perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i SIMBOL-SIMBOL KOMUNIKASI KELOMPOK PENGEMIS (Studi Deskriptif Kualitatif Penggunaan Simbol-Simbol Komunikasi Verbal- Nonverbal Oleh Kelompok Pengemis Di Pasar Klewer Surakarta Tahun 2011) SKRIPSI Oleh : DINA SUCI ROHMATUL AWWAL D1209027 Diajukan Untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011
111
Embed
SIMBOL-SIMBOL KOMUNIKASI KELOMPOK PENGEMIS (Studi .../Simbol... · (Studi Deskriptif Kualitatif Penggunaan Simbol-Simbol Komunikasi Verbal-Nonverbal Oleh Kelompok Pengemis ... B.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
i
SIMBOL-SIMBOL KOMUNIKASI KELOMPOK PENGEMIS
(Studi Deskriptif Kualitatif Penggunaan Simbol-Simbol Komunikasi Verbal-
Nonverbal Oleh Kelompok Pengemis
Di Pasar Klewer Surakarta Tahun 2011)
SKRIPSI
Oleh :
DINA SUCI ROHMATUL AWWAL
D1209027
Diajukan
Untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar
Sarjana Strata Satu (S1) Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
MOTTO
Jangan mabuk karena sukses,
Dan jangan terpuruk karena gagal
-Aristoteles-
Bila tekad seseorang kuat dan teguh,
Tuhan akan bergabung dalam usahanya
-Aeschylus-
DUIT!
Kunci penting yang berarti :
Do’a, Usaha, Istiqomah, Tawakal
-Shofa Al farisi-
Tidak ada alasan untuk menunda pekerjaan
Lakukan Sekarang!
-Penulis-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Kedua orang tuaku tercinta:
Setiyadi (alm) dan Ratna Hidayati
Semoga Allah SWT selalu menyayangi kalian
seperti kalian menyayangiku sepanjang masa
Adik-adikku :
Muhammad Rozi Syafi’i, Muhammad Zaki Aditama,
Robiatul Azizah, dan Muhammad Hikam Maulana,
Aku Sayang kalian
Shofa Al Farisi Latief
Semoga dan Selalu
Ammiin
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji hanya milik Allah SWT rabb semesta alam,
sholawat beserta salam kepada Nabi dan Rasul Muhammad SAW atas kelancaran
yang hamba peroleh dan nikmat yang selalu diberikan tanpa alpa hingga dapat
menyelesaikan skripsi ini.
Penulisan skripsi dengan judul SIMBOL-SIMBOL KOMUNIKASI
KELOMPOK PENGEMIS ( Studi Deskriptif Kualitatif Penggunaan Simbol-
Simbol Komunikasi Verbal-Nonverbal Oleh Kelompok Pengemis Di Pasar
Klewer Surakarta Tahun 2011) ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu
syarat guna memperoleh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Jurusan Ilmu
Komunikasi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Sebelas
Maret Surakarta. Penulis menyadari sepenuhnya keberhasilan penulis tidak
terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini
penulis mengucapkan banyak terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya
kepada:
1. Sri Hastjarjo, S.Sos, Ph.D dan Drs. Hamid Arifin, M.Si. selaku dosen
pembimbing yang telah meluangkan waktunya dengan penuh kesabaran
memberikan bimbingan, serta kemudahan yang diberikan dalam penulisan
skripsi ini. Semoga Allah membalas dengan kelimpahan berkah dan
dipermudah segala urusan.
2. Drs. Surisno Satrijo Utomo, M.Si selaku pembimbing akademik yang telah
membimbing penulis selama menempuh masa studi.
3. Prof. Drs. Pawito. Ph.D selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret.
4. Semua narasumber (pengemis Pasar Klewer) yang telah bersedia untuk
berbagi dan menceritakan tentang dirinya dan kehidupannya untuk
kelengkapan data skripsi.
5. Bapak dan Ibu Dosen semua, terimakasih untuk ilmu yang diberikan selama
kuliah, semoga bermanfaat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
6. Semua staf pengajaran, administrasi dan sebagainya, terimakasih untuk segala
bantuan pelayanannya selama ini.
7. Ibu Ratna Hidayati, selaku ibu dari penulis terimakasih untuk setiap do’a,
harapan, nasehat, bimbingan dan kesabarannya selama ini.
8. Bapak Setiyadi (alm), selaku bapak dari penulis, semoga Allah SWT
memberi tempat yang terindah untukmu, terimakasih untuk pengorbanan
selama hidupmu padaku hingga akhir hayatmu, dan bapak selalu ada dalam
hatiku selamanya.
9. Ozik, Zaki, Azizah, Hikam, aku bangga punya adik seperti kalian,
terimakasih untuk kesabaran kalian dengan ke-usilan dan ke-
bawelanku.heheh..
10. Shofa Al farisi Latief, terimakasih untuk segalanya, suka dukanya,
pengalamannya, motivasinya, nasehatnya yang tak henti-henti agar aku “tidak
mudah menyerah”, semoga Allah menjawab do’a kita. Amin.
11. Situk Marituk, terimakasih untuk ide dan buku-buku yang sangat mendukung
dan membantu skripsi ini, juga semua pihak yang terlibat dalam pembuatan
skripsi, terimakasih banyak.
12. Semua teman senasib dan seperjuangan jurusan ilmu komunikasi non-reguler
angkatan 2009 kelas A, terimakasih untuk kebersamaan dan kekompakannya
selama ini.
Surakarta, Oktober 2011
Penulis,
Dina Suci RA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL..................................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN................................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................. iii
MOTTO ................................................................................................... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN............................................................... v
KATA PENGANTAR ..... ....................................................................... vi
DAFTAR ISI ........................................................................................... viii
DAFTAR TABEL.................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR .............................................................................. xiii
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………... xiv
ABSTRAK ……………………………………………………………. xv
ABSTRACK …………………………………………………………... xvi
BAB I PENDAHULUAN ................................................................. 1
1. Latar Belakang Masalah .................................................... 1
2. Rumusan Masalah .............................................................. 4
3. Tujuan Penelitian ................................................................ 5
Alamat Rumah/Tinggal : Tanjung Anom, Pasar Dawung, Surakarta
Status : Janda (Cerai mati)
Jumlah anak : 3
Cucu : 5
d. Nama Informan : Juminah
Usia : 69 tahun
Asal : Kaliwingka
Alamat Rumah/Tinggal : Kaliwingko
Status : Janda (cerai mati)
Jumlah Anak : 1
2. Informan Bukan Pengemis
a. Nama Informan : Supriyadi
Usia : 48 tahun
Asal : Joyotakan
Alamat Rumah/Tinggal : Joyotakan
Pekerjaan : Pedagang Pakaian di Pasar Klewer
b. Nama Informan : Nur Hayati
Usia : 43 tahun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
Asal : Madiun
Alamat Rumah/Tinggal : Mojosongo
Pekerjaan : Swasta
Status : Pengunjung Pasar Klewer
c. Nama Informan : Warsono
Usia : 40 tahun
Asal : Boyolali
Alamat Rumah/Tinggal : Jayengan
Pekerjaan : Keamanan Pasar Klewer
B. Pengelolaan Kesan Pengemis
Apabila pengemis diberi sejumlah identitas, maka pengemis merupakan
subjek yang melakukan suatu tindakan sosial, pengemis adalah aktor
kehidupan, pengemis memiliki hidup yang penuh dengan makna simbolik,
dan pengemis memerankan sebuah panggung drama kehidupan . Fenomena
pengemis yang ada di Pasar Klewer, memang tidak jauh berbeda dengan
pengemis yang ada di tempat-tempat lain, berciri yang khas, yakni berpakaian
kusam, lusuh, compang-camping, serta dengan raut wajah yang jelas dibuat-
buat supaya menimbulkan kesan yang pantas untuk dikasihani dan diberi
sedekah. Di sisi lain, terlihat bagaimana ketika pengemis di Pasar Klewer
berhadapan dengan calon dermawannya, dan meminta sedekah sangat
berbeda dengan sebelum berhadapan, maka dari itu kejadian ini dianggap
unik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
Sebagai tindakan sosial, perilaku pengemis secara subjektif memiliki
karakteristik yang unik seperti apa yang digambarkan sendiri oleh pengemis,
mereka mempunyai harapan sekaligus mereka memiliki cara, pandangan dan
bentuk sendiri dalam mengkontruksi realitas mereka, seperti apa yang mereka
inginkan. Pada sisi lain, interaksi diantara pengemis dan orang lain yang
bukan pengemis, dibangun oleh sistem simbol atau lambang dengan makna
tersendiri. Secara intersubjektif pengemis memilih lambang yang dapat
digunakan untuk dapat berinteraksi di dalam sistem sosial mereka.
Komunikasi yang dilakukan oleh pengemis di Pasar Klewer dibagi
menjadi ke dalam dua pembahasan, yaitu bagaimana pengemis mengelola
kesan secara verbal dan mengelola kesan secara nonverbal. Pengelolaan
kesan menjadi topik penting dalam komunikasi yang dilakukan oleh
pengemis, karena pada dasarnya pengelolaan komunikasi tiada lain adalah
pengelolaan pesan melalui kesan (makna) yang disepakati bersama.
Pengelolaan kesan didasarkan pada upaya yang secara sengaja dilakukan
pengemis agar perilakunya diberi makna oleh orang lain seperti apa yang
mereka inginkan.
1. Pengelolaan Kesan Melalui Simbol Verbal
Goffman mengasumsikan bahwa ketika seseorang berinteraksi
dengan orang lain, dia ingin menyajikan suatu gambaran diri yang akan
diterima orang lain. Upaya tersebut sebagai pengelolaan kesan, yaitu
teknik yang digunakan pengemis untuk memupuk kesan tertentu dalam
situasi tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Berdasarkan wawancara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
dengan pengemis dan pengamatan atas perilaku mereka dengan sesama
pengemis dan (calon) dermawan, maka komunikasi verbal menjadi
penting juga dalam pengelolaan kesan yang mereka lakukan. Simbol
verbal yang dikelola pengemis dalam melakukan aktivitasnya, dapat
dibagi ke dalam dua peristiwa :
a. Peristiwa Komunikasi Dengan Sesama Pengemis Dan Anggota
Komunitas Lainnya
a.1. Bahasa Verbal Yang Digunakan
Semua pengemis yang diteliti, menyatakan bahwa
mereka tidak memiliki bahasa khusus ketika berkomunikasi
dengan sesamanya, namun demikian, apabila diamati ketika
mereka berbicara lebih dominan menggunakan bahasa daerah,
seperti diungkapkan oleh Slamet, ketika diwawancara :
“Nggih ngagem Jawa no mbak…wong bendinane ngageme Jawa…” (Ya pakai Jawa mbak, orang setiap harinya memakai Jawa) (Wawancara dilakukan dengan Slamet, di Pasar Klewer, pada tanggal 17 Juli 2011)
Mereka pada umumnya mengakui memakai bahasa
daerah sendiri, yaitu bahasa Jawa, karena dengan
menggunakan bahasa daerah, tampaknya mereka lebih dapat
mengekspresikan secara utuh apa yang mereka rasakan dan
pikirkan. Penggunaan bahasa daerah asal (Bahasa Jawa)
menjadi lebih dominan ketika bersama komunitas mereka.
Berbeda dengan Sulasmi yang mempunyai alasan berbeda.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
“Ngagem Jawa ngaten, biasa mawon, kula niku mboten saget kok mbak ngagem bahasa napa-napa, sagete nggih naming Jawa, sekolah mawon mboten rampung naming SD, kula niku mboten mudheng napa-napa mbak,”(memakai bahasa Jawa begitu, biasa saja, saya tidak bisa mbak memakai bahasa apa-apa, bisanya ya hanya Jawa, sekolah saja tidak selesai hanya sampai SD, saya itu tidak tau apa-apa mbak) (Wawancara dilakukan dengan Sulasmi, di Pasar Klewer, pada tanggal 18 Juli 2011)
Sulasmi mengakui tidak tahu menahu tentang bahasa
selain bahasa Jawa, karena SD pun dia tidak lulus, jadi, ketika
mengemis dia menggunakan bahasa Jawa yang halus, tetapi
ketika berkomunikasi dengan teman sesamanya, dia
menggunakan bahasa Jawa yang biasa. Terlihat rata-rata
pengemis di Pasar Klewer menggunakan bahasa Jawa karena
tidak ada yang berasal dari luar daerah Jawa, hanya berasal
dari luar kota yang masih masuk kawasan Jawa Tengah.
Pendapat berikutnya adalah Isah, yang tidak berbeda jauh
dengan Sulasmi.
“Nggih ngagem Jawa dhen, kula mboten saget yen mboten ngagem Jawa…” (Ya memakai bahasa Jawa den, saya tidak bisa kalau tidak memakai bahasa Jawa) (Wawancara dilakukan dengan Isah, di Pasar klewer, pada tanggal 22 Juli 2011)
Dari jawaban Isah tersebut, bahwa Isah tidak bisa
menggunakan bahasa lain selain bahasa Jawa. Hal yang sama
juga tidak berbeda dengan informan lain, Juminah, dirinya juga
tidak bisa memakai bahasa lain selain bahasa Jawa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
Dari ketiga informan tersebut, dapat dikatakan bahwa
sebagian besar dari mereka (pengemis) menggunakan bahasa
Jawa ketika sedang bersama diantara sesama pengemis atau
komunitasnya, dengan alasan mereka tidak bisa atau tidak
lancar menggunakan bahasa lain selain bahasa Jawa. Seperti
menurut Larry L. Barker sebagaimana dikutip oleh Riswandi
(2009:60), bahwa bahasa memiliki tiga fungsi, yaitu, fungsi
penamaan; fungsi interaksi; dan fungsi transmisi informasi.
Melihat dari ketiga fungsi tersebut, bersangkutan dengan cara
pengemis menggunakan bahasa. Misalnya saja, fungsi
interaksi, yaitu menekankan pada berbagai gagasan dan emosi
yang dapat menghubungkan antara orang dengan orang
lainnya, atau antara pengemis dengan sesamanya, misalnya
saja ketika mereka bercerita, bercanda. Mereka melakukan
fungsi bahasa, yaitu fungsi interaksi, dimana pengemis
menyampaikan berupa gagasan dan emosinya, dan
menghubungkannya dengan teman sesamanya, dengan bahasa
yang mereka pahami. Menurut mereka, mereka lebih merasa
nyaman dan leluasa saat menuangkan ide, gagasan, pendapat,
atau gurauan, karena dapat mudah memahami dan dipahami
dengan persamaan bahasa yang mereka pakai saat
berkomunikasi.
Fungsi berikutnya, adalah fungsi transmisi informasi,
dimana informasi dapat disampaikan kepada orang lain, secara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
langsung, maupun tidak langsung. Pengemis menyampaikan
informasi melalui bahasa yang mereka pahami kepada teman
sesamanya, karena dengan bahasa yang mereka pahami
tersebut, lebih mudah untuk menyampaikan informasi terutama
saat berada pada komunitasnya.
b. Peristiwa Komunikasi Dengan Calon Dermawannya
Dalam peristiwa kedua ini, pengemis melakukan komunikasi
verbal dengan calon dermawannya. Peristiwa komunikasi antara
pengemis dengan calon dermawannya dibagi ke dalam dua sesi. Sesi
pertama, ketika mereka pertama kali menemui calon dermawan
untuk mendapatkan sedekah, sedangkan sesi kedua setelah selesai
bertemu dengan calon dermawannya (terlepas memberi atau
menolak untuk memberi sedekah).
b.1 Pilihan Kata Yang Digunakan
Pengemis mempunyai pilihan kata masing-masing untuk
menarik simpati calon dermawannya, dengan bahasa atau
menggunakan pilihan kata-kata pembuka yang sopan, halus,
dan lirih. Seperti yang diungkapkan oleh Isah :
“Naming ngaten, kula paringi dhen, kalih ngagem mangkok niki..” (Hanya begini, saya dikasih den, menggunakan mangkok ini) (Wawancara dilakukan dengan Isah, di Pasar klewer, pada tanggal 22 Juli 2011)
Pendapat lain juga diungkapkan oleh Sulasmi, dengan
pilihan kata yang sedikit berbeda dengan Isah :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
“Kula Lenggahan mawon, ngatungke adah, kalih matur nyuwun Bu..nyuwun Pak..sedekahe Bu..sedekahe Pak..ngaten mawon..” (Saya duduk saja, memberikan wadah, minta Bu..minta Pak..sedekahnya Bu..sedekahnya Pak..begitu saja) (Wawancara dilakukan dengan Sulasmi, di Pasar Klewer, pada tanggal 18 Juli 2011)
Selain itu, Juminah mempunyai pilihan kata sendiri yang
diucapkan ketika sedang meminta sedekah, seperti berikut :
“Nggih ngaten, mature kulanuwun bu..assalamualaikum, mugi diparingi sehat, lancar, berkah, kula yen nyuwun ngaten kula dongani dik..” (Ya begini, bu, assalamualaikum, semoga diberi sehat, lancar, berkah, saya kalau minta begini saya doakan dik) (Wawancara dilakukan dengan Juminah, di Pasar klewer, pada tanggal 10 Agustus 2011)
Begitu pula dengan Slamet, yang juga mempunyai
pilihan kata dan bahasa yang sehari-hari digunakannya,
sebagai berikut :
“Matur paringi bu..paringi pak…mangke sing maringi pun nyemplungi arta ten ember niki..” (Dikasih bu, dikasih pak, nanti yang memberi uang sudah memasukan uangnya di ember ini) (Wawancara dilakukan dengan Slamet, di Pasar Klewer, pada tanggal 17 Juli 2011)
Pada sesi pertama ini, pengemis mengelola kata-kata
pembuka yang dipakai saat berhadapan dengan calon
dermawannya, dengan harapan mereka mendapat respon dan
akhirnya mendapat sedekah. Dari cara pengemis meminta pada
calon dermawannya tersebut, adakalanya mendapat reaksi dari
calon dermawan, dan bahkan tidak mendapat reaksi sama
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
sekali dari calon dermawannya. Pada saat meminta, pengemis
sebisa mungkin menata kata-kata, bahasa verbal yang
digunakan secara sopan dan halus, jika mendapat respon,
mereka akan sangat senang, dan sebaliknya jika mereka tidak
mendapatkan respon, mereka ada yang kecewa, atau mungkin
menerima dengan lapang dada.
Setelah sesi pertama tersebut selesai, masuklah pada sesi
kedua, yaitu ketika pengemis sudah mendapatkan sedekah dan
ketika tidak mendapatkan sedekah. Seperti yang diungkapkan
oleh juminah :
“ Nggih matursuwun ngaten, kalih kula dongani, muga berkah, tambah rejekine, ngaten, kula niku diparingi pun alhamdulillah banget dik..”( Ya terimakasih begitu, sambil saya doakan, semoga berkah, tambah rejekinya , saya kalau diberi sudah Alhamdulillah sekali dik) (Wawancara dilakukan dengan Juminah, di Pasar Klewer, pada tanggal 10 Agustus 2011)
Pendapat lain diungkapkan oleh Sulasmi, seperti berikut
“Nggih matursuwun ngaten, sok nggih matur sembah suwun bu, pak..”(Ya terimakasih begitu, kadang terimakasih sekali bu, pak) (Wawancara dilakukan dengan Sulasmi, di Pasar Klewer, pada tanggal 18 Juli 2011)
Berbeda dengan pengemis yang tidak mendapat respon
dari calon dermawan, seperti yang diungkapkan oleh Slamet :
“Nggih mendel mawon, mboten napa-napa, biasa mawon, wong kula niku mboten ate mekso napa melih nesu mbak, sak paringane ngaten yen kula..”(Ya diam saja, tidak apa-apa, biasa saja orang saya itu tidak pernah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
memaksa apalagi marah mbak, sedikasihnya saja kalau saya) (Wawancara dilakukan dengan Slamet, di Pasar Klewer, pada tanggal 17 Juli 2011)
Berbeda dengan Slamet, Isah mempunyai pendapat
sendiri ketika tidak mendapatkan sedekah dari calon
dermawan, sebagai berikut :
“Kula mendel mawon, mboten nesu..gelo niku nggih mesti enten dhen, tur nggih pripun kula nggih trima mawon..diparingi pun alhhamdulillah...” (Saya diam saja, tidak marah..kecewa itu pasti ada Den, tapi ya bagaimana saya ya terima saja di kasih sudah alhamdulillah..) (Wawancara dilakukan dengan Isah, di Pasar Klewer, pada tanggal 22 Juli 2011)
Dari keterangan diatas, secara verbal, pengemis
mengekspresikannya melalui permintaan langsung (begging),
atau secara tidak langsung melalui ucapan salam (greeting).
b.1 Bahasa verbal yang digunakan
Mengacu pada fungsi bahasa seperti yang diungkapkan
oleh Larry L. Barker, penggunaan bahasa verbal (berupa
ucapan) yang digunakan sebagian besar adalah bahasa daerah
(Jawa), baik ketika berhadapan dengan calon dermawan, atau
dengan teman sesama pengemis, tergantung penempatannya.
Seperti yang dikatakan oleh Supriyadi sebagai berikut :
“Setahu saya ya bahasa krama mbak, Jawa krama, alus begitu, jarang saya itu dengar pengemis disini pakai bahasa Indonesia, ya kebanyakan Jawa mbak kalau minta-minta disini”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
(Wawancara dilakukan dengan Supriyadi, di Pasar Klewer, pada tanggal 20 Juli 2011)
Menurut Supriyadi, ketika sedang berhadapan
dengannya, umumnya mereka menggunakan bahasa Jawa yang
halus, agar terlihat menghormati, dan menggunakan bahasa
Jawa yang biasa ketika berada pada komunitasnya. Rata-rata
diantara mereka cenderung menggunakan permintaan langsung
(begging) untuk meminta sedekah kepada calon dermawannya,
dan tidak banyak yang menggunakan permintaan tidak
langsung seperti ucapan salam (greeting), walaupun ada.
Pendapat yang sama diungkapkan oleh Nur hayati, yaitu
pengunjung pasar, walaupun sedikit tetapi mempunyai alasan
lain dari calon dermawan sebelumnya.
“Bahasanya ya bahasa Jawa mbak setahu saya, jadinya nanti lucu kalau pakai bahasa Indonesia, kalau kata saya sih begitu mbak”. (Wawancara dilakukan dengan Nur Hayati, di Pasar Klewer, pada tanggal 20 Juli 2011)
Menurut Nur Hayati, pengemis menggunakan bahasa
Jawa pada umumnya, karena berada di Jawa, berhadapan
dengan orang Jawa, Nur berpendapat lucu jika nanti pengemis
menggunakan bahasa Indonesia.
2. Pengelolaan Kesan Melalui Simbol Nonverbal
Upaya pengelolaan kesan melalui simbol nonverbal yang dilakukan
pengemis di Pasar Klewer lebih dominan daripada upaya secara verbal.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
Terdapat beberapa simbol nonverbal yang ditemukan dalam konteks
komunikasi pengemis dengan sesama mereka dengan calon
dermawannya. Terdapat beberapa simbol nonverbal yang dikelola
pengemis di Pasar Klewer dalam memberi kesan kepada calon
dermawannya, yaitu pada perilaku tubuh yang meliputi :
a. Isyarat dan gerakan tubuh
b. Penampilan
c. Ekspresi wajah
d. Parabahasa
Keempat kelompok simbol nonverbal tersebut dapat diamati dari
setting-nya baik untuk front stage (panggung depan) maupun back stage-
nya (panggung belakang), seperti apa yang di katakan oleh Goffman,
bahwa dalam interaksi sosial mereka dimainkan ibarat pertunjukan teater
di atas panggung.
a. Isyarat dan Gerakan Tubuh
Bahasa Isyarat paling banyak digunakan pengemis dalam
mengelola kesan untuk sebuah permintaan sedekah, sebagai
pelengkap bahasa verbal yang mereka pakai. Hal yang umum
dipakai adalah dengan ‘menengadahkan tangan’, selain itu alat
pendukung lain dengan menggunakan alat, seperti gelas plastik,
mangkok, rantang, atau ember kecil. Slamet misalnya menjelaskan,
lebih baik menggunakan ember kecil dengan diikatkan pada kursi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
rodanya, supaya orang lain bisa langsung memasukkannya ke dalam
ember kecil tersebut, tanpa harus menengadahkan tangannya.
“ Nggih pripun nggih mbak...yen tangan lak mesti saben enten sing liwat niku kudu ngatungke mbak, tapi yen ngagem adhah ngaten kaya ember ngaten tiyang lak pun ngertos piyambak, ajeng nyemplungi napa mboten ngaten, pun ngertos yen kula niki ngemis, lak ngaten tha mbak..”(Ya bagaimana mbak...kalau tangan itu pasti setiap ada yang lewat harus menengadah mbak, tapi kalau pakai wadah begini seperti ember ini orang nanti sudah tau sendiri, akan memberi sedekah atau tidak, sudah tahu kalau saya ini mengemis, kan begitu mbak) (Wawancara dilakukan dengan Slamet, di Pasar Klewer, pada tanggal 17 Juli 2011)
Pendapat lain diungkapkan oleh Sulasmi, yang tidak jauh
berbeda dengan Slamet :
“ Lha nggih ngaten...wong yen ngge adhah kan kajenge penak mawon mbak..” (Ya begini... kalau pakai wadah supaya enak saja mbak) (Wawancara dilakukan dengan Sulasmi, di Pasar Klewer, pada tanggal 18 Juli 2011)
Selain itu, Isah mempunyai jawaban sendiri mengenai cara
meminta sedekah pada calon dermawannya:
“ Lha nggih ngaten, yen nyuwun kula ngagem tangan ngaten, terus kula cemplungke piyambak ten mriki..”(Ya begini, kalau meminta saya memakai tangan begini, terus saya masukkan sendiri ke sini) (Wawancara dilakukan dengan Isah, di Pasar Klewer, pada tanggal 22 Juli 2011)
Berbeda dengan Juminah, yang malu jika menggunakan alat-
alat pelengkap untuk mengemis, dia menjelaskan bahwa dia lebih
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
senang jika memakai tangan atau menengadahkan tangannya, karena
bisa lebih menghargai orang lain atau calon dermawannya.
“Alaah…ngaten mawon dik…kula malah isin yen ngagem gelas napa adah-adah ngaten, yen ngagem tangan lak ketok ngajeni uwong,, sing sae yen nyuwun niku, sopan, nyembah nyuwun, tur nggih sing alus mature dik...” (Alaah…begini saja dik, saya malu kalau memakai gelas atau wadah-wadah begitu, kalau memakai tangan itu terlihat menghargai orang, kalau meminta itu yang baik, sopan, tapi ya yang halus bicaranya dik) (Wawancara dilakukan dengan Juminah, di Pasar Klewer, pada tanggal 10 Agustus 2011)
Pengemis di Pasar Klewer berbeda-beda dalam menampilkan
dirinya, yaitu dengan cara mereka sendiri, tetapi intinya sama dengan
maksud untuk mengambil simpati para calon dermawannya, dengan
mungkin. Isyarat dalam mengemis ini, menurut dramaturgi Goffman
merupakan manner (gaya). Gaya ini adalah bagian dari personal
front. Jadi, pengemis sudah mempersiapkan dirinya untuk
memerankan diri sebagai seorang pengemis melalui isyarat
menengadahkan tangan atau menyodorkan sebuah wadah. Hal itu
terjadi di ‘panggung depan’ yang tidak pernah mereka lakukan
di’panggung belakang’, kepada sesama pengemis atau
komunitasnya. Goffman membagi kehidupan sosial ke dalam dua
wilayah, yang pertama wilayah depan (front region), yaitu tempat
atau peristiwa sosial yang memungkinkan individu menampilkan
peran formal atau bargaya layaknya aktor yang berperan. Wilayah
ini, disebut juga ‘panggung depan’, yang kedua adalah wilayah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
belakang (back region), yaitu tempat untuk mempersiapkan
perannya di wilayah depan. Goffman membagi panggung depan
tersebut menjadi dua bagian : front pribadi (personal front) dan
setting. Setting yakni situasi fisik yang harus ada ketika aktor harus
melakukan pertunjukan . Sebagai contoh, dokter memerlukan kamar
operasi, dalam bahasan ini adalah pengemis yang memerlukan
tempat dimana mereka akan melakukan aksinya, seperti Pasar
Klewer, adalah tempat pengemis tersebut untuk menampilkan
dirinya di depan calon dermawannya. Front pribadi yaitu terdiri dari
alat-alat yang dianggap khalayak sebagai perlengkapan aktor ke
dalam setting, yang dimaksudkan disini adalah perlengkapan
pengemis, atau alat-alat yang digunakan oleh pengemis sebagai
pelengkap setting mereka yang berupa gelas plastik, ember kecil,
tongkat, kursi roda, dan lain sebagainya.
Mengenai isyarat dan gerakan yang dilakukan oleh pengemis,
sebagaimana yang dikatakan oleh Cangara, bahwa gerakan tubuh
(kinesics) terdiri dari emblem, illustrator, affect displays, regulators,
dan adaptory, yang mana kelima macam gerakan tubuh tersebut,
merupakan gerakan yang sering dilakukan oleh pengemis ketika
berada di ‘panggung depan’, mungkin secara sadar atau tidak sadar
pengemis melakukan gerakan-gerakan tubuh tersebut ketika diamati.
Gerakan yang khas dan umum yang terlihat selama pengemis di teliti
adalah gerakan secara pelan-pelan, lamban, menganggukkan kepala
seraya mengucapkan terimakasih, menunduk, dan sebagainya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
b. Penampilan
Goffman menyebutkan appearance atau penampilan bagian
daripada personal front. Seperti juga bahasa nonverbal lainnya,
bahasa penampilan dibagi menjadi dua, yaitu :
b.1. Penampilan Karena Bukan Direncanakan
Penampilan ini maksudnya adalah penampilan yang
tidak dibuat-buat oleh pengemis, bersifat permanen. Misalnya :
cacat dari lahir, kecelakaan yang fatal, dan sebagainya. Selama
penelitian, ditemukan beberapa pengemis di Pasar Klewer
berpenampilan karena bukan direncanakan, ketika ditanyakan
langsung kepada salah satu informan, Slamet, dia bercerita
bahwa dia mengemis menggunakan kursi roda karena
kecelakaan fatal yang mengakibatkan kakinya tidak bisa untuk
berjalan, maka dari itu setiap mengemis, Slamet hanya duduk
terus-menerus di kursi rodanya.
“Riyin pernah dhawah, tabrakan, patah tulang, pun mboten saget kerja napa-napa, dadose nggih namek ngaten, ngemis..” (dulu pernah jatuh, kecelakaan, patah tulang, sudah tidak bisa bekerja apa-apa..jadinya ya hanya seperti ini, mengemis..) (Wawancara dilakukan dengan Slamet, di Pasar Klewer, pada tanggal 17 Juli 2011)
Slamet semakin terbuka dengan tentang apa yang
dialaminya dan bagaimana kehidupannya setelah menjadi
pengemis. Memang benar dia tidak bisa berjalan, maksudnya
kalaupun bisa berdiri atau berjalan, dia hanya mengandalkan
apa yang ada di dekatnya untuk berpegangan agar tidak jatuh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
dan untuk membantunya berdiri. Slamet mengatakan jika
ingin turun dari kursi roda itu ketika akan tidur saja. Selama
penelitian, Slamet memang cenderung lebih tenang di banding
teman sesamanya yang lain, dari segi pakaian yang dikenakan
ketika mengemis, dia mengakui bahwa tidak mengganti
pakaiannya, karena tidak memiliki pakaian yang khusus
digunakan untuk mengemis, yang dipakai untuk mengemis
adalah pakaian harian yang dia miliki. Begitu pula dengan
informan lain, Juminah, tidak beda jauh dengan Slamet.
Juminah mengakui tidak memiliki pakaian khusus untuk
mengemis, yang dipakai saat mengemis adalah pakaian yang
sehari-harinya dia pakai. Juminah juga menceritakan kepada
peneliti tentang dirinya, keluarganya, dan keadaannya yang
tidak memiliki mata yang sempurna, atau bisa disebut dengan
katarak. Memang, dari segi penampilan saat berada di
panggung depan, atau di depan calon dermawan, Juminah
berpenampilan apa adanya, dan tidak ada yang dia buat-buat.
“Mboten gadhah kula, yen ngemis nggih ngaten mawon, asal sing resik mawon, mboten klumbrak-klumbruk, kula malah mboten seneng ngateniku dik, pun biasa mawon ngaten, sak gadhahe…wong gadhahe kula niku ngaten dik elek-elek ngaten, nggih napa bedhane kalih salin napa mboten..” (Saya tidak punya, kalau mengemis ya seperti ini saja, asal yang bersih saja, tidak semrawut, saya malah tidak suka seperti itu dik, sudah biasa saja, sepunyanya, orang punyanya saya itu begini dik jelek-jelek begini, ya apa bedanya sama ganti atau tidak) (Wawancara dilakukan dengan Juminah, di Pasar Klewer, pada tanggal 10 Agustus 2011)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
Dari cerita Juminah, terlihat Juminah lebih sering
mengelola kesan dengan lebih memperlihatkan bahasa
verbalnya di banding dengan nonverbalnya, karena secara
penampilan pun, Juminah terlihat apa adanya, bahkan tidak
terlihat kumal. Menurut Juminah, kalau sedang mengemis
tidak suka dengan gaya yang “klumbrak-klumbruk”, karena
tidak enak jika dilihat orang lain, atau calon dermawannya,
dari situlah dia berpendapat jika orang lain sudah tidak enak
melihat dirinya, maka orang lain akan enggan pula memberi
sedekah padanya.
b.2. Penampilan Karena Direncanakan
Penampilan karena direncanakan ini maksudnya adalah
penampilan yang cenderung dibuat-buat oleh pengemis ketika
berada di depan calon dermawannya, atau ketika mereka
sedang menampilkan dirinya layaknya seorang pengemis.
Misalnya : pura-pura pincang, memakai pakaian lusuh dan
kumal, jalan tertatih-tatih, diverban, dan sebagainya. Seperti
informan lain, Sulasmi, ketika peneliti berbincang cukup
banyak dengannya, lama-lama Sulasmi bisa membuka dirinya
dan menceritakan tentang dirinya, baginya mengemis itu
adalah sebuah pekerjaan yang harus memiliki ‘pakaian’ khusus
untuk melakukan pekerjaan itu yaitu mengemis. Sulasmi
mengatakan, tidak layak disebut pengemis atau tidak pantas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
disebut pengemis apabila pakaian yang dikenakan itu tidak
selayaknya seperti pengemis yaitu terlihat kumal dan lusuh.
“Nggih, gadhah yen ra kalih nggih tiga, klambi ngge ngemis piyambak, klambi ngge arisan piyambak, klambi ngge jagong piyambak, nggih sok ganti sok mboten ngaten…”(Ya, punya kalau tidak dua ya tiga, baju untuk ngemis sendiri, baju untuk arisan sendiri, baju untuk kondangan sendiri, ya kadang ganti, kadang tidak, begitu…) (Wawancara dilakuka dengan Sulasmi, di Pasar Klewer, pada tanggal 18 Juli 2011)
Sulasmi mengakui bahwa dia mengganti pakaiannya
ketika masih dirumah atau sebelum berangkat ke Pasar
Klewer, dengan alasan dia tidak enak kalau nanti terlihat orang
atau diketahui oleh orang lain selain sesamanya.
“Nggih ten ndalem ngaten mbak, sederenge mriki niku kula pun gantos ngagem klambi elek-elekan ngge ngemis ngaten, yen gantos ten mriki niku gantos ten pundi mbak, mengke yen ketok uwong lak kula mboten penak tha mbak..”(Ya di rumah begitu mbak, sebelum kesini saya sudah mengganti memakai baju yang jelek buat ngemis begitu, kalau ganti disini itu ganti dimana mbak, nanti kalau kelihatan orang kan saya jadi tidak enak kan mbak) (Wawancara dilakukan dengan Sulasmi, di Pasar Klewer, pada tanggal 18 Juli 2011)
Memang, secara fisik, Sulasmi tidak ada kekurangan
apapun, dia seperti orang biasa pada umumnya, badannya pun
terlihat sehat. Sulasmi juga bercerita ketika berangkat menuju
Pasar Klewer, dia menggunakan angkutan umum, karena
rumahnya lumayan jauh dengan Pasar Klewer. Tidak jauh beda
dengan Isah, yang juga mengganti pakaiannya ketika akan
mengemis. Isah pun membagi ceritanya, bahwa ketika
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
berangkat mengemis, Isah diantar oleh cucunya dengan
menggunakan becak, lalu ketika akan pulang ke rumahnya,
Isah kembali di jemput oleh cucunya.
“Wonten, naming gadhah kalih, yen ajeng mangkat mriki (ngemis) kula gantos riyin, mangke yen pun ten ndalem nggih gantos melih..” ( Ada, hanya punya dua, kalau mau berangkat ngemis saya ganti dulu, nanti kalau sudah di rumah ganti lagi) (Wawancara dilakukan dengan Isah, di Pasar Klewer, pada tanggal 22 Juli 2011)
Isah berpendapat, kalau mengemis itu memakai pakaian
yang bagus, nanti orang lain yang melihat akan berpendapat
bahwa dia tidak layak mengemis karena terlihat seperti orang
yang mampu, dan tidak terlihat seperti orang yang kekurangan.
Isah mengatakan juga, niatnya adalah untuk meminta sedekah,
jadi bagaimanapun harus berpenampilan layaknya orang yang
akan meminta sedekah agar mendapat belas kasihan dari calon
dermawannya.
Mengenai penampilan, dengan melihat kembali teori
dramaturgi milik Erving Goffman, bahwa penampilan adalah
bagian dari ‘atribut’ atau pelengkap bahkan syarat utama aktor
dalam memainkan drama ketika berada di depan khalayak,
begitu pula dengan pengemis. Pengemis berpenampilan
bagaikan seorang aktor yang akan memainkan drama.
Penampilan tersebut sebagai pelengkap setting saat pengemis
berada di ‘panggung depan’ atau ketika berhadapan dengan
calon dermawannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
Konsep cermin diri Cooley, sebagaimana dikutip oleh
Ritzer (2007:295), dapat dirinci menjadi tiga komponen.
Pertama, kita membayangkan bagaimana penampilan di mata
orang lain. Kedua, kita membayangkan apa yang seharusnya
mereka nilai berkenaan dengan penampilan kita. Ketiga, kita
membayangkan semacam perasaan diri tertentu seperti rasa
harga diri atau rasa malu, sebagai akibat dari bayangan kita
mengenai penilaian oleh orang lain. Konsep cermin diri ini
berkaitan dengan presentasi diri dari Goffman. Seperti konsep
dari Cooley tersebut sebelumnya, dalam bahasan ini, pengemis
mengelola kesan dalam berpenampilan dan mempresentasikan
dirinya ketika berada di ‘panggung depan’, dengan tujuan
orang lain dapat menangkap dan memaknai penampilan
mereka sebagai pengemis, begitu pula pengemis mengharap
orang lain seharusnya berpendapat apa terhadapnya. Seperti
Sulasmi dan Isah, kedua informan ini, harus berganti pakaian
dahulu sebelum melakukan aksinya, mengemis. Tindakan
Sulasmi dan Isah tersebut, dapat dikatakan bahwa mereka
telah mempersiapkan dirinya sebelum menampilkan dirinya di
‘panggung depan’, dengan mengganti pakaiannya. Keduanya
mempunyai pakaian khusus untuk mengemis dan berbeda
dengan pakaian yang dipakai sehari-hari atau ketika berada di
‘panggung belakang’.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
Konsep diri Cooley sangat tepat untuk menjelaskan apa
yang dilakukan Sulasmi dan Isah. Sulasmi cenderung tidak
enak hati, malu, terhadap orang lain apabila melihat dirinya
berganti pakaian saat akan mengemis. Sulasmi mengakui
memiliki pakaian khusus yang digunakan untuk mengemis,
dan dirinya berpendapat bahwa ketika akan mengemis harus
berpakaian yang selayaknya untuk mengemis, dengan tujuan
supaya orang lain menangkap bahwa dirinya adalah seorang
pengemis dan ini masuk pada konsep diri Cooley yang
pertama. Sulasmi dalam berpenampilan sebagai pengemis
bukan pakaian yang dipakai sehari-hari ketika sedang tidak
mengemis, karena sulasmi berpikir bahwa orang lain akan
mengatakan dirinya tidak layak menjadi pengemis jika pakaian
yang dipakai terlihat bagus, seperti konsep diri Cooley yang
ketiga.
Sedikit berbeda dengan Isah, yang berganti pakaian
dirumah karena ada yang membantunya mempersiapkan
segalanya sebelum mengemis. Selain itu, Isah berpendapat
sama dengan Sulasmi mengenai penampilan saat mengemis.
Intinya, keduanya ingin memperlihatkan melalui
penampilannya, agar terlihat seperti pengemis dan layak untuk
diberi sedekah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
c. Ekspresi Wajah
Ada tiga macam tentang wajah. Pertama, adalah wajah “yang
sebenarnya”, wajah yang dibawa sejak lahir. Kedua, wajah yang kita
manipulasi bila kita mau, misalnya tersenyum, berkedip, cemberut,
dan lain sebagainya. Ketiga, kita memiliki wajah yang berubah oleh
sekeliling kita dan pesan yang kita terima. Ferraro lebih lanjut
menekankan pentingnya ekspresi wajah dengan menyatakan bahwa
wajah merupakan pusat dari proses komunikasi, sehingga manusia
kadang berbicara “wajah ke wajah”.
Wajah adalah alat yang sangat penting dalam menyampaikan
makna. Mengamati wajah pengemis, dalam memerankan perannya
untuk dapat mengungkapkan emosi didalamnya sangatlah tidak
mudah. Peneliti membatasi pengamatan, yaitu hanya melihat apa
yang tampak pada diri pengemis dengan ekspresi wajahnya ketika
melakukan aktivitas mengemis. Selama penelitian, dengan
mengamati tingkah-laku pengemis dengan raut wajah, atau ekspresi
wajah yang penuh dengan kesedihan. Rata-rata dari apa yang
terlihat, pada awalnya, sebelum pengemis bertemu dengan calon
dermawannya, ekspresi wajah pengemis yang ditampilkan sangat
biasa, tidak ada raut yang sedih apalagi ketika sedang berkumpul
dengan teman sesamanya, terlihat jauh beda. Perbedaan ekspresi
wajah tersebut sangat cepat terjadi, dan sepertinya mereka mudah
membuat kesan ekspresi wajah mereka, dengan cara mereka, sesuka
mereka. Salah satu informan, Juminah ketika berkeliling meminta-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
minta kepada pedagang dan penjual di Pasar Klewer, terlihat cara
berjalan Juminah yang cenderung melamban, dengan menunduk, dan
membuat raut mukanya sedih, seperti meminta pertolongan agar
diberi sedikit sedekahnya. Setelah itu, Juminah kembali berjalan ke
tempat berikutnya, dan begitu pula seterusnya. Juminah mengaku
malu ketika mengemis diikuti oleh orang lain. Ketika mengikuti
Juminah berjalan ke tempat berikutnya, Juminah kembali bercerita
dengan ekspresi wajah yang berbeda ketika dia meminta kepada
penjual dan pedagang pasar. Dia bercerita dengan raut wajah yang
ceria, kadang di selingi tertawa kecil. Tetapi memang pada dasarnya
Juminah mengakui bahwa dirinya tidak suka mengeluh, ataupun
menggerutu.
Cerita lain, ketika sedang duduk-duduk di samping salah satu
informan, Slamet, dengan mengamati selama penelitian, Slamet
memang cenderung pendiam dan tidak banyak bicara jika tidak ada
yang mengajaknya bicara, akan tetapi pembawaan diri Slamet ramah
kepada orang yang mengajaknya bicara. Terlihat perbedaan ekspresi
wajah Slamet ketika sedang bercerita dengan selain calon dermawan,
dan ketika di depan calon dermawan atau ketika ada orang lewat di
depan Slamet. Ekspresi yang tadi didapati terlihat biasa saja, bahkan
diselingi tertawa, dan ketika ada orang lain lewat di depannya,
seolah orang lain yang mengajaknya bicara diacuhkan oleh Slamet
dan ekpresi wajahnya menjadi memelas. Begitu mengherankan saat
melihat Slamet yang begitu drastis akan perubahan ekspresi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
wajahnya ketika berhadapan dengan selain calon dermawan. Setelah
selesai memainkan ‘panggung depan’nya, Slamet kembali
berbincang kembali, dan begitu seterusnya.
Selain itu, informan lain, yaitu Isah. Dari segi fisik, Isah sudah
masuk kategori tua bahkan usia lanjut. Walaupun begitu, Isah tetap
bisa diteliti dan mudah memberikan informasi dengan jujur dan apa
adanya. Ketika melihat Isah saat berhadapan dengan calon
dermawan, Isah cenderung banyak diam, dan hanya bicara sedikit
ketika akan meminta sedekah. Melihat Isah saat meminta, dia
mengerutkan kening, dengan mengucapkan kata-kata verbalnya yang
didukung oleh ekspresi wajahnya yang memelas. Jika ditanya,
mengapa demikian, Isah cenderung tidak bisa mengungkapkannya
dengan kata-kata, hanya mengatakan, “biasa mawon, nggeh
ngateniki” tetapi Isah tidak menyadari apa yang sedang
dilakukannya itu mengandung makna simbolik, yaitu perubahan
ekspresi wajah ketika berhadapan dengan calon dermawannya, dan
ketika berada diantara teman sesamanya, juga terhadap. Bukan
hanya Isah saja yang demikian, bahkan informan lain mengatakan
sama dengan apa yang Isah katakan.
Melihat kembali teori dari Goffman, ekspresi wajah adalah
salah satu pendukung dari bahasa verbal seseorang untuk mengelola
kesan dan mempresentasikannya di depan orang lain. Seperti pemain
drama ketika harus berakting dengan memainkan wajah yang
mengandung makna tersendiri. Misalnya saja ekspresi wajah yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
sinis, melotot, menandakan bahwa aktor tersebut berperan menjadi
antagonis yang berperilaku jahat, dan apabila ekspresinya kuyu,
sedih, menandakan aktor tersebut memerankan tokoh yang tertindas
yang perlu dikasihani. Seperti halnya pengemis, dalam bahasan ini
adalah sebagai pelaku komunikasi yang mengelola kesannya
meliputi isyarat dan gerakan tubuh, penampilan, juga ekspresi wajah,
yang mana sebelum mempresentasikan dirinya didepan calon
dermawan (panggung depan), sudah dipersiapakan dan dikelola
sedemikian rupa ketika masih berada di ‘panggung belakang’, agar
bisa menampilkan dirinya dengan sebaik mungkin, dan mendapat
respon dari calon dermawan.
d. Parabahasa
Dalam parabahasa, jika dilihat cenderung dan identik dengan
komunikasi secara verbal, karena menggunakan kata-kata, nada
suara, juga intonasi. Akan tetapi , aspek-aspek tersebut harus
dianggap sebagai dari komunikasi nonverbal, yang menunjukan
kepada kita bagaimana perasaan pembicara. Mengenai pesannya,
apakah ia percaya diri, gugup, sedih, senang, menggerutu, atau
menunjukan aspek-aspek emosional lainnya, dengan mengambil
salah satu dari bentuk parabahasa tersebut yang sesuai dengan apa
yang peneliti lihat ketika pengemis menggunakannya, yaitu dari segi
kualitas vokal, salah satunya adalah nada suara.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
d.1. Nada Suara
Nada suara, umumnya di pakai pengemis menyertai
ucapan verbal ketika bertemu dengan calon dermawannya.
Misalnya ketika mereka mengucapkan “assalamualaikum”,
“paringi dhen”, dan sejenisnya suara mereka memelas, suara
mereka biasanya menjadi lemah lembut, dan lirih. Pada
penampilan panggung depan, ketika berhadapan dengan
calon dermawan, hampir semua pengemis menunjukan nada
suara yang lemah lembut, halus, dengan intonasi rendah dan
panjang. Tetapi ketika di panggung belakang, atau sedang
bersama dan berkumpul dengan teman sesama pengemis
lainnya, nada memelas, halus tersebut menghilang.
“Yen kula niku biasane nyuwun sing alus mbak yen nyuwun niku, kajenge uwong niku nggih maringi, lha cobi yen nyuwune kula mboten apik-apik, alus, uwong lak wegah tha mbak yen ajeng maringi, ngaten mawon..paringi sithik, radi kathah, kula tompo..”(kalau saya itu biasanya meminta yang halus mbak kalau meminta itu, agar orang mau sedekah, coba kalau mintanya tidak baik-baik, tidak halus, orang kan pasti tidak mau kalau ingin sedekah, begitu saja..diberi sedikit, agak banyak, saya terima..) (Wawancara dilakukan dengan Sulasmi, di Pasar Klewer, pada tanggal 18 Juli 2011)
Dari wawancara tersebut Sulasmi menganggap bahwa
meminta secara halus itu akan menimbulkan simpati bagi
calon dermawannya, dan apabila tidak secara halus, maka
calon dermawannya pun tidak akan memberi sedekah
padanya. Begitu pula dengan Isah, sedikit berbeda ceritanya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
“ Biasa ngaten, mboten pripun-pripun, kula niki pun sepuh, suarane nggih sok cetho, sok mboten, serak ngaten lhe dhen..dadose nggih sok meneng kalih ngatung ngaten, mengkeh tiyang niku pun dha maringi, sing pun kenal kalih kula niku pun bendinten maringi ngaten, lawong pun ngertos, pun kenal..”(biasa begini, tidak dibuat-buat, saya itu sudah tua, suaranya ya kadang jelas, kadang tidak, serak begitu dhen..jadinya ya kadang diam sambil menengadah begitu, nanti orang itu sudah memberi, yang sudah kenal dengan saya itu sudah setiap hari memberi begitu, orang sudah tau, sudah kenal..) (Wawancara dilakukan dengan Isah, di Pasar Klewer, pada tanggal 22 Juli 2011)
Isah mengakui bahwa dia sudah tua dan suaranya
kadang-kadang terasa serak, dan kadang tidak jelas, jadi
suaranya terdengar lirih, pelan, dan cenderung bergetar-getar,
tatapi ketika suaranya normal dan tidak sedang serak, Isah
mengatakan bahwa jika meminta pada calon dermawannya
dengan cara yang halus. Juminah tidak jauh berbeda dengan
Sulasmi dan isah, hanya perbedaanya adalah Juminah
cenderung banyak bercerita dan periang daripada teman-
teman sesamanya.
“Nggih ngaten, mature kulonuwun Bu..assalamualaikum, mugi diparingi sehat, lancar, berkah, kulo yen nyuwun ngaten kula dongani dik,nggih kaya ngaten mawon, mboten saget bahasanan dik, ngathung ngagem tangan ngaten nggean..” (Ya begini, Bu..assalamualaikum, semoga diberi sehat, lancar, berkah, saya kalau meminta begini saya doakan dik, ya seperti ini saja, tidak bisa berbahasa dik, meminta pakai tangan begini saja) (Wawancara dilakukan dengan Juminah, di Pasar Klewer, pada tanggal 10 Agustus 2011)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91
Dari cara berbicara Juminah dapat terlihat ketika dia
tangannya, karena, ucapan verbal tersebut dapat terkemas
baik apabila diiringi juga dengan perilaku nonverbalnya yaitu
dengan menengadahkan tangannya. Juminah mengatakan,
bahwa ketika akan meminta sedekah pada calon dermawan,
hendaknya dengan ucapan yang halus, perilaku yang sopan,
dan menunduk. Menurutnya, jika bersikap seperti itu, dapat
menghargai orang lain dan orang lain pun senang melihatnya,
dan kemudian bisa memberi sedekah padanya.
Tidak banyak yang dikemukakan dalam parabahasa,
hanya saja yang cenderung sering dibahas adalah nada suara.
Nada suara berperan sebagai pendukung yang lain dari
bahasa verbal yang digunakan pengemis. Nada suara akan
lebih kuat lagi apabila didukung pula oleh intonasinya. Di
balik nada suara, terkandung makna tersendiri, misalnya saja
nada suara yang keras dan membentak, umumnya
menandakan bahwa orang sedang marah, atau menyuruh,
Nada suara yang lirih, pelan, dan halus, umumnya
menandakan bahwa orang sedang memohon sesuatu, merayu,
dan lain sebagainya. Dari segi verbal maupun nonverbalnya,
sebenarnya keduanya saling mendukung satu sama lain dalam
kaitannya mempresentasikan diri seseorang kepada orang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92
lain, dan dikelola sedemikian rupa untuk ditampilkan di
‘panggung depan’.
Selama penelitian berlangsung, didapatkan data hasil
wawancara dengan pengemis di Pasar Klewer, bahwa rata-
rata dari mereka mengakui, nada suara yang mereka pakai
saat berhadapan dengan calon dermawannya adalah dengan
halus, lirih dan sopan. Membandingkan antara apa yang
terlihat selama penelitian berlangsung dengan data yang
didapat dari hasil wawancara, terdapat kesamaan antara
keduanya. Melihat pengemis ketika berhadapan dengan calon
dermawannya dan mendengar kata-kata yang mereka
ucapkan dengan halus dan lirih, berbeda ketika pengemis
sedang bersama dengan komunitasnya, cara berbicaranya
cenderung biasa saja, tidak menunjukan dan tidak terdengar
nada suara yang halus dan lirih. Kembali pada teori Goffman,
mengenai panggung depan dan panggung belakang,
pengelolaan kesan, serta presentasi diri, nada suara adalah
salah satu pelengkap dari beberapa macam cara pengemis
dalam mempresentasikan diri kepada calon dermawannya,
yang mana semuanya saling melengkapi satu sama lain dan
akhirnya terbentuk sebuah pengelolaan kesan yang akan
dinilai dan dimaknai oleh orang lain ( calon dermawan).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
93
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari penelitian ini maka dihasilkan beberapa kesimpulan yaitu :
1. Pengemis mempunyai cara untuk mengelola kesan yang akan
disampaikan pada calon dermawan, yaitu dengan menggunakan simbol
verbal yang berupa kata-kata, pilihan kata yang digunakan, dan bahasa
yang digunakan. Simbol nonverbal, diungkapkan dengan perilaku tubuh
yang meliputi : penampilan, pakaian/busana, ekspresi wajah, dan
parabahasa.
2. Pengelolaan kesan melalui simbol verbal, dibagi dalam 2 peristiwa, yaitu
peristiwa komunikasi dengan sesama pengemis dan anggota komunitas
lainnya dan peristiwa komunikasi dengan calon dermawannya.
3. Peristiwa komunikasi dengan calon dermawannya terbagi dalam 2 sesi,
sesi pertama adalah ketika pengemis pertama kali bertemu dengan calon
dermawannya untuk mendapatkan sedekah, dan sesi kedua adalah setelah
pengemis selesai bertemu dengan calon dermawannya (terlepas member
atau menolak untuk memberi sedekah).
4. Penelitian ini menggunakan teori dramaturgi milik Erving Goffman, yang
membahas bagaimana manusia itu menampilkan dirinya di depan orang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
94
lain dengan mengelola kesan sedemikian rupa, sehingga orang lain dapat
menilai, seperti halnya dalam pembahasan ini, pengemis sebagai aktor
kehidupan, dimana mereka dapat memposisikan diri mereka ketika
berada di ‘panggung depan’ saat berhadapan dengan calon dermawan ,
dan di ‘panggung belakang’ saat berada diantara sesamanya dan
komunitasnya, serta dapat men-setting bagaimana akan menampilkan,
mempresentasikan dirinya, layaknya seorang aktor yang akan tampil di
atas panggung memainkan drama.
5. Dalam teori dramaturgi Goffman mengelompokkan menjadi 4 bagian,
yaitu presentasi diri Goffman, panggung depan dan panggung belakang,
pengelolaan kesan (impression management), dan penggunaan tim.
Keempat bagian tersebut, saling melengkapi satu sama lain sehingga
dapat menghasilkan kesan yang diharapkan dari penilaian orang lain.
6. Komunikasi dengan menggunakan simbol nonverbal lebih dominan
digunakan oleh para pengemis di Pasar Klewer daripada simbol verbal.
B. Saran
1. Komunikasi yang digunakan oleh pengemis selama penelitian, cenderung
menggunakan bahasa nonverbalnya daripada bahasa verbal dimana
pengemis melakukan dramatisasi dalam berkomunikasi dengan calon
dermawan, maka dari itu, hendaknya bisa lebih mewaspadai jangan
terlalu percaya dengan dramatisasi yang mereka lakukan dan jangan
sering memberi sedekah ketika bertemu dengan pengemis, karena hal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
95
tersebut dapat menjadikan pengemis semakin malas dalam bekerja, dan
akan terus mengandalkan orang lain.
2. Dalam penelitian ini, belum dapat membahas secara mendalam terkait
dengan bahasan tentang nada suara secara detail, maka dari itu untuk
penelitian berikutnya, agar dapat melengkapi kekurangan dalam
penelitian ini, dan bisa lebih detail lagi dalam pembahasannya.
3. Untuk penelitian berikutnya, jika ingin melakukan penelitian yang sama,
tidak harus pengemis yang bisa dijadikan sebagai subjek penelitian,
karena masih banyak subjek penelitian yang menarik untuk diteliti
terutama yang menyangkut kelompok pinggiran, misalnya : anak jalanan,
pengamen, waria, homoseksual, lesbi, dan lain sebagainya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsini. Prosedur Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta, 2002. Effendi, O. Uchjana. Dinamika Komunikasi. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya,
1989. . Ilmu ,Teori, Dan Filsafat Komunikasi. Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2002. Hardjana, Agus. M. Komunikasi Intrapersonal dan Interpersonal. Yogyakarta :
Kanisius, 2003. Ibrahim, Abdul Syukur. Panduan Penelitian Etnografi Komunikasi. Surabaya:
Usaha Nasional, 1994. Jefkins, Frank. Yadin, Daniel. Public Relation. Jakarta: Erlangga, 2002. Keraf, Gorys. Diksi Dan Gaya Bahasa. Jakarta : Gramedia, 2000. Larry A. Samovar. Richard E. Porter. Edwin R. McDaniel. Komunikasi Lintas
Budaya. Jakarta: Salemba Humanika, 2010. Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. Bandung : PT
Remaja Rosdakarya., 2005. Mulyana, Deddy dan Jalaluddin, Rakhmad. Komunikasi Antar Budaya. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, 1990. . Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2001. . Metode Penelitian Kualitatif; Paradigma Baru Ilmu
Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: PT. Rosdakarya. 2008. Mulyana, Deddy dan Solatun. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung : PT.
Remaja Rosdakarya, 2007. Pawito. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta : PT. LKis Pelangi Aksara,
2007. Rakhmat, Jalaluddin. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya, 1990. Riswandi. Ilmu Komunikasi. Yogyakarta : Graha Ilmu, 2009. Ritzer, George. Teori Sosiologi Modern. Jakarta : Kencana, 2007.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Ruslan, Rosady. Manajemen Humas dan Manajemen Komunikasi Persepsi dan
Aplikasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.1999. Saefullah, Ujang. Kapita Selekta Komunikasi; Pendekatan Budaya Dan Agama.
Kanisius, 1995. Susanto. Astrid S. Komunikasi Sosial di Indonesia. Bandung : Bina Cipta, 1985. Sutopo, H.B. Metodologi Penelitian Kualitatif, Dasar Teori dan Penerapannya
dalam Penelitian. Surakarta: Sebelas Maret University Press, 2002. Wiryanto. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia
Grasindo, 2005. Zeitlin, Irving. Terjemahan Anshori dan Juanda. Memahami Kembali Sosiologi,
Kritik Terhadap Sosiologi Kontemporer. Yogyakarta: Gadjah Mada university Press, 1995.
Jurnal: Roessing, Thomas. The Effects Of Verbal And Nonverbal Elements In Persuasive
Communication. Journal Of Communication : 2011, vol.1, hal. 3. Brook, Donald. On Non-Verbal Representation. Journal Of Communication :