i SIMBOLISME RELIEF CANDI SUKUH LAPORAN PENELITIAN PUSTAKA Oleh: Drs. Achmad Syafi’i, M.Sn. NIP. 19570527 198503 1002 Dibiayai DIPA ISI Surakarta Nomor: SP DIPA-041.01.2.400903/2019 Tanggal 5 Desember 2018 Direktorat Jendral Penguatan Riset dan Pengembangan, Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Penelitian Pustaka Nomor: 6865/IT6.1/LT/2019 INSTITUT SENI INDONESIA (ISI) SURAKARTA OKTOBER 2019
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Dibiayai DIPA ISI Surakarta Nomor: SP DIPA-041.01.2.400903/2019Tanggal 5 Desember 2018
Direktorat Jendral Penguatan Riset dan Pengembangan,Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi
Sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Penelitian PustakaNomor: 6865/IT6.1/LT/2019
INSTITUT SENI INDONESIA (ISI) SURAKARTA
OKTOBER 2019
ii
iii
ABSTRAK
Penelitian ini membahas estetika simbol relief candi Sukuh yang berada diNgargoyoso, Karanganyar, Jawa Tengah. Penelitian menitikberatkan padapermasalahan penafsiran estetika simbol relief candi Sukuh menurut kajianEstetika Suzanne K. Langer, yaitu melihat kesenian sebagai kreasi bentuk-bentuksimbolis dari perasaan manusia. Lebih lanjut penelitian ini mengulas maknapenghadiran dan visualisasi relief candi Sukuh yang dianggap peninggalanterakhir kerajaan Majapahit. Tujuan penelitian lebih kepada pelurusan sejarahdengan mengulik penghadiran serta makna relief candi Sukuh sebagai bagiansistem tanda dalam budaya Jawa. Sekaligus sebagai upaya pelestarian nilai tradisimengenai pralambang berupa sengkalan yang seringkali dipakai manusia Jawadalam relief candi Sukuh agar dapat dipahami manusia Jawa kini sebagai caramemahami diri sebagai bagian dari budaya ‘Timur’. Pembuatan candi Sukuhdimungkinkan selain agar mengingat kembali budaya leluhur, juga sebagaiperuwatan terhadap kerajaan Majapahit. Peruwatan dilakukan untuk menggapaikejayaan kembali Majapahit sebab masa Dyah Suhita, kerajaan Majapahitberangsur surut pengaruhnya terlebih pasca perang Paregreg, lepasnya Negaravassal satu-persatu, gempuran dan menguatnya budaya Islam dan Cina diMajapahit.
Kata kunci : Candi Sukuh, Estetika simbol, Makna, Relief, Sengkalan
ABSTRACT
This research determined the aesthetics of Candi Sukuh relief symbol inNgargoyoso, Karanganyar, Central Java. This research focused on interpretationaesthetics relief symbol of Candi Sukuh problem basede on Suzanne K. Langeraesthetics study. This study is about to understand art as symbolic art creationfrom human feeling. This research also studied meaning of presentation andvisualization Candi Sukuh relief that was considered as the last archeologicalremain of Majapahit Kingdom. This research aimed to straightening history withexistence and meaning of Candi Sukuh relief as part of symbol system inJavanesse culture and also as tradition value conservation about pralambang i.e.sengkalan that usually used by javanesse people in Candi Sukuh relief in order tounderstand by present javanesse people about east culture. The development ofCandi Sukuh was might as reminder to ancestor culture and as “ruwatan” toMajapahit Kingdom. Peruwatan was conducted to achieve Majapahit victoryover. Because in Dyah Suhita phase, influencing of Majapahit kingdom contantlylessened particularly after Paregreg war, released of vassal country sequentially,attack and strength of Islamic culture in chinesse in Majapahit.
Alhamdulillahi rabbil’ alamin, karena rahmat serta karunia Allah jualah
penelitian yang berjudul “Simbolisme Patung Macan Kurung Jepara” ini dapat
terselesaikan. Penelitian ini tidak akan terwujud tanpa dukungan serta bantuan
dari berbagai pihak, sehingga mendorong saya untuk secara tulus menyampaikan
penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang
telah membantu kegiatan penelitian dan penulisan laporan.
Berkait dengan penyusunan laporan penelitian saya sampaikan terima
kasih yang tak terhingga kepada Dr. Slamet, M.Hum. selaku ketua LP2MP3M,
Satriana Didiek Isnanta, M.Sn. selaku Kepala Pusat Penelitian, serta Mbak
Wahyu, Ibu Vivi, Mbak Retno, Pak Ratno, Mas Irfan, dan Mas Putut atas segala
bantuan dalam informasi kegiatan dan penyusunan laporan Penelitian DIPA ini.
Akhirnya, ucapan terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat saya
sebutkan satu-persatu. Semoga Allah SWT memberikan balasan yang setimpal,
serta melekatkan dalam ingatan saya bahwa bantuan orang-orang lainlah yang
menyebabkan saya dapat mewujudkan penelitian ini.
Surakarta, 20 Oktober 2019
Penulis
v
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL .................................................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................................... ii
ABSTRAK ..................................................................................................................... iii
DAFTAR ISI................................................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………………………. v
BAB I. PENDAHULUAN………………………………………………………… 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………... 6
BAB III. METODE PENELITIAN…………………………………………..…....... 14
BAB IV. ANALISIS HASIL ……….………..……………………………..………. 18A. Keberadaan Candi Sukuh ……………………………………………... 20
1. Gambaran Umum …………………………………………………... 202. Sejarah Pendirian Candi Sukuh ………………………………...…... 25
B. Bentuk dan Cerita pada Relief di Candi Sukuh ……………………….. 281. Fragmen Garudeya ………………………………………...……….. 292. Fragmen Sudhamala ……………………………………………...… 333. Fragmen Bima Bungkus ………………………………………….… 374. Fragmen Nawaruci ……………………………………….………… 38
C. Simbolisme Relief Candi Sukuh ………………………………………. 42BAB V LUARAN PENELITIAN ………………………………………………… 45
utara dan selatan terdapat relief yang melukiskan seekor garuda dengan sayap
terbuka sedang mencengkeram dua ekor ular naga, diperkirakan sebagai cerita
Garudeya; (7) pada lantai gapura terdapat relief phallus dan vagina yang
dilukiskan sangat naturalistik.34
Gambar 2. Gapura Teras Pertama Candi Sukuh(Foto oleh: Wisnu Adisukma)
Di ruang dalam gapura, terhampar di lantai, terdapat pahatan yang
menggambarkan phallus dan vagina dalam bentuk yang nyata yang hampir
bersentuhan satu sama lain. Pahatan tersebut merupakan penggambaran
bersatunya lingga (kelamin perempuan) dan yoni (kelamin laki-laki) yang
merupakan lambang kesuburan. Saat ini sekeliling pahatan tersebut diberi pagar,
sehingga gapura tersebut sulit untuk dilalui. Untuk naik ke teras pertama,
umumnya pengunjung meggunakan tangga di sisi gapura. Ada keyakinan bahwa
pahatan tersebut berfungsi sebagai ‘suwuk’ (mantra atau obat) untuk
‘ngruwat’ (menyembuhkan atau menghilangkan) segala kotoran yang melekat di
34 Saringendyanti, Etty. 2008. “Candi Sukuh dan Ceto di Kawasan Gunung Lawu:Peranannya Pada Abad 14–15 Masehi”. Makalah Hasil Penelitian. Bandung: FakultasSastra Universitas Padjadjaran. Hlm. 6
23
hati.35 Itulah sebabnya relief tersebut dipahatkan pada bagian bawah atau lantai
pintu masuk, sehingga orang yang masuk ketempat suci akan melangkahinya.
Dengan demikian dimungkinkan pada saat jaman candi Sukuh masih difungsikan,
terdapat keinginan bahwa segala kekotoran batin dan pikiran yang melekat di
tubuhnya akan sirna saat masuk ke lingkungan Candi Sukuh
Gambar 3. Pahatan phallus dan vagina pada relung gapura pertama(Foto oleh: Wisnu Adisukma)
Gambar 4. Gapura Teras Kedua Candi Sukuh(Foto oleh: Wisnu Adisukma)
Bentuk gapura pada teras kedua sudah tidak lagi dalam keadaan utuh, di
kanan dan kiri gapura terdapat patung penjaga pintu atau dwarapala, namun
35Wawancara dengan Pak Sucipto, penjaga keamanan sekaligus juru kunci candiSukuh, pada 27 Mei 2019
24
dalam keadaan rusak dan sudah tidak jelas lagi bentuknya. Gapura sudah tidak
beratap dan pada teras ini tidak dijumpai banyak patung-patung. Namun pada
gapura teras kedua halaman sebelah selatan, terdapat rekief yang menggambarkan
seorang pendeta berkepala gajah, tangannya menangkap binatang anjing. Relief
tersebut menurut K.C. Cruca merupakan sengkalan yang dalam bahasa
Tantrik Buddhisme, melakukan ritual Tantrik persatuan dengan istrinya Ratu
Bajradewiagar negerinya menjadi aman, dan keduanya menjelma dalam
patung Ardhanareswara, menggabungkan kedua karakter istri laki-laki dan
perempuan. Namun, praktek-praktek Tantrik Hindu menerima dorongan baru oleh
penyebaran kultus Bhima Jawa Tengah dan Jawa Timur, khususnya ketika Candi
Sukuh dibangun selama abad XIV-XV Masehi, di Candi Sukuh, Tantrik Siwaisme
berubah menjadi adat kultus Bima. Transformasi terjadi ditahap terakhir dari masa
Majapahit, tahun 1437 Masehi, ketika Bima digambarkan sebagai pendeta dari
Dewa Siwa di bumi ini, ketika Siwa mengeluarkan tirta amerta, air suci
keabadian. Ia menjadi agen pusat dari kultus kesuburan, sebuah gerakan yang kuat
dari budaya populer saat itu, menampilkan banyak karakteristik yang
didelegasikan kepadanya oleh Siwa. Sebuah fiturikonografi Bima terekspos
seperti penis, kuku panchanaka, menandakan penetrasi.40 Candi Sukuh didirikan
pada tahun 1437 Masehi dan ditahbiskan sebagai kuil Tantrik Siwaisme di tahun
1440 Masehi, menandai puncak perkembangan kultus Bhima di Jawa dan filsafat
hidup yang mendasarinya, osilasi antara kematian dan kelahiran kembali dalam
siklus transformasi dan perubahan abadi. Seni Candi Sukuh, mengekspresikan
konsep filosofis serta simbolisme kultus Bima dan Jawa secara menyeluruh.
Candi Sukuh didirikan oleh keturunan dari keluarga aristokratis tua
Kediri, Bhre Daha tahun 1437 M, yang menentang kebijakan Dyah Suhita,
penguasa kerajaan Majapahit yang sedang menjabat pada masa itu. Dyah Suhita
dianggap menyerah pada semakin kuatnya pengaruh kekaisaran Cina dan Islam
tanpa keinginan mempertahankan agama dan kebudayaan turun temurun dari para
wangsa Rajasa. Terjadilah pemberontakan di tahun 1437 M terhadap Dyah Suhita,
tapi serangan cukup singkat dapat diredam.41 Candi Sukuh ditemukan kembali
dalam keadaan runtuh pada tahun 1815 oleh Johnson, Residen Surakarta pada
masa pemerintahan Raffles. Selanjutnya Candi Sukuh diteliti oleh Van der Vlis
pada tahun 1842. Hasil penelitian tersebut dilaporkan dalam buku Van der Vlis
yang berjudul Prove Eener Beschrijten op Soekoeh en Tjeto. Penelitian terhadap
40Victor Fic. 2003. The Tantra. New Delhi: Abhinav Publications. Hlm. 5441Victor Fic. 2003. Hlm 66
27
candi tersebut kemudian dilanjutkan oleh Hoepermans pada tahun 1864-1867 dan
dilaporkan dalam bukunya yang berjudul Hindoe Oudheiden van Java. Pada tahun
1889, Verbeek mengadakan inventarisasi terhadap candi Sukuh, yang dilanjutkan
dengan penelitian oleh Knebel dan WF. Stutterheim pada tahun 1910.42
Para Sejarawan seni Indonesia pada umumnya saat membicarakan Candi
Sukuh, mungkin mengatakan bahwa anggur baru telah dituangkan ke dalam
bejana lama. Sebab ‘roh Indonesia asli’ yang setelah asimilasi dari ide-ide serta
bentuk-bentuk yang diimport terpecah, mengadaptasi dan mentransformasi ide
dan bentuk baru untuk mencocokkan dengan konsepsi tradisuional lama. Sebuah
kebangkitan yang spektakuler dari keseluruhan dari ide, bentuk, dan perasaan
yang dihubungkan dengan piramida berundak dan bentuk lain dari budaya
megalitik Indonesia yang dimunculkan pada Candi Sukuh.43 Secara periodeisasi
candi melihat bentuk struktur relief, Candi sukuh digolongkan Era Jawa Timur,
namun melihat pola dan bentuk candi, akan membawa pemahaman pada masa pra
Hindu-Budha di Indonesia.
Claire Holt menambahkan bahwa Piramida, tiang-tiang, dan obelisk di
Sukuh, dengan patung-patung monumental dan penuh kekuatan tanpa hiasan,
tampak sebuah cabang yang jauh dari Prasejarah, yang terpisah dari akar-akarnya
selama lebih dari 1.500 tahun. Patung-patung yang kuat tetapi kasar dan relief di
Sukuh seperti halnya figure Bima, berdiri bertentangan kuat dengan seni yang
halus dan banyak hiasan yang telah berkembang di dataran Jawa pada abad-abad
yang mendahului. Pada candi Sukuh, Bima tampil melambangkan potensi magis
serta pembebasan dari pembatasan-pembatasan kehidupan yang bisa mati.44 Hal
ini menyiratkan banyak hal yang terjadi pada masa itu, seolah terdapat sebuah
tamparan agar kembali mengingat masa lampau, dan mendudukkan seorang laki-
laki, kuat, teguh dan tegas untuk menegakkan ajaran-ajaran lama yang
ditinggalkan.
42Victor Fic. 2003, hlm. 7343 Claire Holt, 2000, Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia, Terj. Prof
Dr. R.M. Soedarsono, Bandung: Artiline untuk Masyarat Seni Pertunjukan Indonesia,hlm. 27
44 . Claire Holt. 2000, hlm 29
28
B. Bentuk dan Cerita pada Relief di Candi Sukuh
Secara historis dalam pembabagan gaya arsitektur, relief yang terpahat di
candi Sukuh dapat dikategorikan ke dalam relief gaya klasik muda yaitu yang
berkembang dari abad ke-11 sampai dengan abad ke-15 Masehi. Setiap gaya relief
memiliki ciri khas masing-masing dan ciri penggambaran relief bergaya klasik
muda (Majapahit) adalah sebagai berikut :
Relief digambarkan dalam bentuk rendah (bas relief), pengerjaan relief
hanya pada ¼ dari ketebalan media yang umumnya balok batu.
Penggambaran figur manusia, hewan, dan tumbuhan bersifat simbolis,
artinya tidak seperti apa adanya (naturalis). Penggambaran figur kerap
kali tidak proporsional, kaku, bahkan sangat mirip dengan wayang kulit.
Tokoh-tokoh sering digambarkan menghadap ke samping, sebagaimana
wayang kulit, keadaan demikian lazim disebut dengan en-profile.
Adanya kecenderungan untuk mengisi seluruh panil dengan berbagai
bentuk lain di luar tokoh- tokoh utama. Hal ini sering disebut horror
vaquum pada gaya klasik muda.45
Adapun mengenai isi atau tema ceritanya, memiliki ciri tersendiri pula,
yaitu :
Cerita digambarkan fragmentaris, tidak lengkap dari awal hingga akhir
kisah.
Tema umumnya roman percintaan, pelepasan dari derita, pertemuan
dengan dewata, dan hanya sedikit yang bersifat epos.
Acuan cerita tidak semata-mata karya sastra dari India (Ramayana dan
Mahabharata) melainkan ada juga sadurannya (misalnya Arjunawiwaha
dan Sudhamala) bahkan juga cerita gubahan pujangga Jawa Kuna sendiri
(Sri Tanjung, Panji, dan Bhubukhsah- Ganggangaking)46.
45 Agus Aris Munandar. 2004. “Karya Sastra Jawa Kuno yang Diabadikan PadaRelief Candi–Candi Abad ke 13–15 M”. Jurnal Makara, Sosial Humaniora, Vol. 8, No. 2Agustus 2004. hlm 54
46 Agus Aris Munandar. 2004. hlm 55.
29
Secara garis besar relief–relief yang terpahat di candi Sukuh terbagi
menjadi enam yaitu Fragmen Garudeya, Fragmen Sudhamala, Fragmen Bima
Bungkus, Samuderamantana, Nawaruci, dan adegan pandai besi yang cerita belum
dikenal serta diketahui masuk dalam cerita apa. Cerita yang terdapat pada panel di
relief candi Sukuh akan diungkap mengenai bentuk serta makna di balik wujud,
yaitu,
1. Fragmen Garudeya
Relief ini terletak di depan bangunan utama agak ke selatan, pada sudut
kiri atas terdapat prasasti dalam huruf dan bahasa Kawi berbunyi padamel rikang
buku tirta sunya =1361 Saka. Pemahatan relief ini bersumber dari Kitab
Mahabharata bagian pertama (Adiparwa). Dikisahkan, pada suatu hari Sang
Winata dan Sang Kadru, istri Bagawan Kasyapa, mendengar kabar tentang
keberadaan seekor kuda bernama Uccaihsrawa, hasil pemutaran Gunung Mandara
atau Mandaragiri. Sang Winata mengatakan bahwa warna kuda tersebut putih
semua, sedangkan Sang Kadru mengatakan bahwa tubuh kuda tersebut berwarna
putih sedangkan ekornya saja yang hitam. Karena berbeda pendapat, mereka
berdua bertaruh, siapa yang tebakannya salah akan menjadi budak. Mereka
berencana untuk menyaksikan warna kuda itu besok sekaligus menentukan siapa
yang salah.
Gambar 5. Adegan Taruhan antara Sang Winta dan Sang Kadru(Foto oleh: Wisnu Adisukma)
30
Gambar 6. Adegan Garuda membantu mengasuh para naga(Foto oleh: Wisnu Adisukma)
Sang Kadru menceritakan masalah taruhan tersebut kepada anak-anaknya.
Anak-anaknya mengatakan bahwa ibunya sudah tentu akan kalah, karena warna
kuda tersebut putih belaka. Sang Kadru pun cemas karena merasa kalah taruhan,
maka dari itu ia mengutus anak-anaknya untuk memercikkan bisa ke ekor kuda
tersebut supaya warnanya menjadi hitam. Anak-anaknya menolak untuk
melaksanakannya karena merasa perbuatan tersebut tidak pantas. Sang Kadru
yang marah mengutuk anak-anaknya supaya mati ditelan api pada saat upacara
pengorbanan ular yang diselenggarakan Raja Janamejaya. Mau tak mau, akhirnya
anak-anaknya melaksanakan perintah ibunya. Mereka pun memercikkan bisa ular
ke ekor kuda Uccaihsrawa sehingga warnanya yang putih kemudian menjadi
hitam. Akhirnya Sang Kadru memenangkan taruhan sehingga Sang Winata harus
menjadi budaknya.
Sementara itu, telur yang diasuh Sang Winata menetas lalu munculah
burung gagah perkasa yang kemudian diberi nama Garuda. Sang Garuda mencari-
cari kemana ibunya. Pada akhirnya ia mendapati ibunya diperbudak Sang Kadru
untuk mengasuh para naga. Sang Garuda membantu ibunya mengasuh para naga,
namun para naga sangat lincah berlari kesana-kemari. Sang Garuda kepayahan,
lalu menanyakan para naga, apa yang bisa dilakukan untuk menebus perbudakan
atau meruwat ibunya. Para naga menjawab, kalau Sang Garuda mampu membawa
31
tirta amerta ke hadapan para naga, maka ibunya akan dibebaskan atau diruwat.
Sang Garuda menyanggupi permohonan tersebut.
Gambar 7. Adegan Garuda mencengkeram Gajah dan Penyu(Foto oleh: Wisnu Adisukma)
Perjalanan Garuda dalam mencari tirta amerta tidaklah mudah, Pada
relief seekor garuda yang sedang terbang dengan mencengkeram seekor gajah dan
seekor kura-kura pada kedua kakinya, menceritakan bahwa Garudeya yang
berkelana ke berbagai tempat dan memangsa makhluk-makhluk yang berperingai
jahat.47 Salah satu fragmen yang menggambarkan adalah pada relief Garudeya
mencengkeram Wibasu (gajah) dan Supratika (kura-kura) yang bercerita bahwa
terdapat dua raja yang bertengkar dan berperang memperebutkan kekuasaan, yang
bernama sang Supratika dan sang Wibasu. Karena mereka terus menerus
bertengkar, lalu terkutuk dan berubah menjadi binatang. Wibasu yang merasa
besar dan angkuh menjadi seekor gajah dan Supratikna yang berperangai keras
serta kasar menjadi seekor kura-kura.48 Keduanya boleh dibunuh oleh Sang
Garuda, karena mereka berdosa. Diceritakan karena Garuda sedang lapar maka
mereka akhirnya menjadi santapan Garuda.
47 Wawancara dengan Pak Sucipto, penjaga keamanan sekaligus juru kunci candiSukuh, pada 27 Mei 2019
48 Ki Padmapuspita Y, Candi Sukuh dan Kidung Sudamala, Jakarta: DitjenKebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1982, hlm. 140.
32
Gambar 8. Adegan Garuda menjadi kendaraan Dewa Wisnu(Foto oleh: Wisnu Adisukma)
Singkat cerita, Sang Garuda berhasil menghadapi berbagai rintangan dan
sampai di tempat tirta amerta. Pada saat Sang Garuda ingin mengambil tirta
tersebut, Dewa Wisnu datang dan bersabda, “Sang Garuda, jika engkau ingin
mendapatkan tirta tersebut, mintalah kepadaku, nanti pasti aku berikan”. Sang
Garuda menjawab, “Tidak selayaknya jika saya meminta kepada anda sebab anda
lebih sakti dari pada saya. Karena tirta amerta anda tidak mengenal tua dan mati,
sedangkan saya tidak. Untuk itu, berikanlah kepada saya anugerah yang lain”.
Dewa Wisnu berkata, “Jika demikian, aku memintamu untuk menjadi
kendaraanku, sekaligus menjadi lambang panji-panjiku”. Sang Garuda setuju
dengan permohonan tersebut sehingga akhirnya menjadi kendaraan Dewa Wisnu.
Kemudian Sang Garuda terbang membawa tirta, namun Dewa Indra tidak setuju
kalau tirta tersebut diberikan kepada para naga. Sang Garuda mengatakan bahwa
tirta tersebut akan diberikan kalau para naga sudah selesai mandi.
Sampailah Sang Garuda ke tempat tinggal para naga. Para naga girang
ingin segera meminum tirta amerta, namun Sang Garuda mengatakan bahwa tirta
tersebut boleh diminum jika para naga mandi terlebih dahulu. Para naga pun
mandi sesuai dengan syarat yang diberikan, tetapi setelah selesai mandi, tirta
amerta sudah tidak ada lagi karena dibawa kabur oleh Dewa Indra. Para naga
kecewa dan hanya mendapati beberapa percikan tirta amerta tertinggal pada daun
ilalang. Para naga pun menjilati daun tersebut sehingga lidahnya tersayat dan
33
terbelah.49 Daun ilalang pun menjadi suci karena mendapat tirta amerta.
Sementara itu Sang Garuda terbang ke surga karena merasa sudah menebus
perbudakan ibunya. Relief kisah Garudheya ini juga terdapat di Candi Kidal di
Jawa Timur yang dibangun atas perintah Anusapati untuk meruwat ibunya, Ken
Dedes.
2. Fragmen Sudhamala
Relief ini terletak di bagian selatan pelataran teras ketiga dan bersumber
dari Kidung Sudhamala. Cerita Sudamala mengisahkan tentang Sadhewa, salah
satu dari satria kembar di antara kelima satria Pandawa, yang berhasil meruwat
(menghilangkan kutukan) dalam diri Dewi Uma, istri Bathara Guru. Dewi Uma
dikutuk oleh suaminya karena tidak dapat menahan kemarahannya terhadap
suaminya yang minta untuk dilayani pada saat yang menurutnya kurang layak.
Bathara Guru murka dan mengutuk istrinya menjadi seorang raseksi (raksasa
perempuan) bernama Bathari Durga. Ia juga harus menjalani hukuman dibuang ke
hutan Setra Gandamayit. Menjadi ratu penguasa makhluk dari bangsa jin dan
raksasa.
Bathara Guru menyampaikan bahwa Dewi Uma dikutuk menjadi Bathari
Durga penguasa Gandamayit selama 12 tahun, dan yang dapat membebaskannya
adalah bungsu dari Pandudewata. Bathari Durga setelah tahu bahwa yang bias
membebaskannya adalah Sadewa maka segera meminta ibunya, Kunti, untuk
membujuk anak bungsunya agar mau meruwat Bathari Durga. Namun Kunthi
menolak, sebab Sadewa adalah anak Pandu dari Dewi Madrim. Kunti
menawarkan agar diganti oleh ketiga anak kandungnya saja. Namun Bathari
Durga tetap meminta Sadewa. Hingga dua kali ini Bathari Durga menemui Dewi
Kunti dan meminta baik-baik agar Sadewa diserahkan kepadanya. Tetapi hasilnya
selalu nihil. Ia teringat pesan Bathara Guru dahulu bahwa putra bungsu
Pandudewanata itulah yang bisa mengembalikannya ke wujud asli sebagai
Jawa yang terait dengan pendirian yang kuat dan baik (sukuh) oleh seorang
pencari ilmu pengetahuan (brahmana) yang memiliki jiwa atau niat yang bersih
(dewaruci). Pencapaian ini diawali dengan mengendalikan diri atau nafsu agar
jiwa menjadi suci dan tenang (nawaruci) sehingga ia dapat mencapai hasil akhir
yang berupa penyatuan mistis/ manunggal dengan Gusti atau Tuhannya (durga).
Candi Sukuh tidak bisa “dibaca” secara serampangan, keberadaan
ragawinya harus kita pahami secara lebih mendalam seperti mengaduk lautan susu
(Samudramantana) menggunakan mata hati kita, bukan menggunakan mata kita
yang telanjang karena mata telanjang yang kita miliki sesungguhnya penuh
dengan keterbatasan.
Candi Sukuh bukanlah candi persenggamaan dan penuh dengan
ketelanjangan tetapi sesunggunya merupakan transformasi tattwa dan filsafat yang
dimiliki oleh orang Jawa melalui peradabannya yang diperhitungkan menjadi tiga
peradaban besar di dunia. Dirinya mengajak kita untuk hanepa slirani kayu gung
susuhing angin (mengoreksi diri sendiri sebelum mengoreksi diri orang lain),
sebagai cerminan bagi manusia, seberapa beranikah manusia sebagai titah berani
menelanjangi dirinya sendiri (baca: kesalahan) di hadapan Tuhannya dan
selanjutnya mengakui kesalahan yang pernah diperbuatnya tersebut dengan hati
yang damai, sejuk dan penuh dengan penyerahan.
Murwakala sesungguhnya mengisahkan tentang asal-usul kehidupan
atau purwaning dumadi. Sebuah ajaran spiritualisme yang disampaikan lewat
simbol dan pasemon, yang mendorong kita untuk melakukan kajian falsafi tentang
kehidupan di dunia yang penuh tantangan ini. Tetapi, ajaran moral yang
diproyeksikan dalam adegan akhir lakon “Murwakala”, justru sebenarnya yang
menjadi inti ajaran spiritual yang perlu dimaknai secara cermat. Ia adalah sebuah
terapi psikologis agar manusia mampu menguasai “Sang Kala” (kendala dan
kerawanan) untuk meniti masa depannya. Biarkan candi-candi itu berbicara, maka
mereka tidak sekedar menjadi panji–panji yang membawa kita kepada mitos dan
mistisme, namun terdapat banyak kebijaksanaan yang akan mereka bisikkan dari
makna yang terpendam di balik relief candi Sukuh.
45
BAB V
LUARAN PENELITIAN
Hasil penelitian didapat luaran berupa ‘Presentasi Hasil Penelitian’ yang
dipaparkan saat laporan pertanggungjawaban penelitian, yang telah dilakukan saat
pelaporan kemajuan penelitian. Luaran kedua berupa ‘Naskah Publikasi Ilmiah’,
baik berupa laporan hasil penelitian maupun artikel Jurnal yang dapat dimuat
dalam jurnal penelitian LP3MP2M ISI Surakarta. Diharapkan pula hasil penelitian
mampu menjadi literasi perkembangan bahan ajar, khususnya pada mata kuliah
Estetika Nusantara, satu diantara mata kuliah penciri Institusi sebagai upaya
pelestarian local genius (kearifan lokal). Selain hal tersebut, kini kekayaan
intelektuat yang dihasilkan oleh para peneliti, khususnya dari Indonesia wajib
kiranya untuk disahkan. Hal tersebut didasari atas klaim bangsa lain atkan hasil
budaya di Indonesia. Sehingga HKI menjadi sebuah hal yang melekat sebagai
luaran sebuah penelitian di Indonesia, oleh sebab itu pengurusan HKI atas
penelitian ini nantinya dapat dilegalformalkan agar tidak dipagiat oleh orang lain.
Terdapat hal menarik dalam hasil penelitian pustaka ini, Victor Fic dengan
judul buku The Tantra, terbitan Abhinav Publications, New Delhi tahun 2003,
yang mengubah pola pikir peneliti bahwa Candi Sukuh bukanlah peninggalan
kerajaan Majapahit, namun dibuat oleh penguasa kerajaan vassal Majapahit yaitu
Kediri. Penguasa tersebut adalah Bhre Daha yang menentang kebijakan Dyah
Suhita, penguasa kerajaan Majapahit yang sedang menjabat pada masa itu. Dyah
Suhita dianggap menyerah pada semakin kuatnya pengaruh kekaisaran Cina dan
Islam tanpa keinginan mempertahankan agama dan kebudayaan turun temurun
dari para wangsa Rajasa. Pembuatan candi Sukuh dimungkinkan sebagai bentuk
peruwatan kerajaan Majapahit selain agar mengingat kembali budaya leluhur.
Peruwatan yang dilakukan dalam banyak hal, sebab masa Dyah Suhita kerajaan
Majapahit berangsur surut pengaruhnya terlebih pasca perang Paregreg, lepasnya
Negara vassal satu-persatu, gempuran dan menguatnya budaya Islam dan Cina di
Majapahit.
46
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Azis Said, Simbolisme Unsur Visual Rumah Tradisional Toraja danPerubahan Aplikasinya pada Desain Modern, Yogyakarta: Ombak, 2004
Agus Aris Munandar, 2004. Karya Sastra Jawa Kuno yang Diabadikan PadaRelief Candi–Candi Abad ke 13–15 M. Makara, Sosial Humaniora, Vol.8, No. 2 Agustus 2004: 54-60
Bagoes Wiryomartono, Pijar-pijar Penyingkap Rasa, Sebuah Wacana Seni danKeindahan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001
Budiono Herusatoto, Simbolisme dalam Budaya Jawa, Yogyakarta: PT.Hanindita, 1984
Driyarkara, Driyarkara dalam Kebudayaan, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.1980
Dwi Marianto, Seni Kritik Seni (Yogyakarta: Galang Press dan YayasanAdhikarya untuk Pusat Penelitian Kebudayaan dan Perubahan Sosial,Universitas Gadjah Mada, 2000
Fic, Victor, 2003. The Tantra. New Delhi: Abhinav Publications.
Holt, Claire, 2000, Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia, Terj. ProfDr. R.M. Soedarsono, Bandung: Artiline untuk Masyarat SeniPertunjukan Indonesia Jakob Sumardjo. Estetika Paradoks. Bandung:Sunan Ambu Press. 2006
Josef Prijotomo, Ideas and Form of Javanese Architecture, Yogyakarta:Gadjah Mada University, 1988
Kertonegoro, Kanjeng Madi. 2010. Bungai Rampai Kisah PewayanganMahabharata. Bali: Daya Putih Fondation.
Koentjoroningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT.Gramedia, 1997
Suwardi Endraswara. Metode, Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan: Idiologi,Epistimologi dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widya, 2006.
Tjetjep Rohendi Rohidi, “Ekspresi Seni Orang Miskin”, Disertasi DoktorAntropologi Universitas Indonesia Jakarta, 1993
Wiyoso Yudoseputro, Jejak-jejak Tradisi Bahasa Rupa Indonesia Lama,Jakarta: Yayasan Seni Visual Indonesia, 2008
INTERNET
Iswara N Raditya, “Mengapa Negara Majapahit Bubar”,http://tirto.id/mengapanegaramajapahitbubar , diakses 28 Maret 2019jam 19.45 WIB
48
LAMPIRAN – LAMPIRAN
Lampiran 1. Anggaran Kegiatan
1. Honor
No Material Vol Harga Satuan (Rp) Jumlah (Rp)1 Peneliti 7 250.000 2.000.000
Sub Total (Rp) 2.000.000
2. Bahan habis pakai dan peralatan
No Material Vol Harga Satuan (Rp) Jumlah (Rp)1 Kertas 3 50.000 150.0002 Alat Tulis 5 50.000 250.0003 Sumber Penelitian 1.750.000 2.000.0004 Flash Disk 1 100.000 100.0005 Sewa Kamera 4 200.000 800.0006 Tinta dan Cartide Printer 2 350.000 700.0008 Keping DVD dan label 1 250.000 250.000
Sub Total (Rp) 4.500.000
3. Perjalanan
No Material Vol Harga Satuan (Rp) Jumlah (Rp)1 Perjalanan Surakarta – Candi
Sukuh4 300.000 1.200.000
2 Konsumsi 4 200.000 800.000Sub Total (Rp) 2.000.000
4. Biaya Lain-lain
No Material Vol Harga Satuan (Rp) Jumlah (Rp)1 Penyusunan laporan 500.0002 Seminar hasil 500.000
Sub Total (Rp) 1.000.000Total (Rp) 9.000.000
49
Lampiran 2. Biodata Peneliti
A. Identitas Diri Peneliti
1. Nama Drs. Achmad Syafi’i, M.Sn. L/P2. Jabatan Fungsional Lektor3. Jabatan Struktural4. NIP 19570527 198503 10026. Tempat Tanggal Lahir Jepara, 27 Mei 19577. Alamat Rumah Jl. Ayun-ayun 225 Perum RC, Ngringo,
Jaten, Karanganyar. 577728. Telpon/Faks/HP 0812 2629 6569. Alamat Kantor Jl. Ki Hadjar Dewantara 19, Kentingan,
Jebres, Surakarta, 57126
10. Telpon/Faks/ 0271-64765811. Alamat e-mail [email protected]. Jumlah lulusan yang telah
dihasilkan34 Mahasiswa
13. Mata Kuliah yang Diampu 1. Metodologi Penelitian2. Seminar3. Estetika Nusantara
Nama Pembimbing Drs. M. Suhaji Prof. Dr. Adjad Sakri
C. Pengalaman Penelitian Dalam 5 Tahun Terakhir
No. Tahun JudulPendanaan
Sumber Dana Jumlah Dana (Rp)
50
1.2.3.4.
D. Pengabdian Kepada Masyarakat dalam 5 tahun terakhir
No. Tahun JudulPendanaan
Sumber Dana Jumlah Dana (Rp)
1. 2016
Pelatihan Sabondengan teknik coletcrayon pada siswa
berkebutuhan khusus
DIPA ISI 10.000.000
2 2017
Lukis Tong SampahSebagai Upaya
Penanaman PerilakuHidup Bersih Dan
Sehat (PHBS) PadaAnak Usia Dini
DIPA ISI 10.000.000
E. Pengalaman Penulisan Artikel Ilmiah dalam Jurnal dalam 5 tahun
Terakhir
No Tahun Judul Volume Nama Jurnal1. 2015
2. 2016
3. 2017
4. 2018
F. Pengalaman Penyampaian Makalah Secara Oral Pada Pertemuan/ Seminar
Ilmiah dalam 5 tahun Terakhir
No.Nama Pertemuan
Ilmiah/SeminarJudul Artikel Ilmiah Waktu dan Tempat
1.
51
G. Pengalaman Penulisan Buku Dalam 5 tahun Terakhir
No. Judul Buku TahunJumlah
HalamanPenerbit
1.
H. Pengalaman Perolehan HaKI dalam 5-10 tahun Terakhir
No. Judul/Tema HaKI Tahun Jenis Nomor P/ID1.
I. Pengalaman Merumuskan Kebijakan Publik/Rekayasa Sosial Lainnya Dalam 5tahun Terakhir
No.Judul/Tema/Jenis RekayasaSosial Lainnya yang telah
diterapkanTahun
Tempatpenerepan
ResponsMasyarakat
1.
J. Penghargaan yang Pernah Diraih dalam 10 tahun Terakhir (dari pemerintah,asosiasi atau institusi lainnya)
No Jenis Penghargaan Institusi Pemberi Penghargaan Tahun
1.
Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam biodata ini adalahbenar dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Apabila dikemudian hari ternyata dijumpai ketidaksesuaian dengan kenyataan, sayasanggup menerima risikonya.
Demikian biodata ini saya buat dengan sebenarnya untuk memenuhi salah satupersyaratan dalam pengajuan Penelitian Pustaka DIPA ISI Surakarta tahun 2019.