Top Banner
Ultra Structure of Compression Wood of Agathis (Agathis loranthifolia Salisb.) 1 and Its Relation to Physical Properties (I Ketut Nuridja Pandit and Istie Sekartining Rahayu) Ultra-Struktur Kayu Tekan Damar (Agathis loranthifolia Salisb.) dalam Hubungannya dengan Sifat Fisis Kayu Ultra Structure of Compression Wood of Agathis (Agathis loranthifolia Salisb.) and Its Relation to Physical Properties I Ketut Nuridja Pandit dan Istie Sekartining Rahayu Abstract Compression-wood is one of the abnormalities phenomena found in softwood’s trunk. This abnormality has not been studied comprehensively yet as most of the research on normal trees. This research objective was to analyze ultra structure of Agathis compression wood cell walls and the relation to its physical properties. Wood samples were taken from compression wood in size of 0.5 cm x 0.5 cm x 3 cm. Ultra structure of cell walls characteristics were analyzed descriptively by using SEM image, while physical properties studied were green and air dried moisture content, density and specific gravity, and shrinkage. The results showed that the form of tracheid cells were changed cross sectionally; intercellular spaces occurred between round tracheid cells; the third layer of secondary cell wall (S3) of compression wood was not clearly distinct; and the angle orientation of microfibril increased along the longitudinal axis. The ultra structure differences led to different physical properties such as greater moisture content, density as well as shrinkage. Key words: compression wood, ultra-structure, physical properties. Pendahuluan Kayu tekan (compression-wood) adalah kayu yang terbentuk akibat pertumbuhan pohon yang tidak lurus atau membentuk sudut terhadap sumbu pohon dan merupakan suatu bentuk abnormalitas pada batang pohon Kayu Daun Jarum (KDJ) yang disebabkan oleh pengaruh gravitasi bumi (Panshin dan de Zeeuw 1980; Haygreen dan Bowyer 1982; Tsoumis 1991; Bowyer et.al. 2003; Torges 2005). Kayu tekan berkembang sangat cepat dan mempunyai penyebaran yang sangat luas terutama pada jenis-jenis KDJ yang tumbuh cepat. Saat ini, kayu tekan banyak dijumpai pada hutan-hutan tanaman dari jenis-jenis KDJ seperti Agathis sp., Pinus sp. dan Podocarpus sp. Kayu tekan dianggap cacat kayu karena kualitasnya lebih rendah atau berbeda dengan kayu normalnya (Kartal dan Stan 2000). Proporsi kayu tekan dalam sebuah batang pohon dipengaruhi juga oleh kemiringan pertumbuhan pohonnya. Semakin besar sudut kemiringan pertumbuhan KDJ, maka semakin besar proporsi kayu tekannya. Seperti misalnya pada kayu Pinus resinosa dari hutan tanaman di New York yang mempunyai kecenderungan tumbuhnya miring 5º mengandung sekitar 5 ~ 40% kayu tekan, dan bila kemiringannya mencapai 10 ~ 40º akan mengandung sekitar 40 ~ 70% kayu tekan (Kartal dan Stan 2000). Kayu Damar (Agathis loranthifolia Salisb.) merupakan salah satu jenis KDJ yang tumbuh secara alami di Indonesia. Tanaman ini banyak dijumpai di daerah Sumatera Barat, Sumatera Utara, seluruh Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya. Kayu Damar ini memiliki berat jenis berkisar antara 0.36 ~ 0.64 (Martawijaya et.al. 1986) dan telah digunakan sebagai komponen alat musik, mebel, pulp dan kertas, serta bahan baku industri pesawat ringan (Surjokusumo 1992). Namun demikian, pemanfaatan kayu Damar belum memisahkan bagian kayu normal dan kayu tekannya, sehingga penelitian tentang ultrastruktur kayu tekan kayu Damar perlu dilakukan untuk mengetahui perbedaan struktur anatominya dan pengaruhnya terhadap sifat fisisnya. Sifat makroskopik kayu tekan sangat berbeda dengan sifat kayu normalnya dan adanya cacat kayu tekan banyak menimbulkan kerugian. Disamping itu penelitian ultra-struktur kayu tekan masih jarang dilakukan terutama di Indonesia. Oleh karena itu penelitian ultra-struktur kayu tekan Damar hubungannya dengan sifat fisik kayu perlu dilakukan. Pendekatan awal untuk merumuskan permasalahan ini terutama didasarkan atas potensi yang besar dari cacat kayu tekan. Cacat kayu tekan banyak terjadi pada tegakan hutan tanaman cepat tumbuh (fast growing species) yang dikembangkan sebagai jenis hutan tanaman industri di tanah air. Sifat makroskopik kayu tekan sangat berbeda dengan sifat kayu normalnya, sehingga diduga ultra-struktur dinding selnya juga akan berbeda dengan bagian kayu normalnya. Perubahan dalam bentuk dan dimensi sel-sel penyusun kayu tekan, akan menyebabkan adanya perubahan sifat fisik kayunya (Haygreen dan Bowyer 1982; Bowyer et.al. 2003). Sedangkan pertimbangan pemilihan kayu Damar sebagai objek dalam penelitian ini adalah karena kayu Damar merupakan salah satu jenis asli yang tumbuh di
48

Ultra-Struktur Kayu Tekan Damar (Agathis loranthifolia Salisb.)

Jan 10, 2023

Download

Documents

Khang Minh
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Ultra-Struktur Kayu Tekan Damar (Agathis loranthifolia Salisb.)

Ultra Structure of Compression Wood of Agathis (Agathis loranthifolia Salisb.) 1 and Its Relation to Physical Properties (I Ketut Nuridja Pandit and Istie Sekartining Rahayu)

Ultra-Struktur Kayu Tekan Damar (Agathis loranthifolia Salisb.) dalam Hubungannya dengan Sifat Fisis Kayu

Ultra Structure of Compression Wood of Agathis (Agathis loranthifolia Salisb.) and Its Relation to Physical Properties

I Ketut Nuridja Pandit dan Istie Sekartining Rahayu

Abstract

Compression-wood is one of the abnormalities phenomena found in softwood’s trunk. This abnormality has not

been studied comprehensively yet as most of the research on normal trees. This research objective was to analyze ultra structure of Agathis compression wood cell walls and the relation to its physical properties. Wood samples were taken from compression wood in size of 0.5 cm x 0.5 cm x 3 cm. Ultra structure of cell walls characteristics were analyzed descriptively by using SEM image, while physical properties studied were green and air dried moisture content, density and specific gravity, and shrinkage. The results showed that the form of tracheid cells were changed cross sectionally; intercellular spaces occurred between round tracheid cells; the third layer of secondary cell wall (S3) of compression wood was not clearly distinct; and the angle orientation of microfibril increased along the longitudinal axis. The ultra structure differences led to different physical properties such as greater moisture content, density as well as shrinkage.

Key words: compression wood, ultra-structure, physical properties.

Pendahuluan

Kayu tekan (compression-wood) adalah kayu yang terbentuk akibat pertumbuhan pohon yang tidak lurus atau membentuk sudut terhadap sumbu pohon dan merupakan suatu bentuk abnormalitas pada batang pohon Kayu Daun Jarum (KDJ) yang disebabkan oleh pengaruh gravitasi bumi (Panshin dan de Zeeuw 1980; Haygreen dan Bowyer 1982; Tsoumis 1991; Bowyer et.al. 2003; Torges 2005). Kayu tekan berkembang sangat cepat dan mempunyai penyebaran yang sangat luas terutama pada jenis-jenis KDJ yang tumbuh cepat. Saat ini, kayu tekan banyak dijumpai pada hutan-hutan tanaman dari jenis-jenis KDJ seperti Agathis sp., Pinus sp. dan Podocarpus sp. Kayu tekan dianggap cacat kayu karena kualitasnya lebih rendah atau berbeda dengan kayu normalnya (Kartal dan Stan 2000).

Proporsi kayu tekan dalam sebuah batang pohon dipengaruhi juga oleh kemiringan pertumbuhan pohonnya. Semakin besar sudut kemiringan pertumbuhan KDJ, maka semakin besar proporsi kayu tekannya. Seperti misalnya pada kayu Pinus resinosa dari hutan tanaman di New York yang mempunyai kecenderungan tumbuhnya miring 5º mengandung sekitar 5 ~ 40% kayu tekan, dan bila kemiringannya mencapai 10 ~ 40º akan mengandung sekitar 40 ~ 70% kayu tekan (Kartal dan Stan 2000).

Kayu Damar (Agathis loranthifolia Salisb.) merupakan salah satu jenis KDJ yang tumbuh secara alami di Indonesia. Tanaman ini banyak dijumpai di daerah Sumatera Barat, Sumatera Utara, seluruh Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya.

Kayu Damar ini memiliki berat jenis berkisar antara 0.36 ~ 0.64 (Martawijaya et.al. 1986) dan telah digunakan sebagai komponen alat musik, mebel, pulp dan kertas, serta bahan baku industri pesawat ringan (Surjokusumo 1992). Namun demikian, pemanfaatan kayu Damar belum memisahkan bagian kayu normal dan kayu tekannya, sehingga penelitian tentang ultrastruktur kayu tekan kayu Damar perlu dilakukan untuk mengetahui perbedaan struktur anatominya dan pengaruhnya terhadap sifat fisisnya.

Sifat makroskopik kayu tekan sangat berbeda dengan sifat kayu normalnya dan adanya cacat kayu tekan banyak menimbulkan kerugian. Disamping itu penelitian ultra-struktur kayu tekan masih jarang dilakukan terutama di Indonesia. Oleh karena itu penelitian ultra-struktur kayu tekan Damar hubungannya dengan sifat fisik kayu perlu dilakukan.

Pendekatan awal untuk merumuskan permasalahan ini terutama didasarkan atas potensi yang besar dari cacat kayu tekan. Cacat kayu tekan banyak terjadi pada tegakan hutan tanaman cepat tumbuh (fast growing species) yang dikembangkan sebagai jenis hutan tanaman industri di tanah air. Sifat makroskopik kayu tekan sangat berbeda dengan sifat kayu normalnya, sehingga diduga ultra-struktur dinding selnya juga akan berbeda dengan bagian kayu normalnya. Perubahan dalam bentuk dan dimensi sel-sel penyusun kayu tekan, akan menyebabkan adanya perubahan sifat fisik kayunya (Haygreen dan Bowyer 1982; Bowyer et.al. 2003). Sedangkan pertimbangan pemilihan kayu Damar sebagai objek dalam penelitian ini adalah karena kayu Damar merupakan salah satu jenis asli yang tumbuh di

Page 2: Ultra-Struktur Kayu Tekan Damar (Agathis loranthifolia Salisb.)

2 J. Tropical Wood Science and Technology Vol.5 • No. 1 • 2007

Indonesia. Pertama kali herbariumnya dikumpulkan oleh Dr. Buwalda, sedangkan nama Agathis loranthifolia Salisb. diberikan oleh Salisbury (Anonim 1971). Selain itu pohon Damar diketahui mempunyai sistem perakaran yang kuat karena mempunyai akar jangkar yang dalam sehingga batangnya tidak mudah roboh (Anonim 1971). Bentuk tajuknya simetris indah sehingga cocok dikembangkan untuk ditanam sebagai hutan kota. Sifat-sifat kayu Damar yang normal sangat baik untuk bahan baku industri alat musik seperti piano, industri meubel, pulp dan kertas, bahkan menurut Surjokusumo (1992) kayu Damar sangat baik untuk bahan baku industri pesawat terbang ringan.

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) memperoleh bukti tentang besarnya persentase cacat kayu tekan yang terjadi pada tegakan hutan tanaman Damar di lokasi penelitian, (2) memperoleh informasi tentang perubahan ultra-struktur dinding sel kayu tekannya dibandingkan dengan bagian kayu normalnya, (3) membuat analisis karakteristik ultra-struktur dinding sel kayu tekannya, serta (4) membuat kajian hubungan antara ultra-struktur dinding sel kayu tekan dengan beberapa sifat fisik kayunya.

Bahan Dan Metode Bahan dan Alat

Kayu Damar (Agathis loranthifolia Salisb.) sebagai bahan dalam penelitian ini diambil dari batang utama tegakan hutan tanaman berumur sekitar 40 tahun dari hutan pendidikan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) di Gunung Walat Sukabumi dengan kemiringan lahan antara 5 ~ 35º. Selain bahan berupa kayu, dalam penelitian ini juga dibutuhkan beberapa bahan kimia untuk membantu dalam proses pembuatan preparat sebagai bahan observasi seperti: alkohol dari berbagai konsentrasi, xylene, safranin 2% canada balsam, silica gel dan emas 18 karat (K).

Dalam pelaksanaan penelitian ini selain diperlukan beberapa alat yang dipakai untuk mengambil contoh uji kayu di lapangan, juga dibutuhkan alat-alat penelitian di laboratorium antara lain: 1. Sliding Microtome American Opt. untuk membantu

dalam pembuatan sayatan tipis sebagai bahan preparat penelitian.

2. Scanning Electron Microscope (SEM) type JEOL 520, untuk membantu observasi ultra-struktur dinding sel kayu tekan.

3. Beberapa alat seperti oven, timbangan dan caliper untuk penelitian sifat fisik kayu dipakai.

Metode Pembuatan Contoh

Tegakan hutan tanaman Damar yang sudah ditentukan lokasinya dibuat petak contoh penelitian berukuran 40 m x 25 m. Seluruh batang dalam petak dihitung jumlahnya, diukur diameter batang setinggi

dada (dbh) dan sudut kemiringannya. Selanjutnya, hasil pengukuran disusun dalam tabel dan dibuat klasifikasi cacat kayu tekan yang terjadi. Batang pohon yang tumbuh miring sampai dengan 10º dikelompokkan dalam cacat kayu tekan ringan (mild compression wood), dan yang membentuk sudut kemiringan di atas 10º dikelompokkan dalam kayu tekan berat (severe compression wood). Masing-masing dua batang pohon yang mengalami kayu tekan ringan dan berat, serta satu batang pohon yang tumbuhnya normal dipilih secara acak untuk ditebang sebagai bahan penelitian. Bagian batang yang miring dipotong menjadi lempengan setebal sekitar 10 ~ 15 cm untuk dibawa ke laboratorium. Penampang melintangnya dihaluskan untuk memudahkan pengamatan dan dihitung persentase luas permukaan kayu tekannya.

Bahan untuk observasi ultra-struktur dinding sel diambil dari contoh kayu tekan yang telah ditentukan. Contoh kayu berukuran 0.5 cm x 0.5 cm x 3 cm sebelumnya dilunakkan dan kemudian disayat setebal sekitar 40 ~ 50 mikron dengan sliding microtome. Selanjutnya sayatan didehidrasi dengan alkohol bertingkat dan terakhir dengan xylene, kemudian disimpan dalam tempat yang sudah diisi silica gel (Pandit 2006). Sebelum observasi, sayatan diletakkan di atas specimen holder dan kemudian dilapisi emas 18 K setebal sekitar 300A (1 mikron = 10.000 angstrom).

Analisis karakteristik ultra-stuktur dinding sel kayu tekan dilakukan dengan discription analysis yaitu melihat ultra-struktur yang objektif dan tetap konstan pada setiap contoh yang diamati. Karakter ini kemudian ditetapkan sebagai sifat yang karakteristik.

Ukuran contoh uji sifat fisik yang dipergunakan adalah 5 cm x 5 cm x 5 cm, terdiri dari kayu tekan ringan dan kayu tekan berat serta kayu normalnya. Sifat fisis yang dianalisis adalah kadar air basah, kadar air kering udara, berat jenis, kerapatan kering udara, penyusutan longitudinal, tangensial dan radial.

Hasil dan Pembahasan

Ultra-Struktur Kayu Tekan Damar

Tegakan hutan tanaman Damar di hutan pendidikan Fakultas Kehutanan IPB Gunung Walat yang mengalami cacat kayu tekan ringan (mild compression wood) rata-rata sebesar 18.25% dan mengalami cacat kayu tekan berat rata-rata (severe compression wood) sebesar 8.15%.

Perubahan ultra-struktur dinding sel kayu Damar selama transisi dari kayu normal menjadi kayu tekan terutama dicirikan oleh: (1) adanya perubahan bentuk penampang melintang sel-sel trakeida yang bentuknya persegi pada kayu normal, berubah menjadi bulat-bulat; (2) penampang melintang sel-sel trakeida kayu tekan yang bulat, menyebabkan kontak tiga atau empat sel-sel

Page 3: Ultra-Struktur Kayu Tekan Damar (Agathis loranthifolia Salisb.)

Ultra Structure of Compression Wood of Agathis (Agathis loranthifolia Salisb.) 3 and Its Relation to Physical Properties (I Ketut Nuridja Pandit and Istie Sekartining Rahayu)

Figure 1 A. Cross section of tracheid cells of normal wood of Agathis, has a rectangular form. B. Cross section of tracheid cells of Agathis compression wood, has a round form and has

intracellular space. C. Bordered pits alternate distribution on radial wall of tracheid cells of Agathis. D. Ray cells orientation (uniseriate) on tangential wall of tracheid cells of Agathis.

Figure 2 A. Bordered pits of Agathis (cross section). B. Bordered pits of Agathis (radial). C. Ultra-structure of normal wood of Agathis (cross section and radial). D. Ultra-structure of compression wood of Agathis (cross section and radial).

A B

C D

A B

C D

Page 4: Ultra-Struktur Kayu Tekan Damar (Agathis loranthifolia Salisb.)

4 J. Tropical Wood Science and Technology Vol.5 • No. 1 • 2007

trakeida menimbulkan adanya ruang-ruang antar sel (intercellular spaces); (3) adanya perubahan ultra-struktur dinding sekunder (S) dengan hilangnya lapisan dinding sekunder S3; (4) adanya modifikasi ultra-struktur dinding sekunder S2, yaitu orientasi sudut mikrofibril (Microfibril Angle = MFA) bertambah besar terhadap sumbu panjang sel. Perubahan ultra-struktur dinding sel kayu Damar dari formasi normal ke formasi kayu tekan secara nyata dapat dilihat seperti pada Gambar 1A dan 1B. Perubahan ultra-struktur dinding sekunder S2 dari formasi kayu normal ke formasi kayu tekan dicirikan oleh adanya peningkatan derajat MFA pada lapisan dinding sekunder S2. Orientasi MFA dinding sekunder S2 makin menjauhi sumbu panjang sel dan membentuk sudut sekitar 40 ~ 45º. Sifat Fisis Kayu Tekan

Hasil analisis sifat fisis adalah sebagai berikut : 1. Kadar air (MC) basah dan kering udara pada kayu

tekan cenderung lebih tinggi daripada kayu normalnya pada suhu dan kelembaban yang sama.

Hal ini dapat dilihat pada Gambar 3 dan 4. Kadar air kering udara dan kadar air basah cenderung lebih tinggi daripada kayu normalnya diduga karena adanya ruang antar sel trakeida pada kayu tekan memiliki potensi yang besar untuk mengikat air.

2. Kerapatan kering udara (density) serta berat jenis (SG) kayu tekan cenderung lebih tinggi daripada kayu normal, hal ini disebabkan karena tebal dinding sel kayu tekan yang lebih besar jika dibandingkan dengan kayu normal. Ketebalan dinding tersebut menyebabkan zat kayu yang terkandung di dalamnya lebih besar 1/3 kali daripada kayu normal; seperti terlihat pada Gambar 5 dan 6.

3. Penyusutan longitudinal kayu tekan lebih tinggi (1.71% untuk kayu tekan ringan; 2.06% untuk kayu tekan berat) daripada kayu normal (1.20%). Sebaliknya penyusutan ke arah radial dan tangensial lebih rendah daripada kayu normal; seperti terlihat pada Gambar 7.

Fig 4. Histogram of air-dried MC (%) of compression Fig 3. Histogram of green MC (%) of compression

0.0020.0040.0060.0080.00

100.00120.00140.00160.00180.00

Green moisture content

Green moisturecontent

163.56 170.43 72.17

Mild Compression

Wood

Severe Compression

WoodNormal

16.817

17.217.417.617.8

1818.218.418.618.8

19

Air dried moisture content

Air dried moisturecontent

17.6 18.87 18

Mild Compression

Wood

Severe Compression

WoodNormal

Fig 6. Comparison of SG between compression wood and normal wood.

Fig 5. Comparison of density (g/cm3) between compression

0.00

0.100.200.300.400.500.600.700.800.901.00

Density

Density 0.87 0.99 0.59

Mild Compression

Wood

Severe Compression

WoodNormal

0.280.290.300.310.320.330.340.350.360.370.380.39

Specif ic gravity

Specific gravity 0.34 0.38 0.32

Mild Compression

Wood

Severe Compression

WoodNormal

Page 5: Ultra-Struktur Kayu Tekan Damar (Agathis loranthifolia Salisb.)

Ultra Structure of Compression Wood of Agathis (Agathis loranthifolia Salisb.) 5 and Its Relation to Physical Properties (I Ketut Nuridja Pandit and Istie Sekartining Rahayu)

0

2

4

6

8

10

Longitudinal 1.71 2.06 1.20

Radial 2.68 3.23 4.00

Tangensial 4.71 8.05 8.05

Mild Compressio

Severe Compressio

Normal

Fig 7. Comparison of shrinkage (%) between

compression wood and normal wood.

Penyusutan longitudinal yang besar diduga karena sudut mikrofibril yang besar, seperti apa yang dinyatakan Panshin dan de Zeeuw (1980), Bowyer et.al. (2003) dan Donaldson et.al. (2004). Di samping itu sudut mikrofiril yang besar akan menyebabkan sifat kekakuan (stiffness) kayu sebagai bahan juga menjadi berkurang (Andersson et.al. 2000)

Hubungan Ultra-struktur Kayu Tekan dengan Sifat Fisisnya

Hasil observasi dengan SEM juga menunjukkan bahwa dinding sel-sel trakeida axial kayu Damar penuh dengan noktah berbatas (bordered pits), susunannya berseling (alternate) seperti pada Gambar 1C. Penyebaran noktah berbatas pada dinding sel-sel trakeida nyata terlihat lebih banyak tersebar pada dinding radial dibanding dinding tangensialnya.

Penyebaran noktah berbatas lebih banyak terdapat pada dinding radial sel-sel trakeida axial, menyebabkan jumlah bahan dinding sel pada bidang radial menjadi lebih kecil dibanding dinding tangensialnya.

Fakta objektif ini dapat menjelaskan bahwa ada tiga alasan penyusutan kayu arah radial selalu lebih kecil dibanding penyusutan arah tangensial sbb: (1) adanya struktur jari-jari kayu pada arah radial yang dapat berfungsi sebagai tahanan; (2) penyebaran noktah berbatas lebih banyak terdapat pada bidang radial; (3) sudut mikrofibril lebih besar pada dinding radial dibanding dinding tangensial. Hal-hal tersebut dapat dijadikan dasar untuk menjelaskan penyusutan kayu arah radial selalu lebih kecil dibanding penyusutan arah tangensialnya. Panshin dan de Zeeuw (1980) menyatakan: “For normal wood the dimensional changes, as indicated by shrinkage data from the green to the oven dry condition, amount to only 0.1 to 0.3 percent in the longitudinal direction. In the radial direction, the shrinkage from the fiber saturation point to

the air-dry condition is from 2 to 3 percent. In the tangential direction shrinkage to the air-dry condition is about twice as great in the radial direction”.

Kesimpulan

Dari hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Besarnya persentase cacat kayu tekan pada

tegakan Damar di lokasi penelitian adalah untuk cacat kayu tekan ringan (mild compression wood) rata-rata 18.25% dan cacat kayu tekan berat (severe compression wood) rata-rata sebesar 8.15%.

2. Karakteristik ultra-struktur dinding sel-sel kayu tekan pada Damar terutama dicirikan oleh: penampang melintang sel-sel trakeida menjadi bulat; adanya intercellular space; dinding sekunder S3 tereduksi; dan MFA membentuk sudut sekitar 40 ~ 45º terhadap sumbu panjang sel.

3. Kadar air basah serta kadar air kering udara kayu tekan cenderung lebih tinggi daripada kayu normal, kadar air titik jenuh serat (TJS) cenderung lebih rendah (44.67% untuk kayu tekan ringan; 28.28% untuk kayu tekan berat) daripada kayu normal yang hanya sebesar 47.21%. Kerapatan serta berat jenis kayu tekan cenderung lebih tinggi daripada kayu normal. Penyusutan longitudinal kayu tekan lebih tinggi (1.71% untuk kayu tekan ringan; 2.06% untuk kayu tekan berat) daripada kayu normal (1.20%). Sebaliknya penyusutan ke arah radial dan tangensial lebih rendah daripada kayu normal.

4. Ada hubungan antara ultra-struktur dinding sel kayu tekan dengan sifat fisik kayunya; struktur kayu tekan menyebabkan penyusutan ke arah longitudinal menjadi bertambah besar.

Saran

Dari hasil penelitian ini saran yang dapat diberikan

antara lain sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan tentang kandungan kimia serta mekanis kayu tekan.

Daftar Pustaka

Andersson, S.; S. Ritva; T. Mika; P. Timo; S. Pekka; P. Erkki. 2000. Microfibril Angle of Norway Spruce (Picea abies (L.) Karst.) Compression Wood: Comparison of Measuring Techniques. Journal Wood Science 46: 343-349.

Anonim. 1971. Pedoman Penanaman Damar (Agathis loranthifolia Salisb.) Team Reboisasi LPH Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi LPH Bogor. Penerbitan No.7.

Page 6: Ultra-Struktur Kayu Tekan Damar (Agathis loranthifolia Salisb.)

6 J. Tropical Wood Science and Technology Vol.5 • No. 1 • 2007

Bowyer, J.L.; R. Shmulsky; J.G. Haygreen. 2003. Forest Products and Wood Science: An Introduction.

Fourth Edition. Iowa State Press. A Blackwell Publishing Comp.

Donaldson, L.A.; G. Jenny; M.D. Geoft. 2004. Within-Tree Variation in Anatomical Properties of Compression Wood in Radiata Pine. IAWA Journal, Vol. 25 (3): 2253-271.

Haygreen, J.G. and J.L. Bowyer. 1982. Forest Product and Wood Science: An Introduction. The Iowa State University Press. Ames Iowa.

Kartal, S.N. and L. Stan. 2000. Effect of Compression Wood on Leaching of Chromium, Copper, and Arsenic from CCA-C Treated Red-pine (Pinus resinosa ). IRG/WP 00-30232. pp.1-8.

Martawijaya, A.I.; K. Kartasujana; Kadir; S.A. Prawira. 1986. Atlas Kayu Indonesia Jilid I. Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehutanan.

Pandit, I.K.N. 2006. Penuntun Praktikum Anatomi dan Identifikasi Kayu. Departemen Hasil Hutan. Institut Pertanian Bogor.

Panshin, A.J. and de Zeeuw. 1980. Textbook of Wood Tecxhnology. Third Edition. McGraw-Hill Book Company. New York, Toronto, London.

Surjokusumo, S. 1992. Studi Mengenai Persyaratan Kayu Sebagai Bahan Konstruksi Pesawat Terbang. Fakultas Kehutanan IPB. p: 15-36.

Torges, D. 2005. Reaction wood. http://www. bowyersedge.com/reaction.html.

Tsoumis, G. 1991. Science and Technology of Wood Structure, Properties, Utilization. Van Nostrand Reinhold. New York.

Makalah masuk (received) : 17 Januari 2007 Diterima (accepted) : 24 Januari 2007 Revisi terakhir (final revision) : 07 Mei 2007 I. Ketut Nuridja Pandit dan Istie Sekartining Rahayu Staf Pengajar Departemen Hasil Hutan (Lectures of Forest Product Department) Fakultas Kehutanan - Intitut Pertanian Bogor (Faculty of Forestry - Bogor Agricultural University) Darmaga - Bogor E-mail : [email protected]

Page 7: Ultra-Struktur Kayu Tekan Damar (Agathis loranthifolia Salisb.)

Physical and Mechanical Properties of Ten Mangium Wood (Acacia mangium Willd.) 7 Provenances from Parung Panjang, West Java (Nurwati Hadjib, Yusuf Sudo Hadi, and Dian Setyaningsih)

Sifat Fisis dan Mekanis Sepuluh Provenans Kayu Mangium (Acacia mangium Willd.) dari Parung Panjang, Jawa Barat

Physical and Mechanical Properties of Ten Mangium Wood (Acacia mangium Willd.) Provenances from Parung Panjang, West Java

Nurwati Hadjib, Yusuf Sudo Hadi dan Dian Setyaningsih

Abstract

Physical and mechanical properties of ten Mangium provenances have been studied in Forest Products Research

and Development Center Bogor. The 14 years old Mangium was from Parung Panjang, Bogor, West Java, and the provenances were Kiriwo/Scrisa WP-PNG, Wipin District-PNG, Kini WP-PNG, Claudia River-Qld, Lake Muray-PNG, Mata Area WP-PNG, Bimadebun Village WP-PNG, Bilimo District-PNG, Kuru-PNG and Arufi Village-PNG. Test methods were referring to ASTM D.143-94 (ASTM 2002) for Methods of Testing Small Clear Specimen of Timber. The results showed that the highest density was Bimadebun Village WP-PNG (0.559 g/cm3) and the lowest was Kiriwo/Serisa WP-PNG (0.493 g/cm3), the highest MOE was Bimadebun Village WP-PNG (101,297 kg/cm2) and the lowest was Wipin District-NG (79,211 kg/cm2), the highest MOR was Bimadebun Village WP-PNG (708.5 kg/cm2) and the lowest was Kini WP-PNG (596.2 kg/cm2), the highest compression strength parallel to grain was Bimadebun Village WP-PNG (421.9 kg/cm2) and the lowest was Wipin District-PNG (342.1 kg/cm2), the highest shearing strength parallel to grain at radial was Arufi Village-PNG (66.2 kg/cm2) and the lowest was Claudia River-QLD (56.4 kg/cm2), the highest shearing strength parallel to grain at tangential was Kuru-PNG (74.4 kg/cm2) and the lowest was Lake Muray-PNG (48.3 kg/cm2). Based on values of its density, compression strength parallel to grain, shearing strength parallel to grain, the best Mangium provenance from Parung Panjang can be ordered as follow (1) Bimadebun Village WP-PNG, (2) Kuru-PNG, (3) Mata Area-PNG, (4) Arufi Village-PNG, (5) Bilimo District-PNG, (6) Kini WP-PNG, (7) Wipin District-PNG, (8) Kiriwo Serisa-PNG, (9) Claudia River-QLD and (10) Lake Muray-PNG. Key words: physical and mechanical properties, Mangium, provenance

Pendahuluan

Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman hayati yang tinggi, terutama pada hutan tropika basahnya. Salah satu hasil hutan yang sampai saat ini masih belum tergantikan adalah kayu dari hutan alam dan kebutuhannya semakin meningkat dengan kenaikan jumlah penduduk. Akan tetapi karena kecepatan pemanenan yang tidak seimbang dengan kecepatan pertumbuhan, maka tekanan terhadap hutan alam semakin besar dan ketersediaan kayu-kayu yang berasal dari hutan alam semakin menurun, baik dari segi mutu maupun volumenya. Dewasa ini telah makin terasa kekurangan berbagai jenis kayu untuk bahan baku berbagai industri perkayuan seperti industri kerajinan, sampai pada industri berskala besar. Sementara itu jumlah kayu yang tersedia semakin menurun baik jumlah maupun kualitasnya. Oleh sebab itu, kayu dari hutan tanaman diharapkan dapat memenuhi kebutuhan kayu untuk berbagai keperluan tersebut.

Mulai Pelita IV, Departemen Kehutanan membangun Hutan Tanaman Industri (HTI) yang pada tahun 2015 diharapkan pembangunannya mencapai 6.2

juta hektar dan akan menghasilkan kayu bulat sebesar 90 juta meter kubik setiap tahun. Kayu Mangium (Acacia mangium Willd.), merupakan jenis kayu yang dipandang memiliki prospek baik untuk dikembangkan dalam HTI sebagai penghasil kayu yang cepat tumbuh. Kayu Mangium ini telah ditanam secara besar-besaran di berbagai daerah baik untuk keperluan serat, perkakas maupun energi. Sampai saat ini diperkirakan telah dikembangkan sebanyak 20 provenans kayu Mangium (Iriantono 1999). Dari sejumlah provenans tersebut diperkirakan mempunyai sifat karakteristik yang berbeda, sehingga perlu ditentukan provenans mana yang paling baik dan sesuai dengan pemanfaatan jenis kayu tersebut.

Dalam pemanfaatan kayu diperlukan data teknis yang dapat menunjang perencanaan penggunaannya. Salah satu data dasar yang sering digunakan untuk keperluan itu adalah data sifat fisis dan mekanis kayunya. Sifat fisis dan mekanis yang diteliti meliputi kerapatan, kadar air, sifat kekuatan lentur statis, kekerasan, kekuatan pukul, kekuatan tekan sejajar dan tegak lurus serat, keteguhan geser, keteguhan belah dan tarik.

Page 8: Ultra-Struktur Kayu Tekan Damar (Agathis loranthifolia Salisb.)

8 J. Tropical Wood Science and Technology Vol.5 • No. 1 • 2007

Bahan dan Metode Lokasi

Lokasi penelitian adalah sebagai berikut: 1. Pengambilan bahan kayu dilakukan di daerah

BKPH Parung Panjang, KPH Bogor, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat.

2. Penelitian sifat fisis dan mekanis kayu dilakukan di Laboratorium Fisik-Mekanik, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan kayu yang diuji meliputi sepuluh provenans kayu Mangium tanaman tahun 1991 yang berasal dari kebun percobaan Balai Teknologi Perbenihan, Badan Litbang Kehutanan, Parung Panjang, Bogor, Jawa Barat yang terdiri dari: Kiriwo Serisa-PNG (18209), Wipin District-PNG (18216), Kini WP-PNG (16938), Claudia-River, QLD (17946), Lake Muray-PNG (17946), Mata Area WP-PNG (18207), Bimadebun Village-PNG (18204), Bilimo District-PNG (16937), Kuru-PNG (18057) dan Arufi Village-PNG (18206). Selain bahan kayu, diperlukan bahan penunjang untuk penelitian ini antara lain parafin, air dan ampelas.

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah gergaji potong, gergaji belah, mesin serut, desiccator, oven, penggaris, Caliper, mesin bor, Universal Testing Machine, Amsler Pendulum Impact Testing Machine, timbangan dan alat tulis.

Prosedur Kerja

Dari setiap provenans kayu Mangium diambil tiga pohon yang mewakili populasi tersebut, dan dari setiap pohon diambil dolok masing-masing sepanjang 150 cm dari tiga ketinggian yaitu pangkal, tengah dan ujung batang bebas cabang. Ukuran dan cara pengambilan contoh uji dari setiap pohon dan setiap dolok serta pengujian sifat fisis dan mekanis kayu dilakukan sesuai dengan metode ASTM D.143-94 (ASTM 2002) tentang

Methods of Testing Small Clear Specimen of Timber. Sifat fisis dan mekanis yang diuji meliputi kerapatan, keteguhan lentur statis, keteguhan tekan (sejajar dan tegak lurus serat), keteguhan geser, keteguhan belah dan tarik. Banyaknya contoh uji untuk setiap dolok dan setiap provenans disesuaikan dengan diameter pohon contoh.

Analisis data yang dilakukan meliputi rata-rata hasil pengujian setiap provenans kayu Mangium, perbandingan sifat antar provenans dan penentuan kelas kuat kayu berdasarkan klasifikasi kekuatan kayu (Oey 1964), serta perkiraan peruntukan kayu provenans Mangium berdasarkan sifat kayunya.

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap satu faktor dengan perlakuan yaitu provenans sebanyak 10 jenis.

Hasil dan Pembahasan

Sifat Fisis Rata-rata kadar air (KA) kering udara dan

kerapatan sepuluh provenans Mangium yang diteliti disajikan pada Tabel 1.

Dari hasil pengujian KA kering udara diperoleh nilai rata-rata KA tertinggi terdapat pada Mangium dari provenans Arufi Village PNG sebesar 17.6% dan yang terendah terdapat pada Mangium provenans Bimadebun Village PNG sebesar 15.9%. Analisis keragaman sifat fisis (Tabel 2) menunjukkan bahwa perbedaan provenans berpengaruh nyata pada KA kering udara. Dari perbandingan nilai tengah yang dilakukan, ternyata hanya Mangium dari provenans Bimadebun yang berbeda nyata terhadap provenans lainnya, sedangkan kadar air Mangium lainnya tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Hasil analisis keragaman juga menunjukkan bahwa perbedaan provenans menyebab-kan perbedaan yang nyata terhadap kerapatan kayu Mangium. Berdasarkan hasil perbandingan nilai

Table 1. Average of air dry moisture content and density of ten Mangium provenances.

No. Provenance Moisture content (%)

Density (g/cm3)

1. Kiriwo Serisa-PNG 16.9 (14.6 ~ 18.2) 0.493 (0.384 ~ 0.586) 2. Wipin District-PNG 17.1 (15.0 ~ 18,5) 0.502 (0.371 ~ 0.618) 3. Kini WP-PNG 16.2 (15.0 ~ 18.2) 0.496 (0.343 ~ 0.649) 4. Claudia River-QLD 17.2 (12.6 ~ 18.5) 0.502 (0.402 ~ 0.646) 5. Lake Muray-PNG 17.4 (15.7 ~ 18.4) 0.499 (0.388 ~ 0.678) 6. Mata Area WP-PNG 16.1 (14.3 ~ 17.9) 0.521 (0.374 ~ 0.640) 7. Bimadebun Village-PNG 15.9 (14.3 ~ 17.0) 0.559 (0.375 ~ 0.668) 8. Bilimo District-PNG 16.4 (15.2 ~ 18.6) 0.523 (0.413 ~ 0.608) 9. Kuru-PNG 17.1 (15.7 ~ 18.4) 0.519 (0.358 ~ 0.706) 10. Arufi Village-PNG 17.6 (15.9 ~ 19.2) 0.512 (0.377 ~ 0.714)

Remark: Value in the bracket is a range values.

Page 9: Ultra-Struktur Kayu Tekan Damar (Agathis loranthifolia Salisb.)

Physical and Mechanical Properties of Ten Mangium Wood (Acacia mangium Willd.) 9 Provenances from Parung Panjang, West Java (Nurwati Hadjib, Yusuf Sudo Hadi, and Dian Setyaningsih)

Table 2. Analysis of variance of physical properties.

Mean square F calculation Source of variance Degrees of freedom Air dry moisture

content Density Air dry moisture

content Density

Provenance 9 10.49 0.0111 16.17 S 2.31S Error 193 0.65 0.0048 Total 302

Remark : S = Significant tengahnya, ternyata kerapatan kayu Mangium provenans Bimadebun tidak berbeda nyata dengan Mangium provenans Kiriwo-Serisa, tetapi keduanya menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap provenans lainnya. Dari kenyataan tersebut kemungkinan perbedaan kadar air provenans Bimadebun terhadap kadar air kayu Mangium lainnya, disebabkan karena perbedaan kerapatan kayu yang menunjukkan perbedaan kemampuan dinding sel kayu untuk mengikat air (Haygreen dan Bowyer 1982).

Kerapatan kayu mempengaruhi sifat higroskopi-sitas, penyusutan, kekuatan, sifat akustik dan kelistrikan serta sifat-sifat lainnya yang berhubungan dengan pengerjaan kayu selanjutnya (Tsoumis 1991). Dari hasil pengujian yang dilakukan, nilai rata-rata kerapatan tertinggi terdapat pada provenans Mangium Bimadebun Village PNG sebesar 0.56 gr/cm3, sedangkan kerapatan terendah terdapat pada provenans Kiriwo Serisa-PNG sebesar 0.49 gr/cm3. Hasil pada analisis keragaman menunjukkan bahwa jenis provenans berpengaruh nyata terhadap kerapatan kayu Mangium pada taraf nyata 5%. Menurut Oey (1964), semakin tinggi nilai berat jenis atau kerapatan, umumnya kayu makin kuat dan berat. Hasil perbandingan nilai tengah (Duncan multiple range test)

kerapatan sepuluh provenans Mangium yang diuji menunjukkan bahwa hanya provenans Kiriwo-Serisa yang berbeda nyata terhadap provenans yang lain, sedangkan provenans lainnya tidak berbeda nyata. Sifat Mekanis

Nilai rata-rata sifat mekanis sepuluh provenans Mangium yang diteliti disajikan pada Tabel 3a dan 3b. Bila dilihat parameter klasifikasi kekuatan kayu Indonesia, maka kelas kuat kayu ditentukan oleh kerapatan, MOE, MOR, keteguhan tekan sejajar serat dan keteguhan tarik sejajar serat. Dari Tabel 3 tersebut terlihat bahwa nilai MOR tertinggi terdapat pada Bimadebun diikuti berturut-turut provenans Kuru, Lake Murray, Claudia River, Kiriwo, Mata Area, Arufi Village, Bilimo District, Wipin District dan terendah Mangium provenans Kini-WP. MOE tertinggi terdapat pada provenans Bimadebun diikuti berturut-turut provenans Kiriwo, Kuru, Lake Murray, Arufi, Mata Area, Claudia River, Bilimo District, Kini-WP dan terendah pada provenans Wipin District. Sedangkan keteguhan tekan sejajar serat tertinggi pada Bimadebun, Kuru, Kini, Kiriwo, Mata Area, Arufi, Lake Muray, Claudya River, Bilimo dan terendah dari Provenans Wipin.

Table 3a. Average of mechanical properties of ten provenances Mangium wood tested

Static bending, kg/cm2

Compression strength, kg/cm2

Shear strength, kg/cm2

Cleavage strength, kg/cm

Tensile strength ⊥, kg/cm2

Provenance*

Density

MOE MOR // ⊥ R T R T R T 1 0.493 95616 649.6 391.6 99.7 50.0 59.1 17.1 20.3 7.5 17.3 2 0.502 79221 606.9 342.1 108.6 55.2 71.4 21.6 23.8 12.7 15.8 3 0.496 82737 596.2 402.3 109.3 49.8 64.6 20.5 23.9 12.2 18.2 4 0.502 86977 668.1 365.2 101.5 60.1 56.4 26.8 23.4 10.4 14.6 5 0.499 92286 677.9 376.8 106.2 48.3 57.3 19.8 22.3 8.1 14.2 6 0.521 90787 648.3 382.5 117.8 625 69.4 22.7 25.2 11.0 15.5 7 0.559 101297 708.5 421.9 123.1 54.5 65.1 20.6 23.4 7.9 15.7 8 0.523 83825 617.5 358.2 106.2 56.4 67.2 20.0 22.0 7.3 9.0 9 0.519 93592 701.7 412.1 119.4 63.0 74.4 20.1 23.8 10.0 18.3 10 0.512 91806 645.0 377.9 103.1 66.2 69.7 23.3 26.0 16.4 21.7

Remark: * = appropriate to the number in Table 1; // = parallel to grain; ⊥ = perpendicular to grain; R = radial; T = Tangential.

Page 10: Ultra-Struktur Kayu Tekan Damar (Agathis loranthifolia Salisb.)

10 J. Tropical Wood Science and Technology Vol.5 • No. 1 • 2007

Table 3b. Average of mechanical properties of ten provenances Mangium wood tested (Continued)

Tensile strength, kg/cm2 Hardness, kg/cm2

⊥ //

Impact bending, kgm/dm3 Side Provenance*

R T R T R T

End

R T 1 7.5 17.3 639.8 550.4 22.3 27.5 384.5 285.8 290.1 2 12.7 15.8 572.9 574.9 23.1 23.2 384.6 288.8 293.9 3 12.2 18.2 677.9 520.1 23.8 27.0 434.5 313.6 374.1 4 10.4 14.6 563.9 539.4 22.0 25.1 394.2 267.9 277.1 5 8.1 14.2 599.9 557.9 19.8 22.7 443.0 282.7 272.2 6 11.0 15.5 678.7 548.6 26.3 22.7 404.5 251.5 254.5 7 7.9 15.7 572.3 565.9 22.5 25.1 403.2 312.5 307.7 8 7.3 9.0 691.0 620.5 20.9 25.5 413.7 305.5 303.5 9 10.0 18.3 667.7 641.0 23.1 26.8 409.8 316.6 310.2 10 16.4 21.7 783.1 681.1 20.3 15.6 398.7 306.3 313.6

Remark: see Table 3a. Table 4. Analysis of variance of mechanical properties

Mean square Fcalc Source of variance Df MOE MOR Compression// MOE MOR Compression//

Provenance 9 1309462452 42588 17626.8 1.36ns 1.84 ns 2.88 s Error 294 962262606 23086 6127.6 Total 303

Remarks: Df = Degrees of freedom; ns= non significant; s = significant; MOE = Modulus of Easticity; MOR = Modulus of Rupture; // = parallel to grain

Nilai rata-rata MOE dan MOR tertinggi terdapat

pada provenans Bimadebun Village-PNG, yaitu berturut-turut sebesar 101297 kg/cm2 dan 708.5 kg/cm2. Sedangkan MOE terendah terdapat pada provenans Wipin District-PNG sebesar 79211 kg/cm2 dan MOR terendah pada Kini WP-PNG sebesar 596.2 kg/cm2.

Hasil analisis keragaman pengaruh provenans terhadap sifat mekanis kayu (Tabel 4) menunjukkan bahwa perbedaan provenans tidak memberikan perbedaan yang nyata pada MOE maupun MOR Mangium, tetapi berbeda nyata pada keteguhan tekan sejajar serat.

Rata-rata hasil pengujian keteguhan tekan dan geser sejajar serat dapat dilihat pada Gambar 1. Dari gambar tersebut terlihat bahwa kayu Mangium dari provenans Bimadebun mempunyai keteguhan tekan sejajar serat tertinggi dibandingkan provenans lainnya.

Kesimpulan dan Saran Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan tentang sifat fisis dan mekanis sepuluh provenans kayu Mangium asal BKPH Parung Panjang KPH Bogor Jawa Barat dapat disimpulkan: 1. Secara umum sifat fisis kayu Mangium dipengaruhi

secara nyata oleh jenis provenans pada taraf nyata

5%, sedangkan sifat mekanisnya tidak dipengaruhi oleh asal provenansnya.

1. Berdasarkan nilai kerapatan, keteguhan tekan sejajar serat, keteguhan geser serat, maka provenans terbaik yaitu: (1) Bimadebun Village-PNG; (2) Kuru-PNG; (3) Mata Area-PNG; (4) Arufi Village-PNG; (5) Bilimo District-PNG; (6) Kini WP-PNG; (7) Wipin District-PNG; (8) Kiriwo Serisa-PNG; (9) Claudia River-QLD; dan (10) Lake Murray-PNG.

Saran 1. Berdasarkan sifat yang diteliti, maka kayu Mangium

dari Parung Panjang dapat dimanfaatkan untuk konstruksi ringan seperti mebel, kusen dan daun pintu/jendela

2. Berdasarkan sifat fisis dan mekanisnya, maka untuk tujuan kelas perusahaan kayu pertukangan pada daerah Parung Panjang jenis provenans yang sesuai untuk dikembangkan adalah Bimadebun dari Papua Nugini (PNG).

3. Perlu dilakukan penelitian sejenis pada provenans kayu Mangium lainnya dengan memperhatikan umur, perlakuan silvikultur dan filial kedua dan ketiganya (F2 dan F3).

Page 11: Ultra-Struktur Kayu Tekan Damar (Agathis loranthifolia Salisb.)

Physical and Mechanical Properties of Ten Mangium Wood (Acacia mangium Willd.) 11 Provenances from Parung Panjang, West Java (Nurwati Hadjib, Yusuf Sudo Hadi, and Dian Setyaningsih)

391.6

342.1

402.3

365.2376.8 382.5

421.9

358.2

412.1

377.9

50.0 55.2 60.149.8 48.3

62.5 54.5 56.4 63.0 66.259.171.4 64.6 56.4 57.3

69.4 65.1 67.2 74.4 69.7

0.00

50.00

100.00

150.00

200.00

250.00

300.00

350.00

400.00

450.00

Kir iwoSer isa -

PNG

WipinDist r ict -

PNG

Rini WP -PNG

ClaudiaRiver -

QLD

LakeMurray -

PNG

Mat a Tua- PNG

BinaDebun

Village -PNG

BilimoDist r ict -

PNG

Kuru -PNG

Aruf iVillage -

PNG

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Provenance

Ave

rage Compression / / grain (Kg/cm2)

Shear / / grain (Kg/cm2) RadialShear / / grain (Kg/cm2) Tangential

Figure 1. Compression and shear strengths parallel to grain

Daftar Pustaka ASTM, 2002. ASTM D 143-94. Standard Test Methods

for Small Clear Specimens of Timber. Annual Book of ASTM Standard. Philadelphia.

Haygreen, J.G. and J.L. Bowyer. 1982. Forest Product and Wood Science. An introduction. Iowa State Univ. Press. USA.

Iriantono. D. 1999. Standar Pengujian Mutu Fisik dan Fisiologis Jenis-jenis Acacia mangium, Eucalyptus

deglupta, E. Urophylla, Gmelina arborea, Paraserianthes falcataria, Pinus merkusii, Swietenia macropylla. Balai Teknologi Perbenihan. Bogor.

Oey, D.S. 1964. Berat jenis dari jenis-jenis kayu Indonesia dan pengertian beratnya untuk keperluan praktek. Pengumuman No, 1. Lembaga Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.

Tsoumis, G. 1991. Science and Technology of Wood (Structure, Properties, Utilization). Van Nostrand Reinhold. New York.

Makalah masuk (received) : 05 Januari 2007 Diterima (accepted) : 17 Januari 2007 Revisi terakhir (final revision) : 28 April 2007 Nurwati Hadjib Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan (Forest Products Research and Development Center) Jl Gn Batu 5, Bogor. E-mail : [email protected] Yusuf Sudo Hadi dan Dian Setyaningsih Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian.Bogor

(Faculty of Forestry - Bogor Agricultural University) Kampus IPB Darmaga, Bogor. E-mail : [email protected]

Page 12: Ultra-Struktur Kayu Tekan Damar (Agathis loranthifolia Salisb.)

12 J. Tropical Wood Science and Technology Vol.5 • No. 1 • 2007

Chemical Compositions of Hydrocolloids Produced from Nutlets of Salvias

Rike Yudianti, Lucia Indrarti, Myrtha Karina,

Masahiro Sakamoto and Jun-ichi Azuma

Abstract

Hydrocolloids of three species of Salvias (S. miltiorrhiza, S. sclarea and S. viridis) was analyzed their chemical compositions after isolation of hydrocolloids from seed coats. Isolation was conducted after expanding out completely in water. Hydrocolloids produced from S. miltiorrhiza, S. sclarea and S. viridis have cellulose contents about 18.6%, 25.3% and 35.4% and hemicelluloses contents about 80%, 73.4% and 62%, respectively. Native hydrocolloids produced from S. sclarea and S. viridis were rich in glucose about 48.6% and 55.4%, respectively, while the other one, S. miltiorrhiza, was rich in xylose, about 85.1%. Distribution of these polysaccharides in S. miltiorrhiza, S. sclarea and S. viridis were 86.5%, 71.0% and 63.2% (acidic polysaccharides) and 13.8%, 29.0% and 36.5% (neutral polysaccharide), respectively. Acidic polysaccharides of hydrocolloids produced from three species of Salvias contain high amount of xylose (88.8 ~ 91.9%). Neutral sugar compositions in neutral polysaccharides of hydrocolloids produced from three species of Salvias, however, were rich in glucose (25.7 ~ 37.5%) and galactose (31.3 ~ 60.4%), the ratio being changed depending on species. Acidic sugar in the acidic polysaccharides from three Salvia spp. was identified as glucuronic acid by High Performance Anion Exchange Chromatography (HPAEC). Glucuronic acid contents in the acidic fractions of S. miltiorrhiza, S. sclarea, S. viridis were estimated about 25%, 22% and 27%, respectively. These results elucidate that hydrocolloids have amorphous structure containing branch glucuronic acid in acidic polysaccharides structure. The present of glucuronic acid is predicted attach to xylan. Key words: Salvia, hydrocolloids, acidic polysaccharides, neutral polysaccharides, glucuronic acid

Introduction

Cellulose is by far the basic structural component of

plant cell walls as the most abundant organic substance found in nature. Cellulose makes up more than half of all living matter and extremely important to human uses as clothes (cottons, linen and rayon); paper products; cosmetic and food products (anticake agent, emulsifier, stabilizer, dispersing agent, thickener). Bacterial cellulose (Nata de coco) constitutes a cellulose resource gellouse-like produced by Acetobacter xylinum. Bacterial cellulose is consumed as a sweet dessert in Asian countries. In addition, high mechanical strength and crystallinity of the bacterial cellulose is responsible for its use as acoustic diaphragms and electronic paper (Shah and Brown 2005).

Traditionally, cellulose is harvested from plant resources as most important renewable natural resources on earth. One of the most important features of bacterial cellulose is its chemical purity which distinguishes this cellulose from plant cellulose usually embedded with hemicelluloses and lignin, removal of which is inherently difficult. Recently, cellulose is found to be present in hydrocolloids as seed mucilages of several kinds of plants, Basils (Ocimum spp.) and Mistletoe (Viscum album L.) (Azuma et al. 2000a; Azuma et al. 2000b; Azuma and Sakamoto 2003; Indrarti et al 2004) in addition to White mustard (Brassica alba),

Cress (Lepidium sativam) and Quince (Cydonia) (Smith and Montgomery 1959). One of other cellulose resource is Salvia spp. as one of genera in Lamiaceae family found wild in South America, Southern Europe, Northern Africa and Asia which is utilized for medical, ornamental and qulinary qualities. Lamiaceae is one of a few families with various aromatic plants that provide some of essential ingredient of life in enhancing the desirable flavor, aroma of food and drink and utilizing as a folk medicine.

In a previous study, we reported pericarp structure of nutlets from more than 30 species of Salvias as well as relationship between their hydrocolloid contents and epicarp layer as origin of hydrocolloids (Yudianti et.al. 2005). Structural analysis of hydrocolloids produced from 11 species of Salvias was also reported including order and disorder structure by X-ray diffraction and Iα cellulose fraction of hydrocolloids by FT-IR spectra. In this report, we conducted chemical analysis of Hydrocolloids produced from three species of Salvias (S. miltiorrhiza, S. sclarea and S. viridis) about cellulosic and hemicellulosic polysaccharides of hydrocolloids and neutral sugar composition present in neutral and acidic polysaccharides analyzed by High Performance Anion Exchange Chromatography (HPAEC). Acidic polysaccharides importantly affecting hydrocolloids formation were isolated by Anion Exchange Chromatography.

Page 13: Ultra-Struktur Kayu Tekan Damar (Agathis loranthifolia Salisb.)

Chemical Compositions of Hydrocolloids Produced from Nutlets of Salvias 13 (Rike Yudianti, Lucia Indrarti, Myrtha Karina, Masahiro Sakamoto and Jun-ichi Azuma)

Materials and Methods

Nutlets of three species of Salvias (S. miltiorrhiza, S. sclarea and S. viridis) used as hydrocolloids source were purchased from Richters Co., Ontario, Canada. Hydrocolloids were isolated from seed coat of Salvias nutlets after expanding out completely in water and freeze dried. Cellulose and hemicelluloses present in hydrocolloids were separated by extraction with 17.5% sodium hydroxide and 3% boric acid. Hemicelluloses were recovered by ethanol precipitation after neutralization of the extracted solution by acetic acid, dialysis against water and concentration to a small volume.

Hemicellulosic polysaccharides were separated into acidic and neutral polysaccharides by Anion Exchange Chromatography on a diethylaminoethyl (DEAE) column. Fractions were collected by fraction collector and analyzed by absorbances measurement at 280 nm for UV-absorbing materials and 490 nm for neutral sugars after developing colors. Adsorbed fractions were recovered by a linear gradient elution of NaCl to 1 M in 5 mM sodium phosphate buffer, pH 6.8. Fractionated polysaccharides were dialyzed against water and precipitated in 3 volumes of ethanol.

Neutral sugar compositions of polysaccharides of hydrocolloids produced from these Salvias were analyzed by High Performance Anion Exchange Chromatography (HPAEC) (Dionex DX-500) equipped with ED 40 electrochemical detector in a pulsed amperometric detector mode on a column of Carbopac PA 1 (4.0 mm x 25.0 cm). Polysaccharides were hydrolyzed with 1 N sulfuric acid for 6 hours at 100oC. The chromatograms were analysed by Dionex Peaknet Data Station.

Identification of acidic sugar present in hydrocolloids from these Salvias was analyzed by HPAEC (Dionex DX-500) after methyl esterification and reduction by sodium borohydride (NaBH4). The acidic sugar content present in hemicellulosic polysaccharides were analysed by measurement of UV absorbance at 525 nm after developing color by treatment with m-hydroxydiphenyl 0.15% (w/v) in 0.5% (w/v) NaOH.

Results and Discussion

Chemical analysis was conducted to hydrocolloids

produced from nutlets of three species of Salvias, S. miltiorrhiza, S. sclarea and S. viridis. These Salvias were used as hydrocolloids source because of high production of hydrocolloids, contents being about 10.1%, 8.7% and 16.4%, respectively. Numerical values of cellulose and hemicelluloses contents are given in Table 1. Obtained cellulose and hemicelluloses contents of hydrocolloids produced from these Salvias were about 18.6 ~ 35.4% (cellulose content) and about 62 ~ 80% (hemicelluloses

content). Of the results pointed out that S. viridis has the lowest hemicelluloses content (62%) and the highest cellulose content (35.4%), while S. miltiorrhiza has the highest hemicelluloses content (80%) and the lowest cellulose content (18.6%). Meanwhile, crystallinity index of the cellulose in the hydrocolloids from nutlets of these Salvias were 8% (S. miltiorrhiza), 23% (S. sclarea) and 41% (S. viridis). S. viridis had the highest crystallinity index (41%) and S. miltiorrhiza has the lowest crystallinity index (8%).

0

0.5

1

1.5

2

2.5

3

3.5

0 10 20 30 40 50

Fraction Number

Abs

orba

nce,

A

a. S. miltiorrhiza

0

0.5

1

1.5

2

2.5

3

3.5

0 10 20 30 40 50

Fraction Number

Abso

rban

ce,A

b. S. Sclarea

0

0.5

1

1.5

2

2.5

3

3.5

0 10 20 30 40 50

Fract ion Number

Abso

rban

ce, A

c. S. viridis

Figure 1. Elution profiles of hemicellulosic poly-

saccharides from three species of Salvias (a. S. miltiorrhiza, b. S. sclarea, and c. S. viridis) by Anion Exchange Chromatography.

Fraction II

Fraction I

Page 14: Ultra-Struktur Kayu Tekan Damar (Agathis loranthifolia Salisb.)

14 J. Tropical Wood Science and Technology Vol.5 • No. 1 • 2007

Table 1. Content of cellulose and hemicelluloses and weight fractions of polysaccharides in hydrocolloids of three species of Salvias.

No. Salvia spp. Cellulose and Hemicelluloses Contents

(w/w %) Weight Fraction of Polysaccharides

(%) Cellulose Hemicelluloses Acidic Neutral 1. S. miltiorrhiza 18.6 80.6 86.5 13.75 2. S. sclarea 25.3 73.4 71.6 29.7 3. S. viridis 35.4 62.3 63.2 36.5

Table 2. Neutral sugar compositions of hemicellulosic, neutral and acidic polysaccharides of three species of Salvias

No. Salvia spp. Polysaccharide Relative Neutral Sugar Composition (%) Arabinose Rhamnose Galactose Glucose Xylose Mannose Hemicellulosic 7.5 4.0 10.9 11.1 66.4 0.0

1. S. miltiorrhiza Acidic 3.0 4.5 1.8 1.8 88.8 0.0 Neutral 16.7 0 31.3 33.5 16.2 2.3 Hemicellulosic 0.6 2.1 27.6 16.0 53.6 0.0

2. S. sclarea Acidic 0.9 4.1 3.7 1.7 89.2 0.3 Neutral 3.3 0.9 44.7 25.7 25.3 0.1 Hemicellulosic 0.4 0.2 42.1 28.7 28.5 0.1

3. S. viridis Acidic 0.4 1.0 3.2 3.4 91.9 0.1 Neutral 0.5 0.3 60.4 37.5 0.5 0.8

When cellulose and hemicelluloses contents and

crystallinity index of hydrocolloids were compared, a conclusion is proportion of cellulose in hydrocolloids seem to be a determinat on crystalline structure of hydrocolloids. Hemicelluloses have no crystalline structure. Hemicelluloses interference might be affecting the crystalline structure of hydrocolloids.

Collection of fractions by a fraction collector gave elution profiles as shown in Figure 1. Fractions corresponding to two peaks were pooled, separately, as Fraction I (neutral polysaccharide) and Fraction II (acidic polysaccharide). Fraction I and Fraction II as neutral and acidic polysaccharides respectively were dialyzed against distillated water and precipitated by 3 vol. of ethanol. Obtained weight fractions data of acidic and neutral polysaccharides are given in Table 1. Entirely, every polysaccharide in hydrocolloids produced from three species of Salvias was greatly dominated by acidic polysaccharide. Acidic polysaccharide is predicted as an important portion which has high response to water as polar and hydrophilic part in the hydrocolloid materials. Proportion of acidic polysaccharides in S. miltiorrhiza, S. sclarea and S. viridis are 86.5%, 71% and 63.2%, respectively; while the values for neutral polysaccharides in S. miltiorrhiza, S. sclarea and S. viridis are 13.75%, 29% and 36.5%, respectively. The compositions of neutral sugar in acidic, neutral and hemicellulosic polysaccharides were shown in Table 2. The hemicellulosic polysaccharides of S. miltiorrhiza and S. sclarea were rich in xylose, 66.4% and 53.6% respectively, while S. viridis has high galactose content

(42%). Acidic polysaccharides in S. miltiorrhiza, S. sclarea and S. viridis have high xylose content, 88.8%, 89.2% and 91.9%, respectively. Meanwhile, neutral polysaccharides in S. miltiorrhiza, S. sclarea and S. viridis are rich in galactose (31.3 ~ 60.4%) and glucose (25.7 ~ 37.5%). Based on these results, acidic polysaccharides of these Salvias are concluded to be rich in xylan while neutral polysaccharides are rich in galactan. Low mannose content in all polysaccharides of these Salvias constitute inhibiting factor in glucomannan formation. Therefore, the origin of glucose in the neutral polysaccharide fraction, presumed from starch because of low glucomannan content in hemicelluloses structure of Salvias.

Identification of acidic sugars present in the hydrocolloids from three species of Salvias was given in Table 3. Comparison of the data between native and reduced acidic polysaccharides indicates that glucose content is greatly increased from 3.2 ~ 6.9% to 26.9 ~ 32.6% after reduction. In addition, the values of another sugar composition (arabinose, rhamnose, galactose, xylose, and mannose) are relatively unchanged. This indicates that acidic sugar present in hemicellulosic polysaccharides of hydrocolloids from these Salvias is identified as glucuronic acid, estimated about 22 ~ 27%. Neutral and acidic sugar (glucuronic acid) contents in the acidic, neutral and hemicellulosic polysaccharides pointed out in Table 4. Acidic, neutral and hemicellulosic polysaccharides contained neutral sugar of about 34.9 ~ 49.6%, 87.2 ~ 94.2 % and 70.5 ~ 73.2 %, respectively. Meanwhile, glucuronic acid contents in acidic, neutral

Page 15: Ultra-Struktur Kayu Tekan Damar (Agathis loranthifolia Salisb.)

Chemical Compositions of Hydrocolloids Produced from Nutlets of Salvias 15 (Rike Yudianti, Lucia Indrarti, Myrtha Karina, Masahiro Sakamoto and Jun-ichi Azuma)

Table 3. Neutral sugar compositions of native acidic and reduced acidic polysaccharides of three species of Salvias.

No.

Salvia spp.

Acidic Polysaccharide

Relative Neutral Sugar Composition (%)

Arabinose Rhamnose Galactose Glucose Xylose Mannose 1. S. miltiorrhiza Native 3.4 8.3 3.2 3.2 81.9 0 Reduced 0.9 4.1 5.6 27.8 61.5 0.1 2. S. sclarea Native 2.5 9.1 10.1 5.9 72.5 0 Reduced 0.3 3.9 6.5 26.9 62.4 0 3. S. viridis Native 0 8.9 6.8 6.9 77.4 0 Reduced 0 1.7 3.6 32.6 62.0 0

Table 4. Neutral and acidic sugar contents in polysaccharides of Salvia spp.

and hemicellulosic polysaccharides of Salvias were about 46.7 ~ 51.9%, 3.3 ~ 9.6% and 28.2 ~ 34.4%, respectively. This indicates that hemicellulosic polysaccharides of hydrocolloids produced from these Salvias have a proportion of about 70 ~ 75% as neutral sugar and 28 ~ 35% as acidic sugar (glucuronic acid). Acidic polysaccharides have a proportion of about 35 ~ 50% as neutral sugar and 45 ~ 50% as acidic sugar, while neutral polysaccharides have a proportion of 85 ~ 90% as neutral sugar and 3 ~ 10% as acidic sugar.

Conclusions

1. High hemicelluloses contents of hydrocolloids induce low crystalline (8 ~ 41%) on hydrocolloids structure supporting structure in easily water absorption

2. Hemicellulosic polysaccharides produced from Salvias contain 70 ~ 75 % neutral polysaccharides and 28.2 ~ 34.4% acidic polysaccharides.

3. Acidic sugar of Salvias is identified as glucuronic acid.

4. Acidic Polysaccharides are rich in xylan as main chain connecting to branch glucuronic acid.

References

Azuma, J.; M. Sakamoto; H. Takeda; R. Yudianti; L. Indrarti. 2000a. Proceedings of the Second International Workshop on Green Polymers, 242-250.

Azuma, J.; N.H. Kim; L. Heux; R. Vuong; H. Chanzy. 2000b. Cellulose, 7, 3-19.

Azuma, J. and M. Sakamoto, M. 2003. Cellulosic Hydrocolloid System Present in Seed of Plants. Trends in Glycoscience and Glycotechnology, 81, 1-14.

Indrarti, L.; J. Azuma; M. Sakamoto; R. Yudianti. 2004. Characterization and Properties of Cellulosic Hydrogel from Various Kinds of Basil Plants in Indonesia. Proceeding of the 5th International Wood Science Symposium, Kyoto-Japan, 193-198.

Shah, J. and M.R. Brown. 2005. Towards Electronic Paper Displays Made from Microbial Cellulose. Applied Microbiology Biotechnology, 66, 352-355.

Smith, F. and R. Montgomery. 1959. The Chemistry of Plant Gums and Mucilages, Reinhold, New York.

Yudianti, R.; L. Indrarti; M. Sakamoto; J. Azuma 2005. Cellulose-hemicelluloses Present in Hydrocolloids from Salvia spp. Proceedings of the 5th International Wood Science Symposium, Kyoto-Japan, 199-204.

No. Salvia spp. Polysaccharide Neutral – Acidic Sugar Content (%) Neutral Acidic

Hemicellulosic 70.5 28.2 1. S. miltiorrhiza Acidic 49.6 50.9 Neutral 87.2 9.6 Hemicellulosic 75.3 29.2

2. S. sclarea Acidic 47.6 46.7 Neutral 92.7 3.3 Hemicellulosic 73.2 34.4

3. S. viridis Acidic 34.9 51.9 Neutral 94.2 5.5

Page 16: Ultra-Struktur Kayu Tekan Damar (Agathis loranthifolia Salisb.)

16 J. Tropical Wood Science and Technology Vol.5 • No. 1 • 2007

Received : 15 Desember 2006 Accepted : 11 Januari 2007 Final revision : 01 Mei 2007 Diterima (accepted) tanggal 11 Januari 2007 Rike Yudianti; Lucia Indrarti; Myrtha Karina Research Centre for Physics, Indonesian Institute of Sciences (LIPI) Jalan Cisitu No. 21/154D Bandung Telp. : 022 2503052 Fax. : 022 2503050 Email : [email protected]

Jun-ichi Azuma, Masahiro Sakamoto Laboratory of Forest Biochemistry, Division of Enviromental Science Graduate School of Agriculture, Kyoto University Sakyo-ku, Kyoto 606-8502 Telp. : 81 75 753 6463 Fax. : 81 75 753 6471 Email : [email protected]

Page 17: Ultra-Struktur Kayu Tekan Damar (Agathis loranthifolia Salisb.)

Influence of Temperature and Pressing Time on Particleboard Processing from Palm Oil 17 Trunk (Elaeis guineensis Jacq.) and Gambir (Uncaria gambir Roxb.) Adhesive on Particleboard Properties (Anwar Kasim, Yumarni and Ahmad Fuadi)

Pengaruh Suhu dan Lama Pengempaan pada Pembuatan Papan Partikel dari Batang Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) dengan Perekat Gambir

(Uncaria gambir Roxb.) terhadap Sifat Papan Partikel Influence of Temperature and Pressing Time on Particleboard Processing from Palm Oil Trunk (Elaeis guineensis Jacq.) and Gambir (Uncaria gambir Roxb.) Adhesive on

Particleboard Properties

Anwar Kasim, Yumarni dan Ahmad Fuadi .

Abstract

Studi on the utilization of Palm oil trunk for particleboard with Gambir as adhesive was conducted in order to know the influence of temperature and pressing time to particleboard properties. Experiments were analyzed by factorial with completely randomized design in 4 temperatures (140ºC, 145ºC, 150ºC and 155ºC) and 4 pressing times (10 min., 12.5 min., 15 min., and 17.5 min.). Particleboard was tested for density, moisture content, water absorption, modulus of rupture, compression strength parallel to the surface and internal bond. Result showed that temperature and pressing time and their interaction have significant influenced to the moisture content while pressing temperature have influenced to the density and modulus of rupture of the particleboard. On the other hand, temperature and pressing time have not significant influenced to water absorption, compression strength parallel to the surface and internal bond. The entire particleboard properties were met Indonesian Standard except water absorption which relatively higher. Optimal condition was attained by combination of pressing temperature of 150ºC and pressing time of 15 min., where the density was 0.77g/cm3, moisture content was 7.60%, water absorption was 56.98%, modulus of rupture was 147 kg/cm2, compression strength to the surface was 68.85kg/cm2 and internal bond was 8.26 kg/cm2. Key words: Elaeis guineensis Jacq., trunk, Uncaria gambir Roxb., adhesive, particleboard.

Pendahuluan

Kelapa Sawit dapat berproduksi secara ekonomis sampai berumur 30 tahun. Setelah itu tanaman harus diremajakan dengan cara ditebang dan menggantikannya dengan tanaman yang baru. Saat ini telah mulai banyak peremajaan Kelapa Sawit yang dilakukan oleh perkebunan. Namun sayangnya pemanfaatan batang Kelapa Sawit tersebut belum maksimal dimana sebagian besar dibakar pada areal perkebunan atau dibiarkan begitu saja.

Salah satu peluang pemanfaatan batang Kelapa Sawit adalah sebagai bahan baku papan partikel pengganti kayu. Dimana papan partikel dapat dibuat dari kayu atau bahan bukan kayu yang mengandung lignin dan selulosa serta ukuran partikelnya dapat dibuat sesuai dengan persyaratan yang diminta. Misalnya menurut Haygreen dan Bowyer (1982) ukuran ideal partikel untuk papan partikel adalah 0.5 ~ 1 inci dan tebal 0.010 ~ 0.015 inci.

Perekat yang dapat digunakan untuk papan partikel adalah perekat buatan dan perekat alami. Contoh perekat buatan yang dapat digunakan antara lain urea formaldehida, fenol formaldehida, melamin formaldehida dan isosianat (Haygreen dan Bowyer 1982). Penggunaan perekat alami akhir-akhir ini mulai jadi perhatian karena selain dapat diperbarui juga tidak

tergantung pada harga minyak bumi. Penggunaan polifenol alami sebagai perekat di industri telah berlangsung sejak lama antara lain di Afrika Selatan dan Finlandia (Dix dan Marutzky 1982). Sumber polifenol alami di Sumatera Barat yang dapat dijadikan bahan baku perekat adalah Gambir (Kasim 2002).

Faktor yang mempengaruhi perekatan yaitu bahan yang direkat, perekat dan kondisi perekatan. Bahan yang direkat, seperti kayu, akan mempengaruhi perekatan dari segi anatomi, berat jenis, zat ekstraktif, kadar air dan keadaan permukaan. Sedangkan macam perekat, keadaan perekat, komposisi perekat, berat labur dan masa tunggu akan mempengaruhi perekatan. Pada pengempaan bahan yang akan direkat maka suhu, lamanya pengempaan dan besarnya tekanan yang diberikan akan mempengaruhi perekatan(Sutigno 1988).

Pada penelitian pemanfaatan serat dari tandan kosong Kelapa Sawit sebelumnya telah menggunakan Gambir sebagai bahan baku perekat (Kasim 2004). Hasil sementara menyimpulkan bahwa Gambir dapat digunakan sebagai bahan baku perekat untuk papan partikel dari serat tandan kosong Kelapa Sawit.

Pada penelitian ini dicoba kecocokan partikel batang Kelapa Sawit dengan perekat berbahan baku Gambir untuk menghasilkan papan partikel. Selain untuk melihat kecocokan terutama juga untuk melihat pengaruh suhu dan lamanya pengempaan papan

Page 18: Ultra-Struktur Kayu Tekan Damar (Agathis loranthifolia Salisb.)

18 J. Tropical Wood Science and Technology Vol.5 • No. 1 • 2007

partikel dari batang Kelapa Sawit terhadap sifat papan yang dihasilkan.

Bahan dan Metode

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di laboratorium Fakultas Kehutanan Universitas Muhammadiyah Sumbar dan laboratorium Politeknik Negeri Padang pada bulan Mei sampai Juli 2006.

Bahan dan Alat Penelitian

Batang Kelapa Sawit berasal dari PT.Mutiara Agam. Bahan baku perekat yaitu Gambir mutu Super, akuades, Natrium Hidroksida, dan hardener. Alat yang digunakan yaitu alat pembuat partikel, peralatan pembuatan perekat (beker glas, pengaduk dan pH-meter), peralatan pembuatan papan partikel (pengaduk, cetakan dan alat kempa), dan alat pengujian sifat papan partikel (jangka sorong, timbangan, oven dan Universal Testing Machine).

Metode Penelitian

Rancangan penelitiannya adalah rancangan acak lengkap dengan 2 faktor yaitu suhu dan lamanya pengempaan. Level suhu pengempaan yaitu A1 = 140ºC, A2 = 145ºC, A3 = 150ºC dan A4 = 155ºC. Lamanya pengempaan dengan 4 level yaitu: B1 = 10 menit, B2 = 12.5 menit, B3 = 15 menit dan B4 = 17.5 menit. Tiap kombinasi perlakuan dibuat 3 ulangan. Bila pada analisis sidik ragam terdapat pengaruh yang nyata dan sangat nyata maka dilakukan uji lanjutan menurut Duncan News Multiple Range Test pada taraf nyata 5%. Pelaksanaan Penelitian Penyediaan Partikel: Batang kelapaSawit yang digunakan diambil dari PT.Mutiara Agam Propinsi Sumatera Barat berumur kira-kira 20 tahun sebanyak 3 batang lalu dikupas kulitnya. Selanjutnya diketam untuk mendapatkan partikel dan dihaluskan, kemudian partikel diayak untuk mendapatkan partikel yang lolos ayakan 4 mesh dan tertahan ayakan 8 mesh. Kadar air partikel 8% melalui pengeringan.

Persiapan Perekat Gambir: Gambir yang digunakan untuk pembuatan perekat adalah Gambir kelas mutu super. Sebelum digunakan maka Gambir terlebih dahulu dihaluskan dan ditentukan kadar airnya. Proses pembuatan perekat Gambir dimulai dengan membuat larutan Gambir 45 gram untuk 100 ml air dan diatur pH nya menjadi 8. Ke dalam larutan ditambahkan paraformaldehida 10% dan perekat siap digunakan.

Pembuatan Papan Partikel: Papan partikel penelitian dibuat berukuran 30 cm x 30 cm x 1 cm dengan target kerapatan 0.7 g/cm3. Jumlah partikel yang digunakan

untuk tiap lembar papan yaitu 630g berat kering oven dengan jumlah perekat 16%. Perekat Gambir disemprotkan pada partikel dan diaduk sampai homogen. Kemudian dibuat papan dengan menggunakan cetakan. Papan dikeluarkan dari cetakan, dilanjutkan dengan pengempaan dingin selama 10 menit dan pengempaan panas sesuai perlakuan. Selesai pengempaan dilanjutkan dengan pengkondisian dan diakhiri dengan pengujian sifat papan.

Pengujian Sifat Papan Partikel: Sifat yang diamati yaitu sifat fisis dan sifat mekanis seperti kerapatan (density), kadar air (moisture content), penyerapan air (water absorption), keteguhan patah (MOR), keteguhan rekat internal (internal bond) dan keteguhan tekan sejajar permukaan (compression strength parallel to the surface). Cara pengamatan dilakukan berpedoman kepada Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-2105-1996 kecuali untuk pengamatan sifat keteguhan tekan sejajar permukaan.

Sampel untuk keteguhan tekan sejajar sejajar permukaan adalah 5 cm x 5 cm x t cm (tebal papan). Posisi sampel adalah berdiri dengan luas bidang kempa 5 cm x t cm. Beban diberikan pada bidang kempa sampai sampel pecah/rusak. Keteguhan tekan sejajar permukaan (KT) dihitung dengan rumus:

KT= P/A

dimana: P = beban sampai pecah/rusak A = luas bidang kempa.

Hasil dan Pembahasan

Sifat-sifat Fisis Papan Partikel Pengamatan sifat fisis dilakukan terhadap

kerapatan, kadar air dan daya serap air. Target kerapatan adalah 0.7 g/cm3. dari pengamatan didapatkan angka kerapatan papan paetikel berkisar antara 0.60 ~ 0.77 g/cm3.. Nilai tersebut berada pada kisaran yang ditentukan oleh SNI 03-2105-1996. Dari analisis sidik ragam ternyata hanya suhu pengempaan yang berpengaruh nyata terhadap nilai kerapatan papan. Hasil lengkap disajikan pada Gambar 1.

Kadar air rata-rata papan partikel dari batang Kelapa Sawit berperekat Gambir berkisar antara 6.97 ~ 12.81%. Kadar air papan partikel yang diperoleh telah memenuhi SNI, yang mensyaratkan kadar air maksimal 14%. Kadar air papan partikel secara lengkap ditampilkan pada Gambar 2.

Page 19: Ultra-Struktur Kayu Tekan Damar (Agathis loranthifolia Salisb.)

Influence of Temperature and Pressing Time on Particleboard Processing from Palm Oil 19 Trunk (Elaeis guineensis Jacq.) and Gambir (Uncaria gambir Roxb.) Adhesive on Particleboard Properties (Anwar Kasim, Yumarni and Ahmad Fuadi)

Press. period

0.5

0.55

0.6

0.65

0.7

0.75

0.8

140 145 150 155

Pressing Temperature (0C)

Dens

ity (g

/cm

3)

10 Minutes12.5 Minutes15 Minutes17.5 Minutes

Figure 1: Density of the particleboard

Press. period

6789

1011121314

140 145 150 155

Pressing Temperature (C)

MC

(%) 10 Minutes

12.5 Minutes15 Minutes17.5 Minutes

Figure 2: Moisture content (MC) of the particleboard

Dari analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan lama dan suhu pengempaan serta interaksi keduanya menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap kadar air papan partikel dari batang Kelapa Sawit. Kecenderungan penurunan kadar air papan partikel apabila semakin lama pengempaan dan semakin tinggi suhu pengempaan yang diberikan. Hal itu terlihat dengan kadar air papan partikel terendah (6.97%) pada lama pengempaan 17.5 menit dan suhu 155ºC sedangkan bila pengempaan dilakukan 10 menit dan suhu 140ºC diperoleh papan partikel dengan kadar air 12.33%.

Daya serap air papan partikel hasil penelitian yang didapat berkisar antara 56.98 ~ 72.63%. Nilai demikian belum memenuhi SNI dimana batas maksimum daya serap air adalah 35%. Hal ini disebabkan oleh sifat morfologi serat batang Kelapa Sawit yang berbeda dengan serat kayu dimana kemungkinan memiliki daya serap air yang lebih tinggi dibanding serat kayu. Data daya serap air papan partikel ditampilkan secara lengkap dalam bentuk gambar yaitu Gambar 3.

Press. period

3035404550556065707580

140 145 150 155

Pressing Temperature (C)

WA

(%) 10 Minutes

12.5 Minutes15 Minutes17.5 Minutes

Figure 3: Water absorption (WA) of the particleboard

Dari analisis sidik ragamnya didapat bahwa

perlakuan suhu dan lama pengempaan papan partikel serta interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap daya serap air papan partikel. Sifat-sifat Mekanis Papan Partikel.

Nilai keteguhan patah (MOR) papan partikel dari batang Kelapa Sawit berkisar antara 108.72 ~ 149.75 kg/cm2 dimana bila dibandingkan dengan SNI maka nilai yang diperoleh seluruhnya telah memenuhi standar. Persyaratan minimal yaitu 80 kg/cm2. Secara lengkap nilai MOR papan partikel ditampilkan pada Gambar 4.

Press. period

8090

100110120130140150160

140 145 150 155

Pressing Temperature (C)

MO

R (k

g/cm

2) 10 minutes12.5 Minutes15 Minutes17.5 Minutes

Figure 4: Modulus of rupture (MOR) of the particleboard

Dari analisis sidik ragam menunjukkan bahwa

perlakuan suhu pengempaan papan partikel menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap MOR sedangkan lama pengempaan dan interaksi antara suhu dan lama pengempaan tidak memperlihatkan pengaruh yang nyata. Semakin tinggi suhu pengempaan terlihat kecenderungan semakin tinggi nilai MOR papan partikel sampai mencapai nilai maksimum pada suhu pengempaan 150ºC dan kemudian berangsur turun lagi.

Page 20: Ultra-Struktur Kayu Tekan Damar (Agathis loranthifolia Salisb.)

20 J. Tropical Wood Science and Technology Vol.5 • No. 1 • 2007

Keteguhan tekan sejajar permukaan papan partikel tidak dipersyaratkan oleh SNI namun pada penelitian ini sifat tersebut diuji dengan alasan nilai ini mungkin diperlukan bila penggunaan papan partikel sebagai tonggak seperti pada meja komputer yang terbuat dari papan partikel. Nilai hasil pengamatan ditampilkan pada Gambar 5.

Press. period

40

45

50

55

60

65

70

75

140 145 150 155

Pressing Temperature (C)

CS

(kg/

cm2) 10 Minutes

12.5 Minutes15 Minutes17.5 Minutes

Figure 5. Compression strength (CS) parallel to the

surface of the particleboard.

Nilai yang diperoleh berkisar antara 46.45 ~ 68.85 kg/cm2. Dari analisis sidik ragam terhadap nilai-nilai keteguhan tekan sejajar permukaan papan partikel ternyata bahwa suhu pengempaan, lamanya waktu

pengempaan dan interaksi keduanya tidak memperlihatkan pengaruh yang nyata.

Press. period

6.66.8

77.27.47.67.8

88.28.4

140 145 150 155

Pressing Temperature (C)

IB (k

g/cm

2) 10 Minutes12.5 Minutes15 Minutes17.5 Minutes

Figure 6: Internal bond (IB) of the particleboard.

Nilai keteguhan rekat internal (internal bond) papan

partikel batang Kelapa Sawit dengan perekat Gambir berkisar antara 7.19 ~ 8.26 kg/cm2. Nilai-nilai tersebut telah memenuhi SNI yang mensyaratkan minimal 6 kg/cm2. Gambar 6 memperlihatkan nilai keteguhan rekat internal papan partikel batang Kelapa Sawit hasil penelitian. Dari analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan dan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap keteguhan rekat internal papan partikel batang Kelapa Sawit.

Table 1. Properties of the particleboard from Palm Oil Trunk and Gambir adhesive.

Treatments Particleboard Properties Pressing

Time (min) Temp. (ºC) Density

(g/cm3) MC (%)

WA (%)

MOR (kg/cm2)

CS (kg/cm2)

IB (kg/cm2)

10 140 0.67 12.33 68.27 108.72 49.43 7.32 145 0.63 12.16 68.41 119.21 52.43 7.34 150 0.60 12.62 68.49 130.41 49.68 7.53 155 0.63 12.62 61.43 123.73 56.26 7.19

12.5 140 0.63 12.81 66.95 121.86 47.53 7.49 145 0.75 12.51 72.63 129.48 48.02 7.86 150 0.71 12.59 65.56 133.43 49.85 8.14 155 0.67 12.79 76.39 149.25 55.36 8.07

15 140 0.72 11.79 64.10 138.83 53.09 7.96 145 0.73 12.11 65.74 140.57 50.35 7.99 150 0.77 7.60 56.98 149.75 68.85 8.26 155 0.72 9.19 71.09 138.69 52.26 7.31

17.5 140 0.68 10.51 72.15 147.24 46.45 7.96 145 0.72 10.61 65.74 132.11 50.35 7.99 150 0.72 8.70 60.13 139.49 49.61 7.47 155 0.71 6.97 63.69 115.92 52.27 7.59

Averages 0.69 11.12 66.73 132.42 51.99 7.72 SNI 0.50~0.90 <14 <35 >80 - >6

Page 21: Ultra-Struktur Kayu Tekan Damar (Agathis loranthifolia Salisb.)

Influence of Temperature and Pressing Time on Particleboard Processing from Palm Oil 21 Trunk (Elaeis guineensis Jacq.) and Gambir (Uncaria gambir Roxb.) Adhesive on Particleboard Properties (Anwar Kasim, Yumarni and Ahmad Fuadi)

Rekapitulasi Sifat Papan Partikel Hasil Penelitian. Pada Tabel 1 ditampilkan secara keseluruhan sifat-

sifat papan partikel dari batang Kelapa Sawit dengan menggunakan perekat Gambir, angka rata-ratanya dan dari tinjauan SNI 03-2105-1996.

Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan

Dari hasil penelitian pengaruh lama dan suhu pengempaan pada pembuatan papan partikel dari batang Kelapa Sawit dengan perekat Gambir dapat disimpulkan: 1. Partikel batang Kelapa Sawit dengan perekat

berbahan baku Gambir dapat dijadikan papan partikel.

2. Perbedaan lama dan suhu pengempaan serta interaksi keduanya berpengaruh nyata terhadap kadar air papan pertikel sementara suhu pengempaan menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap kerapatan dan keteguhan patah. Daya serap air, keteguhan tekan sejajar permukaan dan keteguhan rekat internal tidak dipengaruhi secara nyata oleh perbedaan lama dan suhu pengempaan pada pembuatan papan partikel.

3. Waktu dan suhu pengempaan yang optimal adalah 15 menit dan 150ºC untuk sifat-sifat yang baik bagi papan partikel dari batang Kelapa Sawit dimana sifat papan partikel yang dihasilkan adalah kerapatan 0.77 g/cm3, kadar air 7.60 g/cm3, daya serap air 56.98%, keteguhan patah 147.75 kg/cm2, keteguhan tekan sejajar permukaan 68.85 kg/cm2

dan keteguhan rekat intenal 8.28 kg/cm2. 4. Dari angka pengamatan sifat fisis dan mekanis

papan partikel terlihat bahwa kerapatan, kadar air, keteguhan patah dan keteguhan rekat internal telah

memenuhi standar SNI 03-2105-1996 sedangkan sifat penyerapan air tidak memenuhi standar tersebut.

Saran

Sebagai saran dari hasil penelitian ini yaitu pada pembuatan papan partikel dari batang Kelapa Sawit dengan perekat Gambir agar menggunakan suhu pengempaan 150ºC dengan lama pengempaan 15 menit untuk ketebalan papan 1 cm. Untuk menurunkan daya serap air papan partikel dari batang Kelapa Sawit berperekat Gambir disarankan untuk menambahkan parafin dalam komponen perekat.

Daftar Pustaka

Dix, B.; R. Marutzky. 1982. Moglichkeiten der

Verleimung von Holz mit Klebstoffen auf der Basis von naturlichen Polyphenolen. Adhesion 12: 4-10.

Haygreen, J.G.; J.L. Bowyer. 1982. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu. Suatu Pengantar. Terjemahan S.A.. Hadikusumo. Gadjah Mada University Press. pp 528-580.

Kasim, A. 2002. Proses Gambir Sebagai Bahan Baku Perekat. Paten Nomor Pendaftaran P 00200200856.

Kasim, A. 2004. Optimasi Pembuatan Papan Partikel Memanfaatkan Serat Tandan Kosong Sawit dan Polifenol dari Gambir. Laporan Penelitian Hibah Bersaing XI Tidak Dipublikasikan.

SNI 03-2105-1996. Papan Partikel Datar. Standar Nasional Indonesia. Dewan Standardisasi Nasional.

Sutigno, P. 1988. Perekat dan Perekatan. Puslitbanghut. Depertemen Kehutanan. Bogor.

Makalah masuk (received) : 26 Desember 2006 Diterima (accepted) : 19 Januari 2007 Revisi terakhir (final revision) : 25 April 2007 Anwar Kasim Faculty of Agriculture, Andalas University Kampus Limau Manih, Padang 25163 Tel. : 0751-72702 Fax. : 0751-72701 E-mail : [email protected] Yumarni dan Ahmad Fuadi Faculty of Forestry, Muhammadiyah West Sumatera University Jl.Pasir Kandang 4, Padang 25172 Tel. : 0751-481777 Fax : 0751-482274 E-mail : [email protected]

Page 22: Ultra-Struktur Kayu Tekan Damar (Agathis loranthifolia Salisb.)

22 J. Tropical Wood Science and Technology Vol.5 • No. 1 • 2007

Komponen Kimia Cangkang Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) dan Pengaruhnya terhadap Sifat Beton Ringan

Chemical Components of Oil Palm (Elaeis guineensis Jacq.) Shell and Its Effect on Light Concrete Performance

Bambang Subiyanto, Hasan Basri, Linda Nurmala Sari, Triastuti dan Yetvi Rosalita

Abstract

Recently, plenty of waste of oil palm shell as a lignocellulosic organic material was obtained due to increasing

plantation of oil palm trees. However, utilization of oil palm shell still not optimally done and it has low economic value. In some countries, the lignocellulosic waste becomes a problem because it pollutes the environment. Many researches showed that oil palm waste can be used in several necessity products, such as, oil palm shell for active charcoal, stem and empty bunch for paper pulp, stem oil palm for furniture and particleboard. One of utilization of oil palm shell is as raw material for light weight concrete to replace sand; however, the mechanical properties were lower than standard.

The purpose of this paper is to analyze chemical component of oil palm shell which affected the low mechanical properties of concrete made from oil palm shell. In this experiment, the oil palm shell, cement and sand were used as raw materials, then chemicals component of shell were analyzed from the shell that take from concrete made of oil palm shell. The percentage of shell to sand for making concrete was varied of 0%, 50%, and 100%. Then the shell was separated from the concrete, and chemical components were analyzed such as water content, ethanol benzene extraction with ratio 1 : 2, the solubility in hot water and cold water, lignin content, holocellulose content, and the strength of concrete. All of the testing was performed in 7 days and 28 days with two treatments to concrete (soaking in water at room temperature and keep in wet condition).

The result of the experiments showed that the maximum composition of oil palm shell which used as filler of concrete is 50%; it gives impact strength nearly the same as concrete of control. The chemical component of extractive substance (fat) gives some influence to the compression strength of concrete.

Key words: oil palm shell, chemical components, lignocellulosic, Portland cement, light concrete.

Pendahuluan

Limbah Kelapa Sawit adalah limbah lignoselulosik yang merupakan limbah organik dan terdapat dalam jumlah yang sangat besar di alam. Sampai saat ini limbah tersebut belum dimanfaatkan secara optimal dan nilai ekonominya sangat rendah. Di beberapa negara, limbah lignoselulosik bahkan menjadi masalah karena menimbulkan pencemaran. Salah satu limbah lignoselulosik yang dimaksud adalah cangkang Sawit sebagai limbah pengolahan Kelapa Sawit. Disamping itu perkembangan pembangunan saat ini meningkat pesat seiring dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk. Dampak dari pertumbuhan penduduk tersebut menyebabkan kebutuhan akan tempat tinggal semakin meningkat pula. Salah satu penggunaan cangkang Sawit adalah sebagai bahan pengganti pasir dalam pembuatan beton.

Merujuk dari penelitian sebelumnya (Subiyanto et al. 2005), diketahui bahwa kuat tekan beton yang dihasilkan dari beton ringan berbahan baku cangkang Sawit sangat rendah dan belum memenuhi standar sebagai beton bangunan. Diduga faktor yang mempengaruhi kuat tekan beton adalah komponen kimia dari cangkang Sawit.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komponen kimia dari cangkang Sawit yang mempengaruhi kuat tekan beton, perubahan nilai parameter dari komponen kima cangkang Sawit, dan mengetahui kadar maksimum cangkang Sawit yang dapat digunakan sebagai agregat pengganti pasir untuk bahan beton ringan.

Metode Penelitian

Dalam penelitian ini diasumsikan bahwa penyebab

utama rendahnya kuat tekan beton berbahan baku cangkang Sawit adalah tidak sempurnanya pengerasan semen yang disebabkan oleh komponen kimia cangkang Sawit, oleh karena itu dilakukan analisis komponen kimia cangkang Sawit yang diambil dari beton ringan berbahan baku cangkang Sawit.

Pada tahap awal, cangkang Sawit yang akan digunakan direndam terlebih dahulu dengan air selama 24 jam. Hal ini dilakukan untuk membersihkan cangkang Sawit dari kotoran yang akan mengganggu proses pembuatan contoh uji dan pengujian. Dalam pembuatan contoh uji, komposisi campuran cangkang dan pasir divariasikan dari 0%, 50%, dan 100%. Bahan pasir yang digunakan adalah pasir yang lolos mesh no. 4 (4.75 mm)

Page 23: Ultra-Struktur Kayu Tekan Damar (Agathis loranthifolia Salisb.)

Chemical Components of Oil Palm (Elaeis guineensis Jacq.) Shelland Its Effect on Light Concrete Performance 23 (Bambang Subiyanto, Hasan Basri, Linda Nurmala Sari, Triastuti and Yetvi Rosalita)

yang selanjutnya pasir dikondisikan dalam keadaan Saturate Surface Dry (SSD) atau jenuh kering muka. Komposisi campuran bahan baku semen : pasir adalah 1 : 2.5 berdasarkan perbandingan berat dengan faktor air semennya (FAS) 0.6. Masing-masing bahan cangkang, pasir dan semen ditimbang sesuai kondisi variasinya, diaduk sampai merata, selanjutnya dimasukkan ke dalam pipa paralon berdiameter 2.5 cm dengan tinggi 5 cm. Setelah 24 jam contoh uji dikeluarkan dari pipa paralon, lalu masing-masing contoh uji direndam dengan air dan dikondisikan lembab pada temperatur ruangan selama 28 hari sesuai dengan SNI 03-2493-2002. Pada hari ke-7 dan ke-28 contoh diuji kuat tekan sesuai dengan SNI 03-1974-1990.

Uji pH dilakukan pada air rendaman cangkang Sawit selama 24 jam, 7 hari dan 28 hari sebelum dijadikan beton dan pada air rendaman beton pada hari ke-7 dan ke- 28. Pengujian kuat tekan beton uji dilakukan dengan menggunakan Universal Testing Machine (UTM) Shimadzu dengan kapasitas maksimum 5 ton. Metode pengujian ini sesuai dengan SNI 03-1974-1990. Pelaksanaan pengujian dilakukan pada umur benda uji 7 hari dan 28 hari.

Uji komponen kimia cangkang Sawit terdiri dari kadar air, kadar ekstrak etanol benzena (1 : 2), kelarutan dalam air panas, kelarutan dalam air dingin, kadar lignin dan kadar holoselulosa. Uji dilakukan sesuai dengan prosedur ASTM (D 2016-74, D 1107-56, D 1110-56, D 1106-56).

Hasil dan Pembahasan

Uji pH dilakukan untuk mengetahui sifat dari

cangkang Sawit dan beton yang digambarkan melalui air rendaman yang diuji. Hasil dari uji pH air rendaman cangkang Sawit dan rendaman beton disajikan pada Tabel 1 dan Tabel 2.

Table 1. pH of used water for soaking Oil Palm shell

Soaking time pH 24 hrs 5.53 7 days 5.03 28 days 5.59

Dari Tabel 1 diketahui bahwa air dari rendaman

cangkang Sawit pada waktu rendaman selama 24 jam, 7 hari dan 28 hari mempunyai pH berkisar 5. Dari uji pH tersebut diketahui bahwa air dari rendaman cangkang Sawit yang belum dijadikan sebagai campuran bahan pada beton bersifat asam yang berarti bahwa cangkang Sawit yang direndam juga bersifat asam.

Pada Tabel 2 diketahui bahwa pH air rendaman beton pada komposisi cangkang Sawit 0% pada hari ke-7 dan ke-28 berkisar 8.91 sampai 9.83, sedangkan pada komposisi cangkang Sawit 50% dan 100% antara hari

ke-7 dan ke-28 adalah 11. Dari hasil uji pH tersebut diketahui bahwa air rendaman beton bersifat basa yang berarti bahwa beton uji mempunyai sifat basa. Dari Tabel 2 diketahui bahwa beton dengan komposisi 50% lebih bersifat basa dari pada beton dengan komposisi cangkang 100%, karena beton dengan komposisi cangkang Sawit 100% mengandung lebih banyak cangkang Sawit yang bersifat asam sehingga lebih banyak sifat asam dari pada sifat basa. Table 2. pH of used water for soaking Concrete.

Composition of Oil Palm Shell (%) Soaking time

(days) 0 50 100 7 9.83 11.37 11.17 28 8.91 11.44 11.05

Pada komposisi cangkang Sawit 0%, pH air

rendaman lebih rendah dibandingkan dengan yang 50 dan 100%. Hal ini kemungkinan disebabkan tahapan reaksi yang berbeda. Pada 0%, semen yang bersifat asam bereaksi dengan pasir yang bersifat asam sehingga pH nya menurun. Sedangkan pada 50%, tahapan reaksinya pertama pasir bereaksi terlebih dahulu dengan cangkang yang menghasilkan garam yang bersifat agak netral, kemudian baru bereaksi dengan semen sehingga penurunan pH larutan tidak begitu besar. Sedangkan pada komposisi cangkang Sawit 100% tidak terjadi penurunan yang besar karena cangkang Sawit sebelum dicampur dengan semen direndam dalam air selama 24 jam, sehingga keasamanan sudah berkurang.

Gambar 1 menunjukkan kuat tekan beton dengan berbagai komposisi dan perlakuan yang di uji pada hari ke-7 dan hari ke-28. Pengujian kuat beton dilakukan pada hari ke-7 dan hari ke-28 karena hari ke-7 merupakan proses awal pengikatan semen membentuk beton dan hari ke-28 merupakan proses akhir dari pengikatan. Dari Gambar 1 diketahui bahwa daya kuat tekan beton yang paling baik dan mendekati daya kuat tekan pada kontrol terdapat pada beton yang direndam dengan komposisi cangkang Sawit 50% pada hari ke-28.

Daya kuat tekan beton yang berbeda jauh dengan daya kuat tekan beton pada kontrol terdapat pada beton yang direndam dengan komposisi cangkang Sawit 100%. Berdasarkan uji statistik kuat tekan beton pada hari ke-7 antara beton kontrol dengan beton uji dengan berbagai komposisi cangkang Sawit dengan berbagai perlakuan berbeda nyata. Kuat tekan antara komposisi cangkang Sawit 50% pada beton yang direndam berbeda nyata dengan komposisi sama pada beton yang dikondisikan lembab. Kuat tekan beton uji dengan komposisi cangkang 100% antara beton yang direndam dan dikondisikan lembab tidak berbeda nyata. Kuat tekan beton dengan komposisi cangkang 50% yang

Page 24: Ultra-Struktur Kayu Tekan Damar (Agathis loranthifolia Salisb.)

24 J. Tropical Wood Science and Technology Vol.5 • No. 1 • 2007

direndam dan dikondisikan lembab berbeda nyata dengan kuat tekan beton dengan komposisi cangkang 100% yang direndam dan dikondisikan lembab.

0

10

20

30

40

50

60

A B C D E F

Type of concrete

Com

pres

ion

stre

ngth

(kgf

/cm

2 )

7 day

28 day

Figure 1. Compresesion strength of concrete in several

of compositions of oil plm shell in 7 and 28 days.

Notes: A. Concrete in humid conditioning with composition of

0% of Oil Palm shell. B. Concrete in soaking conditioning with composition

of 0% of Oil Palm shell. C. Concrete in humid conditioning with composition of

50% of Oil Palm shell. D. Concrete in soaking conditioning with composition

of 50% of Oil Palm shell. E. Concrete in humid conditioning with composition of

100% of Oil Palm shell. F. Concrete in soaking conditioning with composition

of 100% of Oil Palm shell. Table 3. Chemicals component of Oil Palm shell after

soaking in water for 24 hours.

Content (%) Chemicals component 0 hour 24 hours

Moisture content 10.55 10.37 Ethanol benzene (1:2) extractives 5.50 3.53 Hot water extractives 16.29 16.90 Cold water extractives 12.72 12.86 Lignin content 47.01 46.25 Holosellulose content 74.03 64.84

Uji komposisi kimia juga dilakukan pada cangkang

Sawit murni yang direndam air selama 24 jam dan yang tidak direndam. Perendaman selama 24 jam ini dilakukan untuk membersihkan cangkang dari kotoran yang berasal dari kondisi luar selama proses penyimpanan. Hasil uji komposisi kimia cangkang Sawit

yang belum dijadikan bahan campuran pada beton disajikan pada Tabel 3.

Dari Tabel 3 dapat diketahui nilai parameter dari komposisi kimia cangkang Sawit yang belum dijadikan beton. Nilai parameter ini digunakan sebagai kontrol untuk cangkang Sawit yang telah dijadikan bahan pencampur dalam beton.

Pengujian kadar air cangkang Sawit yang telah dijadikan sebagai bahan campuran pada beton dilakukan pada umur perlakuan hari ke-7 dan ke-28. Hasil uji kadar air cangkang Sawit disajikan pada Gambar 2.

8

10

12

14

16

18

A B C D E

Type of concrete

Wat

er c

onte

nt (%

)

24 hour 7 day 28 day

Figure 2. Water content of Oil palm shell removed from

concrete with composition of 50% and 100% in humid and soaking conditioning after 7 and 28 days.

Notes: A. Oil Palm shell after soiking for 24 hours before used

in concrete. B. Oil Palm shell removed from concrete with

composition of 50% in soaking conditioning. C. Oil Palm shell removed from concrete with

composition of 50% in humid conditioning D. Oil Palm shell removed from concrete with

composition of 100% in soaking conditioning. E. Oil Palm shell removed from concrete with

composition of 50% in humid conditioning

Gambar 2 menunjukkan kadar air cangkang Sawit dalam beton dengan komposisi Sawit 50% dan 100% yang direndam dan dikondisikan lembab pada hari ke-7 dan ke-28. Dari gambar tersebut diketahui bahwa kadar air cangkang Sawit dalam beton yang direndam dan dikondisikan lembab antara hari ke-7 dan hari ke- 28 berkisar antara 13% sampai 15%. Bila dibandingkan kadar air dari cangkang Sawit yang belum dijadikan beton dengan kadar air cangkang Sawit yang telah dijadikan bahan pencampur dalam beton diketahui

Page 25: Ultra-Struktur Kayu Tekan Damar (Agathis loranthifolia Salisb.)

Chemical Components of Oil Palm (Elaeis guineensis Jacq.) Shelland Its Effect on Light Concrete Performance 25 (Bambang Subiyanto, Hasan Basri, Linda Nurmala Sari, Triastuti and Yetvi Rosalita)

mengalami kenaikan, dan berdasarkan uji statistik kadar air antara cangkang Sawit yang direndam air selama 24 jam dengan kadar air cangkang Sawit yang telah dijadikan beton berbeda nyata.

Berdasarkan uji statistik yang dilakukan, diketahui bahwa faktor yang mempengaruhi kadar air cangkang Sawit sebagai bahan baku beton adalah faktor komposisi dan waktu, dimana jika dibandingkan kadar airnya berbeda nyata.

Hasil percobaan dari kadar ekstraktif etanol benzena (1:2) disajikan pada Gambar 3.

0

1

2

3

4

A B C D E

Type of concrete

Extr

act c

onte

nt (%

)

24 hours 7 day 28 day

Figure 3. Extract content in Ethanol-Benzene (1:2) of Oil

Palm shell removed from concrete with composition of 50% and 100% after conditioning in humid and soaking water for 7 and 28 days.

Notes: see Figure 2

Gambar 3 menyajikan kadar ekstrak etanol benzena dari cangkang Sawit yang telah dijadikan beton, jika dibandingkan dengan kadar ekstrak etanol benzena cangkang Sawit yang direndam air selama 24 jam dan belum dijadikan beton, nilai kadar ekstrak etanol benzena dari cangkang Sawit mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena pada cangkang Sawit yang belum dijadikan beton tidak terjadi reaksi hidrasi yang bersifat eksoterm penyebab keluarnya zat-zat ekstraktif dari cangkang Sawit, sehingga zat-zat ekstraktif yang keluar dari cangkang jumlahnya sedikit dan masih tersisa banyak dalam cangkang Sawit tersebut. Zat-zat ekstraktif yang keluar dari cangkang adalah zat-zat ekstraktif yang larut dalam air dan jumlahnya sedikit. Sedangkan kadar ekstrak pada cangkang Sawit yang sudah di jadikan bahan campuran beton terdapat sangat kecil, karena pada saat proses pembuatan beton dan selama perlakuan pada beton berlangsung terjadi reaksi antara lemak dengan larutan basa yang berasal dari rendaman semen. Basa menghidrolisis gliserida pada cangkang Sawit menjadi asam lemak, dan juga ada

reaksi antara air dengan CaSiO3 sebagai komponen dari semen yang menghasilkan panas. (Kardiono 1992).

Panas ini akan melarutkan lemak dalam cangkang dan karena asam lemak pada cangkang mempunyai pH 5 (bersifat asam) maka asam lemak itu akan keluar sebagai emulsi. Emulsi ini mengganggu ikatan pada komponen dari semen yang berbentuk suspensi yang mengakibatkan semen tidak dapat mengeras dengan sempurna, sehingga akan berpengaruh pada daya kuat tekan beton. Hal ini yang menyebabkan kadar eksktrak cangkang pada beton lebih kecil daripada kadar ekstraksi pada cangkang Sawit murni yang hanya direndam air selama 24 jam.

Berdasarkan uji statistik, diketahui bahwa faktor yang berpengaruh terhadap kadar ekstrak adalah faktor perlakuan dan waktu dimana perbandingan kadar ekstrak berdasarkan kedua faktor tersebut berbeda nyata.

Kelarutan dalam air panas dilakukan untuk mengetahui seberapa besar komponen-komponen zat ekstraktif yang terlarut yang diduga dapat mengganggu pada proses pengerasan beton dan berpengaruh terhadap daya kuat tekan beton. Kelarutan dalam air panas dari cangkang Sawit disajikan pada Gambar 4.

10

15

20

25

A B C D EType of concrete

Solu

bilit

y (%

)

24 hour 7 day 28 day

Figure 4. Hot water solubility of Oil Palm shell removed

from concrete with composition of 50% and 100% after conditioning in humid and soaking water for 7 and 28 days.

Notes: see Figure 2

Dari Gambar 4 dapat diketahui kelarutan dalam air panas dari cangkang Sawit dengan berbagai komposisi cangkang Sawit dalam beton yang direndam maupun yang dikondisikan lembab berkisar antara ± 18% sampai ± 22%. Bila dibandingkan kelarutan dalam air panas antara cangkang Sawit yang belum dijadikan beton yang direndam selama 24 jam dengan cangkang Sawit yang telah dijadikan beton dengan berbagai komposisi cangkang Sawit dan beberapa perlakuan terhadap beton nilai dari kelarutan tersebut naik yang menunjukkan

Page 26: Ultra-Struktur Kayu Tekan Damar (Agathis loranthifolia Salisb.)

26 J. Tropical Wood Science and Technology Vol.5 • No. 1 • 2007

bahwa zat ekstraktif dari cangkang Sawit semakin meningkat.

Berdasarkan uji statistik perbandingan nilai kelarutan dalam air panas cangkang Sawit yang direndam air 24 jam berbeda nyata dengan nilai kelarutan dalam air panas cangkang Sawit yang telah dijadikan beton. Berdasarkan uji statistik juga diketahui bahwa faktor yang berpengaruh terhadap nilai kelarutan dalam air panas cangkang Sawit dengan berbagai komposisi dalam beton adalah faktor komposisi terhadap perlakuan, komposisi terhadap waktu dan perlakuan terhadap waktu dimana kelarutan dalam air panasnya berbeda nyata.

Kelarutan dalam air dingin hampir sama dengan kelarutan dalam air panas, yaitu untuk mengetahui seberapa banyak zat ekstraktif yang terlarut dalam air, hanya caranya dan penggunaan suhu airnya saja yang berbeda. Gambar 5 menyajikan hasil dari kelarutan dalam air dingin.

10

15

20

25

A B C D E

Type of concrete

Solu

bilit

y (%

)

24 hour 7 day 28 day

Figure 5. Cold water solubility of Oil Palm shell removed

from concrete with compocition of 50% and 100% after conditioning in humid and soaking water for 7 and 28 days.

Notes: see Figure 2

Kelarutan dalam air dingin cangkang Sawit hampir sama dengan hasil kelarutan dalam air panas. Perbedaannya hanya dari jumlah kelarutan yang dihasilkan dalam air dingin lebih sedikit dari pada kelarutan dalam air panas, karena pada kelarutan dalam air panas banyak lemak, lilin, minyak dan komponen lainnya yang terekstrak. Pada Gambar 5 dapat diketahui bahwa kelarutan dalam air dingin cangkang Sawit dengan komposisi cangkang 50% dan 100% dalam beton yang direndam maupun yang dikondisikan lembab pada hari ke-7 dan ke-28 berkisar antara ± 15% sampai ± 21%. Bila dibandingkan antara cangkang Sawit murni yang belum dijadikan beton dengan cangkang Sawit yang telah dijadikan campuran beton, nilai kelarutan dalam air dingin mengalami kenaikan. Berdasarkan hasil yang disajikan pada Gambar 5 juga dapat diketahui

bahwa kelarutan dalam air dingin dari cangkang Sawit antara hari ke-7 dan ke-28 baik pada komposisi 50% cangkang Sawit maupun pada komposisi 100% cangkang Sawit dalam beton yang direndam maupun yang dikondisikan lembab mengalami kenaikan. Hal ini diduga karena semakin lama umur perlakuan dan semakin banyak komposisi cangkang Sawit yang digunakan, semakin banyak juga zat-zat ekstraktif terutama lemak yang bereaksi dengan larutan alkali yang berasal dari semen. Selain itu semakin banyak lemak yang terhidrolisis menjadi asam lemak karena panas yang dihasilkan antara reaksi semen dengan air.

Berdasarkan uji statistik, kelarutan dalam air dingin cangkang Sawit yang direndam 24 jam berbeda nyata dengan kelarutan dalam air dingin cangkang Sawit yang sudah dijadikan bahan pencampur dalam beton. Berdasarkan uji statistik juga dapat diketahui bahwa faktor yang mempengaruhi kelarutan dalam air dingin cangkang Sawit adalah kombinasi faktor komposisi, perlakuan dan waktu perlakuan.

Kadar lignin dari cangkang Sawit yang sudah dijadikan beton dengan berbagai komposisi dan perlakuan disajikan Gambar 6.

40

42

44

46

48

A B C D EType of concrete

Lign

in c

onct

ent (

%)

24 jam 7 Hari 28 Hari

Figure 6. Lignin content of Oil Palm shell removed from

concrete with compocition of 50% and 100% after conditioning in humid and soaking water for 7 and 28 days.

Notes: see Figure 2

Dari data yang disajikan Gambar 6, dapat diketahui bahwa kadar lignin dari cangkang Sawit dengan komposisi cangkang 50% dan 100% dalam beton yang direndam maupun yang dikondisikan lembab pada hari ke-7 dan ke-28 berkisar antara ± 41% sampai ± 46%. Nilai ini sesuai dengan nilai kadar lignin cangkang Sawit yang belum dijadikan beton sebagai bahan asal, yaitu sekitar ± 46.25% (Tabel 3). Berdasarkan uji statistik diketahui bahwa tidak terjadi perbedaan yang nyata antara cangkang Sawit yang belum dijadikan beton dengan cangkang Sawit yang sudah dijadikan beton.

Page 27: Ultra-Struktur Kayu Tekan Damar (Agathis loranthifolia Salisb.)

Chemical Components of Oil Palm (Elaeis guineensis Jacq.) Shelland Its Effect on Light Concrete Performance 27 (Bambang Subiyanto, Hasan Basri, Linda Nurmala Sari, Triastuti and Yetvi Rosalita)

Gambar 7 menyajikan hasil yang diperoleh dari pengukuran holoselulosa dalam cangkang Sawit yang dijadikan bahan bahan baku beton ringan.

Dari data yang disajikan Gambar 7, dapat diketahui bahwa kadar holoselulosa dari cangkang Sawit dalam beton dengan komposisi cangkang 50% dan 100% dalam beton yang direndam maupun yang dikondisikan lembab pada hari ke-7 dan ke-28 berkisar antara ± 59% sampai ± 65%. Nilai ini sesuai dengan nilai kadar holoselulosa cangkang Sawit yang belum dijadikan beton, yaitu sekitar ± 64.84%. Nilai ini menunjukkan bahwa tidak terjadi perbedaan yang nyata antara kadar holoselulosa cangkang Sawit yang belum dijadikan beton dengan kadar selulosa cangkang Sawit yang sudah dijadikan beton. Berdasarkan uji statistik diketahui bahwa kadar holoselulosa antara cangkang Sawit yang direndam air selama 24 jam tidak berbeda nyata dengan kadar holoselulosa cangkang Sawit yang sudah dijadikan beton.

55

60

65

70

A B C D EType of concrete

Hol

ocel

ulos

e co

nten

t (%

)

24 jam 7 Hari 28 Hari

Figure 7. Holocelulose content of Oil Palm shell removed

from concrete with compocition of 50% and 100% after conditioning in humid and soaking water for 7 and 28 days.

Notes: see Figure 2

Diketahui juga bahwa kadar holoselulosa dari cangkang Sawit yang sudah dijadikan beton antara berbagai komposisi cangkang Sawit, perlakuan terhadap beton, dan waktu perlakuan tidak berbeda nyata. Hal ini karena holoselulosa yang terdiri dari hemiselulosa dan selulosa merupakan komponen dari cangkang Sawit yang berbobot molekul tinggi sehingga tidak mudah untuk bereaksi dengan alkali. Perbedaan hemiselulosa dan selulosa yaitu hemiselulosa mempunyai derajat polimerisasi rendah dan mudah larut dalam alkali tapi sukar larut dalam asam, sedangkan selulosa sebaliknya (Winarno 1997).

Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian ini adalah, daya kuat tekan beton yang mendekati daya kuat tekan beton kontrol adalah beton dengan komposisi cangkang Sawit 50% dengan perlakuan rendam air dingin. Komponen kimia cangkang Sawit seperti holoselulosa dan lignin sebelum dan sesudah dijadikan beton berdasarkan uji statisik tidak mengalami perubahan, sedangkan untuk kadar ekstrak etanol benzena (1:2), kelarutan air panas dan kelarutan air dingin mengalami perubahan komposisi. Dari hasil penelitian yang dilakukan komponen cangkang Sawit yang diduga mempengaruhi kuat tekan beton adalah zat ekstraktif dari cangkang Sawit yaitu lemak. Hal ini ditunjukkan dengan penurunan kadar lemak yang signifikan.

Daftar Pustaka

ASTM. 1981. Annual Book of ASTM Standards. Part 22. Wood Adhesives. ASTM D 1107-56 (1979). Test for Alcohol-Benzene Solubility of Wood. American Society for Testing and Material. Philadelphia.

ASTM. 1981. Annual Book of ASTM Standards. Part 22. Wood Adhesives. ASTM D 1106-56 (1977). Test for Lignin in Wood. American Society for Testing and Material. Philadelphia.

ASTM. 1981. Annual Book of ASTM Standards. Part 22. Wood Adhesives. ASTM D 1110-56 (1977). Test for Water Solubility of Wood. American Society for Testing and Material. Philadelphia.

ASTM. 1981. Annual Book of ASTM Standards. Part 22. Wood Adhesives. ASTM D 2016-74. Test for Moisture Content of Wood. American Society for Testing and Material. Philadelphia.

Kardiono, T. 1992. Teknologi Beton. Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknis. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

SNI. 2002. Metode Spesifikasi dan Tata Cara. Edisi 1. SNI 03-1974-1990. Metode Pengujian Kuat Tekan Beton. Badan Penelitian dan Pengembangan. Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. Jakarta.

SNI. 2002. Metode Spesifikasi dan Tata Cara. Edisi 1. SNI 03-2493-2002. Metode Pembuatan dan Perawatan Benda Uji Beton di Laboratorium. Badan Penelitian dan Pengembangan. Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. Jakarta.

Subiyanto, B.; Subyakto; Y. Rosalita. 2005. Pemanfaatan Limbah Cangkang Sawit untuk Produk Bahan Bangunan. Laporan Teknis Program Kompetitif UPT BPP Biomaterial - LIPI. Tidak diterbitkan.

Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Cetakan 8. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Page 28: Ultra-Struktur Kayu Tekan Damar (Agathis loranthifolia Salisb.)

28 J. Tropical Wood Science and Technology Vol.5 • No. 1 • 2007

Makalah masuk (received) : 11 Nopember 2006 Diterima (accepted) : 03 April 2007 Revisi terakhir (final revision) : 08 Mei 2007 Bambang Subiyanto, Triastuti, dan Yetvi Rosalita UPT Balai Litbang Biomaterial – LIPI (Research and Development Unit for Biomaterials – LIPI) Jl. Raya Bogor Km. 46, Komplek LIPI, Cibinong. Tel. : 021-879-14509 Fax. : 021-879-14510. Email : [email protected] Hasan Basri dan Linda Nurmala Sari Sekolah Tinggi Matematika dan IPA Jurusan Program Studi Kimia Bogor

Page 29: Ultra-Struktur Kayu Tekan Damar (Agathis loranthifolia Salisb.)

Effective Utilization of Fast-Growing Acacia mangium Willd. Timber As a Structural Material 29 (Anita Firmanti, Kohei Komatsu, and Suichi Kawai)

Effective Utilization of Fast-Growing Acacia mangium Willd. Timber As a Structural Material

Anita Firmanti, Kohei Komatsu, and Suichi Kawai

Abstract

This study aims to evaluate the full-scale strength performance of Acacia mangium Willd. timber and establish

characteristic values, as well as the timber strength classes, by the application of mechanical grading. A total of 120 actual size specimens were selected from two areas and the modulus of elasticity and modulus of rupture were tested. The results showed that A. mangium timber could be a substitute structural material for light timber construction. Effective utilization of A. mangium timber could be obtained when the timber is mechanically graded. The result promotes the effective utilization of A. mangium timber, which has a high annual growth rate, from managed forests, thus reducing the destruction of natural tropical forests. Key words: strength characteristic, A. mangium timber, allowable stress, structural materials

Introduction

Although many alternative building materials had been developed, timber still plays an important role in building construction. The reason why timber has remained a primary construction material for thousands of years is simply that no competitive material has all the advantages of timber. A material may equal it in rigidity but lack its insulating qualities. Another may rival it in strength but fail on the point of workability. A third may rank with it in workability but fail to measure up in ruggedness (Anonymous 1956). Timber is also manufactured from renewable resources. A comparative study of timber and synthetic alternatives, as materials for single-storey houses, as well as buildings, showed that timber is an environmentally superior building material. The analysis was conducted on the basis of energy involved in production, e.g. carbon released and carbon stored, life cycle analysis, and environmental chemical analysis (Towsend et.al. 2004) Owing to its superiority as a building material, the use of timber in building construction is increasing with increased demand of housing and buildings.

For many years, people in tropical areas utilize high-quality timber for their housing and building requirements. The need for foreign revenue, to support economic development, accelerated the exploitation of tropical forests, thus reducing their potential as a timber resource. The situation also widened the gap between supply and demand for tropical timber from natural forests.

One strategy for solving such problems was the development of the Industrial Forest Estate (Hutan Tanaman Industri/HTI), with the planting of fast-growing species. One indigenous fast-growing species is Acacia mangium Willd. A. mangium was originally found in eastern Indonesia, but it could grow well in other places, even in marginal lands. It was widely planted in

Indonesia almost two decades ago to supply the raw material for pulp, paper and MDF industries. In 2003, A. mangium plantations covered 0.8 million hectares, and are predicted to reach 1 million hectares in 2010. The reported annual growth of A. mangium is 20 ~ 50 m3/ha, with harvesting in 8 years (Djojosubroto 2003). Prioritizing the utilization of A. mangium for structural materials is crucial owing to the decrease in supply from natural forests, which has seriously affected people’s ability to purchase timber for construction.

Data on physical and mechanical properties is necessary when timber is used in building construction. Through testing on small clear specimens, A. mangium timber from Australia showed a modulus of rupture (MOR) of 106 MPa, modulus of elasticity (MOE) of 11.6 GPa and compression parallel to grain of 60 MPa (Lemmens et.al. 1995). In addition, 10-year-old A. mangium timber from Selangor, Malaysia, showed an average MOR of 94.1 MPa and MOE of 7.3 GPa (Razali and Wong 1994). A small clear specimen of 7-year-old A. mangium from Sabah, Malaysia, showed an average MOR of 75.9 Mpa and MOE of 10.1 GPa, while a 21 × 40 × 750 mm example showed a MOR of 66.4 MPa and MOE of 6.4 MPa (Sasaki et.al. 1994). The moisture content of the tested timber from those areas was around 11% and the average density of those from Selangor was 0.56 g/cm3 and the average specific gravity of those from Sabah was 0.54 g/cm3. The data show that larger specimens have a lower strength and rigidity than smaller specimens. It might be due to inherent defects in large specimens. The size of large specimens mentioned above is not the usual size for structural timbers; therefore, to evaluate structural performance, testing on timber of actual size should be conducted. This study was conducted to evaluate the full-scale strength and rigidity of A. mangium timber as structural material, which was limited for non-structural usage. The

Page 30: Ultra-Struktur Kayu Tekan Damar (Agathis loranthifolia Salisb.)

30 J. Tropical Wood Science and Technology Vol.5 • No. 1 • 2007

aim was to establish the characteristics of the timber based on parametric and non-parametric evaluative procedures, as well as analyzing an effective method for predicting the strength of the timber in structural usage.

Materials and Methods

The tested timbers were collected from two different

areas: Indramayu and Banten in West Java, Indonesia. After cutting, logs were transported and sawn to obtain 60 × 120 × 3000 mm (T×R×L) plain timber. Timbers were piled and dried in a kiln to air-dry conditions. Moisture content of the timbers was measured periodically from the sample specimens during the drying period.

Sixty samples were randomly selected from each area, resulting in 120 samples. All of the defective characteristics were evaluated, i.e. knots, fiber angle and checks were measured, and pinholes and discolorations identified. The classification of defects, their numbers and sizes were measured, based on the standard specifications for timber as building material (Anonymous 1987). The static modulus of elasticity in flat-wise orientation (MOEf) was measured by center-point loading with a simple grading machine, which can magnify the deflection about 40 times. Flexural strength and rigidity was tested in edge-wise orientation using a universal-testing machine in third-point loading, based on ASTM D 198-84 (Anonymous 2000). The density of specimens was measured in air-dry conditions.

Following the procedure in ASTM D 2915-98 (Anonymous 2000) the application of adjustment factors for moisture content and loading system, as well as reduction factors, was carried out. Statistical analysis, e.g. ANOVA, linear regression, and parametric analysis, was applied for analyzing test results.

Result and Discussion

Rigidity and Strength of A. mangium Timber

The test results in Table 1 showed that MOR, from the weakest to the strongest, fell in the ratios of about 1/9 to 1/8, while the lowest to the highest MOEf and edge-wise MOE (MOEe) were in the ratios of about 1/4 to 1/3. The MOR of actual size A. mangium appeared to be lower than those of smaller sizes, as mentioned above. The strength of actual size timber is mainly affected by defects inherent in a piece of timber, as actual size timber has a higher probability for containing defects than small size timber. It is understandable for actual size timber because wood fibers may be cut producing sloping grain and distortions around knots. The presence of knots, fiber angles and other defects in actual size timbers could be the reason for the lower MOR of tested timber. The macrostructure of knots, fiber angle etc. has been cited as the explanation of why tensile strength along the grain may drop from more than 100 MPa for clear wood to less than 10 MPa for structural timber of low quality (Hoffmeyer 1995).

Table 1. Performance of A. mangium timber

Timber properties Minimum Maximum Average Standard deviation

Coefficient of variation

Indramayu (10-year-old) Moisture content (%) Density (g/cm3) MOE flat-wise (GPa) MOE edge-wise (GPa) MOR (MPa)

14.9 0.41 4.1 6.6 15.3

19.5 0.60 14.3 20.8 92.0

16.5 0.47 8.5 11.6 43.6

1.5 0.1 2.8 3.3 15.7

0.1 0.1 0.3 0.3 0.4

Banten (12-year-old) Moisture content (%) Density (g/cm3) MOE flat-wise (GPa) MOE edge-wise (GPa) MOR (MPa)

15.2 0.45 5.3 5.7 11.6

19.4 0.67 15.8 19.1 75.7

16.9 0.56 9.3 10.1 41.6

1.8 0.1 2.3 2.8 15.8

0.1 0.1 0.2 0.3 0.4

For both locations Moisture content (%) Density (g/cm3) MOE flat-wise (GPa) MOE edge-wise (GPa) MOR (MPa)

14.9 0.41 4.1 5.7 11.6

19.5 0.67 15.8 20.8 92.0

16.7 0.53 8.9 10.9 42.2

1.6 0.1 2.6 3.20 15.9

0.1 0.1 0.3 0.29 0.37

Note: MOE = modulus of elasticity; MOR = modulus of rupture.

Page 31: Ultra-Struktur Kayu Tekan Damar (Agathis loranthifolia Salisb.)

Effective Utilization of Fast-Growing Acacia mangium Willd. Timber As a Structural Material 31 (Anita Firmanti, Kohei Komatsu, and Suichi Kawai)

Table 2. Severity of defects, expressed as visual grades, for A. mangium timber

Number of defects Visual grades Banten (12-year-old) Indramayu (10-year-old)

Grade A 6 12 Grade B 29 37 Grade C 25 11

Besides lower strength and rigidity, A. mangium

timber of actual size showed a higher variation than small clear specimens. The inherent defects and high proportion of juvenile wood are the reasons of these phenomena. As a fast-growing species, A. mangium timber has a high proportion of juvenile wood. It has been reported in hard woods that there is an insignificant difference between the first 5 ~ 20 growth rings and those in the outer part of the stem (Hoffmeyer 1995). For softwood, the ratio of MOR for juvenile and mature wood was reported to be 0.5 ~ 0.9, but only limited research has been done for hardwood. Juvenile wood has a greater influence in reducing the mechanical properties of higher grade than lower grade structural timber (Green et.al. 1999). This must be taken into account when considering A. mangium timber as a structural material, which was limited for non-structural usage.

At similar size, the MOEf and MOR of A. mangium timber were higher than another fast-growing tropical species, such as Gmelina arborea, Eucalyptus deglupta, and Paraserianthes falcataria (Sasaki et.al. 1994; Firmanti et.al. 2005). The density of A. mangium timber was higher than other tested fast-growing species but the presence of defects, such as knots, was almost similar. The strength and rigidity of A. mangium timber were lower than Borneo (a trading name for mixed tropical timber), Shorea (Shorea sp.) and Kapur (Dryobalanops aromatica) woods which are commonly used in building construction (Firmanti et.al. 2005). The lower MOEf and MOR of A. mangium timber, compared to other timbers typically used in construction, are affected by the lower density and relatively high percentage of defects. With the minimum MOR of 11.6 MPa and MOEf of 4.1 GPa as shown Table 1, A. mangium, with restricted usage, is a potential substitute for timber from natural forests. The lowest strength class in European Norms (EN)-338 for softwood, using the 5% percentile (i.e. not the lowest timber strength), is 16 MPa for MOR and 4.7 GPa for MOEf (Gloss 1995a).

To investigate the difference in strength and rigidity characteristic of timber from the two locations, a mean comparison, using one-way analysis of variance (ANOVA), was performed. F-tests at 95% confidence interval for MOEf, MOEe and MOR of A. mangium timber from Indramayu and Banten were 0.81, 0.16 and 1.20, respectively. The F table at 0.05 probability, numerator degree of freedom for location 1 and denominator

degree of freedom of 59 samples is 4.004 (Lawless 1982). The lower value of the F-test compared to the F table signifies that there was no significant difference in the strength and rigidity performance between A. mangium timber from Indramayu and Banten.

The insignificant difference between the rigidity and strength of timbers from Banten and Indramayu could be explained by the production characteristics of the timber. Although timbers from Banten were higher in density, they contained more defects than those from Indramayu. The timber defects were reflected by visual grading. The Indonesian timber grading code classifies the visual grade of structural timber into three categories grade: A, B and C, based on the size and position of knots, fiber angle and the length of checks etc. The Banten area contained greater amounts of low-grade timber than Indramayu, as shown in Table 2. The defects might have a direct association with the lack of pruning in the cultivation system, as many branches were kept on the trees and more knots were found in sawn timbers from Banten. The sum of these effects, i.e. timber of higher density but with more defects, resulted in a similar outcome, as regards rigidity and strength, to timber with a lower density but fewer defects. The effect of these defects on timber strength and rigidity was also identified from results for the two evaluated locations. A higher MOR was found in timber from Indramayu, with a relatively low density, than timber from Banten, in which the density was higher, as shown in Table1.

The MOR of straight-grained timber declined with the higher fiber angle: from 100% MOR in straight-grained timber to 89, 81 and 55% for 1/15, 1/10 and 1/5 fiber angles, respectively (Green et.al. 1999). As shown in Table 2, visual grades of timber from Banten are predominantly in grade C, which has a limit for fiber angel of 1/5, and grade B with a limit of 1/7. The fiber angle limit for grade A is 1/10. It is clear that a higher fiber angle resulted in a lower grade of the timber.

Another dominant defect was knots. A. mangium trees were planted for the pulp and paper industries, where pruning was unnecessary, with most timber having knots in all parts. Knot size is a parameter for classifying the visual grades of structural timber. The allowed knot size for grade A is smaller than B and C. Since the timber from Banten is lower grade than timber of Indramayu, these defect conditions affected the similarity in strength and rigidity of timber from both

Page 32: Ultra-Struktur Kayu Tekan Damar (Agathis loranthifolia Salisb.)

32 J. Tropical Wood Science and Technology Vol.5 • No. 1 • 2007

locations, although the density of timber from Banten was higher than that of Indramayu. Strength Characteristics for Using A. mangium Timber in Structures

Data on the strength of timber is needed when using timber as a structural material. As a natural material, timber strength is established in a piece of timber as an accumulative effect of density and the defects mentioned previously. For a certain timber species, allowable stress is usually derived from its characteristic value, which is defined as the population mean, median or tolerance limit value, estimated from test data after it has been adjusted to standardized conditions of temperature, moisture content and characteristic size (Anonymous 2000). Non-parametric and parametric procedures are usually used in the derivation of characteristic value or allowable strength of timber. As statistical analysis has shown that location was insignificant as regards rigidity and strength, the characteristic values for A. mangium timber was established using 120 samples.

Using a non-parametric procedure, the mean values of MOEf, MOEe and MOR of tested A. mangium

fell within the 75 and 95% confidence intervals, as shown in Table 3. When the width of the confidence

interval, calculated as nXts_

/ ≤ λ, the allowable value for the modulus of elasticity is the sample mean, as shown in Table 1. In this equation, s is standard

deviation, −

X is samples mean, n is number of samples and λ is the width of confidence interval. Usually, λ is predetermined in the range 0.01 ~ 0.10 (Anonymous 2000). For A. mangium, the allowable values of MOEf and MOEe are 8.9 and 10.9 GPa, respectively.

For the MOR, the allowable strength could be established through non-parametric or parametric procedures. Non-parametric point estimate (NPE) and non-parametric lower estimate (NTL), as well as the parametric procedures of normal distribution, log-normal distribution and Weibull distribution are shown in Fig. 2. The estimated population parameter at 95% confidence interval of non-parametric and parametric procedures provided different characteristic values for MOR, as shown in Table 4.

.

Table 3. Population mean and 75 and 95% confidence interval for flexural strength performance of timber.

Confidence interval Width of confidence interval Properties Mean 75% 95% 75% 95%

MOE flatwise (GPa) 8.9 8.5 ~ 9.2 8.7 ~ 9.4 0.03 0.05 MOE edgewise (GPa) 10.9 10.3 ~ 11.2 10.5 ~ 11.5 0.03 0.05 MOR (MPa) 42.2 40.6 ~ 43.9 39.4 ~ 45.1 0.04 0.07

Table 4. Estimates of population parameter for A. mangium

Parameter MOE flat-wise (GPa) MOE edgewise (GPa) MOR (MPa) Normal µ σ 5% lower tolerance limit

8.9 2.6 4.4

10.9 3.2 5.1

42.2 15.9 14.5

Lognormal λ ξ 5% lower tolerance limit

2.2 0.3. 5.1

3.2 0.3 6.3

3.7 0.4 19.6

2P-Weibull distribution η m 5% lower tolerance limit

9.8 4.2 4.9

11.8 5.6 6.4

47.3 3.1 16.3

Non-parametric 5% point estimate 5% tolerance limit

5.1 4.6

6.5 6.2

16.6 15.2

Page 33: Ultra-Struktur Kayu Tekan Damar (Agathis loranthifolia Salisb.)

Effective Utilization of Fast-Growing Acacia mangium Willd. Timber As a Structural Material 33 (Anita Firmanti, Kohei Komatsu, and Suichi Kawai)

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

0 5 10 15 20 25

Modulus of elasticity in flat-wise (MPa)

Cum

ulat

ive

freq

uenc

y

NormaldistributionLog-normaldistributionWeibulldistributionActualfrequency

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

0 5 10 15 20 25

Modulus of elasticity in edge-wise (GPa)

Cum

ulat

ive

freq

uenc

y

ActualfrequencyNormaldistributionLog-normaldistributionWeibulldistribution

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

0 20 40 60 80 100Modulus of rupture (MPa)

Cum

ulat

ive

freq

uenc

y

Actual frequency

Normal distribution

Log-normaldistribution

Weibulldistribution

Fig. 2. Parametric distributions of modulus of elasticity and modulus of rupture for A. mangium timber

Page 34: Ultra-Struktur Kayu Tekan Damar (Agathis loranthifolia Salisb.)

34 J. Tropical Wood Science and Technology Vol.5 • No. 1 • 2007

In general, the strength characteristic value in allowable stress design is the fifth exclusion limit (R005) of the population distribution. The strength characteristic values of MOR based on NPE, NTL, 5% tolerance limit of normal distribution, log-normal distribution, and Weibull distributions were 18.2, 15.2, 14.7, 19.6 and 22.4 MPa, respectively. Based on the sample mean values and standard deviations, and the relatively small difference in NPE and NTL, 120 samples were sufficient for establishing the allowable stress using a non-parametric procedure. The value of (NPE-NTL) / NPE, expressed as δ, was 0.084. Resting within the range 0.01 ~ 0.10, the value of NPE and NTL could be utilized as the allowable stress value. The parametric tolerance limit (PTL) is calculated as follows (Anonymous 2000):

PTL = _X – Ks

where _X is the mean value; s is standard deviation. K

depends upon the sample size, the percentile 100–p and confidence 1–ϒ In this paper, the number of samples was 120, the 100–p was 95%, and 1–ϒ was 0.95. With reference to Table 5 and Fig. 2, the goodness-of-fit of the tested values presented by the plots, and the normal, log-normal, and Weibull distributions were 65, 90 and 36%, respectively.

A goodness-of-fit test for parametric distribution to the data distribution is necessary to get a confidence value for allowable strength. For parametric procedures, the improper selection of population distribution would produce inappropriate strength characteristic values (Hunt and Bryant 1996) Fig. 3 shows that, although the frequency of the testing result was not well fit to the Weibull distribution, the 5% exclusion limit for Weibull distribution was similar to those of normal distribution and non-parametric values in the lower end. Distribution of wood properties, especially related to strength, and characteristic value in the lower end is typically fitted to lognormal distribution (Hunt and Bryant 1996), but in ASTM 5457-97 the assumption for both is a Weibull distribution (Anonymous 2000). Application of Timber-strength grading for the Effective Utilization of A. mangium Timber

The non-parametric procedure shows the allowable strength of A. mangium as 15.2 MPa; with the parametric procedure it is 16.34 MPa. The MOR of tested A. mangium was in the range 11.6 ~ 92.0 MPa, with a mean value of 42.2 MPa. Since the use of structural timber is based on its characteristic strength value, i.e. the strength determined by the lower percentile of the population, the high strength of the majority of the population cannot be effectively utilized unless each timber is graded separately (Anonymous 1990).

With reference to Table 2, most of the timbers were classified as Grade B or C. The results of grading

showed that knots were found in most samples (88%) and fiber angle in 26 pieces (44%) and a small percentage of other defects. Based on visual grading, as mentioned in the timber design code, among 120 sawn timbers, 18 pieces were in Grade A, 66 in Grade B and 36 was in Grade C. The strength ratio for Grade A, B and C is 0.80, 0.63 and 0.50, respectively. Following Indonesian standards (Anonymous 1987), the visual grade of timber, having density as the basic criterion, allowable stress of A. mangium was calculated in the range 4.34 ~ 12.17 MPa.

Comparing the allowable stress, based on the calculation of non-parametric procedures as mentioned above, the allowable MOR of tested A. mangium, based on the Indonesian timber design code, is very small, too conservative and wasteful, resulting in a dissipation of wood strength. Such a classification does not work effectively in timber strength classification because the determination of defects was only based on size, and the location of knots has never been taken into account. The predictive accuracy of visual grading therefore has its limitation. Since the grading decision depends on the judgment of the grader it can never be totally objective (Gloss 1995b).

As mentioned above, if the use of structural timbers is based on the strength of the lower percentile of the population, the high strength of the majority of the population cannot be utilized effectively, given an assumed strength based on the density being too conservative. Simple static equipment for measuring deflection was applied to timber. In this experiment, using a simple linear-regression analysis, the coefficient of determination (R2) of the relationship between MOEf and MOR was 0.61, as shown in Fig. 3. Coefficients of determination of the relationship between MOEf and MOR have been reported in some studies as 0.72, 0.53, 0.55 and 0.56 (Steffen et.al. 1997).

Modulus of elasticity alone gives a better prediction than density, annual ring width and knot data combined. Due to the fact that timber also contains data on the clear wood properties along with defects, such as knots, fiber angle etc., combining the MOE with other data therefore has only a small effect on predicted performance. The coefficient of determination of the relationship between MOE and bending strength of 58 × 120 mm Norway spruce timber was reported to be 0.49, but with the addition of knot data it was 0.59 (Johansson 1995).

The coefficient of determination (R2) or the coefficient correlation (R) gives an indication of the relationship between independent and dependent variables (Gomez and Gomez 1984). High R2 could be obtained from the data that fall in the upper and lower ends of normal distributions. Fig. 3 shows MOEf and MOR data scattered so evenly that the MOEf could be used to predict MOR. An evaluation for the modulus of

Page 35: Ultra-Struktur Kayu Tekan Damar (Agathis loranthifolia Salisb.)

Effective Utilization of Fast-Growing Acacia mangium Willd. Timber As a Structural Material 35 (Anita Firmanti, Kohei Komatsu, and Suichi Kawai)

elasticity as a predictor of bending strength was conducted using ANOVA, as shown in Table 6. With calculated F significantly higher than the F table, it confirmed that MOEf could be used as a predictor of MOR.

Y = 4.80 X - 0.53R2 = 0.61

0

20

40

60

80

100

0 5 10 15 20 25

Modulus of elasticity in flat-wise (GPa)

Mod

ulus

of r

uptu

re (M

Pa)

Fig. 3. Relationship between MOEf and MOR of A.

mangium timber.

The results of this research provide evidence that, in the utilization of A. mangium as a structural material, applied mechanical grading, using MOEf as a predictor, is the most effective technique compared to conventional methods of allowable stress by species or visual grading.

One important fact in the use of timber as a structural material is timber strength class. Since the MOE is used as the principal predictor of strength, timber strength classes in some countries are based on the

MOE. The timber strength class for A. mangium has been determined through multiple regression analysis of some tropical timber species. Table 7 shows the A. mangium timber strength classes. The bending strength characteristic of A. mangium timber (allowable stress) in Table 7 is similar to the allowable bending stress, at similar MOE values, for deciduous species in EN 338 (Gloss 1995a). Kretschmann and Green (1999) determined a lower allowable stress of bending, at similar MOE values, for machine-graded timber than those for A. mangium, but the difference was insignificant, regardless of species, as shown in Table 7. In comparison to the Japanese timber strength classification, the strength and rigidity of A. mangium is relatively consistent with the strength and rigidity classification of Karamatsu (Larix leptolepis), Hinoki (Chamaelyparis obtuse S. and Z.) and Hiba (Thujopsis dolabrata S. and Z. var. hondai) woods (Anonymous 2002).

The result that A. mangium timber could be used as a substitute material in light-timber structures, such as detached houses, promotes the effective utilization of fast-growing species, which are planted in well-planned plantations. With a high annual growth, A. mangium timber could be harvested in 6 ~ 10 years. In Indonesia, the predicted area of 6.5 million ha of A. mangium timber can fulfil the timber needs in existing industries (Djojosubroto 2003). Considering the fact that natural tropical forests have been seriously degraded, over the long-term, the use of A. mangium timber for housing and other light structures will reduce the destruction of exotic natural tropical forests for a more sustainable humanosphere.

Table 5. Goodness-of-fit of parametric distributions for frequency of test result plots

Fitness of parametric distributions (%) Properties Normal Lognormal 2P-Weibull

MOE flat-wise 100 100 71

MOE-edgewise 54 100 69

MOR 65 90 36 Table 6. ANOVA of regression between MOE flat-wise and MOR

Parameter Sum of square Degree of freedom

Mean square

Fcalcul

ated Ftable

Regression 17892.48 1 17 892.48

Residual 11520.25 118

Total 29412.73 119 97.63

183.27 3.92*

6.85**

Page 36: Ultra-Struktur Kayu Tekan Damar (Agathis loranthifolia Salisb.)

36 J. Tropical Wood Science and Technology Vol.5 • No. 1 • 2007

Table 7. Timber strength class of A. mangium and strength class for timber, regardless of species, based on MOE

Grade MOE (GPa) Allowable Stress of A. mangium (MPa)

Allowable Stress Regardless of Species (Mpa)

E 150 E 135 E 120 E 115 E 90 E 75 E 60

15.0 13.5 12.0 10.5 9.0 7.5 6.0

25.2 22.7 20.3 17.8 15.4 13.0 10.5

20.3 17.9 15.5 13.0 10.6 8.2 5.7

Conclusions

As a fast growing species, A. mangium is a

prospective material for timber structures in Indonesia. It can be a substitute for tropical hardwood, the supply of which is decreasing year by year. Since the strength and rigidity of a piece of timber are affected by density and inherent defects, there was an insignificant difference between the strength and rigidity of A. mangium timber from the two areas studied.

Without application of visual or mechanical grading, the use of timber is based on its characteristic strength value, i.e. the lower 5-percentile of the population. Under such conditions, the high strength of the majority of pieces can not be utilized effectively. Based on non-parametric analysis, the allowable MOR for A. mangium was calculated as 16.60 MPa, MOEf as 8.93 GPa and MOEe as 10.87 GPa. The result of parametric analysis showed a high degree of fitness to a log-normal distribution. The parametric tolerance limit of MOR was 19.60 MPa.

Through the regression analysis and ANOVA, it was found that MOEf was a good predictor for bending strength due to high correlation coefficient and the F-values. Effective utilization of fast-growing A. mangium timber, which was planted for pulp and paper usage as a structural building material, can be obtained through the implementation of mechanical stress grading, using flat-wise MOE as a predictor. The timber strength class had also been established to promote the effective utilization of A. mangium as a structural material. Such strength classes conform to the European norm, American and Japanese mechanically graded solid timber strength classes.

The result of this study will promote the effective utilization of fast-growing species, planted in well-designed plantations. In the long-term, the application of A. mangium timber for housing and other light structures will reduce the destruction of exotic natural tropical forests for a more sustainable humanosphere.

Acknowledgements

The authors thank to the Japan Society for the

Promotion of Science for sponsorship, Research Center of Human Settlements Indonesia for testing facilities and Forest Plantation Estate (Perum Perhutani) Indonesia for providing raw materials.

References Anonymous. 1956. Timber Design and Construction

Handbook. Timber Engineering Company. McGraw-Hill, New York, pp. 1–2.

Anonymous. 1987. Standard Specification of Timber for Building Materials. SKI C-bo-010:1987, Ministry of Forestry, Jakarta, Indonesia (in Indonesian).

Anonymous. 1990. Wood Engineering Handbook. Forest Product Laboratory. Prentice-Hall, NJ, pp 3:1–28, 4:1–44, 6:1–12.

Anonymous. 2000. ASTM Standard D 198–1999, D 1990-2000, D 2915-1997, D 5457-1997. Vol. 04.10. Wood, Philadelphia, USA.

Anonymous. 2002. Standard for Structural Design of Timber Structures, Japan Institute of Architecture, pp. 33–337.

Djojosubroto J. 2003. A. mangium for Wood Construction. Proceeding of Available Wood Construction Seminar, Jakarta. (in Indonesian)

Firmanti, A.; E.T. Bachtiar; S. Surjokusumo; K. Komatsu; S. Kawai. 2005. Application of Mechanical Stress Grading on Tropical Timber without Regard to Species. Journal of Wood Science Vol. 51 Number 4: pp. 339 -347.

Gloss, P. 1995a. Solid Timber-strength Classes. STEP Lecture A7, Ludwig-Maximilans-Universitat, Munchen, Timber Engineering STEP 1, 1st Ed., Centrum Hout, the Netherlands. pp. A7/1–A7/8.

Gloss, P. 1995b. Strength Grading. STEP Lecture A6 Ludwig-Maximilans-Universitat, Munchen, Timber Engineering STEP 1, 1st Ed., Centrum Hout, the Netherlands. pp. A6/1–A6/8.

Gomez, K.A.; A.A. Gomez. 1984. Statistical Procedure for Agricultural Research. Wiley, New York.

Page 37: Ultra-Struktur Kayu Tekan Damar (Agathis loranthifolia Salisb.)

Effective Utilization of Fast-Growing Acacia mangium Willd. Timber As a Structural Material 37 (Anita Firmanti, Kohei Komatsu, and Suichi Kawai)

Green, D.W.; J.E. Winandy; D.E. Kretschmann. 1999. Mechanical Properties of Wood. Wood Handbook, Wood as an Engineering Material. Forest Product Society USA. Chapter 4, pp. 4-30–4-34.

Hoffmeyer, P. 1995. Wood as Building Materials. STEP Lecture A4, Technical University of Denmark, Timber Engineering STEP 1, 1st Ed., Centrum Hout, the Netherlands. pp. A4/1–A4/21.

Hunt, R.D.; A.H. Bryant. 1996. Statistical Implications of Methods of Finding Characteristic Strengths. Journal of Structural Engineering. pp. 202–209.

Johansson, C.J. 1995. Grading of Timber with Respect to Mechanical Grading. Timber Engineering. Wiley, New York. Chapter 3, pp. 23–43.

Kretschmann, D.E; D.W. Green. 1999. Lumber Stress Grades and Design Properties. Wood Handbook, Wood as an Engineering Material. Forest Product Society USA. Chapter 6, pp. 6-1–6-14.

Lawless, J.F. 1982. Statistical Models and Methods for Lifetime Data. Wiley Series in Probability and Mathematical Statistic. Wiley, New York.

Lemmens, R.H.M.J.; I. Soerianegara; W.C. Wong. 1995. Timber Trees: Minor Commercial Timbers PROSEA No 5 (2), Backhuys, Leiden.

Razali, A.K.; E.D. Wong. 1994. Laminated Veneer Lumber (LVL) from Forest Plantation Thinning and Agricultural Waste – A. mangium and Hevea brasiliensis. Proceedings of the International Symposium on the Utilization of Fast Growing Trees, Nanjing, China, 15–17 October 1994. pp. 72–82.

Sasaki, H; S. Kawai; L.F. Ma. 1994. Recent Trials on the Utilization of Fast Growing Plants. Proceedings of the International Symposium on the Utilization of Fast Growing Trees, Nanjing, China, 15–17 October 1994, pp. 162–170.

Steffen, A.; C.J. Johansson; E.W. Wormuth. 1997. Study in the Relationship between Flat-wise and Edge-wise Moduli of Elasticity of Sawn Timber as a Means to Improve Mechanical Strength Grading Technology. Holz als Roh-und Werksoff. pp. 55:245–253.

Received : 25 April 2007 Accepted : 30 April 2007 Final revision : 15 Mei 2007 Anita Firmanti Research Institute for Human Settlements, PO Box 812, Bandung 40008, Indonesia Tel. : +62-22-779-8393 Fax : +62-22-779-8392 E-mail : [email protected] Kohei Komatsu, Suichi Kawai Research Institute for Sustainable Humanoshere, Kyoto University Uji-Kyoto 611-0011, Japan

Page 38: Ultra-Struktur Kayu Tekan Damar (Agathis loranthifolia Salisb.)

38 J. Tropical Wood Science and Technology Vol.5 • No. 1 • 2007

Pengaruh Ekstrak Bintaro (Carbera odollam Gaertn) dan Kecubung (Brugmansia candida Pers) terhadap Rayap Tanah Coptotermes sp

Influence of Bintaro (Carbera odollam Gaertn) and Kecubung (Brugmansia candida Pers) Extract against Subterranean Termite Coptotermes sp

Didi Tarmadi, Arief Heru Prianto, Ikhsan Guswenrivo, Titik Kartika dan Sulaeman Yusuf

Abstract

Subterranean termite especially Coptotermes sp has been spread widely and has caused a tremendous

economical loss. Various chemical compounds have been used to overcome termite attack. However, utilization of chemical could endanger the environment, thus it is important to find another compound which can be used as an environmental friendly wood preservatives. One of the alternatives is to extract natural compound which has an anti-insect peculiarity. Fruits, leaves and barks of Bintaro and Kecubung, especially their leaves and flowers have been widely known as traditional medicine. This paper explains the effects of the extracts of Bintaro (leaves and bark) and Kecubung (leaves) on subterranean termite of Coptotermes sp.

Leaves and bark powder of Bintaro and leaves powder of Kecubung were extracted with n-hexane, ethyl acetate, acetone, and methanol. Paper disc which has been dropped by the extract solution was used as bait to subterranean termite of Coptotermes sp. The observation of termite mortality was calculated for every two days during 10 days of observation. The result shows that Bintaro leaves extracted with methanol caused 100% termite mortality on last observation. Whereas on Bintaro bark extracted with n-hexane and acetone caused 100% termite mortality on eighth day of the treatment. Kecubung leaves extracted with n-hexane and ethyl acetate caused 100% termite mortality on last observation. Key words: extract, Carbera odollam Gaertn, Brugmansia candida Pers, subterranean termite.

Pendahuluan

Rayap tanah khususnya Coptotermes sp memiliki sebaran yang luas dan telah menyebabkan kerusakan yang cukup parah. Di Indonesia, kerugian akibat serangan rayap perusak mencapai 224 ~ 238 milyar rupiah per tahun (Prasetiyo dan Yusuf 2004). Berbagai bahan kimia telah digunakan untuk menanggulangi bahaya serangan rayap, tetapi penggunaan bahan kimia tersebut dikhawatirkan dapat membahayakan lingkungan sehingga penelitian terus diarahkan untuk menemukan bahan lain yang dapat digunakan sebagai bahan pengawet kayu yang ramah lingkungan. Dalam dunia pengawetan kayu, ekstrak bahan-bahan hayati yang bersifat anti rayap bukanlah sesuatu yang baru. Berbagai penelitian telah dilakukan dengan mengekstrak kayu, kulit, buah dan daun dari jenis-jenis tertentu yang secara tradisional berkhasiat untuk obat-obatan atau dari kayu yang memiliki keawetan alami tinggi. Syafii (2001) melaporkan beberapa jenis kayu seperti Sonokeling (Dalbergia latifolia), Johar (Cassia siamea), Damar Laut (Hopea spp), Eboni (Diospyros polisanthera), Kolaka (Parinari corymbosa), Torem (Manilkara kanosiensis), Lara (Metrosideros petiolata), Nyatoh (Palaqium gutta), Sonokembang (Pterocarpus indicus) mempunyai ekstraktif yang bersifat anti-rayap. Kayu Nangka (Pterocarpus heterophylla) juga mengandung ekstraktif

(artocartin) yang potensial sebagai anti rayap (Shibutani et.al. 2004). Guswenrivo et al. (2005) melaporkan bahwa ekstrak daun Sirih dengan menggunakan pelarut dietil eter memberikan mortalitas rayap yang tinggi. Prianto et al. (2005) juga melaporkan bahwa ekstrak kulit dan daun Mimba dengan pelarut dietil eter dan aseton memberikan mortalitas rayap yang tinggi.

Kecubung dan Bintaro telah dikenal luas oleh masyarakat. Kecubung memiliki khasiat sebagai antiasmatik, antibatuk (antitusif), antirematik, penghilang nyeri (analgesik), afrodisiak dan pemati rasa (anestetik). Kecubung mengandung 0.3 ~ 0.4% alkaloid (sekitar 85% skopolamin dan 15% hyoscyamine), hycoscin dan atropin (tergantung pada varietas, lokasi dan musim), zat aktifnya dapat menimbulkan halusinasi bagi pemakainya dan jika alkaloid Kecubung diisolasi maka akan terdeteksi adanya senyawa methyl crystalline yang mempunyai efek relaksasi pada otot gerak (Anonim 2004). Sedangkan Bintaro tergolong famili Apocynacea, berkhasiat sebagai anti-malaria. Pada daun, buah dan kulit batang mengandung saponim, daun dan buahnya juga mengandung polifenol, disamping itu kulit batangnya mengandung tanin (Salleh 1997).

Makalah ini memaparkan pengaruh ekstrak daun dan kulit Bintaro serta daun Kecubung terhadap rayap tanah Coptotermes sp dan kemungkinannya untuk dimanfaatkan sebagai bahan pengawet kayu alami.

Page 39: Ultra-Struktur Kayu Tekan Damar (Agathis loranthifolia Salisb.)

Influence of Bintaro (Carbera odollam Gaertn) and Kecubung (Brugmansia candida Pers) 39 Extract against Subterranean Termite Coptotermes sp (Didi Tarmadi, Arief Heru Prianto, Ikhsan Guswenrivo, Titik Kartika dan Sulaeman Yusuf)

Fig 1. Flow chart of extraction procedures

Bahan dan Metode

Prosedur Ekstraksi Prosedur ekstraksi mengacu pada penelitian

Guswenrivo et al. (2005) dan Prianto et al. (2005) seperti terlihat pada Gambar 1. Daun dan kulit Bintaro yang diperoleh dari Kebun Raya Bogor serta daun Kecubung yang diperoleh dari Kebun Raya Cibodas dikeringkan lalu dihancurkan menjadi serbuk dengan ukuran 40 mesh. Selanjutnya ditimbang 250 gram serbuk daun dan kulit Bintaro serta 150 gram daun Kecubung lalu diekstrak menggunakan n-Hexana selama 24 jam pada temperatur kamar. Banyaknya pelarut organik yang dipergunakan adalah 6:1 terhadap berat contoh serbuk Bintaro dan Kecubung. Residu dari ekstrak dengan n-hexana, dipergunakan kembali untuk diekstrak dengan menggunakan pelarut etil asetat, aseton, dan metanol secara bergantian dengan cara yang sama. Hasil masing-masing ekstrak dievaporasi pada temperatur lebih kurang 40ºC sampai kering. Dalam penelitian ini menggunakan berat serbuk yang berbeda dikarenakan keterbatasan daun Kecubung.

Prosedur Pembuatan Konsentrasi Larutan Uji

Dalam penelitian ini digunakan konsentrasi larutan 5% dan 10%. Konsentrasi larutan dihitung dengan rumus: Konsentrasi larutan = {(berat ekstrak) /(berat ekstrak + berat pelarut)} x 100%.

Prosedur Pengujian Bioassay terhadap Rayap Untuk mengetahui pengaruh ekstrak Bintaro dan

Kecubung dilakukan pengujian anti rayap dengan cara pengumpanan hasil ekstraksi terhadap rayap tanah Coptotermes sp. Prosedur pengujian bioassay terhadap rayap mengacu pada penelitian Guswenrivo et al. (2005) dan Prianto et al. (2005), dimana sebanyak 50 ekor rayap pekerja dan 5 ekor rayap prajurit dari jenis Coptotermes sp serta paper disc (sebagai umpan) yang telah ditetesi ekstrak Bintaro dan Kecubung dengan variasi konsentrasi 5% dan 10% dimasukkan bersama-sama ke dalam petri disc yang telah dilapisi plaster paris setebal 3 mm. Sebelum diumpankan, paper disc yang telah ditetesi ekstrak Bintaro dan Kecubung terlebih dahulu divaccum di desikator selama 6 jam untuk menghilangkan pelarut. Pada penelitian ini menggunakan metode umpan paksa (forced feeding test) dimana rayap dipaksa memakan paper disc yang telah ditetesi oleh ekstrak.

Hasil dan Pembahasan

Banyaknya hasil ekstrak yang diperoleh dari ketiga bahan yang diteliti yaitu daun dan kulit Bintaro serta daun Kecubung pada keempat pelarut yang digunakan yaitu n-hexana, etil asetat, aseton dan metanol berkisar antara 0.43 gram sampai 16.85 gram. Dari hasil penelitian diketahui bahwa jenis pelarut yang digunakan sangat menentukan banyaknya kandungan ekstraktif yang dihasilkan. Secara lengkap hasil ekstraksi pada ketiga bahan yang diteliti dapat dilihat pada Tabel 1.

Methanol

n-Hexane Extract

n-Hexane

Residue

Ethyl acetate Extract

Residue

Residue Acetone Extract

Ethyl acetate

Acetone

Barks/Leaves

Methanol Extract

Evaporation

Page 40: Ultra-Struktur Kayu Tekan Damar (Agathis loranthifolia Salisb.)

40 J. Tropical Wood Science and Technology Vol.5 • No. 1 • 2007

Tabel 1 menunjukkan bahwa kandungan ekstraktif pada daun dan kulit Bintaro serta daun Kecubung sangat bervariasi tergantung jenis pelarut yang digunakan. Ekstrak dengan pelarut metanol menghasilkan ekstraktif yang paling banyak pada ketiga bahan yang diekstrak. Kemungkinan karena metanol berupa pelarut polar jadi dapat melarutkan zat-zat ekstraktif yang sebagian besar bersifat polar. Yang perlu diperhatikan adalah banyaknya ekstraktif yang dihasilkan bukan satu-satunya tolok ukur keefektifan ekstrak tersebut, tetapi yang paling utama yaitu zat toksik yang terlarut.

Secara umum ketiga bahan yang diekstrak yaitu daun dan kulit Bintaro serta daun Kecubung menyebabkan mortalitas rayap berkisar antara 90% sampai 100% pada akhir pengamatan.

Hasil pengujian ekstrak terhadap rayap tanah Coptotermes sp menunjukkan bahwa ekstrak daun dan kulit Bintaro serta daun Kecubung dengan keempat pelarut memberikan pengaruh yang cukup efektif terhadap mortalitas rayap dibandingkan dengan kontrol. Dari gambar 2a, 2b, 3a, 3b, 4a dan 4b terlihat bahwa mortalitas rayap sangat beragam tergantung jenis bahan

yang diekstrak dan jenis pelarut yang digunakan. Mortalitas rayap paling tinggi pada daun Bintaro diperoleh dengan pelarut metanol konsentrasi 10%. Sedangkan pada kulit Bintaro, mortalitas rayap tertinggi diperoleh dengan pelarut n-hexana konsentrasi 10% dan aseton konsentrasi 10%. Hal senada terjadi pada daun Kecubung, dimana ekstrak dengan n-hexana konsentrasi 10% menyebabkan mortalitas rayap 100% pada hari kedelapan dan n- hexana konsentrasi 5% menyebabkan mortalitas rayap 100% pada akhir pengamatan. Dari hasil penelitian diketahui bahwa ekstrak kulit Bintaro menyebabkan mortalitas rayap lebih tinggi daripada pada ekstrak daun Bintaro. Hal ini kemungkinan mengindikasikan bahwa zat toksik lebih banyak terkandung pada kulit Bintaro daripada daun Bintaro tetapi hal ini perlu diteliti lebih lanjut. Secara umum terlihat bahwa tingkat konsentrasi memberikan pengaruh terhadap mortalitas rayap, dimana hampir pada semua bahan yang diekstrak dan semua pelarut yang digunakan, ekstrak dengan konsentrasi 10% menyebabkan mortalitas rayap yang lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrak dengan konsentrasi 5%.

Table 1. Extractive compound of Bintaro (leaves and barks) and Kecubung (leaves).

Extractive compound (%) Solvent Bintaro leaves Bintaro barks Kecubung leaves

n Hexane 5.36 5.85 1.00 Ethyl acetate 7.03 1.60 0.43

Acetone 3.14 7.65 1.20

Methanol 10.55 16.85 8.52

Fig 2a. Termite mortality caused by extract of Bintaro leaves at 5% concentration.

0

20

40

60

80

100

0 2 4 6 8 10

Period (days)

Term

ites m

ortal

ity (%

)

Ethy l acetate 10%n-Hexane 10%Acetone 10%Methanol 10%Control

0

20

40

60

80

100

0 2 4 6 8 10

Period (days)

Term

ites m

ortal

ity (%

)

Ethyl acetate 5%n-Hexane 5%Acetone 5%Methanol 5%Control

Fig 2b. Termite mortality caused by extract of Bintaro leaves at 10% concentration.

Page 41: Ultra-Struktur Kayu Tekan Damar (Agathis loranthifolia Salisb.)

Influence of Bintaro (Carbera odollam Gaertn) and Kecubung (Brugmansia candida Pers) 41 Extract against Subterranean Termite Coptotermes sp (Didi Tarmadi, Arief Heru Prianto, Ikhsan Guswenrivo, Titik Kartika dan Sulaeman Yusuf)

0

20

40

60

80

100

0 2 4 6 8 10

Period (days)

Term

ites m

ortal

ity (%

)

Ethyl acetate 10%n-Hexane 10%Acetone 10%Methanol 10%Control

Secara umum tingkat konsumsi rayap tanah Coptotermes sp pada paper disc yang telah ditetesi oleh ekstrak juga sangat bervariasi tergantung dari jenis bahan yang diekstrak dan pelarut yang digunakan. Dari Tabel 2 diketahui bahwa terdapat kecendrungan semakin rendah konsentrasi yang digunakan laju konsumsi terhadap paper disc semakin besar. Falah et.al. (2005) menyatakan bahwa penurunan weight loss paper disc akibat peningkatan konsentrasi ekstrak menunjukkan penambahan ekstrak memberikan

peningkatan ketahanan paper disc terhadap serangan rayap. Dari Tabel 2 juga diketahui bahwa hampir semua paper disc yang ditetesi oleh ekstrak dengan kedua konsentrasi yang diujikan ternyata dimakan oleh rayap. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa mekanisme peracunan rayap berlangsung di dalam pencernaan rayap. Dimana zat toksik dari ketiga material yang diujikan mengganggu protozoa di dalam usus rayap sehingga menyebabkan rayap tersebut mati karena tidak dapat mencerna selulosa.

0

20

40

60

80

100

0 2 4 6 8 10Period (days)

Term

ites m

ortal

ity (%

)

Ethyl acetate 5%n-Hexane 5%Acetone 5%Methanol 5%Control

Fig 3a. Termite mortality caused by extract of Bintaro barks at 5% concentration.

Fig 3b. Termite mortality caused by extract of Bintaro barks at 10% concentration.

0

20

40

60

80

100

0 2 4 6 8 10

Period (days)

Term

ites m

orta

lity (%

)Ethyl acetate 10%n-Hexane 10%Acetone 10%Methanol 10%Control

Fig 4a. Termite mortality caused by extract of Kecubung leaves at 5% concentration.

0

20

40

60

80

100

0 2 4 6 8 10Period (days)

Term

ites m

ortal

ity (%

)

Ethyl acetate 5%n-Hexane 5%Acetone 5%Methanol 5%Control

Fig 4b. Termite mortality caused by extract of Kecubung leaves at 10% concentration.

Page 42: Ultra-Struktur Kayu Tekan Damar (Agathis loranthifolia Salisb.)

42 J. Tropical Wood Science and Technology Vol.5 • No. 1 • 2007

Table 2. Weight loss of paper disc treated by extract of Bintaro (leaves and barks) and Kecubung (leaves). Weight loss (%) Solvent Concentration

Bintaro leaves Bintaro barks Kecubung leaves

5 23 12 5 n-Hexane 10 7 15 14

5 24 13 22 Ethyl acetate 10 11 12 16

5 20 18 10 Acetone 10 8 5 16

5 25 16 24 Methanol 10 13 20 10

Control 44 44 44

Kesimpulan

1. Secara umum ekstrak kulit dan daun Bintaro serta

daun Kecubung memberikan efek signifikan terhadap mortalitas rayap.

2. Kulit Bintaro menyebabkan efek mortalitas lebih tinggi dari pada daun Bintaro.

3. Mortalitas rayap tertinggi pada ekstrak daun Bintaro yaitu dengan menggunakan pelarut metanol konsentrasi 10%, pada kulit Bintaro menggunakan pelarut n-Hexana konsentrasi 10% dan aseton konsentrasi 10% sedangkan pada daun Kecubung menggunakan pelarut n-nexana konsentrasi 10% dan 5%.

Daftar Pustaka

Anonim. 2004. Kecubung Pereda Sakit Haid. http: //

www.suaramerdeka.com/cybernews/sehat/obatalami/obat-alami15.html.

Falah, S.; T. Katayama; Mulyaningrum. 2005. Utilization of Bark Extractives from Some Tropical Hardwoods as Natural Wood Preservatives: Termitidial Activities of Extractives from Barks of Some Tropical Hardwoods. Proceeding of the 6th International Wood Science Symposium, pp. 323-328.

Guswenrivo, I.; T. Kartika; A.H. Prianto; D. Tarmadi; S. Yusuf. 2005. Pemanfaatan Bahan Aktif dari Daun Sirih (Piper betel Linn) sebagai Bahan Anti Rayap. Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia VIII, pp. C-16 – C-20.

Prasetiyo, K.W.; dan S. Yusuf. 2004. Mencegah dan Membasmi Rayap secara Ramah Lingkungan dan Kimia. Agro Media Pustaka. Jakarta.

Prianto, A.H.; I. Guswenrivo; T. Kartika; D. Tarmadi;

S.Yusuf. 2005. Study on Utilization of Active Component in Leaves and Bark of Neem (Azadirachta indica A. Juss) As Anti-Termites. Proceeding of the 6th International Wood Science Symposium, pp. 351-355.

Salleh. 1997. Ethno botany, Ethno Pharmacognasy and Documentation of Malaysia Medicinal and Aromatic Plants. UKM. Malaysia. http: //www. borneofocus. com/saip/vaic/R&D/article5.htm.

Shibutani, S.; S. Doi; S. Yusuf. 2004. Antitermite Property of Artocarpus heterophylla-Identification of Termite-resistant Component. Proceeding of the 5th International Wood Science Symposium, pp. 171-174.

Syafii, W. 2001. Eksplorasi dan Identifikasi Komponen Bio-Aktif Beberapa Jenis Kayu Tropis dan Kemungkinan Pemanfaatannya sebagai Bahan Pengawet Alami. Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Peneliti, Kayu Indonesia IV. Pp III 43-III 53.

Makalah masuk (received) : 19 Januari 2007 Diterima (accepted) : 02 Februari 2007 Revisi terakhir (final revision) : 03 April 2007 Didi Tarmadi, Arief Heru Prianto, Ikhsan Guswenrivo, Titik Kartika dan Sulaeman Yusuf UPT Balai Litbang Biomaterial – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Research and Development Unit for Biomaterials, Indonesian Institute of Sciences) Jl. Raya Bogor Km 46, Cibinong, Bogor 16911, Indonesia Tel : 62-21-87914511 Fax : 62-21-87914510 E-mail :[email protected]

Page 43: Ultra-Struktur Kayu Tekan Damar (Agathis loranthifolia Salisb.)

Preliminary Detection of Antifungal Activity of Soldier Defensive Secretions from 43 Subterranean Termites Coptotermes curvignathus Holmgren (Isoptera: Rhinotermitidae) (Farah Diba)

Pengujian Aktivitas Anti Cendawan Sekresi Pertahanan Diri Rayap Tanah Coptotermes curvignathus Holmgren (Isoptera: Rhinotermitidae)

Preliminary Detection of Antifungal Activity of Soldier Defensive Secretions from Subterranean Termites Coptotermes curvignathus Holmgren (Isoptera:

Rhinotermitidae)

Farah Diba

Abstract

Coptotermes curvignathus Holmgren is the most destructive subterranean termites which caused economic loss in some big city in Indonesia. Soldier of C. curvignathus Holmgren have a defensive secretions with white colour and sticky. These soldier defensive secretions are used to overcome their enemy. In this research, soldier defensive secretions (SDS) from C. curvignathus Holmgren were isolated and extracted in polar and non-polar solution and their antifungal activity was studied. The solution used for extraction was ethyl acetate, ethanol, aquadest and n-hexane. The fungal used to determine antifungal activity was Schizophyllum commune. The result showed that extract from ethyl acetate shown the highest inhibition zone meanwhile other extract have no activity. The compound then purified by GCMS (Gas Chromatography Mass Spectra) and found that aldehyde compound Pentadecanal and Tetradecanal were the bioactive compound. This was the first research about possibilities of soldier defensive secretions from C. curvignathus Holmgren as antifungal against Schizophyllum commune. Key words: termites, soldier defensive secretions, Coptotermes curvignathus, antifungal, Schizophyllum commune,

Pentadecanal, Tetradecanal

Pendahuluan

Sudah umum diketahui bahwa serangga memiliki sistem pertahanan kimiawi yang sangat unik. Pemangsa serangga harus berhadapan dengan sekresi pertahanan diri yang disemprotkan oleh serangga ke tubuh pemangsa. Sekresi pertahanan diri tersebut sangat beracun dan ada juga yang mengeluarkan bau menyengat yang membuat pemangsa serangga menghindar. Salah satu serangga yang memiliki sistem pertahanan kimiawi adalah rayap, yaitu kelenjar penghasil sekresi pertahanan diri yang terletak pada abdomen sebagai senjata untuk mempertahankan diri.

Sistem pertahanan kimia kasta prajurit rayap dalam menghadapi pemangsa ini terdiri dari tiga sistem: pertama, kasta prajurit mengigit musuh kemudian melepas kan sekresi pertahanan diri yang kental dan mengandung racun yang dapat melumpuhkan musuh (oily toxic); kedua, kasta prajurit menyemprotkan sekresi pertahanan diri yang mengandung racun ke permukaan tubuh pemangsa dengan menggunakan labrum, dan ketiga, kasta prajurit mengeluarkan sekresi pertahanan diri yang kental (glue-squirting poison) melalui fontanel (Prestwitch 1984). Sekresi pertahanan diri yang disemprotkan kasta prajurit rayap telah menarik perhatian beberapa ahli kimia karena kemampuannya dalam melumpuhkan musuh dan pemangsa mereka.

Beberapa penelitian mengenai sekresi pertahanan diri kasta prajurit rayap telah dilakukan oleh Prestwich (1984) pada genus Nasutitermes, Chuah et al (1989) pada genus Nasutitermes, Chuah dan Goh (1990) pada genus Hospitalitermes, Goh et al (1990) pada genus Laccessititermes, Roseangus dan Traniello (2001) pada genus Zootermopsis, Lamberty et al (2001) pada rayap P. spinigerin, dan Da Silva et al (2003) pada genus Pseudacanthotermes. Hasil penelitian tersebut mengungkapkan bahwa sekresi pertahanan diri dari fontanel kasta prajurit rayap memiliki senyawa bioaktif yang berpotensi sebagai pestisida hayati yang mampu mematikan pemangsa serta menghambat pertumbuhan bakteri dan cendawan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas sekresi pertahanan diri kasta prajurit rayap C. curvignathus, terhadap cendawan pelapuk kayu Schizophyllum commune.

Metode Penelitian

Isolasi Sekresi Rayap Tanah Coptotermes curvignathus

Isolasi sekresi pertahanan diri kasta prajurit rayap tanah C. curvignathus dilakukan berdasarkan metode Prestwich et al (1984) dan Quintana et al. (2003) yang dimodifikasi. Sekresi pertahanan diri kasta prajurit rayap tanah C. curvignathus dikeluarkan dari fontanel prajurit

Page 44: Ultra-Struktur Kayu Tekan Damar (Agathis loranthifolia Salisb.)

44 J. Tropical Wood Science and Technology Vol.5 • No. 1 • 2007

rayap dengan menggunakan pipet pasteur. Untuk setiap pelarut digunakan cairan sekresi yang diambil dari 4000 ekor rayap. Pelarut untuk ekstraksi meliputi aquabidestilata, etanol, etil asetat dan n-heksana, dengan demikian total rayap yang digunakan sebanyak 16.000 ekor. Cairan sekresi yang menempel pada pipet pasteur dipindahkan ke dalam botol kaca dan selanjutnya siap untuk diekstraksi.

Ekstraksi Sekresi Rayap C. curvignathus

Ekstraksi sekresi pertahanan diri kasta prajurit rayap tanah C. curvignathus yang dilakukan berdasarkan metode Preswitch et al (1980) dan Chuah et al (1990) yang dimodifikasi. Sekresi pertahanan diri rayap dilarutkan dengan 10 ml aquabidestilata, dilakukan homogenisasi, selanjutnya pelarut diuapkan dengan cara fresh-dry. Filtrat yang terjadi disimpan di dalam botol kaca dan selanjutnya disimpan pada suhu –10oC dan siap digunakan untuk pengujian bioassay. Pada ekstraksi dengan pelarut organik, sekresi pertahanan diri rayap dilarutkan dalam 10 ml pelarut etanol, kemudian dilakukan homogenisasi. Selanjutnya pelarut diuapkan dengan ditiup gas nitrogen. Filtrat disimpan dalam botol kaca dan selanjutnya disimpan pada suhu –10oC. Untuk mendapatkan ekstrak dengan pelarut etil asetat dan n-heksana, dilakukan perlakuan yang sama seperti pada perlakuan pelarut etanol.

Persiapan Ekstrak

Ekstrak non polar (ekstrak n-heksana) diencerkan dengan air steril yang berisi Tween 80 (0.5%), sedangkan ekstrak polar dan semi polar (ekstrak etanol, ekstrak etil asetat, ekstrak aquabidestilata) diencerkan dengan air steril (aquabidestilata). Konsentrasi ekstrak yang diuji adalah 40%.

Pengujian Aktivitas Anti Cendawan

Pengujian aktivitas anticendawan dilakukan dengan metode Mori et al. (1997). Media yang digunakan adalah PDA (Potato Dextrose Agar). PDA steril disiapkan dalam tiap cawan petri yang telah dicampur dengan masing-masing ekstrak dengan konsentrasi 10% (berat ekstrak/berat media agar). Selanjutnya pada cawan petri tersebut diinokulasi 1 potong cendawan S. commune (umur 5 hari, ∅ 6 mm). Masing-masing perlakuan diulang tiga kali. Untuk perlakuan kontrol, diinokulasi 1 potong cendawan S. commune (umur 5 hari, ∅ 6 mm) pada cawan petri yang terdiri dari media PDA saja, dan media PDA yang dicampur dengan pelarut ekstrak (etanol, etil asetat, n-heksan dan aquabidestilata) dengan konsentrasi 10% (berat pelarut/berat media agar). Kemudian cawan petri diinkubasi pada suhu ruang (26 ~ 28oC).

Pertumbuhan cendawan diukur setiap hari selama 7 hari. Pada hari ke-7 dihitung persentase penghambatan dengan rumus (Mori et al. 1997):

R 1 – R 2 Aktivitas anticendawan (AFA) = ------------- x 100%

R 1 dimana : R1 = pertumbuhan miselia cendawan kontrol (mm) R2 = pertumbuhan miselia cendawan perlakuan (mm)

Aktivitas setiap ekstrak akan dinilai dengan melihat

besaran nilai aktivitas anti cendawan (Antifungal activity/AFA) dan diklasifikasikan ke dalam katagori yang disajikan pada Tabel 1.

Table 1. Classification of Anti Fungal Activity (AFA).

Anti Fungal Activity Level Activity AFA ≥ 75% Very strong (++++)

75% ≤ AFA < 50% Strong (+++) 50% ≤ AFA < 25% Moderate (++)

25% ≤ AFA < 0 Weak (+) 0 Not active (-)

Source: Mori et al. (1997)

Identifikasi Komponen Bioaktif Ekstrak Ekstrak yang dapat menghambat pertumbuhan

cendawan S. commune selanjutnya diidentifikasi dengan menggunakan GCMS.

Hasil dan Pembahasan

Karakteristik fisiko-kimia ekstrak sekresi rayap Coptotermes curvignathus

Karakteristik fisiko-kimia ekstrak sekresi meliputi nilai pH, warna, suhu dan viskositas ekstrak disajikan pada Tabel 2. Ekstrak eksudat rayap berbentuk cair dan kental (oily) dengan warna putih susu sampai abu-abu. Aktivitas Penghambatan Pertumbuhan Cendawan

Hasil pengujian menunjukkan bahwa hanya ekstrak etil asetat yang dapat menghambat pertumbuhan cendawan S. commune dengan nilai AFA 100% sedangkan ekstrak aquadest, n-heksan dan etanol tidak dapat menghambat pertumbuhan cendawan. Sementara itu pelarut ekstrak yang digunakan dalam penelitian (n-heksan, etil asetat, etanol dan aquadest) tidak menunjukkan aktivitas penghambatan pertumbuh an cendawan S. commune pada media PDA. Hal ini menunjukkan bahwa bahan pelarut tidak memberi kontri busi terhadap aktivitas anticendawan ekstrak sekresi rayap C. curvignathus.

Page 45: Ultra-Struktur Kayu Tekan Damar (Agathis loranthifolia Salisb.)

Preliminary Detection of Antifungal Activity of Soldier Defensive Secretions from 45 Subterranean Termites Coptotermes curvignathus Holmgren (Isoptera: Rhinotermitidae) (Farah Diba)

Table 2. The values of pH, Temperature, Viscosity and Colour of extract soldier defensive secretions of C. curvignathus

Solvents pH

Temperature

(oC) Viscosity (poise)

Colour

Ethyl Acetate 4.0 27.0 0.00050 White Ethanol 5.0 27.5 0.00002 White n-hexane 5.5 27.0 0.00003 White Aquadest 4.5 27.0 0.00020 Grey

Nilai AFA ekstrak etil asetat mencapai 100% yang

ditunjukkan dari tidak adanya pertumbuhan cendawan S. commune sama sekali pada cawan petri sampai hari terakhir pengujian. Nilai AFA setiap ekstrak disajikan pada Tabel 3. Table 3. Anti fungal activity of extracts soldier defensive

secretions of C. Curvignathus

Solvents AFA (%) Ethyl Acetate 100 (very strong) Ethanol 15 (weak) n-hexane 5 (weak) Aquadest 0 (not active)

Menurut Roseangus et al. (2000) sekresi

pertahanan diri kasta prajurit rayap genus Nasutitermes menghasilkan metabolit sekunder yang bersifat antibiotik dan dapat menghambat pertumbuhan cendawan Metarhizium anisopliae. Lamberty et al. (2001) menyatakan bahwa sekresi pertahanan diri serangga mengandung metabolit sekunder yang dapat menghambat pertumbuhan cendawan dan bakteri, seperti serangga Heliothis virescens yang menghasilkan senyawa anticendawan

yang diberi nama heliomicin. Lalat Drosophila melanogaster menghasilkan metabolit sekunder yang dapat menghambat pertumbuhan cendawan dan diberi nama drosomicin (Landon et al. 1997), sedangkan laba-laba menghasilkan metabolit sekunder yang diberi nama gomesin yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri dan cendawan (Mandard et al. 2002). Ekstrak sekresi pertahanan diri kasta prajurit rayap tanah C. curvignathus dalam pelarut etil asetat memiliki senyawa metabolit sekunder yang bersifat antibiotik sehingga mampu menghambat pertumbuhan cendawan S. commune. Senyawa Bioaktif Sekresi Rayap Coptotermes curvignathus

Hasil analisis GCMS pada ekstrak sekresi rayap dalam pelarut etil asetat menunjukkan bahwa terdapat 6 komponen yang berdasarkan golongan terdiri dari 50% golongan aldehid, 34% golongan ester dan dan 16% golongan alkohol. Golongan aldehid yang terdapat dalam ekstrak etil asetat terdiri dari Undecanal, Tetradecanal dan Pentadecanal. Kromatogram komponen bioaktif ekstrak sekresi rayap C. curvignathus dalam pelarut etil asetat disajikan pada Gambar 1.

Figure 1. Chromatography Compound of Bioactive Extracts of Soldier Defensive Secretions of C. curvignathus in Ethyl Acetate. Peak Number is based on Number at Table 4.

Page 46: Ultra-Struktur Kayu Tekan Damar (Agathis loranthifolia Salisb.)

46 J. Tropical Wood Science and Technology Vol.5 • No. 1 • 2007

Figure 2. Structure of Pentadecanal

Figure 3. Strucuture of Tetradecanal

Table 4. The Compound of Extract Soldier Defensive Secretions of C. curvignathus in Ethyl Acetate Solutions

Peak No Retention Time LRIexp LRIref Compound Group

1. 1.954 0 696 (a) Ethyl propionate Ester 2. 2.067 0 - 1-butanol Alcohol 3. 2.925 0 795 (a) n-buthyl acetate Ester 4. 19.422 1025 - Undecanal Aldehyde 5. 21.669 1096 1107 (b) Tetradecanal Aldehyde 6. 23.717 1137 - Pentadecanal Aldehyde

Notes: LRI experiment from GCMS, DB-5 Coloum LRI reference (a) Boscaini et al. (2003), Coloum DB-5 LRI reference (b) Mahattanatawee et al., (2004), Coloum DB-5 LRI reference (c) Mondello et al., (2002), Coloum DB-5

Hasil identifikasi sekresi pertahanan rayap C. curvignathus menunjukkan bahwa senyawa yang dominan adalah Pentadecanal dan Tetradecanal dari golongan aldehid. Pelczar dan Chan (1988) menyatakan bahwa beberapa kelompok senyawa kimia utama yang bersifat anti cendawan adalah aldehid, alkohol, fenol dan senyawa fenolik, halogen, gas khemostrilan serta logam berat. Pernyataan ini mendukung hasil penelitian yaitu senyawa aldehid yang terdapat pada sekresi pertahanan rayap C. curvignathus dapat menghambat pertumbuhan cendawan perusak kayu. Struktur kimia Pentadecanal dan Tetradecanal disajikan pada Gambar 2 dan Gambar 3.

Kesimpulan

Sekresi pertahanan diri rayap tanah

C. curvignathus yang diekstraksi dengan pelarut etil asetat dapat menghambat pertumbuhan cendawan perusak kayu S. commune. Senyawa bioaktif yang terdapat dalam ekstrak etil asetat adalah Pentadecanal dan Tetradecanal.

Daftar Pustaka

Boscaini, E.; S.V. Ruth; F. Biasioli; F. Gasperi; T.D.

Mark. 2003. Gas Chromatography – Olfactometry (GC-O) and Proton Transfer Reaction – Mass Spectrometry (PTR-MS) Analysis of the Flavor Profile of Grana Padano, Parmigiano Reggiano and

Grana Trentino Cheese. International Conference on Proton Transfer Reaction Mass Spectrometry and Its Application. 18 – 23 January 2003, Austria.

Chuah, C.H; S.H. Goh; Y.P. Tho. 1989. Interspecific Variation in Defense Secretions of Malaysian Termites from the Genus Nasutitermes (Isoptera: Nasutitermitinae). Journal of Chemical Ecology 15 (2): 549 -563.

Chuah, C.H and S.H. Goh.1990. 17-O-Acetoxy-(8,19)β,3α,7α,9α,14α,17-hexahydroxytriner vitene 2,3,9,14-O-tetrapropionate, A New Diterpene from the Malaysian Termite Hospitalitermes umbrinus. Malaysian Journal of Science 12: 63 - 70.

Chuah, C.H.; S.H. Goh; Y.P. Tho. 1990. Chemical Defense Secretions of Some Species of Malaysian Rhinotermitide (Isoptera: Rhinotermitidae). Journal of Chemical Ecology 16 (3): 685 - 692.

Da Silva, P; L. Jouvensal; M. Lamberty; P. Bulet; A. Caille; F. Vovelle. 2003. Solution Structure of Termicin, an Antimicrobial Peptide from the Termite Pseudacanthotermes spiniger. Protein Science 12: 438 - 446.

Goh, S.H; C.H. Chuah; J. Vadiveloo; Y.P. Tho. 1990. Soldier Defense Secretions of Malaysian Free-Ranging Termite of the Genus Laccessititermes (Isoptera : Nasutitermitinae). Journal of Chemical Ecology 16 (2): 619 - 630.

Lamberty, M; D. Zachary; R. Lanot; C. Bordereaus; A. Robert; J.A. Hoffmann; P. Bulet. 2001. Insect Immunity: Constitutive Expression of a Cystein-Rich

Page 47: Ultra-Struktur Kayu Tekan Damar (Agathis loranthifolia Salisb.)

Preliminary Detection of Antifungal Activity of Soldier Defensive Secretions from 47 Subterranean Termites Coptotermes curvignathus Holmgren (Isoptera: Rhinotermitidae) (Farah Diba)

Antifungal and a Linear Antibacterial Peptide in a Termite Insect. Journal of Biological Chemistry: 276 (6): 4085 - 4092.

Landon, C; P. Sodano; C. Hetru; J. Hoffmann; M. Ptak. 1997. Solution Structure of Drosomycin, the First Inducible Antifungal Protein from Insect. Protein Science 6 (9):1878 - 1884.

Mandard, N.; P. Bulet; A. Caille; S. Daffre; F. Vovelle. 2002. The Solution Structure of Gomesin, an Antimicrobial Cysteine-rich Peptide from the Spider. Eur Journal Biochemistry, 269 (4):1190 -1198.

Mahattanatawee, K.; R. Rouseff; M.F. Valim; M. Naim. 2004. Identification and Aroma Impact of Norisoprenoids in Orange Juice. Journal of Agricultural and Food Chemistry 18: 2176 - 2180.

Mondello, L.; G. Zappia; A. Cotroneo; I. Bonaccorsi; J.U. Chowdhurry; M. Yusuf; G. Dugo. 2002. Studies on the Essential Oil-Bearing Plants of Bangladesh. Part VIII. Composition of Some Ocimum oils O. basilicum L. Var. Purpurascens;O. sanctum L. Green; O. sanctum L. Purple; O. americanum L. Citral type; O. americanum L. Camphor type. Flavour and Fragrance Journal 17 (5):335 - 340.

Mori, M.; M. Aoyama; S. Doi; A. Kanetoshi; T. Hayashi. 1997. Antifungal Activity of Bark Extracts of Deciduous Trees. Holzs als Roh und Werkstoff Springer-verlag 55: 130 - 132.

Pelczar, M.J. dan E.C.S Chan. 1988. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.

Prestwich, G.D.; S.G. Phantom; J.W. Lauher; J. Vrkoc. 1980. Structure of 3α-Hydroxy-15-Rippertene. Evidence for 1,2-Methyl Migration During Biogenesis of a Tetracyclic Diterpene in Termites. Journal of the American Chemical Society 102: 6825 - 6828.

Prestwich, G.D. 1984. The Chemical Defense of Termite. Scientific American 249 (1).

Prestwich, G.D.; M.S. Tempesta; C. Turner. 1984. Longipenol, A Novel Tetracyclic Diterpene from the Termite Soldier Longipeditermes longipes. Tetrahedron Letters 25 (15): 1531 – 1532.

Quintana, A; J. Reinhard; R. Faure; P. Uva; A.G. Bagneres; G. Massiot; J.L. Clement. 2003. Interspecific Variation in Terpenoid Composition of Defensive Secretions of European Reticulitermes Termites. Journal of Chemical Ecology 29 (3): 639 - 652.

Roseangus, R.B; J.F.A. Traniello. 2001. Disease Susceptibility and the Adaptive Nature of Colony Demography in the Dampwood Termite Zootermopsis angusticollis. Behav Ecol Sociobiol 50: 546 - 556.

Roseangus, R.B.; M.L. Lefebvre; J.F.A. Traniello. 2000. Inhibition of Fungal Spore Germination by Nasutitermes:Evidence for a Possible Antiseptic Role of Soldier Defensive Secretions. Journal of Chemical Ecology 26: 21 - 39.

Makalah masuk (received) : 05 April 2007 Diterima (accepted) : 11 April 2007 Revisi terakhir (final revision) : 03 Mei 2007 Farah Diba Fakultas Kehutanan, Universitas Tanjungpura, Kalimantan Barat (Faculty of Forestry Tanjungpura University, West Borneo) Telp :(0561) 745286; 08161636348 Email : [email protected]

Page 48: Ultra-Struktur Kayu Tekan Damar (Agathis loranthifolia Salisb.)

Format Penilaian Makalah Tema penelitian harus memenuhi syarat tujuan

dan ruang lingkup Jurnal. Sistematika dan format penulisan harus sesuai

dengan pedoman; serta menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Judul makalah harus ringkas, jelas dan sesuai dengan substansi makalah.

Abstrak harus merangkum secara singkat dan jelas (1) tujuan dan ruang lingkup penelitian, (2) metode yang digunakan, (3) ringkasan hasil dan kesimpulan.

Pendahuluan harus menguraikan secara jelas (1) masalah dan ruang lingkup penelitian, (2) status ilmiah dewasa ini, (3) hipotesa, (4) cara pendekatan penyelesaian masalah dan (5) hasil yang diharapkan. Pendahuluan harus kronologis dari hal-hal yang umum ke hal-hal yang spesifik; serta didukung oleh pustaka dan data-data kuantitatif sehingga dapat diketahui perkembangan penelitian yang dilakukan.

Bahan dan Metode Penelitian harus jelas dan mengikuti standar tertentu. Bahan yang digunakan harus terperinci. Metode penelitian harus memberikan gambaran tingkat ketelitian data, dari pengambilan contoh uji, jumlah ulangan tiap perlakuan, alat dan rumus yang digunakan. Perlakuan tertentu harus didukung dengan alasan yang logis dan ilmiah.

Hasil dan pembahasan meliputi (1) data yang telah diolah dan dituangkan dalam bentuk tabel atau gambar, serta diberi keterangan yang mudah dipahami, (2) adanya kaitan antara hasil yang diperoleh dan konsep dasar/hipotesis, (3) kesesuaian atau pertentangan dengan hasil litbang lain, dan (4) implikasi hasil litbang baik teoritis maupun penerapannya. Hasil penelitian harus logis dan dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya atau standar tertentu. Diperlukan data-data pendukung, yaitu informasi ilmiah dan data kuantitatif dari pustaka. Perlu dihindari (1) pernyataan tertentu yang kontradiksi, (2) pengulangan pernyataan yang dikutip dari sebuah pustaka, dan (3) mengutarakan hal-hal yang sudah umum diketahui.

Kesimpulan harus berisi secara singkat dan jelas mengenai (1) esensi hasil litbang dan (2) penalaran penulis secara logis berdasarkan fakta yang diperoleh. Kesimpulan harus diarahkan pada alasan tercapainya atau tidak tercapainya tujuan penelitian, serta saran yang dapat dilakukan agar tujuan penelitian dapat dicapai dan penerapan hasil penelitian. Perlu dihindari menuliskan hal-hal yang bukan hasil dari penelitian sendiri.

Daftar pustaka harus ditulis secara benar sesuai dengan pedoman dan 80% terbitan 10 tahun terakhir.

Mekanisme Penilaian Makalah dari

Seminar Nasional Mapeki Redaksi Jurnal berkoordinasi dengan Panitia

Seminar Nasional Mapeki mengenai metode penyeleksian makalah yang dipresentasikan pada saat diselenggarakannya seminar. Redaksi Jurnal telah menyusun format penilaian abstrak dan presentasi makalah yang digunakan sebagai acuan Ketua Sidang masing-masing kelompok untuk menilai makalah yang dipresentasikan.

Makalah dipilih berdasarkan penilaian Ketua Sidang di buku format penilaian dan dinominasikan oleh Dewan Penelaah. Makalah yang ditindak-lanjuti adalah yang dipilih oleh lebih dari dua Penelaah.

Redaksi mengadakan rapat bersama Dewan Penelaah untuk memutuskan makalah-makalah yang layak ditelaah lebih lanjut dan menetapkan Penelaah untuk setiap makalah sesuai dengan substansinya.

Redaksi Jurnal meminta e-file makalah yang dinominasikan kepada Panitia Seminar untuk ditelaah lebih lanjut.

Panitia Seminar mengirimkan e-file makalah tersebut atau Redaksi meminta langsung kepada Penulis.

Redaksi mengirimkan makalah tersebut kepada para Penelaah yang sesuai dengan substansinya dengan menyertakan format penilaian makalah yang digunakan sebagai acuan penilaian.

Makalah yang layak dipublikasikan dengan perbaikan, dikirimkan oleh Redaksi ke Penulis yang bersangkutan untuk diperbaiki dan memohon kesediaannya untuk dipublikasi di Jurnal ini. Perbaikan ini meliputi substansial makalah dari Penelaah dan redaksional dari Redaksi.

Makalah yang tidak layak dipublikasikan selanjutnya dikembalikan ke Panitia Seminar Nasional Mapeki untuk dipublikasikan di Prosiding Seminar.

Setelah perbaikan secara substansial dan redaksional, Redaksi melakukan editing letak teks/gambar/tabel makalah menjadi draft cetak/ reading proof. Reading proof makalah ini dikirim kembali ke Penulis untuk periksa dengan cermat jika masih terdapat kesalahan.

Setelah seluruh reading proof makalah dikirim kembali ke Redaksi, Redaksi melakukan pemeriksaan ulang, pemberian nomor halaman, footnote dan cover. Percetakan memberikan draft cetak Jurnal secara keseluruhan sebelum dicetak.

Penerbitan dan distribusi Jurnal