Top Banner
KASUS KELOMPOK SUBARACHNOID HEMORRHAGE Oleh: Febriendo Vanni DJ (201020401011119) Didik Darmaji (201020401011130) Inggrit Pratiwi (201020401011139) Vina Satya Sugiarto (201020401011145) Pembimbing: dr. Irawan, Sp.S. FAKULTAS KEDOKTERAN
54

SAH Iqiiiii

Jul 25, 2015

Download

Documents

proichtus_7
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: SAH Iqiiiii

KASUS KELOMPOK

SUBARACHNOID HEMORRHAGE

Oleh:

Febriendo Vanni DJ (201020401011119)

Didik Darmaji (201020401011130)

Inggrit Pratiwi (201020401011139)

Vina Satya Sugiarto (201020401011145)

Pembimbing:

dr. Irawan, Sp.S.

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH LAMONGAN

2012

Page 2: SAH Iqiiiii

DAFTAR ISI

Halaman Judul .................................................................................................1

Daftar Isi...........................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................3

BAB II LAPORAN KASUS............................................................................5

BAB III TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................14

BAB IV PENUTUP..........................................................................................37

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................38

2

Page 3: SAH Iqiiiii

BAB I

PENDAHULUAN

Subarachnoid hemorrhage (SAH) atau perdarahan subarachnoid (PSA)

menyiratkan adanya darah didalam ruang subarachnoid akibat beberapa proses

patologis. Penggunaan istilah medis umum SAH merujuk kepada tipe perdarahan

non-traumatik, biasanya berasal dari ruptur aneurisma Berry atau arteriovenous

malformation (AVM)/malformasi arteriovenosa (MAV).

Perdarahan subaraknoid (PSA) menduduki 7-15% dari seluruh kasus

GPDO. Insiden PSA di negara maju sebesar 10-15 kasus setiap 100.000

penduduk. 62% timbul pertama kali pada usia 40-60 tahun, kejadian mati

mendadak karena PSA sebesar 2% dari seluruh kasus, sebagian besar (9%) terjadi

pada umur dibawah 45 tahun. Pada AVM (Atrio Vena Malformasi) laki-laki lebih

banyak dari perempuan (Iskandar, 2001 dan Harsono, 2000).

Sebanyak 46% pasien yang bertahan terhadap perdarahan subaraknoid

menderita gangguan kognitif jangka panjang yang mempengaruhi fungsi dan

kualitas hidup pasien. Perdarahan subaraknoid memiliki karakter demografi,

faktor resiko dan terapi yang berbeda-beda. Perdarahan ini menyumbangkan 2-5%

kasus stroke baru dan mempengaruhi 21.000 s/d 33.000 orang setiap tahunnya di

Amerika Serikat. Insidensi perdarahan subaraknoid ini tetap stabil selama 30

tahun terakhir dan meskipun bervariasi antar daerah, insidensi di dunia secara

keseluruhan adalah sekitar 10,5 kasus per 100.000 orang per tahun. Insidensi

meningkat dalam hal usia, yaitu rata-rata muncul pada usia 55 tahun. Resiko

3

Page 4: SAH Iqiiiii

terjadi pada perempuan 1,6 kali lebih banyak dibandingkan laki-laki, dan resiko

untuk orang kulit hitam 2,1 kali lebih banyak dibandingkan orang kulit putih.

Rata-rata case fatality rate (CFR) atau tingkat kematian perdarahan subaraknoid

adalah 51% dengan setidaknya ⅓ pasien yang bertahan hidup memerlukan

perawatan seumur hidup. Kebanyakan kematian terjadi dalam 2 minggu setelah

iktus dengan 10% terjadi sebelum pasien mendapat pengobatan medis dan 25%

dalam 24 jam setelahnya. Secara keseluruhan, perdarahan subaraknoid

menyumbang 5% kematian akibat stroke tetapi 27% dari tahun-tahun pasca-stroke

berpotensi adanya kematian sebelum usia 65 tahun (Jose, 2006).

4

Page 5: SAH Iqiiiii

BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas

Nama : Karsiti

Jenis Kelamin : Perempuan

Usia : 38 Tahun

Nomor RM : 036585

Suku Bangsa : Jawa / Indonesia

Agama : Islam

Alamat : Keyongan, RT. 6 RW. 2, Keyongan, Babat, lamongan

Status : Menikah

Tanggal Masuk : 18 Juli 2012

2.2 Anamnesis

Keluhan Utama: Nyeri kepala

RPS: Nyeri kepala dirasakan sejak kemarin malam, terasa cekot-cekot. Sejak 1

tahun yang lalu pasien sering nyeri kepala dan kumat-kumatan. Saat nyeri

semalam pasien muntah 3 kali. 2 jam SMRS pasien tidak sadarkan diri, saat

di rumah sakit pasien sadarkan diri.

RPD: Hipertensi tidak terkontrol dan DM disangkal.

RPK: Hipertensi, DM, dan stroke disangkal.

5

Page 6: SAH Iqiiiii

2.3 Pemeriksaan Umum

Keadaan Umum : cukup

Kesadaran : delirium

GCS : 456

Tekanan darah : 185/131 mmHg

Nadi : 83x/menit

Frekuensi nafas : 21x/menit

Temperatur : 36 0c

Kepala dan leher : anemi (-), ikterik (-), sesak (-), sianosis (-)

Thorax : simetris (+), retraksi (-)

Pulmo : vesikuler +/+, wheezing -/-, Rhonki -/-

Jantung : S1S2 normal, murmur (-), gallop (-)

Abdomen : flat, supel, nyeri tekaan (-), hepar dan lien tidak teraba,

timpani, bising usus dalam batas normal

Ekstremitas : hangat,kering, merah, edem (-)

2.4 Status Psikologis

Afek : baik

Proses berfikir : baik

Kecerdasan : baik

Penyerapan :baik

Kemauan : baik

Psikomotor :baik

6

Page 7: SAH Iqiiiii

2.5 Status Neurologis

2.5.1 Kepala

Posisi : simetris

Penonjolan : (-)

Bentuk dan ukuran : normal

Auskultasi : TDE

2.5.2 Nervus kranialis

Nervus I (olfakorius): penghidu normal/normal

Nervus II (optikus)

Visus: >2/60 ODS

Lapang pandang: baik

Funduskopi: TDE

Nervus III, IV, VI

Celah kelopak mata

Ptosis: -/-

Exsoftalmus: -/-

Pergerakan bola mata: normal/normal

Pupil

ukuran: 3mm/3mm

bentuk: bulat/bulat

Reflek cahaya langsung: +/+

Reflek cahaya tidak langsung: +/+

Nistagmus: -/-

7

Page 8: SAH Iqiiiii

Nervus IV (Tokhlearis)

Posisi bola mata: medial/medial

Pergerakan bola mata: normal/normal

Nervus VI (Abdusens)

Pergerakan bola mata: normal/normal

Nervus V (Trigeminus)

Motorik

Inspeksi: simetris

Palpasi: normal/normal

Mengunyah: normal/normal

Menggigit: normal/normal

Sensibilitas

N. V 1: normal/normal

N. V 2: normal/normal

N. V 3: normal/normal

Refleks kornea: +/+

Refleks dagu/ maseter: +/+

Nervus VII (fasialis)

Motorik

M. Frontalis: normal/normal

M. Oblik okuli:normal/normal

M. Oblik oris: normal/normal

Sensorik

Pengecapan 2/3 depan lidah :dbn dbn

8

Page 9: SAH Iqiiiii

Nervus VIII (oktavus)

Detik arloji: baik/baik

Suara berbisik: baik/baik

Tes weber: TDE

Tes rinne: TDE

Nervus IX (glossofaringeus)

Reflek muntah: (+)

Pengecapan 1/3 belakang: (+)

Nervus X (Vagus)

Posisi arkus faring: normal

Reflek telan: +

Nervus XI (aksesorius)

Mengangkat bahu: normal/normal

Memalingkan wajah: normal/normal

Nervus XII (Hipoglossus)

Deviasi lidah: (-)

Fasikulasi: (-)

Tremor: (-)

Atrofi: (-)

Ataksia: (-)

2.5.3 Leher

Tanda-tanda perangsangan selaput otak

Kaku kuduk: (+)

Kernig’s sign: (-)

9

Page 10: SAH Iqiiiii

Kelenjar limfe: normal

Arteri karotis: normal

Kelenjar gondok: normal

2.5.4 Abdomen

Reflek kulit dinding perut:

2.5.5 Kolumna vertebralis

Inspeksi: normal

Palpasi: normal

Pergerakan: normal

Perkusi: TDE

2.5.6 Ekstremitas superior:

2.5.7 Tonus otot: (+)

2.5.8 Refleks fisiologis

BPR: menurun/menurun

TPR: menurun/menurun

KPR: menurun/menurun

APR: menurun/menurun

2.5.9 Refleks patologis

Hoffman/ Trommer: -/-

Babinski: -/-

Gordon: -/-

Chaddock: -/-

10

5 55 5

Page 11: SAH Iqiiiii

Schaefer: -/-

Oppenhein: -/-

Rossolimo: TDE

Mendel B: TDE

2.5.10 Trofi: (-)

2.5.11 sensibilitas

Eksteroseptif

Nyeri: (+)

Suhu: TDE

Raba: (+)

Propioseptif

Sikap: (+)

Nyeri dalam: TDE

Fungsi kortikal

Rasa diskriminasi: normal

Stereognosis: nornal

Barognosia: TDE

2.5.12 Pergerakan abnormla spontan: (-)

2.5.13 Gangguan koordinasi

Tes jari hidung: normal

Tes pronasi supinasi: normal

Tes tumit lutut: TDE

2.5.14 Gait: SDE

2.5.15 Pemeriksaan fungsi luhur

11

Page 12: SAH Iqiiiii

Afek/emosi: baik

Kemampuan bahasa: baik

Memori: baik

Visuospasial: baik

Intelegensia:baik

2.6 Pemeriksaan laboratorium

DL: diffcount 1/0/94/2/3

Hct 44,7%

Hb 15,0

Lekosit 19.000

Trombosit 433.000

Serum elektrolit: Clorida 101 mol/l

Kalium 3,1 mmol/l

Natrium 134 mmol/l

GDA: 144

2.7 Pemeriksaan radiologis

Foto thorax

CT scan kepala

2.8 Ringkasan

Wanita, 38 tahun, nyeri kepala, hiperensi, kaku kuduk positif

2.9 Diagnosis

Klinis: headache, kaku kuduk (+)

Topis: subarachnoid

Etiologi: CVA bleeding SAH

12

Page 13: SAH Iqiiiii

2.10 Therapy

- O2 nasal 3-4 lpm

- IVFD RA 1500 cc/ 24 jam

- analgesik

- Ca channel blocker

- Neuroprotektan

13

Page 14: SAH Iqiiiii

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi

Perdarahan subaracnoid adalah keadaan yang akut, karena terjadi

perdarahan ke dalam ruangan subarachnoid. Biasanya disebabkan oleh

aneurisma yang pecah (50%), pecahnya malformasi arteriovena (5%), asalnya

primer dari perdarahan intraserebral (20%) dan cedera kepala (Poerwadi, 2006;

Ahmar, 2010; dan Harsono, 2005)

Gambar 3.1Stoke Hemoragik

14

Page 15: SAH Iqiiiii

Gambar 3.2Perdarahan Subarachnoid

Perdarahan subaraknoid non-trauma adalah masalah neurologik darurat

akibat ekstravasasi darah ke ruang yang menutupi sistem saraf pusat yang terisi

oleh cairan serebrospinal. Penyebab utama perdarahan subaraknoid non-trauma ini

adalah rupturnya aneurisma intrakranial yang merupakan 80% kasus dan memiliki

tingkat kematian dan komplikasi yang tinggi. Perdarahan subaraknoid non-

aneurismal, termasuk perdarahan subaraknoid perimesensefali terisolasi, terjadi

sekitar 20% kasus dan memiliki prognosis baik dengan komplikasi neurologik

yang tidak umum (Jose, 2006).

3.2 Epidemiologi

Sebanyak 46% pasien yang bertahan terhadap perdarahan subaraknoid

menderita gangguan kognitif jangka panjang yang mempengaruhi fungsi dan

kualitas hidup pasien. Perdarahan subaraknoid memiliki karakter demografi,

faktor resiko dan terapi yang berbeda-beda. Perdarahan ini menyumbangkan 2-5%

kasus stroke baru dan mempengaruhi 21.000 s/d 33.000 orang setiap tahunnya di

Amerika Serikat. Insidensi perdarahan subaraknoid ini tetap stabil selama 30

15

Page 16: SAH Iqiiiii

tahun terakhir dan meskipun bervariasi antar daerah, insidensi di dunia secara

keseluruhan adalah sekitar 10,5 kasus per 100.000 orang per tahun. Insidensi

meningkat dalam hal usia, yaitu rata-rata muncul pada usia 55 tahun. Resiko

terjadi pada perempuan 1,6 kali lebih banyak dibandingkan laki-laki, dan resiko

untuk orang kulit hitam 2,1 kali lebih banyak dibandingkan orang kulit putih.

Rata-rata case fatality rate (CFR) atau tingkat kematian perdarahan subaraknoid

adalah 51% dengan setidaknya ⅓ pasien yang bertahan hidup memerlukan

perawatan seumur hidup. Kebanyakan kematian terjadi dalam 2 minggu setelah

iktus dengan 10% terjadi sebelum pasien mendapat pengobatan medis dan 25%

dalam 24 jam setelahnya. Secara keseluruhan, perdarahan subaraknoid

menyumbang 5% kematian akibat stroke tetapi 27% dari tahun-tahun pasca-stroke

berpotensi adanya kematian sebelum usia 65 tahun (Jose, 2006).

3.3 Etiologi

Penyebab dari perdarahan subarachnoid (Gilroy, 2000):

1. Common causes

a. Traumatic subarachnoid hemorrhage

b. Spontaneous subarachnoid hemorrhage

- Intracerebral hemorrhage with rupture into the subarachnoid space

- Primary subarachnoid hemorrhage

Ruptured saccular aneurysm

Bleeding AVM

Ruptured myotic aneurysm

16

Page 17: SAH Iqiiiii

2. Rare causes

a. Developmental devects, including pseudoxanthoma elasticum, ehlers-

Danlos syndrome, Marfan’s syndrome, sturge- weber disease, hereditary

hemorrhagic telangectasia pontis, autosomal dominant polycystic kidney

disease.

b. Herpes simplex encephalitis, acute hemorrhagic leukoencephalitis, brain

abses, tuberculous meningitis, symphilitic vasculitis

c. Neoplasm, primary or metastatic brain tumor, hemangioblastoma of the

cerebellum or brainstem

d. Blood dyscrasias, leukemia, Hodgkin disease, thrombosytopenia, sickle cell

anemia, hemophilia, apalstic anemia, pernicious anemia, anticoagulant

therapy,congenital defisiensi of factor VII

e. Hypertension

f. Vasculitis, polyarteritis nodosa, anaphylactic purpura, wegener’s

granulomatosis, primary angitis of the CNS

g. Atherosclerosis with rupture of an arteriosclerotic vessel

h. Rupture of a dissecting aneurysm of the carotid or vertebral/ posterior

cerebral arteries

i. Subdural hematoma with rupture into the subarachnoid space

j. Endometriosis of the spinal canal

3.4 Patofisiologi

Aneurisma Hampir selalu terletak dipercabangan arteri, aneurisma itu

manifestasi akibat suatu gangguan perkembangan emrional, sehingga dinamakan

juga aneurisma sakular (berbentuk seperti saku) kongenital. Aneurisma

17

Page 18: SAH Iqiiiii

berkembang dari dinding arteri yang mempunyai kelemahan pada tunika

medianya. Tempat ini merupakan tempat dengan daya ketahanan yang lemah

(lokus minoris resaistensiae), yang karena beban tekanan darah tinggi dapat

menggembung dan terbentuklah aneurisma. Aneurismna dapat juga berkembang

akibat trauma, yang biasanya langsung bersambung dengan vena, sehingga

membentuk ”shunt” arterivenous (Mardjono, 1989 dan Ngorah, 1990).

Apabila oleh lonjakan tekanan darah atau karena lonjakan intraabdominal,

aneurisma intraserebral itu pecah, maka terjadilah perdarahan yang menimbulkan

gambaran penyakit yang menyerupai perdarahan intraserebral akibat pecahnya

aneurisma Charcot-Bouchard. Pada umumnya faktur presipitasi tidak jelas, oleh

karena tidak teringat oleh penderita (Mardjono, 1989 dan Ngorah, 1990).

Gambar 3.3

lokasi aneurisma

18

Page 19: SAH Iqiiiii

Gambar 3.4AVM

3.5 Gejala klinis

Gejala klinis yang dapat ditemukan pada perdarahan subaracnoid yaitu

(Poerwadi, 2006; Harsono, 2005; dan Israr, 2008):

1. Onset penyakit berupa nyeri kepala mendadak seperti meledak, dramatis,

berlangsung dalam 1 – 2 detik sampai 1 menit. Kurang lebih 25% penderita

didahului nyeri kepala hebat.

2. Vertigo, mual, muntah, banyak keringat, mengigil, mudah terangsang, gelisah

dan kejang.

3. Dapat ditemukan penurunan kesadaran dan kemudian sadar dalam beberapa

menit sampai beberapa jam.

4. Dijumpai gejala-gejala rangsang meningen

5. Fundus Okuli : 10% penderita mengalami edema papil beberapa jam setelah

perdrahan. Perdarahan retina berupa perdarahan subhialoid (10%), merupakan

19

Page 20: SAH Iqiiiii

gejala karakteristik perdarahan subarakhnoid karena pecahnya aneurisma pada

arteri komunikans anterior atau arteri karotis interna.

6. Gangguan fungsi otonom berupa bradikardi atau takikardi, hipotensi atau

hipertensi, banyak

7. keringat, suhu badan meningkat, atau gangguan pernafasan

Gambar 3.4

20

Page 21: SAH Iqiiiii

Gejala Perdarahan Subarachnoid

Perdarahan subaraknoid harus selalu dicurigai pada pasien-pasien dengan

gambaran tipikal termasuk onset tiba-tiba sakit kepala berat (seringkali diakui

pasien sebagai “sakit kepala terburuk yang pernah dirasakan”) disertai mual,

muntah, nyeri leher, fotofobia dan hilang kesadaran. Pemeriksaan fisik dapat

menunjukkan adanya perdarahan retinal, meningismus, kesadaran menurun dan

tanda neurologik terlokalisir. Penemuan berikutnya biasanya berupa kelumpuhan

nervus III (aneurisma komunikans posterior), kelumpuhan nervus VI (peningkatan

tekanan intrakranial), kelemahan ekstremitas bawah bilateral atau abulia

(aneurisma komunikans anterior) serta kombinasi hemiparesis dan afasia atau

visuospatial neglect (aneurisma arteri serebri intermedia). Perdarahan retinal harus

dibedakan dengan perdarahan pre-retinal pada sindroma Terson yang

mengindikasikan atas adanya peningkatan drastis tekanan intrakranial dan hal ini

dapat meningkatkan mortalitas (Jose, 2006).

Tanpa adanya keluhan dan tanda klinis klasik, perdarahan subaraknoid

dapat salah didiagnosis (misdiagnosis). Frekuensi misdiagnosis dapat sampai 50%

dari pasien-pasien yang datang pertama kali ke dokter. Kesalahan diagnosis yang

umum terjadi adalah migrain dan tension-type headache. Kegagalan pengambilan

foto radiologik yang benar menyumbangkan 73% kasus salah diagnosis dan

kegagalan melakukan interpretasi yang benar atas hasil punksi lumbal

menyumbangkan 23%-nya. Pasien yang salah didiagnosis cenderung tampak sakit

ringan dan memiliki hasil pemeriksaan neurologik yang normal. Namun

demikian, dalam kasus tersebut, dapat terjadi komplikasi neurologik sebanyak

50% pasien dan pasien-pasien ini dihubungkan dengan resiko yang lebih tinggi

21

Page 22: SAH Iqiiiii

terhadap kematian dan kecacatan. Sakit kepala mungkin hanya mewakili 40%

keluhan pasien dan dapat hilang dalam beberapa menit atau jam, hal ini disebut

sentinel headache atau thunderclap headache atau “warning leaks” (peringatan

kemungkinan kebocoran pembuluh darah) (Jose, 2006).

Evaluasi darurat atas sentinel headache diperlukan karena pasien mungkin

telah memiliki perdarahan subaraknoid dalam 3 minggu. Dalam praktiknya, tidak

ada gambaran klinis yang reliabel untuk membedakan sentinel headache dari

benign headache. Beberapa pasien mungkin tidak memiliki sakit kepala berat,

bahkan keluhan lain seperti kejang atau kebingungan mungkin lebih menonjol.

Setiap pasien dengan sakit kepala berat atau pertama kali harus diduga akan

adanya perdarahan subaraknoid dan perlu direncanakan CT-scan kepala (Jose,

2006).

22

Page 23: SAH Iqiiiii

3.6 Grading

23

Page 24: SAH Iqiiiii

3.7 Diagnosis

Untuk menegakkan diagnosis perdarahan subarachnoid dapat digunakan

cara pemeriksaan sebagai berikut (Poerwadi, 2006; Harsono, 2005; dan Israr,

2008):

1. Anamnesis (mulainya) akut, nyeri kepala hebat satu sisi, mual, muntah dapat

disusul gangguan kesadaran dan kejang.

24

Page 25: SAH Iqiiiii

2. Pemeriksaan klinis neurologis

3. Pemeriksaan tambahan

a. Funduskopi : cari subhyaloid bleeding

b. CT scan kepala : aneurisma dengan ukuran 7 mm tidak terlihat, dengan

menggunakan kontras , dapat terlihat aneurisma maupun MAV.

Gambar 3.5CT Scan perdarahan Subarachnoid

c. Lumbal punksi : dilakukan dalam waktu 12 jam bilamana CT Scan kepala

tidak dapat dikerjakan atau gambaran CT scan kepala normal, sedangkan

klinis sangat mencurigakan suatu perdarahan subaraknoid dan tidak ada

kontraindikasi lumbal punksi.

d. MRI tidak dapat dilakukan untuk mendiagnosis SAH

25

Page 26: SAH Iqiiiii

Gambar 3.6MRI Aneurisma

e. Angiongrafi sebagai periapan operasi

Gambar 3.6Magnetic Resonance Angiogram dan Angiography

26

Page 27: SAH Iqiiiii

4. Likuor : hampir 100% berdarah, dengan eritrosit 150.000/mm3. Warna

xantokrom timbul dalam 4 jam hingga 20-30 hari. Eritrosit lisis dalam 7

hari,kcuali adanya perdarahan baru.

27

Page 28: SAH Iqiiiii

Alg

orit

me

Dia

gnos

tik

un

tuk

Per

dar

ahan

Su

bar

akn

oid

.

28

Page 29: SAH Iqiiiii

CT-scan kepala harus dilakukan pertama kali pada setiap pasien dengan

suspek perdarahan subaraknoid. Karakteristik tampilan darah yang ekstravasasi

adalah hiperdens. Karena darah dalam jumlah kecil dapat saja terlewat, setiap scan

harus dilakukan dengan irisan tipis melalui basis otak. Kualitas CT-scan kepala

yang baik dapat memperlihatkan perdarahan subaraknoid pada 100% kasus dalam

12 jam setelah onset keluhan dan pada 93% kasus dalam 24 jam (Jose, 2006).

CT-scan kepala juga dapat memperlihatkan adanya hematom

intraparenkimal, hidrosefalus dan edem serebri serta dapat membantu

memprediksikan sisi ruptur aneurisma, terutama pada pasien dengan aneurisma

pada arteri serebri anterior atau arteri komunikans anterior. CT-scan kepala juga

tes paling reliabel untuk memprediksi vasospasme serebral dan hasil pengobatan

yang buruk. Karena pembersihan cepat oleh darah, CT-scan yang tertunda dapat

normal meskipun terdapat riwayat yang mendukung dan sensitifitasnya jatuh

menjadi 50% setelah tujuh hari (jose, 2006).

Punksi lumbal harus dilakukan pada setiap pasien dengan suspek

perdarahan subaraknoid dan hasil negatif atau equivocal pada CT-scan kepala.

Cairan serebrospinal harus dikumpulkan di dalam 4 tabung konsekutif, hitung

eritrosit ditentukan dari tabung 1 dan 4. Penemuan yang konsisten dengan

perdarahan subaraknoid termasuk elevated opening pressure, peningkatan hitung

eritrosit yang tidak berkurang dari tabung 1 dan 4 serta xanthochromia (dideteksi

dengan spektrofotometri) yang memerlukan lebih dari 12 jam untuk berkembang.

Pada pasien dengan punksi lumbal diagnostik atau equivocal, foto radiologik,

seperti CT angiografi pada kepala atau angiografi serebral, harus dilakukan.

Digital- subtraction cerebral angiography merupakan gold standard untuk

29

Page 30: SAH Iqiiiii

deteksi aneurisma serebral tetapi CT angiografi lebih populer dan sering

digunakan karena non-invasif serta sensitifitas dan spesifisitas dapat dibandingkan

dengan yang menggunakan angiografi serebral (Jose, 2006).

Dalam praktik, evaluasi yang teliti terhadap seluruh pembuluh darah harus

dilakukan karena sekitar 15% pasien akan memiliki aneurisma multipel. Pasien

dengan foto radiologik negatif harus dilakukan pengulangan 7-14 hari setelah

kemunculan gejala yang pertama. Jika evaluasi kedua tidak memperlihatkan

aneurisma, magnetic resonance imaging (MRI) harus dilakukan untuk menutup

kemungkinan malformasi vaskular pada otak, batang otak atau batang spinal.

Teknik rediologik lainnya yang dapat digunakan termasuk MRI kepada untuk

menentukan ukuran aneurisma (terutama pada kasus trombosis parsial aneurisma)

dan three-dimensional digital-subtraction cerebral angiography (yang membantu

melihat morfologi aneurisma) (Gambar 2C). Selain itu, perkembangan terbaru

pada three-dimensional CT angiography dapat mengurangi kebutuhan akan

angiografi serebral yang invasif dan mengurangi resiko karenanya (Jose, 2006).

3.8 Penatalaksanaan

Kelompok Studi Stroke Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia.

Guideline Stroke 2007:

1. Pedoman Tatalaksana

a. Perdarahan dengan tanda-tanda Grade I atau II (H&H PSA):

Identifikasi yang dini dari nyeri kepala hebat merupakan petunjuk

untuk upaya menurunkan angka mortalitas dan morbiditas. Bed rest

total dengan posisi kepala ditinggikan 30 dalam ruangan dengan

30

Page 31: SAH Iqiiiii

lingkungan yang tenang dan nyaman, bila perlu diberikan O2 2-3

L/menit.

Hati-hati pemakaian obat-obat sedatif.

Pasang infus IV di ruang gawat darurat dan monitor ketat kelainan-

kelainan neurologi yang timbul.

b. Penderita dengan grade III, IV, atau V (H&H PSA), perawatan harus lebih

intensif:

Lakukan penatalaksanaan ABC sesuai dengan protocol pasien di

ruang gawat darurat.

Intubasi endotrakheal untuk mencegah aspirasi dan menjamin

jalang nafas yang adekuat.

Bila ada tanda-tanda herniasi maka dilakukan intubasi.

Hindari pemakaian sedatif yang berlebhan karena aan menyulitkan

penilaian status neurologi.

2. Tindakan untuk mencegah perdarahan ulang setelah PSA

a. Istirahat di tempat tidur secara teratur atau pengobatan dengan

antihipertensi saja tidak direkomendasikan untuk mencegah perdarahan

ulang setelah terjadi PSA, namun kedua hal tersebut sering dipakai dalam

pengobatan pasien dengan PSA.

b. Terapi antifibrinolitik untuk mencegah perdarahan ulang direkomendasikan

pada keadaan klinis tertentu. Contohnya pasien dengan resiko rendah untuk

terjadinya vasospasme atau memberikan efek yang bermanfaat pada

operasi yang ditunda.

c. Pengikatan karotis tidak bermanfaat pada pencegahan perdarahan ulang.

31

Page 32: SAH Iqiiiii

d. Penggunaan koil intra luminal dan balon masih uji coba.

3. Operasi pada aneurisma yang rupture

a. Operasi clipping sangat direkomendasikan untuk mengurangi perdarahan

ulang setelah rupture aneurisma pada PSA.

b. Walaupun operasi yang segera mengurangi resiko perdarahan ulang

setelah PSA, banyak penelitian memperlihatkan bahwa secara keseluruhan

hasil akhir tidak berbeda dengan operasi yang ditunda. Operasi yang

segera dianjurkan pada pasien dengan grade yang lebih baik serta lokasi

aneurisma yang tidak rumit. Untuk keadaan klinis lain, operasi yang

segera atau ditunda direkomendasikan tergantung pada situasi klinik

khusus.

c. Aneurisma yang incompletely clipped mempunyai resiko yang tinggi

untuk perdarahan ulang.

4. Tatalaksana pencegahan vasospasme

a. Pemberian nimodipin dimulai dengan dosis 1-2 mg/jam IV pada hari ke-3

atau secara oral 60 mg setiap 6 jam selama 21 hari. Pemakaian nimodipin

oral terbukti memperbaiki deficit neurologi yang ditimbulkan oleh

vasospasme. Calcium antagonist lainnya yang diberikan secara oral atau

intravena tidak bermakna.

b. Pengobatan dengan hyperdinamic therapy yang dikenal dengan triple H

yaitu hypervolemic-hypertensive-hemodilution, dengan tujuan

mempertahankan “cerebral perfusion pressure” sehingga dapat

mengurangi terjadinya iskemia serebral akibat vasospasme. Hati-hati

32

Page 33: SAH Iqiiiii

terhadap kemungkinan terjadinya perdarahan ulang pada pasien yang tidak

dilakukan embolisasi atau clipping.

c. Fibrinolitik intracisternal, antioksidan, dan anti-inflamasi tidak begitu

bermakna.

d. Angioplasty transluminal dianjurkan untuk pengobatan vasospasme pada

pasien-pasien yang gagal dengan terapi konvensional.

e. Cara lain untuk manajemen vasospasme adalah sebagai berikut:

Pencegahan vasospasme:

Nimodipine 60 mg per oral 4 kali sehari.

3% NaCl IV 50 mL 3 kali sehari.

Jaga keseimbangan cairan.

Delayed vasospasm:

Stop Nimodipine, antihipertensi, dan diuretika.

Berikan 5% Albumin 250 mL IV.

Pasang Swan-Ganz (bila memungkinkan), usahakan wedge

pressure 12-14 mmHg.

Jaga cardiac index sekitar 4 L/menit/m2.

Berikan Dobutamine 2-15 µg/kg/menit.

5. Antifibrinolitik

Obat-obat anti-fibrinolitik dapat mencegah perdarahan ulang. Obat-obat yang

sering dipakai adalah epsilon aminocaproic acid dengan dosis 36 g/hari atau

tranexamid acid dengan dosis 6-12 g/hari.

6. Antihipertensi

33

Page 34: SAH Iqiiiii

a. Jaga Mean Arterial Pressure (MAP) sekitar 110 mmHg atau tekanan darah

sistolik (TDS) tidak lebih dari 160 dan tekanan darah diastolic (TDD) 90

mmHg (sebelum tindakan operasi aneurisma clipping).

b. Obat-obat antihipertensi diberikan bila TDS lebih dari 160 mmHg dan

TDD lebih dari 90 mmHg atau MAP diatas 130 mmHg.

c. Obat antihipertensi yang dapat dipakai adalah Labetalol (IV) 0,5-2

mg/menit sampai mencapai maksimal 20 mg/jam atau esmolol infuse

dosisnya 50-200 mcg/kg/menit. Pemakaian nitroprussid tidak danjurkan

karena menyebabkan vasodilatasi dan memberikan efek takikardi.

d. Untuk menjaga TDS jangan meurun (di bawah 120 mmHg) dapat diberikan

vasopressors, dimana hal ini untuk melindungi jaringan iskemik penumbra

yang mungkin terjadi akibat vasospasme.

7. Hiponatremi

Bila Natrium di bawah 120 mEq/L berikan NaCl 0,9% IV 2-3 L/hari. Bila perlu

diberikan NaCl hipertonik 3% 50 mL, 3 kali sehari. Diharapkan dapat terkoreksi

0,5-1 mEq/L/jam dan tidak melebihi 130 mEq/L dalam 48 jam pertama. Ada yang

menambahkan fludrokortison dengan dosis 0,4 mg/hari oral atau 0,4 mg dalam

200 mL glukosa 5% IV 2 kali sehari. Cairan hipotonis sebaiknya dihindari karena

menyebabkan hiponatremi. Pembatasan cairan tidak dianjurkan untuk pengobatan

hiponatremi.

8. Kejang

Resiko kejang pada PSA tidak selalu terjadi, sehingga pemberian antikonvulsan

tidak direkomendasikan secara rutin, hanya dipertimbangkan pada pasien-pasien

yang mungkin timbul kejang, umpamanya pada hematom yang luas, aneurisma

34

Page 35: SAH Iqiiiii

arteri serebri media, kesadaran yang tidak membaik. Akan tetapi untuk

menghindari risiko perdarahan ulang yang disebabkan kejang, diberikan anti

konvulsan sebagai profilaksis. Dapat dipakai fenitoin dengan dosis 15-20

mg/kgBB/hari oral atau IV. Initial dosis 100 mg oral atau IV 3 kali/hari. Dosis

maintenance 300-400 mg/oral/hari dengan dosis terbagi. Benzodiazepine dapat

dipakai hanya untuk menghentikan kejang. Penggunaan antikonvulsan jangka

lama tidak rutin dianjurkan pada penderita yang tidak kejang dan harus

dipertimbangkan hanya diberikan pada penderita yang mempunyai faktor-faktor

risiko seperti kejang sebelumnya, hematom, infark, atau aneurisma pada arteri

serebri media.

9. Hidrosefalus

a. Akut (obstruksi)

Dapat terjadi setelah hari pertama, namun lebih sering dalam 7 hari pertama.

Kejadiannya kira-kira 20% dari kasus, dianjurkan untuk ventrikulostomi

(atau drainase eksternal ventrikuler), walaupun kemungkinan risikonya

dapat terjadi perdarahan ulang dan infeksi.

b. Kronik (komunikan)

Sering terjadi setelah PSA. Dilakukan pengaliran cairan serebrospinal secara

temporer atau permanen seperti ventriculo-peritoneal shunt.

10. Terapi Tambahan

a. Laksansia (pencahar) iperlukan untuk melembekkan feses secara regular.

Mencegah trombosis vena dalam, dengan memakai stocking atau

pneumatic compression devices.

b. Analgesik:

35

Page 36: SAH Iqiiiii

Asetaminofen ½-1 g/4-6 jam dengan dosis maksimal 4 g/hari.

Kodein fosfat 30-60 mg oral atau IM per 4-6 jam.

Tylanol dengan kodein.

Hindari asetosal.

Pada pasien dengan sangat gelisah dapat diberikan:

Haloperidol IM 1-10 mg tiap 6 jam.

Petidin IM 50-100 mg atau morfin SC atau IV 5-10 mg/4-6 jam.

Midazolam 0,06-1,1 mg/kg/jam.

Propofol 3-10 mg/kg/jam.

Cegah terjadinya “stress ulcer” dengan memberikan:

Antagonis H2

Antasida

Inhibitor pompa proton selama beberapa hari.

Pepsid 20 mg IV 2 kali sehari atau zantac 50 mg IV 2 kali

sehari.

Sucralfate 1 g dalam 20 mL air 3 kali sehari.

36

Page 37: SAH Iqiiiii

BAB IV

PENUTUP

Perdarahan subaracnoid adalah keadaan yang akut, karena terjadi

perdarahan ke dalam ruangan subarachnoid. Biasanya disebabkan oleh

aneurisma yang pecah (50%), pecahnya malformasi arteriovena (5%), asalnya

primer dari perdarahan intraserebral (20%) dan cedera kepala. Penyebab utama

perdarahan subaraknoid non-trauma ini adalah rupturnya aneurisma intrakranial

yang merupakan 80% kasus dan memiliki tingkat kematian dan komplikasi yang

tinggi. Sebanyak 46% pasien yang bertahan terhadap perdarahan subaraknoid

menderita gangguan kognitif jangka panjang yang mempengaruhi fungsi dan

kualitas hidup pasien. Perdarahan ini juga sering dihubungkan dengan pusat

pelayanan kesehatan karena umumnya pasien masuk rumah sakit. Perdarahan

subaraknoid memiliki karakter demografi, faktor resiko dan terapi yang berbeda-

beda. Perdarahan ini menyumbangkan 2-5% kasus stroke baru dan

mempengaruhi 21.000 s/d 33.000 orang setiap tahunnya di Amerika Serikat.

Faktor-faktor mayor yang dihubungkan dengan hasil akhir pengobatan yang buruk

tergantung pada tingkat kesadaran saat masuk rumah sakit, usia dan jumlah darah

yang terlihatpada computed tomography scan (CT-scan) kepala saat itu.

37

Page 38: SAH Iqiiiii

DAFTAR PUSTAKA

Chandra B. Neurology Klinik. Surabaya. Bagian Ilmu Penyakit Saraf FK UNAIR,

1994;28 – 45

Aliah A, Kuswara FF, Limoa RA, Wuysang G. Gambaran Umum Tentang

Gangguan Peredaran Darah Otak. Dalam: Harsono, ed. Kapita Selekta

Neurologi. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press, 2003; 79 – 103

Sidharta P. Neurologi Klinik Dalam Praktek Umum. Jakarta. Dian Rakyat, 2005;

260 – 294

Mardjono M, Sidharta P. Neourologi Klinis Dasar. Jakarta. Dian Rakyat, 2003;

269 – 292

Harsono ed. Buku Ajar Neurologi Klinis. Yogyakarta. Gadjah Mada University

Press, 2005; 59 – 107

Poerwadi T,et al. Pedoman Diagnosis dan Terapi Edisi III. Bagian/SMF Ilmu

Penyakit Saraf FK UNAIR,2006; 33-35

Ahmar .Stroke (0nline), diakses tanggal 14 Mei 2010 http//www.google.com),

2006

Harsono ed. Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta. Gadjah Mada University

Press, 2005; 97-99

Jose I.S, Robert W. T.,Warren R.S. Current Concepts Aneurysmal Subarachnoid

Hemorrhage. N Eng J Med 2006;354:387-96

Israr, YA.Stroke. Bagian Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas

Riau, 2008.

Sarrafzadeh AS, Haux D, Lüdemann L et al. Cerebral Ischemia in Aneurysmal

Subarachnoid Hemorrhage A Correlative Microdialysis-PET Study. Stroke

2004;35:638-643

Junaidi Iskandar. 2001. Panduan Praktis Pencegahan dan Pengobatan Stroke. PT

Bhuana Ilmu Populer kelompok Gramedia. Jakarta.

Harsono. 2000. Kapita Selekta Neurologi. Gadjah Mada University Press.

Yogyakarta.

38

Page 39: SAH Iqiiiii

Mardjono M, Sidharta P. 1989. Neurologi Klinis Dasar, ed 5. PT. Dian Rakyat.

Jakarta.

Ngorah I. G. N. 1990. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Saraf. Penerbit dan Percetakan

Universitas Air Langga.

Gilroy John. 2000. Basic Neurology, ed 3. The McGraw-Hill Companies, Inc.

USA.

Adams and Victor’s. 2005. Principles of Neurology, ed. 8.

Kelompok Studi Stroke Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Guideline

Stroke 2007. Edisi Revisi. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia:

Jakarta, 2007.

39