretik. Oleh karena itu, dengan adanya penyakit jantung
atau ginjal, pemberian cairan harus diberikan secara hati-hati pada orang tua yang
menjalani operasi endoskopik untuk mengurangi resiko dan mencegah eksaserbasi
TUR syndrome. .(Hawary A, et al,2009).
9
Pasien dengan gejala ringan seperti mual, muntah, dan agitasi dengan
hemodinamik stabil dimonitor hingga gejala hilang. Terapi suportif seperti
antiemetik dapat diberikan. Bradikardia dan hipotensi dapat diatasi dengan
atropin, obat adrenergik dan kalsium. Ekspansi volume plasma dapat diperlukan
karena hipotensi dan cardiac output yang rendah dapat terjadi ketika irigasi
dihentikan. Waktu paruh glisin sekitar 85 menit, sehingga gangguan visual
biasanya hilang spontan dalam 24 jam dan tidak membutuhkan intervensi. .
(Hawary A, et al,2009).
II.2.6. Prevensi (Hawary A, et al,2009).
a. Posisi pasien
Menurunkan tekanan hidrostatik dalam vesika urinaria dan tekanan vena
prostatik dapat menurunkan volume cairan irigasi yang diabsorpsi ke
dalam sirkulasi.
Pada posisi Trendelenburg (200), tekanan intravesikal yang diperlukan
untuk memulai absorpsi 0,25 kPa meningkat menjadi 1,25 kPa pada posisi
horizontal. Dengan demikian resiko TURP syndrome meningkat dengan
posisi Trendelenburg.
b. Durasi operasi
Walaupun absorpsi cairan dalam jumlah besar dapat terjadi dalam 15
menit sejak dimulai operasi, telah direkomendasikan durasi operasi kurang
dari 60 menit. Pada penelitian retrospektif Mebust and colleagues terhadap
3885 pasien yang menjalani TURP, ditemukan bahwa insiden
perkembangan TURP syndrome sebesar 2% pada grup dengan waktu
reseksi lebih dari 90 menit, sementara insiden TURP syndrome hanya
0,7% pada grup dengan waktu reseksi kurang dari 90 menit.
c. Tinggi wadah cairan
Tinggi optimum dan aman dari cairan irigasi selama TURP merupakan
suatu hal yang masih kontroversial. Madsen dan Naber menjelaskan
10
bahwa tekanan di fossa prostatik dan jumlah cairan irigasi yang diabsorpsi
tergantung dari tinggi cairan irigasi di atas pasien dan disarankan bahwa
tinggi optimum sebaiknya 60 cm di atas pasien. Mereka menunjukkan
adanya peningkatan dua kali lipat dari absorpsi cairan ketika tinggi irigan
meningkat 10 cm.
11
BAB III
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. M.K
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 71 tahun
Berat Badan : 80 kg
Tinggi Badan : 172 cm
Agama : Islam
Alamat : Jakarta Timur
No. RM : 357606
B. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan tanggal 29 September 2013, pukul 16.30. Informasi
diberikan oleh pasien dan istrinya.
a. Keluhan utama : Sulit buang air kecil
b. Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang ke poli bedah urologi RSUP dengan keluhan sulit
BAK sejak 1 tahun yang lalu, makin memberat terutama dalam 10
hari terakhir. Pasien sering mengeluh tidak tuntas saat buang air kecil,
terkadang pasien juga mengeluh nyeri di perut bawah sampai daerah
kemaluan. BAK lebih sering dari biasa, BAK sering mengedan, pada
akhir BAK menetes. BAK tidak berdarah.
c. Riwayat penyakit dahulu :
1) Riwayat operasi disangkal
2) Riwayat asma disangkal
3) Riwayat alergi makanan dan obat disangkal
4) Riwayat penyakit jantung disangkal
12
5) Riwayat penyakit hipertensi disangkal
6) Riwayat penyakit ginjal disangkal
7) Riwayat penyakit DM disangkal
8) Riwayat trauma atau kecelakaan disangkal
d. Riwayat penyakit keluarga:
Riwayat asma, alergi, penyakit jantung, ginjal, paru-paru, DM,
hipertensi, dan riwayat penyakit yang sama dengan pasien
disangkal.
C. PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pada 29 September 2013
GCS : E4V5M6 = 15
Vital Sign : Tekanan darah : 150/80 mmHg
Nadi : 82 x/menit
Suhu : 36,8C
Pernafasan : 18 x/menit
Status Generalis
a. Kulit : Warna kulit sawo matang, tidak ikterik, tidak
sianosis, turgor kulit cukup, capilary refill kurang
dari 2 detik dan teraba hangat.
b. Kepala : Tampak tidak ada jejas, tidak ada bekas trauma,
distribusi merata dan tidak mudah dicabut.
c. Mata : Tidak terdapat konjungtiva anemis dan sklera
ikterik
d. Pemeriksaan Leher
1) Inspeksi : Tidak terdapat jejas
2) Palpasi : Trakea teraba di tengah, tidak terdapat pembesaran
kelenjar tiroid dan kelenjar limfe.
13
i. Pemeriksaan Thorax
1) Jantung
a) Inspeksi : Tampak ictus cordis 2cm dibawah papila mamae
sinistra
b) Palpasi : Ictus cordis teraba kuat angkat
c) Perkusi :
i. Batas atas kiri : SIC II LPS sinsitra
ii. Batas atas kanan : SIC II LPS dextra
iii. Batas bawah kiri : SIC V LMC sinistra
iv. Batas bawah kanan : SIC IV LPS dextra
d) Auskultasi : S1 > S2 reguler, tidak ditemukan gallop dan
murmur.
2) Paru
a) Inspeksi : Dinding dada simetris pada saat statis dan di-
namis serta tidak ditemukan retraksi dan ketert-
inggalan gerak.
b) Palpasi : Simetris, vokal fremitus kanan sama dengan kiri
dan tidak terdapat ketertinggalan gerak.
c) Perkusi : Sonor kedua lapang paru
d) Auskultasi: Tidak terdengar suara rhonkhi pada kedua
pulmo. Tidak terdengar suara wheezing
j. Pemeriksaan Abdomen
a) Inspeksi : Perut datar, simetris, tidak terdapat jejas dan
massa
b) Auskultasi : Terdengar suara bising usus
c) Perkusi : Timpani
d) Palpasi : Supel, tidak terdapat nyeri tekan. Hepar dan
lien tidak teraba.
k. Pemeriksaan Ekstremitas :
Tidak terdapat jejas, bekas trauma, massa, dan sianosis
Turgor kulit cukup, akral hangat
14
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Pemeriksaan 29-09-2013 Nilai normal
Hematologi
Hemoglobin 13.7 13,0-18,0 g/dL
Leukosit 9.410 5000-10000/L
Hematokrit 43 40-52%
Eritrosit 4,83x106 4,5-6,5x106/
Trombosit 262000 150000-440000/L
MCV 89.2 70-100 fl
MCH 28.4 26-34 pg
MCHC 31.9 32-36%
RDW 11.78 11,5-14,5 %
CT 7 < 11 menit
BT 3 < 6 menit
PT 11.9 10~14 detik
APTT 34.2 28~40 detik
Kimia Klinik
SGOT 20 0 ~37 U/L
SGPT 17 0 ~ 40 U/L
Ureum 31 20-40 mg/dL
Creatinin 0,9 0,8-1,5 mg/dL
GDS 135 ≤ 200 mg/dL
Natrium 143,0 135~145 mmol/L
Kalium 4.30 3.5~5.5 mmol/L
Klorida 106.0 98~109 mmol/L
15
Pemeriksaan foto thorax
Pulmo dan besar Cor nomal
E. KESAN ANESTESI
Laki-laki 71 tahun menderita BPH dengan ASA II
F. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan yaitu :
a. IVFD RL 20 tpm
b. Pro TURP
c. Informed Consent Operasi
d. Konsul ke Bagian Anestesi
e. Informed Conset Pembiusan
Dilakukan operasi dengan spinal anestesi dgn status ASA II
G. KESIMPULAN
ACC ASA II
H. LAPORAN ANESTESI
1. Diagnosis Pra Bedah
BPH
2. Diagnosis Pasca Bedah
BPH
3. Penatalaksanaan Preoperasi
a Infus RL 500 cc
4. Penatalaksanaan Anestesi
a. Jenis Pembedahan : TURP
b. Jenis Anestesi : Regional Anestesi
c. Teknik Anestesi : Spinal Anestesi
16
d. Mulai Anestesi : 30 September 2013, pukul 09.50 WIB
e. Mulai Operasi : 30 September 2013, pukul 10. 10 WIB
f. Anestesi dengan : Bupivacain (Decain) Spinal 0.5% Heavy
12,5 mg dan Fentanyl 25 mcg
h. Medikasi tambahan : Ondansentron 30 mg, Ketorolac 30 mg
i. Maintanance : O2
j. Relaksasi : -
k. Respirasi : Spontan
l. Posisi : Litotomi
.n. Pemantauan Tekanan Darah dan HR
Terlampir
n . Selesai operasi : 10.30 WIB
o. Perdarahan : ± 50 cc
p. Lama pembedahan : 20 menit
Pasien penderita BPH yang akan dilaksanakan operasi TURP pada tanggal
30 September 2013. Persiapan operasi dilakukan pada tanggal 29 September
2013. Dari anamnesis terdapat keluhan sulit buang air kecil yang dirasakan sejak 1
tahun dan bertambah berat sejak 10 hari yang lalu. Pemeriksaan fisik dari tanda
vital, tekanan darah 155/71 mmHg; nadi 71x/menit; respirasi 18x/menit; suhu
36,8OC. Dari pemeriksaan laboratorium hematologi yang dilakukan tanggal 29
September 2013 dengan hasil: HB 13,7 g/dl; ureum 31 mg/dl; kreatinin 0,9 mg/dl;