SENAM VITALISASI OTAK TIDAK MEMBERI MANFAAT SIGNIFIKAN TERHADAP PENINGKATAN STABILITAS PERGELANGAN KAKI PADA PEREMPUAN DEWASA MUDA Weeke Budhyanti Akademi Fisioterapi Universitas Kristen Indonesia Jl. Mayjen Sutoyo, Cawang, Jakarta Timur 13630 021-8092425 ext 381 [email protected]ABSTRACT Objective: to know the benefits of brain gym to the stability of the ankle in young adult women. Sample: consists of 15 people aged 19-29 years and were selected by purposive sampling technique. Methods: A quasi-experimental to find out the benefits of gymnastics vitalization of the brain to increase the stability of the ankle in young adult women. Data’s normality tested by the Kolmogorov-Smirnov statistical analysis. Results: Using the Wilcoxon test statistic P value obtained was 0.12 while P <α (α = 0.05) meanings that the increase of ankle stabilization period by brain gymnastics were not significant. Conclusion: There was no significant increase in the stability of the ankle through the vitalization of the brain gymnastics.
20
Embed
SENAM VITALISASI OTAK TIDAK MEMBERI MANFAAT SIGNIFIKAN TERHADAP PENINGKATAN STABILITAS PERGELANGAN KAKI PADA PEREMPUAN DEWASA MUDA
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
SENAM VITALISASI OTAK TIDAK MEMBERI MANFAATSIGNIFIKAN TERHADAP PENINGKATAN STABILITASPERGELANGAN KAKI PADA PEREMPUAN DEWASA
MUDA
Weeke BudhyantiAkademi Fisioterapi Universitas Kristen IndonesiaJl. Mayjen Sutoyo, Cawang, Jakarta Timur 13630
ABSTRACTObjective: to know the benefits of brain gym to the stability of the ankle in young adult women.Sample: consists of 15 people aged 19-29 years and were selected by purposive samplingtechnique. Methods: A quasi-experimental to find out the benefits of gymnastics vitalization ofthe brain to increase the stability of the ankle in young adult women. Data’s normality tested bythe Kolmogorov-Smirnov statistical analysis. Results: Using the Wilcoxon test statistic P valueobtained was 0.12 while P <α (α = 0.05) meanings that the increase of ankle stabilization period bybrain gymnastics were not significant. Conclusion: There was no significant increase in thestability of the ankle through the vitalization of the brain gymnastics.
ABSTRAKTujuan Penelitian: untuk mengetahui manfaat dari senam vitalisasi otak terhadap nilai stabilitaspergelangan kaki pada perempuan dewasa muda. Sampel: terdiri dari 15 orang berusia 19-29tahun dan dipilih berdasarkan teknik purposive sampling. Metode: Merupakan jenis penelitianquasi eksperimental untuk mengetahui manfaat senam vitalisasi otak untuk meningkatkanstabilitas pergelangan kaki pada perempuan dewasa muda. Untuk uji normalitas menggunakananalisa statistik Kolmogorov-Smirnov. Hasil: Menggunakan uji statistic Wilcoxon didapatkannilai P adalah 0.12 dimana P < α (α = 0.05) yang bermakna peningkatan nilai rentang waktustabilisasi pergelangan oleh senam vitalisasi otak tidak signifikan. Kesimpulan: Tidak terjadipeningkatan yang signifikan pada stabilitas pergelangan kaki melalui senam vitalisasi otak.
PendahuluanStabilitas pergelangan kaki adalah interaksi antara mekanisme statis dan dinamis.
Pada individu yang lahir normal tanpa kelainan kongruensi tulang atau gangguan
ligamen, instabilitas dapat terjadi akibat beberapa hal. Pada perempuan muda, terjadinya
instabilitas dapat terjadi tanpa inisiasi cedera karena mekanisme mekanoreseptor dan
aktivasi neuromuskular yang berbeda serta adanya kecenderungan joint laxity secara
normatif.
Instabilitas fungsional pergelangan kaki secara empiris ditemukan membuat
banyak perempuan muda mengeluhkan kakinya “selip” atau “terpeleset” tanpa penyebab
yang jelas. Pada tuntutan aktifitas yang lebih tinggi, instabilitas fungsional meningkatkan
resiko cedera pergelangan kaki, sebagaimana yang terjadi pada atlet perempuan.
Latihan untuk meningkatkan input propriosepsi, mengaktivasi sistem
neuromuskular dan mere-edukasi postur dibutuhkan untuk memperbaiki kondisi ini.
Latihan propriosepsi dan aktivasi sistem neuromuskular pada prinsipnya adalah latihan
yang dilakukan pada berbagai arah dan kecepatan gerak, sehingga akan menimbulkan
stimulus pada mekanoresptor; dan dalam tempo yang lambat, sehingga memberi
kesempatan kepada nuclei subkortikal memberi umpan balik kepada CPG; dan pada
gilirannya mere-edukasi sistem neuromuskular untuk terjadinya aktivasi ko-kontraksi
yang benar. Senam vitalisasi otak memenuhi kebutuhan ini dan dengan demikian dapat
digunakan untuk meningkatkan stabilitas pergelangan kaki.
Senam akan dilakukan dalam 16 kali pertemuan dengan frekuensi 4 kali
seminggu yang diharapkan akan memberi hasil yang signifikan.
Stabilitas Pergelangan KakiDengan merangkumkan berbagai definisi mengenai stabilitas, maka peneliti
menyatakan bahwa stabilitas pergelangan kaki adalah kemampuan untuk
mempertahankan posisi sendi baik pada saat menumpu statis maupun selama mobilitas
secara aman dan efisien.
Stabilitas pergelangan kaki terbentuk sebagai hasil interaksi antara struktur
mekanis dan dinamis. Stabilitas dari struktur mekanis disebut sebagai stabilisator pasif,
yang terdiri dari struktur sendi dan ligamen. Stabilitas dinamis disebut juga sebagai
stabilitas fungsional, yang terbentuk dari input mekanoreseptor serta aktivasi dan daya
tahan unit muskulotendinogen.
Sebagaimana digambarkan pada gambar 1, setiap input dari reseptor sendi dan
kulit akan memberikan umpan balik kepada sistem saraf pusat untuk kemudian diarahkan
kembali sebagai umpan maju kepada α dan γ motor neuron sebagai antisipator gerakan.
Kontrol neuromuskuler pada sistem saraf pusat berfungsi untuk menginterpretasikan dan
mengintegrasikan informasi proprioseptif dan kinestetik dan mengontrol otot dan sendi
individual untuk memproduksi gerak terkoordinasi.
Konsep umpan maju dan umpan balik adalah salah satu konsep penting untuk
memahami bagaimana sistem motorik mengontrol postur dan gerakan. Sistem umpan
balik memonitor sinyal sensoris dan menggunakan informasi tersebut untuk
menggerakkan ekstremitas. Gambar 1 mengilustrasikan respons umpan balik tersebut
dalam konteks menangkap bola.
Gambar 1. Kontrol umpan balik(Ghez, 2000)
Sistem umpan maju menggunakan berbagai sinyal sensoris, seperti visual,
pendengaran dan sentuhan, untuk mendeteksi pertubasi dan menginisiasi strategi
gerakan secara proaktif berdasarkan penglaman. Oleh karena itu sistem umpan
maju seringkali disebutkan sebagai sistem antisipator.
Tidak seperti sistem umpan balik, kontrol umpan maju bertindak lebih
dulu sebelum adanya gangguan. Hanya saja, karena disebutkan sebagai respons
umpan maju, seolah sistem ini terlepas sama sekali dari kebutuhan akan sinyal
sensoris. Faktanya, kontrol umpan maju harus mendapatkan informasi sensoris
yang adekuat disertai pengalaman untuk dapat bekerja dengan benar.
Kontrol umpan maju digunakan oleh sistem motorik untuk mengontrol
postur dan gerakan. Saat berdiri, otot tungkai selalu berkontraksi menyesuaikan
diri sebagai kompensasi perubahan pusat gravitasi yang terjadi saat proses
respirasi, gerakan batang tubuh dan gerakan ekstremitas atas.
Faktor pengalaman sangat penting dalam kontrol umpan maju. Untuk itu,
faktor pembelajaran yang terjadi dalam respons stabilisasi sangat penting untuk
terjadinya stabilitas fungsional yang benar. Gambar 2 menggambarkan kontrol
umpan maju dalam konteks menangkap bola.
Gambar 2. Kontrol umpan maju
(Ghez, 2000)
Yang kemudian perlu dipahami adalah respons sistem saraf terhadap input
sensoris. Dengan adanya kandungan saraf pada kulit, tulang, konjungsi otot-tendo
dan sendi, sistem mekanoreseptor dapat mendeteksi sentuhan, tekanan, nyeri serta
posisi dan gerakan sendi. Pada sendi, sistem somatosensoris memiliki dua sistem
mekanoreseptor, yaitu yang beradaptasi dengan cepat (AC) melalui α motor
neuron, dan yang beradaptasi lambat (AL) melalui γ motor neuron. Jika sendi
mendapatkan stimulus tekanan dan gerak yang kontinu, α motor neuron akan
menurunkan sinyal ke saraf pusat, sementara γ motor neuron yang
mempertahankan sinyal dan kontraksi otot.
Beberapa jaras refleks melibatkan beberapa sirkuit sekaligus. Salah
satunya dalam gerakan pergelangan kaki adalah aktivasi Flexor Reflex Afferent
(FRA) yang menghasilkan crossed extension reflex.
FRA melibatkan jalur refleks monosinaptik dan polisinaptik yang meliputi
interneuron fasilitator dan inhibitor. Karakteristik FRA adalah konvergensi
multisensorial terhadap interneuron yang terlibat di sepanjang jalur, sehingga
stimulusasi FRA terjadi pada berbagai output motorik yang bervariasi. Output
motorik ini dapat dimodifikasi dengan posisi tungkai, komando desendens dan
input aferen.
Proses penerjemahan dalam sistem ini berlangsung pada central pattern
generator (CPG) yang berada di batang otak dan medulla spinalis. CPG dapat
menggenerasikan gerakan lokomotor terkoordinasi tanpa umpan balik dari aferen
yang berhubungan dengan gerakan. CPG dapat mengubah output, bergantung
pada kebutuhan kecepatan dan dalam respons terhadap penghambat. Walaupun
CPG dapat beroperasi tanpa input aferen, aktivitas CPG secara konstan
dimodifikasi oleh ketersediaan input sensoris. Pada setiap momen atau tahap
gerakan, terdapat kepentingan dan konsekuensi dari perubahan input aferen yang
berbeda, yang disebut neuron komando. Neuron komando didefinisikan sebagai
neuron yang merespons input sensoris atau desendens dan menginisiasi aktivitas
CPG. Tanpa memperhatikan inputnya, gerakan atau kondisi yang berbeda akan
mengaktivasi neuron komando yang berbeda. Pada gilirannya, neuron komando
akan mengaktivasi neural spesifik yang bersekuensi pada CPG.
Aktivitas pada CPG dan pola gerakan yang dihasilkan aktivasi CPG
dipengaruhi oleh input pusat supraspinal, tipe dan derajat umpan balik aferen, dan
pengaruh posisi tubuh dan tungkai pada umpan balik aferen
Reaksi postural dikoordinasikan secara kortikal melalui peningkatan
aktivitas yang berkesinambungan antara otot agonis dan antagonis untuk
mempertahankan stabilitas.
Gambar 3. Hubungan propriosepsi dan kontrol neuromuskuler terhadap stabilitas sendi.(Hertel, 2011)
Maka stabilitas pergelangan kaki dipengaruhi oleh faktor sebagai berikut:
1) Kongruensi tulang dalam persendian
2) Kekuatan struktur ligamen
3) Keadaan arthokinematik dan struktur persendian
4) Ketersediaan input mekanoreseptor sendi
5) Aktivasi, daya tahan dan kekuatan unit musculotendinogen
6) Posisi pergelangan kaki terhadap postur selama pembebanan
7) Penggunaan alas kaki dan atau support mekanis lain
Tiga faktor pertama merupakan stabilisator statis yang cenderung tidak akan
mengalami perubahan tanpa didahului cedera, sementara faktor terakhir merupakan
sistem eksternal yang berpotensi besar terhadap stabilisasi.
Ketersediaan input mekanoreseptor, sistem muskulotendinogen dan posisi
pergelangan kaki merupakan faktor yang dapat berubah dan berkembang dengan
dipengaruhi oleh karakteristik gerak individual, pengalaman jaringan terhadap aktivitas
dan latihan.
Stabilitas Pergelangan Kaki Pada Perempuan Dewasa MudaPada perempuan dewasa muda, terdapat kelemahan otot dan laxity ligament sendi
yang berlaku normatif. Kondisi ini memacu secara bawah sadar untuk
mengkompensasikan defisiensi tersebut melalui perubahan posisi, baik dalam aktifitas
statis maupun dinamis.
Pengetahuan ini mendorong banyak peneliti mempelajari kinematika perempuan
muda dibandingkan rekan seusianya. Penelitian umumnya dilakukan pada tuntutan
aktifitas yang lebih tinggi untuk memicu terjadinya reaksi kontraksi otot yang lebih besar,
hingga didapatkan deskripsi biomekanika perempuan dewasa muda.
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa pada posisi single leg squat,
terdapat kecenderungan tidak mampu mempertahankan posisi varus lutut secara adekuat
yang dikompensasikan dengan melakukan lebih banyak dorsi fleksi dan pronasi
pergelangan kaki, dengan posisi hip adduksi, fleksi dan eksorotasi serta lateral fleksi
trunk (Zeller, 2001). Dalam penelitian yang sama juga ditemukan perempuan
menggunakan aktivasi otot yang lebih besar untuk mempertahankan posisi tersebut. Ini
ditemukan dengan penelitian yang lain, bahwa selama pendaratan half squat parasut,
perempuan menunjukkan amplitudo aktivitas tibialis anterior yang lebih rendah, dengan
puncak kecepatan angular dorsi fleksi yang lebih tinggi (Niu W, 2010). Hal ini dapat
terjadi akibat kelemahan otot normatif pada perempuan, yang telah dibuktikan
sebelumnya.
Dalam penelitian yang lain, perempuan mendemonstasikan postur yang lebih
tegak dengan ruang gerak sendi panggul dan pergelangan kaki yang lebih besar saat
melakukan pendaratan setelah meloncat, dengan kecepatan angular maksimal sendi yang
lebih besar. Perempuan juga menunjukkan absorpsi energi dan puncak kekuatan dari
ekstensor lutut dan plantar fleksor pergelangan kaki. Sementara lutut adalah pusat
absorpsi energi pada kedua jenis kelamin, perempuan lebih banyak menggunakan plantar
fleksor pergelangan kaki sebagai kontributor kedua.
Saat dituntut berjalan dengan kecepatan tinggi, perempuan menunjukkan aktivitas
otot tibialis anterior, gerak pergelangan kaki, reaksi tekanan vertikal dan rata-rata denyut
nadi yang lebih tinggi (Min Chi Chiu, 2007).
Gambar 2. Proses Patologis Instabilitas Fungsional(Gheez, 2000)
Akumulasi alterasi posisi ini berlangsung sepanjang perkembangan stabilisasi,
sehingga menimbulkan alterasi dalam sistem pembelajaran posisi pada perempuan muda,
sehingga nuclei subcortical memberi intruksi yang direkam CPG, walaupun sebenarnya
yang terjadi adalah input yang keliru, dan diterapkan sebagai stabilitas fungsional.
Keadaan ini menghambat cerebrum mengenali diskrepansi input mekanoresptor, dan
tidak terjadi dorongan untuk memperbaiki sistem stabilisasi, sehingga terjadi instabilitas
fungsional yang menetap.
Mekanisme Peningkatan Stabilitas Pergelangan KakiStabilitas fungsional dan peningkatan kontrol sensomotorik dapat dicapai dengan
program latihan fungsional hingga tercapai stabilisasi otot dan sendi yang lebih baik.
Latihan peningkatan stabilitas fungsional dilakukan pada posisi closed kinetic
chain, yang memacu beberapa kelompok otot untuk bekerja bersamaan. Kekuatan,
koordinasi dan keseimbangan adalah aspek yang terlibat dalam program neuromuskular
ini. Oleh karena itu, latihan single leg stance (SLS) adalah tekhnik yang paling umum
digunakan untuk meningkatkan propriosepsi. Posisi SLS menuntut pelakunya
menyeimbangkan diri pada satu tungkai tanpa support tambahan.
Pencapaian kontrol sensomotorik juga melibatkan latihan proprioseptif. Latihan
propriosepsi akan menginformasikan presisi gerakan dan refleks muskular yang
berkontribusi terhadap pembentukan stabilitas dinamis sendi. Tujuan latihan proprioseptif
adalah untuk melatih kembali jaras aferen untuk mengembangkan sensasi gerakan sendi
dan aktivasi motorik pada sistem saraf pusat. Pengembangan sistem propriosepsi sangat
penting untuk dilakukan karena umpan balik proprioseptif akan meningkatkan dan
mempertahankan stabilitas fungsional sendi.
Latihan proprioseptif harus menggunakan teknik yang akan membangkitkan
kebutuhan aktivasi otot pronator dan supinator kaki (melatih koordinasi, propriosepsi dan
kekuatan otot stabilisator pergelangan kaki). Aktivasi ko-kontraksi ini diupayakan terjadi
semi otomatis, karena sejatinya aktivitas stabilisasi merupakan sistem yang berlangsung
pada CPG. Hanya saja, berdasarkan penelitian ditemukan bahwa otonomi CPG berkurang
pada manusia. Pada perkembangan manusia fungsi CPG yang benar menjadi bergantung
pada integrasi saraf yang lebih tinggi, yaitu pada sistem saraf pusat, pada korteks cerbral.
Sekuensi temporal aktivasi otot melibatkan CPG spinal dan integrasi sirkuit neural
dengan input pusat otak yang lebih tinggi.
Untuk mencapai gerakan semi otomatis yang dimaksud, maka pada latihan
proprioseptif juga melibatkan gerakan yang lambat dalam setiap perpindahan gerak dan
posisi, untuk memberikan kesempatan pada nuclei subcortical dan basal ganglia
menganalisa sensasi posisi dan mengirimkan umpan balik berupa aktivitas ko-kontraksi
otot yang diharapkan. Pembelajaran inilah yang kemudian akan diadaptasikan kepada
CPG sebagai pola stabilisasi fungsional yang baru.
Senam Vitalisasi Otak
Senam Vitalisasi Otak (SVO) adalah salah satu olahraga yang disusun
berdasarkan memori gerak (kinestetik), yang gerakannya berasal dari berbagai gerakan-
gerakan tarian di Indonesia yang melibatkan berbagai proses imajinasi penglihatan,
pendengaran, sensorik, emosional (fungsi luhur otak) dalam satu gerakan. Dalam SVO
diperlukan sinkronisasi antara gerak napas fisiologis dan gerakan itu sendiri.
Tujuan SVO adalah untuk memelihara berbagai fungsi otak agar dapat bekerja
sesuai fungsi dan kebutuhannya dengan memberi suplai oksigen dan darah yang optimal,
khususnya ke otak. SVO akan memberikan stimulasi yang adekuat pada struktur-struktur
otak tertentu secara unimodal dan pada struktur yang berkaitan/multimodal yang berperan
dalam kehidupan manusia sehari-hari.
Prinsip dasar dari senam vitalisasi otak adalah:
1) Lambat
Gerakan dalam SVO dilakukan perlahan-lahan dengan tujuan
menyelaraskan pola gerak otot, gerakan ritmis otot-otot pernapasan, dan metabolisme
pada bagian otak yang terstimulasi dan melalui imajinasi saat melakukan gerakan.
2) Dari bawah ke atas
Gerakan selama SVO mengupayakan sistematika gerak dari arah tubuh
bagian bawah terus ke bagian atas, dengan tujuan untuk melatih bagian otot yang
lebih kecil sampai otot yang lebih besar.
3) Berulang-ulang
Gerakan dalam SVO dilakukan dengan beberapa kali pengulangan. Hal ini
penting sekali agar stimulasi gerak dapat terekam dalam otak melalui jaras
proprioseptif (melatih rasa gerakan pada sendi/memori gerak)
4) Melibatkan pandangan mata
Setiap gerakan yang dilakukan oleh tangan maupun kaki pada SVO
senantiasa melibatkan pandangan mata. Hal ini akan membantu meningkatkan
konsentrasi visual dan kemampuan visuospasial (mengenal ruang).
5) Gerak sendi penuh
Gerakan pada SVO dilakukan sampai batas maksimal sendi.
6) Melibatkan pernapasan
Dalam SVO, pernapasan senantiasa dilakukan secara teratur pada setiap
gerakan. Hal ini penting untuk mencapai oksigenisasi yang optimal menuju otak
karena permasalahan pada otak bisa muncul akibat kurangnya oksigen di otak.
Sebaliknya, metabolisme otak optimal dapat tercapai bila oksigen di otak tercukupi.
Dalam SVO, suatu upaya yang terus diarahkan adalah bagaimana proses “pernapasan
dalam” dapat dilakukan setiap melakukan gerak.
7) Dihayati (sesuai gerakan yang dilakukan)
Setiap melakukan SVO, peserta diharapkan menghayati gerakan yang
dilakukannya. Setiap gerakan pada Senam Vitalisasi Otak dilakukan dengan imajinasi
tertentu sesuai dengan rangsang suara atau pola gerakan yang akan menyebabkan
terangsangnya berbagai tempat di otak sehingga terjadi keselarasan antara gerak,
pikiran, dan emosi (body and mind exercise).
Gerakan-gerakan dan posisi pergelangan kaki dalam SVO merupakan gerakan
“ekstrim” yang jarang terjadi pada kehidupan sehari-hari. Selain itu, setiap perpindahan
gerakan pergelangan kaki dilakukan dalam tempo yang lambat, dan setiap posisi
dipertahankan selama beberapa detik. Model gerakan ini memberikan kesempatan
teraktivasinya γ motor neuron pada muscle spindle pada otot agonis dan golgi tendon
organ (GTO) pada otot antagonis sebagai dasar re-edukasi neuromuskular.
Informasi dari mekanoreseptor ini dikonduksikan ke area sub kortikal, batang
otak dan korteks serebral di sistem saraf pusat melalui berbagai tipe serabut saraf. Pada
batang otak, sensasi dari mekanoreseptor di kulit, ligamen, kapsul sendi dan
musculotendinogen dikombinasikan dengan input dari vestibular dan visual untuk
mempertahankan kontrol postur dan keseimbangan.
Input propriosepsi mencapai korteks serebral menghasilkan kesadaran volunter
posisi tubuh dan gerak dan dibutuhkan untuk menginisiasi gerak volunter. Umpan balik
propriosepsi menghasilkan aktivasi ko-kontraksi yang dibutuhkan untuk mempertahankan
posisi optimal sebagai stabilitas fungsional sendi.
Bersamaan dengan masuknya informasi dari mekanoreseptor, penghayatan gerak
sebagai salah satu komponen senam vitalisasi otak meningkatkan keterlibatan aspek
kognitif untuk menciptakan harmonisasi dan keseimbangan fungsi otak, kerja otot dan
stabilisasi emosi.
Gerakan-gerakan dalam senam vitalisasi otak dilakukan berulang-ulang sehingga
perekaman stimulasi gerak menjadi pola pembelajaran yang menetap dan dapat
diteruskan sebagai pola gerak pada CPG. Dengan demikian terjadi re-edukasi
neuromuskular stabilisasi fungsional pada sistem saraf pusat.
Re-edukasi fungsi setelah durasi waktu tertentu akan menghasilkan pembiasaan
koordinasi neuromuskular sehingga pada saat dibutuhkan akan terjadi interaksi otomatis
pada komando motorik volunter dan otot-otot stabilisator.
Pemeriksaan Stabilitas Pergelangan Kaki
Dalam beberapa penelitian, ketidakstabilan postur telah digunakan untuk
memprediksi kerentanan terjadinya sprain pada pergelangan kaki. Tes single leg stance
(SLS, berdiri menumpu dengan satu kaki) memiliki korelasi dengan amplitudo dan
kecepatan ketidakstabilan pada individu normal. Penelitian menunjukkan bahwa resiko
tinggi terdapat pada atlet dengan tes SLS positif walaupun atlet tersebut tidak memiliki