Top Banner
264

Riset Evaluasi Jampersal

Aug 07, 2015

Download

Documents

sebuah evaluasi kebijakan pembiayaan kesehatan
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Riset Evaluasi Jampersal
Page 2: Riset Evaluasi Jampersal

i

LAPORAN AKHIR PENELITIAN

RISET EVALUATIF

IMPLEMENTASI JAMINAN PERSALINAN

Penyusun Laporan

Tety Rachmawati dkk

KEMENTERIAN KESEHATAN RI

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN

PUSAT HUMANIORA, KEBIJAKAN KESEHATAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Jl. Indrapura 17 Surabaya 60176

Telp. 031-3528748/ Faks. 031-3528749

JANUARI 2013

Page 3: Riset Evaluasi Jampersal

ii

Page 4: Riset Evaluasi Jampersal

iii

SURAT KEPUTUSAN PENELITIAN

Page 5: Riset Evaluasi Jampersal

iv

Page 6: Riset Evaluasi Jampersal

v

Page 7: Riset Evaluasi Jampersal

vi

Page 8: Riset Evaluasi Jampersal

vii

Page 9: Riset Evaluasi Jampersal

viii

Page 10: Riset Evaluasi Jampersal

ix

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan Syukur Alhamdulillah atas selesainya laporan

penelitian ini. Kami seluruh Tim Peneliti “Riset Evaluatif Implementasi Jaminan

Persalinan” menyadari bahwa hasil penelitian ini jauh dari sempurna, masih

diperlukan masukkan untuk sempurnanya hasil penelitian ini.

Laporan ini, memuat uraian analisis implementasi Jaminan Persalinan

sehingga diharapkan diperoleh gambaran pelaksanaan kebijakan Jampersal di

daerah, akseptabilitas Dinas Kesehatan, Provider (RS dan Puskesmas),

masyarakat sebagai sasaran dan TOMA, TOGA dan lintas sektor terhadap

kebijakan Jampersal, ketersediaan dan akses terdapapt sarana dan prasarana

serta SDM dalam mendukung Jampersal serta utilisasi Jampersal dalam

pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir. Hasil penelitian ini diharapkan

dapat menjadi masukkan dan pertimbangan pemangku kebijakan untuk

mengambil keputusan kebijakan Jampersal. Dari penelitian di 14 Kabupaten/Kota

ditemukan variasi implementasi Jampersal dan akseptabilitas pemangku

kebijakan di tingkat kabupaten/kota, provider pelayanan kesehatan dan sasaran

Jampersal yang diharapkan dapat memberikan wacana ke depan kebijakan

Jampersal.

Kami menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-

tingginya kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusi dalam

penyusunan laporan ini. Saran serta kritik membangun sangat kami harapkan

untuk penyempurnaan dan perbaikan di masa mendatang. Akhir kata, semoga

hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi pengelola program baik di Dinas

Kesehatan maupun Depkes RI sehingga bermanfaat dalam rangka perencanaan

dan pengambilan kebijakan selanjutnya untuk peningkatan pelayanan Jampersal

dalam rangka menurunkan angka kematian ibu dan bayi di Indonesia dalam

mewujudkan target MDGs.

Surabaya, Desember 2012

Tim Peneliti

Page 11: Riset Evaluasi Jampersal

x

Page 12: Riset Evaluasi Jampersal

xi

RINGKASAN EKSEKUTIF

RISET EVALUATIF IMPLEMENTASI JAMINAN PERSALINAN

DI 14 KABUPATEN DI 7 (TUJUH) PROVINSI TAHUN 2012

Jaminan Persalinan (jampersal) merupakan Program Jaminan Persalinan

untuk menekan angka kematian ibu bersalin. Program Jampersal dipergunakan

untuk menanggung seluruh biaya persalinan mulai dari sebelum, saat, hingga

setelah persalinan bagi ibu yang tengah hamil mulai 2011. Diharapkan dengan

diluncurkannya Jampersal, angka kematian ibu (AKI) dan juga angka kematian

bayi (AKB) akan menurun sehingga bisa mencapai target MDGs pada tahun 2015.

Penelitian ini dimaksudkan untuk melakukan evaluasi program Jampersal dalam

upaya mencapai target MDGS.

Tujuan umum penelitian adalah menganalisis Implementasi Jaminan

Persalinan. Sedangkan tujuan khususnya adalah 1) Menganalisis kebijakan

Jaminan Persalinan di daerah, 2) Menganalisis akseptabilitas kabupaten/kota

terhadap program Jaminan Persalinan, 3) Menganalisis akseptabilitas

provider(pemerintah dan swasta) dalam pelayanan Kesehatan Ibu

(hamil,bersalin, nifas, dan KB pasca persalinan) dan bayi baru lahir terhadap

program Jaminan Persalinan, 4) Menganalisis ketersediaan (availability), akses

(accessibility) terhadap sarana dan prasarana, SDM terhadap program Jaminan

Persalinan, 5) Menganalisis utilitas Pelayanan Kesehatan Ibu (hamil,bersalin,

nifas, dan KB pasca persalinan) dan Bayi baru lahir oleh provider (pemerintah

dan swasta) yang disediakan oleh program Jaminan Persalinan, 6 ) Menganalisis

akseptabilitas sasaran dalam pelayanan kesehatan Ibu(hamil,bersalin, nifas, dan

KB pasca persalinan) dan bayi baru terhadap program Jaminan Persalinan, 7)

Menganalisa pemberdayaan masyarakat dalam meningkatkan cakupan

pelayanan kesehatan Ibu (hamil,bersalin, nifas, dan KB pasca persalinan) dan

bayi baru lahir terhadap program Jaminan Persalinan dan 8) Menganalisa

akseptabilitas Toma, Toga, Lintas sektor, LSM dan organisasi stakeholder lainnya

dalam meningkatkan pelayanan Jaminan Persalinan.

Page 13: Riset Evaluasi Jampersal

xii

Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret – Desember 2012. Disain

penelitian adalah cross sectional dengan jenis penelitian adalah gabungan

penelitian kualitatif dan kuantitatif. Responden penelitian adalah 1) Pengguna

program Jampersal yaitu ibu hamil, ibu nifas (setelah 42 hari melahirkan) dan ibu

yang sudah melahirkan (mempunyai bayi maksimal umur 6 bulan) selama

periode 6 bulan terakhir yaitu Oktober 2011-April 2012. Besar sampel adalah 70

orang untuk masing-masing Puskesmas, berdasarkan perhitungan simple random

sampling. Sehingga jumlah sampel adalah 140 untuk dua puskesmas di masing-

masing Kabupaten/Kota. Cara pengambilan sampel adalah dengan

mengidentifikasi Ibu hamil, ibu nifas (setelah 42 hari melahirkan) dan ibu yang

sudah melahirkan (mempunyai bayi maksimal umur 6 bulan) selama periode 6

bulan terakhir yaitu Oktober 2011 - April 2012 di seluruh desa wilayah kerja

Puskesmas. Dari sampel tersebut dibuat daftar/list, kemudian diambil 70

responden secara proportional random to size (acak dan proporsional) sesuai

dengan jumlah Ibu hamil, ibu nifas (setelah 42 hari melahirkan) dan ibu yang

sudah melahirkan (mempunyai bayi maksimal umur 6 bulan) di masing-masing

desa wilayah kerja Puskesmas, 2) Tokoh masyarakat :TOMA&TOGA, Kepala

desa/lurah & aparat desa, dan kader Posyandu, 3) Responden sebagai pelaksana

program Jampersal yaitu a) Fasilitas Kesehatan tingkat pertama/dasar

(Puskesmas) yaitu Kepala Puskesmas, Bidan Koordinator, Pengelola Jampersal

dan Bidan desa, b) Fasilitas kesehatan tingkat lanjutan (Rumah Sakit) yaitu : dr.

Obsgyn, Direktur / Wadir Pelayanan RS, Pengelola Jampersal RS, verifikator

independen dan bidan Kepala Ruangan, 4) Responden sebagai pemegang

kebijakan di tingkat kabupaten yaitu Kepala Dinas Kesehatan, pengelola

Jampersal Dinas Kesehatan, verifikator Dinas Kesehatan dan kepala bidang

Kesehatan Keluarga Dinas Kesehatan. Pengumpulan data dengan wawancara dan

FGD dengan menggunakan kuesioner terstruktur, pedoman wawancara, cek list

dan data sekunder. Wawancara mendalam dilakukan pada seluruh responden di

Dinas Kesehatan, Rumah Sakit dan Puskesmas dan FGD dilakukan pada bidan

Puskesmas dan Toma. Sedangkan untuk sasaran dan bidan dilakukan wawancara

Page 14: Riset Evaluasi Jampersal

xiii

dengan menggunakan kuesioner tersruktur. Analisis data kualitatif dan

kuantitatif secara deskriptif untuk menggambarkan implementasi Jampersal.

Hasil penelitian menunjukkan Kebijakan Jaminan Persalinan di

Kabupaten/Kota dapat didapatkan sebagai berikut :

1. Kebijakan Jampersal ditindaklanjuti dengan menerbitkan Peraturan Bupati

atau Peraturan walikota. Di beberapa kabupaten/kota belum menerbitkan

kebijakan lokal. Kab. Natuna tidak memanfaatkan Jampersal.

2. Di Kabupaten/Kota Pemerintah daerah memberikan dukungan terhadap

Jampersal walaupun belum optimal. Muatan politik mempengaruhi

dukungan Pemerintah daerah terhadap Jampersal antara lain dalam

bentuk sosialisasi, penyediaan sarana. Dukungan pembiayaan belum

banyak terlihat, bahkan dengan adanya Jampersal Jamkesda di beberapa

daerah dialihkan menjadi Jampersal. Jampersal juga dapat menjadi sumber

pendapatan daerah.

3. Penerimaan Provider terhadap kebijakan jampersal :

a. Secara umum provider (bidan, SPOG) mendukung terhadap kebijakan

jampersal, hanya perlu difokuskan pada masyarakat miskin, dibatasi

pada jumlah anak.

b. Sosialisasi menjadi kendala untuk pelaksanaan Jampersal. Keterbatasan

/tidak adanya dana sosialisasi menyebabkan sosialisasi Jampersal kurang

fokus karena diikutkan dengan kegiatan lain. Materi sosialisasi masih

lebih kearah pertanggungjawaban administrasi, kurang pada substansi.

c. Jenis paket pelayanan Jampersal di tingkat layanan dasar cukup baik

diterima bidan. Hal khusus yang menjadi masukkan :

• Pelayanan ANC bidan mengharapkan bisa lebih dari 4 kali.

• Pelayanan rujukan khususnya di Daerah yang akses jauh dari

pelayanan rujukan diharapkan bidan yang telah mempunyai

kompetensi khusus dapat melakukan pelayanan rujukan tertentu

misalnya manual plasenta, penanganan perdarahan sebelum

melakukan rujukan.

Page 15: Riset Evaluasi Jampersal

xiv

• Lama persalinan normal di beberapa daerah lebih dari satu hari.

• Pelayanan KB perlu lebih ditegaskan lagi, ada daerah yang

menerapkan pengisian inform consent untuk menggunakan KB

Jangka panjang seperti IUD pada pengguna Jampersal.

d. Kepesertaan/pengguna Jampersal adalah ibu hamil, ibu bersalin, ibu

nifas sampai 42 hari dan neonatal (0-28 hari) yang mempunyai salah

satu persyaratan seperti KTP, KTP suami, surat keterangan domisili,

kartu keluarga, surat ijin mengemudi, kartu mahasiswa/pelajar dan

paspor. Portabilitas pelayanan dapat berjalan baik.

e. Di tingkat layanan dasar besaran Klaim menurut juknis 2012 secara

umum sudah cukup, hanya Kota seperti Balikpapan dimana tingkat

ekonomi tinggi besaran tersebut dianggap masih terlalu rendah.Untuk

daerah kepulauan besaran klaim tidak masalah tapi biaya transport yang

menjadi kendala karena bisa jauh lebih besar dari klaim Jampersal.

f. Di rumah sakit tarif INA-CBG’s terutama untuk RS Tipe C besarannya

dianggap terlalu kecil, sehingga beberapa RS terpaksa menarik

tambahan biaya untuk obat, habis pakai dsb.

g. Mekanisme klaim awalnya menjadi kendala karena terlalu lama, hal ini

disebabkan persyaratan dianggap membebani, tapi juknis tahun 2012

sudah lebih sederhana. Kendala juga dengan terbatasnya tenaga

verifikator sehingga berkas klaim menumpuk di verifikator.

h. Pencairan dana untuk BPS pada umumnya cukup lancar. Masalah terjadi

untuk pencairan untuk provider di puskesmas karena melalui

mekanisme keuangan daerah sehingga bervariasi setiap daerah. Di

beberapa daerah kesulitan dalam pencairan.

4. Ketersediaan puskesmas di setiap kecamatan di lokasi penelitian terpenuhi

ada beberapa hal perlu diperhatikan :

a. Di kepulauan perlu lebih banyak sarana pelayanan, satu desa dapat

terdiri beberapa pulau. Jumlah Bidan pada umumnya mencukupi kecuali

Page 16: Riset Evaluasi Jampersal

xv

di kepulauan Aru jumlah bidan sangat kurang, dan distribusi bidan belum

merata dan tidak semua bidan desa tinggal diwilayah kerjanya.

b. Jumlah bidan BPS yang PKS dengan Dinas Kesehatan masih sangat

terbatas, hal ini disebabkan tidak semua bidan puskesmas/desa dapat

melakukan PKS disebabkan antara lain :

o Belum semua dinas kesehatan membuka kesempatan pada bidan

puskesmas/BPS untuk melakukan PKS secara terbuka.

o Keterbatasan tenaga bidan karena ada batasan kompetensi,

misalnya di kota Ambon, Kota Kendari bidan yang ada kebanyakan

masih lulusan D1.

o Persyaratan pengurusan ijin praktek bidan yang menyebabkan

bidan tidak dapat segera mendapatkan Ijin praktek dengan adanya

persyaratan dari organisasi Profesi misalnya APN, harus aktif dan

telah magang pada organisasi Profesi dalam waktu tertentu.

o Belum tersosialisasinya program Jampersal dengan baik.

c. Puskesmas non perawatan tidak mempunyai sarana rawat inap untuk

menolong persalinan, di beberapa lokasi kepala Dinas membuat

kebijakan untuk menyediakan satu ruangan untuk rawat inap untuk

persalinan. Sarana Puskesmas rawat inap dan Poned masih terbatas.

d. Belum semua rumah sakit pemerintah di kabupaten melakukan PKS

dengan Dinas Kesehatan. Terutama di daerah kepulauan sarana,

prasarana dan SDM rumah sakit sangat terbatas, bahkan tidak ada SPOG

tetap.

5. Pemanfaatan layanan Jampersal :

a. Dari data sasaran Ibu Nifas ”Continum of care” perlu peningkatan

pelayanan konseling pada sasaran agar terjadi kesinambungan dalam

pemanfaatan paket pelayanan Jampersal mulai dari ANC sampai

dengan KB paska nifas.

b. Sasaran yang memanfaatkan Jampersal pada pelayanan persalinan

pada umumnya (95,3%) sudah di fasilitas kesehatan. Sisanya masih di

Page 17: Riset Evaluasi Jampersal

xvi

tenaga kesehatan tapi non fasilitas kesehatan yang terjadi di

kabupaten yang tergolong daerah sulit secara akses, dan juga

ketersediaan tenaga kesehatannya terbatas. Hal ini misalnya terjadi di

Kabupaten Kepulauan Aru, Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Paser.

c. Cenderung terjadi peningkatan rujukan persalinan per vaginam dengan

komplikasi dan tanpa komplikasi di rumah sakit pemerintah tempat

rujukan Jampersal pada 2 (dua) tahun terakhir yaitu tahun 2011-2012

dibanding tahun sebelumnya.

d. Peningkatan kasus Sectio caesaria juga cukup tinggi di rumah sakit

pemerintah rujukan Jampersal pada tahun 2011-2012 dibanding tahun

sebelumnya.

6. Dari data sasaran didapatkan :

a. Terjadi pergeseran bagi pemanfaatan pembiayaan Jaminan kesehatan

lain (Jamkesmas, Jamkesda, Askes dan Jamsostek) ke pembiayaan

Jampersal (95%), sehingga sasaran Jampersal untuk yang belum

mempunyai Jaminan kesehatan kurang sesuai.

b. Masyarakat yang tidak memanfaatkan Jampersal 66,7% karena belum

tersosialisasi Jampersal.

c. Terdapat biaya tambahan yang dikenakan pada masyarakat yang

memanfaatkan pelayanan Jampersal

7. Pemberdayaan masyarakat sangat diperlukan dalam upaya mendukung

pelaksanaan kebijakan Jaminan Persalinan. Selain pemberdayaan dari

masyarakat langsung melalui kader kesehatan, juga terdapat pembiayaan

kesehatan melalui PNPM GSC yang merupakan program kementerian

Dalam Negeri.

8. Pelaksanaan Jampersal didukung oleh Toma, Toga, Lintas sektor, LSM dan

organisasi stakeholder lainnya karena dapat meningkatkan pelayanan oleh

tenaga kesehatan. Dari penelitian disimpulkan :

Page 18: Riset Evaluasi Jampersal

xvii

a. Sosialisasi pada masyarakat masih dianggap kurang, diperlukan sarana

pendukung sosialisasi seperti leaflet, brosur. Ada keterlibatan Toma ,

Toga , kader dalam sosialisasi pada masyarakat.

b. Masyarakat masih keberatan KB dengan alat kontrasepsi jangka

panjang (mis. IUD), lebih senang dengan KB suntik.

c. Fasilitas layanan kesehatan dan terbatasnya sarana transportasi untuk

rujukan masih menjadi kendala.

d. Masyarakat mengharapakan Jampersal dilanjutkan karena bermanfaat

terutama masyarakat tidak mampu

Rekomendasi dari penelitian ini adalah :

Dengan dukungan dari Pemerintah Daerah, provider dan masyarakat.

Perlu adanya kesinambungan ketersediaan alokasi dana Pusat dalam

pelaksanaan Jampersal. Adapun saran untuk perbaikan Kebijakan Jaminan

Persalinan adalah sbb:

Jangka pendek

1. Pedoman Pelaksanaan harus memberi ruang untuk menampung kebijakan

lokal

a) Diterbitkannya turunan kebijakan Jampersal berupa Peraturan Bupati

atau Peraturan Walikota.

b) Mendorong daerah untuk berkontribusi terhadap pemenuhan sarana

prasarana, obat, bahan habis pakai, dan peralatan kesehatan Puskesmas

dan Poskesdes agar mampu melakukan pertolongan persalinan di

Puskesmas dan Poskesdes secara memadai.

c) Ketentuan besaran jasa pelayanan dan kelancaran klaim menjadi

perhatian sebagai salah satu manfaat Jampersal untuk tenaga kesehatan

yaitu adanya kepastian akan menerima jasa pelayanan medis sesuai

ketentuan yang berlaku.

Page 19: Riset Evaluasi Jampersal

xviii

d) Memberi penekanan pada pemerintah daerah untuk menepati ketentuan

sesuai juknis, bahwa sasaran jampersal adalah ibu hamil, bersalin dan

nifas yang belum mempunyai jaminan.

e) Penguatan sinergisme berbagai sumber pembiayaan dalam mendukung

pelaksanaan Jampersal, seperti BOK, Jamkesmas, Jamkesda, dll.

f) Penguatan Tim Pengelola Jamkesmas/Jampersal di Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota dalam peningkatan kemampuan proses verifikasi dan

pembayaran klaim Jampersal.

2. Sosialisasi menjadi kunci penting dalam keberhasilan, pelibatan lintas

program, lintas sektor dan masyarakat (Toma, Toga, kader) dalam sosialisasi

lebih di tingkatkan. Disamping itu perlu penganggaran khusus untuk

sosialisasi.

3. Pengetatan mekanisme pengawasan dan sanksi agar seluruh penyedia

pelayanan kesehatan (PPK) Jampersal tidak menarik biaya tambahan dari

penerima manfaat Jampersal dengan melakukan “uji petik”.

4. Peningkatan kemampuan tenaga kesehatan yang ada di wilayah tertentu

khususnya di daerah terpencil dan terisolir yang kurang diminati, di

antaranya melalui pemberian kewenangan tambahan/khusus mengingat

keterbatasan tenaga sesuai kompetensi.

5. Penguatan komitmen pelayanan KB pasca persalinan sebagai paket dan

bagian tak terpisahkan dari pelayanan Jampersal dengan didorong untuk

penggunaan metode kontrasepsi jangka panjang, dengan menerapkan

inform consent.

6. Pada daerah kepulauan atau wilayah dengan geografis sulit harus

dipertimbangkan beberapa pilihan :

o Menyediakan dana pendamping untuk penggantian transport rujukan bila

diperlukan.

o Menyediakan rumah singgah.

Page 20: Riset Evaluasi Jampersal

xix

o Menyediakan pelayanan ‘one stop service’, dalam pengertian memenuhi

ketersediaan sarana pelayanan kesehatan tingkat dasar sampai dengan

rujukan.

Jangka Panjang

Rekomendasi jangka panjang ini lebih diperuntukkan bagi pelayanan

kesehatan ibu dan anak secara keseluruhan.

1. Aspek Sarana dan Prasarana dan SDM

a. Dukungan Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Perhubungan,

dan Pemerintah Daerah dalam percepatan pembangunan infrastruktur

jalan dan transportasi yang memadai, khususnya di daerah tertinggal,

perbatasan, dan kepulauan, dalam rangka memudahkan proses rujukan

KIA.

b. Penguatan Puskesmas PONED dan RS PONEK, baik aspek tenaga, sarana,

obat dan peralatan, serta keterampilan (skill) petugas sebagai penyedia

layanan emergensi obstetrik dan neonatal tingkat dasar dan

komprehensif.

c. Penguatan sistem rujukan (improvement collaborative) antara Puskesmas

PONED dan RS PONEK.

d. Keberadaan bidan sebagai anggota masyarakat memiliki keterbatasan

yang harus diperhatikan, sehingga diupayakan adanya pendamping di

wilayah kerja bidan karena bidan mempunyai keterbatasan .

2. Pemberdayaan Masyarakat sangat penting untuk mendukung pelaksanaan

kebijakan Jampersal. Peningkatan pemberdayaan masyarakat melalui

pemberian KIE (Konseling, Informasi dan Edukasi) tentang Jampersal untuk

mengatasi hambatan non-medis dan non-finansial, seperti hambatan

kultural dan hambatan informasi.

Page 21: Riset Evaluasi Jampersal

xx

Page 22: Riset Evaluasi Jampersal

xxi

ABSTRAK

Dalam rangka mempercepat pencapaian tujuan pembangunan kesehatan

nasional serta Millenium Development Goal (MDG’s), pada tahun 2011 Kementerian

Kesehatan meluncurkan kebijakan Jaminan Persalinan (Jampersal). Kebijakan Jaminan

Persalinan dicanangkan tahun 2011 berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor

631/ Menkes / Per /III/2011 dan diperbaharui dengan Peraturan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia Nomor 2562/Menkes/Per/XII/2011 yang mulai berlaku per 1 Januari

tahun 2012. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah Menganalisis Implementasi

Jaminan Persalinan.

Penelitian ini merupakan penelitian terapan untuk mengetahui implementasi

kebijakan program Jampersal di 7 (tujuh) propinsi di Indonesia yaitu Jawa Timur, Jawa

Barat, NTB, Maluku, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Timur dan Kepulauan Riau yang

masing-masing dipilih 2 (dua) kabupaten / kota. Disain Penelitian secara potong lintang

Responden penelitian adalah Dinas kesehatan ( Kadinkes, pengelola Jampersal,

pengelola program KIA dan verifikator), rumah sakit ( direktur/ Kabid pelayanan,

pengelola Jamkesmas/Jampersal, verifikator independen, bidan dan dr. SPOG),

Puskesmas (kepala puskesmas, bidan koordinator, pengelola Jampersal dan bidan desa),

sasaran (ibu hamil, melahirkan dan nifas) serta masyarakat( toma,toga, kader, dukun

dll). Adapaun pengumpulan data secara kualitatif dan kuantitatif dengan wawancara

mendalam, FGD dan kuesioner terstruktur serta pengambilan data sekunder (Profil

kab/kota, cakupan program). Data kualitatif hasil FGD dan wawancara mendalam

dilakukan secara content analysis, dengan menganalisis transkrip hasil diskusi dan

mendeskripsikannya dalam bentuk naratif, sedangkan kuantitatif dianalisis secara secara

diskriptif.

Dari hasil penelitian didapatkan bahwa secara umum kabupaten / kota

mendukung tujuan kebijakan Jampersal mencapai tujuan 4 dan 5 MDG’s dengan

mengimplementasikan kebijakan Jampersal dengan variasi sesuai dengan kondisi dan

kebijakan lokal yang berlaku di daerahnya dengan diterbitkanya Peraturan

Bupati/walikota. Dukungan pemerintah daerah terhadap ketersediaan obat, bahan habis

pakai dan pembiayaan masih kurang optimal.

Sosialisasi yang kurang optimal menjadi kendala yang perpengaruh terhadap

akseptabilitas provider, sasaran dan masyarakat terhadap kebijakan Jampersal.

Persyaratan bagi sasaran pengguna Jampersal adalah KTP, KTP suami, Surat

keterangan domisili, SIM, Kartu Keluarga, Kartu mahasiswa/pelajar dan paspor.

Portabilitas Jampersal dapat berjalan di layanan dasar maupaun rujukan.

Paket pelayanan Jampersal pada umumnya berjalan , kecuali KB paska nifas

perlu adanya penekanan dalam pelaksanaannya misalnya dengan memberlakukan

inform consent. Khusus di daerah dengan geografis sulit seperti kepulauan dimana alat

transportasi dan biaya transportasi sering menjadi kendala perlu solusi tersendiri

dengan menambahkan biaya pendamping untuk transpertasi, rumah singgah atau one

stop service untuk pelayanan dasar dan rujukan.

Provider di tingkat layanan dasar dan rumah sakit pada umumnya mendukung

kebijakan Jampersal, kelancaran cairnya klaim pada provider di puskesmas dan

jaringanny menjadi masalah utama dalam pelaksanaan Jampersal. Besaran klaim di

rumah sakit yang menggunakan tarif INA-CBGs perlu dilakukan penyesuaian dengan

kondisi saat ini.

Page 23: Riset Evaluasi Jampersal

xxii

Sasaran pengguna Jampersal sebagian besar sudah memiliki Jaminan seperti

Jamkesmas, Jamkesda, Askes dan Jamsostek. Sehungga hanya terjadi pergeseran

pembiayaan saja dari Jaminan lain ke Jampersal.

Saran untuk Jampersal perlu adanya kesinambungan dalam pendanaan dengan

penyempurnaan dalam petunjuk teknis dan implementasi. Hal ini dikarenakan menurut

provider, masyarakat dan sasaran, kebijakan Jampersal dirasakan manfaatnya dalam

meningkatkan akses ke layanan kesehatan dalam masalah pembiayaan terutama pada

masyarakat kurang mampu.

Kata Kunci : Jampersal 2012 – Evaluasi implementasi-14 kabupaten/kota

Page 24: Riset Evaluasi Jampersal

xxiii

Abstract

In order to accelerate achievement of the National Health Development

and Millenium Development Goals, In 2011 Ministry of Health has been released

a national policy concerning Childbirth Insurance Program (known as

“Jampersal”). It was covered based on Minister Decree of Health No.

631/Menkes/Per/III/2011 juncto Minister Decree of Health No.

2562/Menkes/Per/XII/2011 regarding Technical Guidance of Childbirth Insurance

which was launched January 1, 2012. This study aims to analyze implementing

Childbirth Insurance Program.

It was a applied study to know how implementation of Childbirth

Insurance Program Policy in 7 (seven) Provinces in Indonesia involves East Java,

West Java, West Nusa Tenggara, Maluku, Southeast Sulawesi, East Kalimantan

and Riau archipelago. Each area were taken 2 (two) districts/cities. Study design

was a cross sectional whereas informants were District/City Health Office (head,

cildbirth Insurance management, maternal and neonatal management, and

verificator for health office), hospital (director/head of division for health

services, public health insurance/childbirth insurance managements,

independence verificator, midwives, and obstetric specialists), Health Center

(head, coordinator midwife, Childbirth Insurance managements, and village

midwives), targets (pregnant women, birth, post natal) including communities

(TOMA, TOGA, cadres, and the others). All data were gathered qualitatively

whereas quantitative data with In-depth interview, FGD, questionnaire

structurely, and secondary data were taken Profile of Disticts/Cities, health

program coverage. Moreover, Qualitative data of FGD and In-depth interviews

results were conducted content analysis trough analysing discussions transcripts

and desribes naratively whereas quantitative were analyzed descriptively.

Results of the study shows that In general, cities/districts have been

supported goals of childbirth Insurance Program Policy to achieve the 4 and 5

MDGs goals. Implementation of Childbirth Insurance Program Policy has been

assorted every study area. It was caused by conditions and policy local such as it

has been released regent, and mayor decrees; lack of Local Goverment supports

concerns availability of pharmacies, materials in medical services, and financing;

lack of socialization for Childbirth Insurance Program have became barriers that

influences to provider acceptability, targets and communities toward Childbirth

Insurance Program Policy. Requirements for Childbirth Insurance Program is ID

Card, Husband ID, a domicile explanation letter, Driver’s License, Family Card,

Student Card and passport. Furthermore, Childbirth Insurance portability has

been ran in basic services and referrals. and also Childbirth Insurance Benefit

Page 25: Riset Evaluasi Jampersal

xxiv

package, except implementation of Family Planning for post natal care has been

stressed in implementation for example applying inform consent special for

remote areas such as islands where transportation and cost have became

barriers. It will needed solution strategy through adding attendant cost for basics

and referrals services for transportation, shelter home, or one stop service. In

general, provider for basic services and referral levels have supported the

Childbirth Insurance Program Policy.

On the other hand, Disbursement of claims is late on provider at Health

Center and their networks became main obstacle implementation of Childbirth

Insurance Program and we also need tarrif revision for hospital that has applied

INA-CBGs. Most of targets users for Childbirth Insurance Program have already

been others Insurance such as public health insurance, local health insurance,

health insurance, and Social Security Programs for Workers so that It just moved

financing from an insurance to Childbirth Insurance.

It suggested that we are need sustainability concerns financing and

revised technical guidance were caused by providers, communities, and targets

that Childbirth Insurance Program policy has perceived benefits them that

implicated to increase public access to facilities health services mainly family

poors.

Key words: Childbirth Insurance Program, Evaluation of implementing Childbirth

Insurance of 14 Districts/Cities.

Page 26: Riset Evaluasi Jampersal

xxv

DAFTAR ANGGOTA TIM PENELITI

SUSUNAN TIM PENELITI

No. Nama Kepakaran Peran

1 dr. Tety Rachmawati, Msi Dokter, magister Sains

P.I.

2. Dr. drg. Niniek L. Pratiwi,

M.Kes

Pemberdayaan Masyarakat Peneliti

3.

4.

Agung Dwi Laksono,

SKM.,M.Kes

Drs. Setia Pranata, Msi

Analis Kebijakan

Magister sains

Peneliti

Peneliti

5. Ingan Ukur Tarigan, SKM, M.

Epid.

Master Kesehatan Peneliti

6. Ir.Vita K.M, M.Kes Master Kesehatan Peneliti

7. dr. Rukmini, M. Kes. Manajemen dan Kebijakan

Kesehatan

Peneliti

8. drg. R.Wasis.S.Sp.KG Pemberdayaan Masyarakat Peneliti

9. Dra. Selma Siahaan, Apt.,

MHA

Manajemen dan Kebijakan

Kesehatan

Peneliti

10. Muhammad Agus Mikrajab,

SKM.,MPH

Manajemen dan Kebijakan

Kesehatan

Peneliti

11. Yurika F. S.Psi. M.Psi.,

Psikolog.

Perilaku dan Pelayanan

Kesehatan

Peneliti

12. Yunita Fitrianti, S.Ant Antropologi Peneliti

13. Sri Handayani. S.Sos Sosiologi Peneliti

14. Wening Widjajanti, S.KM Kesehatan Masyarakat Peneliti

15. Rozana Ika Agustiya, S.Psi Psikologi Peneliti

16. Nugroho Winarto Pembantu

Administrasi

17. Susilo Pembantu

Administrasi

18 Supriyadi Pembantu

Administrasi

Page 27: Riset Evaluasi Jampersal

xxvi

Page 28: Riset Evaluasi Jampersal

xxvii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i

SURAT KEPUTUSAN PENELITIAN .................................................................. ii

KATA PENGANTAR ........................................................................................ ix

RINGKASAN EKSEKUTIF ................................................................................ xi

ABSTRAK ....................................................................................................... xxi

DAFTAR ANGGOTA PENELITI ........................................................................ xxv

DAFTAR ISI .................................................................................................... xxvii

DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xxxiii

DAFTAR TABEL.............................................................................................. xxxvii

DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xxxix

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1

1.1 LATAR BELAKANG ...................................................................... 1

1.2 PERTANYAAN PENELITIAN ......................................................... 4

1.3 FOKUS BIDANG PENELITIAN ....................................................... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 5

2.1 DEFINISI ..................................................................................... 5

2.1.1 JAMPERSAL ...................................................................... 5

2.1.2 PERJANJIAN KERJA SAMA ................................................. 5

2.1.3 FASILITAS KESEHATAN ..................................................... 5

2.1.4 PUSAT PELAYANAN OBSTERIK NEONATAL EMERGENSI

DASAR (PONED) ................................................................ 5

2.1.5 RUMAH SAKIT PELAYANAN OBSTERIK NEONATAL EMERGENSI

KOMPREHENSIF (PONEK) .................................................. 5

2.1.6 BIDAN PRAKTEK MANDIRI ................................................ 5

2.2 KEBIJAKAN (JUKNIS JAMPERSAL 2012) ...................................... 6

2.2.1 TUJUAN JAMPERSAL ........................................................ 6

2.2.2 SASARAN JAMPERSAL ...................................................... 6

Page 29: Riset Evaluasi Jampersal

xxviii

2.2.3 PAKET MANFAAT DAN TATA LAKSANA PELAKSANAAN

JAMPERSAL ....................................................................... 7

2.2.4 PENDANAAN JAMPERSAL ................................................. 9

2.3 KEMATIAN MATERNAL ............................................................... 9

2.3.1 DEFINISI MATERNAL ......................................................... 9

2.3.2 TINGKAT KEMATIAN MATERNAL ...................................... 10

2.3.3 PENYEBAB KEMATIAN MATERNAL ................................... 10

2.4 TEORI KEBIJAKAN PUBLIK ........................................................... 13

2.4.1 ANALISIS KEBIJAKAN KESEHATAN .................................... 13

2.4.2 ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN ............................... 15

2.4.3 TEORI KEBIJAKAN ............................................................. 15

BAB III TUJUAN DAN MANFAAT............................................................. 17

3.1 TUJUAN PENELITIAN .................................................................. 17

3.1.1 TUJUAN UMUM ............................................................... 17

3.1.2 TUJUAN KHUSUS .............................................................. 17

3.2 MANFAAT PENELITIAN ............................................................... 18

BAB IV METODOLOGI ............................................................................ 19

4.1 KERANGKA TEORI ....................................................................... 19

4.2 KERANGKA PIKIR ........................................................................ 20

4.3 TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN ............................................. 21

4.4 DESAIN/JENIS PENELITIAN ......................................................... 22

4.5 RESPONDEN PENELITIAN ........................................................... 22

4.6 CARA PENGUMPULAN DATA ...................................................... 23

4.6.1 PENGUMPULAN DATA KUALITATIF .................................. 23

4.6.2 PENGUMPULAN DATA KUANTITATIF ............................... 24

4.6.3 DATA SEKUNDER .............................................................. 25

4.7 VARIABEL PENELITIAN ................................................................ 26

4.8 DEFINISI OPERASIONAL .............................................................. 27

4.9 KERANGKA OPERASIONAL .......................................................... 28

4.9.1 TAHAPAN PEMILIHAN LOKASI PENELITIAN ...................... 28

Page 30: Riset Evaluasi Jampersal

xxix

4.9.2 TAHAPAN PELAKSANAAN PERSIAPAN DI LAPANGAN ....... 29

4.9.3 TAHAPAN PENGUMPULAN DATA DI LAPANGAN……………. 29

4.10 PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA ........................................... 30

4.11 PERTIMBANGAN IJIN PENELITIAN .............................................. 30

4.12 JADWAL KEGIATAN .................................................................... 31

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................... 33

5.1 SEKILAS TENTANG LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK

RESPONDEN ................................................................................ 33

5.1.1 KARAKTERISTIK RESPONDEN IBU HAMIL, BERSALIN DAN

NIFAS ............................................................................... 36

5.1.2 KARAKTERISTIK PENGGUNA JAMPERSAL ......................... 39

5.2 KEBIJAKAN JAMPERSAL DI TINGKAT PUSAT DAN DAERAH ........ 43

5.2.1 KEBIJAKAN JAMPERSAL DI PUSAT .................................... 43

5.2.1.1 SASARAN ............................................................ 44

5.2.1.2 PAKET PELAYANAN ............................................. 44

5.2.1.3 KEPESERTAAN .................................................... 45

5.2.1.4 PERSYARATAN KLAIM ......................................... 45

5.2.1.5 PEMBERI LAYANAN ............................................ 46

5.2.1.6 BESARAN TARIF PELAYANAN .............................. 47

5.2.1.7 PENDANAAN ...................................................... 47

5.2.1.8 PROSES PENGAJUAN KLAIM ............................... 49

5.2.2 KEBIJAKAN JAMPERSAL DI KABUPATEN/KOTA LOKASI

PENELITIAN ...................................................................... 49

5.2.2.1 KABUPATEN SAMPANG ....................................... 50

5.2.2.2 KOTA BLITAR ....................................................... 52

5.2.2.3 KOTA MATARAM ................................................. 53

5.2.2.4 KABUPATEN LOMBOK TENGAH ........................... 54

5.2.2.5 KOTA BANDUNG ................................................. 55

5.2.2.6 KABUPATEN BOGOR ............................................ 56

5.2.2.7 KOTA AMBON ..................................................... 57

Page 31: Riset Evaluasi Jampersal

xxx

5.2.2.8 KABUPATEN KEPULAUAN ARU ............................ 58

5.2.2.9 KOTA KENDARI .................................................... 60

5.2.2.10 KABUPATEN WAKATOBI ...................................... 60

5.2.2.11 KOTA BALIKPAPAN .............................................. 62

5.2.2.12 KABUPATEN PASSER ........................................... 63

5.2.2.13 KOTA BATAM ...................................................... 63

5.2.2.14 KABUPATEN NATUNA ......................................... 65

5.3 AKSEPTABILITAS KABUPATEN/KOTA TERHADAP PROGRAM

JAMPERSAL ................................................................................ 67

5.3.1 DUKUNGAN MANAJEMEN, SOSIALISASI DAN KEBIJAKAN

LOKAL YANG MENDUKUNG JAMPERSAL ........................ 67

5.4 AKSEPTABILITAS PROVIDER DALAM PELAYANAN KESEHATAN IBU

DAN BAYI BARU LAHIR TERHADAP PROGRAM JAMINAN

PERSALINAN ............................................................................... 70

5.4.1 SOSIALISASI JAMPERSAL DI PUSKESMAS DAN RUMAH SAKIT 71

5.4.2 PEMBERI LAYANAN DI FASILITAS KESEHATAN DASAR..... 74

5.4.2.1 PAKET PELAYANAN ............................................. 76

5.4.2.2 KEPESERTAAN/SASARAN .................................... 80

5.4.2.3 SYARAT PEMANFAATAN DAN MEKANISME KLAIM 81

5.4.2.4 BESARAN TARIF PELAYANAN .............................. 85

5.4.2.5 JASA PELAYANAN ............................................... 87

5.4.3 PEMBERI LAYANAN DI FASILITAS KESEHATAN RUJUKAN 89

5.4.3.1 PAKET LAYANAN................................................. 89

5.4.3.2 KEPESERTAAN .................................................... 90

5.4.3.3 SYARAT KLAIM.................................................... 91

5.4.3.4 BESARAN TARIF PELAYANAN DAN JASA PELAYANAN 92

5.5 KETERSEDIAAN (AVAILABILITY), AKSES (ACCESIBILITY) TERHADAP

SARANA DAN PRASARANA SUMBER DAYA MANUSIA TERHADAP

PROGRAM JAMINAN PERSALINAN ............................................. 95

Page 32: Riset Evaluasi Jampersal

xxxi

5.5.1 SARANA DAN PRASARANA PELAYANAN DASAR DAN

RUJUKAN .................................................................................... 95

5.5.2 AKSESIBILITAS JARAK ....................................................... 101

5.6 UTILITAS PELAYANAN KESEHATAN IBU DAN BAYI BARU LAHIR OLEH

PROVINSI YANG DISEDIAKAN OLEH PROGRAM JAMINAN

PERSALINAN ............................................................................... 118

5.6.1 UTILITAS DAN PELAYANAN DASAR .................................. 118

5.6.2 UTILITAS DAN PELAYANAN RUJUKAN ............................. 127

5.7 AKSEPTABILITAS SASARAN DALAM PELAYANAN KESEHATAN IBU

DAN BAYI BARU LAHIR TERHADAP PROGRAM JAMPERSAL ....... 132

5.8 PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM MENINGKATKAN CAKUPAN

PELAYANAN KESEHATAN IBU DAN BAYI BARU LAHIR TERHADAP

PROGRAM JAMINAN PERSALINAN ............................................. 136

5.8.1 PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM UPAYA

MENDUKUNG PROGRAM KIA MELALUI PNPM GSC DI

KABUPATEN LOMBOK TENGAH ...................................... 137

5.8.2 BAYANG-BAYANG JAMPERSAL DI LAMANGGAU ............. 159

5.8.3 ANTARA BUDAYA, TABU DAN UPAYA PENYELAMATAN IBU DI

KOTA BLITAR ................................................................... 179

5.9 AKSEPTABILITAS TOMA, TOGA, LINTAS SEKTOR, LSM DAN

ORGANISASI LAINNYA DALAM MENINGKATKAN PELAYANAN

JAMINAN PERSALINAN ............................................................... 200

5.9.1 HARAPAN MASYARAKAT ................................................. 208

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 211

6.1 KESIMPULAN .............................................................................. 211

6.2 SARAN/REKOMENDASI .............................................................. 216

6.2.1 JANGKA PENDEK .............................................................. 216

6.2.1 JANGKA PANJANG ........................................................... 217

UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................... 219

DAFTAR KEPUSTAKAAN ................................................................................ 221

Page 33: Riset Evaluasi Jampersal

xxxii

Page 34: Riset Evaluasi Jampersal

xxxiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Nama Halaman

Gambar 4.1 Kerangka teori penelitian 19

Gambar 4.2 Kerangka pikir penelitian 20

Gambar 4.3 Kerangka operasional penelitian 28

Gambar 4.4 Tahap Pelaksanaan Persiapan Penelitian di Lapangan 29

Gambar 5.1 Peta Wilayah Indonesia 35

Gambar 5.2 Karakteristik Responden berdasarkan Umur pada Sasaran

Riset Evaluatif Implementasi Jampersal Tahun 2012

37

Gambar 5.3 Karakteristik Responden berdasarkan Pendidikan pada

Sasaran Riset Evaluatif Implementasi Jampersal Tahun 2012

39

Gambar 5.4 Karakteristik Responden Pengguna Jampersal berdasarkan

Umur pada Sasaran Riset Evaluatif Implementasi Jampersal

Tahun 2012

40

Gambar 5.5 Karakteristik Responden Pengguna Jampersal berdasarkan

Pendidikan pada Sasaran Riset Evaluatif Implementasi

Jampersal Tahun 2012

41

Gambar 5.6 Karakteristik Responden Pengguna Jampersal berdasarkan

Jumlah Anak pada Sasaran Riset Evaluatif Implementasi

Jampersal Tahun 2012

42

Gambar 5.7 Diskusi Kelompok pada Bidan. 71

Gambar 5.8 Bagan Sosialisasi Jampersal di Kabupaten/Kota 71

Gambar 5.9 Persepsi Bidan Puskesmas terhadap Jaminan Persalinan 75

Gambar 5.10 Mekanisme pembeyaran klaim Jampersal di

Pelayanan Dasar

83

Gambar 5.11

Gambar 5.12

Ruang ICU, tempat cuci kamar Operasi di Ruang

kandungan dan kebidanan di RSUD Ambon

Ruang rawat Inap pasien Jampersal di Rumah Sakit

99-100

101

Gambar 5.13 Jarak ke pelayanan Kesehatan pada pengguna Jampersal di

kabupaten/Kota “Daratan”

102

Page 35: Riset Evaluasi Jampersal

xxxiv

Gambar 5.14 Jarak ke pelayanan kesehatan pada pengguna Jampersal

di Kabupaten/Kota “Kepulauan”

102

Gambar 5.15 Peta Wilayah Provinsi Kepulauan Riau 103

Gambar 5.16 Posisi Kabupaten Kepulauan Aru di peta Indonesia 106

Gambar 5.17 Peta Wilayah Kabupaten Kepulauan Aru 108

Gambar 5.18 Puskesmas Benjina, Kab. Kepulauan Aru 109

Gambar 5.19 Peta Kabupaten Kepulauan Wakatobi 113

Gambar 5.20 Kapal cepat yang melayani rute Wanci-Tomia 116

Gambar 5.21

Gambar 5.22

Puskesmas Onemobaa, Kab. Wakatobi

Cakupan Persalinan oleh tenaga kesehatan di

Kabupaten/Kota “Non Kepulauan” tahun 2010-Juni 2012

118

119

Gambar 5.23 Cakupan Persalinan Tenaga Kesehatan di Kabupaten/Kota

“Kepulauan” Tahun 2010 – Juni 2012

120

Gambar 5.24 Tenaga Pemeriksa Kehamilan Pada Responden Non

Pengguna Jampersal di Lokasi Penelitian Periode Oktober

2011 April 2012

124

Gambar 5.25 Tenaga Penolong Persalinan Pada Responden Non

Pengguna Jampersal di Lokasi Penelitian Periode Oktober

2011-April 2012

125

Gambar 5.26 Kematian Maternal di Kabupaten/Kota Tahun 2010 - Juni

2012

126

Gambar 5.27 Kematian Neonatal di Kabupaten/Kota Tahun 2010 - Juni

2012

127

Gambar 5.28

Penatalaksanaan Persalinan Rujukan Per vaginam dengan

Komplikasi di RS Pemerintah di Lokasi Penelitian tahun

2012

128

Gambar 5.29 Penatalaksanaan Persalinan Rujukan Per vaginam tanpa

Komplikasi di RS Pemerintah di Lokasi Penelitian tahun

2012

129

Page 36: Riset Evaluasi Jampersal

xxxv

Gambar 5.30 Kematian Maternal < 24 jam di Rumah Sakit Pemerintah di

Lokasi Penelitian Tahun 2010-1012

130

Gambar 5.31 Kematian Maternal >24 jam di Rumah Sakit Pemerintah di

Lokasi Penelitian Tahun 2010-1012

131

Gambar 5.32 Kematian Neonatal di Rumah Sakit Pemerintah di Lokasi

Penelitian Tahun 2010- Juni 1012

131

Gambar 5.33 Kepemilikan Jaminan lain pada sasaran pengguna Jampersal 132

Gambar 5.34 Alasan tidak menggunakan Jampersal pada sasaran 134

Gambar 5.35 Kepemilikan Jaminan pada sasaran Non pengguna

Jampersal

135

Gambar 5.36 Pembiayaan Tambahan pada sasaran pengguna Jampersal

pada Kabupaten/ Kota Daerah Penelitian

135

Gambar 5.37 Persentase capaian indicator keberhasilan PNPM GSC Kab.

Lombok Tengah

139

Gambar 5.38 Kunjungan K1, K4 dan Linakes Puskesmas Janapria Thn

2010-2012

143

Gambar 5.39 Kunjungan K1 dan K4 serta Linakes Desa Lekor, Th 2010 -

s.d Okt 2012

145

Gambar 5.40 Poskesdes Desa Lekor yang dibangun oleh PNPM GSC 146

Gambar 5.41 Pelaksanaan Kelas Ibu Hamil yang difasilitasi oleh PNPM

GSC

148

Gambar 5.42

Gambar 5.43

Kunjungan K1, K4, Linakes Desa Langko Thn 2010-2012

PMT yang diberikan ketika posyandu di Desa Langko

149

152

Gambar 5.44 Peta Kabupaten Wakatobi 160

Gambar 5.45 Peta Desa Lamanggau 161

Gambar 5.46 Jalan Menuju Puskesmas Onemobaa 163

Gambar 5.47

Gambar 5.48

Gambar 5.49

Gambar 5.50

Pintu Gerbang Dive Wakatobi Resort

Gedung Puskesmas Onemobaa

Tempat pemeriksaan yang berkarat

Rumah tenaga kesehatan

163

165

165

165

Page 37: Riset Evaluasi Jampersal

xxxvi

Gambar 5.51

Gambar 5.52

Gambar 5.53

Gambar 5.54

Gambar 5.55

Gambar 5.56

Rumah Mbook Medaming “rumah bersalin Bajo”

Kamar untuk bersalin

Kamar untuk bersalin (tampak luar)

Lantai bersalin

Ibu nifas

Diskusi kelompok masyarakat (TOMA, TOGA, kader, dll)

175

175

175

175

176

201

Page 38: Riset Evaluasi Jampersal

xxxvii

DAFTAR TABEL

Tabel Nama Halaman

Tabel 4.1 Pemilihan Lokasi Penelitian Provinsi, Kabupaten dan Kota

berdasarkan kriteria cakupan LINAKES

21

Tabel 4.2 Definisi Operasional 27

Tabel 4.3 Gant Chart Jadual Kegiatan Penelitian 31

Tabel 5.1 Tarif Pelayanan Jaminan Persalinan Tahun 2012 47

Tabel 5.2 Sarana dan Sumber Daya Manusia yang Memberikan

Pelayanan Jampersal.

95

Tabel 5.3 “Continum of Care” pada Responden Sasaran Ibu Nifas

Pengguna Jampersal per Kabupaten (N = 573).

121

Tabel 5.4 “Continum of Care” Pelayanan Jampersal (K1, K4,

persalinan) dan PN di Kabupaten/Kota di Lokasi Penelitian

Tahun 2012

122

Tabel 5.5 Tempat Persalinan Responden Pengguna Jampersal di Lokasi

penelitian Periode Oktober 2011-April 2012.

123

Tabel 5.6 Jumlah Kasus Sectio Caesaria yang ditangani di Rumah sakit

di Kabupaten/Kota Tahun 2010 – Juni 2012

129

Page 39: Riset Evaluasi Jampersal

xxxviii

Page 40: Riset Evaluasi Jampersal

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Dalam rangka mempercepat pencapaian tujuan pembangunan kesehatan

nasional serta Millenium Development Goal (MDG’s ), pada tahun 2011

Kementerian Kesehatan meluncurkan kebijakan Jaminan Persalinan (Jampersal).

Kebijakan Jaminan Persalinan dicanangkan tahun 2011 berdasarkan Peraturan

Menteri Kesehatan Nomor 631/Menkes/Per /III/2011 dan diperbaharui dengan

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

2562/Menkes/Per/XII/2011 yang mulai berlaku per 1 Januari tahun 2012.

(Kemenkes.R.I., 2011).

Saat ini Kemenkes mencatat angka kematian ibu masih di atas 228 orang

per 100 ribu penduduk, jumlah itu masih sangat tinggi. Dengan program

jampersal, diharapkan berharap bisa menekan angka kematian ibu hingga 118

per 100 ribu penduduk yang merupakan target RPJM 2014 dan 102 per 100 ribu

penduduk sesuai target MDG’s tahun 2015. Untuk mencapai AKI dan AKB sesuai

target MDG’s dihadapi berbagai masalah yang multi komples seperti masalah

budaya, pendidian masyarakat, pengetahuan, lingkungan, kecukupan fasilitas

kesehatan, sumberdaya manusia dll, sehingga diperlukan intervensi khusus

(SDKI, 2007).

Menurut data Kemenkes, 90 persen kematian ibu disebabkan karena

persalinan. Hal ini dikarenakan masih banyaknya ibu yang tidak mampu

membiayai persalinannya sehingga tidak dilayani oleh tenaga kesehatan dan

fasilitas kesehatan yang baik. Salah satu faktor yang penting dalam intervensi

adalah perlu meningkatkan akses masyarakat terhadap persalinan yang sehat

dengan memberikan kemudahan pembiayaan kepada ibu hamil.

Program Jampersal adalah respons pemerintah melalui Kementerian

Kesehatan untuk mengembangkan program/kegiatan yang bersifat quick wins

dalam upaya menurunkan kematian maternal. Hasil studi District Health Account

Page 41: Riset Evaluasi Jampersal

2

di 80 kabupaten/kota (Gani, 2012) menunjukkan rendahnya komitmen

pemerintah daerah untuk menyediakan anggaran kesehatan dalam jumlah yang

memadai, termasuk di dalamnya anggaran untuk program kesehatan ibu dan

anak. Oleh karena itu, salah satu faktor penting untuk meningkatkan akses

masyarakat terhadap persalinan sehat adalah dengan memberikan kemudahan

pembiayaan untuk ibu hamil. Program Jampersal adalah intervensi pembiayaan

untuk menanggung seluruh biaya persalinan mulai dari masa kehamilan,

persalinan hingga masa nifas termasuk bayi, bagi siapa saja, tidak tergantung

status sosial ekonomi yang bersangkutan. Dengan ketentuan proses persalinan

dilakukan di rumah sakit kelas III atau Puskesmas (Kemenkes.R.I., 2011).

Peserta program Jampersal adalah ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas

(pasca melahirkan sampai 42 hari) dan bayi baru lahir (0-28 hari) yang belum

memiliki jaminan persalinan, dengan memanfaatkan pelayanan di seluruh

jaringan fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama dan tingkat lanjutan (RS)

di kelas III yang sudah memiliki Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan Tim

Pengelola Jamkesmas dan BOK Kabupaten/Kota. Selain itu, pemeriksaan

kehamilan dengan risiko tinggi dan persalinan dengan penyulit serta komplikasi

dilakukan secara berjenjang di Puskesmas dan rumah sakit berdasarkan rujukan.

(Kemenkes R.I, 2011).

Paket pelayanan jaminan Persalinan yang ditanggung oleh pemerintah

adalah Antenatal care (ANC), yaitu pemeriksaan sebanyak 4 (empat) kali

sebelum persalinan, saat persalinan, dan empat kali kontrol setelah persalinan

sedangkan mekanisme pemberian jaminan persalinan ini diberikan seperti

Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Dana yang dikeluarkan untuk

program ini diperkirakan mencapai 2,3 triliun rupiah. Program Jampersal

terintegrasi dengan pelayanan KB, sehingga diharapkan dengan diluncurkannya

Jampersal, angka kematian ibu (AKI) dan juga angka kematian bayi (AKB) akan

menurun seiring dengan meningkatnya cakupan keluarga berencana sehingga

bisa mencapai target MDGs pada tahun 2015 (Kemenkes.R.I, 2011).

Page 42: Riset Evaluasi Jampersal

3

Program Jampersal itu berbeda dengan Jaminan Kesehatan Masyarakat

(Jamkesmas). Program ini tidak hanya pada ibu hamil yang miskin, sedangkan

Jamkesmas memberikan perlindungan kesehatan bagi warga miskin. Jampersal

ini akan dilaksanakan secara bertahap mulai 2011, dengan prioritas dalam

perkiraan ibu bersalin dalam 1 tahun adalah 4,6 juta ibu hamil. Persalinan yang

sudah dibiayai Jamkesmas mencapai 1,7 juta ibu hamil pertahun. Diharapkan

program jampersal ini bisa meningkatkan kualitas kelahiran pendudukan tanpa

meningkatkan jumlah penduduk. Target MDGs dalam meningkatakan kesehatan

ibu akan tercapai apabila 50% kematian ibu dapat dicegah dan hal tersebut dapat

dicapai antara lain dengan meningkatkan cakupan K1, K4, memastikan

memastikan bidan tinggal di desa, meningkatkan persalinan ditolong tenaga

kesehatan di fasilitas kesehatan, meningkatkan cakupan peserta KB terutama

dengan metode kontrasepsi jangka panjang, serta pemberdayaan keluarga dam

masyarakat dalam bidang kesehatan.

Tahun 2011, Laksono Trisnantoro telah melakukan penelitian Jampersal

di DIY ,Papua dan NTT dengan masing-masing di 1-2 kabupaten, dari hasil

penelitian menyatakan ada permasalah serius dalam kebijakan Jampersal. Dan

tahun 2012 petunjuk teknis 2011 telah disempurnakan berdasarkan masukan

sebelumnya . Walaupun tahun 2012 terdapat beberapa penelitian Jampersal ,

tapi masih terbatas dalam wilayan penelitiannya sehingga diperlukan penelitian

yang lebih lanjut untuk mendapat informasi yang lebih luas.

Penelitian ini dimaksudkan untuk melakukan evaluasi program Jampersal

dalam upaya mencapai target MDGS dengan meningkatkan cakupan K1,

meningkatkan persalinan ditolong tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan,

meningkatkan cakupan peserta KB terutama dengan metode kontrasepsi jangka

panjang, serta pemberdayaan keluarga dam masyarakat dalam bidang

kesehatan.

Page 43: Riset Evaluasi Jampersal

4

1.2. Pertanyaan penelitian

1. Bagaimana kebijakan daerah (Kab/Kota) dan kendala dalam

implementasi Jaminan Persalinan?

2. Bagaimana penerimaan provider dalam pelayanan Kesehatan Ibu dan

bayi terhadap program Jaminan Persalinan ?

3. Bagaimana upaya pelayanan kesehatan Ibu dan Bayi oleh provider

dalam Implementasi Jaminan Persalinan ?

4. Bagaimna utilitas Pelayanan Kesehatan Ibu (hamil,bersalin, nifas, dan

KB pasca persalinan) dan Bayi baru lahir oleh provider (pemerintah

dan swasta) yang disediakan oleh program Jaminan Persalinan

5. Bagaimana penerimaan masyarakat dalam pelayanan kesehatan Ibu

dan Bayi terhadap Implementasi Jaminan Persalinan ?

6. Bagaimana penerimaan kelompok masyarakat (Toma, Toga, Lintas

sektor, LSM dan organisasi stakeholder lainnya) dalam meningkatkan

pelayanan Jaminan Persalinan?

1.3. Fokus bidang penelitian

Fokus bidang penelitian adalah Kebijakan di tingkat pusat dan daerah

dalam pembiayaan, ketersediaan sarana dan prasarana dan sumberdaya

manusia, akseptabilitas provider dan masyarakat, upaya yang dilakukan provider

pelayanan kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat yang di fokuskan Dalam

upaya meningkatkan cakupan pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan,

dan pelayanan nifas dan pelayanan KB paska persalinan dalam rangka

mendukung program Jampersal sehingga dapat menurunkan AKI dan AKB.

Page 44: Riset Evaluasi Jampersal

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi ( Petunjuk Teknis Jaminan Persalinan 2012)

2.1.1 Jaminan Persalinan adalah jaminan pembiayaan pelayanan persalinan

yang meliputi pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, pelayanan

nifas termasuk pelayanan KB pasca persalinan dan pelayanan bayi baru

lahir yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan.

2.1.2 Perjanjian Kerjasama (PKS) adalah dokumen perjanjian yang

ditandatangani bersama antara Dinas Kesehatan selaku Tim Pengelola

Kabupaten/Kota dengan penanggung jawab institusi fasilitas kesehatan

pemerintah dan swasta yang mengatur hak dan kewajiban para pihak

dalam jaminan persalinan.

2.1.3 Fasilitas Kesehatan adalah institusi pelayanan kesehatan sebagai tempat

yang digunakan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan, baik

promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh

Pemerintah, TNI/POLRI, dan Swasta.

2.1.4 Puskesmas Pelayanan Obsterik Neonatal Emergensi Dasar (PONED)

adalah Puskesmas yang mempunyai kemampuan dalam memberikan

pelayanan obstetri (kebidanan) dan bayi baru lahir emergensi dasar.

2.1.5 Rumah Sakit Pelayanan Obsterik Neonatal Emergensi Komprehensif

(PONEK) adalah Rumah Sakit yang mempunyai kemampuan dalam

memberikan pelayanan obstetri (kebidanan) dan bayi baru lahir

emergensi komprehensif.

2.1.6 Bidan Praktik Mandiri adalah praktik bidan swasta perorangan.

2.2. Kebijakan Jaminan Persalinan (Juknis Jampersal 2012)

Jaminan Persalinan merupakan perluasan kepesertaan dari Jamkesmas

dan tidak hanya mencakup masyarakat miskin saja. Manfaat yang diterima oleh

penerima manfaat Jaminan Persalinan terbatas pada pelayanan kehamilan,

persalinan, nifas, bayi baru lahir dan KB pasca persalinan.

Page 45: Riset Evaluasi Jampersal

6

2.2.1. Tujuan Jampersal

1. Tujuan Umum

Meningkatnya akses terhadap pelayanan kehamilan, persalinan,

nifas, bayi baru lahir dan KB pasca persalinan yang dilakukan oleh tenaga

kesehatan yang kompeten dan berwenang di fasilitas kesehatan dalam

rangka menurunkan AKI dan AKB.

2. Tujuan Khusus

a. Meningkatnya cakupan pemeriksaan kehamilan, pertolongan

persalinan, dan pelayanan nifas ibu oleh tenaga kesehatan yang

kompeten.

b. Meningkatnya cakupan pelayanan :

1) Bayi baru lahir.

2) Keluarga Berencana pasca persalinan.

3) Penanganan komplikasi ibu hamil, bersalin, nifas, dan bayi baru

lahir, KB pasca persalinan oleh tenaga kesehatan yang kompeten.

c. Terselenggaranya pengelolaan keuangan yang efisien, efektif,

transparan, dan akuntabel.

2.2.2. Sasaran Jampersal

Sasaran yang dijamin oleh Jaminan Persalinan adalah :

1. Ibu hamil

2. Ibu bersalin

3. Ibu nifas ( sampai 42 hari pasca melahirkan)

4. Bayi baru lahir (sampai dengan usia 28 hari)

Sasaran yang dimaksud diatas adalah kelompok sasaran yang berhak

mendapat pelayanan yang berkaitan langsung dengan kehamilan dan persalinan

baik normal maupun dengan komplikasi atau resiko tinggi untuk mencegah AKI

dan AKB dari suatu proses persalinan. Agar pemahaman menjadi lebih jelas,

batas waktu sampai dengan 28 hari pada bayi dan sampai dengan 42 hari pada

Page 46: Riset Evaluasi Jampersal

7

ibu nifas adalah batas waktu pelayanan PNC dan tidak dimaksudkan sebagai

batas waktu pemberian pelayanan yang tidak terkait langsung dengan proses

persalinan dan atau pencegahan kematian ibu dan bayi karena suatu proses

persalinan.

2.2.3. Paket Manfaat dan Tata Laksana Pelayanan Jaminan Persalinan

Manfaat yang diterima oleh penerima Jaminan Persalinan sebagaimana

diuraikan dibawah ini, sedangkan pada peserta Jamkesmas dijamin berbagai

kelainan dan penyakit. Manfaat pelayanan jaminan persalinan meliputi:

1. Pemeriksaan kehamilan (ANC) yang dibiayai oleh program ini mengacu pada

buku Pedoman KIA, dimana selama hamil, ibu hamil diperiksa sebanyak 4 kali

disertai konseling KB dengan frekuensi:

a. 1 kali pada triwulan pertama

b. 1 kali pada triwulan kedua

c. 2 kali pada triwulan ketiga

Pemeriksaan kehamilan yang jumlahnya melebihi frekuensi diatas

pada tiap-tiap triwulan tidak dibiayai oleh program ini. Penyediaan obat-

obatan, reagensia dan bahan habis pakai yang diperuntukkan bagi pelayanan

kehamilan, persalinan dan nifas, dan KB pasca salin serta komplikasi yang

mencakup seluruh sasaran ibu hamil, bersalin, nifas dan bayi baru lahir

menjadi tanggung jawab Pemda/Dinas Kesehatan Kab/ Kota.

2. Pada Jaminan Persalinan dijamin penatalaksanaan komplikasi kehamilan

antara lain :

a) Penatalaksanaan abortus imminen, abortus inkompletus dan missed

abortion

b) Penatalaksanaan mola hidatidosa

c) Penatalaksanaan hiperemesis gravidarum

d) Penanganan Kehamilan Ektopik Terganggu

e) Hipertensi dalam kehamilan, pre eklamsi dan eklamsi

Page 47: Riset Evaluasi Jampersal

8

f) Perdarahan pada masa kehamilan

g) Decompensatio cordis pada kehamilan

h) Pertumbuhan janin terhambat (PJT): tinggi fundus tidak sesuai usia

kehamilan

i) Penyakit lain sebagai komplikasi kehamilan yang mengancam nyawa.

Lama hari inap minimal di fasilitas kesehatan :

1) Persalinan normal dirawat inap minimal 1 (satu) hari

2) Persalinan per vaginam dengan tindakan dirawat inap minimal 2 (dua)

hari

3) Persalinan dengan penyulit post sectio-caesaria dirawat inap minimal 3

(tiga) hari Pencatatan pelayanan pada ibu dan bayi baru lahir tercatat

pada: Registrasi ibu hamil dan Pencatatan di Buku KIA, Kartu Ibu, dan

Kohort ibu.

3. Pelayanan nifas (Post Natal Care)

Pelayanan ibu nifas dan bayi baru lahir dilaksanakan empat kali,

masing-masing satu kali pada :

1. Kunjungan pertama untuk Kf1 dan KN1 (6 jam s/d hari ke-2)

2. Kunjungan kedua untuk KN2 (hari ke-3 s/d hari ke-7)

3. Kunjungan ketiga untuk Kf2 dan KN3 (hari ke-8 s/d hari ke-28)

4. Kunjungan keempat untuk Kf3 (hari ke-29 s/d hari ke-42)

Pelayanan nifas dijamin sebanyak empat kali, terkecuali pelayanan

Nifas dengan komplikasi yang dirujuk ke Rumah sakit, maka pelayanan nifas

dilakukan sesuai pedoman pelayanan Nifas dengan komplikasi tersebut.

Keluarga Berencana (KB) adalah pelayanan KB pasca persalinan

dilakukan hingga 42 hari pasca persalinan. Jenis Pelayanan Keluarga

Berencana pasca salin antara lain :

a) Kontrasepsi mantap (Kontap)

b) IUD, Implant, dan

Page 48: Riset Evaluasi Jampersal

9

c) Suntik.

2.2.4. Pendanaan Jaminan Persalinan

1. Pendanaan Jamkesmas dan Jampersal di pelayanan dasar dan pelayanan

rujukan merupakan belanja bantuan sosial (bansos) bersumber APBN

yang dimaksudkan untuk mendorong pencapaian program, percepatan

pencapaian MDG’s 2015 serta peningkatan kualitas pelayanan kesehatan

termasuk persalinan oleh tenaga kesehatan difasilitas kesehatan.

2. Dana belanja bantuan sosial sebagaimana dimaksud pada angka 1 (satu)

adalah dana yang diperuntukkan untuk pelayanan kesehatan dan rujukan

pelayanan dasar peserta Jamkesmas, pelayanan persalinan serta rujukan

risti persalinan peserta Jamkesmas dan masyarakat sasaran yang belum

memiliki jaminan persalinan sebagai penerima manfaat jaminan.

2.3. KEMATIAN MATERNAL

2.3.1. Defenisi

Kematian maternal adalah kematian wanita sewaktu hamil, melahirkan

atau dalam 42 hari sesudah berakhirnya masa kehamilan, tidak tergantung dari

lama dan lokasi kehamilan, disebabkan oleh apapun yang berhubungan dengan

kehamilan atau penanganannya, tetapi tidak secara kebetulan atau oleh

penyebab tambahan lainnya. (Winkjosastro (Ed), 2002)

2.3.2. Tingkat Kematian Maternal

Berdasarkan kesepakatan Internasional, tingkat kematian maternal

didefenisikan sebagai jumlah kematian maternal selama satu tahun dalam

100.000 kelahiran hidup. Sesungguhnya kematian ini lebih tepat disebut

Maternal Mortality Rasio, sebab denominator untuk Maternal Mortality Rate

seharusnya population at risk untuk kehamilan dan persalinan yaitu jumlah

wanita usia reproduksi (15-44 tahun). (Winkjosastro (Ed), 2002). Data kematian

maternal di Indonesia pada saat ini belum ada yang tepat. Hal ini disebabkan

Page 49: Riset Evaluasi Jampersal

10

oleh belum adanya sistem pendaftaran wajib untuk kelahiran kematian, menurut

perkiraan kasar angka kematian maternal adalah 6-8 per 100 kelahiran hidup.

dibeberapa daerah, selain menerima wanita untuk persalinan yang telah

mendaftarkan diri terlebih dahulu, menerima pula penderita-penderita yang

dikirim dari daerah sekitarnya karena kesukaran dalam persalinan. (Winkjosastro

(Ed), 2002)

2.3.4. Penyebab Kematian Maternal

Secara garis besar penyebab kematian ibu dapat dikategorikan dalam

penyebab langsung dan penyebab tidak langsung.

A. Penyebab Langsung

Terjadi pada kehamilan yang dikehendaki atau tidak, terdapat

komplikasi kehamilan dan persalinan seperti perdarahan, preeklampsia dan

eklampsia serta infeksi.

Perdarahan

Perdarahan dapat dibedakan dalam dua kelompok yaitu perdarahan

antepartum dan perdarahan postpartum.

• Perdarahan Antepartum adalah perdarahan pervaginam pada kehamilan

diatas 28 minggu atau lebih, maka sering disebut atau digolongkan

perdarahan pada trimester ketiga. Perdarahan antepartum digolongkan

sebagai berikut :

1. Perdarahan yang ada hubungannya dengan kehamilan

a) Plasenta previa

b) Solusi plasenta

c) Perdarahan pada plasenta letak rendah

d) Pecahnya sinus marginalis dan vasa previa

2. Perdarahan yang tidak ada hubungannya dengan kehamilan

a) Pecahnya varices vagina

b) Perdarahan polip serviks

Page 50: Riset Evaluasi Jampersal

11

c) Perdarahan perlukan seviks

d) Perdarahan karena keganasan serviks

• Perdarahan Postpartum adalah perdarahan yang terjadi dalam 24 jam

setelah persalinan berlangsung, perdarahan postpartum dibagi menjadi

perdarahan postpartum primer dan sekunder

1. Perdarahan postpartum primer: Terjadi dalam 24 jam pertama,

penyebab utama adalah atoni uteri, retensio plasenta, sisa plasenta,

dan robekan jalan lahir, terbanyak dalam dua jam pertama.

Atonia uteri adalah tidak adanya kontraksi uterus setelah proses

persalinan. Penyebab dari atonia uteri adalah :

a) Tindakan persalinan

2) Partus lama/persalinan terlantar.

3) Trauma persalinan, robekan vagina.

b) Faktor predisposisi : Anemia, Grandemultipara, Jarak hamil kurang

dari 2 tahun, Distensi rahim

berlebihan : hidramnion, hamil kembar

Retensio Plasenta adalah terlambatnya kelahiran plasenta

selama setengah jam setelah persalinan bayi. Kejadian retensio

plasenta berkaitan dengan :

- Grandemultipara dengan implantasi plasenta dalam bentuk

plasenta adhesiva, plasenta akreta, plasenta inkreta dan perkreta.

- Mengganggu kontraksi otot rahim dan menimbulkan perdarahan.

- Retensio plasenta tanpa perdarahan.

- Plasenta manual dengan segera dilakukan.

2. Perdarahan postpartum sekunder: terjadi setelah 24 jam pertama,

penyebab utama adalah robekan jalan lahir dan sisa plasenta atau

membran. Perdarahan postpartum merupakan penyebab penting

kematian maternal khususnya di negara berkembang.

Faktor-faktor yang menyebabkan perdarahan postpartum adalah :

- Grandemultipara

Page 51: Riset Evaluasi Jampersal

12

- Jarak persalinan pendek kurang dari 2 tahun.

- Persalinan yang dilakukan dengan tindakan.

Selain perdarahan antepartum dan postpartum, perdarahan yang

masih berhubungan dengan kehamilan adalah perdarahan yang disebabkan

oleh kehamilam ektopik terganggu (KET) dan juga keguguran atau abortus.

Kehamilan ektopik terganggu (KET) : Kehamilan ektopik terganggu adalah

kehamilan yang berimplantasi di luar endometrium normal dan sudah

menimbulkan gangguan. Kejadian abortus sulit diketahui, karena sebagian

besar tidak dilaporkan dan banyak dilakukan atas permintaan. Keguguran

spontan diperkirakan sebesar 10% -15%. Keguguran atau abortus dapat

dibagi menjadi :

a) Berdasarkan Kejadiannya

1. Keguguran spontan

2. Keguguran buatan atas indikasi medis, indikasi sosial

b) Berdasarkan Pelaksanaannya

1. Keguguran buatan terapeutik

2. Keguguran buatan ilegal

c) Berdasarkan Gambaran Klinisnya : Keguguran lengkap, keguguran tidak

lengkap, keguguran mengancam, keguguran tak terhalangi, keguguran

habitualis, keguguran dengan infeksi, missed abortion.

B. Penyebab Tidak Langsung

Jangkauan daerah Indonesia yang terlalu luas, kemiskinan, status gizi,

anemia, keterlambatan memberi pertolongan yang adekuat. (Manuaba, 2001)

2.4. TEORI KEBIJAKAN PUBLIK

Kebijakan adalah pernyataan yang luas tentang maksud, tujuan dan cara

yang membentuk kerangka kegiatan. Penyusun kebijakan merupakan mereka

yang menyusun kebijakan dalam organisasi seperti pemerintah pusat atau

daerah, perusahaan multi-nasional atau local, lembaga pendidikan atau rumah

sakit. Kebijakan Publik (Public Policy) merujuk pada kebijakan-kebijakan yang

Page 52: Riset Evaluasi Jampersal

13

dibuat oleh negara atau pemerintah sedangkan kebijakan Kesehatan (health

policy) mencakup tindakan yang mempengaruhi Institusi , organisasi, pelayanan,

dan upaya pendanaan sistem Kesehatan (Buse et al., 2005).

Andersen (1975) mendefinisikan kebijakan publik sebagai kegiatan yang

mempunyai maksud/tujuan tertentu yang dilaksanakan oleh seorang/kelompok

yang berperan dengan permasalahan atau suatu yang diperhatikan.

2.4.1. Analisis Kebijakan Kesehatan

Menurut Dunn (2009) mendefinisikan analisis kebijakan adalah suatu

bentuk analisis yang menghasilkan dan menyajikan informasi sedemikian rupa

sehingga dapat memberikan landasan dari para pembuat kebijakan dalam

membuat keputusan.

Dalam ilmu kesehatan masyarakat, ada tiga faktor penting yang

mempengaruhi dimensi kebijakan Kesehatan yang lebih dikenal dengan segitiga

analisis kebijakan (policy analysis triangle) yang dikemukakan oleh Buse et al

(2005, 2012), yaitu:

1. Konteks merupakan faktor-faktor sistematis-politik, ekonomi, sosial atau

budaya, baik nasional maupun internasional yang dapat mempengaruhi

kebijakan Kesehatan

2. Konten (isi) merupakan substansi dari suatu kebijakan yang memperinci

bagian-bagian dalam kebijakan

3. Proses mengacu kepada cara bagaimana kebijakan dimulai, dikembangkan

atau disusun, dinegosiasikan, dikomunikasikan, dilaksanakan, dan di evaluasi

Dari ketiga faktor tersebut yang berperan penting dalam proses kebijakan

Kesehatan adalah aktor (pelaku) yang merujuk kepada Individu, Organisasi, atau

bahkan Negara beserta tindakan mereka yang dapat mempengaruhi kebijakan

Kesehatan. Selanjutnya, serangkaian tahapan dalam proses penyusunan

kebijakan, sebagai berikut:

Page 53: Riset Evaluasi Jampersal

14

1. Identifikasi masalah/isu, menemukan bagaimana isu-isu yang ada dapat

masuk kedalam agenda kebijakan, dan mengapa isu-isu yang lain justru tidak

pernah dibicarakan

2. Perumusan kebijakan, menemukan siapa saja yang terlibat dalam

perumusan kebijakan, bagaimana kebijakan dihasilkan, disetujui, dan

dikomunikasikan

3. Pelaksanaan kebijakan, tahapan ini merupakan bagian penting dalam

penyusuna kebijakan, sebab bila kebijakan tidak dilaksanakan, atau dirubah

selama dalam pelaksanaan, sesuatu yang salah mungkin terjadi dan hasil

kebijakan tidak seperti yang diharapkan;

4. Evaluasi kebijakan, temukan apa yang terjadi saat kebijakan dilaksanakan,

bagaimana pengawasannya, apakah tujuan tercapai dan apakah terjadi

akibat yang tidak diharapkan. Tahapan ini merupakan saat dimana kebijakan

dapat diubah atau dibatalkan serta kebijakan yang baru ditetapkan (Buse et

al., 2005).

Ada dua jenis analisis kebijakan menurut Buse et al (2005), yaitu: analisis

kebijakan prospektif (analysis for policy) diharapkan terjadi di masa yang akan

datang. Analisis tipe ini memberikan informasi rinci tentang formulasi kebijakan

(evaluasi formatif) atau mengantisipasi bagaimana kebijakan akan berjalan bila

diterapkan. Sedangkan analisis kebijakan retrospektif (analysis of policy)

berhubungan dengan masa lampau dan deskriptif. Analisis yang satu ini lebih

melihat kebelakang dan merenungkan kembali mengapa dan bagaimana

kebijakan menemukan bentuknya sehingga agenda dan muatannya bisa

mencapai tujuan tertentu (evaluasi sumatif).

Kerangka analisis segitiga kebijakan banyak di adopsi dalam penelitian

kebijakan Kesehatan di berbagai Negara dan telah digunakan untuk menganalisis

sejumlah besar isu kesehatan termasuk Kesehatan mental, reformasi sektor

Kesehatan, TB, Kesehatan reproduksi dan pelayanan antenatal care serta

pengendalian penyakit sifilis (Gilson & Raphaely, 2007) cit Walt et al (2008).

Page 54: Riset Evaluasi Jampersal

15

2.4.2. Analisis Implementasi Kebijakan

Alexander (1985) mengemukakan bahwa salah satu metode untuk

mengidentifikasi proses implementasi kebijakan Kesehatan dengan

menggunakan teori kontigensi. Dalam teori ini, proses implementasi kebijakan

diharapkan dapat memahami variasi dalam implementasi kebijakan dan dapat

mengintegrasikan studi dan kasus serta mengidentifikasi masalah dalam

penelitian.

Menurut Meter & Horn (1975) implementasi kebijakan meliputi tindakan-

tindakan yang dilakukan melalui individu dalam kelompok baik publik maupun

privat yang diarahkan pada pencapaian tujuan yang telah digariskan dalam

keputusan kebijakan.

Empat Faktor inter-relasi elemen pembuatan kebijakan kesehatan (Walt

& Gilson, 1994) cit. Greena et al (2011), yaitu: 1) Bagaimana kebijakan Kesehatan

maternal di buat (proses) dengan melalui 3 tahap, yaitu: agenda setting,

pengembangan dan implementasi kebijakan termasuk evaluasi kebijakan, 2)

Untuk siapa kebijakan Kesehatan maternal di buat (siapa aktornya), 3) Apa saja

isu utama yang berimplikasi pada kebijakan Kesehatan maternal (konteks) dan

4) Apa output dari kebijakan Kesehatan maternal(isi).

2.4.3. Teori Kebijakan

2.4.3.1. Teori Meter & Horn (1975)

Dalam implementasi kebijakan menurut Meter & Horn (1975), ada enam

variabel yang mempengaruhi antara kinerja dan implementasi kebijakan, yaitu:

a. Standar dan sasaran kebijakan

Setiap kebijakan publik harus mempunyai standard an suatu sasaran

kebijakan yang jelas dan terukur (measurable). Dengan ketentuan tersebut

tujuannya dapat terwujudkan.

b. Sumber daya

Meliputi SDM (human resources), sumber daya material (material resources),

dan sumber daya metoda (method resources).

Page 55: Riset Evaluasi Jampersal

16

c. Komunikasi antar organisasi

Sebagai realitas dari program kebijakan perlu hubungan yang baik antar

instansi terkait yaitu dukungan komunikasi dan koordinasi.

d. Karakteristik agen pelaksana

Untuk mencapai keberhasilan maksimal harus diidentifikasi dan diketahui

karakteristik agen pelaksananya.

e. Kebijakan Sikap

Atau disposisi implementor dibedakan menjadi 3 hal: a) tanggapan pelaksana

terhadap kebijakan, b) kondisi, c) intensitas disposisi implementor.

f. Kondisi sosial, ekonomi, dan politik

Mencakup SD ekonomi lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan

implementasi kebijakan, sejauhmana kelompok-kelompok kepentingan

memberikan dukungan bagi implementsai kebijakan, karakteristik partisipan

yakni mendukung dan menolak, bagaimana sifat opini public yang ada di

lingkungan dan apakah elit politik mendukung implementasi kebijakan

tersebut.

2.4.3.2. Teori Weimer & Vining (1999, 2010)

Menurut Weimer & Vining, ada 3 kelompok variabel yang dapat

mempengaruhi keberhasilan implementasi program kebijakan, yaitu: 1) Logika

suatu kebijakan, 2) Sebuah kebijakan harus sesuai dengan tuntutan lingkungan,

dan 3) Kemampuan pelaksana.

Page 56: Riset Evaluasi Jampersal

17

BAB III

TUJUAN DAN MANFAAT

3.1 Tujuan Penelitian

3.1.1. Tujuan umum

Menganalisis Implementasi Jaminan Persalinan

3.1.2. Tujuan Khusus

1. Menganalisis kebijakan Jaminan Persalinan di tingkat pusat dan

daerah

2. Menganalisis akseptabilitas kabupaten/kota terhadap program

Jaminan Persalinan

3. Menganalisis akseptabilitas provider (pemerintah dan swasta) dalam

pelayanan Kesehatan Ibu (hamil,bersalin, nifas, dan KB pasca

persalinan) dan bayi baru lahir terhadap program Jaminan Persalinan

4. Menganalisis ketersediaan (availability), akses (accessibility) terhadap

sarana dan prasarana, SDM terhadap program Jaminan Persalinan

5. Menganalisis utilitas Pelayanan Kesehatan Ibu (hamil,bersalin, nifas,

dan KB pasca persalinan) dan Bayi baru lahir oleh provider

(pemerintah dan swasta) yang disediakan oleh program Jaminan

Persalinan

6. Menganalisis akseptabilitas sasaran dalam pelayanan kesehatan

Ibu(hamil,bersalin, nifas, dan KB pasca persalinan) dan bayi baru

terhadap program Jaminan Persalinan

7. Menganalisa pemberdayaan masyarakat dalam meningkatkan cakupan

pelayanan kesehatan Ibu (hamil,bersalin, nifas, dan KB pasca

persalinan) dan bayi baru lahir terhadap program Jaminan Persalinan

8. Menganalisa akseptabilitas Toma, Toga, Lintas sektor, LSM dan

organisasi stakeholder lainnya dalam meningkatkan pelayanan

Jaminan Persalinan.

Page 57: Riset Evaluasi Jampersal

18

3.2. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat :

A. Bagi penentu kebijakan

Sebagai bahan evaluasi kebijakan dan implementasi program

Jampersal sehingga dapat dijadikan masukkan dalam menentukan/

perbaikan kebijakan program tersebut.

B. Bagi Masyarakat

Sebagai masukkan dan menerima manfaat terhadap perbaikan

program Jampersal sekaligus masyarakat sebagai kontrol dalam

pelaksanaan program kesehatan.

Page 58: Riset Evaluasi Jampersal

19

BAB IV

METODOLOGI

4.1. KERANGKA TEORI (Sandi Iljanto)

Gambar 4.1 Kerangka Teori

Menurut Sandi Iljanto, Implementasi jampersal di bentuk 4 konstrak yaitu :

1. Akseptabilitas Kebijakan, yang terdiri dari variabel antara lain turunan

kebijakan, sosialisasi dan fasilitasi peneyelenggaraan program/kegiatan.

2. Kapasitas Manajerial, yang terdiri dari variabel kepemimpinan,

ketersediaan fasyankes, ketersediaan sumberdaya kesehatan dan fungsi

manajemen.

3. Ketepatan program dan Sasaran, yang terdiri dari variabel kemiskinan,

kondisi geografis setempat dan peran keluarga.

4. Faktor Kontekstual, yang terdiri dari variabel status kesehatan Ibu dan

Anak, tren kesenjangan cakupan program KIA dan hasil pendataan sasaran

program.

Page 59: Riset Evaluasi Jampersal

20

4.2. KERANGKA PIKIR

INPUT PROSES OUTPUT

Gambar 4.2 Kerangka Pikir

Dalam penelitian Jampersal terdapat variabel Input, Proses dan Output. Variabel

Input yang mempengaruhi penelitian ini adalah 1) kebijakan di tingkat Pusat dan

Daerah; 2) Program di kabupaten/kota dengan tersedianya sarana, prasarana,

SDM, biaya dan jenis pelayanan ; 3) Kelompok sasaran Jampersal yaitu Ibu hamil,

ibu bersalin, ibu nifas dan bayi baru lahir dan 4) Kelompok Potensial Masyarakat.

Varibel proses terdiri dari : 1) implementasi program Jampersal ; 2) Upaya

pelayanan dan rujukan, mengacu juknis Jampersal (Peraturan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia Nomor 2562/Menkes/Per/XII/2011) ; 3) Pemberdayaan

Masyarakat adalah pemberdayaan masyarakat yang mendukung pelayanan KIA.

Variabel Output dengan melihat cakupan Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak

Cakupan Pelayanan Ibu &

Bayi :

1. pemeriksaan kehamilan

2. pertolongan persalinan

3. pelayanan nifas

4. pelayanan bayi baru

lahir

5. pelayanan KB pasca

persalinan

6. penanganan komplikasi

ibu

hamil bersalin, nifas,

dan

bayi baru lahir.

7. pelayanan rujukan

terencana & emergency

sesuai indikasi medis

untuk ibu janin/bayinya

Implementasi

Program Jampersal

Upaya

pelayanan & rujukan

Pemberdayaan

Masyarakat

Kebijakan:

Di Tk. Pusat dan Daerah :

- Jampersal

Program Kab/Kota :

-Sarana/Prasarana

-SDM

-Biaya

-Jenis Pelayanan

Kelompok Sasaran

- Ibu hamil,

-Ibu bersalin

-Ibu nifas

-bayi baru lahir

Kelompok Potensial

Masyarakat :

-TOMA/TOGA/

-Kepala Desa

-Kader

Lintas sektor :

(BKKBN)

Organisai Masyarakat

Organisasi Profesi :

(IBI, dll)

Page 60: Riset Evaluasi Jampersal

21

4.3. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN

Penelitian dilakukan selama sepuluh bulan pada tahun 2012. Penelitian

dilakukan di tujuh Provinsi. Pemilihan provinsi didasarkan pada indikator

cakupan pelayanan persalinan oleh tenaga kesehatan (LINAKES) dan jumlah

kematian ibu dan anak tinggi (absolut). Selanjutnya dari ke tujuh provinsi

tersebut, dipilih enam provinsi dengan cakupan LINAKES yang dibagi dalam tiga

kelompok yaitu tinggi, sedang dan rendah yaitu Provinsi Jawa (Riskesdas, tahun

2007). Jumlah provinsi yang dipilih untuk masing-masing kelompok sebanyak dua

provinsi untuk kelompok LINAKES yang tinggi, sedangkan untuk kelompok

LINAKES yang sedang dan rendah masing-masing dipilih dua provinsi, sehingga

jumlah provinsi terpilih semuanya ada tujuh provinsi. Selanjutnya dari provinsi

terpilih tersebut dipilih satu) kabupaten dan satu kota berdasarkan cakupan

LINAKESnya. Dari kabupaten dan kota terpilih tersebut, kemudian diambil dua

kecamatan berdasarkan cakupan LINAKES yang tinggi dan rendah berdasarkan

data/informasi dari Dinas Kesehatan Kabupaten dan Kota yang ada di provinsi

terpilih. Lokasi penelitian Provinsi dan kabupaten & kota terpilih berdasarkan

kriteria cakupan LINAKES dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 4.1. Pemilihan Lokasi Penelitian Provinsi, Kabupaten dan Kota berdasarkan

kriteria cakupan LINAKES

No Cakupan

LINAKES PROVINSI KOTA KABUPATEN

1 Tinggi

Jawa Timur Blitar Sampang

Kalimantan

Timur Balikpapan Paser

2 Sedang

NTB Mataram Lombok Tengah

Jawa Barat Bandung Bogor

3 Rendah

Maluku Ambon Kep.Aru

Sulawesi

Tenggara Kendari Wakatobi

Page 61: Riset Evaluasi Jampersal

22

Untuk memilih kabupaten kota berdasarkan jumlah kematian ibu dan

anak tinggi (absolut), kriteria daratan dan kepulauan, kriteria administrasi kota

dan kabupaten, pengelolaan Jampersal (penyerapan anggaran), daerah yang

tidak menggunakan Jampersal. Untuk pemilihan puskesmas dilakukan

berdasarkan penyerapan anggaran Jampersal yang tinggi dan rendah di setiap

kabupaten kota. Pemilihan rumah sakit (RS) di setiap kabupaten kota dipilih 1

(satu ) RS Pemerintah milik kabupaten/kota, sedangkan RS swasta dipilih yang

sudah mempunyai perjanjian kerjasama (PKS). Sedangkan untuk daerah yang

tidak menggunakan Jampersal dipilih Provinsi Kepulauan Riau yaitu kabupaten

Natuna.

4.4. DESAIN/JENIS PENELITIAN

• Disain Penelitian : secara potong lintang , dimana antara variabel

yang dipengaruhi dan variabel yang mempengaruhi diukur pada saat

yang sama (’point in time’).

• Jenis Penelitian : Penelitian ini merupakan penelitian terapan untuk

mengetahui implementasi kebijakan program Jampersal di 7 (tujuh)

propinsi di Indonesia.

4.5. RESPONDEN PENELITIAN

1. Responden sebagai pengguna program Jampersal yaitu :

a) Ibu hamil, ibu bersalin (bulin) dan ibu nifas (setelah 42 hari

melahirkan) serta ibu yang sudah melahirkan selama periode bulan

Oktober 2011 sampai dengan April 2012 di puskesmas terpilih.

b) Kelompok PKK, tokoh masyarakat : TOMA&TOGA, Kepala desa/lurah

& aparat desa, dan kader Posyandu.

2. Responden sebagai pelaksana program Jampersal :

a) Fasilitas Kesehatan tingkat pertama/dasar (Puskesmas) yaitu kepala

puskesmas, Bidan Koordinator, pengelola Jampersal di Puskesmas

dan Bidan desa yg ada di lokasi penelitian.

Page 62: Riset Evaluasi Jampersal

23

b) Fasilitas kesehatan tingkat lanjutan (Rumah sakit/Balkesmas yg

mempunyai program kerjasama/PKS dengan Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota yang ada di lokasi penelitian) yaitu : Direktur / Wadir

Pelayanan RS, Pengelola Jampersal RS, verifikator independen, dokter

kandungan dan kebidanan, bidan kepala ruangan.

3. Responden sebagai Provider di tingkat kabupaten/kota yaitu:

a) Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten dan Kota, Penanggung Jawab

program KIA.

b) Pengelola dana/ program Jampersal di Dinas Kesehatan Kabupaten /

Kota.

c) Verifikator

4. Responden dari Organisasi profesi : Ikatan Bidan Indonesia (IBI)

5. Responden Masyarakat : Kepala Desa/Lurah, PKK,TOMA/TOGA, Kader

Posyandu, LSM dll.

4.6. CARA PENGUMPULAN DATA

4.6.1. Pengumpulan data kualitatif

Pengumpulan data kualitatif dilakukan oleh peneliti sebagai instrumen

dengan dibantu panduan wawancara. Pelaksanaan FGD dilakukan di

kabupaten/kota terpilih yang ada di masing-masing provinsi. Pengumpulan data

kualitatif dilakukan dengan cara mengadakan diskusi terarah secara berkelompok

(FGD), dan wawancara mendalam (Indepth interview). Pelaksanaan FGD dan

indepth interview dilakukan dengan menggunakan panduan wawancara FGD dan

indepth interview.

Observasi

Observasi dalam penelitian dilakukan dengan dua cara, yaitu observasi

tersamar dan observasi partisipasi. Observasi tersamar dilakukan untuk melihat

perilaku tenaga kesehatan. Sementara itu, observasi partisipasi dilakukan dengan

cara melibatkan peneliti langsung di masyarakat. Observasi partisipasi dilakukan

Page 63: Riset Evaluasi Jampersal

24

sebagai triangulasi dari indepth interview melalui pedoman wawancara dan

wawancara terstruktur melalui kuesioner. Adapun yang diobservasi adalah :

1) Kondisi geografi dan topografi yang ‘dianggap’ dapat menghambat dalam

mengakses Jampersal.

2) Interaksi sosial sasaran Jampersal dan tenaga kesehatan.

3) Interaksi sosial masyarakat terkait Jampersal.

Setelah pengumpulan data ditentukan 3 lokasi kabupaten / kota untuk

dilakukan penelitian tematik dengan dilakukan observasi selama 2 (dua) minggu

di lokasi terpilih yaitu,

a) Kota Blitar: Kota Blitar dipilih karena dianggap ada temuan menarik ketika

pengumpulan data bulan Mei 2012 diwilayah puskesmas Kepanjen Kidul

telah terdapat 4 (empat) kematian maternal periode Januaru – Juni 2012. Hal

ini menarik mengingat Kota Blitar dengan 3 puskemas Poned dan RSUD

Mardi Waluyo dengan akses mudah.

b) Lombok tengah: Di kabupaten Lombok Tengah terdapat PNPM GSC (generasi

Sehat Cerdas), yang mendukung kegiatan kesehatan Ibu dan Anak.

c) Wakatobi: di wilayah Wakatobi di pulau Tolandono kecamatan Tomia

persalinan oleh tenaga kesehatan rendah, ditengarai masyarakat di desa

Lamanggau pmasih banyak ditolong dukun walaupun sudah ada Jaminan

Persalinan.

4.6.2. Pengumpulan data kuantitatif

Pengumpulan data kuantitatif ini dilakukan dengan menggunakan daftar

pertanyaan yang terstruktur (kuesioner) yang meliputi :

1) Kelompok Sasaran ( Bumil, Bulin dan Bufas) : Data sikap, pengetahuan dan

perilaku (PSP) dari responden penelitian yang berkaitan dengan penggunaan

dana Jampersal (ibu hamil, ibu melahirkan, ibu nifas dan bayi baru lahir)

dan KB pasca persalinan yang berkaitan dengan pelaksanaan program

Jampersal.

Page 64: Riset Evaluasi Jampersal

25

Pengambilan sampel dari data sararan adalah Bumil, Bulin dan Bufas yang

pada periode oktober 2011-April 2012 yang ada di puskesmas terpilih (

diambil dari kohort). Kemudian diambil secara acak sebanyak 70 orang

setiap puskesmas terpilih (berdasarkan rumus metode survei).

n = Z2

1 - 2/2 P (1-P) N

d2 (N-1) + Z

2 1 - 2/2 P (1-P) N

Pengumpulan data ini dilakukan dengan merekrut enumerator di kabupaten

/ kota lokasi penelitian. Untuk pengambilan data di setiap puskesmas (

sebanyak 70 responden yang sudah di sampling) dilakukan oleh 2

enumerator yang dipilih dengan kriteria 1) dapat menyediaan waktu sekitar

1 (satu) minggu) untuk melaksanakan survei ini. 2) pendidikan minimal D3

kesehatan dengan bekerjasama dengan Dinas Kesehatan dan Poltekes

setempat. Enumerator sebelum terjun dilakukan pelatihan selama 1 (satu)

oleh tim peneliti tentang tujuan penelitian dan cara pengumpulan data.

2) Data sikap, pengetahuan dan perilaku (PSP) dari bidan Puskesmas dan Bidan

desa sebagai pelaksana program Jampersal. Pengambilan sampel dari bidan

puskesmas adalah seluruh bidan pada puskesmas terpilih

4.6.3. Data sekunder

Data Sekunder dikumpulkan berkaitan dengan kebijakan dan pelaksanaan

program Jampersal baik yang ada di tingkat kabupaten/kota maupun di fasilitas

kesehatan di tingkat dasar (Puskesmas) dan di tingkat lanjutan (Rumah Sakit) .

Pengumpulan data sekunder berupa profile kesehatan dilakukan dengan cara

menghubungi masing-masing Dinas kesehatan/kota terpilih untuk mengirimkan

data tersebut sebelum dilakukan pengumpulan data di lapangan. Sedangkan

pengumpulan data laporan kegiatan di Puskesmas dan rumah sakit dimulai pada

saat dilakukan persiapan daerah di masing-masing propinsi terpilih.

Data sekunder ini meliputi:

1. Profil kesehatan: Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, tahun 2010 dan 2011

Page 65: Riset Evaluasi Jampersal

26

2. Laporan kegiatan Puskesmas (tahun 2010 & 2011) meliputi: pemeriksaan

kehamilan, pertolongan persalinan, pelayanan nifas, pelayanan bayi baru lahir,

KB pasca persalinan dan penanganan komplikasi pada kehamilan, persalinan,

nifas dan bayi baru lahir.

3. Data pertolongan persalinan yang terkait dengan rujukan persalinan di

Puskesmas dan Rumah Sakit/RS tahun 2010 & 2011.

4. Data tentang penyerapan anggararan Jampersal di tingkat Kabupaten dan

rumah sakit.

5. Data tentang cakupan pelayanan Jampersal di Dinas Kesehatan, Rumah Sakit,

dan Puskesmas.

4.7. VARIABEL PENELITIAN

Variabel penelitian ini meliputi :

1. Kebijakan Jampersal di tingkat pusat dan daerah

2. Sarana dan prasarana di pelayanan kesehatan yang terkait dengan

Jampersal

3. SDM yang terkait dengan Jampersal.

4. Pembiayaan Jampersal

5. Pelayanan Jampersal

6. Pemberdayaan Masyarakat

Page 66: Riset Evaluasi Jampersal

27

4.8. DEFINISI OPERASIONAL

Tabel 4.2. Definisi Operasional

No. Variabel Definisi Operasional

1. Kebijakan Tk. Pusat Kebijakan di tingkat pemerintah pusat yang

terdiri dari peraturan menteri, keputusan

menteri, keputusan presiden, peraturan

pemerintah, maupun undang-undang yang

terkait dengan peaksanan jaminan

persalinan

2. Kebijakan Tk Daerah Peraturan ditingkat Provinsi, Kabupaten Kota

(Perda, SK Bupati/Walikota, SK Kepala Dinas

Kesehatan dll.

3. Program Kab/Kota Kegiatan ditingkat kabupaten /Kota dalam

upaya menunjang program Jampersal

(Pemenuhan sarana, prasarana, SDM ,

pembiayaan dan jenis pelayanan)

4. Sasaran Ibu Hamil Ibu yang pada periode oktober 2011- April

2012 sedang dalam kondisi hamil

5. Sasaran Ibu bersalin Ibu yang pada periode oktober 2011- April

2012 dalam kondisi sedang atau baru

bersalin

6. Sasaran Nifas Ibu yang pada periode oktober 2011- April

2012 sedang dalam periode nifas ( mlai dari

persalinan selesai sampai alat-alat

kandungan seperti pra hamil sekitar 6-8 mgg

atau sekitar 42 mgg

7. Bayi baru lahir Bayi baru lahir dengan usia 0-7 hari disebut

neonatal dini dan usia 7-28 hari disebut

neonatal lanjut.

8. TOMA/TOGA Orang / tokoh yang disegani di masyarakat .

Tokoh masyarakat bisa tokoh Agama, tokoh

adat, perangkat desa dll.

9. Implementasi Program

Jampersal

Penerapan Jaminan persalinan di tingkat

kabupaten mulai dari Dinas kesehatan,

Rumah Sakit, Puskesmas, Balai Praktek

Swasta, masyarakat.

10. Upaya Pelayanan dan

Rujukan

Upaya pelayanan Jaminan persalinan yang

tercantum dalam juknis Jampersal tahun

2011 dan 2012

11. Pemberdayaan

Masyarakat

Upaya untuk membentuk individu dan

masyarakat menjadi mandiri. Kemandirian

tersebut meliputi kemandirian berpikir,

bertindak dan mengendalikan apa yang

mereka lakukan. Kemandirian masyarakat

merupakan suatu kondisi yang dialami oleh

masyarakat yang ditandai dengan

kemampuan memikirkan, memutuskan

serta melakukan sesuatu yang dipandang

Page 67: Riset Evaluasi Jampersal

28

tepat demi mencapai pemecahan masalah

yang dihadapi dengan mempergunakan

daya/kemampuan yang dimiliki dalam

kaitannya dengan pencarian pertolongan

pada persalinan /KIA.

4.9. KERANGKA OPERASIONAL

4.9.1. Tahap pemilihan Lokasi Penelitian

kriteria : cakupan linakes

( tinggi, sedang, rendah)

kriteria : Data cakupan linakes

Dinkes Kab/Kota

Gambar 4.3 Kerangka Operasional

Tahap persiapan

+2 bln

Tahap pengumpulan

& pengukuran + 4 bln

Tahap Penyelesaian 4 bln

Provinsi terpilih (7)

1 Kabupaten dan 1 Kota terpilih/provinsi

2 kecamatan/kabupaten dan kota

Pemilihan Responden di tingkat : masyarakat,: ibu yg sdh melahirkan

Faskes : Puskesmas ,RS, Dinkes kab/kota dan provinsi

Uji Coba kuesioner

Persiapan Daerah di masing-masing lokasi penelitian

Pengumpulan data : Kualitatif : FGD & Indepth interview) Kuantitatif : data primer & sekunder

Editing,Cleaning dan inputing Data

Pengolahan dan Analisis Data

Laporan Akhir

Page 68: Riset Evaluasi Jampersal

29

4.9.2. Tahap Pelaksanaan Persiapan di lapangan :

Gambar 4.4

Tahapan pelaksanaan persiapan di lapangan

4.9.3. Tahap Pengumpulan Data Di Lapangan :

1. Menyiapkan instrumen penelitian yaitu daftar pertanyaan

terstruktur/kuesioner

2. Menyiapkan panduan wawancara untuk data kualitatif (FGD & indepth

interview)

3. Melakukan uji coba kuesioner, menganalisis hasil uji coba (validitas &

reabilitas) serta memperbaiki kuesioner jika ada perubahan

berdasarkan hasil analisis uji coba kuesioner.

4. Mengadakan pertemuan dengan tim Dinas Kesehatan di tingkat Provinsi

Pengurusan ijin Etik penelitian

(Komisi Etik penelitian)

Komunikasi dg Key person yg ada di :

DinKes Propinsi,

DinKes kabupaten/kota dan

Faskes ( Puskesmas & RS)

Pengiriman Form untuk kerangka sampel pada ibu yg sudah

melahirkan /bulin selama periode 6 bl ke Bidan (Puskesmas)

Profile Kesehatan kabupaten/kota

Persiapan Daerah :

- ijin penelitian di masing2 provinsi terpilih

- menentukan lokasi kecamatan di msg2 kabupaten/kota di provinsi terpilih

- menentukan sampel penelitian untuk data kualitatif (FGD & indepth) &

kuantitatif

- mengkondisikan pelaksanaan pengumpulan data di lapangan

Page 69: Riset Evaluasi Jampersal

30

5. Mengadakan pertemuan dengan tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

di masing- masing provinsi

6. Menentukan peneliti daerah yang terlibat dalam penelitian untuk

masing2 lokasi Penelitian (Dinkes Kabupaten/Kota, Bidan Puskesmas,

Bidan desa)

7. Mendiskusikan pelaksanaan FGD & indepth interview untuk masing2

kelompok responden di lokasi penelitian

8. Menentukan responden penelitian yang terpilih di masing-masing lokasi

penelitian sesuai dengan kebutuhan dan tujuan penelitian

4.10. PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA

Setelah data terkumpul, maka dilakukan pengolahan dan analisis data

kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif dianalisis secara secara diskriptif.

Sedangkan untuk data kualitatif hasil FGD dan wawancara mendalam dilakukan

secara content analysis, dengan menganalisis transkrip hasil diskusi dan

mendeskripsikannya dalam bentuk naratif. Sementara itu, untuk observasi

partisipasi dilakukan dengan empat tahap analisis, yaitu analisis domain, analisis

taksonomi, analisis komponensial, dan analisis tema.

4.11. PERTIMBANGAN IJIN PENELITIAN

Surat izin penelitian diperoleh dari Badan Penelitian dan Pengembangan

Kesehatan sedangkan etik penelitian diperoleh dari Komisi Etik penelitian

dengan mengeluarkan Ethical Clearence (EC).

Page 70: Riset Evaluasi Jampersal

31

4.12. JADWAL KEGIATAN

Tabel 4.3. Gant Chart Jadual Kegiatan Penelitian

No

Uraian Kegiatan

Bulan

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

1 Pembuatan Proposal&

Protokol

2 Pembuatan :

Kuesioner Panduan

FGD&indepth interview

Peetunjuk teknis di

lapangan

Formulir Sampling

Frame

3 Permintaan Ethical

clearance

4 Uji Coba Kuesioner

5 Persiapan daerah

5 Pengumpulan data

sekunder

6 Pengmpulan data

kuantitatif & kualitatif

9 Analisis data

10 Penyusunan draf t Lap

Awal

11 Penyusunan Lap Awal

12 Desiminasi awal

13 Penyusunan Laporan

Page 71: Riset Evaluasi Jampersal

32

Page 72: Riset Evaluasi Jampersal

33

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari Hasil penelitian di dapatkan data hasil wawancara dan FGD (berupa

transkrip), Data kuantitatif dari bidan sebanyak 736 orang dan sasaran sebanyak

1787 orang dari 13 kabupaten/kota yang menjadi lokasi penelitian, kecuali

kabupaten Natuna (sebagai pembanding) karena tidak memanfaatkan dana

Jampersal. Selain itu juga terkumpul data sekunder dari Dinas kesehatan, rumah

sakit dan puskesmas. Setelah dilakukan analisis data hasil penelitian kami susun

berdasarkan tujuan penelitian dengan dimulai memaparkan karakteristik wilayah

penelitian dan reponden sebagai berikut :

Laporan penelitian ini akan menjawab tujuan penelitian yang dijelaskan

dengan urutan sebagia berikut: 1) karakteristik, 2) implementasi kebijakan

Jampersal di tingkat pusat dan Daerah, 3) akseptabilitas kabupaten terhadap

program Jampersal, 4) akseptabilitas provider dalam pelayanan jampersal, 5)

ketersediaan dan akses terhadap sarana dan serta sumberdaya manusia

terhadap Jampersal, 6) utilitas pelayanan Kesehatan Ibu dan Bayi baru lahir yang

disediakan oleh jampersal, 7) akseptabilitas sasaran dalam Kesehatan Ibu dan

Bayi baru lahir terhadap Jampersal, 8) Pemberdayaan dalam meningkatkan

Cakupan pelayanan Kesehatan Ibu dan Bayi baru lahir terhadap Jampersal, dan

9) akseptabilitas Toma, Toga, lintas sektor, LSM dan organisasi lainnya dalam

meningkatkan pelayanan Jampersal. Hal ini dilaksanakan oleh karena dalam

implementasi Jampersal dipengaruhi oleh faktor tersebut diatas.

5.1. SEKILAS TENTANG LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN

Penelitian ini dilakukan di tujuh provinsi yang terdiri dari tujuh kabupaten

dan tujuh kota. Dengan kata lain, penelitian ini dilakukan di 14 lokasi.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, terdapat perbedaan dalam implementasi

Jampersal di 14 lokasi tersebut. Perbedaan tersebut disebabkan banyak faktor.

Salah satunya adalah faktor letak geografi. Secara tidak langsung faktor geografi

Page 73: Riset Evaluasi Jampersal

34

tersebut berpengaruh dalam implementasi Jampersal. Dalam hal ini, keadaan

geografi akan dibedakan menjadi dua yaitu 1) berdasarkan kabupaten dan kota,

dan 2) berdasarkan kepulauan dan ‘non-kepulauan’.

Penelitian ini dilakukan di tujuh kabupaten dan tujuh kota. Hal ini

dilakukan untuk menemukan pola perbedaan atau persamaan dalam

implementasi antara kabupaten dan kota. Selain itu, lokasi penelitian ini juga

dilakukan di kepulauan dan ‘non-kepulauan’. Daerah yang dikatakan kepulauan

adalah daerah yang mempunyai gugusan-gugusan pulau yang menjadi

wilayahnya, sedangkan ‘non-kepulauan’ tidak memiliki gugusan-gugusan

tersebut. Banyaknya gugusan pulau yang dimiliki oleh daerah kepulauan,

menyebabkan daerah ini membutuhkan transportasi air yang lebih banyak

daripada daerah non-kepulauan.

Perbedaan keadaan geografi tersebut seharusnya menjadi pertimbangan

dalam pendistribusian tenaga kesehatan khususnya bidan. Menurut Badan

PPSDMK, Kementerian Kesehatan RI Tahun 2011, untuk ratio bidan Indonesia

(Nasional) adalah 52,25. Sementara itu ratio Bidan di lokasi penelitian per

100.000 adalah sebagai berikut:

- terdapat empat provinsi yang memiliki ratio bidan di bawah nasional (57,25),

yaitu Jawa Timur (33,94), Jawa Barat (24,38), NTB (45,56) dan Kalimantan

Timur (52,09), dan

- tiga provinsi yang memiliki ratio bidan di atas rata-rata nasional, yaitu

Maluku (74,14), Sulawesi Tenggara (74,67) dan Kepulauan Riau (64,56).

Namun, kadangkala tingginya ratio bidan dalam suatu daerah belum tentu

menjamin kualitas pelayanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan.

Selain data PPSDMK tersebut terdapat juga data dari Direktorat Bina Gizi

dan KIA, Kementerian Kesehatan Tahun 2012, yang menyatakan bahwa data

cakupan untuk persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan (linakes) adalah

sebagai berikut:

Page 74: Riset Evaluasi Jampersal

35

- terdapat dua provinsi yang mempunyai cakupan linakes di atas rata-rata

cakupan linakes nasional (86,30 %), yaitu Jawa Timur (95,28%) dan Kepulauan

Riau (97,84%), dan

- terdapat lima provinsi yang mempunyai cakupan linakes di bawah cakupan

linakes nasional, yaitu Jawa Barat (81,49%), Nusa Tenggara Barat (82,02%),

Maluku (77,39%), Sulawesi Tenggara ( 85,44%), dan Kalimantan Timur

(85,35%).

Masih banyaknya provinsi di Indonesia yang mempunyai cakupan linakes

di bawah rata-rata nasional tersebutlah yang menyebabkan Kementerian

Kesehatan Republik Indonesia mengadakan Jampersal. Hal ini dilakukan untuk

menarik minat masyarakat untuk melakukan persalinan ke tenaga kesehatan dan

di fasilitas kesehatan. Namun, apakah persalinan ‘gratis’ tersebut dapat menarik

minat masyarakat untuk melakukan persalinan ke tenaga kesehatan di fasilitas

kesehatan?

Gambar 5.1 Peta Wilayah Indonesia

Perbedaan karakteristik wilayah tersebut seharusnya menjadi

pertimbangan dalam pendistribusian tenaga kesehatan khususnya bidan.

Menurut Badan PPSDMK, Kementerian Kesehatan RI Tahun 2011, untuk rasio

Page 75: Riset Evaluasi Jampersal

36

bidan Indonesia (Nasional) adalah 52,25. Sementara itu rasio Bidan di lokasi

penelitian per 100.000 adalah sebagai berikut : terdapat 4 (Empat) provinsi lokasi

penelitian rasio bidan dibawah nasiona (57,25). yaitu Jawa Timur (33,94), Jawa

Barat (24,38), NTB (45,56) dan Kalimantan Timur (52,09). Sedangkan 3 (Tiga)

provinsi yaitu Maluku (74,14), sulawesi Tenggara (74,67) dan kepulauan Riau

(64,56).

Selain data PPSDMK tersebut terdapat juga data dari Direktorat Bina Gizi

dan KIA, Kementerian Kesehatan Tahun 2012, yang menyatakan bahwa data

cakupan untuk persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan (Linakes) adalah

sebagai berikut : Cakupan Linakes Indonesia (Nasional) adalah 86,30 %, provinsi

lokasi penelitian yang diatas angka Nasional adalah Jawa Timur (95,28%),

Kepulauan Riau (97,84%) sedangkan Jawa Barat (81,49%), Nusa Tenggara Barat

(82,02%), Maluku (77,39%), Sulawesi Tenggara ( 85,44%) dan Kalimantan Timur

(85,35%) masih dibawah angka Nasional.

5.1.1. Karakteristik Responden Ibu Hamil, Bersalin, dan Nifas

Selain membahas tentang karakteristik wilayah penelitian, dibahas juga

karakteristik responden ibu hamil, ibu bersalin dan ibu Nifas yang merupakan

sasaran Jampersal. Dari sasaran Jampersal ada yang memanfaatkan Jampersal

dan ada yang tidak memanfaatkan Jampersal. Pada bagian ini akan menjelaskan

karakteristik kedua sasran tersebut. Karakteristik meliputi umur, pendidikan dan

jumlah anak (paritas).

Pada penelitian ini dilakukan pengumpulan data pada sasaran Jampersal

yaitu ibu hamil, ibu bersalin dan ibu nifas periode Oktober 2011 sampai dengan

April 2012. Responden diambil di wilayah 2 puskesmas terpilih di kabupaten /

kota, diambil dari list kohort ibu masing-masing puskesmas sebanyak 70

responden yang diambil secara acak. Dari 13 kabupaten/ Kota terkumpul

sejumlah 1.787 orang. Dari analisis data karakteristik responden sebagai berikut :

Page 76: Riset Evaluasi Jampersal

37

Gambar 5.2

Karakteristik Responden berdasarkan umur pada sasaran Riset Evaluatif Implementasi

Jampersal Tahun 2012

N = 1.787

Dari karakteristik responden sasaran yang terkumpul, nampak sekitar

15%-20% responden adalah resiko tinggi yaitu ibu hamil berusia < 20 tahun dan

umur >35 tahun. Yang menarik prosentase ibu hamil pada usia kurang dari 20

tahun cukup tinggi (>10%) terutama di Kota Blitar, Kota Bandung, kepulauan

Aru, Wakatobi dan Kota Batam. Dan prosentase ibu hamil> 35 tahun tinggi

(>10%) di Sampang, Kota Mataram, Lombok Tengah dan tertinggi di Paser (17%).

Setiap kehamilan dan persalinan mempunyai risiko meskipun bagi

perempuan yang tidak mempunyai masalah kesehatan sebelumnya, kira - kira 40

% ibu hamil mempunyai masalah kesehatan yang berkaitan dengan masalah

Page 77: Riset Evaluasi Jampersal

38

kehamilan dan 15 % ibu hamil menderita komplikasi jangka panjang. Oleh karena

itu pada usia reproduksi, banyaknya kehamilan akan meningkatkan risiko

perempuan untuk mendapatkan masalah kesehatan. Kematian ibu paling banyak

terjadi pada usia antara 20 sampai 30 tahun, usia paling produktif untuk hamil

dan melahirkan sehingga berisiko menderita penyakit baik akibat langsung dari

kehamilan maupun tidak langsung. (Rukmini dkk, 2005). Resiko tersebut akan

semakin meningkat pada usia di luar usia reproduksi (< 20 tahun atau >35

tahun). Penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat menyatakan bahwa

kematian maternal akan meningkat 4 kali lipat pada ibu yang hamil pada usia 35

– 39 tahun bila dibanding wanita yang hamil pada usia 20 – 24 tahun. Usia

kehamilan yang paling aman untuk melahirkan adalah usia 20 – 30 tahun

(Kemenkes RI, 2004).

Gambar 5.3.

Karakteristik Responden berdasarkan pendidikan pada sasaran Riset Evaluatif

Implementasi Jampersal Tahun 2012

Karakteristik pendidikan dari responden > 50% adalah berpendidikan

SLTP dan hanya 8,10% saja yang berpendidikan Perguruan Tinggi. Bahkan di

Page 78: Riset Evaluasi Jampersal

39

Sampang hampir seluruh responden berpendidikan SLTP, disusul di Lombok

tengah dan Bogor responden berpendidikan SLTP > 70%. Kondisi ini

menggambarkan bahwa sasaran Jaminan Persalinan sebagian besar adalah

pendidikan rendah.

5.1.2. Karakteristik Pengguna Jampersal

Jampersal disediakan untuk seluruh masyarakat Indonesia, baik dari kelas

bawah, menengah, atau pun atas. Namun, tidak semua masyarakat Indonesia

berminat untuk mendapatkan persalinan gratis tersebut. Berdasarkan hasil

penelitian ini menunjukan bahwa dari 1787 responden sasaran ibu hamil, ibu

bersalin dan ibu nifas yang menggunakan Jampersal sebanyak 1254 responden

(70,2%). Hal ini menunjukan Jampersal banyak diminati oleh masyarakat.

Masyarakat yang banyak menggunakan Jampersal rata-rata berusia

sekitar 20-35 tahun. Namun, ada 17,70% masyarakat yang mempunyai resiko

tinggi berdasarkan usia, yaitu di bawah umur 20 tahun dan di atas 35 tahun.

Target Nasional untuk cakupan resiko tinggi oleh tenaga kesehatan adalah 20%.

Pada pengguna Jampersal risiko tinggi berdasarkan umur, mencapai 17,70 adalah

cukup tinggi. Dari kajian lanjut data Sensus Penduduk (SP) 2010 didapatkan

bahwa usia resiko tinggi pada ibu hamil penyumbang kematian maternal cukup

tinggi yaitu pada usia ibu < 20 tahun (6,9%) dan > 35 tahun (25,6%). Hal ini

seperti yang ditunjukan pada gambar berikut ini:

Page 79: Riset Evaluasi Jampersal

40

Gambar 5.4.

Karakteristik Responden Pengguna Jampersal berdasarkan Umur pada sasaran Riset

Evaluatif Implementasi Jampersal Tahun 2012

N= 1.254

Selain berdasarkan umur, pengguna Jampersal juga dapat dilihat

berdasarkan pendidikan. Berdasarkan pendidikan, lebih dari 50% pengguna

Jampersal berpendidikan SLTP, bahkan di Sampang hampir seluruh responden

berpendidikan SLTP, disusul di Lombok tengah dan Bogor responden

berpendidikan SLTP > 70%. Sementara itu, yang berpendidikan sampai perguruan

tinggi hanya 8,10% saja. Kondisi ini menggambarkan bahwa sasaran Jaminan

Persalinan sebagian besar adalah pendidikan rendah.

Page 80: Riset Evaluasi Jampersal

41

Gambar 5.5.

Karakteristik Responden Pengguna Jampersal berdasarkan Pendidikan pada sasaran

Riset Evaluatif Implementasi Jampersal Tahun 2012

N= 1.254

Berdasarkan Riskesdas 2010 permasalahan kesehatan pada perempuan

berawal dari masih tingginya usia perkawinan pertama di bawah 20 tahun (4,8%

pada usia 10 – 14 tahun, 41,9% pada usia 15 -19 tahun). Salah satu yang

dilakukan pemerintah adalah dengan mendorong program wajib belajar 15

tahun dengan harapan akan menunda pernikahan dini karena harus mengikuti

pendidikan formal terlebih dahulu (Riskesdas, 2010).

Selain faktor umur dan pendidikan, pengguna Jampersal juga dapat

dilihat berdasarkan jumlah anak yang dimiliki. Berdasarkan hasil penelitian, rata-

rata pengguna Jampersal mempunyai anak kurang dari empat orang. Namun,

masih 12,10% pengguna Jampersal yang mempunyai anak di atas empat orang.

Hal ini perlu menjadi pertimbangan mengapa sasaran Jampersal tidak ada

pembatasan jumlah anak , seperti diketahui semakin banyak jumlah anak maka

resiko dalam kehamilan juga semakin besar. Informasi dari data SP 2010

didapatkan kematian maternal yang mempunyai anak >4 adalah 10,5%.

Page 81: Riset Evaluasi Jampersal

42

Gambar 5.6.

Karakteristik Responden Pengguna Jampersal berdasarkan Jumlah Anak pada sasaran

RisetEvaluatif Implementasi Jampersal Tahun 2012

(N=1254)

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa dari 1787 responden

sasaran ibu hamil, ibu bersalin dan ibu nifas yang menggunakan Jampersal

sebanyak 1254 responden. Dengan kata lain, masih ada sekitar 533 responden

yang tidak menggunakan Jampersal. Hal ini tentu menjadi tanda tanya mengapa

mereka tidak mau menggunakan Jampersal, padahal pelayanan tersebut

merupakan pelayanan gratis yang diberikan oleh pemerintah. Pertanyaan ini

akan dijawab dalam tujuan penelitian tentang akseptabilitas sasaran terhadap

Jampersal.

Page 82: Riset Evaluasi Jampersal

43

5.2 KEBIJAKAN JAMINAN PERSALINAN DI TINGKAT PUSAT DAN DAERAH

Kebijakan Jaminan Persalinan di tingkat Pusat adalah kebijakan Jampersal

berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

2562/Menkes/Per/XII/2011 tentang Petunjuk Teknis Jaminan Persalinan.

Sedangkan kebijakan Jaminan Persalinan di Daerah adalah implementasi

Jampersal di 14 kab/ Kota lokasi penelitian. Petunjuk teknis tersebut mulai

berlaku per 1 Januari 2012.

5.2.1. Kebijakan Jaminan Persalinan di Pusat

Untuk mempercepat pencapaian MDG’s Kementerian Kesehatan RI pada

tahun 2011 melaksanakan program Jaminan Persalinan. Dalam menindaklanjuti

pelaksanaan program Jampersal diterbitkan Peraturan Menteri Kesehatan

Nomor 631/ Menkes / Per /III/2011. Dalam pelaksanaannya Jampersal pada

tahun 2011 banyak ditemukan kendala, walaupun dicanangkan awal 2011 tapi

pada kenyataannya baru dapat dilaksanakan April 2011. Hal ini menimbulkan

beberapa masalah di daerah karena tahun anggaran saat itu sudah berlangsung.

Tahun 2012 diterbitkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

2562/Menkes/Per/XII/2011 tentang Petunjuk Teknis Jaminan Persalinan.

Diharapkan dengan juknis yang sudah disempurnakan dari sebelumnya program

jampersal dapat berjalan lebih baik dari tahun sebelumnya.

Petunjuk teknis untuk pelaksanaan Jampersal tahun 2012 dalam rangka

menurunkan angka kematian ibu dan anak dan mempercepat pencapaian

MDG’setelah ditetapkan kebijakan bahwa setiap ibu yang melahirkan, biaya

persalinannya ditanggung oleh Pemerintah melalui Program Jaminan Persalinan.

Tujuan dari Program Jampersal adalah Meningkatnya akses terhadap

pelayanan kehamilan, persalinan, nifas, bayi baru lahir dan KB pasca persalinan

yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang kompeten dan berwenang di fasilitas

kesehatan dalam rangka menurunkan AKI dan AKB. Adapun tujuan khususnya

adalah

Page 83: Riset Evaluasi Jampersal

44

a. Meningkatnya cakupan pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, dan

pelayanan nifas ibu oleh tenaga kesehatan yang kompeten.

b. Meningkatnya cakupan pelayanan:

a) bayi baru lahir.

b) Keluarga Berencana pasca persalinan.

c) Penanganan komplikasi ibu hamil, bersalin, nifas, dan bayi baru lahir, KB

pasca persalinan oleh tenaga kesehatan yang kompeten.

c. Terselenggaranya pengelolaan keuangan yang efisien, efektif, transparan, dan

akuntabel.

5.2.1.1. Sasaran

Kelompok sasaran adalah yang berhak mendapat pelayanan yang

berkaitan langsung dengan kehamilan dan persalinan baik normal maupun

dengan komplikasi atau resiko tinggi. Sasaran yang dijamin oleh Jaminan

Persalinan adalah Ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas dan bayi baru lahir.

5.2.1.2. Paket Pelayanan

a. Jenis pelayanan Jaminan persalinan di tingkat pertama meliputi:

1. Pelayanan ANC sesuai standar pelayanan KIA dengan frekuensi 4 kali;

2. Deteksi dini faktor risiko, komplikasi kebidanan dan bayi baru lahir

3. Pertolongan persalinan normal;

4. Pertolongan persalinan dengan komplikasi dan atau penyulit pervaginam

yang merupakan kompetensi Puskesmas PONED.

5. Pelayanan Nifas (PNC) bagi ibu dan bayi baru lahir sesuai standar pelayanan

KIA dengan frekuensi 4 kali;

6. Pelayanan KB paska persalinan serta komplikasinya.

7. Pelayanan rujukan terencana sesuai indikasi medis untuk ibu dan janin/

bayinya.

b. Jenis pelayanan Persalinan di tingkat lanjutan meliputi:

1. Pemeriksaan kehamilan (ANC) dengan risiko tinggi (risti)

Page 84: Riset Evaluasi Jampersal

45

2. Pertolongan persalinan dengan risti dan penyulit yang tidak mampu

dilakukan di pelayanan tingkat pertama.

3. Penanganan komplikasi kebidanan dan bayi baru lahir dalam kaitan akibat

persalinan.

4. Pemeriksaan paska persalinan (PNC) dengan risiko tinggi (risti).

5. Penatalaksanaan KB paska salin dengan metode kontrasepsi jangka panjang

(MKJP) atau kontrasepsi mantap (Kontap) sertapenanganan komplikasi.

5.2.1.3. Kepesertaan

Jaminan Persalinan adalah perluasan kepesertaan dari Jamkesmas dan

tidak hanya mencakup masyarakat miskin saja. Manfaat yang diterima oleh

penerima manfaat Jaminan Persalinan terbatas padapelayanan kehamilan,

persalinan, nifas, bayi baru lahir dan KB pasca persalinan. Penerima manfaat

Jaminan Persalinan mencakup seluruh sasaran yang belum memiliki jaminan

kesehatan untuk persalinan.

5.2.1.4. Persyaratan Klaim

1. Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama

Pertanggungjawaban klaim pelayanan Jaminan Persalinan dari

fasilitas kesehatan tingkat pertama ke Tim Pengelola Kabupaten/Kota

dilengkapi:

a. Fotokopi kartu identitas diri sasaran yang masih berlaku (KTP atau

identitas lainnya), dan bagi peserta jamkesmas dilengkapi dengan

fotokopi kartu Jamkesmas.

b. Fotokopi lembar pelayanan pada Buku KIA sesuai pelayanan yang

diberikan untuk Pemeriksaan kehamilan, pelayanan nifas, termasuk

pelayanan bayi baru lahir dan KB pasca persalinan. Apabila peserta

Jamkesmas atau penerima manfaat Jaminan Persalinan non Jamkesmas

tidak memiliki buku KIA pada daerah tertentu, dapat digunakan kartu ibu

atau keterangan pelayanan lainnya pengganti buku KIA yang

ditandatangani ibu hamil/bersalin dan petugas yang menangani. Untuk

Page 85: Riset Evaluasi Jampersal

46

pemenuhan buku KIA di daerah, Tim Pengelola Kabupaten/Kota

melakukan koordinasi kepada penanggung jawab program KIA daerah

maupun pusat (Ditjen Gizi dan KIA).

c. Partograf yang ditandatangani oleh tenaga kesehatan penolong

persalinan untuk Pertolongan persalinan. Pada kondisi tidak ada partograf

dapat digunakan keterangan lain yang menjelaskan tentang pelayanan

persalinan yang diberikan.

d. Fotokopi/tembusan surat rujukan, termasuk keterangan tindakan pra

rujukan yang telah dilakukan di tandatangani oleh sasaran/keluarga.

2. Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan

Pertanggungjawaban klaim pelayanan Jaminan Persalinan di fasilitas

kesehatan lanjutan dilengkapi :

a) Fotokopi kartu identitas diri sasaran yang masih berlaku (KTP atau

identitas lainnya), dan bagi peserta jamkesmas dilengkapi dengan

fotokopi kartu Jamkesmas.

b) Fotokopi/tembusan surat rujukan dari Puskesmas, Fasilitas Kesehatan

Swasta/Bidan Praktik Mandiri di tandatangani oleh sasaran atau keluarga

sasaran.

c) Bukti pelayanan untuk Rawat Jalan dan resume medis untuk rawat inap

5.2.1.5. Pemberi Layanan

Fasilitas kesehatan tingkat pertama swasta seperti Bidan Praktik Mandiri,

Klinik Bersalin, Dokter praktik yang berkeinginan ikut serta dalam program ini

harus mempunyai perjanjian kerja sama (PKS) dengan Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota selaku Tim Pengelola Jamkesmas dan BOK atas nama

Pemerintah Daerah setempat yang mengeluarkan ijin praktiknya. Sedangkan

untuk fasilitas kesehatan tingkat lanjutan baik pemerintah maupun swasta harus

mempunyai Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota selaku Tim Pengelola Jamkesmas dan BOK Kabupaten/Kota yang

Page 86: Riset Evaluasi Jampersal

47

diketahui oleh Tim Pengelola Jamkesmas dan BOK Provinsi. Contoh format

perjanjian kerjasama sebagaimana Formulir 1 terlampir.

5.2.1.6. Besaran Tarif pelayanan

Tabel 5.1. Tarif pelayanan Jaminan Persalinan Tahun 2012

No Jenis pelayanan Frekuensi Tarif Jumlah Keterangan

1. Pemeriksaan kehamilan 4 kali 20.000 80.000 Standar 4x

2. Persalinan normal 1 kali 500.000 500.000

3. Pelayanan nifas termasuk

pelayanan bayi baru lahir

dan KB pasca persalinan

4 kali 20.000 80.000 Standar 4x

4. Pelayanan tindakan pra

rujukan untuk ibu hamil,

bersalin, nifas dan bayi baru

lahir dengan komplikasi.

1 kali 100.000 100.000 Pada saat

menolong

persalinan

ternyata

ada komplikasi,

wajib segera

dirujuk

5. Pelayanan pasca keguguran,

persalinan per vaginam

termasuk pelayanan nifas

dan pelayanan bayi baru

lahir dengan tindakan

emergensi dasar.

1 kali 650.000 650.000 Dilakukan di

Puskesmas

PONED

Sedangkan tarif untuk pelayaan Jampersal di Rumah sakit menggunakan

tarif standart INA-CBG’s.

5.2.1.7. Pendanaan

1. Pendanaan Jamkesmas dan Jampersal di pelayanan dasar dan pelayanan

rujukan merupakan belanja bantuan sosial (bansos) bersumber APBN

yang dimaksudkan untuk mendorong pencapaian program, percepatan

pencapaian MDG’s 2015 serta peningkatan kualitas pelayanan kesehatan

termasuk persalinan oleh tenagakesehatan di fasilitas kesehatan.

Page 87: Riset Evaluasi Jampersal

48

2. Dana belanja bantuan sosial sebagaimana dimaksud pada angka 1(satu)

adalah dana yang diperuntukkan untuk pelayanankesehatan dan rujukan

pelayanan dasar peserta Jamkesmas, pelayanan persalinan serta rujukan

risti persalinan peserta Jamkesmas dan masyarakat sasaran yang belum

memiliki jaminan persalinan sebagai penerima manfaat jaminan.

3. Dana Jampersal di pelayanan kesehatan dasar disalurkan ke rekening

Dinas kesehatan kabupaten/kota, terintegrasi (menjadi satu kesatuan)

dengan dana Jamkesmas.

4. Setelah dana tersebut disalurkan Kementerian Kesehatan ke rekening

Dinas Kesehatan sebagai penanggung jawab program (melalui SP2D) dan

rekening Rumah Sakit, maka status dana tersebut berubah menjadi dana

peserta Jamkesmas dan masyarakat penerima manfaat Jaminan

Persalinan.

5. Dana Jamkesmas dan Jampersal yang disalurkan sebagaimana pada poin

1 s/d 4 di atas, bukan bagian dari dana transfer daerah ke Pemerintah

Kabupaten/Kota sehingga penggunaan dana tersebut tidak melalui Kas

Daerah (Perdirjen Perbendaharaan Nomor: PER- 21/PB/2011). Setelah

hasil verifikasi klaim dibayarkan sebagai penggantian pelayanan

kesehatan, maka status dana menjadi pendapatan fasilitas kesehatan

untuk daerah yang belum menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan BLUD

(PPK-BLUD), sedangkan bagi fasilitas kesehatan daerah yang sudah

menerapkan PPK-BLUD, pendapatan tersebut merupakan pendapatan

lain-lain PAD yang sah, selanjutnya pemanfaatannya mengikuti ketentuan

Peraturan perundang undangan.

6. Pembayaran pelayanan persalinan dan KB bagi peserta Jamkesmas

maupun penerima manfaat Jaminan Persalinan di pelayanan dasar dan di

pelayanan rujukan oleh fasilitas kesehatan dilakukan dengan mekanisme

“Klaim”.

7. Jasa pelayanan KB di pelayanan dasar di klaimkan pada Tim Pengelola

Jamkesmas & BOK di Dinas Kesehatan sesuai besaran yang ditetapkan,

Page 88: Riset Evaluasi Jampersal

49

sedangkan jasa pelayanan KB di pelayanan lanjutan mengikuti pola

pembayaran INA-CBG’s.

8. Transport rujukan risti, komplikasi kebidanan dan komplikasi neonatal

pasca persalinan bagi penerima manfaat Jaminan Persalinan di pelayanan

kesehatan dasar dibiayai dengan dana dalam program ini, mengacu pada

Standar Biaya Umum (SBU) APBN, Standar biaya transportasi yang

berlaku di daerah.

9. Sisa dana pada rekening Tim Pengelola Jamkesmas Kabupaten/Kota yang

tidak digunakan dan/atau tidak tersalurkan sampai dengan akhir tahun

anggaran harus disetorkan ke Kas Negara dan menggunakan Surat

Setoran Bukan Pajak (SSBP).

10. Apabila terjadi kekurangan dana pelayanan persalinan atau pelayanan

persalinan yang sudah diberikan akan tetapi belum diklaimkan/belum

terbayarkan pada akhir tahun anggaran, maka kekurangan atas pelayanan

yang belum diklaimkan/ terbayarkan tersebut akan diperhitungkan dan

dibayarkan pada tahun berikutnya sepanjang ditunjang dengan bukti-

bukti yangsah.

11. Pemanfaatan dana jaminan persalinan pada pelayanan lanjutan

mengikuti mekanisme pengelolaan pendapatan fungsional fasilitas

kesehatan dan berlaku sesuai status rumah sakit tersebut (BLU/BLU(D)

atau PNBP)

5.2.1.8. Proses Pengajuan Klaim

1. Proses klaim bagi fasilitas kesehatan tingkat pertama: Pemberi

layanan Tk pertama mengajukan klaim setelah memberikan

pelayanan kepada Dinas Kesehatan/Tim Pengelola Kabupaten/Kota

dengan melengkapi bukti pelayanan yang sah dan harus di tanda

tangani oleh peserta (ibu hamil, bersalin, nifas). Tim verifikasi

pemberi layanan Tk I melakukan verifikasi dan memberikan

persetujuan membayar kepada masing-masing fasilitas kesehatan.

Page 89: Riset Evaluasi Jampersal

50

2. Proses klaim Jaminan persalinan bagi fasilitas kesehatan tingkat

lanjutan: Fasilitas kesehatan tingkat rujukan melakukan pengajuan

klaim program jaminan persalinan melalui mekanisme klaim

Jamkesmas, yaitu dengan INA CBGs

5.2.2. Kebijakan Jaminan persalinan di Kabupaten/Kota di lokasi penelitian

Kebijakan Jampersal di kabupaten/kota adalah kebijakan Jampersal yang

diimplementasikan daerah yang disesuaikan dengan kondisi dan kebijakan lokal

yang ada di daerah tersebut. Berdasarkan penelitian ini terdapat variasi

kebijakan lokal dalam mengimplementasikan Jampersal. Hal ini sangat

tergantung pada penentu kebijakan di daerah seperti bupati dan kepala dinas

kesehatan.

5.2.2.1. Kabupaten Sampang

Dukungan Pemda Sampang terhadap program Jampersal berupa

penetapan Peraturan Daerah No. 5 tahun 2011, tentang jasa Pelayanan dan

kebijakan Dinas Kesehatan.

“..pada Perda no 5 tahun 2011, ada Pasal karet yang menyatakan berlaku

fleksibel sesuai dengan program pemerintah, Jasa pelayanan persalinan japelnya

75% dari seberapapun besar paket pelayanan persalinan yang berlaku termasuk

jampersal, tanpa merubah Perda cukup mengganti Peraturan Bupati saja. Perda

ini sudah memprediksi untuk hal2 terkait seperti Jampersal sehingga terjadinya

perubahan tarif tidak mempersulit karena cukup merubah Peraturan Bupati

saja..” (kadinkes, Kab. Sampang).

Pelaksanaan Jampersal di kabupaten Sampang mengacu pada juknis

2012, namun terdapat kebijakan lokal terhadap tempat pertolongan persalinan.

Sebagaimana juknis Jampersal 2012, tujuan dari Jampersal adalah meningkatnya

akses terhadap pelayanan kehamilan, persalinan, nifas, bayi baru lahir dan KB

pasca persalinan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang kompeten dan

berwenang di fasilitas kesehatan dalam rangka menurunkan AKI dan AKB. Namun

pelaksanaannya di Sampang, pertolongan persalinan pada Jampersal dilakukan

oleh tenaga kesehatan, tanpa memandang tempat pertolongan persalinan.

Page 90: Riset Evaluasi Jampersal

51

Pertolongan persalinan dapat dilakukan tidak hanya di fasilitas kesehatan, tapi

juga di rumah penduduk. Jadi, bidan dapat mengklaim pertolongan persalinan

yang dilaksanakan di rumah pasien. Menurut informan di Dinas Kesehatan

Kabupaten Sampang.

“..implementasi Jampersal di Kabupaten Sampang mengacu pada juknis

jampersal tahun 2012. Jampersal di Sampang 100% adalah pertolongan

persalinan di tenaga kesehatan tanpa melihat dimana tempat persalinan dapat

di fasilitas kesehatan maupun bukan di fasilitas kesehatan (di rumah penduduk

dll). Kabupaten Sampang menjual nakes tidak faskes..” (Dinkes, Kab. Sampang).

Untuk cakupan pelayanan, diharapkan semua ibu hamil, ibu bersalin, ibu

nifas dan bayi baru lahir mendapatkan pelayanan oleh tenaga kesehatan dengan

syarat tidak memiliki kartu Jamkesmas dan Jamkesda atau tidak mempunyai

jaminan lain. Sedangkan pelayanan rujukan di RS untuk Jampersal semua

persalinan diarahkan ke Jampersal asal masyarakat mau di kelas III. Pertolongan

persalinan pada Jampersal dilakukan oleh tenaga kesehatan, tanpa memandang

tempat pertolongan persalinan di fasilitas kesehatan atau di bukan fasilitas

kesehatan.

Pemberi layanan di puskesmas dan jaringan adalah bidan puskesmas dan

bidan desa, sedangkan PKS hanya untuk bidan swasta (BPS), bidan puskesmas

yang tidak mempunyai wilayah dapat PKS, sedangkan Bidan Desa karena

mempunyai wilayah kerja tidak boleh melakukan PKS.

Kebijakan Jampersal, Dinkes dihadapkan dua persoalan yaitu cakupan

pelayanan untuk kepentingan program KIA dengan kebijakan pembiayaan.

Namun disisi lain, tidak semua pelayanan oleh tenaga kesehatan dapat

diklaimkan. Diharapkan, sasaran yang memiliki asuransi ataupun yang mampu

dapat membayar sendiri pelayanan yang diberikan oleh petugas kesehatan.

Artinya, bahwa pencapaian cakupan pelayanan KIA di Puskesmas, belum tentu

sama dengan jumlah pelayanan yang dilklaimkan.

Alur Klaim Jampersal adalah klaim dari bidan diverifikasi oleh Dinas

kesehatan Prosedur sesuai keuangan daerah. Dana Jampersal yang ditransfer ke

Dinas Kesehatan merupakan dana masyarakat, setelah pelayanan di klaim oleh

Page 91: Riset Evaluasi Jampersal

52

pelayanan, merupakan dana fasilitas puskesmas atau RS (fasilitas

pemerintah)kemudian fasilitas pemerintah menyetor ke daerah, 100% disetor ke

daerah, setelah itu dana dikembalikan ke pelayanan yang terbagi dua yaitu jasa

pelayanan dan jasa sarana. Pengembalian klaim untuk jasa bidan desa pada

jampersal adalah 75%, sedangkan BPM klaim pelayanan sebesar 100%.

5.2.2.2. Kota Blitar

Dalam pelaksanaan kebijakan Jampersal di kota Blitar sangat bermanfaat

bagi masyarakat dan legislatif juga mendukung program tersebut, hal ini

ditunjukkan dengan adanya Perwali di Kota Blitar ini. Selain Peraturan Walikota,

juga terdapat Surat keputusan walikota untuk pengobatan gratis, meskipun

demikian kebijakan Jampersal tetap mengacu pada kebijakan Menteri Dalam

Negeri dan Menteri Keuangan, sehingga dalam pelaksanaannya pun sesuai

dengan petunjuk teknis. Meskipun demikian ada masyarakat mampu dan

seharusnya tidak menggunakan Jampersal, tetapi dalam pelaksanaannya masih

memanfaatkan Jampersal untuk melakukan persalinan.

Paket pelayanan Jampersal adalah: ANC, Persalinan dan PNC dan

Keluarga berencana sesuai dengan juknis. Untuk pelaksanan layanan Jampersal

melibatkan bidan, Bidan praktek swasta (BPS), klinik bersalin, dokter swasta.

Kepesertaan dan persyaratan pengguna Jaminan persalinan adalah masyarakat/

ibu hamil dengan melengkapi persyaratan saja seperti KTP dan KK, partograf ANC

serta inform concern

Alur pelaksanaan klaim sebagai berikut : Persalinan jampersal melengkapi

syarat menggunakan Jaminan persalinan di bidan atau provider, bidan

melengkapi persyaratan klaim kemudian ke Kepala Puskesmas, diperiksa

verifikator setelah disetujui tunggu dana turun ke Dinas Kesehatan, dana turun

ke puskesmas, di Setor ke bendahara Kota, disetor ke Pemerintah daerah dan

akhirnya dicairkan dalam bentuk jasa pelayanan sesuai dengan juknis pusat,

meskipun sampai saat ini dana masih belum bisa keluar, hal ini karena juknis

Jampersal baru keluar sekitar bulan Juni, padahal dana APBD sudah direncanakan

Page 92: Riset Evaluasi Jampersal

53

awal tahun, sehingga jampersal tidak ada dalam mata anggaran (MAK) jampersal

dalam APBD. Hal tersebut menyebabkan dana sampai saat ini belum diterima,

padahal bidan sudah melaksanakan tuganya melakukan persalinan jampersal.

Pencairan klaim untik BPS dimana anggaran tidak harus masuk ke APBD, maka

dana BPS bisa segera diterima oleh bidan.

Besaran jasa pelayanan ketentuannya sesuai dengan juknis pusat, yaitu

350 rb per persalinan normal (Tahun 2011) dan tahun ini naik menjadi 500 rb per

persalinan normal.

5.2.2.3. Kota Mataram

Di Kota Mataram kebijakan Jampersal dengan mengacu pada Petunjuk

Teknis Jampersal tahun 2012 . Pelaksanaannya di tindaklanjuti dengan terbitnya

Surat kesepakatan pembagian jasa pelayanan jampersal tertanggal 10 Mei 2012

yang di fasilitasi oleh Kepala Dinas kesehatan Mataram yang merupakan

kesepakatan di internal Dinas Kesehatan Kota Mataram terutama kesepakatan

dalam pembagian besaran jasa pelayanan.

Kesepakatan ini dibuat atas usulan dari bawah yaitu Bidan dengan

melibatkan seluruh bidan koordinator di puskesmas, bidan desa, IBI, Kepala

puskesmas, Dinas kesehatan dan di fasilitasi Kepala Dinas walaupun belum terbit

SK Walikota katika penelitian berlangsung (bulan Juni 2012) sudah berani untuk

dilaksanakan. Kabar terakhir Surat Keputusan Walikota sudah terbit.

Di Kota Mataram juga berlaku kebijakan open call, dimana masyarakat

bisa dengan mudah mendapat nomor handphone tenaga kesehatan. Di setiap

puskesmas ada nomer tenaga kesehatan yang bisa dihubungi setiap saat. Dari

situ masyarakat bisa menghubungi tenaga kesehatan atau puskesmas.

Kebijakan Jampersal sangat membantu dalam meningkatan persalinan ke

tenaga kesehatan, karena masyarakat mempunyai kendala pada biaya

persalinan. Sebagai contoh di puskesmas karang pule persalinan oleh dukun

menurun yang semula sebelum adanya jampersal 6% sekarang menjadi 2%

persalinan oleh dukun bayi.

Page 93: Riset Evaluasi Jampersal

54

Kepesertaan tetap mengacu pada juknis Jampersal th 2012 , orang yang

tidak mampu tetapi tidak punya kartu Jamkesmas. Sasaran jampersal sudah

terpenuhi untuk persyaratan klaim hanya pakai kartu identitas domisili.

Kepesertaan sasaran bisa diakomodir, cukup pakai KTP suami, atau kartu

pengenal lainnya atau kartu domisili dari kepala lingkungan atau Kartu

Keluarga/Kartu pelajar/ kartu mahasiswa. Tidak dibedakan antar pelayanan

persalinan dari bidan desa maupun BPS, hanya di pelayanan ANC, K1-K4 untuk

BPS tidak mengharuskan memakai jasa ANC dengan Jampersal.

Di Kota Mataram pencairan klaim tidak ada potongan sesenpun (100%).

Alur pencairan setelah dari Kas Daerah ke Dinkes Kota Mataram kemudian ke

puskesmas sesuai klaim. Di Kota Mataram besaran tarif Persalinan berdasrkan

Perda lebih kecil dari tarif Jampersal.

5.2.2.4. Kabupaten Lombok Tengah

Di Kabupaten Lombok Tengah Peraturan Bupati berupa kebijakan untuk

penurunan angka kematian ibu dan bayi yaitu “AKI No” yang berlaku sejak 2009,

sebelumnya sejak tahun 2003 Provinsi NTB pembiayaan persalinan berlaku gratis

dan sejak tahun 2011 Jampersal di berlakukan di NTB.

“..namun demikian penurunan AKI mengalami fluktuatif, banyak faktor yang

mempengaruhi antara lain sumberdaya manusia, biaya dan faktor lainnya. Sejak

tahun 2003 persalinan gratis berlangsung, justru nampak besar dampaknya

pada turunnya angka kematian bayi yaitu tahun 2004 adalah 500/1000 KH dan

tahun 2011 menjadi 141/ 1000 KH..” ( Kadinkes Lombok Tengah).

Dalam pelaksanaan Jampersal Lombok Tengah mengacu pada juknis

Pusat, selain itu juga membuat Juknis penunjang yang menyangkut jasa yaitu

rincian tarif. Sedangkan dukun juga mendapat bagian dalam jampersal dengan

dibuatkan SK dukun untuk mengeluarkannya pembiayaan tersebut. BPS belum

dilibatkan dalam pelayanan Jampersal, sehingga belum terjalin PKS antara Bidan

Praktek Swasta (BPS) dengan Dinas kesehatan. Sementara ini Dinkes masih

tersita dengan penyelesaian masalah keuangan terkait Jampersal yang cukup

rumit. Selain itu ada ketakutan terjadi double claim jika BPS dilibatkan dalam

Page 94: Riset Evaluasi Jampersal

55

Jampersal. Untuk Jasa bidan memanfaatkan pembiayaan Jampersal, sedangkan

transport bidan diambilkan dari dana BOK.

5.2.2.5. Kota Bandung

Kebijakan Jampersal dalam rangka mencapai target MDGs untuk

turunkan AKI dan AKB. Jampersal memudahkan akses dari segi pembiayaan. Di

Kota Bandung Kebijakan Jampersal untuk Pelayanan harus dilakukan oleh tenaga

kesehatan dan di fasilitas kesehatan, dengan mengikuti petunjuk teknis yang

berlaku.

Persyaratan pasien memanfaatkan Jampersal adalah mempunyai KTP

dan KK, jika tidak mempunyai persyaratan tersebut bisa menggunakan surat

keterangan domisili. Untuk pemberi pelayanan kesehatan dilakukan PKS antara

bidan praktek swasta dengan Dinas kesehatan. Sedangkan untuk bidan

Puskesmas bisa melakukan PKS ketika melakukan praktek di luar jam kerja di

puskesmas. Bidan Praktek Swasta / mandiri sudah banyak yang lakukan PKS,

paling tidak di tiap kelurahan sudah ada 1 BPS.

Implementasi Program Jampersal di tingkat puskesmas adalah dengan

penandatanganan informed consent yang dibuat oleh Dinas Kesehatan Kota

Bandung oleh peserta Jampersal yang di dalamnya menyatakan:

1. Bahwa untuk kehamilan dan persalinan ini, saya benar-benar belum memiliki

jaminan persalinan dari badan asuransi pemerintah, swasta, dan masyarakat

atau jaminan pemeliharaan kesehatan lainnya.

2. Bahwa saya bersedia mendapatkan pelayanan pada fasilitas pelayanan

kesehatan tingkat pertama dan tingkat lanjutan (Rumah Sakit) di kelas III

yang memiliki perjanjian kerja sama (PKS) dengan Tim Pengelola Jamkesmas

dan BOK Kota Bandung.

3. Bahwa saya akan bersedia menerima pelayanan jaminan persalinan yang

mengacu pada standar pelayanan kesehatan ibu dan anak sesuai program

Jampersal.

4. Bahwa saya bersedia menggunakan kontasepsi pasca persalinan.

Page 95: Riset Evaluasi Jampersal

56

5. Bahwa saya tidak akan menyalahgunakan jaminan persalinan ini dengan

tindakan yang memungkinkan duplikasi pembiayaannya.

6. Bahwa saya bersedia mematuhi amanat persalinan yang diberikan oleh

pemberi layanan

Pemerintah Kota Bandung tidak membuat suatu aturan khusus terkait

keuangan Jampersal, jadi uang yang diterima oleh puskesmas dikembalikan lagi

ke kas daerah, sesuai dengan mekanisme keuangan daerah yang berlaku. Klaim

untuk BPS setiap bulan cair dan tepat waktu. Pemerintah menyediakan obat dan

bahan medis habis pakai bagi setiap puskesmas. IBI sangat mendukung kegiatan

sosialisasi Jampersal. Ada dukungan BKKBN berupa alat kontrasepsi. Sedangkan

di puskesmas dana Jampersal belum cair, karena dana masih di kas daerah sejak

tahun 2011. Sehingga di Puskesmes belum ada pengembalian dana klaim, yang

sudah diberikan adalah obat, dan bahan habis pakai.

Paket pelayanan Jampersal memberikan pelayanan berupa pemeriksaan

kehamilan sebanyak empat kali, pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan,

pemeriksaan nifas dan bayi baru lahir sebanyak empat kali dan pelayanan KB.

Supaya tidak terjadi penumpukan pasien di rumah sakit tertentu, maka

pemerintah Kota Bandung melakukan pembagian zona rujukan. Jadi akan

mempermudah masyarakat dalam melakukan rujukan pasien Jampersal, karena

dilakukan sesuai dengan domisili pasien.

5.2.2.6. Kabupaten Bogor

Dalam pelaksanaan Jampersal, kabupaten Bogor mengacu kepada

petunjuk Teknis yang ada, belum diterbitkan Perda atau SK di kab. Bogor. Dinas

Kesehatan membuat protap yang merupakan alur pembayaran klaim jampersal.

Dalam alur tersebut dijelaskan secara rinci tentang berapa puskesmas mengklaim

ke Dinas kesehatan per wilayah, jumlah yang di verifikasi, jumlah yang diperbaiki,

dan jumlah yang harus dibayar. Form tersebut dibuat untuk menghindari

permasalahan yan disebabkan berkas menumpuk. Dengan adanya protap adalah

Page 96: Riset Evaluasi Jampersal

57

untuk mempercepat realisasi pembayaran klaim Jampersal. Protap tersebut,

disosialisasikan kepada puskesmas dan juga bidan dan BPS.

Dukungan pembiayaan Daerah adalah Jamkesda. Untuk tahun ini Pemda

menganggarkan 76 milyar untuk Jamkesda. Dinas bekerjasama dengan RS

perbatasan, seperti Tangerang, kota Bogor, dll. Dinas mempunyai 18 RS

(termasuk RS perbatasan), namun diantara 18 RS tersebut, masih ada RS yang

tidak ada MOU dengan Jamkesmas sehingga memakai Jamkesda. Pengaduan

masalah kesehatan dapat online, via SMS, atau lewat Koran, dan email. SMS

langsung ke Kepala Dina, Bupati bahkan anggota dewan juga memfasilitasi.

Syarat klaim adalah fotokopi KTP, catatan pelayanan ANC, partograf dan catatan

nifas, dalam map bukti fisik ada rekapan tersebut dan verifikator mencocokan

antara rekapan dan bukti fisik yang tersedia.

5.2.2.7. Kota Ambon

Dalam pelaksaaan kebijakan Jampersal Kota Ambon, didukung dengan SK

Walikota dan SK Kepala Dinas. Pelaksanaan mengikuti juknis. Ada kebijakan

khusus dari Kadinkes untuk bidan puskesmas diluar jam dinas bisa melakukan

PKS, tetapi bidan PKS yang ada hanya 1, hal ini terjadi karena adanya kendala

dalam mengurus Surat Ijin Praktek.Dalam mengurus Surat Ijin praktek, kendala

yang ada adalah prasyarat jenjang pendidikan yang harus D-III, padahal rata-rata

bidan di Kota Ambon, jenjang pendidikannya masih DI dan untuk sekolah lagi

mereka merasa keberatan masalah dana untuk sekolah. Dinas kesehatan Kota

Ambon mengeluarkan kebijakan terkait pengeluarkan Surat Ijin Praktek Bidan

untuk mengatasi kekurangan tenaga bidan BPS yang PKS.

Paket pelayanan sudah sesuai dengan juknis. Untuk jasa medis, ada

kebijakan dan aturan bahwa harus dipotong untuk PAD sebesar 15 % dan biaya

administrasi 10 %. Kepesertaan adalah ibu hamil, bersalin dan nifas yang

memiliki KTP atau kartu domisili. Persyaratan klaim sesuai dengan petunjuk

teknis. Permasalahan kepesertaan di kota Ambon adalah penduduk banyak yang

tidak mempunyai KTP atau identitas lain.

Page 97: Riset Evaluasi Jampersal

58

Pemerintah Daerah tidak mempersulit dalam prosentase besaran klaim

Jampersal yaitu 20% Kasda dan 80% jasa pelayanan. Selama Jampersal 2011

sampai awal 2012 klaim bidan puskesmas cukup lancar. Dana setelah diklaim

untuk bidan puskesmas 20% masuk kasda sedangkan 80% lagsung ke puskesmas

(bidan) tanpa masuk ke Kasda terlebih dahulu. Tapi kemudian hal ini menjadi

temuan sehingga mulai saat ini dana setelah klaim masuk kasda dahulu. Hal ini

menyebabkan dana menjadi tersedat dan belum cair. Padahal sebelumnya dana

setelah klaim apling lambat 2 mgg sudah bisa cair.

5.2.2.8. Kabupaten Kepulauan Aru

Jampersal di Kab. Kepulauan Aru dalam pelaksanaannya lancar dan tidak

ada masalah karena semuanya menerima kebijakan ini. Tidak ada penerbitan

kebijakan atau aturan baru terkait Jampersal. Semuanya mengacu pada petunjuk

teknis dari Kementerian Kesehatan. Pelaksanaan Jampersal sejak 2011.

Seharusnya Jampersal adalah pelayanan diberikan oleh petugas kesehatan di

fasilitas kesehatan, tapi karena kondisi di Kab. Kepulauan Aru adalah daerah

kepulauan, pelayanan Jampersal adalah petugas mendatangi masyarakat untuk

memberikan pelayanan. Di sini jarang sekali orang datang untuk periksa

kesehatan dalam hal ini kehamilan di fasilitas kesehatan kalau bukan di daerah

perkotaan. Untuk kunjungan ke dusun petugas menggunakan dana operasional

puskesmas atau jika kegiatan puskesmas keliling, momen tersebut juga

digunakan untuk melakukan pelayanan di masyarakat.

Di Kepulauan Aru karena keterbatasan jumlah bidan, perawat juga

melayani pemeriksaan kehamilan dan menolong persalinan dengan

memanfaatkan Jampersal. Hal ini dilakukan melalui kesepakatan, dan dalam

proses klaim dengan mengatasnamakan bidan.

Untuk dukungan dalam pembiayaan dari pemerintah daerah terkait

Jampersal tidak ada, bahkan setelah ada dana tambahan dari pusat (dana BOK),

justru dana operasional dari pemerintah daerah dikurangi.

Page 98: Riset Evaluasi Jampersal

59

Untuk mendapatkan pelayanan Jampersal tidak ada masalah karena

semua masyarakat dapat dilayani tanpa ada syarat tertentu meskipun penduduk

dari luar wilayah. Peserta Jampersal adalah semua ibu hamil dan melahirkan,

baik yang kaya maupun yang miskin. Persyaratan yang diperlukan untuk

mendapatkan pelayanan jampersal hanya KTP. Masalahnya, tidak semua

masyarakat punya KTP, terutama mereka yang berada di pedalaman. Untuk

mengatasi masalah tersebut dan agar masyarakat dapat memperoleh pelayanan

maka digunakan keterangan domisili.

Syarat klaim tersebut adalah partograf, buku KIA, KTP atau surat

keterangan domisili dan ANC harus empat kali untuk bisa klaim pelayanan ANC.

Di Kab. Kepulauan Aru belum ada praktek swasta yang mengajukan klaim

Jampersal.

Pemanfaatan dana jampersal pada tahun lalu bisa dibilang rendah.

Karena dari 22 puskesmas yang ada, hanya sembilan puskesmas yang

memanfaatkan dana jampersal. Sisanya tidak karena memang pada waktu itu

tidak ada tenaga bidannya, padahal yang memberikan pelayanan jampersal kan

seorang bidan. Sekarang di tahun 2012 ini mulai ditempatkan tenaga bidan

honorer.

Jika ada kasus rujukan dari pulau di luar Dobo, memerlukan biaya yang

cukup tinggi untuk transportasi sehingga untuk pembiayaannya dari dana

operasional puskesmas dan keluarga ibu yang bersangkutan. Bahkan seringkali

keluarga yang membiayai transport menuju ke Dobo. Sulit dan mahalnya biaya

transportasi untuk merujuk seringkali menyebabkan kematian Ibu.

“..beberapa bulan kemaren, di desa Ujir, kecamatan Pulau-pulau Aru ada kasus

kematian ibu. Ini tidak tertolong karena tidak ada transportasi yang mengantar

ibu tersebut ke Puskesmas atau RS yang terdapat di Dobo..” (RS, Kab. Kep. Aru).

Kebijakan Rumah sakit sering menerima pasien Jampersal yang tidak

membawa rujukan dengan alasan kemanusiaan, RS tidak pernah menolak pasien

yang datang. Jika terjadi penolakan maka Dinas dan Puskesmas akan

memfasilitasi, sehingga pasien dapat diterima di rumah sakit dengan

memanfaatkan Jampersal.

Page 99: Riset Evaluasi Jampersal

60

5.2.2.9. Kota Kendari

Dalam pelaksanaan kebijakan Jampersal Kota kendari tidak

mengeluarkan kebijakan khusus. Pelaksanaan mengikuti juknis dan mengacu

Perwali retribusi yang sudah berlaku. Untuk persalinan oleh tenaga kesehatan di

fasilitas kesehatan. Paket pelayanan untuk Jaminan persalinan berlaku sesuai

petunjuk teknis dari pusat. Jampersal melayani peserta dari wilayah diluar

Kendari (portabilitas).

Kepesertaan adalah ibu hamil, bersalin dan nifas yang memiliki KTP atau

kartu domisili. Persyaratan klaim sesuai dengan petunjuk teknis. Tenaga

kesehatan pemberi layanan Jampersal di tingkat dasar adalah bidan di

puskesmas, bidan desa, puskesmas poned. Pelayanan rujukan dilakukan “PKS”

RSUD Provinsi dan RSUD Kota. Tidak ada Bidan Praktek Swasta (BPS) dan rumah

sakit swasta yang melakukan “PKS” dengan Dinas kesehatan.

Terdapat pembiayaan BAHTERAMAS (Bangun Kesejahteraan

Masyarakat) yang didukung 3 (tiga) pilar utama, yaitu 1) pembebasan biaya

operasional pendidikan, 2) pembebasan biaya pengobatan dan, 3) pemberian

bantuan keuangan pada pemerintah desa dan kelurahan. Dengan demikian ,

dana APBN dan APBD dialokasikan untuk melaksanakan pembangunan yang

berkeadilan dan pro rakyat. Tarif Bahteramas untuk persalinan adalah Rp.

250.000,- dan perawatan bayi Rp. 50.000,- per hari, sedangkan ANC gratis.

Tarif Jampersal di Kota kendari sesuai juknis. Sedangkan dana yang

kembali ke puskesmas setalah dipotong BHP (bahan habis pakai) sebesar

Rp.35.000,- dan potong pajak 5% -15% tergantung golongan, uang makan Rp.

55.000,-.

5.2.2.10. Kabupaten Wakatobi

Di Kabupaten Wakatobi Peraturan Bupati yang mendukung pelaksanaan

Jampersal belum ada. Untuk pelaksanaan Jampersal di Kabupaten Wakatobi

hanya berdasarkan petunjuk teknis yang sudah dikeluarkan oleh Kementerian

Page 100: Riset Evaluasi Jampersal

61

Kesehatan. Sedangkan untuk pengelola Jampersal tingkat Kabupaten, Bupati

menerbitkan Surat Keputusan untuk Pengelola Jampersal.

Jaminan persalinan sudah dilaksanakan dengan baik. Selama ini kepala

dinas secara aktif terlibat dalam pelaksanaan program Jampersal, terlebih dalam

kegiatan sosialisasi program Jampersal ke stake holder yang ada di bawah

koordinasi dinas kesehatan dan kepada masyarakat. Dana APBD juga

dialokasikan untuk pelaksanaan sosialisasi Jampersal, karena selama ini tidak ada

pos khusus yang digunakan untuk sosialisasi Jampersal. Untuk beberapa kasus

rujukan pasien Jampersal juga sudah ditangani dengan baik. Rujukan

memerlukan biaya yang besar karena wilayah Wakatobi adalah kepulauan.

Selama ini dinas tidak tahu dengan pasti biaya rujukan itu berasal dari mana

karena yang melaksanakan adalah puskesmas.

Sebelum ada program Jampersal, di kabupaten Wakatobi sudah

dilaksanakan pelayanan kesehatan gratis dengan pembiayaan Jamkesda dan

Jamkesmas. Selain itu bagi PNS juga sudah disediakan ASKES. Pembiayaan

Jamkesda didukung oleh APBD, yang bisa juga digunakan untuk membiayai

persalinan.

Dukungan pemerintah daerah dalam pelaksanaan Jampersal sangat

besar. Pemerintah daerah sangat intens mendukung kegiatan yang berhubungan

dengan kesehatan ibu dan anak untuk tahun 2013. Salah satunya adalah dengan

menaikkan anggaran untuk kemitraan dukun dan bidan dengan mengalokasikan

dana khusus bagi dukun yang mau bekerja sama dengan bidan.

Selain itu pihak pemerintah daerah membantu masyarakat dalam

membuat surat keterangan domisili bagi masyarakat yang tidak atau belum

memiliki KTP, karena syarat untuk mendapatkan pelayanan Jampersal adalah

memiliki KTP. Kepesertaan sesuai juknis.

Di Kabupaten Wakatobi klaim dilakukan per paket, artinya untuk satu

orang ibu klaim langsung secara keseluruhan mulai dari ANC sampai dengan PNC.

Verifikasi dilakukan disesuaikan dengan ketentuan dan standar substansinya.

Page 101: Riset Evaluasi Jampersal

62

Misalnya untuk ANC berlaku konsep 1-1-2, yang mana tanggal pelayanan yang

bisa diklaim disesuaikan dengan standar waktunya.

5.2.2.11. Kota Balikpapan

Implementasi kebijakan Jampersal di Kota Balikpapan dilaksanakan sesuai

dengan petunjuk teknis. Belum ada Peraturan Daerah terkait Jampersal, saat

penelitian berlangsung Peraturan Walikota sedang dilakukan penyusunannya.

Pelaksana layanan dasar adalah bidan puskesmas dan bidan praktek

swasta yang juga sudah banyak melakukan PKS dengan Dinas kesehatan.

Kebijakan Jampersal ternyata cukup membantu provider pemberi layanan,

terutama untuk membiayai pasien yang tidak bisa membayar sama sekali atau

setengah miskin. Sebelum ada Jampersal untuk persalinan Jamkesda sebesar

Rp.500.000,- tapi setelah ada pembiayaan Jampersal, maka pembiayaan

persalinan dengan Jamkesda digantikan dengan pembiayaan Jampersal. Untuk

Obat-obatan fasilitas puskesmas tidak ada masalah dalam ketersediaan obat-

obatan, kecuali untuk bahan habis pakai jumlahnya terbatas

Persyaratan untuk klaim jampersal adalah Kartu identitas ( KTP, surat

domisili), buku KIA untuk kalim Antenatal care (ANC) dan ditambah partograf

untuk persalinan. Untuk merujuk ke RS ditambahkan surat rujukan dari

puskesmas. Untuk rujukan ke RS transport gratis merupakan fasilitas dari

pemerintah daerah. Untuk proses klain sejauh ini tidak ada masalah.

Dalam mekanisme klaim di Balikpapan sesuai dengan petunjuk teknis

yaitu ketika klaim sudah cair dan akan disetor kembali ke Kasda tapi belum

dilaksanakan penarikan dana kembali karena Perwali masih dalam proses

sehingga sampai saat penelitian dilaksanakan besaran Jasa pelayanan untuk

bidan puskesmas belum pernah dibicarakan.

Page 102: Riset Evaluasi Jampersal

63

5.2.2.12. Kabupaten Paser

Di Kabupaten Paser sejak Jampersal berlangsung tahun 2011 sampai saat

penelitian belum diterbitkan Peraturan daerah atau Peraturan Bupati , tahun ini

sedang di proses pembuatan Peraturan daerah.

“...sampai sekarang belum ada peraturan bupati ataupun arahan dari Dinas

Kesehatan tentang Juknis Jampersal, sehingga hanya sedikit yang memakai

Jampersal. Dengan BPS tidak ada MoU, ini karena adanya perbedaan tarif..”

(Dinas kesehatan, Kab. Paser).

Sebelum kebijakan Jampersal dilaksanakan, di kabupaten Paser

pelayanan persalinan adalah gratis, sehingga dengan adanya kebijakan Jampersal

tidak sejalan dengan peraturan daerah, dimana tidak ada mata anggaran untuk

jasa persalinan. Ada kendala dalam pelaksanaan Jampersal karena ada

pengalaman terdapatnya “temuan” oleh BPK dalam pengelolaan anggaran BOK

pada tahun sebelumnya yang menyebabkan Kepala Dinas ekstra hati-hati dalam

menerima Jampersal. Hal ini menyebabkan Jampersal kurang berjalan dengan

baik di Kabupaten Paser.

Kepesertaan Jampersal adalah ibu hamil, bersalin dan ibu nifas yang

mempunyai KTP atau Kartu keluarga. Pemberi Layanan Jampersal di pelayanan

dasar adalah bidan puskesmas dan bidan desa. Sedangkan untuk bidan praktek

swasta belum ada yang melakukan “PKS” dengan Dinas kesehatan. Rumah sakit

belum melaksanakan Jampersal, pihak manajemen rumah sakit merasa belum

pernah tersosialisasi Jampersal secara langsung.

Dalam pelaksanaan Jampersal di pelayanan dasar untuk persyaratan

klaim sesuai dengan petunjuk teknis. Besaran tarif jampersal sesuai Petunjuk

teknis yang berlaku. Namun pada tahun 2012 belum ada klaim Jampersal yang

cair karena menunggu terbitnya Peraturan Daerah.

5.2.2.13. Kota Batam

Kebijakan jampersal pada pelayanan persalinan baik, hanya dalam

penyaringan di salahgunakan, terkadang kurang tepat sasaran, karena tidak ada

pembatasan keperuntukan baik orang miskin dan kaya dapat memakai

Page 103: Riset Evaluasi Jampersal

64

Jampersal. Pencapaian MDGs baru menggaung satu tahun sekarang, mulai th

2011. Kebijakan Jampersal dalam pelaksanaan di lapangan dan administrasi

mengikuti sistem yang sesuai petunjuk teknis. Kebijakan Jampersal di Kota

Batam untuk persalinan dilakukan oleh Nakes di fasilitas kesehatan dan terdapat

Perwali untuk Jampersal yang diterbit sejak tahun 2011.

Kepersertaan pasien jampersal tidak menjadi hambatan yaitu ibu hamil

yang tidak punya jaminan dan punya identitas diri berupa KTP, paspor, SIM,

surat domisili oleh RT/RW. Di Kota Batam untuk pelayanan kesehatan dasar

berlaku gratis. Saat ini Pemerintah daerah mengalokasikan insentif untuk tenaga

kesehatan berupa upah pelayanan Kesehatan (UPK). Dengan demikian dana

Jampersal untuk bidan di puskesmas tidak dapat dibayarkan kepada pelaksana

Jampersal di puskesmas. Dan dana Jampersal setelah masuk ke kas negara tidak

dapat ditarik kembali dikarenakan tidak adanya mata anggaran untuk

penyetoran dan penarikan.Untuk mengatasi masalah ini mulai tahun 2013

diterbitkan Peraturan Daerah yang mengatur tarif pelayanan dasar, sehingga

dengan adanya Perda tersebut pada tahun 2013 diharapkan dana Jampersal

untuk bidan puskesmas dan jaringannya bisa di manfaatkan sesuai dengan

aturan yang ada.

Dalam implementasi Jampersal di kota Batam awalnya tersendat karena

klaim hanya Rp.350.000,- yang dianggap terlalu rendah, tetapi dengan kenaikan

tarif menjadi Rp.500.000,- ditambah empat kali pemeriksaan kehamilan, Bidan

BPS yang PKS menjadi bertambah dengan cepat. Saat ini terdapat lebih dari 90

bidan BPS yang PKS dengan Dinas Kesehatan untuk program Jampersal.

Kebijakan untuk provider pelaksana Jampersal adalah Bidan

desa/puskesmas di luar jam Dinas jika sudah mempunyai ijin praktek dapat

melakukan MOU dengan Dinkes. Saat ini di Batam terdapat sekitar 400 bidan tapi

tidak semuanya mempunyai ijin praktek sehingga tidak dapat PKS. Hal ini karena

IBI mensyaratkan bidan PKS harus punya ijin praktek, persyaratan untuk

mendapatkan surat ijin praktek adalah harus mempunyai rekomendasi dari IBI.

Page 104: Riset Evaluasi Jampersal

65

Untuk mendapatkan rekomendasi tersebut bidan harus mengikuti pelatihan APN

dan sebagai anggota IBI aktif selama 1 (satu) tahun.

Kebijakan ini dirasakan cukup memberatkan untuk bidan, sehingga

beberapa bidan di puskesmas termasuk di puskesmas pulau Galang tidak dapat

melakukan PKS dengan Dinas kesehatan. Sehingga terjadi pengklaim Jampersal

beberapa bidan di atas namakan satu bidan yang PKS. Tentu saja hal ini

membuat bidan menjadi tidak nyaman dan berisiko untuk menjadi temuan.

Seperti diketahui bidan puskesmas di Batam, klaim Jampersal sampai saat

penelitian dilakukan belum dapat dicairkan karena terdapat Aturan Daerah yang

tidak memungkinkan untuk pencairan dana Jampersal.

Kebijakan Dinas kesehatan, puskesmas di pulau disediakan rumah tunggu

untuk persalinana yang letaknya didekat rumah bidan. Untuk puskesmas yang

diwilayahnya masih ada dukun seperti puskesmas Bulang dan Galang terdapat

program kemitraan. Pada tahun 2011 ketika program Jampersal dicanangkan,

kemitraan dukun dilaksanakan di dua puskesmas tersebut juga dilakukan dengan

ketentuan ketika ibu bersalin adalah rujukan dukun maka wajib ada bidan

dalam melakukan pelayanan persalinan, baru bisa diklaim/dibayarkan

Jampersal dengan rincian yang disepakati yaitu sebesar 100 ribu untuk jasa

dukun dan 400 ribu jasa pelayanan bidan.

Pada tahun 2011 bidan yang belum PKS dengan Dinas Kesehatan juga

dapat melakukan kemitraan dengan dukun, pembiayaan pelayanan dapat di

klaim dengan Jampersal, tapi tahun 2012 kemitraan hanya bisa dilakukan oleh

bidan PKS saja. Penanganan keluhan pasien khususnya untuk Jamkesmas dan

Jampersal dilakukan di Kota Batam sudah dilakukan melalui tim Jamkesmas di

Dinas Kesehatan.

5.2.2.14. Kabupaten kepulauan Natuna

Kabupaten Natuna adalah satu-satunya kabupaten yang dalam penelitian

ini tidak memanfaatkan pembiayaan Jampersal. Hal ini disebabkan Di Kabupaten

Natuna sejak Tahun 2007 berlaku peraturan bupati untuk pertolongan persalinan

Page 105: Riset Evaluasi Jampersal

66

yaitu Jamkesda Kabupaten Natuna. Sehingga masyarakat Natuna untuk

pertolongan persalinan sudah dibiayai dengan Jamkesda. Jamkesda sudah

mencover seluruh pelayanan untuk kesehatan ibu dan bayi. Peraturan tentang

Jamkesda meliputi 1) Peraturan daerah tentang Jamkesda, 2) Perbub untuk tarif

di RS, 3) Perbub/SK Bupati untuk insentif petugas kesehatan RS, 4) MOU antara

Dinas Kesehatan dan RS, 5) Jasa Pelayanan, SK Direktur.

Ketika terdapat peraturan Menteri Kesehatan untuk Jaminan Persalinan

Dinas Kesehatan kabupaten Natuna melakukan konsultasi dengan Kemenkes

(Pusat), dari hasil konsultasi dikemukan bahwa jika Daerah mempunyai

Pembiayaan untuk persalinan dapat tidak memanfaatkan Jampersal sehingga

diputuskan Kabupaten Natuna tidak memanfaatkan Jampersal. Hal ini

disebabkan jika Kabupaten Natuna akan memanfaatkan Jampersal maka harus

melakukan revisi Peraturan Bupati tersebut. Sebenarnya Dinas Kesehatan

Kabupaten Natuna berkeinginan untuk memanfaatkan Jampersal, sehingga

tahun ini diusulkan untuk dilakukan revisi peraturan Bupati.

Permasalahan saat ini adalah tarif untuk di rumah sakit, yaitu untuk tarif

Perda berbeda dengan tarif INA CBGs, sedangkan saat ini atas instruksi propinsi

Jamkesda harus menggunakan tarif INA CBGs. Kebijakan khusus RS terkait

pelayanan, yaitu untuk anggota TNI/Polri, karena mereka tidak memiliki fasilitas

kesehatan di Natuna, sedangkan mereka bukan peserta Askes, maka RS

mengambil kebijakan untuk memotong biaya pelayanan RS. Potongan bervariasi,

sesuai dengan kemampuan membayar pasien, potongan yang terbesar sampai

50%. Karena mereka juga abdi masyarakat, setiap bulan dipotong 3%, tetapi

mereka tidak bisa menggunakan haknya karena tidak ada fasilitas TNI/Polri di

Natuna, kecuali TNI/Polri yang suami/istrinya adalah petugas RS untuk biaya

kesehatan gratis.

Page 106: Riset Evaluasi Jampersal

67

5.3 AKSEPTABILITAS KABUPATEN/KOTA TERHADAP PROGRAM JAMINAN

PERSALINAN

Akseptabilitas kabupaten/kota adalah penerimaan pemerintahan daerah,

rumah sakit dan puskesmas dan jaringannya dalam pelaksanaan Jaminan

persalinan. Bentuk penerimaan dapat berupa dukungan manajemen, dukungan

dalam sosialisasi dan adanya kebijakan lokal yang berlaku di wilyah

kabupaten/kota.

5.3.1. Dukungan Manajemen, sosialisasi dan kebijakan lokal yang mendukung

Jampersal

Di Kabupaten/Kota Pemerintah daerah memberikan dukungan terhadap

Jampersal dengan bervariasi, walaupun bentuk dukungan secara khusus

misalnya dalam bentuk penyediaan sarana, SDM, peralatan dan bahan habis

pakai dll. dalam mendukung program Jampersal belum dilakukan di semua

kabupaten/kota. Komitmen Kabupaten Sampang untuk mendukung kebijakan

Jampersal adalah dengan adanya Peraturan Daerah No. 5 tahun 2011, tentang

jasa Pelayanan dan kebijakan.

Dinas Kesehatan memiliki perjanjian/memorandum of understanding

(MOU) dengan Rumah Sakit untuk pembinaan dari Rumah Sakit PONEK kepada

Puskesmas PONED. Pembiayaan di tingkat Kabupaten, Pemda tidak

mengalokasikan secara khusus dari APBD. Anggaran pendukung dialokasikan dari

bantuan dana dekonsentrasi propinsi yang diperuntukkan untuk pembiayaan

operasional pembinaan Rumah Sakit Ponek kepada Puskesmas PONED.

Di Kabupaten Sampang sosialisasi Jampersal di kecamatan dilakukan

melalui program Libas 2+ (5 Bebas yaitu, 1) Bebas kematian ibu melahirkan, 2)

bebas kematian bayi, 3) bebas gizi buruk, 4) Bebas TB, bebas bayi tidak

terimunisasi lengkap, sedangkan 2+ adalah pelayanan gratis masyarakat dan

tuntas penanganan kusta. Program ini merupakan program Bupati ,sehingga

dalam sosialisasinya Jampersal melibatkan dinas lintas sektor termasuk dinas

Page 107: Riset Evaluasi Jampersal

68

kesehatan, walaupun ‘bungkusnya” adalah LIBAS bukan Jampersal secara

langsung.

Pemerintah Daerah Kota Blitar mendukung pelaksanaan Jampersal

dengan diterbitkannya Perwali yang didalamnya berisi tentang kebijakan di Kota

Blitar termasuk jasa pelayanan bagi petugas kesehatan. Dalam mendukung

Jampersal dengan menambah jumlah bidan dalam rangka penurunan Angka

Kematian Ibu. Selain itu dukungan pemda ditunjukkan dengan penambahan

sarana untuk bersalin di puskesmas PONED.

Dukungan yang diberikan oleh Pemerintah Kota Kota Bandung adalah

dengan membagi wilayah rujukan ke dalam zona-zona tertentu, supaya tidak

terjadi penumpukan pasien di satu rumah sakit saja. Selain itu, ada peningkatan

jumlah rumah sakit yang bisa menjadi pusat rujukan bagi pasien dengan

komplikasi.

“..RSUD Kota Bandung merupakan rujukan untuk wilayah Bandung Timur, di

wilayahnya terdapat dua puskesmas PONED yaitu Puskesmas Cibiru dan

Puskesmas Padasuka. Seperti diketahui sejak sebulan yang lalu di Kota Bandung

di launching Sistem Kesehatan Kota Bandung dengan melibatkan seluruh

saranan kesehatan di kota Bandung dibagi Zona (jejaring Rujukan)..“ (NN, RSUD

Kota Bandung).

Di Kota Mataram dukungan Pemerintah daerah dengan menyekolahkan

bidan menjadi Bidan dan Perawat menjadi D3 dengan dukungan dana APBD.

Selain itu dilakukan pelatihan bidan oleh SPOG ada empat puskesmas PONED

yaitu Puskesmas Ampenan, Puskesmas Cakra dan Puskesmas Tanjung Karang.

Obat dan BHP disediakan untuk bidan yg melakukan pelayanan di puskesmas

dan Polindes dan terdapat dana khusus untuk operasional BHP.

“..kebutuhan obat dan BHP biasanya PKM menyediakan sendiri tapi juga ada yg

dari dinkes. Penyediaannya dari dana yg berasal dari operasional PKM..” (FGD

Bidan, Kota Mataram).

Di Kabupaten Wakatobi dukungan pemerintah daerah dalam pelaksanaan

Jampersal sangat besar. Dengan adanya Jampersal, maka pemerintah daerah

sangat intens mendukung kegiatan yang berhubungan dengan kesehatan ibu dan

anak untuk tahun 2013. Salah satunya adalah dengan menaikkan anggaran untuk

Page 108: Riset Evaluasi Jampersal

69

kemitraan dukun dan bidan dengan mengalokasikan dana khusus bagi dukun

yang mau bekerja sama dengan bidan.

Di Wakatobi komitmen daerah terhadap pembiayaan Jampersal bagus.

Selama ini daerah sudah menyiapkan dana pendamping, khususnya untuk

membiayai tenaga kesehatan yang harus mendampingi pasien yang di rujuk.

Kami biasanya merujuk ke Bau-bau karena disana sarananya lebih lengkap. Selain

jampersal dan jamkesmas, kami punya bahtera mas dari propinsi untuk

masyarakat miskin dan jamkesda kab. Dana ini yang kami gunakan untuk

membiayai tenaga kesehatan pendamping pasien.

Bupati Wakatobi punya perhatian khusus terhadap Jampersal dan

kesehatan pada umumnya. Ini diwujudkan dengan dibangunnya ruang operasi

yang semoga cepat selesai. Pemerintah kabupaten juga sudah lama

menganggarkan kontrak untuk SPOG sebesar 25 juta setiap bulannya, tapi

sayang tidak ada yang berminat sehingga akhirnya alokasi anggaran itu dihapus.

Padahal juga disediakan rumah dinas dan kendaraan dinas. Pernah diupayakan

kerjasama dengan SPOG di Kendari, perkunjungan akan dibiayai sebesar 4,5

juta,tetapi tidak berjalan juga.

Saat ini Wakatobi untuk tenaga spesialis untuk kebidanan dan Kandungan

adalah kontrak dengan Residen yang sedang mengambil pendidikan. Selama

penelitian berlangsung selama satu minggu Tenaga dokter spesialis tidak dapat

ditemui karena sedang berada di luar Provinsi. Itu kondisi yang ada. Untuk

mengatasi kekurangan tenaga, kami diminta membuat usulan tenaga dokter

spesialis yaitu SPOG. Ini sudah ditindaklanjuti dengan meminta pada Badan

Kepegawaian daerah (BKD) mengenai usulan tenaga tersebut, tetapi belum ada

kabar sampai penelitian selesai dilaksanakan.

Di Kota Batam pelayanan dasar gratis. Untuk tenaga kesehatan terdapat

UPK (upah pelayanan Kesehatan) yaitu insentif di luar gaji berupa upah

pelayanan kesehatan (UPK) dari Pemda yang jumlahnya cukup besar. Ini

merupakan bentuk komitmen dari Pemda terhadap program kesehatan

termasuk Jampersal.

Page 109: Riset Evaluasi Jampersal

70

Dari penelitian ini secara umum kabupaten/kota memberikan dukungan

terhadap kebijakan Jampersal dengan melihat komitmen pengambil kebijakan

dan pelaksana program Jampersal adalah baik, hal ini terlihat dengan adanya

keinginan untuk mensukseskan program ini. Hal ini diperkuat dengan penelitian

dari Armey Yudha tahun 2012 di Kabupaten Lebak yang menyatakan hal yang

sama.

5.4. AKSEPTABILITAS PROVIDER DALAM PELAYANAN KESEHATAN IBU DAN

BAYI BARU LAHIR TERHADAP PROGRAM JAMINAN PERSALINAN.

Dalam pelaksanaan Jaminan Persalinan di kabupaten/Kota peran

pemberi layanan sangat mempengaruhi implementasi Jaminan Persalinan.

Adapun yang dimaksud pemberi layanan (provider) adalah dokter, bidan

puskesmas, bidan desa, bidan praktek swasta dan bidan rumah sakit dan Dokter

Kandungan dan Kebidanan (SPOG). Akseptabilitas/penerimaan provider terhadap

Jampersal mempengaruhi keberhasilan dari tujuan Jampersal. Akseptabilitas

disini adalah penerimaan provider terhadap Jampersal dengan menggali

persepsi, upaya yang dilakukan dalam mendukung kelancaran pelaksanaan

Jampersal. Sosialisasi sangat berpengaruh terhadap penerimaan provider

terhadap kebijakan Jampersal.

Untuk mengetahui penerimaan Provider terhadap kebijakan Jampersal ,

maka akan dibahas sosialisasi yang dilakukan terhadap provider, peneriman

terhadap paket layanan, penerimaan terhadap kepesertaan/sasaran,

pemanfaatan dan persyaratan klaim, besaran tarif pelayanan dan Jasa

Pelayanan.

Page 110: Riset Evaluasi Jampersal

71

Gambar 5.7 Diskusi Kelompok pada Bidan

5.4.1. Sosialisasi Jampersal di Puskesmas dan Rumah Sakit

Gambar 5.8 Bagan Sosialisasi Jampersal di Kabupaten / Kota

Menurut Nawawi (2009) terdapat banyak cara dalam mensosialisasikan

kebijakan yaitu dengan mempublikasikan seremoni penandatangan naskah

kebijakan publik, berita di media masa, seminar dan sarana lainnya seperti

buklet, leaflet dan lain sebagainya.

Page 111: Riset Evaluasi Jampersal

72

Dalam sosialisasi Jampersal di kabupaten / kota terdapat pola yang

hampir sama yaitu dimulai dengan kepala Dinas dan Pengelola Jampersal

kabupaten/kota mendapatkan sosialisasi di Dinas kesehatan Provinsi atau

mendapat sosialisasi langsung dari Kemenkes RI (Pusat Pembiayaan dan Jaminan

Kesehatan). Materi yang di sosialisasikan adalah Juknis Jampersal tahun 2011.

“..pada tahun 2011 pernah ada tiga orang dari Kementerian Kesehatan

(Kemenkes) yang datang ke Pulau Kaledupa, sekalian kami minta untuk

memberikan sosialisasi kepada masyarakat Pulau Kaledupa tentang Program

Jampersal. Sebenarnya tiga orang datang ke Pulau Kaledupa bukan untuk

melaksanakan kegiatan yang berhubungan dengan Program Jampersal.Pernah

juga pihak Kemenkes mengundang seluruh kabupaten di Indonesia untuk

mengevaluasi program Jamkesmas, Jampersal dan BOK di Bali. Dalam evaluasi

itu juga sekalian disosialisasikan program Jampersal..” (Kadinkes, Kab Wakatobi).

“..awalnya dapat informasi Jampersal dari pemerintah provinsi yang membahas

juknis Jampersal. Sosialiasi dari pusat kita dapat dari internet, ada berita-berita

terbaru kami update dari internet kemudian kita ekspos dan kadang kita

kirimkan ke bidan-bidan puskesmas..” (Kabid KIA, Kota Balikpapan).

“..sosialisasi dengan spot iklan di RRI, itu inovasi dari kami dan mendapat

penganggaran dari Propinsi. Penyuluhan di RRI setiap sabtu dimulai tahun

2012. Tahun 2011, sosialisasi dgn pertemuan lintas sektor, kita lanjutkan ke

puskesmas..” (Kabid Yankes, Kota Ambon).

Dinas Kesehatan Kabupaten mensosialisasikan dengan mengundang

kepala puskesmas dan Bidan koordinator,organisasi Profesi karena sosialisasi

tidak ada dana khusus maka pelaksanaan di daerah tergantung Dinas kesehatan

masing-masing, biasanya terintegrasi dengan kegiatan program lainnya. Materi

sosialisasi pada umumnya adalah tentang petunjuk teknis Jampersal meliputi

syarat pengguna Jampersal, paket pelayanan, persyaratan klaim dan, besaran

tarif.

Setiap kabupaten/kota untuk frekuensi dan kualitas sosialisasi sangat

bervariasi dikarenakan tidak ada petunjuk dan anggaran khusus untuk program

Jampersal, sehingga pelaksanaan terintegrasi atau dilakukan bersamaan dengan

kegiatan program lain. Sosialisasi dilakukan oleh pengelola Jampersal Dinas

kesehatan dengan mengumpulkan bidan, kepala puskesmas, bidan koordinasi,

dan bendahara puskesmas. Secara umum sosialisasi untuk provider/pelaksana

pelayanan Jampersal dirasakan kurang.

Page 112: Riset Evaluasi Jampersal

73

Di puskesmas kepala puskesmas meneruskan sosialisasi, biasanya kepala

puskesmas melakukan sosialisasi melalui rapat rutin/minilokakarya di

puskesmas. Sosialisasi pada bidan desa melalui pertemuan rutin bulanan oleh

bidan koordinator. Walaupun sosialisasi terhadap pemberi layanan (provider)

sudah dilakukan, namun frekuensi dan kualitas sosialisasi masih dirasakan

kurang, dari hasil FGD banyak keluhan bidan tentang minimnya pengetahuan

bidan terhadap program Jampersal.

Selanjutnya bidan desa melakukan sosialisasi pada masyarakat, kader

kesehatan, PKK, dukun dan Toma. Bidan memanfaatkan klas ibu hamil sebagai

sarana sosialisasi Jampersal yang cukup efektif pada sasaran. Sosialisasi juga

dilakukan melalui organisasi masyarakat, muslimat, fatayat atau aisiyah, mulai

dari kabupaten sampai desa. Untuk sosialisasi lintas sektoral dilakukan pada

pertemuan atau rapat koordinasi di tingkat Dinas di kabupaten, kecamatan. Di

beberapa kabupaten seperti Sampang sosialisasi oleh Puskesmas ditingkat

kecamatan dengan mengundang camat, kepala desa, kepolisian, dukun. Namun

demikian di beberapa kabupaten/kota sosialisasi dirasakan masih kurang.

“..sosialisasi sudah jalan tapi belum sampai ke akar, seharusnya ada kerja sama

yang baik antara pemerintah dengan aparatur desa..” ( Kota Blitar)

Dalam sosialisasi di kabupaten/kota, dinas kesehatan mengundang juga

rumah sakit yang akan menjadi rujukan Jampersal. Di Kota Ambon, Kota

Balikpapan dan Kota Batam rumah sakit yang menjadi rujukan Jampersal dan

menjalin perjanjian kerjasama adalah Rumah Sakit Provinsi, hal ini juga menjadi

kendala dalam sosalisasi karena Dinas kesehatan kota tersebut merasa sosialisasi

menjadi tanggung jawab Dinas Kesehatan Provinsi. Kondisi ini menyebabkan

komunikasi dan sosialisasi antara Dinas kesehatan Kabupaten/kota dan Rumah

sakit Provinsi tersebut kurang lancar.

Selain itu Rumah sakit mendapat sosialisasi langsung dari Pusat

Pembiayaan Jaminan Kesehatan (P2JK) dengan mengundang Direktur RS atau

pengelola Jamkesmas dan Jampersal. Materi sosialisasi tidak khusus tentang

Jampersal masih secara umum tentang Jampersal.

Page 113: Riset Evaluasi Jampersal

74

“..untuk sosialisasi dari pusat hanya ada pada waktu pertemuan di propinsi.

Waktu itu awal-awal juknis 2011. Tapi kalau pusat datang langsung ke RS tidak

ada. Pada bulan November 2011 di Bali, pusat melaksakan acara evaluasi

pelaksanaan Jamkesmas dan Jampersal 2011 serta rencana kebijakan

Jamkesmas Jampersal 2012. Jadi pada saat itu semua pengelola Jamkesmas

Jampersal dari dinas dan rumah sakit seluruh Indonesia dikumpulkan. Pada saat

ini pihak pengelola belum memiliki Juknis 2012..” (RSUD, Kab Sampang).

“..untuk sosialisasi jampersal di RS, dilakukan oleh pihak humas kerjasama

dengan kasi pelayanan ke puskesmas-puskesmas terutama untuk rujukan

berjenjang. Untuk penyuluhan di RS tdk dilakukan..” (Dinkes, Kota Mataram).

Karena keterbatasan sosialisasi terdapat provider di tingkat rumah sakit

yang beranggapan bahwa pelayanan Jampersala hanya dilaksanakan di tingkat

layanan dasar yaitu di puskesmas dan jaringannya serta bidan praktek swasta

saja.

5.4.2. Pemberi Layanan di Fasilitas Kesehatan Dasar

Dalam memberikan pelayanan kesehatan dasar di puskesmas, puskesmas

PONED dan jaringannya serta BP swasta yang melayani pelayanan KIA, pemberi

layanan (provider) yang memegang peranan dalam pelayanan Jaminan

Persalinan adalah dokter, bidan puskesmas, bidan desa, bidan praktek swasta.

Dalam penelitian ini dilakukan wawancara mendalam dan FGD pada

provider untuk mengetahui penerimaan terhadap Jampersal. Khusus terhadap

bidan dilakukan pengisian kuesioner dengan skala likert dengan self assement

untuk mengetahui persepsi bidan terhadap Jampersal. Persepsi bidan dibentuk

dari beberapa pertanyaan yang dikompositkan. Dari komposit pertanyaan bidan

di peroleh persepsi bidan terhadap Jampersal sbb: 1) dukungan pada kebijuakan

Jampersal, 2) dukungan Jampersal pada program KIA, 3) Sosialisasi Jampersal, 4)

dukungan sarana, 5) kendala implementasi Jampersal, 6) tugas sebagai penolong

persalinan, 7) Jangkauan Jampersal terhadap sasaran, 8) Persepsi tentang merujk

pasien dan, 9) kepuasan terhadap reward (tahun 2012) yang tertuang pada

gambar dibawah ini.

Page 114: Riset Evaluasi Jampersal

75

Gambar 5.9

Persepsi Bidan Puskesmas terhadap Jaminan Persalinan

N=736

Sumber : data self assessment bidan, Riset Evaluatif Implementasi Jampersal 2012

Dari hasil self assessment bidan terhadap kebijakan Jampersal, 94,6%

bidan menyatakan setuju dan mendukung program Jampersal, bidan

menyatakan sebaiknya Jampersal dilanjutkan karena banyak bermanfaat untuk

masyarakat miskin. Selain itu 94,6% bidan menyatakan bahwa Jampersal

mendukung program KIA, yaitu upaya penurunan AKI dan AKB, program ini juga

dinilai mampu memberi dukungan pada masyarakat yang kurang memiliki akses

secara pembiayaan ke tenaga kesehatan.

Sosialisasi masih menjadi tanggung jawab dinas kesehatan. Di puskesmas

sosialisasi kebijakan Jampersal dan sosialisasi pada masyarakat menurut bidan

masih kurang (60,6%). Demikian pula sarana untuk menolong persalinan di

puskesmas/polindes menurut 44,4% responden bidan juga kurang memadai.

Dalam menjalankan tugasnya bidan menghadapi kendala. Persepsi bidan

terhadap kendala meliputi kendala dalam meyakinkan masyarakat untuk

memanfaatkan Jampersal, budaya untuk bersalin di non nakes, akses ke nakes

karena kendala geografis dan masyarakat yang masih lebih senang bersalin

dirumah. Ternyata 35,5% bidan menyatakan masih mempunyai kendala terhadap

Page 115: Riset Evaluasi Jampersal

76

hal diatas 94,3% bidan menyatakan senang dengan tugas yang menjadi

tupoksinya yaitu menolong persalinan, tapi lebih senang jika memberi pelayanan

pengobatan karena menolong persalinan dianggap sangat berisiko. Namun

demikian hasil penelitian ini dengan adanya Jampersal 81,5% bidan menyatakan

senang menolong persalinan sendiri daripada merujuk ke layanan rujukan.

Persepsi bidan terhadap keterjangkauan (akses jarak) masyarakat

terhadap Jampersal, 82,7 % bidan menyatakan yang memanfatkan Jampersal

tidak hanya sasaran yang dekat dengan puskesmas/polindes saja tetapi juga yang

jauh. Kesesuaian reward Jampersal dengan tugas yang dibebankan dan kepuasan

adanya kepastian pembiayaan dengan adanya Jampersal, hasil penelitian

didapatkan 85,6% bidan menyatakan baik.

5.4.2.1. Paket Layanan

Paket pelayanan pemeriksan kehamilan (ANC) adalah pemeriksaan

kehamilan (ANC) yang dibiayai oleh program ini mengacu pada buku Pedoman

KIA, dimana selama hamil, ibu hamil diperiksa sebanyak 4 kali disertai konseling

KB dengan frekuensi a). 1 kali pada triwulan pertama, b). 1 kali pada triwulan

kedua, c). Dua kali pada triwulan ketiga , secara umum bidan dapat menerima,

namun beberapa bidan merasa kurang jika hanya empat kali saja ANC yang

dibiayai oleh Jampersal. Ini karena di beberapa daerah pemeriksaan kehamilan

sebelum ada Jampersal kebijakan Daerah yang menggratiskan pembiayaan ANC

di fasilitas pemerintah, sehingga masyarakat cenderung melakukan ANC pada

tenaga kesehatan lebih dari 4 (empat) kali. Dengan demikian jika masyarakat

melakukan ANC lebih dari frekuensi yang dibiayai Jampersal maka bidan tidak

dapat mengklaimkan pelayanan tersebut.

“..cuma gini pak, untuk masalah ANC, ANC itu kebanyakan ndak 4 kali pak. bisa

tiap bulan, malah kalau ada kasus sebulan bisa 2 kali..” (Bidan Kab. Sampang).

“..paket pelayanan yang diberikan program jampersal, sebenarnya sudah bagus.

Namun namun paket pelayanannya mungkin bisa ditambah, namun ya

tergantung dari Kemenkes. Selama ini paket pelayanan yang diberikan adalah 10

T, mungkin bisa ditambah menjadi 12 T. yang ditambah adalah pemberian tablet

DHA, dan program “Tempelkan Musik Mozart di perut Ibu..” (Bidan Kab. Bogor).

Page 116: Riset Evaluasi Jampersal

77

Dalam salah satu FGD bidan di Lombok Tengah bidan bahkan tidak

mengetahui bahwa paket pelayanan ANC dan PNC dapat di klaim, dalam

pelayanan Jampersal hanya persalinan saja yang dapat di klaim. Hal ini di

karenakan di Loteng sebelum Jampersal sudah ada kebijakan kabupaten gratis

untuk semua pelayanan kesehatan. Untuk ANC secara kuantitas frekuensi lebih

dari 4 kali pemeriksaan, tapi secara kualitas sesuai dengan waktu yang

ditetapkan masih perlu dievaluasi lebih lanjut.

Untuk paket persalinan normal dalam petunjuk teknis dinyatakan

dilakukan oleh nakes di fasilitas kesehatan dengan rawat inap minimal 1 (satu)

hari . Di kabupaten/kota secara umum cukup dan dapat di implementasikan, tapi

ada beberapa kabupaten/kota misalnya seperti kota Balikpapan puskesmas

menyatakan pelayanan persalinan satu hari kurang karena kebiasaan di daerah

tersebut untuk persalinan lebih dari satu hari, sehingga biaya untuk kelebihan

hari dibebankan ke pasien Jampersal.

Demikian pula dengan pelayanan kegawatdaruratan kebidanan, menurut

juknis Jampersal dilakukan di Puskesmas PONED. Apabila hal tersebut

diterapkan, maka hanya sedikit Puskesmas yang dapat melakukan karena

terbatasnya Puskesmas PONED terutama di kabupaten. Pelaksanaannya misalnya

di Kabupaten Sampang ada kebijakan Dinas Kesehatan, bahwa kegawatdaruratan

kebidanan dapat dilakukan tidak hanya di Puskesmas Poned tetapi juga di

Puskesmas perawatan. Seperti pernyataan informan di Dinas Kesehatan

Kabupaten Sampang berikut:

“..bidan melaksanakan pelayanan, misalnya manual plasenta, tidak semua bisa

diklaim, karena kebijakannnya di Puskesmas perawatan. Kita kembalikan ke

program, untuk program itu seperti apa ? untuk puskesmas perawatan, boleh

mengklaim, tapi kalau Poned terlalu jauh, jadi syaratnya Puskesmas Perawatan

saja. Kompetensi bidan, bisa melakukan tindakan selain itu, tetapi tidak bisa

diklaimkan bukan wewenangnya, mungkin sejauh ada pelimpahan tugas bisa

melakukan ini itu mungkin bisa dibijaksana..” (Dinkes, Kab. Sampang).

Untuk persalinan oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan dibeberapa

kabupaten tidak dapat dilaksanakan dengan berbagai kondisi misalnya di

kabupaten Kep. Aru dan Sampang karena geografis sehingga masyarakat masih

bersalin di rumah dengan ditolong oleh tenaga kesehatan, bahkan di Aru

Page 117: Riset Evaluasi Jampersal

78

keterbatasan sarana dan tenaga kesehatan di puskesmas sehingga persalinan

dilakukan di rumah. Berbeda dengan Kab. Wakatobi dimana ada komitmen untuk

persalinan oleh nakes di fasilitas kesehatan, sehingga dilakukan “jemput bola”

dan pasien Jampersal dibawa ke fasilitas kesehatan untuk dilakukan persalinan.

“..pada persalinan normal di puskesmas pasien dirawat antara 1 – 3 hari, jika

pasien dirawat sehari makan gratis sesuai paket Jampersal , tapi jika lebih dari

sehari maka pasien dikenakan biaya tambahan antara Rp. 150.000,- - 300,000,-

untuk mengganti bahan habis pakai dan uang makan pasien..” (Kepala

Puskesmas di Kota Balikpapan).

“..masyarakat disini lebih suka melahirkan di rumah, mungkin merasa lebih enak

di rumah. Lagian di puskesmas tidak ruangan yang..” (Bidan Kab. Kep. Aru).

“..belum punya kesadaran untuk datang sendiri ke sarana kesehatan. Mereka

harus dijemput oleh bidan desa untuk bersalin ke sarana kesehatan. Kalau sudah

mulai sakit, pasien menghubungi bidan kemudian meminta supaya bidan

mengangkut pasien ke sarana kesehatan dengan menggunakan motor atau

mobil ambulan..” (Kepala Puskesmas di Kab. Wakatobi)

Paket Pelayanan Nifas (PNC) adalah Pelayanan nifas sesuai standar yang

dibiayai oleh program Jampersal pada ibu dan bayi baru lahir yang meliputi

pelayanan ibu nifas, pelayanan bayi baru lahir, dan pelayanan KB pasca salin.

Pelayanan nifas diintegrasikan antara pelayanan ibu nifas, bayi baru lahir dan

pelayanan KB pasca salin. Tatalaksana asuhan PNC merupakan pelayanan Ibu dan

Bayi baru lahir sesuai dengan Buku Pedoman KIA. Pelayanan bayi baru lahir

dilakukan pada saat lahir. Dari penelitian ini didapatkan bahwa di

kabupaten/kota PNC dapat diimplementasikan, bahkan dengan adanya paket ini

cakupan PNC meningkat.

Pada beberapa daerah dengan geografis sulit seperti di kepulauan Aru

dan Wakatobi pelayanan nifas dilakukan dengan kunjungan rumah oleh tenaga

kesehatan, demikian juga di beberapa puskesmas dengan geografis cukup sulit

seperti di Lombok Tengah. Untuk transport kunjungan rumah tersebut di Lombok

tengah di biayai dana Bantuan Operasional Kesehatan (BOK), tapi ada beberapa

masalah dalam pelaksanaannya sehingga menjadi temuan.

“..PNC, temuan BPK, OH tdk boleh lebih, transport dari BOK dibayar tdk boleh

lebih dari 30 hari (ini kendalanya), padahal bs aja dlm sehari lebih dari 1

kunjungan/ KN 1 hari 3 kali (harus ada SPT dari kepala Puskesmas). Jadi klo OH

Page 118: Riset Evaluasi Jampersal

79

lebih dari 30 hari tidak dibayar. Padahal klo KN harus dikunjungi, terutama jika

ada kasus..” (Bidan Kab Lombok Tengah).

Untuk paket pelayanan KB belum semua kabupaten/kota menerapkan.

Ada beberapa kabupaten/kota yang menerapkan inform consent untuk

pelayanan Jampersal sampai dengan pelayanan KB. Untuk jenis pelayanan alat

kontrasepsipun masih bervariasi ada yang sudah secara tegas berani

menetapkan kontrasepsi mantap (IUD) misalnya seperti di Puskesmas Puter di

Kota Bandung, tapi secara umum di kabupaten / kota pasien lebih memilih KB

suntik sebagai alat kontrasepsi.

“..Jampersal di puskesmas puter setiap pasien yang menggunakan program

harus menandatangai inform consent sampai menggunakan KB IUD. Namun

beberapa pasien menolak memakai Jampersal ketika diharuskan KB dengan IUD,

pasien lebih baik membayar sendiri..” (kepala Puskesmas di Kota Bandung).

“..kita hanya membatasi KB pasca persalinan, bukan termasuk KB diluar itu,

sedangkan permasalahannya penyediaan alat kontrasepsi terbatas oleh

BKKBN..” (Dinkes, Kab. Sampang)

Di Kota Kendari pelaksanaan KB paska persalinan belum dapat berjalan

secara lancar karena masih adanya budaya di masyarakat yang belum mau ber

KB sebelum 42 hari karena masa nifas dianggap belum perlu untuk menggunakan

alat kontrasepsi. Hal ini menyebabkan lepasnya kesempatan untuk mendapatkan

akseptor KB paska persalinan.

Di Kota Bandung pelayanan Jampersal untuk KB dapat dilakukan paska

placenta langsung pasang IUD tapi masih ada masyarakat yang memilih KB suntik

saja. Walaupun ada di tetapkan pengisian informed consent untuk yang akan

memanfaatkan Jampersal agar menggunaan IUD paska persalinan, masyarakat

memilih untuk melepas Jampersal untuk dapat memanfaatkan KB suntuk dengan

pembiayaan sendiri seperti diutarakan oleh kepala Puskesmas Puter. Beberapa

bidan juga mengeluhkan adanya masalah rujukan ini, bagaimana jika ternyata

yang sudah terpakai ini sudah lebih dari Rp 100.000, padahal penggantian

Jampersal hanya Rp 100.000.

Page 119: Riset Evaluasi Jampersal

80

5.4.2.2. Kepesertaan / sasaran

Sasaran Jampersal adalah kelompok sasaran yang berhak mendapat

pelayanan yang berkaitan langsung dengan kehamilan dan persalinan baik

normal maupun dengan komplikasi atau resiko tinggi untuk mencegah AKI dan

AKB dari suatu proses persalinan.

Sasaran pengguna Jampersal adalah 1). ibu hamil ; 2). ibu bersalin; 3).

ibu nifas sampai dengan paska persalinan 42 hari dan 4). neonatal (0-28 hari).

Batas waktu sampai dengan 28 hari pada bayi dan sampai dengan 42 hari pada

ibu nifas adalah batas waktu pelayanan PNC dan tidak dimaksudkan sebagai

batas waktu pemberian pelayanan yang tidak terkait langsung dengan proses

persalinan dan atau pencegahan kematian ibu dan bayi karena suatu proses

persalinan. Salah satu syarat sasaran yang memanfaatkan Jampersal adalah

belum memiliki Jaminan persalinan.

Terkait sasaran Jampersal sebagian besar provider memasalahkan dengan

tidak adanya pembatasan pada sasaran yang tidak mampu / miskin saja, tapi

juga dapat dimanfaatkan sasaran mampu, selain itu tidak adanya pembatasan

jumlah anak sebagai sasaran Jampersal sebagian provider mengkhawatirkan

akan menjadi berbenturan dengan program Keluarga Berencana. Tapi pada

umumnya (sebagian provider) yang dilakukan wawancara mendalam dan FGD

menerima program Jampersal dengan baik.

“..menurut saya jampersal harusnya untuk masyarakat yang tidak mampu. Jika

ada pasien mampu maka wajib bayar..” (Bidan Kota Ambon).

“..kalau yang lalu ada yang tidak punya ktp sama sekali. Biasanya langsung ke

nakersos saja, nanti dia datang untuk dibuatkan surat terlantar. Misalnya untuk

sakit jiwa dia melahirkan ya pakai surat itu saja. Untuk yang terlantar dinas yang

fasilitasi sama jamkesda..” (dinkes, Kota Balikpapan).

“..program jampersal ini disambut baik, terutama bagi masyarakat miskin yang

bebas dari biaya persalinan, tidak saja pada proses melahirkan tapi sampai pada

biaya pelayanan ke rumah sakit jika ada yang komplikasi..” (Bidan Kota Blitar).

“..beta maunya itu dibuat klasifikasi hanya diperuntukan anak pertama dan yang

tidak masuk Askes saja. Supaya program KB berjalan dengan baik. Pemahaman

masyarakat sekarang dengan adanya jampersal masyarakat merasa enak, mau

buat anak berapa juga tetap gratis..” (Bidan Kep. Aru).

Page 120: Riset Evaluasi Jampersal

81

Sebetulnya dari penjelasan diatas menunjukkan juga keterbatasan

pemahaman bidan pada program Jaminan Persalinan terutama terhadap

pelayanan KB yang merupakan satu paket dalam pelayanan PNC.

5.4.2.3. Syarat dan Mekanisme Klaim

Sasaran Jampersal dapat memanfaatkan Jampersal dengan syarat dapat

menunjukkan kartu identitas berupa Kartu tanda penduduk (KTP). Di kabupaten

Kota persyaratan ini diimplementasikan bervariasi dengan tujuan memberi

kemudahan pada sararan untuk memanfaatkan Jampersal, misalnya dengan

memperbolehkan dengan hanya surat keterangan domisili, Surat Ijin Mengemudi

(kab. Lombok Tengah), KTP suami (Kota Blitar), kartu mahasiswa, Kartu pelajar

(Kab. Lombok Tengah), Kartu Keluarga (kota Ambon), paspor (Kab. Batam).

Dibeberapa Kabupaten kepemilikan KTP untuk sasaran menjadi masalah,

karena masyarakat sering tidak mempunyai KTP. Menurut informan sebelumnya

masyarakat merasa tidak berkepentingan untuk memiliki KTP. Baru ketika

mengetahui bahwa untuk memanfaatkan Jampersal harus memiliki kartu

identitas yaitu KTP, masyarakat mulai merasa pentingnya untuk mempunyai

kartu identitas. Tapi hampir seluruh kabupaten/kota lokasi penelitian

mempermudah persyaratan dengan cukup sasaran membawa surat keterangan

domisili.

“..masalah Identitas ini (KTP/Kartu domisili) ini persoalan yang rumit dan

menjengkelkan, karena ada pasien ibu hamil datang ANC dengan jampersal

tetapi tidak membawa KTP atau identitas lain utk persyaratan klaim, tp sampai

melahirkan belum juga mengurus. Kita sbg bidan yang mengurusnya sampai kita

mencari ke rumahnya ternyata rumanya sudah tdk ada krn banjir, untungnya

bpk raja/lurah mengenalnya jadi bisa dibuatkan surat domisili..” (Bidan Kota

Ambon).

“..jika ada pasien seng punya KTP (tdk punya KTP), tidak punya KK maka

langsung menjadi pasien umum dan harus bayar. KTP tdk ada bs dengan domisili

tetapi disyahkan oleh camat. KK juga harus disyahkan camat..” ( Bidan Kota

Ambon).

Page 121: Riset Evaluasi Jampersal

82

Menurut petunjuk teknis Jampersal di kabupaten/kota dana Jampersal di

pelayanan kesehatan dasar disalurkan ke Rekening Dinas kesehatan

kabupaten/kota, terintegrasi (menjadi satu kesatuan) dengan dana Jamkesmas.

Setelah dana tersebut disalurkan Kementerian Kesehatan ke rekening Dinas

Kesehatan sebagai penanggung jawab program (melalui SP2D), maka status dana

tersebut berubah menjadi dana peserta Jamkesmas dan masyarakat penerima

manfaat Jaminan Persalinan.

Setelah hasil verifikasi klaim dibayarkan sebagai penggantian pelayanan

kesehatan, maka status dana menjadi pendapatan fasilitas kesehatan/puskesmas

yang belum menerapkan BLUD (kebetulan puskesmas yang menjadi lokasi

penelitian kebanyakan adalah non BLUD). Sehingga dana yang sudah di klaim

setelah cair ke fasilitas kesehatan/ puskesmas akan disetorkan kembali

seluruhnya pada kas daerah. Yang kemudian akan dikembalikan pada fasilitas

kesehatan sesuai dengan besaran yang diatur dalam Perbup atau Perwali.

Dalam implementasi dilapangan secara umum kabupaten/kota

melaksanakan alur dana seperti dalam petunjuk teknis, namun ada beberapa

daerah yang masih beranggapan bahwa dana Jampersal masuk dalam rekening

Pemerintah Daerah sehingga sering menimbulkan polemik di daerah.

Dalam petunjuk teknis Jampersal 2012 diterangkan bahwa besaran jasa

medis yang dikembalikan pada fasilitas kesehatan minimal 75%. Namun

demikian pada kenyataannya tidak demikian, terdapat daerah yang lebih besar

dari 75% tapi ada juga yang jauh lebih kecil dari ketentuan di petunjuk teknis.

Besarkecilnya jasa medis yang diembalikan tergantung pada komitmen atau

aturan yang berlaku di daerah tersebut.

Adapun alur pembayaran klaim setelah disetor ke kas daerah

digambarkan pada gambar 5.10.

Page 122: Riset Evaluasi Jampersal

83

Gambar 5.10

Mekanisme Pembayaran klaim Jampersal di Pelayanan Dasar

Di Kabupaten Sampang untuk proses klaim dimulai dengan verifikasi

kelengkapan berkas , pengisian teknis, kelayakan. Setelah itu direkap oleh

pengelola Jampersal, dientry data soft ware Jampersal, jika kuitansi sudah

lengkap bendahara Jampersal membuatkan STSR (surat tanda setor

retribusi) akhirnya disetor ke kas Daerah sebagai PAD. Untuk persyaratan klaim

berdasarkan nama pasien, jenis tindakan dan besaran tarif, sedangkan berkas

klaim yang lain dibawa kembali ke Puskesmas yaitu buku KIA, partograf, bukti kb

dll, identitas, setelah selesai diverifikasi, disimpan di Puskesmas.

“..jasa pelayanan bidan harus melalui jalan yang cukup panjang untuk bisa

dibayarkan, berharap agar sistem klaim lebih di sederhanakan..” (Bidan Kota

Blitar).

“..Kalau tahun yang lalu 2011, kami mengeluarkan klaim sekitar 40% karena

program jampersal tidak melalui kas daerah, tetapi hal tersebut menjadi

temuan, sehingga kami tidak berani lagi mengeluarkan klaim jasa pelayanan

jampersal..” (Pengelola Jampersal, Kab Paser).

“..bidan bisa menerima besaran jasa pelayanan. Dinas kesehatan sangat baik

dalam membantu pencairan dana. Kalau ada dana turun maka kami di

puskesmas selalu diberi tahu bahwa dana jampersal sudah ada silahkan segera

mengajukan klaim. Kami menerima dana jasa pelayanan penuh, tidak ada

potongan dari dinas kesehatan. Teman-teman bidan secara sukarela

menanggung biaya perjalanan dan penginapan saya ke wanci (ibukota wakatobi)

saat mengurus klaim..” (Pengelola Jampersal, Kab. Aru).

Page 123: Riset Evaluasi Jampersal

84

Masalah dalam pengklaiman dibeberapa daerah ditemukan misalnya di

kota Ambon, Balikpapan antara lain adalah lamanya proses verifikasi di dinas

kesehatan. Hal ini disebabkan banyaknya berkas yang harus diverifikasi tetapi

jumlah tenaga verifikator terbatas dan merangkap tugas lain.

Untuk menanggulangi masalah ini kepala Dinas Kab. Sampang melakukan

percepatan dengan berkas yang harus diperbaiki akan dikembalikan pada

puskesmas untuk perbaikan, tetapi berkas yang sudah ada di dinas Kesehatan

tetap berjalan dan akan diganti setelah perbaikan sehingga proses tetap berjalan

walaupun berkas ada perbaikan. Di daerah uji coba penelitian Kab. Mojokerto,

kepala dinas kesehatan menetapkan verifikator di puskesmas.

“..adanya tenaga verifikator di puskesmas yaitu bidan koordinator sebagai

pelaksananya sehingga diharapkan dengan adanya verifikator di puskesmas akan

membantu verifikator di Dinas kesehatan di Dinkes dalam melaksanakan

tugasnya. Karena dengan keterbatasan tenaga verifikator di Dinkes sistem ini

diharapkan klaim menjadi lebih cepat..” (Kepala Dinas, Kab. Mojokerto)

Proses pengembalian dana setelah dari kas daerah ke puskesmas juga

sering sekali menjadi kendala lamanya uang cair ke provider. Hal ini disebabkan

karena proses mekanisme keuangan daerah.

“..Puskesmas klaim ke DKK tapi uang tidak diterima puskesmas. Untuk

persalinan itu hanya terima Rp 50.000 untuk jasa. Dipotong untuk jasa lainnya

tambah ppn. Ada penggantian obat dan lainnya. Persyaratan klaim susah karena

ada yang tidak punya KTP. Klaim untuk infus tidak diganti oleh Jampersal. Tapi

untuk jumlah riilnya tidak tahu karena diakumulasi. Proses pengajuan klaim

susah. Klaim bisa satu minggu aja. Untuk klaim itu dikirim sebelum tanggal 10

bulan selanjutnya. Biasanya lewat tanggal 20 baru turun gitu. Jarak klaim sama

pencairan tidak terlalu lama..” (Puskesmas, Kota Bandung).

“..klaim untuk BPS tiap bulan cair dan tepat waktu. Kalau mau klaim harus

telpon dulu, soalnya petugasnya tidak stand by. Pengajuan klaim dengan per

bulan membuat ribet dan membuat repot. Klaim BPS harusnya bisa diambil di

Puskesmas..” (Dinas kesehatan, Kota Bandung).

“..dalam mekanisme klaim di Balikpapan ketika uang sudah cair dan akan disetor

ke Kasda maka dilakukan penyobekkan karrcis sebanyak jumlah uang yang di

klaim. Yang menjadi masalah adalah untuk pelayanan ANC karena biaya karcis

untuk ANC menurut Perda Rp. 5000,- maka setiap ada ANC dilakukan

penyobekan karcis 4. Kepala puskesmas keberatan karena tidak masuk akal

Page 124: Riset Evaluasi Jampersal

85

dalam pencatatan 1 orang melakukan ANC 4 kali dalam sehari..” (Puskesmas,

Kota Balikpapan).

“..sampai saat ini jasa pelayanan Jampersal untuk bidan puskesmas untuk

tahun 2012 belum ada yang cair. Jika cair nanti besaran yang diusulkan dari

Dinkes 75% untuk jaspel dan dana operasional di puskesmas (jika disetujui

pemerintah kota), puskesmas akan mengikuti aturan tersebut. Tapi sampai saat

ini belum ada penjelasan pasti dari Dinkes..” (Dinkes Kota Balikpapan).

Untuk proses klaim dana Jampersal pada bidan BPS yang melakukan PKS

dengan dinas kesehatan pada umumnya tidak ditemukan kendala dalam

prosesnya. Proses cairnya juga lebih cepat dan lancar dibandingkan bidan di

puskesmas dan jaringannya yang non BLUD. Besaran tarif pada bidan PKS pada

umumnya diterima sesuai dengan petunjuk teknis yang berlaku.

Lebih mudahnya proses klaim dan pencairan dana pada BPS dikarenakan

tidak perlu melalui mekanisme keuangan daerah tapi langsung melalui dinas

kesehatan. Untuk itu di beberapa kabupaten/kota seperti Batam dinas kesehatan

untuk pelayanan Jampersal di layanan dasar mendorong BPS yang PKS

diharapkan dapat memanfaatkan Jampersal. Namun sayang sekali tidak banyak

bidan BPS yang dapat memanfaatkannya dikarenakan terkendala dalam

pengurusan PKS dikarenakan tidak dapat memenuhi persyaratan terutama

dalam pengurusan surat ijin praktek, dimana terdapat persyaratan yang

ditentukan oleh profesi yang harus dipenuhi.

5.4.2.4. Besaran Tarif Pelayanan

Dalam petunjuk teknis besaran tarif Jampersal tahun 2012 untuk ANC

menjadi Rp. 20.000,- dengan frekuensi pemeriksaan 4 (empat) kali , persalinan

normal Rp.500.000,- , PNC Rp. 20.000,- dengan frekuensi 4 (empat) kali dan

tindakan pra rujukan Rp. 100.000,-.

Dari hasil penelitian didapatkan secara umum tidak ada masalah dengan

besaran tarif untuk ANC. Di Kabupaten/kota lokasi penelitian besaran tarif

persalinan menurut sebagian besar provider di layanan dasar sudah cukup bagus

sesuai dengan perda (rata-rata antara Rp. 200.000 sampai dengan Rp.700.000,-).

Walaupun di beberapa kabupaten/kota tarif Jampersal dibawah tarif yang

Page 125: Riset Evaluasi Jampersal

86

berlaku pada umumnya di wilayah tersebut terutama untuk BPS misalnya seperti

di Balikpapan, Batam, Bandung dll. Alasan perlu dinaikkan tarif tersebut karena

menurutnya ada biaya lain yang perlu dibayarkan ketika menolong persalinan

misalnya biaya dukun untuk pasien yang merupakan rujukan dukun, memberi

makan pada pengantar pasien selama pasien dirawat melahirkan, BHP dll.

Namun demikian menurut bidan dan ketua IBI (Ketua IBI Bandung)

sebagai responden penelitian ini, dengan tarif bidan yang tinggi, tidak semua

pasien dapat membayar sesuai dengan tarif tersebut bahkan beberapa pasien di

gratiskan karena tidak mampu membayar. Sebetulnya dengan adanya Jampersal

bidan merasa ada kepastian dalam pendanaan dari setiap pasien yang

memanfaatkannya dan dapat melakukan subsidi silang. Hanya masalahnya tidak

di semua kabupaten/kota klaim dapat cair dengan cepat dan lancar sehingga

bidan harus mengeluarkan biaya yang cukup besar terlebih dahulu sebelum dana

dapat dicairkan. Untuk besaran tarif karena adanya variasi dari nilai fiskal daerah,

geografis dll ada yang mengusulkan untuk dilakukan regionalisasi pada tarif.

“..menurut saya kalau persalinan normal, paket pelayanan sudah cukup,

maksudnya persalinan tanpa ada perdarahan. Kalau persalinan yang mengalami

kegawatdaruratan kita juga yang menangani, tapi ternyata dibayar cuma segitu.

Misal kalau ada kasus perdarahan maupun manual plasenta, kami

menanganinya, tapi ternyata dibayar cuma sesuai dengan tariff di juknis..”

(Bidan Kab. Bogor).

“..sudah sesuai mulai dari ANC, persalinan sampai PNC, hanya saja tarifnya apa

bisa ditingkatkan, karena di sini semua lebih mahal dibandingkan dengan di

jawa, untuk bahan habis pakai saja kami menghabiskan lebih dari 200.000..”

(Bidan kab. Paser).

“..karena membayar dukun, jadi bidan hanya 400 rb.keluhan bidan itu kurang

sdh melayani pasien. Minta ditambah, kalo bisa sampe 700 rb. Apalgi kalo di

wilayah PKM galang ini wilayah kerjanya luas dan jauh2 jadi biaya tersebut juga

sbg biaya transport bidan dalam menolong persalinan jika harus dipanggil ke

rumah pasien. krn BHP sendiri, makan minum pasien, klo boleh dinaikkan sedikit

dg tarif 750 rb disesuaikan dg tarif umum..” (Puskesmas. Kota Batam).

“..besaran tariff sudah cukup bagus sesuai dengan perda, perda mengatur

besaran persalinan oleh bidan sebesar Rp 350.000, dengan adanya paket

jampersal untuk besaran tarif Rp 500.000 untuk persalinan oleh bidan, maka

bidan desa akan menerima 75% dari Rp 500.000..” (Puskesmas, kab. Sampang).

Page 126: Riset Evaluasi Jampersal

87

“..tarif jampersal lebih baik dibandingkan tarif puskesmas..”(Puskesmas, Kota

Kendari).

“..perlu ada regionalisasi tarif, sebab tarif persalinan tiap daerah berbeda-

beda..” (Dinas kesehatan, Kota kendari).

“..pada tahun lalu saat masih pakai tarif Pemda biaya persalinan Rp. 350.000,-,

sedang tarif umum tidak ada, karena semua bidan di sini adalah bidan

pemerintah 24 jam. Jadi untuk tarif jampersal dirasa cukup. Yang masih belum

ada dalam jampersal adalah biaya untuk petugas pendamping saat melakukan

rujukan..” (Bikor, Kab. Aru).

Di Kota Balikpapan dan Kabupten Paser, dimana tarif persalinan normal

cukup tinggi yaitu lebih dari Rp.1.000.000,- bahkan di Kota Balikpapan untuk klas

VIP tarif bidan untuk persalinan normal dapat lebih dari Rp. 3.000.000,-.

Sehingga tarif Jampersal dianggap kurang memadai. Data penelitian ini di

wilayah ini didapatkan di luar pembiayaan Jampersal terdapat juga pasien yang

membayar biaya tambahan. Hal ini didukung adanya kesepakatan IBI bahwa

bidan dapat menarik biaya tambahan kepada pasien dalam batasan tertentu.

Berbeda untuk kabupaten kepulauan misalnya di kabupaten Kep. Aru dan

kabupaten Wakatobi, tidak masalah dalam tarif Jampersal tetapi yang menjadi

masalah adalah kurangnya akses transportasi dan mahalnya biaya transportasi

serta terbatasnya sarana dan sumberdaya manusia yang ada. Sehingga untuk

kabupaten kepulauan Aru, Wakatobi biaya transpotasi ke pelayanan kesehatan

dapat jauh lebih mahal dibandingkan biaya persalinannya sendiri. Dengan

demikian biaya transportasi merupakan faktor penting untuk mendapatkan

pelayanan persalinan di fasilitas kesehatan.

5.4.2.5. Jasa Pelayanan

Di dalam petunjuk teknis Jampersal tahun 2012 , jasa pelayanan untuk

persalinan ditetapkan untuk ; 1). Puskesmas non BLUD minimal adalah 75% dari

tarif persalinan normal yaitu Rp. 500.000,-. 2) Puskesmas BLUD setelah dana di

klaim maka menjadi dana pendapatan/penerimaan fasilitas kesehatan ; 3)

sedangkan untuk BPS 100% menjadi jasa pelayanan.

Page 127: Riset Evaluasi Jampersal

88

Dalam implementasi untuk BPS dan puskesmas BLUD jasa

pelayanan dapat diterima dengan waktu yang relatif lebih cepat dan

lancar dan dapat diterima 100%, karena tidak melalui mekanisme keuangan

daerah. Sedangkan untuk puskesmas non BLUD (semua puskesmas dalam

penelitian ini adalah non BLUD) untuk dana Jampersal 2012 terkendala dengan

mekanisme keuangan dimana setelah proses klaim dana yang telah menjadi

pendapatan/penerimaan fasilitas kesehatan (Puskesmas) mengikuti ketentuan

peraturan perundang-undangan, yaitu dana disetor ke kas daerah kab/kota

masing-masing.

Beberapa kabupaten/kota (Sampang, Blitar, Mataram, Lombok tengah,

Ambon, Batam) menerbitkan Perbup/Perwali untuk mengatur Jampersal.

Walaupun demikian tidak semua daerah lancar dalam proses pencairannya

terkendala masalah teknis misalnya di Sampang karena jumlah realita klaim

Jampersal jauh lebih besar dari perencanaan Jampersal 2012, maka untuk

mencairkan dana berikutnya diperlukan menunggu dana Perubahan Anggaran

Keuangan (PAK) sehingga bulan November baru dapat di cairkan.

Kota Blitar ketika Perwali terbit belum terdapat mata anggaran untuk

menyetoran dan penarikkan kembali, Kota Batam karena sudah terdapat

anggaran untuk jasa pelayanan untuk tenaga kesehatan, sehingga tidak

dimungkinkan untuk menarik jasa pelayanan lagi.

Kabupaten Kepulauan Aru, Wakatobi walaupun tidak mengeluarkan

Perbup /Perwali mengikuti proses klaim juknis Jampersal 2011 yaitu penerimaan

fasilitas kesehatan tidak disetorkan ke kasda keseluruhan, tapi prosentase yang

menjadi hak daerah saja yang disetorkan. Di Kota Bandung untuk jasa pelayanan

di puskesmas non BLUD mengikuti Perda yang ada tanpa membuat peraturan

baru untuk Jampersal, hanya masalahnya besaran jasa pelayanan dalam Perda

jauh lebih rendah dari besaran jasa pelayanan Jampersal untuk persalinan

normal.

Page 128: Riset Evaluasi Jampersal

89

5.4.3. Pemberi Layanan di Fasilitas Kesehatan Rujukan

Dalam memberikan pelayanan di fasilitas kesehatan rujukan, provider

pelaksana yang memegang peranan dalam pelayanan Jampersal adalah bidan

rumah sakit dan SPOG. Dalam penelitian ini dilakukan wawancara mendalam

pada provider untuk mengetahui penerimaan terhadap Jampersal. Provider di

rumah sakit pada umumya mendukung kebijakan Jampersal dalam upaya

mencapai target MDGs.

“..Jampersal bermanfaat terutama untuk masyarakat yang dulunya ke dukun

sekarang ke nakes, demikian masyarakat yang sebelumnya ada permasalahan

dengan ekonomi. Sejak ada Jampersal pasien di rumah sakit menjadi lebih

banyak dari sebelumnya bisa sampai hampir dua kali lipatnya. Disamping itu

dengan kunjungan dokter obgyn ke puskesmas PONED secara bergiliran

meningkatkan jumlah pasien ke RS demikian juga atas motivasi bidan dan

pendampingan bidan jkia merujuk ke rumah sakit menyebabkan kunjungan ke

RS juga menjadi meningkat..” (RSUD, Kab. Sampang).

5.4.3.1. Paket Layanan

Di rumah sakit petunjuk untuk Paket layanan Jampersal pada umumnya

adalah sesuai dengan petunjuk teknis yang ada. Provider tingkat lanjutan

memberikan pelayanan untuk pasien rujukan yang tidak bisa ditangani oleh

provider kesehatan tingkat pertama. Namun kenyataannya tidak demikian,

karena banyak pasien yang tanpa rujukan langsung datang sendiri ke pemberi

pelayanan tingkat lanjutan.

Untuk paket pelayanan Jampersal semua kasus yang berhubungan

dengan kehamilan dan persalinan, ditanggung oleh Jampersal, termasuk penyakit

yang berkaitan dengan kehamilan dan persalinan yang dapat membahayakan

jiwa ibu.

“..pada waktu awal pelaksanaan jampersal tahun 2011 untuk kiret dan KET

terkadang mereka masih suka bingung ini masuk jampersal atau tidak. Tapi

untuk yang sekarang sudah lebih jelas bahwa untuk semua kasus kehamilan

akan ditanggung semua. Kecuali untuk kasus ginekologi..” (RSUD, Kab. Sampang)

Provider (Bidan, SPOG) pada umumnya tidak mempermasalahkan paket

pelayanan yang ditetapkan dalan juknis, tapi banyak provider yang tidak

tersosialisasi dengan jenis paket pelayanan Jampersal. Sering timbul masalah

Page 129: Riset Evaluasi Jampersal

90

dalam pengklaiman jika ada pasien Jampersal yang dirujuk dari pelayanan dasar

karena komplikasi tetapi di rumah sakit dapat bersalin secara normal.

Kendala lain yang dihadapi adalah pasien kadang tidak mau bersalin di

pemberi pelayanan tingkat pertama, mereka langsung bersalin di pemberi

pelayanan kesehatan tingkat lanjutan (dalam hal ini rumah sakit, baik negeri

maupun swasta), hal ini mengakibatkan adanya peningkatan jumlah pasien yang

bersalin di rumah sakit. Padahal, di dalam Juknis disebutkan bahwa ibu hamil, ibu

bersalin dan ibu nifas yang ingin mendapatkan pelayanan Jampersal dilayani oleh

pemberi pelayanan di tingkat pertama. Sedangkan pemberi pelayanan tingkat

lanjutan adalah pelayanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan spesialistik

untuk pelayanan kebidanan dan bayi baru lahir kepada ibu hamil, bersalin, nifas,

dan bayi baru lahir dengan resiko tinggi dan atau dengan komplikasi yang tidak

dapat ditangani pada fasilitas kesehatan tingkat pertama yang dilaksanakan

berdasarkan rujukan atas indikasi medis.

Kebanyakan di sini pasien yang datang persalinan dengan komplikasi atau

penyulit. Setelah persalinan biasanya pasien akan diserahkan kembali ke

puskesmas untuk mendapatkan perawatan pasca nifas. Pelayanan pasien

Jampersal sama dengan pelayanan untuk pasien umum. Untuk pelayanan KB

paska Nifas tidak semua RS mengetahui.

“..Belum ada ketegasan program jampersal yang mengharuskan peserta

jampersal harus ikut KB, akibatnya banyak peserta yang tidak mau ikut KB , dan

banyak yang memanfaatkan program jampersal ini untuk sering hamil (pumpung

gratis) tanpa memperdulikan masa depan anak dan ibunya yang apabila sering

melahirkan dan banyak anak akan lebih beresiko. Bila demikian apakah target

untuk menurunkan AKI bisa tercapai? Seharusnya program jampersal harus

tegas di ikuti dengan program KB..” (NN, RSUD).

5.4.3.2. Kepesertaan

Untuk sasaran Jampersal di rumah sakit, sebaiknya dilakukan pembatasan

pada masyarakat tidak mampu dan benar-benar tidak mempunyai Jaminan. Hal

ini perlu karena pengguna Jampersal ternyata banyak dari masyarakat yang

mampu dan sudah mempunyai jaminan kesehatan lain misalnya Askes.

Sedangkan menurut juknis Jampersal menyatakan bahwa sasaran Jampersal

Page 130: Riset Evaluasi Jampersal

91

adalah ibu dan bayi yang belum mempunyai jaminan kesehatan. Namun dalam

kenyataannya, banyak pengguna Jampersal telah memiliki jaminan kesehatan,

namun pelayanan yang dinginkan tersebut tidak lagi ditanggung dalam paket

pelayanan asuransi yang diikutinya.

“..pihak rumah sakit berharap adanya pembatasan dalam hal kepesertaan.

Karena terkadang ada pasien yang memiliki askes tapi untuk anak ke 4 mau

ditanggung dengan jampersal. Jadi dikhawatirkan ini akan menjadi tumpang

tindih dengan asuransi lainnya..” (RSUD, Kab. Sampang).

“..semua ibu yang tidak memiliki kartu Jamkesmas dan Jamkesda..” (Pengelola

Jampersal, RSUD).

“..hambatannya sebetulnya tidak ada, tetapi banyaknya masyarakat yang

mampu tetapi masih menggunakan fasilitas jampersal, tetapi tetap tidak bisa

menolak, karena pada prinsipnya jampersal adalah bagi seluruh masyarakat

yang melakukan persalinan di kelas III..” (Pengelola, RSUD ).

Kepesertaan Jampersal berlaku prinsip portabilitas, dimana pemberi

pelayanan kesehatan baik di tingkat pertama maupun lanjutan menerima pasien

yang berasal dari daerah manapun. Sasaran dapat memanfaatkan Jampersal

di fasilitas rujukan dengan membawa KTP, kartu domisili, KK, buku nikah, SIM,

kartu pelajar. Selain itu pasien membawa rujukan, partograf dan buku KIA ( RSUD

Mataram), keterangan RT, RW/ Kelurahan bahwa ybs tidak mampu (RSUD, Kab.

Kep. Aru).

“..yang perlu di di klarifikasi adalah masalah partograf , mengapa setiap

persalinan harus ada partografnya padahal untuk kasus letak lintang,sungsang

ini tidak masuk akal. Karena yang menerima di depan tidak tahu tentang teori.

Seharusnya partograf hanya untuk kasus persalinan letak kepala pada fase aktif

pada fase laten tidak bisa mengisi partograf. Ini menjadi masalah kalau partograf

menjadi syarat yang diwajibkan untuk pasien jampersal. Terkadang saya kasihan

ke pasien karena mereka tidak mengerti karena masalah ini ditolak sehingga

harus wira wiri..” (SPOG, Kab. Sampang).

5.4.3.3. Syarat Klaim

Pengajuan klaim di rumah sakit pada umumnya disesuaikan dengan juknis

yang ada, persyaratannya KTP dan rujukan. Persyaratan pengajuan klaim yang

penting sudah ditanda tangani verifikator independen dan direktur. Klaim

diajukan ke pusat melalui kurir & konfirmasi dari pusat via telpon.

Page 131: Riset Evaluasi Jampersal

92

Mekanismenya, biasanya kami padukan dengan bagian verifikator

independennya, jadi setelah pasien masuk, kemudian di data sesuai dengan

syarat yang ada kemudian di input datanya kemudian diperiksa kelengkapannya

jika sudah sesuai maka akan di tandatangani oleh direktur selanjutnya berkas

klaim tersebut dikirim ke Pusat oleh petugas administrasi pelayanan terpadu di

rumah sakit. Biasanya berkas klaim yang dikirim itu ada dalam bentuk software

tapi juga print- outnya dikirim. Selanjutnya kami tinggal menunggu feedback dari

Pusat untuk bisa mengambil uang atas klaim yang sudah dikirimkan tersebut.

Yang menjadi kendala dalam hal ini adalah feed back yang kadang-kang

terlambat, sehingga kami juga sering terlambat dalam membayarkan jasa medik.

Tahun 2011 klaim lebih lancar dibandingkan tahun 2012. Dulu dalam satu tahun

itu bisa 4 sampai 5 kali klaim. Disini ketidak tahuan pihak rumah sakit bahwa

laporan tidak perlu menunggu feedback dari P2JK.

“..persyaratan jampersal lebih mudah daripada jamkesda..” (SPOG, Kab.

Sampang).

“..klaim Jampersal dikirimkan ke P2JK menjadi satu dengan klaim Jamkesmas.

Yang diperiksa oleh verifikator adalah : KTP, surat rujukan dari Puskesmas atau

bidan, surat jaminan pelayanan yang dibuat oleh pihak RS..”(verifikator

independen, kota Bandung).

5.4.3.4. Besaran Tarif Pelayanan dan Jasa Pelayanan

Tarif pelayanan Jampersal di rumah sakit berdasarkan tarif INA CBG’s.

Dalam juknis dinyatakan bahwa dana yang telah menjadi

pendapatan/penerimaan fasilitas kesehatan (Rumah Sakit non BLUD),

selanjutnya pengelolaan serta penggunaan danpemanfaatannya dilakukan

dengan mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan dana

yang telah menjadi pendapatan/penerimaan jasa layanan (Rumah

Sakit/Balkesmas BLUD) maka pendapatan jasa layanan tersebut dapat langsung

digunakan dan dimanfaatkan sesuai RBA/DPA-BLUD, termasuk di dalamnya

adalah jasa pelayanan.

Besar jasa pelayanan pada provider (pemberi layanan) hendaknya

memperhatikan maksud pemberian insentif yaitu untuk akselerasi tujuan

Page 132: Riset Evaluasi Jampersal

93

program dan tujuan MDG’s. Besaran Jasa pelayanan kesehatan (total)

ditetapkan oleh Kepala Daerah atas usulan Direktur Rumah Sakit dengan

setinggitingginya 44% atas biaya pelayanan kesehatan yang telah dilakukan.

Pengaturan mengenai jasa pelayanan/jasa medik tersebut dilakukan sesuai

dengan ketentuan yang mengatur mengenai hal itu. Besaran Jasa medik untuk

untuk bidan, SPOG dan semua tenaga di RS Jampersal RS mengacu pada

peraturan (44%).

Pada implementasi di RSUD kabupaten / kota penelitian berjalan seperti

aturan yang berlaku. Yang menjadi masalah adalah besaran tarif yang berlaku

(INA-CBG’s) sebagian provider rumah sakit menyatakan besarannya sudah tidak

sesuai dengan kondisi sekarang, karena terlalu rendah.

“..tarif sedikit. Ada potongan dimana-mana karena masalah birokrasi, jadi yang

diterima nakes kecil..” (NN, RSUD).

“..dokter obgyn tidak terlalu mempermasalahkan karena takut mengungkap.

Disatu sisi tariff kecil dan di sisi lain mengutamakan kemanusiaan... harus ikhlas,

kalau tariff sectio dinaikkan mungkin juga dr. Obgyn sectio semua, bisa-bisa

partus fisiologis tidak ada lagi kalau jasa sectio di naikkan. Ini masalah

personal..” (SPOG, RSUD).

“..tidak manusiawi. Bedanya sampai 1 juta per pasien. Masa 1 sectio saya

dibayar 150.000 . apa itu manusiawi. Itu juga saya heran yg menentukan tarif di

pusat koq bisa sectio itu keluar angka 2.083.000. apa itu masuk akal dan pikiran?

Apa yang buat ini tidak berpikir. Sepaket 2.083.000 itu Cuma habis untuk obat

saja, belum untuk bahan habis pakai, lalu bagaimana bayar pelayanan dan

perawatan..” (SPOG, Kota Ambon).

“..yang saya tahu, dana yang ada masuk ke daerah dan kami nanti akan

mendapat japel sebesar 44% sesuai perda yang ada. Itu aka diterimakan antara

3 sampai 6 bulan sekali..” (bidan RS, kab. Wakatobi).

“..pembiayaan Jampersal selama ini ya berjalan sesuai dengan aturan yang ada

ya dari pemerintah sesuai dengan INA CBGs, namun kalau boleh kami

memberikan saran, karena kalau tidak salah tarif untuk jasa pelayanan rasanya

masih kurang sesuai dengan yang standarnnya, biasanya kalau pelayanan sectio

itu kan antara 6 sampai 7 juta ya, tapi dengan jampersal kan hanya 1,2 atau 1,8

juta lah, jadi tarifnya memang masih jauh di bawah standartnya, ya kalau bisa

dinaikkan menjadi 4 sampe 5 juta lah, supaya pelayanan juga bisa lebih

maksimal. Karena biaya itu kan juga termasuk untuk keperluan lainnya seperti

obat, dan bahan habis pakai..” (Pengelola Jampersal RS, Kota Bandung).

Page 133: Riset Evaluasi Jampersal

94

RSUD selain melayani Jamkesmas dan Jampersal juga melayani Jaminan

kesehatan daerah (Jamkesda). Didaerah tarif Jamkesda bervariasi ada yang

menggunakan INA-CBG’s adapula yang menggunakan tarif Kelas III. Untuk RSUD

yang menggunakan tarif Kelas III, pihak rumah sakit lebih senang memanfatkan

dengan tarif tersebut karena dianggap lebih sesuai (tarif jauh lebih tinggi dari

tarif Jampersal) sehingga sering terjadi masalah dengan pasien yang

menggunakan Jampersal.

Terdapat juga rumah sakit yang mengenakan tarif tambahan pada pasien

Jampersal yang dianggap mampu dengan melakukan pendekatan terlebih dahulu

terhadap pasien.

“..apabila tahu bahwa standar penggantian biaya oleh Jampersal lebih rendah

dari standar penggantian biaya oleh JKP, maka para bidan, dokter dan tenaga

dokter spesialis Obgyn kami menjadi kurang tertarik pada Jampersal..” (RS, Kota

Blitar).

“..tarif dinaikkan tapi jangan terlalu tinggi sehingga membahayakan profesi

maksudnya kalau terlalu tinggi, khawatir nanti pasien bisa di sectio semua Atur

incentive yang lebih baik..” (RS, Kota Kendari).

“..menurut saya standarnya untuk paket standar kelas 3 itu 5.000.000 . itu sudah

pas-pasan. Dokternya hanya dapat 750.000 – 1250000. Itu kalau di swasta

standar tarifnya itu, masih terjangkau masyarakat untuk pasien kelas 3..” (dr.

SPOG, Kota Ambon).

“..obgyn dapat 300 ribu per sectio tapi kalau kena tuntutan hukum bisa kena

denda sampai 300 juta. Tarif untuk pasien-pasien dengan tindakan sangat kecil

dibandingkan dengan yg tanpa tindakan. Contoh: kasus angina pectoris, asthma

dan diare bisa di klaim dengan tariff sampai dengan 1,2 juta sama dengan tarif

tindakan sectio, premature dan tindakan lain yang lebih beresiko juga 1,2 jt..”

(SPOG, RSUD).

Page 134: Riset Evaluasi Jampersal

95

5.5. KETERSEDIAAN (AVAILABILITY), AKSES (ACCESSIBILITY) TERHADAP

SARANA DAN PRASARANA, SDM TERHADAP PROGRAM JAMINAN

PERSALINAN

5.5.1 Sarana dan Prasarana Pelayanan Dasar dan Rujukan

Dalam rangka mencapai target MDG’s untuk menurunkan AKI dan AKB

perlu ditunjang sumberdaya manusia di bidang kesehatan, sarana dan prasarana

yang memadai. Bidan merupakan ujung tombak dalam memberika di pelayanan

kesehatan ibu dan anak di pelayanan dasar. Di setiap desa diharapkan terdapat

satu bidan desa yang dapat melayani wilayahnya. Disamping itu untuk Jampersal,

Dinas kesehatan melakukan MoU dengan mebuat Perjanjian kerjasama (PKS)

dengan bidan praktek swasta (BPS), Klinik bersalin, rumah sakit

pemerintah dan swasta. Di kabupaten/kota lokasi penelitian ketersediaan sarana

dan prasarana seperti terlihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 5.2.

Sarana dan Sumberdaya manusia yang memberikan Pelayanan Jampersal

No Kab/Kota

Jumlah Fasilitas dan SDM

Puskesmas Kec Bidan

Dinkes* Kelurahan BPS

“PKS” RS

Pemerintah 1. Sampang 21 14 299 186 45 1

2. Blitar 3 3 40 21 9 1

3. Mataram 10 6 78 50 5 1

4. Lombok

Tengah

25 12 193 124 - 1

5. Bandung 73 30 347 139 155 3

6. Bogor 101 40 702 426 39 4

7. Ambon 22 5 109 50 1 1

8. Aru 21 7 42 119 - 1

9. Kendari 15 10 123 64 tdk

ada

data

1

10. Wakatobi 19 8 129 100 - 1

11. Balikpapan 26 5 437 27 90 1

12. Paser 17 10 145 118 4 1

13. Batam 15 12 85 74 92 2

14. Natuna 12 10 165 65 - 1

*Bidan Dinkes : Bidan puskesmas dan Bidan Desa

Sumber : Dinas Kesehatan dan www.bppsdmk.depkes.go.id

Page 135: Riset Evaluasi Jampersal

96

Di semua kabupaten/kota lokasi penelitian di tiap kecamatan sudah

terdapat sedikitnya satu puskesmas, bahkan Kabupaten Lombok Tengah, Kota

Bandung, kabupaten Bogor, Kota Ambon, Kabupaten Kepulauan Aru, Kabupaten

Wakatobi, Kota Balikpapan dalam satu kecamatan terdapat 2-3 puskesmas.

Hanya saja yang perlu diperhatikan di kabupaten kepulauan satu kecamatan bisa

terdiri dari beberapa pulau, bahkan satu desa terdiri dari beberapa pulau.

Jumlah desa di kabupaten kepulauan Aru lebih banyak daripada jumlah

bidan yang ada yaitu terdapat 119 desa, tetapi jumlah bidan hanya 42 orang.

Dari wawancara dengan pengelola Jampersal di Dinas Kesehatan Kabupaten

kepulauan Aru menyatakan sbb:

“..pemanfaatan dana jampersal pada tahun lalu bisa dibilang rendah. Karena

dari 22 puskesmas yang ada, hanya 9 puskesmas yang memanfaatkan dana

jampersal. Sisanya tidak karena memang pada waktu itu tidak ada tenaga

bidannya, padahal yang memberikan pelayanan jampersal kan seorang bidan.

Sekarang di tahun 2012 ini mulai ditempatkan tenaga bidan honorer..”

(Pengelola Jampersal, Kabupaten kepulauan Aru).

Jika dilihat daridata rasio bidan menurut Badan PPSDMK, Kementerian

Kesehatan RI Tahun 2011 Maluku, Sulawesi Tenggara dan kepulauan Riau diatas

rasio bidan Nasional, tetapi pada kenyataannya terutama di kab. Kepulauan Aru

jumlah bidan kurang. Hal ini dikerenakan pendistribusiannya tidak merata, selain

itu perlu juga diperhitungkan dengan luas wilayah dan geografis di wilayah.

Dalam pelaksanaan Jampersal untuk pemenuhan fasilitas layanan

kesehatan tidak semua kabupaten/Kota mempunyai perjanjian kerjasama antara

Dinas kesehatan dan BPS seperti Kabupaten Lombok Tengah (Dinas kesehatan

belum membuka kesempatan ini), Kabupaten Kepulauan Aru (keterbatasan

SDM) dan Kabupaten Paser (belum ada BPS yang mendaftar).

Penyediaan pelayanan kesehatan tingkat pertama di puskesmas PONED

di kota misalnya di kota Blitar dan Kota Bandung puskesmas PONED masih

terbatas sarana dan sumber daya manusianya, baik itu dokter maupun bidan.

Kompetensi bidanpun masih perlu untuk ditingkatkan. Apalagi lokasi di

kabupaten penelitian. Persentase puskesmas PONED yang mempunyai kurang

Page 136: Riset Evaluasi Jampersal

97

dari 20% jenis alat kesehatan PONED di perkotaan 31,6% sementara di

perdesaan 21,7%. (RIFASKES, 2011).

“..puskesmas PONED dengan satu tenaga dokter dan bidan yang sudah

mendapat pelatihan PONED. Untuk sarana sebagai puskesmas PONED masih

dirasakan kurang..” (Puskesmas, Kota Kendari)

Di kabupaten / Kota rumah sakit pemerintah menjalin perjanjian

kerjasama sebagai fasilitas rujukan Jampersal, Bahkan dibeberapa

kabupaten/kota sudah menjalin perjanjian kerjasama dengan RS Swasta misalnya

Kabupaten Lombok Tengah (RS Yatopa), Kota Batam (RS Camatha Sahidya),

bahkan di Kota Bandung walikota menlaunching jejaring pemberi pelayanan di

Pemerintah Kota dengan melibatkan RS Swasta di wilayahnya. Sementara Rumah

sakit Pemerintah di Kabupaten Paser menyatakan belum melakukan perjanjian

kerjasama untuk Jampersal karena belum tersosialisasi Jampersal, sehingga

belum melayani pasien dengan Jampersal.

“..mengatakan tidak tahu dan belum pernah sekalipun di RS mendapatkan

sosialisasi tentang Jampersal baik dari Dinas Kesehatan Kabupaten, Propinsi dan

Pusat. Yang sementara ini ada dan sedang berjalan di RS untuk pelayanan

masyarakat miskin atau tidak mampu adalah Jamkesmas dan Jaminan Kesehatan

Paser (JKP)..”(Direktur RSUD Paser).

Inovasi dilakukan di Kabupaten Wakatobi dengan memberikan

kebebasan supaya masyarakat melahirkan di fasilitas kesehatan selain

puskesmas, bisa melahirkan di polindes, poskesdes maupun pustu. Karena

sarana dan prasarana di semua fasilitas kesehatan tersebut sudah dilengkapi.

Dana untuk pengadaan sarana dan prasarana di fasilitas tersebut berasal dari

APBD.

Fasilitas rujukan terutama di kabupaten juga masih menjadi kendala

dimana minimnya fasilitas dan SDM kesehatan terutama keterbatasan dr. SPOG.

Di rumah sakit kabupaten Lombok Tengah dan kota Ambon terdapat

keterbatasan prasarana seperti tidak adanya ruang recovery untuk pasien paska

operasi (Lombok tengah), peralatan di ruang ICU (Lombok Barat, Kota Ambon),

Tenaga perawat (Lombok tengah) dan dr. SPOG terutama di kabupaten.

Page 137: Riset Evaluasi Jampersal

98

Untuk mengatasi kekurangan tenaga beberapa daerah merekrut tenaga

honorer misalnya di Lombok Tengah untuk tenaga perawat. Bekerjasama dengan

Fakultas kedokteran untuk tenaga kontrak dr. SPOG / PPDS yang sedang

menempuh pendidikan. Dan tenaga tersebut (dr, SPOG/ PPDS) tidak sepenuhnya

“stand by” 24 jam di rumah sakit. Seperti contoh ketika peneliti pengumpulan

data di salah satu RS di Kepulauan selama 1 (satu) minggu, peneliti tidak dapat

menemui dr tersebut dikarenakan tidak berada di tempat (di luar wilyah

kabupaten tersebut).

“..sebenarnya kematian itu dapat dikendalikan apabila tim work yang baik, mulai

pada saat setelah tidakan, pengawasan post operasi yang baik. Dokter setelah

melakukan operasi diserahkan ke ruangan, diruangan harus diawasi oleh

perawat. Tetapi disini kebanyakan perawat di ruangan adalah honorer yang

gajinya hanya 250 ribu, bagaimana dia mau care dengan pasien..” (dr. SGOG,

Lombok Tengah).

“..penyebab kematian ibu juga karena sarana prasarana yang tidak memadai,

ruangan ICU, ventilator yang kurang dsb..” (dr SPOG, Lombok Tengah).

“..resinden ada di aru ada di tual d saumlaki juga ada. Tapi saya belum pernah

ke sana jd tidak tahu apa ada sarananya. Lagipula untuk sectio kan tidak perlu

banyak fasilitas. Tapi listrik itu yang masalah, sekarang sudah lumayan dulu-dulu

PLNnya kan bermasalah..” (dr. SPOG, Kota Ambon).

Di kabupaten/kota lokasi penelitian secara umum proses penyediaan alat

kontrasepsi pada pelayanan KB di Puskesmas melalui BKKBN. Dimana

mekanismenya adalah Puskesmas membuat rencana kebutuhan alat kontrasepsi

kepada SKPD pengelola program KB yaitu BKKBN atau Dinas pemberdayaan

Perempuan dan Keluarga Berencana. Perencanaan kebutuhan alat kontrasepsi

dilakukan pada level Puskesmas ke pengelola KB atau petugas lapangan KB

(PLKB) tingkat kecamatan. Jadi perencanaan tersebut tidak dilakukan di level

Kabupaten, Dinas Kesehatan Kabupaten hanya menerima laporan dan

rekapitulasi dari Puskesmas. Setelah mendapatkan alat kontrasepsi, maka

Puskesmas mendistribusikan alat tersebut ke bidan desa di wilayahnya. Yang

menjadi masalah saat ini adalah ketersediaan alat kontrasepsi di layanan dasar

masih kurang. Dengan SKPD BKKBN di kabupaten/kota saat ini tidak selalu berdiri

sendiri, di beberapa kabupaten/kota menjadi Dinas Pemberdayaan Perempuan

Page 138: Riset Evaluasi Jampersal

99

seperti di Kepulauan Aru tidak ada BKKBN yang melayani kebutuhan Keluarga

Berencana, tapi menjadi Dinas Pemberdayaan Perempuan dimana salah satu

bidangnya menangani KB.

“..ketersediaan alat, obat dan sarana lain yang dibutuhkan masih kurang,

demikian juga SDM terlatih baik sesuai SOP, terlatih untuk pemasangan IUD

danalat KB lain..” (Puskesmas, Kota kendari).

“..Alat kontrasepsi tersedia semua IUD, implant, suntik, pil , MOW, laparatomi,

kami selalu mem

otivasi klien utk ikut KB sehingga hasilnya banyak yg bersedia ikut KB..” (Bidan

RS, Kab. Bogor).

Page 139: Riset Evaluasi Jampersal

100

Gambar 5.11.

Ruang ICU, tempat cuci kamar Operasi di Ruang Kandungan dan Kebidanan RSUD di

Ambon

Page 140: Riset Evaluasi Jampersal

101

Gambar 5.12. Ruang rawat Inap pasien Jampersal di Rumah Sakit

5.5.2 Aksesibilitas jarak

Aksesabilitas jarak adalah jarak yang ditempuh responden yang

menggunakan Jampersal dari rumah ke pelayanan kesehatan yang di manfaatkan

saat menggunakan Jaminan persalinan. Dari gambar dibawah nampak antara

aksesabilitas di kabupaten/kota “non kepulauan“ yaitu kabupaten yang letak

pelayanan dasar dengan wilayahnya terletak satu pulau (Sampang, Kota Blitar,

Kota Bandung, Bogor, Kota Mataram, Lombok Tengah, Kota Kendari, Balikpapan,

Paser, Kota Batam) dan ”kepulauan” yaitu dimana letak pelayanan dasar dengan

wilayahnya dapat berbeda pulau (Kota Ambon, Kepulauan Aru,Wakatobi dan

Natuna) sebagian besar jarak ke pelayanan dasar adalah <5 km. Namun

demikian perlu diperhatikan geografis pada lokasi kabupaten daerah

pegunungan / bukit dimana untuk mencapai lokasi memerlukan waktu lebih

lama dikarenakan harus ditempuh dengan roda dua atau bahkan jalan kaki.

Demikian pula kabupaten kepulauan dimana untuk mencapai fasilitas harus

melalui transportasi laut sehingga menyebabkan waktu tempuh dan biaya

menjadi kendala tersendiri, bahkan di beberapa daerah alat transportasi tidak

tersedia setiap saat.

Page 141: Riset Evaluasi Jampersal

102

Gambar 5.13 Jarak ke pelayanan

Kesehatan pada pengguna Jampersal

di kabupaten/Kota “non kepulauan”

Gambar 5.14 Jarak ke pelayanan

kesehatan pada pengguna Jampersal

di Kabupaten/Kota “Kepulauan”

Untuk menggambarkan akses ke pelayanan kesehatan terutama di

kabupaten kepulauan seperti Kepulauan Natuna, Kepulauan Aru dan Wakatobi

dijelaskan lebih lanjut dibawah ini, sehingga dapat menggambarkan bagaimana

akses masyarakat dalam upaya mendapat pelayanan.

Kabupaten Kepulauan Natuna

Kabupaten Kepulauan Natuna merupakan salah satu wilayah dari Propinsi

Kepulauan Riau. Sesuai namanya, maka seluruh kabupaten di propinsi ini adalah

sebuah kepulauan.

Page 142: Riset Evaluasi Jampersal

103

Gambar 5.15. Peta Wilayah Provinsi Kepulauan Riau

Kabupaten Natuna, kabupaten kepulauan yang memiliki banyak lanscape

view yang sangat cantik ini merupakan salah satu wilayah paling Utara Republik

ini yang berbatasan laut langsung dengan negara tetangga Vietnam dan

Kamboja. Dengan posisinya yang demikian, maka Kementerian Kesehatan

menempatkan Kabupaten Natuna sebagai salah satu Kabupaten DTPK (Daerah

Tertinggal, Perbatasan dan Kepulauan).

Gambaran kondisi ketertinggalan wilayah kabupaten kepulauan ini bisa

dilihat dari ketersediaan sarana komunikasi yang ada. Untuk sambungan telepon

tetap (fixed landlines), hanya tersedia di sekitar Ranai sebagai ibukota kabupaten

ini saja. Untuk wilayah lain yang berupa kepulauan hanya tersedia jaringan

telepon seluler bila beruntung. Di wilayah Pulau Subi dan Pulau Midai misalnya,

Page 143: Riset Evaluasi Jampersal

104

sinyal cukup sulit untuk didapatkan. Sedang di wilayah Serasan Timur tidak usah

berharap akan ada sinyal yang sampai.

Untuk mencapai Kabupaten Kepulauan Natuna, tersedia dua jalur

transportasi. Yang pertama adalah jalur udara melalui Batam ke Ranai (ibukota

Kabupaten Kepulauan Riau). Saat ini ada Wings Air dan Sriwijaya Air yang

melayani jalur ini dua atau tiga kali seminggu. Yang kedua adalah jalur laut. Sama

dengan jalur udara, jenis transportasi ini juga tidak tersedia setiap hari.

Berdasarkan pengamatan, ketersediaan tranportasi untuk mencapai

Kabupaten Kepulauan Natuna relatif mudah, terutama untuk mencapai

ibukotanya, Ranai. Tapi, justru dari Ranai menuju ke wilayah lain dari Kabupaten

Natuna perlu effort khusus yang cukup menguras tenaga, biaya dan waktu. Hal

ini juga akan sangat berkaitan erat dengan aksesibilitas pelayanan kesehatan di

wilayah ini.

Untuk seluruh wilayah Kabupaten Natuna fasilitas pelayanan kesehatan

yang tersedia bisa dibilang hanya ada pelayanan dasar saja. Kecuali di ibu

kotanya, Ranai, yang telah ada Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten

Natuna sebagai satu-satunya rumah sakit sebagai pusat rujukan tingkat

kabupaten.

Secara kuantitas, sebenarnya untuk tenaga kesehatan telah lebih dari

cukup tersedia. Untuk tenaga bidan misalnya, telah ada 108 bidan di wilayah ini.

Dengan jumlah desa dan kelurahan yang hanya 73 maka seharusnya semua desa

telah bisa terisi tenaga bidan. Tapi kenyataannya menurut Kabid Yankes Dinas

Kesehatan, ada beberapa desa yang kosong tanpa hadirnya bidan. Bagaimana

tidak? Dari 108 bidan tersebut, sejumlah 70-an bidan menumpuk di Ranai.

Berbicara tentang aksesibilitas fasilitas kesehatan di kepulauan, tidak

akan pernah terlepas atau bahkan sangat tergantung dengan ketersediaan

sarana transportasinya. Bentangan Kabupaten Natuna yang beribukota di Ranai,

dengan wilayah paling Utara di Pulau Laut, serta dengan wilayah paling Selatan di

Page 144: Riset Evaluasi Jampersal

105

wilayah Pulau Subi dan Serasan, sungguh memerlukan banyak energi dan

kesabaran untuk mencapainya.

Paparan berikut diharapkan mampu memberi sedikit gambaran tentang

beberapa jalur transportasi serta ketersediaan sarana transportasinya,

berdasarkan hasil wawancara dengan Kabid Yankes Dinas Kesehatan Kabupaten

Natuna.

A. Jalur Pulau Laut-Ranai; memerlukan waktu tempuh sekitar 8 jam perjalanan

dengan kapal besi reguler dari Pelni. Tarif sekitar Rp. 100.000,-, dengan

frekuensi sekitar 10-15 hari sekali. Jalur ini juga bisa ditempuh dengan kapal

kayu (tongkang), yang bila beruntung kita bisa nebeng kapal barang dengan

tarif sekitar Rp. 120.000,-, atau bila mau sewa sendiri dengan tarif lima

sampai belasan juta, tergantung besaran kapal kayu, yang berarti juga

bergantung dengan tingkat keamanannya.

B. Jalur Serasan-Ranai; jalur ini dilewati oleh kapal Pelni Bukit Raya yang

memerlukan waktu tempuh sekitar 8 jam perjalanan menuju Ranai. Dengan

tarif sekitar Rp. 120.000,- jalur perjalanan ini juga tersedia dalam frekuensi

sekitar 15 hari sekali.

C. Jalur Pulau Subi-Ranai; hampir sama dengan tarif di dua jalur sebelumnya,

cukup murah, hanya dalam kisaran Rp. 120.000,- saja, tapi dengan jarak

tempuh yang bisa mencapai 24 jam perjalanan.

Kabupaten Kepulauan Aru

Kabupaten Kepulauan Aru merupakan salah satu wilayah dari Propinsi

seribu pulau, Propinsi Maluku. Meski sebenarnya julukan ini kurang pas

dibandingkan faktanya. Propinsi seribu pulau. Untuk Kabupaten Kepulauan Aru

saja jumlah pulaunya sudah mencapai 547 pulau, belum ditambah dengan pulau-

pulau kabupaten lain di wilayah yang bersebelahan dengan Pulau Papua ini.

Page 145: Riset Evaluasi Jampersal

106

Gambar 5.16 Posisi Kabupaten Kepulauan Aru di peta Indonesia

Untuk mencapai kabupaten kepulauan ini selain dengan jalur laut juga

bisa dilakukan dengan pesawat. Satu-satunya pesawat maskapai yang beroperasi

dan mau mendarat pada tahun 2012 ini di pulau tersebut adalah Trigana Air,

setelah sebelumnya dua maskapai lainnya (Merpati dan Wings Air) menarik diri

dari jalur tersebut.

Jalur pesawat terbang yang harus kita dilalui untuk mencapai Kabupaten

Kepulauan Aru dari Kota Ambon adalah Ambon-Tual-Dobo. Kota Tual adalah kota

yang sebelum memisahkan diri masih merupakan ibukota Kabupaten Maluku

Tenggara. Jarak tempuh terbang Kota Ambon-Kota Tual mencapai 90 menit, dan

jarak tempuh Kota Tual-Dobo mencapai 25 menit. Bila perjalanan tersebut kita

tempuh melalui jalur laut dari Kota Ambon, maka kita bisa semalaman terapung

di lautan.

Bila kita membayangkan mencapai kabupaten kepulauan ini sulit, maka

sesungguhnya mencapai wilayah kerja di kepulauan ini jauh lebih sulit lagi. Jalur

laut adalah jalur transportasi satu-satunya, yang untuk mencapainya sangat

tergantung dengan kondisi angin laut yang seringkali sangat tidak bersahabat.

Page 146: Riset Evaluasi Jampersal

107

Iklim dipengaruhi oleh Laut Banda, Laut Arafura dan Samudera Indonesia, juga

dibayangi oleh Pulau Irian di Bagian Timur dan Benua Australia di Bagian Selatan

sehingga sewaktu-waktu bisa terjadi perubahan iklim yang ekstrim.

Untuk sarana komunikasi, kondisi Kepulauan Aru sudah cukup baik untuk

golongan DTPK. Sudah ada jaringan Telkom dan komunikasi seluler. Telkomsel

sebagai satu-satunya provider yang bernyawa di daerah ini telah hadir dengan

sinyal cukup kuat, meski terbatas hanya jaringan GSM. Setidaknya saya masih

bisa memberi kabar orang rumah bahwa saya masih baik-baik saja.

Page 147: Riset Evaluasi Jampersal

108

Gambar 5.17 Peta Wilayah Kabupaten Kepulauan Aru

Melihat gambar peta di atas sepertinya Aru terdiri dari satu pulau besar

dan beberapa pulau kecil. Yang sebenarnya adalah beberapa pulau yang

terselingi selat-selat yang terlihat sempit, tetapi saat observasi didapatkan

kenyataan yang cukup lebar.

Kabupaten Kepulauan Aru memiliki 7 (tujuh) kecamatan dengan jumlah

puskesmas mencapai 21 buah. Banyaknya jumlah puskesmas dibanding dengan

jumlah kecamatan bukanlah dikarenakan kabupaten kepulauan ini kaya raya, tapi

lebih dikarenakan terlalu banyaknya kepulauan yang menjadi wilayah kerja Dinas

Kesehatan di sana.

Page 148: Riset Evaluasi Jampersal

109

Observasi partisipatif aksesibilitas fasilitas kesehatan untuk wilayah

Kabupaten Kepulauan Aru kali ini kami lakukan dari Dobo (ibukota Kabupaten

Kepulauan Aru) ke Puskesmas Benjina, salah satu puskesmas dengan jangkauan

‘termudah’ di wilayah ini. Perjalanan menuju lokasi Puskesmas Benjina bisa

ditempuh dengan perahu bermotor reguler dengan perjalanan sekitar 3-4 jam

dari ibukota Kabupaten Kepulauan Aru, Dobo. Perjalanan yang cukup ‘mudah’

untuk wilayah kabupaten kepulauan yang memiliki 547 pulau ini.

Puskesmas Benjina terletak di Desa Benjina, Kecamatan Aru Tengah, yang

berada di pesisir sebelah barat Pulau Kobroor. Dalam kecamatan yang sama

sebenarnya ada 4 Puskesmas yang beroperasi untuk sekitar 24 desa yang ada di

wilayah ini, sedang Puskesmas Benjina sendiri bertanggung jawab atas 11 desa,

dengan bentangan wilayah yang cukup luas.

Gambar 5.18 Puskesmas Benjina, Kab. Kepulauan Aru.

Kunjungan pertama adalah kulonuwun ke Puskesmas Benjina sekaligus

untuk assessment dengan seluruh bidan yang melayani Jampersal di wilayah ini.

Di Puskesmas Benjina terdapat tenaga bidan sebanyak lima orang, yang entah

mengapa semuanya ditugaskan berkumpul di Puskesmas Induk Benjina saja.

Page 149: Riset Evaluasi Jampersal

110

Sama sekali tidak ada ‘bidan desa’ di wilayah ini? Dalam sebuah kesempatan

diskusi dengan salah satu Kepala Dusun, Dusun Papakula Kecil, terungkap bahwa

di desanya tidak ada tenaga bidan sama sekali, yang ada adalah 4 orang tenaga

dukun bayi.

Menurut pengakuan rekan Puskesmas, terdapat 3 Pustu (Puskesmas

Pembantu), yaitu di Namara, Selibatabata dan Fatujuring. Hanya saja yang ada

tenaga perawat hanya di Pustu Selibatabata, dua lainnya masih kosong. Di

wilayah Benjina juga ada satu Poskesdes (Pos Kesehatan Desa), yaitu di

Maririmar yang juga tersedia tenaga perawat laki-laki.

Puskesmas Benjina sendiri dikepalai oleh seorang dokter, yang

merupakan seorang dokter lulusan pertama yang asli daerah, yang rumahnya

saat ini berada di Makassar. Saat ini beliau sudah dipindahkan sebagai kepala

bidang di Rumah Sakit Kabupaten di DOBO, jadi secara otomatis lebih sering di

Dobo dan Makassar daripada di Benjina.

Pada kesempatan diskusi tersebut para tokoh agama dan tokoh

masyarakat setempat juga sempat melontarkan usulan pengadaan pos-pos siaga

di beberapa titik desa. Karena pelayanan kesehatan ibu dan anak yang

mengandalkan satu titik di puskesmas saja menjadi salah satu faktor penyulit

akses masyarakat di wilayah ini. Dalam forum diskusi yang sama, Kepala Desa

Benjina menyatakan kesanggupannya untuk menyediakan tanah di wilayahnya

untuk keperluan tersebut. Usulan lain yang menarik adalah usulan dari bapak

pendeta yang untuk memberi perhatian dan penghargaan bagi dukun bayi.

Usulan yang sangat manusiawi dari masyarakat yang merasakan manfaat

keberadaan dukun bayi di tengah ketidaktersediaan tenaga kesehatan.

Menurut pengakuan Kepala Puskesmas yang di’amin’kan oleh rekan

Puskesmas lainnya, menyatakan bahwa Puskesmas menurunkan petugas untuk

berkeliling di Posyandu sekali sebulan di setiap wilayah yang didominasi dengan

jalur laut. Jadi, banyak masyarakat di wilayah kerja Puskesmas di wilayah ini

bersentuhan dengan pelayanan kesehatan sebulan sekali. Jadi bila sakit saat baru

Page 150: Riset Evaluasi Jampersal

111

saja ada kunjungan Posyandu, maka kita harus bersabar menunggu satu bulan

kemudian untuk mendapatkan pengobatan.

Dalam kesempatan ini kami juga sempat berkunjung dan berbaur dengan

masyarakat di beberapa lokasi. Setidaknya tujuh titik lokasi yang menjadi

ampuan Puskesmas Benjina telah kami datangi, yaitu Desa Benjina, wilayah RKI-

Benjina (Rumah Kayu Indonesia), Desa Gulili, Desa Namara, Desa Selilau, Desa

Fatujuring, dan wilayah Trans-Maijurung. Menurut masyarakat di lokasi-lokasi

tersebut, memang mereka bersentuhan dengan petugas kesehatan sebulan

sekali sesuai dengan jadwal Posyandu, tetapi seringkali juga mundur, sampai

pada akhirnya terlewat pada jadwal bulan berikutnya lagi. Mereka bercerita

dengan tetap menaruh kepercayaan penuh pada petugas kesehatan, dan bahwa

memang menurut mereka kondisi ini terjadi berada di luar kuasa petugas

kesehatan.

Ada sebuah insiden kecil pada saat kami hendak meninggalkan Desa Gulili

pada salah satu kunjungan, di dermaga seorang kakek ber-jalan terbungkuk

menggunakan tongkat hendak melompat ke speedboat kami, posisinya sudah

duduk di bibir dermaga dengan kaki hendak menjangkau speedboat. Kakek yang

sedang sakit itu mengira kita sedang ada jadwal Posyandu, dan berharap

mendapat pengobatan dari mantri yang menyertai perjalanan kami. Sungguh tak

tertahan hati menangis merasai rintih dan harapnya. Dan betapa Mbak Ning,

mantri perempuan dari Purwokerto itu begitu telaten memberi penjelasan

sekaligus memupuk harapan si kakek, dan meyakinkan bahwa dia akan kembali

menjumpai kakek itu. Bersabarlah kek, bersabarlah... entah sampai kapan?

Konfirmasi kami lakukan ke petugas Puskesmas tentang penjadwalan

Posyandu ini, kami mendapat jawaban bahwa memang jadwal Posyandu keliling

itu rutin, tapi juga tergantung ketersediaan uang. Setidaknya membutuhkan Rp.

600.000,- sekali jalan untuk tiga sampai empat hari berkeliling Posyandu di

wilayah-wilayah ampuan Puskesmas tersebut.

Page 151: Riset Evaluasi Jampersal

112

Tergantung ketersediaan uang? Sungguh miris mendengar jawaban ini.

Bukannya Kementerian Kesehatan telah meluncurkan dana BOK ke semua

Puskesmas? Yang setelah re-check ke petugas Dinas Kesehatan menemukan

kenyataan bahwa Puskesmas Benjina menerima dana BOK sekitar 250 juta. Itu

belum termasuk dana operasional Puskesmas yang berasal dari APBD.

Kita coba berhitung untuk ‘ketersediaan uang’ ini. Bila dibutuhkan 3 kali

perjalanan untuk menjangkau Posyandu yang memerlukan biaya transportasi

laut, yang sekali perjalanannya membutuhkan biaya Rp. 600.000,-, maka

sesungguhnya kebutuhan per bulan untuk transportasi laut hanya membutuhkan

Rp. 1.800.000,-, dan dalam setahun hanya pada kisaran Rp. 21.600.000,-. Lalu

dibandingkan dengan kucuran dana BOK yang sekitar Rp. 250.000.000,-? Yang

sekali lagi setelah konfirmasi dengan Dinas Kesehatan penyerapan dana BOK di

Puskesmas Benjina mencapai 100%.

Kebutuhan biaya sesuai uraian di atas adalah untuk sewa longboat dari

nelayan. Puskesmas Benjina sendiri sebetulnya sudah mempunyai speedboat

sendiri, hanya saja sudah rusak sejak dua tahun yang lalu. Menurut keterangan

Dinas Kesehatan sempat dirapatkan soal kerusakan speedboat ini dengan

beberapa Puskesmas yang mengalami hal yang sama. Pada saat pengambilan

keputusan, para Kepala Puskesmas merasa sanggup memperbaiki speedboatnya

sendiri tanpa diambil alih oleh Dinas Kesehatan. Tetapi hasilnya untuk Puskesmas

Benjina sampai saat ini dari dua tahun yang lalu tidak ada perbaikan sama sekali.

Kabupaten Kepulauan Wakatobi

Kabupaten Kepulauan Wakatobi merupakan salah satu wilayah dari

Propinsi Sulawesi Tenggara yang berbatasan langsung dengan Propinsi Maluku

Utara di sebelah Timur. Kabupaten yang relatif baru ini merupakan pecahan dari

Kabupaten Buton. Nama Wakatobi sendiri merupakan representatif dari empat

pulau besar yang menjadi basis kabupaten ini. Ke-empat pulau tersebut adalah

Page 152: Riset Evaluasi Jampersal

113

Pulau Wangi-wangi, Pulau Kaledupa, Pulau Tomia, dan terakhir pulau terjauh

(paling Selatan) adalah Pulau Kaledupa.

Gambar 5.19 Peta Kabupaten Kepulauan Wakatobi

Mirip dengan wilayah kabupaten kepulauan lainnya, jalur transportasi

yang tersedia untuk mencapai wilayah ini terdiri dari dua jalur, laut dan udara.

Jalur laut bisa kita tempuh menggunakan kapal cepat dari Baubau sekitar empat

jam. Sedang jalur udara bisa kita tempuh dari Makassar via Baubau yang tersedia

hari Senin-Kamis, serta hari Sabtu via Kendari, yang untuk kedua jenis jalur

tersebut dilayani oleh maskapai Wings Air. Jalur udara yang cukup repetitif

tersebut bukan karena Wakatobi sebagai destinasi bawah laut yang cukup

Page 153: Riset Evaluasi Jampersal

114

mendunia ini ramai dikunjungi wisatawan luar, tetapi lebih karena pemerintah

kabupaten mensubsidi pihak maskapai untuk melayani jalur tersebut.

Seperti layaknya kabupaten kepulauan lainnya, ketersediaan pelayanan

kesehatan masih cukup menjadi masalah di wilayah ini. Untuk wilayah

Puskesmas Tomia yang kami datangi, dengan ampuan wilayah yang mencapai 6

desa, tenaga bidan yang tersedia hanya 3 orang, yang otomatis setiap bidan

harus mampu mencover dua desa.

“..di sini, satu bidan untuk satu desa itu tidak cukup pak! Apalagi ini kita hanya

diberi tiga bidan untuk enam desa..” demikian keluh salah satu tokoh

masyarakat.

Dalam sebuah diskusi di Kecamatan Tomia yang melibatkan tokoh

masyarakat, tokoh agama, kader kesehatan dan bahkan dukun bayi kami juga

menemukan beberapa kondisi yang menjadi realitas yang ketersediaan sarana

dan fasilitas kesehatan yang harus dibenahi.

“..saya rasa pemberian layanan di sini sudah cukup bagus pak, tapi perlu

ditingkatkan lagi, terutama untuk transfusi darah. Karena bila ada kasus harus

dirujuk ke Baubau..” usul salah satu Kepala Lingkungan kepada kami.

“..untuk jangkauan sebenarnya sudah lebih baik, karena tinggal lapor, nanti akan

dijemput ambulan. Cuman untuk yang kepulauan belum ada puskel laut. rujukan

harus ke Baubau, karena di Wanci sarana kesehatannya masih kurang..” (Toma,

Kab. Wakatobi)

Memang di Kabupaten Wakatobi belum tersedia fasilitas pelayanan

transfusi darah. Palang Merah Indonesia (PMI) sebenarnya sudah berdiri di

kabupaten ini, tetapi belum memiliki Unit Transfusi Darah. Rumah Sakit Umum

Daerah Kabupaten Wakatobi yang berada di Wanci pun, sebagai satu-satunya

Rumah Sakit di wilayah ini tidak memiliki, bahkan untuk sekedar bank darah.

Menurut pengakuan Dinas Kesehatan sebenarnya sudah tersedia tenaga untuk

pelayanan transfusi darah, tetapi sarananya yang masih belum tersedia.

Sebagai gambaran, jarak antara Pulau Tomia ke Baubau mencapai 11 jam

perjalanan dengan kapal reguler bertarif Rp. 130.000,-, itupun hanya beroperasi

Page 154: Riset Evaluasi Jampersal

115

sekali sehari. Jadi ibu hamil yang mau bersalin harus bersabar dengan jadwal

yang ada serta perjalanan yang lama. Carter atau sewa kapal sepertinya menjadi

hal yang mustahil bagi penduduk wilayah ini, karena harga sewanya mencapai

kisaran di atas Rp. 10.000.000,- per kali sewa. Jadi, bukan cerita baru bila ibu

hamil dengan faktor penyulit yang dirujuk ke Baubau harus pass away sebelum

sampai ke tempat rujukan.

Jarak Pulau Tomia ke Wanci di Pulau Wangi-wangi sebenarnya lebih

pendek. Dalam perjalanan yang kami arungi dengan kapal cepat bisa mencapai

tiga sampai tiga setengah jam perjalanan. Hanya saja memang ketersediaan

sarana pelayanan kesehatan di RSUD Kabupaten Wakatobi tidak selengkap di

Baubau. Meski juga sebenarnya sudah tersedia dokter obgyn di RSUD Kabupaten

Wakatobi yang dikontrak selama enam bulan.

Observasi partisipatif aksesibilitas fasilitas pelayanan kesehatan yang ke-

dua kami lakukan di Pulau Lamanggau, seberang Pulau Tomia. Di wilayah ini,

terutama wilayah pesisirnya didominasi oleh keberadaan Suku Bajo yang tinggal

di atas laut.

Perjalanan dimulai dari Pelabuhan Jabal di Pulau Wangi-wangi menuju

Pelabuhan Usuku di Pulau Tomia. Perjalanan menggunakan kapal speed

bermesin tempel 5 biji berkekuatan 200 PK ini menempuh perjalanan selama

kurang lebih 3 jam. Dari Pelabuhan Usuku di Pulau Tomia, kami harus bergeser

ke pelabuhan lainnya, Waitii, untuk berganti tunggangan dari kapal speed

menjadi pompong, perahu kecil yang di daerah lain biasa juga disebut sebagai

jung atau ketinting. Dari Pelabuhan Waitii inilah kami melanjutkan perjalanan

ke Pulau Lamanggau, tempat bermukimnya saudara-saudara Suku Bajo yang

membentuk koloni tersendiri di bibir pantai wilayah Lamanggau.

Page 155: Riset Evaluasi Jampersal

116

Gambar 5.20. Kapal cepat yang melayani rute Wanci-Tomia

Agak miris bercerita tentang pelayanan kesehatan di wilayah ini. Di Pulau

ini jumlah tenaga kesehatan yang ada hanya 5 (lima) orang, ini sudah termasuk

Kepala Puskesmas, seorang Sarjana Kesehatan Masyarakat dengan basis

sanitarian. Satu orang lagi juga seorang sanitarian, PTT dari pusat. Sedang sisanya

adalah perawat. Dari kelima tenaga kesehatan yang ada tersebut, 4 orang tidak

tinggal di tempat, mereka tinggal di pulau seberang, di Waitii. Yang tinggal di

Lamanggau hanya tenaga sanitarian yang PTT pusat.

Untuk sarana bangunan Puskesmas, sebetulnya Pemerintah Daerah

Kabupaten Wakatobi pada tahun 2009 sudah membangun gedung Puskesmas

Induk Onemobaa yang representatif secara fisik. Sayangnya Puskesmas yang

diresmikan oleh Gubernur Sulawesi Tenggara itu memiliki lokasi yang sama sekali

tidak masuk akal. Bagaimana tidak? Lokasi Puskesmas berada di Onemobaa,

wilayah Barat pulau, jauh dari permukiman penduduk yang menempati sisi Timur

pulau. Di wilayah Puskesmas ini bukan wilayah jarang penduduk, tetapi lebih

tepat wilayah yang sama sekali tidak ada penduduk. Kondisi ini diperparah

dengan lokasi Puskesmas yang berada di dalam wilayah ‘Wakatobi Dive

Resort’. Sebuah perusahaan swasta yang mengelola obyek wisata di Onemobaa.

Page 156: Riset Evaluasi Jampersal

117

Puskesmas Onemobaa ini sudah tiga tahun tidak ditempati. Karena

kalaupun ditempati, siapa penduduk yang mau datang ke tempat ini dengan

perjalanan yang cukup jauh dari permukiman. Petugas kesehatan Puskesmas

lebih memilih Puskesmas Pembantu (Pustu) Lamanggau untuk berkantor. Karena

meski tempatnya juga tidak strategis, berada di ujung desa, tetapi relatif lebih

mendekati permukiman penduduk.

Dalam sebuah kesempatan, kami disertai oleh Kepala Puskesmas, salah

satu staf Puskesmas, serta satu staf Dinas Kesehatan, mencoba untuk berkunjung

ke Puskesmas Onemobaa. Kami harus naik pompong untuk mencapai lokasi

Puskesmas Onemobaa yang berada di sisi lain pulau. Setelah itu harus jalan kaki

di jalan setapak sekitar 15 menit, barulah sampai di pintu gerbang ‘Wakatobi

Dive Resort’.

Page 157: Riset Evaluasi Jampersal

118

Gambar 5.21. Puskesmas Onemobaa, Kab. Wakatobi

Memasuki wilayah resort ini harus minta ijin pada pihak manajemen. Bila

manajemen berkenan memberikan ijin, maka baru kita bisa masuk dan bisa ke

Puskesmas. Pada kesempatan kali ini kami diijinkan masuk. Tapi kami harus

menunggu sekitar satu jam untuk menunggu ijin masuk tersebut.

5.6 UTILITAS PELAYANAN KESEHATAN IBU DAN BAYI BARU LAHIR OLEH

PROVIDER YANG DISEDIAKAN OLEH PROGRAM JAMINAN PERSALINAN

Utilitas Pelayanan Kesehatan ibu dan bayi adalah cakupan dan

pemanfaatan pelayanan kesehatan Ibu dan bayi dalam program Jampersal di

pelayanan dasar dan di pelayanan rujukan. Data diambil dari data sekunder

puskesmas dan rumah sakit, selain itu juga didapatkan dari data sasaran

Jampersal yang memanfaatkan layanan dengan Jampersal maupun non

Jampersal.

5.6.1 Utilitas di Pelayanan Dasar

Data utilitas di pelayanan dasar yang didapatkan dari Dinas Kesehatan

dan sasaran Jampersal yang diambil secara random di 2 (Dua) puskesmas di

Page 158: Riset Evaluasi Jampersal

119

masing-masing kabupaten / kota.. Data sekunder meliputi data Persalinan oleh

tenaga kesehatan dan kematian Maternal dan Kematian Neonatal di Kabupaten /

Kota yang merupakan data sekunder dari Dinas kesehatan. Sedangkan data

tenaga pemeriksaan ANC pada sasaran non pengguna Jampersal dan pengguna

Jampersal, Penolong persalinan pada sasaran non Jampersal dan tempat

persalinan pada sasaran pengguna Jampersal diambil dari kuesioner sasaran.

Data tersebut ditampilkan dalam gambar sbb :

Gambar 5.22.

Cakupan Persalinan oleh Tenaga kesehatan di Kabupaten / Kota “non kepulauan ”

Tahun 2010 – Juni 2012

Sumber data : Dinas kesehatan Kabupaten / Kota

Di kabupaten / kota “non kepulauan” cakupan persalinan oleh tenaga

kesehatan dari tahun 2010 sampai dengan 2012, nampak di beberapa kabupaten

/ kota yaitu Sampang, Bogor, kota Mataram, Kota balikpapan ada sedikit

peningkatan pada tahun 2011 dibandingkan tahun 2010. Namun demikian

peningkatan tidak terlalu mencolok berkisar 1% - 6%. Untuk tahun 2012 belum

dapat dibandingkan karena baru cakupan sampai bulan Juni 2012. Dari data

Ditjen Bina Gizi dan KIA tahun 2012 didapatkan data untuk angka Nasional

cakupan persalinan ditolong nakes di Indonesia tahun 2012 adalah 86,36.

Page 159: Riset Evaluasi Jampersal

120

Dengan demikian untuk kabupaten / kota di non kepulauan cakupan persalinan

tahun 2011 sudah diatas rata2 nasional.

Gambar 5.23.

Cakupan Persalinan Tenaga Kesehatan di Kabupaten / Kota “Kepulauan”

Tahun 2010 – Juni 2012 Sumber data : Dinas kesehatan Kabupaten / Kota

Di kabupaten/kota kepulauan terdapat sedikit peningkatan cakupan

persalinan oleh tenaga kesehatan pada tahun2011, namun peningkatan tidak

nampak terlalu signifikan kecuali di Kep. Natuna yang mana kabupaten Natuna

tidak memanfaatkan Jampersal tetapi Jamkesda. Pada tahun2012 sampai dengan

bulan Juni terlihat peningkatan cakupan walaupun belum dapat dibandingkan

karena baru cakupan 6 bulan.

Tidak seperti di wilayah non kepulauan, di wilayah kepulauan cakupan

persalinan tidak semuanya diatas rata2 nasional 86,36 (Ditjen Gikia Kemenkes,

2012) seperti terlihat di Kota Ambon dan Aru masih dibawah rata2 nasional, di

kep. Aru bahkan masih jauh dari angka rata2. Hal ini dapat dipahami walaupun

kabupaten kep. Aru menerima kebijakan Jampersal dengan baik, tapi masih

ditemukan banyak kendala dari sarana, prasarana, sumberdaya manusia dan

kondisi geografis yang berat.

Pada tabel dibawah ini menjelaskan tentang “continum of care dari”

sasaran Jampersal yang menggunakan Jampersal. Sasaran yang diambil adalah

Page 160: Riset Evaluasi Jampersal

121

ibu yang sedang masa nifas sehingga sudah melewati masa ANC, persalinan dan

PNC.

Tabel 5.3.

“Continum of care”pada Responden Sasaran Ibu Nifas Pengguna Jampersal

Per Kabupaten / Kota (N= 573)

Kabupaten/Kota K1 K1 + K4 K1 + K4 +

Persalinan

K1 + K4 +

Persalinan + PNC

Kab Sampang 91.4% 72.9% 71.4% 67.1%

Kota Blitar 76.0% 72.0% 68.0% 68.0%

Kota Mataram 90.6% 52.8% 43.4% 43.4%

Kab Lombok Tengah 64.5% 62.9% 59.7% 59.7%

Kota Bandung 33.3% 33.3% 33.3% 33.3%

Kab Bogor 41.2% 39.2% 39.2% 39.2%

Kota Ambon 86.1% 27.8% 27.8% 25.0%

Kab Kep Aru 66.3% 58.1% 58.1% 55.8%

Kota Kendari 100.0% 66.7% 50.0% 33.3%

Kab Wakatobi 94.6% 87.5% 87.5% 87.5%

Kota Batam 14.3% 14.3% 14.3% 14.3%

Kota Balikpapan 66.7% 66.7% 63.0% 63.0%

Kab Paser 77.8% 72.2% 72.2% 50.0%

13 kab/kota 74.9% 61.8% 59.9% 57.9%

Keterangan :

• Responden Ibu Nifas : Ibu Nifas yang pernah memanfaatkan Jampersal K1, K4,

Persalinan atau Pn

• K1 : Ibu Nifas yang K1 memanfaatkan Jampersal

• K1 + K4 : Ibu Nifas yangK1 dan K4 memanfaatkan Jampersal

• K1 + K4 + Persalinan : Ibu Nifas yang K1, K4 dan Persalinannya memanfaatkan

Jampersal

• K1 + K4 + Persalinan + Pn : Ibu Nifas yang K1, K4 , Persalinan dan Pn

memanfaatkan Jampersal

Secara Total dari 13 kabupaten / Kota penelitian responden Ibu nifas yang

memanfaatkan Jampersal untuk pelayanan K1 adalah 74,9%, pelayanan K1 dan

K4 adalah 61,8%, pelayanan K1, K4 dan persalinan 59,9% dan pelayanan K1, K4,

Persalinan dan Pelayanan Nifas adalah 57,9%. Di Sampang, Kota Mataram dan

Wakatobi Ibu nifas yang memanfaatkan K1 dengan Jampersal adalah > 90%,

bahkan di Kota Kendari 100%. Bagaimana “continum of care” Ibu Nifas pengguna

Jampersal di masing-masing kabupaten / kota terlihat di tabel dibawah ini :

Page 161: Riset Evaluasi Jampersal

122

Tabel 5.4.

Continum of care Pelayanan Jampersal (K1,K4, persalinan) dan PN

Di Kabupaten / Kota di Lokasi Penelitian Tahun 2012

Kabupaten / Kota A B C

Kab Sampang 20% 1,5% 4,3%

Kota Blitar 8% 4% 0%

Kota Mataram 47,2% 9,4% 0%

Kab Lombok Tengah 4,8% 3,2% 0%

Kota Bandung 0% 0% 0%

Kab Bogor 2% 0% 0%

Kota Ambon 58,3% 0% 2,8%

Kab Kep Aru 8,2% 0% 2,3%

Kota Kendari 50% 16,7% 6,7%

Kab Wakatobi 7,1% 0% 0%

Kota Batam 0% 0% 0%

Kota Balikpapan 3,7% 3,7% 0%

Kab Paser 5,6% 0% 22,2%

13 kab/kota 15% 1,9% 2%

Keterangan :

A : K1 – (K1+K4+Persalinan)

B : (K1+K4) –(K1+K4+Persalinan)

C : (K1+K4+Persalinan)- (K1+K4+Persalinan+PNC)

Di perkotaan seperti Bandung dan Batam ibu nifas yang telah

memanfaatkan Jampersal sedikit dibanding daerah penelitian lain. Tetapi jika

dilihat “continum of care” sangat baik karena pasien melakukan K1 sampai

dengan PNC dengan memanfaatkan Jampersal. Di Bogor juga sudah cukup baik,

yang mendapatkan layanan K1 menurun 2% yang bersalin dan Pn dengan

memanfaatkan Jampersal.

Berbeda dengan Kota kendari ketika K1 semua responden (100%)

menggunakan Jampersal, tapi terjadi penurunan yang cukup tajam pada K4,

persalinan dan PNC.

Ternyata dari data diatas dapat dijelaskan bahwa ibu yang ketika

persalinan memanfaatkan Jampersal, sebagian besar akan memanfaatkan

layanan PNC. Hanya saja dari data ini tidak dapat dijelaskan lebih lanjut

kelengkapan dalam paket PNC. Pengguna Jampersal yang menggunakan layanan

K1 dan K4 di Kota Bandung, Bogor, Kota Ambon, Kep. Aru, Wakatobi, Kota Batam

Page 162: Riset Evaluasi Jampersal

123

dan Paser 100% bersalin dengan Jampersal dan 100% memanfaatkan layanan Pn

kecuali Paser yang memanfaatkan Pn turun 22,2%. Yang perlu mendapat

perhatian adalah Kota Kendari, dimana pengguna Jampersal yang mendapat

layanan K1 (100%) tapi ketika K4, persalinan dan Pn menurun cukup drastis. Ini

menunjukan bahwa continum of care belum berjalan dengan baik. Responden

pada data dibawah ini adalah hanya sasaran Jampersal yang menggunakan

Jampersal ketika melahirkan tanpa memperhatikan apakah memanfaatkan

jampersal ketika ANC atau PNC setelahnya.

Tabel 5.5.

Tempat Persalinan Responden Pengguna Jampersal di Lokasi penelitian

Periode Oktober 2011-April 2012

Kabupaten / Kota Tempat Persalinan Jampersal

Fasilitas Kesehatan Non Fasilitas

Kesehatan

1. Kab Sampang 75 (100,0%) 0 (0,0%)

2. Kota Blitar 33 (100,0%) 0 (0,0%)

3. Kota Mataram 64 (100,0%) 0 (0,0%)

4. Kab Lombok Tengah 65 (100,0%) 0 (0,0%)

5. Kota Bandung 11 (100,0%) 0 (0,0%)

6. Kab Bogor 60 (100,0%) 0 (0,0%)

7. Kota Ambon 58 (100,0%) 0 (0,0%)

8. Kab Kep Aru 63 (72,4%) 24 (27,6%)

9. Kota Kendari 47 (100,0%) 0 (0,0%)

10. Kab Wakatobi 119 (97,5%) 3 (2,5%)

11. KotaBatam 54 (100,0%) 0 (0,0%)

12. Kota Balikpapan 51 (100,0%) 0 (0,0%)

13. Paser 26 (74,3%) 9 (25,7%)

Total 726 (95,3%) 36 (4,7%)

Sumber : Data Sasaran Penelitian Jampersal 2012

Terdapat sepuluh kabupaten/kota yang sasaran Jampersal

memanfaatkan pelayanan persalinan dengan Jampersal, persalinannya dilakukan

di fasilitas kesehatan (100%). Dari data diatas terlihat bahwa dengan

memanfaatkan Jampersal sasaran dilayani oleh tenaga kesehatan dan di fasilitas

kesehatan. Ada 3 (tiga0 kabupaten yang sasaran yang persalinan menggunakan

Jampersal yaitu di Kepulauan Aru (27,8%), Wakatobi (2,5%) dan Paser (25,7%)

masih dilakukan di non fasilitas kesehatan. Dari tabel diatas terlihat bahwa

Page 163: Riset Evaluasi Jampersal

124

seluruh responden ketika bersalin dengan Jampersal maka persalinannya oleh

nakes dan di fasilitas kesehatan kecuali 3 (tiga) kabupaten diatas yang

merupakan daerah yang secara geografis memang sulit dan dengan keterbatasan

sumberdaya.

Bagaimana dengan responden yang tidak memanfaatkan Jampersal?

Ketika ANC sasaran tidak menggunakan jampersal terlihat terjadi pergeseran

dari tenaga kesehatan saat ANC, ketika persalinan ditolong oleh non tenaga

kesehatan seperti tergambar dalam di bawah ini. Gambar dibawah ini

respondennya adalah sasaran Jampersal yang tidak menggunakan Jampersal.

Menjelaskan siapa tenaga pemeriksa kehamilan pada sasaran yang tidak

menggunakan Jampersal dan tabel 5.24 menjelaskan responden yang tidak

menggunakan Jampersal ketika bersalin berapa persen yang ditolong tenaga

kesehatan.

Gambar 5.24.

Tenaga Pemeriksa Kehamilan Pada Responden Non Pengguna Jampersal di Lokasi

Penelitian Periode Oktober 2011 – April 2012

Page 164: Riset Evaluasi Jampersal

125

Gambar 5.25

Tenaga Penolong Persalinan Pada Responden Non

Pengguna Jampersal di Lokasi Penelitian Periode Oktober 2011-April 2012

Sumber : Data sasaran Penelitian Jampersal 2012

Dari data sasaran yang tidak memanfaatkan Jampersal didapatkan bahwa

terdapat sasaran ibu hamil yang sudah memeriksakan kehamilannya di tenaga

kesehatan, ketika persalinan pindah ke tenaga non kesehatan seperti nampak

pada dua gambar diatas. Nampak jelas pergeseran sasaran dari nakes ketika

pemeriksaan kehamilan ke non nakes ketika persalinan di kabupaten / kota

Balikpapan, Kota Batam, Kota Kendari, Kepulauan Aru, Bogor, Bandung Lombok

Tengah dan Kota Mataram. Bahkan di kepulauan Aru, Lombok tengah dan Kota

Mataram antara 29% - 50% perubahan dari pasien yang ketika pemeriksaan

kehamilan dilakukan oleh tenaga kesehatan dan berubah menjadi bersalin pada

tenaga non kesehatan.

Page 165: Riset Evaluasi Jampersal

126

Gambar 5.26.

Kematian Maternal di Kabupaten / Kota Tahun 2010 - Juni 2012

Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota

Kematian Maternal pada tahun 2011 dan sampai dengan Juni 2012 di kabupaten

/ kota nampak cenderung meningkat kecuali Kota Bandung nampak menurun.

Penyebab kematian maternal terbanyak dari data sekunder pada penelitian ini

adalah perdarahan, eklamsi. Infeksi . Hal ini masih mengikuti pola menurut WHO

2007 bahwa penyebab kematian ibu yang paling umum di Indonesia adalah

penyebab obstetri langsung yaitu perdarahan 28 %, preeklampsi/eklampsi 24 %,

infeksi 11 %, sedangkan penyebab tidak langsung adalah trauma obstetri 5 %

dan lain – lain 11 % (WHO, 2007). Dari analisa kematian maternal tahun 2011

dari data rutin penyebab kematian Maternal tertinggi perdarahan 35% dan

hipertensi 22% dan Infeksi 5%. (Direktorat Ibu, Kemenkes, 2012).

Page 166: Riset Evaluasi Jampersal

127

Gambar 5.27.

Kematian Neonatal di Kabupaten / Kota Tahun 2010 - Juni 2012

Sumber : Dinas kesehatan Kota

Untuk kematian Maternal pada tahun 2011 terlihat kecenderungan

menurun, tetapi tahun 2012 di kabupaten Sampang dan Kota Batam ada

kecenderungan meningkat. Penyebab kematian neonatal dari data sekunder

Dinas kesehatan terbanyak adalah Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dan Asfiksia.

5.6.2. Utilitas di Pelayanan Rujukan

Jampersal menjamin pelayanan bagi ibu-ibu dengan kehamilan risiko

tinggi dan persalinan dengan penyulit dan komplikasi. Semua layanan itu

diberikan oleh tenaga-tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan. Persalinan di

fasilitas kesehatan ini merupakan hal yang sangat penting. Kalau dalam proses

persalinan terjadi komplikasi, tenaga kesehatan memiliki sarana untuk

melakukan tindakan pra rujukan yang diperlukan agar komplikasi tidak

memburuk, sebelum pasien dirujuk ke rumah sakit. Saat ini, belum semua

persalinan itu dilakukan di fasilitas kesehatan.

Page 167: Riset Evaluasi Jampersal

128

Untuk utilitas di pelayanan rujukan di dapatkan data dari rumah sakit

pemerintah di kabupaten / kota yang menjadi rumah sakit rujukan Jampersal dan

mempunyai Perjanjian Kerjasama (PKS) dengan Dinas Kesehatan kabupaten /

kota. Data yang didapatkan adalah persalinan per vaginam rujukan dengan

komplikasi, persalinan per vaginam rujukan tanpa komplikasi, selain itu setelah

tahun ke-2 Jampersal dilaksanakan dilihat tren jumlah kemtian maternal dan

neonatal di rumah sakit yang meliputi : kematian maternal < 24 jam, kematian

maternal >24 jam, kematian neonatal < 24 jam dan kematian neonatal > 24 jam.

Data tersebut ditampikan pada grafik sbb :

Gambar 5.28.

Penatalaksanaan Persalinan Rujukan Per vaginam dengan Komplikasi

di RS Pemerintah di Lokasi Penelitian tahun 2012

Secara umum pada tahun 2011 rujukan persalinan pervaginam dengan

komplikasi ke rumah sakit pemerintah di kabupaten / kota meningkat (RSUD kota

Blitar, Sampang, Loteng, Paser, Bogor). Hal ini kemungkinan disebabkan karena

tahun tersebut sudah diberlakukan Jampersal, dimana dalam juknis Jampersal

dijelaskan bahwa untuk persalinan dengan komplikasi dilakukan di pelayanan

rujukan (Puskesmas Poned dan rumah sakit).

“..adanya Jampersal kunjungan naik 50 % antara lain kasus KPD (ketuban pecah)

dan PCR (preklamsi)..” (Bidan RS, Kab Bogor).

Page 168: Riset Evaluasi Jampersal

129

Gambar 5.29.

Penatalaksanaan Persalinan Rujukan Per vaginam tanpa Komplikasi

di RS Pemerintah di Lokasi Penelitian tahun 2012

Persalinan rujukan pervaginam tanpa komplikasi di rumah sakit tahun

2011 dan tahun 2012 terlihat kecenderungan juga meningkat, terutama di RSUD

Kota Blitar. Bahkan di RSUD Blitar, Loteng, Kota Ambon dan Kota Kendari per Juni

tahun 2012 terlihat peningkatan yang cukup tinggi ( data diatas sampai dengan

bulan Juni 2012).

Tabel 5.6.

Jumlah Kasus Sectio caesaria yang ditangani di Rumah sakit di Kabupaten / Kota

Tahun 2010 – Juni 2012

Kabupaten Jumlah Kasus Sectio Caesaria

2010 2011 s/d Juni 2012 1. RSUD kab. Sampang 474 598 237

2. RSUD Kota Blitar 63 147 53

3. RSUD Kota Mataram 39 61 29

4. RSUD Lombok Tengah - - -

5. RSUD Kota Bandung 709 889 -

6. RSUD kab.Bogor 767 1161 624

7. RSUD Prov Ambon - - -

8. RSUD Kab. Kep Aru - - -

9. RSUD Kota Kendari - 8 50

10. RSUD Kab Wakatobi - - -

Page 169: Riset Evaluasi Jampersal

130

11.RSUD Kota Batam 439 412 499

12. RSUD Prov Balikpapan - - -

13. RSUD Kab. Paser - - -

14. RSUD Kab. Natuna 41 99 61

Keterangan : - tidak didapatkan data

Sumber : RSUD Kabupaten /Kota /Provinsi yang menjadi tempat rujukan Jampersal

kecuali RSUD di Natuna.

Kasus Persalinan sectio caesaria (SC) rumah sakit Pemerintah yang PKS

dengan Dinas kesehatan di Kabupaten / Kota terlihat cenderung meningkat di

tahun 2011 dan Juni 2012. Walaupun pada data diatas tidak hanya

menggambarkan khusus kasus SC yang di biayai dengan Jampersal, tapi

merupakan keseluruhan kasus yang ada di rumah sakit. Kasus SC ada yang

dirujuk maupun yang tidak dirujuk dengan jenis pelayanan SC elektif atas indikasi

medis dan SC emergensi.

“..sejak ada Jampersal pasien di rumah sakit menjadi lebih banyak dari

sebelumnya bisa sampai hampir dua kali lipatnya..”(SPOG, kab. Sampang)

Gambar 5.30

Kematian Maternal < 24 jam di Rumah Sakit Pemerintah di Lokasi

Penelitian Tahun 2010-1012

Kematian Maternal yang terjadi < 24 jam di rumah sakit bervariasi di

RSUD Kota Blitar, RSUD Sampang, RSUD Kota Batam Peningkatan kematian

maternal di RS dimungkinkan karena rujukan dari layanan dasar meningkat pada

tahun 2011 dan 2012.

Page 170: Riset Evaluasi Jampersal

131

Gambar 5.31

Kematian Maternal >24 jam di Rumah Sakit Pemerintah di Lokasi

Penelitian Tahun 2010-1012

Kematian Maternal > 24 jam di rumah sakit pada tahun 2011 juga terlihat

kecenderungan meningkat di kabupaten/kota. Kondisi ini perlu dikaji lebih lanjut

apakah berkaitan dengan meningkatnya kasus rujukan ke rumah sakit dan

berpengaruh pada pelayanan karena keterbatasan sarana, prasarana dan SDM di

rumah sakit.

Gambar 5.32

Kematian Neonatal di Rumah Sakit Pemerintah di Lokasi

Penelitian Tahun 2010- Juni 1012

Page 171: Riset Evaluasi Jampersal

132

Kematian neonatal di kota dan kabupaten ada yang meningkat pada

tahun2011 seperti di di Kabupaten Bogor dan kota Blitar dan sampai Juni 2012

ada kecenderungan menurun. Tapi di Kota Bandung. Di Kota Bandung dan Kota

Balikpapan tahun 2011 kasus kemtian neonatal menurun, tapi di Kota Balikpapan

sampai Juni 2012 meningkat cukup tinggi. Demikian juga di Kota Mataram

kematian Neonatal tahun 2012 meningkat .

5.7. AKSEPTABILITAS SASARAN DALAM PELAYANAN KESEHATAN IBU DAN

BAYI BARU LAHIR TERHADAP PROGRAM JAMINAN PERSALINAN.

Akseptabilitas sasaran terhadap Jampersal akan dijelaskan dimulai

dengan siapa sasaran yang memanfaatkan Jampersal dan bagaimana kepuasan

sasaran terhadap layanan Jampersal.

Gambar 5.33

Kepemilikan Jaminan Lain Pada Sasaran Pengguna Jampersal (N=1.243)

Untuk mencapai target MDG’s Jampersal diluncurkan dengan sasaran

adalah ibu hamil, bersalin, ibu nifas ( sampai dengan 42 hari) dan neonatus (0 –

28 hari) yang tidak mempunyai jaminan kesehatan. Dari data sasaran penelitian

ini ternyata yang memanfaatkan Jampersal 95% sudah memilik jaminan

Page 172: Riset Evaluasi Jampersal

133

kesehatan sebelumnya (Jamkesmas, Jamkesda, Askes, Jamsostek. Dan hanya 5%

yang tidak mempunyai jaminan (lainnya). Hal ini terjadi karena di kabupaten /

kota sejak pembiayaan Jampersal mulai dilaksanakan maka pembiayaan

Jamkesmas untuk pelayanan KIA (ANC, persalinan, PNC, KB) dibiayai dengan

Jampersal.

Untuk Jamkesda beberapa kabupaten / kota juga cenderung

memanfaatkan pembiayaan Jampersal atau dialihkan menjadi Jampersal, namun

ada juga kabupaten / kota yang masih menggunakan Jaminan Kesehatan Daerah.

Yang masih menjadi masalah adalah mengenai kepersertaan Jamkesmas. Karena

untuk sasaran Jampersal, harus dilakukan pemilahan dulu, apakah sasaran

tersebut bukan peserta Jamkesmas. Kenyataan di lapangan, peserta Jamkesmas

seringkali ke pelayanan tidak membawa kartu, karena kartu di simpan di Kepala

Desa. Setiap pasien berobat mengambil kartu di kepala desa dan setelah berobat

dikembalikan lagi ke kepala desa, sehingga membuat pasien enggan untuk

memanfaatkan kartunya.

Askes juga dimanfaatkan oleh sasaran untuk persalinan anak ke 3 (tiga)

dst. Disebabkan Askes hanya membiayai sampai anak ke 2 (dua), sehingga anak

ke 3 (tiga) dst sasaran tidak dapat memanfatkan Askes. Selain itu kemudahan

pemanfaatan Jampersal dengan persyaratan cukup KTP dan bersifat portabilitas,

sehingga lebih mudah untuk dimanfaatkan dibandingkan jaminan kesehatan

yang lain.

Page 173: Riset Evaluasi Jampersal

134

Gambar 5.34

Alasan Tidak Menggunakan Jampersal Pada Sasaran (N=525)

Sosialisasi menjadi faktor yang penting untuk keberhasilan pelaksanaan

program jampersal. Dari data diatas menunjukkan bahwa sasaran yang tidak

memenfaatkan Jampersal 66,70% karena tidak tahu adanya Jampersal. Disini

juga terlihat bahwa peran suami juga sangat mempengaruhi sasaran

memanfaatkan atau tidak Jampersal. Yang menarik ada 0,8% dari sasasan tidak

memanfaatkan Jampersal karena dilarang oleh tenaga kesehatan dan kader

kesehatan. Hal ini dapat dipahami karena di beberapa kabupaten / Kota besaran

tarif jampersal dianggap belum memadai dan penerimaan klaim terlalu lama,

sehingga membuat keengganan dari tenaga kesehatan untuk memanfaatkan

Jampersal untuk jasa pelayanannya.

Page 174: Riset Evaluasi Jampersal

135

Gambar 5.35

Kepemilikan Jaminan pada sasaran Non pengguna Jampersal (N=525)

Gambar 5.36

Pembiayaan Tambahan Pada Sasaran Pengguna Jampersal pada

Kabupaten/Kota Daerah Penelitian

Nampak di sebagian besar kabupaten / Kota untuk persalinan terdapat

pembiayaan lain pada pasien yang persalinannya menggunakan Jampersal. Dari

Gambar di atas nampak bahwa di Kota Blitar, Kota Mataram, Kota Bandung,

Bogor dan Kota Balikpapan terdapat > 20% pasien yang dikenakan biaya

tambahan diluar Jampersal, bahkan Kota Balikpapan sampai 84,3%.

“..di sini kan mahal apa2 bu. Untuk bayar air saja mahal mana biasanya yang

bersalin 1 yang nungguin 3 -4 orang dan mandi semua. Jadi bayar selisih itu juga

termasuk untuk biaya tersebut..” (NN, Kota Balikpapan).

Page 175: Riset Evaluasi Jampersal

136

Jika dilihat lebih lanjut maka sebagian besar adalah perkotaan. Untuk

meminimalisasi keadaan ini maka beberapa daerah sudah melakukan “uji petik”

pada beberapa kasus. “Uji petik” dapat dilakukan langsung ke masyarakat atau

mengambil beberapa kasus secara acak untuk kemudian dilakukan konfirmasi

melalui telpon. Dari hasil uji petik verifikator mendapatkan bebarapa temuan

terkait dengan pelaksanaan Jampersal seperti adanya penarikan pembiayaan

pada pasien yang memanfaatkan Jampersal.

“..PKK beberapa bulan lalu ada penjelasan dari PKM dan kami sudah berusaha

untuk sosialisasi di warga. Tapi tingkat penyerapan tiap individu kan beda-beda.

Jadi kalau bisa ada batasan-batasan . hanya untuk warga miskin saja. Jadi kalau

bisa gak ada tambahan-tambahan biaya lagi. Salah satu warga pernah

merasakan jampersal di RS tapi ada beberapa obat yang masih musti bayar. Jadi

harapannya kalau bisa gratis semuanya. Lalu untuk opname juga masih ada yang

bayar. Lalu untuk pelayanan persalinan apa memang harus langsung pulang?

Jadi kalau bisa ada jeda hari lah untuk pelayanan..” (Toma, Kota Blitar).

Berikut kutipan hasil FGD dengan tokoh masyarakat yang ada di Kota

Bandung yang menyatakan bahwa ada biaya tambahan yang dibebankan kepada

masyarakat:

“..Jampersal tidak semua gratis, sudah ada patokan dari pemerintah. Kalo ada

tindakan lebih dari itu, masyarakat menanggung. Jampersal punya syarat –

syarat khusus, yaitu ikut KB jangka panjang, yaitu IUD dan implant. Kalo operasi

kalo melebihi kuota di bayar sendiri..” (NN, tokoh masyarakat Kota Bandung).

“..misalnya obat-obatan yang disediakan obat A, ternyata ada tambahan obat B,

obat B yang dibayar..” (NN, tokoh masyarakat Kota Bandung).

5.8 PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM MENINGKATKAN CAKUPAN

PELAYANAN KESEHATAN IBU DAN BAYI BARU LAHIR TERHADAP

PROGRAM JAMINAN PERSALINAN

Dari proses pengumpulan data terdapat beberapa temuan yang menarik

terkait Kesehatan Ibu dan Anak. Diambil tiga tematik yang menarik untuk

dilakukan penelitian lebih lanjut yaitu :

1) Program dalam upaya mendukung Kesehatan Ibu dan Anak dengan

pendanaan melalui PNPM Gerakan Sehat Cerdas (GSC) yang merupakan

Program dari Kementerian Dalam Negeri di Kabupaten Lombok Tengah.

Page 176: Riset Evaluasi Jampersal

137

2) Bayang-bayang Jampersal di Lamanggau. Puskesmas Onemobaa adalah

sebuah puskesmas yang dibangun sekitar tahun 2007. Puskesmas ini

mempunyai hanya satu desa sebagai wilayah kerjanya, yaitu Desa

Lamanggau. Berdasarkan informasi dari Pengelola Jampersal Dinas Kesehatan

Kabupaten Wakatobi, Puskesmas Onemobaa tidak memfaatkan Jampersal.

Hal ini terlihat dengan dana klaim yang diajukan Puskesmas Onemobaa pada

tahun 2012 adalah nol rupiah. Hal ini tentu menjadi pertanyaan besar,

mengapa jumlah klaim yang diajukan oleh Puskesmas Onemobaa adalah nol

rupiah.

3) Antara Budaya, Tabu dan Upaya Penyelamatan Ibu di Kota Blitar. Tema ini

dipilih disebabkan adanya kejadian kematian maternal yang cukup tinggi di

puskesmas di Kota Blitar yang secara akses ke pelayanan kesehatan sangat

dekat dan fasilitas rujukan sangat memadai.

5.8.1 Pemberdayaan Masyarakat dalam upaya mendukung program KIA

melalui PNPM GSC di Kabupaten Lombok Tengah

PNPM GSC merupakan pengembangan dari Program Nasional

Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-Mandiri) yang dimulai pada tahun

2007. Menurut fasilitator kabupaten PNPM GSC Lombok Tengah, latar belakang

adanya PNPM GSC di Lombok Tengah dikarenakan Indeks Pembangunan

Manusia (IPM) Lombok Tengah berada di urutan terakhir di provinsi NTB. IPM

Kabupaten Lombok Tengah Tahun 2010 adalah 60,73 (peringkat ke 2 terendah

Provinsi NTB) sedangkan IPKM Kabupaten Lombok Tengah 0,467282 (peringkat

ke 286 nasional). Ditambah lagi angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian

bayi (AKB) di Lombok Tengah yang cukup tinggi. Selain kesehatan, pendidikan di

Lombok Tengah juga masih kurang. Rata-rata pendidikan masyarakat 5,7 tahun

artinya banyak penduduk Lombok Tengah yang tidak tamat Sekolah Dasar.

Tujuan PNPM GSC adalah meningkatkan kesehatan ibu dan anak dan

menuntaskan wajib belajar sembilan tahun. Dari total 12 kecamatan di Lombok

Tengah terdapat dua kecamatan yang tidak melaksanakan PNPM GSC yaitu

Page 177: Riset Evaluasi Jampersal

138

Kecamatan Praya dan Kopang. Dana yang dikeluarkan PNPM GSC per kecamatan

sebesar 1,8 milyar pada thn 2011, sehingga setiap desa mendapat dana sebesar

kurang lebih antara 200-300 juta per tahun.

Adapun indikator keberhasilan PNPM GSC di bidang kesehatan ibu

adalah sebagai berikut: 1) Setiap ibu hamil melakukan pemeriksaan kehamilan

(ANC) ke tenaga kesehatan minimal sebanyak empat kali selama masa

kehamilan; 2) Setiap ibu hamil meminum minimal 90 butir pil FE (penambah

darah) selama masa kehamilannya. 3) Setiap persalinan harus di lakukan di

tenaga kesehatan dan di fasilitas kesehatan. 4) Setiap ibu yang sudah melahirkan

melakukan PNC sebanyak tiga kali. Empat indikator kesehatan balita

diantaranya adalah : 1) Penimbangan bulanan; 2)Pemberian vitamin A ; 3)

Imunisasi dasar lengkap dan 4) Balita yang naik berat badannya (capaian N/D).

Sedangkan Untuk bidang pendidikan terdapat empat indikator yaitu : 1) Setiap

anak usia sekolah dasar terdaftar sebagai siswa sekolah dasar ; 2) Tingkat

kehadiran siswa sekolah dasar dalam mengikuti proses belajar mengajar

minimum 85%; 3) Setiap anak yang lulus SD terdaftar sebagai siswa sekolah

menengah pertama; 4) Tingkat kehadiran siswa sekolah menengah pertama

dalam mengikuti proses belajar mengajar minimum 85%.

Untuk melihat keberhasilan Kabupaten Lombok Tengah dalam melaksanakan

PNPM GSC berikut ini adalah grafik persentase keberhasilan indikator PNPM GSC

Kabupaten Lombok tengah :

Page 178: Riset Evaluasi Jampersal

139

Gambar 5.37.

Persentase Capaian Indikator Keberhasilan PNPM GSC Kabupaten Lombok

Tengah

Sumber : PNPM GSC Kabupaten Lombok Tengah

Berdasarkan grafik di atas terlihat bahwa capaian indikator bidang

kesehatan ibu dan anak tertinggi pada Indikator 3 (Pertolongan persalinan oleh

dokter/tenaga kesehatan yang kompeten), disusul Indikator 2 (Pemberian pil Fe),

dan Indikator 7 (pemberian tablet vit A). Sedangkan Indikator terendah pada

Indikator satu (pencapaian pelayanan ANC lengkap/K4). Hasil ini menunjukkan

makin masifnya linakes dengan kompetensi kebidanan (Pn) dan strategi linakes

dalam upaya PWS KIA dan Gizi serta ketanggapan linakes dalam pencegahan tiga

terlambat (3T) dalam pelayanan KIA di wilayah kerja Puskesmas. Namun

demikian, perlu peningkatan pencapaian sebagai strategi kunci dalam upaya

penurunan AKI dan AKB yang diprioritaskan pada indikator satu. Secara umum

pencapaian delapan indikator PNPM GSC bidang Kesehatan di sepuluh

Kecamatan di Kabupaten Lombok Tengah cukup baik.

Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam PNPM GSC berjenjang dari

tingkat provinsi sampai ke tingkat desa (PTO PNPM GSC, 2008) :

Page 179: Riset Evaluasi Jampersal

140

� Di tingkat provinsi : 1). Spesialis PNPM GSC, bertugas dalam membangun dan

membina hubungan dengan pelaku kesehatan dan pendidikan. 2). Spesialis

manajemen informasi sistem, bertanggung jawab dalam memberikan

bantuan teknis dalam pengembangan dan perawatan sistem

informasi/komunikasi database untuk memastikan pelaporan yang akurat

dan terkini.

� Di tingkat kabupaten : 1). Bupati, bertanggung jawab atas pelaksanaan

program di tingkat kabupaten. 2). Tim Koordinasi Kabupaten, membina

pengembangan peran serta masyarakat, membina administrasi kegiatan,

serta mengkoordinir antar instansi terkait di kabupaten. 3). Fasilitator

Kabupaten, memfasilitasi dan membantu Tim Koordinasi Kabupaten dalam

mengkoordinasikan, mengembangkan, dan melestarikan kegiatan-kegiatan

yang didanai oleh program. 4). Fasilitator Keuangan, meningkatkan dukungan

teknis pendampingan dan pengendalian BLM PNPM GSC, pengendalian

laporan keuangan, pencairan dan penyaluran dana rekening kolektif serta

rekening multiyears.

� Di tingkat kecamatan : 1). Camat, memfasilitasi koordinasi antara masyarakat

desa dengan Puskesmas dan cabang Dinas Pendidikan Nasional (Dinas

Diknas) di wilayahnya. 2). Penanggung Jawab Operasional Kegiatan (PJOK),

bertanggungjawab atas penyelenggaraan operasional kegiatan dan

keberhasilan seluruh kegiatan di kecamatan. 3). Puskesmas, Kepala

Puskesmas berperan sebagai Pembina pelaksanaan program di wilayah

cakupan pelayanan Puskesmas itu berada. Tugas Puskesmas (terutama para

bidan desa) adalah memberi masukan dan memfasilitasi kegiatan bidang

kesehatan. 4). Unit Pengelola Kegiatan (UPK), pengelola dan operasional

pelaksanaan kegiatan PNPM Generasi di tingkat antar desa termasuk

mengkoordinasikan pertemuan- pertemuan di kecamatan. 5). Kelompok

Kerja (Pokja), mengelola dana untuk kegiatan yang tidak langsung

dilaksanakan sekaligus, tetapi dilaksanakan berkali-kali secara rutin (atau

yang bersifat multiyears). 6). Fasilitator Kecamatan (FK), merupakan

Page 180: Riset Evaluasi Jampersal

141

pendamping masyarakat yang bertugas memfasilitasi masyarakat dalam

melaksanakan setiap tahapan program mulai dari tahap sosialisasi, pelatihan,

pemetaan sosial, perencanaan, pelaksanaan, dan pelestarian. FK juga

berperan dalam membimbing FD/KPMD, Kader Dusun atau pelaku-pelaku

program di tingkat desa dan kecamatan.

� Di tingkat desa :1). KPMD (Kader pemberdayaan masyarakat desa),

memfasilitasi masyarakat dalam melaksanakan tahapan proses program di

tingkat desa sejak persiapan, perencanaan, pelaksanaan sampai pelestarian

kegiatan. 2). TPMD (Tim Pertimbangan Musyawarah Desa), memberikan

pertimbangan dalam menetapkan dan mengevaluasi kegiatan-kegiatan

PNPM GSC. 3). PK/TPK (pelaksana kegiatan), tim yang akan melaksanakan

kegiatan yang telah diputuskan musyawarah desa untuk didanai PNPM GSC

terdiri dari ketua, sekretaris dan bendahara. 4). Kelompok ibu-ibu sasaran,

kelompok yang dibentuk dengan mengumpulkan seluruh ibu yang menjadi

sasaran program seperti ibu hamil dan ibu yang memiliki balita. Fungsi

kelompok ini adalah sebagai forum diskusi berbagai permasalah yang dialami

atau berbagi pengalaman diantara anggota-anggotanya.

Salah satu kecamatan di Kabupaten Lombok Tengah yang dianggap cukup

berhasil melaksanakan PNPM GSC adalah Kecamatan Janapria. Pendapat ini

dikemukakan oleh Kepala Dinas Kesehatan Lombok Tengah karena menurutnya

kerjasama antara PNPM GSC Kecamatan Janapria dengan pihak penyedia layanan

kesehatan di wilayah kecamatan Janapria cukup baik dan dapat mendongkrak

indikator keberhasilan program kesehatan ibu dan anak dari dinas kesehatan.

Selain itu keberhasilan Kecamatan Janapria dalam PNPM GSC juga didukung oleh

data capaian delapan indikator PNPM-GSC bidang Kesehatan di Kabupaten

Lombok Tengah. (Tabel 1, terlampir)

Berdasarkan data capaian delapan indikator di Kecamatan Janapria

diperoleh informasi sebagai berikut:

1) Dari 12 desa yang ada di Kecamatan Janapria, belum ada desa yang berhasil

diperiksa oleh bidan terkait ANC 4 kali (lengkap) selama masa kehamilan.

Page 181: Riset Evaluasi Jampersal

142

2) Dari 12 desa terdapat sepuluh desa di Kecamatan Janapria yang seluruh ibu

hamilnya berhasil mendapatkan minimal 90 butir pil Fe selama masa

kehamilan.

3) Semua desa di Kecamatan Janapria telah berhasil memperoleh persalinan

yang ditangani oleh tenaga bidan atau dokter (Pn) dengan kompetensi

kebidanan.

4) Dari 12 desa terdapat tujuh desa di Kecamatan Janapria yang ibu nifas dan

bayinya telah berhasil memperoleh perawatan nifas oleh bidan atau dokter

minimal dua kali perawatan dalam waktu 40 hari setelah proses persalinan.

5) Belum ada desa dengan bayi usia 12 bulan ke bawah yang berhasil

memperoleh imunisasi dasar secara lengkap yaitu BCG, DPT, Campak, Polio,

dan Hepatitis B dalam pelayanan KIA di Posyandu.

6) Semua desa dengan bayi usia 12 bulan ke bawah berat badanny a telah

berhasil di timbang dan selalu naik pada setiap bulannya (untuk bayi di

bawah usia 6 bulan, berat badannya naik lebih dari 500 g per bulan dan bayi

usia 6-12 bulan naik lebih dari 300 g).

7) Semua desa dengan anak usia 6 bulan sampai 59 bulan telah berhasil

mendapatkan Vitamin A sebanyak 2 kali dalam Setahun.

8) Semua desa dengan anak balita (bawah lima tahun) telah berhasil ditimbang

sebulan sekali secara rutin.

Secara umum, implementasi capaian minimal 12 bulan GSC di Kecamatan

Janapria melebihi nilai minimal indikator dengan demikian disimpulkan capaian

cukup baik pada delapan indikator keberhasilan PNPM GSC. Keberhasilan PNPM

GSC di Kecamatan Janapria tidak terlepas dari adanya koordinasi yang dilakukan

PNPM GSC dengan layanan kesehatan yang ada di wilayah Kecamatan Janapria

dimana ada dua puskesmas yang wilayah kerjanya ada di kecamatan ini yaitu

Puskesmas Janapria dan Puskesmas Langko. PNPM GSC bertugas untuk

melakukan kegiatan yang mendukung pelaksanaan layanan kesehatan ibu dan

anak yang dilakukan oleh petugas kesehatan di Puskesmas Janapria dan

Puskesmas Langko. Di bawah ini adalah grafik kunjungan K1, K4, dan linakes di

Page 182: Riset Evaluasi Jampersal

143

Puskesmas Janapria yang wilayah kerjanya meliputi enam desa yaitu Desa

Janapria, Saba, Lekor, Pendem, Setuta, dan Jango.

Gambar 5.38

Kunjungan K1, K4 dan Linakes Puskesmas Janapria Thn 2010-2012

Sumber : Data PWS KIA Puskesmas Janapria 2010-2012

Berdasarkan grafik di atas terlihat bahwa kunjungan K1 pada tahun 2010

sebesar 83.3% kemudian sedikit menurun di tahun 2011 menjadi 78.3% dan

kembali meningkat di tahun 2012 menjadi 88.4%. Untuk kunjungan K4 tahun

angkanya cenderung terus meningkat dari tahun 2010 sebesar 77.5% kemudian

menjadi 78.2% di tahun 2011 dan meningkat menjadi 82.05% di tahun 2011.

Data linakes menunjukkan tahun 2010 sebesar 71.8%, menurun menjadi 65.5%

pada tahun 2011 kemudian kembali meningkat menjadi 71.7% pada tahun 2012.

Pelaksanaan PNPM GSC di Desa Saba

Menurut bendahara PNPM GSC Desa Saba yang juga merupakan kader

posyandu Desa Saba yang juga merupakan bendahara PNPM GSC, tidak adanya

pemberian uang transport bagi ibu hamil dan ibu bersalin bukan suatu masalah

karena dulunya Desa Saba termasuk ke dalam desa siaga sehingga sudah ada

ambulance desa yang akan mengantarkan ibu yang melahirkan. Ditambah lagi

Page 183: Riset Evaluasi Jampersal

144

dengan adanya budaya setempat yang membuat kesepakatan bersama agar

penduduk yang tinggal di sekitar ibu hamil selalu siap sedia mengantarkan ibu

hamil tersebut jika tiba waktu melahirkan. Kesepakatan bersama ini disebut

dengan istilah “awig-awig” yaitu kesepakatan yang telah menjadi aturan bersama

atau norma pada suatu masyarakat.

“..tidak jadi masalah karena desa Saba berangkat dari desa siaga maka ada

ambulance desa, sudah jadi keputusan desa, awig-awignya ada siapapun yang

ada di lingkungan itu ada yang mau melahirkan diwajibkan untuk membawa.

Misalnya ada tetangga saya ada yang mau melahirkan, kita harus wajib

mengantarkan ke tempat ibu bidan atau ke puskesmas..”

Untuk mendukung kesehatan ibu hamil sejak usia kehamilan lima bulan

ibu hamil akan mendapatkan makanan tambahan. Pemberian makanan

tambahan (PMT) terdiri dari dua jenis yaitu PMT penyuluhan untuk ibu hamil

yang dalam kondisi sehat dan PMT pemulihan untuk ibu hamil yang tergolong

kurang gizi. Bagi ibu hamil yang tergolong kurang gizi maka ibu hamil akan

mendapat PMT yang porsinya lebih banyak dari ibu hamil yang dalam kondisi

sehat yang terdiri dari susu 300 gram, berasnya 2 kg, telur 20 butir diberikan

selama 3 bulan.

Selain pemberian PMT juga dilakukan kelas ibu hamil yang dilakukan

sebulan sekali. Kegiatan dalam kelas ibu hamil adalah senam bagi ibu hamil dan

penyuluhan bagi ibu hamil mengenai pentingnya menjaga kesehatan selama

masa kehamilan. Kelas ibu hamil ini difasilitasi oleh bidan puskesmas dengan

PNPM GSC sebagai penyelenggaranya.

Pelaksanaan PNPM GSC di Desa Lekor

Desa Lekor merupakan desa yang letaknya paling jauh dari pusat

Kecamatan Janapria. Awalnya persalinan oleh tenaga kesehatan di desa ini

sedikit, masyarakat lebih memilih untuk melahirkan di rumah dengan ditolong

oleh dukun beranak yang dalam bahasa setempat disebut dengan “belian sasak”.

Masyarakat Desa Lekor lebih mempercayai “belian sasak” untuk menolong

Page 184: Riset Evaluasi Jampersal

145

persalinan karena dalam menolong persalinan belian sasak menggunakan doa-

doa. Di bawah ini adalah data PWS KIA Desa Lekor yang diperoleh dari

puskesmas Kecamatan Janapria :

Gambar 5.39

Kunjungan K1 dan K4 serta Linakes Desa Lekor, Th 2010-s.d Okt 2012

Sumber : PWS KIA Puskesmas Janapria, 2010-2012.

Berdasarkan data di atas terlihat untuk cakupan K1 mengalami

peningkatan dari tahun 2010 yang semula 62.2% menjadi 68.2% pada tahun

2011 kemudian meningkat drastis menjadi 108.4% pada tahun 2012. Untuk

cakupan K4 pada tahun 2010 sebesar 56.8% meningkat menjadi 71.9% pada

tahun 2011 dan kembali meningkat menjadi 98.6% pada tahun 2012. Angka

persalinan dengan ditolong tenaga kesehatan cakupannya sebesar 61.4% pada

tahun 2010 kemudian sedikit menurun menjadi 56.57% pada tahun 2011 dan

kembali meningkat menjadi 73.83% pada tahun 2012.

Untuk mendorong agar masyarakat mau melahirkan di polindes dengan

ditolong bidan maka PNPM GSC akan memberikan perlengkapan persalinan

seperti bak mandi, kelambu bayi, paket perlengkapan bayi seperti baju bayi,

popok, sabun, handuk kepada setiap ibu yang melahirkan di polindes.

Page 185: Riset Evaluasi Jampersal

146

Selain itu kehadiran balian sasak tidak dapat dihilangkan begitu saja

dalam menolong persalinan karena walaupun ibu mau melahirkan di poskesdes,

ibu tetap meminta agar “belian sasak” mendampingi ibu ketika melahirkan.

Untuk mendukung keinginan masyarakat ini maka PNPM GSC memberikan uang

transport bagi “belian sasak” yang membawa ibu hamil untuk melahirkan di

poskesdes sebesar Rp 80.000. Strategi pemberian paket bagi ibu yang melahirkan

di poskesdes dan pemberian transport bagi “belian sasak” terbukti cukup

berhasil mendorong ibu hamil di Desa Lekor untuk mau melahirkan di poskesdes

dengan ditolong bidan. Seperti pernyataan bidan Desa Lekor berikut ini:

“..sejak tahun 2012 per Januari sudah mulai kelihatan perubahan. Dulunya

persalinan non nakes sangat banyak bisa 60-40%. Satu tahun ini cuma ada satu

yang melahirkan non nakes..”

Gambar 5.40. Poskesdes Desa Lekor yang dibangun oleh PNPM GSC

Sumber : Dokumentasi Peneliti

PNPM GSC di Desa Langko

Kegiatan PNPM GSC telah dimulai di Desa Langko pada tahun 2011,

awalnya kepengurusan program ini masih bergabung dengan PNPM Perdesaan.

Pada bulan Agustus tahun 2011 baru dibentuk kepengurusan tersendiri untuk

PNPM GSC. Dalam PNPM GSC kepengurusannya terdiri dari pelaksana kegiatan

Page 186: Riset Evaluasi Jampersal

147

(PK) yang terdiri dari satu orang ketua, satu orang sekretaris dan satu orang

bendahara. Selain PK ada yang disebut dengan Kader Pemberdayaan Masyarakat

Desa (KPMD) yang terdiri dari dua orang. Kemudian ada yang disebut dengan Tim

Pertimbangan Musyawarah Desa (TPMD). Pemilihan ketua PK PNPM GSC dipilih

melalui musyawarah namun jika tidak terdapat kesepakatan dilakukan voting.

Ketua PK Desa Langko yang sekarang, terpilih melalui voting, namanya diusulkan

karena telah lama menjadi KPMD di PNPM Perdesaan.

Pada awalnya, ibu-ibu hamil di Desa Langko jarang yang mau

memeriksakan kehamilannya atau melahirkan di bidan puskesmas. Hal ini

dikarenakan ibu hamil merasa enggan jika harus ke puskesmas karena harus

menunggu terlalu lama. Ibu hamil lebih memilih memeriksakan diri ke polindes

karena letak polindes lebih dekat namun tidak ada bidan yang tinggal di polindes

Desa Langko. Alasan bidan tidak mau tinggal di polindes Desa Langko karena

kondisi polindes yang sudah rusak dan tidak ada air bersih yang tersedia di

polindes. Salah satu cara agar bidan mau tinggal di polindes Desa Langko maka

polindes harus diperbaiki dan ada sumber air bersih. Melihat kondisi polindes

seperti ini maka ketika musyawarah antar dusun dilakukan untuk menentukan

prioritas kegiatan PNPM GSC, usulan untuk merenovasi polindes paling banyak

muncul di masyarakat.

Disamping itu sebelumnya ibu hamil jarang memeriksakan kehamilan ke

posyandu karena ibu hamil lebih memilih untuk memeriksakan diri ke dukun

beranak. Ditambah lagi dengan adanya kepercayaan di masyarakat bahwa ibu

hamil pantang untuk diperiksa awal oleh petugas kesehatan karena takut

keguguran.

Seperti diungkapkan oleh informan HB seorang bidan yang masih berstatus bidan

magang di Desa Langko:

“..kalau dulu kan ada kepercayaan kalau dipegang awal takut keguguran.

Maksudnya pemeriksaan awal makanya lebih banyak yang periksa kehamilan ke

dukun. Tingkat kesadarannya belum ada terhadap kesehatan jadi ketika 5 atau 6

bulan baru ke periksa ke petugas kesehatan. Kalau awal-awal cuma dikasih tahu

sama dukun beranak, oh kamu hamil, tanpa dipastikan atau di tes.

Kepercayaannya kalau dari awal sudah dipegang bidan nanti keguguran atau

Page 187: Riset Evaluasi Jampersal

148

kandungannya hilang. Tapi sekarang sudah tidak, baru telat satu minggu saja

sudah ke bidan..”

Untuk mengubah pandangan masyarakat, maka bidan Desa Langko

melakukan penyuluhan setiap dilaksanakannya posyandu di setiap dusun.

Sebagai dukungan untuk kesehatan ibu hamil, PNPM GSC juga mendanai

kegiatan kelas ibu hamil. Dalam kegiatan ini dilakukan senam ibu hamil yang

disertai penyuluhan terhadap ibu hamil agar mau melahirkan di polindes atau

puskesmas. Seperti diutarakan oleh bidan Desa Langko berikut ini:

“..pada kelas ibu hamil kita undang ibu hamil yang tiga bulan lagi mau

melahirkan, kita ajarkan senam. Karena saya belum dilatih maka yang

memimpin senam bidan koordinator dari puskesmas. Kelas ibu hamil penting

untuk meningkatkan kesadaran ibu hamil untuk memeriksa sampai melahirkan,

sampai KB harus ke tenaga kesehatan..”

Gambar 5.41

Pelaksanaan Kelas Ibu Hamil yang difasilitasi oleh PNPM GSC

Sumber : Dokumentasi Fasilitator Kecamatan Janapria

Namun pelaksanaan kelas ibu hamil tidak rutin dilakukan karena kegiatan

ini bukan merupakan prioritas usulan dari masyarakat. Hal ini cukup disayangkan

oleh bidan Desa Langko karena menurutnya kelas ibu hamil sangat bermanfaat

untuk meningkatkan kesadaran ibu hamil untuk memeriksakan kehamilan dan

Page 188: Riset Evaluasi Jampersal

149

melahirkan di tenaga kesehatan. Setiap ibu hamil yang datang ke kelas ibu hamil

diberikan uang transport sebesar Rp 20.000 dari dana PNPM GSC. Untuk pelatih

senam atau pemberi penyuluhan biasanya juga diberikan uang sebagai

narasumber. Dalam kegiatan kelas ibu hamil PNPM GSC bertugas menyediakan

sarana dan prasarana seperti sound system, video player, televisi, bantal dan

matras untuk senam ibu hamil serta dana untuk honor narasumber dan transport

untuk ibu hamil yang datang. Berikut ini adalah tabel data K1, K4 persalinan oleh

tenaga kesehatan Desa Langko yang diperoleh dari Puskesmas Langko :

Gambar 5.42

Kunjungan K1, K4, Linakes Desa Langko Thn 2010-2012

Sumber : Data PWS KIA Puskesmas Langko 2010-2012

Berdasarkan tabel di atas (penjelasan 2012), terlihat bahwa ibu hamil di

Desa Langko cukup rajin memeriksakan kehamilannya angkanya pun cenderung

meningkat dari tahun 2011 ke tahun 2012. Seperti pada angka K1 tahun 2011

sebanyak 98.3% ibu hamil di Desa Langko memeriksakan kehamilannya ke

puskesmas, polindes atau posyandu dan pada tahun 2012 angkanya meningkat

menjadi 105.4%. Begitupula dengan angka K4 meningkat dari 95.7% tahun 2011

menjadi 100% pada tahun 2012. Untuk persalinan dengan ditolong tenaga

kesehatan juga mengalami peningkatan berarti yaitu dari 91% pada tahun 2011

Page 189: Riset Evaluasi Jampersal

150

menjadi 105.7% pada tahun 2012. Peningkatan ini dapat terjadi salahsatunya

karena bidan yang bertugas di Desa Langko sudah tinggal menetap di polindes

Desa Langko. Ditambah lagi dengan kesadaran masyarakat Desa Langko yang

mulai meningkat karena seringnya diadakan penyuluhan kesehatan kepada ibu-

ibu hamil.

Sebagai dukungan agar ibu hamil mau memeriksakan dirinya dan

melahirkan ke petugas kesehatan maka PNPM GSC pernah memberikan uang

transport untuk diberikan kepada ibu hamil. Namun pemberian uang transport

kepada ibu hamil dihentikan karena tidak disetujui oleh pihak dinas kesehatan

Lombok Tengah. Usulan pemberian uang transport untuk ibu hamil ini

sebenarnya datang dari masyarakat namun menurut kepala Desa Langko ibu

tanpa adanya uang transport pun ibu hamil di Desa sudah cukup rajin

memeriksakan kehamilannya ke tenaga kesehatan karena letak Desa Langko

bukan di pelosok sehingga tidak terlalu jauh dari puskesmas atau polindes.

“..usulan dari masyarakat supaya tidak ada yang terlewatkan ibu hamil yang

periksa kehamilan untuk mendapatkan jampersal nanti minimal dia periksa

kehamilan empat kali sehingga kita support lewat transport itu. Tapi bertolak

belakang dengan programnya dinas kesehatan. Dinas kesehatan

memberitahukan hal ini ke kepala camat, kepala desa. Di Desa Langko tanpa

transport untuk ibu hamil rasanya sudah rajin periksa kehamilan karena desa

Langko bukan termasuk daerah pelosok..”

Selain merenovasi polindes, untuk mendukung kesehatan ibu juga

dilakukan pemberian makanan tambahan. Pemberian makanan tambahan ada

yang untuk ibu hamil yang status gizinya masih baik dan ada yang diperuntukkan

untuk ibu hamil Kek. Pada tahun 2011 Desa Langko mulai memberikan PMT

untuk ibu hamil. Awalnya pada bulan pertama jumlah yang diberikan sesuai

dengan data sasaran yang ada. Pada bulan kedua semua ibu hamil dapat

mendaftar untuk memperoleh PMT dengan syarat memiliki buku KIA. Namun

akibatnya jumlah ibu hamil yang mendapatkan PMT membeludak padahal

jumlah dana yang ada hanya untuk 30 orang ibu hamil. Untuk mengatasi hal ini

PK Desa Langko berkonsultasi dengan petugas gizi dari puskesmas Langko,

hasilnya jumlah dana untuk 30 orang dibagi agar cukup untuk PMT sesuai jumlah

Page 190: Riset Evaluasi Jampersal

151

ibu yang mendaftar. Hal ini terpaksa dilakukan walaupun nantinya PMT yang

diberikan tidak mencukupi kebutuhan ibu hamil.

PMT yang diberikan untuk ibu hamil terdiri dari gula merah, minyak

goreng sebanyak 1,5 kg, telur empat butir, ikan teri ¼ kg serta susu untuk ibu

hamil ukuran 200 gram. PMT ibu hamil diberikan kepada ibu hamil dengan

diantar ke rumah ibu hamil oleh kader posyandu. Seperti pengalaman ibu hamil

SU yang menerima PMT ibu hamil dari PNPM GSC berikut ini:

“..pernah dapat susu untuk ibu hamil yang 200 gram, telur, gula, kacang-

kacangan, ikan kering seperti cumi, ikan teri. Saya sudah mendapat PMT ibu

hamil tiga kali dari hamil satu bulan, tiap bulan dapat PMT ibu hamil..”

Namun pemberian makanan tambahan ini dirasakan informan SU tidak

mencukupi untuk kebutuhan ibu hamil setiap bulannya. Misalnya pemberian

susu untuk ibu hamil hanya diberikan susu yang ukuran kecil saja yang habis

diminum dalam waktu empat hari jika diminum rutin setiap hari, berikut

penuturannya:

“..kalau menurut saya belum mencukupi kebutuhan. Seperti susu ini kan hanya

cukup untuk empat hari kadang-kadang saya beli sendiri juga susu Prenagen

yang 400 gram harganya 80 ribu. Kalau yang 400 gram bisa untuk dua minggu,

kalau yang 200 gram untuk empat hari..”

Desa Langko terdiri dari sepuluh dusun dimana di setiap dusun telah

memiliki Posyandu dengan jumlah kader di setiap dusun sebanyak lima orang.

Posyandu dilakukan setiap bulan terdiri dari kegiatan penimbangan bayi dan

balita, pemberian imunisasi dan pemeriksaan terhadap ibu hamil. Ketika

posyandu dilakukan setiap balita yang datang akan diberikan PMT berupa bubur

kacang hijau, telur rebus satu butir dan biskuit, seperti terlihat pada gambar di

bawah ini :

Page 191: Riset Evaluasi Jampersal

152

Gambar 5.43 PMT yang diberikan ketika posyandu di Desa Langko

Sumber : Dokumentasi Peneliti

Pemberian PMT selain bertujuan untuk meningkatkan gizi setiap balita

yang datang ke posyandu, pemberian PMT juga bertujuan untuk menarik ibu-ibu

agar mau membawa anaknya ke posyandu. Seperti dikemukakan oleh PK Desa

Langko berikut ini:

“..memang sekarang salah satu perangsangnya karena ada PMT jadi banyak

yang ke posyandu walaupun yang didapat cuma bubur kacang hijau sama telur,

tidak seberapa..”

Selanjutnya akan dibahas bagamana pemberdayaan masyarakat dalam

PNPM GSC dikaitkan dengan konsep-konsep tentang pemberdayaan masyarakat

yang sebelumnya telah ada. Menurut Notoatmodjo, pemberdayaan masyarakat

ialah upaya atau proses untuk menumbuhkan kesadaran, kemauan, dan

kemampuan masyarakat dalam mengenali, mengatasi, memelihara, melindungi,

dan meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri (Notoatmodjo, 2007). Adapun

prinsip pemberdayaan masyarakat adalah menumbuhkembangkan potensi

masyarakat, mengembangkan gotong-royong masyarakat, menggali kontribusi

masyarakat, menjalin kemitraan, dan desentralisasi.

(http://edukasi.kompasiana.com).

Berdasarkan konsep di atas maka di dalam pelaksanaan PNPM GSC di

Kecamatan Janapria sudah berusaha untuk menumbuhkan potensi masyarakat

Page 192: Riset Evaluasi Jampersal

153

dengan adanya pelatihan terhadap pihak pelaksana PNPM GSC di tingkat desa.

Pelatihan ini bertujuan agar masyarakat di desa dapat membuat merencanakan,

melaksanakan dan memantau pelaksanaan PNPM GSC. Hal ini dijelaskan oleh

informan MU, penanggung jawab PNPM GSC Keamatan Janapria berikut ini:

“Kan diberikan pelatihan-pelatihan untuk SDM mereka, dia rasakan karena dia

yang merencanakan, dia yang melaksanakan, dia yang memantau, dia yang

melanjutkan. Untuk perencanaan dia datang ke dusun menampung aspirasi dari

situ oh ini permasalahannya, oh ini potensi kita dari situ bisa dia rencanakan..”

Namun pemberdayaan masyarakat dalam PNPM GSC belum sampai ke

tahap membangun kesadaran masyarakat agar menjadi mandiri dan sadar akan

pentingnya menjaga kesehatan ibu dan anak. Pemberdayaan masyarakat dalam

PNPM GSC lebih ke arah penguatan kapasitas pelaksana program yang ada di

desa agar muncul partisipasi masyarakat untuk terlibat dalam program ini.

Sedangkan kegiatan yang dilaksanakan PNPM GSC beberapa masih ada yang

bersifat instan seperti pada pelaksanaan PNPM GSC di Desa Lekor dimana untuk

membuat ibu hamil mau melahirkan di poskesdes maka diberikan stimulus

berupa pemberian paket perlengkapan bayi. Pemberian paket untuk ibu yang

melahirkan di Desa Lekor disadari oleh FK PNPM GSC Kecamatan Janapria

merupakan cara yang instan dan belum mengarah ke proses penyadaran.

Masyarakat mau melahirkan di polindes karena ada daya tarik dari paket yang

diberikan bukan semata-mata karena kesadaran masyarakat yang telah tumbuh

akan pentingnya melahirkan di fasilitas kesehatan dengan ditolong tenaga

kesehatan. Seperti penjelasannya berikut ini:

“..yang belum kita lakukan sebenarnya proses penyadaran itu karena ini sangat

tidak mudah. Tujuan program ini kan sebenarnya menyadarkan mereka agar

menjadi kebutuhan mereka. itu mungkin yang terus dilakukan. Yang sementara

kita lakukan boleh saya katakana sedikit instan hanya untuk memotivasi mereka

setelah itu selesai. Tapi kalau program ini tidak ada siapa yang diharapkan. Nah

proses ini yang berusaha kami lakukan..”

Cara instan ini terpaksa dilakukan karena karakter penduduk Desa Lekor

yang menurut FK kecamatan Janapria sulit untuk diarahkan, untuk melakukan

perubahan pada masyarakat desa Lekor harus dilaksanakan pelan-pelan.

Page 193: Riset Evaluasi Jampersal

154

Pelaksanaan PNPM GSC yang berfokus pada keterlibatan masyarakat

membuat usaha untuk membangun kemandirian kesehatan ibu dan anak di

masyarakat menjadi kurang maksimal. Hal ini terlihat dari banyaknya usulan dari

masyarakat yang lebih banyak ke arah pembangunan fisik seperti pembangunan

atau renovasi polindes dan posyandu. Padahal PNPM GSC memiliki indikator

keberhasilan program yang tidak terkait dengan pembangunan fisik.

Pembangunan fisik sebenarnya hanya untuk mendukung keberhasilan indikator

tersebut.

Setiap usulan dari masyarakat seharusnya dikonsultasikan terlebih dahulu

dengan pihak kesehatan dan pihak pendidikan. Karena dalam PNPM GSC

masyarakat juga harus dapat membangun kemitraan dengan instansi-instansi

terkait. Namun dalam pelaksanaannya terkadang kemitraan tidak berjalan

dengan sempurna karena pada awalnya belum terjalin koordinasi dan

komunikasi yang baik antara pihak kesehatan dengan PNPM GSC.

Menurut Kepala Dinas Kesehatan Lombok Tengah pada awal 2011, dinas

kesehatan belum dilibatkan dalam program PNPM GSC. Program PNPM berjalan

dengan kegiatannya sendiri demikian juga dengan program dinas kesehatan.

Namun setelah di evaluasi kegiatan yang ada di PNPM GSC ternyata memiliki

indikator yang sama dengan program KIA dari dinas kesehatan. Oleh karena itu,

pada awal tahun 2012 dinas kesehatan mulai mengkoordinasikan kegiatannya

bersama dengan PNPM GSC dalam mencapai kegiatan yang fokus ke bidang

kesehatan agar lebih terarah dalam mencapai keberhasilan indikator kesehatan

ibu dan anak.

Hal senada juga diungkapkan oleh Kasie Gizi Dinas Kesehatan Lombok

Tengah, untuk mensinergikan kegiatan PNPM GSC dengan dinas kesehatan maka

pihak dinas kesehatan mengundang fasilitator kabupaten PNPM GSC untuk

berkoordinasi dalam melaksanakan kegiatan. Hanya saja, menurut informan

pelaksanaan kegiatan di tingkat kecamatan dan desa yang kurang bagus. Berikut

pernyataannya:

Page 194: Riset Evaluasi Jampersal

155

“..kita sering mengundang pihak PNPM GSC karena kita butuh, indikator mereka

kan hampir sama dengan kami jadi kami yang merasa membutuhkan mereka

karena mereka yang punya dana. Tapi sering kita koordinasinya putus karena di

atas koordinasinya sudah bagus yang di bawah eksekusinya kurang bagus..”

Pada kasus pelaksanaan PNPM GSC di Kecamatan Janapria pada awalnya

pelaksana di tingkat kecamatan juga kurang dapat berkoordinasi dengan pihak

penyedia layanan kesehatan di Kecamatan Janapria. Menurut informan MU

selaku penanggung jawab program PNPM di Kecamatan Janapria, pada awalnya

Dinas kesehatan mempertanyakan kenapa kegiatan PNPM GSC yang bergerak di

bidang kesehatan dana pelaksanaannya tidak diserahkan ke dinas kesehatan.

“..awalnya ego dari dinas itu, bahkan ada pertanyaan dari dinas kesehatan “kok

GSC ini tentang kesehatan kok PNPM yang menangani, kenapa dananya tidak di

puskesmas saja”. Kami jawab ini kan program dari pusat dan kami laksanakan

dan kita tidak jalan sendiri dan inilah bentuk pemberdayaan sebab yang

melaksanakan ini kan dari masyarakat kan kita yang memfasilitasi. Tapi kita

tetap tidak bisa meninggalkan yang punya bidang sehingga kita koordinasi..”

Namun dengan pendekatan dan komunikasi dari pelaksana PNPM di

tingkat Kecamatan Janapria terutama peran dari Fasilitator Kecamatan (FK)

Janapria maka cukup terjalin koordinasi yang baik antara PNPM GSC dengan

pihak penyedia layanan kesehatan dalam hal ini puskesmas Janapria dan

puskesmas Langko yang wilayah kerjanya adalah desa-desa di Kecamatan

Janapria. Berikut penjelasan FK Kecamatan Janapria:

“..pertama dari FK mengawal proses fasilitasi kemudian dukungan masyarakat,

dukungan layanan, kerjasama dengan layanan ini yang penting karena kalau kita

tidak lakukan kerjasama itu kita kan hanya memfasilitasi tidak paham tentang

teknis bagaimana kesehatan dan puskesmas lah yang tahu sehingga koordinasi

ini penting untuk kita maksimalkan. Awal-awal saya kesini saya lakukan itu, yang

pertama kali saya kunjungi teman-teman dari layanan kesehatan seperti

puskesmas dan dari pendidikan karena disitulah kita cari data awal..”

Menurut Ericson (dalam Slamet, 1994:89) bentuk partisipasi masyarakat

dalam pembangunan terbagi atas tiga tahap, yaitu : 1. Partisipasi di dalam tahap

perencanaan, 2. Partisipasi di dalam pelaksanaan dan 3. Partisipasi di dalam

tahap pemanfaatan. (http://www.pasca.unand.ac.id). Selanjutnya ketiga tahap

Page 195: Riset Evaluasi Jampersal

156

partisipasi masyarakat tersebut akan coba dikaitkan dengan pelaksanaan PNPM

GSC di Kecamatan Janapria.

1. Partisipasi di dalam tahap perencanaan (idea planing stage).

Partisipasi pada tahap ini maksudnya adalah pelibatan seseorang pada

tahap penyusunan rencana dan strategi dalam penyusunan kepanitian dan

anggaran pada suatu kegiatan/proyek. Masyarakat berpartisipasi dengan

memberikan usulan, saran dan kritik melalui pertemuan-pertemuan yang

diadakan.

Dalam pelaksanaan PNPM GSC partisipasi masyarakat dalam program

ini merupakan wujud dari adanya pemberdayaan di dalam masyarakat. Bentuk

partisipasi masyarakat terlihat dari awal tahap perencanaan yaitu

dilibatkannya masyarakat dalam memberikan usulan kegiatan melalui

musyawarah antar dusun yang dilanjutkan dengan musyawarah antar desa.

Dalam musyawarah antar dusun masyarakat diberikan kesempatan untuk

memberikan usulan dalam rangka memperbaiki kondisi kesehatan ibu dan

anak serta kondisi pendidikan. Kemudian masyarakat juga diminta untuk

memberikan usulannya mengenai kegiatan apa saja yang diprioritaskan untuk

dilakukan.

Sebelum program dilaksanakan setelah dicapai kesepakatan mengenai

prioritas kegiatan maka pelaksana kegiatan akan diberikan pelatihan di PNPM

GSC kecamatan. Dalam pelatihan diberikan materi mengenai bagaimana cara

membuat rancangan anggaran (RAB), bagaimana cara membuat proposal,

bagaimana cara pelaksanaan kegiatan dan pelatihan lainnya yang bertujuan

untuk membangun kesadaran pelaksana kegiatan PNPM GSC tentang

pentingnya keterlibatan masyarakat dalam program ini tanpa didasari imbalan

yang akan mereka dapat.

Setelah itu masyarakat juga berpartisipasi dalam musyawarah

pertanggungjawaban desa program yang diadakan ketika dana PNPM GSC

sudah digunakan sebanyak 40%, 80% dan 100%. Dalam musyawarah

pertanggungjawaban desa masyarakat diminta untuk menilai pelaksanaan

Page 196: Riset Evaluasi Jampersal

157

PNPM GSC. Masyarakat akan menilai pelaksanaan PNPM GSC berhasil jika

prioritas kegiatan yang diusulkan masyarakat benar-benar telah dilakukan.

Jika ternyata kegiatan yang dilakukan tidak sesuai dengan usulan masyarakat

atau pelaksana kegiatan PNPM GSC di desa tidak kelihatan kinerjanya maka

masyarakat akan mengkritik pelaksana kegiatan PNPM GSC. Kemudian jika

pelaksana kegiatan PNPM GSC tidak dapat mempertanggungjawabkan dana

yang telah terpakai maka bisa saja ketua dan anggotanya diusulkan oleh

masyarakat untuk diganti.

2. Partisipasi di dalam tahap pelaksanaan (implementation stage).

Partisipasi pada tahap ini maksudnya adalah pelibatan seseorang pada

tahap pelaksanaan pekerjaan suatu proyek. Masyarakat disini dapat

memberikan tenaga, uang ataupun material/barang serta ide-ide sebagai

salah satu wujud partisipasinya pada pekerjaan tersebut.

Dalam PNPM GSC bentuk partisipasi ini dapat terlihat dari adanya

masyarakat yang mau menghibahkan tanahnya untuk dijadikan polindes atau

posyandu. Syarat dari PNPM GSC untuk membangun polindes atau posyandu

adalah harus adanya masyarakat yang mau menghibahkan tanahnya sebagai

lokasi polindes atau posyandu. PNPM GSC hanya memfasilitasi biaya untuk

pembangunan polindes atau posyandu seperti pembelian bahan bangunan.

Sedangkan untuk tenaga membangun polindes atau posyandu ada juga yang

berasal dari masyarakat setempat.

“..misalnya kita membangun posyandu tidak mungkin program

menganggarkan jadi syaratnya masyarakat harus menyiapkan lahan yang

sudah dibebaskan dengan bukti pembebasan ada dan berupa hibah dari

pihak desa, kalau ada lahan itu baru kita setujui pembangunan posyandu.

Ada kegiatan lain dimana masyarakat berswadaya dalam bentuk tenaga,

material..”

Selain penyediaan lahan untuk pembangunan polindes atau posyandu,

partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan PNPM GSC juga dapat dilihat dari

adanya masyarakat yang bersedia rumahnya digunakan sebagai tempat

pelaksanaan posyandu. Seperti kepala dusun Langko Gunting di Desa Langko

Page 197: Riset Evaluasi Jampersal

158

yang bersedia rumahnya dipakai untuk pelaksanaan posyandu setiap

bulannya, berikut uraiannya:

“..rumah saya dijadikan tempat untuk posyandu sejak setahun terakhir ketika

saya menjadi kepala dusun karena di dusun Langko Gunting ini belum ada

tempat pelaksanaan posyandu yang permanen..”

Partisipasi dalam tahap pelaksanaan juga terlihat dari adanya peran

kader posyandu dalam pelaksanaan kegiatan PNPM GSC. Dalam PNPM GSC

peran kader posyandu sangat penting karena kader posyandu sebagai

penyuluh terdepan yang dapat mengajak masyarakat agar mau

memanfaatkan layanan kesehatan. Kader posyandu juga turut membantu

KPMD (Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa) dalam mendata sasaran yang

ada di desa. Anggota KPMD hanya dua orang jika tanpa bantuan dari kader-

kader posyandu di setiap dusun, KPM akan kesulitan untuk mendata sasaran

dan menemukan permasalahan kesehatan ibu dan anak yang ada pada setiap

dusun. Maka sebagai balas jasa dari apa yang telah dilakukan para kader

kebanyakan muncul usulan di masyarakat untuk memberikan insentif bagi

para kader dengan menggunakan dana PNPM GSC. Insentif ini tidak berupa

gaji tetapi uang transport yang diberikan sehari sebelum pelaksanaan

posyandu, pada hari pelaksanaan posyandu dan satu hari setelah pelaksanaan

posyandu sebesar Rp 15.000 per harinya. Jadi satu orang kader total

mendapatkan uang transport sebesar Rp 45.000. Dengan adanya uang

transport ini masyarakat berharap kader posyandu lebih giat mengajak ibu

yang memiliki bayi dan balita agar mau membawa anaknya ke posyandu dan

memotivasi ibu hamil agar mau memeriksakan kehamilan dan melahirkan di

tenaga kesehatan.

Namun adanya insentif ini bukanlah motivasi utama kader di Desa

Langko melaksanakan perannya sebagai seorang kader. Seperti pernyataan

informan IT, seorang kader dari Dusun Lengarak, Desa Langko berikut ini :

“..kalau saya tetap akan jadi kader walaupun nanti suatu saat tidak ada honor

lagi dari PNPM GSC. Soalnya dari dulu sudah jadi kader walaupun tidak ada

honornya..”

Page 198: Riset Evaluasi Jampersal

159

Kader IT adalah satu-satunya kader laki-laki yang ada di Kecamatan

Janapria, kebanyakan kader adalah perempuan. Kader IT sudah lebih dari

sepuluh tahun lamanya menjadi kader di Dusun Lengarak. Sebelum ada PNPM

GSC ia tidak pernah mendapatkan insentif per bulannya namun walaupun

suatu saat tidak ada lagi insentif dari PNPM GSC ia tetap akan menjadi kader

karena uang bukanlah motivasi utamanya menjadi kader.

3. Partisipasi di dalam pemanfaatan (utilitazion stage)

Partisipasi pada tahap ini maksudnya adalah pelibatan seseorang pada

tahap pemanfaatan suatu proyek setelah proyek tersebut selesai dikerjakan.

Pada PNPM GSC partisipasi ini terlihat dengan terlibatnya masyarakat pada

musyawarah pertanggungjawaban desa ketika dana PNPM GSC sudah

terpakai dan kegiatan-kegiatan dalam PNPM GSC di desa sudah dilaksanakan.

Dalam musyawarah pertanggungjawaban desa, masyarakat berhak menilai

apakah kepengurusan pelaksana kegiatan di desa berjalan dengan baik atau

tidak. Masyarakat berhak mengusulkan kepengurusan akan tetap dilanjutkan

atau harus diganti.

5.8.2 BAYANG-BAYANG JAMPERSAL DI LAMANGGAU

Desa Lamanggau terletak di Kecamatan Tomia, Kabupaten Wakatobi,

Provinsi Sulawesi Tenggara. Kabupaten Wakatobi terletak di sebelah Timur

Kabupaten Buton, yang membentang dari Utara ke Selatan di antara 5012’ –

6010’ LS (sepanjang kurang lebih 160km) dan 123

020’ – 124

039’ BT (sepanjang

kurang lebih 120 km). Kepulauan Wakatobi merupakan gugusan pulau-pulai

kecil, bahkan dapat dikatakan gugusan pulau sangat kecil, berjumlah 48 buah

pulau dengan luas daratan 823 km2 dan luas perairan 13.900 km

2 serta panjang

garis pantai 251.96 km.

Page 199: Riset Evaluasi Jampersal

160

Gambar 5.44

Peta Kabupaten Wakatobi

Sumber: http://visitkendari.blogspot.com/2012/04/peta-wakatobi.html

Kabupaten Wakatobi memiliki 8 kecamatan, 8 kelurahan, 76 desa

(sumber: Permendagri Nomor 66 Tahun 2011). Salah satu desa tersebut adalah

Desa Lamanggau yang terletak di Pulau Tolandono, yaitu sebuah pulau yang

berada di barat daya Pulau Tomia. Desa Lamanggau dapat diakses hanya dengan

speed boat dan pompong atau disebut bodi dalam bahasa Bajo. Perjalanan

dimulai dari Pelabuhan Jabal di Wanci, Pulau Wangi-wangi, dengan

menggunakan speed boat dengan tarif Rp 120.000 perorang. Speed boat hanya

beroperasi satu hari sekali, yaitu pada pukul 09.00 pagi. Namun, jadwal tersebut

tidak menentu tergantung pada keadaan penumpang. Apabila pada pukul 09.00

penumpang belum mencapai jumlah sepuluh orang, maka keberangkatan akan

ditunda sampai jam 10 pagi, dan apabila tidak mencukupi 10 orang bisa saja

keberangkatan ditunda hingga esok hari. Perjalanan dari Wangi-wangi ini

membutuhkan waktu sekitar 2,5 jam untuk sampai ke Dermaga Osuku di pulau

Tomia, yang kemudian akan dilanjutkan dengan ojek darat menuju Dermaga

Waitii. Waktu tempuh ojek ini sekitar 20 menit dengan tarif Rp.15.000,-. Setelah

tiba di Dermaga Waitii, perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan pompong

Page 200: Riset Evaluasi Jampersal

161

untuk menuju Pulau Tolandono selama kurang lebih 10 menit dengan tariff Rp

3.000 per orang. Di pulau tersebutlah Desa Lamanggau terletak.

Di Pulau Tolandono hanya terdapat satu desa, yaitu Desa Lamanggau.

Secara administratif, Desa Lamanggau termasuk dalam wilayah Kecamatan

Tomia, Kabupaten Wakatobi. Desa Lamanggau terdiri dari tiga dusun, yaitu

Dusun Lasoilo, Dusun Ketapang, dan Dusun Dunia Baru. Dusun Lasoilo yang

berada di tepi laut mayoritas dihuni oleh orang Bajo. Rumah-rumah di dusun

tersebut mayoritas didirikan di tepi laut bahkan ada yang didirikan di atas laut.

Sebagai penghubung antara satu rumah ke rumah lain, dibangun jembatan kayu

sebagai alat penyeberangan dari satu rumah ke rumah lain.

Berbeda dengan Dusun Lasoilo, Dusun Ketapang mayoritas dihuni oleh

orang Buton Tomia yang seringkali disebut dengan ‘orang darat’ oleh orang Bajo.

Kata ‘darat’ tersebut menunjukan kondisi Dusun Ketapang tempat mayoritas

orang Buton Tomia berada, terletak di daratan yang agak tinggi. Mayoritas

rumah yang terdapat di Dusun Ketapang terbuat dari semen dan sebagian

terbuat dari kayu. Sementara itu, dusun yang ketiga adalah Dusun Dunia Baru.

Dusun ini dihuni oleh orang Bajo dan orang Buton-Tomia yang telah melakukan

Gambar 5.45

Peta Desa Lamanggau

Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti, November 2012

Page 201: Riset Evaluasi Jampersal

162

perkawinan. Kondisi geografi Dusun Dunia Baru merupakan perpaduan antara

Dusun Lasoilo dan Dusun Ketapang. Dengan kata lain, sebagian masyarakat

Dusun Dunia Baru tinggal di daratan, sedangkan sebagian lagi tinggal di lautan.

Listrik yang mengalir di Desa Lamanggau merupakan bantuan dari Dive

Wakatobi Resort yang terletak di bagian barat daya Pulau Tolandono. Resort

tersebut berdiri sekitar tahun 1990-an oleh investor asing. Resort tersebut juga

menawarkan wisata bawah laut di sekitar Pulau Tomia, sehingga banyak

wisatawan, apalagi wisatawan asing yang berkunjung ke sana. Selain Desa

Lamanggau, resort tersebut juga memberikan bantuan kepada beberapa desa

yang ada di Pulau Tomia dan sekitarnya. Bantuan tersebut bermacam-macam,

ada yang berbentuk uang tunai ada juga yang berbentuk bangunan seperti pagar

desa. Untuk desa Lamanggau, bantuan yang diberikan berupa bantuan uang kas

desa dan aliran listrik pada malam hari yang dimulai sejak pukul jam 18.00 hingga

06.00. Pada siang hari tak ada aliran listrik sama sekali. Tentunya kondisi ini

mencakup pustu dan puskesmas yang ada di sana. Begitu pula dengan

kecukupan air bersih di desa ini. Tidak tersedia sumber mata air tawar di Desa

Lamanggau, masyarakat harus menyebrang pulau untuk bisa mencapai sumber

mata air tawar.

Desa Lamanggau merupakan satu-satunya desa yang menjadi wilayah

kerja Puskesmas Onemobaa. Puskesmas tersebut dibangun pada tahun 2007 di

sebelah timur Dive Wakatobi Resort (DWR) yang dibangun sekitar tahun 1990-

an. Puskesmas tersebut terletak kurang lebih satu kilometer dari pemukiman

masyarakat Desa Lamanggau, tepatnya di sebelah selatan DWR, sehingga sekilas

puskesmas ini terlihat terletak dalam area DWR.

Untuk menuju ke puskesmas tersebut dapat melalui dua jalur, yaitu jalur

darat dan jalur laut. Jalur darat hanya dapat dilalui dengan menggunakan

kendaraan roda dua, karena jalan yang dilalui berupa jalan setapak yang

dikelilingi oleh kebun dan semak-semak. Biaya yang dikeluarkan untuk menyewa

kendaraan tersebut sekitar Rp 20.000 (pulang pergi) dengan jarak tempuh

kurang lebih 10 sampai 15 menit. Namun, kendaraan tersebut hanya bisa

Page 202: Riset Evaluasi Jampersal

163

mencapai pos satpam DWR. Setelah tiba di pos satpam, pengunjung puskesmas

wajib lapor ke satpam penjaga resort. Setelah menunggu beberapa menit untuk

mendapat izin dari satpam, pengunjung dipersilahkan masuk dengan jalur yang

telah ditentukan. Setelah berjalan kurang lebih 10 menit, tibalah di Puskesmas

Onemobaa.

Jalur kedua adalah melalui jalur laut dengan memggunakan pompong.

Perjalanan dimulai dari Dermaga Lamanggau menuju dermaga yang terletak

sebelum DWR. Dari dermaga, pengunjung harus berjalan selama kurang lebih 10

menit melewati jalan setapak yang dikelilingi oleh kebun untuk menuju ke pos

satpam resort. Jalan setapak ini bukanlah jalan yang mulus beraspal bagus dan

mudah untuk dilewati. Akses jalan ini berupa jalan tanah berkerikil dan

mempunyai banyak cabang jalan yang membuat bingung pengunjung yang

belum pernah ke sana. Perjalanan tersebut ditempuh kurang lebih 10 hingga 15

menit. Setelah sampai di gerbang resort, pengunjung puskesmas masih harus

menunggu izin dari satpam untuk dapat masuk dan melanjutkan perjalanan

menuju puskesmas.

Gambar 5.46 dan 5.47

Jalan menuju Puskesmas Onemobaa (kiri) dan pintu gerbang milik Dive Wakatobi Resort (kanan).

Sebelum masuk ke Puskesmas Onemobaa, pengunjung terlbih dahulu izin ke satpam yang berjada di

pintu gerbang tersebut

Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti, November 2012

Page 203: Riset Evaluasi Jampersal

164

Puskesmas Onemobaa terletak jauh dari pemukiman masyarakat Desa

Lamanggau, bahkan tidak ada satu rumah pun berdiri di sekitar bangunan

puskesmas. Puskesmas tersebut dikelilingi oleh kebun dan semak-semak belukar.

Hal yang paling memprihatinkan di sisi bangunan ini dijadikan tempat

pembuangan sampah kering dan tanaman dari resort. Memang jika dilihat dari

depan, sampah tersebut tidak terlihat, namun jika melewati jalan belakang,

maka pengunjung akan melewati tumpukan sampah. Pada awalnya bangunan

puskesmas dikelilingi oleh pagar kawat berduri sehingga pengunjung harus

melewati jalan depan, dan untuk menuju jalan depan pengunjung akan

menambah waktu untuk berjalan. Pada saat ada kunjungan Kepala Dinas

Kesehatan Kabupaten, pagar kawat berduri tersebut dirusak sebagian oleh

kepala dinas karena dianggap menghambat akses masyarakat untuk ke

puskesmas.

Bangunan Puskesmas Onemobaa terdiri dari beberapa ruangan yang

sudah dipasang papan nama ruangan seperti ruangan KIA, bersalin, poli gigi, dan

loket pendaftaran. Di dalam bangunan tersebut terdapat beberapa alat

kesehatan seperti tempat periksa pasien, gunting, dan alat pendukung lainnya

seperti meja dan kursi. Beberapa alat kesehatan tersebut mulai tampak berkarat.

Menurut penuturan kepala puskesmas, sebelumnya bangunan ini juga sudah

dipasangi genset dan tandon air. Namun karena tidak dipakai, dua alat tersebut

dipindahkan ke pustu yang terletak di Dusun Ketapang. Sampai saat ini kepala

puskesmas dan stafnya secara bergilir masih datang untuk mengecek bangunan

atau sekedar membersihkan puskesmas dan lingkungan sekitarnya.

Page 204: Riset Evaluasi Jampersal

165

Selain bangunan puskesmas, terdapat juga dua bangunan yang berbentuk

rumah panggung. Menurut kepala puskesmas, dua bangunan tersebut

diperuntukan kepala puskesmas dan tenaga kesehatan yang bertugas di

Puskesmas Onemobaa. Dua rumah tersebut memiliki ukuran dan bentuk yang

sama. Rumah tersebut terbuat dari kayu yang memiliki dua kamar, kamar mandi,

ruang tamu, dan dapur. Di salah satu rumah tersebut telah tersedia kasur

lengkap dengan batalnya. Namun, sejak dibangun hingga saat ini rumah tersebut

belum pernah digunakan sama halnya dengan Puskesmas Onemobaa.

Menurut masyarakat Desa Lamanggau, sejak Puskesmas Onemobaa

dibangun hingga saat ini belum ada masyarakat setempat yang menggunakan

puskesmas tersebut sebagai tempat untuk mendapatkan fasilitas kesehatan,

Gambar 5.48, 5.49 dan 5.50

Gedung Puskesmas Onemobaa yang mulai tertutup dengan tumbuhan yang menjulang tinggi (kiri),

tempat periksa pasien yang sudah mulai berkarat (kanan), dan rumah tenaga kesehatan yang megah tapi

tidak pernah dihuni (bawah).

Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti, November 2012

Page 205: Riset Evaluasi Jampersal

166

bahkan sebagian besar belum pernah berkunjung ke puskesmas. Hal ini

disebabkan karena letak puskesmas yang jauh dari pemukiman masyarakat,

akses yang ‘rumit’ karena harus menunggu izin dari satpam resort, dan petugas

kesehatan yang ‘tidak ada’. Kondisi Puskesmas Onemobaa yang jauh dari

pemukiman masyarakat menyebabkan para petugas kesehatan di puskesmas

tersebut bertugas dan berkantor di pustu yang terletak di Dusun Ketapang.

Jumlah petugas Puskesmas Onemobaa ada lima orang, yang terdiri dari

satu kepala puskesmas dengan latar pendidikan kesehatan lingkungan, tiga orang

perawat, dan satu orang petugas kesehatan lingkungan yang ditugaskan khusus

dari pusat. Lima orang petugas tersebut dibantu oleh dua orang tenaga honorer

lulusan SMA. Dari lima petugas puskesmas tersebut hanya dua orang yang

memiliki SK penempatan di Puskemas Onemobaa, yaitu dua orang perawat.

Kepala puskesmas dan satu orang perawat lainnya ditugaskan dengan nota dinas

dari Puskesmas Tomia untuk membantu Puskesmas Onemoba’a. Sementara itu,

satu orang petugas kesehatan lingkungan merupakan tenaga khusus yang

diperbantukan dari pusat. Dengan jumlah petugas yang terbatas seperti ini, maka

tak heran jika setiap petugas memiliki tugas ganda, misalnya kepala puskesmas

yang merangkap juga sebagai petugas obat-obatan atau perawat yang

merangkap menjadi petugas administrasi. Namun, dari lima petugas kesehatan

tersebut, hanya ada satu petugas kesehatan yang menetap di Desa Lamanggau.

Dia adalah seorang petugas kesehatan yang diperbantukan khusus dari pusat.

Empat orang petugas lainnya tinggal di Pulau Tomia yang terletak di seberang

Pulau Tolandono.

Berdasarkan data mengenai jumlah dan latar belakang petugas

puskesmas, dapat dilihat bahwa tidak ada bidan yang bertugas di Puskesmas

Onemobaa. Dengan kata lain, tidak ada bidan yang dapat menolong persalinan di

Desa Lamanggau. Hal ini disebabkan karena sekitar bulan September 2012, bidan

yang ditugaskan untuk membantu Puskesmas Onemobaa mengajukan surat

pindah kembali ke Puskesmas Osuku sesuai dengan SK penempatannya. Sejak

diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan SK penempatan di

Page 206: Riset Evaluasi Jampersal

167

Puskesmas Osuku, bidan tersebut ditugaskan untuk membantu Puskesmas

Oneombaa. Sebelum ditugaskan di Puskesmas Onemobaa, bidan tersebut

pernah mengabdikan dirinya di Puskesmas Onemobaa sebagai bidan PTT

(Pegawai Tidak Tetap) pada tahun 2011. Jadi, bidan tersebut telah bertugas

selama dua tahun di Puskesmas Onemobaa. Kini, sejak September 2012, bidan

tersebut kembalu bertugas di Puskesmas Osuku sesuai dengan SK

penempatannya.

Selama bertugas di Puskesmas Onemobaa, bidan tersebut belum pernah

tinggal di Desa Lamanggau yang menjadi satu-satunya wilayah kerja Puskesmas

Onemobaa. Alasan bidan tersebut tidak tinggal di Desa Lamanggau karena

keterbatasan fasilitas yang dimiliki oleh Desa Lamanggau seperti air dan listrik

yang hanya menyala pada malam hari. Selain itu, bidan tersebut yang merupakan

kelahiran Osuku, telah mempunyai keluarga dan sedang hamil delapan bulan.

Kondisi tersebutlah yang memberatkannya untuk tinggal di Desa Lamanggau.

Namun menurutnya, meskipun tidak tinggal di Desa Lamanggau, bidan tersebut

tetap menerima panggilan masyarakat untuk membantu persalinan. Namun ada

rasa sungkan yang dimiliki oleh masyarakat setempat untuk memanggil bidan

apalagi jika persalinan terjadi pada malam hari. Hal ini disebabkan karena

keadaan transportasi laut yang tersedia antara Pulau Tomia dan Pulau Tolandono

hanya beroperasi sampai pukul 19.00 malam hari.

Menurut cerita bidan tersebut, selama dua tahun ia bertugas di Desa

Lamanggau, ada empat orang ibu yang ditolongnya untuk melakukan persalinan.

Dari empat orang yang ditolong tersebut, tiga orang berasal dari etnis Bajo dan

satu orang dari etnis Buton-Tomia. Empat persalinan yang ditolong oleh bidan

tersebut dilakukan di rumah, bukan di fasilitas kesehatan. Oleh sebab itu, ia tidak

bisa mengklaim persalinan tersebut sebagai persalinan yang didanai oleh

Jampersal. Hal ini berkaitan dengan kebijakan pemerintah Kabupaten Wakatobi

yang mengadopsi kebijakan Kementerian Kesehatan bahwa persalinan yang

didanai oleh Jampersal adalah persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan di

fasilitas kesehatan.

Page 207: Riset Evaluasi Jampersal

168

Menurut penuturan Bidan Mi (nama samaran bidan yang bertugas di

Puskesmas Onemobaa pada saat itu), agak sulit mengajak masyarakat

Lamanggau untuk melakukan persalinan di fasilitas kesehatan. Baginya untuk

sampai tahap masyarakat mau memanggilnya pada saat persalinan pun sudah

hal yang luar biasa. Masyarakat setempat seringkali memanggil dukun beranak

untuk menolong persalinan. Bidan dipanggil kadangkala hanya untuk

memberikan suntikan pasca-persalinan. Berbagai upaya telah dilakukan bidan

tersebut untuk menarik minat masyarakat agar mau bersalin di tenaga kesehatan

ataupun fasilitas kesehatan, misalnya sosialiasi tentang persalinan gratis sampai

pada iming-iming akan diberikan hadiah bila mau melakukan persalinan di

tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan. Namun nyatanya upaya tersebut

belum membuahkan hasil. Hal ini terlihat pada data persalinan tahun 2012 yang

menjelaskan bahwa hanya ada dua persalinan yang ditolong oleh bidan dari

sepuluh persalinan yang terjadi di tahun 2012. Selain itu, dari tahun 2011 hingga

tahun 2012, hanya ada empat persalinan yang ditolong oleh bidan seperti yang

telah dijelaskan sebelumnya. Dari empat persalinan tersebut, hanya ada tiga ibu

yang memanggil Bidan Mi berdasarkan kesadaran ibu itu sendiri. Sementara itu,

satu persalinan lagi ditolong oleh Bidan Mi karena pada saat persalinan terjadi

Bidan Mi secara tidak sengaja sedang berjalan lewat rumah ibu tersebut,

sehingga dipanggil untuk membantu persalinan.

Masyarakat sebagai sasaran tenaga kesehatan mempunyai alasan sendiri

mengapa mereka tidak mau memanggil bidan sebagai penolong persalinan dan

mengapa mereka tidak mau melakukan persalinan di fasilitas kesehatan yang

telah disediakan. Menurut penuturan beberapa orang dari masyarakat setempat,

keengganan mereka memanggil bidan untuk menolong persalinan karena letak

rumah bidan tersebut tidak berada di sekitar mereka. Dengan kata lain, bidan

tersebut berada di seberang pulau, sehingga ada rasa sungkan untuk memanggil

bidan tersebut, apalagi persalinan sering terjadi pada malam hari atau dini hari,

sedangkan transportasi antar Pulau Tomia dan Pulua Tolandono hanya sampai

pada pukul 19.00 malam hari. Meskipun bidan tersebut selalu berkata bahwa dia

Page 208: Riset Evaluasi Jampersal

169

siap untuk dihubungi kapanpun, namun ada rasa sungkan yang dimiliki

masyarakat untuk menghubungi bidan pada malam hari apalagi terkendala

dengan trasnportasi.

Selain enggan memanggil bidan sebagai penolong persalinan, masyarakat

setempat juga tidak mau melakukan persalinan di fasilitas kesehatan. Ada

beberapa alasan yang diungkapkan oleh masyarakat mengapa mereka tidak mau

melakukan persalinan di fasilitas kesehatan, antara lain 1) letak puskesmas yang

jauh dari pemukiman dan letak pustu yang dekat dengan kuburan, 2) tidak ada

air dan listrik yang tersedia di fasilitas kesehatan, 3) tenaga kesehatan yang tidak

ada, dan 4) berkaitan dengan sosial budaya yang dimiliki oleh masyarakat

setempat.

Puskesmas Onemobaa yang letaknya jauh dari pemukiman masyarakat

seperti yang telah dijelaskan sebelumnya menjadi salah satu alasan mengapa

masyarakat tidak mau melakukan persalinan di puskesmas. Sementara itu, pustu

yang dibangun di ‘sudut’ pemukiman masyarakat dan dekat dengan kuburan juga

menjadi salah satu alasan lagi. Menurut kepercayaan masyarakat setempat,

orang yang sedang hamil dan bayi adalah rentan terhadap gangguan makhluk-

makhluk halus, jadi mereka harus dijaga sebaik mungkin dengan melakukan

pantangan-pantangan yang ditentukan oleh adat. Lokasi kuburan yang identik

dengan tempat tinggal makhluk halus, yang menurut mereka haus akan darah,

tentunya menjadi pantangan bagi masyarakat di sini. Mereka khawatir akan

terjadi hal-hal yang buruk akan terjadi pada ibu dan bayinya jika melahirkan di

pustu yang dekat dengan lokasi kuburan.

Selain faktor letak fasilitas kesehatan, keengganan masyarakat tersebut

juga dipengaruhi oleh kondisi sarana yang tersedia di fasilitas tersebut seperti air

dan listrik tidak tersedia di fasilitas kesehatan tersebut. Selain itu, tenaga

kesehatan pun kadangkala tidak ada di fasilitas kesehatan meskipun di siang hari.

Oleh sebab itu, mereka lebih memilih dukun beranak sebagai penolong

persalinan dan rumah sebagai tempat persalinan.

Page 209: Riset Evaluasi Jampersal

170

Dukun beranak dipilih sebagai penolong persalinan dan rumah sebagai

tempat persalinan dipengaruhi oleh faktor sosial budaya yang dimiliki oleh

masyarakat setempat. Apabila melakukan persalinan di rumah, tetangga yang

ada di sekitar juga dapat membantu persalinan seperti menyediakan air,

makanan, dan perlengkapan lainnya. Selain itu, ada kepercayaan dalam

masyarakat Bajo khususnya, bahwa ada syarat yang harus dipenuhi sebagai

tempat persalinan yang akan dijelaskan pada bagian selanjutnya. Oleh sebab itu,

mereka enggan melakukan persalinan di puskesmas atau pustu karena syarat

tersebut belum dipenuhi.

Selain pustu, di Desa Lamanggau terdapat polindes yang dibangun

berdasarkan program Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri

Pedesaan (PNPM MPd). Polindes ini sudah dibangun terlebih dahulu sebelum

adanya pustu ataupun puskesmas. Polindes tersebut dibangun di sebelah masjid,

yang sebetulnya tempatnya lebih strategis daripada pustu karena letaknya tepat

di tengah desa. Pada awal pembangunannya, bangunan polindes ini ditujukan

sebagai tempat bersalin. Namun pada kenyataannya hingga saat ini belum

pernah sekalipun tempat itu digunakan sebagai tempat persalinan. Hal ini

tentunya terkait dengan masalah ketersediaan air, listrik, dan nilai budaya yang

dimilki oleh masyarakat setempat. Polindes tersebut sempat akan dijadikan

sebagai rumah dinas bagi bidan yang bertugas di Desa Lamanggau ini. Namun

ternyata tidak ada satu pun bidan yang pernah bertugas di desa ini berminat

untuk tinggal. Alasan yang paling umum diutarakan adalah akses air dan listrik

yang memang sulit di desa ini. Bangunan ini sempat dibiarkan kosong selama

beberapa tahun, hingga akhirnya kini digunakan sebagai rumah tinggal ustadz

yang memang ditugaskan oleh sebuah yayasan agama untuk mengabdi dan

mengajarkan ilmu agama bagi masyarakat Lamanggau ini.

Selain tersedia puskesmas, pustu, dan polindes, di Desa Lamanggau juga

terdapat posyandu. Ada dua posyandu yang dibentuk oleh puskesmas, yaitu

Posyandu Cemara I untuk masyarakat yang tinggal di Dusun Ketapang dan Dunia

Baru dan Posyandu Cemara II untuk masyarakat di Dusun Lasoilo. Dengan kata

Page 210: Riset Evaluasi Jampersal

171

lain, Posyandu Cemara I untuk ‘orang darat’ dan Posyandu Cemara II untuk orang

Bajo. Pada awalnya hanya ada satu posyandu yang terdapat di Desa Lamanggau,

yaitu Posyandu Cemara I. Namun ternyata satu posyandu tersebut kurang

efektif, karena masyarakat Bajo sedikit sekali yang terjaring dalam pemeriksaan.

Akhirnya pihak puskesmas merekrut kader-kader dari masyarakat Bajo dan

membentuk Posyandu Cemara II.

Kegiatan posyandu-posyandu ini diadakan satu bulan sekali, yaitu setiap

tanggal 20 untuk Posyandu Cemara I dan tanggal 21 untuk Posyandu Cemara II.

Pada tanggal yang telah ditentukan para kader akan bergotong royong

membersiapkan peralatan penimbangan dan petugas puskesmas akan datang

untuk melakukan pemeriksaan. Kegiatan Posyandu ini dilakukan di teras salah

satu rumah warga.

Para kader posyandu di desa ini sangat aktif, khususnya Posyandu Cemara

2. Mereka dengan sigap membantu petugas puskesmas untuk mengumpulkan

para ibu hamil dan balita. Bahkan jika jumlah kunjungan pada hari itu kurang dari

biasanya, dikarenakan ada yang tidak datang, maka para kader tersebut akan

mendatangi rumah yang bersangkutan dan menjemput untuk datang ke

posyandu. Tak heran jika para petugas puskesmas merasa sangat terbantu

dengan adanya para kader ini.

PERSALINAN DI DESA LAMANGGAU

Berdasarkan data sekunder yang terdapat di pustu, terdapat 8 orang dari

10 ibu bersalin yang ditolong oleh sando pada tahun 2012. Sando merupakan

istilah dukun beranak yang berasal dari orang Buton-Tomia, sedangkan dukun

beranak dari orang Bajo disebut dengan istilah pangullieh. Pada saat ini ada

seorang sando dan seorang pangullieh di Desa Lamanggau. Namun, sando-lah

yang paling banyak memegang peran dalam persalinan di Desa Lamanggau sejak

tahun 2010. Hal ini disebabkan karena kondisi pangullieh yang sudah tua dan

didukung dengan kondisi kesehatannya yang kurang baik. Pangullieh yang

berusia sekitar 60-an tahun mempunyai penyakit diabetes. Pada awal tahun

Page 211: Riset Evaluasi Jampersal

172

2010, penyakit diabetesnya semakin parah yang melemahkan kondisi fisiknya.

Sejak saat itu, Ibu Ma, putri pangullieh, melarang ibunya untuk menolong

persalinan. Sejak saat itu pula pangullieh tidak dipanggil lagi oleh masyarakat

setempat untuk menolong persalinan. Akhirnya, sando-lah yang dipanggil oleh

masyarakat setempat untuk menolong persalinan di Desa Lamanggau.

Pangullieh berperan sebagai penolong persalinan di Desa Lamanggau

selama kurang lebih 35 tahun. Pada tahun 2004 dia pernah ‘magang’ di

Puskesmas Waha. Pada saat itu, Puskesmas Waha mewajibkan semua dukun

beranak, baik pangullieh maupun sando, untuk datang ke Puskesmas Waha

sebulan sekali untuk mengikuti arisan dukun beranak. Arisan tersebut diadakan

sebagai wadah untuk bertukar pikiran antara para pangullieh, sando, dan

petugas kesehatan. Selain itu, arisan tersebut juga menjadi wadah bagi pihak

puskesmas untuk memberikan pengetahuan kepada para pangullieh dan sando

tentang cara pertolongan persalinan termasuk memberikan alat-alat pertolongan

persalinan seperti gunting dan sarung tangan. Menurut pangullieh, banyak

pengetahuan tentang kehamilan, pertolongan persalinan, dan ibu nifas yang ia

peroleh pada saat itu. Berdasarkan pengetahuan tersebutlah ia sedikit mengerti

tentang ‘ilmu’ dalam dunia medis tentang pertolongan persalinan. Sejak saat itu,

apabila ia menolong persalinan, ia selalu menyarankan ibu pasca-bersalin

tersebut untuk memeriksakan diri ke petugas kesehatan. Begitu pula apabila ia

menemukan ibu hamil, ibu nifas, dan balita, ia selalu menyarankan untuk

memeriksakan kehamilan, ibu nifas, dan bayi ke petugas kesehatan. Sama halnya

dengan pangullieh, Ibu Ma yang juga berperan sebagai kader kesehatan selalu

menyarankan ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas, dan bayi untuk memeriksakan diri

ke petugas kesehatan. Begitu pula pada saat Ibu Ma melahirkan putra bungsunya

pada bulan Februari 2012, ia memanggil Bidan Mi yang pada saat itu masih

bertugas sebagai bidan di Puskesmas Onemobaa untuk menolong persalinan.

Berbeda dengan pangullieh, sando berperan sebagai dukun beranak di

Desa Lamanggau selama kurang lebih 15 tahun. Sama halnya dengan pangullieh,

sando juga ikut dalam arisan dukun beranak yang diadakan oleh Puskesmas

Page 212: Riset Evaluasi Jampersal

173

Waha. Sejak pangullieh sudah tidak menolong persalinan lagi, sejak saat itu pula

sando yang seringkali dipanggil oleh masyarakat Desa Lamanggau untuk

menolong persalinan, termasuk orang Bajo meskipun sando adalah ‘orang darat’.

Peran sando sebagai penolong persalinan dalam dua etnis yang berbeda

tersebutlah menyebabkan adanya percampuran budaya yang berkaitan dengan

kehamilan dan persalinan antara orang Buton-Tomia dan orang Bajo.

Percampuran budaya antara dua kelompok yang berbeda tersebut disebut

dengan asimilasi oleh para antropolog.1 Percampuran budaya tersebut juga

menyebabkan kaburnya ‘pemilik asli’ budaya tersebut.

Salah satu nilai budaya yang dimiliki oleh masyarakat Desa Lamanggau

adalah kepercayaan bahwa ibu hamil tidak boleh menolong persalinan, bahkan

ibu hamil dilarang berada di rumah ibu yang sedang bersalin. Apabila ada ibu

hamil di sekitar ibu bersalin, maka ibu hamil tersebut ‘diungsikan’ terlebih dahulu

dari tempat ibu bersalin. Hal ini karena adanya kepercayaan dalam masyarakat

setempat bahwa keberadaan ibu hamil di sekitar ibu bersalin dapat mempersulit

proses persalinan. Kepercayaan ini diyakini oleh masyarakat Desa Lamanggau

baik yang berasal dari etnis Buton-Tomia maupun etnis Bajo. Namun, ‘pemilik

asli’ kepercayaan tersebut belum dapat dideteksi, apakah berasal dari etnis

Buton-Tomia atau dari etnis Bajo. Terlepas dari itu, kepercayaan tersebut telah

mempengaruhi peran bidan di Desa Lamanggau dalam pertolongan persalinan.

Sejak masyarakat Desa Lamanggau mengetahui bahwa Bidan Mi sedang hamil,

maka mereka tidak memanggil Bidan Mi untuk menolong persalinan meskipun

pada saat itu Bidan Mi masih bertugas di Puskesmas Onemobaa.

Selain percampuran budaya antara dua etnis tersebut, masih ada juga

nilai budaya yang masih dipegang teguh oleh masing-masing etnis tersebut.

Dengan kata lain, ada nilai budaya yang dimiliki oleh orang Bajo tetapi tidak

dimiliki oleh orang darat, begitu pula sebaliknya. Sebagai contoh, dalam

1 Menurut Koetjaraningrat, asimilasi adalah suatu proses sosial yang terjadi pada berbagai

golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda. Setelah mereka bergaul

dengan intensif, sifat khas dari unsur-unsur kebudayaan masing-masing berubah menjadi unsur

kebudayaan campuran (Hermanto, 2010:120)

Page 213: Riset Evaluasi Jampersal

174

masyarakat Bajo ada kepercayaan tentang tempat melahirkan. Menurut

kepercayaan orang Bajo, rumah yang boleh digunakan sebagai tempat

melahirkan adalah rumah yang pernah digunakan sebagai tempat melahirkan.

Apabila ada seorang ibu hamil berada di dalam sebuah rumah yang belum

pernah digunakan untuk persalinan, maka pada saat persalinan ibu tersebut akan

dibawa ke rumah yang sudah pernah digunakan untuk persalinan. Namun,

apabila rumah yang belum pernah digunakan sebagai tempat persalinan akan

digunakan sebagai tempat persalinan, maka harus dilakukan ritual terlebih

dahulu. Ritual tersebut dilakukan oleh ‘orang tua’ yang dianggap mempunyai

‘ilmu’ dalam mendoakan sebuah rumah agar bisa dijadikan tempat bersalin.

Apabila rumah tersebut tidak didoakan terlebih dahulu oleh ‘orang tua’ tersebut,

maka rumah tersebut tidak boleh digunakan sebagai tempat bersalin. Oleh sebab

itu, kepercayaan tersebut menjadi salah satu faktor mengapa masyarakat Bajo

enggan melakukan persalinan di pustu. Menurut mereka pustu tersebut belum

pernah digunakan sebagai tempat persalinan dan belum ‘dipagari’ dengan doa-

doa oleh ‘orang tua’. Menurut Ibu Ma, salah seorang kader kesehatan dan juga

anak seorang pangullieh, masyarakat Bajo akan menggunakan pustu sebagai

tempat persalinan apabila telah ‘dipagari’ dengan doa-doa oleh ‘orang tua’.

Di Dusun Lasoilo yang mayoritas dihuni oleh orang Bajo, terdapat sebuah

rumah yang dipercaya oleh orang Bajo sebagai ‘rumah bersalin’. Rumah tersebut

adalah rumah Mbook Medaming. Rumah tersebut paling sering digunakan oleh

masyarakat Bajo sebagai tempat persalinan karena dipercaya oleh masyarakat

setempat dapat memudahkan persalinan seorang ibu. Menurut mereka, setiap

ibu yang melahirkan di rumah tersebut selalu menjalani persalinan dengan

mudah. Kepercayaan tersebut menjadikan rumah Mbook Medaming sebagai

‘rumah bersalin’ masyarakat Bajo.

Rumah Mbook Medaming terletak di Dusun Lasoilo yang mayoritas dihuni

oleh orang Bajo. Rumah tersebut berbentuk rumah panggung yang terbuat dari

kayu, berdinding anyaman bambu yang disebut gedeg oleh orang Jawa, dan

berlantaikan bambu. Untuk memasuki rumah tersebut harus melewati tangga

Page 214: Riset Evaluasi Jampersal

175

yang memiliki kurang lebih sebanyak lima anak tangga. Ruang pertama yang

ditemukan adalah ‘ruang tamu’ yang berukuran kurang lebih 4 x 4 meter. Di

sudut ruangan tersebut terdapat sebuah ruangan yang berukuran kurang lebih 2

x 2 meter. Ruangan tersebut adalah kamar Mbook Medaming yang digunakan

sebagai ruang bersalin. Ruangan tersebut berlantaikan bambu yang memiliki

celah, sehingga darah yang dikeluarkan pada saat melahirkan bisa langsung jatuh

ke bawah rumah dan dibawa oleh air laut. Ruangan yang berlantai bambu

tersebut disebut dengan jongkeng oleh masyarakat Bajo. Setiap ada ibu yang

akan melahirkan di rumah tersebut, Mbook Medaming dan keluarga tidak

pernah marah, mencegah, atau merasa terganggu.

1

4 3

2

Gambar 5.51, 5.52 , 5.53 dan 5.54

1) Rumah Mbook Medaming yang menjadi ‘rumah bersalin’ masyarakat Bajo, 2) kamar yang dijadikan

tempat bersalin (tampak dari dalam), 3) kamar yang dijadikan tempat bersalin (tampak dari luar), dan

4) lantai rumah yang terbuat dari bambu yang bercelah-celah.

Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti, November 2012

Page 215: Riset Evaluasi Jampersal

176

Berbeda dengan masyarakat Bajo, masyarakat Buton-Tomia tidak

mempunyai kepercayaan tempat melahirkan. Bagi mereka di mana saja ibu

bersalin boleh melahirkan tanpa ada syarat tempat tersebut harus didoakan

terlebih dahulu seperti orang Bajo. Namun, sama halnya dengan masyarakat Bajo

yang melahirkan di tempat yang terbuat dari bambu yang mempunyai celah,

masyarakat Buton-Tomia juga melahirkan di atas bambu yang bercelah tersebut.

Tempat tersebut biasanya disebut dengan parapara oleh masyarakat Buton-

Tomia. Masyarakat setempat menggunakan parapara agar darah yang

dikeluarkan pada saat melahirkan bisa langsung dibersihkan dengan air, dan air

tersebut bisa langsung jatuh ke bawah tanah atau bawah laut.

Berdasarkan penjelasan pada diskripsi sebelumnya dapat dilihat bahwa

banyak faktor yang mempengaruhi implementasi Jampersal di masyarakat.

Jampersal yang menawarkan pelayanan persalinan gratis diharapkan mampu

menarik minat masyarakat untuk melakukan persalinan di fasilitas kesehatan

Gambar 5.55

Ibu nifas

Seorang ibu nifas sedang duduk di atas parapara. Parapara adalah tempat melahirkan yang

digunakan oleh masyarakat Buton-Tomia. Parapara tersebut digunakan karena mempunyai

celah-celah sehingga darah yang dikeluarkan pada saat melahirkan mudah dibersihkan.

Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti, November 2012

Page 216: Riset Evaluasi Jampersal

177

oleh tenaga kesehatan. Namun, pada implementasinya, program tersebut

mempunyai banyak hambatan. Hambatan tersebut dapat berasal dari kondisi

fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan, dan budaya masyarakat setempat. Tiga

elemen tersebut saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Apabila tiga

elemen tersebut tidak ‘mendukung’ dalam pelakasanaan program Jampersal,

maka program Jampersal hanya menjadi bayang-bayang yang tidak bisa

direalisasikan dalam nyata.

Pemerintah memang telah membangun fasilitas kesehatan berupa

puskesmas dan pustu di Desa Lamanggau. Pemerintah juga menyediakan tenaga

kesehatan untuk ditugaskan di desa ini. Namun, ketersediaan tenaga kesehatan

dan fasilitas kesehatan hanya menjadi tinta hitam catatan laporan sumber daya

tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan di Dinas Kesehatan Kabupaten

Wakatobi. Tinta hitam tersebut menjadi buram dalam mata masyarakat Desa

Lamanggau, karena mereka tidak mampu ‘menikmati’ pelayanan yang diberikan

oleh tenaga kesehatan yang berada ‘jauh’ dari sisi mereka. Selain itu, fasilitas

kesehatan yang terletak jauh di mata dan jauh di kaki juga tidak bisa mereka

nikmati. Oleh sebab itulah, mereka bertahan untuk sehat termasuk bersalin

dengan cara mereka. Cara tersebutlah yang melekat dalam diri mereka dan

dianut dari nenek moyang sampai sekarang.

Secara kasat mata, ketersediaan fasilitas kesehatan di Desa Lamanggau

bisa dikatakan sudah cukup. Ada satu puskesmas induk dan satu puskesmas

pembantu yang disediakan untuk masyarakat Desa Lamanggau. Dengan jumlah

penduduk yang tidak terlalu banyak, secara teori seharusnya fasilitas tersebut

sudah mampu mengakomodir kebutuhan masyarakat dalam hal kesehatan.

Namun jika kita lihat langsung di lapangan, kenyataan yang ada tidaklah seindah

teori dan catatan laporan. Bagaimana tidak, puskesmas induk yang sudah

dibangun dengan bentuk bangunan yang bagus serta fasilitas yang lengkap ini

tidak pernah sekalipun dinikmati oleh masyarakat. Bagaimana masyarakat mau

dan mampu untuk menikmati jika puskesmas ini dibangun di tempat yang jauh

dan sulit dijangkau aksesnya. Masyarakat hanya dapat berobat di pustu dengan

Page 217: Riset Evaluasi Jampersal

178

fasilitas seadanya. Entah apa yang menjadi landasan awal dari penempatan

lokasi puskesmas ini. Bagaimana bisa, sebuah fasilitas umum yang ditujukan

untuk masyarakat tapi aksesnya sulit dan sangat terbatas bagi masyarakat itu

sendiri. Tidak mungkin rasanya jika ada ibu yang akan melahirkan tapi harus naik

pompong (perahu) atau ojek dan kemudian berjalan lagi 15 – 20 menit dengan

kondisi jalan yang berliku. Belum lagi untuk masuk ke area puskesmas harus

menunggu izin dari pihak keamanan resort terlebih dahulu.

Keterbatasan tenaga kesehatan juga turut mempengaruhi kualitas

pelayanan yang ada. Dengan kenyataan bahwa jumlah tenaga yang terbatas

serta sebagian besar tidak tinggal di desa tentunya akan membatasi akses

masyarakat untuk bersentuhan dengan tenaga kesehatan. Jika keadaan darurat

terjadi, misalnya ada kasus persalinan di tengah malam, apakah mungkin tenaga

kesehatan ini akan cepat tanggap menolong sementara mereka tinggal di lain

pulau dengan transportasi terbatas? Jika tenaga kesehatan ,misalnya bidan desa,

ini tinggal di desa kemudian berbaur dengan masyarakat tentunya akan lebih

efektif. Selain akses yang lebih mudah bagi masyarakat untuk bersentuhan

dengan tenaga kesehatan, kedekatan secara emosional dan psikologis pun akan

terbentuk. Masyarakat merasa bidan ini adalah bagian dari keluarga mereka.

Tenaga kesehatan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat

sejatinya juga mengerti dan paham akan budaya serta kearifan lokal yang ada.

Dalam kasus ini misalnya, budaya setempat mengatakan bahwa wanita hamil

tidak boleh ada di dekat ibu yang akan melahirkan, sementara bidan yang

bertugas di sini sedang hamil. Atau lokasi fasilitas kesehatan, dalam hal ini pustu,

yang terletak dengan kuburan yang dianggap sebagai salah satu tempat yang

dilarang didekati wanita hamil dan bayi dalam budaya setempat. Budaya serta

kearifan lokal yang sudah mendarah daging secara turun temurun akan

senantiasa dipegang teguh oleh masyarakat sebagai pedoman hidup mereka.

Jadi untuk merangkul masyarakat ini tentunya harus bisa memahami dan

mengikuti alur pikir mereka.

Page 218: Riset Evaluasi Jampersal

179

Jika selama ini puskesmas dibangun berdasarkan ‘keangkuhan’ para

policy maker dengan pikiran bahwa masyarakat membutuhkan tenaga kesehatan

dan fasilitas kesehatan, sehingga adanya anggapan bahwa meskipun tenaga

kesehatan tidak menetap di desa tersebut dan fasilitas kesehatan berada jauh

dari pemukiman, pasti akan digunakan oleh masyarakat, apalagi diiming-imingi

dengan kata gratis. Namun nyatanya pikiran tersebut tidak mampu ‘mengajak’

masyarakat untuk melakukan persalinan di fasilitas kesehatan oleh tenaga

kesehatan. Mungkin masih banyak yang beranggapan bahwa masyarakatlah yang

butuh dokter, butuh bidan, dan selalu ingin gratis. Ternyata kata ‘gratis’ tidak

mampu mengalahkan kearifan lokal yang telah dimiliki oleh masyarakat

setempat.

Berdasarkan juknis Jampersal tahun 2012, persalinan yang bisa diklaim

adalah persalinan dengan tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan. Begitu pula

dengan kebijakan yang ada di Kabupaten Wakatobi. Namun, pada kenyataannya

meskipun persalinan telah dijamin oleh pemerintah, tetapi belum mampu

menarik masyarakat untuk bersalin ke tenaga kesehatan dan di fasilitas

kesehatan karena disebabkan kondisi fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan, dan

kondisi sosial budaya masyarakat.

5.8.3. ANTARA BUDAYA, TABU DAN UPAYA PENYELAMATAN IBU DI KOTA

BLITAR

Program jampersal, diharapkan berharap bisa menekan angka kematian

ibu dan bayi sebagaimana target MDG’s tahun 2015. Melalui intervensi

Jampersal, diharapkan tidak terjadi lagi kasus kematian ibu dan bayi. Namun

demikian kondisi di lapangan bisa tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Di

wilayah kerja Puskesmas Kepanjen Kidul, Kota Blitar, JawaTimur mulai januari

sampai dengan bulan Nopember 2012, terjadi empat kasus kematian ibu. Tiga

kasus terjadi di RS dan satu kasus terjadi di Puskesmas. Bagi teman-teman di

Puskesmas, ini dianggap sebagai bencana dan merupakan rekor kasus karena

dalam dua tahun sebelumnya tidak ada kematian ibu. Kejadian tersebut

Page 219: Riset Evaluasi Jampersal

180

merupakan temuan menarik untuk dikaji lebih mendalam karena keberadaan

fasilitas kesehatan di kota Blitar cukup memadai, RSUD, RS Swasta, 3 Puskesmas,

Klinik Bersalin dan didukung oleh praktek dokter obgyn serta bidan praktek

swasta. Jarak tempuh yang dibutuhkan dari pelosok kota menuju ke fasilitas

kesehatan tidak lebih dari 15 menit dengan kendaraan bermotor. Walau semua

sumberdaya sudah dikerahkan untuk meniadakan kasus kematian maternal

perinatal, tetapi kejadian itu masih saja di temui.

Gambaran Kasus Kematian Maternal

Memperhatikan kondisi daerah yang merupakan daerah perkotaan

dengan fasilitas kesehatan yang sangat memadai dan mudah di akses, adanya

kasus kematian maternal yang terjadi di wilayah kerja puskesmas Kepanjen Kidul

merupakan kondisi yang sangat tidak diharapkan oleh Dinas Kesehatan sebagai

penanggung jawab bidang kesehatan. Menindaklanjuti kasus kematian tersebut,

pihak Dinas Kesehatan dan Puskesmas sudah melakukan review maternal

perinatal. Gambaran hasil review adalah sebagai berikut :

KASUS 1 adalah Ny. F, berumur 24 tahun, pendidikan SLTA , bekerja swasta

Deskripsi Kasus

Kehamilan Px kali ini merupakan kehamilan 1. Anak pertama telah berusia

5 tahun dan tinggal bersama orang tua Px d Rembang Blitar. Px kerja di sebuah

dealer sepeda motor sebagai sales counter. Di tempat kerjanya, Px terkenal

sebagai karyawati yang cekatan dan mudah bergaul sehingga Px sangat

membantu tempat dia bekerja dalam mencari customer. Px bekerja dari jam 8

pagi hingga jam 4 sore dan beberapa kali harus lembur. Sejak sebelum hamil

hingga 1 hari sebelum Px meninggal, ritme kerja Px tidak berubah. Bahkan sore

hingga malam sebelum Px meninggal Px sering menerima telpon dari atasan

karena Px sedang dalam proses persetujuan penawaran harga penjualan dengan

pembeli. Meskipun Px merupakan orang yang mudah bergaul, akan tetapi Px

Page 220: Riset Evaluasi Jampersal

181

adalah pribadi yang tertutup. Px jarang sekali menceritakan masalahnya dengan

orang lain, termasuk dalam hubungannya dengan suaminya.

Kondisi kehamilan Px ini dianggap suami dan keluarganya berbeda

dengan kehamilan terdahulu karena hingga memasuki bulan ke-5 Px masih

mengeluh mual dan pusing, padahal waktu hamil pertama, Px hanya mual-mual

sampai bulan ke-3 saja. Tidak jarang Px muntah-muntah ketika mengeluh mual

dan pusing. Hanya saja ketika Px mengeluh pusing dan muntah-muntah, dan

suami menyuruh Px ke dokter, Px tidak mau.

Sepulang dari kerja, setelah maghrib, Px minta diantar suami untuk ke

rumah orang tuanya dengan alasan Px kangen dengan anak pertamanya. Px

diantar suaminya pergi ke rumah orang tuanya di Rembang, Blitar dengan

mengendarai motor. Jam 11 malam Px minta pulang ke rumah mertua kembali,

padahal saat itu suami Px sudah tidur dan tidak kuat untuk mengendarai motor.

Karena ngotot minta pulang saat itu juga, akhirnya Px yang mengendarai motor,

sedangkan suaminya yang membonceng. Sampai di rumah suami Px langsung

tidur. Pagi harinya, tidak biasanya Px bangun siang. Suami Px pikir Px kecapaian

karena semalam sampai di rumah sudah larut. Suami Px baru membangunkan Px

ketika jam sudah menunjukkan pukul 05.30. Ketika suami membangunkan, Px

mengeluh sakit kepala. Px sempat mencuci piring dan memasak nasi. Kemudian

Px merasa kepalanya sangat sakit dan ingin minum obat karena sudah tidak

tahan. Suami mengingatkan agar tidak minum obat sembarangan dan minum

obat dari bidan saja. Akan tetapi Px tetap bersikukuh mencari “Poldan Mix” yang

biasa dipakai oleh keluarga jika sakit kepala karena Px menganggap obat dari

bidan tidak manjur.

Meskipun suami Px sudah menyembunyikan obat tersebut, tetapi Px

tetap mencari hingga tempat obat berantakan. Akhirnya Px menemukan obat

yang disembunyikan suaminya. Obat langsung ditelan tanpa menggunakan air.

Karena ukuran obat yang besar, akhirnya Px memuntahkannya. Setelah itu Px

menyapu halaman. Suami Px tidak mengetahui, apakah obat tersebut kembali

Page 221: Riset Evaluasi Jampersal

182

diminum oleh Px atau dibuang. Tidak lama pada saat Px menyapu halaman, Px

muntah-muntah. Suami menyuruh Px untuk masuk rumah dan istirahat saja.

Suami mengira Px masuk angin, karena semalam Px pulang larut. Px

masuk kamar kembali dan suami yang melanjutkan menyapu halaman dan ruang

tamu. Waktu suami masuk kamar, suami menemukan Px sudah dalam keadaan

“ngorok”. Px tetap tidak bereaksi akhirnya suami Px menyadari bahwa Px butuh

pertolongan dan harus segera dibawa ke puskesmas. Sauami Px bingung

bagaimana cara membawa Px ke puskesmas yang jaraknya sebenarnya tidak

jauh. Kendaraan yang dimiliki hanya sepeda motor, padahal Px dalam kondisi

yang tidak sadar. Dengan mengendarai sepeda motor, suami mencari kendaraan

yang bisa dipakai untuk membawa Px ke Puskesmas. Akhirnya suami bertemu

dengan becak yang diharapkan dapat mengantar ke puskesmas. Akan tetapi

tukang becak tersebut mengatakan bahwa dirinya harus mengantar cucunya

dahulu baru bisa mengantar ke puskesmas. Walaupun letak puskesmas dekat

dengan tempat tinggal Px dan tidak membutuhkan waktu lama untuk sampai di

puskesmas, akan tetapi keluarga Px membutuhkan waktu untuk mencari dan

menanti transportasi untuk membawa Px ke Puskesmas.

Sesampai di puskesmas, langsung dibawa ke UGD, karena kondisi Px

sudah tidak sadar, Px dirujuk ke RS. Di RS Px masuk ke ICU dan dipasang alat

bantu nafas dan jantung.

• Tanggal 1-3-2012 pukul 08.00 ibu datang ke UGD Puskesmas dengan kondisi

tidak sadar, pucat dan nafas ngorok.

• Ibu langsung dirujuk ke RS dan meninggal di RS tanggal 6-3-2012

• Riwayat minum obat di rumah sebelum dibawa ke puskesmas. “Panadol”

satu tablet karena mengeluh pusing sejak kemarin sore.

Dilihat dari kondisi lingkungannya, rumah keluarga Px terletak di tepi

jalan raya yang dilewati oleh banyak kendaraan yang berlalu lalang, akan tetapi

rumah Px tidak menghadap ke jalan raya, melainkan menghadap ke tembok

rumah tetangga. Antara rumah Px dan rumah tetangga terdapat halaman yang

sangat luas. Selain posisi rumah Px yang menghadap ke tembok tetangga,

Page 222: Riset Evaluasi Jampersal

183

halaman yang luas dapat pula menjadi penghalang keluarga Px untuk

berkomunikasi dengan tetangga.

Rumah kader wilayah Px juga lumayan jauh dari tempat tinggal Px.

Bahkan kader baru mengetahui berita kematian Px setelah hari ke-3 Px

meninggal. Menurut kader, memang suami Px sering main bola dengan teman-

temannya yang tinggal di sekitar rumah kader, akan tetapi jarak rumah yang

lumayan jauh menghalangi proses komunikasi kader dan Px. Menurut kader,

selama Px hamil, Px tidak pernah datang pada kegiatan posyandu.

Kader bercerita jika penduduk di wilayahnya rata-rata adalah pedagang

dan buruh tani, sehingga mereka akan berangkat kerja pagi-pagi dan pulang di

malam hari. Ibu-ibu yang tinggal di sekitar rumah kader aktif datang pada saat

jadwal posyandu berlangsung. Kader mengaku bahwa dia dan tim aktif

memberikan penyuluhan kepada ibu hamil, ibu menyusui dan ibu yang

mempunyai anak balita tentang kesehatan. Untuk resiko-resiko masa kehamilan,

kader memang tidak memberi penyuluhan secara personal, akan tetapi biasanya

ibu-ibu yang datang ke psyandu meminjam buku-buku tentang kehamilan yang

dibaca saat jadwal posyandu.

Sebenarnya kader aktif datang berkunjung ke rumah ibu hamil untuk

mengontrol kondisi ibu hamil, akan tetapi karena rumah Px yang jauh, Px bekerja

dari pagi hingga sore dan karena Px juga tidak pernah hadir jika ada acara di

kampung menyebabkan kader jarang berkomunikasi dengan Px. Kader juga tidak

mengetahui kondisi kehamilan Px karena kader hampir tidak pernah bertemu Px

selama Px hamil.

Pada kasus ini tampak bahwa kurangnya pengetahuan ibu tentang

bahaya penggunaan obat secara bebas. Suami tidak pernah ikut masuk ke ruang

dokter ketika Px kontrol sehingga suami tidak tau dengan benar kondisi Px. Px

hanya mengatakan jika kehamilannya baik-baik saja. Komunikasi keluarga Px

dengan tetangga kurang lancar, sehingga ketika terjadi sesuatu tidak ada

tetangga yang mengetahuinya. Posisi rumah Px yang jauh dari rumah kader

Page 223: Riset Evaluasi Jampersal

184

menyebabkan terputusnya komunikasi antara Px dengan kader, sehingga ketika

Px tertimpa musibah, kader tidak mengetahuinya.

Berdasarkan penjelasan di atas, permasalahan yang ada pada kasus satu

jika diringkas adalah:

• Kurangnya pengetahuan ibu tentang bahaya penggunaan obat secara bebas

• Suami tidak pernah ikut masuk ke ruang dokter ketika Px kontrol sehingga

suami tidak tahu dengan benar kondisi Px. Px hanya mengatakan jika

kehamilannya baik-baik saja.

• Komunikasi keluarga Px dengan tetangga kurang lancar, sehingga ketika

terjadi sesuatu tidak ada tetangga yang mengetahuinya

• Posisi rumah Px yang jauh dari rumah kader menyebabkan terputusnya

komunikasi antara Px dengan kader, sehingga ketika Px tertimpa musibah,

kader tidak mengetahuinya.

KASUS 2 : Ny. N, umur 33 tahun, pendidikan SLTA dan sebagai ibu rumah

tangga

Deskripsi Kasus

Kehamilan Px kali ini merupakan kehamilan ketiga. Anak pertama laki-laki,

telah berusia tujuh tahun dan tinggal bersama orang tua Px. Anak kedua

perempuan, berumur empat tahun, tinggal bersama Px. Px adalah seorang ibu

rumah tangga sedangkan suami Px adalah pedagang yang berjualan sayur di

pasar Wlingi. Sehari-harinya Px hanya di rumah beserta satu orang anaknya.

Setiap pagi, pagi-pagi sekali suami Px sudah berangkat untuk berjualan (di pasar

dari jam delapan pagi sampai jam tiga sore). Px memang mempunyai riwayat

hipertensi sejak sebelum hamil. Ibu px meninggal karena darah tinggi (stroke),

ayah Px pernah stroke tetapi meninggalnya bukan karena darah tinggi.

Px mempunyai kebiasaan untuk minum jus setiap hari. Px juga selalu tidur

siang. Ada lima anggota keluarga di rumah (selain dengan keluarga inti, Px juga

tinggal bersama dengan keponakannya). Sebelum hamil Px pernah merasa kaku-

Page 224: Riset Evaluasi Jampersal

185

kaku di tangannya, tapi tidak lama kemudian sembuh. Px pernah tensinya tinggi

sekali ketika anaknya sakit.

Awal hamil hingga kehamilan 2 bulan, Px sehat dan tidak mengalami

keluhan apapun. Pada kehamilan usia 3 bulan Px mengeluh ambeien. Tanpa

konsultasi dokter terlebih dahulu, Px membeli obat “Trace Minerals”, kemudian

meminumnya dengan cara mencampur obat tersebut 1 tetes dengan air satu

gelas, kemudian meminumnya. Ketika usia kehamilan menginjak 8 bulan,

beberapa hari setelah kontrol, Px merasa punggungnya sakit. Padahal

sebelumnya Px tidak pernah merasa sakit di punggungnya. Setiap kali Px kontrol

ke dokter, suami selalu mengantar, akan tetapi suami tidak pernah ikut masuk ke

ruang praktek dokter. Ketika terakhir kali Px kontrol, Px hanya mengatakan jika

kondisi Px dan janin baik, jenis kelamin bayi perempuan.

Menurut tetangga, sejak awal kehamilan, kondisi Px sudah stres.

Tetangga menceritakan bahwa kemungkinan Px malu hamil lagi karena Px hamil

anak yang ketiga, padahal rata-rata penduduk di lingkungan sekitar tempat

tinggal Px hanya mempunyai dua orang anak. Selama hamil Px sering bercerita

pada tetangga kalau Px keluar rumah, Px selalu melihat langit hitam dan

bergulung-gulung seperti mau ada badai atau bencana. Perasaan itu juga yang

membuat Px stress selama hamil. Px jarang keluar rumah saat hamil. Keluar

rumah seperlunya saja.

Menurut tetangga, minggu-minggu terakhir sebelum Px meninggal, Px

tampak bengkak pada muka dan kaki. Tetangga tidak menanyakan kondisi Px,

karena Px tidak cerita.Px bercerita kepada tetangga jika dokter menyarankan Px

untuk operasi saja jika melahirkan nanti, karena anak 1 dan 2 juga operasi, selain

itu juga mengingat Px mempunyai riwayat tekanan darah tinggi.

Pada hari Rabu sore Px mengeluh sakit di ulu hati sampai punggung. Hari

kamis Px mengeluh kepalanya pusing dan sakit sekali. Suami menyuruh Px untuk

ke dokter, akan tetapi Px tidak mau. Px mengatakan bahwa sakitnya adalah

bawaan bayi. Sakit di punggungnya sembuh, akan tetapi Px masih merasa sangat

sakit di kepalanya. Kemudian Px minta diambilkan suaminya obat sakit kepala

Page 225: Riset Evaluasi Jampersal

186

“puyer 16” di tempat obat. Suami Px awalnya melarang Px untuk minum obat

“puyer 16” dan memaksa Px untuk ke dokter saja, akan tetapi Px tetap tidak mau

ke dokter dan mengatakan bahwa ke dokternya sekalian saja dua minggu lagi.

Akhirnya karena Px bersikeras untuk tidak mau ke dokter dan suami tidak tega

melihat Px sakit kepala, akhirnya suami mengambilkan obat dan meminumkan

obat sakit kepala “puyer 16”.

Hari sabtu malam, Px mengatakan pada suami bahwa dirinya tidak bisa

tidur. Lalu Px menyetrika baju semalaman. Jam 4.30, setelah sholat Subuh, Px

baru bisa tidur. Pukul 5.30, Px sudah terbangun. Px bercerita bahwa dirinya

bermimpi dibacakan surat Al Ikhlas oleh anak kecil. Px mengantar suami

berangkat kerja sampai depan pintu pagar. Menurut tetangga, setelah suami

berangkat Px ke pasar seperti biasa dengan mengendarai sepeda motor. Px

bercerita pada tetangga kalau sepulang dari pasar Px sempat mampir ke apotek

untuk “tensi”, karena Px merasa kepalanya masih pusing. Px cerita jika tensinya

170. Ketika akan membuat jus, Px kejang. Keponakan yang tinggal dengan Px

menemukan Px yang kejang kemudian meminta tolong tetangga. Px dibawa ke

RS “A” oleh tetangga, keponakan Px menjaga anak Px di rumah dan menelpon

suami Px. Sampai di RS Px langsung masuk ke UGD. Di UGD Px diinfus. Px hanya

diinfus oleh perawat karena menurut perawat, dokter di RS tidak ada, akan

tetapi dokter sudah dihubungi (saat itu hari minggu dan tidak ada seorang pun

dokter jaga di RS “A” tersebut). Setelah Px dianggap stabil, Px dipindah ke ruang

perawatan. Di ruang perawatan Px sudah bisa diajak bicara dan merespon

tetangganya dengan benar. Kemudian perawat masuk dan memasang kateter.

Ketika perawat memasang kateter Px mengaduh kesakitan kemudian Px kembali

kejang-kejang dan tidak sadar sampai Px meninggal.

• 1 minggu sebelum meninggal ibu mengeluh pusing, kemudian ibu minum

puyer

• 18-4-2012 ibu mengeluh nyeri dada sampai tembus punggung, tapi ibu

menolak untuk periksa

• 20-4-2012 suami mengatakan kaki ibu mulai bengkak

Page 226: Riset Evaluasi Jampersal

187

• 22-4-2012 jam 07.30 Px ke apotek untuk periksa tekanan darah, hasilnya

170/...? mmHg. Sampai di rumah ibu mengalami kejang. Yang menemukan

pertama kali keponakannya, kemudian meminta bantuan tetangga untuk

membawa ibu ke RSU Aminah.

• Pukul 10.30 ibu meninggal dunia

Px hanya dekat dengan tetangga sebelah kiri rumah Px. Dengan tetangga

tersebut hubungan keluarga Px dan keluarga tetangganya sangat dekat. Bahkan

setelah Px meninggal, anak bungsu Px diasuh oleh tetangga Px. Tetangga Px

tersebut 2 bulan terakhir menjadi kader di wilayah tempat tinggalnya. Tetangga

tersebut juga yang mengantarkan Px ke RS “A” sebelum Px meninggal. RS “A”

dipilih karena lokasi RS “A” dekat dengan tempat tinggal Px. Tetangga (suami-

istri) mengantarkan Px ke RS dengan menggunakan mobil. Suami Px sampai di

rumah ketika jenazah Px sudah sampai rumah, karena suami Px berjualan di

pasar yang letaknya jauh dari rumah.

Setelah ada kasus kematian, diadakan pertemuan seluruh petugas

posyandu oleh dinas kesehatan dan puskesmas. Data tentang ibu hamil juga

diminta dari petugas koordinasi posyandu. Sebenarnya kader dan petugas

posyandu sudah sering sekali mendata ibu-ibu yang hamil, akan tetapi ada suatu

kebiasaan bagi ibu hamil untuk menyembunyikan awal-awal kehamilannya

hingga perutnya terlihat besar. Padahal rata-rata perut yang sudah terlihat besar

itu ketika memasuki kehamilan bulan ke-7, sehinga sudah terlambat untuk

pemeriksaan awal.

Berdasarkanpenjelasan di atas, permasalahan yang ada pada kasus kedua

jika diringkas adalah :

• Terlambat mendeteksi tanda bahaya kehamilan karena ibu tidak tahu

bahaya minum obat sembarangan

• Terlambat merujuk

• Terlambat mendapat pertolongan

Page 227: Riset Evaluasi Jampersal

188

KASUS 3 : Nama Ny. B, umur 31 tahun, pendidikan SLTA dan bekerja sebagai

pedagang.

Deskripsi Kasus

Px mengalami hal yang sama dengan ibu dan neneknya. Neneknya

meninggal dengan diagnosa eklamsi ketika melahirkan ibunya. Ibunya juga

meninggal dengan diagnosa yang sama ketika melahirkan Px. Hal tersebut oleh

keluarga Px lebih dianggap sebagai sebuah kutukan yang dialami oleh keluarga.

Keluarga merasa kematian Px merupakan pemutus kutukan yang harus dialami

oleh keluarga karena Px dan bayinya meninggal, sehingga tidak ada lagi yang

harus menanggung kutukan

Keluarga Px tidak paham resiko yang dialami ibu hamil. Keluarga Px juga

tidak paham jika Px mempunyai sejarah keluarga dengan hipertensi, sehingga

meningkatkan resiko Px mengalami hipertensi. Keluarga sangat senang ketika Px

hamil, akan tetapi ada kekhawatiran dikalangan keluarga karena keluarga takut

Px mengalami hal yang sama dengan ibu dan neneknya (takut kutukan itu harus

dialami Px).

Suami Px mengatakan bahwa ketika hamil kondisi Px baik-baik saja.

Hanya saja ketika hamil Px beberapa kali sakit batuk, tapi dibiarkan saja (tidak

minum obat) sudah sembuh sendiri. Ketika hamil Px sempat mengeluh sakit gigi

yang tak tertahankan dan akhirnya Px melakukan cabut gigi di puskesmas. Px

selalu periksa kehamilan di BPS, akan tetapi karena suami tidak ikut masuk ke

ruang praktek, maka suami tidak mengetahui secara jelas kondisi kehamilan Px.

Px selalu bilang baik-baik saja sepulang dari kontrol di BPS.

• Ibu periksa hamil ke BPS dan puskesmas

• Tanggal 4-4-2012 jam 00.00 ibu mengeluh sesak nafas dan periksa ke BPS

• Bidan menyarankan ibu langsung ke puskesmas

• Dari puskesmas ibu langsung dirujuk menggunakan ambulance ke RS

• Ibu meninggal setelah sampai di RS

Page 228: Riset Evaluasi Jampersal

189

• Ibu mengattakan pernah cabut gigi ketika hamil

Rumah keluarga Px terletak di tepi jalan raya yang dilewati oleh banyak

kendaraan yang berlalu lalang, akan tetapi rumah Px tidak menghadap ke jalan

raya, melainkan menghadap ke tembok rumah tetangga. Antara rumah Px dan

rumah tetangga terdapat halaman yang sangat luas. Selain posisi rumah Px yang

menghadap ke tembok tetangga, halaman yang luas dapat pula menjadi

penghalang keluarga Px untuk berkomunikasi dengan tetangga.

Rumah kader wilayah Px juga lumayan jauh dari tempattinggal Px. Bahkan

kader baru mengetahui berita kematian Px setelah hari ke-3 Px meninggal.

Menurut kader, memang suami Px sering main bola dengan teman-

temannya yang tinggal di sekitar rumah kader, akan tetapi jarak rumah yang

lumayan jauh menghalangi proses komunikasi kader dan Px. Menurut kader,

selama Px hamil, Px tidak pernah datang pada kegiatan posyandu.

“Mungkin Px kontrolnya langsung ke Puskesmas mbak, soalnya lebih

dekat ke puskesmas daripada ke sini (posyandu)”

Kader bercerita jika penduduk di wilayahnya rata-rata adalah pedagang

dan buruh tani, sehingga mereka akan berangkat kerja pagi-pagi dan pulang di

malam hari.

Ibu-ibu yang tinggal di sekitar rumah kader aktif datang pada saat jadwal

posyandu berlangsung. Kader mengaku bahwa dia dan tim aktif memberikan

penyuluhan kepada ibu hamil, ibu menyusui dan ibu yang mempunyai anak balita

tentang kesehatan. Untuk resiko-resiko masa kehamilan, kader memang tidak

memberi penyuluhan secara personal, akan tetapi biasanya ibu-ibu yang datang

ke psyandu meminjam buku-buku tentang kehamilan yang dibaca saat jadwal

posyandu.

Sebenarnya kader aktif datang berkunjung ke rumah ibu hamil untuk

mengontrol kondisi ibu hamil, akan tetapi karena rumah Px yang jauh, Px bekerja

dari pagi hingga sore dan karena Px juga tidak pernah hadir jika ada acara di

kampung menyebabkan kader jarang berkomunikasi dengan Px. Kader juga tidak

Page 229: Riset Evaluasi Jampersal

190

mengetahui kondisi kehamilan Px karena kader hampir tidak pernah bertemu Px

selama Px hamil.

Berdasarkan penjelasan di atas, permasalahan yang ada pada kasus 3

adalah:

• Terlambat mendeteksi tanda bahaya kehamilan karena keluarga mengira ibu

kesurupan

• Terlambat merujuk karena kondisi cuaca hujan, rumah berada di bantaran

sungai dan tidak ada kendaraan

• Terlambat mendapatkan pertolongan

KASUS 4 : Nama Ny B, umur 31 tahun pendidikan SLTA dan bekerja sebagai

pedagang.

Diskripsi Kasus

Px mengalami hal yang sama dengan ibu dan neneknya. Neneknya

meninggal dengan diagnosa eklamsi ketika melahirkan ibunya. Ibunya juga

meninggal dengan diagnosa yang sama ketika melahirkan Px. Hal tersebut oleh

keluarga Px lebih dianggap sebagai sebuah kutukan yang dialami oleh keluarga.

Keluarga merasa kematian Px merupakan pemutus kutukan yang harus dialami

oleh keluarga karena Px dan bayinya meninggal, sehingga tidak ada lagi yang

harus menanggung kutukan

Keluarga Px tidak paham resiko yang dialami ibu hamil. Keluarga Px juga

tidak paham jika Px mempunyai sejarah keluarga dengan hipertensi, sehingga

meningkatkan resiko Px mengalami hipertensi. Keluarga sangat senang ketika Px

hamil, akan tetapi ada kekhawatiran dikalangan keluarga karena keluarga takut

Px mengalami hal yang sama dengan ibu dan neneknya (takut kutukan itu harus

dialami Px

Suami Px mengatakan bahwa ketika hamil kondisi Px baik-baik saja.

Hanya saja ketika hamil Px beberapa kali sakit batuk, tapi dibiarkan saja (tidak

minum obat) sudah sembuh sendiri. Ketika hamil Px sempat mengeluh sakit gigi

Page 230: Riset Evaluasi Jampersal

191

yang tak tertahankan dan akhirnya Px melakukan cabut gigi di puskesmas. Px

selalu periksa kehamilan di BPS, akan tetapi karena suami tidak ikut masuk ke

ruang praktek, maka suami tidak mengetahui secara jelas kondisi kehamilan Px.

Px selalu bilang baik-baik saja sepulang dari kontrol di BPS.

Kronologi kejadian yang dialami Px :

• Ibu periksa hamil ke BPS dan puskesmas

• Tanggal 4-4-2012 jam 00.00 ibu mengeluh sesak nafas dan periksa ke BPS

• Bidan menyarankan ibu langsung ke puskesmas

• Dari puskesmas ibu langsung dirujuk menggunakan ambulance ke RS

• Ibu meninggal setelah sampai di RS

• Ibu mengatakan pernah cabut gigi ketika hamil

Permasalahan yang dialami oleh Px adalah:

• Kurangnya pengetahuan ibu tentang resiko cabut gigi pada masa kehamilan

• Kurangnya pengetahuan keluarga tentang resiko-resiko di masa kehamilan

Taboo vs Malu

Di Kota Blitar, tempat penelitian ini berlangsung, ternyata masih ada

kepercayaan yang dipegang oleh para ibu hamil, dimana ketika kandungan masih

berusia muda (belum kelihatan hamil) para ibu hamil dilarang untuk

menceritakan kehamilannya kepada orang lain. Beberapa ibu hamil dan kader

yang ditanyai tentang alasan mengapa tidak boleh menceritakan kehamilannya

di awal kehamilan, beberapa menjawab “tidak tahu”.

“..gak tau mbak, pokoknya nurut aja apa kata orang-orang tua. Takut ada apa-

apa kalo gak nurut..”

Sedangkan beberapa ibu hamil mengatakan bahwa mereka tidak mau

menceritakan awal kehamilannya kepada orang di luar keluarga inti karena jika

kehamilan itu tidak berlanjut, mereka akan malu.

“..nek wis kadhung cerito trus gak sidho hamil lak isin mbak. Makanya mereka

biasanya baru akan cerita kalau perutnya sudah kelihatan besar. Tapi itu kan

sudah terlambat ya mbak. Lha wong kalau perutnya sudah kelihatan besar

berarti kan kira-kira sudah 4 bulan keatas..”

Page 231: Riset Evaluasi Jampersal

192

Selain masalah ketabuan yang berkembang diantara ibu hamil sehingga

tidak mau menceritakan awal kehamilannya kepada orang di luar keluarga

intinya, masalah “malu” juga ada di antara ibu hamil yang menyebabkan dirinya

tidak mau menceritakan kehamilannya. Di Kota Blitar, program KB begitu gencar

digalakkan dan sangat sukses, sehingga sebagian besar penduduk Kota Blitar

hanya mempunyai dua anak. Ternyata dampak positif program KB juga disertai

dengan dampak negatif yang timbul di masyarakat. Ibu-ibu yang hamil anak ke-3

atau lebih merasa malu dengan kehamilannya. Hal ini menyebabkan ibu-ibu malu

menceritakan kehamilannya kepada orang lain hingga perutnya tampak besar

dan tetangga-tetangga tahu jika ibu tersebut hamil. Sebenarnya tetangga-

tetangga dan lingkungan tidak ada yang mempermasalahkan kehamilan ibu

tersebut asal hamil dengan suami sah-nya, akan tetapi biasanya ibu hamil

tersebut malu sendiri dengan tetangganya, karena anak ke-3 saja sudah merasa

banyak, sebab sebagian besar tetangganya hanya mempunyai dua anak.

Lain kasus, ada pula ibu yang hamil dengan lelaki lain karena suaminya

adalah TKI di luar negeri dan tidak pernah pulang serta TKW yang pulang dalam

kondisi hamil. Kedua kelompok inilah yang dianggap para kader sebagai

kelompok yang “susah dijangkau”. Umumnya mereka menyembunyikan diri dan

tidak bersosialisasi. Entah mereka memeriksakan kehamilannya atau tidak dan

dimana mereka memeriksakan kehamilannya.

“..embuh prikso nang ndi mbak.wong g tau metu seko ngomah. Engkuk ujug2

wis lair anake..”

Peran Suami

Peran suami di keluarga dalam budaya Jawa sangat penting. Suami

sebagai kepala keluarga dan pengambil keputusan. Dalam situasi yang sulit dan

mendesak, suami haruslah mampu mengambil keputusan dengan tepat.

Berkaitan dengan kehamilan, peran suami sebagai pengambil keputusan dan

mendampingi istri selama masa kehamilan sangatlah penting. Suami hendaknya

mendampingi dan memberikan ekstra perhatian kepada istrinya yang sedang

hamil. Kehamilan memang merupakan masa-masa dimana seorang ibu

Page 232: Riset Evaluasi Jampersal

193

membutuhkan perhatian ekstra dari pasangannya (suami) dan lingkungannya.

Hal ini disebabkan karena adanya perubahan biologis yang terjadi pada diri

seorang ibu. Perubahan tersebut juga memberikan efek pada emosi ibu. Ibu akan

berubah menjadi sangat sensitive ketika hamil.

Tidak hanya seorang ibu yang sedang hamil yang harus mempunyai

pengetahuan tentang kehamilan, suami dengan istri yang sedang hamil

hendaknya juga mempunyai pengetahun tentang kehamilan. Terutama resiko-

resiko yang kemungkinan terjadi, berkaitan dengan kondisi istri yang sedang

hamil. Seringkali ibu yang sedang hamil tidak mau menceritakan kondisi dirinya

dan kehamilannya yang sesungguhnya kepada suaminya sehingga ketika terjadi

sesuatu pada istrinya yang sedang hamil, suami tidak tahu kondisi istri yang

sebenarnya. Untuk mengantisipasi hal tersebut, suami sebaiknya menemani istri

yang sedang kontrol kehamilan. Menemani tidak hanya menunggu di depan

pintu praktek dokter, bidan, atau d depan pintu poli di puskesmas atau RS, akan

tetapi suami ikut masuk ke ruang periksa ketika istri sedang periksa. Hal tersebut

selain membantu suami untuk mengetahui kondisi istri yang sebenarnya, juga

membantu dokter mengkomunikasikan kemungkinan-kemungkinan yang bisa

terjadi jika istri memang mengalami kondisi khusus (misalnya, tekanan darah

tinggi) atau kondisi khusus yang terjadi pada janin (misalnya, janin sungsang).

Kepedulian dan ketanggapan suami terhadap tanda-tanda dan gejala

yang berhubungan dengan resiko kehamilan dapat meminimalisir kejadian yang

tidak diinginkan. Beberapa kasus menunjukkan bahwa ketidakpedulian dan

ketidaktanggapan suami membawa akibat yang fatal bagi kondisi istrinya yang

sedang hamil.

Pelabelan “gawan bayi” pada perubahan kondisi ibu hamil yang

sebetulnya mengindikasikan terjadinya gangguan pada diri ibu dan kehamilannya

menyebabkan berkurangnya ketanggapan pada diri suami dan lingkungan (orang

tua, keluarga dan teman) akan gangguan yang dialami oleh ibu hamil.

Pengambilan keputusan yang tepat untuk membwa istri yang sedang

hamil untuk berkunjung ke pelayanan kesehatan terjadi mulai awal terdeteksinya

Page 233: Riset Evaluasi Jampersal

194

kehamilan istri. Sejak awal terdeteksinya kehamilan istri, suami hendaknya

mendorong istri untuk memeriksakan kehamilan istri sejak dini, sehingga jika ada

sesuatu yang tidak diinginkan dapat diketahui sejak awal kehamilan. Selama

hamil, jika terjadi keluhan pada istri, para suami juga harus tanggap untuk

mengajak istri memeriksakannya ke pelayanan kesehatan. Hingga akhirnya ketika

istri akan melahirkan, suami yang siaga akan suap mengantarkan istri yang akan

melahirkan dengan membawanya ke unit pelayanan kesehatan.

Peran Kader Dalam Pelayanan Jampersal

Guna memberikan pelayanan kesehatan ibu dan bayi, Pemerintah telah

melaksanakan berbagai upaya terbaiknya. Di level komunitas, ada bidan desa

yang sudah dilengkapi dengan Bidan Kit, obat-obatan dan bahan-bahan untuk

memberikan pelayanan kesehatan selama kehamilan, persalinan dan nifas ibu

dan bayinya. Di Puskesmas, sudah ada Dokter umum dan tenaga bidan yang

mampu memberikan pelayanan PONED. Masalahnya, pemanfaatan pelayanan

ibu dan bayi yang sudah disediakan oleh Pemerintah ini senantiasa terkait

dengan kemiskinan, pendidikan dan untuk beberapa daerah tertentu dengan

faktor geografis. Keterbatasan tenaga kesehatan untuk menjangkau masyarakat

menyadarkan tentang pentingnya peran serta masyarakat.

Kesadaran tentang keterbatasan tenaga dan anggaran telah membuat

Puskesmas Kepanjen Kidul senantiasa bermitra dengan masyarakat/ kader dalam

menjalankan program-program pelayanannya. Kemitraan dengan kader lebih

ditekankan pada upaya menggerakkan masyarakat dalam hal PHBS, Kadarzi dan

peningkatan kesehatan ibu, bayi dan anak. Untuk memberikan hasil kerjasama

yang optimal ada beberapa pembekalan yang diberikan kepada para kader.

Selain tentang substansi PHBS, Kadarzi dan KIA para kader juga mendapat

pembekalan tentang penggerakan, pemberdayaan masyarakat dan P3K.

Kader Kesehatan di wilayah Puskesmas Kepanjen Kidul semuanya

perempuan. Kalau dilihat dari profesinya, memang kebanyakan mereka adalah

sebagai ibu rumah tangga. Namun ada juga pedagang dan pekerja lepas.

Page 234: Riset Evaluasi Jampersal

195

Ketidakterikatan dengan pekerjaan yang membuat mereka punya waktu lebih

untuk melaksanakan tanggungjawabnya sebagai pekerja sosial. Tentunya juga

karena mereka punya komitmen yang bagus sebagai kader. Sebagaimana

diungkap oleh kepala Puskesmas Kepanjen Kidul.

“..komitmen kader dalam melaksanakan tanggungjawabnya sangat bagus. Kalau

sewaktu-waktu mereka kita minta datang ke Puskesmas, mereka selalu hadir

walau hanya saya hubungi via telepon..”

Kegiatan rutin dari Kader adalah melakukan Posyandu dan pertemuan

antar kader yang dilakukan setiap bulan. Pada pertemuan rutin kader yang

dilakukan adalah menginformasikan kondisi PHBS, Kadarzi dan KIA yang terdapat

di masing-masing wilayahnya. Kalau ada sesuatu yang spesial, maka pada saat

pertemuan itu juga digunakan untuk melakukan sosialisasi. Salah satu

diantaranya adalah pemberian informasi tentang Jampersal kepada Kader.

Terkait dengan kegiatan Jampersal, tanggungjawab yang diemban oleh

Kader adalah membantu menggerakkan para ibu hamil yang ada di wilayahnya

untuk melakukan ANC dan persalinan di petugas kesehatan. Sebagaimana

dikemukakan oleh ibu Kader Ririn.

“..masyarakat di tempat saya banyak dari kalangan telok-lemak, mereka sering

datang dan pergi. Sulit untuk dikasiktahu. Namun saya berusaha sebisa saya

untuk memberikan penjelasan. Ini lho ada pelayanan gratis.. sampeyan bisa

periksa kehamilan, sampeyan bisa melahirkan tanpa mbayar. Kurang opo..”

Ketika ada ibu hamil maka kader akan selalu memantau kondisi ibu hamil

tersebut. Kader akan bertanya langsung kepada yang bersangkutan atau kalau

saat dilakukan kunjungan, yang bersangkutan tidak ada maka sudah merupakan

protap untuk bertanya kepada tetangga di kanan-kirinya tentang keadaannya

untuk kemudian ditindaklanjuti lagi pada kunjungan berikutnya. Setiap

kunjungan biasanya ditambahi dengan pesan.

“..kalau ada apa-apa, silahkan hubungi saya, ini no HP saya..”

Namun demikian ada kegalauan dari Kader ketika mau memberikan

penyuluhan kepada masyarakat. Perasaan tidak enak hati, khawatir terhadap

penerimaan masyarakat akan menganggap kader sebagai orang “sok tahu” dan

terlalu banyak omong.

Page 235: Riset Evaluasi Jampersal

196

“..saya tidak enak hati... sopo sih kui... kok kenyi banget..”

Ini merupakan kendala yang hampir dipunyai oleh semua Kader. Rasa

percaya diri yang kurang karena mereka hanya ibu rumah tangga biasa, bukan

orang kesehatan, kok banyak bicara tentang kesehatan.

Ketika terjadi kasus kematian maternal, Kader juga direpotkan dengan

kejadian itu. Paling tidak Kader akan ditanya banyak hal terkait kasus kematian

itu oleh bidan dalam rangka melengkapi informasi untuk review maternal

mortalitas. Dengan adanya kasus tersebut, Kader diminta untuk lebih melakukan

pemantauan kondisi para ibu hamil agar tidak terjadi lagi kasus kematian

maternal, sebagaimana dituturkan oleh ibu Susi dan Ririn berikut.

“..setelah ada kasus. Ada permintaan dari Kelurahan dan RT agar kami para

kader membantu mendeteksi..” “..saya diwanti-wanti oleh bu Bidan agar kematian ibu ini jangan sampai terjadi

lagi. Saya kemudian juga minta bantuan pihak RT untuk sama-sama memantau..

tapi saya tidak tahu apa tindak lanjut dari RT..”

Upaya Penyelamatan Vs Takdir

Sebagaimana diketahui, kehamilan dan persalinan yang aman tidak

terlepas dari faktor sosial budaya dan lingkungan di dalam masyarakat di mana

mereka berada. Memahami perilaku perawatan kehamilan adalah penting untuk

mengetahui dampak kesehatan bayi dan si ibu sendiri. Fakta yang teramati

dalam kasus kematian di daerah studi menunjukkan bahwa keempat Ibu yang

meningggal berdasarkan catatan di Puskesmas sudah memeriksakan dirinya

secara rutin setiap bulan ke bidan ataupun dokter. Namun demikian, ketika

terjadi masalah kesehatan, ibu tidak langsung pergi ke petugas kesehatan.

Mereka cenderung kondisi itu dan menunggu waktu kunjungan berikutnya.

Kehamilan dianggap sebagai hal yang biasa, alamiah dan kodrati. Mereka kurang

menyadari pentingnya segera memeriksakan kehamilan ketika mengalami

masalah kesehatan yang bisa menyebabkan tidak terdeteksinya faktor-faktor

resiko tinggi yang mungkin dialami oleh mereka. Resiko ini baru diketahui pada

saat kasusnya sudah terlambat dapat membawa akibat fatal yaitu kematian. Hal

Page 236: Riset Evaluasi Jampersal

197

ini kemungkinan disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan dan kurangnya

informasi.

Kalau dilihat dari fasilitas kesehatan yang disediakan Pemerintah Daerah

seperti tiga Puskesmas dan sebuah RSUD di Kota Blitar yang luas wilayahnya

hanya 32,58 km². Padahal masih ada beberapa Rumah Sakit Swasta dan banyak

Dokter dan Bidan praktek swasta. harusnya masyarakat bisa mengakses dengan

mudah fasilitas kesehatan yang ada. Pada keempat kasus kematian, kalau dilihat

dari jarak tempat tinggal ke fasilitas kesehatan terdekatnya, semua tidak ada

yang lebih dari 2 km. Alat transportasinyapun mudah diperoleh setiap saat.

Kasus kematian yang terjadi di Puskesmas Kepanjen Kidul merupakan

gambaran bagaimana kultur perkotaan yang bercirikan melemahnya ikatan

sosial, juga berkontribusi terhadap kasus ini. Keperdulian keluarga dan tetangga

sekitar harusnya bisa dioptimalkan untuk dilibatkan dalam upaya pemantauan

dan deteksi dini resiko kehamilan yang mungkin dialami oleh seorang ibu hamil.

Secara medis, penyebab tiga kasus kematian ibu diduga eklamsia dan

satu kasus tidak ditemukan indikasi. Karena kondisi tersebut bila tidak ditangani

secara tepat dan profesional dapat berakibat fatal bagi ibu. Namun, kefatalan ini

juga karena ada faktor keterlambatan pengambilan keputusan dari keluarga dan

ibu yang bersangkutan. Keterlambatan juga muncul karena kepanikan, suami

yang seringkali menjadi panik melihat keadaan krisis yang terjadi. Kepanikan dan

ketidaktahuan akan gejala-gejala tertentu saat persalinan dapat menghambat

tindakan yang seharusnya dilakukan dengan cepat. Tidak jarang pula nasehat-

nasehat yang diberikan oleh teman atau tetangga mempengaruhi keputusan

yang diambil. Selain dari faktor keterlambatan dalam pengambilan keputusan,

faktor geografis dan kendala ekonomi, keterlambatan mencari pertolongan

disebabkan juga oleh adanya suatu keyakinan dan sikap pasrah dari masyarakat

bahwa segala sesuatu yang terjadi merupakan takdir yang tak dapat

dihindarkan.

Suatu kondisi yang tidak dihindari bahwa dalam upaya meningkatkan

derajat kesehatan ibu dan anak melalui program-program pembangunan

Page 237: Riset Evaluasi Jampersal

198

kesehatan perlu memperhatikan aspek-aspek sosial-budaya masyarakat.

Keberadaan petugas kesehatan dan kelengkapan fasilitas kesehatan semata

tidaklah cukup untuk mengatasi masalah-masalah KIA di suatu daerah. Perilaku

kesehatan di masyarakat baik yang menguntungkan atau merugikan kesehatan

banyak sekali dipengaruhi oleh faktor sosial budaya. Pada dasarnya, peran

kebudayaan terhadap kesehatan masyarakat adalah dalam membentuk,

mengatur dan mempengaruhi tindakan atau kegiatan individu-individu suatu

kelompok sosial untuk memenuhi berbagai kebutuhan kesehatan.

Memang tidak semua perilaku masyarakat yang pada awalnya bertujuan

untuk menjaga kesehatan dirinya adalah merupakan praktek yang sesuai dengan

ketentuan medis dan kesehatan. Apalagi kalau persepsi tentang kesehatan

ataupun penyebab sakit sudah berbeda sekali dengan konsep medis, tentunya

upaya mengatasinya juga berbeda disesuaikan dengan keyakinan ataupun

kepercayaan-kepercayaan yang sudah dianut secara turun-temurun sehingga

lebih banyak menimbulkan dampak-dampak yang merugikan bagi kesehatan.

Dan untuk merubah perilaku ini sangat membutuhkan waktu dan cara yang

strategis. Dengan alasan ini pula dalam hal penempatan petugas kesehatan

dimana selain memberi pelayanan kesehatan pada masyarakat juga berfungsi

sebagai agen perubah maka pengetahuan dan kemampuan berkomunikasi dari

petugas kesehatan sangat diperlukan disamping kemampuan dan ketrampilan

memberi pelayanan kesehatan.

Mengingat bahwa dari indikator-indikator yang ada menunjukkan derajat

kesehatan ibu dan anak masih perlu diingkatkan, maka dalam upaya

perbaikannya perlu pendekatan-pendekatan yang dilakukan secara holistik dan

integratif yang tidak hanya terbatas pada bidang kesehatan secara medis saja

tetapi juga ekonomi, pendidikan, sosial dan budaya. Dalam hal melakukan upaya-

upaya perbaikan perlu disadari bahwa hubungan ibu dan anak sangat erat

dimana kondisi kesehatan ibu akan dapat secara langsung mempengaruhi kondisi

kesehatan anaknya, baik mulai dari kandungan maupun setelah persalinan. Oleh

karena itu, penting sekali menempatkan konteks reproduksi dalam program KIA

Page 238: Riset Evaluasi Jampersal

199

sehingga diharapkan kondisi kesehatan seseorang benar-benar dapat terpelihara

sesuai dengan konsep medis yang tepat sejak ia berada dalam kandungan, masa

kanak-kanak, masa remaja hingga dewasa.

Ilmu vs Upaya Penyelamatan

Ilmu/pengetahuan tentang kehamilan tidak saja wajib dimiliki oleh ibu

hamil saja, melainkan wajib dimiliki oleh keluarga, terutama oleh suami. Dengan

pengetahuan tentang kehamilan dan resiko-resiko kehamilan, ibu hamil dapat

mendeteksi resiko-resiko yang ada di dalam dirinya. Selain itu suami dan

keluarga dapat menjadi suami dan keluarga siaga bagi istri dan saudaranya yang

hamil. Pengetahuan yang dimiliki oleh suami dan keluarga ibu hamil diharapkan

mampu menjadi bekal apabila kelak terjadi suatu kondisi yang tidak diinginkan

pada ibu hamil. Pemberian tambahan ilmu / pengetahuan baik pada ibu hamil

maupun suami dan keluarga diharapkan mampu menjadi salah satu upaya

penyelamatan pada ibu hamil. Ilmu yang tentang kehamilan dan resiko-resiko

kehamilan yang dimiliki oleh ibu hamil diharapkan mampu menjadikan ibu hamil

tanggap dan mengerti tentang perubahan kondisi yang dialaminya sehingga

mampu mengambil keputusan yang tepat bagi dirinya. Sedangkan ilmu yang

telah dimiliki oleh suami dan keluarga diharapkan mampu membantu ibu hamil

jika terjadi hal-hal genting terjadi pada ibu hamil. Keputusan tepat yang dilandasi

ilmu sangat diperlukan dalam membantu ibu hamil dalam usaha menyelamatkan

baik ibu maupun anak yang dikandungnya.

Pemberian bekal imu pada ibu hamil, suami dan keluarganya tidak dapat

dilakukan dengan cara “pukul rata” akan tetapi dilakukan dengan “bahasa” yang

sama dengan konsep dan “bahasa” yang dipahami oleh keluarga tersebut. Hal ini

wajib dilakukan agar konsep yang akan kita sampaikan mampu dipahami dengan

benar oleh ibu hamil dan keluarganya. Proses pendampingan oleh tenaga

kesehatan secara berkesimbungan juga dinilai efektif untuk merubah konsep

“keliru” yang berkembang di masyarakat.

Page 239: Riset Evaluasi Jampersal

200

Adanya kepercayaan-kepercayaan yang “keliru” yang tumbuh di

masyarakat menyebabkan masyarakat kurang “tanggap” dalam menyikapi

perubahan kondisi yang dialami oleh ibu hamil.

Peran suami dalam pengambilan keputusan untuk ibu hamil sangatlah

penting, karena dalam Budaya Jawa, suami lah pengambil keputusan jika ada

persoalan-persoalan rumah tangga. Kader sangat berperan dalam penyampaian

informasi tentang kehamilan dan resiko-resikonya pada ibu hamil dan

keluarganya.

Pemberian ilmu / pengetahuan pada ibu hamil dan keluarganya

diharapkan mampu menjadi salah satu alternatif penyelamatan ibu hamil.

Dapat kita simpulkan bahwa upaya penyelamatan ibu hamil merupakan

tanggung jawab semua pihak, bukan saja tanggung jawab kader dan petugas

kesehatan, melainkan tanggung jawab ibu hamil itu sendiri, suami dan

keluarganya.

5.9 AKSEPTABILITAS TOMA, TOGA, LINTAS SEKTOR, LSM DAN ORGANISASI

LAINNYA DALAM MENINGKATKAN PELAYANAN JAMINAN PERSALINAN

Salah satu tujuan yang akan dicapai dalam studi ini adalah mengetahui

akseptabilitas masyarakat meningkatkan pelayanan Jampersal. Untuk memenuhi

tujuan tersebut dilakukan Fokus Grup Diskusi (FGD) dengan tokoh masyarakat,

tokoh agama, kader kesehatan, aparat desa dan dukun. Materi yang didiskusikan

adalah tentang akseptabilitas masyarakat terhadap Jampersal mulai kegiatan

sosialisasi, pemahaman dan pemanfaatan serta harapan masyarakat terhadap

keberadaan program Jampersal.

Page 240: Riset Evaluasi Jampersal

201

Gambar 5.56

Diskusi kelompok masyarakat (TOMA, TOGA, kader, dll)

Sosialisasi Jampersal kepada masyarakat secara umum diberikan oleh

pihak puskesmas. Kepala puskesmas dan bidan diakui sebagai orang yang banyak

memberikan penjelasan tentang Jampersal. Sasaran utama sosialisasi di

masyarakat adalah kepada para kader kesehatan yang akan diteruskan pada ibu

hamil di posyandu. Para bidan juga senantiasa memberikan informasi tentang

Jampersal kepada ibu hamil ketika periksa kehamilannya. Di Kota Bandung kader

juga secara proaktif mendatangi sasaran jampersal, selain itu juga melalui media

elektronik televisi.

Pertemuan kader dan posyandu memang merupakan tempat utama bagi

petugas kesehatan melakukan sosalisasi. Tetapi Kota Mataram sosialisasi juga

dilakukan dengan memanfaatkan masjid. Melalui pengeras suara yang ada di

mesjid, petugas puskesmas dengan didampingi kader dan tokoh masyarakat,

memberikan informasi tentang Jampersal. Sedangkan di Sampang, sosalisasi

juga dilakukan dengan memanfaatkan kegiatan pengajian umum. Kegiatan

pengajian umum ini memang di desain sebagai media komunikasi pemerintah,

ulama dan masyarakat. Sehingga yang memanfaatkan media pengajian ini bukan

cuma dari kesehatan, dari kepolisian juga sering.

Page 241: Riset Evaluasi Jampersal

202

Sosialisasi Jampersal yang menjadi tugas Dinas Kesehatan dengan

segenap jajarannya, ternyata tidak diterima oleh semua masyarakat. Peserta FGD

di Kota Kendari mengemukakan bahwa masyarakat kurang tersosialisasi dengan

Jampersal. Ada juga yang mengaku bahwa dia baru tahu setelah mengikuti

kegiatan FGD ini. Puskesmas sebagai lembaga pelayanan kesehatan yang

langsung berhubungan dengan masyarakat mengaku bahwa sudah melakukan

sosialisasi tapi tidak langsung ke masyarakat. Sehubungan dengan minimnya

sosialisasi tersebut, masyarakat mengharapkan sosialisasi hendaknya dilakukan

di tempat yang lebih dapat diakses oleh masyarakat misalnya di kelurahan.

Seharusnya sosialisasi juga dilakukan kepada ketua RT yang nantinya akan

disebarluaskan pada warganya.

“..pokja 4 bisa bantu sosialisasi, karena masyarakat disini kurang tahu mengenai

jampersal jadi lebih banyak ke dukun, mereka takut ke RS takut biaya mahal..”

"..di kelurahan sosialisasinya, kalau di PKK hanya sebagian ibu-ibu yang hadir,

kalau di kelurahan yang mendengar bisa lebih banyak..”

Kondisi yang sangat berbeda dibandingkan daerah lain dalam upaya

sosialisasi Jampersal, terjadi di Kabupaten Wakatobi. Menurut Toma, sosialisasi

Jampersal dilakukan setiap triwulan dengan memberikan undangan pada Toma

ke Dinas kesehatan atau puskesmas setempat.

“..setiap triwulan ada undangan sosialisasi dari dinkes atau pkm. Kita teruskan

lagi di masyarakat, kadang kita undang kumpul masyarakat, atau langsung dr

pintu ke pintu. Di pos kamling. Kita sampaikan di situ..” (Toma, kab. Wakatobi).

Menyadari kondisi geografis yang berupa kepulauan, masih kuatnya

tradisi melahirkan dengan ditolong dukun dan perasaan “malu” jika melahirkan

di Puskesmas membuat Dinas Kesehatan dan jajarannya perlu memperbanyak

frekuensi sosialisasi. Selain itu, karena masyarakat yang mampu di Wakatobi

banyak yang melahirkan di rumah dukun didampingi oleh bidan, masyarakat

menganggap perlu memperhatikan kemitraan dengan dukun.

“..perlu dipikirkan insentif untuk dukun yang bekerja sama dengan bidan.

Mungkin harus ada kesepakatan soal insentif dengan puskesmas..”

Page 242: Riset Evaluasi Jampersal

203

Dari hasil FGD diketahui bahwa mereka ada yang mendengar tentang

Jampersal dan ada pula yang belum. Masalahnya, apakah mereka yang sudah

mendapat sosialisasi kemudian berkenan menyampaikan pada yang lain? Kalau

dilihat dari hasil wawancara kepada para ibu hamil dan yang baru melahirkan,

diketahui bahwa terdapat 66,7% diantara mereka yang tidak memanfaatkan

Jampersal disebabkan ketidak tahuan tentang program Jampersal. Kalau ini

dijadikan sebagai indikator kegiatan sosialisasi, maka secara umum dapat

dikatakan bahwa sosialisasi pada masyarakat dirasakan masih kurang.

Kalau memperhatikan salah satu Posyandu di wilayah puskesmas Benjina,

Kabupaten Kepulauan Aru, disana terpampang satu poster tentang Jampersal. Di

Blitar, poster Jampersal juga terlihat di rumah kediaman kader yang difungsikan

sebagai posyandu. Bahkan Dinas Kesehatan sudah memproduksi brosur untuk

dibagikan kepada masyarakat. Ini mengindikasikan bahwa petugas kesehatan

sudah berusaha melakukan sosialisasi sampai ke komunitas terpencil.

Masalahnya, siapa yang kurang mempunyai keperdulian sampai ditemukan data

sebanyak 66,7% ibu hamil dan bersalin yang tidak memanfaatkan Jampersal

karena tidak tahu? Atau apakah ini terjadi karena metode sosialisasi kurang

tepat?

Mungkin masyarakat butuh jaminan kebenaran informasi yang

disampaikan. Sehingga Di Kota Blitar tokoh masyarakat berpendapat bahwa

kebenaran informasi akan bisa dipertanggung jawabkan jika sosialisasi dilakukan

oleh tenaga kesehatan. Metode yang biasa dilakukan adalah memberi informasi

dengan cara berantai, dari Dinas Kesehatan ke Puskesmas ke Kader dan

diharapkan kader dapat menyampaikan kepada masyarakat. Sementara

masyarakat maunya mendapat jaminan kejelasan dan kebenaran informasi yang

disampaikan, kalau dilakukan oleh kader ada ke khawatiran informasi yang

diberikan kurang tepat. Masyarakat maunya informasi tentang kesehatan,

harusnya disampaikan oleh orang kesehatan karena dianggap lebih kompeten.

Page 243: Riset Evaluasi Jampersal

204

Pemahaman Masyarakat Tentang Jampersal.

Jampersal yang bertujuan untuk menurunkan angka kematian ibu dan

bayi, di rancang untuk menghilangkan hambatan finansial bagi ibu untuk

mendapatkan pelayanan terkait dengan persalinan. Dalam petunjuk pelaksanaan

Jampersal tertulis bahwa kelompok sasaran yang berhak mendapat pelayanan

jampersal adalah ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas dan bayinya. Adapun jenis

pelayanan yang diberikan meliputi pemeriksaan kehamilan, pertolongan

persalinan, pelayanan nifas termasuk KB pasca persalinan dan pelayanan bayi

baru lahir. Mengenai persyaratan, secara eksplisit tidak tercantum persyaratan

tertentu agar sasaran bisa mendapat pelayanan Jampersal. Dikemukakan bahwa

penerima pelayanan adalah seluruh sasaran yang belum memiliki jaminan

persalinan dan tidak hanya mencakup masyarakat miskin saja.

Sebagai program yang relatif baru dengan harapan keberhasilan yang

besar, perlu untuk diketahui bagaimana pemahaman masyarakat terhadap

program Jampersal. Begitu ditanya tentang apa pernah mendengar tentang

jampersal, sebagian besar peserta FGD di 14 kabupaten/kota daerah studi

menyatakan pernah mendengar. Tetapi ketika ditanya tentang apa yang

diketahui tentang Jampersal, tidak semua bisa berpendapat. Semua orang yang

pernah mendengar, secara umum mengatakan bahwa jampersal adalah seperti

cuplikan diskusi masyarakat di wilayah Puskesmas Sanan Wetan Blitar mengenai

apa yang diketahui tentang program Jampersal.

“..Jampersal adalah program kesehatan yang menguntungkan terutama bagi

masyarakat yang tidak mampu, karena dalam program tersebut tidak ada

batasan untuk melahirkan artinya anak ke berapa pun diberi jaminan untuk

persalinan gratis..”

“..program jampersal ini disambut baik, terutama bagi masyarakat miskin yang

bebas dari biaya persalinan, tidsak saja pada proses melahirkan tapi sampai

pada biaya pelayanan ke rumah sakit jika ada yang komplikasi dan di rujuk ke

puskesmas dan rumah sakit sekarang dibiayai jadi gratis..”

“..program jampersal merupakan program pemberian pelayanan secara gratis

untuk persalinan bagi masyarakat, bukan untuk orang miskin saja tetapi untuk

semua lapisan masyarakat..”

Page 244: Riset Evaluasi Jampersal

205

“..jampersal adalah program gratis untuk ibu yang melahirkan sehingga program

ini baik sekali untuk masyarakat... masih ada anggapan masyarakat bahwa yang

gratis itu pelayanan pemeriksaan kehamilan dan persalinan saja sehingga untuk

keperluan yang lainnya tidak gratis..”

“..program jampersal di masyarakat ini baik, namun sosialisasi di masyarakat

yang kurang, seperti proses administrasi yang bisa membuat bingung bidan

terutama pada masyarakat yang pendatang (bukan dari kota blitar) yang tidak

punya KTP..”

Dari komentar masyarakat warga Sanan Wetan yang notabene

merupakan daerah perkotaan dapat kita lihat bagaimana pemahaman mereka

tentang Jampersal. Secara garis besar, berikut adalah variasi pemahaman

masyarakat mengenai Jampersal. Bahwasannya jampersal adalah “program

persalinan gratis”, “program untuk masyarakat miskin”, “bila dirujuk ke Rumah

Sakit juga gratis”, “jampersal bukan untuk orang miskin saja tapi untuk semua

lapisan masyarakat”. Belum ada seorangpun anggota masyarakat yang mampu

menjelaskan secara utuh dilihat dari tujuan, jenis pelayanan yang diberikan,

sasaran dan persyaratannya.

Pemahaman masyarakat di Blitar ini berbeda sekali dengan masyarakat di

kabupaten Kepulauan Aru, Maluku. Diskusi yang dilakukan di wilayah puskesmas

Dobo, yang berlokasi di kota Kabupaten Kepulauan Aru. Dari 10 peserta FGD

hanya Ibu Ome dan Ibu Tini yang pernah mendengar tentang Jampersal tetapi tidak tahu

Jampersal itu apa. Kalau di wilayah puskesmas Benjina di Kabupaten Kepulauan Aru,

ketika diminta berkomentar tentang program Jampersal semuanya terdiam, saling

pandang dan tetap terdiam.

Jenis pelayanan yang diberikan dalam program Jampersal secara umum

tidak diketahui secara mendetail oleh masyarakat. Kebanyakan yang diketahui

masih sebatas bahwa Jampersal hanya melayani pemeriksaan ibu hamil dan

melahirkan gratis di layanan kesehatan / bidan. Di kota Bandung, kader mengaku

telah mensosialisasikan bahwa paket pelayanan Jampersal itu terdiri dari

pemeriksaan kehamilan, persalinan dan pemerikasaan setelah melahirkan dan

bayi sampai 28 hari sampai pemasangan alat kontrasepsi jangka panjang. Lebih

lanjut diakui bahwa ibu harus meminta persetujuan dari suami terlebih dahulu

untuk langsung menggunakan alat kontrasepsi. Masyarakat banyak yang

Page 245: Riset Evaluasi Jampersal

206

keberatan untuk pemasangan alat kontrasepsi jangka panjang seperti IUD.

Sebagian masyarakat lebih senang KB suntik. Tentang pelayanan yang diberikan,

Di kota Mataram, masyarakat mengemukakan bahwa:

“..yang dilayani oleh program jampersal adalah persalinan, KIA, periksa bumil

dan KB..”

“..setahu saya untuk bersalin sama memberikan bantuan bagi bayi yang

mengalami gangguan kesehatan tapi sebelum umurnya 1 bulan..”

“..untuk Ibu Hamil sampai kunjungan ke empat (K4) 1 kali triwulan pertama 1

kali triwulan kedua 2 kali triwulan ketiga..”

Dari ragam pendapat masyarakat baik di Bandung maupun di Mataram,

dapat kita ketahui bahwa masyarakat sudah tahu kalau paket pelayanan

Jampersal meliputi pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, pelayanan

nifas termasuk KB pasca persalinan dan pelayanan bayi baru lahir. Ini

mengindikasikan kalau sebenarnya petugas kesehatan sudah menyampaikan

kepada masyarakat tentang jenis pelayanan yang bisa dinikmati oleh sasaran

Jampersal. Mungkin karena penyerapan informasi oleh masyarakat yang terbatas

sehingga pemahamannya kemudian juga terbatas.

Mengenai siapa sasaran yang berhak memanfaatkan pelayanan

Jampersal, semua yang tahu jampersal mengemukakan bahwa yang ibu yang

hamil, bersalin dan bayi yang baru dilahirkan adalah mereka yang bisa

mendapatkan pelayanan Jampersal. Walau masih banyak yang beranggapan

bahwa Jampersal ini diperuntukkan bagi mereka yang tidak mampu, tetapi ada

masyarakat juga tahu bahwa:

“..kaya miskin boleh ikut Jampersal..”

“..yang dari luar kota bisa ikut Jampersal di Kota Bandung..”

“..yang sedang di penjara juga bisa ikut Jampersal..”

Tidak ada yang tahu bahwa Jampersal hanya diperuntukkan pada mereka

yang tidak mempunyai jaminan persalinan. Dengan diketahuinya bahwa

Jampersal ternyata tidak hanya untuk kelompok masyarakat tidak mampu, tapi

mereka yang mampu juga boleh menikmati fasilitas Jampersal, ada banyak

komentar sehubungan dengan hal tersebut.

Page 246: Riset Evaluasi Jampersal

207

“..untuk memberikan subsidi kepada semua masyarakat... kalau negara

mampu.... kenapa tidak? tentunya semua boleh mendapat pelayanan gratis.

Nah.. kalau negara kurang mampu, maka perlu dibatasi..”

“..program jampersal ini dibuat kriteria yang lebih khusus.... terutama untuk

keluarga miskin saja..”

“..masyarakat kaya gengsi kalau ikut Jampersal, biasanya yang suka ikut

itu yang menengah ke bawah..”

Yang seringkali “ramai” didiskusikan adalah ketika bicara tentang

persyaratan agar sasaran bisa mendapat pelayanan Jampersal. Masih adanya ibu

yang tidak punya kartu identitas, masalah pendatang tanpa identitas baru yang

sesuai dan bagaimana bila kehamilan itu terjadi diluar nikah adalah hal-hal yang

terkait dengan persyaratan pelayanan Jampersal. Berikut ini beberapa komentar

masyarakat.

“..untuk ikut jampersal. Asal punya KSK atau KTP saja sudah bisa dilayani..”

“..Masyarakat tidak mempersiapkan syarat-syarat untuk Jampersal, pada saat

dibutuhkan baru bingung mencari surat..”

“..program jampersal di masyarakat ini baik, namun sosialisasi di masyarakat

yang kurang, seperti proses administrasi yang bisa membuat bingung bidan

terutama pada masyarakat yang pendatang yang tidak punya KTP..”

“..kalau ada masyarakat yang nggak mampu pakai jamkesmas dibuatkan surat

keterangan untuk mendapatkan pelayanan jamkesmas dan jampersal….. kalau

ada penduduk baru kemudian istrinya bersalin diberi keterangan domisili dari

kelurahan..”

Kepemilikan KTP dan/atau KK memang merupakan persyaratan

pelayanan Jampersal di semua kabupaten / kota. Tetapi kalau peserta Jampersal

tidak punya KTP atau KK, mereka bisa memanfaatkan surat keterangan domisili.

Walau demikian di Kota Ambon KTP masih menjadi masalah, karena banyak

masyarakat yang tidak mempunyai KTP, untuk pengurusan memerlukan waktu.

Aparat desa menyatakan dapat membantu untuk kelancaran pembuatan KTP

atau surat keterangan domisili setelah mendapat sosialisasi tentang Jampersal.

Dengan adanya program Jampersal, ibu-ibu yang selama ini tidak punya KTP

Page 247: Riset Evaluasi Jampersal

208

karena belum merasa berkepentingan, sekarang mereka mau mengurus

kepemilikan KTP.

5.9.1. Harapan Masyarakat

Relatif barunya pelaksanaan Jampersal, tidak membuat masyarakat

kurang peduli dengan keberadaannya. Dengan merasakan manfaatnya, banyak

harapan masyarakat terhadap Jampersal. Dalam pelaksanaan suatu program,

kegiatan sosialisasi merupakan hal penting untuk menentukan keberhasilannya.

Diharapkan agar sosialisasi ke masyarakat harus lebih ditingkatkan lagi.

Seharusnya ada surat edaran dari puskesmas atau dinas kepada RW di seluruh

wilayah kerja puskesmas supaya masyarakat menggunakan Jampersal.

“..program Jampersal harus terus dilanjutkan, jangan berhenti, karena kasihan

masyarakat yang tidak mampu..” ( Toma, Kota Bandung).

Dalam pelaksanaan, ada beberapa kasus yang dikeluhkan masyarakat.

Untuk persalinan yang tidak dapat dilakukan dibidan dapat dilakukan rujukan ke

rumah sakit yang sudah ditentukan. Selama berkaitan dengan kehamilan dan

persalinan, harusnya biaya pelayanan di rumah sakit ditanggung oleh Jampersal.

Masyarakat berharap adanya kepastian pembiayaan Jampersal sebab di

beberapa Kabupaten, masih terdengar keluhan masyarakat tentang adanya

tambahan pembiayaan pada pengguna Jampersal. Termasuk keluhan tentang

kurangnya fasilitas, pelayanan dan terbatasnya sarana transportasi untuk

rujukan, sebagaimana berikut.

“..di rujuk di rumah sakit yang bersangkutan, udah di kelas tiga tapi di suruh

bayar..”

“..harapan pertama adalah perbaikan fasilitas. perlu ditingkatkan dengan

pelayanan transfusi darah, karena bila ada kasus harus dirujuk ke Baubau. Tomia

ke Baubau ditempuh dengan kapal reguler 11 jam dengan ongkos 130 ribu.

Kalau harus carter sekitar 10 juta ke atas..” (Toma, Kab. Wakatobi).

“..kalo ada warga yg harus dirujuk ke PKM atau RS, tidak ada mobil ambulace yg

tersedia setiap saat jadi hrs mencari2 dulu pertolongan..” (Toma, Kota

Mataram).

Page 248: Riset Evaluasi Jampersal

209

Khusus untuk masyarakat di Natuna, walaupun kabupaten tersebut tidak

memanfaatkan Jampersal mengharapkan pelayanan kesehatan lebih baik seperti

layanan kesehatan di luar negeri. Seperti diketahui untuk masyarakat Natuna

akses untuk mendapatkan pelayanan dari Malaysia dan Singapura bahkan dapat

lebih dekat dibandingkan harus ke Batam atau wilayah lain di Indonesia. Untuk

itu diharapkan bidan-bidan di Natuna mendapat pelatihan untuk dapat

meningkatkan teknis dan kualitas layanan agar masyarakat tidak perlu

mendapatkan layanan kesehatan di luar negeri. Selain itu masyarakat

mempunyai pandangan mengapa masyarakat juga lebih senang melahirkan

ditolong dukun dibanding oleh tenaga kesehatan.

“..masyarakat itu butuh penjelasan dan pendekatan. Misalnya kalu ibu hamil

kalu ke RS negeri sudah menunggu lama lalu akhirnya di caesar. Akhirnya

masyarakat ini kan taunya kalau ke RS akan dibelah. Padahal mungkin dari

dokter sendiri ada penjelasan dan alasan, misal umurnya sudah banyak. Nah

inilah yg tidak pernah dijelaskan ke masyarakat, langsung tindakan saja. Kalau di

dukun kampung, mereka lebih sabar telaten menunggu bila mengeluh kesakitan.

Pelan-pelan ditolong persalinannya. Jadi secara psikologis lebih percaya pada

bidan kampung. Di RS atau puskesmas kan suka cuek kalo pasien yang mengeluh

kesakitan..” (Toma, Kab kep. Natuna).

“..belum lagi bidan kecil2. Istilahnya dulu dia saya yang urus mandiin segala

macam, nah sekarang tiba2 dia mau turun saya persalinan. Jadi gimaa mau

percaya, mereka baru, tapi langsung ditempatkan ke masyarakat tanpa

dampingan senior..” (Toma, Kab. Kep. Natuna).

Terlepas dari keluhan masyarakat yang ada, termasuk kekhawatiran

Jampersal akan mengakibatkan ledakan penduduk. Namun karena menyadari

besarnya manfaat yang diperoleh dari program Jampersal, khususnya bagi

keluarga tidak mampu, semua masyarakat di semua daerah studi berpendapat

dan mempunyai harapan yang sama. Program Jampersal diharapkan dapat

dilanjutkan di tahun-tahun mendatang.

Page 249: Riset Evaluasi Jampersal

210

Page 250: Riset Evaluasi Jampersal

211

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. KESIMPULAN

1. Kebijakan Jampersal ditindaklanjuti dengan menerbitkan Peraturan Bupati

atau Peraturan walikota. Di beberapa kabupaten / kota tidak menerbitkan

Peraturan baru tetapi mengikuti Peraturan Pusat yang sudah ada / sesuai

petunjuk teknis yang ada atau mengikuti Peraturan daerah yang sudah ada.

Khusus Kepulauan Natuna tidak memanfaatkan pembiayaan Jampersal

2. Di Kabupaten / Kota Pemerintah daerah memberikan dukungan terhadap

Jampersal walaupun belum optimal. Muatan politik mempengaruhi

dukungan Pemerintah daerah terhadap Jampersal dalam bentuk sosialisasi

Kebijakan Jampersal dengan kebijakan daerah berkaitan dengan mendukung

penurunan AKI dan AKB misalnya LIBAS di Sampang, “AKINO” di Nusa

Tenggara Barat. Belum semua daerah memberi dukungan dalam bentuk

penyediaan sarana, SDM, peralatan dan bahan habis pakai dll. Penerbitan

Perbup dan Perwali sebagai salah satu bentuk dukungan Pemda. Dukungan

pembiayaan belum banyak terlihat, Jamkesda di beberapa daerah dialihkan

menjadi Jampersal. Bahkan Jampersal juga dapat menjadi sumber

pendapatan daerah.

3. Penerimaan Provider terhadap kebijakan jampersal :

a. Secara umum provider ( bidan, SPOG) mendukung terhadap kebijakan

jampersal , hanya perlu difokuskan pada masyarakat miskin, dibatasi pada

jumlah anak. Program Jampersal mendukung pada pelaksanaan program

KIA terutama pada bidan di puskesmas.

b. Sosialisasi menjadi kendala untuk pelaksanaan Jampersal. Keterbatasan /

tidak adanya dana sosialisasi menyebabkan sosialisasi Jampersal kurang

fokus karena diikutkan dengan kegiatan lain. Materi sosialisasi masih

Page 251: Riset Evaluasi Jampersal

212

lebih kearah pertanggungjawaban administrasi, kurang pada substansi.

Keterbatasan pengetahuan Jampersal sering menyebabkan provider

“setengah hati” menerima dan melaksanakannya.

c. Jenis paket pelayanan Jampersal di tingkat layanan dasar cukup baik

diterima bidan. Hal khusus yang menjadi masukkan :

• Pelayanan ANC bidan mengharapkan bisa lebih dari 4 kali,.

• Pelayanan rujukan khususnya di Daerah yang akses jauh dari

pelayanan rujukan diharapkan bidan yang telah mempunyai

kompetensi khusus dapat melakukan pelayanan rujukan tertentu

misalnya manual plasenta, perdarahan sebelum melakukan rujukan.

• Lama persalinan normal di beberapa daerah lebih dari satu hari.

• Pelayanan KB perlu lebih ditegaskan lagi, ada daerah yang meerapkan

pengisian inform consent untuk menggunakan KB Jangka panjang

seperti IUD pada pengguna Jampersal.

d. Kepesertaan / pengguna Jampersal adalah ibu hamil, ibu bersalin, ibu

nifas sampai 42 hari dan neonatal (0-28 hari) yang mempunyai salah satu

persyaratan seperti KTP, KTP suami, surat keterangan domisili, kartu

keluarga, surat ijin mengemudi, kartu mahasiswa/ pelajar dan paspor.

Portabilitas pelayanan dapat berjalan baik.

e. Di tingkat layanan dasar besaran Klaim menurut juknis 2012 secara umum

sudah cukup, hanya Kota seperti Balikpapan dimana tingkat ekonomi

tinggi besaran tersebut dianggap masih terlalu rendah.Untuk daerah

kepulauan besaran kalim tidak masalah tapi biaya transport yang menjadi

kendala karena bisa jauh lebih besar dari klaim Jampersal.

f. Di rumah sakit tarif INA-CBG’s terutama untuk RS Tipe C besarannya

dianggap terlalu kecil, sehingga beberapa RS terpaksa menarik tambahan

biaya untuk obat, habis pakai dsb. Masalah juga timbul pada RS yang

memberlakukan tarif Jamkesda dengan tarif RS kelas III.

g. Mekanisme klaim awalnya menjadi kendala karena terlalu lama, hal ini

disebabkan persyaratan dianggap membebani, tapi juknis tahun 2012

Page 252: Riset Evaluasi Jampersal

213

sudah lebih sederhana. Kendala juga dengan terbatasnya tenaga

verifikator sehingga berkas klaim menumpuk di verifikator.

h. Mekanisme pencairan dana pada umumnya mengikuti Juknis 2012,

walaupun masih ada yang mengikuti Juknis 2011. Pencairan dana untuk

BPS pada umumnya cukup lancar dan dapat diterimakan 100%. Masalah

terjadi untuk pencairan untuk provider di puskesmas karena melalui

mekanisme keunagan daerah sehingga bervariasi setiap daerah. Di

beberapa daerah kesulitan dalam pencairan.

4. Ketersediaan puskesmas di setiap kecamatan di lokasi penelitian terpenuhi

ada beberapa hal perlu diperhatikan :

a. Di kepulauan perlu lebih banyak sarana pelayanan, satu desa dapat

terdiri beberapa pulau. Jumlah Bidan pada umumnya mencukupi kecuali

di kepulauan Aru jumlah bidan sangat kurang, dan distribusi bidan belum

merata, tidak semua bidan desa tinggal di wilayah kerjanya.

b. Jumlah bidan BPS yang PKS dengan Dinas Kesehatan masih sangat

terbatas, hal ini disebabkan tidak semua bidan puskesmas / desa dapat

melakukan PKS disebabkan antara lain :

• Belum semua dinas kesehatan membuka kesempatan pada bidan

puskesmas / BPS untuk melakukan PKS secara terbuka.

• Keterbatasan tenaga bidan karena ada batasan kompetensi, misalnya

di kota Ambon, Kota Kendari bidan yang ada kebanyakan masih

lulusan D1.

• Persyaratan pengurusan ijin praktek bidan yang menyebabkan bidan

tidak dapat segera mendapatkan Ijin praktek dengan adanya

persyaratan dari organisasi Profesi misalnya APN, harus aktif dan

telah magang pada organisasi Profesi dalam waktu tertentu.

• Belum tersosialisasinya program Jampersal dengan baik.

c. Puskesmas non perawatan tidak mempunyai sarana rawat inap untuk

menolong persalinan, di beberapa lokasi kepala Dinas membuat

Page 253: Riset Evaluasi Jampersal

214

kebijakan untuk menyediakan satu ruangan untuk rawat inap untuk

persalinan. Sarana Puskesmas rawat inap dan Poned masih terbatas.

d. Belum semua rumah sakit pemerintah di kabupaten melakukan PKS

dengan Dinas Kesehatan. Terutama di daerah kepulauan sarana,

prasarana dan SDM rumah sakit sangat terbatas, bahkan tidak ada SPOG

tetap.

5. Pemanfaatan layanan Jampersal :

a. Continum of care dari Ibu nifas pengguna Jampersal untuk persalinan di

13

kabupaten / kota turun 15% dari yang memanfaatkan pelayanan ANC

(K1).

• Ibu nifas pengguna Jampersal untuk persalinan di 13 kabupaten / kota

turun 1,9% dari yang memanfaatkan pelayanan ANC K1 dan K4.

• Ibu nifas pengguna Jampersal untuk PNC di 13 kabupaten / kota turun

2% dari yang memanfaatkan pelayanan persalinan .

• Untuk pengguna Jampersal, pada pelayanan persalinan di 13

kabupaten/kota, 95,3% dilakukan di fasilitas kesehatan.

Kecenderungan tempat persalinan non fasilitas kesehatan terjadi di

kabupaten yang tergolong daerah sulit secara akses, dan juga

ketersediaan tenaga kesehatannya terbatas. Hal ini misalnya terjadi di

Kabupaten Kepulauan Aru, Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten

Paser.

b. Cenderung terjadi peningkatan rujukan persalinan per vaginam dengan

komplikasi dan tanpa komplikasi di rumah sakit pemerintah tempat

rujukan Jampersal pada 2 (dua) tahun terakhir yaitu tahun 2011-2012

dibanding tahun sebelumnya.

c. Peningkatan kasus Sectio caesaria juga cukup tinggi di rumah sakit

pemerintah rujukan Jampersal pada tahun 2011-2012 dibanding tahun

sebelumnya.

Page 254: Riset Evaluasi Jampersal

215

6. Dari data didapatkan :

a. Masyarakat yang memanfaatkan Jampersal 95% telah memiliki Jaminan

lain seperti Jamkesmas (52%) , Jamkesda (19,6%), Askes (12,10% dan

Jamsostek (11,30%). Hanya 5 % yang lain2 termasuk tida mempunyai

Jaminan, sehingga dengan adanya Jampersal terjadi pergeseran bagi

pemanfaatan Jaminan kesehatan lain ke Jampersal. Jampersal

persyaratan lebih mudah untuk dipenuhi , Jampersal bersifat portabilitas,

selain itu ada daerah ketika ada Jampersal maka Jamkesda dialihkan ke

Jampersal.

b. Masyarakat yang tidak memanfaatkan Jampersal 66,7% karena belum

tersosialisasi Jampersal.

c. Di beberapa kabupaten / Kota daerah penelitian terdapat biaya

tambahan yang dikenakan pada masyarakat yang memanfaatkan

pelayanan Jampersal

7. Pemberdayaan masyarakat sangat diperlukan dalam upaya mendukung

pelaksanaan kebijakan Jaminan Persalinan. Selain pemberdayaan dari

masyarakat langsung melalui kader kesehatan, juga terdapat pembiayaan

kesehatan melalui PNPM GSC yang merupakan program kementerian Dalam

Negeri.

8. Di level komunitas, masyarakat sudah mendapat sosialisasi adanya

Jampersal. Sosialisasi yang diperoleh masyarakat dinilai kurang. Masyarakat

merasa bahwa jampersal sangat bermanfaat dan berharap program ini terus

berlanjut. Toma, Toga, Lintas sektor, LSM mengharapkan lebih dilibatkan

dalam sosialisasi Jampersal.

Untuk paket pelayanan Jampersal masyarakat sudah memanfaatkannya,

hanya saja untuk paket pelayanan KB masyarakat masih keberatan dengan

menggunakan alat kontrasepsi jangka panjang (mis. IUD), dan lebih senang

dengan KB suntik.

Page 255: Riset Evaluasi Jampersal

216

3.2 SARAN/REKOMENDASI

Dengan dukungan dari Pemerintah Daerah, provider dan masyarakat

perlu adanya kesinambungan ketersediaan alokasi dana Pusat dalam

pelaksanaan Jampersal.

Adapun saran untuk perbaikan Kebijakan Jaminan Persalinan adalah sbb :

3.2.1 Jangka pendek

Pedoman Pelaksanaan harus memberi ruang untuk menampung

kebijakan local:

1. Diterbitkannya turunan kebijakan Jampersal berupa Peraturan Bupati atau

Peraturan Walikota.

2. Mendorong daerah untuk berkontribusi terhadap pemenuhan sarana

prasarana, obat, bahan habis pakai, dan peralatan kesehatan Puskesmas dan

Poskesdes agar mampu melakukan pertolongan persalinan di Puskesmas

dan Poskesdes secara memadai.

3. Ketentuan besaran jasa pelayanan dan kelancaran klaim menjadi perhatian

sebagai salah satu manfaat Jampersal untuk tenaga kesehatan yaitu adanya

kepastian akan menerima jasa pelayanan medis sesuai ketentuan yang

berlaku.

4. Memberi penekanan pada pemerintah daerah untuk menepati ketentuan

sesuai juknis, bahwa sasaran jampersal adalah ibu hamil, bersalin dan nifas

yang belum mempunyai jaminan.

5. Penguatan sinergisme berbagai sumber pembiayaan dalam mendukung

pelaksanaan Jampersal, seperti BOK, Jamkesmas, Jamkesda, dll.

6. Penguatan Tim Pengelola Jamkesmas/Jampersal di Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota dalam peningkatan kemampuan proses verifikasi dan

pembayaran klaim Jampersal.

• Sosialisasi menjadi kunci penting dalam keberhasilan, pelibatan lintas

program, lintas sektor dan masyarakat (Toma, Toga, kader) dalam

Page 256: Riset Evaluasi Jampersal

217

sosialisasi lebih di tingkatkan. Disamping itu perlu penganggaran khusus

untuk sosialisasi.

• Pengetatan mekanisme pengawasan dan sanksi agar seluruh penyedia

pelayanan kesehatan (PPK) Jampersal tidak menarik biaya tambahan dari

penerima manfaat Jampersal dengan melakukan “uji petik”.

• Peningkatan kemampuan tenaga kesehatan yang ada di wilayah tertentu

khususnya di daerah terpencil dan terisolir yang kurang diminati, di

antaranya melalui pemberian kewenangan tambahan/khusus mengingat

keterbatasan tenaga sesuai kompetensi.

• Penguatan komitmen pelayanan KB pasca persalinan sebagai paket dan

bagian tak terpisahkan dari pelayanan Jampersal dengan didorong untuk

penggunaan metode kontrasepsi jangka panjang, dengan menerapkan

inform consent.

• Pada daerah kepulauan atau wilayah dengan geografis sulit harus

dipertimbangkan beberapa pilihan :

a. Menyediakan dana pendamping untuk penggantian transport rujukan

bila diperlukan.

b. Menyediakan rumah singgah.

c. Menyediakan pelayanan ‘one stop service’, dalam pengertian

memenuhi ketersediaan sarana pelayanan kesehatan tingkat dasar

sampai dengan rujukan.

6.2.2 Jangka Panjang

Rekomendasi jangka panjang ini lebih diperuntukkan bagi pelayanan

kesehatan ibu dan anak secara keseluruhan.

• Aspek Sarana dan Prasarana dan SDM

1) Dukungan Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Perhubungan,

dan Pemerintah Daerah dalam percepatan pembangunan infrastruktur

jalan dan transportasi yang memadai, khususnya di daerah tertinggal,

Page 257: Riset Evaluasi Jampersal

218

perbatasan, dan kepulauan, dalam rangka memudahkan proses rujukan

KIA.

2) Penguatan Puskesmas PONED dan RS PONEK, baik aspek tenaga, sarana,

obat dan peralatan, serta keterampilan (skill) petugas sebagai penyedia

layanan emergensi obstetrik dan neonatal tingkat dasar dan

komprehensif.

3) Penguatan sistem rujukan (improvement collaborative) antara Puskesmas

PONED dan RS PONEK.

4) Keberadaan bidan sebagai anggota masyarakat memiliki keterbatasan

yang harus diperhatikan, sehingga diupayakan adanya pendamping di

wilayah kerja bidan karena bidan mempunyai keterbatasan .

• Pemberdayaan Masyarakat sangat penting untuk mendukung pelaksanaan

kebijakan Jampersal. Peningkatan pemberdayaan masyarakat melalui

pemberian KIE (Konseling, Informasi dan Edukasi) tentang Jampersal untuk

mengatasi hambatan non-medis dan non-finansial, seperti hambatan kultural

dan hambatan informasi.

• Melibatkan tokoh masyarakat, tokoh agama, kader kesehatan dan lintas

sektor dalam kesehatan dalam sosialisasi program kesehatan termasuk

jampersal.

Page 258: Riset Evaluasi Jampersal

219

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan

karuniaNya karena telah menyelesaikan laporan penelitian dengan tepat waktu

dengan judul “ Riset Evaluatif Implementasi Jaminan Persalinan ”. Laporan ini

merupakan penelitian DIPA 2012, yang dilakukan di 14 Kabupaten / Kota di 7

Provinsi di Indonesia.

Dengan segala kerendahan hati, kami menyampaikan terima kasih banyak

kepada yang terhormat Bapak Dr. Trihono, dr., M.Sc., Kepala Badan Penelitian

dan Pengembangan Kementrian Kesehatan RI atas terlaksananya penelitian DIPA

2012.

Terima kasih pula Bapak Agus Suprapto, drg., M.Kes, selaku Kepala Pusat

Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, atas segala

perhatian, kesempatan dan dukungan yang diberikan.

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga kami sampaikan kepada:

1. Kasubdit Ibu Nifas dr. Riskiyana, sebagai narasumber yang telah bekerjasama

dan memberikan masukkan tentang Program terkait kebijakan Jampersal.

2. Kepala Pusat Jaminan Kesehatan, Drg. Usman Sumantri, sebagai narasumber

dan bekerjasama dalam memberikan informasi tentang Pembiayaan Jaminan

Persalinan.

3. DR. Sandi Iljanto, sebagai Mitra dalam pelaksanaan penelitian Jaminan

Persalinan.

4. Seluruh Kepala Dinas Kesehatan dan Direktur Rumah Sakit Daerah di 14

Kabupaten/Kota Lokasi Penelitia atas ijin dan kerjasamanya selama penelitian

berlangsung.

5. Seluruh responden yang terlibat pada penelitian ini baik di dinas Kesehatan,

RSUD. Sampang, Puskesmas, masyarakat, Toma, Toga, Lintas sektor terhadap

segala perhatian dan informasi yang diberikan.

6. Teman-teman tim peneliti di penelitian ini, atas segala perhatian,

kekompakan dan kerjasamanya demi kelancaran penelitian ini.

Page 259: Riset Evaluasi Jampersal

220

7. Teman-teman pembantu administrasi yang mengurus kelancaran

administrasi keuangan.

Page 260: Riset Evaluasi Jampersal

221

DAFTAR KEPUSTAKAAN

___________________ 2011. Profil Kesehatan Wakatobi. Wakatobi: Dinas

Kesehatan

Ahimsa, Heddy Shri. 2012. Strukturalisme Levi Strauss; Mitos dan Karya Sastra.

Yogyakarta: Kepel Press.

Alexander, ER. 1985. From Idea to Action: Notes for a Contingency Theory of the

Policy Implementation Process, Administration & Society. 16: 403.

Andersen, J. 1975. Public Policy Making. Nelson: London.

Anonym. 1996. Pedoman Pelaksanaan Gerakan Sayang Ibu, Hasil Lokakarya

Nasional “Perkembangan Pelaksanaan Gerakan Sayang Ibu di Delapan

Propinsi Daerah Uji Coba”. Yogyakarta.

Badan Litbangkes. 2011. IPKM: Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat.

Jakarta.

Badan Litbangkes RI. 2010. Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar Tahun 2010.

Badan Litbangkes RI. Jakarta

Badan Pusat Statistik RI., Macro Internasional, USAID., 2007. Laporan Survey

Demografi Kesehatan Indonesia Tahun 2007, Badan Pusat Statistik RI.,

Jakarta.

BPS Kab Lombok Tengah. 2012. Lombok Tengah Dalam Angka Tahun 2012.

Praya.

Buse K, Mays N, Walt G. (2005) Making Health Policy, 1st ed, Open

University Press. England.

Buse K, Mays N, Walt G. (2012) Making Health Policy, 2nd ed, Open

University Press. England.

Carine Ronsmans C., Graham WJ. (2006) Maternal mortality: who, when,

where, and why. The Lancet, 368(9542):1189 – 1200.

Departemen Dalam Negeri RI (2008) Petunjuk Teknis Operasional PNPM

Generasi Sehat dan Cerdas.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jendral Bina Kesehatan

Masyarakat, 2003, Rencana Strategis Nasional, Making Pregnancy Safer

(MPS) di Indonesia 2001-2010, Departemen Kesehatan RI.

Depkes RI (2008a) Permenkes No. 741/Menkes/Per/VII/2008 tentang Standar

Pelayanan Minimal bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota.

Depkes RI (2008b) Kepmenkes No. 828/Menkes/SK/IX/2008 tentang Petunjuk

Teknis Standar Pelayanan Minimal bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota.

Dinkes Kab Lombok Tengah (2011) Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Lombok

Tengah Tahun 2011. Praya.

Dunn WN (2009) Public Policy Analysis: An Introduction, 4th

Ed. Pearson.

Dunn, William. 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik (second

edition)(terjemahan). Jogjakarta, Gadjah Mada University Press

Emzir, 2011 Metodologi Penelitian Kualitatif; Analisis Data. Jakarta: PT.

Rajagrafindo Persada.

Page 261: Riset Evaluasi Jampersal

222

Gordon, Ian, Janet Lewis and Ke Young dalam Hill, Michael (eds). 1993. The Policy

Process, A Reader. New York; Harvester Wheatsheaf

Graham WJ, Ahmed S., Stanton C., Zahr-CLA, & Campbell OMR (2008)

Measuring maternal mortality: An overview of opportunities and options

for developing countries. BMC Medicine, 6;12

Greena A, Gereina N, Mirzoeva T, Birda P, Pearsona S, Anhb LV, Martineauc T,

Mukhopadhyayd M, Qiane X, Ramanif KV, Soorsg W (2011) Health policy

processes in maternal health: A comparison of Vietnam, India and China,

Health Policy 100;67–173.

Gulliford, Martin, Jose Figueroa-Munoz, Myfanwy Morgan, David Hughes, Barry

Gibson1, Roger Beech2, Meryl Hudson, 2002. What does `access to health

care’ mean? Journal of Health Services Research and Policy, Volume 7 No. 3

July 2002

Yoni Yulianti, “Analisis Partisipasi Masyarakat dalam PNPM Mandiri Perkotaan

di Kota Solok”. 2012.

Kemenkes RI (2011a) Profil Kesehatan Indonesia 2010. Jakarta.

Kemenkes RI (2011b) Laporan Nasional Riset Fasilitas Kesehatan 2011: Laporan

Puskesmas. Badan Litbangkes, Jakarta.

Kementerian Kesehatan RI., 2011a. Bagaimana Pendanaan Jampersal? Mediakom

edisi 29/April 2011

Kementerian Kesehatan RI., 2011b. Jampersal Solusi Persalinan. Mediakom edisi

29/April 2011

Kementerian Kesehatan RI., 2011c. Kebijakan Jaminan Persalinan. Mediakom

edisi 29/April 2011

Kementerian Kesehatan RI., 2011d. Percepatan Penurunan AKI dan AKB.

Mediakom edisi 29/April 2011

Kementerian Kesehatan RI., 2011e. Menkes Beberkan Program Prioritas

Kemenkes 2011. Press Release. Diunduh dari http://www.depkes.go.id

Kementerian Kesehatan RI.Petunjuk Teknis Jaminan Persalinan. Peraturan

Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Nomor

2562/MENKES/PER/XII/2011

Kementerian Kesehatan RI.Petunjuk Teknis Jaminan Persalinan. Peraturan

Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Nomor

2562/MENKES/PER/XII/2010

McDermott, R. J. 1999. Inside The Academy: Profiling Dr. Lawrence W. Green.

American Journal of Health Behavior, Volume 23, halaman 3-6

Meter DMV & Horn CEV (1975) The Policy Implementation Process: A

Conceptual Framework, Administration and Society 6(4):445-8.

Notoatmodjo, Soekidjo, 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta,

Rineka Cipta

Pranata, Setia, Niniek L Pratiwi, Sugeng Rahanto, 2011, Pemberdayaan

Masyarakat di Bidang Kesehatan, Gambaran Peran Kader Posyandu

dalam Upaya Penurunan Angka Kematian Ibu dan Bayi di Kota Manado

dan Palangkaraya, Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, Vol. 14, No. 2,

April 2011.

Page 262: Riset Evaluasi Jampersal

223

Ratna, Nyoman Kutha, 2010 Metodologi Penelitian; Kajian Budaya dan Ilmu

Sosial Humaniora Pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rukmini, KL. Wilujeng, Gambaran Penyebab Kematian Maternal di Rumah Sakit

(Studi di RSUD Pesisir Selatan, RSUD Padang Pariaman, RSUD Sikka, RSUD

Larantuka dan RSUD Serang, 2005).

Statistik Daerah Kabupaten Lombok Tengah Tahun 2012.

Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI), tahun 2007.Jakarta. 2007.

Walt G, Shiffman J, Schneider H, Murray SF, Brugha R, & Gilson L. (2008) ‘Doing’

health policy analysis: methodological and conceptual reflections and

challenges, Health Policy and Planning 23:308–317.

Weimer DL, & Vining AR. (1999) Policy Analysis: Concepts and Practice, 3rd Ed.

Prentice-Hall.

Weimer DL, & Vining AR. (2010) Policy Analysis: Concepts and Practice,5th

Ed.

Pearson.

http://buk.depkes.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=296

:bidan-berperan-penting-turunkan-aki-dan-

akb&catid=113:keperawatan&Itemid=139 diunduh pada tanggal 19

Desember 2012.

http://edukasi.kompasiana.com/2012/10/03/pentinganya-pemberdayaan-

masyarakat-di-bidang-kesehatan-498435.html.

http://fp.unram.ac.id/data/2012/04/AgFin_18-1_10-Rasyidi-_No.-Rev._.pdf

http://health.detik.com/read/2012/12/12/180034/2116877/1301/nikah-

muda-bikin-angka kematian-ibu-susah-ditekan?881104755, diakses pada

tanggal 20 Des 2012 pukul 9.15.

http://www.pasca.unand.ac.id/id/wp.../ANALISIS-PARTISIPASI-MASYARAKAT.pdf

Page 263: Riset Evaluasi Jampersal

224

Page 264: Riset Evaluasi Jampersal