LAPORAN KASUS Kepada Yth. : Dipresentasikan pada: Hari/Tanggal : Jam : SEBUAH KASUS MORBUS HANSEN TIPE BORDERLINE LEPROMATOUS YANG AWALNYA DIDUGA SEBAGAI SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS Oleh : dr. Putu Nila Wardhani Batan Pembimbing : Dr. dr. Luh Made Mas Rusyati, Sp.KK, FINSDV PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA/ RSUP SANGLAH DENPASAR 2016 Dr. dr. Luh Made Mas Rusyati, Sp.KK, FINSDV (Pembimbing)
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
0
LAPORAN KASUS Kepada Yth. :
Dipresentasikan pada:
Hari/Tanggal :
Jam :
SEBUAH KASUS MORBUS HANSEN TIPE
BORDERLINE LEPROMATOUS YANG AWALNYA
DIDUGA SEBAGAI SYSTEMIC LUPUS
ERYTHEMATOSUS
Oleh :
dr. Putu Nila Wardhani Batan
Pembimbing :
Dr. dr. Luh Made Mas Rusyati, Sp.KK, FINSDV
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I
BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA/
RSUP SANGLAH DENPASAR
2016
Dr. dr. Luh Made Mas Rusyati, Sp.KK, FINSDV
(Pembimbing)
1
PENDAHULUAN
Morbus Hansen (MH) atau yang dikenal pula sebagai kusta adalah sebuah penyakit
infeksi granulomatosa kronis yang disebabkan oleh Micobacterium leprae (M.
leprae).1,2 Morbus Hansen merupakan suatu penyakit menular yang menimbulkan
masalah yang kompleks tidak hanya dari segi medis, tapi juga mempengaruhi
kehidupan sosial penderita karena adanya stigma yang buruk dari masyarakat.3
Prevalensi MH bervariasi pada berbagai negara di seluruh dunia. World
Health Organization (WHO) melaporkan terdapat 213.899 kasus MH baru dari 121
negara di dunia tahun 2014, dengan angka prevalensi 0,31 per 10.000 penduduk.4
Indonesia menempati urutan prevalensi ketiga di dunia setelah India, dan Brazil
dengan jumlah kasus MH baru sebanyak 17.025 kasus pada tahun 2014 dan 14.213
kasus diantaranya merupakan kasus MH tipe multibasiler (MB) baru.4 Di Indonesia
penderita MH terdapat hampir pada seluruh propinsi dengan pola penyebaran yang
tidak merata. Data dari Dinas Kesehatan Provinsi Bali tahun 2013 mencatat adanya
84 kasus baru MH (75 kasus merupakan MH tipe MB) dengan angka penemuan
kasus baru sebesar 2,07 per 100.000 penduduk.5 Di Poliklinik Kulit dan Kelamin
RSUP Sanglah terdapat 107 kasus MH baru dari tahun 2013-2015 dengan 43 kasus
merupakan kasus MH tipe borderline-lepromatous (BL) baru.6
Morbus Hansen merupakan sebuah penyakit infeksi kronis dengan ranah
manifestasi klinis dan serologis yang luas. Manifestasi klinis MH bervariasi dari
lesi kulit atau saraf tunggal hingga keterlibatan integumen dan organ sistemik.7
Manifestasi klinis kusta yang bervariasi tersebut menyebabkan penyakit ini
memiliki julukan “the great imitators” dikarenakan oleh penyakit ini sering sekali
disangka dan dikelirukan dengan berbagai penyakit lainnya. Morbus Hansen sejak
lama telah diketahui memiliki kaitan dengan timbulnya auto-antibodi dan gejala
klinisnya menyerupai penyakit autoimun seperti systemic lupus erythematosus
(SLE). Perjalanan klinis MH yang multisistemik kadang sulit dibedakan dengan
SLE. Sayangnya, karena berbagai kemiripan tersebut, terkadang klinisi gagal
membedakan MH dengan penyakit lainnya, sehingga terjadi keterlambatan untuk
menegakkan diagnosis yang tepat. Maka dari itu, diagnosis MH sering kali
ditegakkan pada stadium lanjut saat telah terjadi perluasan penyakit.8
2
Kurangnya kecurigaan klinis dan pengetahuan histologis MH dapat
menghambat penegakkan diagnosis dan pengobatan yang tepat pada pasien.
Diagnosis dan pengobatan dini sangatlah penting untuk mencegah atau membatasi
perkembangan penyakit dan menurunkan risiko penularan penyakit. Kemiripan
klinis dan serologis antara pasien MH dengan SLE dapat menyebabkan
misdiagnosis. Pengenalan yang baik terhadap manifestasi klinis MH sangatlah
penting dalam hal ini. Kewaspadaan klinisi terhadap penyakit ini sangatlah
diperlukan untuk memulai terapi secara dini dan tepat.8
Kasus ini dilaporkan untuk meningkatkan kewaspadaan klinisi mengenai
manifestasi klinis MH yang bervariasi tersebut dapat menyerupai penyakit lain
seperti SLE. Pengenalan manifestasi klinis MH secara dini dan cermat akan
menurunkan angka misdiagnosis penyakit MH dan untuk memulai pengobatan
yang tepat secara dini.
KASUS
Seorang laki-laki, usia 44 tahun, suku Bima, Warga Negara Indonesia, dengan
nomor rekam medis 16.00.63.94 datang ke Subdivisi Imunologi Poliklinik Kulit
dan Kelamin RSUP Sanglah Denpasar pada tanggal 2 Maret 2016 dengan keluhan
utama terdapat bercak kemerahan di wajah. Pasien merupakan rujukan dari
Poliklinik Penyakit Dalam dengan diagnosis suspek SLE.
Pasien mengeluh muncul bercak kemerahan pada kedua pipi sejak 2 bulan
yang lalu. Awalnya bercak kemerahan berukuran kecil, semakin lama semakin
melebar, dan menyebar ke tangan dan kaki. Bercak kemerahan tidak dikeluhkan
gatal dan nyeri. Bercak kemerahan kemudian menyebar ke dada, punggung, dan
ekstremitas. Sejak 2 bulan yang lalu, pasien mengeluh cepat lelah dan badan terasa
lemas. Pasien juga mengeluhkan kulit wajahnya menjadi lebih cepat merah bila
terpapar sinar matahari sejak 2 bulan yang lalu. Riwayat sariawan berulang pada
bibir sejak 2 bulan yang lalu. Selain itu, pasien juga mengeluh rasa kesemutan dan
terasa kaku pada jari-jari tangan dan kaki. Riwayat panas badan berulang, nyeri
sendi, dan penurunan berat badan disangkal. Keluhan penglihatan kabur, nyeri pada
mata, mata merah, kerontokan alis mata juga disangkal.
3
Riwayat penyakit dahulu mendapatkan pasien belum pernah menderita
keluhan serupa. Pasien sudah pernah memeriksakan diri di RSUD Bima 1 bulan
yang lalu dan didiagnosis suspek SLE. Pasien kemudian dirujuk ke RSUP Sanglah
untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Riwayat penyakit sistemik seperti
hipertensi, diabetes, asma, penyakit jantung, ginjal, dan hati disangkal oleh pasien.
Riwayat pengobatan didapatkan bahwa pasien diberikan parasetamol 500
mg setiap 8 jam per oral dan multivitamin 1 tablet setiap 24 jam per oral di RSUD
Bima. Riwayat mengoleskan krim atau minyak tradisional pada bercak kemerahan
tersebut disangkal oleh pasien.
Riwayat penyakit pada keluarga, dikatakan tidak ada yang menderita
penyakit kusta pada keluarga. Riwayat penyakit sistemik seperti diabetes, asma,
penyakit jantung, dan SLE pada keluarga disangkal. Tetangga pasien ada yang
menderita kusta dan sedang mengkonsumsi obat paket. Pasien sering berkunjung
ke rumah tetangganya tersebut untuk bersilaturahmi. Riwayat sosial, pasien saat ini
bekerja sebagai guru SD dengan pendidikan terakhir S1.
Pemeriksan fisik ditemukan keadaan umum penderita baik, kesadaran
kompos mentis, berat badan 65 kg, tinggi badan 165 cm, tekanan darah 120/80
mmHg, denyut nadi 82x/menit, frekuensi pernafasan 20x/menit, temperatur aksila
360C. Pada pemeriksaan status generalis didapatkan kepala normosefali, pada mata
tidak didapatkan adanya hiperemia, tanda anemia serta ikterus pada konjungtiva,
tidak ditemukan adanya lagoftalmus, reflek kornea didapatkan normal, pupil
tampak isokor, reflek cahaya positif, dan tidak ditemukan adanya madarosis.
Pemeriksaan telinga, hidung, dan tenggorokan didapatkan kesan tenang, tidak
didapatkan adanya infiltrat pada telinga dan kelainan deformitas pada hidung. Pada
leher tidak ditemukan pembesaran kelenjar getah bening. Pemeriksaan rongga
mulut tidak ditemukan adanya ulkus. Pada pemeriksaan toraks didapatkan suara
jantung S1 dan S2 tunggal, reguler, tidak terdapat murmur. Suara nafas paru-paru
vesikuler, tidak ditemukan adanya rhonki ataupun wheezing. Pada pemeriksaan
abdomen, hepar, dan lien tidak teraba, bising usus dalam batas normal, tidak
didapatkan distensi abdomen. Ekstremitas atas dan bawah teraba hangat, tidak
terdapat edema pada kedua tungkai bawah.
4
Status dermatologis, lokasi pada kedua pipi, thorakoabdominal, punggung,
ekstremitas superior dan inferior dextra et sinistra didapatkan effloresensi berupa
makula eritema multipel, bentuk bulat-geografika, batas tidak tegas, ukuran
bervariasi 2x2 cm–4x5 cm, permukaan tampak halus dan berkilat, dengan distribusi
bilateral hampir simetris (Gambar 1).
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan diagnosis suspek
SLE. Penatalaksanaan yang diberikan adalah desoksimetason 0,25% krim topikal
setiap 12 jam. Pasien direncanakan untuk melakukan biopsi kulit pada lesi. Belum
ada penatalaksaan spesifik lain yang diberikan sambil menunggu hasil pemeriksaan
histopatologi untuk menegakkan diagnosis. Penderita diberikan komunikasi,
informasi, dan edukasi (KIE) tentang penyakit, rencana biopsi kulit, dan cara
penggunaan obat.
Dari Bagian Penyakit Dalam, pasien didiagnosis dengan suspek SLE yang
memenuhi 3 dari 11 kriteria American College of Rheumatology (ACR) yaitu
(malar rash, fotosensitivitas, dan riwayat ulkus mulut). Pasien diberikan terapi
Gambar 1a-h. Tampak lesi berupa makula eritema multipel, bentuk bulat-geografika, batas tidak
tegas, permukaannya halus berkilat, dengan distribusi bilateral hampir simetris pada daerah wajah,
thorakoabdominal, punggung, dan ekstremitas.
1a 1b 1c 1d
1c
1e 1f 1g
1f
1f
5
berupa parasetamol 500 mg setiap 8 jam per oral, dan direncanakan melakukan
pemeriksaan darah berupa darah lengkap, fungsi hati (SGOT dan SGPT), fungsi
ginjal (BUN dan SC), gula darah acak, antinuclear antibody-indirect
immunofluorescence (ANA-IF), dan profil antinuclear antibody (ANA). Pasien
dikonsulkan ke Bagian Kulit dan Kelamin untuk dilakukan biopsi kulit.
PENGAMATAN LANJUTAN I (HARI KE-14, 15 Maret 2016)
Pasien dikonsulkan dari Subdivisi Imunologi Poliklinik Kulit dan Kelamin ke
Subdivisi MH dan membawa hasil biopsi dengan kesimpulan gambaran morfologi
sesuai untuk MH tipe BL. Pasien mengeluh terdapat bercak kemerahan baru pada
pergelangan tangan kiri yang muncul sejak 3 hari yang lalu. Pasien mengeluh
bercak pada kulitnya terasa tebal dan mati rasa. Bercak kulit tidak terasa gatal
ataupun nyeri. Pasien juga mengeluh kesemutan pada kedua tangan dan kaki.
Demam, lemas badan, penurunan berat badan, dan nyeri sendi disangkal.
Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, kesadaran kompos