iii SIFAT KIMIA DAN PROKSIMAT KULIT KAYU REAKSI TEKAN PINUS RONALD ALAN AMARAL DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
iii
SIFAT KIMIA DAN PROKSIMAT KULIT KAYU REAKSI
TEKAN PINUS
RONALD ALAN AMARAL
DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
v
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Sifat Kimia dan
Proksimat Kulit Kayu Reaksi Tekan Pinus adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, September 2016
Ronald Alan Amaral
NIM E24120033
ABSTRAK
RONALD ALAN AMARAL. Sifat Kimia dan Proksimat Kulit Kayu Reaksi
Tekan Pinus. Dibimbing oleh DEDED SARIP NAWAWI.
Pembentukan kayu reaksi selama pertumbuhan pohon akan mengakibatkan
perubahan sifat anatomi dan kimia kayu. Hasil penelitian sebelumnya
menunjukkan bahwa pembentukan kayu reaksi juga menyebabkan perubahan sifat
anatomi pada bagian kulit kayu, dan diduga akan menyebabkan perubahan kadar
komponen kimianya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan kadar
komponen kimia kulit kayu pada bagian kayu reaksi dan kayu oposit serta
menguji karakteristik kulit kayu sebagai bahan baku energi biomassa melalui uji
proksimat. Kadar komponen kimia kulit kayu diuji mengacu pada standar TAPPI
dan analisis proksimat berdasarkan standar ASTM. Hasil penelitian menunjukan
kadar lignin dan hemiselulosa pada kulit kayu bagian kayu reaksi lebih tinggi
dibandingkan dengan kulit kayu bagian oposit, sedangkan kadar selulosa dan
holoselulosa lebih rendah pada kulit kayu bagian reaksi dibandingkan dengan
kulit kayu oposit. Berdasarkan hasil analisis proksimat, karakteristik kulit kayu
bagian kayu reaksi lebih baik dibandingkan dengan kulit dari bagian opositnya,
tetapi keduanya memiliki kualitas baik sebagai sumber energi biomassa
Kata kunci : kayu reaksi, kayu tekan, komponen kimia, kulit kayu, analisis
proksimat
ABSTRACT
RONALD ALAN AMARAL. Chemical and proximate properties in the
compression bark of Pine. Supervised by DEDED SARIP NAWAWI.
The reaction wood formation during growth of tree may change the
anatomy and chemical properties of wood. Previously research showed that the
formation of reaction wood, also, changed the anatomical properties of bark. This
study aimed to analyze the differences of chemical components in the bark of
reaction wood and opposite woods parts; and to characterize of the barks as
biomass energy resources. The chemical components of bark was analyzed
according to the TAPPI standard, and proximate analysis was used for the
characterization of bark as biomass energy resources. The results showed that
lignin and hemicellulose contents of bark from compression wood parts were
higher than that of bark from opposite wood parts, however, cellulose and
holocellulose were in the opposite manner. Based on proximate analyses, bark
from reaction wood part tend to has a better characteristics than bark of opposite
wood part, however, both of them have a good characteristics for biomass energy
resources.
Keywords: reaction wood, compression wood, chemical components, bark, proximate analysis
vii
SIFAT KIMIA DAN PROKSIMAT KULIT KAYU REAKSI
TEKAN PINUS
RONALD ALAN AMARAL
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
Pada
Departemen Hasil Hutan
DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2016
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia
Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Karya ilmiah ini berjudul
“Sifat Kimia dan Proksimat Kulit Kayu Reaksi Tekan Pinus” dilaksanakan sejak
bulan Maret 2016 sampai Mei 2016.
Terimakasih penulis ucapkan kepada bapak Ir. Deded Sarip Nawawi, M.Sc
selaku pembimbing atas bimbingan dan arahan yang telah diberikan selama ini.
Penghargaan turut penulis sampaikan kepada Bapak Supriatin dan Bapak
Gunawan selaku laboran KHH, Bapak Eko selaku laboran Kimia Bersama
FMIPA IPB, serta Bapak Ipan selaku laboran Pusat Antar Universitas. Ucapan
terimakasih juga disampaikan kepada Bapak, Ibu serta seluruh keluarga, teman-
teman sebimbingan dan sahabat-sahabat fahutan 49 atas segala do’a dan kasih
sayangnya.
Bogor,September 2016
Ronald Alan Amaral
xi
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR xiii
DAFTAR TABEL xii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan 1
Manfaat 1
METODE 2
Waktu dan Tempat 2
Bahan 2
Alat 2
Prosedur Penelitian 2
Pengujian Komponen Kimia 3
Pengujian Proksimat 5
Analisis Data 6
HASIL DAN PEMBAHASAN 7
Keragaman Komponen Kimia Kulit Kayu 7
ɑ -selulosa 7
Hemiselulosa 7
Holoselulosa 7
Lignin 8
Zat Ekstraktif 9
Keragaman Proksimat Kulit Kayu 10
Kadar Air 10
Kadar Zat Terbang 10
Kadar Abu 11
Kadar Karbon Terikat 11
Nilai Kalor 11
SIMPULAN DAN SARAN 12
Simpulan 12
Saran 12
DAFTAR PUSTAKA 13
RIWAYAT HIDUP 15
DAFTAR GAMBAR
1. Pengambil sampel uji 2
2. Perbedaan selulosa dan hemiselulosa kulit kayu reaksi dan oposit Pinus 8
3. Perbedaan lignin total kulit kayu reaksi dan oposit Pinus 9
DAFTAR TABEL
1. Sifat kimia kulit kayu reaksi dan oposit Pinus 7
2. Sifat proksimat kulit kayu reaksi dan oposit Pinus 10
1
PENDAHULUAN
Latar belakang
Kayu reaksi merupakan kayu yang umumnya terbentuk dari respons pohon
terhadap orientasi batang pohon yang tidak normal akibat tiupan angin, salju,
kemiringan, tekanan, atau bentuk tajuk asimetris. Jenis kayu reaksi pada kayu
daun jarum disebut kayu tekan yang terbentuk pada sisi bawah permukaan batang,
sedangkan kayu reaksi pada jenis daun lebar disebut kayu tarik yang terbentuk
pada sisi atas dari batang (Du & Yamamoto 2007).
Kayu reaksi dapat mengubah sifat anatomi dan kimia dari kayu normal.
Perubahan sifat kimia yang terjadi tergantung pada jenis kayu reaksi yaitu kayu
tekan atau kayu tarik. Kayu tekan memiliki kadar lignin lebih tinggi dan kadar
selulosa lebih rendah dibandingkan dengan kayu normal (Tatsuya et al. 2016),
sedangkan kayu tarik umumnya memiliki kadar selulosa lebih tinggi dan lignin
lebih rendah dibandingkan dengan kayu normal (Wada et al. 1995). Pembentukan
kayu reaksi menyebabkan perubahan sifat-sifat anatomi dari empulur ke kulit
(Lloyd et al. 2004). Perubahan sifat anatomi jaringan kulit kayu diduga dapat
menyebabkan perubahan komposisi komponen kimia penyusunnya. Hal ini karena
jaringan kayu yang berbeda memiliki perbedaan komposisi dan kadar komponen
kimia (Fergus & Goring 1970). Oleh sebab itu, sifat kimia kulit kayu reaksi dan
kayu normal diduga akan berbeda karena sifat kimia sangat erat hubungannya
dengan sifat anatomi.
Kulit kayu merupakan salah satu bagian dari pohon dengan proporsi 10-
35% dari total biomassa hutan (Young 1971). Potensi biomassa kulit tersebut
dapat dimanfaatkan untuk berbagai tujuan penggunaan berdasarkan sifat-sifat
dasarnya. Analisis komponen kimia kulit pohon dapat menentukan kemungkinan
digunakannya kulit untuk keperluan industri (Baptista et al. 2013), sehingga dapat
meningkatkan pemanfaatan biomassa hasil hutan lebih baik.
Pinus merupakan jenis pohon berdaun jarum yang termasuk dalam famili
Pinaceae. Pohon Pinus di Indonesia sangat melimpah. Secara alami, pohon Pinus
tumbuh di Aceh, Sumatera Utara, dan daerah Kerinci (Hendromono et al. 2005).
Menurut Handayani dan Indrajaya (2008) menyatakan bahwa pohon Pinus banyak
ditanam di Pulau Jawa oleh Perum Perhutani.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan kadar komponen
kimia kulit kayu pada bagian kayu reaksi dan kayu oposit Pinus serta menguji
karakteristik kulit kayu sebagai bahan energi biomassa melalui uji proksimat.
Manfaat
Hasil penelitian diharapkan memberi informasi terkait pengaruh kayu
reaksi terhadap komponen kimia kulit kayu Pinus sehingga, dapat membantu
dalam usaha pemanfaatan kulit kayu tersebut dan mengenai karakteristik kulit
kayu sebagai sumber energi. Hal ini diharapkan dapat menjadi salah satu dasar
dalam pemilihan kulit kayu untuk pengunaan energi biomassa.
2
B
A
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan selama dua bulan di Laboratorium Kimia Hasil Hutan
Departemen Hasil Hutan Fahutan IPB. Pengujian kadar lignin terlarut asam
dilakukan di Laboratorium Kimia Bersama Departemen Kimia FMIPA IPB, dan
pengujian nilai kalor dilakukan di Laboratorium Pusat Antar Universitas IPB.
Bahan
Sampel yang digunakan yaitu kulit kayu Pinus yang tumbuh miring.
Sampel uji diambil dari bagian kayu reaksi tekan dan kayu oposit (Gambar 1).
Bahan kimia yang digunakan adalah sodium klorit (NaClO2), asam asetat
(CH3COOH), natrium hidroksida (NaOH), asam sulfat (H2SO4), benzena (C6H6),
etanol (C2H5OH) dan air destilata.
Gambar 1 Pengambilan sampel uji, (A: Kulit kayu reaksi; B: Kulit kayu oposit ;
C: empulur)
Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain willey mill dan
saringan bertingkat untuk penyiapan serbuk kulit kayu, dan peralatan sokhlet
untuk penyiapan sampel bebas zat ekstraktif. Pengujian kadar lignin
menggunakan autoclave dan spektrofotometer. Analisis proksimat menggunakan
cawan porselin, tanur listrik dan bomb kalorimeter. Peralatan pendukung lainnya
antara lain, penangas air, oven, timbangan analitik, desikator, dan peralatan gelas
laboratorium.
Prosedur Penelitian
Persiapan Bahan Baku
Persiapan sampel uji mengacu pada TAPPI T 246 om-88 mengenai
penyiapan kayu untuk analisis kimia. Sampel kulit kayu berukuran kecil
berkondisi kering udara digiling menggunakan willey mill dan disaring
C
3
menggunakan alat saringan bertingkat hingga diperoleh serbuk dengan ukuran 40
– 60 mesh.
Penyiapan Sampel Bebas Zat Ekstraktif
Persiapan serbuk kulit kayu bebas zat ekstraktif dilakukan berdasarkan
TAPPI T 204 om-88. Serbuk sebanyak 10 g diekstraksi dengan campuran pelarut
etanol-benzena (1:2 v/v) selama 6-8 jam. Sampel direndam dalam etanol selama
24 jam. Sampel kemudian diekstraksi dengan air panas selama 3 jam.
Pengujian Komponen Kimia Kulit Kayu
Penentuan Holoselulosa
Penentuan kadar holoselulosa dilakukan dengan metode Browning (1967).
Serbuk bebas ekstraktif sebanyak 2.5 g dimasukan ke dalam Erlenmeyer 500 ml,
dan ditambahkan 100 ml aquades, 1 g NaClO2 dan 1 ml CH3COOH. Sampel
dipanaskan dengan waterbath pada suhu 70-80 oC selama 5 jam dan pada setiap
jam ditambahkan 1 g NaClO2 dan 1 ml asam asetat. Sampel disaring dan dicuci
dengan air destilata panas. Sampel holoselulosa dioven pada suhu 103±2 °C dan
ditimbang.
% Holoselulosa = B
A x 100%'
B : Berat holoselulosa (g)
A : Berat kering serbuk awal (g)
Penentuan ɑ-Selulosa
Penentuan kadar ɑ-selulosa dilakukan dengan metode Browning (1967).
Serbuk holoselulosa sebanyak 1 g direaksikan dengan 16 ml NaOH 17.5% dan
dibiarkan selama 45 menit. Sampel disaring dan dibilas dengan 125 ml NaOH 8%
dan penyaringan diusahakan dalam waktu 5 menit. Sampel dibilas dengan 40 ml
CH3COOH 10% dan air destilata panas sampai bebas asam. Sampel dioven pada
suhu 103±2 oC dan timbang.
% ɑ-selulosa = B
A x 100%
B : Berat ɑ-selulosa (g)
A : Berat kering serbuk awal (g)
Penentuan Kadar Lignin Klason
Pengujian kadar lignin dilakukan berdasarkan TAPPI T 222 om-88 dengan
modifikasi (Dence 1992). Serbuk bebas ekstraktif sebanyak 0.5 g dimasukkan ke
dalam gelas piala 50 ml, kemudian ditambahkan 5 ml asam sulfat 72% secara
perlahan sambil diaduk setiap 15 menit (suhu dijaga tetap pada 20±1 oC). Sampel
direaksikan selama 3 jam, kemudian diencerkan hingga mencapai konsentrasi
4
asam sulfat 3%. Larutan direaksikan pada suhu 121 oC selama 30 menit dengan
alat autoclave. Lignin diendapkan, disaring dan dibilas dengan air destilata panas
sampai bebas asam. Lignin dioven pada suhu 103±2 oC selama 24 jam,
didinginkan dan ditimbang.
Kadar lignin (%)= A
B x 100%
Keterangan:
A :Berat kering lignin (g)
B :Berat kering serbuk awal (g)
Penentuan Kadar Lignin Terlarut Asam (Acid-Soluble Lignin)
Kadar lignin terlarut asam diukur dari filtrat hasil penyaringan prosedur
lignin klason. Filtrat diencerkan dan digenapkan volumenya menjadi 500 ml.
Lignin terlarut asam diuji menggunakan alat spektrofotometer. Pengukuran
dilakukan dengan absorban UV pada panjang gelombang 205 nm dan koefisien
absorbs 110 l/g.cm. Blanko menggunakan larutan asam sulfat hasil pengenceran
dari 5 ml asam sulfat 72% menjadi 500 ml. Konsentrasi lignin terlarut asam
dihitung dengan menggunakan rumus :
Konsentrasi lignin terlarut asam : A
110 x
Vf
Vi
Kadar lignin terlarut asam (%) : CV
1000 x BKT
Keterangan :
A : Nilai absorbsi pada alat spektrofotometri Vf
Vi : Faktor pengenceran larutan
CV : Konsentrasi lignin terlarut asam dalam liter
BKT : Berat kering sampel kayu
Penentuan Kelarutan Kayu dalam Air
Pengujian kelarutan kayu dalam air berdasarkan TAPPI T 207 om-88.
Pengujian kelarutan kayu dalam air dingin bertujuan untuk mengukur zat
ekstraktif seperti gula, gum. dan zat warna. Serbuk sebanyak 2 g diekstraksi
dengan 300 ml aquades dingin dalam erlenmeyer 500 ml, selama 48 jam pada
suhu ruangan. Serbuk disaring dan dicuci dengan air dingin. Pengeringan
dilakukan pada oven bersuhu 103±2 oC sampai beratnya konstan dan ditimbang.
Pengujian kelarutan kayu dalam air panas bertujuan untuk mengukur zat
ekstraktif seperti gula, gum, zat warna, dan pati. Serbuk sebanyak 2 g diekstraksi
dengan 100 ml air panas. Sampel dipanaskan dengan penangas air selama 3 jam
dan diaduk sesekali. Sampel disaring dengan air panas. Pengeringan dilakukan
pada oven 103±2 oC sampai beratnya konstan dan ditimbang.
% Kelarutan : A-B
A x 100%
5
A : Berat kering serbuk awal (g)
B : Berat kering serbuk setelah ekstraksi (g)
Penentuan Kelarutan Kayu dalam NaOH 1%
Pengujian ini berdasarkan TAPPI T 212 om-93. Serbuk kulit kayu
sebanyak 2 g diekstraksi dengan 100 ml NaOH 1% pada suhu 100 oC selama 1
jam sambil diaduk pada saat reaksi selama 5, 10, 15, 25 menit. Sampel disaring
dan dibilas dengan air destilata panas sampai filtrat tidak berwarna. Sampel
dibilas dengan 25 ml CH3COOH 10% sebanyak 2 kali, dan dibilas lagi dengan air
panas sampai bebas asam. Sampel dikeringkan dengan oven bersuhu 103±2 oC
hingga beratnya konstan.
% Kelarutan = A-B
A x 100%
A : Berat kering serbuk awal (g)
B : Berat kering serbuk setelah ekstraksi (g)
Penentuan Kelarutan Kayu dalam Etanol-Benzena (1:2)
Pengujian ini berdasarkan pada standar TAPPI T 204 om-88. Serbuk kulit
kayu sebanyak 10 g dimasukkan ke dalam thimble yang telah diketahui beratnya.
Thimbel dimasukkan kedalam sokhlet dan diekstraksi dengan 300 ml etanol-
benzena (1:2) selama 6-8 jam. Thimble dicuci dengan C2H5OH dan diangin-
anginkan. Thimble dioven pada suhu 103±2 oC dan dirimbang
% Kelarutan : A-B
Ax100%
A : Berat kering serbuk awal (g)
B : Berat kering serbuk setelah ekstraksi (g)
Pengujian Kadar Proksimat Kulit Kayu
Pengukuran Kadar Air (TAPPI T 12 os-75)
Serbuk kulit kayu sebanyak 2 g ditimbang dalam cawan yang sudah
diketahui beratnya dan dioven pada suhu 103±2 oC sampai berat konstan dan
ditimbang
Kadar Air (%) = A-B
B x 100%
A : Berat serbuk awal (g)
B : Berat serbuk kering oven (g)
Kadar Zat Terbang
Kadar zat terbang diuji berdasarkan standar ASTM E-872. Sebanyak 2 g
serbuk kulit kayu ditimbang dalam cawan porselen. Cawan berisi sampel
6
dimasukkan ke dalam tanur listrik dan dipirolisis pada suhu 950 oC selama 7
menit. Sampel didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Kadar zat terbang
dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Kadar zat terbang (%) = B
A x 100%
B : Kehilangan berat sampel (g)
A : Berat kering sampel awal (g)
Pengukuran Kadar Abu
Kadar abu merupakan kandungan bahan mineral dalam bahan yang
merupakan sisa dari proses pembakaran sampel. Pengukuran kadar abu merujuk
pada standar ASTM D-1102. Sampel serbuk kulit kayu sebanyak 2 g ditempatkan
dalam cawan porselen dan diabukan dalam tanur pada suhu 600 oC selama 6 jam.
Sampel abu didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Kadar abu dihitung
dengan rumus sebagai berikut:
Kadar abu (%) = B
A x 100%
B : Berat abu (g)
A : Berat kering sampel (g)
Kadar Karbon Terikat (Fixed Carbon)
Karbon terikat merupakan kandungan karbon dalam sampel setelah
penghilangan zat terbang dan abu. Kadar karbon terikat dihitung sebagai berikut:
Kadar karbon terikat (%) = 100% - kadar zat terbang (%) - kadar abu (%).
Nilai Kalor
Nilai kalor kayu diukur dengan menggunakan alat bomb kalorimeter yang
dilakukan di Laboratorium Pusat Antar Universitas IPB. Nilai kalor dinyatakan
dalam nilai kalor kasar (gross calorific value) (kkal/kg). Pengujian nilai kalor
mengacu pada ASTM E711/D2015.
Analisis Data
Data hasil penelitian ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik. Analisis
sederhana menggunakan software microsoft excel.
7
HASIL DAN PEMBAHASAN
Komponen Kimia Kulit Kayu
Sifat kimia kulit kayu penting diketahui sebagai dasar penentuan
penggunan kulit kayu. Komponen kimia kulit kayu meliputi ɑ-selulosa,
hemiselulosa, lignin, dan zat ekstraktif. Perbedaan posisi kulit kayu menunjukkan
sifat kimia yang berbeda (Tabel 1).
Tabel 1 Sifat kimia kulit kayu reaksi dan oposit Pinus
Sifat Kimia Kulit Kayu Oposit
(%)
Kulit Kayu Reaksi
(%)
Holoselulosa 49.86 41.95
ɑ-selulosa 31.35 22.63
Hemiselulosa 18.52 19.31
Lignin Klason 31.29 40.37
Lignin Terlarut Asam 0.34 0.26
Kelarutan Air panas 10.32 14.30
Kelarutan Air Dingin 9.72 13.48
Kelarutan NaOH 1% 32.76 35.65
Kelarutan Etanol-Benzena 10.09 11.46
ɑ-Selulosa dan Hemiselulosa
Kulit kayu pada bagian reaksi memiliki kadar selulosa lebih rendah dan
kadar hemiselulosa lebih tinggi dibandingkan dengan bagian kulit kayu oposit
(Gambar 2). Kecenderungan perbedaan tersebut sama dengan sifat kimia bagian
kayu reaksi. Umumnya, kayu reaksi tekan memiliki kadar selulosa lebih rendah
dibandingkan dengan kayu opositnya (Marko et al. 2007). Dalam kayu reaksi
tekan, rendahnya kadar selulosa diduga berkaitan dengan tidak adanya lapisan S3
(Tarmian et al. 2009). Sementara itu, kadar hemiselulosa pada kulit kayu reaksi
tekan lebih tinggi dibandingkan dengan bagian kulit kayu opositnya. Hal ini
disebabkan kayu reaksi tekan memiliki kadar galaktosa lebih tinggi dibandingkan
dengan kayu oposit (Roger 1984). Hemiselulosa kayu daun jarum terutama
disusun oleh galaktoglukomanan (Sjostrom 1981), dan kadar galaktosa tinggi
merupakan salah satu ciri dari kayu reaksi tekan (Timell 1986).
Holoselulosa
Holoselulosa merupakan fraksi polisakarida total penyusun sel kayu yang
berupa hemiselulosa dan selulosa. Kadar holoselulosa bagian kulit kayu reaksi
tekan lebih rendah dibandingkan dengan bagian uli kayu opositnya (Gambar 2).
Komposisi holoselulosa kulit kayu reaksi tekan berbeda dibandingkan dengan
kulit kayu oposit. Nisbah selulosa terhadap hemiselulosa pada holoselulosa kulit
kayu reaksi sebesar 1:0.59, sedangkan pada holoselulosa bagian kulit kayu oposit
sebesar 1:0.85. Kayu reaksi tekan memiliki kadar selulosa rendah, sedangkan
kadar galaktosa tinggi (Barry et al. 2013), dan galaktosa adalah salah satu
8
monomer gula penyusun hemiselulosa utama jenis kayu daun jarum (Sjostrom
1981). Holoselulosa berperan penting dalam pembuatan pulp, semakin tinggi
kadar holoselulosa maka rendemen pulp yang dihasilkan akan tinggi (Sutiya et al.
2012).
Gambar 2 Perbedaan selulosa dan hemiselulosa kulit kayu reaksi dan oposit Pinus.
Lignin
Kadar lignin dinyatakan sebagai lignin total, lignin klason, dan lignin
terlarut asam. Lignin klason merupakan residu hasil reaksi hidrolisis dan
kondensasi dengan menggunakan asam sulfat 72% dan 3%, sedangkan lignin
terlarut asam adalah fraksi lignin terlarut selama reaksi tersebut (Yasuda et al.
2001). Kulit kayu reaksi tekan Pinus memiliki kadar lignin klason lebih tinggi
dan kadar lignin terlarut asam lebih rendah dibandingkan dengan kulit kayu
opositnya, dan secara total kadar lignin kulit kayu reaksi tekan lebih tinggi
dibandingkan dengan kulit kayu opositnya (Gambar 3). Dalam hal kayu reaksi
tekan, lignin klason kayu reaksi memiliki kadar p-hydroxyphenyl (H) unit lebih
tinggi dibandingkan dengan kayu oposit (Gindl 2002), dan hal tersebut diduga
berlaku juga untuk lignin kulit kayu reaksi tekan. Selain itu, perbedaan kadar
lignin juga bisa terjadi akibat dinding sekunder yang menebal (Lin & Dence
1992).
Data pada Tabel 1 juga menunjukkan bahwa walaupun kadar lignin klason
kulit kayu reaksi tinggi tetapi kadar lignin terlarut asam rendah. Lignin kayu daun
jarum umumnya memiliki kadar lignin terlarut asam lebih rendah dibandingkan
dengan jenis kayu daun lebar. Matshushita et al. (2004) menyatakan bahwa
pembentukan lignin terlarut asam dipengaruhi oleh adanya unit siringil lignin,
sedangkan kayu Pinus termasuk jenis kayu daun jarum yang ligninnya tidak
mengandung unit siringil tetapi disusun oleh unit guaiasil dan p-hidroksifenil
(Timell 1986), sehingga kadar lignin terlarut asamnya sangat rendah. Kadar lignin
terlarut asam kulit kayu reaksi tekan lebih rendah dibandingkan dengan kayu
oposit. Hal ini diduga berkaitan dengan kerapatan dari polimer lignin. Lignin kulit
kayu reaksi tekan diduga lebih rapat (condensed) dibandingkan dengan lignin
kayu oposit karena tingginya kadar unit p-hidroksifenil pada lignin kulit kayu
reaksi tekan. Kayu reaksi tidak disukai di industri pulp dan kertas karena
tingginya kadar lignin dan ligninnya sulit didelignifikasi.
31,3522,64
18,52
19,31
0
10
20
30
40
50
60
Kulit Kayu Oposit Kulit Kayu Reaksi
Kad
ar H
olo
selu
losa
(%
)
Hemiselulosa (%)
ɑ-selulosa (%)
9
Gambar 3 Perbedaan lignin total kulit kayu reaksi dan oposit Pinus.
Zat Ekstraktif
Hasil penelitian menunjukan kadar kelarutan kulit kayu reaksi dalam air
panas 14.30% dan kelarutan air dingin 13.48%, sedangkan untuk kulit kayu oposit
memiliki kelarutan air panas 10.32% dan kelarutan air dingin 9.72%. Kelarutan
dalam air dingin menggambarkan besarnya komponen tanin, gum, karbohidrat
dan zat warna yang terlarut, sedangkan kelarutan dalam air panas menunjukan
seberapa besar zat ekstraktif seperti tanin, gam, gula atau zat warna dalam kayu
dan pati. Berdasarkan pada Tabel 1, kelarutan dalam air dari kulit kayu reaksi
tekan lebih tinggi dibandingkan dengan kulit kayu oposit, yang salah satunya
diduga karena semakin tingginya kadar pati pada kulit kayu reaksi tekan.
Kelarutan dalam NaOH 1% dapat digunakan untuk menduga bagian
karbohidrat dan lignin dengan berat molekul rendah. Kadar ekstraktif larut dalam
NaOH 1% pada kulit kayu reaksi Pinus 35.65%, sedangkan kulit kayu oposit
memiliki kelarutan dalam NaOH 1% sebesar 32.76%. Kelarutan sampel kulit kayu
reaksi tekan lebih tinggi dibandingkan dengan sampel kulit kayu oposit. Hal ini
disebabkan tingginya senyawa berbobot molekul rendah yang sejalan dengan
tingginya kadar hemiselulosa dan rendahnya kadar ɑ-selulosa. Hemiselulosa
merupakan fraksi polisakarida yang bersifat mudah larut karena bersifat amorf,
sedangkan ɑ-selulosa adalah selulosa yang paling tahan terhadap pelarut karena
sifat kristalinnya (Onnerud & Gellerstedt 2003).
Komponen kimia kayu yang terlarut dalam etanol-benzena adalah lemak,
resin dan minyak. Kadar ekstraktif larut etanol-benzena kulit kayu reaksi tekan
Pinus 11.46%, sedangkan kadar zat ekstraktif kulit kayu oposit Pinus 10.09%.
Kelarutan dalam etanol-benzena (1:2) kulit kayu reaksi lebih tinggi dibandingkan
dengan kulit kayu opositnya (Tabel 1). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
Timell (1986) yang menyatakan kayu reaksi tekan memiliki ekstraktif lebih tinggi
dibandingkan dengan kayu oposit. Hasil penelitian menunjukan kadar zat
ekstraktif larut etanol-benzena sampel kulit kayu Pinus tergolong tinggi (>6.3%).
Perbedaan kadar ekstraktif dan komposisinya dipengaruhi oleh tempat tumbuh,
umur dan bagian pada pohon. Kulit kayu memiliki kadar ekstraktif yang tinggi
dapat mempengaruhi proses pengolahannya sehingga perlu adanya pertimbangan
dalam penggunaannya di industri, misalnya industri pulp dan kertas, industri kayu
lapis dan papan partikel.
31.29
40.37
31.64
40.63
0.35 0.26
0
0,4
0,8
1,2
1,6
2
0
10
20
30
40
50
Kulit Kayu Oposit Kulit Kayu Reaksi
Lig
nin
Ter
laru
t A
sam
(%
)
Lig
nin
Kla
son d
an L
ignin
To
tal
(%)
Posisi Sampel
Lignin Klason (%) Lignin Total (%) Lignin Terlarut Asam(%)
10
Proksimat Kulit Kayu
Berdasarkan kadar komponen kimianya (Tabel 1), kulit kayu Pinus
merupakan biomassa yang berpotensi digunakan untuk bahan energi, karena
berkadar lignin dan zat ekstraktif tinggi. Untuk melihat kesesuaian karakteristik
kulit kayu Pinus sebagai bahan energi biomassa diduga dengan pengujian
proksimat yang terdiri atas kadar air, zat terbang, karbon terikat, kadar abu, dan
nilai kalor (Eddy et al. 2014), dan hasilnya disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Sifat proksimat kulit kayu reaksi dan oposit Pinus
Sifat Proksimat Kulit Kayu Oposit (%) Kulit Kayu Reaksi (%)
Kadar Air 10.83 11.22
Kadar Zat Terbang 72.47 62.50
Kadar Abu 2.47 1.81
Kadar Karbon Terikat 25.06 35.69
Nilai Kalor (kkal/kg) 4456 4548
Kadar Air
Kadar air biomassa merupakan informasi yang diperlukan untuk bahan
energi terkait dengan penanganan bahan. Nilai kalor bersih saat konversi energi
dipengaruhi kadar air bahan baku. Semakin tinggi kadar air pada bahan bakar
akan semakin rendah nilai kalor yang dihasilkan (Haygreen & Bowyer 1996).
Kadar air kulit kayu reaksi tekan 11.22%, sedangkan kadar air kulit kayu oposit
10.83%. Semakin tinggi kadar air kayu maka efisiensi energi menjadi semakin
rendah karena dalam proses konversi energi dari kayu tersebut akan lebih banyak
kalor yang dibutuhkan untuk mengeluarkan air menjadi uap sehingga energi yang
tersisa dalam bahan bakar menjadi lebih kecil. Kadar air yang tinggi juga akan
menyebabkan sulitnya pembakaran awal. Bahan akan mudah digunakan sebagai
bahan bakar pada kondisi kering dengan kadar air maksimal 12%. Peningkatan
kadar air kayu sebesar 1% akan menyebabkan penurunan nilai kalor kayu sekitar
50.87 kkal/kg (Cahyono et al. 2008).
Kadar Zat Terbang
Kadar zat terbang merupakan jumlah kandungan senyawa yang mudah
menguap. Zat terbang terdiri atas metana, senyawa hidrokarbon, hidrogen dan
nitrogen (Alfi 2009). Kadar zat terbang kulit kayu reaksi Pinus 62.50%,
sedangkan kadar zat terbang kulit kayu oposit 72.47%. Kadar zat terbang kulit
kayu reaksi tekan lebih rendah dibandingkan dengan kulit kayu opositnya (Tabel
2).
Perbedaan zat terbang terjadi karena degradasi komponen kimia kayu,
terutama holoselulosa (selulosa dan hemiselulosa) yang merupakan komponen
yang sensitif terhadap degradasi suhu, dan menghasilkan volatil. Data pada Tabel
1 dan 2 menunjukkan bahwa tingginya kadar zat terbang pada kulit kayu oposit
berkaitan dengan tingginya kadar holoselulosa, dan sebaliknya bagian kulit kayu
reaksi menghasilkan zat terbang rendah karena memiliki kadar holoselulosa
11
rendah. Stabilitas termal holoselulosa rendah karena holoselulosa merupakan
polihidroksi yang terdegradasi pada suhu 180-360 °C (Renata et al. 2014),
sedangkan lignin terdegradasi pada suhu sekitar 900 °C (Chunfei et al. 2013).
Besarnya kadar zat terbang yang dimiliki kulit kayu yang diuji lebih rendah 85%,
sehingga kulit kayu tergolong baik digunakan sebagai sumber energi biomassa
(Ragland & Aerts 1991).
Kadar Abu
Kadar abu merupakan residu anorganik setelah pengabuan bahan mudah
terbakar. Kadar abu dari biomassa mempengaruhi mutu bahan energi biomassa
dan konversi energi. Energi yang tersedia dari bahan bakar berkurang sebanding
dengan besarnya kadar abu (Almeida et al. 2010). Kadar abu pada kulit kayu
reaksi tekan lebih rendah dibandingkan dengan kulit kayu oposit. Kadar abu kulit
kayu reaksi tekan 1.81%, sedangkan kulit kayu oposit 2.47% (Tabel 2)
Menurut Qi et al. (2016) kayu reaksi tekan memiliki kadar abu yang lebih
rendah dibandingkan dengan kayu opositnya. Kadar abu tinggi dapat menjadi
masalah pada saat konversi energi karena dapat mengalami pelunakan (melting)
pada suhu tinggi akan menggumpal dan membentuk kerak sehingga akan
menutupi reaktor. Bahan energi biomassa dengan kadar abu <5% termasuk
kelompok bahan energi biomassa yang tidak menyebabkan pembentukan kerak
metal “non-slagging fuel” dan biomassa dengan kadar abu <1.5% termasuk
kelompok bahan energi biomassa “excellent non-slagging fuel” (Rajvanshi 1986).
Kadar Karbon Terikat
Karbon terikat (Fixed carbon) merupakan fraksi karbon selain fraksi abu,
air, dan zat terbang (Djatmiko et al. 1981). Karbon terikat sangat berpengaruh
pada rendemen arang dalam proses karbonisasi dan berkontribusi pada nilai kalor
kayu. Kadar karbon terikat pada kulit kayu reaksi tekan (35.69%) lebih tinggi
dibandingkan dengan kulit kayu opositnya (25.06%).
Kadar karbon terikat dipengaruhi oleh kadar zat terbang dan kadar abu.
Sampel kulit kayu reaksi memiliki kadar karbon terikat tinggi karena memiliki
kadar zat terbang dan kadar abu rendah (Tabel 2). Tinggi rendahnya kadar karbon
terikat yang dihasilkan selain dipengaruhi oleh kadar abu dan zat terbang juga
dipengaruhi oleh kandungan lignin (Pari 2004). Lignin merupakan parameter
penting dalam produksi arang. Biomassa dengan kadar lignin tinggi menghasilkan
produk arang tinggi selama proses pirolisis (Renata et al. 2014). Selain lignin,
nilai karbon terikat juga dipengaruhi oleh zat ekstraktif (Michael et al. 2013).
Stahl et al. (2004) menyatakan bahwa kadar karbon terikat untuk kayu energi
minimal 16%, oleh karena itu kulit kayu dapat dijadikan bioenergi.
Nilai Kalor
Nilai kalor merupakan parameter utama yang digunakan untuk menilai
mutu bahan baku energi. Nilai kalor merupakan hasil interaksi dari komponen
kimia penyusun biomassa. Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap nilai kalor
kayu yaitu kadar karbon, zat terbang, kadar abu, dan kadar air bahan (Basu 2012).
12
Nilai kalor pada kulit kayu reaksi Pinus sebesar 4548 kkal/kg, sedangkan kulit
kayu oposit memiliki nilai kalor 4456 kkal/kg.
Berdasarkan Tabel 1 dan 2, terdapat hubungan positif antara nilai kalor
dengan kadar lignin dan zat ekstraktif, tetapi holoselulosa berkorelasi negatif
dengan nilai kalor. Perbedaan nilai kalor terjadi akibat konstituen biokimia utama,
yang meliputi zat ekstraktif, holoselulosa, dan lignin. Lignin dan ekstraktif
memiliki nilai kalor sekitar 6480 kkal/kg dan 6408 kkal/kg, dan lebih tinggi
dibandingkan dengan nilai kalor holoselulosa 4152 kkal/kg (Yang et al. 2007).
Menurut Demirbas (2003) nilai kalor dari bahan bakar biomassa memiliki
korelasi yang sangat signifikan dengan kandungan lignin, dan kandungan lignin
yang lebih tinggi mengakibatkan lebih tingginya nilai kalor.
SIMPULAN
Pembentukan kayu reaksi tekan pada pohon Pinus, selain menyebabkan
perbedaan sifat kimia pada bagian kayunya, juga menyebabkan perubahan sifat
kimia bagian kulitnya. Kulit bagian kayu reaksi tekan memiliki kadar selulosa
lebih rendah, hemiselulosa lebih tinggi, dan kadar lignin lebih tinggi dibandingkan
dengan kulit bagian kayu opositnya. Komposisi kimia tersebut menyebabkan,
kulit bagian kayu reaksi tekan memiliki zat terbang lebih rendah, karbon terikat
dan nilai kalor lebih tinggi dibandingkan dengan kulit kayu opositnya.
Berdasarkan karakteristik proksimat, kulit kayu Pinus sesuai untuk sumber energi
biomassa.
SARAN
Berdasarkan hasil penelitian kulit kayu reaksi dan oposit Pinus dapat
dimanfaatkan sebagai bahan baku energi karena memiliki kadar lignin dan
ekstraktif yang tinggi, serta memiliki nilai proksimat yang sesuai dengan standar.
Kulit kayu tidak sesuai penggunaannya sebagai pulp, kertas, dan kayu lapis
karena memiliki ekstraktif tinggi dan selulosa rendah.
DAFTAR PUSTAKA
Alfi R. 2009. Pembuatan arang aktif dari serbuk kayu gergajian campuran.
Wanamukti For. Res. J. 9(1):37-42.
Almeida G, Brito JO, Perré P. 2010. Alterations in energy properties of eucalyptus
wood and bark subjected to torrefaction: The potential of mass loss as a
synthetic indicator. Biores. Technol. 101:9778–9784.
Baptista I, Miranda I, Quilho T, Gominho J, Pereira H. 2013.
Characterisation and fractioning of Tectona grandis bar in view of its
valorization as a biorefinery raw material. Ind. Crop. Prod. 50:166-175. Barry G, John B, Pekka S, Joseph G. 2014. The Biology of Reaction Wood. New
York (US): Springer-Verlag.
Basu P. 2012. Biomass Gasification and Pyrolysis: Practical Design and Theory.
New York (US): Academic Pr.
13
Cahyono TD, Zahrial C, Fauzi F. 2008. Analisis nilai kalor dan kelayakan
ekonomis kayu sebagai bahan bakar subtitusi batu bara di pabrik semen.
Forum Pascasarjana 31(2):105-110.
Chunfei W, Zichun W, Jun H, Paul TW. 2013. Pyrolysis/gasification of cellulose,
hemicellulose and lignin for hydrogen production in the presence of various
nickel-based catalysts. Fuel 106:697–706.
Demirbas A. 2003. Relationships between lignin contents and fixed carbon
contents of biomass samples. Energy Convers. Manag. 44:1481–1486.
Djatmiko B, Ketaran, Setyahartini S. 1981. Arang Pengolahan dan Kegunaannya.
Bogor (ID): IPB Pr.
Du S, Yamamoto F. 2007. An overview of the biology of reaction wood
formation. J. Integr. Plant Bio. 49(2):131-143.
Eddy E, Purwo S, Ahmad S. 2014. Analisa proksimat dan nilai kalor pada briket
bioarang limbah ampas tebu dan arang kayu. Aptek 6(1): 57-64.
Fergus BJ, Goring DAI. 1970. The location of guaiacyl and syringyl lignins in
birch xylem tissue. Holzforschung :113-117.
Gindl W. 2002. Comparing mechanical properties of normal and compression
wood in Norway spruce: the role of lignin in compression parallel to the
grain. Holzforschung 56:395–401.
Haygreen JG, Bowyer JL. 1996. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu: Suatu Pengantar.
Hadikusumo SA. Penerjemah: Prawirohatmodjo S, editor. Yogyakarta
(ID): Gadjah Mada University Pr. Terjemahan dari: Forest Products and
Wood Science: an Introduuction.
Hendramono Y, Heryati, Mindawati N. 2006. Review Hasil Penelitian Teknik
Silvikultur Hutan Tanaman Industri. Bogor (ID): Puslitbang Hutan
Tanaman.
Indrajaya Y, Handayani W. 2008. Potensi hutan Pinus merkusii Jungh. et de
Vriese sebagai pengendali tanah longsor di Jawa. Info Hutan 5(3):231-
240.
Lin SY, Dence CW. 1992. Methods in Lignin Chemistry. Berlin (DE): Springer-
Verlag.
Lloyd AD, Jenny G, Geoff MD. 2004. Within-tree variation in anatomical
properties of compression wood in radiata pine. IAWA 25(3):253 –271.
Marko P, Klaas K, Ingo G, Pekka S, Martin M, Ritva S. 2007. The effect of axial
strain on crystalline cellulose in Norway spruce. Wood Sci. Technol.
41:565–583.
Matsushita JY, Kakehi A, Miyawaki S, Yasuda S. 2004. Formation and chemical
structures of acid soluble lignin II: reaction of aromatic nuclei model
compound with xylan in the presence of a counterpart for condensation
and behavior of lignin model compound with guaiacyl and syringil nuclei
in 72% sulfuric acid. Wood Sci. 50:136-141.
Michael M, Joel B, Ammar B, Jeremy V. 2013. Pyrolysis of extractive rich
agroindustrial residues. Analytical Appl. Pyr. 104:448–460. Onnerud H, Gellerstedt G. 2003. Inhomogeneities in the chemical structure of
spruce lignin. Holzforschung 57:165 – 170.
Pari G. 2004. Kajian struktur arang aktif dari serbuk gergaji kayu sebagai
adsorben emisi formaldehida kayu lapis [Disertasi]. Bogor (ID): IPB Pr.
14
Qi Y, Jang JH, Hidayat W, Lee AH, Lee SH, Kim NH. 2016. Carbonization of
reaction wood from Paulownia tomentosa and Pinus densiflora branch
woods. Wood Sci. Techol. (in press).
Ragland KW, Aerts DJ. 1991. Properties of Wood for Combutions Analysis.
Wisconsis (US): Madison Pr.
Rajvanshi AK. 1986. Biomass Gasification. India (IN): CRC Pr.
Renata MB, Julio COF, Maria SBF, Dulce MAM, Marcus AFM, Flavia MA,
Joana MFB. 2014. Characterization and comparative study of pyrolysis
kinetics. J Therm. Anal. Calorim. 115:1915–1920.
Roger CP. 1984. The Chemical Composition of Wood. Washington DC (US):
American Chemical Society.
Sjostrom E. 1981. Wood Chemistry, Fundamentals and Applications. New York
(US): Academic Pr.
Stahl R, Henrich E, Gehrmann HJ, Vodegel S, Koch M. 2004. Definition of
Standard Biomass. Germany (DE): Forschungszentrum Karlsruhe.
Sutiya B, Istikowati WT, Rahmadi A, Sunardi. 2012. Kandungan kimia dan sifat
serat alang-alang (Impecta cylindrical) sebagai gambaran bahan baku
pulp dan kertas. Bioscientae 9(1):8-19.
Tarmian A, Remond R, Faezipour M, Karimi A, Perre P. 2009. Reaction wood
drying kinetics: tension wood in Fagus sylvatica and compression wood in
Picea abies. Wood Sci. Technol. 43:113-130.
Tatsuya S, Hiroyuki Y, Miyuki M, Mikuri I, Masato Y, Saori S, Sujan KC
Yoshihito S, Isao T, Noboru Y. 2016. Negative gravitropism of Ginkgo
biloba: growth stress and reaction wood formation. Holzforschung
70(3):267–274.
Timell TE. 1986. Compression Wood in Gymnosperms. New York (US):
Springer-Verlag.
Wada M, Okano T, Sugiyama J, Horii F. 1995. Characterization of tension and
normally lignified wood cellulose in Populus maximowiczii. Cellulose
2:223-233.
Yang H, Yan R, Chen HP, Lee DH, Zheng CG. 2007. Characteristics of
hemicellulose, cellulose and lignin pyrolysis. Fuel 86:1781–1788.
Yasuda S, Fukushima K, Kakehi A. 2001. Formation and chemical structures of
acid soluble lignin I: sulfuric acid treatment time and acid-soluble lignin
content of hardwood. Wood Sci. 47:69-72.
Young HE. 1971. Preliminary estimates of bark percentage and chemical elements
in complete trees of eight species in Maine. J For. Prod. 21:56-59.
15
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 24 April 1995 dari ayah (alm)
Yahya Siregar dan ibu Tri Winarni. Penulis adalah putra ke 3 dari lima
bersaudara. Tahun 2012 penulis lulus dari SMA Negeri 16 Bandung dan pada
tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB)
melalui jalur undangan dan diterima di Departemen Hasil Hutan, Fakultas
Kehutanan.
Selama menempuh pendidikan di Fakultas Kehutanan IPB, Penulis telah
mengikuti Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di Gunung Papandayan
dan Sancang Timur pada tahun 2014. Praktek Pengolahan Hutan (P2H) di Hutan
Pendidikan Gunung Walat pada tahun 2015, serta Praktek Kerja Lapang (PKL) di
PGT Garahan, Jember pada tahun 2016.
Penulis aktif mengikuti organisasi di kampus, antara lain anggota divisi
olahraga dan seni Paguyuban Mahasiswa Bandung (PAMAUNG) 2013-2014,
anggota divisi kimia hasil hutan Himpunan Mahasiswa Hasil Hutan 2013-2014,
kepala divisi jaringan dan kerjasama Himpunan Mahasiswa Hasil Hutan 2014-
2015. Penulis juga pernah mengikuti kegiatan Program Kreativitas Mahasiswa
(PKM) tahun 2014.
Penulis pernah menerima beasiswa PPA 2013, Korindo 2014-2015, dan
Pemerintah Provinsi Jawa Barat 2015-2016. Dalam menyelesaikan studi di IPB,
penulis melakukan penelitian yang berjudul “Sifat Kimia dan Proksimat Kulit
Kayu Reaksi Tekan Pinus” di bawah bimbingan Ir. Deded Sarip Nawawi, M.Sc.
s