BAB I PENGERTIAN DAN LINGKUP HUKUM AGRARIA A. PENGERTIAN AGRARIA Kata agraria mempunyai arti yang sangat berbeda antara bahasa yang satu dengan bahasa lainnya. Dalam bahasa Latin kata agraria berasal dari kata ager dan agrarius. Kata ager berarti tanah atau sebidang tanah, sedangkan kata agrarius mempunyai arti sama dengan “ perladangan, persawahan, pertanian”. Dalam terminology bahasa Indonesia, agraria berarti urusan tanah pertanian, perkebunan, sedangkan dalam bahasa Inggris kata agraria diartikan agrarian yang selalu diartikan tanah dan dihubungkan dengan usaha pertanian. Pengertian agrarian ini, sama sebutannya dengan agrarian laws bahkan seringkali digunakan untuk menunjuk kepada perangakat peraturan hokum yang bertujuan mengadakan pembagian tanah-tanah yang luas dalam rangka lebih meratakan penguasaan dan pemilikan tanah. Selain pengertian agraria dilihat dari segi terminology bahasa sebagaimana diatas, pengertian agraria dapat pula diketemukan dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Hal ini dapat ditemukan jika membaca konsiderans dan pasal-pasal yang terdapat dalam ketentuan UUPA itu sendiri. Oleh karena itu,
36
Embed
Ringkasan Agraria Bab 1&2 ( Susan Shary Arifanila )
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENGERTIAN DAN LINGKUP HUKUM AGRARIA
A. PENGERTIAN AGRARIA
Kata agraria mempunyai arti yang sangat berbeda antara bahasa yang
satu dengan bahasa lainnya. Dalam bahasa Latin kata agraria berasal dari kata
ager dan agrarius. Kata ager berarti tanah atau sebidang tanah, sedangkan kata
agrarius mempunyai arti sama dengan “ perladangan, persawahan, pertanian”.
Dalam terminology bahasa Indonesia, agraria berarti urusan tanah pertanian,
perkebunan, sedangkan dalam bahasa Inggris kata agraria diartikan agrarian
yang selalu diartikan tanah dan dihubungkan dengan usaha pertanian. Pengertian
agrarian ini, sama sebutannya dengan agrarian laws bahkan seringkali
digunakan untuk menunjuk kepada perangakat peraturan hokum yang bertujuan
mengadakan pembagian tanah-tanah yang luas dalam rangka lebih meratakan
penguasaan dan pemilikan tanah.
Selain pengertian agraria dilihat dari segi terminology bahasa
sebagaimana diatas, pengertian agraria dapat pula diketemukan dalam Undang-
Undang Pokok Agraria (UUPA). Hal ini dapat ditemukan jika membaca
konsiderans dan pasal-pasal yang terdapat dalam ketentuan UUPA itu sendiri.
Oleh karena itu, pengertian agraria dan hokum agraria mempunyai arti atau
makna yang sangat luas. Pengertian agraria meliputi bumi, air dan ruang
angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya (Pasal 1 ayat (2)).
Sementara itu pengertian bumi meliputi permukaan bumi (yang disebut tanah),
tubuh bumi dibawahnya serta yang berada di bawahnya air (Pasal 1 ayat (4) jo.
Pasal 4 ayat 1 (1)).
Lebih jauh Boedi Harsono mengatakan bahwa pengertian air meliputi
baik perairan pendalaman walaupun laut wilyah Indonesia (Pasal 1 ayat (5)).
Dalam Undang-Undang No.11 Tahun 1974 tentang Pengairan (yang telah
diubah dengan UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air) telah diatur
dalam pengertian air yang tidak termasuk dalam arti yang seluas itu. Hal ini
meliputi air yang terdapat didalam dan atau yang berasal dari sumber air, baik
yang terdapat diatas maupun dibawah permukaan tanah, tetapi tidak meliputi air
yang terdapat dilaut (Pasal 1 angka 3).
Berkaitan dengan pengertian air tersebut, dalam UUPA diatur pula
mengenai pengertian kekayaan alam yang terkandung didalamnya, termasuk
didalamnya bahan galian, mineral biji-bijian dan segala macam batuan,
termasuk batu-batuan mulia yang merupakan endapan-endapan alam (Undang-
Undang No.11 Tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok pertambangan).
Untuk pengertian mengenai kekayaan alam yang terkandung didalam air adalah
ikan dan semua kekayaan yang berada didalam perairan pedalaman dan laut
wilayah Indonesia (UU No.8 Tahun 1985 tentang perikanan jo UU No.31 Tahun
2004). Pada tahun 1983 hak atas kekayaan alam yang terkandung dalam tubuh
bumi dan air terwujud dengan keluarnya Undang-Undang No.5 Tahun 1983
tentang Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Pengertian Zona Ekonomi Eksklusif
(ZEE) meliputi jalur perairan dengan batas terluar 200 mil laut diukur dari garis
pangkal laut wilayah Indonesia. Dalam ZEE ini diatur hak berdaulat untuk
melakukan eksploitasi dan eksplorasi dan lain-lainnya atas sumber daya alam
hayati dan non-hayati yang terdapat didasar laut serta tubuh bumi dibawahnya
dan air diatasnya.
Berkaitan dengan pengertian agraria diatas, tujuan pokok yang ingin
dicapai dengan adanya UUPA, yaitu :
1. Meletakan dasar-dasar bagi penyusunan hokum agraria
nasional yang akan merupakan alat untuk membawakan
kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan
Rakyat, terutama rakyat tani dalam rangka masyarakat yang
adil dan makmur.
2. Meletakan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan, dan
kesederhanaan dalam hokum pertanahan.,
3. Meletakan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hokum
mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat keseluruhan. Dengan
mengacu pada tujuan pokok diadakannya UUPA, jelaslah
bahwa UUPA merupakan sarana yang akan dipakai untuk
mewujudkan cita-cita bangsa dan Negara sebagiamana yang
diamanatkan oleh pembukaan UUD 1945, yaitu memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan Bangsa
Indonesia.
B. PENGERTIAN TANAH
Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan pengertian mengenai
tanah, yaitu permukaan bumi atau lapisan bumi yang diatas sekali. Pengertian
tanah diatur dalam Pasal 4 UUPA dinyatakan sebagai berikut;
Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam
yang Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan
bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai
oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang
lain serta badan-badan hokum.
Dengan demikian, yang dimaksud istilah tanah dalam Pasal diatas ialah
permukaan bumi. Makna permukaan bumi sebagai bagian dari tanah yang dapat
dihaki oleh setiap orang atau badan hokum. Oleh karena itu, hak-hak yang
timbul diatas hak permukaan bumi (hak atas tanah) termasuk didalamnya
bangunan atau benda-benda yang terdapat diatasnya merupakan suatu persoalan
hokum. Persoalan hokum yang dimaksud adalah persoalan yang berkaitan
dengan dianutnya asas-asas yang berkaitan dengan hubungan antara tanah
dengan tanaman dan bangunan yang terdapat diatasnya.
1. Asas Perlekatan Horizontal (Horizontale Accessie Beginsel)
Didalam KUHPerdata yang merupakan induk dari ketentuan hokum
yang mengatur hubungan secara pribadi atau perdata, dianut asas perlekatan,
yaitu asas yang melekatkan suatu benda pada benda pokoknya. Asas
perlekatan ini terdiri atas perlekatan horizontal atau mendatar dan perlekatan
vertical. Asas perlekatan tersebut diatur dalam perumusan Pasal 500, Pasal
506, dan Pasal 507 KUH Perdata.
Dalam KUH Perdata selain dikenal asas perlekatan yang bersifat
horizontal, dikenal pula asas perlekatan yang vertical. Hal ini diatur dalam
Pasal 571 KUH Perdata. Dalam Pasal 571 KUH Perdata dinyatakan bahwa
hak milik atas sebidang tanah meliputi hak milik atas segala sesuatu yang
ada diatasnya dan didalam tanah itu.
2. Asas Pemisahan Horizontal (Horizontale Scheiding)
Berlainan dengan asas yang terdapat pada Negara-negara yang
menggunakan asas perlekatan, hokum tanah yang dianut oleh UUPA
bertumpu pada hokum adat, dimana tidak mengenal asas perlekatan tersebut,
melainkan menganut asas “pemisahan horizontal” (dalam bahasa Belanda
disebut Horizontale Scheiding), dimana hak atas tanah tidak dengan
sendirinya meliputi pemilikan bangunan dan tanaman yang ada diatas
tanahnya.
Menurut Djuhaendah Hasan, Asas perlekatan vertical tidak dikenal
didalam Hukum Adat, karena mengenal asas lainnya yaitu asas pemisahan
horizontal dimana tanah terlepas dari segala sesuatu yang melekat padanya.
Didalam Hukum Adat, benda terdiri atas benda tanah dan benda bukan
tanah, dan yang dimaksud dengan tanah memang hanya tentang tanah saja
(demikian pula pengaturan hokum tanah dalam UUPA) sesuatu yang
melekat pada tanah dimasukkan dalam pengertian benda bukan tanah dan
terhadapnya tidak berlaku ketentuan benda tanah.
C. SUMBER HUKUM TANAH INDONESIA
Status tanah atau riwayat tanah merupakan kronologis masalah
kepemilikan dan penguasaan tanah baik pada masa lampau, masa kini maupun
masa yang akan datang. Adapun riwayat tanah dari PBB atau surat keterangan
riwayat tanah dari kelurahan setempat adalah riwayat yang menjelaskan
pencatatan, dan peralihan tanah girik milik adat dan sejenisnya pada masa
lampau dan saat ini. Sumber hokum tanah dapat dikelompokkan dalam:
1. Hokum Tanah Adat, dibagi 2 yaitu:
a. Hukum Tanah Adat masa Lampau
b. Hukum Tanah Adat masa Kini
2. Kebiasaan
3. Tanah-Tanah Swapraja
4. Tanah Partikelir
5. Tanah Negara
6. Tanah Garapan
7. Hukum Tanah Belanda
8. Hukum Tanah Jepang
9. Tanah-Tanah Milik Perusahaan Asing Belanda
10. Tanah-Tanah Milik Perseorangan Warga Belanda
11. Surat Izin Perumahan (SIP) atau Verhuren Besluit (V.B)
12. Tanah Bondo Deso
13. Tanah Bengkok
14. Tanah Wedi Kengser
15. Tanah Kelenggahan
16. Tanah Pekulen
17. Tanah Res Extra Commercium
18. Tanah Absentee
19. Tanah Oncoran, dan Tanah bukan Oncoran.
Selanjutnya sumber-sumber Hukum Tanah di Indonesia dapat diuraikan
sebagai berikut.
1. Hukum Tanah Adat
Menurut pandangan Kappayne, untuk memahami hokum adat Indonesia,
orang harus menempatkan diri dalam Lingkungan Indonesia, harus melihat
hokum rakyat sebagai suatu kesatuan dan tidak boleh memisahkan Jawa dari
daerah-daerah Jawa.
Sementara itu di Indonesia, hokum agraria yang berlaku atas bumi, air
dan ruang angkasa ialah hokum adat dimana sendi-sendi dari hokum tersebut
berasal dari masyarakat hokum adat setempat, sepanjang tidak bertentangan
dengan kepentingan social, dan Negara yang berdasarkan persatuan bangsa dan
sosialisme Indonesia. Dengan demikian menurut B.F. Sihombing , hokum tanah
adat adalah hak pemilikan dan penguasaan sebidang tanah yang hidup dalam
masyarakat adat pada masa lampau dan masa kini serta ada yang tidak
mempunyai bukti-bukti kepemilikan secara autentik atau tertulis, kemudian pula
ada yang didasarkan atas pengakuan dan tidak tertulis. Adapun tanah adat terdiri
dari 2 jenis, yaitu:
a. Hukum Tanah Adat Masa Lampau
Hukum tanah adat masa lampau ialah hak memiliki dan
menguasai sebidang tanah pada zaman penjajahan Belanda dan
Jepang, serta pada zaman Indonesia merdeka tahun 1945, tanpa bukti
kepemilikan secara autentik maupun tertulis. Jadi, hanya pengakuan.
Adapun cirri-ciri hokum tanah adat masa lampau adalah sebagai
berikut.
Ciri-ciri tanah adat masa lampau adalah tanah-tanah yang dimiliki
dan dikuasai oleh seseorang dan atau sekelompok masyarakat adat
yang memiliki dan menguasai serta menggarap, mengerjakan secara
tetap maupun berpindah-pindah sesuai dengan daerah, suku, dan
budaya hukumnya, kemudian secara turun-temurun masih berada
dilokasi daerah tersebut, dan atau mempunyai tanda-tanda fisik
berupa sawah, ladang, hutan, dan symbol-simbol berupa makam,
patung, rumah-rumah adat, dan bahasa daerah yang ada di Negara
Republik Indonesia.
b. Hukum Tanah Adat Masa Kini
Hukum tanah adat masa kini ialah hak memiliki dan menguasai
sebidang tanah pada zaman sesudah merdeka tahun 1945 sampai
sekarang, dengan bukti autentik berupa girik, petuk pajak, pipil, hak
agrarische eigendom, milik yayasan, hak atas druwe atau hak atas
druwe desa, hak usaha atas tanah bekas, partikelir, fatwa ahli waris,
akta peralihan hak, dan surat segel dibawah tangan, dan bahkan ada
yang memperoleh sertifikat serta surat pajak hasil bumi, dan hak-hak
lainnya sesuai dengan daerah berlakunya hokum adat tersebut, serta
masih diakui secara internal maupun eksternal.
Adapun cirri-ciri Hukum Tanah Adat masa kini adalah tanah-
tanah yang dimiliki seseorang maupun sekelompok masyarakat adat
dan masyarakat didaerah pedesaan maupun dikawasan perkotaan,
sesuai dengan daerah, suku dan budaya hukumnya kemudian secara
turun-temurun telah berpindah tangan kepada orang lain, dan
mempunyai bukti-bukti kepemilikan serta secara fisik dimiliki atau
dikuasai sendiri dan atau dikuasai orang/badan hokum. Secara
ringkas cirri-ciri Hukum Adat Tanah Masa kini ialah:
a. Ada masyarakat, Badan Hukum Pemerintah/swasta
b. Masyarakat didaerah pedesaan atau perkotaan
c. Turun-temrun atau telah berpindah tangan atau dialihkan
d. Mempunyai bukti ppemilikan berupa girik, verponding
Indonesia, petuk, ketitir, sertifikat, fatwa waris, penetapan
pengadilan, hibah, akta peralihan, surat dibawah tangan, dan
lain-lain.
e. Menguasai secara fisik; berupa masjid, kuil, gereja, candi,
danau, patung, makam, sawah, adang, hutan, rumah adat,
gedung, sungai, gunung, dan lain-lain.
2. Kebiasaan
Tanah mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam hokum adat,
karena merupakan satu-satunya benda kekayaan yang meskipun mengalami
keadaan bagaimanapun akan tetap dalam keadaan semula, malah terkadang tidak
menguntungkan dari segi ekonomis. Kecuali itu, adalah suatu kenyataan bahwa
tanah merupakan tempat tinggal keluarga dan masyarakat, memberikan
penghidupan, merupakan tempat dimana para warga yang meninggal dunia
dikuburkan; dan sesuai dengan kepercayaan merupakan pula tempat tinggal para
dewaa-dewa pelindung dan tempat roh para leluhur bersemayam. Didalam
hokum adat, antara masyarakat hokum merupakan kesatuan dengan tanah yang
didudukinya, terdapat hubungan yang erat sekali; hubungan yang bersumber
pada pandangan yang bersifat religio-magis.
Hubungan yang erat dan bersifat religio-magis ini menyebabkan
masyarakat hokum memperoleh hak untuk menguasai tanah tersebut,
memanfaatkannya, memungut hasil dari tumbuh-tumbuhan yang hidup diatas
tanah juga berburu terhadap binatang-binatang yang ada disitu. Hak masyarakat
hokum atas tanah ini disebut hak pertuanan atau hak ulayat.
3. Tanah-Tanah Swapraja
Menurut hokum ketatanegaraan dahulu daerah-daerah Swapraja dibagi
atas:
a. Swapraja dengan “kontrak panjang” (Lange Contracten)
b. Swapraja dengan “kontrak pendek” (Korte Verklaring)
Dengan demikian, peraturan-peraturan agraria swapraja pada umumnya
boleh dikatakan pada pokoknya selaras dengan peraturan-peraturan yang ada
didaerah-daerah lainnya di Indonesia, meskipun ada kalanya masing-masing
daerah swapraja terdapat beberapa peraturan yang tidak sama dengan
peraturan-peraturan yang ada didaerah luar swapraja, misalnya peraturan
tentang landbouwconcessie (izin pertanian) di Sumatra Timur dan landhuur
(persewaan tanah) di Surakarta dan Yogyakarta. Hak tanah di daerah-daerah
Swapraja masih mempunyai sifat-sifat keistimewaan berhubung dengan
sturuktur pemerintahan dan masyarakat yang sedikit atau banyak adalah
lanjutan system feodal.
4. Tanah Partikelir
Setelah bangsa Indonesia merdeka, maka secara factual hamper seluruh
Indonesia terdapat tanah dengan berbagai ragam dan corak, salah satu
diantaranya adalah tanah partikelir. Kemudian tanah-tanah yang ada tersebut
hamper dimiliki oleh orang-orang asing atau badan-badan hokum asing, yaitu:
a. Hak erpacht untuk perusahaan kebun besar seluas lebih dari 1 juta
hektar.
b. Hak konsensi untuk perusahaan kebun besar seluas lebih dari 1 juta
hektar.
c. Hak eigendom, hak postal, hak erpacht untuk perumahan atas
kuranglebih dari 200.000 bidang.
Kalau ditilik mengenai asal muasal dari tanah partikelir ini, maka tanah
ini merupakan tanah yang namanya diberikan oleh Belanda dengan nama
eigendom. Dengan demikian pengertian tanah partikelir ini ialah tanah-
tanah ”eigendom” diatas nama pemiliknya sebelum undang-undang ini
berlaku mempunyai hak pertuanan. Selain itu mewarisi pula tanah-tanah
eigendom yang disebut tanah “partikelir”. Jadi tanah-tanah partikelir
adalah tanah-tanah eigendom yang mempunyai sifat dan corak yang
istimewa. Perbedaan antara tanah-tanah eigendom lainnya adalah adanya
hak-hak pada pemiliknya yang bersifat kenegaraan yang dahulu disebut
landheerlijke rechten dan di Indonesia hak-hak pertuanan.
5. Tanah Negara
Menurut Dirman, tanah-tanah Negara dapat dibagi atas 2 bagian yaitu:
a. Tanah Negara yang bebas ( Vrij staatsdomein ) artinya tanah Negara yang
tidak terikat dengan hak-hak bangsa Indonesia.
b. Tanah Negara yang tidak bebas, ( Onvrij staatsdomein ) artinya tanah
Negara yang terikat dengan hak-hak bangsa Indonesia.
Pada tahun 1953 pemerintah mengeluarkan peraturan pertama yang
mengatur tanah Negara, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953
L.N. 1953 Nomor 14 tentang Penguasaan Tanah-Tanah Negara, dijelaskan
bahwa yang dimaksud dengan tanah Negara adalah tanah yang dikuasai
penuh oleh Negara, kecuali jika penguasaan atas tanah Negara dengan
undang-undang atau peraturan lain pada waktu berlakunya peraturan
pemerintah ini telah diserahkan kepada suatu kementrian, jawatan, atau
Daerah Swatantra maka penguasaan tanah Negara ada pada Mentri Dalam
Negeri. Dalam pasal 1 huruf a dinyatakan bahwa Mentri Dalam Negeri
berhak untuk:
a. Menyerahkan penguasaan itu kepada Kementrian, Jawatan atau Daerah
Swatantra untuk keperluan kepentingan tertentu dari Kementrian,
Jawatan, atau Daerah Swantantra itu, dan
b. Mengawasi agar supaya tanah Negara dipergunakan sesuai dengan
peruntukkannya dan bertindak mencabut penguasaan atas tanah Negara
apabila penyerahan penguasaan ternyata keliru/tidak tepat lagi, luas
tanah yang diserahkan penguasaannya ternyata sangat melebihi
keperluannya dan tanah itu tidak dipelihara atau dipergunakan
sebagaimana mestinya.
6. Tanah Garapan
Garapan atau memakai tanah ialah menduduki, mengerjakan dan atau
menguasai sebidang tanah atau mempunyai tanaman atau bangunan diatasnya,
dengan tidak mempersoalkan apakah bangunan itu digunakan sendiri atau tidak.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur soal tanah garapan ini
dapat dibedakan menjadi tiga rukun waktu, pertama periode sebelum Tahun
1945, antara lain:a. staatsblad Tahun 1927 Nomor 177 tentang Onwettige
Occupatie van Landsdomein.b.Staatsblad Tahun 1912 Nomor 177 tentang Sewa
Tanah Kepada Onwittege occupatie.c.staatsblad Tahun 1925 Nomor 649 tentang
Ketentuan Baru mengenai Pembukaan Tanah Oleh Orang Indonesia di Jawa dan
Madura, kedua, periode Tahun 1945-1950, antara lain:UUD 1945, dan
Keputusan Penguasa Perang Pusat tanggal 14 april 1958 Perpu Nomor
011Tahun 1958 jo. Nomor 014 Tahun 1959 tentang Larangan Pemakaian Tanah
Tanpa Izin Yang Berhak atas Kuasanya, ketiga, periode Tahun 1960 jo. Undang-
Undang Nomor 51 Prp Tahun 1960 jo. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961
tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak atau Kuasanya,
dan diDaerah DKI Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta
Nomor 886 Tahun 1983 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penertiban Penguasaan
/perlimpahan Tanah Tanpa Hak di Wilayah Provinsi DKI Jakarta.
7. Hukum Tanah Belanda
Hokum pertanahan yang berlaku di Indonesia pada masa penjajahan
tetap mengacu pada ketentuan peraturan hokum tanah, yaitu Agrarische wet ini,
sangat bertentangan dengan peraturan hokum tanah yang tumbuh dan
berkembang di masyarakat Indonesia itu sendiri. Oleh karena itu, pada
zamanpenjajahan Belanda terdapat dualism hokum pertanahan, yaitu hokum
tanah yang tunduk pada peraturan hokum yang ada di Indonesia, yakni Hukum
Tanah Adat.
8. Hukum Tanah Jepang
Berakhirnya pemerintah Belanda di Indonesia ditandai dengan terjadinya
penyerahan kekuasaan dari pemerintahan Belanda ke pemerintahan Jepang.
Penyerahan kekuasaan tersebut dilakukan pada tanggal 8 maret1942 di Kalijati,
Bandung oleh Letnan Jendral Ter Poorten yang mewakili pemerintah Belanda ke
pemerintah Jepang yang diwakili oleh Letnan Jendral Imamura. Sementara itu
kota Jakarta, Jepang merebutnya dari tangan Belanda pada tanggal 5 Maret
1942, dan kemudian pada tanggal 7 Maret 1942 pembesar tentara jepang di
Jakarta mengeluarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1942 tentang
Menjalankan Pemerintah Bala Tentara Jepang.
Pemerintahan Jepang dalam melakukan roda perekonomian, khususnya
dibidang pertanahan sangat rajin melakukan pembentukkan peraturan baru dan
bahkan melakukan adopsi peraturan hokum tanah yang terdapat di Negara-
negara yang lainnya. Hal ini terbukti bahwa Jepang mempunyai lebih dari 270
hukum yang berkaitan dengan tanah. Akhirnya pada Tahun 1889 barulah
diumumkan Basic Land Act yang berisi empat prinsip: (1) bahwa prioritas
seharusnya diberikan terhadap kesejahteraan public; (2) bahwa penggunaan yang
tepat dan terencana seharusnya dipromosikan; (3) bahwa transaksi yang bersifat
spekulatif harus dibatasi; dan (4) bahwa kewajiban pajak seharusnya sepadan
dengan keuntungan.
9. Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda
Perusahaan-perusahaan milik Belanda yang akan dinasionalisasi harus
mempunyai criteria menyangkut isi, dan sifat dari perusahaan tersebut. Adapun
isi dan sifatnya perusahaan Belanda tersebut sebagai berikut: (a) perusahaan-
perusahaan yang untuk seluruhnya atau sebagian merupakan milik perorangan
warga Negara Belanda dan bertempat kedudukan dalam wilayah Republik
Indonesia; (b) perusahaan milik suatu badan hokum yang seluruhnya atau
sebagian modal perseorangannya atau modal pendiriannya berasal dari
perseorangan warga Negara Belanda dan badan-badan hokum itu
bertempat/berkedudukan di wilayah Republik Indonesia; (c) perusahaan yang
letaknya dalam wilayah Republik Indonesia dan untuk seluruhnya atau sebagian
merupakan perusahaan milik perseorangan warga Belanda yang kediamannya
diluar wilayah Republik Indonesia; (d) perusahaan yang letaknya dalam wilayah
Republik Indonesia dam merupakan milik suatu badan hokum yang bertempat
kedudukan dalam wilayah Negara kerajaan Belanda.
Sementara itu, dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU Nomor 86 Tahun 1958
dinyatakan bahwa tiap-tiap perusahaan yang dikenakan nasionalisasi, khususnya
yang termaksud dalam poin a, c dan d termasuk seluruh kekayaan dan harta
cadangan, baik yang berwujud barang tetap atau barang bergerak maupun yang
merupakan hak atau piutang. Adapun untuk butir b termasuk seluruh saham
dalam modal perseroan yang belum dimiliki oleh Republik Indonesia.
Dalam mempertanggungjawabkan tugas BANAS, dalam Pasal 2 huruf a,
b dan c PP Nomor 3 Tahun 1959 diatur tugas organisasi ini mempunyai unsure-
unsur perorangan yang mempunyai tugas: (a) memimpin dan
mempertanggungjawabkan; (b) merencanakan; (c) melaksanakan; dan (d)
mengawasi. Sementara itu Dewan pemimpin BANAS mempunyai tugas
menetapkan keseragaman kebijaksanaan dalam pelaksanaan nasionalisasi
perusahaan-perusahaan milik Belanda yang antara lain: (a) menentukan garis
kebijaksanaan dan mengawasi badan-badan penampung dalam lapangan