BAB IPENDAHULUAN
1.1 Latar BelakangUmur simpan merupakan periode waktu suatu
makanan atau minuman yang diproduksi masih dapat dikonsumsi.
Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi umur simpan, yaitu bahan
kemas, bahan pangan tersebut, dan lingkungan. Setiap pengemas
memiliki karakteristik yang berbeda-beda, dimana hal ini memberikan
pengaruh yang berbeda-beda terhadap produk pangan yang dikemas.
Bahan pangan dapat mengalami reaksi enzimatis dan proses fisik yang
dapat mengakibatkan kerusakan pada bahan pangan. Faktor lingkungan
mencakup suhu, cahaya, panas, kelembaban, dan tekanan fisik. Umur
simpan dapat ditentukan dengan menggunakan metode
konvensional/extended storage studies (ESS) dan metode akselerasi
kondisi penyimpanan (ASS atau ASLT). ESS merupakan metode penentuan
kadaluwarsa dengan cara melakukan penyimpanan produk pada kondisi
normal sampai mencapai mutu kadaluwarsa dimana setiap harinya
dilakukan pengamatan terhadap penurunan mutu yang terjadi. Metode
Accelerated Shelf-Life Testing (ASLT) menggunakan parameter kondisi
lingkungan yang dapat mempercepat terjadinya penurunan mutu suatu
produk pangan. Keuntungan dari metode ini adalah waktu pengujiannya
yang relatif singkat dan ketepatan serta akurasinya yang tinggi.
Upaya yang dapat dilakukan untuk memperpanjang umur simpan suatu
produk pangan adalah dengan meningkatkan mutu awal atau dengan
memberikan perlakuan selama proses penyimpanan. Proses pengolahan
produk pangan tidak hanya bertujuan untuk memperpanjang umur
simpan, melainkan juga untuk mempertahankan mutu dari produk pangan
tersebut. Sebagai contoh, perlakuan pemanasan pada buah dan sayur
dapat menyebabkan tingkat kesegaran bahan pangan menurun dan produk
menjadi lunak. Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan mutu yang
tidak dikehendaki.1.2 TujuanPraktikum Umur Simpan ini bertujuan
dalam mengetahui kerusakan yang terjadi selama penyimpanan pada
sampel jus buah dan kerupuk, serta mengetahui perkiraan umur simpan
untuk kedua sampel yang digunakan tersebut.
BAB IIPEMBAHASAN
2.1 Umur SimpanHasil atau akibat dari berbagai reaksi kimiawi
yang terjadi di dalam produk pangan bersifat akumulatif dan
irreversible selama penyimpanan sehingga pada saat tertentu hasil
reaksi tersebut mengakibatkan mutu makanan tidak dapat diterima
lagi (Syarief dan Halid, 1993). Jangka waktu akumulasi hasil reaksi
yang mengakibatkan mutu pangan tidak lagi dapat diterima ini
disebut sebagai umur simpan. Bahan pangan akan disebut rusak
apabila bahan pangan tersebut telah melampaui masa simpan
optimumnya dan terjadi penurunan mutu gizi meskipun penampakannya
masih bagus. Umur simpan produk pangan biasa dituliskan sebagai
best before date yang berarti produk masih dalam kondisi baik dan
masih dapat dikonsumsi beberapa saat setelah tanggal yang tercantum
terlewati. Istilah lain yang digunakan adalah use by date yang
menyatakan produk tidak dapat lagi dikonsumsi, karena berbahaya
bagi kesehatan manusia (produk yang sangat mudah rusak oleh
mikroba) setelah tanggal yang tercantum terlewati (Ellis,
1994).Menurut Institute of Food Technologist, umur simpan adalah
selang waktu antara saat produksi hingga saat konsumsi dimana
produk berada dalam kondisi yang memuaskan pada sifat-sifat
penampakan, rasa, aroma, tekstur, dan nilai gizi. Menurut National
Food Processor Association, suatu produk dikatakan berada pada
kisaran umur simpannya, bila kualitas produk secara umum dapat
diterima untuk tujuan seperti yang diinginkan oleh konsumen dan
selama bahan pengemas masih memiliki integritas serta memproteksi
isi kemasan (Arpah dan Syarief, 2000).Menurut Ellis (1994),
penentuan umur simpan suatu produk dilakukan dengan mengamati
produk selama penyimpanan sampai terjadi perubahan yang tidak dapat
diterima lagi oleh konsumen. Penentuan umur simpan dilakukan dengan
mengamati perubahan yang terjadi pada produk selama selang waku
tertentu. Syarief dan Halid (1993), menyatakan bahwa perubahan mutu
pangan dapat diketahui dari perubahan faktor-faktor mutunya.
2.2 PenyimpananPenyimpanan adalah usaha untuk melindungi bahan
pangan dari kerusakan yang disebabkan oleh berbagai hal antara lain
seperti mikroorganisme, serangga, tikus dan kerusakan fisiologis
atau biokimia (Damayanti dan Mudjajanto, 1995). Penyimpanan
berfungsi sebagai pengendali persediaan makanan. Cara penyimpanan
bahan pangan selama proses pengolahan dan tingkat distribusi serta
penjualan merupakan salah satu faktor dalam menentukan keamanan dan
mutu bahan pangan (Buckle et al., 1985). Faktor yang sangat
berpengaruh selama penyimpanan bahan pangan adalah faktor biotik
dan faktor abiotik. Faktor biotik dapat disebabkan oleh serangga,
tungau, hewan pengerat, dan mikroorganisme (kapang, khamir dan
bakteri). Sedangkan faktor abiotik adalah suhu, kelembaban, O2, dan
CO2 ditempat penyimpanan. Interaksi antara kedua faktor tersebut
akan menentukan kondisi penyimpanan dan berpengaruh pada tingkat
penyusutan bahan pangan yang disimpan (Sinha dan Muir, 1973 diacu
dalam Erawaty, 2001).
2.3 Perubahan Mutu Selama Penyimpanan Penyimpanan bahan pangan
berfungsi sebagai pengendali persediaan makanan. Suhu merupakan
faktor yang berpengaruh terhadap perubahan mutu makanan. Semakin
tinggi suhu penyimpanan maka laju reaksi berbagai senyawa kimia
akan semakin cepat (Syarief dan Halid, 1991 diacu dalam Lestari
2002). Menurut Winarno dan Jennie (1983) diacu dalam Amelia (2000),
salah satu faktor yang mempengaruhi penyimpanan adalah kadar air.
Pengaruh kadar air sangat penting dalam menentukan daya awet dari
makanan, karena faktor ini akan mempengaruhi sifat fisik (kekerasan
dan kekeringan) dan sifat-sifat fisiko-kimia, perubahan-perubahan
kimia (non enzimatis browning), kerusakan mikrobiologis dan
enzimatis terutama pada makanan yang tidak diolah. Tumbuhnya kapang
di dalam bahan pangan dapat mengubah komposisi bahan pangan.
Beberapa mikroba dapat menghidrolisa lemak sehingga menyebabkan
ketengikan. Jika makanan mengalami kontaminasi secara spontan dari
udara, maka akan terdapat campuran beberapa tipe mikroba (Muchtadi,
1989).Penyimpanan terhadap produk pangan pada suhu kamar akan
mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan kimia, mikrobiologi
dan organoleptik yang mencirikan berlangsungnya proses pembusukan
yang relatif cepat dengan berjalannya waktu penyimpanan (Suparno
dan Martini, 1980 diacu dalam Lestari, 2002). Kerusakan bahan
pangan dapat diartikan sebagai perubahan yang terjadi pada pangan
(mentah atau olahan) dimana sifat-sifat kimiawi, fisik dan
organoleptik bahan pangan telah ditolak oleh konsumen. Suatu bahan
pangan dikatakan rusak bila menunjukkan adanya penyimpangan yang
melewati batas yang dapat diterima secara normal oleh panca indera
atau parameter lain yang digunakan (Muchtadi, 1989).
2.4 Metode Penyimpanan2.4.1 Kerupuk Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (1996), kerupuk diartikan sebagai makanan yang dibuat
dari adonan tepung dicampur dengan lumatan udang atau ikan, dikukus
dan disayat-sayat tipis atau dibentuk dengan alat cetak, kemudian
sebagai jenis makanan kecil yang mengalami pengembangan volume dan
membentuk produk yang berongga setelah mengalami proses
penggorengan. Menurut Siaw et al. (1985), kerupuk merupakan salah
satu jenis makanan kecil yang mengalami pengembangan volum dan
membentuk produk yang porus serta mempunyai densitas rendah selama
penggorengan. Pada dasarnya kerupuk diproduksi melalui proses
gelatinisasi pati pada tahap pengukusan, selanjutnya dicetak dan
dikeringkan. Kerupuk didefinisikan sebagai jenis makanan kering
yang terbuat dari bahan-bahan yang mengandung pati yang cukup
tinggi. Berbagai jenis bahan berpati dapat diolah menjadi kerupuk,
yaitu ubi kayu, ubi jalar, beras, sagu, terigu, tapioka dan talas
(Wiriano, 1984).2.4.1.1 Faktor Penyebab Kerusakan Kerupuk Goreng
Kerusakan bahan pangan dapat diartikan sebagai perubahan yang
terjadi pada pangan (mentah atau olahan) dimana sifat-sifat
kimiawi, fisik, dan organoleptik bahan pangan tersebut telah
ditolak oleh konsumen. Faktor penyebab kerusakan pangan dapat
dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu yang secara alamiah sudah
terdapat di dalam produk pangan dan tidak dapat dicegah hanya
dengan pengemasan saja dan kerusakan yang tergantung dari
lingkungan sekitar yang kemungkinan dapat dikendalikan dengan
adanya pengemasan. Beberapa kerusakan yang dapat terjadi pada
kerupuk selama penyimpanan antara lain penurunan kerenyahan,
tumbuhnya kapang dan munculnya flavor tengik (Buckle et
al.,1985).2.4.1.2 Penurunan Kerenyahan Kerupuk merupakan bahan
pangan berongga yang memiliki kadar air yang rendah (kurang dari
3%). Penyimpanan kerupuk yang dikemas polietilen pada suhu ruang
biasanya mengalami perubahan fisik yaitu terjadinya penyerapan air.
Tingkat penyerapan air tergantung pada kondisi lingkungan.
Lingkungan yang memiliki RH tinggi, mengakibatkan kerupuk akan
lebih cepat menyerap air dari lingkungannya sebagai reaksi untuk
menuju kondisi keseimbangan yang akan menyebabkan kerupuk menjadi
melempem. Air akan melarutkan dan melunakkan matriks pati dan
protein yang ada pada sebagian bahan pangan yang mengakibatkan
perubahan kekuatan mekanik termasuk kerenyahan. Laju penyerapan air
juga dipengaruhi oleh kemampuan air menembus kemasan plastik. Makin
besar pori-pori plastik maka laju penyerapan air akan makin cepat.
Laju penyerapan air akan semakin kecil pada saat kerupuk hampir
mencapai kondisi keseimbangan terhadap lingkungan (Katz dan Labuza,
1981).2.4.1.3 Cara Penyimpanan KerupukMenurut Katz dan Labuza,
(1981), bahan pangan yang disimpan selama jangka waktu tertentu
akan mengalami perubahan baik secara fisik maupun nilai gizi yang
terkandung pada bahan pangan tersebut. Begitu pula dengan kerupuk
yang mengalami penyimpanan dapat mengalami perubahan baik secara
fisik maupun nilai gizi yang terkandung pada kerupuk. Untuk
mempertahankan mutu kerupuk agar tetap renyah dan tidak melempen,
dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu: 1. Penyimpanan dalam
wadah tertutup rapatPenyimpanan kerupuk mentah dalam wadah yang
bersih, kering dan tertutup rapat dapat mencegah masuknya udara
yang dapat menyebabkan kerupuk menjadi lembab, berjamur sehingga
lembek dan tidak bagus lagi ketika digoreng. Setelah digoreng,
hendaknya selalu menutup rapat tempat kerupuk supaya tidak bereaksi
dengan oksigen yang dapat menimbulkan melempem atau lembek.2.
Penyimpanan dalam lemari es Kelembapan udara dalam lemari pendingin
yang cukup rendah akan membuat kadar air kerupuk tetap rendah.
Selain itu, dengan menyimpan kerupuk dalam lemari pendingin juga
akan membuat kerupuk lebih tahan dan awet dalam waktu lebih dari
satu minggu.
2.4.2 Sari BuahMenurut Satuhu (1996), sari buah merupakan
larutan inti daging buah yang diencerkan, sehingga memiliki cita
rasa yang sama dengan buah aslinya. Proses pengolahan produk sari
buah umumnya masih dilakukan secara sederhana. Sari buah yang
dihasilkan masih bersifat keruh dan mengandung endapan, akibat
tingginya kadar pektin buah. Sehingga berdasarkan tingkat
kekeruhannya, maka dikenal dua jenis sari buah, yaitu sari buah
jernih dan sari buah keruh.2.4.2.1 Penyimpanan Sari BuahMenurut
Syarief et al. (1989), metode-metode untuk pengawetan pangan adalah
pendinginan, refrigerasi, pembekuan, pengawetan kimia, dan
pemanasan. Penggunaan suhu rendah dapat dilakukan untuk menghambat
atau mencegah reaksi-reaksi kimia, reaksi enzimatis atau
mikrobiologis. Penggunaan suhu rendah dapat digolongkan menjadi
tiga, yaitu penyimpanan sejuk, pendinginan, dan penyimpanan beku.
Penyimpanan sejuk biasanya dilakukan pada suhu sedikit di bawah
suhu kamar dan tidak lebih rendah dari 15C. Pendinginan atau
refrigerasi adalah penyimpanan produk pangan pada suhu 0C sampai
10C. Pendinginan yang biasa dilakukan sehari-hari dalam lemari es
pada umumnya mencapai suhu 5-8C (Winarno et al., 1980).Untuk
mempertahankan kualitas dari sari buah yang dibuat maka sari buah
tersebut dapat disimpan pada suhu refrigerator antara 4-10C, karena
pada suhu tersebut aktivitas mikrobia perusak dapat terhambat
pertumbuhannya. Sari buah biasanya memiliki pH rendah karena kaya
akan asam organik, total kandungan asam organik dalam sari buah
biasanya berkisar antara 0,2% dalam sari buah pir sampai dengan
8,5% dalam jeruk limau. Kandungan asam organik inilah yang membuat
sari buah merupakan substrat yang baik untuk pertumbuhan jamur dan
yeast yang sangat tahan terhadap asam. Nilai pH sebagian besar sari
buah berkisar antara 3,0 dan 4,0. Sehingga perlu dilakukan upaya
pengawetan untuk mempertahankan kualitas sari buah yang dibuat.
Salah satunya dengan cara menambahkan bahan pengawet kedalam sari
buah, untuk menghambat pertumbuhan jamur dan yeast (Tressler dan
Joslyn, 1961).
2.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi umur simpanMenurut Floros
dan Gnanasekharan (1993) terdapat enam faktor utama yang
mengakibatkan terjadinya penurunan mutu atau mempengaruhi umur
simpan pangan, yaitu massa oksigen, uap air, cahaya,
mikroorganisme, kompresi atau bantingan, dan bahan kimia toksik
atau off flavor. Faktor-faktor tersebut dapat mengakibatkan
terjadinya penurunan mutu lebih lanjut, seperti oksidasi lipida,
kerusakan vitamin, kerusakan protein, perubahan bau, reaksi
pencoklatan, perubahan unsur organoleptik, dan kemungkinan
terbentuknya racun. Suhu normal untuk penyimpanan yaitu suhu yang
tidak menyebabkan kerusakan atau penurunan mutu produk.
Pengendalian suhu, kelembapan, dan penanganan fisik yang tidak baik
menentukan umur simpan produk pangan (Herawati, 2008). Suhu ekstrim
atau tidak normal akan mempercepat terjadinya penurunan mutu produk
dan sering diidentifikasi sebagai suhu pengujian umur simpan produk
(Hariyadi 2004). Faktor yang mempengaruhi umur simpan produk yaitu
intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik antara lain aw, nilai
pH, ketersediaan oksigen, nutrisi, jumlah mikroba, dan formulasi
kimia dari produk. Faktor intrinsik dipengaruhi oleh jenis dan
kualitas bahan baku, serta formulasi dan struktur produk (Kilcast
dan Subramaniam, 2008). Umur simpan produk dipengaruhi oleh mutu
awal produk dan perlambatan laju penurunan mutu. Peningkatkan mutu
awal produk pangan dapat memperpanjang waktu kadaluwarsa lebih
lama. Perlambatan laju penurunan mutu produk dapat dilakukan dengan
memperbaiki kemasan, faktor penyimpanan, faktor penanganan
distribusi atau faktor penanganan lainnya (Herawati, 2008).Faktor
ekstrinsik yaitu keadaan suhu dan waktu selama pengolahan, kontrol
suhu selama penyimpanan dan distribusi. Kelembapan relatif, dan
paparan cahaya. Interaksi antara faktor ekstrinsik dan intrinsik
dapat menghambat atau menginaktifkan reaksi-reaksi yang dapat
mengurangi umur simpan yaitu perubahan mikrobiologi, kimia, fisika,
dan suhu (Kilcast dan Subramaniam, 2008).2.5.1 Perubahan
MikrobiologiPertumbuhan mikroorganisme pada bahan pangan tertentu
selama penyimpanan tergantung dari beberapa faktor. Faktor-faktor
yang paling penting antara lain jumlah mikroba awal pada saat awal
penyimpanan, sifat fisikokimia bahan pangan (kelembaban, pH,
keberadaan pengawet), metode pengolahan, dan suhu penyimpanan
(Kilcast dan Subramaniam, 2008). Mikroorganisme menghendaki aw
minimum agar dapat tumbuh dengan baik, yaitu untuk bakteri 0,90,
kamir 0,800,90, dan kapang 0,600,70 (Winarno 1992). Faktor yang
sangat berpengaruh terhadap penurunan mutu atau umur simpan produk
pangan adalah perubahan kadar air dalam produk. Nilai aw
berhubungan linear dengan pertumbuhan bakteri sedangkan jamur tidak
menyukai aw tinggi (Christian, 1980) 2.5.2 Perubahan KimiaPerubahan
mutu banyak terjadi disebabkan reaksi di dalam makanan dan reaksi
komponen makanan dengan bahan-bahan yang berasal dari luar, seperti
oksigen. Proses ketengikan sangat diperhatikan dalam makanan dengan
kandungan lemak tinggi. Ketengikan terjadi melalui mekanisme yang
berbeda yaitu reaksi hidrolitik dan oksidatif. Proses enzimatik
mempersingkat umur simpan buah-buahan dan sayuran, dan reaksi
oksidatif menurunkan umur simpan daging (Kilcast dan Subramaniam,
2008). Menurut Prabhakar dan Amia (1978) pada saat aw tinggi,
oksidasi lemak berlangsung lebih cepat dibanding pada aw rendah.
Kerusakan lemak menaikkan nilai peroksida juga meningkatkan
kandungan malonaldehida, suatu bentuk aldehida yang berasal dari
degradasi lemak (Deng 1978).
2.5.3Perubahan fisikMigrasi uap air merupakan penyebab utama
dari perubahan fisik suatu bahan pangan. Perubahan fisik pada
kemasan, dilanjutkan dengan reaksi kimia lainnya dapat
mempersingkat umur simpan. Perubahan permebilitas uap air suatu
kemasan dapat menimbulkan efek mikrobiologi maupun kimia. Selain
itu terjadi migrasi komponen volatile dari udara ke dalam makanan
mengakibatkan pencemaran (Kilcast dan Subramaniam, 2008).
2.6 Metode Accelerated Shelf Life (ASLT) Metode ASLT merupakan
metode pendugaan umur simpan sebuah produk pangan yang dilakukan
dengan cara menyimpan produk pangan pada lingkungan yang mudah
rusak, yaitu pada kondisi suhu atau kelembaban ruang penyimpanan
yang lebih tinggi daripada lingkungan normal. Metode ASLT model
Arrhenius banyak digunakan untuk pendugaan umur simpan produk
pangan yang mudah rusak akibat reaksi kimia, seperti oksidasi
lemak, reaksi Maillard, denaturasi protein, dan sebagainya.
Beberapa contoh produk pangan yang dapat ditentukan umur simpannnya
dengan model Arrhenius di antaranya adalah makanan kaleng steril
komersial, susu UHT, susu bubuk/formula, produk chip/snack, jus
buah, mi instan, frozen meat, dan produk pangan lain yang
mengandung lemak tinggi (berpotensi terjadinya oksidasi lemak) atau
yang mengandung gula pereduksi dan protein (berpotensi terjadinya
reaksi kecoklatan) (Labuza, 1982).Reaksi kimia yang terjadi seiring
dengan kerusakan produk pangan terutama disebabkan oleh suhu. Pada
suhu yang lebih tinggi, konstanta laju reaksi kimi akan lebih cepat
dibandingkan dengan suhu rendah. Artinya, pada suhu yang tinggi
penurunan mutu produk pangan yang rusak akan lebih cepat menurunan
dibandingkan pada penyimpanan di suhu yang lebih rendah. Laju
reaksi kimia yang dapat memicu kerusakan produk pangan umumnya
mengikuti laju reaksi ordo 0 dan ordo 1. Tipe kerusakan pangan yang
mengikuti model reaksi ordo 0 adalah degradasi enzimatis (misalnya
pada buah dan sayuran segar serta beberapa pangan beku), reaksi
kecoklatan non-enzimatis (misalnya pada biji-bijian kering, dan
produk susu kering), dan reaksi oksidasi lemak (misalnya
peningkatan ketengikan pada snack, makanan kering dan pangan beku).
Tipe kerusakan bahan pangan yang termasuk dalam rekasi ordo 1
adalah ketengikan (misalnya pada minyak salad dan sayuran kering),
pertumbuhan mikroorganisme (misal pada ikan dan daging, serta
kematian mikoorganisme akibat perlakuan panas), produksi offflavor
oleh mikroba, kerusakan vitamin dalam makanan kaleng dan makanan
kering, serta kehilangan mutu protein (makanan kering). Tujuan dari
penggunaan metode Arrhenius ini untuk menentukan konstanta laju
reaksi (k) pada beberapa suhu penyimpanan yang dapat mengakibatkan
kerusakan produk pangan (suhu ekstrim). Setelah didapat nilai k
(konstanta penurunan mutu), nilai k dapat digunakan untuk
perhitungan umur simpan sesuai dengan ordo reaksinya. Perhitungan
menggunakan cara Arrhenius ada sebagai berikut (Labuza, 1982) :
Di mana : A = nilai mutu yang tersisa setelah waktu t A0 = nilai
mutu awalt= waktu penyimpanan (dalam hari, bulan, atau tahun ) k =
konstanta laju reaksi ordo 0 atau 1
2.7 Metode Lain untuk Menentukan Umur Simpan Produk
PanganTerdapat beberapa cara untuk menentukan umur simpan produk
pangan, selain menggunakan ASLT (Accelerated Shelf-Life Testing),
diantaranya yaitu : (Hariyadi, 2004).a) Nilai pustaka (literature
value) merupakan metode penentuan awal atau pembanding untuk
menentukan umur simpan suatu produk pangan karena keterbatasan
fasilitas yang dimiliki produsen pangan saat memproduksi hingga
kondisi simpan maksimal yang dikehendaki. Saat kondisi optimal
diperoleh maka produk akan diuji coba dengan menggunakan metode ASS
(Accelerated Storage Studies) dan uji distribusi sehingga akan
diperoleh nilai umur simpan produk akhir dan siap untuk
dipasarkan.b) Distribution abuse test yaitu metode untuk menentukan
umur simpan produk berdasarkan hasil analisis produk saat disimpan,
distribusi ke konsumen, dan kondisi saat penyimpanan yang dapat
mempercepat proses penurunan mutu pada produk pangan.c)
Distribution turn over yaitu cara untuk menentukan umur simpan
produk pangan yang didasarkan pada informasi produk sejenis yang
telah beredar di pasaran. Metode ini digunakan pada produk pangan
yang proses pengolahannya, bahan baku, dan aspek pendukung lainnya
yang memiliki kesamaan dengan produk sejenis yang telah beredar di
pasaran dan telah ditentukan umur simpannya.d) ESS (Extended
Storage Studies) sering disebut juga dengan metode konvensional
yaitu cara menentukan tanggal kadaluwarsa suatu produk dengan cara
menyimpan 1 seri produk (berat dan tanggal produksi produk sama)
pada kondisi normal (suhu dan kelembapan yang telah diatur secara
seragam) dan dilakukan pengamatan terhadap penurunan mutu (usable
quality) hingga mencapai tingkat mutu kadaluwarsa tertentu yang
tidak layak untuk dikonsumsi. Pengamatan dilakukan terhadap
parameter titik kritis dan kadar air dari bahan, dimana membuat
kurva dari kadar air dan menarik titik dalam grafik sesuai kadar
air kritis produk, kemudian garis hasil pengukuran kadar air dan
kadar air kritis ditarik ke bawah sehingga akan diperoleh umur
simpan produk. Metode ini sering digunakan pada produk yang
memiliki masa kadaluwarsa kurang dari 3 bulan dan siap beredar di
pasaran atau produk dalam tahap penelitian. Kelebihan penggunaan
metode ESS adalah akurat dan tepat dalam penentuan umur simpan
produk, sedangkan kelemahannya yaitu memerlukan waktu yang panjang
dan analisis parameter mutu yang banyak dan mahal.
BAB IIIMETODE KERJA
3.1 Alat dan bahanAlat-alat yang digunakan dalam praktikum ini
adalah inkubator, desikator, neraca analitik, gelas beker 250 ml,
erlenmeyer 250 ml, buret, sealer, mortar dan alu, corong, spatula,
kertas saring, pipet, bulpump, dan plastik. Sedangkan bahan-bahan
yang digunakan adalah jus jeruk (buavita) dan kerupuk. Selain itu
bahan-bahan titrasi bilangan peroksida adalah campuran asam asetat
dan kloroform (3:2), larutan KI, larutan Na2S2O3 0,1 N, indikator
pati 1%, dan air destilasi. Serta bahan-bahan untuk titrasi vitamin
C adalah indikator 2,6-dikloroindofenol, asam askorbat dan larutan
metafosforic acid acetic acid.
3.2 Prosedur kerja3.2.1 Persiapan dan Penyimpanan Sampel1.
Sampel jus jeruk dan kerupuk disimpan pada suhu yang berbeda, yaitu
40C, 50C dan 60C selama 5 minggu. 2. Analisis fisik dan kimia
sampel sebelum dan sesudah penyimpanan diamati, yaitu kadar vitamin
C pada jus jeruk dan bilangan peroksida pada kerupuk. 3. Analisis
organoleptik pada sampel diamati meliputi flavor jus jeruk,
kerenyahan dan ketengikan kerupuk.4. Analisis fisik, kimia, dan
organoleptik selesai diamati pada hari pertama, ke 8, 14, 21, 25,
dan ke 35. 5. Grafik yang menunjukkan hubungan masing-masing
parameter dengan waktu penyimpanan dibuat. 6. Shelf life dari
masing-masing sampel ditentukan dengan menggunakan metode
Accelerated Shelf Life Testing (ASLT).
3.2.2 Analisis Vitamin C (Metode Indophenol)1. Larutan Dye
distandarisasi pertama kali.2. Larutan metafosforic acid acetic
acid sebanyak 5 ml dan larutan standar asam askorbat sebanyak 2 ml
dimasukkan kedalam erlenmeyer. 3. Campuran tersebut dititrasi
dengan larutan indophenol sampai terjadi perubahan warna yang tetap
menjadi merah muda (rose-pink).4. Penentuan blank dilakukan.
Larutan metafosforic acid acetic acid sebanyak 7 ml dititrasi
dengan larutan indophenol. 5. Analisis sampel dilakukan. Larutan
metafosforic acid acetic acid sebanyak 5 ml dan larutan sampel jus
jeruk sebanyak 2 ml dimasukkan kedalam erlenmeyer.6. Sampel
dititrasi dengan larutan indophenol sampai terjadi perubahan warna
yang tetap menjadi rose-pink. 3.2.3 Analisis Bilangan Peroksida1.
Sampel kerupuk sebanyak 5 g dimasukkan ke dalam erlenmeyer. 2.
Sampel ditambahkan pelarut campuran asam asetat dan kloroform (3:2)
sebanyak 30 ml.3. Larutan KI jenuh ditambahkan sebanyak 0,5 ml dan
diaduk selama 2 menit.4. Air destilasi ditambahkan sebanyak 30
ml.5. Campuran dititrasi dengan larutan Na2S2O3 0,1 N sampai
terjadi perubahan warna menjadi kuning cerah. 6. Indikator pati 1%
ditambahkan sebanyak 0,5 ml sampai larutan berubah menjadi warna
biru. 7. Titrasi dilanjutkan sampai warna biru yang terbentuk
menghilang.8. Volume larutan Na2S2O3 yang digunakan dicatat dan
dihitung nilai bilangan peroksidanya.9. Larutan blank dilakukan
titrasi yang sama dengan prosedur diatas (tanpa sampel).
BAB IVHASIL DAN PEMBAHASAN
Pada percobaan, digunakan dua buah sampel, yaitu jus buah jeruk
dan kerupuk. Pada sampel jus buah jeruk dilakukan pengamatan
berdasarkan kadar vitamin C dan uji organoleptik, sedangkan pada
sampel kerupuk pengamatan dilakukan berdasarkan parameter kandungan
peroksida dan uji organoleptik. Pengamatan ini berpengaruh dalam
menentukan umur simpan. Terdapat dua metode yang digunakan dalam
menentukan umur simpan, yaitu metode ASLT dan metode Q10. Metode
ASLT merupakan penentuan umur simpan dengan menggunakan parameter
kondisi lingkungan yang dapat mempercepat terjadinya proses
penurunan mutu suatu produk pangan (Arpah, 2001). Suhu semakin
meningkat maka laju kerusakan semakin cepat dan demikian sebaliknya
(Robertson, 1993). Penentuan nilai Q10 merupakan cara untuk
memprediksi efek dari variasi suhu penyimpanan (Toroky dan King,
1991). Nilai dari Q10 merupakan petunjuk mengenai pengaruh
perubahan suatu reaksi pada suhu T2 yang dibandingkan dengan reaksi
pada suhu T1. Metode ini dapat digunakan untuk menentukan waktu
kadaluwarsa secara cepat namun kurang tepat (Singh et al., 1988).
Uji organoleptik memberikan pengaruh secara khusus terhadap nilai
HQL dan PSL, dimana HQL (high quality life) merupakan perhitungan
umur simpan dimana terdapat range yang kecil antara produk yang
diterima dengan produk yang sudah ditolak. HQL menunjukkan
karakterisasi dari proses keamanan tertinggi dan reproducible
treatment quality (Anonim, tanpa tahun).
4.1 Jus Buah JerukJus buah jeruk merupakan produk minuman yang
kaya akan vitamin C, asam organic, seperti asam sitrat, pektin,
serat kasar, dan unsur-unsur anorganik. Kandungan gizi pada jus
jeruk dipengaruhi oleh varietas, kondisi pertumbuhan, tingkat
kematangan, dan iklim. Proses pengolahan, seperti pemanasan,
penambahan bahan pengawet, dan lain-lain dapat memperpanjang umur
simpan pada jus jeruk karena menghambat pertumbuhan mikroba
pembusuk dan patogen (Fardiaz, 1992). Selama penyimpanan jus jeruk
mengalami proses degradasi antara lain degradasi asam askorbat,
pembusukan, off flavour, perubahan warna, tekstur, dan penampakan
(Bezman et. al., 2001). Cara yang dapat dilakukan untuk
mempertahankan mutu jus jeruk adalah menyimpan pada suhu rendah dan
menjaga kelembaban lingkungan agar dapat mengendalikan laju
respirasi dan mencegah terjadinya perubahan biokimia pada jus
jeruk. Pada percobaan ini dilakukan pengamatan kualitas jus jeruk
baik dalam hal pengukuran kadar vitamin C maupun pengujian
organoleptik. Penilaian organoleptik dilakukan secara keseluruhan.
Penentuan umur simpan ditentukan dengan metode ASLT dan nilai Q10.
4.1.1 Kadar vitamin CKualitas jus jeruk ditentukan dari kadar asam
askorbat atau vitamin C. Penentuan kadar vitamin C dilakukan dengan
metode indophenol. Prinsip metooode indophenol adalah asam askorbat
dioksidasi menjjjadi asam dehidroaskorbat melalui indikator dye
(Nielsen, 2010). Perlakuan panas menyebabkan kehilangan asam
askorbat (Manso et. al., 2001). Selama penyimpanan terjadi
degradasi asam askorbat baik secara aerobik maupun anaerobik. Laju
degradasi tergantung dari kondisi penyimpanan, kemasan, dan metode
pengolahan yang digunakan (Tawk dan Huyghebaert, 1998).Tabel 4.1
Nilai R2 pada orde nol dan satuSuhu penyimpananR2 orde 0R2 orde
1
300 C0,3540,322
400 C0,6310,593
500 C0,8070,874
600 C0,8280,899
Penentuan orde ditentukan dengan membandingkan nilai R2 antara
reaksi orde 0 dan 1. Reaksi orde 0 merupakan hubungan antara kadar
vitamin C terhadap waktu penyimpanan. Grafik hubungan ln kadar
vitamin C dengan waktu penyimpanan adalah reaksi orde 1.
Berdasarkan tabel 4.1, nilai R2 orde satu pada suhu 300 C dan 400 C
lebih tinggi, dan suhu penyimpanan 500 C dan 600 C lebih tinggi
pada R2 orde satu. . Reaksi orde 0 merupakan hubungan antara kadar
vitamin C terhadap waktu penyimpanan. Grafik hubungan ln kadar
vitamin C dengan waktu penyimpanan adalah reaksi orde 1. Selisih
nilai R2 antara orde 0 dan orde 1 lebih besar pada suhu 500 C dan
600 C sehingga dalam penentuan nilai konstanta laju reaksi
kerusakan (k) menggunakan orde 1. Hal ini sesuai dengan literatur.
Menurut Labuza (1982), reaksi kerusakan vitamin C selama
penyimpanan umumnya mengikuti reaksi orde satu.
Gambar 4.1 Grafik Waktu terhadap Ln Kadar Vitamin C jus buah
pada suhu penyimpanan 300 C Berdasarkan grafik, persamaan linear
pada suhu 300 C yaitu y = -0,008x 1,979. Dari persamaan linear
dapat ditentukan nilai konstanta laju kerusakan (k) melalui slope.
Oleh karena itu, nilai k pada suhu penyimpanan 300 C sebesar 0,008.
Dari grafik di atas kadar vitamin C paling tinggi pada hari ke-0.
Penurunan vitamin C terjadi pada penyimpanan hari ke-8, ke-25 dan
ke-35. Hal ini sesuai dengan literatur. Menurut Tawk dan
Huyghebaert (1998) vitamin C mengalami degradasi selama
penyimpanan. Proses degradasi vitamin C disebabkan terjadi oksidasi
vitamin C selama penyimpanan membentuk asam dehidroaskorbat
(Tampubolon, 2006). Kenaikan kadar vitamin C terjadi pada
penyimpanan hari ke-14 dan ke -21. Hal ini disebabkan masih
berlangsungnya biosintesis vitamin C dari UDP-glukoronat menjadi
asam askorbat (Helmiyesi et. al., 2008).
Gambar 2.2 Grafik Waktu terhadap Ln Kadar Vitamin C jus buah
pada suhu penyimpanan 400 C
Berdasarkan grafik di atas diperoleh persamaan linear y =
-0,010x - 1,816. Nilai konstanta laju kerusakan pada suhu 400 C
sebesar 0,010. Dari grafik di atas kadar vitamin C tertinggi pada
awal penyimpanan, sedangkan terendah saat akhir penyimpanan hari
ke-35. Berdasarkan grafik di atas terjadi penurunan kadar vitamin C
pada penyimpanan hari ke-8, 21, dan 25. Hal ini sesuai dengan Tawk
dan Huyghebaert (1998), terjadi degradasi vitamin C selama
penyimpanan. Penurunan kadar vitamin C disebabkan reaksi oksidasi
yang membentuk dehidroaskorbat (Tampubolon, 2006). Kenaikan kadar
vitamin C terjadi pada penyimpanan hari ke-14 dan ke-35 Hal ini
tidak sesuai dengan literatur. Menurut Helmiyesi et. al. (2008)
kenaikan kadar vitamin C merupakan hasil dari sintesis vitamin C
dari UDP-glukoronat menjadi asam askorbat. Gambar 4.3 Grafik Waktu
terhadap Ln Kadar Vitamin C jus buah pada suhu Penyimpanan 500 C
Menurut grafik di atas diperoleh persamaan linear y = -0,036x
1,922. Maka dapat disimpulkan nilai konstanta laju reaksi kerusakan
(k) sebesar 0,036. Dari grafik di atas kadar vitamin C mengalami
penurunan pada penyimpanan hari ke 8, 21, dan 35, Hasil percobaan
sesuai dengan literatur. Menurut Tawk dan Huyghebaert (1998).
Penurunan kadar vitamin C disebabkan oleh reaksi oksidasi yaitu
asam askorbat diubah menjadi asam dehidroaskorbat (Tampubolon,
2006). Semakin lama waktu penyimpanan kadar vitamin C semakin
menurun. Hasil pengamatan penyimpanan pada hari ke-14 dan 35
mengalami kenaikan kadar vitamin C. Hal ini tidak sesuai dengan
literatur. Menurut Helmiyesi et. al. (2008) kenaikan kadar vitamin
C disebabkan oleh sintesis vitamin C dari UDP-glukoronat menjadi
asam askorbat.
Grafik 4.4 Grafik Waktu terhadap Ln Kadar Vitamin C jus buah
pada suhu penyimpanan 600 C
Melalui grafik di atas didapat persamaan linier y = -0,068x
1,881. Nilai konstanta laju kerusakan (k) pada suhu 600 C sebesar
0,068. Kadar vitamin C tertinggi pada awal penyimpanan dan terendah
terjadi saat penyimpanan hari ke-35. Berdasarkan grafik di atas
terjadi penurunan kadar vitamin C selama penyimpanan, Menurut Tawk
dan Huyghebaert (1998). terjadi proses degradasi vitamin C selama
penyimpanan. Penurunan vitamin C merupakan hasil dari proses
oksidasi di mana asam askorbat diubah menjadi asam dehidoaskorbat
(Tampubolon, 2006). Hasil percobaan tidak sesuai dengan literatur.
Hal ini disebabkan masih berlangsungnya sintesis vitamin C dari
UDP-glukoronat menjadi asam askorbat (Helmiyesi et. al., 2008).
Gambar 4.5 Grafik Suhu terhadap Konstanta Kerusakan Vitamin C
pada Jus buah Melalui grafik di atas diperoleh persamaan linear y =
0,770x 5,786. Sumbu y merupakan ln k sedangkan sumbu x adalah 1/T.
Dari persamaan tersebut didapatkan nilai k pada suhu tertentu.
Nilai konstanta laju kerusakan pada suhu 600 C, 500 C, 400 C, dan
300 C berturut-turut adalah 0,068, 0,036, 0,010, dan 0,008. Dari
nilai k dapat ditentukan umur simpan jus buah pada suhu tertentu.
Penentuan umur simpan dapat dilakukan melalui metode ASLT dengan
menggunakan rumus . Perlakuan panas menyebabkan kehilangan asam
askorbat (Manso et. al., 2001). Umur simpan berdasarkan kadar
vitamin C pada semua suhu memiliki umur simpan 55 hari. Hal ini
tidak sesuai dengan literatur. Hal ini disebabkan kenaikan suhu
hanya 100 C sehingga tidak berpengaruh banyak pada penurunan kadar
vitamin C.Nilai Q10 merupakan cara untuk memprediksi efek dari
variasi suhu penyimpanan menyatakan jumlah berapa kali percepatan
penurunan mutu dengan variasi suhu 100 C (Toroky dan King, 1991).
Nilai Q10 antara 500 C sampai 600 C dari hasil percobaan diperoleh
sebesar 0,99989. Pada suhu antara 400 C sampai 500 C nilai Q10
sebesar 0,99994. Nilai Q10 antara 300 C sampai 400 C sebesar
0,99993. Metode Q10 ini dapat menentukan waktu kadaluwarsa secara
cepat tetapi kurang tepat (Singh et al., 1988).
4.1.2 Uji OrganoleptikUji organoleptik pada sampel jus jeruk
dilakukan dengan menentukan nilai kerusakan yang terjadi. Skala
penilaian dari angka satu sampai angkat tujuh. Semakin tinggi hasil
uji organoleptik menunjukkan kualitas/mutu dari jus jeruk semakin
tinggi. Berdasarkan percobaan, dilakukan uji organoleptik untuk
setiap penyimpanan jus jeruk pada suhu 30, 40, 50, dan 60oC pada
hari ke 0, 8, 14, 21, 25, dan 35. Pengujian secara organoleptik
terhadap sampel jus buah untuk analisa kandungan vitamin C
dilakukan dengan perhitungan secara HQL dan PSL. Tujuan perhitungan
dengan kedua metode tersebut yaitu untuk mengetahui seberapa lama
umur simpan/ketahanan sampel yang digunakan dengan suhu penyimpanan
yang berbedabeda. prinsip HQL dengan PSL memiliki sedikit
perbedaan, di mana pada metode HQL digunakan untuk memprediksi
pedoman waktu atau umur simpan produk tertentu, sedangkan pada PSL
penentuan umur simpan dengan menggunakan persamaan regresi.
Gambar 4.6 Grafik waktu terhadap nilai sensori pada jus buah
dengan suhu penyimpanan 300 C
Gambar 4.7 Grafik waktu terhadap nilai sensori pada jus buah
dengan suhu penyimpanan 400 C
Gambar 4.8 Grafik waktu terhadap nilai sensori pada jus buah
dengan suhu penyimpanan 500 C
Gambar 4.9 Grafik waktu terhadap nilai sensori pada jus buah
dengan suhu penyimpanan 600 C
Berdasarkan grafik di atas, dapat dilihat bahwa penyimpanan jus
jeruk selama 35 hari pada suhu 30C, 40C, 50C, dan 60C akan
menghasilkan grafik organoleptik yang semakin menurun. Hal ini
disebabkan karena lamanya penyimpanan menyebabkan perubahan mutu
secara fisik dan kimia pada jus jeruk sehingga tingkat penerimaan
konsumen akan produk tersebut akan menurun. Pada grafik
organoleptik jus jeruk yang disimpan pada suhu 60C menghasilkan
kurva yang menurun secara drastis, sedangkan jus jeruk yang
disimpan pada suhu 30C, 40C, dan 50C, tingkat penerimaan konsumen
dari segi organoleptik tidak menurun secara drastis, melainkan pada
rentang skor 5-7. Hal ini karena penyimpanan pada suhu yang terlalu
tinggi menyebabkan beberapa komponen pada jus jeruk akan cepat
rusak, misalnya kandungan vitamin C dan penurunan mutu fisik,
seperti warna, kesegaran, tekstur, dan citarasa. Menurut Syarief
dkk (1989), tingkat suhu dan fluktuasi suhu akan mempengaruhi mutu
produk, dimana setiap kenaikan suhu sebesar 10C akan terjadi
kenaikan kecepatan reaksi sebanyak 2x lipat. Hasil praktikum
mengenai organoleptik jus jeruk sesuai dengan literatur bahwa
penyimpanan jus jeruk pada suhu yang tinggi dan tidak stabil
menyebabkan perubahan warna dan penampakan menjadi lebih coklat
gelap karena kontak dengan udara sekitar, terjadi respirasi, atau
kerusakan mekanis pada sel-sel jeruk (oleoselosis), sedangkan jus
jeruk yang disimpan pada suhu rendah lebih stabil dan dapat
mempertahankan warna, citarasa, dan teksturnya karena mengurangi
laju transpirasi, namun lamanya penyimpanan pada suhu rendah juga
dapat mengakibatkan chilling injuring, selain dari segi warna,
penyimpanan terlalu lama juga dapat merusak tekstur jus jeruk,
dimana menjadi lebih kental dan menurunkan rasa. Jus jeruk yang
disimpan pada suhu tinggi menjadi lebih manis dan tingkat keasaman
berkurang karena terjadinya perubahan asam-asam organik yang
terkandung dalam jeruk (Pantastico, 1997).
y = 10.17 4122.75 xGambar 4.10 Grafik suhu terhadap ln k nilai
sensori pada jus buah
Berdasarkan grafik 1/T terhadap ln K maka dapat dilihat bahwa
semakin tinggi suhu penyimpanan maka akan semakin tinggi derajat
kerusakan pada jus buah. Pada grafik di atas memiliki persamaan
linier y = 10.17 4122.75x, sehingga dapat ditentukan nilai k,
kemudian dengan rumus T = (A0 A) / k, dapat diperoleh lamanya umur
simpan yang berbeda beda pada jus jeruk dengan suhu penyimpanan
yang bervariasi. Jus jeruk yang disimpan pada suhu 30C memiliki
umur simpan sekitar 219 hari, sedangkan pada suhu 400 C sebesar 140
hari, dan suhu penyimpanan 500 C serta 600 C berturut-turut
memiliki umur simpan 100 hari dan 64 hari. Dengan menggunakan
metode Q10 diperoleh umur simpan jus buah pada suhu 30, 40, 50, dan
600C selama 2 hari. Metode HQL diperoleh hasil umur simpan jus buah
pada penyimpanan 300C selama 172 hari, penyimpanan 400C selama 110
hari, penyimpanan 500C selama 79 hari, dan penyimpanan 600C selama
41 hari. hasil perhitungan dengan metode PSL didapat umur simpan
yang lebih rendah dibandingkan dengan HSL, yaitu 141 hari saat
penyimpanan pada suhu penyimpanan 300C, 90 hari pada suhu
penyimpanan 400C, 64 hari pada suhu penyimpanan 500C, dan 41 hari
pada suhu penyimpanan 600C. Perbedaan umur simpan yang lebih rendah
dibandingkan menggunakan metode HQL disebabkan karena metode HQL
digunakan untuk penetapan standar tertinggi dalam penentuan umur
simpan, sehingga hasil perhitungan yang diperoleh dari metode HQL
lebih besar dibandingkan metode PSL. 4.1.3 Pernyimpanan Jus Jeruk
Berdasar Kedua ParameterJus jeruk bedasarkan kedua parameter
menunjukkan lama umur simpan yang berbeda-beda. Berdasarkan metode
ASLT parameter kadar vitamin C didapatkan umur simpan pada setiap
suhu memiliki nilai yang sama yaitu 866 dan berdasar hasil uji
organoleptik menunjukkan hasil yang berbeda-beda untuk suhu 30, 40,
50, dan 60oC yaitu selama 219, 140, 100, dan 64 hari. Perbedaan
juga dapat terjadi pada hasil perhitungan Q10, dimana ada perbedaan
yang besar terjadi. Umur simpan berdasarkan HQL memiliki nilai
lebih tinggi dibandingkan PSL. Penyimpanan jus jeruk paling baik
dilakukan pada suhu 30oC dimana pada suhu ini, tampak umur simpan
jus jeruk paling besar umur simpan dibanding pada suhu lain.
4.2 KerupukKerupuk termasuk dalam produk makanan kering yang
merupakan hasil penggorengan dengan bahan dasar dari tepung tapioka
dengan atau tanpa bahan tambahan lain yang diijinkan. Produk ini
mengalami pengembangan volume, sehingga membentuk suatu produk yang
berongga dan memiliki densitas rendah selama penggorengan. Kualitas
kerupuk dipengaruhi oleh banyak faktor, dimana salah satunya adalah
derajat ketengikan. Semakin tengik maka mutu kerupuk akan semakin
menurun (Suprapti. 2005). Penentuan umur simpan dilakukan dengan
menggunakan metode ASLT dan Q10. Pada percobaan perkiraan umur
simpan, dilakukan dua analisis yang berhubungan dengan kerusakan
yang dapat terjadi selama penyimpanan kerupuk, yaitu analisis
bilangan peroksida yang berhubungan dengan ketengikan dan uji
organoleptik. Pengamatan dilakukan pada hari ke 0, 8, 14, 21, 25,
dan 35 dimana kerupuk disimpan pada suhu 30oC, 40 oC, 50 oC, dan 60
oC.4.2.1 Analisis Bilangan PeroksidaAnalisis bilangan perosida
digunakan dalam menentukan oksidasi yang terjadi di dalam lemak dan
minyak. Bilangan peroksida biasa ditentukan dengan mengukur besar
iodin yang dibebaskan dari larutan potassium iodide jenuh pada suhu
ruang, oleh lemak atau minyak dilarutkan di dalam campuran glacial
acetic acid dan chloroform dengan perbandingan 2:1. Analisis ini
digunakan pada produk-produk yang termasuk dalam primary oxidation
dimana dengan dilakukannya analisis ini maka dapat diketahui besar
derajat oksidasi yang terjadi (Pomeranz & Meloan, 1994). Pada
praktikum analisis bilangan peroksida dilakukan pada setiap
pengamatan.
Gambar 4.11 Grafik waktu teradap bilangan peroksida pada kerupuk
dengan suhu penyimpanan 30oCBerdasarkan grafik waktu terhadap nilai
bilangan peroksida pada kerupuk, dapat dilihat bahwa kerupuk yang
disimpan pada suhu 30oC mengalami kenaikan yang diikuti dengan
penurunan dan kenaikan kembali. Hal ini tidak sesuai dengan
pendapat Hamid et al. (1999), bahwa bilangan peroksida dan waktu
berbanding lurus. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh terjadinya
reaksi antara alkali iodida dengan oksigen dari udara dan reaksi
yang terjadi antara alkali iodida (KI) di dalam larutan asam dengan
ikatan peroksida hanya berlangsung sebagian. Dari grafik di atas di
dapatkan persamaan linier y = 5,119 + 0,298x. Dari grafik linier
tersebut didapatkan nilai konstanta laju kerusakan (k) pada suhu
30oC, dimana nilai ini diperoleh berdasar slope dari persamaan
tersebut. Sehingga didapatkan nilai k sebesar 0,298.
Gambar 4.12 Grafik waktu teradap bilangan peroksida pada kerupuk
dengan suhu penyimpanan 40oCPada grafik waktu terhadap nilai
bilangan peroksida pada kerupuk, dapat dilihat bahwa kerupuk yang
disimpan pada suhu 40oC mengalami kenaikan bilangan peroksida
sampai pada hari ke 25, tetapi pada hari ke 35 terjadi penurunan
bilangan peroksida. Hal ini dapat disebabkan terjadi reaksi yang
tidak sempurna antara alkali iodida (KI) di dalam larutan asam
dengan ikatan peroksida. Penurunan besar bilangan peroksida yang
terjadi pada hari ke 35 menunjukkan ketidaksesuaian dengan pendapat
Hamid et al. (1999). Berdasarkan grafik linier di atas didapatkan
persamaan garis y = 6,419 + 0,229x. Dari grafik persamaan linier
tersebut maka nilia dari konstanta laju kerusakan pada suhu 40oC
adalah sebesar 0,229.
Gambar 4.13 Grafik waktu teradap bilangan peroksida pada kerupuk
dengan suhu penyimpanan 50oC
Grafik di atas menunjukkan terjadinya kenaikan bilangan
peroksida pada hari ke ke 8 tetapi pada hari 14 terjadi penurunan,
pada hari ke 21 terjadi kestabilan bilangan peroksida, dimana
memiliki nilai yang sama, dan pada hari ke 25 dan 35 terjadi
peningkatan bilangan peroksida. Berdasarkan grafik waktu terhadap
nilai bilangan peroksida pada kerupuk yang disimpan pada suhu 50oC,
terjadi ketidaksesuaian dengan pendapat Hamid et al. (1999), dimana
nilai bilangan peroksida akan semakin meningkat dengan semakin
meningkatnya waktu penyimpanan. Penurunan dan terjadinya kestabilan
bilangan peroksida pada hari ke 14 dan 21 dapat disebabkan reaksi
antara alkali iodida (KI) di dalam larutan asam dengan ikatan
peroksida yang hanya berlangsung sebagian. Berdasarkan grafik di
atas, maka didapatkan persamaan linier y = 2,872 + 0,394x. Slope
pada persamaan linier tersebut menunjukkan nilai dari konstanta
laju kerusakan, dimana k = 0,394.
Gambar 4.14 Grafik waktu teradap bilangan peroksida pada kerupuk
dengan suhu penyimpanan 60oC
Berdasarkan grafik di atas, menunjukkan bahwa kerupuk yang
disimpan pada suhu 40oC mengalami kenaikan dan sedikit penurunan
yang dilanjutkan dengan kenaikan kembali nilai dari bilangan
peroksida dengan semakin lamanya penyimpanan dilakukan. Penurunan
hanya terjadi pada waktu penyimpanan hari ke 14. Semakin lama waktu
penyimpanan, maka nilai dari bilangan peroksida akan semakin
meningkat (Hamid et al., 1999). Hal ini dapat disebabkan terjadinya
reaksi yang tidak sempurna antara alkali iodida (KI) di dalam
larutan asam dengan ikatan peroksida. Dari grafik tersebut, maka
didapatkan persamaan garis linier y = 2,731x - 12,163, dengan nilai
konstanta laju kerusakan sebesar 2,731.
Gambar 4.15 Grafik suhu terhadap konstanta kerusakan
Berdasarkan grafik di atas, didapatkan persamaan linier y =
21,732 7.109,735x, dimana y menunjukkan ln k dan x menunjukkan 1/T.
Sehingga, didapatkan persamaan ln k = 21,732 7.109,735(1/T). Dari
persamaan tersebut, maka nilai k dapat diperoleh. Dalam perhitungan
besar umur simpan dengan menggunakan rumus . Umur siman untuk
setiap suhu penyimpanan berbeda-beda, dimana pada suhu 30oC
memiliki umur simpan sebesar dua hari. Umur simpan kerupuk pada
suhu penyimpanan 40, 50, dan 60oC adalah sebesar 4, 8, dan 17 hari.
Nilai dari bilangan peroksida pada produk non fermetnasi akan
mengalami peningkatan dengan semakin meningkatnya suhu penyimpanan
dan semakin lamanya waktu penyimpanan dilakukan (Hamid et al.,
1999). Hal ini menyebabkan semakin tinggi suhu penyimpanan kerupuk,
maka kerupuk mengalami kerusakan dan penurunan mutu yang lebih
besar dengan ditandai dengan semakin besarnya bilangan peroksida
yang terkandung. Terdapat kesesuaian antara literatur dengan hasil
percobaan.Q10 merupakan salah satu metode yang sering digunakan
dalam menentukan umur simpan. Penentuan umur simpan pada metode ini
dilakukan dengan cara membagi umur simpan pada suhu T dengan umur
simpan pada suhu T+10. Berdasarkan percobaan, didapatkan nilai Q10
pada suhu 30 dan 40oC, 40 dan 50oC serta 50 dan 60oC K adalah
sebesar 2 dimana hal ini menunjukkan sampel kerupuk memiliki umur
simpan selama dua hari. Terdapat kesesuaian antara umur simpan
dengan menggunakan metode Q10 dan ASLT pada suhu 60oC dimana
memiliki umur simpan sebesar dua hari. Hasil pengukuran dengan
metode Q10 menunjukkan ketidaksesuaian dengan literatur dimana hal
ini dapat terjadi karena metode pengukuran umur simpan dengan
menggunakan Q10 merupakan metode pengukuran yang mudah, cepat,
namun kurang akurat (Singh et al., 1988). Sehingga, hal ini
menyebabkan tidak terdapatnya perbedaan umur simpan pada setiap
suhu yang berbeda.
4.2.2 Uji OrganoleptikDi dalam praktikum ini, dilakukan uji
organoleptik dimana panelis menentukan tingkat kesukaan diantara
sampel dimana tidak dilakukan perbandingan diantara sampel yang
satu dengan sampel yang lain. Penilaian dilakukan dengan range 1-7,
dimana angka satu menunjukkan kerupuk dengan mutu yang paling
rendah dan tujuh menunjukkan kerupuk dengan mutu yang paling
tinggi. Pengukuran umur simpan sampel dilakukan dengan HQL dan PSL
dimana pada kedua metode tersebut terdapat sedikit perbedaan,
dimana pada metode HQL digunakan untuk memprediksi umur simpan
produk tertentu, sedangkan PSL digunakan untuk menentukan persamaan
regresi.
Y = 6.968 0.105x Gambar 4.16 grafik waktu terhadap organoleptik
pada penyimpanan 300C Pada gambar 4.16 di atas dapat dilihat bahwa
tingkat organoleptik kerupuk yang disimpan pada suhu 300C mengalami
penurunan seiring dengan lamanya waktu penyimpanan. Penurunan
karakteristik organoleptik terjadi mulai dari hari ke0 hingga hari
ke21, kemudian konstan hingga hari ke35. Di mana semakin lama waktu
penyimpanan, rasa tengik pada kerupuk akan lebih meningkat
(Muchtadi, 2010), sehingga tingkatan organoleptik juga mengalami
penurunan. Hal ini berhubungan dengan semakin rendahnya suhu
penyimpanan, laju penurunan mutu kerupuk akibat ketengikan juga
akan lebih lambat dibandingkan dengan suhu yang lebih tinggi.
Tingkat ketengikan kerupuk juga berhubungan dengan meningkatnya
bilangan peroksida pada kerupuk. Semakin meningkatnya bilangan
peroksida, tingkat ketengikan akan meningkat, dan kualitas kerupuk
dari segi organoleptik juga akan mengalami penurunan. Perhitungan
umur simpan kerupuk pada suhu 300C dengan menggunakan metode HQL
diperoleh ketahanan simpan krupuk sebesar 62 hari, sedangkan metode
PSL sebesar 51 hari. Perbedaan umur simpan dari masing masing
metode yang digunakan yaitu metode HQL merupakan metode penentuan
umur simpan berdasarkan kualitas yang tertinggi. Dalam artian
metode HQL digunakan sebagai penentu kualitas tertinggi atau
batasan maksimum umur simpan suatu bahan, sedangkan metode PSL
hanya sebagai penentu kualitas tetapi bukan sebagai ketetapan
maksimum penentu sebuah kualitas mutu produk pangan.
Y = 6.233 0.0815x Gambar 4.17 grafik waktu terhadap organoleptik
pada penyimpanan 400C Penyimpanan kerupuk pada suhu 400C
menghasilkan tingkatan organoleptik yang mengalami penurunan dari
hari ke 0 penyimpanan hingga hari ke 35, seperti yang dapat dilihat
pada gambar 4.17 di atas. Grafik yang dihasilkan dari hubungan
antara lama waktu penyimpanan dengan kualitas organoleptik di atas
menunjukkan bahwa kualitas organoletik kerupuk sempat terjadi
peningkatan yang kemudian diikuti dengan penurunan organoleptik,
hingga diperoleh kualitas organoleptik yang konstan. Hal ini
kemungkin berkaitan dengan terjadinya reaksi antara alkali iodida
(KI) di dalam larutan asam dengan ikatan peroksida yang hanya
berlangsung sebagian, sehingga menghasilkan kenaikan bilangan
peroksida yang tidak terlalu meningkat. Peningkatan bilangan
peroksida yang sedikit inilah yang menyebabkan rasa dari kerupuk
yang tidak terlalu tengik, sehingga akan berkontribusi terhadap
pemberian nilai organoleptik kerupuk yang cenderung lebih tinggi
dibandingkan krupuk yang mengalami reaksi secara menyeluruh. Dengan
menggunakan metode HQL, ketahanan umur simpan krupuk pada suhu 400C
sebesar 55 hari, sedangkan metode PSL selama 45 hari.
Y = 7.361 0.1036x Gambar 4.18 grafik waktu terhadap organoleptik
pada penyimpanan 500C Berdasarkan gambar 4.18 di atas, dapat
diketahui bahwa kerupuk yang disimpan pada suhu penyimpanan 500C
akan mengalami penurunan kualitas organoleptiknya mulai dari hari
ke 0 sampai hari ke 35. Meskipun dalam grafik hasil organoleptik
juga ditemui adanya peningkatan yang kemudian dilanjutkan dengan
penurunan hingga hari pengamatan terakhir (hari ke 35). Hal ini
disebabkan, pada saat suhu penyimpanan yang semakin tinggi, maka
semakin cepat kerupuk tersebut untuk tengik dan berpengaruh
terhadap menurunnya kualitas organoleptiknya. Peningkatan
organoleptik yang terjadi pada grafik 4.18 di atas dapat disebabkan
oleh kemungkinan reaksi peroksida yang hanya berlangsung sebagian
atau tidak merata saat hari tersebut, sehingga organoleptik yang
dihasilkan akan memberikan nilai yang lebih tinggi dibandingkan
dengan kerupuk yang terjadi reaksi peroksida seluruhnya. Kerupuk
yang mengalami reaksi pembentukan peroksida sebagian akan
menghasilkan rasa yang lebih tidak terlalu tengik dibandingkan
dengan kerupuk yang mengalami reaksi pembentukan peroksida
seutuhnya. Dengan menggunakan metode HQL, diperoleh ketahanan
maksimum umur simpan kerupuk pada suhu 500C sebesar 49 hari,
sedangkan metode PSL sebesar 40 hari.
Y = 7.6482 0.1446x Gambar 4.19 grafik waktu terhadap
organoleptik pada penyimpanan 600C Suhu penyimpanan kerupuk paling
tinggi yang digunakan dalam praktikum ini menunjukkan hasil seperti
pada gambar 4.19 di atas. Dari gambar 4.19 dapat dilihat bahwa
penurunan kualitas organoleptik yang lebih curam terjadi saat suhu
penyimpanan yang paling tinggi, yaitu 600C. Hal tersebut disebabkan
karena tingkat ketengikan akan lebih meningkat pada saat
penyimpanan dengan suhu yang lebih tinggi dibandingkan dengan suhu
lainnya, sehingga akan menghasilkan penurunan nilai organoleptik
yang lebih rendah dibandingkan lainnya. Meskipun dalam grafik 4.19
juga ditemui adanya penurunan kualitas organoleptik yang disertai
dengan kenaikan, kemudian dilanjutkan lagi dengan penurunan hingga
hari pengamatan terakhir (hari ke 35). Di mana hal tersebut dapat
disebabkan karena adanya komponen peroksida di dalam kerupuk yang
hanya sebagian bereaksi, sehingga menghasilkan rasa yang lebih
tidak terlalu tengik dibandingkan dengan kerupuk dengan peroksida
yang bereaksi sepenuhnya. Dengan menggunakan metode HQL diperoleh
umur simpan maksimum kerupuk sebesar 44 hari, sedangkan metode PSL
selama 36 hari.
Y = 1,4599 1175,3xGambar 4.20 grafik suhu terhadap konstanta
kerusakan Berdasarkan gambar 4.20 di atas dapat dilihat hubungan
antara perbedaan suhu penyimpanan dengan laju kerusakan kerupuk
dari segi organoleptik. Hubungan suhu dengan laju kerusakan kerupuk
diperoleh persamaan y = 1,4559 1175,3x. Dari persamaan garis
tersebut, dapat dihitung masa simpan kerupuk berdasarkan suhu
penyimpanan yang berbedabeda, yaitu 30, 40, dan 500C. Kerupuk yang
disimpan pada suhu 300C memiliki ketahanan umur simpan yang lebih
tinggi dibandingkan dengan lainnya, yaitu sebesar 67 hari. Suhu
penyimpanan 400C menghasilkan ketahanan simpan kerupuk selama 60
hari. Kerupuk yang disimpan pada suhu 500C memiliki ketahanan
simpan 53 hari dan kerupuk yang disimpan pada suhu 600C memiliki
ketahanan simpan selama 48 hari. Perbedaan umur simpan kerupuk yang
diperoleh dari penyimpanan suhu yang berbeda beda disebabkan oleh
semakin tingginya suhu penyimpanan, maka umur simpan akan menurun.
Hal tersebut disebabkan karena tingkat ketengikan akan lebih
meningkat pada saat penyimpanan dengan suhu yang lebih tinggi
dibandingkan dengan suhu lainnya, sehingga akan menghasilkan
penurunan nilai organoleptik yang lebih curam dibandingkan lainnya.
Hidrolisis lemak akan lebih cepat bereaksi saat kerupuk disimpan
pada suhu, kadar air, dan kelembapan yang tinggi (Muchtadi, 2010),
sehingga suhu yang paling tinggi (600C) akan lebih memiliki waktu
simpan yang lebih rendah dan ketengikan yang lebih dibandingkan
dengan suhu penyimpanan lainnya. Perhitungan umur simpan krupuk
dengan metode Q10 dari segi organoleptik didapatkan hasil yang sama
antara nilai Q10 pada suhu 300C terhadap 400C, 400C terhadap 500C,
dan 500C terhadap 600C, yaitu sebesar 1 hari.
4.2.3 Perkiraan Umur Simpan Kerupuk Berdasar Kedua
ParameterTabel 4.2 Hasil perhitungan umur simpan kerupuk
MetodeSuhuBilangan peroksidaUji organoleptik
ASLT30oC267
40oC460
50oC853
60oC1748
Q1030-40oC21
40-50 oC21
50-60 oC21
Berdasarkan parameter bilangan peroksida dan organoleptik,
didapatkan hasil perhitungan umur simpan dengan metode ASLT dan Q10
yang berbeda diantara kedua parameter tersebut untuk setiap suhu
yang berbeda. Pada perhitungan dengan menggunakan metode ASLT
tampak perbedaan yang sangat besar terjadi, sedangkan perbedaan
yang terjadi pada metode Q10 tidak besar di antara kedua parameter
tersebut. Hal ini dapat terjadi karena kerusakan yang terjadi
diantara kedua parameter memiliki batasan yang berbeda-beda, nilai
Q10 merupakan hasil dari perhitungan nilai umur simpan perkiraan
berdasarkan perbedaan suhu sedangkan ASLT merupakan metode
penilaian umur simpan pada setiap suhu, serta pada penilaian umur
simpan dengan metode ASLT semakin meningkatnya suhu menandakan umur
simpan yang semakin menurun sedangkan pada metode Q10 hal tersebut
tidak terjadi. Umur simpan berdasarkan HQL menunjukkan hasil yang
lebih tinggi dibanidng PSL. Penyimpanan kerupuk yang paling baik
dilakukan pada suhu 30oC dimana suhu yang semakin tinggi
menyebabkan semakin besarnya bilangan peroksida (Pomeranz &
Meloan, 1994).
BAB VKESIMPULAN
Kualitas dari jus jeruk ditentukan dari kadar vitamin C. Asam
askorbat di dalam jus jeruk menurun selama penyimpanan. Selain itu,
semakin tinggi suhu penyimpanan kadar vitamin C semakin rendah.
Umur simpan jus jeruk selama 55 hari. Metode penentuan umur simpan
dapat dilakukan dengan ASLT dan Q10. Umur simpan dengan kedua
metode ini sedikit berbeda. Penentuan umur simpan melalui metode
Q10 kurang tepat daripada ASLT. Pada uji organoleptik jus jeruk
dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi suhu penyimpanan jus jeruk
akan menghasilkan grafik organoleptik yang semakin menurun. Hal ini
disebabkan karena terjadi perubahan fisik, seperti rasa, aroma,
warna, dan penampakan pada jus jeruk, selain itu terjadi perubahan
kimia, misal berkurangnya vitamin C dan nutrisi lainnya yang
terkandung dalam jus jeruk sehingga tingkat penerimaan konsumen
akan jus jeruk juga akan menurun. Penyimpanan jus jeruk berdasar
uji organoleptik paling baik dilakukan pada suhu 30oC. Kerupuk
merupakan produk pangan kering dimana selama proses penyimpanannya
sering terjadi ketengikan, yang terjadi akibat adanya proses
oksidasi di dalam produk pangan. Pada produk ini dilakukan analisis
bilangan peroksida dan analisis organoleptik. Semakin lama waktu
penyimpanan maka nilai dari bilangan peroksida juga akan semakin
tinggi. Dari segi bilangan peroksida, didapatkan umur simpan
kerupuk paling besar pada suhu 60oC, dimana pada suhu ini
berdasarkan metode ASLT memiliki umur simpan tertinggi sebesar 17
hari. Berdasar metode Q10, dilakukannya penyimpanan pada suhu 30,
40, 50, maupun 60oC, tidak menunjukkan perubahan umur simpan, yaitu
selama dua hari. Berdasarkan uji organoleptik umur simpan kerupuk
dengan metode ASLT pada suhu 30, 40, 50, maupun 60oC adalah sebesar
67, 60, 53, dan 48 hari. Sedangkan berdasarkan metode Q10 adalah
selama satu hari untuk setiap suhu yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. High Quality Life. Google online. Home page on-line.
Available from:
http://www.boschpackaging.com/en/pa/products/industries/pd/product-detail/hql-4929.php?ind=1675&mt=15322;
Internet; accessed 22 Maret 2013.
Arpah. Penentuan Kedaluwarsa Produk Pangan. Bogor: Institut
Pertanian Bogor, 2001.
Bezman, Y., R. L. Rouseff, and M. Naim, M. 2-methyl-3-furanthiol
and methional are possible o-avors in stored orange juice:
aroma-similarity, NIF/SNIF GC-O, and GC analyses. Journal of
Agricultural and Food Chemistry 49, no. 11(2001): 54255432.
Christian, J. H. B. Microbial Ecology of Foods. New York:
Academic Press, 1980.
Deng, J. C. Effect of iced storage on free fatty acid production
and lipid oxidation in mullet muscle. Journal Food Science 43
(1978): 337-340.
Fardiaz, S. Mikrobiologi Pangan. Bogor : PAU Pangan dan Gizi
IPB. 1992.
Floros, J. D. and Gnanasekharan. Shelf Life Prediction of
Packaged Foods: chemical, biological, physical, and nutritional
aspects. London: Elsevier Publishing, 1993.
Hamid, Helmi, T. Purwadaria, T. Haryati, dan A. P. Sinurat.
Perubahan Nilai Bilangan Peroksida Bungil Kelapa Dalam Proses
Penyimpanan dan Fermentasi Dengan Asergillus niger. Balai Pertanian
Ternak (1999) : 101-107.
Hariyadi, P. Prinsip penetapan dan pendayagunaan masa
kadaluawarsa dan upaya-upaya memperpanjang masa simpan. Pelatihan
Pendugaan Waktu Kadaluwarsa (Shelf Life). Bogor : Pusat Studi
Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. 2004.
Helmiyesi, Rini Budi Hastuti, dan Erma Prihastanti. Pengaruh
Lama Penyimpanan terhadap Kadar Gula dan Vitamin C pada Buah Jeruk
Siam (Citrus nobilis var. microcarpa). Buletin Anatomi dan
Fisiologi 16, no. 2 (2008): 33-37.
Herawati, H. Penentuan Umur Simpan Produk Pangan. Semarang:
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah, 2008.
Kilcast, David dan Persis Subramaniam, eds. The Stability and
Shelf Life of Food. Cambridge: Woodhead Publishing Limited,
2000.
Labuza, T. P. Shelf Life Dating of Foods. Westport: Food and
Nutrition Press Inc., 1982.
Manso, M. C., F. A. R. Oliveira, J. C. Oliveira, and J. M.
Frias. Modelling ascorbic acid thermal degradation and browning in
orange juice under aerobic conditions. International Journal of
Food Science and Technology 36, no. 3 (2001): 303312.
Nielsen, S. Suzanne. Food Analysis, 4th ed. New York: Springer
Science + Business Media, 2010.
Pantastico. Postharvest Handling And Utilization Of Tropical And
Subtropical Fruits and Vegetables. Yogyakarta : Gajah Mada
University Press. 1997.
Pomeranz, Yeshajahu dan Clifton E. Meloan. Food Analysis :
Theory and Practice. New York: Chapman & Hall, 1994.
Prabhakar, J. V. and B. L. Amia. Influence of water activity on
the information on monocarbonyl compounds in oxidizing walnut oil.
Journal Food Science 43 (1978): 1.839-1.843.
Robertson, L. Food Packaging Principles and Practice. New York:
Marcell Dekker, 1993.
Singh, J. P., R. E. Karamanos and J. W. B. Stewart. The
Mechanism of Phosphosrus Induced Zinc Defisiensy in Bean
(Pahseoulus vulgaris L.). Canadian Journal Soil Science 68 (1998) :
345-358.
Suprapti, Ir. M. Lies. Kerupuk Udang Sidoarjao. Yogyakarta:
Kanisius, 2005.
Syarief et al., Teknologi Pengemasan Pangan. Bogor : PAU Pangan
dan Gizi, IPB. 1989.
Tampubolon, Sanggam Dera Rosa. Pengaruh Konsentrasi Gula dan
Lama Penyimpanan terhadap Mutu Manisan Cabai Basah. Jurnal
Penelitian Bidang Ilmu Pertanian 4, no. 1 (2006): 7-10.
Tawk, M. S., and A. Huyghebaert, A. Effect of storage
temperature, time, dissolved oxygen and packaging materials on the
quality of aseptically lled orange juice. Acta Alimentaria 27, no.
3 (1998): 231244.
Toroky, T. and A. King. Thermal Inactivation Kinetics of Food
Borne Yeasts. Journal of Food Science 56, no 1 (1991): 6-9.
Winarno, F. G. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia,
1992.15