-
I
Pengalaman Belajar Lapangan
RHEUMATOID ARTHRITIS
Oleh:
Ketut Ayu Manik Masyeni (1102005157)
Pembimbing :
dr. Ketut Suardamana, Sp.PD-KAI
DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITERAAN KLINIK MADYADI BAGIAN ILMU
PENYAKIT DALAM RSUP SANGLAHFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
UDAYANA
2017
-
II
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha
Esa
karena atas berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan
Pengalaman Belajar Lapangan (PBL) yang berjudul “Rheumatoid
Arthritis” ini
tepat pada waktunya. PBL ini disusun dalam rangka mengikuti
Kepaniteraan
Klinik Madya di Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP
Sanglah
Denpasar.
Dalam penulisan laporan PBL ini penulis banyak mendapatkan
bimbingan
maupun bantuan, baik berupa informasi maupun bimbingan moril.
Untuk itu, pada
kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang
sebesar-
besarnya kepada:
1. Dr.dr. Ketut Suega, SpPD-KHOM selaku Kepala Bagian Ilmu
Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah.
2. dr. Made Susila Utama, Sp.PD-KPTI selaku Koordinator
Pendidikan
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana/RSUP Sanglah.
3. dr. Ketut Suardamana, Sp.PD-KAI selaku dosen pembimbing atas
segala
bimbingan, saran-saran dan bantuan dalam penyusunan laporan PBL
ini.
4. Semua pihak yang turut membantu dalam penyusunan laporan PBL
ini
yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa laporan PBL ini masih jauh dari
kesempurnaan,
oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari
semua pihak
sangat penulis harapkan dalam rangka penyempurnaannya. Akhirnya
penulis
mengharapkan semoga laporan PBL ini dapat bermanfaat di bidang
ilmu
pengetahuan dan kedokteran.
Denpasar, Oktober 2015
Penulis
-
III
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul i
Kata Pengantar ii
Daftar Isi iii
Daftar Tabel iv
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3
2.1 Definisi Rheumatoid Arthritis 3
2.1 Epidemiologi Rheumatoid Arthritis 3
2.3 Faktor Resiko Rheumatoid Arthritis 4
2.4 Etiopagonesis dan Patofisiologi Rheumatoid Arthritis 6
2.5 Manifestasi Klinis Rheumatoid Arthritis 10
2.6 Pemeriksaan Penunjang Rheumatoid Arthritis 11
2.7 Diagnosis Rheumatoid Arthritis 11
2.8 Penatalaksanaan Rheumatoid Arthritis 13
2.9 Prognosis Rheumatoid Arthritis 16
BAB III LAPORAN KASUS………………………………………………….. 17
3.1 Identitas Pasien 17
3.2 Anamnesis 17
3.4 Pemeriksaan Fisik 19
3.5 Pemeriksaan Penunjang 21
3.7 Diagnosis 26
3.8 Penatalaksanaan 26
BAB IV DISKUSI HASIL KUNJUNGAN RUMAH 28
4.1 Analisis Kebutuhan 29
4.1.1 Kebutuhan Fisik-Biomedis 29
4.1.2 Kebutuhan Bio-Psiko-Sosial 30
4.2 Pemecahan Masalah 33
BAB V SIMPULAN 36
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit reumatik adalah penyakit yang menyerang persendian dan
struktur di
sekitarnya yang terdiri lebih dari 100 jenis. Salah satu jenis
dari penyakit reumatik
adalah Rheumatoid Arthritis (Nainggolan,2009). Rheumatoid
Arthritis (RA)
adalah penyakit autoimun progresif dengan inflamasi kronik yang
menyerang
sistem muskuloskeletal namun dapat melibatkan organ dan sistem
tubuh secara
keseluruhan, yang ditandai dengan pembengkakan, nyeri sendi
serta destruksi
jaringan sinovial yang disertai gangguan pergerakan diikuti
dengan kematian
prematur (Mclnnes,2011).
Dalam ilmu penyakit dalam Harrison edisi 18, insidensi dan
prevalensi RA
bervariasi berdasarkan lokasi geografis dan berbagai grup etnik
yang berkaitan
dengan susunan genetik. Prevalensi tertinggi dilaporkan pada
masyarakat asli
Amerika, Yakima, Pima, dan suku-suku Chippewa di Amerika Utara
sebesar 7%.
Namun prevalensi RA di dunia relatif konstan yaitu berkisar
antara 0,5-1%
(Suarjana,2009). Estimasi prevalensi RA untuk negara dengan
pendapatan rendah
dan menengah berdasarkan meta-analisis adalah di Asia Tenggara
sebesar 0,4%,
Mediterania Timur sebesar 0,37%, Eropa sebesar 0,62%, dan
Amerika sebesar
1,25%. Prevalensi pada laki-laki lebih rendah yaitu 0,16%
dibandingkan wanita
yaitu 0,75% dan dinyatakan signifikan secara statistik. Sekitar
2,6 juta laki-laki
dan 12,21 juta wanita menderita RA pada tahun 2000 kemudian
meningkatmenjadi 3,16 juta laki-laki dan 14,87 juta wanita yang
menderita RA
pada tahun 2010 (Rudan dkk, 2015).
Data epidemiologi di Indonesia tentang penyakit RA masih
terbatas. Data
terakhir dari Poliklinik Reumatologi RSCM Jakarta menunjukkan
bahwa jumlah
kunjungan penderita RA selama periode Januari sampai Juni 2007
sebanyak 203
dari jumlah seluruh kunjungan sebanyak 1.346 pasien. Nainggolan
(2009)
memaparkan bahwa provinsi Bali memiliki prevalensi penyakit
rematik di atas
angka nasional yaitu 32,6%, namun tidak diperinci jenis rematik
secara detail.
Walaupun penyebab RA masih belum diketahui secara pasti, namun
banyak
faktor risiko yang dapat meningkatkan angka kejadian RA.
Diantaranya adalah
-
2
faktor genetik, usia lanjut, jenis kelamin perempuan, faktor
sosial ekonomi, faktor
hormonal, etnis, dan faktor lingkungan seperti merokok, infeksi,
faktor diet,
polutan, dan urbanisasi (Tobon et al,2009).
Telah diketahui bahwa RA adalah penyakit kronik dan fluktuatif
sehingga
apabila tidak dilakukan penanganan yang tepat dan cepat akan
menyebabkan
kerusakan sendi yang progresif, deformitas, disabilitas, dan
kematian. Menurut
Fuch dan Edward, hanya 15% pasien RA yang memperoleh pengobatan
secara
medis yang mengalami remisi atau berfungsi normal setelah 10
tahun sejak awal
onset dan hanya 17% dengan tanpa disabilitas. Prognosis RA
sendiri dievaluasi
dari berbagai parameter seperti level remisi, status fungsional,
dan derajat
kerusakan sendi (Sumariyono,2010).
Masyarakat usia dewasa yang berusia diantara 25 hingga 60 tahun
masih
merupakan masa-masa produktif di kehidupannya. Tanggung jawab
secara fisik,
biologis, ekonomi dan sosial sangat dibutuhkan dan berkaitan
erat dengan status
kesehatannya saat ini. Banyak penyakit degeneratif yang onsetnya
dimulai sejak
usia pertengahan menyebabkan produktifitas masyarakat menurun
dan masa
lansia di kemudian hari menjadi kurang berkualitas. Salah satu
penyakit tersebut
adalah RA dimana proses patologi imunologinya terjadi beberapa
tahun sebelum
muncul gejala klinis. Walaupun angka kejadian RA banyak terjadi
pada lansia
namun tidak menutup kemungkinan proses patologi telah terjadi
seiring
peningkatan usia dan adanya berbagai faktor risiko yang saling
berkaitan.
Banyak upaya yang dapat dilakukan guna mencegah terjadinya RA
dan
memberikan pengobatan secara cepat dan tepat bagi yang telah
terdiagnosis salah
satunya dengan melakukan deteksi dini pada masyarakat usia
dewasa. Ada banyak
alat ukur dan kriteria yang dapat digunakan dalam mendiagnosis
RA. Diantaranya
adalah berdasarkan kriteria ARA (American Rheumatism
Association) yang
direvisi tahun 1987 dan kriteria ACR (American College of
Rheumatology) yang
direvisi tahun 2010.
-
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Rheumatoid Arthritis
Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit autoimun yang
etiologinya belum
diketahui dan ditandai oleh sinovitis erosif yang simetris dan
pada beberapa kasus
disertai keterlibatan jaringan ekstraartikular. Perjalanan
penyakit RA ada 3 macam
yaitu monosiklik, polisiklik dan progresif. Sebagian besar kasus
perjalananya
kronik kematian dini (Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi
Indonesia,2014).
Kata arthritis berasal dari bahasa Yunani, “arthon” yang berarti
sendi, dan
“itis” yang berarti peradangan. Secara harfiah, arthritis
berarti radang pada sendi.
Sedangkan Rheumatoid Arthritis adalah suatu penyakit autoimun
dimana
persendian (biasanya tangan dan kaki) mengalami peradangan,
sehingga terjadi
pembengkakan, nyeri dan seringkali menyebabkan kerusakan pada
bagian dalam
sendi (Febriana,2015).
Penyakit ini sering menyebabkan kerusakan sendi, kecacatan dan
banyak
mengenai penduduk pada usia produktif sehingga memberi dampak
sosial dan
ekonomi yang besar. Diagnosis dini sering menghadapai kendala
karena pada
masa dini sering belum didapatkan gambaran karakteristik yang
baru akan
berkembang sejalan dengan waktu dimana sering sudah terlambat
untuk memulai
pengobatan yang adekuat (Febriana,2015).
2.2 Epidemiologi Rheumatoid Arthritis
Prevalensi dan insiden penyakit ini bervariasi antara populasi
satu dengan lainnya,
di Amerika Serikat dan beberapa daerah di Eropa prevalensi RA
sekitar 1% pada
kaukasia dewasa, Perancis sekitar 0,3%, Inggris dan Finlandia
sekitar 0,8% dan
Amerika Serikat 1,1% sedangkan di Cina sekitar 0,28%. Jepang
sekitar 1,7% dan
India 0,75%. Insiden di Amerika dan Eropa Utara mencapai
20-50/100000 dan
Eropa Selatan hanya 9-24/100000. Di Indonesia dari hasil survei
epidemiologi di
Bandungan Jawa Tengah didapatkan prevalensi RA 0,3% sedang di
Malang pada
penduduk berusia diatas 40 tahun didapatkan prevalensi RA 0,5%
di daerah
Kotamadya dan 0,6% di daerah Kabupaten. Di Poliklinik
Reumatologi RSUPN
-
4
Cipto Mangunkusumo Jakarta, pada tahun 2000 kasus baru RA
merupakan 4,1%
dari seluruh kasus baru. Di poliklinik reumatologi RS Hasan
Sadikin didapatkan
9% dari seluruh kasus reumatik baru pada tahun 2000-2002
(Aletaha et al,2010).
Data epidemiologi di Indonesia tentang penyakit RA masih
terbatas. Data
terakhir dari Poliklinik Reumatologi RSCM Jakarta menunjukkan
bahwa jumlah
kunjungan penderita RA selama periode Januari sampai Juni 2007
sebanyak 203
dari jumlah seluruh kunjungan sebanyak 1.346 pasien. Nainggolan
(2009)
memaparkan bahwa provinsi Bali memiliki prevalensi penyakit
rematik di atas
angka nasional yaitu 32,6%, namun tidak diperinci jenis rematik
secara detail.
Sedangkan pada penelitian Suyasa et al (2013) memaparkan bahwa
RA adalah
peringkat tiga teratas diagnosa medis utama para lansia yang
berkunjung ke
tempat pemeriksaan kesehatan dan pengobatan gratis di salah satu
wilayah
pedesaan di Bali.
2.3 Faktor Risiko Rheumatoid Arthritis
Faktor risiko yang berhubungan dengan peningkatan kasus RA
dibedakan menjadi
dua yaitu faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi dan faktor
risiko yang dapat
dimodifikasi:
2.3.1 Tidak Dapat Dimodifikasi
1. Faktor genetik
Faktor genetik berperan 50% hingga 60% dalam perkembangan
RA.
Gen yang berkaitan kuat adalah HLA-DRB1. Selain itu juga ada
gen
tirosin fosfatase PTPN 22 di kromosom 1. Perbedaan substansial
pada
faktor genetik RA terdapat diantara populasi Eropa dan Asia.
HLA-
DRB1 terdapat di seluruh populasi penelitian, sedangkan
polimorfisme
PTPN22 teridentifikasi di populasi Eropa dan jarang pada
populasi
Asia. Selain itu ada kaitannya juga antara riwayat dalam
keluarga
dengan kejadian RA pada keturunan selanjutnya.
2. Usia
RA biasanya timbul antara usia 40 tahun sampai 60 tahun.
Namun
penyakit ini juga dapat terjadi pada dewasa tua dan
anak-anak
(Rheumatoid Arthritis Juvenil). Dari semua faktor risiko
untuk
-
5
timbulnya RA, faktor ketuaan adalah yang terkuat. Prevalensi
dan
beratnya RA semakin meningkat dengan bertambahnya usia. RA
hampir tak pernah pada anak-anak, jarang pada usia dibawah 40
tahun
dan sering pada usia diatas 60 tahun.
3. Jenis kelamin
RA jauh lebih sering pada perempuan dibanding laki-laki dengan
rasio
3:1. Meskipun mekanisme yang terkait jenis kelamin masih
belum
jelas. Perbedaan pada hormon seks kemungkinan memiliki
pengaruh.
2.3.2 Dapat Dimodifikasi
1. Gaya hidup
a. Status sosial ekonomi
Penelitian di Inggris dan Norwegia menyatakan tidak terdapat
kaitan antara faktor sosial ekonomi dengan RA, berbeda
dengan
penelitian di Swedia yang menyatakan terdapat kaitan antara
tingkat pendidikan dan perbedaan paparan saat bekerja dengan
risiko RA.
b. Merokok
Sejumlah studi cohort dan case-control menunjukkan bahwa
rokok
tembakau berhubungan dengan peningkatan risiko RA. Merokok
berhubungan dengan produksi dari rheumatoid factor(RF) yang
akan berkembang setelah 10 hingga 20 tahun. Merokok juga
berhubungan dengan gen ACPA-positif RA dimana perokok
menjadi 10 hingga 40 kali lebih tinggi dibandingkan bukan
perokok. Penelitian pada perokok pasif masih belum terjawab
namun kemungkinan peningkatan risiko tetap ada.
c. Diet
Banyaknya isu terkait faktor risiko RA salah satunya adalah
makanan yang mempengaruhi perjalanan RA. Dalam penelitian
Pattison dkk, isu mengenai faktor diet ini masih banyak
ketidakpastian dan jangkauan yang terlalu lebar mengenai
jenis
makanannya. Penelitian tersebut menyebutkan daging merah
dapat
-
6
meningkatkan risiko RA sedangkan buah-buahan dan minyak ikan
memproteksi kejadian RA. Selain itu penelitian lain
menyebutkan
konsumsi kopi juga sebagai faktor risiko namun masih belum
jelas
bagaimana hubungannya.
d. Infeksi
Banyaknya penelitian mengaitkan adanya infeksi Epstein Barr
virus (EBV) karena virus tersebut sering ditemukan dalam
jaringan synovial pada pasien RA. Selain itu juga adanya
parvovirus B19, Mycoplasma pneumoniae, Proteus, Bartonella,
dan Chlamydia juga memingkatkan risiko RA.
e. Pekerjaan
Jenis pekerjaan yang meningkatkan risiko RA adalah petani,
pertambangan, dan yang terpapar dengan banyak zat kimia
namun
risiko pekerjaan tertinggi terdapat pada orang yang bekerja
dengan
paparan silica.
2. Faktor hormonal
Hanya faktor reproduksi yang meningkatkan risiko RA yaitu
pada
perempuan dengan sindrom polikistik ovari, siklus menstruasi
ireguler,
dan menarche usia sangat muda.
3. Bentuk tubuh
Risiko RA meningkat pada obesitas atau yang memiliki Indeks
Massa
Tubuh (IMT) lebih dari 30.
2.4 Etiopatogenesis dan Patofisiologi Rheumatoid Arthritis
Penyebab pasti masih belum diketahui secara pasti dimana
merupakan penyakit
autoimun yang dicetuskan faktor luar (infeksi, cuaca) dan faktor
dalam (usia, jenis
kelamin, keturunan, dan psikologis). Diperkirakan infeksi virus
dan bakteri
sebagai pencetus awal RA. Sering faktor cuaca yang lembab dan
daerah dingin
diperkirakan ikut sebagai faktor pencetus.
Patogenesis terjadinya proses autoimun, yang melalui reaksi imun
komplek
dan reaksi imunitas selular. Tidak jelas antigen apa sebagai
pencetus awal,
-
7
mungkin infeksi virus. Terjadi pembentukan faktor rematoid,
suatu antibodi
terhadap antibodi abnormal, sehingga terjadi reaksi imun komplek
(autoimun).
Proses autoimun dalam patogenesis RA masih belum tuntas
diketahui, dan
teorinya masih berkembang terus. Dikatakan terjadi berbagai
peran yang saling
terkait, antara lain peran genetik, infeksi, autoantibodi serta
peran imunitas selular,
humoral, peran sitokin, dan berbagai mediator keradangan. Semua
peran ini, satu
sam lainnya saling terkait dan pada akhirmya menyebabkan
keradangan pada
sinovium dan kerusakan sendi disekitarnya atau mungkin organ
lainnya. Sitokin
merupakan local protein mediator yang dapat menyebabkan
pertumbuhan,
diferensiasi dan aktivitas sel, dalam proses keradangan.
Berbagai sitokin berperan
dalam proses keradangan yaitu TNF α, IL-1, yang terutama
dihasilkan oleh
monosit atau makrofag menyebabkan stimulasi dari sel mesenzim
seperti sel
fibroblast sinovium, osteoklas, kondrosit serta merangsang
pengeluaran enzim
penghancur jaringan, enzim matrix metalloproteases (MMPs) (Putra
dkk,2013).
-
8
Gambar 1. Peranan Imun Adaptif dan Innate dalam Patogenesis
RA
Proses keradangan karena proses autoimun pada RA, ditunjukkan
dari
pemeriksaan laboratorium dengan adanya RF (Rheumatoid Factor)
dan anti-CCP
dalam darah. RF adalah antibodi terhadap komponen Fc dari IgG.
Jadi terdapat
pembentukan antibodi terhadap antibodi dirinya sendiri, akibat
paparan antigen
luar, kemungkinan virus atau bakteri. RF didapatkan pada 75
sampai 80%
penderita RA, yang dikatakan sebagai seropositive. Anti-CCP
didapatkan pada
hampir 2/3 kasus dengan spesifisitasnya yang tinggi (95%) dan
terutama terdapat
pada stadium awal penyakit. Pada saat ini RF dan anti-CCP
merupakan sarana
diagnostik penting RA dan mencerminkan progresifitas penyakit
(Putra dkk,2013).
Sel B, sel T, dan sitokin pro inflamasi berperan penting dalam
patofisiologi
RA. Hal ini terjadi karena hasil diferensiasi dari sel T
merangsang pembentukan
IL-17, yaitu sitokin yang merangsang terjadinya sinovitis.
Sinovitis adalah
peradangan pada membran sinovial, jaringan yang melapisi dan
melindungi sendi.
Sedangkan sel B berperan melalui pembentukan antibodi, mengikat
patogen,
kemudian menghancurkannya. Kerusakan sendi diawali dengan reaksi
inflamasi
dan pembentukan pembuluh darah baru pada membran sinovial.
Kejadian tersebut
menyebabkan terbentuknya pannus, yaitu jaringan granulasi yang
terdiri dari sel
fibroblas yang berproliferasi, mikrovaskular dan berbagai jenis
sel radang. Pannus
tersebut dapat mendestruksi tulang, melalui enzim yang dibentuk
oleh sinoviosit
dan kondrosit yang menyerang kartilago. Di samping proses lokal
tersebut, dapat
juga terjadi proses sistemik. Salah satu reaksi sistemik yang
terjadi ialah
pembentukan protein fase akut (CRP), anemia akibat penyakit
kronis, penyakit
jantung, osteoporosis serta mampu mempengaruhi
hypothalamic-pituitary-
adrenalaxis, sehingga menyebabkan kelelahan dan depresi (Choy,
2012).
-
9
Gambar 2. Patofisiologi Rheumatoid Arthritis
Pada keadaan awal terjadi kerusakan mikrovaskular, edema pada
jaringan di
bawah sinovium, poliferasi ringan dari sinovial, infiltrasi PMN,
dan penyumbatan
pembuluh darah oleh sel radang dan trombus. Pada RA yang secara
klinis sudah
jelas, secara makros akan terlihat sinovium sangat edema dan
menonjol ke ruang
sendi dengan pembentukan vili. Secara mikros terlihat
hiperplasia dan hipertropi
sel sinovia dan terlihat kumpulan residual bodies. Terlihat
perubahan pembuluh
darah fokal atau segmental berupa distensi vena, penyumbatan
kapiler, daerah
trombosis dan pendarahan perivaskuler. Pada RA kronis terjadi
kerusakan
menyeluruh dari tulang rawan, ligamen, tendon dan tulang.
Kerusakan ini akibat
dua efek yaitu kehancuran oleh cairan sendi yang mengandung zat
penghancur
dan akibat jaringan granulasi serta dipercepat karena adanya
Pannus (Putra
dkk,2013).
-
10
2.5 Manifestasi Klinis, Pemeriksaan Penunjang dan Diagnosis
Rheumatoid
Arthritis
2.5.1 Manifestasi Klinis
Keluhan biasanya mulai secara perlahan dalam beberapa minggu
atau
bulan. Sering pada keadan awal tidak menunjukkan tanda yang
jelas.
Keluhan tersebut dapat berupa keluhan umum, keluhan pada sendi
dan
keluhan diluar sendi (Putra dkk,2013).
1. Keluhan umum
Keluhan umum dapat berupa perasaan badan lemah, nafsu makan
menurun, peningkatan panas badan yang ringan atau penurunan
berat badan.
2. Kelainan sendi
Terutama mengenai sendi kecil dan simetris yaitu sendi
pergelangan tangan, lutut dan kaki (sendi diartrosis). Sendi
lainnya
juga dapat terkena seperti sendi siku, bahu
sterno-klavikula,
panggul, pergelangan kaki. Kelainan tulang belakang terbatas
pada
leher. Keluhan sering berupa kaku sendi di pagi hari,
pembengkakan dan nyeri sendi.
3. Kelainan diluar sendi
a. Kulit : nodul subukutan (nodul rematoid)
b. Jantung : kelainan jantung yang simtomatis jarang
didapatkan, namun 40% pada autopsi RA didapatkan kelainan
perikard
c. Paru : kelainan yang sering ditemukan berupa paru
obstruktif dan kelainan pleura (efusi pleura, nodul
subpleura)
d. Saraf : berupa sindrom multiple neuritis akibat
vaskulitis
yang sering terjadi berupa keluhan kehilangan rasa sensoris
di
ekstremitas dengan gejala foot or wrist drop
e. Mata : terjadi sindrom sjogren (keratokonjungtivitis
sika)
berupa kekeringan mata, skleritis atau eriskleritis dan
skleromalase perforans
-
11
f. Kelenjar limfe: sindrom Felty adalah RA dengan
spleenomegali, limpadenopati, anemia, trombositopeni, dan
neutropeni
2.5.2 Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
a. Penanda inflamasi : Laju Endap Darah (LED) dan C-Reactive
Protein (CRP) meningkat
b. Rheumatoid Factor (RF) : 80% pasien memiliki RF positif
namun RF negatif tidak menyingkirkan diagnosis
c. Anti Cyclic Citrullinated Peptide (anti CCP) : Biasanya
digunakan dalam diagnosis dini dan penanganan RA dengan
spesifisitas 95-98% dan sensitivitas 70% namun hubungan
antara anti CCP terhadap beratnya penyakit tidak konsisten
2. Radiologis
Dapat terlihat berupa pembengkakan jaringan lunak,
penyempitan
ruang sendi, demineralisasi “juxta articular”, osteoporosis,
erosi
tulang, atau subluksasi sendi.
2.5.3 Diagnosis
Terdapat beberapa kesulitan dalam mendeteksi dini penyakit RA.
Hal ini
disebabkan oleh onset yang tidak bisa diketahui secara pasti dan
hasil
pemeriksaan fisik juga dapat berbeda-beda tergantung pada
pemeriksa.
Meskipun demikian, penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa
alat
ukur diagnosis RA dengan ARA (American Rheumatism Association)
yang
direvisi tahun 1987 memiliki sensitivitas 91%. Hasil
laboratorium yang
digunakan dalam mendiagnosis RA ditemukan kurang sensitif dan
spesifik.
Sebagai contoh, IGM Rheumatoid Factor memiliki spesifisitas 90%
dan
sensitivitas hanya 54%. (Bresnihan, 2002)
Berikut adalah kriteria ARA (American Rheumatism Association)
yang
direvisi tahun 1987 yang masih dapat digunakan dalam
mendiagnosis RA:
1. Kaku pagi hari pada sendi dan sekitarnya, sekurang-kurangnya
selama
1 jam sebelum perbaikan maksimal.
-
12
2. Pembengkakan jaringan lunak atau persendian (arthritis) pada
3 daerah
sendi atau lebih secara bersamaan.
3. Artritis pada persendian tangan sekurang-kurangnya terjadi
satu
pembengkakan persendian tangan yaitu PIP (proximal
interphalangeal),
MCP (metacarpophalangeal), atau pergelangan tangan.
4. Artritis simetris, keterlibatan sendi yang sama pada kedua
belah sisi
misalnya PIP (proximal interphalangeal), MCP
(metacarpophalangeal),
atau MTP (metatarsophalangeal).
5. Nodul rheumatoid, yaitu nodul subkutan pada penonjolan tulang
atau
permukaan ekstensor atau daerah juksta artikuler.
6. Rheumatoid Factor serum positif
7. Perubahan gambaran radiologis yang khas pada RA pada sendi
tangan
atau pergelangan tangan yaitu erosi atau dekalsifikasi tulang
pada sendi
yang terlibat
Diagnosa RA, jika sekurang-kurangnya memenuhi 4 dari 7 kriteria
di
atas dan kriteria 1 sampai 4 harus ditemukan minimal 6 minggu.
Selain
kriteria diatas, dapat pula digunakan kriteria diagnosis RA
berdasarkan skor
dari American College of Rheumatology (ACR/Eular) 2010. Jika
skor ≥6,
maka pasien pasti menderita RA. Sebaliknya jika skor 10 sendi
kecil
0
1
2
3
5
Serologi (0-3)
RF negatif DAN ACPA negatif
Positif rendah RF ATAU positif rendah ACPA
Positif tinggi RF ATAU positif tinggi ACPA
0
2
3
-
13
Durasi Gejala (0-1)
-
14
yang melumasi antar sendi, sehingga gesekan bisa
terhindarkan.
Konsumsi air yang disrankan adalah 8 gelas setiap hari. (Candra,
2013)
6. Berdasarkan sejumlah penelitian sebelumnya, ditemukan bahwa
merokok
merupakan faktor risiko terjadinya RA. Sehingga salah satu
upaya
pencegahan RA yang bisa dilakukan masyarakat ialah tidak
menjadi
perokok akif maupun pasif. (Febriana, 2015).
2.6.2 Penanganan
Penatalaksanaan pada RA mencakup terapi farmakologi,
rehabilitasi dan
pembedahan bila diperlukan, serta edukasi kepada pasien dan
keluarga.
Tujuan pengobatan adalah menghilangkan inflamasi, mencegah
deformitas,
mengembalikan fungsi sendi, dan mencegah destruksi jaringan
lebih lanjut
(Kapita Selekta,2014).
1. NSAID (Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drug)
Diberikan sejak awal untuk menangani nyeri sendi akibat
inflamasi.
NSAID yang dapat diberikan atara lain: aspirin, ibuprofen,
naproksen,
piroksikam, dikofenak, dan sebagainya. Namun NSAID tidak
melindungi
kerusakan tulang rawan sendi dan tulang dari proses
destruksi.
2. DMARD (Disease-Modifying Antirheumatic Drug)
Digunakan untuk melindungi sendi (tulang dan kartilago) dari
proses
destruksi oleh Rheumatoid Arthritis. Contoh obat DMARD
yaitu:
hidroksiklorokuin, metotreksat, sulfasalazine, garam emas,
penisilamin,
dan asatioprin. DMARD dapat diberikan tunggal maupun
kombinasi
(Putra dkk,2013).
3. Kortikosteroid
Diberikan kortikosteroid dosis rendah setara prednison
5-7,5mg/hari
sebagai “bridge” terapi untuk mengurangi keluhan pasien
sambil
menunggu efek DMARDs yang baru muncul setelah 4-16 minggu.
4. Rehabilitasi
Terapi ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas hidup
pasien.
Caranya dapat dengan mengistirahatkan sendi yang terlibat
melalui
-
15
pemakaian tongkat, pemasangan bidai, latihan, dan sebagainya.
Setelah
nyeri berkurang, dapat mulai dilakukan fisioterapi.
5. Pembedahan
Jika segala pengobatan di atas tidak memberikan hasil yang
diharapkan,
maka dapat dipertimbangkan pembedahan yang bersifat
ortopedi,
contohnya sinovektomi, arthrodesis, total hip replacement,
dan
sebagainya. (Kapita Selekta, 2014)
Tabel 1. DMARD untuk terapi RA
OBAT ONSET DOSIS Keterangan
Sulfasalazin 1-2 bulan 1x500mg/hari/io
ditingkatkan setiap
minggu hingga
4x500mg/hari
Digunakan sebagai lini
pertama
Metotreksat 1-2 bulan Dosis awal 7,5-10
mg/ minggu/IV
atau peroral 12,5-
17,5mg/minggu
dalam 8-12 minggu
Diberikan pada kasus
lanjut dan berat. Efek
samping: rentan infeksi,
intoleransi GIT,
gangguan fungsi hati dan
hematologik
Hidroksiklorokuin 2-4 bulan 400 mg/hari Efek samping:
penurunan
tajam penglihatan, mual,
diare, anemia hemolitik
Asatioprin 2-3 bulan 50-150 mg/hari Efek samping: gangguan
hati, gejala GIT,
peningkatan TFH
D-penisilamin 3-6 bulan 250-750mg/hari Efek samping:
stomatitis,
proteinuria, rash
2.7 Diagnosis Banding Rheumatoid Arthritis
RA harus dibedakan dengan sejumlah penyakit lainnya seperti
artropati reaktif
yang berhubungan dengan infeksi, spondiloartropati seronegatif
dan penyakit
jaringan ikat lainnya seperti Lupus Eritematosus Sistemik (LES),
yang mungkin
-
16
mempunyai gejala menyerupai RA. Adanya kelainan endokrin juga
harus
disingkirkan. Artritis gout jarang bersama-sama dengan RA, bila
dicurigai ada
artritis gout maka pemeriksaan cairan sendi perlu dilakukan.
Selain itu,
osteoartritis juga memiliki kemiripan gejala dengan RA.
2.8 Prognosis Rheumatoid Arthritis
Perjalanan penyakit dari RA ini bervariasi dan juga ditentukan
dari ketaatan
pasien untuk berobat dalam jangka waktu yang lama. Lima puluh
hingga tujuh
puluh lima persen penderita ditemukan mengalami remisi dalam dua
tahun.
Selebihnya dengan prognosis yang lebih buruk. Kejadian
mortalitas juga
meningkat 10-15 tahun lebih awal dibandingkan mereka yang tidak
mengalami
RA. Khususnya pada penderita RA dengan manifestasi yang berat,
kematian dapat
disebabkan oleh infeksi, penyakit jantung, gagal nafas, gagal
ginjal, dan gangguan
saluran cerna. Sekitar 40% pasien RA mengalami hendaya dalam 10
tahun ke
depanya. Penggunaan DMARD kurang dari 12 minggu setelah gejala
awal
menunjukkan hasil remisi yang lebih baik (Kapita Selekta, 2014).
Indikator
prognostik buruk berupa banyak sendi yang terserang, LED dan CRP
tinggi, RF
(+) tinggi dan anti CCP (+), erosi sendi pada awal penyakit dan
sosial ekonomi
rendah.
-
17
BAB IIILAPORAN KASUS
3.1 IDENTITAS PASIEN
Nama : M
Umur : 49 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Suku : Jawa
Agama : Islam
Status Perkawinan : Menikah
Pendidikan Terakhir : SMP
Pekerjaan : Pedagang dan penjaga villa
Alamat : Jl. Goa Gong Br. Kutuh Unggasan Kuta
Badung
Tanggal MRS : 13 September 2015
Tanggal Pemeriksaan Pasien : 17 September 2015
3.2 KELUHAN UTAMA
Nyeri sendi
3.3 RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Pasien datang sadar pada tanggal 13 September 2015 dengan
keluhan nyeri
sendi di lutut kiri dan kanan sejak 2 hari sebelum masuk rumah
sakit (SMRS)
sampai tidak bisa berjalan. Keluhan dikatakan oleh pasien
pertama kali dirasakan
sejak 2 bulan SMRS, semakin hari semakin memberat dan terparah
sejak 2 hari
SMRS. Selain itu, nyeri sendi juga dirasakan di pergelangan
tangan dan jari-jari
tangan kanan dan kiri terutama pada ibu jari, jari telunjuk, dan
jari tengah. Awal
mula keluhan adalah rasa kaku di pangkal jari-jari tangan dan
pergelangan tangan
kanan kiri yang muncul bersamaan pada pagi hari dan berlangsung
kurang dari 30
menit namun semakin hari muncul hingga lebih dari 1 jam. Semakin
lama, pasien
merasa sendi jari-jarinya menjadi bengkak. Selanjutnya nyeri
dirasakan pula di
kedua lutut pasien yang semakin memberat dari hari ke hari,
dimana pasien masih
-
18
bisa menahan dan beraktivitas seperti biasa hingga nyeri yang
dirasakannya
menjadi kemerahan dan bengkak sehingga tidak bisa berjalan.
Kemudian pasien
juga merasakan nyeri di sendi-sendi seluruh badan. Utamanya di
leher, bahu, siku,
dan pinggang. Keluhan tersebut membaik saat pasien beristirahat
dan memberat
saat beraktivitas atau saat sendi digerakkan.
Pasien juga mengeluhkan lemas sejak 1 hari SMRS. Lemas dikatakan
tidak
membaik dengan istirahat. Keluhan demam, sesak, diare, mual,
muntah dan
kekeringan pada mata disangkal pasien. Pasien tidak merasakan
adanya
penurunan nafsu makan dan berat badan dikatakan biasa saja.
Riwayat BAB dan
BAK dikatakan tidak ada masalah dan dalam batas normal.
Riwayat Pengobatan
Sejak keluhan muncul, pasien sempat memeriksakan diri ke dokter
klinik
sebanyak 3 kali. Saat periksa tersebut pasien dicek kadar asam
uratnya dan
dinyatakan normal, pasien juga tidak dijelaskan mengenai jenis
penyakit yang
dideritanya dan hanya diberikan berbagai macam obat mulai dari
obat oral dan
suntik namun pasien mengatakan lupa jenis dan merk obatnya.
Ketika obat habis,
pasien memeriksakan kembali keluhannya yang tidak membaik ke
dokter lainnya.
Pasien juga membeli obat-obatan sendiri seperti tablet penambah
stamina dan
parasetamol. Karena merasa lemas sejak satu hari SMRS, pagi hari
SMRS pasien
meminum tablet penambah stamina dan beberapa saat kemudian
semakin lemas
karena mengganggap mengonsumsi obat tanpa makan terlebih
dahulu.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien sebelumnya tidak pernah mengalami keluhan nyeri sendi
dan
bengkak seperti ini. Riwayat hipertensi, penyakit jantung,
penyakit ginjal, dan
lupus disangkal oleh pasien. Sekitar 2 tahun lalu pasien hanya
pernah MRS di RS
Kasih Ibu karena sakit muntaber.
Riwayat Keluarga
-
19
Tidak ada anggota keluarga yang pernah mengalami keluhan yang
sama.
Riwayat hipertensi, penyakit jantung, penyakit ginjal, dan lupus
pada keluarga
disangkal oleh pasien.
Riwayat Sosial dan Pribadi
Pasien bekerja sebagai pedagang dan penjaga villa. Terkadang
pasien
membuat dan berjualan krupuk di rumahnya, namun tidak sampai
berkeliling
dalam menjajakan dagangannya. Setiap harinya pasien beraktivitas
membersihkan
villa yang satu kawasan dengan rumahnya. Riwayat konsumsi rokok
dan alkohol
disangkal oleh pasien. Pasien hanya memiliki kebiasaan minum
kopi 3 gelas
setiap harinya yang diminum setiap pagi, siang, dan sore. Pasien
tidak memiliki
kebiasaan khusus dalam mengonsumsi makanan karena selalu
berganti-ganti
menu di setiap harinya, pasien menyangkal sering mengonsumsi
daging merah.
Pasien juga tidak terlalu sering makan sayur-sayuran dan
buah-buahan.
3.4 PEMERIKSAAN FISIK (17 September 2015)
Status Present
Keadaan Umum : Sedang
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : E4V5M6
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 88 x/menit reguler
Respirasi : 20 x/menit
Temperatur : 36,5ºC
BB / TB : 45 kg / 152 cm
BMI : 19,47 kg/m2
Satus Gizi : Baik
VAS : 3/10 (nyeri sendi)
Status General
Mata : anemis (-/-), ikterus (-/-), refleks pupil (+/+)
isokor,
edema palpebra (-/-)
THT : dalam batas normal,
-
20
Leher : pembesaran kelenjar limfe (-)
Thoraks : simetris
Cor: Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis tidak teraba
Perkusi : batas atas jantung ICS II, batas kanan jantung
parasternal line dekstra, batas kiri jantung
midclavicular line sinistra ICS V
Auskultasi : S1 S2 tunggal, reguler, murmur (-)
Pulmo:Inspeksi : Simetris saat statis & dinamis, retraksi
(-)
Palpasi : Vokal fremitus N|N
N|N
N|N
Perkusi : sonor | sonor
sonor | sonor
sonor | sonor
Auskultasi : vesikuler +|+, ronkhi -|-, wheezing -|-
+|+, -|-, -|-
+|+, -|-, -|-
Abdomen
Inspeksi : Distensi (-),
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Nyeri tekan (-), hepar tidak teraba, lien tidak
teraba
Perkusi : Timpani
Ekstremitas : Hangat +|+ edema -|-
+|+ -|-
Status Lokalis
Sendi Proximal Interphalangeal (PIP) digiti I, II, III dekstra
dan sinistra
Inspeksi : eritema (-), edema (+), kontraktur(-),nodul
rematoid(-)
-
21
Palpasi : hangat (+), nyeri tekan (+)
ROM : terbatas
Sendi Genu Dekstra dan Sinistra
Inspeksi : eritema (+), edema (+), kontraktur (-)
Palpasi : hangat (+), nyeri tekan (+), bulging (-), krepitasi
(-)
ROM : terbatas
3.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah Lengkap (13 September 2015)
Kimia Klinik (13 September 2015)
Pemeriksaan Hasil Satuan Normal RemarksWBC 13,31 103µL
4,10-11,00 Tinggi% NEUT 81,8 % 47,00-80,00 Tinggi% LYMPH 9,2 %
13,00-40,00 Rendah%MONO 6,3 % 2,00-11,00% EOS 1,6 % 0,00-5,00% BASO
0,1 % 0,00-2,00#NEUT 10,89 103µL 2,50-7,50 Tinggi#LYMPH 1,23 103µL
1,00-4,00#MONO 0,84 103µL 0,10-1,20#EOS 0,21 103µL 0,00-0,50#BASO
0,02 103µL 0,00-0,10RBC 4,69 106µL 4,00 – 5,20Hemoglobin 11,1 g/dL
12,00-16,00 RendahHematokrit 38,0 % 36,00-46,00Platelet 426 103µL
140,00-440,00MCV 81,0 fL 80,00-100,00MCH 23,6 Pg 26,00-34,00MCHC
29,2 g/dL 31,00-36,00RDW 11,4 % 11,60-14,80 RendahMPV 5,3 fL
6,80-10,00 Tinggi
-
22
Urinalisis (13 September 2015)
Hematologi (13 September 2015)
Hematologi (15 September 2015)
Imunologi (15 September 2015)
Kimia Klinik (15 September 2015)
Pemeriksaan Hasil Satuan Normal RemarksSGOT 11,8 U/L 11-27SGPT
10,5 U/L 11,00-34,00 RendahAlbumin 3,14 g/dL 3,40-4,80 RendahBS
Acak 110 mg/dL 70,00-140,00BUN 6 mg/dL 8,00-23,00 RendahCreatinin
0,54 mg/dL 0,50-0,90Uric acid 2,9 mg/dL 2,00-5,70Natrium (Na) 132
mmol/L 136-145 RendahKalium (K) 3,08 mmol/L 3,50-5,10 rendah
Pemeriksaan Hasil Satuan Normal RemarksSpecific gravity 1,005
NegatifPH 7 7,35-7,45 RendahLeucocyte Negatif leuco/uL
NegatifNitrite Negatif NegatifProtein (urine) Negatif mg/dL
NegatifGlukosa (urine) Normal mg/dL NormalKET Negatif
NegatifUrobilinogen Normal mg/dL NormalBilirubin (urine) Negatif
mg/dL NegatifERY 25 (++) Ery/uL NegatifColour Amber
p-yellow-yellow
Pemeriksaan Hasil Satuan Normal RemarksLED I 30 Mm 0-2 TinggiLED
II 60 Mm 2-11 Tinggi
Pemeriksaan Hasil Satuan Normal RemarksLED I 1 Mm 0-2LED II 14
Mm 2-11 Tinggi
Pemeriksaan Hasil Satuan Normal RemarksRF (Kuantitatif) 16
-
23
Pemeriksaan Radiologi (13 September 2015)
Foto Thorax AP:
Cor : kesan membesar
Pulmo : tak tampak infiltrat/nodul
Sinus pleura kanan kiri tajam
Diaphragma kanan kiri normal
Tulang-tulang tidak tampak kelainan
Kesan : cardiomegaly
Pulmo tak tampak kelainan
Pemeriksaan Hasil Satuan Normal RemarksCRP(Kuantitatif)
71,4 mg/L 0,00-5,00 Tinggi
-
24
Foto Manus Kanan-Kiri AP/Oblique:
Tampak non-union fraktur avulsi processus styloideus os ulna
kiri
Trabekulasi tulang normal
Celah dan permukaan sendi baik
Tak tampak erosi/destruksi tulang
Tak tampak soft tissue mass/swelling
Kesan : non-union fraktur avulsi processus styloideus os ulna
kiri
Tulang-tulang manus kanan tak tampak kelainan
-
25
Foto Genu Kanan-Kiri AP/Lateral:
Aligment baik
Tampak osteophyte pada condylus lateralis et medialis dan
eminentia
intercondylaris os tibia kanan-kiri, margo posteroinferior os
patella kanan-
kiri
Trabekulasi tulang normal
Celah dan permukaan sendi baik
Tak tampak erosi/destruksi tulang
Tampak soft tissue swelling regio genu kanan-kiri
Kesan : osteoarthritis genu bilateral grade I
(Kellgren-lawrence)
Soft tissue swelling regio genu kanan-kiri
-
26
Foto Pedis Kanan-Kiri AP/Lateral:
Aligment b2aik
Tak tampak garis fraktur/dislokasi
Trabekulasi tulang normal
Celah dan permukaan sendi baik
Tak tampak erosi/destruksi tulang
Tak tampak soft tissue mass/swelling
Kesan : Tulang-tulang pedis kanan-kiri tak tampak kelainan
3.6 DIAGNOSIS
- Rheumatoid Arthritis dd SLE
- Secondary Osteoarthritis Genu D et S
3.7 PLANNING
Terapi
IVFD NS 20 tpm
Paracetamol 4x750mg io
-
27
Na diclofenac 3x50mg io
Metotrexat 1x7,5mg io
Diet tinggi kalori tinggi protein
Kompres hangat
Diagnostik
Analisis synovial fluid
Monitoring:
Keluhan
Tanda vital : Kesadaran, Tekanan Darah, Nadi, Suhu,
Respirasi
CM-CK
3.8 Prognosis
Vitally : dubius ad bonam
Functionally : dubius ad bonam
Sanationum : dubius ad bonam
-
28
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Alur Kunjungan
Kunjungan dilakukan pada hari Kamis tanggal 17 September 2015
ke
tempat tinggal pasien yang berada di Jalan Goa Gong, Jimbaran,
Badung.
Pasien beserta keluarganya menyambut dengan baik.
Prinsip-prinsip umum
pengelolaan Rheumatoid Arthritis tidak hanya terbatas pada
terapi
farmakologis, namun juga memerlukan terapi non-farmakologis
yaitu
pendekatan bio-psiko-sosial. Kunjungan dilakukan ke rumah pasien
untuk
mengidentifikasi masalah, mengamati kondisi pasien dengan turun
langsung
ke lapangan, menemukan permasalahan yang ada, serta mencari
penyelesaiannya. Saat melakukan kunjungan ke rumah pasien,
keluhan pasien
sudah lebih membaik dibandingkan dengan saat di rumah sakit.
Adapun
intervensi yang dilakukan yaitu:
a. Edukasi untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman pasien
beserta
keluarganya tentang Rheumatoid Arthritis.
b. Menyadarkan pasien beserta keluarganya akan pentingnya
menjaga
kesehatan dengan memenuhi kebutuhan nutrisi serta beraktivitas
dengan
baik.
4.2 Daftar Permasalahan
Adapun permasalahan yang masih menjadi kendala pasien dalam
hal
menghadapi penyakitnya antara lain:
1. Pasien kurang peduli dengan masalah kesehatan yang
dialaminya, dalam
hal ini penyakit Rheumatoid Arthritis yang dimilikinya. Pasien
tidak
mengetahuinya sampai pasien menimbulkan gejala yang berat.
2. Pasien masih kurang paham tentang penyakitnya, meliputi
faktor resiko dan
gejala-gejalanya.
-
29
3. Kepatuhan pasien dalam minum obat dan pengaturan jenis
makanan
sehari – hari kurang.
4. Masalah biaya pengobatan pasien. Awalnya pasien bingung
tentang biaya
pengobatannya, dan pasien belum sempat mengurus asuransi karena
pasien
tidak memiliki KTP Bali.
4.3 Analisis Kebutuhan
4.3.1 Kebutuhan Fisik-Biomedis
1. Kecukupan Gizi
Menurut pengakuan pasien, dalam sehari pasien makan 3 kali
sehari
dengan uraian menu untuk sarapan berupa nasi putih , lauk pauk
,air
dan kopi. Untuk makan siang dan malam menunya hampir sama
kecuali pada siang dan malam hari pasien tidak mengonsumsi kopi
.
Pasien mengatakan lebih sering memasak sendiri karena pasien
biasanya membuka warungnya pukul 9 pagi
Menu makanan pasien berisi nasi putih sebagai sumber
karbohidrat,
berisi sayur sebagai sumber serat, berisi telur ayam, daging
ayam, dan
tahu tempe sebagai sumber protein. Untuk buah-buahan pasien
mengaku jarang memakan buah-buahan, pasien biasanya membeli
buah apabila ke pasar. Pasien juga jarang membeli
makanan-makanan
camilan, namun kadang-kadang anak pasien membelikan makanan
untuk pasien. Pasien mengatakan tidak memiliki riwayat
alergi
makanan tertentu.
Analisis Kebutuhan Kalori
Kebutuhan kalori pasien dapat dihitung dengan menggunakan
rumus
Broca dengan pertama-tama menentukan berat badan ideal.
Berat Badan Ideal (BBI) = [tinggi badan (cm) - 100] x 1 kg ±
10%
= (152 - 100) x 1 kg ± 10%
= 42-62 kg
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik berat badan pasien saat ini
adalah
45 kg &BMI = 19,47 pasien termasuk kategori normal.
-
30
Kebutuhan Kalori Basal
Jenis kelamin perempuan:
= berat badan (kg) x 25 kalori/kgBB
= 45x 25 kalori/kg
= 1125 kalori
KoreksiTingkat aktivitas sedang =20% x KKB
= 20% x 1125 kalori
= 225 kalori
Total kebutuhan kalori per hari = (KKB - koreksi umur +
koreksi tingkat aktivitas)
kalori/hari
= (1125 – 56,25 + 225)kalori/hari
= 1293,75,5kalori/hari
Untuk Memudahkan penghitungan maka dipakai kebutuhan kalori
penderita adalah 1300 kalori/hari
Distribusi Makanan
Jumlah kalori per hari pasien ini dibagi dalam 3 porsi makan
utama
dan 2 porsi makanan selingan, yaitu:
a. Makan pagi : 20% x 1300 kalori = 260 kalori
b. Makan siang : 30% x 1300 kalori = 390 kalori
c. Makan malam : 25% x 1300 kalori = 325 kalori
d. Asupan di sela makan pagi dan siang : 15% x 1300 = 195
kalori
e. Asupan di sela makan siang dan malam : 10% x 1300 = 130
kalori
a. Distribusi makanan berdasarkan komponen makanan adalah:
Waktu Total Karbohidrat Protein Lemak
-
31
makan (50% x kalori) (20% x kalori) (30% x kalori)
Makan Pagi 260 kalori 130 kalori 52 kalori 78 kalori
Makan Siang 390 kalori 195 kalori 78 kalori 117 kalori
Makan Malam 325 kalori 162,5 kalori 65 kalori 97,5 kalori
Selingan 1 195 kalori
Selingan 2 130 kalori
Perhitungan Nutrisi Pada Pasien
Jenis Jumlah Satuan
Penukar
Jumlah Kalori Total
Karbohidrat
Nasi
Roti
Lainnya
Protein Hewani
-Telur
Protein Nabati
-Tahu
-Tempe
Sayur
3 piring
1
-
1 butir
2 potong
2 potong
1/2 piring
1 1/2 gelas
-
-
1 butir
2 biji besar
2 potong
sedang
600
150
-
95
160
160
200
Perhitungan jumlah nutrisi total yang dikonsumsi pasien =1365
kalori di
mana sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan energi pasien.
Kegiatan fisik
Pasien memiliki aktivitas yang tidak terlalu sibuk.Setiap hari
pasien bangun pada
pukul 6.00 untuk memasak bahan dagangan dan menyiapkan sarapanj.
Setelah itu
pasien dan suami sarapan bersama. Setelah itu pasien pergi ke
warung-warung
yang berjarak sekitar ±2 Km dari rumah pasien untuk menitipkan
barang
dagannya. Kemudian pasien melanjutkan pekerjaan rumahnya seperti
menyapu,
mencuci pakaian dan menyetrika dan kemudian membantu
suaminya
membersihkan villa di sebelah rumah pasien. Pasien biasanya
makan siang dijeda
-
32
jam bekerjanya antara pukul 13.00 – 14.00. setelah makan siang
pasien dan suami
biasanya beristirahat sejenak seperti tidur siang atau
bercerita-bercerita dengan
suami sambil mengkonsumsi kopi. dan pukul 16.00 pasien
melanjutkan
membersihkan villa. Pada malam harinya pasien dan suami mulai
tidur pukul
22.00 WITA.
Lingkungan
Pasien tinggal disebuah rumah bersama suaminya. Dalam satu
pekarangan terdapat 2 kamar yaitu 1 kamar tidur dan 1 kamar
lagi
dijadikan sebagai tempat penyimpanan barang-barang kerjaan
pasien.
Kamar berukuran 3 x 3 m2, 1 pintu masuk setiap kamar tanpa
jendela,
serta 1 dapur dan 1 kamar mandi di luar rumah. Lantai kamar
terbuat dari
keramik, tembok batako, dan beratapkan genteng. Kamar pasien
terkesan
tidak rapi karena memang luasnya yang sempit dan terdapat
banyak
sekali barang-barang yang dimiliki pasien tetapi tidak tertata.
Baju-baju
kotor dan baju berantakan disekitar kamar.Di depan kamar
pasien
terdapat ruang keluargan yang berisi sebuat TV dan beraslaskan
oleh tiker.
Dapur pasien menjadi satu dengan rumah pasien berisikan
tempat
menaruh peralatan dapur serta kompor gas kecil, dibawahnya
terdapat
tong sampah. Dapur terkesan cukup bersih dan rapi. Kamar
mandi
letaknya dibelakang dapur. Sumber air MCK untuk pasien adalah
dari air
PAM sedangkan sumber air minum adalah air galon. Keadaan
rumah
disebelah pasien kanan dan kiri kamar pasien apabila dilihat
dari luar
terkesan tidak rapi. Halaman rumah tidak begitu luas, halaman
ini
dipergunakan oleh penghuni rumah sebagai tempat parkir motor.
Pasien
memiliki binatang peliharaan yaitu tiga ekor burung.
Pembuangan
sampah menggunakan tempat. Disekitar rumah pasien tidak ada
penghuni
lain. Jarak rumah pasien menuju kawasan perumahan lain sekitar
1,5 km.
Hubungan pasien dengan tetangga lainnya terlihat baik, dimana
saling
bertegur sapa dan bercanda dan pasien juga sering menitipkan
barang
daganganny ke tetangganya.
4.3.2 Kebutuhan bio-psikosoial
-
33
1. Lingkungan biologis
Pasien dengan berat badan 45 kg dan dengan tinggi badan 152
cm,
dengan BMI pasien sebesar 19,47 kg/m2. Berat badan ideal
pasien
adalah ( TB – 100 ) = 52 kg. Dari pengakuan pasien, pola
makan
cenderung teratur dan baik. Menu makan pasien sehari-hari
berupa
sarapan nasi putih serta lauk pauk dan kopi, makan siang dan
makan
malam berupas nasi serta lauk pauk , dimana dilengkapi dengan
lauk
sayur dan daging.Pasien juga mengatakan meminum air mineral
yang
cukup, yaitu sekali minumnya 2 gelas, dan biasanya pasien
minum
lebih dari 8 gelas setiap harinya.Pasien mengatakan selalu
mencuci
tangan sebelum dan sesudah makan, namun terkadang pasien
tidak
mencuci tangan dengan baik dan hanya membahsahi tangannya
sebelum makan. Pasien mencuci tangan dengan sabun apabila
tangan
pasien benar-benar kotor. Dalam lingkungan biologis atau
keluarga
pasien tidak ada yang pernah mengalami keluhan yang sama
sebelumnya, ataupun mengalami keluhan yang serupa dengan
pasien
saat ini.
2. Faktor psikososial
Secara psikososial, pasien tidak memiliki masalah dengan
lingkungan
sosial sekitarnya. Pasien memiliki hubungan harmonis dengan
keluarga, pasien selalu menyempatkan waktu untuk
bercerita-bercerita
dengan keluarga pada malam hari sambil menonton TV. Hubungan
pasien dengan tetangga juga cukup baik.Berdasarkan
penghasilan
keluarga dan pasien sendiri, keluarga termasuk ke dalam
ekonomi
menengah.
4.2 Pemecahan Masalah dan Saran
4.4.1 Pemecahan masalah
Dari beberapa fokus permasalahan yang telah kami jabarkan pada
sub bab
sebelumnya, kami mengusulkan penyelesaian masalah sebagai
berikut :
1. Meningkatkan edukasi dan informasi pasien tentang
penyakitnya.
-
34
Untuk mencari penyelesaian dalam masalah pertama, solusi
yang
kami berikan yaitu berupa penjelasan dan pemberian informasi
seputar
penyakit yang meliputi :
a. Gejala dari Reumatoid Atritis
Kaku di pagi hari di persendian kurang dari 1 jam sebelum
ada perbaikan maksimal.
Timbul artiris pada 3 daerah persendian atau lebih yang
timbul secara bersamaan dan biasanya terkenanya simetris
atau di kedua pergelangan.
Dapat ditemukan adanya tanda-tanda peradangan pada
persendian seperti kemerahan, bengkak, panas maupun
nyeri.
Gejala yang tidak khas seperti adanya demam, kelemahan
dan penurunan berat badan.
Dapat di temukan adanya penonjolan di bawah kulit pada
tulang yang menonjol seperti di lutut.
b. Penyebab dan Faktor Resiko Artritis Reumatoid
Penyebab pasti masih belum diketahui secara pasti dimana
merupakan penyakit autoimun yang dicetuskan faktor luar
(infeksi, cuaca) dan faktor dalam (usia, jenis kelamin,
keturunan, dan psikologis). Diperkirakan infeksi virus dan
bakteri sebagai pencetus awal RA. Sering faktor cuaca yang
lembab dan daerah dingin diperkirakan ikut sebagai faktor
pencetus.
Faktor resiko dari arthritis rheumatoid ada 2 yaitu dapat
dimidifikasi seperti pekerjaan, merokok, makanan (sering
makan daging), kopi, status ekonomi. Dan yang tidak dapat
dimodifikasi seperti genetic, jenis kelamin dan usia.
c. Beberapa tindakan pencegahan yang dapat dilakukan :
Dari manusia sebagai host
Pencegahan dapat berupa meningkatkan kondisi pertahan
tubuh/imunitas pasien dengan mengkonsumsi makanan
-
35
dengan nutrisi yang seimbang dan rajin melakukan
olahraga atau aktivitas fisik yang sesuai untuk RA.
Dari agen penyebab RA
Karena penyebab dari arthritis rheumatoid masih belum
diketahui penyebabnya
Diare paling sering diakibatkan oleh bakteri yang
mengkontaminasi makanan atau minuman yang
dikonsumsi.Memasak makanan dengan baik sebelum
dimakan, dan memasak air minum dengan benar sebelum
diminum berperan penting dalam meminimalisir
kontaminasi bakteri pada makanan dan minuman. Selain itu
kebiasaan mencuci tangan sebelum makan dapat
mengurangi resiko terjangkit penyakit diare.Tangan dapat
berisi berbagai jenis bakteri yang dapat menyebabkan
penyakit, apabila tidak dicuci dengan benar, bakteri
tersebut dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui
makanan yang kita pegang saat makan.
Dari lingkungan
Memberikan penjelasan dan informasi untuk selalu
menjaga kebersihan lingkungan, termasuk kebersihan alat
makan, dan kamar mandi.
4.3.2 Kebutuhan Bio-Psiko-Sosial
a. Lingkungan Biologis
Dalam lingkungan keluarga pasien tidak ada yang mengalami
keluhan yang sama dengan pasien saat ini ataupun penyakit
sistemik lain.
Kondisi rumah pasien sudah cukup terjaga kebersihannya.
Kualitas kehidupan sehari-hari pasien dikatakan cukup baik,
karena pasien bisa melakukan semua aktivitas dasar seperti
makan,
minum, membersihkan diri, mengontrol BAB dan BAK tanpa ada
masalah dan tidak perlu bantuan.
-
36
b. Faktor Psikologis dan Sosial
Dalam keadaan sakit ini pasien sangat membutuhkan pengertian
dan dukungan dari keluarga dalam menjalani aktivitas sehari-hari
dan
menjalani pengobatannya termasuk untuk minum obat setiap harinya
dan
pengaturan dietnya. Pasien saat ini tinggal bersama suaminya.
Dimana
suami dan anak-anak pasien sangat memperhatikan perkembangan
kondisi pasien. Pasien mengaku terkadang merasa jenuh karena
aktivitasnya yang terbatas. Hubungan pasien dengan tetangga
terlihat baik,
dari cara mereka saling bertegur sapa dan bercerita satu sama
lain.
4.4 Pemecahan Masalah
Dari beberapa permasalahan yang telah kami jabarkan
sebelumnya,
kami mengusulkan penyelesaian masalah sebagai berikut:
2. Edukasi pasien dan keluarga tentang penyakitnya.
Pasien dijelaskan bahwa gagal ginjal kronik merupakan
penyakit
seumur hidup yang terapi definitifnya adalah transplantasi
ginjal. Namun,
untuk saat ini pasien harus menjalani terapi pengganti yaitu
melakukan
hemodialisis reguler setiap minggu. Diberi tahu juga bahwa
penyakitnya
tersebut tidak bisa sembuh karena merupakan suatu kelainan
ginjal yang
bisa disebabkan oleh berbagai hal seperti genetik, infeksi, atau
penyakit
sistemik lainnya, tetapi bisa dikontrol agar tidak memberat
dengan
melakukan hemodialisis secara rutin. Dengan menjelaskan
keadaan
penyakitnya kepada pasien, diharapkan akan meningkatkan
kepatuhan
pasien dan pasien tidak bosan berobat. Memberikan penjelasan
bahwa rasa
lemah yang dialami pasien adalah karena anemia yang dialami
pasien.
Memberikan informasi faktor resiko yang kemungkinan terjadi
pada
pasien. Tekanan darah tinggi yang berkelanjutan dapat merusak
atau
mengganggu pembuluh darah halus dalam ginjal yang lama
kelamaan
dapat mengganggu kemampuan ginjal untuk menyaring darah.
Dengan
mengendalikan tekanan darah maka risiko terjadinya kerusakan
ginjal
yang lebih parah dapat dicegah.
Memberikan informasi kepada pasien dan keluarganya bahwa
untuk dapat mengendalikan penyakitnya, diperlukan kombinasi
antara
-
37
terapi gizi, medis, latihan jasmani, dan intervensi
farmakologis. Pasien
juga dapat berperan aktif dalam pemantauan gula dan tekanan
darahnya
secara mandiri serta menginformasikan kepada pasien mengenai
target
pencapaian yang diharapkan.
3. Biaya Pengobatan
Karena pasien harus rutin mendapatkan hemodialisis dan obat-
obatan untuk penyakitnya, tentunya memerlukan biaya yang tidak
sedikit.
Hal ini diatasi oleh pasien dengan memakai BPJS Kesehatan.
Karena
pasien sudah terdaftar di BPJS Kesehatan, jadi biaya
pengobatannya pun
ditanggung BPJS Kesehatan.
4. Edukasi pasien tentang kontrol dan hemodialisis
Kontrol ke RSUP Sanglah secara reguler dan teratur, dan
selalu
terbuka serta rajin melaporkan perkembangan penyakit serta
keluhannya
kepada dokter. Kontrol dilakukan untuk mengecek tekanan darah
dan
melakukan hemodialisis. Memberikan saran pada pasien yang
melakukan
hemodialisis di RSUP Sanglah agar menjaga kondisi tubuhnya,
sehingga
pasien dapat menghindari terjadinya infeksi yang didapat di
rumah sakit
sehingga mencegah perburukan kondisi pasien. Pasien juga harus
proaktif
dalam bertanya mekanisme pemesanan jadwal hemodialisis baik itu
melalui
petugas kesehatan yang bertugas di poliklinik penyakit dalam
ataupun di
ruang hemodialisis.
5. Dukungan keluarga
Pasien disarankan untuk berkomunikasi secara rutin dengan
keluarganya mengenai kehidupan sehari-hari dan terutama
perkembangan
penyakitnya, dengan demikian pasien mendapatkan dukungan
emosional
dari keluarga dan keluarga bisa dengan sigap terhadap kondisi
pasien.
Sesekali keluarga juga dapat mengajak pasien keluar jalan-jalan
keluar
untuk refreshing.
6. Pola makan yang teratur
-
38
Menjelaskan pada pasien bahwa kunci keberhasilan dari
pengobatan CKD adalah dalam pengaturan pola hidup dimana
didalamnya
termasuk juga pola makan pasien. Beri saran kepada pasien untuk
tetap
menerapkan pola hidup sehat dan pola makan yang teratur sesuai
dengan
diet CKD. Beri tahu juga kepada pasien dan keluarga agar
mengatur
makanannya agar menjadi makanan seimbang dengan gizi yang
cukup.
Pola makan yang teratur ini dengan tujuan mempertahankan
kondisi
optimal dari pasien sehingga tidak muncul infeksi atau
komplikasi dari
penyakitnya.
-
39
BAB V
SIMPULAN
Pasien laki-laki WKS berumur 57 tahun bertempat tingal di Jalan
Gurita
IV gang Pari no. 21 Denpasar. Pasien terdiagnosa gagal ginjal
sejak 25 Maret
2015 dan sudah menjalani hemodialisis pasien sedang menunggu
hasil
pemeriksaan saat pasien kontrol kembali tanggal 15 April 2015.
Pasien
merupakan seorang pensiunan PNS yang tinggal bersama seorang
istri dan 3
orang anaknya.
Permasalahan yang masih menjadi kendala pasien antara lain
Pasien
awalnya kurang peduli dengan masalah kesehatan yang dialaminya,
pasien juga
belum memahami jika memerlukan pengobatan CKD untuk seumur
hidup, pasien
masih kurang paham tentang penyakitnya, dan sebelum sakit pasien
mengaku
jarang berolahraga karena tidak memiliki waktu. Maka dari itu
berdasarkan
analisis kondisi pasien saat ini, penulis mengusulkan beberapa
penyelesaian
masalah yakni edukasi pasien dan keluarga tentang penyakitnya,
edukasi pasien
tentang kontrol kondisi kesehatan, dukungan keluarga dan pola
makan yang
teratur
-
40
BAB IV
PEMBAHASAN
Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit autoimun progresif
dengan
inflamasi kronik yang menyerang sistem muskuloskeletal namun
dapat
melibatkan organ dan sistem tubuh secara keseluruhan, yang
ditandai dengan
pembengkakan, nyeri sendi serta destruksi jaringan sinovial yang
disertai
gangguan pergerakan. RA merupakan penyakit autoimun dimana
etiologinya
masih belum jelas namun terdapat beberapa faktor risiko yang
dapat memicu
terjadinya RA. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi
adalah adanya faktor
genetik, jenis kelamin perempuan, dan usia diatas 40 tahun. Pada
faktor risiko
yang dapat dimodifikasi, terdapat faktor gaya hidup yang
meliputi sosial ekonomi
yang rendah, merokok terutama yang lebih dari 10 tahun, diet
tinggi daging merah
dibanding sayur-sayuran dan buah-buahan, adanya infeksi virus
maupun bakteri,
dan pekerjaan yang terpapar zat kimia utamanya silica ataupun
pestisida seperti
pada petani dan pekerja tambang, dan bentuk tubuh obesitas
memperburuk faktor
risiko.
Pada pasien ini merupakan perempuan berusia 49 tahun dengan
faktor
predisposisi genetik yang tidak diketahui karena pasien
menyangkal adanya
riwayat keluarga yang menderita keluhan yang sama dan tidak
dilakukan
pemeriksaan genetika. Pasien berpendidikan akhir sebagai lulusan
SMP dan
bekerja sebagai penjaga villa dan pedagang yang memiliki
penghasilan pas-pasan
dalam menghidupi kebutuhan sehari-hari. Selama bekerja pasien
jarang
menghirup zat kimia seperti pestisida atau zat kimia lainnya.
Pasien menyangkal
memiliki kebiasaan merokok dan minum alkohol. Pasien juga
memiliki kebiasaan
konsumsi makanan yang biasa saja dan menyangkal sering makan
daging merah
karena keterbatasan ekonomi. Pasien mengakui jika jarang
mengonsumsi buah-
buahan. Pasien memiliki status gizi cukup.
Manifestasi klinis RA meliputi keluhan umum, kelainan sendi, dan
kelainan
diluar sendi. Keluhan umum dapat berupa perasaan badan lemah,
nafsu makan
menurun, peningkatan panas badan yang ringan atau penurunan
berat badan.
-
41
Keluhan sering berupa kaku sendi di pagi hari, pembengkakan dan
nyeri sendi.
Terutama mengenai sendi kecil dan simetris yaitu sendi
pergelangan tangan, lutut
dan kaki (sendi diartrosis). Sendi lainnya juga dapat terkena
seperti sendi siku,
bahu sterno-klavikula, panggul, pergelangan kaki. Kelainan
tulang belakang
terbatas pada leher. Dan kelainan diluar sendi dapat meliputi
kelainan pada kulit
yaitu nodul rematoid, kelainan jantung, paru, saraf, mata, dan
kelenjar limfe.
Pasien ini mengeluhkan nyeri sendi lutut kanan dan kiri hingga
tidak bisa
berjalan. Pasien juga mengeluhkan kaku dan nyeri sendi di
jari-jari tangan
terutama di ibu jari, jari telunjuk, dan jari tengah serta
pergelangan tangan kanan
dan kiri. Nyeri dirasakan sejak 2 bulan SMRS dan semakin lama
semakin
memburuk. Pasien juga mengeluhkan badan yang lemas sejak 1 hari
SMRS.
Demam, sesak, diare, kekeringan pada mata, penurunan nafsu makan
dan berat
badan disangkal pasien.
Pemeriksaan penunjang pada pasien RA ditemukan pada hasil
laboratorium
yaitu penanda inflamasi Laju Endap Darah (LED) dan C-Reactive
Protein (CRP)
meningkat. Kemudian adanya Rheumatoid Factor (RF) positif namun
RF negatif
tidak menyingkirkan diagnosis. Dan Anti Cyclic Citrullinated
Peptide (anti-CCP)
yang positif namun hubungan antara anti-CCP terhadap beratnya
penyakit tidak
konsisten. Dari hasil pemeriksaan radiologis dapat terlihat
berupa pembengkakan
jaringan lunak, penyempitan ruang sendi, demineralisasi “juxta
articular”,
osteoporosis, erosi tulang, atau subluksasi sendi.
Hasil laboratorium pasien ini pada saat masuk RS (13/9/2015)
menunjukkan
LED meningkat dengan hasil LED I 30mm dan LED II 60mm. Hasil CRP
juga
meningkat dengan hasil 71,4 mg/L. Selain itu RF juga mengalami
peningkatan
yaitu dengan hasil 16 dan tidak dilakukan pemeriksaan anti-CCP.
Dari hasil
pemeriksaan radiologis didapatkan gambaran osteoarthritis dan
soft tissue
swelling pada kedua sendi lutut.
Penegakan diagnosis berdasarkan kriteria ARA tahun 1987 pada
pasien ini
terpenuhi karena trdapat minimal 4 kriteria dari 7 kriteria dan
telah berlangsung
lebih dari 6 minggu. Sedangkan pada kriteria ACR tahun 2010,
pasien ini
memenuhi kriteria karena memiliki skor lebih dari 6. Uraian
masing-masing
kriteria diagnosis dijabarkan sebagai berikut:
-
42
No Kriteria Diagnosis ARA tahun 1987 Skor
1 Kaku pagi hari pada sendi dan sekitarnya, sekurang-
kurangnya selama 1 jam sebelum perbaikan maksimal.
√
2 Pembengkakan jaringan lunak atau persendian (arthritis)
pada 3 daerah sendi atau lebih secara bersamaan.
√
3 Artritis pada persendian tangan sekurang-kurangnya terjadi
satu pembengkakan persendian tangan yaitu PIP (proximal
interphalangeal), MCP (metacarpophalangeal), atau
pergelangan tangan.
√
4 Artritis simetris, keterlibatan sendi yang sama pada kedua
belah sisi misalnya PIP (proximal interphalangeal), MCP
(metacarpophalangeal), atau MTP (metatarsophalangeal).
√
5 Nodul rheumatoid, yaitu nodul subkutan pada penonjolan
tulang atau permukaan ekstensor atau daerah juksta
artikuler.
-
6 Rheumatoid Factor serum positif, √
7 Perubahan gambaran radiologis yang khas pada RA pada
sendi tangan atau pergelangan tangan yaitu erosi atau
dekalsifikasi tulang pada sendi yang terlibat
-
Kriteria Diagnosis ACR tahun 2010
Distribusi Sendi (0-5) Skor Skor Pasien
1 sendi besar
2-10 sendi besar
1-3 sendi kecil (sendi besar tidak diperhitungkan)
4-10 sendi kecil (sendi besar tidak diperhitungkan)
>10 sendi kecil
0
1
2
3
5
3
Serologi (0-3)
RF negatif DAN ACPA negatif
Positif rendah RF ATAU positif rendah ACPA
Positif tinggi RF ATAU positif tinggi ACPA
0
2
3
3
-
43
Durasi Gejala (0-1)
-
44
BAB V
SIMPULAN
Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit autoimun progresif
dengan
inflamasi kronik yang menyerang sistem muskuloskeletal namun
dapat
melibatkan organ dan sistem tubuh secara keseluruhan, yang
ditandai dengan
pembengkakan, nyeri sendi serta destruksi jaringan sinovial yang
disertai
gangguan pergerakan diikuti dengan kematian prematur. Terdapat
banyak faktor
risiko terjadinya RA diantaranya ada yang bersifat tidak dapat
dimodifikasi
(genetik, ras, jenis kelamin, dan usia) dan yang dapat
dimodifikasi (gaya hidup,
infeksi, dan bentuk tubuh). Manifestasi klinis RA dapat berupa
keluhan umum,
kelainan sendi, dan kelainan diluar sendi. Dengan penegakkan
diagnosis
berdasarkan kriteria ARA tahun 1987 ataupun ACR tahun 2010
dimana meliputi
dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Pada pasien
perempuan 49 tahun ini didapatkan tanda tanda yang serupa dengan
manifestasi
klinis artritis yang mengarah ke diagnosis rheumatoid arthritis
dengan
pemeriksaan fisik dan penunjang yang mendukung. Berdasarkan
prosedur
penatalaksanaan RA, saat ini pasien menjalani perawatan di rumah
sakit dan
mendapatkan terapi suportif dan medikamentosa untuk
menghilangkan inflamasi
dan mencegah destruksi jaringan lebih lanjut.
-
45
DAFTAR PUSTAKA
Aletaha D, Neogi T, Silman AJ, Funovits, Felson T, Bingham III
CO et al. (2010).Rematoid Arthritis Classification Criteria An
American College ofRheumatology/European League Against Rheumatism
CollaborativeInitiative. Arthritis Rheum, vol.62, pp.2569 – 81
Bresnihan B. (2002). Rheumatoid Arthritis: Principles of Early
Treatment. TheJournal of Rheumatology, vol.29, no.66, pp.9-12
Candra K. (2013). Teknik Pemeriksaan Genu Pada Kasus
Osteoarthritis DenganPasien Non Koperatif. Academia Edu
Choy E. (2012). Understanding The Dynamics: Pathway Involved In
ThePathogenesis Of Rheumatoid Arthritis. Oxford University Press on
behalf ofthe British Society for Rheumatology, vol. 51, pp.3-11
Febriana (2015). Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus
Rheumatoid ArthritisAnkle Billateral Di RSUD Saras Husada
Purworejo. Fakultas IlmuKesehatan Universitas Muhammadiyah
Surakarta
Kapita Selekta Kedokteran/editor. Chris Tanto, et al.
Ed.4.(2014). Jakarta: MediaAesculapius, pp 835-839
McInnes, I.B., Schett, G. (2011). The Pathogenesis of Rheumatoid
Arthritis. NEngl J Med, vol. 365, pp. 2205-19
Nainggolan,Olwin. (2009). Prevalensi dan Determinan Penyakit
Rematik diIndonesia. Maj Kedokt Indon, vol.59, no.12,
pp.588-594
Pradana,S.Y. (2012). Sensitifitas Dan Spesifisitas Kriteria ACR
1987 danACR/EULAR 2010 pada Penderita Artritis Reumatoid di RSUP
Dr. KariadiSemarang. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
Putra,T.R., Suega,K., Artana,I.G.N.B. (2013). Pedoman Diagnosis
dan TerapiIlmu Penyakit Dalam. Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam
FakultasKedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah
Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia. (2014). Diagnosis
danPengelolaan Artritis Reumatoid. Perhimpunan Reumatologi
Indonesia.ISBN
Rudan, I., et al. (2015). Prevalence Of Rheumatoid Arthritis In
Low– AndMiddle–Income Countries: A Systematic Review And Analysis.
Journal ofGlobal Health, vol.5, no.1, pp.1-10
Suarjana, I.N. (2009). Artritis Reumatoid. dalam Sudoyo, A.W.,
Setiyohadi, B.,Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S. (editor).
Buku Ajar Ilmu PenyakitDalam. Edisi V, FKUI, Jakarta,
pp.2495-508
Sumariyono, H.I. (2010). Predictor Of Joint Damage In Rheumatoid
Arthritis.Indonesian Journal of Rheumatology, vol.03, no.02, pp.
15-20
-
46
Suyasa, I.G.P.D., Krisnandari, A.A.I.W., Onajiati NWU. (2013).
Keluhan-Keluhan Lanjut Usia Yang Datang Ke Pengobatan Gratis Di
Salah SatuWilayah Pedesaan di Bali. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Bali, pp.42-48
Tobon, G.J., Youinou, P., Saraux, A. (2009). The Environment,
Geo-Epidemiology, and Autoimmune Disease: Rheumatoid Arthritis,
Elsevier,doi:10.1016/j.autrev.2009.11.019
-
47
LAMPIRAN
Foto klinis jari-jari tangan dan lutut pasien