SDMi sumber daya manusia intelektual Ronny Astrada
SDMisumber daya manusia intelektual
Ronny Astrada
Bismillaahir-Rahmaanir-RahiimDengan Nama Allah Pemberi Kasih Yang Maha Pengasih
SDMi: Sumber Daya Manusia Intelektual dan Perantinya (XMind for Windows)
Isi
Isi — 1Sumber Daya Manusia Intelektual — 3Selayang Pandang XMind for Windows — 11Intelektualitas — 22Segitiga Intelektualitas — 31Garis Depan Teori-Teori Intelektualitas — 41Dua “Langit” SDMi — 53Selayang Metode Ilmiah — 63Arsitektur Suatu Masalah — 78Kreativitas — 82Nalar Kritis — 90Belati Okkam — 98
Isi | 1
Pertanyaan Sokrates — 106Memburu Solusi dengan 10 Heuristik Polya — 127Memutuskan Resolusi dengan Kiat Kepner-Tregoe — 141Konsistensi Internal dan Pengaruh Bias — 153Sintesis Strategi Heuristik — 166Lampiran: Sedikit Tip Penggunaan XMind — 170
Pemanfaatan Ikon — 171Pengelompokan Topik — 176
Kepustakaan — 186Kitab Suci — 186Artikel — 187Buku — 187
Catatan Akhir — 189
2 | Ronny Astrada
Sumber Daya
Manusia Intelektual
If you lack heaven, seek wisdom, be prepared
If you lack earth, run in the fields, seek advantagesThese rules will guide a person’s extremes
— Hiruzen Sarutobi, Sandaime Hokage
ika akalmu (‘langit’) kurang, belajarlah, bersiapsedialah. Jika ragamu (‘bumi’) kurang, latihlah di lapangan, cari
keunggulan. Aturan-aturan ini akan menuntun “J
Sumber Daya Manusia Intelektual | 3
capaian terbaik seseorang,” demikian inti wejangan hokage ketiga untuk Naruto dan rekan-rekannya, para ninja pemula.
Wejangan tadi pasti membekas di benak kalangan muda yang menjadi target pasar komik Naruto. Akan tetapi renungan mangaka (komikus) serial itu, Masashi Kishimoto, relevan dengan abad 21 yang
dipandang Peter F. Drucker sebagai era yang semakin ditentukan oleh produktivitas seorang knowledge worker alias “SDM langit.”
Menurut Drucker, satu-satunya ciri khas pembeda sebuah bisnis dengan bisnis yang lain adalah kemampuannya memanfaatkan segala bentuk pengetahuan—dari ilmiah dan teknik sampai
4 | Ronny Astrada
sosial, ekonomi, dan manajerial.
Alhasil, dari sudut pandang tadi, bisnis dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang menggubah sumber-daya-luar-perusahaan (outside resources), yakni pengetahuan, menjadi hasil-luar-perusahaan (outside results), yakni nilai ekonomis.1
Pengetahuan sendiri adalah sumber daya sosial yang universal. Ia diakuisisi seorang sumber daya manusia melalui pendidikan (akademis) dan pengalaman (karir). SDM jenis ini dinamai knowledge worker yang saya sadur menjadi SDM Intelektual (SDMi).
(Andai di Amrik, singkatan ini akan nampak sangat Apple-friendly, karena selain iMac, iPod, iPhone, atau iPad, kini ada pula iWorker alias intellectual Human Resource. Steve Jobs sendiri agak tidak rela kala harus menanggalkan titelnya sebagai
Sumber Daya Manusia Intelektual | 5
CEO-sementara menjadi CEO permanen, karena titel yang pertama berakronim iCEO [interim CEO]!)
Saat Drucker menggunakan istilah ini di tahun 1959, SDMi masih belum dikenal—meski sudah ada. Saat ini, SDMi telah mendominasi struktur ketenagakerjaan di negara-negara maju, dan kecenderungan serupa terjadi di negara-negara berkembang termasuk Indonesia.
Pertumbuhan sektor jasa yang makin menggerus sektor pertanian adalah kecenderungan umum data statistik Indonesia.2 Sektor jasa sangat
6 | Ronny Astrada
bergantung pada keberadaan dan pertumbuhan SDMi.
SDMi didefinisikan sebagai SDM yang digaji untuk menerapkan dengan efektif apa yang ia pelajari di bangku sekolah alih-alih diupah
Sumber Daya Manusia Intelektual | 7
berdasarkan kekuatan atau keterampilan fisiknya. Ia konseptor dan bila perlu pelaksana, penggagas dan bila perlu pencetak hasil (making results).
SDMi ada di segala bidang. Ia dapat mengambil profesi siswa, analis keuangan, manajer, guru, musisi, dosen, programawan, konsultan, mahasiswa, kapten, marsekal, laksamana, jenderal, bupati, penaksir barang antik, peneliti, sampai presiden.
Ia sehari-hari bergelut dengan masalah-masalah sosial (“peluang-peluang” alias “manfaat-manfaat”) yang harus ia gubah menjadi solusi-solusi efektif, yang layak terap di lapangan (“pasar” atau “publik”).
Apa sajakah kompetensi yang baik dimiliki seorang SDMi? Yang jelas, pertama-tama adalah penguasaan disiplin ilmu yang ia tekuni (spesialisasi). Akan tetapi, ciri utama seorang SDMi adalah: belajar sepanjang hidup. Tak hanya disiplin
8 | Ronny Astrada
spesialisasinya, ia juga semestinya mempelajari disiplin-disiplin yang “sama sekali tidak relevan.” Ia sebaiknya memiliki wawasan politik, sejarah, sosial, ekonomi, bahkan seni.
Mengapa? Menurut Drucker, bidang yang dijalani seorang SDMi tergolong liberal arts (multidisiplin). Ia mesti mampu merancang bangun solusi tidak hanya berbekalkan disiplin spesialisasinya, tetapi juga mesti mampu memolesnya dengan sentuhan relevan dari disiplin-disiplin yang ia wawas. Solusi bagi kehidupan sehari-hari, umumnya—bila enggan menyebut semuanya—memerlukan pendekatan seperti ini.
Kali ini, saya ingin memperkenalkan sebuah peranti bantu yang sangat bermanfaat bagi seorang SDMi. Ia dikategorikan sebagai peranti lunak pemeta-gagasan (mindmapping). Bagi SDMi di
Sumber Daya Manusia Intelektual | 9
negara maju, peranti ini sudah seperti Microsoft Office. Peranti produktivitas harian.
Meski demikian, popularitas peranti ini agaknya kurang bergema di Indonesia. Tak kenal maka tak sayang.
Saya akan mengulas dua kompetensi utama yang mesti dimiliki seorang SDMi, yakni (1) kemampuan menuntaskan masalah (problem solving), dan (2) kemampuan mengambil keputusan (decision making).
Dalam menguraikan dua kompetensi penting tadi, saya akan memanfaatkan sebuah peranti lunak bantu pemeta-gagasan lepas-lokan (open source) yang tersedia gratis, yakni XMind for Windows.[]
10 | Ronny Astrada
Selayang Pandang
XMind for Windows
Tiada tenaga seperkasa sebuah gagasan yang
masanya telah tiba— Everett Dirksen (1896 – 1969), Tokoh Politik AS
ebelum melangkah lebih jauh mengulas SDMi, ada baiknya memperkenalkan peranti yang akan digunakan, yakni
XMind for Windows.SPeranti lunak (tiluna) ini termasuk kategori
Selayang Pandang XMind for Windows | 11
peranti pemeta gagasan (mind mapping). Tiluna komersial terpopuler dari kategori ini adalah MindManager (versi 1.0 dirilis tahun 1994), produk Mindjet Corp.
Tiluna kategori ini dikembangkan dari ide pemetaan gagasan yang dikembangkan oleh Tony Buzan (l. 1942), seorang penulis dan konsultan pendidikan. Buzan mengembangkan konsep pemetaan gagasan dengan tujuan untuk membantu seseorang memaksimumkan pemanfaatan kapasitas akalnya.
12 | Ronny Astrada
Selain tiluna komersial, ada beragam tiluna lepas-lokan (open source) yang dikembangkan dalam kategori ini, misalnya:
Selayang Pandang XMind for Windows | 13
FreeMind, sebuah proyek pengembangan tiluna lepas-lokan yang tergolong paling awal,
Freeplane, sebuah proyek pecahan dari FreeMind yang menambahkan banyak fitur baru sambil mempertahankan keseragaman format
14 | Ronny Astrada
dengan FreeMind,
SciPlore MindMapping juga diturunkan dari Freemind dengan tambahan kemampuan melola berkas digital (PDF) seperti ebook dll. juga manajemen bibliografi, sehingga lebih kaya lagi
Selayang Pandang XMind for Windows | 15
dibandingkan Freeplane,
Visual Understanding Environment/VUE, yang dikembangkan di Tufts University untuk tujuan pengajaran, belajar, dan riset,
16 | Ronny Astrada
Compendium, sebuah pemeta gagasan gratis (freeware) untuk ilmu-ilmu sosial.
Selain tiluna lepas-lokan dan gratis di atas, masih ada pilihan lain yang tersedia. Ini dapat Anda google sendiri di Web.
Selayang Pandang XMind for Windows | 17
Saya akhirnya memilih XMind karena tiluna ini memiliki fitur dan tampilan yang paling manis, sehingga saya yakin akan sangat disukai para pengguna Windows.
Ada beberapa prasyarat peranti keras untuk penggunaannya:
(a) Prosesor 800Mhz atau lebih baik,
(b) Memori (RAM) 256Mb atau lebih, disarankan 512Mb ke atas,
(c) Ruang simpan 100Mb untuk berkas unduhan dan instalasinya,
(d) Koneksi Internet untuk fitur tertentu (seperti Share) dan bagi pengguna XMind Pro.
Kita akan memanfaatkan XMind versi gratis (bukan Pro), jadi syarat terakhir tidak perlu dipenuhi.
Berikutnya prasyarat untuk pengguna versi
18 | Ronny Astrada
Windows (yakni kita-kita ini):
(a) Windows XP/2003/Vista 32-bit/7,
(b) Microsoft Word/Powerpoint untuk fitur tertentu (seperti Export),
(c) JRE/Java Runtime Environment versi 5.0 atau lebih baru.
Cara pemasangan XMind sangat mudah:
(1) Pasang JRE (saya sertakan versi 6.0.200.2 dalam CD), kemudian
(2) Pasang XMind (saya sertakan versi 3.1.1.200912022330).
Apabila semua berjalan lancar, maka Anda akan menikmati tampilan XMind seperti berikut.
Selain versi terpasang ada juga versi portabel yang dapat disalinkan ke sebuah subdirektori pada
Selayang Pandang XMind for Windows | 19
flash disk Anda.
20 | Ronny Astrada
Penggunaannya tinggal colokkan flash disk pada komputer bersistem operasi Windows XP ke atas, lalu klik dua kali pada berkas bernama xmind.exe dalam subdirektori \XMind_Windows.
Selain XMind, tiluna lepas-lokan (open source) atau gratis (freeware) yang boleh didistribusikan saya sertakan juga dalam CD—untuk Anda sampel. Prinsip penggunaannya serupa dengan XMind, meski tentu tak sama persis!
Nah, dalam bab-bab berikutnya, saya akan memanfaatkan XMind untuk memetakan gagasan utama dalam bab-bab itu.[]
Selayang Pandang XMind for Windows | 21
Intelektualitas
Alangkah menyenangkan mengasah dan
mengilapkan otak kita pada otak orang lain— Michel de Montaigne (1533 – 1592), Essayis
Perancis
DMi digaji karena kekuatan akalnya bukan kekuatan ototnya, maka apakah kekuatan akal alias kecerdasan itu? Ada
beragam definisi kecerdasan, akan tetapi pada simposium 1986 mayoritas para psikolog menyepakati kunci kecerdasan terletak pada sumbangsihnya dalam adaptasi terhadap lingkungan. Dengan bahasa sederhana, sosok yang cerdas adalah sosok yang mampu-sintas (survive).
S
22 | Ronny Astrada
Menimbang kesepakatan di atas, maka definisi kecerdasan dari Robert J. Sternberg (l. 1949) dapat dikutip di sini. Kecerdasan (intelligence) beliau definisikan sebagai kemampuan beradaptasi secara efektif dengan lingkungan, baik dengan mengubah diri sendiri, mengubah lingkungan, atau menemukan lingkungan baru.3
Selain Sternberg, ada lagi sosok populer yakni Howard E. Gardner III (l. 1943) yang terkenal dengan kajiannya Frames of Mind: the Theory of Multiple Intelligences (1983).
Teori kedua tokoh inilah yang terpopuler karena lebih mudah dipahami dan dirasakan oleh kalangan awam. Meski demikian, dukungan empiris (eksperimen) atas teori-teori kecerdasan ini masih terus berjalan (belum final).
Bab ini akan mengulas teori Gardner, sementara
Intelektualitas | 23
teori Sternberg akan diulas di bab berikutnya.
Gardner memilah kecerdasan ke dalam 7 puspawarna kecerdasan (multiple intelligences)—masing-masing dengan contoh sosok yang mewakili:4
Kecerdasan linguistik, meliputi bakat lisan dan bahasa (verbal), contohnya penyair AS Thomas Stearns Eliot (1888-1965).
Contoh lain untuk konteks Indonesia misalnya Chairil Anwar (1922-1945), atau Sutardji Calzoum Bachri (l. 1941).
Kecerdasan logika-matematis, yakni kemampuan menalar secara abstrak dan
24 | Ronny Astrada
menyelesaikan masalah matematika dan logika, contohnya Albert Einstein (1879-1955).
Kecerdasan visual, yakni kemampuan menangkap informasi visual dan matral (spatial) dan mengonseptualisasikan dunia5 dalam aktivitas seperti navigasi dan seni, contohnya Pablo Picasso (1881-1973).
Contoh lain yang dapat saya sebut adalah Piri Ra’is, laksamana Turki pionir pembuat peta dunia di tahun 1513.
Kecerdasan musikal, yakni kemampuan memainkan dan menilai musik, contohnya komponis Igor Fyodorovich Stravinsky (1882-1971).
Karakteristik kecerdasan ini mirip yang dimiliki pakar kimia (meracik senyawa kimia) maupun pakar masak (meracik ramuan hidangan).
Kecerdasan gerak-ragawi (bodily-kinesthetic), yakni kemampuan seseorang menggunakan tubuh atau bagian tubuhnya dalam beragam aktivitas,
Intelektualitas | 25
seperti tarian, atletik, seni peran, pembedahan, dan sulap, contohnya penari dan koreografer AS Martha Graham (1893-1991).
Contoh lain misalnya Ibn ‘Abbas az-Zahrawi (w. 404/1013), dokter bedah Muslim ternama yang menulis ensiklopedi bedah 30 volume, At-Tashriif (“Pembedahan”) yang menjadi buku teks di Eropa Abad Pertengahan.
Kecerdasan interpersonal (psikologis), meliputi pemahaman mengenai orang lain dan bertindak menurut pemahaman itu, contohnya psikiatris Sigmund Freud (1893-1991).
Contoh yang sangat populer di dunia Islam adalah Al-Ghazali (1058-1111). Psikologi lebih populer dengan nama tashawuf bagi kalangan Muslim.
Kecerdasan intrapersonal (psikologis), yakni kemampuan memahami diri sendiri, contohnya Mohandas Gandhi (1869-1948)
26 | Ronny Astrada
Contoh dari dunia Muslim misalnya Al-Muhasibi (kira-kira 781-857), guru-intelektual Al-Ghazali yang sangat mendalami soal-soal sekitar pengenalan diri (“penyakit-penyakit hati”).
Tahun 1990 Gardner menambahkan kecerdasan naturalis, yakni kemampuan mengenali dan mengklasifikasikan tanaman, hewan, dan mineral; contohnya Charles Robert Darwin (1809-1882).
Selain itu, Gardner masih menimbang-nimbang akan keberadaan kecerdasan kesembilan, yakni kecerdasan keperiadaan (existentialist intelligence) yang memungkinkan orang mengambil tanggung jawab atas tindakan
Intelektualitas | 27
pribadinya dan membentuk misi hidupnya sendiri. Ini mirip kecerdasan spiritual tetapi tanpa nuansa teologis (ketuhanan).
Gardner memandang masing-masing kecerdasan bersifat terpisah dan mandiri. Ia dikritik karena teorinya bersifat ad hoc—yakni bersifat khusus dan tidak berlaku umum.
Uji IQ dalam beragam bidang menunjukkan segenap kecerdasan ini berelasi, yakni ada sebuah sumber kecerdasan (dinamai g intelligence factor) yang—meski belum teridentifikasi—mewakili segenap cabang kecerdasan itu. Sehingga, seseorang yang unggul pada salah satu cabang kecerdasan, cenderung unggul pula pada cabang kecerdasan yang lain.
Selain itu, pendekatan terpisah Gardner—bila diterapkan dalam bidang pendidikan—cenderung hanya memajukan murid pada beberapa cabang kecerdasan saja, alih-alih segenap cabangnya.
28 | Ronny Astrada
Intelektualitas | 29
Kritik lain menyoroti bahwa kecerdasan yang dimaksud Gardner lebih tepat disebut kecakapan (ability) atau bakat (talent).
Kritik terakhir mengembalikan kita ke debat yang belum reda mengenai definisi kecerdasan. Akan tetapi, jika kecerdasan terkait erat dengan kemampuan sintas, sebenarnya teori Gardner tetap relevan.[]
30 | Ronny Astrada
Segitiga
Intelektualitas
Perbedaan antara kecerdasan dan pendidikan adalah ini: kecerdasan akan memberimu
penghidupan yang layak— Charles Kettering (1876-1958), Penemu dan
Usahawan AS
ak seperti Gardner, Sternberg memandang kecerdasan sebagai suatu kesatuan yang memiliki 3 aspek utama.
Dalam pemahaman saya, kecerdasan bagi Sternberg mirip sebuah segitiga yang memiliki 3 sudut. Teorinya ini lebih mendekati hipotesis kalangan
TSegitiga Intelektualitas | 31
empiris (eksperimen) perihal g intelligence factor.
Sternberg mendefinisikan kecerdasan sebagai suatu aktivitas mental yang ditujukan untuk adaptasi-sengaja (purposive adaptation), pemilihan, dan pembentukan atas: lingkungan dunia-nyata (real world) yang relevan dengan kehidupan seseorang.6
Definisi di atas sangat teknis, tetapi secara sederhana dapat dibahasakan bahwa kecerdasan adalah kemampuan sintas dengan 3 strategi dasar:
(1) menyesuaikan atau mengubah diri agar sesuai dengan lingkungan,
(2) memilih atau pindah ke lingkungan baru, dan
(3) membentuk atau mengubah lingkungan agar selaras dengan keadaan diri.
32 | Ronny Astrada
Adapun “tiga sudut” kecerdasan yang beliau ajukan meliputi:
Aspek analitis (“school smarts” juga disebut componential), sebagaimana terukur dalam ujian akademis, yang meliputi proses penyerapan pengetahuan dan abstraksi realitas.
Ini terdiri dari tiga proses:
(a) pemutusan apa yang hendak dilakukan sekaligus—usai pelaksanaan—menilai seberapa baik pelaksanaannya (metacomponents),
(b) mempelajari bagaimana melakukannya pada kali pertama (knowledge-acquisition components), dan
(c) melakukan apa yang telah diputuskan (performance components).
Semua ini mewakili proses kognisi (“pemahaman atas sesuatu”), yang bersifat internal (dalam benak seseorang).
Segitiga Intelektualitas | 33
Beliau menyontohkan mahasiswanya “Alice” (si A), yang IP-nya tinggi, dan dinilai sangat cerdas oleh para dosen; tetapi kemudian ia mengalami kesulitan di jenjang S2 karena tidak terbiasa menggagas idenya sendiri.
Alice lebih pandai menyerap apa yang sudah ada dan menerapkannya sesuai buku teks, tetapi tidak pandai membuat sintesis atas apa yang telah ia pelajari untuk menghasilkan “teori” baru. Kasarnya, Alice lebih pandai “menghafal” daripada “memahami” teori.
Aspek kedua, aspek kreatif (juga disebut experiential atau synthetic atau intuisi), yakni kapasitas inspiratif/imajinatif, meliputi pemaduan dunia internal
dan eksternal melalui pengalaman yang telah
34 | Ronny Astrada
dijalani (automatization), yakni memanfaatkan pengalaman masa lalu untuk mendapatkan wawasan mengenai atau untuk mengatasi, situasi baru.
Salah satu ukurannya ialah kemampuan mengatasi suatu situasi yang jarang atau tidak rutin (novelty), misalnya bagaimana pengguna aktif komputer beradaptasi manakala komputernya rusak, atau bagaimana seorang beretnis Sunda beradaptasi manakala ditempatkan di daerah Irian Jaya.
Di sini, pengalaman berfungsi sebagai jembatan antara dunia internal (kognisi) dan dunia eksternal (konteks).
Sosok contohnya adalah “Barbara” (si B) yang meski tidak berkinerja akademis sebaik “Alice” namun justru direkomendasikan ke Yale University—sebuah universitas favorit di AS—berdasarkan kecakapan intuisi dan kreativitas yang menyolok. Barbara terbukti di kemudian hari sangat berperan dalam menggagas ide-ide riset baru.
Segitiga Intelektualitas | 35
Aspek terakhir, aspek praktis atau naluri jalanan (“street smarts” juga disebut contextual), yakni kemampuan berubah dan beradaptasi dengan situasi, yang merupakan penerapan ketiga proses
36 | Ronny Astrada
analitis (componential) pada kehidupan sehari-hari:
[] adaptasi dengan lingkungan yang ada,
[] merekayasa lingkungan yang ada ke bentuk yang baru, dan
[] pemilihan lingkungan baru bila yang lama terbukti tidak memuaskan.
Ini mewakili konteks, yang bersifat eksternal (di luar diri seseorang), yakni kemampuan menyerap cepat apa yang tengah terjadi di lingkungan sekitarnya (konteks) lalu memanfaatkannya untuk kepentingan pribadinya.
Sosok contohnya adalah “Celia” (si C) yang tidak memiliki kemampuan analitis atau kreatif yang menonjol tetapi ia sangat pandai mengenali apa yang ia perlukan agar berhasil dalam lingkungan akademis.
Ia tahu jenis riset apa yang dinilai tinggi (tetapi mudah dilakukan), bagaimana membuat suatu artikel dimuat dalam jurnal (melalui “negosiasi
Segitiga Intelektualitas | 37
personal”), bagaimana mengundang kekaguman orang saat wawancara kerja (“tebar pesona”), dan yang sejenisnya.
Sosok cerdas—bagi Sternberg—mampu memaksimumkan pemanfaatan kekuatan dirinya, sambil meminimumkan efek kelemahan dirinya. Mereka menemukan celah di mana mereka dapat berkiprah paling efisien.
Sternberg memberikan sebuah contoh unik aspek praktis. Seorang pegawai menyintai pekerjaannya namun membenci bosnya. Seorang pemburu SDM (head hunter) meneleponnya. Alih-alih mengajukan lamaran, ia memberikan nama bosnya kepada sang perekrut. Bosnya pun direkrut keluar dari perusahaan, dan ia dapat tetap menekuni pekerjaan—yang dicintainya.
Ada dua alternatif bagi pegawai tadi:
38 | Ronny Astrada
(1) memindahkan bosnya dan menghadapi risiko bos baru yang bisa jadi sama atau bahkan lebih buruk, atau
(2) pindah ke tempat kerja baru yang mungkin dengan jabatan yang lebih buruk ditambah kemungkinan bos yang buruk juga.
Alternatif pertama memiliki 1 risiko: bos buruk (lagi...), yang kedua memiliki 2 risiko: lingkungan kerja buruk dan bos buruk (juga...). Pegawai ini mengunjukkan naluri jalanannya saat secara intuitif memilih alternatif pertama.
Sebagai renungan, baik uraian Sternberg maupun Gardner membuka wawasan akan apa itu kecerdasan.
Sternberg memberikan model sederhana yang merupakan kombinasi antara aspek pengetahuan
Segitiga Intelektualitas | 39
dan pengalaman (“pengetahuan dari hasil mengamalkan pengetahuan”).
Sementara Gardner memberi warna model sederhana itu dengan beragam kombinasi yang mungkin dari ketiga “sudut segi tiga” Sternberg yang telah ditemukan contoh sosoknya dalam kenyataan sehari-hari.
Kedua teori ini pada akhirnya dapat dipandang saling melengkapi.[]
40 | Ronny Astrada
Garis Depan Teori-Teori
Intelektualitas
Tiada peranti yang lebih bermanfaat daripada kecerdasan. Tiada musuh yang lebih berbahaya
daripada kejahilan.— Abu Abdullah Muhammad al-Haritsi al-
Baghdadi al-Mufid (abad 10M), Pakar Hukum Kufah (Irak)
ipotesis bermunculan pada dua dekade terakhir ini. Ada yang berteori mengenai keberadaan kecerdasan H
Garis Depan Teori-Teori Intelektualitas | 41
emosi (“EQ”) yang melengkapi kecerdasan nalar (IQ). Psikolog AS, Peter Salovey dan John D. Mayer mengenalkan konsep ini tahun 1990 dan mendefinisikan ulang kecerdasan emosi pada 1997 sebagai
[] kemampuan menangkap (perceive), menilai (appraise), dan mengungkapkan (express) emosi dengan akurat dan adaptif;
[] kemampuan memahami emosi dan pengetahuan emosional;
[] kemampuan mengakses dan/atau membangkitkan perasaan saat itu memudahkan pemikiran; dan
[] kemampuan melola (regulate) emosi dalam cara yang mendukung pemikiran.
Insan dengan kecerdasan ini mengarahkan
42 | Ronny Astrada
Salovey dan Mayer (inset)
pemikiran dan perilakunya memanfaatkan emosinya serta dapat dengan tepat menafsirkan emosi pihak lain.
Daniel Goleman (l. 1946), penulis dan jurnalis AS, mempopulerkan konsep ini dalam karyanya Emotional Intelligence (1995); dan meluaskan konsep itu untuk meliputi juga kompetensi sosial pada umumnya (social intelligence).
Kritikus Goleman memandang konsep EQ yang
Garis Depan Teori-Teori Intelektualitas | 43
ia kembangkan tidak memiliki tolok ukur. IQ memiliki tolok ukur, yakni nilai rapor sekolah; tidak demikian halnya dengan EQ.
Ada lagi kritik bahwa 5 aspek EQ berhirarki yang ia ajukan tidak dapat diukur, sehingga keterkaitan hirarkis yang ia asumsikan di antara kelima aspek tadi tidak berpondasi ilmiah.
Ada juga yang mengkritik bahwa EQ bisa jadi sekadar konformitas, yakni keseragaman dengan “lubuk” (adat istiadat) tempat “seekor ikan” tinggal. Makin seragam, makin cerdas. Padahal, nilai yang diseragami itu bisa jadi tidak layak/pantas.
Terlepas dari kesahihan kritik-kritik tadi, paling tidak, Goleman telah memberikan perspektif baru bahwa kecerdasan sosial (“street smartness”) bisa
44 | Ronny Astrada
jadi lebih besar sumbangsihnya dalam kesintasan seseorang—dibandingkan kecerdasan nalar (“school smartness”).
Hal lain yang patut disinggung di sini adalah kesimpulan yang disepakati perihal pengaruh
(i) genetis (keturunan), dan
(ii) lingkungan
atas kecerdasan.
Pengaruh genetis pada kecerdasan secara umum disimpulkan berporsi 40 sampai 80%, dan mayoritas pakar sepakat dengan porsi yang kira-kira sebesar 50%.
Jika pengaruh genetis berkisar 40-80% atau 50%, maka pengaruh lingkungan berkisar antara 20-80% atau—pukul rata—di angka 50%.
Garis Depan Teori-Teori Intelektualitas | 45
Namun angka-angka tadi berlaku pada tingkat populasi, bukan individu. Jadi, kita tidak dapat menyatakan proporsi pengaruh genetis/lingkungan atas seorang individu menggunakan angka yang sama.
Dua faktor lingkungan yang ditemukan mempengaruhi kecerdasan ialah ukuran keluarga dan urutan kelahiran.
Faktor-faktor lain yang layak diketahui ialah ibu hamil yang mengkonsumsi alkohol dalam jumlah banyak akan mengalami sindrom-alkohol janin (fetal alcohol syndrome), yang ditandai ketidaknormalan fisik (cacat), keterbelakangan mental, dan masalah perilaku. Bahkan konsumsi biasa (“tidak sampai mabuk”) dapat mempengaruhi perkembangan kecerdasan, dan kini dinyatakan tidak ada porsi aman alkohol bagi ibu hamil.
46 | Ronny Astrada
Faktor lain yang baru diduga mempengaruhi pertumbuhan kecerdasan ialah polusi timbal pada udara yang terhirup anak, makan dari remah sisa makanan pada kaleng makan dengan cat berbahan timbal, malnutrisi (gizi buruk) yang berkepanjangan, termasuk gaya pengasuhan orang tua dan lingkungan fisik rumah.
IQ “Mars” (pria) dan “Venus” (wanita) tidak secara signifikan berbeda, meski sebaran nilai IQ agak berbeda di kedua “planet” ini. Lelaki cenderung lebih banyak berada pada sisi ekstrim distribusi IQ—yang berdistribusi normal, atau berbentuk genta ini. Lelaki lebih rentan terhadap keterbelakangan mental, sekaligus mengungguli wanita pada tingkatan IQ tertinggi. Nilai IQ wanita lebih berkonsentrasi di sekitar rata-rata.
Sekali lagi, distribusi di atas berlaku di tataran
Garis Depan Teori-Teori Intelektualitas | 47
populasi. Di tataran individu, tidak selalu seorang perempuan ber-IQ rata-rata. Sebagaimana tidak selalu seorang lelaki ber-IQ jenius (atau sebaliknya, yakni idiot).
48 | Ronny Astrada
Lelaki cenderung mengungguli wanita pada kecerdasan matral (ruang, spatial). Alasannya masih belum diketahui. Ada yang berspekulasi karena lelaki dahulunya pemburu dan memerlukan kecerdasan matral untuk melacak buruan juga menyusuri balik jalan pulang dari tempat berburu.
Sementara yang lain berspekulasi perbedaan itu akibat pengharapan orang tua yang berbeda terhadap kecakapan yang mesti dipelajari oleh bocah lelaki dan perempuan. Ini merujuk pada tradisi lama bahwa lelaki harus “keluar rumah”, sementara perempuan harus “diam di rumah.”
Hal lain yang penyebabnya masih penuh perdebatan “emosional” adalah perbedaan distribusi IQ antar etnis. Pengukuran IQ di AS memperlihatkan gradasi IQ—mulai dari yang terendah: etnis Afrika, lalu Latin, Eropa, hingga akhirnya Asia Timur.
Garis Depan Teori-Teori Intelektualitas | 49
Variabilitas IQ antar etnis yang tinggi menyulitkan penyimpulan bahwa etnis mempengaruhi IQ.
Dengan kata lain, menghakimi suatu etnis berdasarkan IQ benar-benar perwujudan prasangka buruk—dan tanpa pondasi ilmiah.
50 | Ronny Astrada
Praktisnya, kecerdasan adalah setengah genetis, setengah lingkungan; alias berpeluang 50: 50, sehingga kekurangan genetis selalu dapat dikompensasi dengan perhatian lebih pada pengubahan faktor lingkungan.
“Segi tiga kecerdasan” Sternberg menekankan pentingnya faktor lingkungan—bila enggan menyatakan mengabaikan sama sekali faktor genetis. Lingkungan—pendidikan (pengetahuan) maupun peristiwa (pengalaman)—sepanjang hidup akan menetapkan kombinasi optimum “segi tiga kecerdasan” seseorang. Kombinasi optimum itu setidaknya berpucuk pada salah satu puspawarna kecerdasan Gardner.
Puspawarna kecerdasan Gardner menunjukkan betapa potensi sintas manusia paling tidak berjumlah 9 kecerdasan. Setiap insan cenderung menonjol pada salah satu dimensi, tetapi jika keberadaannya terancam, saya yakin dimensi lain yang sebelumnya “tidur” dapat selalu dibangunkan
Garis Depan Teori-Teori Intelektualitas | 51
untuk mengatasi situasi.
Sembilan kecerdasan itu mirip sembilan perkakas; sebab bila seseorang hanya memiliki palu, maka segenap persoalan akan cenderung ia perlakukan seperti paku.
Bab-bab berikutnya akan mulai mengulas kecakapan dasar pemecahan masalah dan pengambilan keputusan.
Sementara kecerdasan apa yang harus “dibangunkan” selaras dengan tuntutan akan penerapan jawaban yang ditemukan; atau keputusan yang ditetapkan, adalah sepenuhnya di tangan Anda![]
52 | Ronny Astrada
Dua “Langit” SDMi
Rasa suka pada pekerjaan membubuhkan
kesempurnaan pada buah karya— Aristoteles (384-322SM)
ua “langit” yang mesti dimiliki seorang SDMi dan merupakan kompetensi dasar dirinya adalah pemecahan
masalah dan pengambilan keputusan. Inilah dua keadaan yang rutin ia hadapi sehari-hari.
DUmumnya, setiap lulusan formal di Indonesia
telah dibekali dengan pengantar metode ilmiah. Meski metode ini sangat penting dan esensial, tetapi pengajarannya di Indonesia umumnya berhenti
Dua “Langit” SDMi | 53
pada tahap menghafal langkah-langkahnya. Tidak ada upaya sungguh-sungguh untuk menjadikannya kompetensi yang secara sadar dikuasai, mulai dari jenjang menengah pertama sampai ke menengah atas (SMP-SMA). Metode ini baru ditemukan lagi dalam wujudnya yang lebih layak-terap (applicable) di perguruan tinggi.
Pendekatan pendidikan di atas patut disayangkan. Anak-anak muda di negara maju sudah mulai menerapkannya dan membuat inovasi-inovasi mengejutkan di usia jenjang menengah. Ini karena mereka telah dibiasakan berpikir dan bertindak mengikuti metode itu.
Saya berharap, semoga kajian ini dapat menyumbang perbaikan kurikulum Indonesia itu, amiin!
54 | Ronny Astrada
Seperti sudah disinggung di muka, SDMi ditantang untuk merancang bangun solusi bagi masalah-masalah keseharian dengan pendekatan liberal arts. Ia mesti mampu merancang bangun solusi memanfaatkan spesialisasinya—dibantu
Dua “Langit” SDMi | 55
wawasan interdisipliner dari sejarah, sosiologi, psikologi, filsafat, budaya, hingga agama.
Masalah dalam keseharian pada akhirnya berkutat pada dua ancangan tindakan:
(1) pemecahan masalah (“mencari solusi”), dan
(2) pengambilan keputusan (“memilih resolusi”).
Jadi, ada dua hasil (results) yang diharapkan dari seorang SDMi, yakni:
(1) jawaban atas masalah, dan/atau
(2) putusan atasnya.
Ada beragam metode yang sebagian besarnya dikembangkan dari metode ilmiah:
Coba-coba (trial and error),
Survei kepustakaan, alias “jangan menemukan kembali roda” (do not reinvent the wheel), yakni
56 | Ronny Astrada
belajar dari temuan orang lain,
Analogi, yang tercatat dikaji oleh Plato dan Aristoteles,
Heuristik (dari kata Yunani eureka “saya temukan”), rintisan Archimedes yang dipopulerkan matematikawan George Polya (1887-1985),
Pemecahan-masalah kreatif (creative problem solving), yang diulas Daniel Goleman, Paul Kaufman dan Michael L. Ray dalam The Creative Spirit (1992),
Urun rembuk (brainstorming atau thought shower), yang namanya disematkan oleh Alex Faickney Osborn (1888-1966),
Sinektik (synectics)—mirip urun-rembuk—yang berprinsip sentral, “Percayai hal-hal yang asing, dan asingkan hal-hal yang dipercayai,” rancangan William J.
Dua “Langit” SDMi | 57
Gordon,
Nalar-sistemis (systems thinking), yakni pemecahan masalah dalam tim yang diuraikan Peter Senge dalam The Fifth Discipline (1990),
Kubus morfologis (morphological box) rancangan Fritz Zwicky (1898-1974),
Nalar-lateral (lateral thinking) berikut 6 Topi Nalar, yang dirancang Edward De Bono,
Analisis akar masalah, misalnya diagram tulang ikan rancangan Kaoru Ishikawa (1915-
1989),
TRIZ (akronim Rusia untuk Teori Pemecahan Masalah untuk Penemuan-Ilmiah) dan ARIZ (Algoritma Pemecahan Masalah untuk Penemuan-
58 | Ronny Astrada
Metode Kaoru Ishikawa sangat esensial bagi kemajuan industri Jepang
Ilmiah) rancangan Genrikh “Genrich” Saulovich Altshuller (1926-98),
Rekayasa nilai (value engineering) yang berupaya mengoptimumkan nilai lewat peningkatan fungsionalitas sambil menurunkan biaya, temuan Lawrence Delos Miles (1904-85) dan Harry L. Erlicher di General Electric,
Simulasi komputer memanfaatkan beragam kiat riset operasional (operational research),
AI (Artificial Intelligence [Kecerdasan Tiruan]), yang antara lain dirintis oleh pengkaji pemecahan masalah, Herbert Alexander Simon (1916-2001)—seorang pakar manajemen peraih Nobel ekonomi 1978.
Sebagaimana kiat pemecahan masalah, kiat pengambilan keputusan pun beragam, mulai dari
Dua “Langit” SDMi | 59
yang sederhana:
Menimbang untung-rugi masing-masing alternatif,
Melempar koin, atau mengurut kancing,
Astrologi, atau menanyai “orang pintar”;
sampai yang teknis:
BRAND (Benefits, Risks, Alternatives, Nothing [yakni tidak berbuat apa-apa], Decision), yakni prinsip diagnosa kalangan medis,
Analisis Pareto atau analisis prioritas, yang diperkenalkan oleh Sosiologis/Ekonom Italia, Vilfredo Federico Damaso Pareto (1848-1923). Padanannya di dunia medis dinamai triage—yakni pasien paling kritis diberi prioritas penanganan pertama.
60 | Ronny Astrada
Semua sistem yang melibatkan manusia (kompetitif), cenderung mengikuti distribusi Pareto
Proses Analitis Hirarki (Analytic Hierarchy Process) rancangan matematikawan Thomas L. Saaty, juga versi untuk awamnya dalam Decision Making for Leaders (1982),
Analisis Morfologis rancangan Fritz Zwicky,
Enam Topi Nalar rancangan De Bono,
Analisis mudarat-manfaat (cost-benefit analysis),
Pohon keputusan (decision tree),
Optimisasi memanfaatkan teknik-teknik riset operasional;
sampai...tentu saja...minta tolong..., baik kepada sesama, atau yang paling puncak: kepada Sang Mahakuasa (istikharah “memohonkan putusan”).
Dua “Langit” SDMi | 61
Sebenarnya, masih banyak lagi kiat yang beredar—yang kira-kira sebanding dengan tantangan keseharian yang dihadapi manusia di dunia ini.
Adapun dalam kajian ini, saya akan mengajak Anda untuk menguasai sebuah metode heuristik umum untuk mengatasi “dua langit.”
Mengapa heuristik?
Bagi kalangan awam, semakin sederhana dan praktis suatu metode, semakin bermanfaat, sehingga semakin mungkin untuk diamalkan.
Metode heuristik—yang sesungguhnya berasal dari sistematisasi atas pengalaman umat manusia—sangat cocok untuk tujuan ini.[]
62 | Ronny Astrada
Selayang Metode
Ilmiah
“Aristoteles bersikukuh bahwa perempuan bergigi lebih sedikit daripada lelaki; meski ia menikah dua kali, tak pernah terpikirkan olehnya untuk mencek
pernyataannya dengan memeriksa mulut istri-istrinya”
— Bertrand Russell (1872-1970), Filsuf dan Matematikawan Inggris
etode ilmiah secara populer selalu dihubungkan dengan sesuatu yang akademis (“rumit”), tetapi
sebenarnya pada mulanya ia dikembangkan untuk M
Selayang Metode Ilmiah | 63
keperluan praktis sehari-hari manusia. Manusia—setidaknya menurut Al-Quran—diciptakan untuk menghadapi masalah demi masalah (QS al-Balad [90]: 4).
Dalam perjalanan sejarah, paling tidak Aristoteles mulai menyuratkan (mengeksplisitkan) metode penemuan solusi.
Metode itu tujuannya—dewasa ini—meliputi penjelajahan (exploration), pelukisan karakteristik fenomena (description), dan penjelasan (explanation).
Penjelajahan adalah upaya menyusun pemahaman awal dan kasar atas suatu fenomena.
Pelukisan adalah pengukuran teliti dan pelaporan karakteristik dari fenomena yang tengah dipelajari.
Penjelasan adalah penemuan dan pelaporan tentang keterkaitan (“sebab-akibat”) antara beragam aspek fenomena yang dipelajari.
64 | Ronny Astrada
Awalnya, pencarian solusi dimaksudkan untuk memecahkan masalah sehari-hari yang dihadapi manusia. Bagaimana mengairi lahan yang lebih tinggi dari sungai? Archimedes (s. 287–212SM) pun merancang-bangun “kincir air” ulir manual. Temuan
Selayang Metode Ilmiah | 65
ternama lainnya adalah bagaimana beliau menakar porsi salah satu logam dalam senyawa berkomposisikan beberapa jenis logam.
Akhirnya, metode ini tidak hanya digunakan untuk masalah praktis sehari-hari, namun juga pertanyaan-pertanyaan yang menarik perhatian para ilmuwan (dh. filsuf), seperti berapa sesungguhnya jarak matahari dan bumi? Apakah mungkin menyintesis emas dari senyawa logam-logam lain? (Ini pertanyaan yang konon melahirkan ilmu kimia.) Juga pertanyaan-pertanyaan bersifat “akademis” lainnya.
Dari sana, kalangan awam mulai melihat jarak antara metode ilmiah dan realitas—sebab tidak seluruh temuan dapat langsung diterapkan, dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari.
Ketidakmampuan manusia menerapkan temuan
66 | Ronny Astrada
ilmiah (teori) lebih merupakan masalah empiris (teknologi).
Meski teori komputer telah ditemukan Charles Babbage (1792-1871) pada tahun 1820, namun teori ini membutuhkan temuan teknologi semikonduktor—yang dipicu penemuan transistor pada 1948—untuk benar-benar efektif, murah, dan tersedia secara massal seperti yang kita rasakan saat ini. Sehingga, bagi awam Inggris di masa Babbage, solusi itu dipandang sakadar “petualangan intelektual untuk memuaskan rasa ingin tahu saja.”
Sengaja saya menapak tilas metode ilmiah untuk mendudukkan dalam wawasan kita bahwa metode ilmiah sejatinya peranti kehidupan sehari-hari—bukan sekadar peranti “petualangan akademis” di sekolah.
Prinsip-prinsip metode ilmiah sangat
Selayang Metode Ilmiah | 67
bermanfaat untuk menilai apakah pemecahan masalah maupun pengambilan keputusan keabsahannya terjamin.
Ada dua kriteria esensial metode ilmiah, yakni
(i) objektivitas pendekatan dan
(ii) keabsahan (acceptability)
dari kesimpulan suatu studi.
Objektivitas mensyaratkan upaya pengamatan objek sebagaimana adanya, tanpa memalsukan pengamatan agar selaras dengan suatu pandangan dunia yang diyakini sebelumnya.
Keabsahan ditimbang berdasarkan sampai sejauh mana pengamatan dan percobaan (eksperimen) itu dapat diulang (reproduced)—dengan kesimpulan yang sama, atau minimum serupa.
Objektivitas mengenyahkan prasangka pribadi dari ikhtiar pencarian solusi; sementara keabsahan
68 | Ronny Astrada
memungkinkan pemanfaatan solusi itu oleh orang lain, atau pada kesempatan lain (reusable).
Mekanisme pengabsahan ini juga sering disebut dengan ulasan-mitra (peer-review), yakni penelitian seseorang diulang oleh beberapa ilmuwan lain untuk membuktikan bahwa ia bersifat “universal.”
“Universal” dalam tanda petik karena ia tidak sepenuhnya (mutlak) membuktikan kebenaran hipotesis.
Uji keabsahan paling jauh sakadar menelaah konsistensi kesimpulan itu dengan totalitas aspek dalam bingkai permasalahan.
Konsistensi internal dalam bingkai permasalahan ini disebut kausalitas (sebab-akibat), di mana suatu akibat (efek) dianggap berkaitan dengan suatu sebab.
Selayang Metode Ilmiah | 69
Ilmuwan—sebagaimana manusia lainnya—bisa jadi terbawa oleh suatu pandangan dunia yang dipegang masyarakatnya (bias) dan terfokus pada hasil-hasil eksperimen tertentu yang mendukung bias itu, tinimbang yang selainnya, atau secara naluriah mempraanggapkan suatu “teori” dan kemudian berusaha mencari pembenarannya.
Komunitas ilmuwan secara keseluruhanlah yang nanti akan menguji dan mengkritik (ulasan-mitra) kesimpulan itu; dan di sinilah kunci mengapa studi ilmiah terus-menerus mengalami kemajuan.
Kritik sudah menjadi “kripik” (“pedas” maupun “gurih”) yang sama enaknya, karena selalu mengarahkan komunitas ilmuwan kepada kemajuan pemahaman atas ayat-ayat-Nya yang ditebar pada kitab semesta (aayaat kauniyyah “tanda-tanda penciptaan”).
70 | Ronny Astrada
Aristoteles kerap mengkritik (ulas-mitra) gurunya, Plato. Beliau berkilah, “Tentu kita menyintai Plato, tetapi kita lebih menyintai kebenaran.” Meski terkadang, keberatan yang beliau ajukan agaknya dibangun di atas pemahaman yang keliru.
Di era ilmiah berikutnya, Ibn Sina Huma’i (980-1037M) sering mengoreksi konsepsi “Sang Guru Pertama” Aristoteles melalui debat ilmiah yang hidup, dalam
Selayang Metode Ilmiah | 71
Plato (kiri, dilukis dengan wajah Da Vinci) menunjuk ke atas, dunia gaib, tempat pengetahuan berada. Tak sependapat, Aristoteles (kanan) merentangkan tangannya sejajar dengan bumi (alam semesta), tempat pengamatan dapat dilakukan untuk memperoleh pengetahuan (cuplikan dari lukisan Raphael [1483-1520], Mazhab Athena).
semangat ijtihad (gagasan mandiri). Aristoteles, juga Ibn Sina termasuk pionir ulasan-mitra paling dini.
Usai analisis rasio berdasarkan objektivitas dan keabsahan, paling akhir—sebagai Muslim—kita juga harus menganalisis solusi itu dari segi keselarasannya dengan Sang Kriteria (Al-Furqaan), yakni Al-Quran.
72 | Ronny Astrada
Naskah Al-Quran yang konon berasal dari masa Khalifah 'Utsman [ra]
Ini dapat kita namai uji konsistensi eksternal (wahyu) yang melengkapi uji konsistensi internal (rasio). Agar kita dapat makin memahami betapa konsistennya—meski kadangkala samar—ayat-ayat-Nya yang tertebar di kitab terhampar-Nya (semesta), dengan ayat-ayat-Nya yang tertulis dalam kitab suci-Nya.
“Wahyu dan rasio dapat berjalan beriringan bak tangan kanan dan tangan kiri, untuk menjangkau kebenaran,” demikian Plato, “Sebab sains tanpa agama, lumpuh; agama tanpa sains, buta,” tambah Einstein.
Saya menyarankan Anda untuk memiliki konkordansi Al-Quran, yakni ensiklopedi yang berisikan tema-tema, sekaligus indeks istilah dalam Al-Quran. Ini memudahkan penelusuran ayat-ayat berdasarkan suatu tema.
Selayang Metode Ilmiah | 73
Sepanjang pengetahuan saya, buku yang diterbitkan di Indonesia dan dinamai “konkordansi” lebih merupakan saduran “tidak resmi” dari indeks kata Al-Quran karya Muhammad Fu'ad ‘Abdul-Baqi. Akan tetapi daripada tidak ada, maka buku yang tersedia itu pun sudah memadai.
Jika Anda mampu mencari akar kata suatu kata Arab, maka saya lebih menyarankan menggunakan buku asilnya, yakni Al-Mu’jam al-Mufahras lil-Fazh Al-Qur’an Al-Karim yang dapat ditemukan dengan mudah di toko-toko kitab di tanah air.
Jika kocek Anda agak tebal, ada sebuah konkordansi berbahasa Inggris yang baik, yakni A Concordance of the Qur’an karya Hanna Emmanuel Kassis (profesor emeritus studi agama, University of British Columbia), dan diberi pengantar oleh Fazlur Rahman [alm]. Buku ini sangat tebal, yakni 1484 hlm. Dan dijual di amazon.com dengan harga USD175 (sekitar Rp1,75 juta).
Solusi alternatif yang gratis tetapi berkualitas
74 | Ronny Astrada
tinggi adalah mengunduh Holy Qur’an karya Maulana Muhammad ‘Ali dari www.muslim.org/english-quran (semoga belum pindah alamat). Saduran ini dilengkapi indeks tematis pada bagian belakang buku, dan sudah tersedia pula alih-bahasa Indonesianya dengan judul Qur’an Suci, terbitan Darul-Kutub Islamiyah, Jakarta.
Rujukan-rujukan tadi akan memudahkan pencarian gagasan-gagasan kunci dalam al-Quran, sesuai dengan masalah apa yang tengah kita cari solusi/resolusinya.
Jadi, kriteria penghakiman suatu solusi atau resolusi atas masalah berpulang pada tiga pilar:
(1) objektivitas,
(2) keabsahan internal,
Selayang Metode Ilmiah | 75
dan yang disisihkan para ilmuwan Barat, yaitu
(3) keabsahan eksternal (wahyu).
Kriteria ketiga mungkin terkesan tabu bagi ilmuwan Barat, tetapi saya yakin tidak sulit dipahami para ilmuwan Muslim.
Akhir kata, fakta yang hendaknya dicamkan adalah bahwa metode ilmiah adalah peranti
76 | Ronny Astrada
keseharian umat manusia—bukan peranti “elit” di lab-lab dan sekolah-sekolah.
Metode ilmiah bukan sekadar peranti “senda gurau” intelektual, melainkan peranti amalan nyata sehari-hari![]
Selayang Metode Ilmiah | 77
Arsitektur Suatu
Masalah
Adalah pengalaman umum bahwa sebuah masalah yang sulit di malam hari terpecahkan di
pagi hari setelah “komite peraduan” menggarapnya
— John Steinbeck (1902-1968), Novelis AS
asalah adalah kesenjangan antara realitas dan pengharapan (expectancy). Dengan kata lain,
masalah ditemukan manakala suatu entitas—baik manusia, atau sistem pada umumnya—tidak mengetahui bagaimana cara untuk beranjak dari
M78 | Ronny Astrada
suatu keadaan ke keadaan yang diinginkan. Jadi, masalah adalah kesenjangan atau jurang antara keadaan kini (realitas) dengan keadaan yang diinginkan (harapan).
Situasi sedemikian membutuhkan solusi, baik jawaban atau keputusan. Jawaban diterapkan agar masalah itu berhenti ada. Meski, berhenti adanya suatu masalah lama tidak berarti bahwa tidak akan muncul masalah baru lainnya. Sementara keputusan diterapkan karena efek-efek suatu masalah tak terhindarkan, sehingga hanya dapat disikapi (remedy), dipilih yang maksimum manfaatnya—atau yang paling minimum mudaratnya.
Kadangkala, situasi demikian kompleks sehingga sinergi antara pemecahan masalah dan pengambilan keputusan mesti diterapkan sekaligus. Buah yang ingin dipetik dari solusi/resolusi adalah peningkatan harmoni atau produktivitas; atau dari sisi lain, minimasi malapetaka dan kekacauan.
Arsitektur Suatu Masalah | 79
Masalah pada umumnya mengenalkan dirinya melalui tahap-tahap berikut ini:
Pertama, penemuan atau pertemuan dengan masalah (problem discovery) melalui visi dan wawasan nalar terhadap apa-apa yang absen (missing).
Kedua, pembingkaian, perumusan, pengerangkaan masalah (problem framing), yakni merevisi pertanyaan sehingga proses pencarian solusi/resolusi dapat dimulai atau diteruskan.
80 | Ronny Astrada
Ketiga, pemecahan masalah (solusi) atau penyikapan masalah (pengambilan keputusan, resolusi).
Penemuan masalah memerlukan kreativitas, pembingkaiannya memerlukan pemikiran kritis, sementara penemuan solusi menyintesiskan keduanya.
Ketiga aspek ini akan kita ulas satu demi satu.[]
Arsitektur Suatu Masalah | 81
Kreativitas
Tindakan yang logis bukanlah segenap ukuran
kecerdasan. Seseorang dapat saja disebut cerdas tanpa mesti bertindak masuk akal
— Jean Piaget (1896-1980), Psikolog Swiss
reativitas merupakan proses mental yang mencakup pembiakan gagasan baru, atau konotasi (penambahan pengertian)
baru atas gagasan yang sudah ada. KKreativitas merupakan pijakan pertama bagi
inovasi. Produk—baik konkrit atau abstrak—yang menjadi wahana perwujudan kreativitas disebut produk yang inovatif.
82 | Ronny Astrada
Produk nalar kreatif biasanya berdimensi (ciri) asli (original), dengan subdimensi:
Pertama, keunggulan nalar (intelectual leadership), yakni ia mampu menggagas teori yang baru dan menjanjikan, atau arah (trend) yang memikat yang mengilhami orang lain untuk mengikuti. Ia memulai suatu gerakan, mazhab pemikiran, atau kecenderungan.
Kedua, cerdik atau lihai (ingenuity), yakni ia menyajikan solusi yang “cantik” (neat) dan
Kreativitas | 83
mengejutkan, tidak terpikirkan oleh orang lain, menantang pola pikir yang ada, juga memberikan sudut pandang baru dalam mengamati masalah.
Ketiga, luar biasa (unusualness), yakni ia mampu menyusun konotasi dengan rentang yang jauh (remote association) antar gagasan-gagasan yang ada.
Ia sekaligus mengena (appropriate), dengan subdimensi:
Pertama, sensitivitas (kesesuaian) terhadap masalah, yakni ia harmonis dengan keadaan yang dihadapi.
Kedua, manfaat, yakni dapat diterapkan, praktis, manakala batasan-batasan masalah terpenuhi seraya sekaligus menghasilkan solusi/resolusi yang luar biasa dan asli.
84 | Ronny Astrada
Dengan demikian, solusi/resolusi yang kreatif sejatinya produk dari kecerdasan. Mengapa? Dua dimensi utama kreativitas, yakni belum ada padanannya dan bermanfaat, keduanya menyumbang besar pada keberhasilan adaptasi diri, alias kesintasan seseorang.
Ada contoh yang memikat untuk disinggung di sini, yakni iPod click wheel (roda-klik). Selama ini, mayoritas produsen laptop menerapkan teknologi alas-sentuh (touch pad) dengan paradigma “memindahkan pengalaman menggunakan mouse dari PC ke laptop.” Alhasil, bentuk alas pada umumnya sebuah persegi kecil dengan dua atau tiga buah tombol yang memimik tombol mouse.
Kreativitas | 85
Apple memanfaatkan teknologi yang telah ada dan umum dikenal orang tadi dengan cara yang sama sekali baru. Ia merancang roda-klik berbentuk mirip donat 2 dimensi dengan fungsi yang lebih mengena bagi pengguna awam.
Jika pada alas-sentuh orang menggerakkan jarinya dengan bebas, maka pada roda-klik, pengguna awam secara naluriah terdorong untuk menggerakkan jarinya dalam arah berputar ke kiri (melawan jarum jam) atau ke kanan saja. Aspek kreatif di sini: gerakan yang bebas dan tidak beraturan pada alas-sentuh direduksi menjadi gerakan sederhana yang jauh lebih mudah dipahami pengguna.
Bentuk roda klik yang melingkar mirip tombol pemutar volume pada umumnya sehingga dengan mudah mengingatkan pengguna pada fungsi
86 | Ronny Astrada
tombol pembesar dan pengecil volume suara.
Selain itu, Apple juga memanfaatkan 4 arah mata angin pada roda klik dengan melabelkan fungsi: menu dan 3 tombol fungsi yang sudah sangat dikenal pada piranti audio/video. Penempatan keempat fungsi itu di tepi roda klik secara naluriah membimbing pengguna untuk menekan/mengkliknya!
Sementara bagian tengah “donat” difungsikan sebagai tombol klik umum, sehingga tidak diberi label.
Perancangan iPod digarap selama hampir 1 tahun, tetapi buahnya benar-benar inovatif. Belum ada produsen yang terpikir bahwa alas-sentuh dapat dirancang ulang menjadi alas-putar, selaras dengan fungsi utama sebuah produk audio/video.
Bukanlah tidak mungkin Sony akan belajar dari Apple dan merancang ulang peranti kendali (controller) Playstation menjadi lebih sederhana dan
Kreativitas | 87
ringkes—kata orang Jawa.
Pertanyaan besarnya, “Bagaimanakah menjadi sosok yang kreatif?” Saya tidak memiliki jawaban yang lengkap, tetapi bila kita pelajari biografi sosok-sosok yang kreatif, maka ada satu kebiasaan mereka yang dapat kita tiru dalam keseharian.
Mereka umumnya gemar menambah wawasan mereka, baik dalam bentuk bacaan dari bidang yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan spesialiasinya sampai aktivitas yang sangat asing.
Drucker senang membaca buku sejarah, novel sampai filsafat, juga menulis novel—meski bidang spesialiasinya adalah manajemen modern. Larry Elison (CEO perusahaan peranti lunak Oracle, Inc.), gemar mengisi waktu luangnya menekuni keterampilan menakhodai kapal layar pribadinya (yacht).
88 | Ronny Astrada
Bill Gates—Anda pasti tahu siapa dia—selalu meluangkan 2 minggu dalam setahun untuk mengasingkan diri (retreat). Dalam pengasingannya itu ia melahap buku-buku menarik yang sudah ia beli selama setahun belakangan. Kadang-kadang, ia membawa teman diskusi untuk sebuah topik yang paling mendesak dan penting bagi keberhasilan bisnis maupun kehidupan pribadinya.
Intinya, buka wawasan Anda dengan hal-hal yang sama sekali asing. Baik bacaan, tontonan, maupun aktivitas.
Bahkan seorang Sufi mendapatkan pencerahan kreatif tidak hanya dari 40 hari berkhalwat, tetapi juga karena ia tak segan datang ke pasar dan berjualan hasil bumi garapan tangannya sendiri! Terkadang ia sengaja berniaga dengan menempuh perjalanan jauh menembus gurun dan lautan. Mengapa? Tanpa aktivitas sampingan ini, tidak mungkin ia meresapi hakikat tawakal.[]
Kreativitas | 89
Nalar Kritis
Sasaran seorang ilmuwan dalam diskusi dengan
koleganya bukanlah untuk meyakinkan (persuade) tetapi untuk memeriksa-ulang (clarify)
— Leo Szilard (1898-1964), Fisikawan Nuklir AS kelahiran Hungaria
alar kritis (critical thinking) merujuk kepada proses mental dalam menganalisis atau menimbang-ulang
(evaluate) informasi, terutama pernyataan atau dalil yang umum atau biasa disajikan sebagai “kebenaran” atau “fakta.”
N
90 | Ronny Astrada
Nalar Kritis | 91
Ia meliputi:
(a) perenungan atas hakikat makna pernyataan,
(b) memeriksa bukti dan alasan, dan
(c) menjatuhkan vonis (judgment) atas fakta-fakta.
Bahan yang dimanfaatkan berasal dari pengamatan langsung, pengalaman, penalaran, atau buah komunikasi dengan pihak lain (diskusi atau debat).
Buah penalaran kritis itu idealnya memiliki:
(i) kejernihan (clarity),
(ii) akurasi,
(iii) presisi,
(iv) pembuktian,
(v) ketelitian,
(vi) keadilan (fairness).
92 | Ronny Astrada
Nilai-nilai tadi umumnya sudah jelas, hanya mungkin perlu diuraikan sedikit perihal perbedaan antara akurasi dan presisi.
Bayangkanlah sebuah papan sasaran panah. Sebuah anak panah disebut akurat (tepat) bila menancap pada atau di sekitar titik pusat papan sasaran.
Sementara anak panah dapat disebut presisi (seragam) bila berkumpul pada suatu lokasi mana pun pada papan sasaran, meski bukan di titik pusat.
Seorang pemanah disebut presisi (namun tidak akurat), manakala anak-anak panahnya mayoritas berhimpun pada suatu titik di luar titik pusat papan sasaran.
Pemanah yang baik adalah pemanah yang selain akurat (tepat di titik pusat), juga presisi (mayoritas
Nalar Kritis | 93
anak panahnya berada di atau sekitar titik pusat).
Prinsip penting sebelum memulai nalar-kritis adalah menunda segenap vonis dengan merangkul pola pikir perseptif—yakni membuka pikiran untuk menerima semua data.
Ini terbantu dengan memposisikan diri sebagai insan yang khilaf, yakni insan yang tak luput dari salah, dengan cara:
Pertama, mengakui bahwa setiap orang—termasuk dirinya—memiliki bias bawah-sadar, seraya mempertanyakan setiap vonis/keyakinan pribadi;
Kedua, merangkul posisi sepi-ego dan rendah hati;
Ketiga, mengingatkan diri akan pengalaman pribadi manakala pernah memegang teguh suatu
94 | Ronny Astrada
keyakinan lama dan belakangan terbukti keliru;
Keempat, menyadari bahwa nalar setiap insan selalu mengandung banyak celah (blind spot).
Urut-urutan nalar kritis secara sederhana meliputi:
(1) Rinci pendapat yang relevan dari segenap sisi tentang suatu tema (topik masalah) dan himpun argumen logis yang mendukung masing-masing pendapat;
(2) Uraikan argumen menjadi pernyataan-pernyataan penyusunnya dan tarik beragam implikasi (akibat) tambahan dari pernyataan-pernyataan ini;
(3) Teliti kontradiksi internal pernyataan-pernyataan dan implikasi-implikasi tadi;
(4) Temukan klaim yang saling berlawanan di
Nalar Kritis | 95
antara beragam argumen tadi dan beri bobot relatif antar argumen itu:
(i) Tambah bobotnya bila klaim memiliki dukungan kuat, terutama rangkaian nalar yang unik atau sumber berita yang berbeda. Kurangi bobot bila klaim mengandung kontradiksi;
(ii) Sesuaikan (adjust) pembobotan menurut relevansi informasi terhadap tema utama;
(iii) Persyaratkan dukungan memadai untuk menopang setiap klaim luar biasa; jika tidak ada, abaikan klaim itu saat menyusun vonis/kesimpulan akhir;
(5) Ukur/hitung bobot klaim-klaim itu.
Nalar kritis tidak menjamin seseorang mencapai kebenaran atau kesimpulan yang benar. Ini karena seseorang selalu tidak memiliki semua data yang
96 | Ronny Astrada
relevan. Bisa jadi data penting tetap tak terkuak, atau bahkan mustahil diketahui.
Kedua, bias bawah-sadar dapat menghalangi penghimpunan dan penilaian efektif atas informasi yang tersedia.
Jadi kesimpulan itu tidak pernah final, namun sekedar kesimpulan sementara, tidak mapan, dan terbuka bagi penilaian ulang (ulasan-mitra)—terutama bila data baru menyeruak.
Dari sini, seorang ilmuwan yang mumpuni umumnya juga memiliki sifat rendah hati.[]
Nalar Kritis | 97
Belati Okkam
Dalam berteori selalu sisakan sebuah jendela
terbuka supaya Anda dapat menyampakkannya keluar jika perlu
— Bela Schick (1877-1967), Dokter AS kelahiran Hungaria
ebuah peranti bermanfaat dalam melaksanakan butir 2 nalar kritis (penguraian argumen) adalah Belati
Okkam dari nama William of Occam (juga dieja: Ockham, s. 1285-1349).
SPeranti ini juga dinamai prinsip ugahari
(“ekonomis,” principle of parsimony), yakni—dalam Bahasa Latin—entia non sunt multiplicanda praeter
98 | Ronny Astrada
necessitatem (entitas hendaknya tidak dilipatgandakan melebihi keperluan),
atau pluritas non est ponenda sine necessitate (kemajemukan hendaknya tidak dimestikan tanpa kebutuhan),
atau difrasakan-ulang oleh Isaac Newton (1642-1727) menjadi:
We are to admit no more causes of natural things than such as are both true and sufficient to explain their appearances.
(Kita tidak perlu memperhitungkan lebih banyak penyebab suatu fenomena alam selain penyebab
Belati Okkam | 99
Cuplikan naskah yang memuat frasa "Belati Okkam"
yang benar dan sekaligus memadai untuk menjelaskan penampakan fenomena itu.)
Dengan kata lain, jika ada lebih dari satu teori yang sama-sama dapat menjelaskan hasil pengamatan, pilihlah yang paling sederhana; sampai bukti tambahan baru menginginkan lain.
Janganlah membuat pernyataan dalam argumen lebih daripada yang diperlukan (KISS “Keep It Simple, Smarty!”).
Belati Okkam membantu “mengiris” lepas aspek surplus,
atau taksa (redundancy) dari suatu teori/hipotesis.
100 | Ronny Astrada
William dari Okkam
Patut dicamkan, janganlah menyamakan kesederhanaan dengan kebenaran. Belati ini hanya mengarahkan kita untuk lebih memilih (lebih menyukai) teori/hipotesis yang lebih sederhana—dan cukup untuk menjelaskan fenomena.
Ambil contoh, meski mekanika Newton lebih sederhana bukan berarti ia lebih benar daripada mekanika Einstein. Mekanika Newton lebih sederhana untuk perhitungan benda-benda di bawah kecepatan cahaya. Manakala benda yang kita amati dalam kecepatan cahaya, maka mekanika Einsteinlah yang harus digunakan—karena lebih benar, meski lebih rumit.
Belati Okkam didasari pemikiran bahwa setiap asumsi membawa kemungkinan keliru ke dalam teori.
Jika suatu asumsi tambahan tidak memperbaiki
Belati Okkam | 101
akurasi suatu teori, maka satu-satunya efeknya ialah membuat teori semakin rentan untuk keliru.
Mengingat kekeliruan tidak diinginkan dalam suatu teori, maka asumsi yang berlebih sebaiknya dibuang (“dipotong” dari teori).
Meski demikian tidak berarti Belati Okkam identik dengan gagasan keparipurnaan sama dengan kesederhanaan atau ungkapan Leonardo Da Vinci (1452-1519), “Simplicity is the ultimate sophistication (kesederhanaan adalah puncak kecanggihan).”
Makna tepatnya adalah teori hendaknya sesederhana mungkin, tetapi tidak terlalu sederhana sehingga kekurangan (inadequate), yakni seperti pemahaman Einstein atas Belati Okkam, “Segala sesuatu hendaknya dibuat sesederhana mungkin, tetapi bukan lebih gampang (everything should be made as simple as possible, but not simpler).”
Dengan demikian, pemfrasaan ulang populer
102 | Ronny Astrada
Belati Okkam menjadi penjelasan paling sederhana adalah yang paling baik—justru mengarah ke penyederhanaan yang berlebihan (penggampangan), bila makna sederhana disinonimkan dengan mudah.
Atas alasan di ataslah, Immanuel Kant (1724-1804) merasa perlu mewanti-wanti penerapan belati ini dengan memberikan nasihat: keragaman keberadaan (being) hendaknya tidak dengan serampangan diciutkan.
Dengan kata lain, gunakanlah teori/hipotesis yang lebih sederhana selama belum ada alasan/bukti kuat untuk menggunakan teori/hipotesis lain—yang lebih kompleks.
Terkait pokok bahasan kita, di langkah pertama nalar kritis, kita telah menghimpun seluruh argumen (data) yang berkaitan dengan tema utama.
Belati Okkam | 103
104 | Ronny Astrada
Di langkah kedua, kita menguraikan masing-masing argumen (data) ke dalam komponen penyusunnya.
Nah, Belati Okkam akan sangat bermanfaat dalam menyederhanakan sebuah argumen. Saat kita telah menyisihkan hal-hal (elemen-elemen) yang tidak mungkin, maka apapun yang tersisa, betapapun sulit diterima, adalah yang terbaik.[]
Belati Okkam | 105
Pertanyaan
Sokrates
Memerlukan pikiran yang sangat tidak biasa untuk mengemban analisis atas hal-hal yang
lazim (obvious)— A. N. Whitehead (1861-1947), Filsuf dan
Matematikawan Inggris
engamalan butir 3 dan 4 nalar kritis (analisis kontradiksi dan pembobotan) sangat terbantu memanfaatkan Metode
Sokrates (Socratic Method) atau elenchos—dari kata Yunani yang bermakna: “telaah silang dengan tujuan membatalkan atau membantah.”
P106 | Ronny Astrada
Pertanyaan Sokrates | 107
Metode Sokrates adalah metode negasi untuk mengeliminasi hipotesis. Eliminasi dilakukan dalam bingkai pemikiran bahwa hipotesis yang lebih baik lagi akan ditemukan dengan cara terus-menerus mengenali dan mengeliminasi hipotesis yang mengarah ke kontradiksi (nirkonsisten).
Metode ini mirip Belati Okkam. Bila Okkam secara kuantitatif menyisihkan kontradiksi, maka metode ini menyisihkannya secara kualitatif. Okkam mengurangi jumlah elemen. Metode ini membahasakan kembali teori/hipotesis yang telah disederhanakan Belati Okkam ke bentuk yang lebih definitif (mengena, langsung ke inti masalah).
Metode ini mencari:
(a) hipotesis (dugaan),
(b) anggapan (asumsi), atau
(c) aksioma (sesuatu yang secara umum diterima sebagai kebenaran),
yang bisa jadi secara tidak sadar membentuk
108 | Ronny Astrada
pendapat seseorang; lalu menjadikan hipotesis/asumsi/aksioma itu subjek penelitian cermat (scrutiny), untuk menentukan konsistensinya dengan keyakinan atas hipotesis/anggapan/aksioma selainnya. Ia berupaya menentukan syarat perlu dan syarat cukup atas suatu hipotesis/anggapan/aksioma.
Caranya dengan menggali (explore) definisi, dalam upaya melukiskan karakteristik umum (sifat, ciri) yang dimiliki beragam contoh khusus (induksi). Sedemikian sehingga mampu mengeluarkan definisi yang tersirat (implisit) dalam keyakinan diri, atau membantu orang lain mengembangkan pemahamannya. Tujuan terakhir diberi nama maieutics (sinonim dari Sokratik).
Satu ciri khas rangkaian pertanyaan Sokrates: biasanya ada lebih dari satu jawaban yang “benar”, dan lebih sering lagi, tidak ada jawaban yang jelas sama sekali (aporia).
Sasaran utama metode ini—yang biasanya
Pertanyaan Sokrates | 109
diterapkan di jurusan hukum—bukanlah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang umumnya tak berjawab, tetapi menjelajahi lekak-lekuk (contour) suatu tema (sering tema yang sulit) dan mendidik murid akan kecakapan nalar kritis yang diperlukan dalam jalur profesinya nanti.
Mari menyimak rangkuman dari dialog Sokrates yang direkam muridnya, Plato. Dalam dialog ini Sokrates berdiskusi dengan Euthyphro tentang definisi kesalehan.
Sokrates: Apakah yang engkau maksud dengan kesalehan?
Euthyphro: Apapun yang disukai oleh dewa-dewa.
Sokrates: Apakah kesalehan dan kebejatan berlawanan?
110 | Ronny Astrada
Euthyphro: Ya.
Sokrates: Apakah para dewa tak sependapat satu sama lain tentang apa yang baik, apa yang adil, dan seterusnya?
Euthyphro: Ya.
Sokrates: Jadi tindakan yang sama dapat disukai oleh sebagian dewa dan dibenci yang lain?
Euthyphro: Ya.
Sokrates: Jadi tindakan yang sama dapat sekaligus bernilai saleh dan bejat?
Euthyphro: ...Ya.
Catatan penulis: Di sini, Sokrates menguak kenyataan bahwa pemahaman Euthyphro tentang kesalehan masih bercelah.
Celah yang dimaksud ialah praanggapan bawah-sadar Euthyphro akan pemihakannya kepada
Pertanyaan Sokrates | 111
sebagian dewa—sambil mengecilkan arti dewa-dewa yang lain. Tentu saja, praanggapan seperti ini hanya dapat terjadi pada seseorang yang menganut paganisme (syirik).
Seorang pakar nalar-kritis, Richard W. Paul telah menggolongkan pertanyaan ala Sokrates ke dalam 6 kategori, untuk memudahkan penggunaannya.7
Keenam kategori ini menyigi 6 area yang
saling berkaitan dalam suatu pernyataan/pertanyaan:
(i) konsep yang mendasari (klarifikasi),
112 | Ronny Astrada
Richard Paul berpose di Universitas Oxford, Inggris.
(ii) asumsi (praanggapan),
(iii) alasan (sebab) dan bukti,
(iv) sudut pandang/perspektif/opini dan pendekatan yang mendasari,
(v) efek/akibat dan konsekuensi, dan
(vi) muatan pernyataan/pertanyaan itu sendiri.
Penerapan keenam area ini disesuaikan dengan keadaan yang dihadapi, tidak harus berurutan seperti yang disajikan di sini.
(i) Menyigi konsep di balik pertanyaan atau pernyataan (memperjelas, klarifikasi). Buatlah mereka memikirkan lebih dalam tentang apa tepatnya yang mereka tanyakan atau pikirkan. Buktikan konsep di belakang argumen mereka. Gunakan pertanyaan dasar “terangkan lebih banyak (tell me more)” untuk mengajak mereka mendalami masalah. Berikut beberapa contoh:
Mengapa engkau mengatakan hal itu?
Pertanyaan Sokrates | 113
Apa menurutmu isu utama di sini?
Mari kita lihat apakah aku sudah memahamimu; apakah maksudmu ___ atau ___?
Apa yang kau maksud dengan ___?
Bagaimanakah ___ berkaitan dengan ___?
Bagaimanakah ini berhubungan dengan masalah/diskusi/isu kita?
Dapatkah engkau menguraikannya lebih dalam?
Sudikah engkau menjelaskan lebih banyak tentang hal itu?
Dapatkah engkau menyatakannya dengan cara lain?
Apakah yang engkau, Ahmad, maksudkan dengan komentar ini? Apa menurutmu, Budi, yang dimaksud Ahmad dengan komentarnya?
Basia, dapatkah engkau merangkum dalam kata-katamu sendiri apa yang dikatakan Chandra? ...
114 | Ronny Astrada
Chandra, inikah yang kau maksud?
Dapatkah engkau memberiku sebuah contoh?
Apakah ini dapat menjadi contoh, ___?
(ii) Menyigi asumsi (praanggapan). Menyigi asumsi membuat mereka memikirkan praanggapan dan keyakinan membuta tempat mereka memijakkan argumennya. Gali penalaran itu alih-alih menganggapnya lumrah (given). Orang sering menggunakan hal yang tidak dipikirkan matang atau pemahaman yang lemah untuk mendukung argumennya. Berikut beberapa contoh:
Apa yang engkau asumsikan?
Apa alasan seseorang berasumsi demikian?
Engkau agaknya beranggapan ___. Apakah pemahamanku ini benar?
Bagaimana engkau memilih asumsi-asumsi itu?
Bagaimana engkau memastikan atau menyanggah asumsi itu?
Pertanyaan Sokrates | 115
Engkau agaknya berasumsi ___. Bagaimana engkau memberinya pembenaran hingga dapat menganggapnya lumrah?
Apakah selalu begitu (is that always the case)? Apa yang membuatmu berpikir bahwa asumsi itu berlaku di sini?
Semua jalan pemikiranmu bergantung pada gagasan bahwa ___. Mengapa engkau mendasarkan pemikiranmu pada ___ alih-alih ___?
Apa lagi yang kita asumsikan di sini?
Apa sebaliknya yang dapat kita jadikan asumsi?
Apakah engkau setuju atau tidak mengenai ___?
Apa yang akan terjadi jika ___?
Tolong jelaskan mengapa/bagaimana ___?
(iii) Menyigi alasan (sebab) dan bukti. Saat mereka melukiskan bukti di balik argumen, buktikan jika itu adalah fakta atau fiksi. “Fakta” umumnya membandel. Orang sering menggunakan bukti
116 | Ronny Astrada
terbantahkan, atau lemah untuk mendukung argumen mereka. Berikut beberapa contoh.
Apa alasanmu menyatakan hal itu?
Bagaimana engkau mengetahui hal ini?
Mengapakah ___ terjadi?
Bagaimana aku dapat memastikan apa yang engkau katakan?
Tunjukkan kepadaku perihal ___?
Dapatkah engkau memberiku contoh dari hal itu?
Apa hakikat (sifat) hal ini?
Apa menurutmu penyebab-penyebab dari ___?
Dapatkah engkau menjelaskan alasanmu kepada kami?
Apakah alasan-alasan ini memadai?Mengapa engkau pikir hal itu benar?
Apa bukti yang tersedia untuk mendukung
Pertanyaan Sokrates | 117
pernyataanmu?
Apakah perbedaan yang dimunculkan bukti itu?
Apa dasar teori (rujukan, otoritas) dari argumenmu?
Apa informasi lain yang engkau perlukan?
(iv) Menyigi sudut pandang atau pendekatan yang mendasari pertanyaan/pernyataan. Jika argumen dinyatakan dari suatu sudut pandang, Anda dapat menyigi argumen secara tidak langsung yakni dengan menyigi sudut pandang di belakangnya—sudut pandang yang dijadikan dasar baik tersurat atau tersirat. Tetapi pastikan bahwa memang ada sudut pandang lain (alternatif) yang sama absahnya. Berikut beberapa contoh.
Apakah pendekatan ini beralasan, serta dapat dibenarkan?
Apa alternatif yang tersedia untuk memandang hal ini?
118 | Ronny Astrada
Mengapakah ___ diperlukan?
Siapa yang mengambil untung dari hal ini?
Mengapa ini lebih baik daripada ___?
Apa saja kekuatan dan kelemahan dari ___?
Apa saja kemiripan antara ___ dan ___?
Apa saja perbedaan antara ___ dan ___?
Bagaimanakah engkau memandang hal ini dengan cara berbeda?
Mengapa engkau menyatakan hal itu?
Apa yang mengarahkanmu untuk meyakini hal itu?
Bagaimanakah itu berlaku untuk kasus ini?
Apa yang dapat mengubah pandanganmu?
Tetapi, adakah bukti kuat untuk keyakinan itu?
Adakah alasan untuk meragukan bukti itu?
Siapakah yang berada pada posisi untuk
Pertanyaan Sokrates | 119
mengetahui bahwa itu benar?
Apa yang akan engkau katakan kepada seseorang yang berpendapat bahwa ___?
Dapatkah pihak lain memberikan bukti untuk mendukung pandangan itu?
Apa jalan pemikiran yang membawamu kepada kesimpulan itu?
Bagaimanakah engkau mendapati hal itu benar?
(v) Menyigi akibat dan konsekuensi. Argumen yang mereka berikan mungkin memiliki akibat atau konsekuensi logis yang dapat diprediksi. Apakah ia masuk akal? Apakah ia diharapkan? Berikut beberapa contoh.
Lalu, apa yang akan terjadi?
Apa konsekuensi dari asumsi itu?
Bagaimanakah ___ dapat digunakan untuk ___?
Apa akibat-akibat dari ___?
120 | Ronny Astrada
Bagaimanakah ___ selaras dengan apa yang sudah kita pahami?
Mengapakah ___ penting?
Mengapa pendekatan ini dipandang sebagai yang terbaik?
Apa yang engkau maksudkan dengan hal itu?
Saat engkau menyatakan ___, apakah engkau memaksudkan ___?
Tetapi, jika itu terjadi, apa ada hal lain yang akan terjadi sebagai akibatnya? Mengapa?
Apa efek yang akan ia akibatkan?
Apakah itu memang mesti terjadi atau hanyalah mungkin terjadi?
Apa alternatifnya?
Jika ___ dan ___ adalah masalahnya, maka apa lagi yang mungkin juga benar?
Jika kita menyatakan bahwa ___ itu etis,
Pertanyaan Sokrates | 121
bagaimana dengan ___?
(vi) Menyigi pertanyaan/pernyataan. Terkadang bermanfaat untuk bercermin pada pertanyaan, lalu menyerang pertanyaan dengan pertanyaan itu sendiri. Berikut beberapa contoh.
Apa gunanya menanyakan pertanyaan itu?
Mengapa menurutmu aku menanyakan pertanyaan ini?
Apakah artinya?
Bagaimanakah kita menemukan jawabannya?
Apa yang diasumsikan pertanyaan ini?
Apakah ___ akan mengajukan pertanyaan ini secara berbeda?
Bagaimanakah seseorang menjawab pertanyaan ini?
Dapatkan kita menguraikan pertanyaan ini ke dalam bagian-bagiannya?
122 | Ronny Astrada
Apakah pertanyaan ini jelas? Apakah kita memahaminya?
Apakah pertanyaan ini mudah atau sulit dijawab? Mengapa?
Apakah pertanyaan ini meminta kita
Pertanyaan Sokrates | 123
mengevaluasi (menimbang ulang) sesuatu? Apakah itu?
Apakah kita semua sependapat bahwa inilah pertanyaannya?
Untuk menjawab pertanyaan ini, apa pertanyaan lain yang mesti dijawab terlebih dahulu?
Aku tidak yakin aku memahami bagaimana engkau menafsirkan pertanyaan ini. Apakah ini sama seperti ___?
Seberapa dapat ___ menyuratkan isunya (how would ___ state the issue)?
Mengapa isu ini penting?
Apakah ini pertanyaan terpenting, atau adakah pertanyaan di belakangnya yang merupakan isu sesungguhnya?
124 | Ronny Astrada
Sokrates sendiri mengakui ketidaktahuannya. Beliau yakin bahwa kesadaran akan ketidaktahuannya itu menjadikannya lebih bijak tinimbang mereka yang—meski tidak tahu—tetap mengklaim berpengetahuan.
Meski terkesan paradoks, yakni mengetahui ketidaktahuan diri adalah klaim memiliki pengetahuan juga; kesadaran ini memudahkan Sokrates menemukan kekeliruan-kekeliruan dalam dirinya, dalam hal mana orang lain bisa jadi beranggapan mereka benar.
Kesadaran itu membantu Sokrates terhindar dari
Pertanyaan Sokrates | 125
Patung Sokrates di Athena, Yunani.
penyakit hati yang dilabeli Al-Muhasibi—serta disepakati Al-Ghazali—sebagai ghuruur (delusi-diri).
Bila Al-Muhasibi dikenal sebagai sosok spiritualitas Islam yang diperhitungkan karena sering menghitung-hitung (hisaab) dirinya, maka Sokrates dipuji sebagai yang paling bijak di antara segenap manusia atau tiada manusia yang lebih bijak dibandingkan Sokrates, di masanya.
Ungkapan inspiratif Sokrates adalah hidup tanpa ujian (pertanyaan-pertanyaan kritis) tidaklah bernilai untuk dijalani; dengan kata lain, hidup tanpa masalah demi masalah (QS al-Balad [90]: 4) tidaklah hidup![]
126 | Ronny Astrada
Memburu Solusi
dengan 10 Heuristik Polya
Keberuntungan lebih menyukai pikiran yang siap
— Louis Pasteur (1822-1895), Pendiri Mikrobiologi
engamalan nalar-kritis dengan memanfaatkan peranti-peranti kreatif seperti belati Okkam atau pertanyaan
Sokrates bersifat umum sehingga bagi sebagian sidang pembaca mungkin terkesan gampang-gampang susah.
PMemburu Solusi dengan 10 Heuristik Polya | 127
Meski saya merinci langkah-langkah penalaran kritis seperti terlihat pada skema, tetapi sejatinya urut-urutan itu mengikuti naluri akal sehat, sehingga sejatinya tidak perlu dihafalkan. Ia inheren dalam setiap diri yang mau menggunakan akalnya.
Akan tetapi, demi memudahkan pengamalannya dalam keseharian, maka saya petikkan pula dua kiat:
(1) kiat pertama sangat cocok untuk pencarian solusi (pemecahan masalah), alias mencari jawaban dari suatu masalah yang sudah Anda definisikan.
Kiat ini akan memanfaatkan 10 heuristik George Polya, seorang
matematikawan yang berkeinginan kuat untuk menjelaskan matematika dengan bahasa “pasar” lewat bukunya How to Solve It.
128 | Ronny Astrada
Polya menunjukkan bahwa kiat untuk pemecahan persamaan matematika dapat pula diterapkan untuk pemecahan masalah sehari-hari.
Ini sejalan dengan “mazhab” saya, yakni metode ilmiah bukanlah peranti kalangan elit di lembaga riset dan pendidikan, tetapi peranti keseharian bagi siapa saja.
(2) kiat kedua dirancang untuk pemilihan resolusi (pengambilan keputusan).
Saya akan memanfaatkan kiat yang dikembangkan oleh Kepner-Tregoe, dan mudah-mudahan penyederhanaan yang saya lakukan benar-benar efektif sehingga dapat Anda manfaatkan dalam kehidupan sehari-hari, amiin.
Kiat kedua akan diulas pada bab berikutnya.
Polya memberikan 10 cara penemuan solusi
Memburu Solusi dengan 10 Heuristik Polya | 129
yang saya namai “10 Heuristik Polya”.
Analogi. Adakah masalah yang serupa dengan masalah ini, namun telah terselesaikan? Analogi adalah penyimpulan (inference, argument) dari sesuatu yang tertentu ke sesuatu yang tertentu lainnya.
Generalisasi. Adakah masalah yang lebih umum daripada masalah ini? Ini mirip penalaran induktif, yakni mereka yang umum dari sekian buah contoh khusus.
Konsep G adalah generalisasi dari konsep S, jika:
(a) setiap isi S tergolong G,
(b) ada isi G yang tidak tergolong S.
Musik adalah generalisasi dari keroncong, sebab ada musik yang bukan keroncong, yakni dangdut, kasida, atau pop.
Lawan generalisasi adalah spesialisasi, yakni S adalah spesialiasi dari G.
130 | Ronny Astrada
Improvisasi (variasikan persoalan). Dapatkah masalah divariasikan atau digubah untuk menyusun sebuah atau serangkaian masalah baru yang solusinya membantu menuntaskan persoalan semula?
Masalah sekunder (auxiliary problem). Adakah submasalah atau masalah sampingan yang solusinya akan menolong menuntaskan masalah semula?
Pengenalan pola (pattern recognition). Adakah masalah lain yang berkaitan dengan masalah ini dan sudah tuntas?
Uraikan karakteristik masalah dan cocokkan dengan karakteristik masalah lain yang sudah terpecahkan. Bila suatu solusi cocok untuk masalah dengan karakteristik sama, maka solusi itu berpeluang besar cocok pula bagi masalah yang tengah dihadapi.
Spesialisasi. Adakah masalah yang lebih spesifik dan sudah ditemukan solusinya? Ini mirip penalaran
Memburu Solusi dengan 10 Heuristik Polya | 131
deduktif.
Konsep S adalah spesialisasi konsep G bila:
(a) setiap unsur S tergolong unsur G, dan
(b) ada unsur G yang tidak tergolong unsur S.
Solusi dari masalah yang lebih spesifik, bisa jadi membantu untuk menuntaskan masalah yang lebih umum.
Racik ulang (penguraian dan pengombinasian ulang, atau faktorisasi). Dapatkah persoalan diuraikan unsur-unsurnya, lalu dikombinasikan ulang dalam cara yang baru?
Ini mirip heuristik divide et impera (divide and conquer), yakni memecah belah masalah menjadi submasalah, lalu submasalah menjadi sub-submasalah hingga mencapai bentuk paling sederhana yang lebih mudah dipahami dan diselesaikan, lalu menuntaskan setiap submasalah, dan dengan demikian: kombinasi segenap solusi tadi menjadi solusi dari masalah semula.
132 | Ronny Astrada
Subdivisi dapat berupa komponen masalah
Memburu Solusi dengan 10 Heuristik Polya | 133
Julius Caesar—strategis divide et impera—menerima penyerahan kepala suku Gaul (Perancis), Vercingetorix (inset monumennya di Perancis). Penerapan strategi ini di dunia politik (militer) merupakan kebalikan dari dunia ilmiah: kekuatan-kekuatan yang kecil dicegah untuk bergabung menjadi kekuatan yang besar, sebab memecah belah sebuah kekuatan besar dalam kenyataan lebih sulit.
seperti di atas, atau berupa belahan masalah.
Membuat roda, rangka, rantai, dudukan; yang kombinasinya menyusun sebuah sepeda adalah subdivisi komponen.
Membersihkan 10 tangkai daun kelapa setiap 1 hari, selama 10 hari berturut-turut; dan kombinasinya menyusun sebuah sapu dengan 100 lidi adalah subdivisi belahan (decrease and conquer).
Jalan mundur. Dapatkah penuntasan dimulai dari tujuan (“dari depan”) lalu mengerjakannya mundur ke sesuatu yang telah diketahui (“mundur selangkah demi selangkah ke belakang”)?
Ini mirip heuristik urut-mundur (backward
134 | Ronny Astrada
chaining) atau nalar top-down, atau penalaran abduktif.
Kiat ini disetir oleh tujuan (goal driven), lawan dari data driven (dalam kiat urut-maju/forward-chaining atau bottom-up).
Kanzi—seekor bonobo (simpanse kerdil, Pan Paniscus)—menyontohkan heuristik ini saat tengah diajari bagaimana membuat pisau batu oleh pelatihnya. Tak mampu menirukan cara kerja sang pelatih, Kanzi akhirnya beralih ke caranya, yakni membanting batu ke atas batu, lalu memilih kepingan yang memiliki ujung tajam.
Kanzi memahami produk akhir (“tujuan”) yang dicontohkan pelatihnya (batu bersisi tajam) dan melihat kemiripan pisau batu itu dengan serpihan bebatuan yang pernah ia temukan di alam liar (“sesuatu yang telah diketahui”). Jalan mundur yang ia tempuh (baca dari kanan ke kiri): serpihan batu <- pisau batu.
Memburu Solusi dengan 10 Heuristik Polya | 135
Sekarang, tujuan berganti dari membuat pisau batu menjadi membuat serpihan batu. Bagaimanakah membuat serpihan batu? Kanzi bergerak mundur lagi (baca dari kanan ke kiri): mengadu batu <- serpihan batu.
Tujuan berganti lagi menjadi: bagaimanakah mengadu batu? Ia pun bergerak mundur lagi (baca dari kanan ke kiri): banting batu ke atas batu <- mengadu batu.
Alhasil, ia pun membanting batu ke atas batu sampai menemukan serpihan yang mirip dengan yang dicontohkan pelatihnya. Ia menemukan jalan alternatif mencapai tujuan (pisau batu).
Sketsa. Dapatkah masalah dibuat sketsanya? Ini mirip heuristik penalaran diagramatis (diaggrammatic reasoning) atau
pemetaan konsep (concept mapping).
Kiat ini memvisualisasikan relasi antar berbagai
136 | Ronny Astrada
konsep dalam masalah. Relasi dapat berkategori panah hirarki atau kausal.
Ia menyajikan model mental atau struktur masalah ke atas “kertas” (dapat juga layar monitor komputer Anda).
Diagram memudahkan mengeksplisitkan struktur—baik hirarkis atau kausalis—dari masalah.
Ini memudahkan pemahaman, sekaligus memberi pondasi bagi penerapan kiat heuristik lainnya.
Ya, kiat inilah yang menjadi tema pokok buku ini dan sangat terbantu dengan peranti lunak XMind. Ada baiknya memulai penerapan 10 heuristik Polya dari heuristik yang ini—tentu sambil memanfaatkan XMind!
Elemen suplemen. Dapatkah ditambahkan suatu elemen baru (“missing link”, “mata rantai yang hilang”) ke dalam masalah agar lebih mendekati solusi?
Memburu Solusi dengan 10 Heuristik Polya | 137
138 | Ronny Astrada
Ini mirip heuristik perluasan (extension). Adakalanya kita memiliki wawasan yang lebih baik, sehingga mampu menemukan lubang kosong dalam persoalan.
Melengkapi pertanyaan/persoalan membantu melihat masalah lebih jernih, sekaligus menemukan solusinya. Ini sangat terbantu dengan Pertanyaan Sokrates.
Nah, itulah tadi 10 kiat heuristik dari Polya. Awalnya dirancang untuk memecahkan persamaan-persamaan matematika yang pelik tetapi karena niatan Polya akan pentingnya ilmu diamalkan dalam keseharian, maka kiat-kiat itu pun disajikan dalam bentuk yang lebih “pasaran”, lebih membumi agar, “...segenap ilmu menjadi ilmu amalan dan segenap amalan keseharian dapat menjadi amal ilmiah!” demikian mengutip bebas wejangan guru bangsa
Memburu Solusi dengan 10 Heuristik Polya | 139
kita, M. Quraish Shihab.[]
140 | Ronny Astrada
Memutuskan
Resolusi dengan Kiat
Kepner-Tregoe
Keputusan berkualitas bagaikan sambaran tepat-waktu seekor elang yang memungkinkannya menyerang dan membinasakan mangsanya
— Sun Tzu (abad 6-5SM), Seni Perang
ungkin, membaca kata “pengambilan keputusan” pun akan membuat sidang pembaca traumatis akhir-
akhir ini. Suasana kenegaraan yang tiada menentu M
Memutuskan Resolusi dengan Kiat Kepner-Tregoe | 141
akibat kekeluan pengambilan keputusan di puncak memang fenomena yang jauh dari perkiraan para pemilih mayoritas dalam pemilu yang baru lalu.
Mudah-mudahan trauma itu tidak kronis sehingga Anda pun ikut-ikutan takut dan phobi dalam menetapkan keputusan.
Penetapan keputusan alias pemilihan resolusi dalam kajian ini akan memanfaatkan
modifikasi sederhana atas heuristik yang dirancang Charles H. Kepner dan Benjamin B. Tregoe dalam The New Rational Manager (1981).
Langkah-langkahnya meliputi:
(1) Susun pernyataan keputusan yang mengandung komponen tindakan sekaligus hasil
142 | Ronny Astrada
tindakan itu.
Intinya, dalam mendefinisikan apa yang mesti diputuskan, sertakan di dalamnya:
[] apa tindak lanjut bagi keputusan itu (komponen tindakan) dan
[] apa ukuran keberhasilannya secara kuantitatif (komponen hasil).
Pernyataan, “Kita akan segera menuntaskan masalah perbatasan dengan Malaysia melalui percepatan kerja komite perundingan perbatasan,” adalah pernyataan keputusan yang masih kabur. Apa saja alternatif keputusan yang hendak ditempuh komite perundingan? Kapan target waktu penandatanganan kesepakatan itu?
Pernyataan di atas dapat lebih efektif (yakni dapat diamalkan di lapangan) bila dinyatakan, “Kita berharap penetapan perbatasan berdasarkan konvensi internasional yang berlaku akan tuntas dalam masa 1 bulan ke depan.” Pernyataan ini
Memutuskan Resolusi dengan Kiat Kepner-Tregoe | 143
memberikan arah bagi SDM pelaksana:
(1) Perundingan perbatasan harus dilaksanakan mengikuti konvensi internasional mengenai perbatasan antar negara berdaulat,
(2) Masa perundingan harus selesai dalam 1 bulan.
Ada aura kepastian tentang apa yang mesti ditempuh dan berapa lama kita mesti menunggu hasilnya.
Ini memberikan kepastian bagi para niagawan yang hendak membuat rencana-rencana bisnis misalnya. Jika ia hendak melakukan perjalanan bisnis ke Malaysia, maka sebaiknya sudah rampung sebelum 1 bulan berlalu. Mengapa? Bukanlah tidak mungkin setelah 1 bulan berakhir relasi dengan Malaysia akan memburuk (bila kesepakatan tidak berhasil dicapai).
Tahap ini (“pendefinisian masalah”) harus sudah selesai di tangan sang pemimpin. Tahap-tahap
144 | Ronny Astrada
berikutnya dapat ia garap bersama SDM pelaksana. Tahap ini adalah tahap membuat pertanyaan, sementara sisanya adalah tahap analisis.
Pemimpin (SDMi) bertanggung jawab menemukan pertanyaan yang benar—dan ini lebih utama daripada menemukan jawaban yang benar. Ia mirip seorang guru yang datang ke kelas dengan membawa soal bagi para murid. Bila tidak, maka seorang SDMi akan terkesan tidak mengetahui apa yang mesti diperbuat di mata bawahannya. Soal harus sudah jadi saat ia menemui bawahan, bila tidak maka segenap organisasi akan terombang-ambing dalam kebimbangan, ketidakpastian.
(2) Bangun syarat/sasaran strategis (“Wajib”, Must), dan sasaran operasional (“Sunnah”, Want). Beri bobot kuantitatif (10: penting s.d. 1: sangat tidak penting) bagi setiap sasaran sunnah berdasarkan tingkat kepentingannya bagi kita.
Tahap ini sampai akhir dapat mulai melibatkan bawahan. Mengapa? Agar semua dalam organisasi
Memutuskan Resolusi dengan Kiat Kepner-Tregoe | 145
merasa bahwa, “Ini keputusan kami,” bukan sekadar, “Ini perintah bos.” Rasa memiliki keputusan akhir akan makin mengefektifkan pelaksanaan keputusan di lapangan.
Syarat strategis wajib—meneruskan contoh perundingan perbatasan—dapat meliputi:
[] Menaati konvensi internasional,
[] Kesepakatan bersifat permanen, kecuali bila konvensi internasional berubah.
Syarat strategis sunnah, misalnya:
[] TKI yang berniat tetap tinggal di Malaysia terjamin keamanannya (bobot 5),
[] TKI yang berniat mudik dapat melakukannya dengan mudah (bobot 5),
[] Kesepakatan dapat dicapai dalam 1 bulan saja (bobot 10).
(3) Buat daftar alternatif. Di tahap ini, rasa keterlibatan bawahan akan sangat tinggi, dan dari
146 | Ronny Astrada
sisi kinerja, keterlibatan itu juga sangat produktif bagi penuntasan pemutusan resolusi.
Contoh alternatif adalah:
[] Diplomasi langsung (bilateral),
[] Diplomasi tak langsung (multilateral) dengan melibatkan negara atau lembaga penengah (arbitrator),
[] Pengajuan protes resmi ke lembaga hukum internasional,
[] Pendudukan wilayah yang diklaim secara sepihak/unilateral (siap perang),
[] Tidak berbuat apa-apa (“nanti juga selesai sendiri”).
(4) Saring:
(i) Kriteria Wajib: jika tidak memenuhi satu saja kriteria wajib, sisihkan alternatif.
Dari 5 contoh alternatif di atas, 2 alternatif
Memutuskan Resolusi dengan Kiat Kepner-Tregoe | 147
terakhir tidak lolos kriteria wajib: tidak menghasilkan kesepakatan permanen. Jadi, hanya 3 alternatif yang perlu kita nilai lebih lanjut berdasarkan kriteria sunnah.
(ii) Kriteria Sunnah: bagi setiap syarat, analisis setiap alternatif, dan berikan subnilai bagi tiap alternatif untuk masing-masing syarat tadi.
Hitung nilai terbobot setiap alternatif (perkalian subnilai alternatif dan bobot syarat sunnah).
Mari ambil contoh alternatif pertama (diplomasi langsung), berdasarkan kriteria sunnah di atas, yakni:
[] TKI yang berniat tetap tinggal di Malaysia terjamin keamanannya (bobot 5)
> Kita tetapkan potensi alternatif 1 untuk memenuhi kriteria ini bernilai 10
[] TKI yang berniat mudik dapat melakukannya dengan mudah (bobot 5),
148 | Ronny Astrada
> Kita tetapkan ia bernilai 10
[] Kesepakatan dapat dicapai dalam 1 bulan saja (bobot 10)
> Kita tetapkan bernilai 5 (karena agaknya pihak Malaysia gemar mengulur-ulur waktu).
Selanjutnya, kita peroleh nilai sunnah alternatif pertama sebagai berikut:
[] Kriteria Sunnah 1: bobot 5 * nilai 10 = 50,
[] Kriteria sunnah 2: bobot 5 * nilai 10 = 50,
[] Kriteria sunnah 3: bobot 10 * nilai 5 = 50,
Jadi total nilai-terbobot bagi alternatif pertama adalah 150.
Lakukan lagi hal yang sama untuk keempat alternatif tersisa.
(iii) Seleksi dua atau tiga peringkat teratas.
Berdasarkan nilai-terbobot dari 3 alternatif tadi, pilih 2 peringkat teratas. Andaikan saja bahwa
Memutuskan Resolusi dengan Kiat Kepner-Tregoe | 149
alternatif yang terpilih adalah dua alternatif pertama: diplomasi langsung dan diplomasi multilateral.
(5) Antisipasi konsekuensi. Rinci konsekuensi merugikan masing-masing alternatif terseleksi dan pertimbangkan peluang (probability: Tinggi/T, Sedang/S, Rendah/R) dan seberapa parah (severity: T, S, R).
Di tahap ini, kita menyusun what-if scenario (skenario kemungkinan) jika memutuskan alternatif 1 atau 2.
Ambil contoh, jika memutuskan alternatif 1, maka konsekuensi yang mungkin:
[] Kesepakatan berhasil dibuat (peluang: R, akibat: T),
[] Perundingan berlarut-larut (peluang: T, akibat: T),
[] dst.
150 | Ronny Astrada
(6) Putuskan satu, pilihan akhir dan final dari 2 alternatif tadi.
Memutuskan Resolusi dengan Kiat Kepner-Tregoe | 151
Tahap ini dapat diiringi upaya spiritual seperti bershalat istikharah.
Patut dicamkan, andai alternatif kelima (tidak berbuat apa-apa) lolos dari kriteria wajib, dan terpilih sebagai keputusan; maka itu pun merupakan keputusan yang bertanggung jawab (educated decision), karena telah melalui ikhtiar analisis sistematis, bukan karena kemalasan.
Akhirnya, setelah menimbang konsekuensi masing-masing alternatif maka putuskan arah yang mesti diambil secara tim, lalu laksanakan (amalkan).
Setelah itu, barulah kita berdoa, bertawakal.[]
152 | Ronny Astrada
Konsistensi
Internal dan Pengaruh Bias
Cacat pada alis tak nampak di mata
— Peribahasa Tamil
hilaf itu manusiawi. Ini sikap yang penting dalam menerapkan nalar-kritis baik dalam mencari solusi atau
memutuskan resolusi. Wawasan setiap manusia selalu mengandung celah, noktah gelap. Janganlah sungkan untuk menjawab dengan, “Tidak tahu,”
KKonsistensi Internal dan Pengaruh Bias | 153
sebab bahkan para agamawan klasik banyak yang menyatakan bahwa, “Sebagian pengetahuan agama ada dalam Kitab-Nya, sebagiannya lagi dalam sunnah rasul-Nya, dan sisanya ada dalam pernyataan, ‘Aku tidak tahu’.”
Bagi khalayak umum mungkin pernyataan “tidak tahu” sering dihindari karena tidak ingin dianggap bodoh. Akan tetapi sesungguhnya seseorang tidaklah bodoh bila mengetahui apa yang ia tidak ketahui. Inilah sebabnya jawaban “tidak tahu” juga mencerminkan kekritisan nalar seseorang.
Bagi mereka yang mencibir saat Anda menjawab “tidak tahu”, maka bukankah bersikap lapang dada dan rendah hati menerimanya adalah juga bagian dari karakteristik seseorang yang bernalar kritis?
Akibat keniscayaan kekurangan wawasan pada
154 | Ronny Astrada
setiap insan, maka penalaran akan lebih kritis bila kita menyadari beberapa bias yang barangkali secara tidak sadar hadir atau laten dalam pertimbangan kita.
Bias adalah praasumsi atau praanggapan atau prasangka, yakni saat seseorang secara inheren/laten memiliki kelebihsukaan (kecondongan) kepada suatu pandangan atau ideologi (termasuk agama) tertentu.
Bias dapat berasal dari
(a) kesetiaan sosial,
(b) kekhawatiran akan risiko sosial, juga
(c) ruang lingkup (batas) pengamatan.
Bias menciderai objektivitas, dan dengan demikian keabsahan suatu kesimpulan.
Ambil contoh sebuah subkategori bias, yakni bias sistemis di mana keberadaan bias diakibatkan cacat yang inheren dalam suatu sistem. Manakala
Konsistensi Internal dan Pengaruh Bias | 155
penggeledahan anti-terorisme di bandara didasarkan pada profil rasial, yakni menggeledah semua calon penumpang yang Muslim atau Arab, maka sistem penggeledahan seperti itu mengandung bias sistemis.
Tujuan sejati penggeledahan adalah mencegah teroris mengeksekusi aksi terornya—tidak peduli ia teroris dengan profil apa. Apakah Muslim, Kristen, Yahudi, Budha, Hindu, ataukah Arab, Barat, Tionghoa, dst. Sistem seperti ini akan mudah ditelikung dengan memalsukan identitas dan penampilan fisik.
Studi tentang bias kesadaran (cognitive bias) dipelopori oleh pionir sains kognisi, Amos Tversky (1937-1996) dan Daniel Kahneman (l. 1934).
Mereka mengklaim bias setidaknya akan menjadi efek samping pemecahan masalah yang
156 | Ronny Astrada
memanfaatkan heuristik. Ada beberapa bias yang paling umum.
Bias selintas lalu (hindsight), kadang disebut efek “sudah kuduga sebelumnya” (“I knew it all along”), yakni kecondongan untuk memandang peristiwa yang sudah terjadi sebagai dapat diduga dan beralasan untuk diharapkan. Padahal ini hanya karena peristiwa itu lebih mudah diingat karena lebih kini, dan bukan karena frekuensi kejadiannya
Konsistensi Internal dan Pengaruh Bias | 157
yang dominan.
Orang condong merasa kemampuannya memprediksi peristiwa lebih akurat daripada semestinya, sesudah suatu peristiwa yang ia ramalkan benar-benar terjadi. Ia mengabaikan banyaknya frekuensi di mana ramalannya salah. Contoh sehari-hari ialah frasa kesayangan, “Aku bilang juga apa!” untuk mengomentari kesalahan orang lain.
Bias ini dapat dikurangi dengan mengingat bahwa suatu peristiwa dapat memiliki alternatif-alternatif akibat yang sama-sama berpeluang untuk terjadi.
Ambil contoh, suatu hari Ragil kecopetan. Temannya, Raka berkomentar, “Apa kataku juga? Makanya, jangan bawa dompet di tempat ramai!”
Peristiwa: Ragil membawa dompet di tempat ramai, mungkin semacam pasar atau bazar.
Akibat-akibat alternatif: (1) Ragil cuci mata
158 | Ronny Astrada
menikmati keramaian lalu pulang, (2) Ragil berjajan lalu pulang, (3) Ragil membeli oleh-oleh lalu pulang, (4) Ragil mendapat kenalan baru lalu pulang, (5) dll.
Jadi, selain akibat kecopetan, bukanlah tidak mungkin ada sekian akibat alternatif yang lebih sering terjadi di mana Ragil pulang ke rumah selamat dengan dompetnya.
Di sini, penyimpulan Raka bahwa sebab Ragil membawa dompet di tempat ramai maka membawa akibat ia kecopetan, adalah kesimpulan yang bias.
Pelajaran yang dapat diambil: Raka tidak perlu merasa salah dan menjadi takut membawa dompet ke tempat ramai. Kecopetan adalah peristiwa yang kadang terjadi, tetapi tidak selalu dan melulu itu yang terjadi.
Kekeliruan penyematan (fundamental attribution error atau actor-observer bias atau correspondence bias atau overattribution effect), yakni kecondongan menjelaskan perilaku seseorang
Konsistensi Internal dan Pengaruh Bias | 159
berdasarkan pembesar-besaran tingkah laku atau ciri kepribadian yang teramati pada diri seseorang sambil mengabaikan peranan dan daya-pengaruh situasi pada perilaku itu.
Bias ini dapat diminimasi bila seseorang mengevaluasi perilakunya sendiri. Contoh sehari-hari, pramuwisma sering diidentikkan dengan kebodohan, “Kalau tidak bodoh, tidak mungkin dia jadi pembantu!” Ini mengingkari peluang bahwa ada saja pramuwisma yang pandai. Akibatnya, modus penipuan dengan menyaru menjadi pembantu sangat sukses.
Contoh lain, media tv sering memilih narasumber lebih atas dasar popularitasnya, bukan kompetensinya pada suatu bidang, misalnya memanfaatkan pandangan seorang bintang sinetron untuk beragam topik—yang jelas akan menghadirkan pandangan yang kurang bermanfaat sebagai panduan/rujukan bagi penonton, selain sekadar menghibur.
160 | Ronny Astrada
Contoh lain, orang cenderung menganggap para penerima dana bantuan tunai pemerintah sebagai pemalas. Contoh di AS, keturunan Afrika cenderung dipandang miring sebagai berkecenderungan kriminal.
Bias penegasan (confirmation), yakni kecondongan untuk mencari-cari atau menafsirkan data agar selaras dengan atau menegaskan prakonsepsi seseorang. Istilah populer yang terkait bias ini adalah “self-fulfilling prophecy” (ramalan yang kejadian).
Bias ini dapat diminimasi dengan membalik (menegasikan) kesimpulan yang telah dibuat, menghimpun bukti/argumen yang mendukung negasi itu, lalu berupaya mematahkan negasi itu.
Apabila tak terpatahkan, maka itu pertanda samar bahwa kesimpulan awal mengandung bias. Saya sebut pertanda samar, sebab bisa jadi, kedua argumen (positif maupun negasinya) sama kuatnya, sehingga sama-sama dapat diterima (netral).
Konsistensi Internal dan Pengaruh Bias | 161
Namun cara paling efektif adalah dengan menyimak seksama kritik, sebab bias ini paling sulit diswadeteksi.
Contohnya, pria yang meyakini tengah berbincang lewat telepon dengan seorang wanita yang memikat akan bertutur ramah melebihi biasanya. Sang mitra wanita yang tak terlihat akan merespon pula dalam cara yang ramah dan “memikat.” Akibatnya, siklus positif (yang bias) tercipta.
Kesimpulan pria di atas adalah karena suara wanita mitranya bertelepon itu merdu, maka ia pasti tengah berbincang dengan seorang wanita yang cantik. Ini dapat dinegasikan menjadi: apakah suara yang merdu pertanda bahwa sang pemilik suara juga cantik? Dengan menghimpun bukti dan argumen, saya yakin kesimpulan sebaliknya (negasi) bahwa “perempuan bersuara merdu belum tentu berwajah cantik” akan sulit dipatahkan. Kenyataannya, hanya sedikit perempuan cantik yang
162 | Ronny Astrada
sekaligus bersuara merdu.
Bias swaladeni (self-serving), yakni saat orang condong mengklaim tanggung jawab atas keberhasilan daripada kegagalan; atau kecondongan menelaah data yang taksa (ambigu) dalam cara yang menguntungkan dirinya.
Cara meminimasi bias ini ialah dengan berupaya memahami kedua “sisi mata uang”, atau memahami paradigma pihak lain.
Contoh sehari-hari, bila seseorang diterima cintanya oleh seorang gadis akan berkata, “Jelas aja, aku ‘kan ngganteng!” sementara bila ditolak, “Cewek itu sombong banget!”
Bias ini istilah gaul-nya GR (Gede Rasa). Kedua pernyataan tadi jelas bertolak dari pandangan “aku adalah pusat dunia”, dan mengabaikan sudut pandang pihak lain.
Contoh lain, meski media memberitakan opini kedua belah pihak, masing-masing pemirsa yang
Konsistensi Internal dan Pengaruh Bias | 163
memihak salah satu partai cenderung memandang media “berat sebelah.”
Ada pandangan baru dari David C. Funder, profesor psikologi di University of California at Riverside, dan Joachim I. Krueger, profesor-madya psikologi di Brown University, yang menengarai
164 | Ronny Astrada
kemungkinan bias dimanfaatkan sebagai ‘jalan pintas penaksiran’ yang membantu manusia melakukan prediksi manakala informasi yang tersedia sangat terbatas.
Bias, dengan demikian, akan selalu bersama kita. Cara menyikapinya ialah dengan membentuk suatu sikap moderat yang mewaspadai setiap benih ekstrimitas. Bukankah bias pun masih mendera komunitas yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip metode ilmiah itu sendiri?
Ada, misalnya, ungkapan bahwa sains itu bebas nilai. Akan tetapi, bukankah teori kuantum sudah menyimpulkan bahwa pengamatan atas objek penelitian pun turut mempengaruhi hasil penelitian. Jadi, hasil penelitan seseorang yang memegang teguh agamanya pasti jauh berbeda dengan mereka yang menganggap sepi agamanya. Allah tentu lebih mengetahui![]
Konsistensi Internal dan Pengaruh Bias | 165
Sintesis Strategi
Heuristik
Ada dua pertimbangan bagi gagasan apapun. Pertama, “Apakah ia memang bagus?” Kedua,
“Dapatkah ia dengan mudah diamalkan?”— Jean-Jacques Rousseau (1712-1778), Filsuf
Perancis berkebangsaan Swiss
kuran yang diterapkan Rousseau tadi membuat saya deg-degan. Meski telah berupaya menyederhanakan semudah
mungkin pokok bahasan, tetapi saya yakin pasti ada kekurangan yang membuat uraian 2 kompetensi utama SDMi di sekujur kajian ini mungkin gagal
U166 | Ronny Astrada
pada kriteria kedua Rousseau—atau lebih parah lagi: gagal bahkan di kriteria pertama!
Andai Anda berkenan melayangkan kritik—terutama yang pedas (saya penggemar yang pedas-pedas... :) )—atau sekadar pertanyaan, jangan ragu menulis ke alamat email saya untuk buku-buku saya, yakni di [email protected]. Sekadar berbagi uneg-uneg usai membaca buku ini pun boleh.
Sintesis Strategi Heuristik | 167
Bab ini akan merekap segenap ulasan kita, sambil memberikan peta besar Xmind-nya. Tujuannya jelas: agar kajian ini lolos ujian Rousseau di atas tadi.
Kompetensi dasar SDMi hanya dua: (1) Penemuan solusi (pemecahan masalah), dan (2) pemutusan resolusi (pengambilan keputusan).
Kedua kompetensi tadi sesungguhnya sudah diajarkan sejak di bangku sekolah menengah, yakni metode ilmiah.
Metode ilmiah klasik itu kita modifikasi agar memasukkan pula pertimbangan kewahyuan sebagai uji konsistensi eksternal—sehingga tidak hanya mengandalkan ulasan-mitra (peer review).
Pengamalan metode ilmiah ke titik optimumnya memerlukan cara bernalar kritis. Ini terbantu dengan
168 | Ronny Astrada
memanfaatkan dua peranti sederhana: belati Okkam dan pertanyaan Sokrates.
Agar lebih mudah diamalkan, penerapan metode ilmiah dalam penemuan solusi (pemecahan masalah) memanfaatkan kiat-kiat praktis Polya.
Sementara penerapan metode ilmiah dalam pemutusan resolusi (pengambilan keputusan) memanfaatkan versi sederhana dari kiat Kepner-Tregoe.
Satu hal yang tak terhindarkan dari kedua ikhtiar di atas—baik penemuan solusi atau pemutusan resolusi—adalah “polusi” bias atas hasil akhirnya. Inilah sebabnya SDMi selalu diharapkan bersikap rendah hati—dan yang lebih penting: bertawakal bahwa berhasil tidaknya penerapan solusi/resolusinya itu sejatinya atas berkah dan rahmat-Nya semata.[]
Sintesis Strategi Heuristik | 169
Lampiran: Sedikit
Tip Penggunaan XMind
Benak yang terkungkung bahasa, ia terpenjara
— Simone Weil (1909-1943), Mistik Perancis
aya beranggapan Anda memiliki kefasihan dalam penggunaan Microsoft Office, sehingga XMind tentu hanya
sekadar “perpanjangan keterampilan Office” Anda saja.
SAda dua tip yang hendak saya bagi di sini:
170 | Ronny Astrada
pertama, pemanfaatan ikon maupun gambar untuk ilustrasi dalam skema XMind Anda; kedua, cara mengelompokkan topik pada skema XMind.
Pemanfaatan IkonXMind menamai ikon gambar pada skema
sebagai marker. Saat Anda hendak mengimbuhkan gambar (ikon) pada topik dengan mengklik kanan mouse, akan hadir pilihan (salah satunya): Markers, dengan pilihan kategori ikon mulai dari Priority, Smiley, ..., s. d. Others.
Bagi pembuatan skema sederhana, pilihan ikon yang ada sudah cukup. Akan tetapi, terkadang kita ingin lebih.
Nah, untuk keperluan itulah saya sertakan pada CD terlampir, koleksi ikon berformat .png yang gratis dan boleh didistribusikan ulang oleh pembuatnya. Bila Anda ingin menambah koleksi
Lampiran: Sedikit Tip Penggunaan XMind | 171
ikon maka saya menyarankan meng-google sendiri dengan kata-cari seperti free icon collection, free icon download, dan sejenisnya.
Saya mengambil koleksi ikon gratis dalam CD antara lain dari freeiconsdownload.com, iconspedia.com, dan iconaholic.com.
Ambil contoh skema berikut hendak saya tambahi ikon dari koleksi ikon pribadi.
Pertama, klik kanan pada topik dan pilih Insert -> From File... (Ctrl-I),
172 | Ronny Astrada
Lampiran: Sedikit Tip Penggunaan XMind | 173
kemudian rambanlah subdirektori letak gambar ikon Anda itu,
usai mengklik 2x atau mengklik Open, ikon pun sudah masuk ke dalam topik.
Posisi ikon secara baku diletakkan di atas teks topik, tetapi dapat Anda pindah ke sebelah kiri, bawah, atau kanan,
174 | Ronny Astrada
Terakhir, ukuran ikon dapat Anda ubah dengan mengklik pada ikon, lalu ubah angka pada jendela Properties,
Lampiran: Sedikit Tip Penggunaan XMind | 175
Nah, kini skema Anda tidak hanya lebih “cantik” tetapi juga lebih informatif.
Pengelompokan TopikKadang kala, kita ingin mengelompokkan
beberapa topik agar jelas relasinya dengan topik-topik selainnya.
Ada dua cara mengelompokkan dalam XMind yakni:
Boundary, di mana beberapa topik dikelompokkan ke dalam sebuah kelompok yang terpisah dari topik-topik lain,
Summary, beberapa topik dikelompokkan untuk diberi keterangan ringkas mengenainya.
Lebih jelasnya, mari kita praktekkan kedua cara tadi memanfaatkan skema SDMi.xmind (juga saya sertakan dalam CD).
176 | Ronny Astrada
Pertama pilih topik-topik yang hendak kita kelompokkan,
Lampiran: Sedikit Tip Penggunaan XMind | 177
Kemudian klik kanan salah satu topik (jangan khawatir bila tampilan blok hilang, seluruh blok pilihan Anda tetap terblok) dan pilih Boundary (Ctrl-B),
178 | Ronny Astrada
Nah, kini seluruh topik yang diblok telah masuk ke dalam kelompok tersendiri yang dibatasi sebuah kotak putus-putus,
Selanjutnya, kelompok topik itu dapat kita
Lampiran: Sedikit Tip Penggunaan XMind | 179
hubungkan ke topik lainnya dengan mengklik kanan pada garis putus-putus lalu pilih Relationship (Ctrl-L),
Lalu, tarik garis panah itu ke topik yang kita
180 | Ronny Astrada
inginkan,
Lepaskan, dan relasi pun terbentuk.
Lampiran: Sedikit Tip Penggunaan XMind | 181
Kini contoh pengelompokan summary, blok topik-topik, lalu klik kanan, pilih Summary (Ctrl-I),
182 | Ronny Astrada
Kemudian ketikkan isi ringkasan,
Nah, hasilnya dapat dilihat di bawah ini,
Lampiran: Sedikit Tip Penggunaan XMind | 183
Mudah, kan?
184 | Ronny Astrada
Demikianlah sedikit tip untuk beberapa fungsi XMind yang saya anggap perlu untuk diuraikan, meski saya yakin sebagai pengguna Office, Anda mungkin tidak terlalu memerlukannya.
Semoga bermanfaat![]
Lampiran: Sedikit Tip Penggunaan XMind | 185
Kepustakaan
Kitab Suci‘Abdul-Bâqî, Muhammad Fû‘ad. (tt.). Al-Mu’jamul-Mufahras lil-
Fâzhil-Qur’ânil-Karîm. Bandung: Maktabat Dahlan.[MMA] Maulana Muhammad ‘Ali. (1951). Holy Qur’ân:
Qur’ânun-Majîd (edisi revisi). Diambil tanggal 6 Feb. 2003 dari www.muslim.org/english-quran {alih-bahasa Indonesia: (1999). Qur’an Suci (ab. H. M. Bachrun). Jakarta: Darul-Kutub Islamiyah}.
[MQS] Shihab, M. Quraish. (2000). Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an vol. 1-15. Jakarta: Lentera Hati, Iman Jama.
186 | Ronny Astrada
ArtikelDetterman, Douglas K., BA, PhD (Professor Psikologi, Case
Western Reserve University). 2005. “Intelligence.” Dalam Encarta.
Sternberg, Robert J. (IBM Professor of Psychology and Education, Yale University). 1994-2004. “Intelligence.” Dalam Britannica.
Buku[Bookshelf 98] Microsoft Bookshelf 98. (1987-1997). Seattle,
Washington, AS: Microsoft Corporation.[Britannica/Merriam-Webster’s] Encyclopaedia Britannica 2004
Deluxe Edition CD (termasuk Merriam-Webster’s Collegiate Dictionary). 1994-2004. Edinburghs, Inggris: Encyclopaedia Britannica, Inc.
Drucker, Peter Ferdinand. 1993. Concept of the Corporation. AS: Transaction Publishers.
—. 1967. Managing for Results (cet. 3, 1970). London, Inggris: Pan Books Ltd.
—. 1993. The Practice of Management (cet. 1, 1954). New York, AS: HarperBusiness.
[Encarta/Encarta Dictionary] Microsoft® Encarta® 2006 DVD.
Kepustakaan | 187
1993-2005. Redmond, Washington, AS: Microsoft Corporation.
Kepner, Charles H. & Tregoe, Benjamin B. (1981). The New Rational Manager (cet. 3, 1987). London, Inggris: John Martin Publishing Ltd.
Nelson, Leonard. 1949. Socratic Method and Critical Philosophy (alih bahasa Inggris oleh Thomas K. Brown III). New Haven, AS: Yale UP.
Paul, Richard W. & Elder, Linda. 2002. Critical Thinking: Tools for Taking Charge of Your Professional and Personal Life. New Jersey, AS: Financial Times Prentice Hall.
Polya, George. 1945. How to Solve It: A New Aspect of Mathematical Method (ed. 2 1957, cet. 2 1973). New Jersey, AS: Princeton UP.
Strategic Data BPS (publication no. 03200.09). 2009. Jakarta: BPS-Statistics Indonesia.
Wikipedia, the Free Encyclopedia (http://wikipedia.org/). (2003-2010). Florida, AS: The Wikimedia Foundation, Inc (http://wikimediafoundation.org/).[]
188 | Ronny Astrada
Catatan Akhir
Seluruh catatan kaki (footnotes) saya satukan di
bagian ini, bagian catatan akhir (endnotes).
Alasannya sederhana, yakni agar pembacaan bagian utama wacana tidak terlalu terganggu dengan catatan rujukan yang mungkin tidak diperlukan oleh pembaca awam—sasaran utama buku ini.
Rujukan saya sertakan seperlunya dalam buku ini untuk memudahkan penelusuran kepustakaan (bibliografi) bagi pembaca yang memiliki minat lebih.[]
Catatan Akhir | 189
1 Drucker 1967 hlm. 17-18.2 Data memanfaatkan Strategic Data BPS 2009, hlm 50. Tabel aslinya adalah
sebagai berikut.
Population of 15 Year and Over who Worked in a Week AgoBy Main Industry, 2007–2009 (million)-------------------------------------------------------------------------Main Industry 2007 2008 2009
Feb Agu Feb Agu Feb-------------------------------------------------------------------------Agriculture 42,61 41,21 42,69 41,33 43,03Manufacture 12,09 12,37 12,44 12,55 12,62Construction 4,4 5,25 4,73 5,44 4,61Trade 19,43 20,55 20,68 21,22 21,84Transportation, Warehousing, and Communication 5,58 5,96 6,01 6,18 5,95Finance 1,25 1,4 1,44 1,46 1,48Social Service 10,96 12,02 12,78 13,1 13,61Others *) 1,27 1,17 1,27 1,27 1,35-------------------------------------------------------------------------T o t a l 97,59 99,93 102,04 102,55 104,49-------------------------------------------------------------------------*) Including: 1. Mining and Quarrying; 2. Electricity, Gas, and Water
Saya hanya membandingkan data bulan Februari dan mengasumsikan bahwa seluruh sektor selain agrikultur, manufaktur, dan lain-lain adalah sektor jasa.
3 Sternberg 2004.4 Gardner menguraikan sosok-sosok ini dalam bukunya Creating Minds: an
Anatomy of Creativity Seen Through the Lives of Freud, Einstein, Picasso, Stravinsky, Eliot, Graham, and Gandhi (1994).
5 Mengonseptualisasikan dunia yang dimaksud adalah kemampuan untuk menangkap realitas indrawi dunia nyata dan menyajikannya kembali dalam simbol-simbol yang mewakili dunia nyata. Piri Ra’is mampu menangkap realitas Bumi yang sejatinya berbentuk bola ke dalam peta dua dimensi dengan simbol untuk daratan, lautan, sungai, dan legenda lain yang sekarang sudah dianggap lazim ada pada sebuah peta. Ra’is mampu mengonseptualisasikan dunia yang tiga dimensi ke simbol representatifnya yang berbentuk sebuah peta di atas kertas dua dimensi.
6 Sternberg, R. J. 1985. Beyond IQ: a Triarchic Theory of Intelligence. Cambridge, Inggris: Cambridge University Press.
7 Paul, Richard W. 1993. Critical Thinking: How to Prepare Students for a Rapidly Changing World. California, AS: Foundation for Critical Thinking.
SDMi/Sumber Daya Manusia Intelektual (saduran dari istilah knowledge worker) memiliki peranan yang makin besar di negara-negara maju—juga di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Statistik Indonesia membuktikan fakta ini.
Apa sajakah kiat sederhana bagi dua kompetensi dasar SDMi: pencarian solusi (problem solving) dan penetapan resolusi (decision making).
Kajian ini akan memberikan wawasan bagi para SDMi Indonesia, baik yang masih menuntut ilmu di bangku-bangku sekolah dan kuliah, maupun para pendidik sekolah menengah sampai perguruan tinggi, para pelaku bisnis dan industri niaga sampai kreatif, bahkan para pemimpin dari perwira militer, legislatif, yudikatif, sampai presiden.
Sambil mendalami dua kiat bagi kompetensi dasar tadi, disertakan pula peranti lunak gratis, XMind for Windows sebagai peranti bantu dalam memformulasikan gagasan—baik solusi maupun resolusi itu.[]
Ronny Astrada adalah penulis beberapa kajian manajemen pribadi serta kajian teknologi informasi terkait dengan ranah lepas-lokan (open source). Penulis
memiliki latar belakang formal rekayasa industri, teknologi informasi untuk bisnis, dan latar belakang nonformal dalam kajian keislaman.
Illustrasi muka: Burung simbol pengetahuan dan energi kreatif, yakni burung phoenix (firebird) yang juga dikenal sebagai bennu (mitologi Mesir), fenghuang (mitologi Tiongkok), ho-o (mitologi Jepang), garuda (mitologi Hindu/Buddha), simurgh atau huma
(mitologi Persia), dan anqa' (mitologi Arab).