Top Banner
1 Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol-botol Berisi Senja
108

Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

Nov 07, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

1

Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15

Botol-botol Berisi Senja

Page 2: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

2

Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15

Botol-botol Berisi Senja

All Rights Reserved

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Edisi

Cetakan Pertama, Juni 2014

Illustrasi Sampul

eL torros

Kurator/Penyusun

Hikozza

Wijang J. Riyanto, dkk

Tata Letak

Hikozza

Penyunting

Wijang J. Riyanto

Percetakan

eL torros

ISBN 978-979-1032-85-8

Penerbit

Taman Budaya Jawa Tengah

2014

Page 3: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

3

Pengantar

Hampir dua dasawarsa terakhir ini, khususnya

semenjak bergulirnya era reformasi yang ditandai dengan

tunbangnya rezim otoritarian Orde Baru di tahun 1998, euphoria

kebebasan seolah tak terbendung lagi dan telah melanda ke

segala sisi kehidupan bangsa kita, bahkan juga di kehidupan

dunia kemenulisan sastra Indonesia mutakhir.

Hiruk pikuk euphoria kebebasan di dalam kehidupan dunia

kemenulisan sastra Indonesia mutakhir dapat dilihat dengan

tumbuh suburnya berbagai komunitas sastra yang ada di

berbagai daerah, yang merupakan “gerbong-gerbong literasi”

yang mengangkut sejumlah penukis-penulis sastra potensial,

termasuk para penulis cerita pendek (cerpenis).

Karya-karya kreatif para cerpenis banyak dijumpai di

berbagai media massa cetak dan jejaring social media yang

sedang mewabah dewasa ini. Bahkan, dalam berbagai buletin

komunitas sastra pun dapat kita temukan karya-karya para

cerpenis. Demikian juga, penerbitan buku kumpulan cerpen, tak

kalah maraknya, di mana di dalamnya terhimpun karya-karya

kreatif mereka. Hal ini menunjukkan betapa kehidupan dunia

kemenulisan sastra, khususnya penulisan cerpen memiliki ranah

eksistensinya sendiri.

Namun demikian, kenyataan yang tak dapat terelakkan,

masih banyak potensi literasi di ranah penulisan cerpen yang

sepenuhnya belum tergali secara optimal akibat minimnya

Page 4: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

4

aksesibilitas bagi para cerpenis di dalam menyosialisasikan

karya-karya kreatif mereka. Tentu saja tertengarai, bahwa masih

banyak karya-karya para cerpenis yang hanya menghuni ruang-

ruang sunyi berupa tumpukan-tumpukan manuskrip di kamar-

kamar pribadi. Bahkan, tak jarang, karya-karya mereka berujung

di tong sampah dan atau lembaran-lembaran kertas medianya

menjadi pembungkus kacang dan makanan kecil lainnya yang

tiada pernah lagi dipedulikan orang.

Mengingat hal itu dan didasari atas betapa pentingnya

upaya pendokumentasian, maka divisi sastra Taman Budaya

Jawa Tengah mencoba berusaha memberikan ruang alternatif

bagi sosialisasi karya-karya kreatif literer para cerpenis dengan

menerbitkan buku antologi cerpen berlabel Joglo, yang

merupakan sebuah seri dokumentasi sastra.

Pada tahun 2014 ini, penerbitan antologi cerpen Joglo yang

merupakan sebuah seri dokumentasi sastra telah memasuki edisi

ke-15. Adapun tajuk yang disematkan berjudul “Botol-botol

Berisi Senja” (meminjam judul cerpen karya Mawaidi D. Mas)

yang menghimpun karya-karya dari dua belas cerpenis, yaitu

Ana Sue, Astuti Parengkuh, Ayu Sundari, Bunga Hening

Maulidina, Danang Febriansyah, Gatot Prakosa, Hardi

Rahman, Kalis Mardi Asih, Mawaidi D. Mas, Muhammad

Izzat Abidi, Saifu Ali, dan Yazid Muttaqin.

Tentu saja, kehadiran para cerpenis dengan karya-

karyanya yang terhimpun di dalam terbitan antologi kali ini

diharapkan mampu merangsang kerja kreatif mereka dan para

penulis lainnya. Selain itu, kehadiran antologi ini semoga mampu

memperkaya khazanah pustaka Sastra Indonesia mutakhir dan

memberikan manfaat bagi para pembaca.

Salam, Wijang J. Riyanto

Page 5: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

5

Sinerai Isi

Pengantar | 3 |

Sinerai Isi | 5 |

Alice (Not) In A Wonderland | Ana Sue | 6 |

Kisah Tentang Kau dan Frangipani | Astuti Parengkuh | 18 |

Sari Awan | Ayu Sundari | 30 |

Daun Yang Berbicara | Bunga Hening Maulidina | 38 |

Penggali Pasir | Danang Febriansyah | 45 |

Gajahoying | Gatot Prakosa | 50 |

Kota Cahaya | Hardi Rahman | 56 |

Risalah Cinta Sahara | Kalis Mardi Asih | 65 |

Botol-botol Berisi Senja | Mawaidi D. Mas | 73 |

Sepasang Jam Tua yang Merindukan Keabadian | Muhammad

Izzat Abidi | 77 |

Sebatang Pohon Jati yang Menangis Setiap Malam | Saifu Ali |

85 |

Jimat Lek Darkum | Yazid Muttaqin | 93 |

Page 6: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

6

Alice (Not) In A Wonderland Cerpen karya Ana Sue

Apa yang akan terjadi kala pagi menyambut tak ada lagi

kicauan burung yang bersenandung untuk menyapa?

Apa yang akan terjadi jika sebuah pulau tak bertuan,

menjadi kering—hampa—tak berarti?

Apa yang akan terjadi jika yang kita miliki hanyalah

sebuah mimpi buruk nyata yang membuat mata kita sulit

terpejam?

Akankah kau berlari saat tak ada seorang pun yang

menyelamatkanmu dari suara-suara kematian?

***

Pagi itu, kau bangun terlambat. Kau menyadari sesuatu—

tak ada suara Mama—membangunkanmu dengan nada sopran.

Sedikit lega pikirmu, tak perlu merasa berdebar-debar

berlebihan karena terkena ocehan-ocehan yang terkadang

membuatmu jengkel. Perlahan kau bangkit dari tempat tidurmu,

menuju sebuah gantungan pakaian, dan mengambil handuk. Kau

bersiap-siap untuk mandi.

Ketika kau hendak menginjakkan kaki ke dalam kamar

mandi, jari-jemari kakimu menyentuh sesuatu yang basah dan

sedikit lengket, kau angkat telapak kakimu dan memerhatikan

Page 7: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

7

apa yang baru saja kau injak. Alismu mengernyit, sesaat

jantungmu berpacu—memacu adrenalin—di dalam darahmu.

“Darah?! Apa yang terjadi?!”

Kau hempaskan handuk yang tersampir di bahumu,

segera kau menyentuh kenop pintu—secepatnya menghambur

keluar dari dalam kamar. Kau menuruni tangga sesegera

mungkin bahkan melompati sekaligus dua anak tangga tanpa

berhati-hati, bisa saja kau terjatuh karena kecerobohanmu.

Kau berjalan menuju ruang tamu, tak ada siapapun!

Mama, Papa, bahkan adik kecilmu yang menyebalkan—

selalu merasa paling benar—suka mencari perhatian berlebihan,

yang sempat ingin kau bunuh dalam pikiranmu, tak ada di sana.

Ke mana mereka?

Apa yang kaurasakan?

Kesepian?

Ketakutan? Atau... kau merasa bahagia, karena tak ada

lagi seorang pun yang membuat hari-harimu terasa seperti di

neraka. Kauanggap, mereka pergi tanpa mengajakmu. Rasa

jengkel, kesal, sedih, dan dongkol—berharap—mereka mati

muncul di dalam pikiranmu. Kau selalu merasa dikucilkan, tak

dianggap keberadaanmu.

Mau bermain denganku?

Lamat-lamat kau mendengar suara yang entah darimana

asalnya, mengajakmu bermain. Kau mengedarkan pandangan ke

segala arah, tapi tak kautemukan apapun di sana. Darimana, asal

suara itu? Pikirmu. Bingung.

“Si-siapa kau? Di mana kau?!”

Bermainlah denganku. Kita akan menuju sebuah tempat,

yang tak seorang pun pernah ke sana.

Kembali kau mendengar suara yang tak bertuan. Kau

mundur beberapa langkah, menajamkan pendengaran dan

Page 8: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

8

mengawasi sekelilingmu dengan cermat, siapa tahu ada yang

sedang bersembunyi di dekatmu.

Kau mencari dan terus mencari asal suara tersebut. Kau

menyisir tiap ruangan; menuju ruang tengah, tapi tak ada

seorang pun di sana, begitu juga, di dapur, di teras belakang, di

manapun! Kau merasa lelah, napasmu tersengal-sengal,

sedangkan suara itu terus mengusikmu, dengan ritme yang

semakin lama semakin membuatmu merasa takut. Kau

memutuskan untuk menunggu Mama, Papa, dan adikmu di teras

depan rumah, dan melupakan perihal darah yang kautemukan di

depan kamar mandi tadi.

Kau duduk di pinggir tangga dekat teras rumah dan

mendekap tubuhmu yang mulai bergetar merasakan takut.

Alice...!

Kembali kau mendengar suara yang entah darimana

asalnya, menyerukan namamu. Kau terkesiap, mencari asal

suara, lagi-lagi tak ada seorang pun di sana.

Tiba-tiba kau merasakan, kerah bajumu tertarik oleh

sesuatu. Kau menoleh ke belakang, namun tak mendapati siapa-

siapa. Kembali kau beranjak berdiri dan berhati-hati melangkah

ke dalam rumah. Tiba-tiba kau merasa, seisi rumah beserta

ruangan berguncang hebat dan...

“Ah... silau! Di mana aku?” Kau membuka dan

memicingkan kedua matamu, kau menyadari sesuatu jika kini

kau berada di tempat yang sangat asing. Seluruh persendian di

tubuhmu terasa sakit. Cahaya matahari menusuk kedua kornea

matamu. “Te-tempat apa ini?” Kau bangkit berdiri seraya

merapikan pakaianmu yang sedikit kotor terkena tanah.

Tak ada yang indah dengan pemandangan di sekitarmu,

hanya ada pepohonan dengan ranting-ranting yang layu dan

hampir mati. Rerumputan yang telah menguning—sebagian

mengering—menghiasi sekeliling.

Page 9: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

9

“Hai!” Tiba-tiba, seekor kelinci menyeramkan melompat

seraya melambaikan tangan ke arah wajahmu. Wajahnya

mengerikan, tak seperti kelinci-kelinci pada umumnya. Kedua

matanya berwarna merah pekat, dengan dua gigi menyembul

keluar—lebih menyerupai taring—berwarna kekuningan. Ia

menunjukkan sebuah jam bandul berwarna hitam. “Ah ... kita

sudah terlambat. Sebaiknya kau ikut denganku, Ratu pasti ingin

menemui tamunya.” Ia menarik tanganmu. Kau menyadari

sesuatu, tangan kelinci itu tak utuh, koreng dan borok menghiasi

pergelangan tangannya yang kasar.

“Oh Tuhan, aku berada di mana? Semua kejadian barusan

seperti pernah kulihat, tapi ... di mana?”

“Kau ... berada di tanah ajaib, di sini semua berbalik 180

derajat dari dunia nyatamu. Kau bisa mendapatkan kematian

indah di tempat ini, membunuh orang-orang yang kau benci

tanpa takut diketahui oleh siapapun. Bukankah, itu adalah

keinginanmu?”

“Ma-maksudmu?”

“Alice, you’re not in a wonderland!” seringainya

kepadamu.

“Hah?! Bagaimana kau tahu namaku?” Kau berusaha

melepaskan cengkramannya di tanganmu, kau bergerak mundur

menjauhinya. “Bagaimana caraku kembali ke dunia nyata? Aku

harus kembali, kedua orangtuaku pasti mencariku!”

Kelinci itu mengacungkan jari telunjuk dan menggoyang-

goyangkannya. Ia tak akan melepaskanmu sebelum kau

mengikuti permainannya. Kau terpaksa mengikuti langkahnya

yang cukup cepat berjalan di depanmu. Kau bergidik ngeri

melihat pemandangan yang sangat tak biasa, setiap kau

melangkahkan kaki, kau akan menemukan sesuatu yang

membuatmu ingin berlari—kembali ke tempat asalmu. Tentu tak

mungkin! Kau tak tahu di mana jalan keluarnya.

Page 10: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

10

Bangkai-bangkai berserakan, kerangka-kerangka

manusia berhamparan, belum lagi bau busuk yang mengusik

penciuman. Kau menutup hidung dan mulut dengan kedua

telapak tanganmu, kau merasa sangat mual. Kau berpikir, pasti

kau akan mati!

Kau mengikuti kelinci buruk rupa itu berjalan, di depan

ada sebuah kolam besar berwarna merah kehitaman, dengan bau

busuk menyengat. Hanya sebuah batang pohon besar yang

menjembatani antara ujung satu dengan ujung lainnya. Kau dan

kelinci harus melewati jembatan itu tanpa terjatuh. Kau berpikir,

sulit untuk meniti di atas batang pohon yang tak lebih hanya

selebar 10 cm.

“Jangan sampai terjatuh, atau kolam darah itu akan

menghisap tubuhmu hingga kau tenggelam,” kelinci mewanti-

wantimu.

Keringat dingin mengucur dari dahimu. Kau tak bisa

mundur, atau kau tak akan pernah kembali ke dunia nyata. “Ba-

baiklah.” Dengan perasaan gamang, cemas, kau meniti jembatan

itu dengan hati-hati seraya meremas-remas ujung pakaianmu.

Kau melihat beberapa tikus, burung, dan beberapa

binatang lainnya mengambang di atas kolam dengan keadaan

mengenaskan.

Kau terus meniti jembatan dengan sangat berhati-hati. Ya,

kau teringat sesuatu, sebuah kisah yang serupa namun tak sama

dengan yang kau hadapi sekarang. Sebuah kisah indah yang

bertolak belakang dengan keadaanmu sekarang. Tiba-tiba, tanpa

sengaja, kau tergelincir ke dalam kolam berbau busuk itu. Setelah

berada di dalam kolam, kau baru menyadari tak ada tempatmu

untuk berpijak, kolam itu benar-benar dalam. Binatang-binatang

kecil melintas di depanmu, belatung, serta kotoran dengan

tenang menyapamu. Kau berteriak berharap kelinci mengerikan

itu menolongmu.

Page 11: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

11

“Dasar gadis bodoh! Bukankah sudah kukatakan hati-hati

pada langkahmu! Cepat raih tanganku atau kau akan tenggelam

dan membusuk!”

Kau merasakan gatal yang teramat sangat di bagian kaki

dan tubuhmu, gatal yang sangat luar biasa. Ingin rasanya kau

menggaruk sekuat tenaga agar rasa gatal itu lenyap dari

badanmu. Kelinci itu memang terlihat mengerikan dan lemah,

namun ia mampu menarikmu keluar dari dalam kolam.

Kau berhasil keluar dari dalam kolam dengan keadaan

menjijikkan. Seluruh kulit dari ujung kaki hingga ujung kepala

terlihat memerah dan timbul bintik-bintik kehitaman. “Apa yang

terjadi? Tubuhku terasa gatal!” Kau menggaruk pergelangan

kakimu sekuatnya, lagi, lagi, dan lagi. Sehingga bintik-bintik yang

menyerupai bisul itu pecah dan mengeluarkan cairan kekuningan

yang berbau tak sedap.

“Kau masuk di dalam kolam ‘putus asa’, siapa saja yang

masuk di sana tanpa diketahui maka mereka akan mati. Tubuh

mereka akan ditumbuhi bintik-bintik menyerupai bisul,

kemudian membusuk, bernanah, kuman-kuman menggerogoti

seluruh tubuh, kemudian rasa gatal itu akan berubah menjadi

rasa panas yang membakar tubuh. Sebaiknya kau basuh dengan

air bersih lalu keringkan tubuhmu!” perintah kelinci padamu.

Bagaimana mendapatkan air bersih?

Sejak tadi, kau tak melihat ada kolam, sungai, atau

sumber mata air bersih semenjak kau menginjakkan kaki di

hutan aneh itu. Hanya pemandangan mengerikan di sekelilingmu

yang kau lihat.

“Kau bercanda, bagaimana membersihkan tubuh, aku tak

melihat adanya sumber air bersih di tempat ini?!”

“Ah, memang tak ada sumber air bersih. Kau bisa

membersihkan tubuhmu, nanti setelah kau kembali ke duniamu.

Itupun jika kau bisa kembali, setelah mendapatkan kejutan-

Page 12: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

12

kejutan. Kau di sini untuk bermain dengan kami, jadi... tahan saja

dulu rasa gatal itu!” Kelinci itu menyeringai memamerkan taring-

taring yang terlihat menguning.

Sambil berjalan kau terus menggaruki pergelangan

tangan, punggung, serta leher. Semakin kau menggaruk, semakin

kau merasakan gatal yang sulit kau ucapkan dengan kata-kata.

Saat itu kau merasa rindu pada kehidupanmu, menyesali segala

gerutu, dan tingkah lakumu terhadap mama dan papa. “Aku mau

kembali, aku ingin bertemu dengan mama, papa, juga adikku!”

Kelinci itu menggeleng, “Tenang saja, mereka sudah

berada di istana ‘Kesedihan’ lebih dulu darimu. Kita juga akan

bersenang-senang dengan mereka. Hehehe... kau akan menjadi

tamu kehormatan!”

Kau terhenyak mendengar kata-kata kelinci itu, bibir dan

lidahmu terasa kelu, nalurimu berkata bahwa sesuatu yang lebih

buruk sudah menanti. “Maksudmu?”

“Kita akan bersenang-senang, Alice. Semua orang yang

membuatmu jengkel, kesal, marah, dan benci akan menemanimu

bermain, tentu dengan tantangan yang sangat mendebarkan.

Sebentar lagi kita akan sampai…”

Kau masih memikirkan kata-kata kelinci buruk rupa itu.

***

Tak lama kemudian, kau serta kelinci buruk rupa itu tiba

di sebuah Istana nan megah, namun menyeramkan. Istana itu

lebih menyerupai sebuah kastil berhantu. Bangunan dengan batu

bata berukuran besar, pintu gerbang menjulang setinggi 10

meter, pohon-pohon yang mengelilingi pun terlihat mengerikan.

Kau ternganga melihat pemandangan yang baru seumur

hidup ini kaulihat.

Di samping istana, terdengar suara gaduh serta teriakan-

teriakan kesakitan berbaur kegirangan dari suara lainnya. Kau

Page 13: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

13

menoleh, hanya terlihat seorang wanita bertubuh pendek,

setinggi pinggangmu sedang menggenggam sebuah tongkat

hockey.

“Itu Ratu, ia sedang bermain hockey,” jawab kelinci—

seolah membaca apa yang ada di pikiranmu.

“La-lalu, mengapa aku mendengar suara teriakan?”

“Ini bukan permainan hockey biasa!”

Pintu gerbang terbuka, setelah kelinci mengucapkan

beberapa patah kata serupa mantra.

Debu—serta bebauan lainnya—menyeruak mengusik

indera penciumanmu. Kau mengibaskan kedua tanganmu,

berusaha menghilangkan bau-bau yang membuatmu mual.

Busuk, anyir, lembab, itu yang teraba oleh inderamu.

“Te-tempat ini, menyeramkan! Aku ingin pulang!”

“Tidak, sebelum permainan berakhir. Ratu ingin

mengajakmu bermain. Kau tak boleh menolaknya!”

Kelinci meraih satu pergelangan tanganmu, menarikmu

mengikutinya. Langkahnya semakin cepat membuatmu semakin

terseret. Kau benar-benar berada di sebuah tempat yang akan

membuatmu bermimpi buruk sepanjang hidupmu.

Betapa mengerikan yang kaulihat.

Tulang-tulang berserakan di sepanjang koridor. Ada yang

tergantung di langit-langit, bahkan sebuah hiasan dinding terbuat

dari kulit manusia, terbingkai rapi di dinding. Kau mengatupkan

mulutmu rapat, tak mampu berteriak.

Klotak ...!

Sebuah lampu hias yang berada di meja tak sengaja kau

senggol. Lampu hias dengan kap yang terbuat dari batok kepala

manusia membuatmu tersentak dan menendangnya.

“Kalian gila, tempat apa ini?!”

Page 14: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

14

“Tempat yang bisa membuatmu bermimpi indah

sepanjang hidupmu!”

Tak lama kemudian, kau dan kelinci telah sampai di

sebuah taman yang berada di belakang Istana. Wanita yang

kaulihat tadi menyapamu, dengan ramah. Ia mengenakan sebuah

gaun hitam, riasan wajah yang tebal, serta mahkota berhiaskan

batu berlian hitam membuat penampilannya tampak

menakutkan. “Selamat datang, Alice.”

“Ka-kau tahu namaku?”

Kau terpaksa membalas uluran tangannya yang terasa

dingin. Aroma yang timbul dari tubuh wanita yang dipanggil

‘Ratu’ itu, tak jauh berbeda dengan yang telah kaurasakan

sewaktu melewati perjalanan ke istana.

Kau melihat, ia menyerahkan sebuah tongkat hockey

kepadamu. Dengan terpaksa kau menerima dan mengikuti

permainannya.

“Kita akan bermain. Ini bukan hockey biasa. Di setiap

poin, jika kau kalah, satu anggota tubuhmu akan berkurang.

Seperti... keluargamu, yang sudah melewatinya terlebih dahulu,”

Ratu—ia menyeringai—tertawa terbahak-bahak tanpa

memedulikan wajahmu yang ketakutan.

“Ja-jadi ... keluargaku?”

“Yes... My Dear, mereka sudah mati. Bukankah kau

bahagia? Kau begitu menginginkan kematian mereka, karena kau

tak ingin diatur!”

“Tu-tunggu, aku tak pernah ingin mereka benar-benar

mati,” katamu dengan suara memelas. Perasaan bersalah—

kehilangan menggelayuti pikiran dan hatimu.

“Kau benci mamamu, bukan? Ia selalu mengatur

hidupmu, memarahimu jika kau terlambat sekolah, menyuruhmu

mandi seusai pulang sekolah, menyuruhmu tidur siang, serta

Page 15: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

15

membedakan dengan adikmu yang masih berusia 5 tahun. Ia juga

pelit, ia tak pernah memberimu uang jajan lebih. Sedang

papamu? Kau juga kesal padanya. Ia selalu memakimu, saat kau

pulang terlambat. Kau juga dongkol terhadap adikmu, ia merebut

perhatian kedua orangtuamu, selalu bersikap manja padamu,

dan—“

“Hentikan! Bagaimana kau tahu semuanya?! Apa benar

mereka telah… mati?”

“Yeah, mereka mati. Kau bisa melihat ke arah gawang di

ujung sana. Ada kepala mereka. Apa ini membuatmu menyesal?”

Dadaku berdegup kencang—keringat dingin membasahi

dahi, leher, dan tangan. Membuat rasa gatal yang hampir hilang

kembali timbul, kau menggaruk, berulang-ulang sambil terus

berjalan dengan penasaran mendekati gawang yang ditunjukkan

Ratu padamu. Kakimu terasa bergetar, hendak menghentikan

langkah. Kau tak kuat, jika memang harus menyaksikan

kenyataan jika kedua orangtua serta adikmu betul-betul telah

mati!

Tidak! Jika saja waktu bisa diputar, kau tak ingin lagi

menjadi penggerutu, pemalas, pembangkang, dan pembohong.

Kau ingin kembali—seperti semula.

“Akhhh...!”

Kali ini kau yakin, mereka memang telah mati. Tiga buah

kepala, berada di dalam gawang, dengan mata membelalak lebar,

terpisah dari tubuh. Entah di mana tubuh mereka—papa, mama,

serta adikmu—di sembunyikan.

Kau jatuh terduduk dengan lemas, nyawamu serasa

melayang terlepas dari raga menyaksikan semua.

Prok...! Prok...!

“Taraaaa...! Bagaimana kejutan dariku?!”

Page 16: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

16

“Aku ingin mereka kembali hidup. Aku akan berubah, aku

tak ingin menjadi anak yang sering berbohong, pemalas,

membangkang, dan suka menggerutu. Ratu... apakah mereka bisa

hidup kembali? Aku menyayangi mereka, kumohon kembalikan

mereka!”

“Benarkah?”

“Ya! Aku ingin mereka hidup kembali!”

“Baiklah, aku memiliki tantangan untukmu. Pelayan!

Bawa tiga buah cangkir ke sini, suruh Alice memilih salah satu

yang tepat. Jika ia memilih cangkir yang tepat, maka ia akan

mendapatkan kembali kehidupannya. Jika tidak, maka tubuhnya

akan mengecil, sebesar semut, atau ia akan… langsung mati!”

Kelinci yang berlaku sebagai pelayan ratu, membawakan

sebuah nampan berisi tiga buah cangkir berisi minuman. Kau

harus memilih salah satu—yang paling tepat! Tanganmu

bergetar di hadapkan pada pilihan yang sulit. Kau memejamkan

kedua mata seraya meraih cangkir yang berada di sisi kanan. Kau

merasakan getaran yang merambat halus dari dalam tanah,

tempatmu berpijak pun ikut bergetar. Semakin lama, getaran

semakin kencang dan kuat.

“Tidak mungkin! Ia tidak mungkin memilih cangkir yang

tepat! Aku tak akan membiarkan ia lepas, aku membutuhkan

pelayan baru!!!”

Getaran semakin kencang, kau merasakan hembusan

angin yang bergerak liar mempermainkan tiap batang dan

reranting sehingga menimbulkan bunyi gemerisik. Riuh rendah

suara angin membuatmu khawatir. Kau hanya pasrah. Tiba-tiba

sebuah pusaran gelombang bulat berwarna hitam berada di atas

kepalamu, menghisap seluruh tubuhmu. Kau merasakan gelap—

tubuhmu ringan—tak berdaya.

***

Page 17: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

17

“Alice, bangun!”

Bruk...!

Kau terjatuh dari tempat tidur dan membuka kedua

matamu. Kau terlihat gembira dan senang, kau akhirnya kembali

ke kamarmu.

Kau melihat mama, sedang berdiri berkacak pinggang

seraya menggendong adikmu. Kau bangkit berdiri dan berlari

menghampiri keduanya, kemudian memeluk.

“Aku berjanji tak akan menjadi anak nakal, Ma.”

“Kau? Apa yang berada di lehermu?”

“Ah? Ini?”

Sebuah kalung dengan liontin berbentuk jam bandul milik

kelinci tergantung di lehermu. Kau sadar, itu bukan mimpi.

Setidaknya mimpi yang berakhir bahagia, karena kau memilih

sebuah pilihan yang tepat. ***

Ana Sue , lahir di Bitung, Sulawesi Utara, 27 tahun yang

lalu. Gadis yang memiliki nama pena Ana Sue ini dapat

dihubungi melalui akun FB : [email protected].

Page 18: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

18

Kisah Tentang Kau dan Frangipani Cerpen karya Astuti Parengkuh

Embun baru saja beranjak pergi dari pucuk pohon

Frangipani yang tumbuh lebat di halaman rumahmu. Kau

langkahkan kaki di pagi yang mulai menggeliat. Waktu di mana

anakmu masih mengerjap-ngerjapkan matanya dari tidur malam

yang panjang. Kemudian kau persiapkan segala keperluan saat

jam bersekolah menjelang.

Frangipani selalu menjadi saksi di mana engkau mulai

membuka pintu pagar rumah dan pergi melangkah.

Lalu kau kayuh sepeda biru yang kau sebut dengan

panggilan ‘Blue Wimmy’, seperti engkau mengajari anak gadismu

untuk memberi tanda atau nama pada setiap barang miliknya,

tanpa terkecuali. Sampai-sampai, tidak ada satu pun benda

kesayangannya yang tak bernama. Bukankah penanda itu baik,

tidak hanya berguna ketika sebuah jejak hilang dan berpurna?

Lalu memori akan bermain dalam imajinasi karena selalu yang

ditinggalkan adalah sebuah nama, dan bukan ilusi.

Kau titipkan sepeda di tempat parkir yang berjarak lima

ratus meter dari rumahmu, yakni sebuah rumah sakit, tempat

anakmu yang lain, dulu lama dirawat. Kau, bukan tidak berpunya

(sebuah mobil dan dua motor matik bertengger di halaman

rumahmu, dulu itu merupakan pemberian suamimu yang

Page 19: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

19

seorang pengusaha), hanya karena kau suka bersepeda, di setiap

kali kau ke luar dari kamar kerjamu yang eksentrik.

Ya, teman-teman yang bertandang ke rumahmu selalu

bilang jika kamar kerjamu cukup unik. Hanya penyederhanaan

kata saja, karena personifikasi yang pantas untuk itu adalah kata

unik, untuk sebuah ungkapan yang sangat jelas: amburadul atau

berantakan bagi seorang penulis debutan merangkap pekerja

sosial. Meski setiap engkau tuliskan usiamu yang kepala empat,

kau tampak sedikit mencibir dirimu sendiri.

Kau gemar menghitung setiap lembar warna keperakan di

rambutmu saat becermin.

Lalu kau memilih naik angkutan kota yang kau tunggu di

depan lapak penjual koran. Setelah melihat kepala berita yang

terpampang di beberapa harian lokal dan nasional, kau pilih dua

eksemplar koran yang berlainan. Melewati menit kedua puluh,

mobil bercat kuning itu tak juga datang. Nyaris kau berputus asa

dan bergegas mengeluarkan ponsel di dalam tas ranselmu yang

kelihatan berat kaupanggul. Kau cari-cari nomor telepon taksi,

sampai kemudian mobil Carry T 21 yang kau tunggu berjalan ke

arahmu.

Bagaimana tidak berat beban yang ada di pundakmu.

Engkau masukkan dua judul buku super tebal, yang semalam

belum selesai kau baca. Novel yang ditulis oleh seorang penulis

kawakan yang ber-setting lembaran hitam tahun 65. Lalu ada

beberapa catatan goresan pena yang kautulis setiap kali kau

melakukan perjalanan. Belum lagi jas hujan dan payung yang

selalu kau selipkan di satu sisi kantong tasmu. Ah, rupanya kau

juga memperhatikan kesehatanmu. Di saku luar tasmu selalu

tersedia teosal dan salbutamol. Keduanya obat asma, satu

untukmu satu lagi untuk anak lelakimu yang selalu kau

banggakan.

Page 20: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

20

“Dia laki-laki ganteng, pintar dan aktif seperti papanya,”

demikian selalu kau katakan setiap kau bertemu dengan

sahabatmu. Begitu pula anak sulungmu yang sudah beranjak

dewasa. Kau puja-puja keberaniannya karena dia sudah sanggup

hidup mandiri di tengah belantara kota pelajar, kota yang

berjarak enam puluh kilometer dari tempat tinggalmu. Seorang

mahasiswi yang hidup dari uang beasiswa dan menulis.

Kemandirian yang telah dia pupuk semenjak duduk di bangku

SMA dengan mengikuti berbagai lomba demi untuk mendapatkan

penghargaan berupa uang.

“Dia perempuan pintar, pemberani dan punya sense of

humanity,” lagi-lagi kau banggakan anak perempuanmu di depan

kawan karib SMP saat kalian bertemu dalam sebuah reuni. “Dia

juga yang menyarankan supaya aku dan papanya….”kau hentikan

kisahmu. Tiba-tiba kedua matamu merebak. Genangan bening itu

akhirnya jatuh meleleh di kedua pipimu. Kau tak lagi sanggup

meneruskan cerita. Kawan karibmu merangkulmu, lalu mengelus

kepalamu. Hal yang lama tak kau rasakan, sebuah kehangatan.

Sejak empat tahun lalu yang kau hadapi adalah

kekerasan-kekerasan. Sesuatu yang dulu selalu termaafkan jika

terjadi. Bukankah sebuah rumah tangga tak benar-benar berjalan

mulus tanpa adanya kerikil-kerikil tajam, katamu. Namun, empat

tahun lalu kekerasan itu menjelma menjadi monster yang

menakutkan.

Kawan karibmu, adalah sahabat sebangku saat kalian

duduk di kelas dua SMP. “Ayahku suka memukul ibuku jika ada

masalah sedikit saja. Aku tahu beberapa saat setelahnya, ternyata

dia mempunyai istri simpanan,” sebuah cerita yang masih kau

ingat dari temanmu itu ketika kalian masih bersekolah.

Perjalananmu pagi ini adalah menuju sebuah tempat yang

terletak di pusat kota. Kau sudah berjanji lewat telepon akan

bertemu dengan kepala yayasan yang membina anak-anak

Page 21: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

21

difabel. Oh ya, pekerjaan barumu yang sangat kau inginkan sejak

berpuluh tahun lalu, memang menjadi wartawan. Lewat sebuah

wawancara, kau jadi tahu bagaimana semangatnya ketua yayasan

ini dalam memperjuangkan karyawannya supaya bisa mengakses

jaminan kesehatan yang disediakan pemerintah. Karyawan yang

beberapa di antaranya adalah penyandang difabel. “Satu orang

pun, tetap akan kami perjuangkan. Apalagi ini ada belasan,”

demikian ketua yayasan mengakhiri perjumpaan kalian.

Kau begitu bangga dengan kota kelahiran yang kaudiami

hingga usiamu berkepala empat. Kota yang erat hubungannya

saat-saat perjuangan menempuh kemerdekaan. Kota yang lincah

bergerak ketika terjadi pergolakan tahun enam puluh lima. Kota

yang menjadi surga bagi para difabel, karena di kota inilah lahir

seorang profesor yang baik budi dan mulia hatinya, ahli dalam

rehabilitasi bagi difabel daksa.

Kota yang masih saja butuh sosialisasi kepada

masyarakat luas, tentang apa itu tempat atau sarana publik yang

aksesibel bagi kaum yang sekarang ini sedang turut kauadvokasi.

Hahaha… bahkan kau marah besar saat mengetahui bahwa

guiding block di city walk yang seyogyanya digunakan bagi para

difabel netra, beralih fungsi menjadi tempat berjualan oleh

pedagang kaki lima dan ada yang dibiarkan rusak parah

berbulan-bulan tanpa perbaikan. Kau sumpah-serapahi instansi

yang bertanggungjawab terhadap kerusakan itu.

Pulang bekerja untuk sebuah wawancara, kembali kau

menumpang angkutan umum, sebuah bus ber-AC dingin dan

hanya dengan uang tiga ribu rupiah kau sudah mencapai rumah

sakit. Tempat kau parkirkan sepedamu saat berangkat tadi.

Sebuah pesan masuk di ponselmu yang berkamera dan

bisa difungsikan sebagai alat bekerja saat kau harus merekam

setiap kali melakukan reportase, ”Ma, aku terpeleset saat turun

Merapi. Pergelangan kaki kananku keseleo.”

Page 22: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

22

Lalu kau jawab SMS dari anakmu, ”Sudah ke tukang urut?

Cari daun sligi dan tumbuklah. Campur dengan adas pulowaras.

Kalau nggak tahu, ke pasarlah, cari di tukang jamu!” Kau begitu

tradisional, sampai-sampai kau masih melakukan ritual puasa

setiap kali datang hari ‘weton’ kelahiran anak-anakmu. Itu adalah

hari dalam penanggalan Jawa yang dihitung tiga puluh lima hari

sekali. Perempuan Jawa yang tidak bergeser idealismenya. Kitab-

kitab Jawa yang membahas tentang surga perempuan yang

berada di bawah telapak kaki suaminya lumat kau baca dan

berusaha kau terapkan. Setidaknya sampai setahun lalu. Sebelum

semua peristiwa yang mengharu-biru kehidupanmu segera kau

putus.

Sebenarnya di dalam hati kecilmu kau menyesal mengapa

saat putrimu meminta ijin untuk naik ke Puncak Merapi, kau

ikhlaskan dengan perasaan was-was. Semestinya kau ikhlas yang

sebenar-benarnya ikhlas. Kau mesti menghilangkan

kekhawatiran sedikit pun yang menempel di satu bilik hatimu.

Bukankah para pembijak telah mengajarkan arti tulus yang tanpa

disertai rasa was-was, khawatir dan kecemasan? Bahkan

kecemasan akan datangnya sebuah kematian?

Kau telah berbagi pengalaman dari kematian putri

keduamu. Dia rela menyambut ajalnya sendiri dengan senyum.

Bahkan berpesan banyak hanya kepadamu sebagai ibunya.

Kematian seorang gadis kecil oleh sebuah penyakit yang tak

tersembuhkan dengan berbagai pengobatan. Perpisahan antara

raga dan sukma yang telah dia persiapkan, bahkan dengan

memintamu untuk tidak menangis saat kepergiannya.

Kau telah banyak belajar dari anak-anakmu tentang arti

keberanian menghadapi hidup dan tantangan.

“Lagi, hari ini, seorang perempuan tewas karena KDRT

yang dilakukan oleh suaminya,” demikian pesan yang kau

sampaikan kepada karibmu. “Apa solusinya agar angkanya tidak

Page 23: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

23

bertambah?” jawab teman perempuanmu yang juga bergerak

dalam advokasi hukum dan pejuang kesetaraan. “Perbuatan

kekerasan dalam rumah tangga, tentu tidak semua spontan. Ada

banyak latar belakang. Kesehatan mental pelakunya, salah

satunya. Dan ini seperti fenomena gunung es!” Kau demikian

marah.

Anak perempuan sulungmu yang juga aktivis di salah satu

organisasi yang bergerak dalam advokasi perempuan korban

kekerasan membalas pesan yang sama seperti kau kirim pada

karibmu, “Miris. Jadi inikah tujuan sebuah pernikahan? Hanya

untuk membantai pasangan?” Kau teringat akan beberapa

kalimat percakapanmu tempo hari saat ada kesempatan

berbincang dengannya.

Kau berusaha menyugesti dirinya agar mau menerima

dengan baik penjelasanmu tentang arti positif sebuah

pernikahan. Namun, anak perempuanmu tak juga mau mengerti.

Jiwanya yang masih labil dan penuh dengan doktrin-doktrin

feminisme yang vulgar serta belum bisa memaklumkan apa yang

kau sebut dengan ‘penerimaan’. Mungkin ini bahasa yang lebih

halus dari arti kata tulus. Lalu gadis itu mengakhiri percakapan

kalian yang buntu, “Aku semakin tidak percaya dengan apa yang

disebut dengan lembaga pernikahan!”

Buru-buru kau meneruskan percakapan dalam sebuah

chatting itu dengan pesan pendek lewat ponsel, ”Kau anak Mama

yang berbudi dan santun. Berakhlak dan berakidahlah yang

benar.”

Di dalam hati sebenarnya kau menangis miris. Bukan

hendak berpikir yang tidak-tidak tentang putrimu. Bukan pula

ingin menafsirkan tentang pertemanannya yang hanya dengan

banyak kawan perempuan. Bukan akan berpikir buruk, mengapa

sampai sekarang di usianya yang menginjak 21 dia belum juga

punya pacar. Bukan juga berprasangka, mengapa dia selalu

Page 24: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

24

punya pikiran progresif revolusioner dibuktikan dengan

banyaknya tumpukan buku-buku yang membahas tentang

perlawanan. Kata-kata yang sering diteriakkannya lewat goresan

pena, “Menolak lupa! Menolak lupa!”

Ya, dia masih muda. Kau sangat picik jika

membandingkan dengan dirimu di masa lalu. Saat seumur dia,

kau sudah menggendong anak itu dan kau ajak dia mengantre di

pegadaian untuk menggadaikan mesin ketik. Harta berharga

satu-satunya milik suamimu, setiap kali kalian membutuhkan

uang untuk membelikan susu anakmu. Negara tidak pernah

menjamin kesejahteraan bagi penulis idealis. Bosan menjadi

penulis idealis, suamimu memilih berpayung media besar milik

konglomerat yang berkongsi dengan pemerintah saat itu.

“Anak-anakmu bukan milikmu. Mereka milik kehidupan.”

Benarlah kata-kata itu. Kalimat yang menancap demikian kuat

sehingga kau punya alasan untuk nekat menjadi relawan di

sebuah rumah sakit, di kota di mana anak perempuan sulungmu

menuntut ilmu. Kau ingin menjadi bagian dalam sebuah

kehidupan bagi anak-anak yang berpenyakit kronis. Satu ego

muncul, mungkin sedikit balas dendam, dendam yang baik hanya

karena anak keduamu yang telah meninggal, pernah dirawat

lama di rumah sakit ini.

Aih, kau hanya ingin membalik-balik kenangan rupanya.

Supaya engkau terus saja bisa memainkan imajinasi dan menggali

kenangan tentang putrimu.

Ini bukan karena kekaguman rasa yang diam-diam

menyelinap di hatimu kepada salah seorang dokter yang pernah

merawat anakmu. Kagum yang hanya berhenti kepada rasa dan

tersalurkan lewat kata-kata dalam sebuah tulisan. Itu pula yang

menyebabkan pertengkaran-pertengkaran kecil di awal kalian

bermasalah empat tahun silam. “Sumpah! Demi Tuhan aku tak

pernah bertemu lagi dengan dokter itu sejak perjumpaan kita

Page 25: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

25

yang terakhir di rumah sakit, saat dokter itu menyalami anak kita

ketika dia pamit pulang. Kau boleh cemburu tapi dengan alasan

yang masuk akal!” Kau mulai berteriak.

Laki-laki itu, ya laki-laki itu mungkin hanya ingin mencari

alasan-alasan untuk menutupi kesalahan dirinya. Tapi ingatlah,

tak ada satu lelaki pun di dunia ini yang akan rela bila istrinya

bermain hati kepada pria lain. Dan kau pasti akan mengelak jika

dituduh tidak bersetia. Tak usahlah menyamarkan rasa dalam

bentuk kekaguman. Katakan saja jika nama dokter itu telah

terpatri dalam hatimu sebagai salah seorang yang berjasa dalam

kehidupan putrimu. Begini, begini. Ini mungkin hanya semacam

rasa kekaguman biasa seperti seorang pemuja terhadap bintang

televisi kesayangannya. Mungkin.

Kau tak perlu berpura-pura menjadi orang lain untuk

menghormati seseorang yang kau kagumi.

***

4 Tahun Lalu.

Di bawah Frangipani yang rimbun, sebuah pesan pendek

terkirim. Pohon Kamboja Bali itu telah banyak menyimpan

kenangan bersama anak perempuanmu ketika kalian

menyanyikan bersama lagu ‘Ambilkan Bulan, Bu’. Malam-malam

di mana purnama sepenuh mengintip dari celah rerimbunan

daun. Atau, dalam kesendirian yang menyiksamu tatkala telah

ditinggalkan olehnya. Kau olah rasa rindu menjadi sesuatu yang

syahdu lewat selarik puisi sendu. Malam di mana romantisme

berjalan apa adanya yang kau sebut; bulan selalu mengikuti ke

mana arah kaki melangkah. Malam merapat dan membuatmu

semakin terjajah.

“Papa pulang malam ini kan?”

Kau perempuan yang akan menginjak usia kepala empat,

mendambakan kasih sayang seutuhnya dari suamimu yang

seorang pegila kerja. Bahasa apakah yang cocok untuk menyebut

Page 26: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

26

seseorang yang mengemban ambisi luar biasa? Kegagalan demi

kegagalan ekonomi yang pernah kalian alami telah

membentuknya menjadi pribadi yang tidak mudah menyerah.

“Aku menginap lagi di kota ini. Kau tak perlu

mencemaskan aku.”

Ingin kau berteriak kencang bahwa engkau tak hanya

mencemaskannya namun mencemburui dirinya tengah bermain

cinta dengan perempuan lain. Dia tengah mengejar mimpi akan

usaha barunya dengan beberapa karyawan yang menemani

bekerja. Namun untuk melakukan perjalanan maksimal dua jam,

kau semestinya bisa meyakinkan suamimu. Pekerjaannya

menyelesaikan buku-buku proyek itu bisa diteruskan esok pagi,

dan kau harapkan dia pulang menemani tidurmu untuk

mempersiapkan rutinitas esok hari lagi. Begitu seterusnya.

“Papa ditemani dengan perempuan itu pasti,” suaramu

menelepon.

Kau mulai tak bisa menahan gejolak amarah yang

membakar dadamu.

“Tidak hanya dengan dia, tapi ada beberapa yang

lainnya.”

“Kalian masih bekerja hingga jam 1 dini hari begini?”

“Iya. Dan itu sudah biasa bukan?”

“Tidak mulai malam ini!”

Kau berteriak kencang. Alasan-alasan yang tak dapat kau

tolerir lagi: bekerja lembur hingga pukul 1 dini hari, pergi

berhari-hari untuk membereskan proyek dengan seorang

pejabat, atau bepergian yang tiba-tiba ke luar kota tanpa alasan

pasti.

“Aku pulang hanya untuk melakukan ini! Praaaakk….!!!”

Suamimu – yang suka kaubangga-banggakan itu- datang

satu setengah jam (mungkin dia mengebut saat menyetir) setelah

Page 27: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

27

kau telepon. Dia langsung menyerobot ponsel yang ada di

genggamanmu dan membantingnya ke atas lantai. Ponsel itu

sekarang tak berbentuk lagi menjadi kepingan-kepingan tak

berharga bak reremahan roti yang berhamburan.

“Bagus ya dengan apa yang telah kau lakukan!” suaramu

mengeras. Lalu kau terisak dan air matamu bukan membuat

suamimu iba. Bodoh jika kau menangis di hadapannya!

Air mata perempuan di hadapan laki-laki akan

menampakkan satu kelemahan.

“Tak adakah pekerjaan lain selain menerorku lewat

telepon?!” kembali suamimu beralasan.

“Aku kan istrimu, Pa. Aku bukan orang lain,” Kau, ah kau,

masih saja berbicara dengan berlinangan air mata. Sekali lagi,

engkau sungguh bodoh! Lihat saja, sebentar lagi suamimu akan

melakukan hal yang lebih keji dari apa yang dia lakukan

sebelumnya.

Plaaaakk!!! Sebuah pukulan telak mendarat tepat di

wajahmu. Terlambat kau menghindar.

Pohon Frangipani di depan rumah menjadi saksi ketika

seorang perempuan pernah beberapa kali terlihat berlari ke luar

rumah sambil menutupi wajah memarnya dengan kerudung yang

membalut tubuhnya. Ya, perempuan itu adalah engkau. Kau ingin

menyamarkan kejadian pahit yang sering kaualami. Kau hanya

tidak ingin orang-orang melihat mata indahmu sembab oleh air

mata yang tercurahkan. Pun kepada anakmu. Kau akan

menjawab ringan jika dia bertanya mengapa engkau telah

menangis semalaman, “Mata mama sakit terkena gigitan

serangga.”

Juga ketika anak laki-laki itu pulang dari sekolah dan

melihat berantakannya rumah. Buku-buku yang telah masuk ke

dalam karung, yang suamimu ancam untuk dibakar. Keyboard

dan mouse yang letaknya tak beraturan. Senjata api yang pernah

Page 28: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

28

dipakainya untuk mengancammu, lalu kau curi dari

persembunyian. Sekardus besar mainan anakmu yang dia

hanyutkan ke kali, oleh karena perang batinnya sendiri yang

telah memisahkan istri dari suaminya dan seorang ibu yang dia

rampas dari pelukan dua anak kecil. Ya, dialah perempuan baru

yang berada di bawah kuasanya. Kau bilang, relasi kuasa telah

disandang suamimu.

Jika ada pertanyaan dari anak lelakimu, kembali kau

jawab dengan mimik wajah nyaris santai disertai intonasi penuh

sandiwara, dan kata-kata laiknya deklamasi, ”Mama lagi beberes,

terus ada benda yang jatuh belum sempat dibenahin. Kamu lihat

bukan? Tak ada apa-apa, tak terjadi apa-apa.”

Sementara anak perempuan sulungmu tak menutup mata

dengan kejadian-kejadian yang selama ini kau sembunyikan.

Selalu kau kirimi pesan agar dia tidak frustrasi dengan tragedi

yang tengah menimpa orangtuanya, ”Kau anak Mama yang

berbudi dan santun. Berakhlak dan berakidahlah yang benar.”

***

Sebuah pesan tampak di layar ponselmu, “Back-up kasus

perkosaan oleh Guru SLB terhadap siswinya yang tuli.” Lalu, kau

pun menjawab, “Persidangan tertutup, bukan?”

Tak lama kemudian, redaktur yang menugaskanmu

membalas, ”Kau terlambat tahu tapi bisa mencari celah. Ikuti

kasus itu.”

Bergabungnya dirimu dalam sebuah web pemberitaan

yang mengkhususkan tentang isu keadilan dan hukum bagi

difabel telah mengantarkanmu kepada dunia baru. Sejenak

melupakan kepahitan hidup dan kau bergembira dengan apa

yang tengah ada di hadapan; anak-anak yang manis, sehat dan

berbahagia dengan segala keadaan.

Pernah menjadi pengusaha batik dan mebel serta pemilik

galeri & spa telah menjadikanmu berpikir bijak bahwa dunia ini

Page 29: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

29

selalu berputar dengan segala keadaan. Perubahan sedemikian

cepatnya mengubah seseorang yang dahulu berorientasi

kebendaan lalu menjadi orang yang ingin berjalan dengan hati

sekehendak.

Cinta tak akan pernah salah arah memilih jalan kebaikan.

“Asal jangan keterusan memperturutkan kata hati,”

demikian kata putrimu saat kalian berdiskusi.

Dan di bawah pohon Frangipani, kau telah membaca

pesan-pesan yang disampaikan olehnya.

“Sendiri itu bukan berarti bebas melakukan apa saja.

Sendiri itu mawas diri dari segala godaan. Aku telah membaca

SMS-SMS gelap dari teman Mama yang berusaha merayu. Kalau

aku jadi engkau, Ma, maka nomornya akan kublokir. Dia seorang

pemuda kan? Yang mendamba seseorang yang lebih tua untuk

dicintai olehnya. Itu gila!”

Lalu putrimu mem-forward kembali sms yang sering kau

kirimkan kepadanya dengan mengganti beberapa bagian.

“Mama adalah ibuku yang berbudi dan santun. Berakhlak

dan berakidahlah yang benar.”

Purnama separuh meluruh di antara rerimbun dedaunan

Frangipani. Dia menjadi saksi bisu atas kisah-kisahmu. ***

Astuti Parengkuh, penulis dan jurnalis. Tinggal di Solo.

Bisa ditemui di e-mail : [email protected].

Page 30: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

30

Sari Awan Cerpen karya Ayu Sundari

Menurutmu awan itu apa? Apa maksudmu? Aku

hanya angin. Lalu menurutmu awan itu apa? Apakah awan itu

kabut? Apakah awan itu kapas? Apakah awan itu embun? Lalu

menurutmu, aku ini apa? Hanya sekedar angin yang tidak

menyatu dengan awan? Awan itu tak berbentuk. Hilang ketika

kita terlalu dekat. Nampak ketika kita terlalu jauh. Bukan kapas

ataupun kabut. Mungkin hanya sekedar gumpalan yang tidak bisa

disentuh. Bahkan, aku pernah mendaki di atasnya. Berada di

puncak tertingginya. Mungkin karena terlalu jauh atau aku yang

peduli hingga aku tak sadar tak merasakan ketika melewatinya.

Lalu, menurutmu angin tidak merasakan awan? Angin tahu,

walaupun awan menghilang saat didekati. Angin merasa awan

tetap ada, sekalipun ia menampakkan dirinya saat mereka

bejauhan. Angin tetap merasa bahwa awan tetap ada di dekatnya.

Waktu itu angin dan awan sama-sama tengah patah hati

karena dicerai oleh pasangan terkasihnya. Mereka menangis

hingga muncul hujan dan badai yang tak dikehendaki banyak

orang. Tapi orang-orang itu rela terganggu karena kegaduhan

hati mereka. Saling menikam. Saling bersedih. Saling mencari

cinta yang nyata dan benar-benar terkasih. Mereka sama-sama

linglung, sama-sama bingung, dan merasa saling canggung.

Page 31: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

31

Suatu saat mereka pergi bersantap siang karena malas

bekerja. Mencari sesuatu yang baru, yang lebih berarti. Saling

tersenyum meskipun lebih banyak berdiam dan saling tak peduli.

Awan tiba-tiba berubah menjadi pecinta para angin. Dan angin

dengan cepat berhembus membius hingga awan takluk padanya

dengan cepat. Walaupun awan masih tetap menggoda angin yang

lainnya.

Pada hari yang lain, semua awan dan angin berpasangan

pada sebuah pesta mewah dengan gaun tak berlengan dan sepatu

tinggi berkelas. Para tamu undangan berpasangan dengan pujaan

tercinta. Sedangkan dua sosok ini tak lagi berpasangan karena

satu keputusan yang diambil terlalu cepat. Ada perasaan

menggoda di hati awan untuk berusaha bersanding dengan

angin. Angin yang begitu pendiam berubah menjadi simpatik

pada awan yang terus menggodainya. Angin dengan senang hati

membalas godaan dengan godaan. Mengedip genit tetapi tetap

nampak berkarisma. Tapi tetap saja tak ada obrolan ketika

mereka telah berdua saja. Mereka memilih saling menepi dalam

sepi.

Pernah sekali, ketika angin bertemu pertama kali dengan

awan yang nampak kusam, saat berada di satu ruang yang sama.

Angin jatuh hati padanya. Tetapi angin hanya ingin diam hingga

awan melihat cintanya dengan matanya sendiri. Semakin hari

semakin menjadi. Hingga akhirnya angin memiliki awan yang lain

dan ia pergi dari kehidupan awan kusam yang tak sedang

mendung.

Pada suatu persembahan cucu Adam yang disembelih

untuk Tuhan, angin bertemu dengan angin yang lain yang tampak

lebih pucat darinya. Sebut saja Putri. Putri adalah pasangan awan

yang selama ini ia cintai dalam diam. Sekali ia berjabat tangan

dengan Putri, batinnya langsung bersatu dengan angin pucat itu.

Ketika awan dan kekasihnya beralih tempat entah kemana. Ia

berkata dalam hati ‘serasi benar pasangan itu’. Awan yang kusam

Page 32: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

32

dan angin yang pucat bertemu menjalin kasih. Sungguh sangat

menyenangkan. Bayangnya.

Di saat yang sama, angin merasakan kehilangan sesuatu

yang sangat ia rindui. Ia menangis hingga tangannya tertusuk

bambu karena tak sengaja kabut menutupi matanya. Ia sesal.

Mengapa sesuatu itu pergi begitu cepat dari yang ia perkirakan.

Tapi, siapa dapat menyangka kepergian siapa. Tidak ada yang tau

siapa yang datang dan apa yang pergi. Mereka bisa beralih satu

per satu dari waktu yang kita bayangkan sendiri.

Selang beberapa saat yang tak begitu lama. Awan terlihat

semakin kusam. Pucat menyatu pada dirinya. Angin menghilang

bersama awan lain yang lebih cerah dan bisa melengkapi

kepucatannya. Putri sedang memadu kasih dengan tambatannya

yang sejalan dan seiman dengan kehidupannya. Awan begitu

riuh, berlari, menangis, dan tiba-tiba rapuh. Tapi dia mencoba

untuk tetap tenang dan terus berjalan. Hinga akhirnya ia bertemu

dengan angin-angin yang lain yang berwajah sama dengan Putri

nya yang dulu. Sosok yang menyenangkan dan penuh kasih.

Bukan sosok yang tenang dan penuh damai. Ia mencari. Mencari.

Mencari. Mengencani satu per satu angin yang berserakan

disekelilingnya. Membuat lagi senyum yang beberapa saat

sempat hilang. Membuat lagi gairah dalam hidupnya tumbuh.

Karena sepasang mata para angin itu memikatnya. Hingga ia tak

tahu harus memilih sepasang yang harus ia pilah.

Tapi takdir berkata lain. Kata hati yang ia dengar tidak

menuntunnya kepada sepasang mata yang menyenangkan.

Pilihannya jatuh pada sepasang mata angin yang redup dan

masih basah karena luka kabut yang masih menggelayuti. Ia

fungsikan intuisinya untuk memilah dan melihat lagi pada

sepasang mata redup itu. Ternyata. Mata itu pernah menikmati

punggungnya yang tertutup sesuatu yang begitu gelap. Mata itu

penah mencumbui tubuhnya yang mesterius. Mata itu pernah

mendengar kata yang terucap darinya. Mata itu pernah merekam

Page 33: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

33

semua aktifitasnya. Mata itu. Mata yang redup itu. Telah merebut

hatinya.

‘Kau datang seperti badai’ katanya di tengah malam kala

itu.

‘Apakah aku adalah badai yang akan merusak hidupmu?’

tanya angin yang masih meredup.

‘Badai di hatiku kini sedang memporak-porandakan isi

gelap yang ada di dalamnya’

Senyum manis sang awan tak bisa lagi ia hindari seperti

dulu. Senyum itu sekarang semakin dekat dan semakin melekat.

Mata itu, mata yang ia cintai kini menatapnya lebih erat.

Tubuhnya, tubuh yang ia kagumi kini semakin hangat ia rasa.

Bahagia dalam hatinya terpacar pada warna cahaya matanya

yang semula meredup kini menjadi semakin terang. Tidak ada

lagi yang bisa menghalanginya untuk menghindar dari balas cinta

awan.

‘Selama ini aku menungguimu awan’ kata angin dalam

mata.

‘Tuhan memang Maha Adil dan begitu paham dengan

anakNya. Entah ini jawaban datang darimana. Tuhan telah

mengirimmu kembali hadir dalam hatiku yang sekian lama

mencintaimu pernah mencintaimu. Aku bersyukur karena Tuhan

memberikan bisikan yang tepat dalam hatimu, hingga

membawamu kembali di hadapanku. Entah kali ini aku harus

mencintaimu lagi dengan cara apa. Atau mungkin bisa dengan

cara yang dikirimkan Tuhan. Tetapi yang jelas, aku mau

mencintaimu lagi’

Matanya terlihat berbeda setelah mendengar perkataan

angin. Tidak disangaka selama ini ada yang mencintainya secara

diam-diam. Intuisinya benar-benar tepat kali ini. Tapi ia masih

belum tahu, apakah pilihannya kali ini benar-benar tepat untuk

kehidupannya. Tanpa ada kata sepakat atau penolakan,

Page 34: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

34

merekapun saling menjalin kasih bersama. Ada titik tangis

bahagia di kedua mata mereka. Pun ketika mereka berpisah

untuk saling melepas penat.

Ada satu kebahagiaan di hati mereka saat ini. Kemesraan

secara perlahan muncul di kehidupan mereka. Senyum yang

berbeda juga dirasanya lagi kali ini. ‘Benar-benar suatu keajaiban

Tuhan yang ternilai,‘ pikir angin. Tuhan memang selalu tahu apa

yang dia mau. Tuhan memang selalu menyayangi setiap anakNya.

Kini ia dicintai apa yang ia cintai. Tinggal merajut harapan dan

mimpi untuk kehidupan yang lebih dari hari ini. Banyak

keinginan yang ia simpan dalam hati pada kekasih barunya.

Banyak kebahagiaan yang harus ia bagi pada sekelilingnya.

Tapi kebahagiaan itu sirna. Semua hanya dirasa di awal

kisahnya. Intuisi yang selama ini ia imani kini hanya menjadi

sebuah klise. Senyum itu kini berubah menjadi badai yang

sesungguhnya. Senyum itu kini telah dikotori oleh sesuatu yang

ia cipta sendiri. Kini jurang menyeret mereka untuk hadir pada

satu kenistaan. Pada satu kehidupan yang lain. Damana mereka

saling menghidupi kehidupan yang lain. Kehidupan dimana dosa

itu tumbuh dan menjadi sesuatu yang sensitif. Dosa itu kini

menggeliat menjadi satu gumpalan awan. Awan kecil berwarna

merah. Atau mungkin mawar berwarna merah.

Kejadian itu sudah berlalu terlalu lama dan akhirnya

menjadi satu sari yang tumbuh dalam diri angin. Sari yang

dititiskan oleh awan kepadanya. Dan ia tidak tahu harus

menjaganya atau menghilangkannya. Tapi ia sangat ingin

menjaganya. Karena hanya itulah satu-satunya jalan agar ia cepat

dipinang bersama awan. Agar ia dapat segera hidup berdua tanpa

ada lagi penghalang. Agar ia dapat selalu mencintai awan di

setiap pagi. Tapi semua harapan itu telah hilang bersama

gugurnya mawar yang mereka tanam.

Page 35: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

35

Siang itu angin berhembus ke arah timur. Kala itu ia pergi

dengan teman dekatnya yang juga sama satu arah dengan

hembusannya. Ia mulai kehidupannya pada sebuah daerah yang

pernah ia jamah. Ia mulai belajar berbicara pada anak-anak kecil.

Hanya sebuah perkenalan kecil, karena hari itu adalah

pertemuan pertama mereka. Angin mulai bicara.

Memperkenalkan identitasnya karena hari itu adalah

pertemmuan pertamanya dengan anak-anak itu. Babibu. Dan

senja tak terasa mulai meraba. Telah habis menelan waktunya

saat bercengkrama dengan anak-anak itu.

Senja itu pula yang telah melunturkan mawarnya yang

hendak mekar dalam dirinya. Menggugurkan setiap kepingnya.

Meluluhlantakkan tubuhnya yang mulai koyak. Membuat dirinya

semakin pucat dan sekarat. Ia hanya bisa diam menikmati senja

yang menggelap dan merasakan mawar-mawar yang mulai

menggugurkan kelopaknya satu per satu.

Angin berhembus dan memutuskan istirahat di suatu

tempat yang sedang ramai pengunjung. Ia berlari untuk

bersembunyi dari pandangan yang melihatnya curiga. Ia

menengok kearah bawah dan menangis sejadi-jadinya hingga

hujan tak lagi sempat untuk melampiaskan. Ia menemukan

jantung kecil yang sudah tak lagi berdetak jatuh di sela dua

jarinya. Angin terkejut setengah mati. Badai lagi-lagi

menerjangnya. Yang dapat ia fikir saat itu hanyalah awan. Ia

membutuhkan awan. Benar-benar membutuhkan awan.

‘Aku akan segera ke sana,’ kata awan saat masih sibuk

mencerna matahari sore

‘Aku sudah terlalu dekat denganmu,’ angin menangis

‘Aku akan mengahmpirimu, tetaplah di sana,’ awan

betindak

Awan membawa angin kesana kemari. Tapi semua sudah

terlambat, mawar itu telah pergi. Tidak ada yang perlu

Page 36: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

36

diperjuangkan dan dipertahankan lagi. Hatinya hanya bisa

menatap jauh. Menerawang dimana mawarnya sekarang. Karena

ia dengan terkejut telah menjatuhkannya pada sungai kecil yang

berada di dekatnya pada saat itu. Sungai itu kini membawa

mawarnya yang telah layu, telah mati, telah gugur pergi ke entah

dimana. Kini ia kembali mencumbui malam dengan awan yang

juga gelisah. Karena masih terbekas jejak mawar merah di celana,

kaos, sepatu, kursi, tempat tidur, selimut, handuk, dan kamar

mandi.

Satu pertanyaan datang dari hati angin. Apa gunanya

bunga di atas gundukan tanah seorang mawar. Bahkan mawar itu

belum sempat mekar dan sama sekali tidak tersentuh oleh dosa.

Apa bunga-bunga itu akan mengikuti mawar yang pergi mengalir

bersama air? atau hanya diam di tempatnya untuk sekedar

mendo’akan agar dia tidak terluka saat perjalanan. Bahkan

mungkin ada yang memungutnya atau kucing lapar melahapnya

habis?. Entahlah, dia tidak ingin membuat gundukan hanya untuk

mengingat kegelapan. Walaupun angin sedang berdiri di dalam

gelap dan sedang menikmati sentuhan tangan Tuhan yang hangat

seperti badai. Angin tahu, Tuhan tidak menginginkan mawarnnya

mekar dan memunculkan duri tajam dalam kehidupannya

bersama awan. Tapi entah, ada rasa sesal dalam hatinya karena

ia telah tega tidak merawat mawar itu dengan baik. Bahkan ia

membiarkannya kelaparan dan kehausan.

Satu harapan dalam diri angin. Semoga mawar sedang

dekat dalam pelukan Tuhan atau dalam pungutan kumbang yang

mengasihinya. ‘Tuhan, jaga ia. Agar tidak terluka saat mengalir

menujuMu.’ Itulah kata terakhir yang dapat ia pinta pada Tuhan

yang juga entah dimana. Atau mungkin Tuhan telah bertemu dan

sedang menggendong mawar yang tega meninggalkannnya. Kini

hanya tersisa bau amis yang terkenang pada tubuhnya. Wajahnya

kini pucat berwarna angin. Tak merona seperti dulu.

Page 37: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

37

Kini kehidupan berjalan seperti semula. Awan dan angin

kini hidup layaknya seorang kekasih. Hidup dalam cinta dan

kasih. Tidak ada lagi mual yang mengganggu saat sahur mereka.

Tidak ada lagi malas saat santap buka. Kini semuanya telah

kembali tenang. Karena semuanya telah lenyap ke dalam gelap.

Hanya tersisa mereka berdua. ***

Page 38: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

38

Daun Yang Berbicara

Cerpen karya Bunga Hening Maulidina

Aku ragu. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri,

bahwa daun itu memang seperti bicara padaku. Tentu tidak

bicara seperti dalam dongeng, fabel, mitos, dan sebagainya. Daun

itu hanya bergerak-gerak. Mungkin bagi orang lain itu gerakan

biasa, tapi bagiku itu adalah suatu tanda. Dia seakan

mengangguk, menggeleng, bahkan tersenyum! Hm. Ini penemuan

baru. Hal ini harus ku teliti. Lumayanlah jika proyek ini disetujui.

Aku sudah memperkirakan berapa dana yang bisa ku dapatkan.

Ku rasa mobilku sudah waktunya ganti seri. Lagi pula kali ini, aku

tak sekadar ingin dapat keuntungan, tapi tersisipi ketakjuban

pula pada daun yang aneh itu.

Segera kutelepon asistenku. “Tan, siapkan proposal

penelitian seperti biasa... Kau atur semuanya seperti biasa pula.

Materinya akan kukirim nanti... Ya... Oke...” selesai sudah. Dengan

langkah ringan ku tinggalkan daun itu. Tetapi beberapa saat

kemudian, langkahku terhenti. Aku menolehnya lagi. Daun itu

menggeleng-geleng. Ya Allah, kurasa mataku ini belum begitu tua.

Tapi benar dia menggeleng-geleng. Ah, rasa penasaranku mulai

timbul lagi.

Aku menghampirinya lagi. Itu daun dari tumbuhan biasa.

Daunnya masih hijau. Jika dipandang menyejukkan. Serasi

Page 39: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

39

dengan warna tanah yang coklat. Pot putih. Sederhana. Hmm.

Kukira ini sejenis palem hias. Di gedung ini memang banyak

sekali pot-pot berisi tanaman hias. Tergolong masih gres. Baru

saja diturunkan seminggu lalu. Aku termasuk ‘orang penting’ di

institusi ini, tak heran jika bagian depan ruanganku juga

mendapat jatah. Hm. Mungkin pot ini harus ku masukkan ke

dalam ruangan. Sebab aku makin penasaran dengannya.

“Plok...plok...” aku menepuk tangan, memberi isyarat. Praja, si

satpam kampus paham. “Tolong masukkan pot ini ke ruangan

saya” kataku. “Baik, Pak...”Dia mengangguk mantap. Aku

tersenyum puas. Aku bergegas pergi, staf-staf pasti sudah

menunggu di ruangan rapat. Ah, alamat bakal telat. Gara-gara

daun di pot itu.

***

Di usiaku yang belum genap empat puluh tahun, gelar

doktoral di bidang ilmu pasti sudah ku sandang. Semua ini jelas

butuh kerja keras. Proses! Proses! Dulu ketika aku masih

menempuh strata satu, tertatih ku lakoni segala hal. Mulai A

sampai Z, dari melembur tugas, mengikuti seminar, pelatihan,

sampai ikut penelitian dosen. Dan akhirnya titik-titik puncak

kualami. Aku diterima sebagai pengajar di salah satu perguruan

tinggi terkemuka di Jawa. Bahkan dibiayai pemerintah untuk

melanjutkan strata dua dan studi doktor. Kata ibuku ini begja.

Mengingat dulu masa kecilku yang begitu menyedihkan(?) ketika

di desa. Ya, apalah yang bisa diharapkan dari anak seorang buruh

tani?

Nyatanya, Allah punya kehendak lain. Ketika itu aku

diusulkan menjadi penerima beasiswa oleh SMA-ku. Lanjut.

Lanjut. Berlanjut. Hingga kini aku sudah sampai menyandang

gelar doktor. Aku berharap sebentar lagi akan ada pengukuhan

guru besarku. Entah kapan. Tapi berbagai penelitian sudah ku

cicil. Buku-bukusudah ku tulis. Jam terbangku bisa dikatakan

cukup. Intinya kesejahteraan hidupku bisa dikatakan meningkat

Page 40: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

40

pesat. Ibu dan ayahku yang kini masih tinggal di desa (karena tak

mau pindah tinggal di kota bersamaku) juga sering sekali ku

kirimi wesel. Anak dan istri, ku kira juga mengalami hidup yang

berkecukupan. Ya... rupanya memang uang jadi mudah didapat.

Proyek ini, proyek itu, semua bisa diatur lah. Aku sudah

berpengalaman sejak masih anak ingusan. Turun temurun

menyusup di ruang-ruang akademisi? Mungkin bisa dikata

seperti itu. Istilahnya ya... budaya ilmiah terkadang memang

kurang ilmiah. Tapi sudahlah, aku kini lebih bisa berpikir yang

praktis-praktis. Anakku perlu dicukupi kebutuhannya. Istriku

juga ingin ini dan itu. Orang tuaku, meski mereka tak pernah

meminta, tapi ya... aku harus tetap memikirkannya. Itu wajib.

Bicara tentang orang tua, ibu dan ayahku memang orang

yang lugu. Sungguh lugu. Mereka hanya tahu dunia desa dan

ingin agar anaknya bisa sekolah setinggi-tingginya. Ibu dan ayah

memang bukan orang berpendidikan tinggi. Bahkan SR (SR,

setingkat SD) saja tidak tamat. Tapi mereka punya kemauan kuat

untuk menyekolahkanku. Anak semata wayang mereka. Pesan

Kanjeng Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa salam selalu

dinasihatkan padaku dari dulu aku kecil, sampai kini ketika tiba

waktu aku pulang ke desa. Untuk meraih dunia butuh ilmu,

meraih akhirat juga butuh ilmu, meraih dunia dan akhirat juga

butuh ilmu. Tak bosan-bosannya terus diulang-ulang. Aku sampai

hafal.

Bicara tentang orang tua pula, aku bisa terkagum-kagum.

Kegemaranku sebagai anak buruh tani, tak jauh-jauh dari area

sawah. Aku sering bermain di sawah, mengamati sekitar, mencari

belalang, bermain lumpur, ya... intinya aku ini cukup dekat

dengan alam. Ku rasa itu cukup sebagai pengantarku untuk

masuk di dunia ilmu pasti. Apalagi spesialis doktorku juga tak

jauh-jauh dari dunia tumbuhan. Ya, itu tadi, sebab dulunya aku

memang bocah sawah, bocah alam. Didikan buruh tani pula. Nah,

lengkap kan? Aku kagum pada ibu dan ayahku yang memang

Page 41: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

41

hanya mengerti soal sawah, suket (rumput), sabit, tapi ternyata

(selain doa mereka yang paling utama) pengetahuan dasar itu

cukup membantu studiku. Tentu kata ‘membantu’ maksudnya

adalah membantu secara tidak langsung.

Pengetahuanku tentang dunia tumbuhan jadi lebih

berkembang ketika menapak jenjang perkuliahan. Dari ketela

rambat sampai pohon Akasia. Dari tanaman Krokot sampai

Rafflesia Arnoldi. Intuisiku pada tumbuhan juga ku pikir cukup

kuat. Maka intuisi itu pun bekerja, ketika aku melihat pot berisi

tanaman berdaun dari sejenis palem-paleman yang rupanya baru

saja dipasang beberapa waktu lalu. Tampilan tanaman itu lembut

dan sederhana sekali, nampak berperasaan. Ya, unik, ajaib, aneh,

dan menantang untuk diteliti. Daunitu seolah bisa bicara. Benar!

Daun yang kinihampirsetiap hari ku amatiitu (karena ku

biarkannangkring di dekat meja kerjaku) cukup mengacaukan

pikiran. Ah, napasku jadi sesak. Berbagai pikiran dan rencana

muncul. Terbayang gelar guru besar, mobil keluaran terbaru...

“Tok... tok... tok...” pintu diketuk.

Wajah Tan muncul dengan raut gembira. Aku tersenyum

menyambutnya. “Selamat siang Pak... Proposal kita disetujui...”

ujarnya dengan nada riang tapi berusaha datar. “Bagus” ujarku

singkat, sambil tersenyum. “Tapi Pak...” katanya dengan muka

penuh tanda tanya. Aku mengangkat alisku. “Sebenarnya saya

kurang paham dengan materi penelitian kali ini Pak...” katanya.

Aku tersenyum. “Nah, kebetulan, materi penelitian itu

kini ada di sampingmu itu...” kataku seraya melirik pot palem

berdaun aneh itu. “Lho? Ini kan palem hias biasa Pak? Tapi saya

baca rancangan materi Bapak, ada bahasa tertentu yang

digunakan tanaman ini?” tanya Tan. Aku tersenyum lega.

Rupanya tak salah aku memilihnya jadi asisten.

“Coba, tolong kau bawa palem itu ke sini!” kataku

padanya. Tan mengangkat Pot ke atas meja. “Perhatikan baik-

Page 42: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

42

baik daunnya,” ucapku. Berdua kami mengamati daun palem itu

dengan saksama. Daun itu mengangguk, tersenyum. “Nah, kau

lihat?” tanyaku dengan nada bangga. Tan menggeleng-geleng

seperti tak percaya. “Saya melihat Pak, daun itu mengangguk,

tapi juga berekspresi seperti...” Tan mengambil jeda, ragu.

“Tersenyum kan?” aku menyela. Tan mengangguk mantap.

“Itulah... Kuperkirakan penyelesaian penelitian ini bisa lebih lama

dari penelitian-penelitian sebelumnya. Tapi, ini malah jadi hal

yang menarik...” aku mengakhirinya dengan senyum khas.

Tan seperti sudah hafal. Dia ikut tersenyum. “Tenang Pak,

pokoknya beres. Sudah saya atur. Susunan rancangan dana itu

sudah disetujui. Lagi pula ini suatu hal yang baru lho Pak...

Langka!” kata Tan dengan semangat. “Oh... iya. Kau ajukan berapa

dana itu?” tanyaku. Tan membisikan sejumlah angka. Aku

tersenyum lebih lebar. “Bagus. Nanti kau juga dapat bagian

sekian persen lebih besar dari...” jawabanku urung ku kanjutkan.

Tunggu! Ku perhatikan daun palem itu. Daun palem itu

menggeleng-geleng. Senyumnya hilang. Kini seakan layu.

Menunduk. Sedih. Dadaku berdesir.

Tan menatapku, dia beralih melihat daun itu dengan

berbinar. “Luar biasa Pak!” katanya takjub dan heran. Aku

tersenyum, tapi kikuk. “Ya, memang... Mm, baiklah, soal bagian itu

nanti kita lanjutkan. Sekarang, tolong kau urus dulu segala

keperluan penelitian ini” jawabku. Tan mengangguk. Minta diri.

Keluar. Aku termenung sejenak, sepertinya keheranan Tan tadi

berbeda dengan keherananku. Yang diherankan Tan adalah

bahasa daun itu. Sedang yang ku herankan adalah reaksi si daun.

Sepertinya daun itu turut mengikuti pembicaraanku dengan Tan.

Ah, apakah ini halusinasi? Pantaskah seorang doktor berkhayal

seperti ini? Tidak!. Dugaanku ini tak masuk akal.

Sudahlah. Ah, mungkin saja ini memang hanya khayalan

dan imajinasiku. Atau mungkin dipengaruhi keingintahuanku

yang memang sudah mengapi sejak awal. Tak pantas seorang

Page 43: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

43

ilmuwan banyak berkhayal seperti ini. Yang bukan khayalan

tentu saja proposal yang sudah di depan mata. Dana yang akan

segera mengalir. Mobil mewah keluaran terbaru. Itu baru riil.

Penelitian ini tidak main-main. Ku ingat angka yang dibisikkan

Tan tadi. Ya, sementara mampu menetralisir imajinasiku.

“Kriiiiiing!” dering telepon. Nomor rumah. “Pah... tolong

Papa segera pulang. Tadi Pak RT telepon, mengabarkan bahwa

nenek meninggal Pah...” suara serak Juni, anak sulungku, seperti

menikam jantung. Aku tak mampu berkata apa-apa. “Innalillahi

wa inna ilaihi raji’un...” hanya itu yang mampu ku ucapkan. Air

mataku tak mampu ku cegah. Mengalir deras. Terbayang wajah

ibuku yang sangat polos itu. Ibu yang sederhana... Ibuku...

***

Dadaku bergetar keras.

“Ibumu sudahmeninggal...” suara ayahku terasa lirih

sekali. Orang-orang yang melayat sudah tak seramai tadi. Selepas

ibu dimakamkan, di rumah tinggal tersisa keluarga dekat serta

tetangga sekitar rumah. Ayah tidak menangis, hanya berkaca-

kaca. “Dia sering menanyakanmu akhir-akhir ini. Bahkan kadang

mengigau panjang lebar, membicarakanmu. Igauan terakhirnya

membicarakan sikapmu yang dianggapnya keliru...” lanjut ayah

yang masih saja menunduk. Aku diam menunggu lanjutan kata-

kata ayah. Rasa sesal menghinggap, sebab aku tak bisa menemani

ibuku di sisinya kala ia sakit sampai meninggal dunia.

“Dia berkata-kata, seolah melihatmu di sisinya. Dia

kadang bilang ‘Tak sepantasnya kau begitu Wit’, lalu kadang dia

tersenyum sendiri sambil mengucap ‘Alhamdulillah’ berkali-kali,

terakhir kali seusai tersenyum dan mengucapkan syukur, tiba-

tiba dia menangis, lalu beristighfar, menggeleng-gelengkan

kepalanya. Aku sendiri tak tahu apa yang dialami ibumu saat

itu...” ayah menatapku dengan matanya yang masih berkaca-kaca.

Page 44: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

44

Tiba-tiba dadaku berdegub keras. “Apa ibu berpesan

sesuatu?” tanyaku gemetar. “Katakan pada Wit, dia boleh pandai,

tetapi dia tak sepantasnya membodohi orang lain dengan

kepandaiannya. Ku rasa itu yang dulu diucapkan ibumu sebelum

dia berhenti mengigau...” kata-kata lirih ayah membentur isi

kepalaku. Aku terpaku, air mataku jatuh tak bisa ditahan lagi.

Perlahan ku alihkan pandanganku yang kabur ke dinding bambu,

gedhek. Di situ terselip selembar potret ibu, mengenakan kain

batik, baju putih dan kerudung hijau. Sederhana. Menyejukkan.

Mirip dengan...

“Kriiing!!” suara telepon menyentak. Tanpa mengucap

salam, suara Tan di kejauhan terdengar tegang. “Maaf Pak,

bukannya saya tidak turut berduka cita dengan meninggalnya

ibunda Bapak. Tetapi, ada yang harus saya katakan Pak”

suaranya terdengar masih tegang.

“Ada apa?” tanyaku. “Daun palem itu mengering Pak,

padahal sudah saya sirami, tapi rupanya tak bereaksi. Daun

palem itu mungkin mati Pak” kata Tan lagi. Aku diam. Tak bisa

berkata apa-apa. Tapi otakku berputar keras. Kutatap potret

ibuku, lalu anganku melayang pada daun palem proyekku.

Daunnya hijau, bertanah coklat, potnya putih. Sederhana dan

menyejukkan. Mirip dengan... ***

Bunga Hening Maulidina, lahir di Sragen 07 Agustus

1995. Beralamat di Clupak RT. 25, Mojopuro, Sumberlawang,

Sragen. Memiliki kegemaran membaca dan menulis. Kini masih

belajar di salah satu perguruan tinggi di Surakarta. Kontak

085725124749. E-mail [email protected].

Page 45: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

45

Penggali Pasir Cerpen karya Danang Febriansyah

Pohon-pohon waru mulai berbunga. Bunga

berwarna ungu dan kecil-kecil menyebar di setiap ranting itu

merupakan sebuah pertanda alam yang diyakini oleh orang-

orang desa itu sebagai sebuah kabar gembira karena hampir

setahun lamanya kemarau menyiksa padi-padi di sawah.

Sebuah tanda-tanda yang diberikan alam akan datangnya

musim penghujan. Itu berarti mereka bisa memanen hasil

tanaman mereka musim ini, juga berarti bahwa tanaman mereka

terutama padi yang mulai menguning itu tak jadi mati.

Meskipun bisa dipastikan musim ini panen, tapi bagi

sebuah keluarga kecil di tengah pedukuhan sebuah desa

terpencil itu juga merupakan awal dari petaka dikeluarganya.

Tangis juga menggerimis seiring hujan mulai

menjatuhkan titik-titik airnya dengan begitu deras diiringi petir

yang menyambar saling bersahutan bertubi-tubi. Tangis yang

histeris memilukan hati para pelayat yang hadir di rumah itu.

Tangis dari seorang ibu yang kemudian pingsan akibat tak kuasa

menahan hati yang berdetak dan seakan meledak akibat ditinggal

mati anaknya yang masih berusia dua belas belas tahun.

“Ini gara-gara pak Margono!” geram pak Widi, ayah anak

itu. Anak laki-laki yang kini telah membujur berselimut kain

kafan di tengah ruangan. Sementara para pelayat mengitarinya

Page 46: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

46

sambil membacakan surat Yasiin yang terdengar perlahan. Dua

orang ibu membantu ibu anak itu dengan mengoleskan balsem

agar sadar dari pingsannya.

Di depan rumah, terdengar sebuah truk datang menderu-

deru. Lalu turun seorang laki-laki gempal dan berjalan menuju

rumah yang tengah berduka. Pak Widi melihatnya, menatap

lelaki gempal itu dengan pandangan mata yang begitu tajam.

“Itu dia!” ucapnya sambil berdiri lalu mengambil golok

yang terselip di dinding bambu rumahnya. Segera dia keluar

rumah menghampiri lelaki gempal itu.

“Margono!! Ngapain kamu datang ke sini?! Mau

menambah duka kami?!” Teriaknya dengan mencengkeram

kerah baju lelaki gempal yang bernama Margono itu sambil

mengacungkan goloknya.

“Ada apa ini?” Margono tampak begitu pucat melihat

sambutan macam apa yang didapatnya.

“Nyawa dibalas nyawa!”

Margono tak sempat bicara. Para pelayat terkejut

setengah mati.

***

“Sekarangkan musim hujan No, lebih baik hentikan dulu

pekerjaanmu menggali pasir, sungai bisa tiba-tiba banjir besar.

Bukit-bukit cadas bisa saja runtuh,” ibu Tino menasehati anaknya

ketika Tino baru berganti pakaian setelah pulang sekolah.

“Iya bu, tapi Tino pingin sekolah, paling tidak sampai

lulus SMP. Tino nggak pingin menyusahkan ibu dan bapak.”

“Ibu ngerti, tapi akhir-akhir ini hujan sudah mulai deras.

Sekarang mendung di luar sudah gelap. Sebentar lagi pasti hujan.

Hari ini kamu di rumah saja dulu. Lebih baik kamu membantu

bapak kamu dulu menggarap sawah.”

Sebuah truk menggeram di depan rumah Tino.

Page 47: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

47

“Pak Margono sudah datang bu, aku harus menggali pasir

untuk diantar ke Kecamatan. Tino berangkat bu,” Tino

menyalami ibunya dan berlari menghampiri truk pak Margono.

Seperti sudah tahu apa yang terjadi, ibu Tino melepas

kepergian anaknya dengan air mata yang perlahan mengalir.

Teringat cita-cita Tino untuk menyelesaikan sekolahnya. Ketika

Tino tahu orang tuanya tak mampu lagi membiayai sekolahnya

saat surat peringatan sekolah datang kepada ayahnya, Tino

nampak begitu sedih. Ingin rasanya membantu meringankan

beban orang tuanya dengan bekerja. Maka diputuskan untuk

menggali pasir di bukit-bukit cadas di pinggir sungai dengan

bersemangat. Pak Margono yang tahu semangat yang menyala

pada diri Tino, segera mengajak Tino untuk menaikkan dan

menurunkan pasir ke dalam bak truknya untuk diantar pada

pemesan dengan imbalan sepuluh ribu rupiah setiap kali

mengangkut.

Awalnya Tino tak meminta ijin pada orang tuanya,

sampai akhirnya orang tua Tino tahu sendiri kegiatan anaknya

itu sepulang sekolah. Meski setiap kali Tino berangkat, ibu Tino

selalu was-was. Gua-gua di dinding bukit galian dari para

penggali pasir untuk mencari pasir yang lebih lembut itu bisa

saja tiba-tiba runtuh. Apalagi para penggali pasir tak dilengkapi

peralatan keamanan.

Hingga siang yang mendung itu datang ibu Tino melepas

kepergian anaknya juga dengan perasaan khawatir. Truk itu

segera berlalu meninggalkan rumah Tino.

Di bukit cadas di tepi sungai yang lebar itu Tino bersama

beberapa orang tua yang juga penggali pasir dengan

bersemangat mengayunkan cangkulnya ke bukit cadas hingga

membentuk lubang yang mereka harapkan di dalamnya akan

ditemukan pasir yang lebih lembut daripada pasir-pasir yang

sudah tersedia di tepi sungai. Tino masuk ke dalam lubang itu

Page 48: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

48

dan mendapatkan pasir yang diharapkan. Lubang yang dalam itu

begitu gelap. Gemuruh suara petir tak mereka hiraukan. Seperti

musim penghujan yang lalu-lalu, hujan deras disertai petirpun

tak mereka hiraukan demi mendapat rupiah sebagai imbalan

untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Tapi bagi Tino, rupiah

yang masuk ke sakunya adalah untuk membiayai sekolahnya.

Sebentar kemudian sungai itu banjir. Banjir yang tak

seperti biasanya, banjir yang besar. Gemuruh suara air sungai

yang banjir itu membuat orang-orang di luar galian pasir itu

segera berteriak memanggil teman-temannya yang masih di

dalam lubang galian pasir untuk segera keluar. Dari beberapa

lubang galian pasir satu-persatu penggali pasir keluar dan segera

menyelamatkan diri. Tapi Tino karena semangat yang tetap

menyala dan karena pendengaran Tino yang agak terganggu,

ditambah gemuruh hujan yang mengguyur dan banjir yang

membesar, Tino benar-benar tak mendengar teriakan orang-

orang.

Kemudian gemuruh bertambah, orang-orang panik,

gemuruh itu bukan dari hujan ataupun banjir, tapi dari bukit

cadas yang kemudian perlahan longsor, karena dinding-

dindingnya banyak berlubang, sehingga tak kuat lagi menyangga

bukit yang tampak kuat itu.

Tino yang masih di dalam panik, segera dia berusaha

keluar dari gua itu tapi ternyata lebih cepat longsor yang

menutup pintu gua. Tino terpejam pasrah…

***

“Ini gara-gara pak Margono!” geram pak Widi, ayah Tino

di depan mayat anaknya yang telah terbungkus kain kafan.

Lalu terdengar sebuah truk datang menderu-deru di

depan rumahnya. seorang laki-laki gempal dan berjalan menuju

rumah yang tengah berduka. Pak Widi melihatnya, menatap

lelaki gempal itu dengan pandangan mata yang begitu tajam.

Page 49: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

49

“Itu dia!” ucapnya sambil berdiri lalu mengambil golok

yang terselip di dinding bambu rumahnya. Segera dia keluar

rumah menghampiri lelaki gempal itu.

“Margono!! Ngapain kamu datang ke sini?! Mau

menambah duka kami?!” Teriaknya dengan mencengkeram

kerah baju lelaki gempal yang bernama Margono itu sambil

mengacungkan goloknya.

“Ada apa ini?” Margono tampak begitu pucat melihat

sambutan macam apa yang didapatnya.

“Nyawa dibalas nyawa!”

Margono tak sempat bicara. Para pelayat terkejut

setengah mati.

Golok yang diayunkan pak Widi ke tubuh pak Margono

meleset karena pak Margono dengan gesit menghindar dan

membalikkan arah golok itu ke tubuh pak Widi.

Semua tersentak. Pak Margono sendiri juga tersentak.***

Danang Feb, nama pena dari Danang Febriansah. Alumni

Pondok Pesantren Al-Muayyad Surakarta, anggota Forum

Lingkar Pena (FLP) Cabang Solo sejak 2006. Sebagian karya-

karya yang pernah dipublikasikan antara lain di Buletin Ayyada,

majalah Serambi Al-Muayyad, majalah Hadila dan Solopos.

Terhimpun dalam Antologi Cerpen “Joglo 4” (TBJT, 2007) dan

Antologi Cerpen Nulisbuku “Love Never Fails” buku #3 (2014).

Cerpen-cerpen yang lain pernah dibahas intern FLP

dalam Bakar Sate (Bahas Karya Sambil Telaah) antara lain oleh

Donatus A. Nugroho, FB : https://facebook.com/danankfeb,

TWITTER: https://twitter.com/danankfeb, BLOG: www.cahaya-

bulan-sabit.blogspot.com

Page 50: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

50

Gajahoying Cerpen karya Gatot Prakosa

Tidak karena mengikuti migrasi ratusan burung

layang-layang api yang terbang di langit pesisir utara Jawa pada

Oktober-November, Haji Somad pergi ke daratan sebelah timur.

Sebuah kota kecil seukuran 100 lapangan bola, dengan sekitar

dua ratusan kepala keluarga. Menuruti insting perutnya ia

menetap. Ia gembira ketika tahu kalau program keluarga

berencana belum masuk. Dan pertumbuhan penduduk itu erat

kaitannya dengan jumlah calon pembeli.

Hari ini sudah menginjak tahun kedua ia tinggal di situ, di

dekat pasar. Matahari tak begitu terik di atas. Angin sesekali

mengipasi udara dan dagangan di jalan Gajahoying. Haji Somad

merapikan dagangannya, baju-baju bekas sisa ekspor, yang di-

hanger agar kelihatan bersih.

Sudah sebulan belakangan ia kesal karena di depan kios

pakaian bekasnya berdiri sebuah salon. Sebelum berganti wajah

jadi salon, tempat itu adalah warung makan. Ia kenal pemiliknya

yang selalu mengeluh kepadanya. Sebenarnya kalau salon benar-

benar, barangkali tidak menyusahkan Haji Somad. Setiap sore

pegawai salon yang semua perempuan, duduk di dekat pintu

salon dengan pakaian yang kurang pantas. Pemandangan tak

baik bagi orang beriman.

Ia mau melaporkan gangguan itu, tetapi kepada siapa? Rt

atau Rw atau kelurahan di sini belum seperadaban di tempat lain.

Page 51: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

51

Keamanan dan ketertiban hanya memakai jasa Linmas yang

direkrut dari luar daerah. Mengadukan hal-hal seperti ini ke

pihak begitu, Haji Somad takut bakal menyulut kerusuhan SARA.

Dirinya hanya pendatang, orang biasa, tak punya backing-an.

Sedikit alasan itu menahan kegusarannya. Dan ia mulai

memikirkan pindah kios.

Sehembus nafas haji Somad, ia melihat dua orang

perempuan pekerja salon duduk di depan. Menarik pelanggan

dengan tubuh yang terbuka.

Dengan kesalnya Haji Somad pergi ke dalam kamar.

Melewati pintu yang tak bisa tertutup rapat karena gerendel

yang rusak, ia melihat pengunjung kios tak juga bergeser. Itu

tempat terbaik bagi pengunjung kios pakaian bekasnya untuk

mencuri pandang ke salon seberang jalan. Haji Somad tahu itu.

Di dalam kamarnya ia menanggalkan kopiah, melipatnya

kemudian ditaruhnya di lemari. Dengan tergesa ia mencukur

habis janggutnya yang sudah dipelihara sejak pertama bisnisnya

dirintis.

Selesai dengan janggutnya ia pergi ke depan melayani

pelanggan yang terkejut lantas pura-pura memeriksa sebuah

jaket levis yang dipajang. Haji Somad memberitahukan kualitas

jaket itu dan kenapa sampai di kiosnya.

“Kalau yang ini kualitasnya lebih bagus, tapi ada cacatnya

di sini,” Haji Somad menunjukkan jahitan yang keliru di jaket

kulit lainnya.

Beberapa saat memeriksa, pelanggannya menyerahkan

jaket itu kembali. “Lain kali saja ah, Mang.”

Pelanggannya pergi. Ia melihatnya berjalan, menoleh tiga

kali ke salon sebelah kiri jalan. Haji Somad hendak mengelus

janggutnya, dan merasa kehilangan sadar sudah mencukurnya.

Page 52: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

52

Sejak hari itu kios baju bekasnya bertambah pelanggan.

Haji Somad meyakini kalau itu ada kaitannya dengan kopiah dan

jenggot yang hilang. Ia tahu mereka tak benar-benar membeli. Di

kios pakaian, orang-orang ini mencuri-curi pandang kepada

perempuan di salon. Haji Somad geleng-geleng kepala. Malas ia

mesti selalu menjawab pelanggannya yang malu-malu tanya

harga sebuah celana atau jaket. Meski satu dua orang akhirnya

betul-betul membeli, dan itu barang yang harganya paling murah.

Ia tak senang orang membeli karena malu.

***

Bulan ini, kabar pemerintah pusat menaikkan gaji guru

PNS tidak didengar Haji Somad. Hari itu tiba-tiba harga minyak

tanah naik, beras menyusul, lalu telur dan daging, dan terakhir es

teh dari 1500 mulai hari itu jadi 2500. Upin yang pedagang bakso

dan kopi kesulitan beli daging. Warungnya yang berjarak sepuluh

meter dari salon hijau sudah berjuang dari sedikitnya pelanggan,

sekarang ditambah harus menanggung kenaikan harga. Mau

dijual berapa baksonya nanti? Siapa yang mau beli? Warung

makan yang berganti salon itu barangkali ganti usaha karena

informasi soal-soal begini sudah terbaca pemiliknya.

Haji Somad kesulitan kalau harga pakaian bekasnya nekat

dinaikkan. Kiranya hanya guru PNS saja yang bisa beli. Dan

sayangnya pelanggannya bukanlah pegawai negeri. Dan bagi

Srondol (belakangan Haji Somad tahu pemilik warung makan

yang tutup jadi pemilik salon hijau pula), kondisinya sama saja. Ia

melulu berdoa agar moral guru-guru PNS memburuk dan suka

main ke salon hijaunya.

Hari ini Srondol, pemilik warung makan dan salon hijau

sekarang, mengajaknya makan di warung bakso Upin seperti

biasanya dulu sewaktu salon belum ada. Haji Somad merasa

senang punya kesempatan bicara soal keberatannya atas

pegawai salon.

Page 53: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

53

Ia tak menutup kios baju bekasnya, menyusul Srondol ke

warung bakso Upin. Hari itu warna sore yang menggantung di

langit-langit tampak sewarna teh, dan Haji Somad merasa akrab

dengan Srondol.

Sebenarnya setiap kali ada kesempatan, Haji Somad ingin

benar menyampaikan keluhannya soal perempuan di salon.

Tetapi selalu saja gagal. Akalnya membaca persoalan beban

ekonomi yang lebih menyeramkan. Seperti hari ini juga.

Ia tahu semua orang sedang mengencangkan ikat

pinggang. Dan ia ingat pengakuan Srondol suatu hari di belakang

hari ini. Ia sebenarnya hanya ingin dapat makan, punya rumah,

punya istri. Sederhana saja, tak perlu berlebih. Sayangnya ia tak

punya kemampuan untuk bekerja. Ia hanya tahu laki-laki di sini

tua dan muda butuh perempuan-perempuan penghibur. Dan ia

mengerjakannya, menyediakan itu. Lagipula perempuan salon

hijaunya juga senang bekerja untuknya.

Haji Somad mengerti kalau kesulitan ekonomi tidak

hanya menimpa dirinya saja. Ia bisa membagi keluh-kesahnya

dan menerima bagian keluh-kesah tetangganya.

Desas-desus telah sampai padanya. Sebuah pabrik rokok

besar di sebelah timur, perbatasan dua kelurahan, telah siap

berproduksi. Sedang dibuka perekrutan karyawan. Butuh lebih

dari dua ratus orang baru. Kabar itu sampai di kios baju bekas

dan salon hijau. Orang menyebarkan isu kalau kerja di pabrik

adalah solusi dari kesulitan ekonomi. Bekerja di pabrik lebih

menguntungkan daripada bekerja di sawah atau kuli bangunan.

Isu itu jadi keterlaluan karena dikatakan pula, lebih

menguntungkan daripada menjual pakaian bekas.

Haji Somad, Srondol dan perempuan-perempuan pekerja

salon hijau masuk dalam gegap gempita orang-orang yang

menginginkan perubahan. Jadi karyawan pabrik yang teratur dan

tertib. Karena mendaftar bersama-sama, mereka bertemu

Page 54: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

54

kembali di ruangan, dan jenis pekerjaan yang sama di pabrik.

Srondol ketawa mendapati dirinya bekerja bersama orang yang

kemarin bekerja untuknya.

“Bisa juga kau menjahit, bang Srondol. Daripada bisnis

salon, mendingan buka jahitan saja. Perempuan-perempuan itu

juga bisa jahit kok,” ledek Haji Somad.

Srondol ketawa. Ia tak menggubris cemoohan pak Haji.

“Sst... Mei. Mei. Ajari aku, Mei. Please. Ini model baru ya?”

pinta Srondol pada perempuan bekas anak buahnya yang

menjahit di sampingnya.

Dengan besarnya kesabaran perempuan itu pelan-pelan

mengajarkan. Haji Somad memandangnya senang. Dalam hati ia

bersyukur, jalan hidup yang baik akhirnya datang untuk

tetangganya itu.

Sekian bulan berjalan, Haji Somad, Srondol dan

perempuan-perempuan dari salon hijau bekerja dengan rajin dan

tertib. Tetapi belakangan, ternyata lambat laun pembayaran gaji

perbulan kena pemotongan ini-itu. Karyawan-karyawan pabrik

mulai gerah dengan beban kerja yang makin diperberat. Target

seorang karyawan harus menghasilkan sekian potong pakaian

sehari kerja, terlalu konyol. Jam kerja yang seharusnya sampai

pukul 4 sore, jadi molor sampai pukul 8 malam. Lagipula itu

tanpa upah lembur. Gaji yang dulu tampak cukup untuk

kebutuhan sehari-hari, sekarang jadi kurang. Banyak karyawan

yang jatuh sakit, kelelahan, tetapi tak diurus pihak pabrik.

Kejadian-kejadian itu lama-lama membakar emosi sebagian

karyawan untuk turun ke jalan, berdemo menuntut kelayakan

upah dan kelayakan kondisi kerja.

Haji Somad, Srondol dan perempuan-perempuan dari

salon hijau turut dalam gelombang demonstrasi. Mereka berjalan

mengadukan apa yang menimpa mereka ke kantor pemerintah

daerah.

Page 55: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

55

Malam hari mereka menyiapkan kertas-kertas dan kain

yang panjang buat ditulisi. Tuntutan kelayakan upah dan

kelayakan kondisi kerja, itu tuntutannya. Paginya pada jam

masuk kerja, mereka menggelar demonstrasi, mengajak semua

buruh ikut mogok kerja. Lima puluh orang jumlah pendemo pada

akhirnya. Siang hari, setelah terusir dari depan pabrik, para

demonstran mengalihkan demo ke kantor pemerintah daerah.

Berjalan kaki sampai dua kilometer ke tengah kota.

Tetapi sial, pemerintah di daerah sini belum seperadaban

dengan daerah yang lain. Pemerintah lebih suka mendengar dan

menyaksikan pembangunan yang berjalan cepat. Pabrik yang

menampung pekerja seribuan itu mesti berjalan baik. Itu saja.

Buntut dari demonstrasi itu, lima puluh orang karyawan

pabrik yang berdemo dipecat. Haji Somad, Srondol dan

perempuan-perempuan dari salon hijau kecewa. Mereka pulang

ke rumah dengan sedih dan menyesal.

Di warung bakso si Upin mereka bertemu lagi.

Semangkok bakso panas dan pedas rasanya melegakan pikiran

yang kusut akibat pemecatan.

Besoknya Haji Somad membuka kios baju bekasnya lagi,

membersihkan debu-debu setelah berbulan-bulan ditinggal. Ia

melihat di seberangnya salon hijau sudah dibuka lagi.

Perempuan-perempuan yang berfantasi hidup lebih baik sudah

datang membersihkan dan menyiapkan salon agar nanti sore

bisa mulai buka lagi.

Haji Somad mengambil gunting, dicukurnya jenggot yang

tumbuh selama bekerja di pabrik. Kopiahnya dilepas lagi.

Seorang bapak-bapak masuk melihat-lihat baju bekas. Haji

Somad memperhatikan bagaimana pelanggannya mencuri-curi

pandang ke arah salon. Haji Somad cuma menggeleng-geleng

kepala. ***

Page 56: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

56

Kota Cahaya Cerpen karya Hardi Rahman

Akulah cahaya yang melesat ke sana-kemari. Tubuhku

hanya sebentuk atom cahaya, yang tidak dapat dibelah lagi. Aku

tidak pernah tahu apakah aku hidup atau mati. Tapi aku selalu

bergerombol dengan cahaya lainnya. Saling berkejaran di

angkasa. Berebutan ketika tirai dibuka dan kami berlesatan

mengisi ruang gelap. Akulah hanyalah cahaya. Sebuah inti yang

bersinar tapi tidak memiliki detak jantung.

Sebuah titik terlihat begitu kecil di ujung sana. Aku dan

inti cahaya lainnya sedang menunggu tirai tempat kami

bersemayam dibuka, lantas kami berlesatan menggapai titik itu.

Titik yang menjadi ruang gelap. Hampa. Tanpa cahaya. Dan

ketika semua ruang terisi, ruang itu pun bersinar.

Tirai pun terbuka.

Aku melesat hebat dengan ekor panjang karena waktu

belum mampu merekam kecepatanku. Karena suara masih bisa

kuinjak saat berlari. Karena aku lebih cepat daripada angin,

kedipan mata, dan desah napas.

Kami pun mengerubungi titik itu. Titik kecil yang bagiku,

mungkin hanya sedikit cahaya saja yang bisa mengisi ruang gelap

di dalamnya. Ketika aku menempel, tiba-tiba ada perbedaan dari

ruang gelap sebelumnya. Titik itu bisa melakukan sesuatu yang

Page 57: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

57

tidak dilakukan ruang gelap lain. Ia bisa menarik kami, para

cahaya. Kami ditarik. Ia seperti black hole.

Kami pun tersedot dan mengendap dalam sebuah ruang.

Ruang itu tidak bisa ditembus karena memiliki dinding selaput

tipis yang keras dan tidak berlubang.

Lama kelamaan tubuh kami melebur dan menjadi satu.

Kami, para cahaya, memadat. Membentuk sebuah entitas besar.

Apa mungkin kami akan menjadi matahari kedua? Ah. Di inti titik

ini, tidak ada sumber panas seperti matahari. Matahari tercipta

karena inti-inti cahaya panas terkumpul dan memiliki sumber

panas pada pusatnya. Tapi kami hanyalah inti cahaya biasa.

Aku merasa intiku berkembang dan semakin besar

karena inti cahaya lainnya melebur. Ah, sepertinya bukan intiku

yang berkembang. Tubuhku pun menyatu pada titik awal. Kami

mengeluarkan cahaya sampai batas tertinggi. Entitas yang

terbentuk dari tubuh kami bersinar dengan sangat terang,

mengalahkan terangnya matahari. Tapi kami teduh, karena inti

kami tidak mengandung panas.

Entitas itu mulai meredup. Kekuatan cahayanya

berkurang. Dan perlahan-lahan mulai tampak sebuah wujud

dengan warna asing. Warna-warna yang bukan berasal dari

warna cahaya. Warna-warna ini ada yang gelap, ada yang terang.

Ada cokelat, hijau, hitam, merah, kuning, biru dan sebagainya.

Angin berhembus di entitas ini.

Aku mulai sadar. Ternyata aku menjadi inti entitas ini.

Sebuah wujud baru yang bukan cahaya dengan sosok nyata, bisa

disentuh, bisa dilihat, dan bisa dipijak. Aku turun dan menempel

dengan bumi. Dan aku yakin, sekarang aku telah menjadi sebuah

tanah, tanah cahaya.

***

Orang-orang mulai berdatangan dengan membawa anak

dan istri mereka. Pada mulanya hanya bertamasya, tapi ternyata

Page 58: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

58

aku menjadi tanah idaman mereka. Kuberikan mereka angin

yang teduh, yang sering kali berjalan pelan menyapa rambut

mereka. Kutumbuhkan pohon-pohon besar berbuah lebat dengan

ukuran yang tidak biasa. Mereka menikmatinya. Kubuat mata

mereka dimanjakan oleh danau luas yang membentang dari

ujung ke ujung, dengan warna biru berkilauan dan angsa ramah

seakan ingin berkawan dengan mereka. Gunung-gunung yang

telah lama berdiri kokoh pun membuat mereka semakin

bersemangat untuk tinggal di sini, di kota ini.

Batu demi batu mereka tumpuk. Tiang-tiang mulai

dibangun. Kubiarkan mereka menebang pohon secukupnya dan

mengangkut batu dari gunung untuk membuat tempat di mana

mereka beristirahat. Rumah. Mereka menyebutnya. Mereka

meratakan tanah yang awalnya sulit untuk dilalui. Aspal mereka

tuang di tanah itu. Lantas jalan hitam berkilauan membentang

membuat kota ini semakin nyaman.

Malam merangkak dan semakin liar. Angin kubiarkan

bergerak lebih cepat. Pohon-pohon bergoyang kencang. Daun-

daun rontok dan ranting berisik.

“Maling, maling!” teriakan membelah malam. Orang-

orang tegang. Tiba-tiba satu dua pintu rumah terbuka. Benda-

benda yang bisa dipukul pun terpukul. Malam semakin ramai

oleh semarak manusia.

Seorang lelaki dengan ketakutan terus berlari menembus

gelapnya malam. Hawa dingin yang mencekam tidak mampu

menahan keringat dari pori-pori kulitnya. Ia basah bersimbah

keringat. Berlari dan terus berlari.

Teriakan orang-orang semakin memburu.

“Maling! Maling!”

Obor mereka nyalakan. Kegelapan terbunuh satu persatu.

Mereka mencari di setiap sudut. Mencari. Dan mencari.

Page 59: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

59

Lelaki tadi terus berlari dan ia tidak memerhatikan jalan.

Ia tersandung sesuatu. Tubuh kurusnya terlempar dan

menciptakan bunyi gemerisik yang cukup terdengar. Seakan

malam tidak rela membiarkan sunyinya terusik, diserahkannya

lelaki tadi pada kenyataan. Orang-orang pun berhenti mencari.

Mereka saling pandang dan mengangguk. Mereka pun berlari ke

asal suara tadi.

“Hey! Ini malingnya!” lelaki pembawa obor menemukan

seseorang mencoba bangkit setelah tersandung akar pohon di

pinggir jalan. Orang-orang pun langsung merapat dan

mengangkat tubuh orang itu.

Ia, lelaki yang terjatuh, ketakutan. Barang yang ia curi ia

serahkan begitu saja dengan tangan gemetar. Orang-orang saling

pandang lalu berteriak, “Adili, adili!”

Suara lelaki tadi membatu, tertahan di tenggorokan. Ia

tahu, usianya tidak lama lagi. Sekarang pun ia diseret entah

menuju ke mana. Ia terus merapalkan doa di dalam hati dan

berharap Tuhan mendengar doanya.

Aku menggetarkan tanah, membuat orang-orang berhenti

dan melepaskan lelaki tadi. Tanah pun kubelah dan memisahkan

lelaki tadi sendirian. Ya, aku harus menyucikannya.

Membersihkan jiwa dan raganya juga menyatukannya dengan

tubuhku.

Cahaya yang menyilaukan keluar dari dalam tanah. Aku

langsung memeluk lelaki itu dengan kelembutan. Senyum

tergores di bibirnya. Ia menjadi tenang. Dan perlahan, cahayaku

mulai meresap, menyatu dengan tubuhnya. Kubiarkan ia lebur

tanpa rasa sakit. Ia menjadi cahaya lantas mengeras, mengendap,

menjadi entitas nyata yang bisa dilihat dan disentuh. Ia telah

menjadi bagian dariku.

Orang-orang bergetar. Mereka tidak percaya dengan apa

yang baru saja mereka lihat.

Page 60: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

60

“Iiitu apa?”

“Lelaki tadi ditelan cahaya.”

“Kuburkah?”

“Orang kota ini belum ada yang mati.”

“Apa itu?”

“Cahaya.”

“Ini kota cahaya!”

Malam tidak lagi gelap. Mereka pun sepakat menamaiku

sebagai kota cahaya.

***

“Kau mau menjadi cahaya seperti orang-orang dulu,

Mayra?”

Wanita yang ada di sampingnya terdiam sambil

mengusap perutnya yang semakin membesar. Di dalam hati,

Mayra terus menghitung, berapa hari lagi ia akan melahirkan. Ia

ingin sekali kedua orang tuanya hadir ketika ia melahirkan.

“May,” Adri menjatuhkan kepalanya di pundak Mayra.

“Maafkan aku.”

Mayra mengusap kepala Adri. “Bukan salahmu. Ini adalah

keputusan yang telah kita ambil.”

“Tapi keinginanmu….”

“Sudahlah,” tukas Mayra, “ini jalan kita, Dri.”

“Sekali lagi maafkan aku,” Adri memeluknya. Air matanya

mengalir deras. Rasa perih menjalar di dalam hatinya. Perasaan

bersalah pun mengendap di dalam hati.

Keheningan menebal, menjadi dinding di antara mereka.

Pelukan itu menghangat, membuat darah mereka berdua

berdesir. Ada rasa tidak ingin kehilangan yang muncul di relung

hati terdalam mereka.

Page 61: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

61

“Mungkin setelah anak kita lahir, aku akan menyucikan

diriku, seperti orang-orang terdahulu yang penuh dosa. Aku tidak

ingin anak kita menanggung dosa yang kuwariskan,” Adri

mengecup dahi Mayra.

“Apakah mitos itu masih berlaku? Tidak ada satupun

orang bodoh yang ingin mengorbankan dirinya bersatu dengan

kota ini. Hilang di telan cahaya sebagai bentuk ritus penyucian

diri. Lagi pula itu namanya kau tidak bertanggung jawab, Dri!”

“Bbbukan begitu, May. Tapi….”

“Setidaknya kau ajaklah aku. Aku ingin selalu

bersamamu,” Mayra mengencangkan pelukannya. “Kalau saja kita

menuruti keinginan Mama dan Papa waktu itu….”

“Kita tidak akan diliputi rasa bersalah seperti ini.

Setidaknya, kita tidak akan bersama seperti ini,” senyum

kegetiran tergores di bibir Adri. Ia melepaskan pelukannya.

Mereka pun duduk di atas dipan kayu dengan kasur bersarung

biru. Jendela kamar mereka terbuka. Udara malam masuk

mereka abaikan. “Kalau seperti itu, apakah kau pikir ini sebuah

penyesalan?”

“Tidak! Aku tidak ingin itu. Aku mensyukurinya, Dri. Aku

menikmatinya.”

“Setidaknya kita telah menikmati kebersamaan yang

terjal ya, Mayra.” Mereka berdua bertukar senyum. “Berapa lama

lagi anak kita akan lahir?”

“Tinggal menghitung hari, Dri. Mulai sekarang aku harus

membiasakan diri memanggilmu Papa.”

“Aku akan memangilmu Mama. Walau tidak pernah

sekalipun pernikahan kita lewati. Ah…”

“Sudah, Adri, sudah! Papa, sudahlah. Lupakan masa lalu.”

Air mata mereka tumpah. Tapi pelangi membusur indah

di bibir mereka. Pasrah. Mereka mulai merasa hidup tanpa

Page 62: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

62

beban, tidak seperti dulu. Mereka berusaha masa lalu dan

kepedihan yang terus menerus melukai mereka.

Adri berdiri dan mendekat ke jendela. Ia memerhatikan

keadaan di luar rumah. Sepi. Satu dua lampu rumah tetangga

mulai padam. Ia menutup jendela.

***

Kuturunkan angin untuk menggerakkan pohon. Angin

merayap cepat menghempaskan debu. Pasir-pasir berkumpul

pasrah terdorong angin, menebas rerumputan, mencabut akar

dari tanah dan mencabut pohon dari asalnya.

Malam gemetar melihat aku mulai bergerak. Cahaya

masih kupendam di dalam tanah, tapi satu persatu partikel

cahaya muncul dari rongga-rongga tanah. Seperti kunang-

kunang. Tapi cahay kali ini lebih terang. Mereka bergerak

bersama angin, debu, ranting, daun ke segala arah. Kota ini sudah

tertidur.

Aku mulai mendesak mendekati pusat kota. Menari-nari

dengan gembira. Memanggil mereka yang lupa dengan segala

bentuk perbuatan mereka. Aku harus menyucikan mereka yang

berdosa. Mereka lupa pengorbanan masa lalu.

Aku terus bergerak.

Sebuah keluarga tertidur pulas, entah bermimpi apa,

bapaknya berusaha menyembunyikan asal harta yang ia dapat.

Aku melingkupi rumah itu keseluruhan. Satu persatu partikel

cahaya berkumpul, lantas bersatu. Tanpa rasa sakit, tubuh

mereka terurai menjadi cahaya bersama partikel cahaya lainnya.

Kulit mereka retak dan pecah, berhamburanlah menjadi titik-titik

cahaya sempurna. Rumah itu lenyap, partikel cahaya lain pun

bergerak mendatangi rumah-rumah.

Seorang wanita tengah mendekap erat seorang lelaki. Ia

melupakan anak dan suaminya di rumah. Pikirannya terlupa

Page 63: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

63

sejenak. Ada rasa bangga di sana. Ia merasakan kenikmatan yang

tidak bisa ia ceritakan. Aku pun meresap di antara tembok,

menembus dinding tebal. Tubuhku adalah cahaya, dan satu

persatu cahaya mulai mengerubungi mereka. Mereka pun

melebur dan bergerak menyucikan rumah-rumah lainnya.

Ada seorang anak yang terlentang tidak berdaya di sudut

toko. Ada pasangan dengan wanita yang sedang hamil, mungkin

beberapa hari lagi ia akan melahirkan, tapi perasaan bersalah

melingkupinya. Ada pemimpin yang tidur dengan nyenyak. Aku

semua menyucikannya. Ayam, kucing, sapi, kerbau, burung,

pohon, semua kusucikan. Menjadi cahaya, lantas bersatu bersama

tubuhku.

Pada mulanya menjadi partikel kecil sebentuk atom yang

tidak bisa dibagi lagi. Cahaya kecil yang terang. Mereka tetap

mencapai hakikat tertinggi sebagai manifestasi pencarian yang

selama ini mereka lupakan. Mereka tenang dalam penyucian. Aku

tidak menyakiti mereka. Tubuh-tubuh mereka yang bercahaya,

mulai terurai dan bersatu denganku.

Semua cahaya berputar-putar di langit malam, lantas

bersatu membentuk sebuah bola besar. Tanah ini mulai bergetar

dan memunculkan cahaya lainnya. Gunung-gunung, pepohonan,

danau, seluruh hewan, tanah beraspal, melebur, menjadi cahaya.

Mereka bersatu. Aku merasakan banyak detak jantung perlahan

melambat. Pelan. Pelan. Lalu menghilang. Tubuhku bersinar

sangat terang dan kegelapan malam sudah kutelan. Cahaya besar

itu mulai meredup. Tubuhku mengeras menjadi warna yang

beragam. Aku kembali menjadi entitas yang bisa dilihat dan

disentuh. Entitas besar yang menwujud. Kembalilah aku menjadi

tanah. Tanah yang mengambang di udara, lalu turun dan

menyatu dengan bumi.

Di tanah ini belum ada detak jantung. Tanah masih

berbau, pepohonan masih perawan, danau harmonis dan

Page 64: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

64

binatang berbagai ukuran dan jenis berlarian di segala tempat.

Aku kembali menjadi sebuah tanah, tanah cahaya.

Balaraja, 2013

Hardi Rahman, penyuka makanan manis, sesekali

menulis cerita, puisi dan esai.

Page 65: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

65

Risalah Cinta Sahara Cerpen karya Kalis Mardi Asih

Aku suka tubuhmu yang kurus kecil. Nampak ringkih

dan penyakitan, padahal kau pasti tak pernah sampai kelaparan.

Walaupun kau juga merokok seperti kami, kebutuhan gizimu

pastilah sangat tercukupi. Aku juga menyukai gelak tawa yang

cair di tengah-tengah ritual mendongengmu di sekolah terminal

tiap dua kali seminggu. Kalau boleh memohon pada Tuhan, sejak

kedatanganmu, rasa-rasanya aku ingin semua hari berubah

menjadi Rabu dan Sabtu, hari ketika kau terjadwal datang ke

markas kami -sebuah ruang bekas pencatatan administrasi di

belakang terminal kota Depok- agar aku bebas memandangimu

dalam waktu yang lebih dari lama.

Tidak hanya aku yang menyukaimu. Hampir semua anak

yang biasa mangkal di belakang terminal membicarakanmu pada

hari-hari senggang ketika kami menghitung uang hasil

mengamen sambil istirahat untuk sekadar minum bir oplosan

dan menghisap uap lem aibon. Menurut pendapat mereka, Kak

Abdi adalah teman baik yang tidak perlu dicurigai dan dilawan

seperti para mahasiswa pengajar sekolah terminal yang lain. Kak

Abdi sangat berbeda, tidak seperti gerombolan orang-orang suci

yang tiba-tiba sering datang ke tempat kami dan memberikan

ceramah tentang halal-haram, surga-neraka, dan juga baik-buruk.

Benturkan saja khotbah-khotbah khayal itu ke jidat kami dan

Page 66: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

66

jangan harap sampai masuk ke kepala apalagi berharap kami

percaya.

Dua bulan lalu, sekolah terminal yang katanya program

mahasiswa kampus ternama berjaket almamater kuning cerah

itu mendapat persetujuan Ustadz Khomeini, imam masjid

terminal yang rajin adzan lima kali sehari dan lebih sering sholat

sendirian karena sepertinya tak ada orang yang ingin pergi

menjadi makmumnya. Terminal tetap hiruk pikuk diantara

teriakan dan makian, kepulan asap bis, angkutan umum, derit

klakson mobil, motor dan asap rokok. Bau-bau keringat para

sopir, kondektur, pegawai dinas perhubungan, tukang parkir,

pedagang asongan, pengamen, pengemis, mucikari dan lonte

yang biasa mangkal di losmen-losmen belakang terminal

tertinggal di warung-warung makan, kendaraan, loket, tembok,

kursi tunggu, dan angin di terik siang yang membakar kulit.

Aku tidak pernah tahu apa arti nama Sahara. Lagipula

sampai hari ketika kau datang aku juga tak menganggap penting

arti dari sebuah nama. Aku hanya tahu bahwa namaku Sahara.

Memang sepertinya aku pernah dengar dari pelajaran-pelajaran

di sekolah yang jarang kuperhatikan dengan sungguh-sungguh

tentang sebuah gurun di Afrika bernama Sahara. Tapi hanya

kamu yang bilang kalau barangkali orangtuaku menginginkan

aku punya hati yang luas seperti luasnya gurun sahara.

Hati yang luas? Ah, siapa peduli? Tidak sekalipun ibu atau

bapak. Ibu hanya seorang buruh cuci berbadan ringkih yang suka

menangis ketika bapak pulang ke rumah. Kurasa ia istri yang

kurang beruntung dan sangat aneh karena tak pernah

mengharapkan suaminya pulang. Bapakku adalah seorang

kondektur bis antar kota yang jarang pulang. Barangkali karena

manjurnya doa-doa ibu. Tapi semanjur-manjurnya doa ibu, tetap

saja sekali waktu bapak pulang. Bapak selalu pulang dengan

membawa perempuan muda yang badannya tidak ringkih seperti

Ibu. Lalu ibu akan menangis lagi. Dan aku tidak peduli.

Page 67: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

67

Kata orang, aku adalah anak bajingan. Kau pun juga

bilang begitu. Sesuai usul Bonek, ketua geng anak terminal, kami

harus menceritakan semua aktivitas yang biasa kami lakukan

dengan jujur agar para mahasiswa yang membosankan itu tidak

betah dan tidak datang-datang lagi ke tempat kami. Bukankah

program para manusia terpelajar yang sudah-sudah juga begitu?

Paling-paling hanya kuat paling lama sebulan, mereka sudah

tidak berminat “berkawan” dengan kami lagi seperti yang

mereka ucapkan di awal pertemuan.

Biasanya Bonek akan bercerita dengan mantap kalau ia

biasa membayar duapuluh ribu rupiah agar bisa “dipijit” Tante

Rina di losmen belakang terminal. Riko dan Deri akan bercerita

disertai tawa yang menggelegak mengingat pengalaman-

pengalaman mereka ketika saling memuaskan hasrat satu sama

lain karena penghasilannya habis untuk biaya sekolah adik-

adiknya yang masih belajar di Sekolah Dasar. Puluhan anak yang

lain juga akan menceritakan hobi mereka kabur dari sekolah,

memukuli teman sekolahnya yang sok kuasa mentang-mentang

kaya, dan yang paling banyak tentunya tentang cerita-cerita

menyedihkan mengapa mereka putus sekolah.

Aku yang katamu berhati luas ini, sudah bergabung

bersama geng Bonek untuk mengamen sejak usia sembilan

tahun. Selain mengamen, aku juga sering datang ke losmen untuk

memijit. Aku kerap mengamen dengan pakaian seksi, sebab

seringkali ada om-om yang kemudian menawarku dan kemudian

minta dipijit di losmen. Hasilnya lumayan. Aku tidak perlu lagi

minta uang untuk bayar sekolah pada Ibu.

Tapi ketika berdekatan denganmu, rasanya aku ingin yang

lebih dari itu. Aku merasa aman ketika tempo hari kau mengelus

rambutku. Ada getar yang tak biasa, yang ingin sekali aku raih

dan aku bungkam dalam waktu. Entah apa.

Page 68: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

68

Tempat kami mengamen dibagi-bagi oleh Emon, lelaki

seumuran ayah yang suka berbuat jahat pada beberapa anak laki-

laki. Seperti ayah, Emon suka memukul jika hasil mengamen

kami tidak terlalu banyak. Emon adalah satu-satunya alasan kami

ikut kegiatan-kegiatan membosankan semacam sekolah terminal

karena kami punya alasan jika pendapatan kami berkurang.

Emon tidak akan berani berhadapan dengan Ustadz Khomeini. Ia

berkali-kali dilaporkan ke polisi oleh Pak Ustadz. Tapi ia selalu

saja bisa kembali menemukan markas kami setelah keluar dari

penjara.

Anak-anak orang kaya yang suka memakai baju dan

barang-barang bagus itu mengajar matematika tiap hari Rabu

dan bahasa inggris tiap hari Sabtu. Mereka bilang dua pelajaran

itu penting agar kami bisa menjadi orang sukses. Padahal kami

tidak pernah ingin jadi orang sukses. Oh, sebenarnya kami tidak

tahu arti sukses itu apa. Barangkali, orang sukses itu adalah yang

seperti mereka. Kalau benar begitu, aku dan geng anak terminal

tidak ingin jadi sukses. Kami hanya ingin terus sama-sama.

Minum bir, ngelem sambil sesekali mengendorkan otot-otot

bareng tukang pijit di losmen kalau ada uang hasil ngamen yang

tersisa. Yang penting kami aman dari jeritan dan makian yang

ada di rumah. Aku juga aman dari ibu yang suka menangis dan

bapak yang suka memukul ibu.

“Kemarin malam Kak Abdi datang ke Margonda. Dia ikut

kita nongkrong sampai pagi.” Riko bercerita sambil mengepulkan

asap rokoknya ke udara kota yang pengap.

“Kak Abdi ikut kalian ngelem? Atau ikut kalian ke losmen

buat main-main sama Tante Rina?” Aku bertanya dengan mata

sedikit terbelalak. Kaget.

“Enggak lah. Kita cuma minum-minum sedikit. Kak Abdi

cuma ngeliatin kita sambil ngerokok dan cerita-cerita sampai

Page 69: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

69

ketiduran disana.” Jawab Bonek dengan gerak kepalanya yang

khas, sepertinya ada sarafnya yang sudah putus karena

kebanyakan ngobat.

“Kak Abdi baik, Har,” Deri menyahut setelah

menghabiskan seplastik es teh, ”Dia bilang nggak apa-apa kita

kayak gini. Tapi kata Kak Abdi, kita tetep harus inget kalau Tuhan

masih peduli sama kita.”

“Peduli? Buktinya?” Aku menginterupsi kalimatnya.

Hatiku selalu berdebar-debar tiap nama Abdi disebut.

“Ya kalau nggak peduli, kita nggak akan bisa seneng

bareng-bareng kayak gini. Kita masih dikasih banyak temen baik.

Masih dikasih duit buat mabok, buat ngelem, buat minta jatah

Tante Rina…Kata Kak Abdi itu karena Tuhan yang Maha Baik.”

Ya. Aku tentu juga masih ingat. Suatu sore Kak Abdi

menatapku lekat sambil berujar, ”Hara, jika hidup mengharuskan

kalian jadi bajingan, kalian harus jadi bajingan yang tetap punya

cinta di hati. Bajingan yang nggak akan pernah memukul Ibu.

Bajingan yang nggak menyusahkan hidup orang lain. Bajingan

yang nggak membunuh…”

Aku adalah bajingan yang punya cinta di hati. Cinta

untukmu, Kak Abdi.

Kau tidak lebih tampan dari teman-temanmu yang lain,

para cendekia yang suka ha-ha-hi-hi setelah mengajar seolah-

olah kami adalah anak TK yang gampang dibohongi untuk

perintah menyanyi dan menari. Tapi matamu elang, senyummu

sangat purba dan aku terhempas tanpa daya di pusarannya.

Berkat kau, teman-temanku tidak terlalu melawan lagi pada para

manusia terpelajar itu, mereka malah semakin bersemangat

datang tiap hari Rabu dan Sabtu. Lucunya, mereka hanya mau

Page 70: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

70

berkumpul jika kau datang. Kau akan mulai mendongeng hal-hal

lucu tentang Tuhan, menceritakan pengalamanmu hari itu,

menyanyi dan memetik gitar dengan tiba-tiba, serta kadang-

kadang berdiri untuk berlagak seperti artis sinetron yang

memainkan peran. Mereka mendengarkanmu dengan senang,

tapi mereka tidak mau belajar matematika ataupun bahasa

inggris.

Pada satu hari Sabtu ketika kau pamit pulang dari

terminal, aku pernah membuntutimu dengan menyambar motor

Bang Mamat, tukang ojek terminal. Kau menuju ke arah kampus

dan memarkir motormu di pelataran gedung bertuliskan

Fakultas Ilmu Budaya. Kau melangkah cepat sekali masuk ke

gedung itu hingga aku tak kuasa mengejar sosokmu. Lagipula,

dengan penampilanku yang beda kelas dengan manusia-manusia

kuliahan sebangsamu, aku tak punya cukup nyali.

Aku menikmati semua hal yang kau buat. Kurasa inilah

yang disebut jatuh cinta.

Hari Rabu pada pekan yang ke sepuluh, akhirnya aku

sudah tidak tahan lagi. Hari itu semua yang kulihat di terminal

hanyalah bunga dan kupu-kupu beraneka warna. Udara sesak

yang menguar berubah menjadi embun subuh hari yang

menenangkan. Aku ingin sekali kau tahu perasaanku. Kalau saja

bisa, biarkan aku lahir sekali lagi menjadi bunga. Yang kuncup,

mekar, layu dan membusuk, pada dahan yang satu. Padamu.

Kalau Tuhan memang Pemurah, aku ingin dia memberiku

kesempatan. Kali ini saja.

Aku memakai pakaian terbaikku untuk pergi ke sekolah

terminal. Aku juga memoles wajahku dengan sedikit foundation

dan bedak. Penampilanku makin sempurna dengan memakai

kaos ketat berwarna merah dan rok jins selutut andalanku.

Page 71: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

71

Kuharap kau akan tertarik dan mimpi-mimpi tentangmu yang

telah menghantui selama dua bulan ini akan menjadi kenyataan.

Tapi, sepertinya harapanku tersangkut pada pilar-pilar

tembok terminal yang sering membuat sinyal televisi rumah

kami jadi buruk. Sore itu, Kak Abdi tak hadir mengajar. Hanya

ada rombongan pengajar matematika dan bahasa inggris yang

tak kami sukai. Demikian seterusnya pada pekan ke sebelas, ke

dua belas dan seterusnya, hingga geng anak terminal tidak ada

lagi satupun yang mau hadir untuk belajar pada hari Rabu dan

Sabtu.

“Mereka memang brengsek, Hara! Aku dengar sendiri

percakapan mereka. Mereka sepakat Kak Abdi nggak akan

diundang buat ngajar lagi ke terminal.” Bonek kelihatan begitu

gusar. Entah sudah berapa botol bir yang ia tenggak habis.

“Mereka bilang Kak Abdi ngajarin hal-hal buruk ke kita,”

Deri berkata lirih sambil menghisap batang rokoknya dalam-

dalam. Dari matanya yang memerah, ia nampak sangat

kehilangan sosok seorang kakak yang selama ini ia dambakan.

Aku sendiri sudah tak kuasa berkata-kata. Maka

kutinggalkan teman-temanku itu menikmati kekecewaan atas

sebuah rasa percaya yang lagi-lagi dikhianati oleh seperangkat

aturan baik-buruk orang-orang suci.

***

Aku selalu menunggumu di halte kampus depan gedung

Fakultas Ilmu Budaya. Aku masih mengamen, tapi aku sudah

tidak lagi melayani sopir dan kondektur terminal yang minta

dipijit dan kemudian selalu menggagahiku hingga aku kelelahan.

Untuk menggantinya, aku kini berjualan koran. Hasilnya

lumayan. Anak-anak orang kaya yang belajar di gedung yang

sama denganmu sering membeli koranku hingga habis

Aku masih menunggumu dengan harapan yang sama

untuk menjadi bunga yang kembang pada dahanmu. Aku percaya

Page 72: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

72

kata-katamu, Tuhan pasti mendengar. Tugas kita hanya harus

percaya sambil mengisi hati dengan banyak cinta. Aku meyakini

pesanmu, meski hingga hari ini kau belum juga kulihat lagi.

Hingga suatu pagi yang bukan Rabu atau Sabtu, aku

melihat nama dan fotomu di salah satu koran lokal yang

kujajakan. Di foto itu kau tampak sumringah mendapat ucapan

selamat dari rektor kampusmu karena mendapat beasiswa untuk

melanjutkan kuliah di Perancis.

Jalanan Depok semakin bengkak.

Udara semakin mampat.

Mataku berair.

Puisi-puisi perlahan meninggalkanku.

Tapi aku masih menyukai tubuh kecil, mata elang serta

senyummu yang purba, Abdi Negara. Geng anak terminal telah

berikrar untuk menjadi insan bajingan penaka Tuhan. Bajingan

yang punya cinta. Dan aku menyimpan namamu hingga entah

kapan kau kembali kesini, di kampus ini.***

Kalis Mardi Asih, lahir di Blora, 16 Februari 1992. Bercita-cita

menjadi ibu bagi banyak anak-anak seperti Bunda Teresa.

Penulis dapat dihubungi di [email protected]. Gemar

berceloteh apa saja di mardiasih.tumblr.com

Page 73: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

73

Botol-botol Berisi Senja Cerpen karya Mawaidi D. Mas

Ia tidak tahu, lebih tepatnya ia tidak pernah menghitung

uang itu, atau biar lebih rinci lagi ketika tiba di rumah setelah

meletakkan botol-botolnya di dalam kotak balok, karung

berukuran sedang dengan warna putih kekuning-kuningan yang

diperoleh dari hanyutan sungai digantung di tembok. Tujuh

karung dengan warna yang sama menandakan kalau ia baru yang

ketujuh kalinya dengan hari ini bermain botol di jalan raya.

Tak ada yang menarik sedikit pun sepulang bermain

botol-botol itu. Tetapi, setiap kali ia berada di pinggir sungai

dengan alasan ingin bertemu dengan seorang pelaut yang

tersesat di sungai, justru takdir berkehendak lain, tanpa berlama-

lama berkacak pinggang, ia akan menemukan sepotong karung

yang hanyut dari hulu.

“Hari ini tak ada pelaut itu,” katanya pada setiap sore

sembari mengail karung dengan ranting pohon bambu.

Sungai melihat ia tampak kecewa. Selalu saja sebelum ia

mendaki gundukan yang lebih tinggi di atas sungai untuk sampai

di jalan menuju rumahnya, ia melemparkan batu ke dalam perut

sungai. Ia membayangkan, batu itu adalah dirinya yang masuk ke

dalam air dengan lincah. Tetapi sungai tidak pernah tahu itu.

Esoknya ia bermain botol-botol itu dengan riang di

pinggir jalan. Karung itu sesekali berisi lembaran tapi lebih

Page 74: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

74

banyak yang recehan. Ia tidak peduli. Botol-botol itu dipukul

pelan hingga menimbulkan denting-denting kecil yang setiap

bunyinya memiliki ciri khas. Itu yang membuat ia senang

bermain botol-botol. Setiap denting terakhir yang mengalun dari

botol-botol itu selalu dipukul dengan keras, dihentakkan. Maka ia

akan pulang. Ia sudah lelah dan capek.

Hari itu ia tahu akan pergi kemana, tetapi bukan ke

sungai. Sebelum berangkat ke pendapa kelurahan ia mandi dan

tidak ingat makan. Ia akan menjadi bagian anak paling besar dari

anak-anak kecil yang menonton perempuan-perempuan yang

sedang menari, lebih tepatnya latihan tari. Tidak hanya itu,

sebenarnya ia sendiri menyadari kalau perbuatan itu di luar

keinginannya, ia tertarik dengan salah seorang penari di sana. Itu

wajar dan lumrah seorang laki-laki mempunyai naluri kepada

lawan jenisnya. Tetapi, ia anak yang belum dewasa. Hanya di

antara teman-temannya ia tampak besar.

Ia tidak peduli. Pantas atau tidak ia tertarik pada

perempuan itu urusan takdir. Ia merasa naluri datang sendiri ke

dalam jiwanya, tanpa diminta. Yang ia rasakan selama naluri itu

tumbuh ia selalu senang dengan pekerjaan perempuan itu. Maka,

ia ada di sini bersama-sama menonton latihan tari di pendapa.

Suatu hari ia sudah mendapatkan data tentang

perempuan itu. Ia sangat ambisius untuk mengenali lebih jauh

perempuan yang sebenarnya lebih pantas menjadi kakak

kandungnya, kakak iparnya, atau, lebih tepatnya menjadi ibu

kandungnya. Ia tipe seorang wartawan. Tetapi, ia tidak peduli. Ia

peduli hanya pada perempuan itu karena memiliki kehidupan

yang pelik dan tak pernah masalahnya tampak ke raut wajahnya

ketika sedang menari. Ia semakin tertarik dan tidak akan pernah

pupus mengaguminya. Ia membayangkan seandainya dirinya

adalah perempuan itu yang diusir dari kampung sendiri karena

ketahuan bisa menari. Perempuan itu akhirnya pergi sangat jauh

meninggalkan keluarganya. Perempuan itu akan mati sia-sia jika

Page 75: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

75

berada di kampungnya, lebih tepatnya di kampung keluarganya

yang baru. Kampungnya tidak menerima kehadiran seorang

penari. Di sana mengenalnya dengan tandha’, artinya ronggeng.

Jika saja ada warga yang mendatangkan tandha’ ke pernikahan

anaknya, acara itu akan dibubarkan oleh sebuah kelompok di

kampung. Tandha’ memiliki masa lalu yang kelabu karena pada

suatu hari tandha’ yang dikenal sebagai seniman perempuan

kepergok warga sedang ngewek dengan kepala desa. Geram para

kiai. Beringas para blater di kampung akibat ulah tandha’.

Alasan mengapa ia mencari tahu masa lalu perempuan itu

ketika ditanya mengaku tidak ada apa-apa dan seolah tidak

peduli. Maka ia pergi ke sungai pada sore hari. Berharap datang

ke sungai tidak sia-sia agar bertemu dengan pelaut yang tersesat.

Walaupun akhirnya sebelum pulang selalu ada keinginan untuk

masuk ke dalam air sungai. Satu lagi, ia mendapatkan satu buah

karung yang hanyut dari hulu.

“Tak ada pelaut yang tersesat di sini?” tanyanya kepada

seorang lelaki tua yang sedang memasang umpan ke kail

pancingnya.

“Baru saja lewat! Giarto namanya!” Jawab seorang lelaki

tua.

“Sungguh dia ada?”

“Sungguh, orang tua tidak akan menyia-nyiakan

kebenaran.”

“Besok bilang padanya ya. Tunggu aku jangan pergi dulu!”

Ia berlari ke atas gundukan dengan cepat. Lelaki tua itu

tidak mengerti dengan tingkahnya. Lelaki tua terus memberi

umpan ikan ke kail pancingnya. Ikan kesepuluh didapat.

Ia sudah menghilang dari pandangan lelaki tua. Ia akan

pergi ke jalan raya dengan botol-botol itu. Ia membayangkan kini

Page 76: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

76

yang sedang mengalun klinang-klinung di depannya adalah

gamelan. Perempuan itu terus menari di depannya.

Yogyakarta, 29 Januari 2014

Buat: Lutfi Mardiansyah

Mawaidi D. Mas, lahir di Sumenep 14 Oktober 1993. Giat

di Malam Perjamuan Sastra dan Jurnal Kreativa. Kuliah di

UNY.

Page 77: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

77

Sepasang Jam Tua

yang Merindukan Keabadian Cerpen karya Muhammad Izzat Abidi

Jika kau masuk ke ruangan itu, kau akan menemukan

ruangan yang atapnya disangga empat pilar kayu jati seukuran

tubuh orang dewasa yang menjulang tinggi. Ruang itu memiliki

mihrab mengarah ke kiblat, memiliki empat pintu kecil dan satu

pintu utama. Hanya lampu sentir yang menerangi ruangan itu di

kala gelapnya malam menyelimuti. Tikar lusuh nan rapuh

menutupi dinginnya ubin. Sungguh sederhana ruangan itu.

Dua jam tua berdiri tegak di ujung kanan dan kiri

ruangan. Entah sejak kapan mereka ada di ruangan itu, tak ada

yang tahu persis. Saat malam mulai larut dan orang-orang yang

bersujud mulai kembali ke rumah masing-masing, barulah

sepasang jam tua itu bercakap-cakap. Mereka tak pernah tidur.

Mereka takut jika mereka tertidur, waktu akan berhenti dan itu

masalah yang besar yang bakal merenggut keabadian hidup

keduanya.

Jam tua yang berada di sisi kiri ruangan bertubuh tinggi

kekar, bermuka kotak dan memiliki rambut yang terukir di

kepalanya. Dialah jam tua pria bernama Zam. Lalu di sisi kanan

ruangan, jam tua bertubuh agak gendut tapi seksi. Ia juga

Page 78: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

78

lumayan tinggi, bermuka bulat dan berambut panjang terukir

indah di kepalanya. Dialah jam tua wanita bernama Zin

“Hai, kau, jam tua yang ada di sana. Bagaimana

keadaanmu?” tanya Zam.

“Apa? Jam Tua? bukannya kau juga jam tua. Aku di sini

baik-baik saja. Lalu bagaimana denganmu?”

“Bagaimana denganku? Keadaanku kurang baik, kepalaku

gatal tapi aku tak bisa menggaruknya.”

Kedua jam tua itu tertawa bersamaan. Percakapan seperti

inilah yang selalu mereka lakukan. Mereka selalu bersyukur,

meski hanya bisa bicara dan yang mengertipun hanya mereka

berdua. Setidaknya mereka bisa saling mengisi kekosongan di

ruang itu.

Pukul duabelas malam, ketika semua orang yang bersujud

di ruangan itu telah kembali ke rumah masing-masing,

menyisakan gelapnya ruangan nan tak bercahaya, benar-benar

gelap, tak ada lagi sentir yang menyala. Mungkin ruang itu akan

sedikit bercahaya bila rembulan purnama menembus dua

genteng kaca di atap sana, tapi sayang malam ini dan malam-

malam yang lalu langit selalu gelap, gelap karena awan mendung

tak mau beranjak dari langit malam.

Zin melirik ke arah Zam. Suaranya serak dan nampaknya

ia sedang ketakutan.

“Zam, apakah kau tak merasa takut di ruang gelap ini?”

tanya Zin

“Takut? Takut akan apa? Selagi ada kau, Zin, aku tak

merasa takut di ruang gelap ini,” jawab Zam dengan mantap. Lalu

Zam melanjutkan katanya kepada Zin. “Apa kau pernah berpikir

bahwa suatu waktu kita akan mati, Zin?”

“Pernah. Tapi sudah lama aku tak memikirkan hal itu lagi,

karena sepertinya kita tidak akan mati, hanya rusak.”

Page 79: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

79

“Hanya rusak? Apa maksudmu?”

“Ya… hanya rusak. Kita diperbaiki dan hidup lagi. Rusak

kan juga seperti kematian, tak tahu kapan dan kepada siapa dia

datang.”

Zam hanya mengangguk-angguk mendengar jawaban dari

Zin. Jawaban yang sungguh tak ia duga sebelumnya.

Malam terasa begitu cepat, hingga tak terasa pukul tiga

dini hari pintu utama terbuka seseorang masuk ke ruang gelap

itu. Menyalakan lampu sentir yang padam, membuat seberkas

cahaya menerangi ruangan. Sosok itu tak asing lagi bagi sepasang

jam tua yang berdiri diujung kanan dan kiri ruangan. Sosok

dengan rambut putih dan kulit keriput yang ia kenakan, sosok

tua yang sangat hebat. Ia selalu bersujud di mihrab dari pukul

tiga dini hari hingga subuh menjelang.

Di sela sujudnya, sosok tua itu berdiri dan mendekat ke

arah Jam tua pria seraya berkata.

“Ah… kau jam tua. Apa kau tahu berapa umurmu itu?

Mungkin umurmu itu sama seperti umurku. Atau mungkin kau

lebih tua dariku. Jikalau aku dengan umur setua ini sudah bisa

merasakan kematian datang mendekat, apakah kau juga bisa

merasakannya?”

Jam tua pria hanya diam, ia cuma bersuara membunyikan

detik-detiknya. Tapi jam tua wanita yang ikut mendengarkan

sosok tua itu bercerita, menjawab dengan lantang.

“Aku juga merasakan kematian itu datang mendekat,

wahai sosok tua!”

Selantang apapun jam tua wanita berbicara, yang bisa

mendengar hanyalah jam tua pria, dan begitu juga sebaliknya.

Lalu sosok tua itu membalikkan badan kembali ke mihrab

dan bersujud dengan khusyuk.

Deng … deng … deng … deng … deng …

Page 80: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

80

Suara bel beriringan dari sepasang jam tua itu

menunjukkan pukul lima pagi. Orang-orang mulai berdatangan,

masuk ke ruangan itu dan bersujud menghadap kiblat. Waktu

terus berjalan, dengan silih berganti orang-orang yang bersujud

itu bangkit meninggalkan ruangan itu dan menyisakan kesepian

yang khusyuk.

“Lihatlah sosok tua itu! Khusyuk dalam sujudnya. Tak

seperti biasanya ia begitu. Bukankah ia harus bangkit dan

berangkat bekerja?” seru Zam memecah kesepian.

“Mungkin ia sedang libur untuk bekerja, lalu memilih

bersujud lebih lama di ruangan ini,” jawab Zin dengan senyum

manisnya. Entah apa yang terjadi kepada sosok tua itu, ia

bersujud lebih khusyuk dari sujud-sujudnya yang pernah ia

lakukan. Sepasang jam tua yang tak ingin mengganggu

kekusyukan sujud itu hanya berdiam diri tak berani

membangkitkannya.

Deng … deng … deng…

Bel berbunyi genap 12 kali menandakan sekarang pukul

duabelas siang tepat. Sosok tua itu belum juga bangkit dari

sujudnya. Sepasang jam tua merasakan ada hal aneh yang terjadi

dengan sosok tua itu. “Mengapa ia tak bangkit dari sujudnya? Apa

yang terjadi dengannya?” batin Zam. Tanya itu juga muncul di

batin Zin, dan ia memilih diam tak bersuara sama seperti Zam.

Tak lama kemudian datanglah pemuda yang juga sering

bersujud di ruangan itu tiap lima waktu. Ia adalah anak dari

sosok tua itu. Ia berjalan mendekat ke mihrab, berusaha

membangunkan ayahnya yang khusyuk bersujud. Tak ada

respon, maka pemuda itu memegang tangan dan mencari detak

nadi ayahnya lalu suara lirih yang bercampur dengan segala

perasaan kurang baik terdengar oleh sepasang jam tua dari

mulut pemuda itu. Ia segera bangkit berlari keluar ruangan, tak

Page 81: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

81

begitu lama kemudian berbondong-bondong orang datang ke

ruangan itu dengan diiringi tangis dan ratapan kesedihan.

“Innalillahi wa inna illaihi rojiun,” Orang-orang itu

hampir serentak mengucapakan tarji’.

Maka sepasang jam tua baru paham apa yang sebenarnya

terjadi. Sosok tua itu telah menjumpai kematian.

***

Dari hari ke hari sepasang jam tua sering melihat orang-

orang yang disujudkan untuk terakhir kalinya dalam hidup

mereka.

“Apakah mati itu menuju kebahagiaan atau kesedihan di

alam sana?” kata Zam.

“Kau masih saja memikirkan hal itu? Bukannya sudah

kukatakan, kita tidak akan mati, hanya rusak, diperbaiki lalu

kembali seperti sedia kala,” jawab Zin melenceng dari pertanyaan

Zam.

“Iya, aku masih ingat apa yang kau katakan. Aku hanya

takut saja kalau rusak itu berarti mati. Bukankah yang mati itu

tak akan kembali lagi?”

“Rusak itu mati? Mungkin saja itu terjadi.”

“Mungkin terjadi? Apa maksudmu?”

“Maksudku mungkin saja rusak itu berarti mati. Kenapa?

karena orang yang memperbaiki kita yang rusak sudah tiada alias

mati. Maka kita akan rusak untuk selamanya.”

Kata-kata yang dilontarkan jam tua wanita itu membuat

jam tua pria makin takut dan memikirkan kematian itu benar-

benar mengerikan.

“Tak usah kau pikirkan sesuatu yang tak seharusnya kau

pikirkan. Kita ini hanyalah jam tua, bukan manusia seperti

mereka!” kata Zin mencoba menenangkan pikiran Zam. Tak ada

pembicaraan lagi. Sepipun hingga diantara keduanya.

Page 82: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

82

Sudah dua hari dari pembicaraan antara jam tua pria dan

wanita. Mereka masih saja diam membiarkan sepi hinggap

diantara mereka. Jam tua pria mencoba menyapa jam tua wanita.

“Hai, kau yang di sana. Apa kau baik-baik saja? Apa kau

marah denganku? Kalau begitu maafkan aku!”

Zin hanya diam. Lalu Zam mencoba menyapanya lagi tapi

Zin tak menyahut. Begitu seterusnya hingga jam tua pria itu

memutuskan terdiam karena ia merasa jam tua wanita marah

padanya. Lama berdiam diri dengan jam tua wanita, jam tua pria

merasakan ada hal aneh yang terjadi. Ia menoleh kearah jam tua

wanita dan memperhatikannya dengan seksama.

“Ada yang aneh kelihatannya. Itu dia, tangannya tak

bergerak dan… apa? Detiknya tak berdetak!” seru jam Zam dalam

hati. Sekarang ia benar-benar takut melihat detik milik Zin tak

berdetak. Itu berarti Zin rusak atau malah dia mati dan tak akan

mungkin kembali.

Selang satu hari kemudian, empat orang asing datang ke

ruang itu, mendekat ke arah jam tua wanita. Mengangkatnya dan

membawanya keluar dari ruangan itu. Jam tua pria pun

berteriak.

“Tidakk…? Jangan bawa pergi, Zin. Aku akan kesepian

tanpanya!”

Sekeras apapun teriakan Zam, empat orang asing itu tak

akan pernah mendengarnya. Kini sepi tak lagi hinggap di ruangan

itu, sekarang malah membuat sarang di dalamnya. Sarang yang

ditinggali oleh jam tua pria itu sendirian, benar-benar sendirian

dalam sarang kesepian. Tak akan ada lagi malam-malam yang

hangat oleh pembicaraan, tak akan ada lagi saling sapa di pagi

hari, tak akan ada lagi sepasang jam tua yang bicara.

Sudah berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan

bahkan bertahun-tahun jam tua pria tinggal dalam sarang

kesepian. Walau banyak orang yang datang tapi mereka hanya

Page 83: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

83

khusyuk dalam sujudnya tanpa memperhatikan ada jam tua yang

kesepian. Hingga tiba waktunya jam tua pria ikhlas melepas

kepergian jam tua wanita untuk selamanya.

Di suatu pagi, setelah orang-orang bangkit dari sujudnya

datanglah empat orang asing, masuk ke ruang itu sambil

mengangkat barang besar nan tinggi. Mereka letakkan barang itu

diujung kanan ruangan. Sebuah jam tua rupanya. Zam membatin,

“Siapa jam tua itu? Apakah ia Zin? Mana mungkin? Ia kan sudah

mati, tak mungkin ia kembali.”

Jam tua di ujung kanan itu menyapa, membuat lamunan

Zam pecah.

“Apa kabar, Zam. Apakah kau baik-baik saja?”

“Aku? Ya, tentu aku baik-baik saja. Darimana kau tahu

namaku dan siapa kau ini sebenarnya?”

“Ya ampun, kau sudah lupa denganku. Oh ya, sudah lama

kita tidak jumpa. Aku…”

“Apakah kau Zin?”

Jam tua wanita di ujung kanan ruangan itu tersenyum

lebar.

“Iya, Zam. Ini aku Zin.”

Jam tua pria berubah ekspresi, dalam hatinya ia rasakan

bingung, tak percaya, bahagia. Semuanya bercampur menjadi

satu tak karuan.

“Ta-tapi, tapi, ba-bagaimana mungkin?” kata jam tua pria

terbata-bata.

“Tapi bagaimana aku bisa kembali lagi ke sini? Begitukan

maksudmu?”

Zam mengangguk mengiyakan. Zin yang berada di

sebelah ujung kanan ruang itu tersenyum dan bercerita.

Page 84: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

84

“Itu semua mungkin karena kita berjodoh. Jodoh sebagai

sepasang jam tua. Kau tahu, rusak itu ternyata benar-benar

seperti mati. Aku merasakan sepi yang mencekam saat kau tak

berada disampingku. Juga rindu akan dirimu. Bertahun-tahun

aku teronggok tak diperbaiki di rumah ahli jam. Ia tak tahu cara

memperbaiki mesin kunoku yang rusak. Setelah menunggu

selama bertahun-tahun akhirnya ia menemukan orang yang bisa

memperbaiki mesin kunoku ini. Tubuhku juga diganti agar

terlihat lebih elegan katanya. Setelah semua baik, aku

dikembalikan ke ruang ini lagi.”

Zam lega mendengar cerita itu. Walau harus terpisah

bertahun-tahun lamanya, yang namanya jodoh tak akan pergi

kemana. Ia bisa datang dan pergi secara misterius, tapi

hakikatnya ia akan kembali, karena begitulah suratan takdir.

Seperti sepasang jam tua itu, akan selalu bersama, berdua,

selamanya. ***

Solo, 8 – 12 Mei 2014

Muhammad Izzat Abidi, lahir 5 Juni di Magelang. Santri

Pondok Pesantren Al-Muayyad serta siswa SMA Al-

Muayyad Surakarta ini bergiat di Majalah Serambi Al-

Muayyad sebagai reporter dan sering mengikuti

pengajian sastra di Thariqat Sastra Sapu Jagad. Karyanya

berupa puisi dibukukan dalam antologi Kisah-kisah yang

Berulang di Hari Minggu (Balai Soedjatmoko-Pawon,

2013) Solo dalam Puisi (Festival Sastra Solo, Pawon-

2014) dan antologi geguritan Timur Gumregah (Festival

Sastra Solo, Pawon-2014). Dapat di hubungi melalui

Facebook: Abidi Tersenyum. E-mail:

[email protected]

Page 85: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

85

Sebatang Pohon Jati

yang Menangis Setiap Malam Cerpen karya Saifu Ali

Ini bukan kali pertama kudengar sayatan tangis seorang

perempuan. Sayatan kepedihan yang menyusup telingaku.

Menendang isi kepalaku. Akhir-akhir ini aku juga kerap

bermimpi aneh. Ada seorang perempuan bermuka kelam, duduk

meringkuk menangis, meminta pertolonganku.

Saat kumelintasi hamparan hutan jati yang gundul pukul

sebelas malam pulang dari kampus, tangisan itu mendengung-

dengung di tengah kesunyian. Malam, mungkin bagi sebagian

makhluk, adalah saat terbaik menangis demi mencurahkan

segala kegundahan dan kesedihan. Aku merasa ada sebuah

isyarat saat menghayati sayatan tangisan itu.

Di tengah redupnya rembulan di atas kepalaku,

kumatikan mesin motorku. Jalanan lengang dan tak ada satu pun

lampu penerangan di sekitar hutan jati yang gundul. Mataku

mengerjap-ngerjap. Tangisan itu masih menyayat sanubariku.

Aku memberanikan diri mendekati sumber tangisan perempuan

itu.

Langkahku menjinjit. Bulu kudukku sudah berdiri

manakala kudekati tangisan itu. Tubuhku gemetar. Aku

membayangkan sosok perempuan buruk rupa berambut panjang,

Page 86: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

86

berpakaian kumal, bisa melayang di atas tanah, dengan ratusan

belatung menjijikkan di punggungnya sambil berpura-pura

menangis. Kamis malam yang menyeramkan. Hening. Dua mata

dan telingaku kupasang seksama. Barangkali saja kutemukan

letak tangisan perempuan itu, kemudian bisa menanyainya

mengapa menangis di malam hari.

Setelah bermenit-menit mencari dan berkeliling, aku

gagal tak mendapati apa-apa, kecuali pemandangan remang-

remang dan sebatang pohon jati yang menjulang, rapuh, dan

sendiri.

“Ah, tak ada siapa pun! Mungkin, selama ini suara

tangisan perempuan itu hanya halusinasiku,” gumamku sedikit

menggerutu seraya melangkah menjauh dari sebatang pohon jati

itu. Aku menghela napas panjang. Aku ingin segera pulang

mencuci muka, tangan, dan kakiku. Kelelahan ternyata bisa

berakibat buruk pada pikiranku.

Malam makin temaram. Senyap. Aku menguap dan

membayangkan lelap di kasur kamarku. Aku benar-benar ingin

merebahkan tubuhku malam ini.

Mendadak suara tangisan perempuan itu hadir lagi ketika

aku menyalakan mesin motor. Sungguh, mendengar sayatannya

kali ini kurasakan kepiluan yang dalam. Suara tangisan

perempuan siapakah itu? Kenapa ia seolah mempermainkanku?

“Jangan membuatku penasaran!”

Aku tak membawa alat penyuluh. Mendadak sepatuku

basah oleh kubangan air setinggi mata kaki. Aku risih. Ini musim

kemarau, seharusnya tak ada genangan air di hutan dengan tanah

kering seperti ini!

“Itu bukan air sembarangan, Tuan.” Suara seorang

perempuan angkat bicara, saat aku masih sibuk membersihkan

sepatuku. Suara itu menggema. Aku tengok kanan-kiri. Tak

Page 87: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

87

seorang pun tampak. “Air itu merupakan air mata kesedihanku,”

lanjutnya.

Di manakah sumber suara perempuan itu bermuasal?

“Tuan, aku berada tepat di depanmu.”

Tubuhku gemetaran melihat keanehan malam itu. Aku

sungguh kaget, atau bisa jadi terpana karena melihat keajaiban

yang mencuat. Kulihat sebatang pohon jati memancarkan cahaya,

memiliki dua mata berwarna biru, lengkungan alis sempurna,

hidung mancung, serta daun telinga layaknya manusia. Sebatang

pohon jati itu adalah sosok perempuan yang berbicara barusan.

“Siapa sesungguhnya dirimu?” tanyaku menjauh

beberapa langkah, bersikap waspada. Pohon itu masih bercahaya.

“Aku adalah sebatang pohon jati yang sengsara, Tuan,”

Lelehan air matanya mengalir, membanjiri tanah.

“Mengapa kau menangis setiap malam? Apa kau tidak

lelah menangis setiap hari?”

“Semuanya ulah kaummu!”

***

Semenjak peristiwa ajaib malam itu, setiap malam aku

menyempatkan diri untuk bertandang ke hutan malam-malam

sepulang dari kampus. Aku makin penasaran pada perempuan

itu. Selalu kukatakan, “Berhentilah menangis.”

“Kalau seseorang sudah bersedih, apa ia sanggup

menahan air matanya agar tak keluar? Melawannya hanya akan

menyikasa diri sendiri, Tuan.”

Dia betul-betul perempuan yang menanggung kesedihan.

Sangat memprihatinkan.

“Tinggallah bersamaku,” pintaku padanya, “mungkin

dengan begitu berkuranglah kepedihan di hatimu. Aku akan

menghiburmu.” Aku berlagak seperti pahlawan.

Page 88: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

88

“Aku suka berada di sini dibandingkan harus ikut

bersamamu, Tuan. Aku bebas menangis sepanjang malam di

hutan ini,” tolaknya halus.

“Kau menakut-nakuti warga kalau terus-terusan

menangis. Lagian, kau hidup sendirian di hutan ini, bukan? Di

rumahku kau lebih aman. Percayalah.”

“Warga tak bisa mendengar tangisanku. Tuan harus tahu,

rumah sendiri itu selalu nyaman untuk ditempati segersang apa

pun.”

“Kau tak mau menerima bantuanku?”

Tiba-tiba tangisannya makin pecah, berderai-derai.

“Manusia sering berbuat kasar terhadap kaumku. Menebang

sembarang pepohonan. Tak jarang, mereka kerap berselisih

dengan kaum mereka sendiri. Saling membunuh!”

***

Hampir dua bulan aku mendekati perempuan itu, jelmaan

dari sebatang pohon jati yang kerap menangis setiap malam.

Setiap aku menemuinya, sebatang pohon jati itu berubah jadi

perempuan cantik. Berparas elok. Ia memiliki kekuatan aneh

yang tak dimiliki manusia biasa. Sebagai lelaki, aku tertantang

meluluhkan hatinya dan meredam tangisnya dengan berbagai

cara. Namun, entah mengapa lama-lama muncul luapan perasaan

aneh yang belum pernah kumengerti sebelumnya.

Ke mana pun kakiku melangkah, ada paras Ratih

Kumala−dua hari yang lalu ia mengenalkan namanya−melintas di

seputaran kepalaku. Ia seperti bukan lagi sebatang pohon jati. Ia

sosok perempuan yang memiliki sebuah perasaan halus nan

lembut. Aku selalu terbayang mata birunya, gaya bicaranya.

Apakah aku tertarik padanya? Mungkinkah aku sedang jatuh

cinta? Bodoh! Ia cuma sebatang pohon jati yang bersedih!

Page 89: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

89

Mana mungkin manusia bisa kawin dengan sebatang

pohon jati? Apa jadinya kalau ada kabar bahwa sebatang pohon

jati beranak pinak manusia dengan salah seorang mahasiswa.

Edan! Semua warga kampung akan menudingku tak waras, atau

malah mengusirku sambil berseru, “Kau mahasiswa

berpendidikan, seharusnya bisa menggunakan akal sehatmu!”

Oh, bukankah dulu juga pernah ada kisah perempuan dari

bangsa ikan mas yang menikah dengan lelaki dari bangsa

manusia? Ada juga, bukan, kisah seorang pemuda yang mati-

matian mencuri selendang bidadari karena telah membuatnya

terpesona?

Aku bingung dengan pikiranku sendiri.

***

Akhirnya Mala menerima tawaranku untuk tinggal

serumah bersamaku. Aku sungguh senang karena punya teman

bicara. Tidak sendiri dan kesepian lagi. Aku bisa berbagi kisah

dengannya. Tapi sayangnya ia masih sering menangis setiap

malam. Lama-lama aku kesal. Setiap kali aku menyuruhnya

berhenti, ia malah marah dan memberontak.

“Cukup, Mala! Hentikan tangismu! Kalau begini caranya,

kau membuat warga kampung terbangun!”

Kami pun bertengkar hebat meributkan sebuah tangisan.

Hati Mala merasa tersakiti dan memutuskan kembali ke

hutan jati supaya bisa menangis sejadi-jadinya tanpa merepotkan

orang lain. Ia meninggalkanku. Padahal malam itu belum genap

seminggu ia tinggal di rumahku. Perempuan terkadang sulit

ditaklukan.

Satu minggu kemudian, orang-orang meributkan suara

tangisan perempuan. Kadang mendengung-dengung, kadang

merintih-rintih, disertai sayatan pilu. Aku kaget mendengar

kabar itu dari mulut ke mulut. Tak salah lagi, itu tangisan Mala.

Page 90: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

90

Sikapnya kali ini kelewatan! Ia bisa membahayakan dirinya

sendiri.

“Kalau diputusin pacarnya, nggak perlu menangis

sekencang ini! Siapa sih perempuan itu?” tetanggaku membuka

pintu rumah sambil marah-marah. Hampir semua tetanggaku

kesal, membicarakan tangisan Mala. Aku diam di antara

kerumunan mereka di pos kamling. Berpura-pura tak tahu.

Tangisan itu memang keras terdengar. Mereka pun makin resah.

Malah kata Pak RT, tangisan itu juga melesat ke lingkup

kecamatan dan kabupaten. Di sana orang-orang berkumpul di

lapangan dan mengeluh tak bisa tidur karena ulah tangisan Mala.

Orang-orang masih meributkan tangisan Mala meski

malam sudah larut. Aku memilih pulang dan menghibur diri

dengan menyalakan tivi. Hebat! Tangisan Mala menjadi topik

utama di berbagai stasiun tivi. Tangisan itu seperti tusukan

dahsyat yang menusuk telinga orang banyak.

Tak hanya di tivi, esok paginya tangisan itu menjadi Hot

Topic di majalah dan koran nasional. Warga mengadu ke

pimpinan mereka supaya menghentikan rintihan tangisan itu

segera. Kades pun melapor ke Camat untuk mencari tahu siapa

perempuan asing yang menangis itu. Camat ke Bupati, Bupati ke

Gubernur, dan seterusnya, hingga ke pangkuan Menteri dan

Presiden.

“Kalau tangisan itu tak berhenti, bumi Indonesia akan

banjir air mata melebihi banjir bandang yang meluap ke kota-

kota atau serupa sunami yang bisa meluluhlantahkan Aceh,” kata

salah seorang Menteri kepada Presiden dalam rapat.

***

“Aku akan terus menangis setiap malam, Tuan,” katanya

padaku di hutan tempat pertama kali kita bertemu. “Kau tak

perlu meminta maaf. Kau tak salah.”

Page 91: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

91

Sungguh, aku ingin menghiburnya. Ia nampak sangat

kasihan.

“Sudahlah, Tuan. Kau tak bisa memaksaku berhenti

menangis. Selama pembalak liar itu masih berkeliaran dan

bertindak bodoh di hutan Temayang, Dander, Bubulan, dan

Clebung ini, menghancurkan kaumku seenaknya saja, aku akan

terus menangis. Setiap malam, sepanjang malam.”

Aku telah gagal meredam tangisnya.

Dari kejauhan, lampu-lampu sudah menyoroti tubuhku.

Dengan mata mengerjap, kulihat ada beberapa motor dan mobil

dinas milik orang-orang penting, yang saling berdatangan.

Mereka akhirnya menemukan sumber tangisan perempuan itu.

“Asal kau tahu, Tuan. Akulah yang selama ini masuk

dalam mimpimu. Kau orang pertama dari bangsa manusia yang

tahu kalau ada sebatang pohon jati yang bisa menangis. Aku

percaya Tuan orang baik dan berpendidikan. Sekarang,

semuanya kuserahkan pada Tuan bagaimana bersikap kepada

mereka.”

Aku berdiri tak bergeming menghadapi semua ini. Seperti

sebuah mimpi. ***

Ngaliyan, Januari 2014

Saifu Ali, lahir 11 September 1990 di Desa Sembung

Kecamatan Kapas Bojonegoro, Jawa Timur. Setelah tamat

dari MA “Abu Darrin” Bojonegoro, ia mendapat beasiswa

dari Kementerian Agama untuk Kajian Keislaman di

Fakultas Ushuluddin Program Khusus (FUPK) Jurusan

Tasawuf dan Psikoterapi IAIN Walisongo Semarang. Saat

ini masih menyandang status mahasiswa semester akhir.

Page 92: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

92

Mulai (harus) menulis cerpen dan puisi sekitar tahun

2010-an. Cerpen pertama yang terbit di media: Kucing

Perempuan (Radar Surabaya, 2013).

Penulis bisa dihubungi melalui e-mail:

[email protected], FB: Saifu Ali, Twitter: @SaifuAli

atau blog: saifuali.blogspot.com.

Page 93: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

93

Jimat Lek Darkum Cerpen karya Yazid Muttaqin

Sejak seminggu yang lalu warga kampung Tegalglagah

mendadak geger. Mereka dikejutkan dengan berita kecelakaan

dahsyat yang menimpa Lek Darkum. Laki-laki empat puluh lima

tahun yang sehari-harinya mengayuh becak sebagai mata

pencaharian itu dihantam sebuah truk tronton dari arah

belakang. Lek Darkum terpental keras dari becaknya, limbung,

lalu menghantam bagian belakang bus yang berhenti mendadak

karena ada penyeberang jalan yang maen serobot. Tak berhenti

sampai di situ. Begitu kerasnya hantaman tubuh kerempeng Lek

Darkum pada bagian belakang bus itu menjadikannya kembali

terpental dan menghantam bagian depan truk tronton yang tadi

menabraknya.

Seisi kampung merinding mendengar dan

membayangkan kecelakaan maut itu. Karuan saja dalam

seminggu ini kejadian nahas itu menjadi buah bibir paling hangat

yang selalu dibicarakan bukan saja oleh orang kampung

Tegalglagah tapi juga masyarakat luas di daerah-daerah lain.

Media massa cetak dan elektronik lah yang memiliki andil paling

besar dalam penyebaran berita besar itu.

Tetapi sebetulnya, ada satu hal yang paling menjadi

sorotan orang-orang dari kejadian itu. Meski tubuhnya beberapa

kali dihantam dan menghantam dua kendaraan besar, tapi Lek

Page 94: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

94

Darkum selamat tanpa luka sedikit pun. Tak ada darah mengalir

dari dalam tubuhnya, tak ada tulang yang patah. Semua baik-baik

saja. Bahkan sesaat setelah tubuh Lek Darkum tergolek di aspal

ia bisa segera bangkit layaknya orang baru bangun tidur. Lalu

segera ia mencari becaknya yang ternyata sudah ada di pinggir

jalan, pun nyaris tanpa kerusakan.

Sangat aneh. Inilah yang menjadikan peristiwa miris itu

tak henti-hentinya dibicarakan banyak orang. Bahkan keanehan

itu seakan dianggap sebagai berita utama dari pada kecelakaan

itu sendiri.

Dan umumnya orang ngerumpi pokok berita pun mulai

berkembang, meluas, serta bergeser pada hal-hal yang bisa jadi

tak ada kaitannya dengan pokok berita yang sesungguhnya.

Bahkan rasa simpati dan kasihan pada Lek Darkum yang pada

awalnya menghiasi setiap perbincangan mereka, kini seakan

bergeser pada rasa curiga. Seperti perbincangan yang terjadi

sore tadi di warung kopi Yu Kamilah.

“Nggak mungkin kalo Lek Darkum itu polosan,” kata Kang

Busro sambil sedikit melirik ke arah Mas Pi’i yang sedang

menyruput kopi panasnya.

“Polosan bagaimana, Kang?” Pakde Dar ngga mudheng.

Usai menyulutkan api ke kreteknya Kang Busro

menjelaskan penuh semangat, “Pakde, nggak mungkin Lek

Darkum itu polosan, nggak punya simpanan apa-apa. Logikanya

orang ditabrak kendaraan besar lalu terpental berulangkali itu

pasti mati. Lah ini, boro-boro mati, luka sedikit saja ngga. Ini pasti

karena Lek Darkum punya simpanan, punya senjata rahasia yang

tak kasat mata.”

“Iya, yah. Benar juga sih,” Pakde Dar mulai dong dan

terpancing menyetujui pemikiran Kang Busro.

“Aku juga berpikir begitu,” Mas Pi’i menimpali.

Page 95: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

95

“Nah, kan.” Kang Busro segera menyahut, merasa ada

yang sepemikiran.

“Coba kita lihat,” Mas Pi’i mulai berkata serius. Rokok

kretek yang sedari tadi dijepit dengan dua jarinya kini ditaruh di

atas pising cangkir kopinya.

“Kalo kita cermati akhir-akhir ini seperti ada yang aneh

dengan Lek Darkum.”

“Aneh bagaimana, Mas?” Pakde Dar menyela bersamaan

dengan Yu Kamilah yang diam-diam dari tadi nguping

pembicaraan para pelanggannya.

“Coba kalian lihat kehidupan Lek Darkum dalam kira-kira

dua bulanan ini. Seminggu sebelum kecelakaan maut itu anak Lek

Darkum yang kecil kan kena demam berdarah. Ia dirawat di

rumah sakit swasta mewah karena saat itu rumah sakit daerah

sudah penuh. Lalu sebelumnya lagi becak Lek Darkum kan hilang

dicuri orang di pasar. Tiga hari kemudian ia sudah bisa membeli

becak baru. Sebelumnya lagi, kalian lihat sendiri kan ia membeli

kulkas dan seperangkat kursi tamu yang cukup bagus. Juga hal-

hal lain yang rasanya ganjil dilakukan Lek Darkum. Coba kalian

pikir dari mana uang untuk semua itu. Berapa sih penghasilan

tukang becak setiap harinya. Paling-paling cukup buat makan

saja.”

Pakde Dar, Kang Busro, dan Yu Kamilah manggut-

manggut, seperti membenarkan fakta yang disampaikan oleh Mas

Pi’i. Sejenak semuanya terdiam, hingga tiba-tiba Yu Kamilah

berbicara, “Satu lagi, Mas.” Yang lain terperangah. “Apa, Yu?”

Kang Busro mengejar. Segera Yu Kamilah melengkapi ucapannya,

“Marni, istrinya Lek Darkum, kan dari dulu kena penyakit asma,

yang sangat sering kambuh. Lah sudah kira-kira tiga bulanan ini

kok aku belum pernah dengar kabar kalo penyakitnya itu

kambuh ya. Apa sudah sembuh ya?”

Page 96: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

96

Ketiga pelanggan Yu Kamilah cuma manggut-manggut.

Bersamaan ketiganya menyruput kopinya yang sudah mulai

dingin.

“Jadi kalau memang benar begitu,” Kang Busro angkat

bicara, “sepertinya apa yang dicurigai masyarakat ada benarnya

juga. Orang-orang pada mengira kalau Lek Darkum itu punya

jimat atau pesugihan.”

“Kalau sekedar jimat sih ngga masalah, Kang. Tapi kalau

yang dipunyai itu pesugihan?” Pakde Dar menimpali.

“Iya, ya.” Mas Pi’i menimpali, “kalau sekedar jimat yang ia

punya, paling-paling itu akan memberi kesenengan pada Lek

Darkum dan keluarganya. Tapi kalau yang ia punya itu pesugihan

kita bisa jadi kena getahnya, kan? Kita bisa jadi korbannya.”

***

Lek Darkum duduk seorang diri di emperan rumahnya

yang tak besar. Hanya ditemani segelas kecil teh tubruk pahit

kesukaannya. Sesekali ia menyapa orang-orang yang lewat di

depannya. Rumahnya tepat di pinggir jalan utama kampung yang

teduh dinaungi banyak pohon asem berumur tua.

Tak berapa lama datang Wa Kaji Roup seorang diri. Laki-

laki lima puluh tahun itu adalah satu-satunya orang kaya di

kampung Tegalglagah. Tidak hanya paling kaya, ia juga satu-

satunya orang yang telah berhaji dan paling dituakan oleh

masyarakat. Mereka biasa memanggilnya Wa Kaji.

Setelah cukup berbasa-basi Wa Kaji mulai mengutarakan

maksud kedatangannya.

“Begini Lek Darkum. Terus terang saya datang ke sini

selain kemauan pribadi juga sebagai wakil dari warga kampung.”

Lek Darkum tersenyum. Wa Kaji menangkap sebuah

isyarat.

Page 97: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

97

“Sepertinya sampean sudah tahu maksud saya?” Ia

mencoba menebak.

“Soal jimat itu kan, Wa?” Lek Darkum ganti menebak.

“Wa Kaji ke sini mau mencari tahu tentang kebenaran

berita yang tersebar di masyarakat bahwa saya punya jimat atau

pesugihan yang menjadikan saya tidak mati dihantam truk dan

bus, yang menjadikan saya bisa beli peralatan rumah tangga

mewah, yang menjadikan keluarga saya hidup di atas layaknya

seorang tukang becak. Begitu, Wa?” datar Lek Darkum

mengatakan.

“Betul, Lek. Saya rasa sampean sudah dengar desas-desus

itu. Saya pikir ngga baik kalau orang-orang pada ngrasani sesuatu

yang belum jelas jluntrungnya. Makanya saya ke sini untuk minta

penjelasan pada sampean apa sebenarnya yang terjadi, biar nanti

saya sampaikan kepada warga. Begitu, Lek.”

Lek Darkum terdiam. Nafasnya memberat.

“Wa Kaji,” ia mulai bicara, masih dengan datar, “sebodoh-

bodohnya saya, lebih-lebih dalam masalah agama, saya masih

punya dan menyembah Tuhan, menyembah Gusti Allah. Na’udzu

billah kalau saya punya pesugihan, jangan sampai. Lebih baik

saya hidup mlarat, apa adanya, dari pada saya menumpuk harta

dengan jalan yang haram.”

Wa Kaji Roup hanya diam sambil manggut-manggut

memahami perkataan Lek Darkum. Di pandangnya laki-laki

kerempeng itu. “Lah kalau soal jimat, Lek?” Ia menyelidik.

Lek Darkum tersenyum, lalu sedikit terkekeh.

“Wa Kaji lihat pohon asem blimbing itu?” Ia menunjuk

pada sebuah pohon asem blimbing yang tumbuh di pojok

pelataran depan rumahnya. Mata Wa Kaji Roup mengikuti jari

Lek Darkum ke arah pohon asem blimbing itu.

“Kenapa dengan pohon itu, Lek?”

Page 98: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

98

“Itu jimat saya, Wa.” Lek Darkum menjawab singkat, lalu

terkekeh.

Wa Kaji Roup terperangah.

“Sampean nggak bercanda, kan? Sampean serius?”

Lagi-lagi Lek Darkum terkekeh. “Lah ya saya serius, Wa.

Pohon itu memang jimat saya.” Lek Darkum meyakinkan Wa Kaji

Roup, bibirnya masih mengulas senyum sisa kekehannya.

“Jadi benar apa yang dikatakan warga kalau sampean

punya jimat?”

Lek Darkum tak menjawab. Ia memilih diam. Raut

mukanya terlihat memberat. Ada yang ia cari dalam memori

otaknya. Wa Kaji Roup ikut terdiam.

“Wa Kaji boleh percaya boleh tidak,” Lek Darkum mulai

bicara.

“Pohon asem blimbing itu saya tanam sejak lima belas

tahun yang lalu. Kala itu saya niati kalau satu saat nanti pohon ini

tumbuh menjadi besar dan berbuah maka siapapun boleh

mengambil buahnya tanpa harus meminta ijin pada saya atau

keluarga saya. Saya tanam pohon itu dengan niatan untuk

sedekah pada siapapun. Ternyata setelah pohon itu besar

buahnya sangat lebat dan seakan tak ada hentinya. Orang-orang

kampung pada mengambil untuk kebutuhan mereka masing-

masing. Bahkan istri Wa Kaji juga sering kan mengambilnya

kalau Wa Kaji minta dibuatkan sayur asem. Katanya buah asem

milik saya ini rasanya seperti agak berbeda dengan buah asem

pada umumnya.

“Hingga kira-kira lima bulan yang lalu, saat tengah malam

dengan hujan yang cukup besar, pintu rumah saya diketok

seseorang yang tak dikenal. Ia meminta ijin untuk mengambil

buah asem blimbing yang di pohon itu. Katanya untuk istrinya

yang sedang hamil 2 bulan. Istrinya ngidam pengin banget makan

Page 99: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

99

asem blimbing. Ia sudah mencoba memenuhi permintaannya

dengan membeli di warung-warung, pasar dan di mana saja ada

penjual sayuran. Tapi istrinya selalu menolak. Katanya buah

asem yang ia bawa nggak enak, padahal sedikitpun si istri belum

mencicipinya. Sampai satu saat ada seorang teman yang

menawari buah asem dan si istri langsung mau memakannya.

Teman itu memberi tahu bahwa asem itu dari pohon yang ada di

pekarangan rumahku.

“Malam itu sang istri kembali ngidam pengin makan buah

asem blimbing dan harus dari pohon itu. Meski tengah malam

dan hujan sangat besar sang suami menyanggupi permintaan

istrinya. Ini ia lakukan karena begitu bahagianya sang istri bisa

hamil setelah sepuluh tahun lamanya belum hamil sejak mereka

menikah.

“Sesampai di depan rumah saya ia tak mau langsung

mengambil buah asem itu. Ia merasa perlu meminta ijin agar

buah yang ia ambil dan akan dimakan istrinya benar-benar buah

yang halal dan berkah. Maka ia ketok pintu rumahku, meminta

ijin, lalu mengambil secukupnya buah asem itu. Kepadanya

sempat saya pesan, bila satu saat membutuhkan lagi, kapanpun

waktunya silakan ambil saja buah itu tanpa harus meminta

ijinku. Semuanya halal, baik dan berkah.

“Saat tamu itu hendak pulang ternyata mobilnya mogok

dan sama sekali tak bisa jalan. Maka saya tawarkan untuk

mengantarnya pulang dengan becak. Saya antar ia ke rumahnya

yang berjarak lima kilo dari sini.

“Ia sangat berterima kasih atas kebaikan itu. Bahkan di

hadapan saya, dengan jelas ia mendoakan agar kehidupanku dan

keluargaku diberi kemudahan dan keberkahan oleh Allah

sebagaimana aku telah memberikan kemudahan kepadanya.

“Pagi harinya saat saya mangkal di pasar seorang

penumpang minta di antar pulang ke rumah. Ternyata ia

Page 100: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

100

tetangga laki-laki yang semalam meminta buah asem itu. Dari

penumpang itu saya tahu bahwa laki-laki itu adalah seorang yang

kaya raya namun tidak sombong. Ia sangat rendah hati dan

santun kepada siapapun, suka menolong dan membantu para

tetangga, selalu shalat berjamaah di masjid dan banyak kebaikan

lainnya. Karenanya ia sangat disegani oleh masyarakat di sana.

Mendengar kisahnya diam-diam hati saya merasa sangat senang.

Saya rasa laki-laki itu adalah orang yang dekat dengan Tuhan.

Jadi saya berharap doanya semalam benar-benar di dengar dan

dikabulkan oleh Tuhan.

“Dan cerita yang disampaikan penumpang becakku itu

ternyata memang benar. Laki-laki itu benar-benar dermawan.

Dia lah yang membayar semua biaya rumah sakit saat anakku

kena demam berdarah. Dia juga yang membelikan kulkas, kursi

tamu, dan peralatan rumah lain tanpa sepengetahuan saya. Dia

juga yang membelikan becak baru waktu becak saya hilang di

pasar.”

Lek Darkum berhenti bicara. Wa Kaji Roup manggut-

manggut. Baginya mulai ada titik terang tentang gosip yang

sedang hangat beredar di seantero kampung. Tiba-tiba dia

menoleh cepat ke arah Lek Darkum.

“Kalau soal kecelakaan maut itu?” Ia bertanya tajam.

“Saya juga nggak tahu, Wa. Saya juga nggak percaya kalau

saya ditabrak dan dihantam truk dan bus tapi masih bisa hidup,

bahkan badanku benar-benar wutuh tanpa lecet sedikitpun. Jadi

jangankan orang-orang kampung, aku saja yang mengalami

sendiri sampai sekarang masih ngga ngerti mengapa bisa begitu.”

Keduanya terdiam cukup lama. Tiba-tiba mata Lek

Darkum tertuju pada seekor kecoak yang lewat di depannya. Ia

bergumam, “Subhanallah.”

Wa Kaji Roup yang mendengar gumaman itu terheran.

“Kenapa, Lek?”

Page 101: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

101

“Kecoak itu, Wa Kaji,” Lek Darkum berseru.

“Apa maksudmu? Ada apa dengan kecoak itu?” Wa Kaji

tambah tak mengerti.

Lek Darkum menarik nafas dalam-dalam, lalu

membuangnya dengan kuat.

“Tak tahulah, Wa. Allahu a’lam. Hanya Allah yang tahu

sesungguhnya. Tapi kurasa kecoak itu lah yang menjadikanku

tetap hidup dalam kecelakaan maut itu.”

Wa Kaji Roup semakin tak mengerti.

“Wa Kaji, di rumah saya ini banyak kecoaknya. Saya

sering mendapati kecoak-kecoak itu terbang atau berjalan lalu

terjatuh di lantai dengan tubuh terbalik. Kakinya bergerak-gerak

seakan berusaha keras untuk membalikkan tubuh agar dapat

berjalan kembali. Melihatnya saya selalu kasihan. Maka saya raih

tubuh kecoak itu, lalu saya balikkan badannya dan saya taruh

dengan posisi yang benar hingga ia bisa berjalan lagi. Saat saya

melakukan hal itu hati saya selalu berbisik, ya Allah, sebagaimana

aku bangkitkan kembali mahluk-Mu ini karena kasih sayangku

agar ia bisa tetap hidup, maka bangkitkan pula aku saat aku

terpuruk agar aku bisa tetap hidup dengan kasih sayang-Mu.

Perilaku demikian sudah aku lakoni bertahun-tahun sampai saat

ini.”

Sejenak Lek Darkum terdiam.

“Itu Wa Kaji. Itu jimat saya kalau sampean dan warga

kampung Tegalglagah ini percaya. Itu jimat saya yang

menjadikan kehidupan keluarga saya serasa aneh seperti

dikatakan oleh mereka. Bahkan bukan dalam dua tiga bulan

terakhir saja keanehan itu aku alami. Tapi sudah tahunan. Saya

memang nggak punya uang banyak. Sampean tahu lah berapa

penghasilan tukang becak. Tapi saya sangat bersyukur setiap

kebutuhan keluarga saya selalu dapat terpenuhi. Saat keluarga

Page 102: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

102

saya butuh sesuatu ndilalah kok ya ada saja rejeki untuk

memenuhinya.”

“Mengapa kau lakukan semua itu, Lek? Siapa yang

mengajarimu tentang jimat itu?” Wa Kaji Roup menyelidik.

“Bapak saya, Wa. Dialah yang mengajari saya untuk

berusaha menjadi orang yang banyak memberi manfaat bagi

orang lain, dalam bentuk apapun, sekecil apapun. Dia yang

mengajari saya untuk selalu berbagi kasih sayang dengan sesama

makhluk. Katanya, bila kita menyayangi makhluk yang ada di

bumi ini, maka penghuni langit akan menyayangi kita. Ia juga

mengajariku, bila saya tak mampu melakukan tirakat dengan

berpuasa dan shalat malam sebagaimana lazim dilakukan orang-

orang alim, maka cukuplah aku bertirakat dengan membiarkan

seekor lalat menikmati makanan dan minumanku, memberi

kehangatan bagi anak kucing yang kedinginan, mengikhlaskan

gabah yang sedang kita jemur dimakan oleh ayam, atau dengan

penuh rasa sayang membalikkan tubuh kecoak yang terbalik tak

mampu kembali berbalik untuk berjalan.”

Sekali lagi Wa Kaji Roup hanya terdiam sambil kepalanya

manggut-manggut. Matanya lurus memandang ke arah pohon

asem blimbing, jimat Lek Darkum itu.***

Tegal, 8 Ramadhan 1431 H/2010

Yazid Muttaqin, tinggal di JL. KH. Iskhak RT 3 RW III

Kota Tegal.

Page 103: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

103

Catatan Mewah Senja di Joglo 15

Esai Yosi Wulandari

Botol-Botol Berisi Senja mulanya menemui saya dengan indah

kata yang tersusun rapi berpadu dengan rajutan makna. Lalu,

perkenalan itu mulai menjadi lebih dekat setelah mozaik-mozaik

dari gulatan rasa anak manusia mengajak saya mengenalnya.

Perjalanan alam pikir dan rasa pun mulai bergerak dengan

sangat giat, rasanya waktu seolah dibiarkan saja berhenti sejenak

hingga saya kembali setelah perkenalanan ini selesai.

Pertemuan dengan gulatan rasa itu mengajak saya

mengenal dua belas cerpen beresensi senja. Setiap kisah sengaja

dikemas rapat dalam sebuah botol bening lalu dibiarkan

tergeletak pada senja. Dengan esensinya, senja menjadi semakin

megah lewat rona yang memikiat dan selalu dinanti.

Namun, dibalik kagum ada rasa yang mengiba tentang

sastra. Kita bisa sejenak menyadari tentang gelisahan para

pemerhati sastra sehingga berbagai kelompok pencinta sastra

pun hadir memberikan berbagai upaya. Lalu, seberapa besar

upaya itu telah memberikan perubahan bagi karakter

bangsa?Jangan sampai karya terus tercipta namun sebatas

pemenuh rak-rak yang kadang jenuh tak tersentuh.

Sosok H.B Jassin menjadi semakin dirindui untuk diajak

menyimak rintihan sastra masa kini. Sastra masih dirasakan

bergairah pada penikmatnya, sementara bagi sekelompok besar

Page 104: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

104

lain, sastra hanyalah karya yang tidak berarti. Sehingga tak salah

sastrawan zaman sekarang yang terkenal masih dalam hitungan

jari. Padahal kita sama-sama setuju banyak sekali sastrawan

muda yang berkarya namun tidak terlihat. Nama-nama yang

selalu muncul masih beraroma masa lalu, padahal kegentiran

untuk masa kini jauh lebih kompleks dan perlu kita ajak

masyarakat menyadarinya sehingga bukan oase hati saja yang

dibiarkan lama mengendap.

Joglo 15 merupakan salah satu rintisan yang saya anggap

upaya yang bermagnet kegelisahan. Metamorfosa kisah dan nilai

yang terjadi pada zaman globalisasi ini bak embrio-embrio yang

siap dibentuk menjadi kisah yang hidup. Dua belas gelutan rasa

ini saya deskripsikan seperti tajuk yang muncul di arena

pencarian jati diri. Masing-masing pengarang menyuguhkan

kekuatan masing-masing dalam perajutan kata atau pun

penyarian makna. Kelindan yang muncul berbau kritikkan

tentang kehidupan dewasa ini pun terasa cukup kental.

Selain itu, Joglo15 pun hadir menawarkan sebuah

ramuan sederhana pada kita. Lewat kisah-kisang singkat kita

terkadang diajak merenung cukup lama, bahkan kadang perlu

mengulangi kembali karya itu ditelusuri agar mendapatkan

makna yang sengaja disimpan begitu rapi. Terkadang diksi pun

sengaja bergaya menampilkan eksotis majas sebagai penambah

keelokkan rupa yang cukup berharga disebut karya sastra.

Jika kita lihat mozaik ini satu persatu akan ditemui nada

tanpa suara yang kadang membuat kita menjadi takut, jijik, kesal,

lucu, bingung, bahkan sedih. Segala rasa itu akan mengantarkan

kita menemui bungkahan-bungkahan energi positif untuk bisa

berbenah. Berbenah dengan memandang ke dalam diri atau pun

menjadi relawan sastra yang siap berbagi untuk Indonesia.

Alice (not) In A Wonderland sekeping mozaik milik Ana

Sue hadir dengan begitu memikat, penokahan dengan kata ganti

Page 105: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

105

“Kau” memberikan unsur yang menarik sehingga ada nuansa

dengan karya umum. Mozaik ini pada dasarnya memiliki tema

yang sederhana namun penulis berhasil meramunya dengan

pilihan diksi dan imajinasi yang hebat sehingga pesan

disampaikan dengan elegan. Namun, penggunaan bahasa Inggris

di dalam mozaik sedikit memunculkan perkiraan akan

ketidakpercayaan terhadap keindahan kosa kata yang kita miliki.

Saya pikir ini perlu menjadi catatan penting untuk diperhatikan

para penulis muda.

Kisah selanjutnya akan mengajak kita larut bersama

pengarang dengan kisahnya. Kisah yang cukup kompleks terasa

begitu rumit sehingga terkadang bisa menimbulkan kejenuhan.

Namun, bagi yang ingin menemui kehidupan keluarga kisah ini

bisa menggelitik berbagai problematika kehidupan keluarga.

Mozaik Kisah tentang Kau dan Frangipani karya Astuti Parengkuh

ini pun memakai penokahan dengan kata ganti “Kau” dengan

alasan tersendiri dalam menyuguhkan pemaknaan terhadap

cerita. Dengan demikian, pembaca pemula dianggap akan

kesulitan menemui makna secara cepat membaca cerpen ini.

Sari Awan dalam kisah selanjutnya pun kaya dengan

keabsurdan. Absurd menjadi ciri sendiri yang dihadirkan untuk

penamaan tokoh yang sengaja atau pun tidak akan memberikan

karakter pada tokoh. Gaya seperti ini akan menyajikan

kemewahan apabila mampu dikemas dengan lebih jelas lagi

sehingga pembaca tidak merasa bingung mengambil makna dari

maksud kita yang ditampilkan. Perlu kita catat, sesederhana apa

pun tema tetap akan menghasilkan karya yang mewah jika ada

nilai yang ingin disampaikan dengan santun.

Bunga Henung Maulidina hadir dengan potret kehidupan

yang tidak susah dicari acuannya. Imajinasi dan nilai yang

disampaikan pun cukup mampu mengajak pembaca berpikir dan

berargumen bahwa sikap seperti itu “salah” atau sebagainya.

Page 106: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

106

Metafora daun dalam cerita menjadi selaras ketika mozaik ini

diberi judul Daun yang berbicara.

Hal senada juga dicoba diajak Danang Febriansyah, yaitu

sekeping kisah yang begitu akrab dengan masyarakat Indonesia,

miskin, ingin sekolah, menggali pasir, keinginan besar untuk

bersekolah, lalu bencana yang sudah menjadi langganan, dan

korban akibat tidak adanya keamanan untuk pekerja penggali

pasir. Kisah singkat berjudul Penggali Pasir ini mampu

menggugah perasaan pembaca lewat kelihaian pengarang

mempermainkan kata dan alur yang tidak biasa.

Kisah milik Gatot Prakosa hadir dengan judul Gajahoying,

kisahnya terkadang mengundang tawa namun menyimpan

kritikkan yang anggun untuk realita yang terjadi di negeri ini.

Kisah yang lebih memaparkan mengenai sikap dan pekerjaan

terasa begitu kental lewat pergolakkan batin tokoh utama. Kisah

ini pun sengaja mengingatkan kita bagaimana nasib para pencari

kerja yang “katanya” dijamin oleh negara. Masih sebuah

kegelisahan terhadap perhatian pemerintah untuk masyarakat.

Keabsurdan kembali ditampilkan lewat mozaik Hardi

rahmat, Kota Cahaya, permainan kata dan imajinasi terasa begitu

kuat. Meski sengaja meminta pembaca menginterpretasi dengan

pemaknaan yang ambigu kisah ini hadir dengan penanaman-

penanaman sikap baik, ada moral yang dikemas lewat kisah demi

kisah di sini. Kemudian, Risalah Cinta Sahara mozaik milik Kalis

Mardi Asih ini merupakan potret kisah sederhana bahkan tidak

baru bagi pembaca. Namun kemanisannya membentuk karakter

tokoh dengan deskripsi yang kuat menunjukkan keunggulan

pengarang dalam berkisah.

Mozaik Mawardi D. Mas di Joglo 15 ini tidak hanya

mampu menyuguhkan kisah yang memancing emosinoal

pembaca, judul Botol-botol Berisi Senja pun dianggap menjadi

judul yang bisa mewakili segala kisah dalam antologi ini.

Page 107: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

107

Kelihaian dalam alur dan perwatakan tokoh menjadi keunggulan

yang menghadirkan makna yang mewah untuk disampaikan

kepada pembaca.

Sepasang Jam Tua yang Merindukan Keabadian mozaik

Muhammad Izzat Abidi dan Sebatang Pohon Jati yang Menangis

Setiap Malam mozaik milik Saidul Ali memiliki kesamaan dalam

penggambaran tokoh. Meski memiliki makna yang berbeda

dalam kisah yang hendak disampaikan, penokohan yang

mengajak benda dan pohon hadir serta ikut menghiasi makna

cerita menjadi suguhan yang bisa diterima. Perumpaan yang

disajikan begitu rapi sehingga kemustahilan dalam cerita

menjadi tertutupi sehingga maksud yang ingin disampaikan pun

tidak sulit diterima pembaca.

Sebagai penutup kisah-kisah anggun tentang kegelisahan

kehidupan ini, Yazid Muttaqin lewat mozaik Jimat Lek Darkem

berhasil menggugah rasa dengan kejutan-kejutan alur dalam

ceritanya. Kesederhanaan latar dan penokohan yang dirajut

dalam kata demi kata mampu menyadarkan kita tentang hal kecil

yang kadang terlupakan. Mozaik ini suguhan penutup yang

manisnya pas untuk pembaca yang hidup di zaman penuh

dengan lautan keegoan manusia.

Saat ini, mozaik itu telah disusun dengan rapi dalam satu

maksud, masihkah kita berdiam jika rasa sudah lelah menahan

gelisah? Antologi cerpen Joglo 15 Botol-botol Berisi Senja ini

adalah sentuhan yang bersama-sama menyampaikan gejolak rasa

tentang berbagai permasalahan kehidupan yang nyata dihadapan

kita. Namun demikian, segala kritikan mewah ini bukanlah

krtikian yang sengaja disusun untuk didiamkan dalam susunan

rak. Jadi, menjadi relawan sastra pun adalah hal selanjutnya yang

perlu kita lakukan bersama lewat Joglo atau pun lewat langkah

lain dan pada arena lain. Salam Cinta untuk Sastra Indonesia,

Page 108: Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 15 Botol ...

108