SEJARAH PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM & PELUANG PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DI TINGKAT PERDESAAN DI KALIMANTAN TENGAH 2013 Laporan Studi oleh:
SEJARAH PEMANFAATAN
SUMBER DAYA ALAM &
PELUANG PEMBANGUNAN
BERKELANJUTAN DI
TINGKAT PERDESAAN DI
KALIMANTAN TENGAH
2013
Laporan Studi oleh:
i
KATA PENGANTAR
Laporan ini disusun dalam rangka kerjasama antara WWF Indonesia dengan Institute
Sustainable Borneo terkait Program Penyusunan Modul Pembangunan Berkelanjutan
di Tingkat Perdesaan. Program dimaksudkan untuk mendukung dan memperkuat
inisiatif-inisiatif Pembangunan Berkelanjutan di Provinsi Kalimantan Tengah, dimana
Modul yang disusun dimaksudkan agar wacana tentang pembangunan berkelanjutan
dapat dibawakan secara efektif di tingkat tapak di perdesaan.
Untuk keperluan tersebut dihimpun bahan-bahan yang cukup komprehensif tentang
sejarah dan pola pemanfaatan sumber daya alam di Kalimantan Tengah, serta
dampak nyatanya terhadap perekonomian masyarakat setempat. Selain itu juga
dihimpun informasi yang terkait dengan kebijakan-kebijakan pembangunan
berkelanjutan di Indonesia dan di Provinsi Kalimantan Tengah. Data dan informasi
yang terhimpun kemudian digunakan untuk merumuskan rekomendasi-rekomendasi
terkait peluang mewujudkan pembangunan berkelanjutan di Kalimantan Tengah.
Kiranya laporan ini bermanfaat, khususnya untuk menyumbang pada upaya
mewujudkan pembangunan berkelanjutan di Kalimantan Tengah.
Palangka Raya, 17 Agustus 2013
Dr. Marko Mahin, MA
Direktur Institute for Sustainable Borneo
ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ..................................................................................................................................... i
Daftar Isi ................................................................................................................................................. ii
Bab 1. Pendahuluan .......................................................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ................................................................................................................ 1
1.2. Sejarah Pengelolaan Sumber Daya Alam Secara Tradisional ....................... 2
1.3. Pengelolaan Sumber Daya Alam Setelah Kemerdekaan Indonesia ......... 17
1.4. Perkembangan Perekonomian Kalimantan Tengah ...................................... 24
Bab 2. Pembangunan Berkelanjutan: Sejarah & Implementasinya ............................... 28
2.1. Sejarah & Implementasi Pembangunan Berkelanjutan di Dunia .............. 28
2.2. Sejarah & Implementasi Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia ...... 37
2.3. Sejarah & Implementasi Pembangunan Berkelanjutan di Kalimantan
Tengah ............................................................................................................................ 51
Bab 3. Peluang Pembangunan Berkelanjutan di Kalimantan Tengah .......................... 63
Daftar Pustaka ................................................................................................................................... 69
[1]
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tjilik Riwut, dalam buku Kalimantan Membangun, menulis sebagai berikut .....
"Kalau pembaca naik pesawat terbang di atas Kalimantan, kelak akan nampak
hutan rimba belantara yang luas-luas yang disana tentulah banyak sekali
binatang-binatang yang buas-buas sebagai penghuni hutan tersebut seperti
Macan Dahan (Hangkulih bahasa Dayak), orang hutan (Kahiu Alas), Beruang,
Landak, Ular sawah, yang besar-besar, Buaya di sungai-sungai yang tidak
kurang bahayanya bagi manusia.
....................
Sampai sekarang pulau Kalimantan masih terdiri dari 83% hutan rimba raya,
kayu-kayu yang besar-besar, ada lebih satu meter garis tengahnya,
kesemuanya ini adalah salah satu sumber atau gudang untuk penghasilan
dan kemakmuran rakyat dan Negaranya di masa yang akan datang.
....................
Betul hutannya luas-luas! Tetapi percayalah di situ kelak kekayaan alamnya
akan menjadi Gudang Negara."1
“Gudang Negara”, istilah yang menjanjikan kekayaan alam yang melimpah.
Sebenarnya seberapa besar kekayaan Pulau Kalimantan? Bila memang kaya akan
sumber daya alam, bagaimana pengelolaannya? Bagaimana kemungkinan
pengelolaannya di masa depan, agar sumber daya alam bisa memberi manfaat
secara berkelanjutan bagi kesejahteraan masyarakat di Kalimantan Tengah?
Kajian ini ditujukan untuk mengulas pertanyaan-pertanyaan tersebut, melalui
tinjauan pustaka dan data sekunder. Sumber-sumber sejarah coba digali untuk
1 Tjilik Riwut, Kalimantan Membangun Alam dan Kebudayaan, Tiara Wacana Yogya, 1993, hal. 7.
Buku ini selesai ditulis tahun 1979.
[2]
melihat pengelolaan sumber daya alam di masa lalu, untuk kemudian dilihat
perkembangannya hingga masa kini. Berbagai sumber statistik dan kebijakan
digunakan untuk menggambarkan pola pengelolaan dari masa ke masa, berikut
impikasinya terhadap kesejahteraan yang dilihat dari sudut pandang perekonomian.
Indeks Pembangunan Manusia juga digunakan untuk melihat kesejahteraan dari
sudut pandang yang lebih luas.
Deskripsi sejarah pengelolaan sumber daya alam kemudian dikembangkan untuk
menjawab tantangan pemanfaatannya di masa depan, khususnya di tingkat
perdesaan. Lokasi perdesaan menjadi fokus kajian ini, mengingat sumber daya alam
pada umumnya berada di wilayah perdesaan dan basis awal pengelolaannya bermula
dari perekonomian masyarakat perdesaan. Ulasan kemudian ditujukan untuk
menjawab peluang-peluang yang mungkin dilakukan, agar sumber daya alam dapat
dikelola secara berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di
perdesaan. Satu langkah praktis ditawarkan sebagai solusi di bagian akhir kajian ini.
1.2. Sejarah Pengelolaan Sumber Daya Alam Secara Tradisional
Hasil penelitian arkeologis di Gua Niah (Sarawak, Malaysia) menunjukkan bahwa
Pulau Kalimantan sudah dihuni oleh manusia sejak sekitar 38.000 tahun Sebelum
Masehi. Saat itu manusia masih menggunakan alat-alat batu yang dikategorikan
sebagai alat batu Paleolitik-Mesolitik.2 Jenis kapak batu dari masa yang sama juga
ditemukan di Awang Bangkal, Kalimantan Selatan. Sedangkan menurut teori, suku
Dayak yang dianggap sebagai penduduk asli Pulau Kalimantan nenek moyangnya
berasal dari Yunnan di Cina Selatan. Secara bertahap kelompok yang disebut dengan
Melayu Proto hijrah ke Kalimantan antara 3000 sampai 1500 tahun Sebelum Masehi.
Kemudian disusul dengan kelompok Melayu Deutro sekitar 500 tahun Sebelum
Masehi.3 Adanya hubungan dengan Cina diperkuat dengan benda-benda kuno yang
menjadi harta warisan keluarga-keluarga Dayak, yakni berupa berbagai jenis keramik
2 Tom Harrisson, The Prehistory of Borneo, Asian Perspectives, XIII, 1970, hal. 20.
3 Mikhail Coomans, Manusia Daya: Dahulu, Sekarang, Masa Depan, Jakarta: Gramedia, 1987, hal. 3-4.
[3]
Cina. Penggalian arkeologis di Desa Anjir Pulang Pisau menemukan pecahan-
pecahan keramik Cina dari abad ke-10 Masehi.4
Kehidupan masyarakat Dayak pada masa prasejarah diperkirakan terpisah dalam
kelompok-kelompok kecil dengan kehidupan berpindah-pindah (nomaden).
Kelompok-kelompok ini memiliki wilayah kekuasaan untuk menjelajah mencari
sumber bahan makanan seperti ubi-ubian, buah-buahan, daun-daunan, serta
binatang buruan seperti babi, rusa, kancil, burung, ikan dan lain-lain. Biasanya
wilayah kekuasaan ini sudah dipahami ole masing-masing kelompok melalui
berbagai tanda atau simbol di dalam hutan belantara. Namun, tidak jarang terjadi
perselisihan antar kelompok karena masalah wilayah kekuasaan. Kemudian, setelah
budaya Eropa dan Asia mulai masuk, khususnya orang Hindu dan Melayu, pola
pertanian dengan menanam padi dan jenis ubi-ubian (subsisten) mulai diadaptasi
oleh orang Dayak.5
Masuknya pengaruh budaya Hindu terlihat dari prasasti yang dituliskan pada tujuh
buah yüpa (tiang batu), yang ditemukan di Bukit Berubus, Muara Kaman, Kalimantan
Timur. Menurut H. Kern, huruf yang dipahatkan pada prasasti itu adalah huruf
pallawa yang berasal dari awal abad ke-5 Masehi, sedangkan bahasa yang digunakan
adalah bahasa Sansekerta. Semua prasasti dibuat atas titah seorang penguasa daerah
tersebut yang bernama Mulawarman, yang dapat dipastikan adalah orang Indonesia.
Pada satu prasasti disebutkan bahwa kakenya bernama Kundungga, yang belum
terpengaruh nama India.6
Mengenai Kalimantan Tengah, sumber tertulis tertua yang bisa ditemukan saat ini
adalah Negarakertagama, yang ditulis oleh Prapanca pada tahun 1365 Masehi.
Disebutkan bahwa Kütawariñin (Kotawaringin atau Kotaringin) adalah salah satu vasal
Majapahit di Nusa Tanjung Negara (Kalimantan). Oleh Prapanca Kotawaringin
dimasukkan ke dalam kategori negeri-negeri Melayu. Kemudian peta laut Cina
berjudul Shun Feng Hsiang Shung, yang menurut J.V. Mills ditulis sekitar tahun 1500-
an, Kotaringin atau Kotawaringin (tertulis: Kou-to Ling-yin) telah menjadi salah satu
4 Goenadi Nitihaminoto & Bambang Sulistyanto, Permukiman Situs Pulang Pisau Kabupaten Kapuas,
Kalimantan Tengah, Berita Penelitian Arkeologi No. 04, Balai Arkeologi Banjarmasin, 1998/1999, hal. 35. 5 Ahim S. Rusan et.al., Sejarah Kalimantan Tengah, Kerjasama Lembaga Penelitian Universitas
Palangka Raya dengan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah, Program Pengelolaan Kekayaan Budaya Provinsi Kalimantan Tengah, 2006, hal. 21. 6 Nugroho Notosusanto et.al., Sejarah Nasional Indonesia Jilid II, Jakarta: Balai Pustaka, 1993, hal. 35-
36.
[4]
mata rantai rute maritim Cina di pesisir selatan Kalimantan, bersama pelabuhan Suo-
kou-tan-la (Sukadana), Sami (Sampit), dan Ma-shen (Banjarmasin).7
Orang Eropa yang pertama kali mendatangi pedalaman pulau Kalimantan
kemungkinan adalah Major Georg Müller, yang pada tahun 1825 mencoba
menyeberangi pulau dari Timur ke Barat melalui Sungai Mahakam menuju Sungai
Kapuas (Kalimantan Barat). Namun perjalanannya terhenti ketika dia dibunuh di
Sungai Bungan. Upaya ini dilanjutkan oleh H. von Gaffron, yang kemudian terkenal
dengan eksplorasi dan batubara di Kalimantan. Antara tahun 1843 sampai dengan
1848 seorang gologis, C.A.L.M. Schwaner melakukan dua kali ekspedisi, dimana
menjadi orang pertama berhasil menyeberangi pulau dari Selatan ke Barat. Schwaner
memulai perjalanan mudik Sungai Kahayan, menyeberangi Bukit Raya, dan turun ke
Sungai Kapuas di Sintang untuk meneruskan perjalanan ke Pontianak. Pengetahuan
Schwaner tentang geologi Kalimantan digunakan untuk kegiatan eksplorasi batubara
pada tahun-tahun berikutnya. Mollengraaff, geologis yang berkunjung ke daerah
yang sama 50 tahun kemudian memberikan nama Pegunungan Schwaner dan
Pegunungan Muller untuk dua deretan perbukitan yang menjadi batas antara
Kalimantan Tengah dengan Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur.8
Sejarah pemanfaatan sumber daya alam di Kalimantan Tengah secara lebih jelas
ditemukan dari sumber-sumber sejarah di Jaman Belanda. Sampai dengan 1909 hasil
hutan tradisional mendominasi ekspor dari Kalimantan Timur dan Kalimantan
Selatan.9 Data ini merepresentasikan kondisi di Kalimantan Tengah, karena dalam
kenyataannya sebagian besar komoditas perdagangan dari daerah ini sebagian besar
dikumpulkan dan diekspor dari Banjarmasin.
Hasil hutan tradisional yang disebutkan di sini terdiri dari berbagai jenis getah yang
disebut dengan “getah perca” dan rotan. Sebagai gambaran, seorang penduduk di
Kota Waringin pada tahun 1930-an mengirimkan 50 kg getah dan 36 kg rotan setiap
7 Moh. Ali Fadillah & Heddy Surachman, Tembikar Perdagangan di Pesisir Barat Daya Kalimantan:
Kajian Awal Aspek Morfologis, Makalah pada Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi di Cipayung, Bogor, 16-19 Februari 1998, diterbitkan dalam Naditira Widya No. 04/2000, Balai Arkeologi Banjarmasin, hal. 64-65. 8 J. Ph. Poley, Eroïca: The Quest for Oil in Indonesia (1850-1898), Dordrecht: Kluwer Academic
Publishers, 2000, hal. 19-20. 9 J. Thomas Lindblad (berkolaborasi dengan Peter E.F. Verhagen), Antara Dayak dan Belanda: Sejarah
Ekonomi Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan 1880-1942, Penerjemah: Ika Diyah Candra, Editor: Wisnu Subroto, Arya W. Wirayuda, Isye Siti Asyiah, Malang: Lilin Persada Press, Jakarta: KITLV-Jakarta, 2012, hal. 226-227.
[5]
tahun kepada pedagang.10 Jenis getah yang dikumpulkan dari hutan antara lain
getah nyatu, ketiau, hangkang dan jelutung (pantung). Sedangkan rotan pada masa
itu sudah dibudidayakan di Sampit.11
Getah perca diambil dengan cara menebang pohon dari beberapa jenis dari keluarga
Sapotaceae, antara lain Palaquium Gutta BURCK, Palaquium leiocarpum BOERL
(hangkang), Ganua Motleyana var. latifolia (ketiau) dan masih banyak lagi.12 Data
statistik menunjukkan bahwa ekspor getah perca dari Indonesia pada tahun 1918-
1925 sebagian besar berasal dari Banjarmasin. Sebagian kecil juga diekspor dari
Sukamara, Pangkalan Bun, dan Sampit. Getah ini banyak digunakan untuk melapisi
kabel telegraf di bawah laut13, dan juga untuk menambal gigi yang berlubang14.
Karena untuk mengambil getah harus menebang pohonnya, lama-kelamaan tidak
banyak lagi pohon penghasil getah perca yang tersisa di hutan.
Pada tahun 1904 getah dari pohon jelutung mulai diperdagangkan. Banyak
permintaan dari Eropa, di mana getah jelutung digunakan sebagai bahan pembuatan
piring asbestos dan ubin. Pada awalnya tidak ada pembatasan untuk penyadapan di
hutan, dimana masing-masing eksportir mengirimkan tenaga kerjanya sendiri yang
rata-rata adalah orang Melayu. Namun di tahun 1908 pemerintah Belanda
memberlakukan sistem konsesi, dalam rangka melindungi penyadap pribumi.15
Getah jelutung (pantung) diperoleh dengan cara menyadap dengan membuat
torehan pada kulit pohonnya, tidak dengan cara ditebang seperti jenis getah hutan
lainnya. Berbagai jenis pohon penghasil jelutung dari genus Dyera. Banjarmasin
kembali mendominasi sebagai pelabuhan eksportir getah jelutung dari Indonesia
pada tahun 1918-1925, dimana sebagian kecil juga diekspor dari pelabuhan
Sukamara, Pangkalan Bun, Kumai, dan Sampit.16
Tentang rotan, sebenarnya tidak semua jenisnya dikumpulkan dari hutan. Jenis rotan
sigi (rotan sega atau rotan taman, Calamus caesius BL.) telah dibudidayakan sejak
lama di Buntok. Menurut Kolonial Tijdschrift 1922 halaman 406, rotan telah
10
Lindblad, hal. 99. 11
Lindblad, hal. 100. 12
K. Heyne, Tumbuhan Berguna Indonesia, Penerjemah: Badan Litbang Kehutanan, Jakarta: Yayasan Sarana Wana Jaya, 1987, Jilid III, hal. 1559-1565, Jilid IV, hal. 1877-1878. 13
Heyne, Jilid III, hal. 1559. 14
http://en.wikipedia.org/wiki/Gutta-percha. 15
Lindblad, hal. 19. 16
Heyne, Jilid III, hal. 1630-1634.
[6]
dibudidayakan di wilayah Dayak-Hilir sekitar tahun 1850 atas anjuran misi.17
Sedangkan rotan yang dikumpulkan dari hutan antara lain dari jenis rotan irit (yang
juga sudah dibudidayakan), rotan ahas, rotan semambu, rotan tantuwu, rotan lilin,
rotan belatung, rotan bajungan, dan lain-lain.18
Hasil hutan lainnya yang juga penting adalah garu (gaharu), tengkawang, damar dan
jerenang. Garu adalah getah berbau harum yang dihasilkan oleh jenis pohon
Aquilaria yang terserang sejenis jamur. Ada banyak jenis garu di kalimantan, antara
lain garu mengkaras, garu ongkaras, garu takaras/tengkaras. Secara umum garu
dipilah dalam dua kategori, yaitu garu bunuh atau garu bunuhan yang diperoleh dari
pohon hidup yang ditebang dan garu rames atau garu rankahan yang diperoleh dari
pohon yang sudah mati. Garu dari pohon-pohon hidup harganya lebih mahal. Data
pabean Jaman Belanda dari tahun 1918-1925 menunjukkan bahwa garu diekspor
dari Pangkalan Bun, Kumai, Sampit, dan Banjarmasin dalam jumlah kecil. Sedangkan
ekspor dalam jumlah besar berasal dari Berau dan Bulungan.19
Tengkawang biasa diekspor dalam bentuk biji, yang diperoleh dari beberapa jenis
pohon marga Shorea. Merupakan bahan baku untuk membuat lilin dan sabun.
Namun oleh penduduk juga digunakan sebagi minyak goreng, yang di Kalimantan
Barat disebut minyak tengkawang sunti. Pelabuhan di Banjarmasin, Pangkalan Bun,
Kumai dan Sampit juga menjadi tempat pemberangkatan ekspor biji tengkawang
pada tahun 1918-1925, namun yang paling banyak diekspor dari Pontianak. Biji
tengkawang kini sudah tidak menjadi komoditas ekspor lagi, karena untuk
menghasilkan panenan yang baik diperlukan musim kemarau yang cukup panjang.
Banyak hujan membuat bunga dan buah muda tengakawang rontok, padahal biji
terbaik untuk ekspor diambil dari buah yang sudah masak.20
Damar juga diekspor dari Kalimantan, pada masa itu terutama dari Pontianak dan
Samarinda. Dari Kalimantan Tengah dan Banjarmasin jumlahnya tidak banyak. Damar
yang terkenal adalah damar mata kucing (nyating mata pusa) yang diperoleh dari
pohon Shorea Koordesii BRANDIS, namun ada juga yang diambil dari pohon Hopea
Sangal KORTH atau kayu cengal.21
17
Heyne, Jilid I, hal. 419. 18
Riwut, hal. 8. 19
Heyne, Jilid III, hal. 1467-1469. 20
Heyne, Jilid III, hal.1416-1419. 21
Heyne, Jilid III, hal. 1408-1416.
[7]
Jernang, atau seronang, merupakan produk istimewa. Walaupun tidak diekspor dari
Kalimantan, namun merupakan produk penting yang biasanya digunakan sebagai
bahan pewarna kerajinan rotan. warnanya merah dan istimewanya tidak luntur oleh
air maupun terik matahari. Diperoleh dari getah yang menempel pada sisik kulit buah
jenis rotan Daemonorops Draco BL.22
Komoditas perekonomian masyarakat Kalimantan Tengah yang penting, namun
bukan merupakan hasil hutan, adalah karet. Melonjaknya permintaan karet di dunia
dimulai sekitar tahun 1900, dimana pohon penghasil karet (Hevea brasiliensis, yang
berasal dari Amerika Selatan) mulai ditanam di Srilangka dan Semenanjung Malaya.
Tanaman karet masuk ke Kalimantan melalui dua jalur independen. Jalur pertama
dibawa oleh para haji di Pagat (dekat Barabai, Kalimantan Selatan), dan jalur kedua
dibawa oleh administrator perkebunan tembakau di Hulu Sungai. Secara masif
seorang pengusaha Belanda, E.A. Hilckes, menanam karet di Martapura, Tanah Intan,
dan Danau Salak, sehingga di tahun 1907 sudah ada 100.000 tanaman di sana. Berkat
propaganda pegawai pemerintah Belanda dan misionaris, orang-orang Dayak di
sepanjang Sungai Mahakam dan Barito mulai menanam karet pada tahun 1920-an.
Karet mulai diekspor dari kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur pada tahun 1911,
dan kemudian nilai ekspornya mulai melebihi nilai ekspor hasil hutan tradisional
sejak tahun 1920.23
22
Heyne, Jilid I, hal. 407-410. 23
Lindblad, hal. 57, 65, 226-227.
0
10
20
30
40
50
18
80
18
83
18
86
18
89
18
92
18
95
18
98
19
01
19
04
19
07
19
10
19
13
19
16
19
19
19
22
19
25
19
28
19
31
19
34
19
37
19
40
Nila
i Eks
po
r (d
alam
juta
Gu
lde
n)
Mill
ion
s
Hasil Hutan Karet
[8]
Kayu kalimantan mulai dijual keluar sebagai alternatif kayu jati dari Jawa ketika
terjadi kenaikan permintaan pada tahun 1919-1920. Houtkap-Ordonnantie
(Peraturan Kehutanan) ditetapkan pada tahun 1934 untuk mengatur pemanfaatan
kayu, namun baru diberlakukan di sepanjang Sungai Barito pada tahun 1937.24
Namun sebenarnya ekspor kayu sudah dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya.
Menurut laporan konsul Hongkong dalam Handelsberichten 1913, halaman 443,
kayu bilian (ulin, Eusideroxylon Zwageri T. & B.) dari Kalimantan Selatan merupakan
kayu yang digemari di Cina. Selain digunakan untuk balok, kasau dan usuk, ternyata
juga digunakan untuk supit.25
Selain tumbuhan hutan, binatang penghuni hutan juga dimanfaatkan. Carl Lumholtz,
penjelajah dan etnografer dari Norwegia yang mengunjungi Kalimantan pada tahun
1913-1917, bertemu dengan orang-orang Penyabung yang berburu badak di Sungai
Busang. Cula badak dijual kepada pedagang Cina, yang juga membeli batu empedu
kera dan landak untuk dijadikan bahan ramuan obat.26 Orang-orang Penyabung, atau
disebut juga orang Kereho, berasal dari Kalimantan Barat dan disebut sebagai Punan
Keriau. Mereka hidup berpindah-pindah dan sebagian dari mereka memasuki daerah
aliran Sungai Busang sekitar tahun 1880.27 Untuk makanan pokok mereka
mengumpulkan tepung sagu, tetapi juga menanam tembakau. Sekitar delapan tahun
sebelum kedatangan Lumholtz, orang-orang Kereho dihimbau untuk tinggal
menetap di kampung oleh pemerintah Belanda. Walaupun sebagian masih
mengembara, tetapi mereka mendirikan kampung di Sabaoi dan Tamaloe. Kemudian
belajar menanam padi dari orang-orang Saputan yang ikut tinggal di Tamaloe.28
Lumholtz juga mencata bahwa madu juga dikumpulkan oleh orang-orang di
Katingan. Disebutkan bahwa orang di sana melindungi pohon tapang, karena
merupakan tempat lebah membuat sarangnya.29 Tapang adalah sejenis pohon
kempas, dengan nama Latin Koompassia excelsa TAUB atau Abauria Excelsa BECC.30
24
Lindblad, hal. 101-102. 25
Heyne, Jilid II, hal. 810. 26
Carl Lumholtz, Through Central Borneo, Volume I, New York: Charles Scribner’s Sons, 1920, hal. 177, 59. 27
Bernard Sellato, Nomads of the Borneo Rainforest: The Economics, Politics, and Ideology of Settling Down, Translated by Stephanie Morgan, Honolulu: University of Hawaii Press, 1994, hal. 248-250. 28
Lumholtz, Volume I, hal. 174 29
Lumholtz, Volume II, hal. 318. 30
Heyne, Jilid II, hal. 915.
[9]
Pohon-pohon tempat lebah bersarang dilindungi secara adat. Pasal 92 Hukum Adat
Tumbang Anoi menyebutkan adanya “Hadat Panggul, Sapindang, Tatas lauk, Rintis
Pantung, Tanggiran, Sungai dan Danau (adat-istiadat mengenai macam-macam hak
panggul, sapindang, tatas handel, tatas ikan, rintis jelutung, tanggiran, sungai dan
danau)”.31 Tanggiran adalah sebutan untuk pohon-pohon besar tempat lebah
bersarang. Secara khusus, Pasal 206 hukum adat yang dikembangkan oleh Damang
Saililah di Kapuas menyebutkan adanya sanksi bagi orang lain yang mengambil
madu pada pohon yang sudah dikelola oleh seseorang selama puluhan tahun.32
Basel A. Bangkan, Damang Kepala Adat di Kecamatan Sabangau, Kota Palangka Raya,
menghimpun 74 pasal adat yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam di
Kalimantan Tengah, termasuk dengan sanksi-sanksi adatnya. Pasal-pasal adat yang
dihimpun meliputi pengelolaan sumber daya alam yang ada di daratan maupun di
sungai dan danau.33
Basel juga menguraikan tata ruang tradisional yang biasa dilakukan oleh orang
Dayak di Kalimantan Tengah. Pola tata ruang tradisional tersebut secara garis besar
dapat dibagi dalam dua bagian, yakni bagian tata ruang di daratan dan tata ruang di
perairan.
Istilah-istilah tata ruang tradisional di daratan antara lain adalah:
Lewu: Kampung atau desa, tempat rumah-rumah dibangun memnbentuk
permukiman. Perkampungan biasanya didirikan di sekitar muara (tumbang
dalam Bahsa Dayak Ngaju) anak-anak sungai, karena tanahnya relatif subur
untuk berladang dan juga kemudahan akses untuk masuk ke hutan.
Petak eka malan-manana satiar: Dalam radius kurang lebih 5 km keliling
kampung (kiri dan kanan) sungai tempat permukiman penduduk dijadikan
wilayah tempat bercocok-tanam, berladang, berburu, dan berusaha secara
turun-temurun.
Rintis/jalan pantung, pulau uei himba, pulau kakawang/awang, padang kayu
tatamba: Lokasi menyadap getah pantung (jelutung), memanen rotan hutan,
31
Lembaga Kedemangan dan Hukum Adat Dayak Ngaju di Propinsi Kalimantan Tengah, Biro Pemerintahan Desa, Setwilda Tingkat I Kalimantan Tengah, diperbanyak oleh Panitia Seminar dan Lokakarya Kebudayaan Dayak dan Hukum Adat di Kalimantan Tengah, 1996, hal. 70-71. 32
Hukum Adat Kalimantan Tengah, Damang J. Saililah, Lembaga Bahasa & Seni Budaya Universitas Palangka Raya, 1977, hal. 62. 33
Basel A. Bangkan, Adat dan Hukum Adat Dayak Kalimantan Tengah tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, belum diterbitkan.
[10]
mengumpulkan buah tengkawang, dan mengumpulkan tumbuhan obat juga
dilindungi. Orang yang merusak tempat-tempat ini biasanya dikenai sanksi
adat.
Tanggiran: Pohon besar biasanya di bantaran sungai atau di tengah hutan
tertentu tempat kawanan lebah madu bersarang. Penemu tanggiran diakui
dan dilindungi haknya oleh adat sebagai pemilik perorangan, atau jika telah
dikelola secara turun temurun maka mejadi milik bersama ahli waris penemu
terdahulu. Tanah lokasi tanggiran yang telah dikelola turun temurun dalam
radius sampai tiga puluh depa (seluas lebih kurang satu hektar) adalah Tanah
Adat.
Sepan: Mata air yang terdapat di tengah hutan belantara daerah perbukitan
atau bagian hulu sungai yang tidak pernah kering sepanjang tahun. Ada
sepan yang mengeluarkan air hangat dan ada sepan yang mengeluarkan air
asin (garam gunung). Sepan biasanya tempat minum berbagai jenis binatang
liar terutama di musim kemarau, oleh karena itu sepan adalah tempat
berburu yang dikelola secara bersama-sama oleh warga kampung atau
komunitas masyarakat adat dari beberapa kampung terdekat. Kawasan hutan
di sekitar sepan tidak boleh dirambah atau dibuka untuk berkebun atau
berladang, karena diyakini jika hutannya dirambah maka penjaga alam
sekitarnya akan murka, timbul bencana atau mata air (sepan) mengalami
kekeringan pada musim kemarau.
Petak bahu, himba baliung: Bekas ladang yang berasal dari pembukaan hutan
perawan kemudian dibiarkan menjadi semak belukar oleh pemiliknya antara
1-3 tahun berturut-turut.
Kaleka: Bekas pemukiman, perkampungan tempat tinggal, bekas pasah
dukuh, dangau atau bekas ladang, yang ditandai dengan sisa-sisa
tiang/tongkat bangunan, tanaman buah-buahan seperti durian, cempedak,
asam/kuini dan lain-lain, atau sandung, pantar, sapundu di bekas kampung
dan terpelihara secara turun temurun. Ada kaleka yang hanya milik
perorangan jika berupa bekas ladang atau bekas rumah tempat tinggal yang
pemiliknya masih hidup, dan milik bersama jika kaleka itu bekas ladang satu
hamparan atau bekas kampung para leluhur.
Pasahan raung: Komplek pemakaman yang dalam bahasa Dayak Kuno
disebut Lewu Bukit Pasahan Raung, terletak pada suatu areal hutan atau di
kelilingi oleh kebun karet atau buah-buahan yang terpisah dari pemukiman.
[11]
Pambak: Komplek pemakaman atau tempat meletakkan tulang belulang
orang yang telah meninggal dunia bagi sebagian dari pemeluk agama
Kaharingan, setelah selesai dilaksanakan upacara kematian tingkat terakhir
nyorat (tiwah) yang tidak memakai sandung. Ada komplek kuburan, pambak
umum dan ada juga komplek kuburan, pambak keluarga.
Petak rutas: Tanah di suatu area hutan larangan, yang disebabkan ada orang
meninggal dunia karena tertimpa pohon, diterkam binatang buas, digigit ular
berbisa atau karena pembunuhan. Di area petak rutas biasanya dipasang
hinting pali rutas, tanda larangan masuk atau melakukan kegiatan kepada
semua orang di area tersebut melalui upacara ritual oleh Basir Upu (Tokoh
Agama Kaharingan). Hutan petak rutas tidak boleh dimasuki atau digarap
selama lebih kurang tiga tahun atau sampai selesai seluruh rangkaian upacara
kematian, jika yang meninggal dunia warga pemeluk agama Kaharingan
maka larangan masuk atau menggarap lahan di area tersebut sampai dengan
selesai upacara kematian tingkat terakhir (tiwah).
Tajahan: Tempat yang dikeramatkan adalah suatu areal hutan yang dijadikan
tempat balampah (pertapaan), tempat pemujaan, tempat acara sakral
memanggil roh leluhur atau roh-roh suci untuk memohon petunjuk mencari
tempat pemukiman, tempat berladang, serta nasib peruntungan yang akan
terjadi kedepan atau orang yang akan merantau. Di dalam tajahan biasanya
dibangun Karamat, yaitu miniatur rumah panggung sebagai tempat sesaji
pada saat dilaksanakan upacara sakral untuk roh-roh suci. Ada Tajahan yang
yang khusus tempat memohon petunjuk yang ditandai dengan kehadiran
Antang (burung elang) yang sengaja dipanggil oleh Basir Upu (Tokoh Agama
Kaharingan), sehingga tajahan itu disebut Tajahan Antang. Beberapa Tajahan
yang cukup dikenal oleh mayarakat adat antara lain: Tajahan “Bukit Batu” di
Kecamatan Sabangau Kota Palangka Raya, Tajahan “Teluk Embak” di
Kecamatan Tasik Payawan dan Tajahan “Nyarung Ugang” di Kecamatan
Sanaman Mantikei Kabupaten Katingan, dan Tajahan “Hangki” di Kecamatan
Manuhing Kabupaten Gunung Mas. Di kawasan tajahan, tempat pemujaan
boleh ditanami buah-buahan misalnya durian, cempedak dan lain-lain
dengan tidak membuka lahan. Jika hutan di sekitar tajahan digarap untuk
ladang atau kebun atas kesepakatan melalui musyawarah seluruh warga
kampung atau beberapa kampung terdekat dan atas persetujuan Damang
Kepala Adat dan Tetua Kampung, maka pada bagian tajahan sekurang-
kurangnya 100 x 100 depa (lebih kurang 2,5 hektar) harus ditinggalkan dan
[12]
dijaga oleh seluruh warga masyarakat agar terhindar dari pengrusakan atau
kebakaran. Bagian yang dijaga ini disebut dengan pukung tajahan.
Pahewan: Areal hutan yang dianggap angker, tempat bersemayam roh-roh
jahat (Nyaring Panyaraya, Bahutai Karungkup, Kamiak, Kalabawai dan
sabagainya).
Tawun Elai: Kawasan hutan yang dijadikan tempat membuang sial, dahiang
(firasat buruk) ketika seseorang atau sekelompok orang akan melakukan
perjalanan jauh, merantau atau setelah dari perantauan. Tawun elai juga
dijadikan tempat melokalisir roh-roh jahat dari kawasan hutan yang dijadikan
pemukiman atau tempat berladang, melalui suatu acara ritual. Kawasan
Pahewan dan tawun elai adalah hutan yang dilindungi, tidak boleh dirambah
atau dirusak, karena keyakinan masyarakat adat jika kawasan ini dirusak maka
roh-roh jahat yang bersemayam di situ akan gentayangan dan mengganggu
kehidupan manusia.
Sedangkan istilah-istilah tata ruang tradisional di perairan antara lain adalah:
Sungei: Sungai besar, baik yang bermuara di laut atau sungai induk yang
lebih besar atau dalam Bahasa Dayak Ngaju disebut batang danum.
Anak sungei: Cabang atau simpang sungai yang agak lebar dan bermuara
pada sungai induk. Anak sungai atau simpang sungai tersebut biasanya
terdapat sumber daya alam (ikan) yang menjadi tempat masyarakat adat
mempertahankan kelangsungan hidup. Setiap anak sungai mempunyai nama
yang diambil dari nama orang pertama yang menemukan atau bermukim
disitu (misalnya Sungei Murad, Sungei Bapa Pulen) dsb, nama tumbuhan
yang dominan (Sungei Bakung, Sungei Rasau, Sungei Kahui) dsb, atau
ditandai dengan suatu benda oleh pengelolanya (misalnya Sungei Timba,
Sungei piring, Sungei Mangkok dsb). Anak sungai atau simpang sungai yang
dikelola oleh seseorang atau sekelompok masyarakat adat, hak
pengelolaanyna diakui dan dilindungi oleh hukum adat Dayak, dan kepada
pengelola baik perorangan maupun kelompok bersama dapat diberikan
keterangan Hak Pengelolaan secara tertulis oleh Damang Kepala Adat atau
Tetua Kampung.
Saka: Anak sungai kecil yang bermuara pada sungai induk atau pada anak
sungai (simpang sungai), biasanya saka dijadikan tempat memasang alat
menangkap ikan tradisional (tukung, buwu, pikat, tampirai, takalak) dsb. Saka
juga mempunyai nama tertentu sama dengan anak sungei.
[13]
Tatas: Kanal buatan yang dibuat untuk menghubungkan suatu tempat atau
dibuat untuk jalur tranportasi/angkutan hasil bumi dari suatu tempat ke
tempat lain. Pemilik tatas berhak memungut jasa pengelolaan dari setiap
orang yang memanfaatkan tatas sebagai sarana transportasi atau tempat
berusaha. Tatas yang dibuat oleh sesorang yang bermuara pada sungai atau
anak sungai yang dikelola oleh seseorang atau sekelompok orang terdahulu,
maka sepertiga dari jasa hak pengelolaan tatas menjadi hak pengelola sungai
tempat bermuara tatas tersebut. Tatas yang bermuara pada sungai besar
(batang danum), jika ditinggalkan oleh pemiliknya selama tiga tahun
berturut-turut, maka hak pengelolaan atau pemanfaatannya menjadi hak
bersama masyarakat adat setempat. Tatas yang bermuara pada sungai atau
anak sungai seperti tersebut pada pasal 17 ayat (3) dan ayat (4) jika
ditinggalkan oleh pemiliknya selama satu tahun berturut-turut, maka hak
pengelolaan atas tatas tersebut sepenuhnya jatuh kepada pengelola sungai
induknya. Hak pengelolaan tatas hanya terbatas mengelola dan
memanfaatkan tatas saja selama yang pemiliknya melakukan kegiatan usaha
di tatas tersebut, sedangkan tanah atau hutan disekitarnya bukan haknya.
Baruh/talaga: Danau alam kecil yang mengandung potensi sumber daya alam
yang menjadi salah satu sumber kehidupan masyarakat adat. Biasanya
mempunyai nama yang berasal dari nama penemunya yang pertama kali atau
nama tokoh yang turun temurun bermukim di sekitar danau itu, atau dari
nama tumbuhan, dan dari nama jenis ikan yang dominan di baruh/talaga
tersebut.
Tasik: Baruh/talaga yang lebih luas, dalam istilah umum adalah danau di
tengah hutan atau di bantaran sungai yang mempunyai ciri-ciri dan nama-
nama tertentu seperti baruh atau talaga. Ada danau yang dikelola oleh
kelompok ahli waris dan ada juga yang dikelola oleh seluruh warga dari
beberapa kampung terdekat secara bersama-sama, dan turun temurun.
Penguasaan baruh, talaga, tasik (danau) hanya terbatas pada mengelola,
bukan hak milik, tetapi pengelolaan yang telah dilakukan turun temurun
diakui dan dilindungi oleh hukum adat Dayak, dan kepada pengelola dapat
diberikan keterangan hak pengelolaan tertulis oleh Damang Kepala Adat atau
Tetua Kampung. Beberapa talaga, tasik (danau) yang terkenal di Kalimantan
Tengah antara lain; Danau Sanggu di Kabupaten Barito Selatan, Danau (Tasik)
Sembuluh di Kabupaten Seruyan, Danau (Tasik) Payawan, Kamipang,
[14]
Jalanpangen di Kabupaten Katingan, dan Danau Tundai di Kota Palangka
Raya.
Tata ruang yang diuraikan tersebut di atas menunjukkan pola pengelolaan sumber
daya alam tradisional oleh masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah. Tampak bahwa
kehidupan masyarakat Dayak tidak dapat dilepaskan dari sumber daya alam di
sekitarnya, baik berupa lahan tempat berladang, hutan, dan perairan. Pola kehidupan
seperti ini yang disebut dengan nature-based communities. Ciri-cirinya adalah
pemanfaatan lahan hutan secara ekstensif terpencar-pencar satu sama lain untuk
bertani, yang perlu dijaga wilayah dan aksesnya. Masyarakat ini juga memerlukan
integrasi sosial agar kegiatan pertanian dapat diatur pelaksanaannya untuk
pertukaran tenaga antar keluarga, sampai dengan penjagaan tanaman dari serangan
hama. Oleh karena itu, rusaknya keseimbangan (pertanian skala kecil, wilayah yang
aman, jaminan akses, dan integrasi sosial) dapat meruntuhkan masyarakat secara fisik
dan sosial, yang mengakibatkan rusaknya kekuatan sosial Sistem Kalimantan.34
Istilah Sistem Kalimantan digunakan untuk menggambarkan karakteristik lingkungan
alam dan karakteristik sosial di Kalimantan, khususnya di Kalimantan Barat dan
Kalimantan Tengah. Bila karakteristik sosial sudah digambarkan di bagian depan,
maka karakteristik lingkungan alam di Kalimantan Tengah adalah sebagai berikut:35
Lahan yang subur dan datar di hanya sebesar 8% dari luas daerah.
Kawasan yang cocok untuk lahan pertanian intensif, seperti perkebunan,
sangat terbatas hanya 19%.
Lahan yang memerlukan konservasi sangat luas, terdiri dari daerah rawa
gambut, tanah asam sulfat, tanah berpasir dan lahan yang sangat curam.
Kawasan-kawasan tersebut meliputi 59% wilayah.
Kualitas air sungai dan air tanah pada umumnya asam, khususnya di kawasan
pantai dan dataran rendah karena adanya daerah rawa gambut yang sangat
luas.
Sistem alam tiap-tiap daerah aliran sungai didukung oleh berbagai unsur
yang saling berkaitan satu sama lain. Rusaknya sebagian sistem alam tersebut
34
Japan International Cooperation Agency (JICA) & Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, The Development Study on Comprehensive Regional Development Plan for The Western Part of Kalimantan, SCRDP – KALTENGBAR, Final Report Vol. 2, 1999, hal 4 – 3. 35
JICA & Bappenas, hal. 4 – 2.
[15]
akan menimbulkan kerusakan dan tidak berfungsinya bagian-bagian lain dari
daerah aliran sungai tersebut.
Secara khusus, sumber daya lahan di Kalimantan Tengah dapat dilihat dalam tabel
sebagai berikut:36
Zona Keterangan Ciri-ciri Vegetasi asli Km2 %
1. Lahan subur yang. dpt.
ditanami segala jenis tanaman
Tekstur tanah cukup
lembut, rata
Hutan dipterokarpus
dataran rendah
3.349 2
2. Lahan subur yang. dpt.
ditanami berbagai jenis
tanaman, kecuali padi
Tekstur tanah cukup
lembut, rata
Hutan dipterokarpus
dataran rendah
6.125 4
3. Lahan subur yang. dpt.
ditanami tanaman keras
Tekstur tanah cukup
lembut, landai (9-
25%)
Hutan dipterokarpus
dataran rendah
23.336 15
4. Lahan subur yang. dpt.
ditanami tanaman keras,
cukup cocok untuk
perkebunan kelapa sawit
Curam (16-40%) Hutan dipterokarpus
dataran rendah
17.511 11
5. Lahan subur yang. dpt.
ditanami padi sawah
Tekstur tanah
lembut, endapan
sungai, rata
Hutan rawa air-tawar 8.802 6
6. Lahan gambut Rata Hutan rawa gambut 45.536 30
7. Tanah asam sulfat Sangat asam, rata Hutan bakau 1.657 1
8. Tanah berpasir Asam, tidak subur,
tekstur tanah kasar
Padang belukar
terbuka
18.769 12
9. Lahan dengan kemiringan
terjal
Asam, sangat curam
(> 40%)
Hutan dipterokarpus
dataran rendah
22.908 15
10. Pasir pantai Pasir - 813 1
Subtotal 147.993 96
Sungai 6.114 4
Total 154.107 100
Hubungan kehidupan masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah dengan sumber daya
alam juga dapat dilihat dari hasil Ekspedisi LIPI di kawasan Pegunungan Muller, yakni
di Desa Tumbang Naan. Dalam penelitian terungkap bahwa dari 400 jenis tumbuh-
36
JICA & Bappenas, hal. 3 – 11.
[16]
tumbuhan untuk bahan bangunan, bahan bangunan, bahan pangan, dan bahan baku
untuk membuat peralatan penunjang kehidupan hutan, hanya 50 jenis saja yang
dibudidayakan.37 Artinya, 87,5% jenis tumbuhan yang dimanfaatkan oleh warga Desa
Tumbang Naan diambil dari habitat aslinya di hutan.
Penelitian lain yang dilaksanakan pada tahun 2007 di sebelas desa di Kecamatan
Kamipang dan Mendawai di Kabupaten Katingan mengungkap pemanfaatan 183
jenis tumbuhan oleh masyarakat setempat untuk pengobatan dan perawatan
kesehatan. Dari jumlah tersebut, bahan-bahan obat dari 43% jenis tumbuhan
dikumpulkan dari hutan di sekitar desa. Pengetahuan akan tumbuhan berkhasiat
obat diperoleh secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi lainnya.
Pengobatan tradisional menggunakan tumbuhan obat merupakan pengobatan
alternatif bagi masyarakat karena obat-obatan modern seringkali menimbulkan efek
samping dan belum tentu tersedia di desa. Biaya yang tinggi dari pengobatan
modern juga merupakan faktor penyebab lainnya untuk mempertahankan
penggunaan tumbuhan obat.38
Mengenai pemanfaatan bahan tambang oleh masyarakat di Kalimantan Tengah tidak
banyak referensi yang didapat. Namun, Tjilik Riwut sedikit menggambarkan aktivitas
masyarakat dalam menambang intan dan emas, dua komoditas yang ditambang
secara tradisional sejak jaman dulu. Secara cukup rinci Tjilik menggambarkan proses
penambangan intan dengan menggunakan alat-alat tradisional, seperti penggudau,
linggis, tirak, angkatan, ayakan, dan lingganan. Disebutkan bahwa “jika nasib jelek
intan tidak didapat, tetapi emas pasti didapat yang hasilnya lumayan juga untuk
menutup ognkos membeli rokok untuk bekerja”.39 Kemungkinan penambangan
emas di Kalimantan dipicu oleh pendatang dari Cina yang menambang cebakan
emas aluvial pada abad ke-4 Masehi.40
37
Pegunungan Muller: Warisan Dunia di Jantung Kalimantan, Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor, 2005. 38
Laporan Penelitian Pengobatan dengan Tumbuhan untuk Manusia: Studi dari Sebelas Desa di Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah, Bidang Botani Puslit Biologi – LIPI, WWF Indonesia, 2007. 39
Tjilik, hal. 31-32. 40
Sabtanto Joko Suprapto, Tinjauan Tentang Cebakan Emas Aluvial di Indonesia dan Potensi Pengembangan.
[17]
1.3. Pengelolaan Sumber Daya Alam Setelah Kemerdekaan Indonesia
Era baru dalam pemanfaatan sumber daya alam secara besar-besaran dan modern
perkembangannya dimulai dengan ditetapkannya Undang-Undang Pokok Kehutanan
No. 5 tahun 1967, Undang-Undang No. 1 tahun 1967 mengenai Penanaman Modal
Asing dan Undang-Undang No. 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam
Negeri. Ketiga Undang-Undang itulah yang mendasari dan menjadi landasan bagi
pengelolaan hutan di Kalimantan Tengah khususnya dan Indonesia umumnya, yang
ditandai dengan adanya pemanfaatan hutan dalam bentuk Hak Pengusahaan Hutan
(HPH) dan Hak Pemanfaatan Hasil Hutan (HPHH), serta berkembangnya industri yang
mengolah produk hasil hutan (sawmill, plywood, blackboard, particle board, chipmill,
pulpmill dan sebagainya). Perlu dicatat bahwa industri kayu sudah dimulai pada
tahun 1969, sedangkan Penunjukan Areal Hutan di Wilayah Provinsi Kalimantan
Tengah baru dilakukan melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor
759/Kpts/Um/10/1982. Surat Keputusan ini menetapkan kawasan hutan di
Kalimantan Tengah seluas 15.300.000 hektar (yang kemudian dikenal sebagai Tata
Guna Hutan Kesepakatan tahun 1982), dan hanya menyisakan 0,42% wilayah provinsi
untuk Areal Penggunaan Lain. Dari wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan hutan,
90% untuk Hutan Produksi dan sisanya untuk Kawasan Lindung.
Produksi kayu di Kalimantan Tengah mencapai puncaknya di awal Pelita V, yakni
antara tahun 1989 hingga 1990, dimana terdapat 117 perusahaan pemegang HPH
yang beroperasi dan memproduksi 4.830.638 m3 kayu bulat.41 Setelah itu jumlah
perusahaan pemegang HPH terus menurun. Kebanyakan mengikuti berakhirnya
masa produksi izin yang dipegang. Namun produksi kayu tidak menyurut, karena
pembalak liar bergantian masuk ke lokasi-lokasi yang ditinggalkan oleh perusahaan
pemegang HPH. Tahun 1998, ketika krisis moneter melanda, nilai Dollar Amerika
Serikat naik dan mendongkrak harga komoditas ekspor seperti kayu.
41
Sumber data Awal Pelita I – Awal Pelita V dari http://www.kalteng.go.id/INDO/kehutanan_kondisi.htm; sedangkan data tahun 2000 – 2008 dari Statistik Dinas Kehutanan Kalimantan Tengah 2008.
[18]
Tahun 2000 jumlah HPH sudah menurun tajam. Data kehutanan tahun 2002
menunjukkan adanya sekitar 3,5 juta hektar areal Hutan Produksi dan Hutan Produksi
Terbatas yang telah terbebas dari HPH.42 Areal hutan yang ditinggalkan menjadi
terlantar, statusnya “no man’s land” untuk sementara dan mempermudah masuknya
pembalak liar.
Setelah sekitar tiga tahun beroperasi secara bebas, para pembalak liar kemudian
ditertibkan melalui Instruksi Presiden nomor 5 tahun 2001 tentang Pemberantasan
Penebangan Kayu Illegal (Illegal Logging) dan Peredaran Hasil Hutan Illegal di
Kawasan Ekosistem Leuser Dan Taman Nasional Tanjung Puting. Peraturan yang
muncul karena kritikan terhadap pembiaran penjarahan dua Taman Nasional besar
itu kemudian dikembangkan dan diterapkan secara meluas di Indonesia. Dengan
demikian sudah saatnya hutan yang habis ditebang ini ditinggalkan kembali untuk
kedua kalinya. Pertama oleh perusahan pemegang HPH, dan kini oleh illegal loggers
yang mencoba menikmati sisa-sisa kayu yang masih laku dijual.
Sebagian besar lahan hutan yang menjadi “lahan tidur” ini berada di dataran rendah,
yang merupakan daerah hilir sungai-sungai yang mengalir dari arah utara ke selatan
42
Diolah dari Data dan Informasi Kehutanan Propinsi Kalimantan Tengah, Pusat Inventarisasi dan Statistik Kehutanan, Badan Planologi Kehutanan, Departemen Kehutanan, 2002.
0
1
2
3
4
5
0
20
40
60
80
100
120
Pro
du
ksi K
ayu
Bu
lat
(ju
ta m
3 )
Jum
lah
HP
H
Perkembangan HPH & Produksi Kayu Bulat di Kalimantan Tengah
Jumlah HPH Produksi Kayu Bulat
[19]
di Kalimantan Tengah. Lahan dataran rendah seperti ini cocok untuk perkebunan,
sehingga perusahaan-perusahaan kemudian meminta izin untuk membuka “lahan
tidur” yang secara resmi status lahannya masih dalam kawasan hutan ini untuk
menjadi perkebunan.
Era produksi kayu mulai surut, dan digantikan dengan era perkebunan. Pelepasan
Kawasan Hutan untuk perkebunan pertama kali di Kalimantan Tengah terjadi pada
tahun 1986. Menteri Kehutanan, waktu itu, melepaskan 5.000 hektar hutan di
perbatasan Kabupaten Barito Utara dan Barito Selatan untuk perkebunan karet (PTP
Nusantara XIII) dengan pola PIR SUS. Untuk BUMN yang sama juga diterbitkan SK
Pelepasan Kawasan Hutan tahun 1987 di Kabupaten Kotawaringin Barat, seluas
25.102 hektar. PT Antang Ganda Utama tercatat sebagai perusahaan swasta yang
pertama kali memperoleh SK Pelepasan Kawasan Hutan, yakni pada tahun 1992
untuk areal perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Barito Utara seluas 17.725 hektar.
Hingga tahun 2008 telah dilepaskan 821.132 hektar kawasan hutan di Kalimantan
Tengah untuk 75 izin perkebunan kelapa sawit (94,7%) dan karet (5,3%).43 Data
terbaru untuk tahun 2013 menunjukkan luas areal perkebunan besar swasta kelapa
sawit sebesar 1.115.824 hektar, sedangkan perkebunan rakyat seluas 188.301,5
hektar. Untuk perkebunan karet yang dikelola perkebunan besar swasta seluas 7.910
hektar, sedangkan perkebunan rakyat luasnya 429.904,1 hektar.44
Ada beberapa jenis perizinan yang diperlukan untuk membuka perkebunan di
kawasan hutan. Biasanya didahului dengan Persetujuan Prinsip Arahan Lokasi,
kemudian Izin Lokasi, Izin Usaha Perkebunan, Pelepasan Kawasan Hutan, dan diakhiri
dengan Hak Guna Usaha. Persetujuan Prinsip Arahan Lokasi (PPAL) adalah semacam
rekomendasi bahwa suatu perusahaan diperbolehkan membuka perkebunan di
wilayah administrasi tertentu. Gubernur Kalimantan Tengah, melalui SK No. 154
tahun 2004 menegaskan perlunya persetujuan prinsip/rekomendasi/arahan lokasi
dari Gubernur atau Bupati/Walikota dan instansi terkait sebagai satu syarat untuk
memperoleh Izin Usaha Perkebunan (Pasal 9 ayat 4). Akumulasi luas Persetujuan
43
Data Perkembangan Pembangunan Perkebunan Besar Provinsi Kalimantan Tengah, Per Desember 2008, Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Tengah, 2009. 44
Statistik Perkebunan Provinsi Kalimantan Tengah Angka Sementara Tahun 2013, Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Tengah, April 2013, hal. 1.
[20]
Prinsip Arahan Lokasi yang diberikan untuk perkebunan besar swasta, koperasi, dan
kelompok tani hingga tahun 2008 dapat dilihat pada grafik di bawah ini:45
Data pada bulan Desember 2008 menunjukkan adanya 340 izin pada berbagai
tingkat (mulai dari Persetujuan Prinsip Arahan Lokasi hingga Hak Guna Usaha) untuk
331 perkebunan besar swasta, koperasi, dan kelompok tani. Dari data tersebut baru
147 unit perusahaan yang sudah operasional. Jenis-jenis badan usaha yang telah
memperoleh izin sampai dengan tahun 2008 dapat dilihat pada grafik di bawah ini:
45
Data Perkembangan Pembangunan Perkebunan Besar Provinsi Kalimantan Tengah, Per Desember 2008, Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Tengah, 2009.
0
500.000
1.000.000
1.500.000
2.000.000
2.500.000
3.000.000
3.500.000
4.000.000
4.500.000
He
ktar
Akumulasi Persetujuan Prinsip Arahan Lokasi Perkebunan Perusahaan
Besar, Koperasi & Kelompok Tani
Karet Kelapa Sawit
[21]
Tidak hanya usaha perkebunan yang berkembang setelah usaha perkayuan surut,
namun pertambangan juga berkembang pesat. Sebelum era otonomi daerah, lebih
banyak permohonan izin Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan
Pertambangan Batubara (PKP2B). Sedangkan setelah otonomi diberlakukan,
permohonan izin Kuasa Pertambangan (KP) yang mendominasi.
Izin pertambangan yang pertama di Kalimantan Tengah diberikan kepada PT Indo
Muro Kencana pada tahun 1985, dalam bentuk Kontrak Karya untuk eksplorasi emas.
Sampai dengan tahun 1987 telah dikeluarkan 11 izin Kontrak Karya, dan semuanya
untuk eksplorasi emas. Pada tahun yang sama PKP2B mulai dikeluarkan, yang hingga
tahun 2007 jumlahnya mencapai 18 izin. Sedangkan izin dalam bentuk KP mulai
dikeluarkan tahun 1999, yang sampai dengan tahun 2008 tercatat mencapai jumlah
428 izin.46
46
Semua data pertambangan diolah dari Data Base Perizinan Sektor Ekonomi (Kehutanan, Pertambangan, Perkebunan) Kalimantan Tengah Tahun 2008, Biro Administrasi Perekonomian dan Sumber Daya Alam, Sekretariat Daerah Provinsi Kalimantan Tengah , 2008. Data untuk KP per 15 September 2008, sedangkan data untuk KK dan PKP2B per 15 Agustus 2008.
Perseroan Terbatas; 284;
94%
Koperasi; 16; 5%
Kelompok Tani; 2; 1%
Jenis badan usaha perkebunan tahun 2008
[22]
Dari tahapan pembangunannya, sampai dengan tahun 2008 sudah ada 21% izin
pertambangan yang melaksanakan produksi (eksploitasi). Sedangkan sebagian besar,
75% masih dalam tahap eksplorasi.
Sedangkan dari jenis perusahaannya, sebagian besar perizinan pertambangan
diberikan kepada perusahaan dalam bentuk Perseroan Terbatas (PT). Namun ada 2%
izin pertambangan yang diberikan kepada koperasi.
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
Akumulasi Izin Perusahaan Tambang di Kalimantan Tengah
KK PKP2B KP
Eksplorasi; 319; 75%
Konstruksi; 6; 2%
Eksploitasi; 91; 21% Pengangkutan & Penjualan; 9; 2%
Perkembangan pembangunan pertambangan tahun 2008
[23]
Jenis bahan yang menjadi sasaran pertambangan di Kalimantan Tengah pada tahun
2008 sudah sangat beragam. Sebagian besar (57%) menyasar batubara, zircon di
urutan kedua (25%), emas masih menjadi favorit di urutan ketiga (8%), dan bijih besi
di urutan keempat (7%).
Zircon mulai marak ditambang sejak tahun 2005, ketika ada permintaan ekspor ke
Cina. Tadinya, limbah tambang yang biasanya ditemui ketika menambang emas—
dan dalam bahasa lokal disebut puya, dibiarkan saja di bekas-bekas penambangan
emas. Lokasi penambangan puya favorit di Kalimantan Tengah adalah di lokasi bekas
PT; 370; 87%
CV; 48; 11%
Koperasi; 7; 2%
Jenis badan usaha pertambangan tahun 2008
Batu Gamping 0%
Batubara 57%
Batubara & Intan 0%
Batubara & Pasir Kuarsa
0%
Batubara & Zircon 1%
Bijih Besi 7% Emas
8%
Intan 0% Logam
1% Pasir Kuarsa
1%
Zircon 25%
Zircon & Bijih Besi 0%
Zircon & Galena 0%
Jenis bahan yang ditambang tahun 2008
[24]
tambang PT Ampalit Mas Perdana di dekat Kereng Pangi, Kabupaten Katingan.
Karena luasnya, lokasi ini dapat dilihat dari citra Landsat.
1.4. Perkembangan Perekonomian Kalimantan Tengah
Sumber data perekonomian Kalimantan Tengah yang cukup lengkap ternyata cukup
sulit diperoleh. Data tentang Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang tersedia
mulai dari tahun 1996, dan yang terbaru untuk tahun 2010. Produk Domestik
Regional Bruto pada dasarnya merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh
seluruh unit usaha dalam suatu daerah tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang
dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi pada suatu daerah.
Sedangkan PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan
jasa yang dihitung menggunakan harga pada tahun berjalan. Dari data yang tersedia
[25]
terlihat bahwa PDRB Kalimantan Tengah dari tahun ke tahun mengalami peningkatan
yang stabil.47
Bila dilihat dari perkembangannya dari tahun ke tahun, rata-rata sejak tahun 1999
PDRB mengalami peningkatan berkisar antara 0,10% sampai dengan 0,15% setiap
tahunnya. Kenaikan PDRB pernah mencapai lebih dari 0,3% dari tahun 1997 ke 1998.
Kemungkinan akibat devaluasi nilai Rupiah terhadap mata uang asing, sehingga
komoditas ekspor dari Kalimantan Tengah (seperti karet dan kayu) nilainya
meningkat tajam.
Karena PDRB merupakan kontribusi produksi dari berbagai jenis usaha, kontribusi
sektoral terhadap PDRB Kalimantan Tengah perkembangannya dapat dilihat pada
grafik di bawah ini:
47
Diolah dari empat sumber, yakni: (i) Pendapatan Regional Kalimantan Tengah 1993-2000, Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Tengah; (ii) Pendapatan Regional Kalimantan Tengah 2000-2004, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah & Badan Pusat Statistik Provinsi kalimantan Tengah; (iii) Statistik Ekonomi Keuangan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah, Vol. 8 No. 12, Desember 2008, Kelompok Kajian Statistik dan Survei, Bank Indonesia; dan (iv) Produk Domestik Regional Bruto Kalimantan Tengah 2008-2010, Badan Pusat Statistik Indonesia.
0
5.000
10.000
15.000
20.000
25.000
30.000
35.000
40.000
45.000
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Mily
ar R
up
iah
Produk Domestik Regional Bruto Kalimantan Tengah (atas dasar harga berlaku)
[26]
Sebagaimana dibahas di bagian depan, sektor kehutanan yang menjadi primadona
sampai tahun 1999 cenderung merosot kontribusinya dari tahun ke tahun. Sektor
perdagangan besar dan eceran secara konsisten memberikan kontribusi paling besar
untuk PDRB Kalimantan Tengah. Tanaman perkebunan sempat meningkat tajam
kontribusinya sampai tahun 2002, namun kemudian menurun sejak tahun 2006 dan
mulai naik lagi di tahun 2010. Sedangkan sektor pertambangan non-migas mulai
bangkit sejak tahun 2002 dan terus meningkat. Disayangkan bahwa sektor tanaman
bahan pangan dan perikan cenderung menurun dari tahun ke tahun.
Produk domestik erat kaitannya dengan nilai ekspor, karena sebagian besar
komoditas dari Kalimantan Tengah dijual keluar daerah. Berikut grafik nilai ekspor
dari komoditas utama dari Kalimantan Tengah:48
48
Data diolah dari sumber yang diterbitkan oleh Kelompok Kajian Statistik dan Survei, Bank Indonesia, yakni: (i) Statistik Ekonomi Keuangan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah, Desember 2001; (ii) Statistik Ekonomi Keuangan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah, Desember 2006; (iii) Statistik Ekonomi Keuangan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Vol. 8 No. 12 (Desember 2008); (iv) Statistik Ekonomi Keuangan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah, Vol. 9 No. 10 (Oktober 2009); dan (v) Statistik Ekonomi Keuangan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah (http://www.bi.go.id/sekda/62/62-III02-072013.zip).
Tanaman Perkebunan
Pertambangan Non-Migas
Kehutanan
Perdagangan Besar & Eceran
Jasa Administrasi, Pemerintahan &
Pertahanan
Perikanan
Tanaman Bahan Makanan
0%
5%
10%
15%
20%
25%
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Kontribusi Beberapa Jenis Usaha Utama dalam PDRB Kalimantan Tengah
[27]
Senada dengan kontribusi sektoral, kayu hasil kehutanan dan produk dari kayu terus
menurun nilai ekspornya. Batubara menanjak nilai ekspornya sejak tahun 2008.
Produk perkebunan karet sempat menjadi primadona di tahun 2004, namun
kemudian terus menurun. Sedangkan crude palm oil (CPO) sebagai produk
perkebunan kelapa sawit, dan termasuk dalam kategori minyak dan lemak nabati,
menanjak terus nilai ekspornya sejak tahun 2002 tetapi juga menurun sejak tahun
2009.
Barang Kayu & Gabus
Kayu & Gabus
Karet Mentah, Sintetis & Pugaran
Minyak & Lemak Nabati
Batubara, Kokas & Briket
Bijih & Sisa-sisa Logam
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Prosentase Nilai Ekspor Non-Migas Utama Provinsi Kalimantan Tengah
[28]
BAB 2. PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN:
SEJARAH & IMPLEMENTASINYA
2.1. Sejarah & Implementasi Pembangunan Berkelanjutan di Dunia
Manusia memerlukan berbagai jenis bahan untuk melangsungkan kehidupannya,
mulai dari bahan pangan, bahan untuk membuat pakaian, bahan untuk membuat
bangunan, bahan-bahan untuk membuat peralatan pendukung kehidupannya
(berbagai jenis logam, mineral, getah, kaca, permata, dlsb.), sumber energi (untuk
mengolah makanan, penerangan, menghangatkan atau mendinginkan ruangan,
mengolah peralatan pendukung, dlsb.), dan lahan untuk tempat tinggal, perkantoran,
bertani dan beternak. Semua bahan dasar itu sudah tersedia di alam, tidak ada satu
pun yang diciptakan manusia. Orang hanya perlu mencari, menemukan, dan
mengolahnya menjadi segala sesuatu yang diperlukan untuk menunjang kehidupan,
mempermudah kehidupan, dan juga untuk hiburan. Kebutuhan akan bahan-bahan
alam tidak sama antara satu peradaban dengan peradaban yang lainnya, namun
yang jelas sumber dari bahan-bahan alam sampai saat ini hanya satu, yaitu: bumi.
Mungkin di masa depan orang bisa mengambil bahan-bahan tambang dari bulan
atau planet lain, namun saat ini hanya bumi yang menyediakan segala keperluan
manusia.
Beberapa jenis sumber daya bisa dibudidayakan (seperti bahan makanan, kayu,
bambu, rotan, dlsb.), sehingga bisa terus ada sepanjang manusia mau
membudidayakannya. Sumber daya seperti ini disebut dengan sumber daya
terbarukan. Namun budidaya juga dibatasi dengan lahan yang cocok untuk bertani
dan beternak. Selain itu kesesuaian dan kesuburan lahan menentukan produktivitas
budidaya. Dengan akalnya, manusia menciptakan teknologi yang memungkinkan
untuk melakukan budidaya di tempat yang dulunya tidak mungkin (misalnya di
padang pasir), dan juga untuk meningkatkan produktivitas di lahan yang kurang
sesuai (dengan pupuk, pengairan, dlsb.). Namun, tentunya diperlukan bahan dan
energi tambahan untuk mendukung teknologi yang diperlukan.
[29]
Kebalikan dari sumber daya terbarukan adalah sumber daya yang tidak terbarukan,
dimana sekali diambil tidak dapat ditumbuhkan lagi. Contohnya adalah logam,
mineral, dan bahan bakar fosil seperti minyak, batubara, dlsb. Bahan bakar fosil
sebenarnya bisa terbentuk lagi, namun memerlukan waktu ribuan tahun dan menjadi
tidak terbarukan dalam skala umur manusia.
Selain menyediakan bahan-bahan keperluan untuk manusia, bumi juga masih
menaggung tugas satu lagi: menyerap, mengolah dan menetralisir limbah hasil
kegiatan manusia. Teknologi untuk membuang limbah ke ruang angkasa masih
terbilang mahal, dan memerlukan banyak bahan bakar. Saat ini tidak ada pilihan lain
kecuali menempatkan limbah tetap di bumi. Secara alamiah beberapa jenis limbah,
terutama yang organik, bisa terurai dan kembali menjadi bahan alam. Namun,
banyak juga limbah yang tidak bisa diolah oleh alam dan berpotensi membahayakan
kehidupan manusia itu sendiri. Misalnya, limbah nuklir dan limbah kimia beracun.
Kembali dengan akal-budinya, manusia bisa mengolah limbah agar tidak
membahayakan hidupnya sendiri dan merusak alam. Namun, sekali lagi, diperlukan
bahan dan energi tambahan untuk mengolah limbah.
Manusia bisa merekayasa, baik dalam bentuk teknologi maupun kebijakan, namun
tidak bisa menciptakan sumber daya alam. Sedangkan kemampuan bumi untuk
menyediakan sumber daya dan menyerap limbah sebenarnya terbatas. William
Godwin adalah orang pertama yang menyadari bahwa ada batasan jumlah manusia
yang bisa didukung oleh bumi. Pada tahun 1820 Godwin menerbitkan artikel Of
Population, dimana disebutkan jumlah 9 milyar orang sebagai batas populasi yang
bisa didukung oleh sumber daya yang ada di bumi. Konsep keterbatasan daya
dukung dalam skala lebih kecil diterapkan di Australia pada abad ke-19, dimana
pemerintah menetapkan tarif sewa dan pajak pada penggembalaan berdasarkan
jumlah ternak yang bisa dipelihara di dalamnya. Artinya diatur keseimbangan antara
persediaan pakan dengan jumlah ternak yang bisa digembalakan secara terus-
menerus di suatu tempat. Pembatasan juga diberlakukan untuk mengatur jumlah
binatang liar yang boleh diburu di Amerika Serikat pada tahun 1920-1930an.49
Secara khusus, pada tahun 1968, Garrett Hardin menyoroti masalah pertumbuhan
populasi manusia, yang kemudian dikaitkan dengan penggunaan sumber daya alam
dan polusi. Hardin menyampaikan bahwa akses bebas dan permintaan tak terbatas
49
Nathan F. Sayre, The Genesis, History, and Limits of Carrying Capacity, Annals of the Association of American Geographers, 98: 1, 2008, hal. 120-134.
[30]
atas sumber daya yang terbatas akhirnya mengurangi sumber daya melalui
pemanfaatan yang berlebihan, dalam untuk sementara maupun permanen. Hal ini
terjadi karena keuntungan dari pemanfaatan bertambah untuk perorangan atau
kelompok, yang masing-masing termotivasi untuk memaksimalkan pemanfaatan
sumber daya sampai pada keadaan dimana mereka tergantung pada sumber daya
tersebut, sedangkan biaya pemanfaatan ditanggung oleh semua orang kepada siapa
sumber daya tersedia (yang mungkin jumlahnya lebih banyak daripada kelompok
yang memanfaatkannya). Kondisi ini menyebabkan permintaan terhadap sumber
daya tersebut meningkat, yang pada gilirannya memicu pemanfaatan yang lebih
besar lagi hingga sumber dayanya runtuh (bahkan jika sumber dayanya memiliki
kemampuan untuk pulih kembali). Kecepatan deplesi, atau penipisan, sumber daya
dipengaruhi oleh tiga faktor, yakni: jumlah konsumen yang menginginkan sumber
daya yang bersangkutan, tingkat konsumsinya, dan kemampuan sumber daya itu
untuk pulih kembali.50
Pada tahun yang sama dengan terbitnya artikel Hardin, Club of Rome didirikan oleh
Aurelio Peccei dan Alexander King. Dimaksudkan sebagai sekelompok warga dunia
yang berbagi keprihatinan bersama bagi masa depan umat manusia. Kelompok ini,
dengan dukungan dana dari Volkswagen Foundation, mensponsori empat ilmuwan
untuk menulis laporan berjudul Limits to Growth yang diterbitkan tahun 1972.
Tujuannya tidak untuk membuat prediksi spesifik, tapi untuk menggali kemungkinan-
kemungkinan bagaimana pertumbuhan eksponensial berinteraksi dengan sumber
daya yang terbatas. Karena ukuran sumber daya tidak diketahui maka hanya perilaku
umum yang dapat dieksplorasi, yakni: jumlah penduduk dunia, industrialisasi, polusi,
produksi bahan pangan dan penipisan sumber daya. Para penulisnya bermaksud
untuk menjajaki kemungkinan pola umpan balik yang berkelanjutan, dengan
mengubah kecenderungan pertumbuhan di antara lima variabel tersebut di bawah
tiga skenario. Dua skenario menunjukkan runtuhnya sistem global pada paruh kedua
abad ke-21, sedangkan skenario yang ketiga menunjukkan dunia yang stabil.51
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyelenggarakan Konferensi tentang
Lingkungan Manusia di Stockholm tahun 1972. Hasilnya adalah sebuah deklarasi,
yang pada intinya menyatakan bahwa: “semakin banyak bukti yang menunjukkan
50
Garrett Hardin, The Tragedy of the Commons, Science, Vol. 162, 1968, hal. 1243-1248. 51
Donella H. Meadows, Dennis L. Meadows, Jørgen Randers, William W. Behrens III, The Limits to Growth: A Report for The Club of Rome’s Project on the Predicament of Mankind, New York: Universe Books, 1972.
[31]
kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan manusia di berbagai tempat:
polusi air, udara, tanah, dan makhluk hidup pada tingkat yang berbahaya; gangguan
yang tidak diharapkan terhadap keseimbangan ekologi biosfer; kerusakan dan
penipisan sumber daya yang tidak tergantikan; dan secara umum penurunan kualitas
yang membahayakan kesehatan fisik, mental dan sosial dalam lingkungan buatan
manusia, khususnya di permukiman dan tempat kerja”.52
Selama periode tahun 1970-an, orang-orang di negara maju mulai menjadi lebih
sadar tentang isu-isu lingkungan yang berasal dari industrialisasi dan pertumbuhan.
Negara-negara maju ingin mengurangi dampak lingkungan dari pertumbuhan
mereka. Di sisi lain, negara-negara berkembang berkecil hati karena mereka tidak
bisa mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi seperti yang dimiliki
oleh negara-negara industri. Karena keperluan untuk terus tumbuh, negara-negara
berkembang cenderung menggunakan metode yang murah dengan dampak
lingkungan yang tinggi dan praktek perburuhan yang tidak etis dalam mendorong
industrialisasi. Perserikatan Bangsa-Bangsa melihat perkembangan kebutuhan akan
sebuah lembaga untuk mengatasi tantangan lingkungan yang terkait dengan kondisi
ekonomi dan sosial.
Pada Desember 1983, Sekretaris Jenderal PBB meminta Perdana Menteri Norwegia,
Gro Harlem Brundtland, untuk membentuk sebuah lembaga independen yang
memusatkan perhatian pada masalah dan solusi lingkungan dan pembangunan.
Lembaga baru ini diberi nama World Commission on Environment and Development
(WCED, Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan), atau biasa disebut
dengan Komisi Brundtland. Emil Salim mewakili Indonesia sebagai anggota komisi
ini. Setelah bekerja selama 900 hari, dalam serangkaian kegiatan internasional untuk
mendaftar, menganalisa dan mensintesakan masukan-masukan tertulis dan
pendapat-pendapat dari perwakilan pemerintah, ilmuwan dan ahli, lembaga
penelitian, industrialis, perwakilan organisasi non-pemerintah dan masyarakat umum
yang dijaring melalui audiensi publik di seluruh dunia, terbitlah dokumen Our
Common Future pada tahun 1987.
Laporan Komisi Brundtland ini mengakui bahwa pengembangan sumber daya
manusia dalam bentuk pengurangan kemiskinan, kesetaraan gender, dan
redistribusi kekayaan sangat penting untuk merumuskan strategi untuk
pelestarian lingkungan, dan juga mengakui adanya batas-lingkungan terhadap
52
Declaration of the United Nations Conference on the Human Environment, 16 Juni 1972.
[32]
pertumbuhan ekonomi. Dalam laporan tersebut, pembangunan berkelanjutan
didefinisikan sebagai "pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa
mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan
mereka sendiri".53
Sedangkan dalam pengembangan konsep pembangunan berkelanjutan disebutkan
bahwa:
“Memenuhi kebutuhan pokok sebagian bergantung pada pencapaian potensi
pertumbuhan sepenuhnya, dan pembangunan berkelanjutan jelas
memerlukan pertumbuhan ekonomi di tempat-tempat di mana kebutuhan
tersebut tidak terpenuhi. Di beberapa tempat pemenuhan kebutuhan pokok
bisa konsisten dengan pertumbuhan ekonomi, dimana pertumbuhan
mencerminkan prinsip-prinsip keberlanjutan secara luas dan tidak merugikan
pihak yang lain. Namun pertumbuhan saja tidak cukup. Tingginya
produktivitas dan kemiskinan yang meluas bisa terjadi secara bersamaan, dan
dapat membahayakan lingkungan. Maka pembangunan berkelanjutan
mensyaratkan pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat, yang ditempuh
dengan meningkatkan potensi produksi dan sekaligus memastikan peluang
yang adil bagi semua.”54
Satu tahun setelah terbitnya Our Common Future, tahun 1988 diselenggarakan
World Conference on the Changing Atmosphere di Toronto. Pada konferensi
tersebut para politisi dan ilmuwan menyimpulkan bahwa "manusia sedang
melakukan percobaan yang tidak diinginkan, tidak terkendali, dan meluas secara
global yang konsekuensinya nomor dua setelah perang nuklir global". Konferensi ini
merekomendasikan pengurangan emisi karbon dioksida 20 persen pada tahun 2005
(yang disebut dengan " target Toronto").55
Konferensi Toronto mendorong dibentuknya Intergovernmental Panel on Climate
Change (IPCC), Panel Antar-pemerintah tentang Perubahan Iklim), yang dibentuk
pada tahun yang sama oleh United Nations Environment Program (UNEP) dan World
Meteorological Organization (WMO). Panel ini didirikan sebagai upaya PBB untuk
memberikan pandangan ilmiah yang jelas tentang apa yang terjadi pada iklim dunia
53
Report of the World Commission on Environment and Development, Our Common Future, United Nations, 1987, Chapter 2. 54
Ibid. 55
The Changing Atmosphere: Implications for Global Security, Conference Statement, 1988.
[33]
kepada pemerintah-pemerintah di dunia. Saat ini sekitar 2.500 ilmuwan dan para ahli
perubahan iklim terkemuka tergabung dalam IPCC, yang diberi mandat untuk secara
ilmiah mengkaji perubahan iklim, mengevaluasi dampaknya dan memunculkan
solusi-solusi yang realistis.
Publikasi Our Common Future dan pekerjaan WCED juga meletakkan dasar bagi
diselenggarakannya Konferensi Tingkat Tinggi Bumi tahun 1992 di Rio de Janeiro.
Konferensi ini menghasilkan Deklarasi Rio, Agenda 21, dan Konvensi Kerangka Kerja
PBB tentang Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate
Change—UNFCC). Deklarasi Rio terdiri dari 27 prinsip yang dimaksudkan untuk
memandu pembangunan berkelanjutan di masa depan di seluruh dunia.56 Agenda 21
adalah rencana aksi PBB berkaitan dengan pembangunan berkelanjutan yang bersifat
sukarela dan tidak mengikat.57 Angka “21” menunjukkan abad ke-21. Sedangkan
UNFCCC adalah perjanjian untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di
atmosfer pada tingkat yang akan mencegah gangguan antropogenik (yang
diakibatkan oleh manusia) terhadap sistem iklim. Perjanjian ini ditandangani oleh
perwakilan dari 154 negara, termasuk Indonesia. Sampai saat ini sudah semua dari
195 anggota PBB meratifikasi UNFCCC.
Tahun 1992 William Rees memunculkan konsep ecological footprint, atau jejak
ekologis, yaitu ukuran berapa banyak lahan produktif secara biologis dan air yang
diperlukan per individu, populasi atau kegiatan untuk memproduksi semua sumber
daya yang dikonsumsinya dan untuk menyerap limbah yang dihasilkannya dengan
menggunakan teknologi dan praktik manajemen sumber daya yang berlaku. Metode
pengukurannya kemudian dikembangkan dalam bentuk disertasi oleh Mathis
Wackernagel antara tahun 1990-1994, dibawah supervisi Rees. Indikator-indikator
yang dikembangkan, dan bagaimana cara menghitung jejak ekologis diuraikan
dalam buku yang ditulis oleh Wackernagel dan Rees pada tahun 1986.58 Wackernagel
kemudian mendirikan Global Footprint Network pada tahun 2003. Jejak ekologis
diukur dalam satuan hektar global, dan sering disebut Footprint saja dalam bentuk
pendek. Untuk melihat kaitan antara jejak ekologis dengan daya dukung bumi, maka
56
Rio Declaration on Environment and Development: Report of the United Nations Conference on Environment and Development, 1992. 57
Dokumen ini terdiri dari 300 halaman yang terbagi dalam 40 bab dan dikelompok dalam 4 bagian. Isi lengkap dokumen dapat dibaca di http://www.unep.org/Documents.Multilingual/Default.asp?documentid=52. 58
Mathis Wackernagel & William Rees, Our Ecological Footprint: Reducing Human Impact on the Earth, New Society Publisher, 1996.
[34]
perlu satu ukuran lagi yang disebut dengan kapasitas biologis atau biocapacity:
Kapasitas biologis adalah kapasitas ekosistem untuk memproduksi bahan biologis
yang berguna dan untuk menyerap bahan limbah yang dihasilkan oleh manusia,
menggunakan skema manajemen dan teknologi ekstraksi saat ini. "Bahan biologis
yang berguna" didefinisikan sebagai segala jenis bahan yang diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan manusia. Oleh karena itu apa yang dianggap "berguna" dapat
berubah dari tahun ke tahun. Biocapacity suatu wilayah dihitung dengan mengalikan
luas fisik yang sebenarnya dengan faktor hasil dan faktor ekuivalen yang sesuai, dan
dinyatakan dalam hektar global.
World Wide Fund for Nature (WWF) International menggunakan metode ini untuk
menyajikan kalkulasi jejak ekologis semua negara di dunia dan diperbandingkan
dengan kapasitas biologis dalam bentuk laporan dengan judul Living Planet Report
(LPR) setiap dua tahun sekali sejak tahun 2000.59 Mathis Wackernagel ikut menyusun
skenario, proyeksi dan pilihan-pilihan kebijakan pada LPR 2002, kemudian sejak LPR
2004 Global Footprint Network terlibat secara kelembagaan. Menurut kalkulasi
dalam LPR, ternyata jejak ekologis manusia sedunia sudah melampaui kapasitas
biologis bumi sejak akhir dekade 1970-an, sebagaimana grafik di bawah ini.60
59
Laporan ini diterbitkan dalam kerjasama dengan berbagai lembaga. Untuk Living Planet Report (LPR) 2000 & 2002 bekerjasama dengan World Conservation Monitoring Centre (WCMC) United Nations Environment Programme (UNEP), Redefining Progress (RP), dan The Centre for Sustainability Studies (CSS); LPR 2004 masih dengan WCMC, RP, dan CSS, ditambah dengan Global Footprint Network (GFN); LPR 2006, 2008, 2010, dan 2012 bekerjasama dengan GFN dan Zoological Society of London (ZSL). 60
Diolah dati data yang diunduh dari situs GFN: http://www.footprintnetwork.org/images/uploads/NFA_2010_Results.xls.
[35]
Tampak bahwa jejak ekologis menurun sejak tahun 1980, namun kemudian
cenderung meningkat lagi sejak tahun 2000. Kapasitas biologis terus merosot, karena
penurunan jejak ekologis tidak mampu mengimbangi peningkatan jumlah penduduk
dunia yang menjadi dua kali lipat dalam tempo tiga puluh tahun.
Kesadaran bahwa kegiatan manusia sudah melebih kapasitas bumi untuk
mendukungnya semakin menguat ketika IPCC menerbitkan laporannya yang ke-2
pada tahun 1995, dimana disebutkan bahwa “bukti-bukti yang seimbang
menunjukkan pengaruh manusia yang nyata terhadap iklim global”.61 Laporan IPCC
melandasi ditetapkannya Protokol Kyoto pada tahun 1997. Protokol ini mengikat 38
negara industri (disebut negara Annex 1) untuk mengurangi emisi gas rumah kaca
rata-rata sebesar 5,2 persen di bawah tingkat 1990 untuk periode 2008-2012,
bersama dengan apa yang kemudian dikenal sebagai mekanisme Kyoto seperti
perdagangan emisi, mekanisme pembangunan bersih dan implementasi bersama.62
Sebagian besar negara maju dan beberapa negara Eropa Tengah dalam transisi
(yang didefinisikan sebagai negara Annex B) sepakat untuk secara hukum
mengurangi emisi gas rumah kaca rata-rata 6-8% di bawah tingkat emisi tahun 1990.
61
Intergovernmental Panel on Climate Change Second Assessment: Climate Change 1995. 62
Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change, 1998.
0,0
1,0
2,0
3,0
4,0
5,0
6,0
7,0
0,0
0,5
1,0
1,5
2,0
2,5
3,0
3,5
4,0
1961 1965 1970 1975 1980 1985 1990 1995 2000 2005 2007
mily
ar ji
wa
he
ktar
glo
bal
Perkembangan kapasitas biologis & jejak ekologis per kapita global
Kapasitas Biologis Jejak Ekologis Populasi dunia
[36]
Namun Amerika Serikat, yang sebenarnya termasuk dalam negara Annex I, hingga
saat ini masih belum meratifikasi Protokol Kyoto.
Tahun 2002 diselenggarakan World Summit on Sustainable Development, atau lebih
dikenal dengan Rio +10, di Johannesburg. Lahirlah yang disebut dengan Deklarasi
Johannesburg, dimana secara khusus dinyatakan komitmen bahwa “menjadi
tanggung jawab bersama untuk memajukan dan memperkuat kesaling-tergantungan
dan saling memperkuat pilar-pilar pembangunan berkelanjutan—pembangunan
ekonomi, pembangunan sosial dan perlindungan lingkungan—di tingkat lokal,
nasional, regional dan global".63
Intergovernmental Panel on Climate Change kembali mengeluarkan laporan kajian
yang ke-4 pada tahun 2007, yang secara tegas menyatakan bahwa "sebagian besar
peningkatan suhu rata-rata global yang diamati sejak pertengahan abad ke-20
kemungkinan besar disebabkan oleh peningkatan konsentrasi gas rumah kaca yang
dihasilkan oleh kegiatan manusia".64 Laporan ini ditanggapi dalam Conference of the
Parties (COP) ke-13 UNFCCC di Bali, dengan mengadopsi Bali Action Plan. Satu
kesepakatan dalam Rencana Aksi Bali adalah “kebutuhan mendesak untuk
mengambil lanjut tindakan yang berarti untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan
degradasi hutan", atau yang kemudian dikenal dengan REDD (Reducing Emissions
from Deforestation and Forest Degradation). Sampai dengan COP ke-18 tahun 2012
di Doha REDD baru dalam tahap penguatan kapasitas negara berkembang dalam
implementasinya, sedangkan bagaimana mengukur deforestasi masih perlu
diperjelas lagi. Sementara itu penerapan Protokol Kyoto akan diperpanjang, sehingga
dilakukan beberapa amandemen untuk mneyesuaikan dengan situasi terkini.
Dalam rangka memperingati 20 tahun Deklarasi Rio, di tempat yang sama pada
tahun 2012 kembali diselenggarakan forum serupa dengan tajuk United Nations
Conference on Sustainable Development. Konferensi kali ini menghasilkan dokumen
“The future we want”, dimana komitmen untuk mewujudkan pembangunan
berkelanjutan diperbarui dengan menekankan perlunya pengentasan kemiskinan,
pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan, perlindungan ekonomi berbasis
sumber daya alam, dan pembangunan sosial. Dalam dokumen ini diadopsi istilah
“Green Economy” atau “Ekonomi Hijau” sebagai langkah transisi menuju
pembangunan berkelanjutan. Secara sederhana dapat difenisikan sebagai
63
Paragraf ke-5 Johannesburg Declaration on Sustainable Development, 2002. 64
Climate Change 2007: Synthesis Report.
[37]
perekonomian yang menghasilkan peningkatan kesejahteraan dan kesetaraan
manusia, sementara secara signifikan mengurangi resiko lingkungan dan dampak
ekologis. Dalam prakteknya ekonomi hijau digambarkan sebagai pertumbuhan
pendapatan dan lapangan kerja yang didorong oleh investasi publik dan swsasta
yang mengurangi polusi dan emisi karbon, meningkatkan efisiensi sumber daya dan
energi, dan mencegah hilangnya keanekaragaman hayati dan jasa ekosistem. Pola
pembangunan seperti ini perlu menjaga, memperkuat, dan jika diperlukan
membangun kembali modal alam sebagai aset perekonomian yang penting,
khususnya bagi masyarakat miskin yang mata pencahariannya sangat bergantung
pada alam.
2.2. Sejarah & Implementasi Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia
Perencanaan pembangunan secara nasional pertama kali dilakukan pada masa
Kabinet Ali Satroamijoyo II, dimana Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT)
disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 11 November 1957. Rencana
pembangunan ini untuk dilaksanakan dalam periode 1956-1961, namun tidak
berjalan dengan baik karena: (i) depresi ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa Barat
menyebabkan ekspor dan pendapatan negara merosot; (ii) pembebasan Irian Barat
dan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia mengeluarkan
banyak biaya; dan (iii) ketegangan antara pusat dan daerah, dimana banyak daerah
melaksanakan kebijakan pembangunannya masing-masing.65
Pembangunan mulai terlaksana pada era Orde Baru, dimana dilaksanakan lima
periode Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dalam periode 1969 sampai
1994. Kebijakan pembangunan nasional waktu itu bertumpu pada Trilogi
Pembangunan, yang unsur-unsurnya adalah:
1. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang menuju kepada
terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
2. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
3. Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
65
Marwati Djoened Poesponegoro et.al., Sejarah Nasional Indonesia VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia, PT Balai Pustaka, 2008, hal. 337.
[38]
Pertumbuhan ekonomi menjadi prioritas, karena selama Orde Lama perekonomian
Indonesia sempat hampir runtuh.66 Pembangunan dalam Repelita I diarahkan pada
tiga bidang yang strategis, yakni pertanian, inudstri, dan pertambangan, serta
prasarana. Peningkatan di bidang pertanian ditunjukkan dengan kenaikan produksi
beras rata-rata 4% setahun. Kenaikan produksi terbesar tercatat pada produksi kayu,
khususnya kayu rimba, rata-rata 37,4% setahun.67 Hal ini bersambungan dengan
dimulainya ekstraksi kayu dari hutan di Kalimantan Tengah.
Kesadaran akan perlunya pola pembangunan yang berkelanjutan secara formal
pertama kali tercantum dalam Repelita V 1989/90-1993/94. Dalam Bab 1, yang
menjabarkan Tujuan dan Sasaran-sasaran Pokok Pembangunan disebutkan bahwa:
“..... segala upaya pembangunan di bidang ekonomi seperti yang diuraikan di
atas akan senantiasa dilaksanakan dalam kerangka tercapainya pembangunan
secara berkelanjutan. Untuk itu, pengelolaan sumber alam dan lingkungan
hidup akan diarahkan agar segala usaha pendayagunaannya tetap
memperhatikan keseimbangan lingkungan serta kelestarian fungsi dan
kemampuannya, sehingga di samping dapat memberikan manfaat sebesar-
besarnya bagi pembangunan dan kesejahteraan rakyat, tetap bermanfaat
pula bagi generasi mendatang.”68
Arah kebijakan ini kemudian dijabarkan lagi dalam bentuk program pada Bab 8, yang
khusus menjabarkan Pengelolaan Sumber Alam dan Lingkungan Hidup. Tujuh
program pokok yang terkait adalah:69
1. Program inventarisasi dan evaluasi sumber alam dan lingkungan hidup;
2. Program penyelamatan hutan, tanah dan air;
3. Program pengelolaan sumber alam dan lingkungan hidup;
4. Program pengembangan meteorologi dan geofisika;
5. Program pembinaan daerah pantai;
6. Program pengendalian pencemaran lingkungan hidup; dan
7. Program rehabilitasi hutan tanah kritis.
66
Karena krisis ekonomi dan inflasi yang mencapai 650%, akhir tahun 1965 nilai Rupiah didevaluasi dari Rp 1.000 menjadi Rp 1. Sejarah Nasional VI, hal. 543. 67
Sejarah Nasional VI, hal. 577-580. 68
Lampiran Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1989 tentang Rencana Pembangunan Lima Tahun Kelima (Repelita V), hal. 32. 69
Ibid., hal. 445.
[39]
Sebelumnya, pada tahun 1982 telah dikeluarkan Undang-undang Nomor 4 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pembangunan
berkelanjutan dalam Undang-undang ini disebut dengan istilah “pembangunan yang
berkesinambungan”. Pada bagian Asas dan Tujuan (Pasal 3) tertulis:
“Pengelolaan lingkungan hidup berasaskan pelestarian kemampuan
lingkungan yang serasi dan seimbang untuk menunjang pembangunan yang
berkesinambungan bagi peningkatan kesejahteraan manusia.”
Undang-undang ini juga sudah mengadopsi konsep daya dukung lingkungan
(carrying capacity), yang didefinisikan sebagai “kemampuan lingkungan untuk
mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya” (Pasal 1 ayat 4).
Sudah pula dilengkapi dengan sanksi pidana pada siapa yang dengan sengaja atau
lalai melakukan perbuatan yang menyebabkan rusaknya lingkungan hidup atau
tercemarnya lingkungan hidup (Pasal 22).
Secara formal pembangunan berkelanjutan kembali dimuat dalam Garis-garis Besar
Haluan Negara yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tahun
1993. Pada bagian Asas Pembangunan Nasional disebutkan:
“Asas Manfaat : bahwa segala usaha dan kegiatan pembangunan nasional
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemanusiaan, peningkatan
kesejahteraan rakyat, dan pengembangan pribadi warga negara serta
mengutamakan kelestarian nilai-nilai luhur budaya bangsa dan kelestarian
fungsi lingkungan hidup dalam rangka pembangunan yang
berkesinambungan dan berkelanjutan.”70
Titik berat pembangunan masih diletakkan pada bidang ekonomi dan tetap
bertumpu pada Trilogi Pembangunan. Hanya saja dalam arah pembangunan jangka
panjang disebutkan bahwa:
“Pendayagunaan sumber daya alam sebagai pokok-pokok kemakmuran
rakyat dilakukan secara terencana, rasional, optimal, bertanggung jawab dan
sesuai dengan kemampuan daya dukungnya dengan mengutamakan
sebesar-besar kemakmuran rakyat serta memperhatikan kelestarian fungsi
70
Naskah GBHN 1993, BAB II, sub-bab C, butir ke-2.
[40]
dan keseimbangan lingkungan hidup bagi pembangunan yang
berkelanjutan.”71
dan:
“Pembangunan ekonomi yang mengelola kekayaan bumi Indonesia, seperti
kehutanan dan pertambangan, harus senantiasa memperhatikan bahwa
pengelolaan sumber daya alam, di samping untuk memberi kemanfaatan
masa kini, juga harus menjamin kehidupan masa depan. Sumber daya alam
yang terbarukan harus dikelola sedemikian rupa sehingga fungsinya dapat
selalu terpelihara sepanjang masa. Oleh karena itu, sumber daya alam harus
dijaga agar kemampuannya untuk memperbaharui diri selalu terpelihara.
Sumber daya alam yang tidak terbarukan harus digunakan sehemat mungkin
dan diusahakan habisnya selama mungkin. Pembangunan kehutanan harus
makin diarahkan untuk meningkatkan pemanfaatan hutan bagi industri dalam
negeri sehingga dapat menghasilkan nilai tambah dan menciptakan lapangan
kerja yang sebesar-besarnya. Pembangunan pertambangan diarahkan pula
untuk menghasilkan bahan tambang sebagai bahan baku bagi industri dalam
negeri sehingga dapat menghasilkan nilai tambah yang setinggi-tingginya
dan menciptakan lapangan kerja yang sebesar-besarnya.”72
Garis-garis Besar Haluan Negara, yang sitetapkan oleh MPR untuk jangka waktu lima
tahun sudah tidak berlaku lagi setelah adanya Amandemen Ketiga dilakukan atas
Undang-undang Dasar 1945 pada tahun 2001. Dalam perubahan atas Pasal 3,
kewenangan MPR untuk menetapkan GBHN dihapuskan. Sebagai gantinya, Undang-
undang Nomor 25 Tahun 2004 mengatur tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional, dimana rencana pembangunan dijabarkan dalam bentuk
Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) yang berlaku untuk 20 tahun, yang
kemudian dijabarkan lagi dalam bentuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah
(RPJM) untuk periode lima tahunan.
Amandemen UUD 1945 juga kemudian memuat prinsip pembangunan berkelanjutan
secara konstitusional. Pada Amandemen Keempat, yang dilakukan tahun 2002, pada
Pasal 33 ditambah satu ayat (4) yang berbunyi:
71
Ibid., BAB III, sub-bab F, butir ke-7. 72
Ibid., BAB III, sub-bab F, butir ke-8.
[41]
“Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi
dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan
kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”
Rencana Pembangunan Jangka Panjang pertama pasca-GBHN dikeluarkan melalui
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJP Nasional Tahun 2005-2025.
Pada bagian Kondisi Umum dokumen ini memuat kritik terhadap pembangunan
ekonomi dalam era sebelumnya. Disebutkan bahwa:
“Pertumbuhan cukup tinggi yang berhasil dipertahankan cukup lama lebih
banyak didorong oleh peningkatan akumulasi modal, tenaga kerja dan
pengurasan sumber daya alam daripada peningkatan dalam produktivitas
perekonomian secara berkelanjutan.”73
dan:
“..... pengelolaan sumber daya alam tersebut masih belum berkelanjutan dan
masih mengabaikan kelestarian fungsi lingkungan hidup sehingga daya
dukung lingkungan menurun dan ketersediaan sumber daya alam menipis.”74
dan:
“Untuk itu, kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup
secara tepat akan dapat mendorong perilaku masyarakat untuk menerapkan
prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dalam 20 tahun mendatang agar
Indonesia tidak mengalami krisis sumber daya alam, khususnya krisis air, krisis
pangan, dan krisis energi.”75
Sehingga ditetapkan visi pembangunan nasional tahun 2005-2025 adalah:
“Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil dan Makmur”
Delapan misi pembangunan dijabarkan untuk mewujudkan visi pembangunan
nasional, dan salah satu misinya (nomor 6) adalah:
73
Lampiran Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tanun 2005-2025, hal. 7. 74
Ibid., hal. 20. 75
Ibid., hal. 21.
[42]
“Mewujudkan Indonesia asri dan lestari adalah memperbaiki pengelolaan
pelaksanaan pembangunan yang dapat menjaga keseimbangan antara
pemanfaatan, keberlanjutan, keberadaan, dan kegunaan sumber daya alam
dan lingkungan hidup dengan tetap menjaga fungsi, daya dukung, dan
kenyamanan dalam kehidupan pada masa kini dan masa depan, melalui
pemanfaatan ruang yang serasi antara penggunaan untuk permukiman,
kegiatan sosial ekonomi, dan upaya konservasi; meningkatkan pemanfaatan
ekonomi sumber daya alam dan lingkungan yang berkesinambungan;
memperbaiki pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup untuk
mendukung kualitas kehidupan; memberikan keindahan dan kenyamanan
kehidupan; serta meningkatkan pemeliharaan dan pemanfaatan
keanekaragaman hayati sebagai modal dasar pembangunan.”
Sedangkan sasaran-sasaran pokok dari misi ini adalah sebagai berikut:76
1. Membaiknya pengelolaan dan pendayagunaan sumber daya alam dan
pelestarian fungsi lingkungan hidup yang dicerminkan oleh tetap terjaganya
fungsi, daya dukung, dan kemampuan pemulihannya dalam mendukung
kualitas kehidupan sosial dan ekonomi secara serasi, seimbang, dan lestari.
2. Terpeliharanya kekayaan keragaman jenis dan kekhasan sumber daya alam
untuk mewujudkan nilai tambah, daya saing bangsa, serta modal
pembangunan nasional.
3. Meningkatnya kesadaran, sikap mental, dan perilaku masyarakat dalam
pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup
untuk menjaga kenyamanan dan kualitas kehidupan.
Sasaran pokok dirinci lagi dalam bentuk Arah Pembangunan Jangka Panjang Tahun
2005-2025. Dalam mewujudkan Indonesia yang asri dan lestari, ditetapkan kegiatan-
kegiatan pembangunan sebagai berikut:77
1. Mendayagunakan Sumber Daya Alam yang Terbarukan.
2. Mengelola Sumber Daya Alam yang Tidak Terbarukan.
3. Menjaga Keamanan Ketersediaan Energi.
4. Menjaga dan Melestarikan Sumber Daya Air.
5. Mengembangkan Potensi Sumber Daya Kelautan.
76
Ibid., hal. 43. 77
Ibid., hal. 70-73.
[43]
6. Meningkatkan Nilai Tambah atas Pemanfaatan Sumber Daya Alam Tropis
yang Unik dan Khas.
7. Memerhatikan dan Mengelola Keragaman Jenis Sumber Daya Alam yang Ada
di Setiap Wilayah.
8. Mitigasi Bencana Alam Sesuai dengan Kondisi Geologi Indonesia.
9. Mengendalikan Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan.
10. Meningkatkan Kapasitas Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan
Hidup.
11. Meningkatkan Kesadaran Masyarakat untuk Mencintai Lingkungan Hidup.
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 kemudian
dijabarkan lagi ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional untuk
periode lima tahunan. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun
2004-2009 ditetapkan melalui Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005. Bisa
dikatakan bahwa penetapan RPJMN 2004-2009 mendahului penetapan RPJPN 2005-
2025. Namun, secara umum visi dan misinya mengarah pada tujuan-tujuan yang
sama. Misalnya, dari tiga visi yang ditetapkan dalam RPJMN 2004-2009, visi yang
ketiga adalah:
“Terwujudnya perekonomian yang mampu menyediakan kesempatan kerja
dan penghidupan yang layak serta memberikan pondasi yang kokoh bagi
pembangunan yang berkelanjutan.”78
Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2004-2009 ditetapkan dalam bentuk tiga
agenda, yakni: (i) Agenda Mewujudkan Indonesia yang Aman dan Damai; (ii) Agenda
Mewujudkan Indonesia yang Adil dan Demokratis; dan (iii) Agenda Meningkatkan
Kesejahteraan Masyarakat. Untuk agenda yang terakhir ditetapkan lima sasaran,
dimana sasaran yang keempat adalah “membaiknya mutu lingkungan hidup dan
pengelolaan sumber daya alam yang mengarah pada pengarusutamaan
(mainstreaming) prinsip pembangunan berkelanjutan di seluruh sektor dan bidang
pembangunan”.79
78
Lampiran Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009, Bagian I.1 – 1. 79
Ibid., Bagian I.1 – 20.
[44]
Untuk mencapai sasaran tersebut, prioritas pembangunan diletakkan pada
Perbaikan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pelestarian Mutu Lingkungan
Hidup dengan kebijakan yang diarahkan untuk:80
1. mengelola sumber daya alam untuk dimanfaatkan secara efisien, adil, dan
berkelanjutan yang didukung dengan kelembagaan yang handal dan
penegakan hukum yang tegas;
2. mencegah terjadinya kerusakan sumber daya alam dan lingkungan hidup
yang lebih parah, sehingga laju kerusakan dan pencemaran semakin
menurun;
3. memulihkan kondisi sumber daya alam dan lingkungan hidup yang rusak;
4. mempertahankan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang masih
dalam kondisi baik untuk dimanfaatkan secara berkelanjutan, serta
meningkatkan mutu dan potensinya; serta
5. meningkatkan kualitas lingkungan hidup.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah untuk periode berikutnya (2010-2014)
ditetapkan melalui Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010. Kali ini RPJM sudah
sepenuhnya menjabarkan RPJPN 2005-2025. Sedangkan khusus untuk periode 2010-
2014 ditetapkan visi sebagai berikut:
“Terwujudnya Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan”81
Untuk mencapai visi tersebut ditetap tiga misi, dimana misi pertama adalah
“Melanjutkan Pembangunan Menuju Indonesia yang Sejahtera”. Dalam
penjabarannya disebutkan bahwa:
“Pembangunan menuju Indonesia yang sejahtera mengandung pengertian
yang dalam dan luas, mencakup keadaan yang mencukupi dan memiliki
kemampuan bertahan dalam mengatasi gejolak yang terjadi, baik dari luar
maupun dari dalam. Ancaman krisis energi dan pangan yang terjadi pada
periode 2005-2008 dengan harga komoditas pangan dan energi mengalami
gejolak naik dan turun secara amat tajam dalam kurun waktu yang sangat
cepat, telah mengakibatkan banyak rakyat merasa terancam kesejahteraanya
meskipun pemerintah telah berupaya melindungi masyarakat melalui
80
Ibid. 81
Lampiran Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014, I-30.
[45]
kebijakan subsidi pangan dan energi yang sangat besar. Dengan demikian,
membangun dan mempertahankan ketahanan pangan (food security)
dan ketahanan energi (energy security) secara berkelanjutan merupakan
salah satu elemen penting dalam misi mencapai kesejahteraan rakyat
Indonesia.
Sesuai dengan tantangan perubahan iklim yang semakin nyata,
pembangunan ekonomi Indonesia harus mengarusutamakan masalah
lingkungan di dalam strateginya melalui kebijakan adaptasi dan mitigasi.
Kerusakan lingkungan hidup yang telah terjadi terus diperbaiki, melalui
kebijakan antara lain: rehabilitasi hutan dan lahan, peningkatan pengelolaan
daerah aliran sungai, dan pengembangan energi dan transportasi yang ramah
lingkungan, pengendalian emisi gas rumah kaca (GRK) dan pengendalian
pencemaran dan kerusakan lingkungan.”82
Ketahanan pangan dan ketahanan energi secara berkelanjutan sudah dipandang
sebagai komponen pembangunan yang penting untuk mencapai misi kesejahteraan
rakyat Indonesia. Tampak pula bahwa isu perubahan iklim, sebagaimana dilontarkan
oleh hasil kajian ke-4 dari IPCC mempengaruhi perumusan misi pembangunan di
Indonesia.83
Pada bagian Arah Kebijakan Umum Pembangunan Nasional, untuk periode 2010-
2014 “terjaganya dan terpeliharanya lingkungan hidup secara berkelanjutan”
termuat dalam Arah Kebijakan Umum nomor 1.84 Selanjutnya, dalam melaksanakan
pembangunan yang tertuang dalam RPJMN terdapat prinsip pengarusutamaan yang
menjadi landasan operasional bagi seluruh pelaksanaan pembangunan. Prinsip
pengarusutamaan yang pertama adalah “pengarusutamaan pembangunan
berkelanjutan”; sedangkan yang kedua adalah “pengarusutamaan tata kelola
pemerintahan yang baik”; dan yang ketiga adalah “pengarusutamaan gender”.85
82
Ibid., I-33. 83
Terkait dengan penurunan emisi gas rumah kaca Indonesia pada tahun 2009, dalam pertemuan G 20 di Pitsburgh dan Konvensi Internasional tentang Perubahan Iklim di Copenhagen telah memberikan komitmen mitigasi dampak perubahan iklim berupa penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) pada tahun 2020 sebesar 26% dari kondisi tanpa rencana aksi (business as usual – BAU) dengan usaha sendiri serta penurunan sebesar 41% dengan dukungan internasional. Upaya penurunan emisi GRK tersebut terutama difokuskan pada kegiatan-kegiatan kehutanan, lahan gambut, limbah dan energi yang didukung oleh langkah-langkah kebijakan di berbagai sektor dan kebijakan fiskal. 84
Lampiran Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010, I-49. 85
Ibid., I-62.
[46]
Secara khusus, MPR mengerluarkan Ketetapan Nomor IX/MPR/2001 tentang
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Pertimbangan untuk
dikeluarkannya ketetapan ini antara lain adalah: (i) bahwa sumber daya agraria dan
sumber daya alam sebagai Rahmat Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia,
merupakan kekayaan Nasional yang wajib disyukuri. Oleh karena itu harus dikelola
dan dimanfaatkan secara optimal bagi generasi sekarang dan generasi mendatang
dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur; (ii) bahwa pengelolaan
sumber daya agraria dan sumber daya alam yang berlangsung selama ini telah
menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan,
pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya serta menimbulkan berbagai konflik;
(iii) bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan
sumber daya agraria dan sumber daya alam saling tumpang tindih dan
bertentangan; dan (iv) bahwa untuk mewujudkan cita-cita luhur bangsa Indonesia
sebagaimana tertuang dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945, diperlukan
komitmen politik yang sungguh-sungguh untuk memberikan dasar dan arah bagi
pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang adil, berkelanjutan dan
ramah lingkungan.86 Selanjutnya pada Pasal 4 ditetapkan prinsip-prinsip pembaruan
agraria dan pengelolaan sumber daya alam, yang pada butir (g) disebutkan:
“memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal, baik untuk
generasi sekarang maupun generasi mendatang, dengan tetap memperhatikan daya
tampung dan daya dukung lingkungan”; dan pada butir (h) disebutkan:
“melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis sesuai dengan kondisi
sosial budaya setempat”.
Arah kebijakan pembaruan agraria dan kebijakan pengelolaan sumber daya alam
ditetapkan pada Pasal 5, yang pada intinya adalah: mengkaji ulang dan menata
kembali berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait; menyelesaikan
konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria dan pemanfaatan
sumber daya alam; dan menyusun strategi pemanfaatan sumber daya alam di masa
depan. Pada bagian akhir (Pasal 6 dan Pasal 7) diamanahkan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk: segera mengatur lebih lanjut pelaksanaan
pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam; mencabut, mengubah
dan/atau mengganti semua undang-undang dan peraturan yang tidak sejalan
dengan Ketetapan ini; dan segera melaksanakan Ketetapan MPR ini.
86
Bagian konsideran Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001, butir a, c, d, dan f.
[47]
Kiranya kerangka substansi dan landasan hukum untuk penerapan pembangunan
berkelanjutan di Indonesia sudah cukup kuat dan mapan. Bagaimana kebijakan-
kebijakan terkait pembangunan berkelanjutan ini dilaksanakan di lapangan? Indikasi
yang bisa dilihat adalah pada perimbangan antara jejak ekologis dengan kapasitas
biologis Indonesia, karena pelaksanaan kebijakan pembangunan tentunya
berdampak pada dua indikator tersebut. Berikut adalah grafik perkembangan
kapasitas biologis dan jejak ekologis per kapita di Indonesia tahun 1961-2008:87
Tampak bahwa kapasitas biologis per kapita di Indonesia cenderung menurun,
walaupun penurunannya melandai sejak tahun 2001 (kurang dari 1% penurunannya)
dan pernah meningkat pada tahun 2007 dan 2008. Sementara itu jejak ekologis per
kapita meningkat cukup tajam pada tahun 2007 (4,73%) dan 2008 (3,83%). Neraca
ekologis (= kapasitas biologis dikurangi dengan jejak ekologis) pada tahun 2008
masih bernilai positif, yakni 0,0013 hektar global per kapita. Artinya pada saat itu
kapasitas biologis per kapita Indonesia masih lebih besar daripada jejak ekologis per
kapita. Namun bila melihat kecenderungan yang ditunjukkan pada grafik di atas, bisa
diperkirakan neraca ekologis per kapita Indonesia akan bernilai negatif setelah tahun
2008. Artinya, setelah tahun 2008 di Indonesia sudah terjadi defisit ekologis per
87
Data diperoleh dari Global Footprint Network, yang permintaannya diajukan melalui situs www.footprintnetwork.org.
0,0
0,5
1,0
1,5
2,0
2,5
3,0
he
ktar
glo
bal
Perkembangan kapasitas biologis & jejak ekologis per kapita Indonesia
Kapasitas biologis Jejak ekologis
[48]
kapita, dimana jejak ekologis per kapita sudah melampaui kapasitas biologis per
kapita.
Kapasitas biologis secara keluruhan di Indonesia sebenarnya cenderung meningkat
dari tahun ke tahun, sebagaimana digambarkan pada grafik di bawah.88 Bahkan
kapasitas biologis untuk lahan pertanian cenderung cukup pesat peningkatannya.
Hal ini dimungkinkan dari dukungan teknologi (pemupukan, irigasi, dlsb.), sehingga
produktivitas lahan per satuan luas bisa meningkat. Namun, jumlah penduduk
tumbuh dengan kecepatan rata-rata 1,96%/tahun, sedangkan kapasitas biologis
secara keseluruhan hanya bertambah rata-rata 0,48%/tahun. Karena peningkatan
kapasitas biologis secara keseluruhan kalah laju dengan pertumbuhan penduduk,
maka kapasitas biologis bila dihitung per kapita menurun dari tahun ke tahun.
Selanjutnya kita lihat dalam kondisi jejak ekologis per kapita akan melampaui
kapasitas biologis per kapita pada tahun 2008, bagaimana dengan tingkat
kesejahteraan rakyatnya. Sejak tahun 1990 United Nations Development Programme
(UNDP) menerbitkan Human Development Report, yang mana merupakan laporan
independen yang dihasilkan oleh sebuah tim yang terdiri dari ilmuwan-ilmuwan
88
Data kependudukan diunduh dari situs statistik Food and Agriculture Organization PBB: FAOSTAT (http://faostat3.fao.org/home/index.html#DOWNLOAD).
0
50
100
150
200
250
0
50
100
150
200
250
300
350
19
61
19
63
19
65
19
67
19
69
19
71
19
73
19
75
19
77
19
79
19
81
19
83
19
85
19
87
19
89
19
91
19
93
19
95
19
97
19
99
20
01
20
03
20
05
20
07
Jum
lah
pe
nd
ud
uk
(ju
ta ji
wa)
Kap
asit
as b
iolo
gis
(ju
ta h
ekt
ar g
lob
al)
Perkembangan kapasitas biologis & jumlah penduduk Indonesia
Lahan Pertanian Lahan Penggembalaan Hutan
Sumber Perikanan Lahan Bangunan Jumlah Penduduk
[49]
pilihan. Untuk melihat kemajuan pembangunan di dalam laporan ini digunakan
Human Development Index (Indeks Pembangunan Manusia), yang mengartikan
kesejahteraan secara lebih luas dari sekedar masalah pendapatan. Indeks
Pembangunan Manusia mengukur kesejahteraan dari tiga dimensi, yakni:
Hidup yang panjang dan sehat, yang diukur dari usia harapan hidup;
Pendidikan, yang diukur dari rata-rata masa pendidikan dan harapan lamanya
bersekolah; dan
Standar hidup yang layak, yang diukur dari Pendapatan Nasional Bruto (Gross
National Income—GNI) per kapita yang dihitung dalam Paritas Daya Beli
(Purchasing Power Parity) dalam satuan Dolar Amerika Serikat.
Sebelum tahun 2010 standar hidup yang layak diukur dengan Produk Domestik
Bruto (Gross Domestic Product—GDP). Perbedaannya, Pendapatan Nasional Bruto
(PNB) memperhitungkan cicilan hutan luar negeri dan hasil penjualan sumber daya
ke luar negeri, yang mana tidak dihitung dalam Produk Domestik Bruto (PDB).
Dengan demikian PNB menggambarkan perekonomian yang lebih nyata daripada
PDB.
Bila dilihat perbandingan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia dengan
indeks wilayah di sekitarnya dan dunia, posisinya masih masuk dalam kategori
0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
1980 1990 2000 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Perbandingan Indeks Pembangunan Manusia Indonesia & Dunia
Low human development Indonesia Medium human development
East Asia & Pacific World
[50]
medium human development. Sedangkan IPM rata-rata negara-negara di Asia Timur
dan Pasifik sudah di atas rata-rata medium human development. Posisi Indonesia di
antara negara-negara Asia Timur dan Pasifik pada tahun 2012 dapat dilihat pada
grafik di bawah ini.
Tampak bahwa separuh dari negara-negara Asia Timur dan Pasifik sudah di atas
medium human development, dan termasuk ke dalam kategori high human
development. Bahkan dua negara, Palau dan Malaysia, sudah di atas rata-rata high
human development.
Perbandingan ini tidak dimaksudkan untuk melemahkan semangat kita sebagai
warga negara Indonesia. Melalui perbandingan ini kita seharusnya justru tergerak
untuk mengejar ketertinggalan pembangunan kita dari negara-negara tetangga.
Apalagi dengan mempertimbangkan bahwa kapasitas biologis per kapita negara kita
sudah hampir terlampaui oleh jejak ekologis per kapita. Mungkin sudah saatnya
untuk meninjau kembali pola pengelolaan dan pemanfaatan sumber-sumber daya
kita. Apakah di masa depan kita perlu lebih hemat dalam memanfaatkan sumber
0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8
Papua New Guinea
Myanmar
Solomon Islands
Cambodia
Lao PDR
Timor-Leste
Viet Nam
Vanuatu
Indonesia
Kiribati
Medium human dev't
Micronesia
Philippines
Mongolia
Thailand
China
Fiji
Samoa
Tonga
High human dev't
Malaysia
Palau
IPM Indonesia di antara negara Asia Timur & Pasifik 2012
[51]
daya, atau strategi seperti apa yang perlu dikembangkan agar sumber daya yang ada
bisa dimanfaatkan untuk mencapai tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi.
2.3. Sejarah & Implementasi Pembangunan Berkelanjutan di
Kalimantan Tengah
Sebelum meninjau inisiatif pembangunan berkelanjutan di tingkat daerah, kita coba
melihat dulu apa yang sudah direncanakan di tingkat nasional untuk Kalimantan.
Khusus mengenai pengembangan wilayah Kalimantan, di dalam RPJMN 2010-2014
disebutkan:
“Pembangunan wilayah Kalimantan diarahkan untuk meningkatkan
produktivitas dan nilai tambah perkebunan, peternakan, perikanan, dan
pengolahan hasil hutan; serta meningkatkan nilai tambah hasil
pertambangan dan berfungsi sebagai lumbung energi nasional dengan
tetap memperhatikan keseimbangan ekosistem dan kaidah
pembangunan yang berkelanjutan.”89
Kemudian tujuh butir arah pengembangan wilayah Kalimantan, yang dua butir di
antaranya mendukung implementasi pembangunan berkelanjutan, yakni:
Arah pengembangan nomor (1): “memelihara dan memulihkan kawasan-
kawasan yang berfungsi lindung dan kritis lingkungan dalam rangka
mendukung keberlanjutan pemanfaatan sumber daya kehutanan,
pertambangan, dan pertanian, serta sumberdaya kelautan, pesisir dan pulau-
pulau kecil, serta mengurangi resiko dampak bencana alam”.90
dan:
Arah pengembangan nomor (6): “mengembangkan industri pengolahan yang
berbasis pada sektor kelautan, pertanian, perkebunan, pertambangan, dan
kehutanan secara berkelanjutan, serta industri pariwisata yang berbasis pada
penguatan dan pengembangan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat lokal
dan kelestarian lingkungan hidup”.91
89
Lampiran Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010, I-67. 90
Ibid. 91
Ibid. I-67 – I-68.
[52]
Kemudian berdasarkan arahan pengembangan wilayah Kalimantan ditetapkan
sepuluh tujuan pembangunan wilayah Kalimantan dalam kurun waktu 2010-2014.
Tujuan ke-7 selaras dengan tujuan pembangunan berkelanjutan, yakni
“meningkatkan sinergi dalam pengelolaan sumber daya hutan dan tambang dengan
memperhatikan keseimbangan antara kepentingan dan hak ulayat, perlindungan
masyarakat adat, dan pengembangan usaha”.92
Berdasarkan tujuan, dan sasaran serta mempertimbangkan isu strategis wilayah
Kalimantan, ditetapkan sebelas arah kebijakan dan strategi pengembangan wilayah
Kalimantan dalam kurun waktu 2010-2014. Arah kebijakan ke-7 adalah: “Peningkatan
daya dukung lingkungan untuk menjamin keberlanjutan pembangunan dan
mempertahankan fungsi Kalimantan sebagai paru-paru dunia dengan strategi
pengembangan: (a) meningkatkan konservasi dan rehabilitasi daerah aliran sungai
(DAS), lahan kritis, hutan lindung, dan hutan produksi; dan (b) mengembangkan
sistem mitigasi bencana alam banjir dan kebakaran hutan”. Sedangkan arah
kebijakan ke-9 adalah: “Peningkatan kesejahteraan rakyat melalui pengembangan
ekonomi lokal dengan strategi pengembangan: (a) memperluas dan meningkatkan
sinergi program-program penanggulangan kemiskinan; dan (b) memperluas
kesempatan usaha dan meningkatkan pemberdayaan rumah tangga miskin”.93
Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 juga memberikan amanah adanya RPJP
Daerah, yang mana disusun oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah masing-
masing (Pasal 10-12) dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Pasal 13). Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Provinsi Kalimantan Tengah yang
pertama, yaitu untuk periode tahun 2006-2025, ditetapkan melalui Peraturan Daerah
Nomor 12 Tahun 2005. Dalam RPJPD tersebut disampaikan visi pembangunan
Kalimantan Tengah Tahun 2006-2025 adalah “Kalimantan Tengah yang Maju,
Mandiri dan Adil”.94
Untuk mencapai visi tersebut dijabarkan 12 misi jangka panjang. Misi ke-2 adalah:
“Mewujudkan pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan, kehutanan yang
berorientasi agribisnis untuk pengembangan agroindustri dan ketahanan pangan
secara berkelanjutan”. Sedangkan misi ke-11 adalah: “Mewujudkan fungsi sumber
92
Ibid. III.4-17. 93
Ibid. III.4-20. 94
Lampiran Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 12 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2006-2025, Bab 3-1.
[53]
daya alam dan lingkungan hidup yang serasi dalam mendukung fungsi ekonomi,
sosial dan budaya masyarakat secara berkesinambungan”.95
Misi kemudian dijabarkan lagi dalam bentuk arah kebijakan pembangunan jangka
panjang. Penjabaran arah pembangunan misi ke-2 adalah sebagai berikut:96
1. Terwujudnya pemenuhan akan kebutuhan dan ketahanan pangan.
2. Terwujudnya peningkatan kemampuan menghasilkan, mengolah dan
memasarkan berbagai jenis produk pertanian, perkebunan, perikanan,
peternakan, kehutanan yang mampu berdaya saing nasional dan
internasional.
3. Terjaganya keseimbangan ekosistem sehingga mampu menjaga kelestarian
alam sebagai sumber dari segala sumber daya kehidupan manusia yang
berkelanjutan.
4. Terwujudnya peningkatan kesejahteraan petani dan nelayan.
5. Peningkatan pemanfaatan sumberdaya perikanan dalam mendukung
ekonomi dan tetap menjaga kelestariannya.
6. Terwujudnya pemanfaatan potensi sumber daya hutan secara efisien, optimal,
adil dan terjaganya keseimbangan ekosistem sehingga mampu menjaga
kelestarian alam sebagai sumber dari segala sumber daya kehidupan manusia
yang berkelanjutan.
7. Terwujudnya peningkatan kualitas fasilitas dan sarana fisik untuk
meningkatkan kualitas pelayanan.
Sedangkan misi ke-11 dijabarkan sebagai berikut:97
1. Terwujudnya kapasitas sarana, prasarana dan teknologi yang memadai dalam
pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
2. Terwujudnya wadah koordinasi pengendalian lingkungan yang bersifat lintas
sektoral dan lintas pelaku yang berkelanjutan.
3. Terwujudnya kesadaran dan ketaatan terhadap peraturan perundangan-
undangan lingkungan hidup.
4. Terwujudnya pola pemanfaatan sumber daya alam yang aman dan ramah
lingkungan.
95
Ibid., Bab 3-4 – 3-8. 96
Ibid., Bab 4-1 – 4-2. 97
Ibid., Bab 4-6.
[54]
5. Terwujudnya keberdayaan perusahaan, masyarakat dalam menyeimbangkan
pengelolaan dan pelestarian sumber daya alam secara serasi.
Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2006-2025 kemudian diturunkan lagi
menjadi Rencana Jangka Menengah Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2006-
2010. Ditetapkan melalui Peraturan Daerah Provinsi Kallimantan Tengah Nomor 13
Tahun 2005. Visi pembangunan daerah tahun 2006-2010 adalah: “Membuka Isolasi
Menuju Kalimantan Tengah yang Sejahtera dan Bermartabat”. Selanjutnya dijabarkan
bahwa “Pembukaan keterisolasian juga diarahkan untuk penguatan dan peningkatan
keterkaitan ekonomi antar pusat-pusat pertumbuhan yang ada di wilayah Provinsi
Kalimantan Tengah tanpa mengorbankan kemampuan dan kualitas ekosistem dan
lingkungan hidup”.98
Dalam arah kebijakannya diperkuat lagi dengan pernyataan bahwa: “Pembangunan
Kalimantan Tengah yang sangat strategis harus berwawasan lingkungan.
Mewujudkan fungsi sumber daya alam dan lingkungan hidup yang serasi dalam
mendukung fungsi ekonomi, sosial dan budaya masyarakat secara
berkesinambungan serta mengoptimalkan produktivitas pemanfaatan dan
pengendalian tata ruang sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku”.99
Sedangkan dalam strategi dan kebijakan, pada butir ke-3 (C) secara khusus
disebutkan “Keseimbangan ekosistem yang mampu menjaga kelestarian alam”.
Dijelaskan bahwa “Tujuan dari arah pembangunan daerah ini adalah tetap terjaganya
kondisi keseimbangan ekosistem sehingga alam dapat terlindungi kelestariannya dan
pada akhirnya alam tetap mampu menjadi sumber dari segala sumber daya
kehidupan manusia yang berkelanjutan”.100
Terkait dengan misi ke-2 RPJPD, pada butir strategi dan kebijakan yang ke-5 (E)
disebutkan “Pemanfaatan sumber daya perikanan dalam mendukung ekonomi
dengan tetap menjaga kelestariannya”.101 Disambung lagi dengan butir strategi dan
kebijakan yang ke-6 (F), yakni “Pemanfaatan potensi sumber daya hutan secara
efisien, optimal, adil dan menjaga keseimbangan ekosistem”.102 Sedangkan misi ke-
11 dari RPJPD dijabarkan dalam 18 program, mulai dari pengembangan kapasitas
98
Lampiran Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No. 13 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2006-2010, Bab 3-8. 99
Ibid., Bab 3-10. 100
Ibid., Bab 5-4. 101
Ibid., Bab 5-5. 102
Ibid., Bab 5-6.
[55]
sarana, prasarana, teknologi dan sumber daya manusia untuk mendukung
pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan hidup, sampai dengan
pemenuhan kebutuhan listrik dari sumber-sumber daya terbarukan.103
Implementasi RPJMD periode pertama diwarnai dengan pencanangan kebijakan
Green Goverment Policy, yang disampaikan oleh Gubernur pada COP ke-13 UNFCCC
di Bali akhir tahun 2007. Dalam paparannya Gubernur menyatakan bahwa rusaknya
lingkungan hidup di Provinsi Kalimantan Tengah akibat eksploitasi sumber daya alam
(SDA) yang kurang berwawasan lingkungan dan telah mengakibatkan banjir,
kebakaran hutan. Di sisi lain kondisi masyarakat Kalimantan Tengah yang seharusnya
ikut menikmati hasil dari investasi tersebut ternyata masih dalam kondisi miskin.
Guna mengantisipasi semakin rusaknya lingkungan hidup yang lebih parah,
Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah mengeluarkan kebijakan yang
mengharuskan semua perijinan harus telah memenuhi kebijakan Green Government
Policy atau kebijakan yang berwawasan lingkungan.104
Rencana Pembangunan Jangka Menengah periode kedua, untuk tahun 2010-2015
ditetapkan melalui Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 1 Tahun
2011. Visi untuk periode ini dirumuskan sebagai berikut: “Meneruskan dan
menuntaskan pembangunan Kalimantan Tengah agar rakyat lebih sejahtera dan
bermartabat demi kejayaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)”.105 Terdapat
tujuh misi untuk mencapai visi dalam periode ini, dimana misi pertamanya adalah:
“Sinergi dan Harmonisasi Pembangunan Kewilayahan Kalimantan Tengah melalui
pemantapan Rencana Penataan Ruang Provinsi (RTRWP) secara berkelanjutan
dengan memperhatikan kesejahteraan rakyat dan lingkungan hidup”. Diperkuat lagi
dengan misi ke-5, yakni “Pengembangan dan penguatan ekonomi kerakyatan yang
saling bersinergi dan berkelanjutan”.106 Misi kemudian dijabarkan lagi dalam bentuk
10 strategi, yang dirinci lagi ke dalam 112 program pembangunan.107
Pada RPJMD periode ke-2 diwarnai dengan pencanangan kebijakan yang disebut
dengan Green and Clean Province. Kebijakan tersebut mengutamakan pertimbangan
lingkungan hidup dalam setiap aktivitas pembangunan. Karena itu, semua program,
103
Ibid., Bab 14-4 – 14-15. 104
www.atn-center.org, 10 Desember 2007. 105
Lampiran Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No. 1 Tahun 2011 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2010-2014, V-1. 106
Ibid., V-3. 107
Ibid., VI-5 – VII-29.
[56]
baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota harus memerhatikan pengelolaan
lingkungan hidup dalam rencana pembangunan yang akan dilaksanakan. Guna
mewujudkan program tersebut, beberapa langkah prioritas ditetapkan. Salah satunya
rencana tata ruang wilayah provinsi (RTRWP), sebab pembangunan membutuhkan
kepastian hukum dalam pengembangan wilayah. Sedangkan prioritas lain adalah
rehabilitasi lahan gambut, penerapan Gerakan Bersama Memanfaatkan Lahan
Telantar (Geber MLT), Program Sertifikasi Tanah, dan Program Heart of Borneo
(HoB).108
Pada tahun 2010 Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah, bekerjasama dengan
Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), melakukan kajian yang menghasilkan
laporan bertajuk “Menciptakan Kesejahteraan Rendah Karbon di Kalimantan Tengah”.
Pada intinya, laporan ini mengemukakan tujuh prioritas ekonomi rendah karbon
yang bisa dilaksanakan di Kalimantan Tengah, yakni:109
1. Perkebunan di lahan non-hutan;
2. Kehutanan berkelanjutan;
3. Pertambangan yang bertanggungjawab;
4. Tanaman pangan di lahan non-hutan;
5. Perikanan;
6. Jasa keuangan; dan
7. Ekowisata.
Kebijakan untuk mengedepankan pertimbangan-pertimbangan kelestarian sumber
daya alam dan lingkungan hidup dalam pembangunan membuat Kalimantan Tengah
terpilih untuk menjadi lokasi percontohan pelaksanaan Pengurangan Emisi dari
Deforestasi dan Degradasi Hutan (Reducing Emissions from Deforestation and Forest
Degradation—REDD+) di Indonesia. Program REDD+ diterapkan di Indonesia
sebagai salah satu pelaksanaan kemitraan antara Indonesia dengan Norwegia di
bidang kehutanan, dimana Letter of Intent ditandatangani pada bulan Mei 2010.
Keputusan ini tentunya membanggakan, karena Kalimantan Tengah menyisihkan
delapan provinsi lain.110 Ketua Satuan Tugas Persiapan Pembentukan Kelembagaan
REDD+ menjelaskan, bahwa Presiden memilih Kalimantan Tengah berdasarkan
108
Harian Umum Tabengan, 23 November 2010. 109
Menciptakan Kesejahteraan Rendah Karbon di Kalimantan Tengah, Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah & Dewan Nasional Perubahan Iklim, 2010, hal. 25-29. 110
Aceh, Jambi, Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Papua, dan Papua Barat.
[57]
kombinasi dari penilaian aspek kuantitatif dan kualitatif. Hasil penilaian menunjukkan
bahwa Kalimantan Tengah adalah provinsi dengan tutupan hutan dan lahan gambut
yang cukup luas, dengan ancaman deforestasi yang nyata. Tingkat kesiapan dan
komitmen dari Gubernur untuk melaksanakan REDD+ juga dinilai menjanjikan
keberhasilan Kalimantan Tengah.111
Komitmen sudah menuai kepercayaan. Lantas bagaimana dampak dari pelaksanaan
semua kebijakan-kebijakan yang, pada beberapa bagian, mengarah untuk menuju
pembangunan berkelanjutan di Kalimantan Tengah?
Bila dilihat dari pertumbuhan PDRB, sebagaimana dibahas dalam Bab 1,
pertumbuhan ekonomi di Kalimantan Tengah stabil meningkat terus. Sedangkan
dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia, Kalimantan Tengah berada di urutan ke-7
dari 33 provinsi yang ada di Indonesia pada tahun 2011, dan cukup jauh di atas rata-
rata nasional.112
111
ANTARA News, 30 Desember 2010. 112
Data diunduh dari situs Badan Pusat Statistik: http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=26¬ab=2.
[58]
Sedangkan bila diperbandingkan dengan provinsi-provinsi tetang di Pulau
Kalimantan, IPM Kalimantan Tengah bersaing dengan IPM Kalimantan Timur yang
sama-sama lebih tinggi daripada rata-rata nasional.
60 65 70 75 80
Papua
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Maluku Utara
Irian Jaya Barat
Kalimantan Barat
Sulawesi Barat
Kalimantan Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Banten
Sulawesi Tengah
Maluku
Lampung
Sulawesi Selatan
Aceh
Jawa Timur
Jawa Barat
Indonesia
Bali
Jawa Tengah
Jambi
Bangka Belitung
Bengkulu
Sumatera Selatan
Sumatera Barat
Sumatera Utara
Kalimantan Tengah
Kepulauan Riau
Kalimantan Timur
Yogyakarta
Riau
Sulawesi Utara
DKI Jakarta
Perbandingan Indeks Pembangunan Manusia Antar Provinsi
[59]
Tingkat kemiskinan di Provinsi Kalimantan Tengah juga terbilang rendah. Pada tahun
2012 bila dilihat prosentase penduduknya yang miskin, peringkatnya masih di atas
rata-rata nasional.
50
60
70
80
1996 1999 2002 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Perbandingan Indeks Pembangunan Manusia di Kalimantan
Indonesia
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
0 5 10 15 20 25 30 35
Papua
Maluku
Aceh
Bengkulu
DI Yogyakarta
Jawa Tengah
Sumatera Selatan
Sulawesi Tenggara
Indonesia
Jawa Barat
Jambi
Riau
Kalimantan Barat
Kepulauan Riau
Kalimantan Tengah
Bangka Belitung
Bali
Prosentase Penduduk Miskin 2012
Perbandingan Prosentase Penduduk Miskin Antar Provinsi
[60]
Bila dilihat lebih dalam, jumlah penduduk miskin di wilayah perdesaan Kalimantan
Tengah terus menurun. Sedangkan yang di wilayah perkotaan justru ada
peningkatan dari tahun 2011 ke tahun 2012. 113
Secara umum perkembangan perekonomian dalam keadaan stabil dan tingkat
kemiskinannya terus menurun. Namun, ternyata ada kenyataan yang tidak bisa
dilihat dari data statistik. Sejak tahun 2006 hingga akhir tahun 2012, Perkumpulan
untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa)
mendokumentasikan 232 konflik sumber daya alam dan agraria di Indonesia. Tidak
semua provinsi terliput, dan data tersebut hanya mewakili 98 kabupaten/kota di 22
provinsi. Dari data yang ada, tujuh provinsi menjadi lokasi konflik terbanyak dan
Kalimantan Tengah berada di urutan teratas, sebagaimana tabel di bawah ini.114
No. Provinsi Jumlah Kasus Luas Lahan
Konflik (hektar)
1. Kalimantan Tengah 67 254.671
113
Data diunduh dari situs Badan Pusat Statistik: http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=23¬ab=1. 114
Widiyanto et.al., Outlook Konflik Sumberdaya Alam dan Agraria 2012, Pusat Database dan Informasi - HuMa, diluncurkan tanggal 15 Februari 2013.
0
2
4
6
8
10
12
2007 2008 2009 2010 2011 2012
Perbandingan Prosentase Penduduk Miskin di Kota & di Desa Kalimantan Tengah
Kota
Desa
[61]
No. Provinsi Jumlah Kasus Luas Lahan
Konflik (hektar)
2. Jawa Tengah 36 9.043
3. Sumatera Utara 16 114.385
4. Banten 14 8.207
5. Jawa Barat 12 4.422
6. Kalimantan Barat 11 551.073
7. Aceh 10 28.522
Kalimantan Tengah menjadi provinsi yang paling banyak konflik, dimana 13 dari 14
kabupaten dan kotanya memendam masalah klaim atas sumber daya alam dan
agraria. Artinya, konflik berlangsung merata di wilayah administratif provinsi tersebut.
Sebanyak 85% dari kasus di Kalimantan Tengah terjadi di sektor perkebunan,
sedangkan 10% merupakan konflik di sektor kehutanan. Sisanya adalah konflik
pertambangan dan konflik lainnya. Menurut HuMa, tipologi konflik di Kalimantan
adalah klaim komunitas lokal atau masyarakat adat dengan negara dan perusahaan.
Tentang siapa saja yang terlibat di dalam konflik, dari data konflik di 22 provinsi
diperoleh gambaran sebagaimana grafik di bawah ini:
Perusahaan/ Korporasi
35%
Komunitas Lokal 34%
Petani 9%
Masyarakat Adat 7%
Perhutani 7%
Taman Nasional/ Kemenhut
4% PTPN
2% Pemerintah Daerah
2%
Instansi lain 0,4%
Pihak yang terlibat dalam konflik di 22 provinsi
[62]
Dalam menentukan kategori, masyarakat adat dibedakan dengan komunitas lokal
untuk menjelaskan perbedaan klaim historis atas lahan konflik. Sedangkan kelompok
tani diidentifikasi sebagai pihak yang terkait dengan relasi kontraktual dengan
perusahaan.115
Ternyata pertumbuhan ekonomi yang stabil dan Indeks Pembangunan Manusia yang
tinggi bukan merupakan jaminan dari kehidupan sosial yang bebas konflik. Padahal
pembangunan berkelanjutan hanya akan terwujud bila pembangunan ekonomi
seimbang dengan pembangunan sosial dan pembangunan lingkungan hidup. Bila
pembangunan berkelanjutan hendak sungguh-sungguh dilaksanakan di Kalimantan
Tengah, ketiga pilar pembangunan berkelanjutan (ekonomi, sosial, dan lingkungan
hidup) senantiasa perlu diseimbangkan.
115
Ibid.
[63]
BAB 3. PELUANG PEMBANGUNAN
BERKELANJUTAN DI KALIMANTAN TENGAH
Pembangunan bersifat dinamis, tergantung pada aspirasi di jamannya masing-
masing. Satu hal yang jelas dituju dengan pembangunan adalah kondisi yang lebih
baik, yang lebih sejahtera dari ketika pembangunan itu direncanakan. Lantas
bagaimana kondisi yang lebih baik, atau kesejahteraan, diukur? Kerangka sistem
perencanaan pembangunan di Indonesia sudah cukup mapan. Undang-undang
Nomor 25 Tahun 2004 mengamanahkan agar perencanaan pembangunan dipilah
dalam kerangka waktu jangka panjang (RPJP) untuk periode 20 tahun, jangka
menengah (RPJM) untuk periode 5 tahun, dan untuk periode 1 tahun disebut dengan
Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Rencana Pembangunan Jangka Panjang
dimaksudkan untuk melihat tujuan-tujuan besar dari pembangunan jauh ke depan,
cita-cita tentang kondisi yang lebih baik yang diharapkan terwujud dalam jangka
panjang. Rencana Pembangunan Jangka Menengah untuk memantau apakah kinerja
pembangunan masih dalam jalur yang diharapkan untuk mencapai cita-cita jangka
panjang, yang kadang sulit diukur dan dilihat dampaknya dalam tempo satu tahun
pembangunan saja. Sedangkan RKP adalah jabaran program pembangunan yang
harus dilakukan untuk mencapai cita-cita jangka panjang.
Kehendak untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan, yang visinya sangat jauh
ke depan dimana pencapaian kesejahteraan masyarakat di masa kini menjamin
kesejahteraan masyarakat di masa depan, sudah cukup kuat landasan formalnya—
baik di tingkat nasional maupun di tingkat Provinsi Kalimantan Tengah. Lantas
bagaimana peluang untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan, khususnya di
Kalimantan Tengah?
Setelah meninjau kesiapan niat dan kondisi sesungguhnya yang terjadi dalam
bagian-bagian sebelumnya, berikut disampaikan gagasan-gagasan yang diharapkan
memberikan sumbangan bagi terwujudnya pembangunan berkelanjutan di
Kalimantan Tengah:
[64]
1. Berbagi ruang antara ruang budidaya tradisional dengan ruang industri
dan budidaya skala besar
Pertumbuhan ekonomi, yang secara konvensional dicapai melalui
pengembangan industri dan budidaya skala besar, masih diperlukan untuk
pemenuhan kebutuhan pokok dan peningkatan kesejahteraan. Namun,
belum tentu masyarakat dapat mengikuti langkah perusahaan-perusahaan
besar yang bergerak cepat didukung oleh modal keuangan yang kuat.
Apalagi bagi masyarakat Kalimantan Tengah yang hingga akhir abad ke-20
masih diidentifikasi sebagai nature based communities. Sekali-kali tidak
direkomendasikan untuk menghambat masyarakat mengikuti kemajuan
jaman, dan membuat mereka hidup dalam museum terbuka. Setidaknya ada
pilihan-pilihan. Bagi yang sumber dayanya mencukupi bisa mengikuti pola
produksi industri dan budidaya skala besar. Tetapi bagi yang belum mampu,
atau investasinya dalam budidaya tradisional sudah cukup besar (dalam
kebun karet, kebun rotan, atau budidaya perikanan, misalnya), perlu diberi
ruang untuk berkembang juga. Mereka perlu dibantu untuk mengembangkan
produktivitas lahan dan perairan melalui cara-cara yang ramah lingkungan,
dibantu untuk memperoleh harga jual yang adil, dan menumbuhkan
kebanggaan sebagai produsen bahan-bahan yang diperlukan oleh orang
kota. Kiranya tidak banyak ruang yang diperlukan untuk budidaya tradisional.
Secara faktual, dan yang mana sudah diatur secara adat, ruang budidaya
tradisional masyarakat jarang yang lebih jauh dari jarak 5 kilometer di kiri-
kanan sungai-sungai besar. Selebihnya silahkan dibudiayakan oleh
perusahaan. Konsep berbagi ruang ini tentunya juga bersambungan dengan
falsafah “Huma Betang”, yang masih diyakini oleh sebagian besar warga
Kalimantan Tengah.
2. Corporate Social Responsibility (tanggung-jawab sosial perusahaan):
mengembangkan pola produksi yang menyatu dengan perekonomian
setempat
Corporate Social Responsibility (CSR) adalah proses dengan tujuan untuk
menerima tanggung jawab atas tindakan perusahaan dan mendorong
dampak positif dari kegiatan-kegiatannya terhadap lingkungan, konsumen,
karyawan, masyarakat, dan semua bagian dari publik yang juga dapat
dianggap sebagai pemangku kepentingan. Istilah CSR mulai digunakan pada
akhir tahun 1960-an, ketika perusahaan-perusahaan multinasional mulai
[65]
menyadari bahwa mereka mempunyai tanggungjawab tidak ahnya kepada
para pemegang saham, namun juga kepada pemangku kepentingan yang
lebih luas. Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia,
tanggungjawab perusahaan mulai muncul dengan diterbitkannya Undang-
undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pasal 74 dari
Undang-undang ini mengatur bahwa: “Perseroan yang menjalankan kegiatan
usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib
melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan, yang dianggarkan
dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan
dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran”. Regulasi ini sudah mulai
dijalankan, hanya saja dalam pelaksanaannya seringkali diterjemahkan
sebagai bantuan-bantuan sosial kepada masyarakat di sekitar perusahan
bekerja. Dalam rangka mewujudkan pembangunan berkelanjutan,
seyogyanya CSR memberikan dampak positif lebih besar dari sekedar
kegiatan yang bersifat charity. Dalam kerangka perekonomian lokal
setidaknya perusahaan bisa melibatkan masyarakat di sekitarnya dalam mata
rantai usaha yang dilaksanakan. Misalnya, membina masyarakat sekitarnya
untuk memasok kemasan produk yang dihasilkan perusahaan, menyediakan
jasa angkutan, menyediakan bahan makanan atau makanan siap saji untuk
karyawan perusahaan, dlsb. Dalam kerangka sosial perusahan bisa
berkontribusi dalam meningkatkan sumber daya manusia setempat. Tidak
sekedar merekrut pekerja lokal untuk pekerjaan-pekerjaan kasar
(pembersihan lahan, pembibitan, penanaman), namun juga meningkatkan
kapasitas karyawan lokal agar nantinya bisa menduduki posisi-posisi
manajerial dalam perusahaan. Bila perusahaan menerapkan kebijakan
budidaya inti-plasma, petani sebaiknya dibina agar di masa depan menjadi
petani yang mandiri dan tidak seumur hidup tergantung kepada perusahaan
(walaupun senantiasa ada pilihan untuk yang mau menggantungkan
hidupnya terus-menerus kepada perusahaan). Dalam kerangka lingkungan,
setidaknya kegiatan perusahaan dijaga agar tidak menimbulkan kerusakan
atau pencemaran lingkungan setempat dan dlingkungan di bagian hilirnya.
Lebih baik lagi bila perusahaan berbagi ruang budidaya dengan masyarakat
di sekitarnya. Artinya tidak melanggar hak-hak atas lahan dan akses terhadap
sumber daya yang diperlukan oleh masyarakat di sekitarnya untuk
mengembangkan penghidupannya.
[66]
3. Mengamankan sumber pangan
Hasil dari kajian JICA dan Bappenas di tahun 1998 menunjukkan bahwa
ternyata hanya sedikit lahan subur di Kalimantan Tengah yang cocok untuk
budidaya tanaman pangan. Lahan-lahan subur yang tidak banyak ini
sebaiknya dijaga untuk tetap sebagai lahan produksi bahan pangan, tidak
dikonversi untuk keperluan industri atau budidaya lainnya. Bahan pangan
yang dimaksud di sini adalah bahan pangan yang langsung dapat
dikonsumsi, seperti beras, sayuran dan buah-buahan. Kadang ada pihak yang
menyebutkan bahwa kelapa sawit adalah bahan pangan juga, yaitu untuk
bahan pembuat minyak nabati. Benar, namun agar untuk bisa dikonsumsi
memerlukan proses pengolahan yang hingga saat ini masih belum bisa
dilakukan oleh masyarakat secara mandiri. Selain bahan pangan dari vegetasi,
sumber protein seperti perikanan juga perlu dijaga. Sehingga kawasan
perairan perlu dijaga produktivitasnya sebagai sumber perikanan, baik untuk
perikanan tangkap maupun untuk budidaya perikanan.
4. Adopsi kearifan tradisional
Nature based communities yang disebutkan oleh peneliti JICA dan Bappenas
telah membuktikan keberadaan dan gaya hidupnya hingga akhir abad ke-20,
dan di banyak tempat masih ada hingga kini. Tentunya masyarakat seperti ini
mempunyai strategi kehidupan yang harmonis dengan lingkungan alam di
sekitarnya hingga bisa bertahan hidup selama ini. Satu hal yang masih ada
adalah aturan-aturan adat yang mengatur tata kelola lingkungan dan sumber
daya alam, demi keberlangsungan kehidupan dan kesejahteraan bersama.
Bentuk-bentuk kearifan tradisional, yang sudah teruji turun-temurun, seperti
ini selayaknya diadopsi sebagai satu strategi untuk mewujudkan
pembangunan berkelanjutan di Kalimantan Tengah.
5. Perencanaan pembangunan berkelanjutan di tingkat perdesaan
Demi mengejar kemajuan (dalam bidang pendidikan, perekonomian, status
sosial, dlsb.), senantiasa ada kecenderungan perpindahan penduduk dari desa
ke kota. Food and Agriculture Organization memperoyeksikan kependudkan
Indonesia sebagaimana grafik di bawah ini:116
116
Sumber: http://faostat3.fao.org/.
[67]
Segencar apapun arus urbanisasi, tetap akan ada penduduk yang tinggal di
desa. Lagipula desa adalah basis penghasil bahan-bahan kebutuhan pokok
untuk menunjang kehidupan semua orang, baik dalam bentuk bahan pangan,
bahan-bahan untuk membuat pakaian dan bangunan, dan juga bahan-bahan
untuk membuat barang-barang konsumsi lainnya (karet untuk membuat ban,
rotan untuk membuat mebel, dlsb.). Kehidupan perdesaan sangat dekat
dengan pengelolaan sumber daya alam, apalagi tipologi masyarakat di
Kalimantan Tengah masih berbasis pada sumber daya alam (nature based
communities). Menjadi sesuatu yang logis bila pembangunan berkelanjutan
dimulai dari perdesaan. Sudah saatnya para pakar membantu masyarakat
perdesaan untuk merencanakan pembangunan yang berkelanjutan di tingkat
perdesaan, karena masyarakat desa telah membantu para pakar (yang
notabene adalah orang kota) dengan menyediakan bahan-bahan kebutuhan
pokok. Tantangannya adalah bagaimana menerjemahkan konsep
pembangunan berkelanjutan ke dalam bahasa yang mudah dipahami dan
dikerjakan di desa. Pendekatan-pendekatan partisipatif perlu diadopsi dalam
proses perencanaan pembangunan berkelanjutan, agar rencana yang
dihasilkan sepenuhnya adalah milik orang desa. Orang kota hanya membantu
prosesnya saja. Kepemilikan menjadi penting agar pembangunan
0
50.000.000
100.000.000
150.000.000
200.000.000
250.000.000
300.000.000
19
61
19
64
19
67
19
70
19
73
19
76
19
79
19
82
19
85
19
88
19
91
19
94
19
97
20
00
20
03
20
06
20
09
20
12
20
15
20
18
20
21
20
24
20
27
20
30
20
33
20
36
20
39
20
42
20
45
20
48
Proyeksi Kependudukan Indonesia
Populasi Perdesaan Populasi Perkotaan
[68]
berkelanjutan tidak hanya sekedar proyek sesaat, namun menjadi gaya hidup,
gaya pembangunan yang yang menyatu dengan kehidupan sehari-hari
masyarakat perdesaan.
6. Keselarasan kepentingan lokal dengan kepentingan global
Seringkali konsep-konsep baru, atau gagasan-gagasan baru diwaspadai
sebagai intervensi dari luar, sebagaimana konsep pembangunan
berkelanjutan. Namun, khususnya untuk pembangunan berkelanjutan,
sebenarnya bisa ditilik kepentingannya dari sudut pandang dan praktek-
praktek lokal. Seperti yang sudah dibahas mengenai kearifan tradisional,
sebenarnya ada titik-titik temu antara konsep global dengan konsep lokal.
Selanjutnya adalah bagaimana menyelaraskan kepentingan-kepentingan,
yang satu dari sudut pandang kepentingan masyarakat lokal, dan satunya lagi
dari sudut pandang kepentingan insan sedunia. Dua ruang ini hanya berbeda
skala, namun ada bagian-bagian kepentingan yang bisa disinergikan agar
saling menguntungkan dan saling memperkuat.
Akhirnya, pembangunan berkelanjutan pada dasarnya adalah menjaga keberlanjutan
kehidupan dan mengupayakan kesejahteraan kita semua, termasuk anak-cucu yang
belum dilahirkan. Niat besar ukuran global bisa diterjemahkan ke dalam niat dan
kepentingan lokal. Sebaliknya niat dan kepentingan lokal mewarnai kehidupan secara
global, karena bagaimanapun juga bahan-bahan kebutuhan pokok manusia sedunia
diproduksi secara lokal.
[69]
DAFTAR PUSTAKA
Ahim S. Rusan et.al., Sejarah Kalimantan Tengah, Kerjasama Lembaga Penelitian
Universitas Palangka Raya dengan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah,
Program Pengelolaan Kekayaan Budaya Provinsi Kalimantan Tengah, 2006
ANTARA News, 30 Desember 2010
Basel A. Bangkan, Adat dan Hukum Adat Dayak Kalimantan Tengah tentang
Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, belum diterbitkan
Bernard Sellato, Nomads of the Borneo Rainforest: The Economics, Politics, and
Ideology of Settling Down, Translated by Stephanie Morgan, Honolulu:
University of Hawaii Press, 1994
Carl Lumholtz, Through Central Borneo, Volume I, New York: Charles Scribner’s Sons,
1920
Climate Change 2007: Synthesis Report, Intergovernmental Panel on Climate Change
Data Base Perizinan Sektor Ekonomi (Kehutanan, Pertambangan, Perkebunan)
Kalimantan Tengah Tahun 2008, Biro Administrasi Perekonomian dan Sumber
Daya Alam, Sekretariat Daerah Provinsi Kalimantan Tengah , 2008
Data dan Informasi Kehutanan Propinsi Kalimantan Tengah, Pusat Inventarisasi dan
Statistik Kehutanan, Badan Planologi Kehutanan, Departemen Kehutanan, 2002
Data Perkembangan Pembangunan Perkebunan Besar Provinsi Kalimantan Tengah,
Per Desember 2008, Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Tengah, 2009
Declaration of the United Nations Conference on the Human Environment, 1972
Donella H. Meadows, Dennis L. Meadows, Jørgen Randers, William W. Behrens III, The
Limits to Growth: A Report for The Club of Rome’s Project on the Predicament
of Mankind, New York: Universe Books, 1972
Garrett Hardin, The Tragedy of the Commons, Science, Vol. 162, 1968
[70]
Goenadi Nitihaminoto & Bambang Sulistyanto, Permukiman Situs Pulang Pisau
Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, Berita Penelitian Arkeologi No. 04,
Balai Arkeologi Banjarmasin, 1998/1999
Harian Umum Tabengan, 23 November 2010
Intergovernmental Panel on Climate Change Second Assessment: Climate Change
1995
Japan International Cooperation Agency (JICA) & Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional, The Development Study on Comprehensive Regional Development
Plan for The Western Part of Kalimantan, SCRDP – KALTENGBAR, Final Report
Vol. 2, 1999
Johannesburg Declaration on Sustainable Development, 2002
J. Ph. Poley, Eroïca: The Quest for Oil in Indonesia (1850-1898), Dordrecht: Kluwer
Academic Publishers, 2000
J. Saililah, Damang, Hukum Adat Kalimantan Tengah, Lembaga Bahasa & Seni Budaya
Universitas Palangka Raya, 1977
J. Thomas Lindblad & Peter E.F. Verhagen), Antara Dayak dan Belanda: Sejarah
Ekonomi Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan 1880-1942, Penerjemah: Ika
Diyah Candra, Editor: Wisnu Subroto, Arya W. Wirayuda, Isye Siti Asyiah,
Malang: Lilin Persada Press, Jakarta: KITLV-Jakarta, 2012
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1989 tentang Rencana
Pembangunan Lima Tahun Kelima (Repelita V)
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan
Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam
K. Heyne, Tumbuhan Berguna Indonesia, Penerjemah: Badan Litbang Kehutanan, Jilid
I – IV, Jakarta: Yayasan Sarana Wana Jaya, 1987
Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change,
1998
[71]
Laporan Penelitian Pengobatan dengan Tumbuhan untuk Manusia: Studi dari Sebelas
Desa di Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah, Bidang Botani Puslit
Biologi – LIPI, WWF Indonesia, 2007
Marwati Djoened Poesponegoro et.al., Sejarah Nasional Indonesia VI: Zaman Jepang
dan Zaman Republik Indonesia, PT Balai Pustaka, 2008
Mathis Wackernagel & William Rees, Our Ecological Footprint: Reducing Human
Impact on the Earth, New Society Publisher, 1996
Menciptakan Kesejahteraan Rendah Karbon di Kalimantan Tengah, Pemerintah
Provinsi Kalimantan Tengah & Dewan Nasional Perubahan Iklim, 2010
Mikhail Coomans, Manusia Daya: Dahulu, Sekarang, Masa Depan, Jakarta: Gramedia,
1987
Moh. Ali Fadillah & Heddy Surachman, Tembikar Perdagangan di Pesisir Barat Daya
Kalimantan: Kajian Awal Aspek Morfologis, Makalah pada Evaluasi Hasil
Penelitian Arkeologi di Cipayung, Bogor, 16-19 Februari 1998, diterbitkan
dalam Naditira Widya No. 04/2000, Balai Arkeologi Banjarmasin, 2000
Naskah Garis Besar Haluan Negara 1993
Nathan F. Sayre, The Genesis, History, and Limits of Carrying Capacity, Annals of the
Association of American Geographers, 98: 1, 2008
Nugroho Notosusanto et.al., Sejarah Nasional Indonesia Jilid II, Jakarta: Balai Pustaka,
1993
Pegunungan Muller: Warisan Dunia di Jantung Kalimantan, Pusat Konservasi
Tumbuhan Kebun Raya Bogor, 2005
Pendapatan Regional Kalimantan Tengah 1993-2000, Badan Pusat Statistik Provinsi
Kalimantan Tengah
Pendapatan Regional Kalimantan Tengah 2000-2004, Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah & Badan Pusat Statistik Provinsi kalimantan Tengah
Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 1 Tahun 2011 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Tahun
2010-2014
[72]
Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 12 Tahun 2005 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Kalimantan Tengah
Tahun 2006-2025
Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 13 Tahun 2005 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Kalimantan Tengah
Tahun 2006-2010
Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2010-2014
Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2004-2009
Produk Domestik Regional Bruto Kalimantan Tengah 2008-2010, Badan Pusat
Statistik Indonesia
Report of the World Commission on Environment and Development, Our Common
Future, United Nations, 1987
Rio Declaration on Environment and Development: Report of the United Nations
Conference on Environment and Development, 1992
Sabtanto Joko Suprapto, Tinjauan Tentang Cebakan Emas Aluvial di Indonesia dan
Potensi Pengembangan
Sekretariat Wilayah Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah, Lembaga Kedemangan dan
Hukum Adat Dayak Ngaju di Propinsi Kalimantan Tengah, Biro Pemerintahan
Desa, diperbanyak oleh Panitia Seminar dan Lokakarya Kebudayaan Dayak dan
Hukum Adat di Kalimantan Tengah, 1996
Statistik Ekonomi Keuangan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah, Desember 2001,
Kelompok Kajian Statistik dan Survei, Bank Indonesia
Statistik Ekonomi Keuangan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah, Desember 2006,
Kelompok Kajian Statistik dan Survei, Bank Indonesia
Statistik Ekonomi Keuangan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah, Vol. 8 No. 12,
Desember 2008, Kelompok Kajian Statistik dan Survei, Bank Indonesia
[73]
Statistik Ekonomi Keuangan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Vol. 9 No. 10,
Kelompok Kajian Statistik dan Survei, Bank Indonesia
Statistik Perkebunan Provinsi Kalimantan Tengah Angka Sementara Tahun 2013,
Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Tengah, April 2013
The Changing Atmosphere: Implications for Global Security, Conference Statement,
1988
Tjilik Riwut, Kalimantan Membangun Alam dan Kebudayaan, Tiara Wacana Yogya,
1993
Tom Harrisson, The Prehistory of Borneo, Asian Perspectives, XIII, 1970
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tanun 2005-2025
Widiyanto et.al., Outlook Konflik Sumberdaya Alam dan Agraria 2012, Pusat Database
dan Informasi - HuMa, diluncurkan tanggal 15 Februari 2013