Top Banner
255 DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RISALAH RAPAT DENGAR PENDAPAT UMUM KOMISI II DPR RI DENGAN Prof. Dr. MARIA SW SOEMARDJONO, SH.,MCL.,MPA DAN Dr. SITI ZUHRO, P.hD DALAM RANGKA PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG KEISTIMEWAAN PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Tahun Sidang : 2010 – 2011 Masa Persidangan : III Jenis Rapat : Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Rapat Ke : -- Sifat Rapat : Terbuka Dengan : Prof. Dr. Maria SW Soemardjono, SH.,MCL.,MPA (Pakar Pertanahan) dan Dr. Siti Zuhro, P.hD (Pakar Otonomi Daerah) serta dihadiri 6 Anggota Komite I DPD RI Hari / Tanggal : Kamis, 3 Maret 2011 Pukul : 10.00 WIB – selesai Tempat Rapat : Ruang Rapat Komisi II DPR-RI (KK. III/Gd Nusantara) Ketua Rapat : DR. Drs. H. Taufiq Effendi, MBA/Wakil Ketua Komisi II DPR RI Sekretaris Rapat : Arini Wijayanti, SH.,MH/Kabag.Set Komisi II DPR RI Acara : Mencari Masukan terkait dengan RUU Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Anggota : 25 dari 49 orang Anggota Komisi II DPR RI 24 orang Ijin Nama Anggota : Pimpinan Komisi II DPR RI : 1. H. Chairuman Harahap, SH.,MH 2. DR. Drs. H. Taufiq Effendi, MBA Fraksi Partai Demokrat : Fraksi Persatuan Pembangunan : 3. Drs. H. Djufri 4. Dr. H. Subyakto, SH, MH, MM 5. Drs. H. Amrun Daulay, MM 20. Drs. H. Nu’man Abdul Hakim 21. Dr. AW. Thalib, M.Si
36

risalah rapat dengar pendapat umum komisi ii dpr ri

Apr 23, 2023

Download

Documents

Khang Minh
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: risalah rapat dengar pendapat umum komisi ii dpr ri

255

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

RISALAH RAPAT DENGAR PENDAPAT UMUM KOMISI II DPR RI DENGAN Prof. Dr. MARIA SW SOEMARDJONO, SH.,MCL.,MPA DAN Dr. SITI ZUHRO, P.hD

DALAM RANGKA PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG

KEISTIMEWAAN PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Tahun Sidang : 2010 – 2011 Masa Persidangan : III Jenis Rapat : Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Rapat Ke : -- Sifat Rapat : Terbuka Dengan : Prof. Dr. Maria SW Soemardjono, SH.,MCL.,MPA (Pakar

Pertanahan) dan Dr. Siti Zuhro, P.hD (Pakar Otonomi Daerah) serta dihadiri 6 Anggota Komite I DPD RI

Hari / Tanggal : Kamis, 3 Maret 2011 Pukul : 10.00 WIB – selesai Tempat Rapat : Ruang Rapat Komisi II DPR-RI (KK. III/Gd Nusantara) Ketua Rapat : DR. Drs. H. Taufiq Effendi, MBA/Wakil Ketua Komisi II DPR RI Sekretaris Rapat : Arini Wijayanti, SH.,MH/Kabag.Set Komisi II DPR RI Acara : Mencari Masukan terkait dengan RUU Keistimewaan Provinsi

Daerah Istimewa Yogyakarta Anggota : 25 dari 49 orang Anggota Komisi II DPR RI

24 orang Ijin Nama Anggota :

Pimpinan Komisi II DPR RI : 1. H. Chairuman Harahap, SH.,MH 2. DR. Drs. H. Taufiq Effendi, MBA Fraksi Partai Demokrat : Fraksi Persatuan Pembangunan : 3. Drs. H. Djufri 4. Dr. H. Subyakto, SH, MH, MM 5. Drs. H. Amrun Daulay, MM

20. Drs. H. Nu’man Abdul Hakim 21. Dr. AW. Thalib, M.Si

Page 2: risalah rapat dengar pendapat umum komisi ii dpr ri

256

6. Ir. Nanang Samodra, KA, M.Sc 7. Muslim, SH 8. Drs. Abdul Gafar Patappe

Fraksi Partai Golkar : Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa : 9. Ir. Basuki Tjahaja Purnama, MM 10. Drs. Murad U Nasir, M.Si 11. Agustina Basik-Basik. S.Sos.,MM.,M.Pd 12. Hj. Nurokhmah Ahmad Hidayat Mus

22. Dra. Hj. Ida Fauziyah

Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan : Fraksi Partai Gerindra: 13. Arif Wibowo

23. Mestariany Habie, SH 24. Drs. H. Harun Al Rasyid, M.Si

Fraksi Partai Keadilan Sejahtera: Fraksi Partai Hanura: 14. Hermanto, SE.,MM 15. Drs. Almuzzamil Yusuf 16. Aus Hidayat Nur

25. Drs. Akbar Faizal, M.Si

Fraksi Partai Amanat Nasional: 17. Drs. H. Rusli Ridwan, M.Si 18. H. Chairul Naim, M.Anik, SH.,MH 19. Drs. H. Fauzan Syai’e

Anggota yang berhalangan hadir (Izin) : 1. Ganjar Pranowo 2. Drs. Abdul Hakam Naja, M.Si 3. H. Abdul Wahab Dalimunthe, SH 4. Ignatius Moelyono 5. Dra. Gray Koesmoertiyah, M.Pd 6. Khatibul Umam Wiranu, M.Hum 7. Rusminiati, SH 8. Kasma Bouty, SE, MM 9. Nurul Arifin, S.IP, M.Si 10. Drs. Taufiq Hidayat, M.Si 11. Drs. Agun Gunanjar Sudarsa, BcIP, M.Si 12. Dr. M. Idrus Marham

13. Drs. Soewarno 14. Dr. Yasonna H Laoly, SH, MH 15. Budiman Sudjatmiko, MSc, M.Phill 16. Vanda Sarundajang 17. H. Rahadi Zakaria, S.IP, MH 18. Alexander Litaay 19. Agus Purnomo, S.IP 20. TB. Soenmandjaja.SD 21. H.M. Izzul Islam 22. Hj. Masitah, S.Ag, M.Pd.I 23. Abdul Malik Haraman, M.Si 24. Miryam Haryani, SE, M.Si

Page 3: risalah rapat dengar pendapat umum komisi ii dpr ri

257

JALANNYA RAPAT: KETUA RAPAT/DR. DRS. H. TAUFIQ EFFENDI, MBA/F- DEMOKRAT:

Bismillahirrahmanirrahim… assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh Salam sejahtera bagi kita semua. Yang terhormat saudara Prof.Dr Maria SB Sumardjono,

yang terhormat Dr.Siti Zuhro BSD, yang tehormat saudara-saudara anggota Komite 1 DPD-RI, yang terhormat kepada Pimpinan dan Anggota Komisi 2 DPR-RI. Pertama-tama marilah kita memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas perkenannya kita dapat hadir dalam Rapat Dengar Penapat Umum (RDPU) Komisi 2 DPR-RI dengan pakar Pertanahan dan Otonomi Daerah (Otda), pada hari ini dalam keadaan sehat wal’afiat.

Sungguh banyak yang perlu kita ketahui karena itu untuk hari ini perlu kita mendengarkan. Kemarin secara bergurau saya katakan hal yang paling di sukai oleh anggota DPR adalah bicara, hal yang paling sulit dilakukan adalah mendengarkan, padahal dengan mendengarkan kita mendapatkan masukan yang banyak. Rapat ini tidak memerlukan kourum karena dalam rapat ini tidak akan mengambil keputusan, tetapi hanya menampung dan mendengarkan dan menerima aspirasi dan masukan baik dari Ibu Prof Dr. Maria SB Sumardjono, maupun dari Ibu Dr. Siti Zuhro, BSD. Maka kami membuka rapat ini, dengan ini rapat dinyatakan terbuka untuk umum….(tok..tok..tok..bunyi ketok

palu).

Kemudian kami menawarkan sekaligus meminta persetujuan mengenai RDPU untuk hari ini yaitu mendapat masukan. Terkait dengan rancangan UU tentang keistimewaan Propinsi daerah Istimewa Yogyakarta, setuju…?

( RAPAT SETUJU ) Kita akan selesaikan sampai jam? Kita selesaikan sampai jam 12.30 wib. Dalam rangka

mencari masukan UU tentang Keistimewaan Propinsi daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), komisi 2 DPR- RI telah mengagendakan RDP dan RDPU untuk mendapatkan masukan dari berbagai pakar ahli, pakar politik, hukum tata negara, praktisi hukum, pakar sejarah, pakar sosiologi, serta element masyarakat DIY. Sebagaimana kita telah melakukan beberapa waktu yang lalu, kita telah melakukan dengan Prof.Dr. Maswdi Rauf, Dengan Dr. Isbodroini Suyanto, Muhammad Fazrul Falak, Prof.Dr. Yusril Ihza Mahendra, Prof.Dr. Adnan Buyung Nasution. Saya kemarin ketemu dengan Sri Sultan Hamengku buwono ke 10 dan Sri Paku Alam ke 9, kemudian kita bicara dengan Forum Konstitusi Prof.Dr. Joko Suryo dan Prof.Dr.Thamrin Yomagola. Itulah para pakar yang telah memberikan pandangan-pandangannya kepada kami.

Sebelumnya kami sampaikan beberapa materi pokok Rancangan UU yang di sampaikan Pemerintah antara lain mengenai kewenangan Propinsi daerah Istimewa Yogyakarta sebagai daerah otonom selain mencakup kewenangan di maksud dalam UU pemerintahan daerah juga wewenang tambahan tertentu yg dimiliki Propinsi daerah Istimewa Yogyakarta.

Page 4: risalah rapat dengar pendapat umum komisi ii dpr ri

258

Kedua bentuk dan susunan pemerintahan propinsi DIY yang bersifat Istimewa yang terdiri dari daerah propinsi DIY dan DPRD Propinsi dan dalam rangka penyelenggaraan keistimewaan di Propinsi DIY dibentuk Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama sebagai satu kesatuan yang mempunyai fungsi sebagai simbol pelindung dan penjaga budaya, serta pengayom dan pemersatu DIY dan mempunyai kewenangan dan hak khusus.

Yang ketiga tentang tatacara pengisian jabatan Gubernur Wakil Gubernur mekaniasme pencalonan Sri Sultan Hamengko Buwono dan Sri Paku Alam mekanisme pencalonan kerabat kesultanan dan ke-paku alaman serta masyarakat umum serta pemilihan pengesahan atau penetapan.

Kemudian mengenai pengaturan urusan keistimewaan dan target penetapan kelembagaan pemerintahan daerah propinsi dan kewenangan kebudayaan serta penyelenggaraan pertanahan dan penataan ruang sebagai badan hukum. Kesultanan yang mempunyai sultanat ground, paku alam yang mempunya paku alamanat ground.

Tadi saya mendapatkan bahan yang di tulis oleh George Yunus Adicondro itu satu tulis yang sangat menarik untuk menjadi bahan pikiran kita juga tulisanya cukup menggelitik dan perlu kita baca juga itu. Untuk mempersingkat waktu kami persilahkan kepada Ibu Prof Dr. Maria Sumarjono untuk menyampaikan paparannya kemudian di lanjutkan oleh Dr. Siti Zuhri BSD, kami persilahakan Ibu…! Prof. Dr. MARIA SW SOEMARDJONO, SH.,MCL.,MPA:

Yang saya hormati Pimpinan Komisi 2, Ibu dan Bapak anggota komisi 2, yang terhormat Ibu Dr. Siti Zuhro rekan nara sumber yang saya hormati, para hadirin semua yang saya hormati, Bapak Ibu DPD-RI dan juga hadir di dalam rapat ini.

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh Selamat pagi salam damai untuk kita semua. Pertama-tama saya ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan, bahwa pagi hari ini

kami di beri kesempatan untuk menyampaikan masukan terkait dengan rancangan UU tentang keistimewaan DIY. Namun demikian oleh karena kepakaran kami kalau boleh dikatakan demikian adalah dalam bidang ketanahan maka pada pagi hari ini kami akan memberikan masukan khusus untuk RUU tapi di batasi kewenangan / keistimewaan di bidang pertanahan.

Ibu Bapak sekalian kami telah menyampaikan 3 bahan untuk dapat di bahas apabila di perlukan lebih lanjut, yaitu pertama bahan bacaan mengenai kistimewaan Yogyakarta di bidang pertanahan. Status tanah keraton, karena kami melihat dalam masa akademik tidak cukup di bahas apa dan mengapa pasal-pasal di dalam rancangan UU terkait dengan pertanahan itu bisa di rumuskan sedemikian. Oleh karena itu untuk melengkapi naskah akademik itu kami sampaikan tulisan kami. Nanti pada saatnya kami akan sampaikan juga masukan untuk rancangan UU, tapi untuk kesempatan ini ijinkan kami menyampaiakan latar belakang mengapa memang perlu diambil suatu keputusan tentang status hukum keraton dan tanah keraton dalam rangka rancangan UU keistimewaan itu.

Page 5: risalah rapat dengar pendapat umum komisi ii dpr ri

259

Secara ringkas kami akan sampaikan bahwa sebelum tahun 1988, mengapa pada tahun 1988? Karena pada tahun 1988, maka kewenangan pertanahan di wilayah ini dilaksanakan oleh Badan Pertanahan Nasional Propinsi. Tapi sebelum itu memang urusan agraria atau pertanahan itu bersifat otonom dan itu dan itu ada landasan hukumnya Permendagri no.1 tahun 1967 yang kemudian di ganti dengan Permendagri 6 tahun 1972, bahwa sifat otonom dari permasalahan pertanahan itu dilaksanakannya urusan agraria oleh Kepala Direktorat Agraria DIY. Jadi ada landasan hukumnya dan bukan oleh pejabat Di rektorat Jenderal Agraria.

Bagaimana dengan pelaksanaan UU pokok agraria di DIY? UU PA sudah mulai berlaku pada tahun 1960 24 September. Ternyata pelaksanaannya di Yogya di tangguhkan, melalui Kepmendagri no.29 tahun 1972. Jadi masih berjalan sesuai dengan perda-perda mengenai pertanahan yang ada di DIY. Jadi dari semula dengan melalui UU 350 yang di ubah dengan UU 1950, peraturan-peraturan pertanahan itu diatur tersendiri di DIY melalui PERDA peraturan-peraturan daerah. Kemudian pada tahun 1988 dengan Kepres 26 1988, UU pokok agraria dinyatakan berlaku di DIY. Jadi di dikler berlaku, tapi yang menjadi permasalahan adalah bahwa walaupun di nyatakan berlaku tetapi UU pokok agraria belum atau tidak berlaku sepenuhnya di DIY. Terutama terkait / terhadap tanah-tanah keraton. Mohon maaf apabila kami sebutkan tanah keraton itu sebetulnya meliputi 2 sama saja uraiannya yaitu tanah-tanah Sultanat ground dan Paku Alamatground ata tanag SG atau PAG.

Nah kalau kita membicarakan Keistimewaan DIY khusus di bidang pertanahaan itu sebetulnya apa yang kita bicarakan adalah bahwa secara realitas, secara sosiologis empiris, di DIY itu ada yang di sebut tanah negara, artinya tanah yang belum dilekati sesuatu hak atas tanah. Di samping itu ada tanah hak, artinya tanah yang sudah dilekati sesuatu hak atas tanah menurut atau sesuai UU pokok agraria. Dan kemudian ada yang disebut dengan tanah keraton, itu realitas jadi empiris sosiologis. Oleh karena itu menurut pendapat kami, bagaimana caranya agar supaya realitas yang ada ini, kemudian menjadi lebih diberikan kepastian hukum, melalui pengaturannya di dalam rancangan UU yang sedang di bicarakan oleh komisi 2. Yang menjadi masalah itu adalah bagaimana ketegasan sikap ini sampai dengan saat ini memang menurut pendapat kami ada sikap yang mendua mengenai tanah keraton.

Sedangkan kalau kita lihat riwayatnya tanah keraton itu punya siapa? Kalau membicarakan tanah keraton maka awal mulanya adalah dengan Perjanjian Gianti yang di sebut Palian Nagare kalau di Yogya itu Palian itu di bagi 2. Karena adanya perlawanan dari mangku bumi melawan pakubuwono 2 & 3 yang di bantu atau di sokong oleh Belanda atau VOC pada saat itu, hasilnya bahwa kemudian, nagari itu di bagi menjadi 2. Di sebelah barat itu kemudian menjadi Kasultanan, kemudian Pangeran Mangku Bumi menjadi Hamangkubowono pertama, di bagian nagari yang asli Surakarta dan beberapa daerah itu di berikan kepada pakubowono.

Jadi kalau kemudian di tanyakan tanah keraton itu tanah siapa? Tanah keraton itu adalah tanah dari Raja yang di peroleh karena adanya perlawanan, kemudian di bagi 2 antara Surakarta dan Yogyakarta. Bahwa tanah keraton itu adalah milik dari Raja itu bisa di lihat dengan adanya Reksblad

Page 6: risalah rapat dengar pendapat umum komisi ii dpr ri

260

kalau pemerintah Belanda dulu Statblad, kalau ini Reksblad artinya adalah lembaran yang di terbitkan oleh karena ini kepunyaan raja Reksblad ada kesultanan dan ada Reksblad Paku Alaman Ia mengatakan bahwa semua keraton sultan atau paku alaman, yang tidak bisa di buktikan ehondemnnya oleh siapapun juga itu adalah tanah milik apakah itu sultan atau adipati paku alam.

Kemudian pada tahun 1812 wilayah keraton itu di persempit karena sebagian, itu kemudian di serahkan kadipaten paku alaman. Dari semula di bagi 2 sekarang di bagi lagi, dengan kadipaten paku alaman dan pada tahun 30 setelah perang di ponogoro, maka kemudian yang menjadi wilayah ini hanya meliputi Keraton artinya kesultanan itu hanya meliputi yang di sebut dengan wilayah mataram.

Ini yang namanya wilayah itu perlu babat, ini sampai sekarang itulah yang mejadi wilayah dari Sultanat ground. Dan bagaimana dengan tanah-tanah yang ada di seluruh daerah DIY. Pengaturannya adalah melalui peraturan daerah No 5. Tahun 1954, yang mengatur bahwa. Untuk tanah-tanah di DIY itu mempunyai sistem pengadministrasian sendiri dan itu sampai sekarang juga diangkat di dalam hukum tanah nasional.

Di Yogyakarta itu ada bukti-bukti yang di sebut dengan model D, model E, dan daftar atau registersi. Di ttempat lain mungkin tidak ada. Tetapi di Yogyakarta administrasian pertaanahan yang diatur melalui Perda 12 54 itu sudah sangat bagus, demikian pula hak-hak tanah yang dapat di bubuhi oleh desa maupun yang di punyai oleh perorangan yang diatur oleh perda sudah sedemikian jelasnya.

Kemudian bagaimana keadaan setelah 24 September 1960, di dalam dektum ke 4 huruf A dari UU pokok agraria itu di sebutkan hak dan wewenang terhadap bumi dan air. Soap raja atau bekas wapaja yang ada pada saat berlakunya UU PA tahun 1960 di sebutkan hapus dan beralih kepada negara. Itu UU PA yang mengatakan di dalam diktum ke 4 huruf A, huruf B mengatakan bahwa hal-hal yang berkaitan dengan ketentuan dalam huruf A diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Peranturan pemerintah sebagai mana di perintahakan huruf A diktum ke 4 itu tidak kunjung tertib. Yang tertib adalah peraturan pemerintah no. 224 tahun 1961 tentang pelaksanaan pembagian tanah dan pemberian ganti kerugian. Ini adalah peraturan mengenai Lendefo.

Sesuai dengan bunyi pasal 4 dari peraturan pemerintah 22 46 kur 1 disebutkan bahwa tanah keraton itu bisa 2 menjadi tanah negara, kemudian diberikan ganti ruginya kepaada pihak yang mempunyainya atau juga diberikan kepada masyarakat oleh karena itu juga di sebut sebagai objek

land report. Ini adalah yang yuridis formal. Nah secara empiris sosiologis bagaimana? Sampai dengan saat ini tidak pernah tanah

keraton itu dikenai UU Land reform mengenai batas luas tanah pertanian maupun ne absente, memang land reform berlaku di DIY, hanya terhadap tanah-tamah perseorangan tapi tidak berlaku terhadap tanah keraton, impiris seperti itu.

Kalau pemerintah memerlukan tanah untuk contoh untuk DAM pengendalian banjir lahar gunung berapi dan untuk diklat propinsi. Yang di tempuh pemerintah adalah memohon tanah keraton untuk dua pembangunan tersebut, keraton melepaskan tanah keraton yang bersangkutan dan ganti

Page 7: risalah rapat dengar pendapat umum komisi ii dpr ri

261

kerugiannya itu diterimakan kepada keraton. Sehingga kalau tanah keraton dianggap refersonalkan katanya sudah jatuh pada negara, ya untuk apa di berikan ganti rugi. Ganti rugi oleh negara diberikan kepada tanah keraton, artinya negara mengakui bahwa tanah itu ada yang punya bukan tanah negara. Jadi inilah apa yang yuridis formal dengan yang yuridis ini memang berbeda.

Keraton itu selalu dari dulu memberikan tanah juga kepada masyarakat, kepada pemerintah, nanti kami akan sebutkan banyak sekali penggunaan tanah keraton, dan itu sampai sekarang masih berlangsung. Ada yang diberikan hak minjam pake ada yang diberikan hak magersari kalau untuk di dalam. Malah kemudian dengan surat kepala badan pertanahan nasional tahun 2003 tanah keraton itu juga bisa kemudian diatas tanah keraton di berikan hak guna bangunan juga hak pake yang ada dalam konsep hukum tanah nasional diatas tanah keraton. Ini ga ada didalam hukum pertanahan nasional itu. Ini untuk mengisi kekosongan hukum demi kepastian hukum karena memang masyarakat membutuhkan keraton mengijinkan untuk menggunakan, tapi pusing 7 keliling Pak, di BPN Pak kalau pemberian itu diatas tanah negara. Tapi bagaimana kalau keraton. Dengan di berikan surat keputusan yang disebut ke kancingan maka BPN kemudian mendaftarkan HGP atau hak pakai itu, yang di beri catatan terletak diatas tanah keraton.

Kalau diseluruh Indonesia ga ada pa, di Indonesia itu yang ada tanah ulayat tanah negara atau tanah hak. Tapi di Yogya ada apa ini tanah keraton? Oleh karena itu kami pernah berdiskusi dengan salah seorang guru besar kami yang senor. Ada UU PA mengatakan bahwa secara yuridis formal tanah shaf raja menjadi tanah negara, tapi ada hukum kebiasaan / hukum kebiasaan, bahwa pemberian tanah keraton tidak memberikan gejolak, ga ada tanah keraton dibawa ke pengadilan yang di berikan kepada tanah masyarakat. Menurut Beliau, peraturan perundang-undangan yang sifatnya itu reson right artinya artinyan hukum yang mengatur itu bisa dikalahakan oleh hukum kebiasaann. Sesuatu yang dilakukan berulang-ulang tidak pernah ada gejolak dianggap sebagai sesuatu yang patut itu akhirnya menjadi hukum kebiaasaan. Sehingga dengan demikian diktum ke 4 itu menjadi tidak berlaku untuk, atau terhadap tanah keraton.

Kemudian dengan Kepres 33 tahun 1984, UU PA berlaku di daerah istimewa, namun demikian tetap permasalahan atau keadaan itu tidak berubah. Oleh karena itu eksistensi keraton setelah terbitnya 33 tahun 1984 tidak ada perubahan, lanjut penggunaan tanah keraton.

Tanah keraton atau di sebut dengan tanah SG dan PAG ini dalam bahasa sehari-hari di sebut tanah tanah kagungan dalem, kagungan dalem itu di bagi menjadi tanah-tanah keprabon, tanah-tanah keraton. kaagungan itu kepunyaan. Tadi dikatakan kaagungan dalem artinya itu tanah milik sultan. Jadi memang SG PAG tanah milik sultan. Ada yang disebut tanah keprabon ada yang di sebut dengan tanah bukan keprabon. Kalau dilihat maka tanah keprabon itu yang menguasai Sri Sultan dan tidak boleh dilakukan perubahan, misalnya pagelaran, keraton, sri penganti, makam – makam raja-raja dan sebagainya. Tapi ada tanah-tanah yang bisa diubah sesuai kebutuhan dan sebagainya. Tapi ada tanah-tanah yang bisa di ubah sesuai kebutuhan, karena itu disebut bukan tanah keprabon

Page 8: risalah rapat dengar pendapat umum komisi ii dpr ri

262

misalnya tanah untuk rumah jabatan para abdi dalem kemudian tempat tinggal kerabat keraton dan lain-lain itu bisa di berikan kepada pihak ketiga melalui perjanjian atau melalui ijin.

Nah siapa yang mengurus? Keraton itu sudah punya aturan main sendiri. Di keraton itu lembaga yang memberikan hak atas tanah itu disebut dengan istilah tenaga wahono sarto kriyo itu yang membuat kebijakan pertanahan yang melaksanakan kebijakan pertanahan artinya membuat SK dan sebagainya itu adalah Panitikosmo, jadi kalau di katakan sejak kapan? Ya dari sejak mula-mula beliau itu mempunyai aturan main sendiri mengenai bagaimana memanfaatkan tanah keraton ini untuk kesejahteraan masyarakat maupun untuk kepentingan umum.

Selanjutnya eksistensi tanah keraton secara yuridi sudah kami sebutkan, bahwa tanah keraton itu adalah tanah milik dasarnya adalah leks blad dan bisa di runut kembali berdasarkan perjanjian Gianti tahun 17 55. Secara sosiologis keadaannya diakui masyarakat penggunaannya melalui ijin atau melalui perjanjian maupun tanpa ijin atau perjanjian yakni dengan pengakuan secara lisan, hal ini bisa dibuktikan dengan beberapa penelitian yang dilakukan di beberapa daerah di DIY yang ditanyakan ketika pada masyarakat ini tanah siapa yang sedang di kerjakan dan di manfaatkan. Itu juga mengatakan bahwa tanah ini adalah kagungan dalem. Jadi tidak ada meributkan bahwa ada pertentangan antara tanah keraton dengan tanah yang di punyai seseorang.

Secara filosofis sebagian tanah keraton justru digunakan oleh kepentingan umum, misalnya kantor pemerintah lembaga pendidikan Universitad Gajah Mada dan sebagainya. Kemudian untuk kesehatan, untuk asrama TNI POLRI, untuk keperluan-keprluan yang menunjang kepentingan umum yang lain. Oleh karena itu secara filosofis justru tanah sebagai barang yang langka, yang mana perolehannya itu tidak selalu mudah keraton memberikan kesempatan bagi masyarakat dalam arti kepentingan umum maupun perorangan untuk dapat mengunakan atau memanfaatkan tanah keraton. Jadi dasar filosofisnya itu ada.

Kemudian pernah ada diskusi-diskusi, lalu tanah keraton itu beri status apa? Kami sendiri berpendapat jika dilihat dari apa yang sudah dilakukana oleh keraton dari semenjak awal sampai dengan saat ini mau tidak mau tanah keraton itu haruslah diberikan pengakuan sebagai tanah milik. Kalau tadi sudah kami uraikan mengapa tanah milik? Karena sudah ada landasan hukumnya, filosifis, yuridis dan sosiologis, tadi juga sudah disebutkan dasar perjanjian gianti, maka kalau diberikan hak milik, agak kesulitan. UU pokok agraria pasal 21 ayat 1 menyatakan hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik, artinya hanya orang.

Badan hukum itu pada dasarnya ga usah hak milik, tapi disebutkan dalam pasal 21 badan-badan hukum dapat mempunyai hak milik di kecualikan apabila hal itu diatur, artinya ada dasar hukumnya nah pengaturan yang ada itu adalah peraturan pemerintah No.38 tahun 1963, yang hanya membuka kesempatan bagi badan hukum tertentu untuk mempunyai hak milik yaitu koperasi yang bergerak di bidang pertanian kemudian bank-bank pemeritah untuk kepentingan usahanya, kemudian yayasan sosial dan yayasan keagamaan ini bisa mempunyai hak milik menurut PP 38 63.

Page 9: risalah rapat dengar pendapat umum komisi ii dpr ri

263

Nah terus bagaimana mengenai keraton ini? Oleh karena itu kami mengusulkan bahwa keraton kemudian diakui keberadaannya dengan diberikan kedudukan sebagai badan hukum, yang dapat mempunyai hak milik melalui rancangan UU yang sedang dibicarakan pada saat ini. Mengapa demikian? Supaya ada kepastian hukum. Sekarang ini mendua, mengakui juga tidak tetapi tidak mengakui tapi nyatanya masyarakat memperoleh hak dan ada sertifikat nya yang di terbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional. Daripada dualisme terus menerus lebih baik di usulkan saja.

Pernah ada, mungkin nanti ada yang menggoda-goda ibu bapak juga begini pak, ini dari kalangan pemerintah itu sendiri pada saat itu. Sebaiknya ga usah hak milik, di beri saja hak pengelolaan, saya sampaikan itu kan ga cocok kalau untuk keraton, karena pengelolaan itu adalah sebagian dari hak menguasai negara yang diberikan pelaksanaannya kewenangannya di berikan kepada haknya. Kenapa ga cocok? Kan tanah keraton itu bukan tanah negara, keraton itu bukan badan hukum publik. Yang dapat menjadi mempunyai hak milik adalah badan hukum ke perdataan, yang dapat mempunyai hak pengelolaan itu adalah badan hukum publik, kalau bapak sering mendengar HPL, jadi konstruksi yuridisnya itu gak cocok.

Pernah juga di usulkan oleh Badan Pertanahan nasional, sudahlah tanah keraton itu disamakan dengan tanah ulayat. Bapak ibu yang berasal dari luar jawa pasti memahami tanah ulayat. Saya sampaikan, kemiripan ciri-cirinya memang mirip. Tapi yang menjadi masalah tidak bisa tanah ulayat itu langsung di berikan diatasnya hak atas tanah. Jadi apa yang sudah dilakukan keraton itu ga cocok dengan konstruksi yuridis.

Jadi yang paling sesuai adalah memberikan status badan hukum yang dapat mempunyai hak milik, dan kemudian dengan sendirinya keraton diatas hak miliknya melanjutkan saja apa yang sudah terjadi sehingga ini kan bukan konstitutif kan? Ini kan deklarator. Sudah ada di akui saja, kemudian diberikan penguatan melalui UU ini. Oleh karena itu usul kami adalah bahwa akomodasinya badan hukum yang berrsifat keperdataan yang dapat mempunyai hak milik. Pengaturan lebih lanjut tentu dengan peraturan yang di bawahnya yaitu perdais.

Ijinkan kami memberikan masukan langsung barangkali nanti untuk keperluan DIM untuk RUU yang kami terima juga untuk DIM nya untuk masukannya. Ada beberapa pasal yang kami usulkan untuk nanti di dalam pembahasan bisa diperhatikan oleh ibu dan bapak yaitu pasal 26 ayat 4, disitu bunyinya adalah sebagai badan hukum kesultanan dan pakulaman merupakan subyek hukum yang berwenang mengelola dan memanfaatkan SG dan PAG dengan sebesar-besarnya di tujukan kepada pemahaman keberdayaan, kepentingan sosial dan kesejahteraan masyarakat. Kami usulkan ide ini sesuatu yang ridanden sebagai badan hukum kasultanan dan paku alaman. Merupakan subyek hukum yang itu di coret saja, karena itu ridandem. Lah kalau itu diakui sebagai badan hukum ya dia itu subyek hukum, lah ini ko mengulang-ngulang. Jadi ini istilah teknis yuridis khususnya pertanahan. Kemungkinan penyusun tidak begitu peka terhadap istilah-istilah teknis yuridis jadi saya mohon bapak sebagai pengendalinya itu bisa, ini ridanden. Jadi tidak usah dikatakan

Page 10: risalah rapat dengar pendapat umum komisi ii dpr ri

264

sebagai subyek hukum, ya kalau bukan subyek hukum badan hukum ittu subyek hukum. Kenapa? Karena dia mempunyai hak dan kewajiban lah ko di ulang-ulang seperti itu. Jadi mohon merupakan subyek hukum yang itu hilangkan saja, tidak akan menghilangkan maknanya.

Kemudian pasal 26 ayat 6 ini juga ada inkonsistensi dari perumusan peraturan perundang-undangan ketidak telitian. Tata guna pemanfaatan dan pengelolaan SG dan PAG serta penataan ruang DIY diatur lebih lanjut dengan Perda. Kalau pasal 26 ayat 4 itu kata kuncinya mengelola dan memanfaatkan, tiba-tiba di dalam ayat 6 tataguna pemanfaatan, pengelolaan. Ini kan alur pikirnya atau logikanya tidak kuat. Mengapa? Menggunkan setiap istilah itu sudah ada tekhnis yuridis. Ini istilah-istilah yang diperoleh dari PP 16 2004 tentang penatan gunaan tanah, jadi jangan menciptakan sendiri istilah-istilah, ya ini dari pemerintah kebetulan, yang tumpang tindih dan inkonsisten dengan peraturan yang lainnya, lah ko sudah ada kenapa menciptakan sendiri.

Kami tidak harmonis, betul. Kami mengatakan bahwa sudah ikuti aja 26 ayat 24 sudah betul itu. Hapuskan istilah tataguna, dibuat saja pengelolaan dan pemanfaatan SG dan PAG dan selanjutnya, monggo silahkan. Mengapa demikian? Ada penjelasan. Pengelolaan itu disebut terdahulu karena pengelolaan itu artinya yang paling luas. Mengelola itu artinya dapat mengatur ini untuk apa? Kemudian dapat menggunalan sendiri dan dapat juga membuat sesuatu aturan supaya ini bisa digunakan oleh pihak ketiga sehingga pengelolaan itu di dalam kalimat pembuka dan kemudian pemanfaatan tanah kami sebutkan pemanfaatan itu definisi interpestasi otentiknya, itu ada di dalam pasal 1 angka 4 PP 16 tahun 2003 tentang penata gunaan tanah Apa sih maksudnya pemanfaatan tanah, itu adalah kegiatan untuk mendapatkan nilai tambah tanpa mengubah wujud fisik penggunaan tanahnya.

Sehingga kami mohon ibu dan Bapak demi konsistensi dan harmonisasi dengan peraturan perundangan lain maupun secara substansial dengan RUU ini. Tata guna di hapuskan kemudian di balik pengelolaan dan pemanfaatan.

Masukan yang ke tiga adalah pada pasal 35 ayat 1 huruf C, saya petik saja “melakukan

konsolidasi dan klasifikasi SG dan PAG” ini kami juga heran darimana ini asalnya? Karena teknis yuridis konsolidasi itu mempunyai pemahaman khusus, jadi pemasangan disini saya juga tidak tau, kalau tidak jelas tadi juga naskah akademik yang di buat oleh pemerintah, ko tiba-tiba ada istilah konsolidasi dari mana ini? Konsolidasi itu arti teknisnya di berikan oleh pasal 1 angka 1 peraturan kepala BPN No. 4 tahun 1991 tentang konsolidasi tanah. Jadi juga mau diapakan ini SG dan PAG di konsolidasi di klasifikasi. Secara teknis saya yang mengerti hukum pertanahan itu bingung ga ketulungan ini dari mana siapa yang menyusun?

Jadi kemudian istilahnya itu mestinya maksudnya adalah konsolidasi itu tidak cocok, karena itu punya pengertian khusus, klasifikasi ini juga aneh. Karena sudah jelas tanah SG dan PAG itu di bagi menjadi 2 ada tanah yang keprabon ada yang tanah bukan keprabon, lah ngapain diklasifikasi lagi inikan susuatu yang sudah nyata kenapa harus disuruh-suruh lagi?

Page 11: risalah rapat dengar pendapat umum komisi ii dpr ri

265

Mestinya barangkali dibenak kepala para perumus RUU ini yang di maksudkan itu adalah inventarisasi dan identifikasi tanah SG dan PAG kalau itu cocok kalau untuk pertanahan. Kenapa cocok? Sekarang mana tanah SG mana PAG, inventarisir kemudian di identifikasi tempatnya dimana letaknya dimana? Berapa luasnya siapa yang menguasai saat ini, nah itukan perlu dilakukan inventarisasi dan identifikasi bukan konsolidasi dan klasifikasi. Jadi ini menurut kami kesasarnya sudah sangat jauh.Ini mohon supaya di sesuaikan.

Kemudian yang kami tidak paham, tetapi karena bukan bidang pertanahan mohon nanti ibu bapak saja yang menanyakan keapada pemerintah, untuk huruf E itu juga sama sekarang malah ganti inventarisasi dan konsolidasina seluruh kekayaan yang bukan SG dan PAG, ini apalagi, jangan di tanyakan pada saya karena itu diluar SG dan PAG, yang mau di konsolidasi ini juga apa kami tidak tau itu pantas sekali untuk di pertanyakan karena ga ada penjelasannya didalam naskah akademik.

Penjelasan pasal 7 ayat 2 huruf d ini juga sama ini ketidakkonsistenan dalam cara berpikir. Kewenangan mengatur dan mengurus kepemilikan penguasaan dan kepemilikan. Mohon di sederhanakan saja di ganti dengan pengelolaan dan pemanfaatan supaya konsisten dengan yang ada disebelumnya. Ini ada catatan kami, kalau nanti bapak tanya kenapa yang dicoret cuma pengelolalaan dan pemanfaatan selanjutnya kami tidak bertanggung jawab Pak karena itu merupakan kewenangan di bidang pertanahan Sultan dan Paku Alam sebagai Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama ya itu bukan urusan saya karena saya menguasai kompentensi narasumber pertanahan. Sehingga kalau bapak tadi kenapa ga dicoret Bu? Ya nggak karena urusan saya pertanahan nanti tanya sama saya dan Bu Siti Zuhro saya tidak berwenang dan memang tidak mempunyai kemampuan untuk menjawab.

Tinggal 2, pasal 26 ayat 1 ini agak mengganggu, karena pernyataan dalam pasal 26 itu tidak konsisten dengan pasal 4, nah ko bagaimana pasal 26 dengan pasal 4 itu konsistensi logisnya ga jalan. Pasal 4 mengatakan bahwa diberi status badan hukum agar mempunyai hak milik itu dasarnya adalah kompensasi pemberian hak iistimewa kepada DIY. Ini kan bertentangan dengan pasal 4, ruh dari keistimewaan adalah bahwa keistimewaan Yogyakarta di susun berdasarkan asas pengakuan jadi bukan pemberian. Pengakuan itu deklarator sehingga kami menyarankan kebudayaan itu di coret karena ini aneh di depannya ga pake kebudayaan di belakang pake kebudayaan itu mohon di coret, karena ini aneh di depannya ga pake kebudayaan debelakang dengan kebudayaan itu mohon di coret.

Kemudian kompensasi itu pengakuan terhadap ke istimewaan DIY di bidang pertanahan. Ini sangat mengganggu karena bertentangan dengan roh dan istilah kompensasi itu aneh itu aneh disini. Kompensasi itu ganti rugi, siapa yang mau diganti rugi? Apa yang mau di ganti rugi? Dan siapa yang mengganti rugi? Kan ga jelas. Dihilangkan saja istilah itu.

Terakhir pasal 26 ayat 4, ini panjang sekali penjelasannya, disebutkan SG dan PAG luasnya sekian rinciannya. Menurut saya ko ada UU memuat angka, inikan menurut ilmu perundang-undangan itu tidak bisa, nanti kalau tidak persis sekian bapak-bapak di tuntut UU orang nih, luasnya sekian,

Page 12: risalah rapat dengar pendapat umum komisi ii dpr ri

266

luasnya sekia, sudah biarkan saja titik diseluruh kabupaten dan Propinsi DIY, kenapa? Karena sudah di kunci di dalam pasal 26 akan dilakukan identifikasi dan inventarisasi disitu nanti akan menjadi jelas. Saya kira demikian Bapak ketua ibu dan bapak sekalian terimakasih atas perhatiannya bila ada yang berkenan kami mohon untuk di maafkan terimakasih…(aplus angota rapat) KETUA RAPAT:

Saya kita makin lama ini makin pintar apa makin bodoh, saya ga tau, he..he.. kita ikuti saja apa yang dikatakan Ibi Siti Zuhro silahkan Bu…! Dr. SITI ZUHRO, P.hD:

Terimakasih. Bismilahirrahmanirrahim, Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuhu Selamat siang, salam sejahtera bagi kita semua.Bapak pimpinan yang saya hormati juga

pimpinan DPD-RI kemite 1 yang saya hormati, Bapak Ibu Komisi 2 anggota DPR-RI. Pagi ini saya dapat giliran yang kedua jadi tensennya sudah hilang sudah hilang sudah diambil ibu maria.

Dalam membahas khususnya menganai DIY, saya tidak hendak melihat DIY sebagai daerah Istimewa saja, tetapi saya ingin mengkaitkan bagaimana memahami DIY ini dalam konteks negara kesatuan republik Indonesia (NKRI )dalam konteks otonomi (otda ) daerah kita dan demokrasi, ini sangat penting sehingga kita berfikir secara utuh dalam konteks archipilago kita daerah-daeah yang memang harus di tata oleh pemerintahan nasional. Kita mengalami reformasi dan keterbukaan politik yang luar biasa sejak 1998. Tapi kelembagaan kita belum tertata secara bagus kita masih berjuang kesana, khususnya dalam konteks desentralisasi dan otonomi daerah ini merupakan semacam terobosan politik yang luar biasa yang dilakukan oleh Indonesia yang mampu membuat kebijakan dan melaksanakan tentunya dengan berbagai kekurangan yang ada ini Otda.

Selain Otda Indonesia juga memiliki daerah-daerah yang di sebut otonomi khusus. Otonomi khusus kita mempunyai 4 daerah yang di sebut melaksanakan otonomi khusus selain daerah DIY juga Papua, Aceh dan DKI. 4 daerah khusus ini tentunya tidak mudah khususnya bagi Indonesia untuk mengelolanya juga memayunginya dalam bentuk hukum. Karena tentunya tidak semua peraturan yang di keluarkan dalam konteks otonomi khusus ini memberikan kepuasan yang sangat besar kepada daerah. Tapi bagaimanapun kita harus memahami kebijakan desentralisasi dan Otda ini tentunya dalam konteks negara kesatuan kita dan sistem presidensial kita dan ini tidak boleh dipersepsikan berbeda antara pemerintah pusat dan daerah.

Bahwa otda bukan berarti kita terlepas dari pemerintah pusat. Sebaliknya pemerintah pusat atau pemerintah nasional memiliki kewenangan atau otoritas penuh untuk mengatur daerah-daerah. Ini aturan main yang harus kita pahami bersama sehingga tidak mungkin kita Indonesia melaksanakan desentralisai dan otonomi saja, tapi ada muatan sentralisasi.

Di negara manapun antara sentralisasi dan desentralisasi itu diterapkan secara berbarengan, Itu konsepnya. Khusus dalam memahami otda di Indonesia saya ingin memberikan nuansa ini dulu,

Page 13: risalah rapat dengar pendapat umum komisi ii dpr ri

267

supaya persepsi kita sama. Tentunya untuk komisi 2 DPR-RI dan DPD-RI Komite 1 ini menurut saya sangat penting karena apa? Kita sudah mengevaluasi bagaimana kineja dari desentrlisasi dan otda selama 10 tahun yang belum menggembirakan. Oleh karena itu bapak ibu anggota dewan berperan penting untuk mendorong bagaimana ini menjadi berhasil.

Pertama saya ingin menyampaikan betapa pentingnya memahami makna dari negara kesatuan untuk melaksanakan Otda di Indonesia. Saya ingin merujuk kepada pasal 1 UUD 45. Bahwa negara Indonesia itu negara kesatuan yang berbentuk republik, itu tidak bisa di gangggu gugat. Dan negara kesatuan bukan berarti penyeragaman, ini yang perlu kita pahami dalam konteks kebhinekaan. Tapi negara kesatuan yang menghormati eksistensi keragaman dan desentralisasi otda tak lain dilakukan untuk menghormati keragaman itu dan memberikan peluang kepada masyarakat lokal untuk mengatur dirinya sendiri sesuai karaktristik masing-masing daerah. Nah ini pengakuan terhadap kualitas lokal kita, dan daerah-daerah yang ada di Indonesia tentunya dari sabang sampai merauke itu merupakan satu kesatuan utuh kontineb dalam wadah Republik Indonesia. Jadi semua daerah adalah bagian integral dari Indonesia demikian juga DIY bagian integral dan tentunya ini akan menjadi satu contoh nantinya ketika pemerintah Republik Indonesia mampu dan berhasil mengelola 4 daerah khusus yang ternyata juga berhasil.

Dan otda yang di terapkan juga dalam kerangka negara Kesatuan. Tapi apakah Otda telah menjembatani kedaerahan dan keindonesiaan ini pertanyaan yang sangat krusial yang harus kita renungkan realitasnya relasi antara kedaerah dan ke indonesiaan masih negatif dan masih menonjol kedaerahan sehingga muncul bahasa putra daerah semuanya serba daerah tanpa mengkonekan lagi dengan ke Indonesiaan kita, Aceh nes gitu ya. Lalu bagimana dengan Indonesia nes? Selalu kelupaan. Realitasnya relasi antara kedaerahan tadi tidak seimbang justru dengan otonomi itu mestinya lebih memberikan peningkata kita kepada ke Indonesiaan kita. Otda belum mampu menyerap keragaman dalam ke Indonesiaan dan pertanyaan kita mengapa sampai seperti itu?

Karena ternyata Otda belum mampu menciptakan sistem politik yang kongruen antara pusat dan daerah dan kinerja pemda dinilai tidak maksimal sikap negatif publik terhadap otda menguat dan ini bisa menjauhkan daerah dari pusat atau kedaerahan dan ke Indonesiaan semakin ada senjang antara kedaerah dan ke Indonesia-an.

Dan meskipun demikian kita masih mempunyai prospek, punya masa depan yang lebih bagus saya yakin itu. Karena kita bisa meminimalisasi dengan cara menerapkan demokrasi, demokrasi menjadi titik temu sebtulnya antara otda dan ke Indonesiaan dan karena iitu penguasaan demokrasi jadi prasyarat bagi terbentuknya hubungan kongrun antara ke indonesiaan dan kedaerahan, antara otda dan negara NKRI.

Otda telah memindahkan lokers dari pusat ke daerah ini penting sekali. Sejak 2001 kita melaksanakan perpindahan lokers itu dimana kekuasaan tidak tersentralisasi di Jakarta. Sementara itu esensi otda memberika peluang masyarakat sipil untuk mendapatkan akses politik dan kesempatan dalam memperjuangkan kepentingannya dalam konteks politik lokal. Selain itu

Page 14: risalah rapat dengar pendapat umum komisi ii dpr ri

268

pemerintah daerah di harapakan lebih memprioritaskan kepentingan masyarakat agar terjadi sinergi antara pemda dan masyrakat dan kewenangan yang dimiliki daerah itu berkaitan dengan demokrasi tentunya dalam konteks demokrsi. Dan nilai-nilai lokalitas untuk mewujudkan tatakola pemerintahan yang baik efektif dan efesien. Dan menurut Proklamator kemerdekaan RI dalam hal ini Bung Hatta, otda di perlukan, jadi waktu itu sudah terpikirkan, oleh seorang Bung Hatta, bahwa Indonesia sebetulnya akhirnya nanti akan memerlukan dimana desentralisasi itu bisa diterapkan. Jadi desentrlisasi diperlukan untuk mengontrol pemerintah dan agar daerah dengan karakteristik dan kekhasannya itu dapat menentukan nasibnya sendiri, itu sudah terpikirkan jauh sebelum, bahkan hangat-hangatnya republik ini baru berdiri.

Sistem otonomi adalah penyelenggaraan sistem pemerintahan rakyat dengan mendekatkan pertanggung jawaban terhadap rakyat, jikalau di pusat saja diadakan demokrasi, maka kontrol dari rakyat jauh sekali dan tidak langsung, ini saya kutip dari pidato Bung Hatta tahun 1950. Menurut Bung Hatta desentralisasi lah bukan sentralisasi yang menjadi dasar bagi cita-cita tolong menolong dalam asas kolektfisme yang tumbuh dalam masyarakat Indonesia. Indonesia terbagi atas pulau-pulau dan berbagai golongan bangsa perlu mengagendakan otonomi agar tiap tiap golongan kecil dan besar mendapat hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Ini perspektifnya sangat sangat demokrasi sangat politik dimana pemberdayaan SDM atau warga negara jadi prioritas utama.

Oleh karena itu otda bukan saja hanya menandai perpindahan kekuasaan yang sentralistis ke desentralitis, tapi merupakan proses peralihan kekuasaan dari model kekuasaan yang terkumpul ke pusat sentri petang menjadi model kekuasaan menjauh dari pusat atau menyebar dari pusat atau sentri puga.

Otda sebagai proses pembokaran batas-batas teritorial warisan masa lalu yang dianggap sebagai bentuk ketidakadilan yang kemudian diikuti oleh proses pemancangan batas-batas baru teritori yang otonom yang dianggap mengandung muatan keadilan. Otda adalah masalah bersama dan daerah tidak boleh egois hanya memikirkan kepentingannya sendiri ini perlu dicatat juga. Kita mengkritisi pemerintahan nasional tapi kita juga pada saat yang sama harus mengevaluasi dan mengkritisi apa yang sudah dilakukan oleh pemerintah daerah. Karena bagaimanapun juga dalam 10 tahun terakhir kita bisa mengevaluasi ada egosektoral yang luar biasa ketika otda dilakukan.

Dalam konteks DIY kami, sekarang memasuki bagaimana poin krusial dari DIY ini, karena sudah sebelumnya ada narasumber dari pakar politik dan hukum yang sudah menyampaikan. Saya hanya menambahkan sedikit tentang poin-poin yang mungkin di revisi dalam melihat RUU keistimewaan DIY yang di sampaikan pemerintah.

Apa yang kami pikirkan dalam konteks DIY khususnya RUU keistimewaan DIY yaitu kita perlu memahami teks dan konteks, tidak hanya teksnya saja tapi juga konteks kekinian juga yang utuh jangan sepenggal-sepenggal jangan parsial baik dari prespektif konstitusi UU yaitu UU 3 tahun 50 sejarahnya maupun empirik kekinian ini sangat penting. Apa makna DIY bagi Indonesia dan

Page 15: risalah rapat dengar pendapat umum komisi ii dpr ri

269

sebaliknya apa makna Indonesia bagi DIY. Itu pertanyaan yang juga harus dipikirkan oleh para Stek

Holder kita. Dan ketika apa yang tetap dan apa yang berubah atau kontunity and Chengs, dalam konteks

politik dan demokrasi serta desentralisasi otda dan bagaimana dampaknya terhadap DIY sehingga munculah RUU DIY saat ini itu tidak bisa hanya di pahami sepenggal-sepenggal ini juga merupakan implikasi dari perubahan-perubahan sosial politik kita khususnya demokrasi yang kita terapkan dimana memang daerah harus daerah harus ditata, daerah harus diletakan secara profosional sesuai dengan tentunya konstitusi kita dan peraturan diatasnya.

Kami mencoba memberikan jawaban beberpa poin yang penting terhadap 3 pertanyaan tadi. Pertama perlu mempertimbangkan amanat konstitusi, jadi pasal 18 D (1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan UU. Jadi ini sudah menjadi pertimbangan dari RUU yang diajukan pemerintah. Juga mengenai kesultanan ngayogyakarto hadiningrat kadipaten paku alaman telah mo hadiningrat kadipaten paku alaman telah mempunyai wmpunyai wilayah. Jadi kesejarahannya seperrti itu. Ibu Prof. Maria juga tadi sudah menerangkan seperti itu, memang punya wati itu. Ibu Prof. Maria juga tadi sudah menerangkan seperti itu, memang punya wilayah punya tanah dan punya bekal yang cukup dan UU no.3 tahun 1950 meskipun dengan segala kekurangannya sudah menyatakan memang sebetulnya DIY itu adalah Istimewa. Dan saya juga mencoba memahami rumusan yang diajukan oleh DPD RI dalam hal ini yang menurut saya DPD mewakili daerah perlu juga di pertimbangkan masukan-masukan dari DPD-RI, tentang penetapan yang di berikan presiden Soekarno tahun 1945 dengan tegas menetapkan bahwa. Inkang sinuwun kangjeng Sultan Hamengkubuwono senopati, ini orang jawa timur ya he..he..tidak seluwes seperti Pak hafiz, he..he.. tidak punya sinuwun di jawa Timur ini he..he..jadi kalau salah mohon maaf.

Pada dasarnya memang mengatakan betapa secara kesejarahan dalam prespektif politik sejarah keterlibatan dari DIY, ke Indoneia sudah terekam dengan bagus. Dan beberpa pertimbangan yang sudah dimasukan dalam ketentuan-ketentuan di RUU keistimewaan yang diajukan pemerintah menurut saya sudah sangat memadai. Walaupun ada redaksi yang kurang tepat, seperti yang di usulkan oleh DPD-RI itu tinggal nanti menambahkan karena prinsifnya sudah ada disana.

Masalahnya yang kedua yang kami pikirkan selain tentang kesejarahan konstitusi dan sebagainya tadi sebetulnya keistimewaan Yogyakarta itu, sesuatu yang Gived dalam konteks ke Indonesiaan. Untuk itu perlu memaknai Yogyakarta secara utuh tidak semestinya di pahami hanya konteks warisan budaya saja, tapi juga sensasi tentang simbol-simbol kehidupan termasuk tata krama, bahasa, kepemimpinan, mata pencaharian dan lain-lain.

Jadi tidak hanya simpel budaya tapi lebih keantropologis, jadi lebih ke efek psikologis, efek apa ya? Yang menyatu di batin ya. Orang jawa itu selalu suasana kebatinan. Dan memaknai sultan dalam konteks raja jawa itu semacam dewa raja, seperti yang ada di Thailand.

Page 16: risalah rapat dengar pendapat umum komisi ii dpr ri

270

Jadi Sultan tidak sekedar manusia biasa dianggap titisan dewa dan sebagainya dan itu dipercayai sudah lama meskipun ada perubahan-perubahan dimana Indonesia menjadi negara modern, demokratis dan sebagainya. Tapi kepercayaan seperti itu dengan segala warisan-warisan yang dimiliki oleh Yogyakarta menyebabkan masyarakat masih percaya itu, dalam konteks itu nantinya saya ingin mengusulkan.

Ketiga memposisikan dan memerankan DIY dalam konteks kekinian yaitu era otonomi daerah dan demokrasi itu menjadi sangat penting seperti apa posisi peran DIY dalam ketatanegaraan kita dalam konteks pemerintahan daerah dalam kelembagaan daerah. Rumusan yang diajukan pemerintah melalui RUU keistimewaan DIY itu tampak kurang konsisten, mohon maaf, setengah hati dan membingungkan bukan hanya bagi publik di Yogya tapi juga pembaca RUU K DIY. Itu sudah di akui oleh Prof. Maria.

Kami dari prespektif politik ya, bila Sri Sultan Hamengkubuwono 10 dan Sri Paku alam9 sungguh-sunguh di maknai sebagai simbol budaya dalam arti antropologis tadi yaitu tatakrama, bahasa, kepemimpinan dan sebagainya tidak semestinya muncul terminologi Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama. Terminologi ini menimbulkan kerancuan dan resistensi daerah.

Kerancuan tersebut berinfilkasi negatif terhadap upaya menempatkan dan memerankan Sri Sultan dan Sri Paku Alam sesuai dengan koridor konstitusi dan sejarah serta Indonesia kontemporer. Pemerintah tampak tidak konsisten dan justru menciptakan supremasi lampau yang mereduksi demokrasi karena perdais harus mendapat pesetujuan Gubernur Utama, yang istilah ini kayanya aneh sekali.

RUU DIY perlu di rumuskan secara konsisten kami mengusulkan itu, demokratis tidak hanya konsisten tapi demokratis tidak hanya konsisten tapi demokratis tidak membingungkan dan aplikatif itu penting sekali bisa diaplikasikan jangan sampai ada standar ganda dalam perumusan RUU DIY dan untuk itu harus ada peraturan yang jelas dan tegas yang disebutkan secara eksplisit bahwa bahwa RUU DIY memberikan kewenangan dan urusan sesuai dengan konstitusi dan NKRI, serta pendanaan dari negara. Selama pendanaan dari negara wajib hukumnya pemerintah nasional memiliki otoritas untuk mengatur DIY.

Untuk itu perlu pemisahan kewenangan dan Urusan DIY yang dikelola oleh Sri Sultan dan Sri Paku Alam sebagai pemegang otoritas budaya dan sejarah DIY. Dengan posisi ini Sri Sultan tidak perlu mengikuti pe Sri Sultan tidak perlu mengikuti pemilihan Gubernur, ini usulan kami. Jabatan politik diberikan kepada calon lain atau warga yang mencalonkan membolehkan Sri Sultan mengikuti pemilihan berkontestasi dengan calon lain dan menduduki jabatan politik hanya akan membawahkan posisi dan perannya sebagai Sultan. Untuk itu perlu pemisahan antara istilah kepala negara dan kepala pemerintahan atau dalam konteks daerah di Indonesia adalah bisa disebut kepala daerah juga kepala pemerintahan daerah. Dengan pemilahan ini akan lebih jelas siapa melakukan apa dan siapa dan bertanggung jawab apa?

Page 17: risalah rapat dengar pendapat umum komisi ii dpr ri

271

Rumusan RUU DIY saat ini sangat rancu dan tidak cukup tegas memisahkan kewenangan tersebut. Sehingga terkesan seolah-olah Sri Sultan perlu merangkap jabatan baik sebagai kepala daerah dan kepala pemerintahan. Akan sangat amat sulit dan justru mengebawahkan Sri Sultan sendiri. Dalam sistem pemerintahan presidensial, saya ulangi lagi presiden mempunyai kewenangan dan otoritas penuh menata daerah dan mengelolanya serta bertanggung jawab tentunya, karena punya otoritas dia juga harus bertanggung jawab penuh atas kemajuan dan kegagalan yang dialami daerah. Oleh karena itu dalam konteks menata daerah perlu mengakomodasi suara mereka dan menyesuaikan dengan perkembangan kekinian Indonesia meskipun ini bukan berarti mereduksi kekhasan karakteristik atau plotos lokal yang dimiliki oleh Yogya, mungkin hanya itu yang saya sampaikan, usulan-usulan saya melihat bahwa pemerintah tidak cukup tegas ingin mengatakan, sehingga kacau dan membingungkan. Yang saya tangkap adalah bahwa Sultan memang saatnya di tempatkan sangat terhormat dan karena Sultan adalah raja yang antacheble semestinya memang menjabat sebagai kepala daerah ketimbang kepala pemerintahan yang mengurus ditudi pemerintahan. Terimakasih, mohon maaf kalau ada salah tutur kata dan khilaf.

Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wawabarakatuh KETUA RAPAT:

Baik, terimakasi kepada Prof. Maria dan Dr.Siti Zuhro, sekarang kita mulai pendalaman dan pertanyaan dari rekan-rekan baik dari DPD maupun dari DPR. Saya persilahkan Pak Feri. FERRY F.X TINGGOGOY/KOMITE I DPD RI:

Terimakasih pimpinan.. Alhamdulillah pertama jadi belum bisa menyaring dari temen. Tadi pertama Ibu Maria,

terimakasih atas pencerahan yang ibu berikan termasuk perubahan-perubahan UU, saya ingin membandingkan pengelolan yang tidak di akui UU terhadap pertanahan Yogya di bandingkan dengan daerah lain contoh DKI. Hasilnya tanah-tanah di DKI pada hilang habis jadi MAL semua sedangkan di Yogya itu hanya di peruntukan untuk kepentingan umum dan pendidikan.

Artiinya kalau kita Aproach pada tujuan kita bernegara yaitu kesejahteraan dengan sistem kesultanan dengan sistem peratanahannya, jauh lebih baik daripada UU pertanahan kita yang nyatanya bisa di permainkan oleh kekuasaan. Buktinya UU itu dikenakan dengan PerPres. Ibu iitu tulis ada PerPres 26 tahun 2008, yang mestinya mungki PerPres no.10 Bu, bukan PerPres 26. Itu bisa mengalahkan UU dan UUD aneh negara kita ini.

Yang mestinya berdasarkan UUD itu pelanggaran terhadap UUD. Dan pelanggaran terhadap UUD harus bisa diadili itu. Karena dia berada pada posisi itu bukan karena kekuasaan karena UUD. Sekali lagi saya pribadi menghargai dan melihat masukan dari Ibu Maria sangat tepat untuk menempatkan masalah perundang-undangan petanahan di Yogya.

Kedua Ibu Siti Zuhro kita sering berbicara tentang demokrasi dan ilmu politik, tapi kita juga mestinya melihat ilmu politik itu sebagai dasar saja untuk kita berbangsa dan bernegara dan tujuannya

Page 18: risalah rapat dengar pendapat umum komisi ii dpr ri

272

itu tujuan yang tercantum dalam pembukaan UUD 45, melindungi setiap bangsa dan tumpah darah Indonesia, kedua mencerdaskan kehidupan bangsa, nah untuk bisa mencapai itu, ilmu yang digunakan bukan ilmu politik tapi ilmu pemerintahan bagaimana mewujudkan pemerintahan yang baik dan yang benar lewat penyelenggaraan pendidikan yang baik, kesehatan yang baik dan akhirnya harus di akui tentang human deplovment index.

Di Indonesia human deplovment index terbaik itu ada di Yogya, bisa dilihat pada referensi-referensi artinya dengan sistem pemerintahan yang ada di yogya itulah yang bisa menjawab tujuan dari kepentingan nasional kita. Pertanyaannya ibu bilang Sultan Untachable saya kira ibu tolong periksa terhadap UU no. 23 tahun 1947, dimana disana pengadilan-pengadilan khusus terhadap raja dihilangkan. Artinya Sultan pun Presiden pun kalau melakukan kesalahan dia dihadapkan pada pengadilan. Jadi saya kira yang ibu Zuhro katakan bahwa Sultan Unchatable saya kira tidak tepat. Karena pada jaman Hamengkubuwono ke 9 pun sudah keluar UU no 23 tahun 1947. Karena di sana tidak ada lagi pengadilan khusus raja, baginda maupun rakyat jelata sama perlakuannya. Jadi begitu hebat sistem kesultanan lebih hebat barangkali, karena peraturan-peraturan pada dia sudah beratus-ratus tahun di bandingkan dengan peraturan kita yang nampaknya bisa dipermainkan. Yaiitu UU dan UUD bisa dikalahkan PerPres pimpinan terimakasih. KETUA RAPAT:

Baik terimakasih, saya beralih kepada kalangan anggota DPR, saya persilahkan anggota DPR yang terhormat Pak Suki Purnama. IR. BASUKI TJAHAJA PURNAMA/F-GOLKAR: Terimakasih Ketua, yang saya hormati rekan-rekan DPD, Prof Maria dan Dr.Siti. Bu saya pernah baca di Kompas tanggal 17 Februari itu di halaman 3 ada ulasan Baik Sekda DIY menyatakan begini kira-kira dia bilang baik sekali warga memiliki sertifikat hak milik atas tanah di kesultanan ini. Dia bilang begini, kalau ini berlaku rakyat masih tetap bisa memanfaatkan tanah tersebut, walaupun usulan diberikan hak milik kepada keraton jadi kira-kira mungkin ke arah situ.

Saya ingin tau bagaimana ngaturnya nanti dalam RUU ini agar masalanya menjadi sinkron karenakan tidak mungkin ada pembebasan lahan itu kembali ganti rugi karena orang itu sudah jual lagi ke yang lain. Saya pengen tahu saja kalau kesultanan kasih hak milik, hak miliknya di cabut supaya sikron, wesing glad, nanti saya ingin pendapat ibu. Terus asistenya bilang, Asisten kesejahteraan rakyat Yogya. Atau istilahnya banyak juga yang telah memiliki surat ke kancingan. Saya juga agak bingung kekancingan itu apa. Saya ingin tahu beda prinsifnya yang mana antara hak milik sama yang surat kekancingan ini?

Terus yang ketiga, di pasal 26 di dalam draft RUU DIY ini Kesultanan dan Paku Alaman di tetapkan sebagai badan hukum. Sultan sendiri waktu tanggal 1 disini, kalau badan hukum, badan hukum privat atau publik? Itu juga ga jelas yang ada. Terus tanah yang ada ini di batalkan? Nah itu ingin tanya aja Bu. Pendapat ibu tepat ga kalau kesultanan kadipaten ini di tetapkan sebagai subyek atas hak tanah, seperti itu itu tepat atau tidak? Itu kalau buat Sit Zuhro, saya ingin tanya yang

Page 19: risalah rapat dengar pendapat umum komisi ii dpr ri

273

langsung saja Bu. Kira-kira kalau kalau penetapan sultan sebagai gubernur dan wakil gubernur itu bertentangan ga dengan asas-asas otda dan demokrasi karena kalau tafsiran pemerintah dari draft yang diajukan seolah-olah yang namanya demokrasi yang konstitusional yang versinya otda itu yang hanya pemilihan. Sedangkan semua DPRD yang terpilih di 2009 termasuk DPD-RI dan DPR-RI yang mewakili Yogya misalnya itu di pilih rakyat sudah. Hampir semua DPRD memutuskan yang penetapan. Apakah 2 persepsi demokrasi ini? Ibu kan ahli otda, bertentengan atau tidak? Nah itu saya tanyakan itu saja, terimakasih. KETUA RAPAT:

Terimakasih, kami lanjutkan ke DPD kembali Ibu Aidah Ismet silahkan. Hj. AIDA Z. ISMET, SE.,MM/KOMITE DPD RI:

Terimakasih, pimpinan tadi sudah ditanyakan. Saya bangga disini karena Ibu Maria dan Ibu Zuhro ini dua-duanya perempuan, berarti perempuan Indonesia sudah betul-betul, jadi saya betul-betul bangga dan tapi tetap kita itu butuh laki-laki, bapak-bapak he..he.. saya ingin di sini supaya rileks sedikit ya, semuanya sudah lebih jelas. Ibu sudah menujukan kepakaran Ibu sudah menujukan kepakaran Ibu dan lain-lain nah yang saya ingin tanyakan tadi dikatakan sudah terdahulu tadi bapak sudah menyampaikan apakah mungkin status badan hukum keperdataan. Kalau melihat kondisi daripada Yogyakarta ini apakah mungkin memenuhi syarat apa tidak? Mudah atau tidak? Terus kan ini masalah pertanahan dan lain-lain, karena 65 tahun ini ada proses pembiaran tumpang tindih satu sama lain sekarang tiba-tiba, jangan kita membuat sistem baru UU baru tapi malah bukan memperbaiki tapi malah menghancurkan yang sudah ada. Nah mungkin itu yang ingin saya tanyakan. Kedua Ibu Siti Zuhro, tadi mengatakan bahwa kepala daerah supaya di pisahkan dari kepala pemerintahan. Dan kemudian sistem yang diajukan tadi akan semakin rancu yang diajukan pemerintah. Kalau menurut Ibu itu bagaimana? Supaya lebih kongkritnya begitu Bapak Pimpinan Pak Topik, jadi bagaimana pemisahan itu? Apakah caranya itu bagaimana? Supaya betul-betul bisa dipisahkan kalau memang perlu dipisahkan. Kalau Ibu sebagai Siti Zuhroh melihat apakah, tadi kembali bapak dari DPR saudara tua kami walaupun lebih muda daripada saya dan lebih ganteng begitu, he..he.. Saya ingin menyampaikan bahwa kalau menurut ibu apakah perlu penetapan pemilihan, kalau menurut ibu dari segi kepakaran Ibu? Itu saja karena terus terang kata pak Topik tadi lebih pintar atau bodoh saya ga jelas begitu, tapi sekarang lebih clear semuanya dari aspek pertanahan banyak masalah tapi bagaimana kita membenahi mmasalah-masalah pertanahan ini. Dan Yogya seperti dikatakan tadi SDA nya tinggi Om-om saya dulu juga sekolah di Yogya dan lain-lain dan tu memang harus kita kembangkan, terimakasih mohon maaf kalau ada yang tidak berkenan.

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. KETUA RAPAT:

Baik, Pak Rusli Ridwan silahkan…! DRS. H. RUSLI RIDWAN, M.Si/F-PAN:

Page 20: risalah rapat dengar pendapat umum komisi ii dpr ri

274

Terimakasih pimpinan, ini saya ingin bertanya kepada, Ibu Siti Zuhroh. Ini berkaitan dengan perkataan ibu tadi itu perlu ada pemisahan antara kepala negara dan kepala pemerintahan. Kalau di daerah berarti kepala daerah dan kepala pemerintahan di daerah. Ini memang ada UU no.22 tahun 1948, ini UU pemerintah daerah yang petama barangkali Bu. Ini pasal 18 ayat 5 nya ini itu menyatakan bahwa kepala daerah ini diangkat oleh Presiden. Hanya disini kepala daerah juga kepala pemerintahan karena dia melaksanakan fungsi tugas-tugas pemerintahan.

Ini disini Bu dalam UU ini mencantumkan masalah tentang memperhatikan syarat-syarat kecakapan-kejujuran dan sebagainya jadi disini mesti ada syarat-syarat kecakapan kejujuran dan sebagainya, jadi disini mesti ada syarat-syarat di tuangkan mungkin karena si sini betapa pentingnya syarat-syarat ini untuk mengemban sebagai kepala pemerintahan bukan sebagai kepala negara.

Kemudian UU ini di rubah dengan UU no.1 tahun 1957, ini pasal 25 nya ini, mengatakan sama kepala daerah itu diangkatnamun disini menarik dinamikanya, itu bisa diberhentikan yang namanya Sultan itu, sebagai kepala daerah itu diberhentikan bisa begitu, ini dinamikanya. Nah kemudian UU ini di rubah lagi dengan UU no.18 tahun 1965, pasal 17 nya ini yang agak berubah lagi dinamikanya.

Kepala daerah istimewa ini tidak terikat masa waktu jangka jabatan jadi sepuh pun boleh begitu. Padahal tadi ibu mengatakan perlu ada pemisahan kepala daerah dengan kepala pemerintahan karena tugas kepala pemerintahan itu betapa beratnya. Apalagi otda sekarang ini dengan money pru fungtion ini, sekarang yang namanya kucuran dana ke daerah tahun 2011 mencapai 378 triliyun jadi semua kewenangan sudah ada di daerah kewenangan nya itu, nah ini menuntut syarat-syarat tadi. Ini persoalannya bagaimana dalam sitem managemen modern, tijauan Ibu.

Kemudian yang kedua kalau jangka waktu juga tidak di batasi artinya juga diangkat, kemudian juga syarat-syarat tidak ditentukan, ini memunculkan masalah-masalah baru, pertanyaannya ini dulu lahir belum ada Mahkamah Konstitusi (MK), tapi dengan adanya MK ini peluangnya bagaimana antara penetapan dengan pemilihan, peluangnya di MK ini nanti seperti apa ? karena saya melihat dalam UUD 45 bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama di depan hukum dan pemerintah haknya sama, tapi jika itu penetapan berartikan melanggar UUD 45 sendiri dan juga bagaimana dengan HAM, inikan ga boleh jadi orang Yogya itu harus keluar kalau mau jadi Gubnernur begitu.

Jadi ini masalah-masalah yang perlu di jawab jangan sampai UU yang di bentuk ini kemudian lari ke MK, di MK dibatalkan lagi nah ini umurnya jadi pendek. Jadi kita tidak bisa pemilihankah, penetapankah ini harus kajian mendalam, Saya minta yang berkaitan yang saya tadi sampaikan, itu saja barangkali Bu. KETUA RAPAT:

Terimakasih Pak Rusli, kami lanjutkan anggota DPD-RI yang terhormat Bapak Hafid Asrof, silahkan…! Drs. HAFIDH ASROM/KOMITE I DPD RI:

Page 21: risalah rapat dengar pendapat umum komisi ii dpr ri

275

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua, Yang kami hormati pimpina komisi 2, anggota komisi 2, temen-temen DPD, dan juga kata Bu Aida sangat bangga sekali dua-duanya ibu-ibu saya kira patut di syukuri.

Pertama saya ingin menanyakan kepada Ibu Maria, kebetulan ibu Maria ini konsultan saya. Jadi ke saya ini mungkin kasus dilapangan ini Bu masalah tanah Magersari, tanah Magersari yang ada di lapangan sekarang itu yang ada di pinggir-pinggir kali yang mau di geser, ini banyak statusnya banyak di serifikatkan oleh oknum-oknum pemerintah setempat. Padahal kalau melihat peta itu adalah milik keraton. Akhirnya terjadi disitu ada sertifikat yang muncul beberapa. Ini kalau di urus semua status dari sertifikatnya bagaimana?

Kemudian yang kedua tanah-tanah di Yogya memang kita semua menyadari bahwa itu milik keraton bisa di manfaatkan untuk kepentingan masyarakat, contohnya untuk pendidikan dan sebagainya, bahkan DPD juga barusan dikasih tanah 3000 meter untuk kepentingan kantor DPD-RI yang bisa dipakai juga temen-temen dari anggota DPR-RI dari daerah Yogya, ini sebagai bukti bahwa itulah kondisi keraton yang ada. Dengan UU atau RUUK yang di seting pemerintah ini, kemudian juga yang sangat bertentangan dengan masyarakat Yogya, kira-kira ini dalam masalah pertanahan kedepan ini yang paling baik seperti apa? Jadi ini poin yang ke dua.

Berikutnya kepada Siti Zuhroh, Bu Siti sebagai pakar Otda saya kira sudah tidak bisa di pungkiri. Tadi saya mendengar istilah kepala daerah dan kepala pemerintahan seperti yang ditanyakan sebelum kami ke temen anggota DPR ini yang paling cocok di Yogya ini apa konsepnya yang paling tepat sehingga apa yang diinginkan masyarakat yogya yang memang 93% itu menginginkan penetapan, kemudian kalau memang ini terjadi katakanlah maaf ya misalnya temen-temen DPR mendukung apa yang menjadi konsep pemerintah atau pemilihan kedepan.

Kalau terjadi ini UU keistimewaan Yogyakarta ini pemilihan, kemudian nanti masyarakat nanti tidak mau menerima ini kira-kira apa yang terjadi kedepan implikasinya, ibu sebagai pakar alangkah naifnya UU sudah di buat untuk kepentingan dan kesejateraan masyarakat, tapi disana tidak menciptakan ketenangan dan sebagainya justru membuat kegelisahan masyarakat Yogyakarta dan akhirnya mungkin akan terjadi ke mahkamah konstitusi dan lain sebagainya. Ini menurut Ibu konsep yang paling tepat itu apa? Dalam rangka menjembatani kepentingan yang melakukan otda dan juga kepentingan masyarakat Yogyakarta, yang memang sudah menjadi hukum yang sudah terjadi sebelum ada NKRI begitu. Saya mohon konsep apa yang paling tepat disampaikan Ibu Zuhroh sebagai pakar dari otda, terimakasih Bu,

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh KETUA RAPAT:

Terimakasih Pak Hafiz, selanjutnya kami persilahkan Bapak I Wayan Sudirte, silahkan…!

Page 22: risalah rapat dengar pendapat umum komisi ii dpr ri

276

I WAYAN SUDIRTA, SH/KOMITE I DPD RI: Terimakasih Pak Ketua, Narasumber yang saya hormati, Pimpinan komisi 2 beserta anggota

DPD dan DPR pertama ingin saya sampaikan kepada Ibu Maria, saya sependapat dengan ibu kalau memang keraton ini disamakan setatusnya dengan badan hukum yang bisa memiliki hak atas tanah. Selain argumen yang ibu sampaikan tadi saya juga punya pengalaman tersendiri soal-soal yang mirip sekalipun tidak persis. Di Bali ada beberapa tanah yang ditentukan oleh UU Agraria ada beberapa tanah yang mirip tapi tidak persis sama antara lain pertama tanah milik tempat ibadah Pure khususnya, yang kedua tanah desa adat. Bersyukur dan karena itu saya tidak khawatir usul ibu ini akan ditolak karena sudah ada contoh yang baik.

Dulu tanah Pure ini tidak jelas dan digunakan oleh pengurusnya bahkan di balik namakan bahkan di jual. Timbul desakan yang luar biasa, akhirnya Pure sudah dianggap sebagai badan hukum yang boleh memiliki tanah sekarang sudah tentram. Jadi penganut agama-agama yang menggunakan Pure sebagai tempat berinteraksi dalam banyak hal sekarang sudah sangat tentram tapi desa adatnya belum bapak ketua. Sementar peralihan tanah-tanah desa adat itu luar biasa sama pengurusnya ini bermain dengan teman-teman di BPM. Jadi kalau kesemerawutan masalah tanah pusatnya itu ada di BPM, tapi peluangnya kalau besar kesemerawutannya menajdi luar biasa. Aman-aman saja seperti di jabotabek sertifikatnya bisa 4, bayangkan kalau tidak jelas seperti di Bali mengenai tanah daerah desa adat. Sementara sebagai sekedar gambaran betapa beratnya desa adat ini, menjaga budayanya yang dijadikan modal pariwisata yang telah menghasilkan luar biasa banyak untuk negara. Tapi negara belum berkehendak hati memberikan desa adat sebagai badan hukum, oleh karea itu saya yang menghimbau beberapa temen-temen yang setuju, mari perjuangkan Yogya dulu keraton ini sebagai badan hukum yang bisa memiliki hak atas tanah.

Argumentasi yang ketiga, tadi sudah dikatakan kalau ini milik keraton tidak ada sengketa, entah di pakai oleh instansi pemerintah oleh tentara oleh pemda, oleh DPD, tapi harus hati-hati bukan hanya DPD dikasih nanti dikira DPD yang di suap. Karena DPD juga mendapatkan tanah kecuali DKI dan Papua yang belum jelas. Jadi jelas ya.

Pemerintah daerah juga kalau DKI dan Papua di mintain tanah itu untuk DPD itu sulinya bukan main tapi di Yogya itu mudah berarti inikan menolong proses pembangunan yang memerlukan tanah. Yang menarik, kenapa kalau tanah yang diambil masyarakat juga tidak dimasalahkan di sertifikatkan juga dibiarkan. Oleh karena itu selain saya memberikan dukungan demikian mudahnya kalau tanah itu milik keraton, semenatara kalau milik perorangan banyak sengketa, hak milik saja banyak sengketa sertifikatnya banyak, apalagi hak pake. Ujungnya ada satu pertanyaan, kira-kira bisa ga Ibu memperkaya, ada ga dari segi kultur atau dari segi kepemimpinan atau dari segi kepala daerah yang menyebabkan tanah ini tidak di sengketakan.

Aneh bin ajaib semakin hari saya semakin menambah keyakinan bahwa memang penetapan itu perlu kalau soal tanah yang demikian nilainya tinggi ko di Yogya tidak ada masalah. Juga yang mengherankan dari sekian tanah-tanah yang diberikan keraton tidak ada tanah yang diberikan kepada

Page 23: risalah rapat dengar pendapat umum komisi ii dpr ri

277

investor misalnya. Sedangkan di bali sekarang pertarungannya luar biasa. Tanah apapun mau direbut untuk diserahkan kepada investor dan tanah-tanah negara sudah mau habis Bu.Itu yang menyebabkan yakin sekali pendapat ibu ini perlu di dukung. Mudah-mudahan rekan-rekan saudara tua kami di DPR ini dapat sejalan dengan kita. Tapi saya minta di perkaya kenapa sengketa tidak pernah ada sementara bentuk-bentuk hak lainnya itu penuh persengketaan. Itu untuk Ibu Maria.

Lalu untuk Ibu siti pada bagian depan saya sudah mantap ini sama dengan paripurna kami kearah penetapan, tapi pada bagian akhir kalau secara persepsi saya menangkap juga kearah penetapan tapi kalau di baca redaksinya itukan agak bias sedikit oleh karena itu saya akan menambahkan beberapa argumentasi Ibu Siti. Penetapan ini nirip-mirip dengan kekhususan keistimewaan yang dimiliki oleh Papua yang mengkhususkan Gubernurnya orang Papua asli, mirip dengan kenapa di DKI walikota tidak dipilih ko itu di bolehkan ada dua landasanya pasal 18 B itu sudah jelas-jelas dikatakan oleh forum konstitusi Yogya itu mempunyai kekhususan ini berdasarkan 18B dan Yogya di bahas diantara 4 daerah khusus dan Istimewa. Lalu apakah kalau penetapan dan pemilihan ini akan ada kemungkinan di bawa ke MK, iya kalau kita salah menentukannya. Karena sudah ada putusan MK ketika di gugat DKI kenapa di berikan kekhususan? MK membela memang boleh khusus karena ada pasal 18 B, jadi sudah clear kalau tidak penetapan di Yogya malah diadakan pemilihan itu akan di batalkan oleh MK kalau kita ikuti putusan MK yang bulan Agustus yang lalu. Nah sekarang bagaimana dari segi UU nya? Hampir semua UU meya? Hampir semua UU menunjuk kembali pada penetapan ambil contoh di tengah-tengah UU no. 5 tahun 1974 di situ jelas penyelenggara pemerintahan itu adalah sultan Yogya, memang penunjuk kembali pada penetapan ambil contoh di tengah-tengah UU no. 5 tahun 1974 di situ jelas penyelenggara pemerintahan itu adalah sultan Yogya, memang penyelenggaraan pemerintahan ada revisi besar-besaran tapi penyelenggara pemerintahan adalah Sultan dari Yogya.

Lalu bagaimana UU berikutnya, UU 22 99, 32 2004 jelas itu dalam pasal-pasalnya tidak perlu diuraikan merujuk kembali pada UU no.5 tahun 1974, jadi pemerintah sudah 2 kali membuat UU tidak berani merubahnya itu artinya penetapan seperti itu sudah berjalan baik dan pemerintah sekarang tidak mempersoalkannya. Jadi jelas di MPR sudah jelas kedudukannya keistimewaan dan penetapan di MK sudah dan UU yang di buat DPR juga sangat kuat lalu perlu kita komunikasikan kembali per diuraikan merujuk kembali pada UU no.5 tahun 1974, jadi pemerintah sudah 2kali membuat UU tidak berani merubahnya itu artinya penetapan itu sudah berjalan baik dan pemerintah sekarang tidak mempersoalkannya. Jadi jelas di MPR sudah jelas kedudukannya keistimewaan dan penetapan di MK sudah dan UU yang di buat DPR juga sangat kuat, lalu perlu kita komunikasikan kembali perlu kita diskusikan kembali bu Siti pemerintah sekarang menginginkan pemilihan dalam menentukan kepala daerah di Yogya. Sementara dalam konsep berikutnya setelah UU ini bergilir. Gubernur di sarankan oleh pemerintah dipilih oleh DPRD kesimpulan yang bisa saya tarik menteri dalam negeri sudah meragukan kemanfaatan pemilihan langsung. Sekalipun saya sendiri untuk daerah-daerah di luar yogya, misalnya saya masih setuju pemilihan, tapi menteri dalam negeri sudah meragukan pemilihan

Page 24: risalah rapat dengar pendapat umum komisi ii dpr ri

278

ini baik apa tidak? Karena banyak money politi, karena banyak kasus-kasus, banyak menekan birokrasi karena birokrasi. Sehingga birokrasi tidak netral, banyak menggunakan APBD, banyak sekali pemilihan langsung dan hasilnya pun tidak bagus.

Dan itu sebabnya menteri dalam negeri mengusulkan DPRD lah yang memilih. Kalau dilihat dari inikan bukan Bu Siti aja yang mengatakan ini kurang konsisten sikap pemerintah, kamipun dari segi itu meyatakan kurang konsisten karena itu berbahaya sekali kalau mengikuti pendirian yang tidak konsisten ini. Maka saya cenderung kepada penetapan karena kalau penetapan kita robah lalu jadi pemilihan, apa jaminannya hasil pemilihan di Yogya menghasilakan Gubernur yang lebih baik. Toh suara suara-suara masyarakat DPR DPD juga mendukung penetapan. Bahwa kelak kalau suatu saat kita ingin perubahan dan kondisi masyarakat lain-lain sudah memungkinkan ada pemilihan sebuah UU yang ditetapkan kali ini tidak ada larangan untuk di rubah. Tapi untuk sekarang jelas tanda-tanda bahwa penetapan itu masih mendapat dukungan, baik dari masyarakat berbagai UU putusan pengadilan dan lain-lain, terimakasih. KETUA RAPAT:

Terimakasih kami lanjutkan kepada, kepada Pak Jhon Peres. Prof. JHON PIERES/KOMITE I DPD RI:

Terimakasih Pak Ketua, Yang pertama untuk Siti Zuhro, ada paradigma yang menarik tadi DIY dalam konteks NKRI atau DIY sebagai daerah istimewa dalam sebuah NKRI. Menurut saya tidak boleh di balik paradigmanya menjadi di dalam NKRI ada DIY ga boleh. Kalau Paradigma itu yang dipakai, DIY sama dengan Cirebon, sama dengan ternate, sama dengan Tidore, sama dengan NDP banyak itu, kesultanan-kesultanan. Jadi paradigma itu sudah pas, saya sependapat DIY sebagai daerah istimewa di dalam NKRI.

Paradigma ini hendaknya menurunkan atau setidaknya membeikan Sporty Knowladge terhadap perumusan lebih lanjut dalam revisi, maksud saya di dalam draft RUU KDIY itu. Supaya keistimewaan yang syarat dengan konsep budaya maupun konsep politik lokal, syarat dengan konsep kekuasaan itu tidak boleh terabaikan. Kalau itu tidak di perhatikan. Bapak Pimpinan saya kira rancangan UU KDIY yang di paksakan versi pemerintah itu tidak mempunyai daya laku, ya pasti, itu satu.

Kedua ada tawaran yang menarik bahwa mungkin dia sebagai kebagai kepala daerah dan slap begitu ada kepala pemerintahan. Kekhawatiran-kekhawatiran di Bu Siti kemarin itu akan memunculkan dualisme kepemimpinan. Sehingga sebenarnya yang ideal barangkali sebagai kepala daepala daerah Istimewa sekaligus kepala pemerintahan. Mungkin itu titik temunya.

Kalau konsep pemerintah ada gubernur utama dan gubernur biasa ada wakil gubernur utama dan wakil gubernur biasa. Saya justru khawatir. Saya justru khawatir ini justru akan membias, ada implikasi kepada penciptaan oligarki politik dapat dipastikan gubernur biasa juga berasal dari pejabat kesultanan atau kepakualaman, yang kemarin saya kasih contoh ibu Ratu Hemas ketika pemilu itu meraup suara itu 75%, dia bisa menjadi Gubernur biasa atau anaknya atau kerabatnya, pasti itu pasti,

Page 25: risalah rapat dengar pendapat umum komisi ii dpr ri

279

daripada memunculkan oligarki-oligarki seperti itu, kita satukan saja dia sebagai kepala daeraah istimewa Yogyakarta, itu paling tepat. Karena sudah pernah peraktekan itu, kalau gubernur Utama dan gubernur biasa bisa saja ada upaya untuk melakukan Judical riview biasa bisa saja ada upaya untuk melakukan Judical riview di MK karena itu bertentangan dengan pasal 12 ayat 3 UUDayat 3 UUD 45 kita.

Kita mencari paradigma atau konsep-konsep terbaik untuk itu, apalagi kalau ada gubernur utama dan gubernuur biasa didalam kerabat kekeratonan itu memang tidak menimbulkan dualisme kepemimpinan, tapi yang saya istilahkan kemarin terjadi dekonsentration of power a bound the Keraton atau Paku Alaman. Kita sudah hindari ketika orba dan orla ada di satu orang dan kroni-kroninya. Kita menciptakan paradigma yang lebih efektif kepala daerah istimewa Yogyakarta.

Ibu Maria, yang saya khawatir adalah kalau pemerintah berpegang kepada pasal 6 UU no 5 tahun 60. Fungsi sosial hak atas tanah itu termasuk tanah-tanah yang di bawah kekuasaan keraton atau kesultanan bisa saja karena negara sebagai badan hukum publik bisa melakukan apa saja. Satu lagi berpegang pada 33 UUD 45. Nah kalau kita mereper juga kepada pasal UU yang sama itu bahwa hak ulayat itu ditarik pada tingkat tertingi itu menjadi hak ulayat bangsa itu lebih parah, lagi tetapi tawaran ibu sangat menarik, ada solusi yang jelas oleh, sebab itu saya mau sedikit menanggapi dari ibu tadi yang pertama adalah dalam bidang hukum pertanahan. Boleh ga di berikan argumentasi teori atau basis-basis teoritik dan argumentasi bahwa secara yuridis bahwa keraton atau kesultanan dimanapun saja dapat di jadikan subyek hak milik, artinya tidak hanya Yogya tapi Cirebon, Ternate Tidore, kemudian di NDP, di Sumatera Utara, di kalimantan banyak itu kerajaan-kerajaan.

Apakah ada basis-basis teori dan argumentasi untuk itu, kalau itu ada sangat menarik untuk uraian-uraian ibu selanjutnya. Kecuali ibu terlibat aktif dalam proses pembahasan berikutnya. Dan kalau hanya sampa disini saya kira teori-teori itu saya kira terbuang, artinya kita harus mengawal proses itu, pembuatan UU itu.

Yang berikut Ibu Maria, Keraton sebagai badan hukum yang bersifat keperdataan, itu bisa berimplikasi secara politis terhadap keraton-keraton atau kesultanan-kesultanan yang ada di luar Yogyakarta misalnya. Karena ibu berangkat dari konsep budaya, keraton sebagai badan hukum yang bersifat keperdataan bukan bersifat publik karena uraian ibu selanjutnya adalah berangkat dari konsep budaya. Bagi saya itu menarik tapi sekaligus juga dimasukan konsep politik dan konsep kekuasaan, harus dicatat saudara-saudara hadirin sekalian bahwa DIY itu negara berdaulat sebelum NKRI itu ada. Sehingga hak-hak itu tidak boleh di preteli atas nama negara atau kepentingan untuk negara yang kita juga harus pahami itu juga, mempunyai implikasi-implikasi politik untuk meniadakan keraton, misalnya seperti itu.

Yang berikut ibu, ibu jelaskan disini bahwa ada pluralisme hukum, artinya ada hukum yang diatur oleh tradisi kekeratonan dan ada aturan-aturan hukum negara perda yang dilahirkan di lingkungan pemerintah DIY itu.

Page 26: risalah rapat dengar pendapat umum komisi ii dpr ri

280

Pluralisme hukum ini bisa saja menimbulkan problem yuridis atau ketidak pastian hukum bisa saja. Kalau kaidah-kaidah nya itu satu dengan yang lainnya dapat di sinkronisasikan saya kira tidak akan menimbulkan problem-problem yuridis yang kami maksudkan demikian Pak Ketua dari saya. KETUA RAPAT:

Ini sangat mendasar juga, seperti saya tanyakan emp……….ehhh…….kadang-kadang saya kehilangan nafas Bu. Karena ini memang betul-betul penggemar hari ini sangat tingkat sekali, isinya sangat dalam, sangat mendasar sangat strategis, perlu perenungan kedepan yang luar biasa. Kalau tadi di buka DPD sekarang diakhiri dari DPR, untuk itu Pak Hermanto, silahkan…! HERMANTO, SE, MM/F-PKS:

Terimakasih Pimpinan, yang kami hormati rekan-rekan komisi 2, DPD-RI, dan juga kami hormati narasumber, Prof.Dr.Maria dan Dr. Siti Zuhro. Kita sebenarnya sudah banyak menerima banyak masukan-masukan dari berbagai pakar, baik dari aspek hukum, aspek tata negara aspek antropogisnya, aspek sosiologis dan lain sebagainya dan juga termasuk aspek politiknya. Dari seluruh bentuk masukan-masukan dari pembahasan-pembahasan yang ada itu, pada akhirnya kita mengkerucut pada satu persoalan yaitu tentang menentukan apakah dalam mengisi jabatan di daerah DIY ini melalui pemilihan atau penetapan.

Dalam forum ini sekiranya dirumuskan nantinya itu adalah pemilihan atas Gubernur atau kepala daerah DIY ini, yang saya ingin tanyakan ini adalah, apa implikasi status tanah keraton. Karena kalau kita lihat sekarang ini Sri Sultan dengan kepala daerah sekaligus juga sebagia Sultan, tanah itu masih diakui kepemilikannya sebagai pemilik keraton. Karena Gubernur itu sudah menjadi ranahnya politik disitu sudah terjadi perubahan-perubahan yang mendasar tentang kepemilikan nantinya berimplikasi kepada pemilikan tanah keraton itu.

Selain itu juga katakan dengan tetap seperti ini kalau dengan agraria itu kan diatur PBBnya, sejauh ini apakah dengan tanah kepemilikan itu PBB nya kemana? Yang menjadi persoalan yang perlu di tanyakan di forum ini, tanah-tanah pada jaman Belanda itu kepemilikan sangat jelas yaitu ditandai bukti hukum yang masih leter C seperti itu, sehingga setiap orang ketika dia memiliki tanah maka dia di buktikan dengan hukum seperti itu. Sementara di Yogya ini ada tadi disebutkan SG dan PAG apakah ini sebagai bukti hukum dalam tata kepemilikan tanah hukum positif kita?

Kemudian tadi mendengar dari Ibu Siti Zuhro bahwa raja atau Sultan itu sebagai titisan Dewa, tentunya kalau kita bicara titisan Dewa maka ranah dari titisan dewa itu sangat terbatas jadinya, jadi hanya ruang lingkup spritualitas sehingga cakupannya tidak lebih luas mengatur tentang pemerintahan, hukum, politik dan sebagainya.

Nah sekarang ini Sultan ini sudah termasuk kedalam ranah dunianya, dunia nyata yaitu mengurus pemerintahan mengurus ekonomi, mengurus hukum, dan sebagai macamnya dan kalau kita anggap titisan dewa maka titisan dewa itu orang yang dianggap tidak pernah salah orang yang dianggap selalu benar dan selalu dimintai petuah sehingga dia menjadi penyejuk ketika orang sedang

Page 27: risalah rapat dengar pendapat umum komisi ii dpr ri

281

resah Nah sekarang ini Sultan atau raja sendiri. Sudah bergelut dengan dunia yang penuh resah juga dan kita juga menyaksikan sultan ini sudah masuk kedalam ranah resah itu juga.

Saya ingin bertanya disini apa konteks titisan dewa sekarang ini kedalam urusan pemerintahan sekaligus ditanangi oleh sultan ini, seperti apa bentuknya? Karena kita di dalam mengatur pemerintahan itukan ada Uunya ada aturannya dan disitu pasti saja dalam pelaksanaan UU dan aturan itu ada menyimpang atau ada yang salah, dan apakah dengan adanya titisan dewa itu, bisa di persalahkan dengan seperti UU dan peraturan berlaku, demikian terimakasih ketua… I WAYAN SUDIRTA, SH/KOMITE I DPD RI:

Boleh minta nambah sedikit, terimakasi Bu tadi ketinggalan, ngomong PBB baru saya inget ini kalau kita mensertifikatkan untuk kesultanan, itu nanti dalam draft RUU itu apa kita bisa membuat suatu klausal khusus bebas dari BPHTB karena nilainya masih diatas 30 juta. Menteri keungan baru menaikan 70 juta atau di bebankan ke APBN atau ke APBD apakah bisa secara UU nanti soal BPHTB ini di bebaskan atau gimana terimakasih. KETUA RAPAT:

Untuk menjawabnya saya kira di mulai dari Siti Zuhroh, Maria. Dr. SITI ZUHRO, Ph.D:

Terimakasih, Saya harus nurut pimpinan Prof. Banyak sekali menurut saya masukan, komentar, pertanyaan sangat kritis yang menurut saya ini perlu kita carikan bersama ya, solusinya bagaimana? Tapi yang jelas bahwa UU yang akan diputuskan ini tidak lepas dari politik, jadi ini keputusan politik. Karena keputusan politik apalagi dibuat dalam keadaan apalagi dibuat dalam keadaan politiknya tidak jernih mohon maaf ini akan nanti muatanya juga akan tidak konsisten. Oleh karena itu saya sungguh mengusulkan untuk DIY itu harus ada semacam kontemplasi setelah ada RDPU itu ada acara yang lebih memberikan komunikasi antara Yogya dan pusat secara intensif dan ini tentunya kalau bisa di konsultasikan publik lagi, sehingga tidak ada keputusan yang tidak aplikatif lalu meninggalkan resistensi dan berakhir di Yudicial Review. Itu yang kami pikirkan. Pak Peri ini lebih tau dari saya, dan mengenai politik dan pemerintahan. Pak Peri Politik di perlukan untuk mendinamisasi untuk mendobrak gitu ya, untuk menggerakan. Lalu yang mengelola biasanya memang pakar ahli ilmu pemerintahan tanpa politik tidak ada inisiasi tidak ada nyali rasanya itu pentingnya politik.

Dan politik demokrasi kita perlukan karena ini adalah cara untuk kita memberdayakan masyarakat, cara untuk memberikan hak konstitusional warga ini ikut memilih dipilih dan sebagainya itu politik. Makna politik dan demokrasi sangat penting karena kita sudah merasakan dan menyaksikan selama 32 tahun di era Orba kita seolah-olah makmur secara ekonomi, tapi kita sangat terbelakang secara politik. Untuk itu kita tidak mau lagi saat ini kita sedang menuju negara yang punya dikniti. Negara yang punya dikniti adalah yang sadar akan hak politiknya sadar duduk sama rendah berdiri sama tinggi. Nah itu esensi dari mengapa politi demokrasi kita perlukan.

Page 28: risalah rapat dengar pendapat umum komisi ii dpr ri

282

Memang sering tidak terjadi korelasi yang positif antara demokrasi dan Good Govermente satu contoh, mengapa Indonesia yang sudah malang melintang selama 12 tahun ini dengan demokrasi ternayata tidak mampu menghasilkan pemerintahan yang transparan yang akuntable atau yang ekonomi grootnya bagus. Masing-masing daerah. Satu contoh kalau kita melihat daerah mampu melakukan 10% sekitar itu dengan best prektcius tapi sebagian besar tidak. Tapi harus kita akui mereka masyarakat Indonesia secara politik mereka melek politik sekarang. Jadi mereka juga cerdas tidak bodoh. Meskipun bangsa Indonesia terkesan bangsa Indonesia adalah bangsa yang relakten yang santun ya. Relakten itu suka maju mundur jadi tidak cukup asertif sebagian besar kita mungkin masyarakat dari daerah-daerah tertentu yang lebih eksprisit, lebih apa ya ekpresif dan lebih mampu berkomunikasi dengan bagus.

Orang jawa sebagian besar itu sulit untuk mengatakan tidak atau iya. Jadi harus paham katakan kalau kita punya pemimpin jawa, untuk memberikan finalty itu nunggu lama, ketika memberikan finalty bingung kan, he..he..jadi seperti itu.

Meskipun kami sama-sama jawa timur dengan Pak SBY tapi saya Jawa Timurnya yang lebih street Powerd he..he..lebih street powerd tidak bisa muter. Saya melihat mengapa saya sebutkan Untucable Pak Peri tadi itu, karena bagaimanapun ada mitos-mitos dalam melihat sosok sultan/raja di jawa. Dalam politik Penedit Anderson pernah menulis bagaimana The Power of Javanes kekuasaan dalam prespektif jawa itu di maknai itu yang harus kita pahami dan tidak mungin ini kita harus mendadak langsung hilang sama sekali di pemahaman / prepektif orang jawa.

Dalam pemahaman orang jawa tentang kekuasaan apalagi tentang raja pandangan-pandangan itu. Bahwa raja itu memang bukan orang ordineri bukan ordineri people bukan orang biasa bukan kaya saya memang keturunan separuh dewa orang semacam itu. Oleh karena itu saya mengatakan Saya pun kalau ketemu Pak Sultan respek sekali maupun saya bukan warganya, nah itu satu contoh. Karena memang sudah terjadi apa ya, internalisasi di masyarakat kita bahwa seorang raja sangat di hormati Untachable itu pemahaman saya keesana sebetulnya, kalau sultan turun ke dunia politik itu artinya dia sudah bukan lagi Sultan, oleh karena itu Elizabet gak mau turun ke politik. Sekarang tinggal memilih dalam konteks kekinian demokrasi apakah kita konsisten dengan pasal yang mengatakan bahwa semua kepala daerah termasuk Gubernur, bupati walikota itu dipilih secara demokratis. Kalau kita tidak konsisten itu karena harus menempatkan DIY sebagai istimewa saya lebih mengusulkan untuk longtime katakan nanti ada jeda tapi untuk longtem itu harus dipisahkan sultan sebagai seorang raja tidak perlu Gubernur Utama. Sultan ya Sultan jadi aneh jadi lucu kalau diberikan title Gubernur Utama Paku Alam juga tidak perlu di sebut Wakil Gubernur Utama, tetap saja Sultan dan Paku Alam. Lalu kita harus membedakan yang dipilih adalah yang melakukan detude tadi. Sultan ya Sultan dengan semua kelembagaannya itu. Yang disini Propinsi Gubernur itu mungkin yang dilakukan pemilihan itu tadi menjadi tidak apa-apa. Nah disitu ada pembelajaran nah ini kapan mau dilakukan, kalaupun tidak mungkin dalam waktu yang mungkin satu pemilihan kedepan, kalaupun

Page 29: risalah rapat dengar pendapat umum komisi ii dpr ri

283

tidak mungkin dalam waktu yang mungkin satu pemilihan kedepan atau 2kali setepan atau 2kali setelah itu. Nah itu perlu direnungkan disesuaikan dengan kebutuhan. Karena ga mungkin kita memberikan payung hukum yang lalu tiap saat kita rubah lagi. Kita lebih menantinya saya selah itu. Nah itu perlu direnungkan disesuaikan dengan kebutuhan. Karena ga mungkin kita memberikan payung hukum yang lalu tiap saat kita rubah lagi. Kita lebih menantinya saya setuju untuk bagaimana kita mengakomodasi suara keinginan masyarakat di Yogya sendiri apakah memang mereka menginginkan penetapan yang tidak jelas itu. Apakah di suksesi nanti ada jaminan panjang. Bagaimanapun ini Indoneia adalah negara modern yang ketatanegaraanya juga terjadi perubahan-perubahan. Perubahan-perubahan itu yang juga harus dilakukan di Yogyakarta mohon maaf bukan saya tidak pro penetapan tidak seperti itu. Pemikiran saya adalah kita harus konsisten karna bagaimanapun Yogya akan menjadi romodero untuk daerah-daerah lain yang bapak sebutkan tadi. Sudah mampu melakukan salah satu dari daerah yang melakukan Best prektisis.

Saya kebetulan meneliti juga mengapa kota Yogyakarta bagus dalam hal pelayanan transparansi dan sebagainya itu tadi. Tapi dalam konteks demokrasi saya lebih setuju untuk memilah tadi. Karena bagaimanapun kalau bahasanya Yogya Kanjeng Sultan, Buhemas, saya sampai sekarng belum bisa mengatakan Ratunya Buhemas saja karena suasana egaliter di Jawa Timur itu yang menyebabkan kita lebih egaliter dengan sopan santun kaya saya.

Oleh karena itu kedepan saya melihat Yogyakara ini tidak sekedar istimewa akan menjadi role

model. Jadi apa-apa yang terjadi di Yogya itu akan memberikan implikasi yang juga tidak positif nantinya kalau akhirnya ada resisten dari masyarakat seperti Pak Hafiz sudah mulai meramalkan apa jadinya kedepan kalau rumusan-rumusan tentang DIY ini tidak dipasalkan atau di bunyikan sesuai dengan harapan dari masyarakat tentunya dari sultan kalau Sultan legowo masyarakat legowo. Masyarakat Indonesia ini kan sangat tergantung dari peran dari aktor atau Ilid, jadi kalau Sultan Legowo menerima, iya memang kita perlu ada pelembagaan yang lebih form untuk kesultanan, saya tetap sultan saya raja. Karena ini harus tachable, harus macem, berdasarkan pemerintahan yang harus berubah yah memang harus ada pemilhan itu nah ini mungkin, untuk Long time tentunya kita butuhkan ada perubahan mendasar yang konsisten tadi.

Lalu Bu Aida ismet ya, terima kasih kebetulan saja komisi 2 mengundang perempuan ya Bu Tapi rasanya memang Bu Aida sama kelihatan garang-garang, he..he.. Untuk pertanyaan Bu Aida kongkritnya seperti apa? Jadi kongkritnya tadi sudah saya sampaikan, saya membayangkan merenungkan bahwa memang tetap keistimewaan Yogya harus dipertahankan dengan segala budaya keunikan yang dimiliki Yogya keistimewaan yang dimiliki itu dalam satu lembaga yang langsung dipimpin oleh Sultan. Tapi di tude yang politik, karena ini jabatan politik, gubernur ini jabatan politik, jadi memang harus di jabat sama orang politik. Itu konsekwensinya/resikonya. Jadi bukan mendelegetimasi atau memereteli kewenangan Pak Sultan, tapi mestinya seperti itu. Nanti kalau tidak menjadi sangat tidak konsisten apa yang kita lakukan bahwa sipapun bahkan Presiden bisa dikritisi

Page 30: risalah rapat dengar pendapat umum komisi ii dpr ri

284

habis bisa disamakan dengan apapun dan itu tidak elok kalau dilakukan kepada seorang sultan atau Bu Hemas.

Oleh karena itu saya sangat setuju ada pemilahan yang tadi itu. Rumusannya seperti apa? Kelembagaan yang saya bayangkan kalau di level negara itu seperti di Inggris mungkin atau minimal seperti di Malaysia.

Tadi sebenarnya sudah saya jawab Pak Rusdi Ridwan ya, mengenai pemilihan dan penetapan saya tidak ingin ujug-ujug langsung oh ini bagus penetapan atau oh ini bagus pemilihan. Tapi memahami dulu teks dan konteksnya tadi seperti yang saya sampaikan awal bahwa untuk saat ini mungkin perlu jeda atau masa transisi tidak ujug-ujug karena bagaimanapun orang jawa tidak terbiasa dengan radikal dengan cara-cara radikal, jadi caranya tidak bisa ujug-ujug. Tapi bagaiamana kita memahamkan itu nanti perlu ada mungkin jeda transisi untuk sampai pada memang pemilihan itu relevan siginifikan dan bermanfaat untuk masyarakat Yogya. Perkara tadi Pak Wayan mengatakan sebetulnya Pilkada langsung memberikan gambaran tidak terlalu bagus, karena penyelenggara dan pelaksananya yang kacau, menurut saya ya bukan berarti kita hentikan, tetapi justru harus di perbaiki karena inilah satu-satunya yang tertinggal di negeri ini dimana, masyarakat punya hak politik, ini satu-satunya. Jadi jangan juga dihabisi hak rakyat yang tinggal satu ini, kalau di habisi nanti apalagi yang bisa diberikan pada rakyat dalam arti pembelajaran di demokrasi ini. Karena dengan demokrasi ini kita lalu kita menjadi paling tidak percaya diri, jadi percaya diri ini yang penting yang harus di punyai oleh warga negara mulai Jakarta sampai daerah-daaerah.

Lalu Pak Hafiz ya, kita tidak berharap terjadi resistensi, anarki dan demonstrasi karena 93% itu menghendaki penetapan. Sekarang yang kita harapkan adalah, negara ini kan nanti akan sangat bangkrut, kita bukan negara gagal tapi kita negara lemah. Negara lemah menuju negara gagal, negara gagal menuju negara runtuh, jadi sudah menjadi breekdown, nah kita ga mau itu. Dan saya mohon Pak Topik jangan menagatakan bahwa yang tadi itu, itu sedih sekali tentunya sekarang kita mengharapkan partai politik yang multipartai ini, bisa memberikan kesejukan suasana yang sejuk suasana yang kondusif untuk Yogya sehingga ini akan dirumuskan atas dasar kostetasi kekuatan konstetasi kekuasaan, saya pikir tidak seperti itu. Karena kamendagri kebetulan saya masuk di tim revisi untuk UU 32 tahun 2004 dan RUU Pilkada bisa memahami bahwa rumusan yang lama dilakukan terhadap RUU DIY ini, masalahnya sebetulnya karena ada acara cek & ricek dan mengkosolidasi dengan Pak Sultan.

Jadi pakar-pakar Yogya yang masuk di tim perumus ini saya tidak masuk karena saya masuk di tim RUU 32, iitu saya melihat bagaimana alotnya merumuskan 9 tahun tidak selesai dan menurut saya mungkin terakhir justru komunikasi itu breekdown antara pemerintah nasional dan DIY. Oleh karena itu harus ada yang menjembatani dan kita mengharapakan DPD bisa berperan sangat-sangat krusial/penting, bagaimana suasana sejuk jernih untuk merumuskan DIY ini bisa dilakukan ketimbang sekarang nanti ada pembiaran terhadap nasib DIY dan tidak bagus juga kalau nanti selesai lalu terjadi Judicial riview, kita juga makan waktu lagi, jadi bagaimana mengefektifkan legislasi yang sudah

Page 31: risalah rapat dengar pendapat umum komisi ii dpr ri

285

diproses ini, akhirnya nanti bisa dilakukan oleh DIY dengan segera mungkin sehingga ada kepastian hukum dari DIY iitu sendiri dalam melakukan suksesi dan sebagainya itu.

Pak Wayan, saya pikir Pak Wayan saya tentunya mengapa hampir mirip dengan usulan dari DPD karena mmemang kami sering ke daerah apa yang di maui daerah itu tentunya agak memahami juga, karenaa saya bukan dosen saya peneliti saya sering kedaerah dan bisa memahami kenapa daerah-daerah sering mengeluh terhadap pusat. Mengapa pemerintah pusat di era otda ini, justru menunjukan polaresasi yang tidak harmonis antara daerah dan pusat. Dalam konteks ini menurut saya mengapa tidak harmonis oleh karena itu kedepan memang DIY ini akan sungguh-sungguh menjadi role model, apakah hubungan pusat daerah akan lebih harmonis atau getting wors karena dengan yogya pun jelek apalagi dengan daerah lain, jangan ada kata-kata seperti itu kalau kita masih encintai Indonesia.

Jadi kepentingan kita bukan kepentingan partai tertentu golongan tertentu dan sebagainya tapi kepentingan kita, sekali-kali lah agak idealis demi negara. Bagaimana negara ini diselamatkan dalam arti yang sungguh-sungguh bukan hanya pura—purannya karena saya melihat bahwa hubungan yang tidak harmonis antara pusat dan daerah diera otda ini ada resistensi daerah kepada pusat ini adalah poin, justru menjadikan satu petunjuk bahwa otda kita gagal, otda gagal kemudian daerah tidak maju, Pak SBY sudah marah minggu yang lalu karena ternyata Pemda tidak perfom, beliau patut marah, saya waktu di wawancara sangat mengiyakan, memang patut marah karena bagaimana pun R1 satu harus bertanggung jawab kalau daerah gagal, daerah maju itu yang bertanggung jawab R, akhirnya mengkerucutnya kesana.

Dan karena itu menurut saya juga bahwa kedepannya, kalau otda gagal artinya akan membuat stabilitas instabilitas kita terganggu, nah ini yang perlu kita cermati dari prespektif keamanan bahwa kegagalan otda desentralisasi dan kecemasan ketidak puasan kekecewaan daerah kepada pusat ini akan menjjadi amunisi, instabilitas bagi nantinya anarkisme lalu melegitimasi pemerintahan nasional. Itu yang sangat kita khawatirkan. Saya pikir itu semua yang ingin saya jawab. Selama ini sebetulnya saya ingin curhat juga bahwa sebagai intelektual yang tetus mmenekuni tentang kajian tentang otda dan desentralisasi, kita mengharapkan pengawalan yang sungguh-sungguh dari dewan terhadap tentunya pemerintah pusat melalui mendagri. Jadi jangan sampai ada pembiaran khususnya DPD punya tanggung jawab penuh untuk melakukan ini. Jadi kalau daerah gagal bukan Pak SBY saja termasuk DPD tidak perform berarti. Karena kalau DPR itu mengatasnamakan rakyat. Jadi mungkin itu usulan saya, curhat saya semua kita juga mempunyai rasa memilki Indonesia dan kkebangsaan kita, terimakasih Pimpinan. KETUA RAPAT:

Terimakasih, kemudian lanjutkan dengan Prof. Maria, silahkan…! Prof. Dr. MARIA SW SOEMARDJONO, SH.,MCL.,MPA:

Terimakasih Bapak, Oleh karena pertanyaan atau masukan yang di sampaikan kepada kami ini cukup banyak, maka tanpa mengurangi rasa hormat saya tidak mau menyebut nama Ibu atau

Page 32: risalah rapat dengar pendapat umum komisi ii dpr ri

286

Bapak dan pertanyaannya yang kurang lebih nuansanya sama, akan saya sampaikan jawaban atau penjelasan saya sekaligus.

Pertama tadi dikatakan bahwa permasalahan pertanahan di DIY, ini nampaknya tidak banyak yang mengganjal tadi disebutkan kenapa sih ditempat lain ada sengketa pertanahan dan sebagainya, di DIY ada lah tapi itu sengketa perdata kalau di tempat lain itu banyak juga sengketa yang sifatnya struktural, misalnya diperkebunan dan sebagainya ini banyak sampai memakan korban banyak.

Nah, ingin saya sampaikan memang pengaturan mengenai hak tanah atas di DIY itu tida hanya setelah UU Pokok Agraria. Ini yang tadi dikatakan historis, politis seperti itu. Sudah ada perda 554 yang mengatur hak atas tanah di DIY jauh sebelum UU PA lahir dan itu yang membuat administrasi pertanahan itu barangkali yang lebih beres dibandingkan dengan tempat lain, mengapa? Karena ada perda tentang administrasi pertanahan yang lahir sebelum UU Pokok agraria lahir.

Misalnya di DIY itu tahun 1954 sudah memberikan hak milik desa, ini khusus bapak-bapak yang di bali. Kemudian kepada rakyat diberikan hak milik erfek individuil secrek, itu sudah tahun 1954. Terus ada yang namanya lter D, leter E, daftar C, justru daftar C ini sekarang di adopsi diterima oleh hukum pertanahan nasional sebagai satu bukti permulaan adanya hubungan hukum antara orang dengan tanah, ya yang punya sertifikat itu Cuma berapa persen? Ibu Bapak di Seluruh Indonesia. Tapi laku Leter C di itu yang pokok pangkalnya adalah di Yogya melalui perda 12 tahun 1954. Nah ini tadi banyak rekan yang menanyakan. Keraton sebagai badan hukum, badan hukum itu suatu entitas yang dianggap sebagai manusia. Lah mengapa demikian? Karena entitas itu bisa mempunyai hak dan kewajiban. Makhluk lain kan ga Pak yang bisa itu makhluk tertinggi itu manusia. Tapi di samping manusia ada yang bukan manusia tapi seperti manusia itu namanya apa? Aneh badan tapi hukum, karena gak kelihatan Bu.

Sebagai badan hukum maka dia merupakan subyek hukum, lah ini ga enaknya pak kalau yuris itu, istilah-istilah itu sangat teknis dan sangat harus bener. Sebagai badan hukum tadi yang ga kelihatan dia bisa menjadi subyek hukum, lah maksudnya apa? Dia bisa mempunyai sesuatu antara lain hak atas tanah. Karena subyek hukum dia punya hak dan kewajiban bisa melakukan hubungan hukum melakukan perbuatan hukum terhadap tanah, maka keraton kalau itu kemudian melalui UU ini ditetapkan sebagai baadan hukum lalu menjadi subyek yang dapat mempunyai tanah.

Tanah apa pertanyaannya? Dari historis, antropologis dan sebagainya tanah yang paling sesuai untuk di sebutkan tanah keraton ini adalah hak milik , tapi jangan keliru, lah ini nanti ada aturan baru apa tidak tambah kacau, bukan! Hak milik itu sudah ada bukan di berikan oleh negara melalui UU tidak! Hak milik itu ditegaskan saja nah ini teori hukum pertanahan itu bagaimana sesorang bisa hak milik itu ada 3 caranya, 1.melalui penetapan pemerintah misalnya bapak mohon suatu atas tanah diatas tanah negara oke, dikeluarkan surat keputusan pemberian , bapak diberi Pak karena mohon, dimana? diatas tanah negara.

Cara yang lain, tanah itu terjadi karena UU, melalui ketentuan konnversi, tahun 1960 UU PA baru keluar, jauh sebelumnya masyarakat itu sudah mempunyai hak milik adat. Lalu apa dianggap ga

Page 33: risalah rapat dengar pendapat umum komisi ii dpr ri

287

ada? Oh itu ada, di konversi saja artinya kuah yuridis demi hukum dengan timbulnya UU PA, tanah bekas milik adat itu kemudian di konversi namanya disesuaikan dengan pasal 16 UU PA, ada yang bisa di konfersi jadi hak milik, ada yang bisa di konfrensi jadi hak pakai, nah seperti juga ketika UU ini nanti di sahkan , maka keraton badan hukumnya nanti di buat dengan peraturan pemerintah, seperti apa. Keraton itu tanah miliknya itu tidak lalu diberikan oleh negara ditegaskan bahwa tanah keraton dan PAG melalui UU ini menjadi tanah hak milik. Jadi caranya gimana? Ya gampang saja dengan peraturan konversi dan mohon bukan diberikan, tetapi di tegaskan untuknya atau jenisnya atau macamnya bukan hak lain-lain tetapi hak milik. Mengapa ko perlu-perlu di berikan kedudukan badan hukum karena UU pokok agraria itu, boleh badah hukum jadi hak milik, tapi harus ada aturan mainnya. Aturan main yang lama PP 3863 itu terbatas sekali badan hukum yang punya hak milik itu hanya Bang pemerintah untuk keperluan tugasnya yayasan yang bertugas dibidang sosial yayasan yang bergerak dibidang keagamaan dan kemudia koperasi tidak semua koperasi, hanya koperasi pertanian, nah ini terus kapan dan gimana ? ga ada landasan hukumnya maka diberikan landasan hukum melalui rancangan UU, keistimewaan, jadi tadi kemudian di tanyakan, apa itu yang namanya kekancingan? Kekancingan itu bukan ketutupan pintu begitu Pak, bahasa jawa. Itu SK Pak, surat keputusan. Kalai bahasa jawanya kekancingan saya juga ga tau mengapa kekancingan, itu juga sudah merupakan suatu lembaga di dalam keraton ada yang memberikan ada aturan mainnya ada juga formulirnya Pak. Kebetulan kalau nanti yang sudah jadi bapak ke Yogya saja Pak, ada satu tesis konstruksi hak guna bangunan dan hak pake diatas tanah keraton, jadi saya itu minta mahasiswa meneliti. Jadi tidak usah tunggang langgang sendiri jadi temen ini semua tulisan itu di tunjang oleh penelitian kalau ga, inikan mengigau saja Pak. Jadi nanti bapak inginkan kajengan itu seperti apa? Bayar PBB ga ya iyalah Pak. PBB itu bukan bukti kepemilikan. Siapa yang menggunakan, dan ini mereka yang memperoleh tanah diatas tanah keraton juga bayar PBB, dimana saya tahu. Ini yang mau memperpanjang sertakan SPPT PBB yang paling akhir, ini yang mohon diatas tanah keraton.

Jadi kalau tadi tadi ibu juga tanyakan ini apa ga tambah kacau, semuanya ga bu pernata yang sudah ada dengan memberikan kepastian hukum menurut sistem pertanahan nasional. Jadi ga ada nanti bkin sertifikat tanah keraton itu ga ada, sertifikatnya ya republik Indonesia, nah dimana? Diatas tanah keraton. Ini ada contoh sertifikat Pak. Bahwa HGB atas nama ini diberikan berdasarkan kekancingan tadi diatas tanah keraton jadi ini bukan sesuatu yang baru, yang sudah ada itu di tata supaya lebih baik di hari kemudian, ini uga menjawab dari pak hafiz tadi, kemudian ibu juga tanyakan kalau nati UU keluar inikan ada di surat kabar juga ada yang mau bikin rusuh, waduh nanti kalau margasari di tarik kembali dan sebagainya, ada isu-isu itu memang. Tapi tidak perlu khawatir karena suatu UU tidak boleh menyebabkan ketidakpastian karena vakum. Maka didalam RUU ini dalam pasal 37 sudah diberikan eskeep close nya bagaimana ini pihak ketiga yang sekarang sudah mempunyai hubungan hukum dengan tanah keraton. Di sini dengan manis, ga akan di otak-atik sepanjang menurut UU. Jadi ga usah ada isu resah nanti tanah keraton ditarik kembali itu ga Pak, hanya memberikan penataan kembali lah tanah keraton.

Page 34: risalah rapat dengar pendapat umum komisi ii dpr ri

288

Kemudian, tadi dari pak ? Beliau sedang keluar tapi tidak apa-apa. Di sebut tanah wedikenser itu kan tanah dipinggir sungai yang menjadi daratan karena akibat dari aliran Sungai dan sebagainya. Ini begini Pak kalau didalam hukum nasional tanah timbul itu adalah tanah negara, kenapa ke pasal 33 ayat 3. Tapi di Yogya beda lagi Pak, dilihat itu wilayahnya kepunyaan keraton atau nggak, tanah negara itu tanah yang tidak ada hubungan hukumnya dengan seseorang. Lah itu kalau di kengsernya letaknya di wilayah, tanah keraton, ya permisinya dengan keraton, tadi dikatakan sudah ada sertifikat ya diteliti saja sertifikatnya.BPN harus betul-betul meneliti. Ketika menerbitkan sertifikat dia akan meneliti data yuridis dan data fisiknya, data yuridis siapa yang mohon dan sebagainya data fisiknya ini asal muasalnya kan Bapak dan ibu kepala-kepala BPN yang ada di DIY itu harus ekstra hati-hati, karena ia tidak bisa gegabah begitu saja orang mohon sertifikat dianggap tanah negara padahal jangan-jangan ini tanah keraton.

Jadi bagi saya ga bermasalah sepanjang data mengenai asal tanahnya itu yang benar, jadi ini untuk Alped sebetulnya Beliau sebetulnya bisa ketemu saya di Yogya ga usah lewat Jakarta ya Pak. Kemudian, malah minta konsultasi harusnya bayar tuh Pa, bukan di ruangan ini kan Pak. Mengenai Bali, itu juga saya punya penelitian Pak tanah labok Pure dan Ayahandese, itukan banyak sekali kemajuannya bahwa seperti itulah, seperti di minang ada ganggam bauntua, ditempat lain ada segala macam, itu diakui ko oleh hukum tanah nasional. Itu dulu di konversi dari nama-nama yang berasal dari tanah-tanah adat, kemudian Bapak tadi tanyakan, ko bisa ada sengketa itu apa, sebetulnya daripada bercerita disini Pak, saya ada buku nanti kepada Bapak saya kirimkan, mediasi sengketa tanah. Itu sudah lengkap Pak, di Bali ada, di sumatera. Di segala macam.

Sebetulnya sengketa tanah asal muasal sumbernya apa sih? Sumbernya sih ada 4 paling tidak, konflik data lah kalau ukurannya beda bisa ribut, subyeknya yang menuntut 2 orang ini juga bisa ribut, konflik data Pak. Kemudian konflik kepentingan, tadi yang bapak katakan yang satu tanahnya pengen jadi Mall, yang satu pengen mempertahankan tanahnya, nah itu konflik of interes konflik kepentingan, ketiga konflik hubungan atau relasi, misalnya ketika gedung ombo dulu dibebaskan lalu ada makam yang terkubur, itu jadi karena yang satu berpikirnya magis religius, yang lainnya berpikirnya secara ekonomis, jadi relasi hubungan itu terluka karena persepsinya tidak sama, yang terakhit konflik struktural artinya ada campur tangan dari kelembagaan memberikan suatu hak yang dianggap merugikan pihak lain, misalnya konflik di atas tanah HGU perkebunan……….dan sebagainya.

Nah kemudian ini Pak Peris itu betul Pak, tadi bukan bapak ketua yang tarik nafas saya juga, fungsi sosial wah ini seperti kuliah tapi mohon maaf Pak, bapak tanyakan kalau ada fungsi sosial terus tanah keraton bagaimana? Tanah keraton itu kena Pak, buktinya di gunung sempu, diklat tanah keraton, tanah keraton di gunakan diklat. Tanah keraton digunakan untuk DAM, ini ada tanah keraton juga untuk Shelter, monggo aja. Lalu bagaimana? Dilepaskan oleh keraton ya kemudian keraton diberikan suatu ganti kerugian, jadi kena ga? Kena fungsi sosial Pak itu contohnya ada jadi bukan wah terus tidak ada lawan itu tunduk pada hukum nasional.

Page 35: risalah rapat dengar pendapat umum komisi ii dpr ri

289

Kalau keraton-keraton lainnya mau pada mengikuti bagaimana? Kenapa sebagai badan

hukum? Ini kan harus ada reson detrenya, rasiologisnya memberikan badan hukum pada keraton studinya kan seperti itu. Apakah dilihat dari segi filosofis yuridis sosilogis, tempat-tempat lain itu mempunyai data seperti yang di Yogya? Apakah punya tanah? Apakah tanahnya diakui oleh rakyat? Lah itu justru yang sering berebut dengan rakyat. Kalau di Yogya memang tidak ada perebutan tanah keraton dengan tanah yang di punyai oleh orang per orang atau rakyat. Jadi jawaban itu ya terbuka, saya tidak bisa mengatakan ga usah mengikuti atau ayo bisa diikuti itu sangat terbuka harus ditunjang dengan suatu studi tentu saja. Kemudian kenapa badan hukum keperdataan? Lah kalau bukan badan hukum keperdataan lah ga bisa mempunyai hak milik. Subyek harus cocok dengan obyeknya, kalau badan hukum publik pemerintah ya silahkan mempunyai hak pakai, selama digunakan atau hak pengelolaan. Jadi ini memang sudah aturan mainnya sudah demikian rupa.

Mengenai pluralisme yang tadi bapak sampaikan, ini ada satu disertasi yang bagus sekali Pak mengenai Sumatera Barat, bagaimana hukum lokal itu bisa bahu-membahu dengan hukum nasional karena dalam lika Pluralisme dua sistem hukum bisa berjalan berdampingan, kalau di Indonesia ada hukum nasional ada hukum adat, karena hukum adat itu justru melengkapi yang belum diatur oleh hukum nasional, hukum nasional kan tertulis, hukum adat itu lebih kaya, hukum adat tidak hanya yang tertulis tapi juga yang tidak tertulis sepanjang itu di taati oleh masyarakat. Jadi itu mengenai pluralisme hukum. Kemudian tanah keraton itu UPBP sudah kami jawab. Tadi di tanyakan untuk tanah SG dan PAG ada buktinya ga? Justru itu tidak ada Pak. Rakyat saja bisa minta Leter C, tapi gara-gara tanah keraton itu dianggap makhluk ga tau makhluk apa tidak ada tanda bukti haknya Pak. Tapi kalau di identifikasi di inventarisasi ya bisa mengatakan di sana-di sini luasnya sekian nanti jika iitu diberikan sebagai hak milik, hak milik atas nama keraton, bukan atas nama Sultan satu, dua, gak karena itu kalau tadi di tanya gimana nanti kalau Beliau sebagai gubernur, lah itu urusan Beliau sebagai gubernur lah. Tanah hak milik AN Keraton, tanah hak milik AN Paku Alaman. Bukan KGPA Paku Alam no. sekian, karena itu bukan tanahnya selaku indivuduil sebagai ground, sebagai penguasa, sebagai raja, jadi saya kira itu Bapak yang bisa kami berikan apabila belum cukup bapak selalu bisa datang ke Yogya kami persilahkan, terimakasih Pak. (di iringi aplaus seluruh peserta sidang). KETUA RAPAT:

Tanggal 10 kita ke Yogya Bu, Baik terimakasih. Jadi pada hari ini kita melihat betul-betul kita memerlukan pemikiran yang jernih, jadi kita melihat disini bahwa tidak ada musuh yang abadi yang ada adalah kepentingan yang abadi. Masalahnya adalah apakah ini dispute of interest, apakah ini hanyalah dispute of political of interest, apakah ini dispute of personal interest, begitu banyak pertanyaan yang timbul makin jauh makin dalam kita pikirkan. Saya kira sampai diujung pertemuan kita ini tentu saja kami ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Prof.Dr.Maria dan juga kepada Dr.Siti Zuhro. Kami akan ke Yogya tanggal 10 Bu, bukunya kita cari kita pesan. Jadi dengan

Page 36: risalah rapat dengar pendapat umum komisi ii dpr ri

290

demikian saya akhiri dengan mengucapkan Alhamdulillah sampai jumpa lagi pada kesempatan yang lain.

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh . ( RAPAT DITUTUP PUKUL 13.15 WIB)

Jakarta, 3 Maret 2011

a.n. Ketua Rapat Sekretaris Rapat,

Ttd. ARINI WIJAYANTI, SH.,MH.

19710518 199803 2 010