LAPORAN KASUS
1
TINJAUAN PUSTAKADEFINISI
Sindrom nefrotik dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan
klinis yang ditandai dengan gejala:
1. Proteinuria masif (> 40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari
atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau
dipstik 2+)2. Hipoalbuminemia < 2,5 g/dL3. Edema4. Dapat
disertai hiperkolesterolemia > 200 mg/dLGAMBARAN KLINISEdema
merupakan keluhan pertama (utama), tidak jarang merupakan
satu-satunya keluhan dari pasien dengan SN. Lokasi edema pada
daerah kelopak mata (puffy face), dada, perut, tungkai dan
genitalia.(8) Edema ini teraba lembut, pitting, dan meninggalkan
bekas tekanan jari atau pakaian . Episode pertama penyakit sering
mengikuti sindrom seperti influenza, bengkak periorbital dan
oliguria.(4) Edema kadang-kadang mencapai 40% dari berat badan dan
didapatkan anasarka. Penderita sangat rentan terhadap infeksi
sekunder. Selama beberapa minggu mungkin terdapat hematuria,
azotemia dan hipertensi ringan.(5)
Pada beberapa pasien SN (anasarka), tidak jarang ada
keluhan-keluhan menyerupai akut abdomen seperti mual dan muntah,
dinding perut sangat tegang. Keluhan jarang selain malaise ringan
dan nyeri perut. Hipertensi terjadi 15% pada minimal change disease
dan 33% pada pasien dengan glomerulosklerosis fokal segmental.(6
)
ETIOLOGI
Sebab yang pasti belum diketahui; akhir-akhir ini dianggap
sebagai penyakit autoimun. Jadi merupakan suatu reaksi
antigen-antibodi.
Umumnya para ahli membagi etiologinya menjadi :
I. Sindrom nefrotik kongenital atau bawaan
Diturunkan sebagai resesif autosomal. Resisten terhadap semua
pengobatan. Gejalanya adalah edema pada masa neonatus. Prognosis
buruk dan biasanya penderita meninggal dalam bulan-bulan pertama
kehidupannya.Penyebab dari sindrom nefrotik kongenital adalah:
Finnish-type congenital nephrotic syndrome (NPHS1, nephrin)
Denys-Drash syndrome (WT1) Frasier syndrome (WT1) Diffuse mesangial
sclerosis (WT1, PLCE1) Autosomal recessive, familial FSGS (NPHS2,
podocin) Autosomal dominant, familial FSGS (ACTN4, -actinin-4;
TRPC6) Pierson syndrome (LAMB2)II. Sindrom nefrotik primer atau
idiopatik (tidak diketahui sebabnya)
Berdasarkan histopatologis yang tampak pada biopsi ginjal dengan
pemeriksaan mikroskop biasa dan elektron, Churg dkk.membagi dalam 4
golongan yaitu :
1. Sindroma Nefrotik Kelainan minimal (SNKM)Dengan mikroskop
biasa glomerulus nampak normal, sedangkan dengan mikroskop elektron
tampak foot processus sel epitel berpadu. Golongan ini lebih banyak
terdapat pada anak daripada orang dewasa. Prognosis lebih baik
dibandingkan dengan golongan lain.
2. Nefropati membranosa (GNM)Semua glomerulus menunjukkan
penebalan dinding kapiler yang tersebar tanpa proliferasi sel.
Tidak sering ditemukan pada anak. Prognosis kurang baik.
3. Glomerulonefritis membranoproliferatif (GNMP)Terdapat
proliferasi sel mesangial dan infiltrasi sel polimorfonukleus.
Pembengkakan sitoplasma endotel yang menyebabkan kapiler tersumbat.
Kelainan ini sering ditemukan pada nefritis yang timbul setelah
infeksi dengan streptococcus yang berjalan progresif.
4. Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) (5)Pada anak-anak,
85-90% kasus sindrom nefrotik adalah idiopatik dan sensitif
terhadap steroid, sehingga respon terhadap prednisolon sangat baik.
Pada biopsi ginjal akan didapatkan gambaran histologis dengan
kelainan minimal.III. Sindrom nefrotik sekunder
Sindroma nefrotik sekunder mengikuti penyakit sistemik, antara
lain sebagai berikut :- Lupus erimatosus sistemik (LES)
- Keganasan, seperti limfoma dan leukemia
- Vaskulitis, seperti granulomatosis Wegener (granulomatosis
dengan poliangitis), sindrom Churg-Strauss (granulomatosis
eosinofilik dengan poliangitis), poliartritis nodosa, poliangitis
mikroskopik, purpura Henoch Schonlein
- Immune complex mediated, seperti post streptococcal
(postinfectious) glomerulonephritis.Untuk mengetaui secara pasti
tipe dari SN adalah dengan melakukan biopsi ginjal, namun ada
beberapa indikasi dalam melakukan biopsi ginjal yaitu :
Resisten steroid
Onset terjadi pada usia > 10 tahun atau < 6 bulan.
Gejala mula-mula yang timbul adalah hematuria makroskopik
Kadar C3 yang rendah
Adanya hipertensi dan hematuria makroskopik yang persisten
BATASAN
Berikut ini adalah beberapa batasan yang dipakai pada sindrom
nefrotik
1. Remisi: proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4
mg/m LPB/jam) 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu
2. Relaps:proteinuria 2+ (proteinuria >40 mg/m LPB/jam) 3
hari berturut-turut dalam 1 minggu
3. Relaps jarang: relaps kurang dari 2 x dalam 6 bulan pertama
setelah respons awal atau kurang dari 4 x per tahun pengamatan
4. Relaps sering (frequent relaps): relaps 2 x dalam 6 bulan
pertama setelah respons awal atau 4 x dalam periode 1 tahun
5. Dependen steroid: relaps 2 x berurutan pada saat dosis
steroid diturunkan (alternating) atau dalam 14 hari setelah
pengobatan dihentikan
6. Resisten steroid: tidak terjadi remisi pada pengobatan
prednison dosis penuh (full dose) 2 mg/kgbb/hari selama 4
minggu.
7. Sensitif steroid: remisi terjadi pada pemberian prednison
dosis penuh selama 4 minggu
KLASIFIKASIAda beberapa macam pembagian klasifikasi pada sindrom
nefrotik. Menurut berbagai penelitian, respon terhadap pengobatan
steroid lebih sering dipakai untuk menentukan prognosis
dibandingkan gambaran patologi anatomi. Berdasarkan hal tersebut,
saat ini klasifikasi SN lebih sering didasarkan pada respon klinik,
yaitu :
1) Sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS)
2) Sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS)
MANIFESTASI KLINIS DAN PATOFISIOLOGI
Kelainan pokok pada sindrom nefrotik adalah peningkatan
permeabilitas dinding kapiler glomerulus yang menyebabkan
proteinuria masif dan hipoalbuminemia. Pada biopsi, penipisan yang
luas dari prosesus kaki podosit (tanda sindrom nefrotik idiopatik)
menunjukkan peran penting podosit. Sindrom nefrotik idiopatik
berkaitan pula dengan gangguan kompleks pada sistem imun, terutama
imun yang dimediasi oleh sel T. Pada focal segmental
glomerulosclerosis (FSGS), faktor plasma, diproduksi oleh bagian
dari limfosit yang teraktivasi, bertanggung jawab terhadap kenaikan
permeabilitas dinding kapiler. Selain itu, mutasi pada protein
podosit (podocin, -actinin 4) dan MYH9 (gen podosit) dikaitkan
dengan focal segmental glomerulosclerosis (FSGS).
Sindrom nefrotik resisten steroid dapat dikaitkan dengan mutasi
NPHS2 (podocin) dan gen WT1, serta komponen lain dari aparatus
filtrasi glomerulus, seperti celah pori, dan termasuk nephrin,
NEPH1, dan CD-2 yang terkait protein.
Proteinuria
Proteinuria dapat dideteksi menggunakan uji dipstick dengan
hasil +3 atau +4. Pemeriksaan kuantitatif menunjukkan hasil dengan
batasan 1-10g/hari. Proteinuria pada SN didefinisikan
>50mg/kg/hari atau 40mg/m2 LPB/jam, dalam kepustakaan lain
proteinuria dapat mencapai 20-30g/hari. Pada anak-anak, sulit untuk
mengumpulkan urin selama 24 jam sehingga rasio protein dan
kreatinin urin atau rasio albumin dan kreatinin pada urin sewaktu
menjadi sangat berguna yaitu >2.Pada dasarnya proteinuria masif
ini mengakibatkan dua hal :
Pertama : jumlah serum protein yang difiltrasi glomerulus
meningkat sehingga serum protein tersebut masuk ke dalam lumen
tubulus.
Kedua : kapasitas faal tubulus ginjal menurun untuk mereabsorbsi
serum protein yang telah difiltrasi glomerulus.
Mekanisme atau patogenesis proteinuria masif sangat kompleks,
dan tergantung dari banyak faktor. Albumin merupakan serum protein
yang mempunyai berat molekul kecil dan jumlahnya banyak sehingga
mudah keluar bila terdapat kerusakan membran basalis ginjal.
Keadaan demikian sering ditemukan pada pasien dengan kerusakan
minimal.(8)
Sebagian besar penderita SN pada usia muda dengan proteinuria
selektif biasanya mempunyai lesi histopatologik minimal atau
minimal change lesion dan memperlihatkan respon baik terhadap
kortikosteroid.(8)
Hipoalbuminemia
Abnormalitas sistemik yang paling berkaitan langsung dengan
proteinuria adalah hipoalbuminemia. Salah satu manifestasi pada
pasien sindrom nefrotik pada anak terjadi hipoalbuminemia apabila
kadar albumin kurang dari 2,5 g/dL.
Pada keadaan normal, produksi albumin di hati adalah 12-14
g/hari (130-200 mg/kg) dan jumlah yang diproduksi sama dengan
jumlah yang dikatabolisme. Katabolisme secara dominan terjadi pada
ekstrarenal, sedangkan 10% di katabolisme pada tubulus proksimal
ginjal setelah resorpsi albumin yang telah difiltrasi. Pada pasien
sindrom nefrotik, hipoalbuminemia merupakan manifestasi dari
hilangnya protein dalam urin yang berlebihan dan peningkatan
katabolisme albumin.
Hilangnya albumin melalui urin merupakan konstributor yang
penting pada kejadian hipoalbuminemia. Meskipun demikian, hal
tersebut bukan merupakan satu-satunya penyebab pada pasien sindrom
nefrotik karena laju sintesis albumin dapat meningkat setidaknya
tiga kali lipat dan dengan begitu dapat mengompensasi hilangnya
albumin melalui urin. Peningkatan hilangnya albumin dalam saluran
gastrointestinal juga diperkirakan mempunyai kontribusi terhadap
keadaan hipoalbuminemia, tetapi hipotesis ini hanya mempunyai
sedikit bukti. Oleh karena itu, terjadinya hipoalbuminemia harus
ada korelasi yang cukup antara penurunan laju sintesis albumin di
hepar dan peningkatan katabolisme albumin.Pada keadaan normal, laju
sintesis albumin di hepar dapat meningkat hingga 300%, sedangkan
penelitian pada penderita sindrom nefrotik dengan hipoalbuminemia
menunjukan bahwa laju sintesis albumin di hepar hanya sedikit di
atas keadaan normal meskipun diberikan diet protein yang adekuat.
Hal ini mengindikasikan respon sintesis terhadap albumin oleh hepar
tidak adekuat.
Tekanan onkotik plasma yang memperfusi hati merupakan regulator
mayor sintesis protein. Bukti eksperimental pada tikus yang secara
genetik menunjukkan adanya defisiensi dalam sirkulasi albumin,
menunjukkan dua kali peningkatan laju transkripsi gen albumin hepar
dibandingkan dengan tikus normal.14 Meskipun demikian, peningkatan
sintesis albumin di hepar pada tikus tersebut tidak adekuat untuk
mengompensasi derajat hipoalbuminemia, yang mengindikasikan adanya
gangguan respon sintesis. Hal ini juga terjadi pada pasien sindrom
nefrotik, penurunan tekanan onkotik tidak mampu untuk meningkatkan
laju sintesis albumin di hati sejauh mengembalikan konsentrasi
plasma albumin. Ada juga bukti pada subjek yang normal bahwa
albumin interstisial hepar mengatur sintesis albumin. Oleh karena
pada sindrom nefrotik pool albumin interstisial hepar tidak habis,
respon sintesis albumin normal dan naik dengan jumlah sedikit,
tetapi tidak mencapai level yang adekuat.
Asupan diet protein berkontribusi pada sintesis albumin.
Sintesis mRNA albumin hepar dan albumin tidak meningkat pada tikus
ketika diberikan diet rendah protein, tetapi sebaliknya, meningkat
pada tikus yang diberikan diet tinggi protein. Meskipun begitu,
level albumin serum tidak mengalami perubahan karena hiperfiltrasi
yang dihasilkan dari peningkatan konsumsi protein menyebabkan
peningkatan albuminuria.
Kontribusi katabolisme albumin ginjal pada hipoalbuminemia pada
sindrom nefrotik masih merupakan hal yang kontroversial. Dalam
penelitian terdahulu dikemukakan bahwa kapasitas transportasi
albumin tubulus ginjal telah mengalami saturasi pada level albumin
terfiltrasi yang fisiologis dan dengan peningkatan protein yang
terfiltrasi yang hanya diekskresikan dalam urin, bukan diserap dan
dikatabolisme. Penelitian pada perfusi tubulus proksimal yang
diisolasi pada kelinci membuktikan sebuah sistem transportasi ganda
untuk uptake albumin. Sebuah sistem kapasitas rendah yang telah
mengalami saturasi pada muatan protein yang berlebih, tetapi masih
dalam level fisiologis terdapat pula sebuah sistem kapasitas tinggi
dengan afinitas yang rendah, memungkinkan tingkat penyerapan
tubular untuk albumin meningkat karena beban yang disaring naik.
Dengan demikian, peningkatan tingkat fraksi katabolik dapat terjadi
pada sindrom nefrotik.Hipotesis ini didukung oleh adanya korelasi
positif di antara katabolisme fraksi albumin dan albuminuria pada
tikus dengan puromycin aminonucleoside PAN yang diinduksi hingga
nefrosis.14 Namun, karena simpanan total albumin tubuh menurun
dalam jumlah banyak pada sindrom nefrotik, laju katabolik absolut
mungkin normal atau bahkan kurang. Hal ini berpengaruh pada status
nutrisi, sebagaimana dibuktikan oleh fakta bahwa katabolisme
albumin absolut berkurang pada tikus nefrotik dengan diet protein
rendah, tetapi tidak pada asupan diet protein normal.
Jadi cukup jelas bahwa hipoalbuminemia pada sindrom nefrotik
merupakan akibat dari perubahan multipel pada homeostasis albumin
yang tidak dapat dikompensasi dengan baik oleh adanya sintesis
albumin hepar dan penurunan katabolisme albumin tubulus ginjal
Sembab atau edema
Terdapat beberapa teori yang menjelaskan tentang timbulnya edema
pada sindrom nefrotik. Underfilled theory merupakan teori klasik
tentang pembentukan edema. Teori ini berisi bahwa adanya edema
disebabkan oleh menurunnya tekanan onkotik intravaskuler dan
menyebabkan cairan merembes ke ruang interstisial. Adanya
peningkatan permeabilitas kapiler glomerulus menyebabkan albumin
keluar sehingga terjadi albuminuria dan hipoalbuminemia.
Sebagaimana diketahui bahwa salah satu fungsi vital dari albumin
adalah sebagai penentu tekanan onkotik. Maka kondisi
hipoalbuminemia ini menyebabkan tekanan onkotik koloid plasma
intravaskular menurun. Sebagai akibatnya, cairan transudat melewati
dinding kapiler dari ruang intravaskular ke ruang interstisial
kemudian timbul edema.
Kelainan glomerulus
Albuminuria
Hipoalbuminemia
Tekanan onkotik koloid plasma
Volume plasma
Retensi Na renal sekunder
Edema
Gambar 1. Teori underfilledMenurut teori lain yaitu teori
overfilled, retensi natrium renal dan air tidak bergantung pada
stimulasi sistemik perifer tetapi pada mekanisme intrarenal primer.
Retensi natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma
dan cairan ekstraseluler. Overfilling cairan ke dalam ruang
interstisial menyebabkan terbentuknya edema.Kelainan glomerulus
Retensi Na renal primer
Volume plasma
Edema
Gambar 2. Teori overfilledHiperkolesterolemiaHampir semua kadar
lemak (kolesterol, trigliserid) dan lipoprotein serum meningkat
pada sindrom nefrosis. Hal ini dapat dijelaskan dengan penjelasan
antara lain yaitu adanya kondisi hipoproteinemia yang merangsang
sintesis protein menyeluruh dalam hati, termasuk lipoprotein.
Selain itu katabolisme lemak menurun karena terdapat penurunan
kadar lipoprotein lipase plasma, sistem enzim utama yang mengambil
lemak dari plasma.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang untuk mendukung diagnosis sindrom nefrotik
, antara lain:
1. Urinalisis dan bila perlu biakan urin. Biakan urin hanya
dilakukan bila didapatkan gejala klinis yang mengarah kepada
infeksi saluran kemih.
2. Protein urin kuantitatif
Dapat menggunakan urin 24 jam atau rasio protein/kreatinin pada
urin pertama pagi hari
3. Pemeriksaan darah
Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit,
trombosit, hematokrit, LED)
Albumin dan kolesterol serum
Ureum, kreatinin serta klirens kreatinin dengan cara klasik atau
dengan rumus Schwartz. Rumus Schwartz digunakan untuk memperkirakan
laju filtrasi glomerulus (LFG). Kadar komplemen C3; bila dicurigai
lupus eritematosus sistemik pemeriksaan ditambah dengan komplemen
C4, ANA (anti nuclear antibody dan anti ds-DNA
DIAGNOSA BANDING
Sindrom nefrotik dapat didiagnosa banding dengan
glomerulonefritis akut (GNA). GNA ialah suatu reaksi imunologis
pada ginjal terhadap bakteri atau virus tertentu. Yang sering
terjadi ialah akibat infeksi kuman streptococcus. Sering ditemukan
pada anak usia 3-7 tahun, dan lebih sering pada anak laki-laki. GNA
didahului oleh infeksi ekstra-renal, di traktus respiratorius
bagian atas dan kulit oleh kuman streptococcus beta hemolyticus
golongan A.(5)
Gejala yang sering ditemukan ialah hematuria/kencing berwarna
merah daging. Kadang-kadang disertai edema ringan yang terbatas di
sekitar mata atau diseluruh tubuh.(5) Edema bukan karena
hipoproteinemia, tetapi karena retensi natrium oleh ginjal yang
mengakibatkan hipertensi berat atau edema paru.(7) hipertensi
terdapat pada 60-70% anak dengan GNA pada hari pertama, kemudian
pada akhir minggu pertama menjadi normal
kembali.(5)PENATALAKSANAANTujuan pengobatan adalah untuk mengatasi
penyebabnya. Mengobati infeksi penyebab sindroma nefrotik bisa
menyembuhkan sindrom nefrotik itu sendiri. Jika penyebab adalah
penyakit yang dapt diobati (misalnya penyakit kanker), maka
mengobatinya akan mengurangi gejala-gejala.
Jika penyebabnya adalah kecanduan heroin maka menghentikan
pemakaian heroin pada stadium awal akan menghilangkan
gejala-gejalanya. Penderita yang peka terhadap cahaya matahari,
racun pohin ek, gigitan serangga sebaiknya menghindari bahan-bahan
tersebut.
Jika tidak ditemukan penyebab yang pasti, maka diberikan
kortikosteroid dan obat-obatan yang menekan system kekebalan
(misalnya siklofosfamid).
Sebelum pengobatan steroid dimulai dilakukan
pemeriksaan-pemeriksaan berikut:1) Pengukuran berat badan dan
tinggi badan
2) Pengukuran tekanan darah
3) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan dilakukan untuk mencari tanda atau gejala penyakit
sistemik, seperti lupus eritematosus sistemik dan purpura
Henoch-Schonlein.4) Pencarian fokus infeksi
Sebelum melakukan terapi dengan steroid perlu dilakukan
eradikasi pada setiap infeksi, seperti infeksi di gigi-geligi,
telinga, ataupun infeksi karena kecacingan.
5) Pemeriksaan uji Mantoux
Apabila hasil uji Mantoux positif perlu diberikan profilaksis
dengan isoniazid (INH) selama 6 bulan bersama steroid dan apabila
ditemukan tuberkulosis diberikan obat antituberkulosis
(OAT).DiitetikPemberian diit tinggi protein dianggap merupakan
kontraindikasi karena akan menambah beban glomerulus untuk
mengeluarkan sisa metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan
menyebabkan sklerosis glomerulus. Bila diberi diit rendah protein
akan terjadi malnutrisi energi protein (MEP) dan menyebabkan
hambatan pertumbuhan anak. Jadi cukup diberikan diit protein normal
sesuai dengan RDA (recommended daily allowances) yaitu 1,5-2
g/kgbb/hari. Diit rendah garam (1-2 g/hari) hanya diperlukan selama
anak menderita edema.Diuretik
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya
diberikan loop diuretic seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila
perlu dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis aldosteron,
diuretik hemat kalium) 2-4 mg/kgbb/hari. Sebelum pemberian
diuretik, perlu disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pada
pemakaian diuretik lebih dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan
elektrolit kalium dan natrium darah.
Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter),
biasanya terjadi karena hipovolemia atau hipoalbuminemia berat ( 1
g/dL), dapat diberikan infus albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgbb
selama 2-4 jam untuk menarik cairan dari jaringan interstisial dan
diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgbb. Bila
pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma 20
ml/kgbb/hari secara pelan-pelan 10 tetes/menit untuk mencegah
terjadinya komplikasi dekompensasi jantung. Bila diperlukan,
suspensi albumin dapat diberikan selang-sehari untuk memberi
kesempatan pergeseran cairan dan mencegah overload cairan. Bila
asites sedemikian berat sehingga mengganggu pernapasan dapat
dilakukan pungsi asites berulang.Algoritma pemberian diuretik
Furosemid 1 3 mg/kgbb/hari
+ spironolakton 2-4 mg/kgbb/hari
Respons (-)
Berat badan tidak menurun atau tidak ada diuresis dalam 48
jam
Dosis furosemid dinaikkan 2 kali lipat (maksimum 4-6
mg/kgbb/hari
Respons (-)
Tambahkan hidroklorothiazid 1-2 mg/kgbb/hari
Respons (-)
Bolus furosemid IV 1-3 mg/kgbb/dosis
atau per infus dengan kecepatan 0,1-1 mg/kgbb/jam
Respons (-)
Albumin 20% 1g/kgbb intravenadiikuti dengan furosemid
intravenaPengobatan dengan kortikosteroidPada SN idiopatik,
kortikosteroid merupakan pengobatan awal, kecuali bila ada
kontraindikasi. Jenis steroid yang diberikan adalah prednison atau
prednisolon.
A. Terapi inisialTerapi inisial pada anak dengan sindrom
nefrotik idiopatik tanpa kontraindikasi steroid sesuai dengan
anjuran ISKDC adalahdiberikan prednison 60 mg/m2 LPB/hari atau 2
mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis terbagi, untuk
menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat
badan ideal (berat badan terhadap tinggi badan). Prednison dosis
penuh (full dose) inisial diberikan selama 4 minggu. Bila terjadi
remisi dalam 4 minggu pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu kedua
dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5 mg/kgbb/hari,
secara alternating (selang sehari), 1 x sehari setelah makan pagi.
Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi
remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten steroid.
Pengobatan insial kortikosteroid
B. Pengobatan SN relapsSkema pengobatan relaps dapat dilihat
pada Gambar di bawah ini, yaitu diberikan prednison dosis penuh
sampai remisi (maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan dosis
alternating selama 4 minggu. Pada pasien SN remisi yang mengalami
proteinuria kembali ++ tetapi tanpa edema, sebelum pemberian
prednison, dicari lebih dahulu pemicunya, biasanya infeksi saluran
nafas atas. Bila terdapat infeksi diberikan antibiotik 5-7 hari,
dan bila kemudian proteinuria menghilang tidak perlu diberikan
pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria ++
disertai edema, maka diagnosis relaps dapat ditegakkan, dan
prednison mulai diberikan.
C. Pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid Terdapat 4
opsi pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid:1. Pemberian
steroid jangka panjang
2. Pemberian levamisol
3. Pengobatan dengan sitostatik
4. Pengobatan dengan siklosporin, atau mikofenolat mofetil (opsi
terakhir)
Selain itu perlu dicari fokus infeksi seperti tuberkulosis,
infeksi di gigi, radang telinga tengah, atau kecacingan.
1. Steroid jangka panjang
Pada anak yang telah dinyatakan relaps sering atau dependen
steroid, setelah remisi dengan prednison dosis penuh, diteruskan
dengan steroid dosis 1,5 mg/kgbb secara alternating. Dosis ini
kemudian diturunkan perlahan/bertahap 0,2 mg/kgbb setiap 2 minggu.
Penurunan dosis tersebut dilakukan sampai dosis terkecil yang tidak
menimbulkan relaps yaitu antara 0,1 0,5 mg/kgbb alternating. Dosis
ini disebut dosis threshold dan dapat dipertahankan selama 6-12
bulan, kemudian dicoba dihentikan. Umumnya anak usia sekolah dapat
bertoleransi dengan prednison 0,5 mg/kgbb, sedangkan anak usia pra
sekolah sampai 1 mg/kgbb secara alternating.
Bila relaps terjadi pada dosis prednison antara 0,1 0,5 mg/kgbb
alternating, maka relaps tersebut diterapi dengan prednison 1
mg/kgbb dalam dosis terbagi, diberikan setiap hari sampai terjadi
remisi. Setelah remisi maka prednison diturunkan menjadi 0,8
mg/kgbb diberikan secara alternating, kemudian diturunkan 0,2
mg/kgbb setiap 2 minggu, sampai satu tahap (0,2 mg/kgbb) di atas
dosis prednison pada saat terjadi relaps yang sebelumnya atau
relaps yang terakhir.
Bila relaps terjadi pada dosis prednison rumat > 0,5 mg/kgbb
alternating, tetapi < 1,0 mg/kgbb alternating tanpa efek samping
yang berat, dapat dicoba dikombinasikan dengan levamisol selang
sehari 2,5 mg/kgbb selama 4-12 bulan, atau langsung diberikan
siklofosfamid (CPA).
Bila terjadi keadaan keadaan di bawah ini:
1. Relaps pada dosis rumat > 1 mg/kgbb alternating atau
2. Dosis rumat < 1 mg/kgbb tetapi disertai:
a. Efek samping steroid yang beratb. Pernah relaps dengan gejala
berat antara lain hipovolemia, trombosis, dan sepsis
diberikan siklofosfamid (CPA) dengan dosis 2-3 mg/kgbb/hari
selama 8-12 minggu.2. Levamisol
Levamisol terbukti efektif sebagai steroid sparing agent.13
Levamisol diberikan dengan dosis 2,5 mg/kgbb dosis tunggal, selang
sehari, selama 4-12 bulan. Efek samping levamisol adalah mual,
muntah, hepatotoksik, vasculitic rash, dan neutropenia yang
reversibel.
3. Sitostatika
Obat sitostatika yang paling sering digunakan pada pengobatan SN
anak adalah siklofosfamid (CPA) atau klorambusil.
Siklofosfamid dapat diberikan peroral dengan dosis 2-3
mg/kgbb/hari dalam dosis tunggal (Gambar 4), maupun secara
intravena atau puls (Gambar 5). CPA puls diberikan dengan dosis 500
750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCL 0,9%,
diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan
interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA puls adalah 6 bulan).
Efek samping CPA adalah mual, muntah, depresi sumsum tulang,
alopesia, sistitis hemoragik, azospermia, dan dalam jangka panjang
dapat menyebabkan keganasan. Oleh karena itu perlu pemantauan
pemeriksaan darah tepi yaitu kadar hemoglobin, leukosit, trombosit,
setiap 1-2 x seminggu. Bila jumlah leukosit 100.000/uL.Efek
toksisitas CPA pada gonad dan keganasan terjadi bila dosis total
kumulatif mencapai 200-300 mg/kgbb. Pemberian CPA oral selama 3
bulan mempunyai dosis total 180 mg/kgbb, dan dosis ini aman bagi
anak.
Klorambusil diberikan dengan dosis 0,2 0,3 mg/kg bb/hari selama
8 minggu. Pengobatan klorambusil pada SNSS sangat terbatas karena
efek toksik berupa kejang dan infeksi
4. Siklosporin (CyA)
Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid
atau sitostatik dianjurkan untuk pemberian siklosporin dengan dosis
4-5 mg/kgbb/hari (100-150 mg/m2 LPB).15 Dosis tersebut dapat
mempertahankan kadar siklosporin darah berkisar antara 150-250
ng/mL. Pada SN relaps sering atau dependen steroid, CyA dapat
menimbulkan dan mempertahankan remisi, sehingga pemberian steroid
dapat dikurangi atau dihentikan, tetapi bila CyA dihentikan,
biasanya akan relaps kembali (dependen siklosporin). Efek samping
dan pemantauan pemberian CyA dapat dilihat pada bagian penjelasan
SN resisten steroid.
5. Mikofenolat mofetil (mycophenolate mofetil = MMF)
Pada SNSS yang tidak memberikan respons dengan levamisol atau
sitostatik dapat diberikan MMF. MMF diberikan dengan dosis 800 1200
mg/m2 LPB atau 25-30 mg/kgbb bersamaan dengan penurunan dosis
steroid selama 12 - 24 bulan.16 Efek samping MMF adalah nyeri
abdomen, diare, leukopenia.Ringkasan tata laksana anak dengan SN
relaps sering atau dependen steroid dapat dilihat pada diagram di
bawah ini
D. Pengobatan SN dengan kontraindikasi steroidBila didapatkan
gejala atau tanda yang merupakan kontraindikasi steroid, seperti
tekanan darah tinggi, peningkatan ureum dan atau kreatinin, infeksi
berat, maka dapat diberikan sitostatik CPA oral maupun CPA puls.
Siklofosfamid dapat diberikan per oral dengan dosis 2-3 mg/kg
bb/hari dosis tunggal, maupun secara intravena (CPA puls). CPA oral
diberikan selama 8 minggu. CPA puls diberikan dengan dosis 500 750
mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCL 0,9%,
diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan
interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA puls adalah 6
bulan).E. Pengobatan SN resisten steroidPengobatan SN resisten
steroid (SNRS) sampai sekarang belum memuaskan. Pada pasien SNRS
sebelum dimulai pengobatan sebaiknya dilakukan biopsi ginjal untuk
melihat gambaran patologi anatomi, karena gambaran patologi anatomi
mempengaruhi prognosis.
1. Siklofosfamid (CPA)
Pemberian CPA oral pada SN resisten steroid dilaporkan dapat
menimbulkan remisi.Pada SN resisten steroid yang mengalami remisi
dengan pemberian CPA, bila terjadi relaps dapat dicoba pemberian
prednison lagi karena SN yang resisten steroid dapat menjadi
sensitif kembali. Namun bila pada pemberian steroid dosis penuh
tidak terjadi remisi (terjadi resisten steroid) atau menjadi
dependen steroid kembali, dapat diberikan siklosporin. Skema
pemberian CPA oral dan puls dapat dilihat pada Gambar di bawah
ini.
2. Siklosporin (CyA)
Pada SN resisten steroid, CyA dilaporkan dapat menimbulkan
remisi total sebanyak 20% pada 60 pasien dan remisi parsial pada
13%.Efek samping CyA adalah hipertensi, hiperkalemia,
hipertrikosis, hipertrofi gingiva, dan juga bersifat nefrotoksik
yaitu menimbulkan lesi tubulointerstisial. Oleh karena itu pada
pemakaian CyA perlu pemantauan terhadap:
Kadar CyA dalam darah: dipertahankan antara 150-250 1.
nanogram/mL
Kadar kreatinin darah berkala.
Biopsi ginjal setiap 2 tahun.
Penggunaan CyA pada SN resisten steroid telah banyak dilaporkan
dalam literatur, tetapi karena harga obat yang mahal maka pemakaian
CyA jarang atau sangat selektif.3. Metilprednisolon pulsMendoza
dkk. (1990) melaporkan pengobatan SNRS dengan metil prednisolon
puls selama 82 minggu + prednison oral dan siklofosfamid atau
klorambusil 8-12 minggu. Metilprednisolon dosis 30 mg/kgbb
(maksimum 1000 mg) dilarutkan dalam 50-100 mL glukosa 5%, diberikan
dalam 2-4 jam
4. Obat imunosupresif lain
Obat imunosupresif lain yang dilaporkan telah digunakan pada
SNRS adalah vinkristin, takrolimus, dan mikofenolat mofetil. Karena
laporan dalam literatur yang masih sporadik dan tidak dilakukan
dengan studi kontrol, maka obat ini belum direkomendasi di
IndonesiaPEMBERIAN OBAT NON-IMUNOSUPRESIF UNTUK MENGURANGI
PROTEINURIA
Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) dan angiotensin
receptor blocker (ARB) telah banyak digunakan untuk mengurangi
proteinuria. Cara kerja kedua obat ini dalam menurunkan ekskresi
protein di urin melalui penurunan tekanan hidrostatik dan mengubah
permeabilitas glomerulus. ACEI juga mempunyai efek renoprotektor
melalui penurunan sintesis transforming growth factor (TGF)-1 dan
plasminogen activator inhibitor (PAI)-1, keduanya merupakan sitokin
penting yang berperan dalam terjadinya glomerulosklerosis. Pada
SNSS relaps, kadar TGF-1 urin sama tinggi dengan kadarnya pada
SNRS, berarti anak dengan SNSS relaps sering maupun dependen
steroid mempunyai risiko untuk terjadi glomerulosklerosis yang sama
dengan SNRS.23 Dalam kepustakaan dilaporkan bahwa pemberian
kombinasi ACEI dan ARB memberikan hasil penurunan proteinuria lebih
banyak.
Pada anak dengan SNSS relaps sering, dependen steroid dan SNRS
dianjurkan untuk diberikan ACEI saja atau dikombinasikan dengan
ARB, bersamaan dengan steroid atau imunosupresan lain. Jenis obat
ini yang bisa digunakan adalah:
Golongan 1. ACEI: kaptopril 0.3 mg/kgbb diberikan 3 x sehari,
enalapril 0.5 mg/kgbb/hari dibagi 2 dosis,26 lisinopril 0,1 mg/kgbb
dosis tunggal
Go2. longan ARB: losartan 0,75 mg/kgbb dosis tunggal
TATA LAKSANA KOMPLIKASI SINDROM NEFROTIK
1. InfeksiPasien sindrom nefrotik sangat rentan terhadap
infeksi, bila terdapat infeksi perlu segera diobati dengan
pemberian antibiotik. Infeksi yang terutama adalah selulitis dan
peritonitis primer. Bila terjadi peritonitis primer (biasanya
disebabkan oleh kuman Gram negatif dan Streptococcus pneumoniae)
perlu diberikan pengobatan penisilin parenteral dikombinasi dengan
sefalosporin generasi ketiga yaitu sefotaksim atau seftriakson
selama 10-14 hari.12 Infeksi lain yang sering ditemukan pada anak
dengan SN adalah pnemonia dan infeksi saluran napas atas karena
virus.
Pada orangtua dipesankan untuk menghindari kontak dengan pasien
varisela. Bila terjadi kontak diberikan profilaksis dengan
imunoglobulin varicella-zoster, dalam waktu kurang dari 96 jam.
Bila tidak memungkinkan dapat diberikan suntikan dosis tunggal
imunoglobulin intravena (400mg/kgbb).28 Bila sudah terjadi infeksi
perlu diberi obat asiklovir intravena (1500 mg/m2/hari dibagi 3
dosis) atau asiklovir oral dengan dosis 80 mg/kgbb/hari dibagi 4
dosis selama 7 10 hari,9 dan pengobatan steroid sebaiknya
dihentikan sementara.2. TrombosisSuatu studi prospektif mendapatkan
15% pasien SN relaps menunjukkan bukti defek ventilasi-perfusi pada
pemeriksaan skintigrafi yang berarti terdapat trombosis pembuluh
vaskular paru yang asimtomatik.29 Bila diagnosis trombosis telah
ditegakkan dengan pemeriksaan fisis dan radiologis, diberikan
heparin secara subkutan, dilanjutkan dengan warfarin selama 6 bulan
atau lebih. Pencegahan tromboemboli dengan pemberian aspirin dosis
rendah, saat ini tidak dianjurkan.3. HiperlipidemiaPada SN relaps
atau resisten steroid terjadi peningkatan kadar LDL dan VLDL
kolesterol, trigliserida dan lipoprotein (a) (Lpa) sedangkan
kolesterol HDL menurun atau normal. Zat-zat tersebut bersifat
aterogenik dan trombogenik, sehingga meningkatkan morbiditas
kardiovaskular dan progresivitas glomerulosklerosis.
Pada SN sensitif steroid, karena peningkatan zat-zat tersebut
bersifat sementara dan tidak memberikan implikasi jangka panjang,
maka cukup dengan pengurangan diit lemak. Pada SN resisten steroid,
dianjurkan untuk mempertahankan berat badan normal untuk tinggi
badannya, dan diit rendah lemak jenuh. Dapat dipertimbangan
pemberian obat penurun lipid seperti inhibitor HMgCoA reduktase
(statin).31
4. HipokalsemiaPada SN dapat terjadi hipokalsemia karena:
Penggunaan steroid jangka panjang yang menimbulkan
1. osteoporosis dan osteopenia2. Kebocoran metabolit vitamin
DOleh karena itu pada pasien SN yang mendapat terapi steroid jangka
lama (lebih dari 3 bulan) dianjurkan pemberian suplementasi kalsium
250-500 mg/hari dan vitamin D (125-250 IU).32 Bila telah terjadi
tetani, diobati dengan kalsium glukonas 10% sebanyak 0,5 mL/kgbb
intravena.5. HipovolemiaPemberian diuretik yang berlebihan atau
dalam keadaan SN relaps dapat terjadi hipovolemia dengan gejala
hipotensi, takikardia, ekstremitas dingin, dan sering disertai
sakit perut. Pasien harus segera diberi infus NaCl fisiologis
dengan cepat sebanyak 15-20 mL/kgbb dalam 20-30 menit, dan disusul
dengan albumin 1 g/kgbb atau plasma 20 mL/kgbb (tetesan lambat 10
tetes per menit). Bila hipovolemia telah teratasi dan pasien tetap
oliguria, diberikan furosemid 1-2 mg/kgbb intravena
6. HipertensiHipertensi dapat ditemukan pada awitan penyakit
atau dalam perjalanan penyakit SN akibat toksisitas steroid.
Pengobatan hipertensi diawali dengan inhibitor ACE (angiotensin
converting enzyme), ARB (angiotensin receptor blocker) calcium
channel blockers, atau antagonis adrenergik, sampai tekanan darah
di bawah persentil 90.10
7. Efek samping steroidPemberian steroid jangka lama akan
menimbulkan efek samping yang signifikan, karenanya hal tersebut
harus dijelaskan kepada pasien dan orangtuanya. Efek samping
tersebut meliputi peningkatan napsu makan, gangguan pertumbuhan,
perubahan perilaku, peningkatan risiko infeksi, retensi air dan
garam, hipertensi, dan demineralisasi tulang. Pada semua pasien SN
harus dilakukan pemantauan terhadap gejala-gejala cushingoid,
pengukuran tekanan darah, pengukuran berat badan dan tinggi badan
setiap 6 bulan sekali, dan evaluasi timbulnya katarak setiap tahun
sekaliINDIKASI BIOPSI GINJAL
Biopsi ginjal terindikasi pada keadaan-keadaan di bawah ini:1.
Pada presentasi awala. Awitan sindrom nefrotik pada usia