Top Banner
I Pengalaman Belajar Lapangan RHEUMATOID ARTHRITIS Oleh: Ketut Ayu Manik Masyeni (1102005157) Pembimbing : dr. Ketut Suardamana, Sp.PD-KAI DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITERAAN KLINIK MADYA DI BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM RSUP SANGLAH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA 2017
50

RHEUMATOIDARTHRITIS...berat untuk menyangga tubuh. Mengontrol berat badan dengan diet makanan dan olahraga dapat mengurang risiko terjadinya radang pada sendi. 4. Mengonsumsi makanan

Feb 11, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • I

    Pengalaman Belajar Lapangan

    RHEUMATOID ARTHRITIS

    Oleh:

    Ketut Ayu Manik Masyeni (1102005157)

    Pembimbing :

    dr. Ketut Suardamana, Sp.PD-KAI

    DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITERAAN KLINIK MADYADI BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM RSUP SANGLAHFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA

    2017

  • II

    KATA PENGANTAR

    Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa

    karena atas berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan

    Pengalaman Belajar Lapangan (PBL) yang berjudul “Rheumatoid Arthritis” ini

    tepat pada waktunya. PBL ini disusun dalam rangka mengikuti Kepaniteraan

    Klinik Madya di Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah

    Denpasar.

    Dalam penulisan laporan PBL ini penulis banyak mendapatkan bimbingan

    maupun bantuan, baik berupa informasi maupun bimbingan moril. Untuk itu, pada

    kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-

    besarnya kepada:

    1. Dr.dr. Ketut Suega, SpPD-KHOM selaku Kepala Bagian Ilmu Penyakit

    Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah.

    2. dr. Made Susila Utama, Sp.PD-KPTI selaku Koordinator Pendidikan

    Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas

    Udayana/RSUP Sanglah.

    3. dr. Ketut Suardamana, Sp.PD-KAI selaku dosen pembimbing atas segala

    bimbingan, saran-saran dan bantuan dalam penyusunan laporan PBL ini.

    4. Semua pihak yang turut membantu dalam penyusunan laporan PBL ini

    yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

    Penulis menyadari bahwa laporan PBL ini masih jauh dari kesempurnaan,

    oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak

    sangat penulis harapkan dalam rangka penyempurnaannya. Akhirnya penulis

    mengharapkan semoga laporan PBL ini dapat bermanfaat di bidang ilmu

    pengetahuan dan kedokteran.

    Denpasar, Oktober 2015

    Penulis

  • III

    DAFTAR ISI

    Halaman

    Halaman Judul i

    Kata Pengantar ii

    Daftar Isi iii

    Daftar Tabel iv

    BAB I PENDAHULUAN 1

    BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3

    2.1 Definisi Rheumatoid Arthritis 3

    2.1 Epidemiologi Rheumatoid Arthritis 3

    2.3 Faktor Resiko Rheumatoid Arthritis 4

    2.4 Etiopagonesis dan Patofisiologi Rheumatoid Arthritis 6

    2.5 Manifestasi Klinis Rheumatoid Arthritis 10

    2.6 Pemeriksaan Penunjang Rheumatoid Arthritis 11

    2.7 Diagnosis Rheumatoid Arthritis 11

    2.8 Penatalaksanaan Rheumatoid Arthritis 13

    2.9 Prognosis Rheumatoid Arthritis 16

    BAB III LAPORAN KASUS………………………………………………….. 17

    3.1 Identitas Pasien 17

    3.2 Anamnesis 17

    3.4 Pemeriksaan Fisik 19

    3.5 Pemeriksaan Penunjang 21

    3.7 Diagnosis 26

    3.8 Penatalaksanaan 26

    BAB IV DISKUSI HASIL KUNJUNGAN RUMAH 28

    4.1 Analisis Kebutuhan 29

    4.1.1 Kebutuhan Fisik-Biomedis 29

    4.1.2 Kebutuhan Bio-Psiko-Sosial 30

    4.2 Pemecahan Masalah 33

    BAB V SIMPULAN 36

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    Penyakit reumatik adalah penyakit yang menyerang persendian dan struktur di

    sekitarnya yang terdiri lebih dari 100 jenis. Salah satu jenis dari penyakit reumatik

    adalah Rheumatoid Arthritis (Nainggolan,2009). Rheumatoid Arthritis (RA)

    adalah penyakit autoimun progresif dengan inflamasi kronik yang menyerang

    sistem muskuloskeletal namun dapat melibatkan organ dan sistem tubuh secara

    keseluruhan, yang ditandai dengan pembengkakan, nyeri sendi serta destruksi

    jaringan sinovial yang disertai gangguan pergerakan diikuti dengan kematian

    prematur (Mclnnes,2011).

    Dalam ilmu penyakit dalam Harrison edisi 18, insidensi dan prevalensi RA

    bervariasi berdasarkan lokasi geografis dan berbagai grup etnik yang berkaitan

    dengan susunan genetik. Prevalensi tertinggi dilaporkan pada masyarakat asli

    Amerika, Yakima, Pima, dan suku-suku Chippewa di Amerika Utara sebesar 7%.

    Namun prevalensi RA di dunia relatif konstan yaitu berkisar antara 0,5-1%

    (Suarjana,2009). Estimasi prevalensi RA untuk negara dengan pendapatan rendah

    dan menengah berdasarkan meta-analisis adalah di Asia Tenggara sebesar 0,4%,

    Mediterania Timur sebesar 0,37%, Eropa sebesar 0,62%, dan Amerika sebesar

    1,25%. Prevalensi pada laki-laki lebih rendah yaitu 0,16% dibandingkan wanita

    yaitu 0,75% dan dinyatakan signifikan secara statistik. Sekitar 2,6 juta laki-laki

    dan 12,21 juta wanita menderita RA pada tahun 2000 kemudian

    meningkatmenjadi 3,16 juta laki-laki dan 14,87 juta wanita yang menderita RA

    pada tahun 2010 (Rudan dkk, 2015).

    Data epidemiologi di Indonesia tentang penyakit RA masih terbatas. Data

    terakhir dari Poliklinik Reumatologi RSCM Jakarta menunjukkan bahwa jumlah

    kunjungan penderita RA selama periode Januari sampai Juni 2007 sebanyak 203

    dari jumlah seluruh kunjungan sebanyak 1.346 pasien. Nainggolan (2009)

    memaparkan bahwa provinsi Bali memiliki prevalensi penyakit rematik di atas

    angka nasional yaitu 32,6%, namun tidak diperinci jenis rematik secara detail.

    Walaupun penyebab RA masih belum diketahui secara pasti, namun banyak

    faktor risiko yang dapat meningkatkan angka kejadian RA. Diantaranya adalah

  • 2

    faktor genetik, usia lanjut, jenis kelamin perempuan, faktor sosial ekonomi, faktor

    hormonal, etnis, dan faktor lingkungan seperti merokok, infeksi, faktor diet,

    polutan, dan urbanisasi (Tobon et al,2009).

    Telah diketahui bahwa RA adalah penyakit kronik dan fluktuatif sehingga

    apabila tidak dilakukan penanganan yang tepat dan cepat akan menyebabkan

    kerusakan sendi yang progresif, deformitas, disabilitas, dan kematian. Menurut

    Fuch dan Edward, hanya 15% pasien RA yang memperoleh pengobatan secara

    medis yang mengalami remisi atau berfungsi normal setelah 10 tahun sejak awal

    onset dan hanya 17% dengan tanpa disabilitas. Prognosis RA sendiri dievaluasi

    dari berbagai parameter seperti level remisi, status fungsional, dan derajat

    kerusakan sendi (Sumariyono,2010).

    Masyarakat usia dewasa yang berusia diantara 25 hingga 60 tahun masih

    merupakan masa-masa produktif di kehidupannya. Tanggung jawab secara fisik,

    biologis, ekonomi dan sosial sangat dibutuhkan dan berkaitan erat dengan status

    kesehatannya saat ini. Banyak penyakit degeneratif yang onsetnya dimulai sejak

    usia pertengahan menyebabkan produktifitas masyarakat menurun dan masa

    lansia di kemudian hari menjadi kurang berkualitas. Salah satu penyakit tersebut

    adalah RA dimana proses patologi imunologinya terjadi beberapa tahun sebelum

    muncul gejala klinis. Walaupun angka kejadian RA banyak terjadi pada lansia

    namun tidak menutup kemungkinan proses patologi telah terjadi seiring

    peningkatan usia dan adanya berbagai faktor risiko yang saling berkaitan.

    Banyak upaya yang dapat dilakukan guna mencegah terjadinya RA dan

    memberikan pengobatan secara cepat dan tepat bagi yang telah terdiagnosis salah

    satunya dengan melakukan deteksi dini pada masyarakat usia dewasa. Ada banyak

    alat ukur dan kriteria yang dapat digunakan dalam mendiagnosis RA. Diantaranya

    adalah berdasarkan kriteria ARA (American Rheumatism Association) yang

    direvisi tahun 1987 dan kriteria ACR (American College of Rheumatology) yang

    direvisi tahun 2010.

  • 3

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Definisi Rheumatoid Arthritis

    Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit autoimun yang etiologinya belum

    diketahui dan ditandai oleh sinovitis erosif yang simetris dan pada beberapa kasus

    disertai keterlibatan jaringan ekstraartikular. Perjalanan penyakit RA ada 3 macam

    yaitu monosiklik, polisiklik dan progresif. Sebagian besar kasus perjalananya

    kronik kematian dini (Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia,2014).

    Kata arthritis berasal dari bahasa Yunani, “arthon” yang berarti sendi, dan

    “itis” yang berarti peradangan. Secara harfiah, arthritis berarti radang pada sendi.

    Sedangkan Rheumatoid Arthritis adalah suatu penyakit autoimun dimana

    persendian (biasanya tangan dan kaki) mengalami peradangan, sehingga terjadi

    pembengkakan, nyeri dan seringkali menyebabkan kerusakan pada bagian dalam

    sendi (Febriana,2015).

    Penyakit ini sering menyebabkan kerusakan sendi, kecacatan dan banyak

    mengenai penduduk pada usia produktif sehingga memberi dampak sosial dan

    ekonomi yang besar. Diagnosis dini sering menghadapai kendala karena pada

    masa dini sering belum didapatkan gambaran karakteristik yang baru akan

    berkembang sejalan dengan waktu dimana sering sudah terlambat untuk memulai

    pengobatan yang adekuat (Febriana,2015).

    2.2 Epidemiologi Rheumatoid Arthritis

    Prevalensi dan insiden penyakit ini bervariasi antara populasi satu dengan lainnya,

    di Amerika Serikat dan beberapa daerah di Eropa prevalensi RA sekitar 1% pada

    kaukasia dewasa, Perancis sekitar 0,3%, Inggris dan Finlandia sekitar 0,8% dan

    Amerika Serikat 1,1% sedangkan di Cina sekitar 0,28%. Jepang sekitar 1,7% dan

    India 0,75%. Insiden di Amerika dan Eropa Utara mencapai 20-50/100000 dan

    Eropa Selatan hanya 9-24/100000. Di Indonesia dari hasil survei epidemiologi di

    Bandungan Jawa Tengah didapatkan prevalensi RA 0,3% sedang di Malang pada

    penduduk berusia diatas 40 tahun didapatkan prevalensi RA 0,5% di daerah

    Kotamadya dan 0,6% di daerah Kabupaten. Di Poliklinik Reumatologi RSUPN

  • 4

    Cipto Mangunkusumo Jakarta, pada tahun 2000 kasus baru RA merupakan 4,1%

    dari seluruh kasus baru. Di poliklinik reumatologi RS Hasan Sadikin didapatkan

    9% dari seluruh kasus reumatik baru pada tahun 2000-2002 (Aletaha et al,2010).

    Data epidemiologi di Indonesia tentang penyakit RA masih terbatas. Data

    terakhir dari Poliklinik Reumatologi RSCM Jakarta menunjukkan bahwa jumlah

    kunjungan penderita RA selama periode Januari sampai Juni 2007 sebanyak 203

    dari jumlah seluruh kunjungan sebanyak 1.346 pasien. Nainggolan (2009)

    memaparkan bahwa provinsi Bali memiliki prevalensi penyakit rematik di atas

    angka nasional yaitu 32,6%, namun tidak diperinci jenis rematik secara detail.

    Sedangkan pada penelitian Suyasa et al (2013) memaparkan bahwa RA adalah

    peringkat tiga teratas diagnosa medis utama para lansia yang berkunjung ke

    tempat pemeriksaan kesehatan dan pengobatan gratis di salah satu wilayah

    pedesaan di Bali.

    2.3 Faktor Risiko Rheumatoid Arthritis

    Faktor risiko yang berhubungan dengan peningkatan kasus RA dibedakan menjadi

    dua yaitu faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi dan faktor risiko yang dapat

    dimodifikasi:

    2.3.1 Tidak Dapat Dimodifikasi

    1. Faktor genetik

    Faktor genetik berperan 50% hingga 60% dalam perkembangan RA.

    Gen yang berkaitan kuat adalah HLA-DRB1. Selain itu juga ada gen

    tirosin fosfatase PTPN 22 di kromosom 1. Perbedaan substansial pada

    faktor genetik RA terdapat diantara populasi Eropa dan Asia. HLA-

    DRB1 terdapat di seluruh populasi penelitian, sedangkan polimorfisme

    PTPN22 teridentifikasi di populasi Eropa dan jarang pada populasi

    Asia. Selain itu ada kaitannya juga antara riwayat dalam keluarga

    dengan kejadian RA pada keturunan selanjutnya.

    2. Usia

    RA biasanya timbul antara usia 40 tahun sampai 60 tahun. Namun

    penyakit ini juga dapat terjadi pada dewasa tua dan anak-anak

    (Rheumatoid Arthritis Juvenil). Dari semua faktor risiko untuk

  • 5

    timbulnya RA, faktor ketuaan adalah yang terkuat. Prevalensi dan

    beratnya RA semakin meningkat dengan bertambahnya usia. RA

    hampir tak pernah pada anak-anak, jarang pada usia dibawah 40 tahun

    dan sering pada usia diatas 60 tahun.

    3. Jenis kelamin

    RA jauh lebih sering pada perempuan dibanding laki-laki dengan rasio

    3:1. Meskipun mekanisme yang terkait jenis kelamin masih belum

    jelas. Perbedaan pada hormon seks kemungkinan memiliki pengaruh.

    2.3.2 Dapat Dimodifikasi

    1. Gaya hidup

    a. Status sosial ekonomi

    Penelitian di Inggris dan Norwegia menyatakan tidak terdapat

    kaitan antara faktor sosial ekonomi dengan RA, berbeda dengan

    penelitian di Swedia yang menyatakan terdapat kaitan antara

    tingkat pendidikan dan perbedaan paparan saat bekerja dengan

    risiko RA.

    b. Merokok

    Sejumlah studi cohort dan case-control menunjukkan bahwa rokok

    tembakau berhubungan dengan peningkatan risiko RA. Merokok

    berhubungan dengan produksi dari rheumatoid factor(RF) yang

    akan berkembang setelah 10 hingga 20 tahun. Merokok juga

    berhubungan dengan gen ACPA-positif RA dimana perokok

    menjadi 10 hingga 40 kali lebih tinggi dibandingkan bukan

    perokok. Penelitian pada perokok pasif masih belum terjawab

    namun kemungkinan peningkatan risiko tetap ada.

    c. Diet

    Banyaknya isu terkait faktor risiko RA salah satunya adalah

    makanan yang mempengaruhi perjalanan RA. Dalam penelitian

    Pattison dkk, isu mengenai faktor diet ini masih banyak

    ketidakpastian dan jangkauan yang terlalu lebar mengenai jenis

    makanannya. Penelitian tersebut menyebutkan daging merah dapat

  • 6

    meningkatkan risiko RA sedangkan buah-buahan dan minyak ikan

    memproteksi kejadian RA. Selain itu penelitian lain menyebutkan

    konsumsi kopi juga sebagai faktor risiko namun masih belum jelas

    bagaimana hubungannya.

    d. Infeksi

    Banyaknya penelitian mengaitkan adanya infeksi Epstein Barr

    virus (EBV) karena virus tersebut sering ditemukan dalam

    jaringan synovial pada pasien RA. Selain itu juga adanya

    parvovirus B19, Mycoplasma pneumoniae, Proteus, Bartonella,

    dan Chlamydia juga memingkatkan risiko RA.

    e. Pekerjaan

    Jenis pekerjaan yang meningkatkan risiko RA adalah petani,

    pertambangan, dan yang terpapar dengan banyak zat kimia namun

    risiko pekerjaan tertinggi terdapat pada orang yang bekerja dengan

    paparan silica.

    2. Faktor hormonal

    Hanya faktor reproduksi yang meningkatkan risiko RA yaitu pada

    perempuan dengan sindrom polikistik ovari, siklus menstruasi ireguler,

    dan menarche usia sangat muda.

    3. Bentuk tubuh

    Risiko RA meningkat pada obesitas atau yang memiliki Indeks Massa

    Tubuh (IMT) lebih dari 30.

    2.4 Etiopatogenesis dan Patofisiologi Rheumatoid Arthritis

    Penyebab pasti masih belum diketahui secara pasti dimana merupakan penyakit

    autoimun yang dicetuskan faktor luar (infeksi, cuaca) dan faktor dalam (usia, jenis

    kelamin, keturunan, dan psikologis). Diperkirakan infeksi virus dan bakteri

    sebagai pencetus awal RA. Sering faktor cuaca yang lembab dan daerah dingin

    diperkirakan ikut sebagai faktor pencetus.

    Patogenesis terjadinya proses autoimun, yang melalui reaksi imun komplek

    dan reaksi imunitas selular. Tidak jelas antigen apa sebagai pencetus awal,

  • 7

    mungkin infeksi virus. Terjadi pembentukan faktor rematoid, suatu antibodi

    terhadap antibodi abnormal, sehingga terjadi reaksi imun komplek (autoimun).

    Proses autoimun dalam patogenesis RA masih belum tuntas diketahui, dan

    teorinya masih berkembang terus. Dikatakan terjadi berbagai peran yang saling

    terkait, antara lain peran genetik, infeksi, autoantibodi serta peran imunitas selular,

    humoral, peran sitokin, dan berbagai mediator keradangan. Semua peran ini, satu

    sam lainnya saling terkait dan pada akhirmya menyebabkan keradangan pada

    sinovium dan kerusakan sendi disekitarnya atau mungkin organ lainnya. Sitokin

    merupakan local protein mediator yang dapat menyebabkan pertumbuhan,

    diferensiasi dan aktivitas sel, dalam proses keradangan. Berbagai sitokin berperan

    dalam proses keradangan yaitu TNF α, IL-1, yang terutama dihasilkan oleh

    monosit atau makrofag menyebabkan stimulasi dari sel mesenzim seperti sel

    fibroblast sinovium, osteoklas, kondrosit serta merangsang pengeluaran enzim

    penghancur jaringan, enzim matrix metalloproteases (MMPs) (Putra dkk,2013).

  • 8

    Gambar 1. Peranan Imun Adaptif dan Innate dalam Patogenesis RA

    Proses keradangan karena proses autoimun pada RA, ditunjukkan dari

    pemeriksaan laboratorium dengan adanya RF (Rheumatoid Factor) dan anti-CCP

    dalam darah. RF adalah antibodi terhadap komponen Fc dari IgG. Jadi terdapat

    pembentukan antibodi terhadap antibodi dirinya sendiri, akibat paparan antigen

    luar, kemungkinan virus atau bakteri. RF didapatkan pada 75 sampai 80%

    penderita RA, yang dikatakan sebagai seropositive. Anti-CCP didapatkan pada

    hampir 2/3 kasus dengan spesifisitasnya yang tinggi (95%) dan terutama terdapat

    pada stadium awal penyakit. Pada saat ini RF dan anti-CCP merupakan sarana

    diagnostik penting RA dan mencerminkan progresifitas penyakit (Putra dkk,2013).

    Sel B, sel T, dan sitokin pro inflamasi berperan penting dalam patofisiologi

    RA. Hal ini terjadi karena hasil diferensiasi dari sel T merangsang pembentukan

    IL-17, yaitu sitokin yang merangsang terjadinya sinovitis. Sinovitis adalah

    peradangan pada membran sinovial, jaringan yang melapisi dan melindungi sendi.

    Sedangkan sel B berperan melalui pembentukan antibodi, mengikat patogen,

    kemudian menghancurkannya. Kerusakan sendi diawali dengan reaksi inflamasi

    dan pembentukan pembuluh darah baru pada membran sinovial. Kejadian tersebut

    menyebabkan terbentuknya pannus, yaitu jaringan granulasi yang terdiri dari sel

    fibroblas yang berproliferasi, mikrovaskular dan berbagai jenis sel radang. Pannus

    tersebut dapat mendestruksi tulang, melalui enzim yang dibentuk oleh sinoviosit

    dan kondrosit yang menyerang kartilago. Di samping proses lokal tersebut, dapat

    juga terjadi proses sistemik. Salah satu reaksi sistemik yang terjadi ialah

    pembentukan protein fase akut (CRP), anemia akibat penyakit kronis, penyakit

    jantung, osteoporosis serta mampu mempengaruhi hypothalamic-pituitary-

    adrenalaxis, sehingga menyebabkan kelelahan dan depresi (Choy, 2012).

  • 9

    Gambar 2. Patofisiologi Rheumatoid Arthritis

    Pada keadaan awal terjadi kerusakan mikrovaskular, edema pada jaringan di

    bawah sinovium, poliferasi ringan dari sinovial, infiltrasi PMN, dan penyumbatan

    pembuluh darah oleh sel radang dan trombus. Pada RA yang secara klinis sudah

    jelas, secara makros akan terlihat sinovium sangat edema dan menonjol ke ruang

    sendi dengan pembentukan vili. Secara mikros terlihat hiperplasia dan hipertropi

    sel sinovia dan terlihat kumpulan residual bodies. Terlihat perubahan pembuluh

    darah fokal atau segmental berupa distensi vena, penyumbatan kapiler, daerah

    trombosis dan pendarahan perivaskuler. Pada RA kronis terjadi kerusakan

    menyeluruh dari tulang rawan, ligamen, tendon dan tulang. Kerusakan ini akibat

    dua efek yaitu kehancuran oleh cairan sendi yang mengandung zat penghancur

    dan akibat jaringan granulasi serta dipercepat karena adanya Pannus (Putra

    dkk,2013).

  • 10

    2.5 Manifestasi Klinis, Pemeriksaan Penunjang dan Diagnosis Rheumatoid

    Arthritis

    2.5.1 Manifestasi Klinis

    Keluhan biasanya mulai secara perlahan dalam beberapa minggu atau

    bulan. Sering pada keadan awal tidak menunjukkan tanda yang jelas.

    Keluhan tersebut dapat berupa keluhan umum, keluhan pada sendi dan

    keluhan diluar sendi (Putra dkk,2013).

    1. Keluhan umum

    Keluhan umum dapat berupa perasaan badan lemah, nafsu makan

    menurun, peningkatan panas badan yang ringan atau penurunan

    berat badan.

    2. Kelainan sendi

    Terutama mengenai sendi kecil dan simetris yaitu sendi

    pergelangan tangan, lutut dan kaki (sendi diartrosis). Sendi lainnya

    juga dapat terkena seperti sendi siku, bahu sterno-klavikula,

    panggul, pergelangan kaki. Kelainan tulang belakang terbatas pada

    leher. Keluhan sering berupa kaku sendi di pagi hari,

    pembengkakan dan nyeri sendi.

    3. Kelainan diluar sendi

    a. Kulit : nodul subukutan (nodul rematoid)

    b. Jantung : kelainan jantung yang simtomatis jarang

    didapatkan, namun 40% pada autopsi RA didapatkan kelainan

    perikard

    c. Paru : kelainan yang sering ditemukan berupa paru

    obstruktif dan kelainan pleura (efusi pleura, nodul subpleura)

    d. Saraf : berupa sindrom multiple neuritis akibat vaskulitis

    yang sering terjadi berupa keluhan kehilangan rasa sensoris di

    ekstremitas dengan gejala foot or wrist drop

    e. Mata : terjadi sindrom sjogren (keratokonjungtivitis sika)

    berupa kekeringan mata, skleritis atau eriskleritis dan

    skleromalase perforans

  • 11

    f. Kelenjar limfe: sindrom Felty adalah RA dengan

    spleenomegali, limpadenopati, anemia, trombositopeni, dan

    neutropeni

    2.5.2 Pemeriksaan Penunjang

    1. Laboratorium

    a. Penanda inflamasi : Laju Endap Darah (LED) dan C-Reactive

    Protein (CRP) meningkat

    b. Rheumatoid Factor (RF) : 80% pasien memiliki RF positif

    namun RF negatif tidak menyingkirkan diagnosis

    c. Anti Cyclic Citrullinated Peptide (anti CCP) : Biasanya

    digunakan dalam diagnosis dini dan penanganan RA dengan

    spesifisitas 95-98% dan sensitivitas 70% namun hubungan

    antara anti CCP terhadap beratnya penyakit tidak konsisten

    2. Radiologis

    Dapat terlihat berupa pembengkakan jaringan lunak, penyempitan

    ruang sendi, demineralisasi “juxta articular”, osteoporosis, erosi

    tulang, atau subluksasi sendi.

    2.5.3 Diagnosis

    Terdapat beberapa kesulitan dalam mendeteksi dini penyakit RA. Hal ini

    disebabkan oleh onset yang tidak bisa diketahui secara pasti dan hasil

    pemeriksaan fisik juga dapat berbeda-beda tergantung pada pemeriksa.

    Meskipun demikian, penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa alat

    ukur diagnosis RA dengan ARA (American Rheumatism Association) yang

    direvisi tahun 1987 memiliki sensitivitas 91%. Hasil laboratorium yang

    digunakan dalam mendiagnosis RA ditemukan kurang sensitif dan spesifik.

    Sebagai contoh, IGM Rheumatoid Factor memiliki spesifisitas 90% dan

    sensitivitas hanya 54%. (Bresnihan, 2002)

    Berikut adalah kriteria ARA (American Rheumatism Association) yang

    direvisi tahun 1987 yang masih dapat digunakan dalam mendiagnosis RA:

    1. Kaku pagi hari pada sendi dan sekitarnya, sekurang-kurangnya selama

    1 jam sebelum perbaikan maksimal.

  • 12

    2. Pembengkakan jaringan lunak atau persendian (arthritis) pada 3 daerah

    sendi atau lebih secara bersamaan.

    3. Artritis pada persendian tangan sekurang-kurangnya terjadi satu

    pembengkakan persendian tangan yaitu PIP (proximal interphalangeal),

    MCP (metacarpophalangeal), atau pergelangan tangan.

    4. Artritis simetris, keterlibatan sendi yang sama pada kedua belah sisi

    misalnya PIP (proximal interphalangeal), MCP (metacarpophalangeal),

    atau MTP (metatarsophalangeal).

    5. Nodul rheumatoid, yaitu nodul subkutan pada penonjolan tulang atau

    permukaan ekstensor atau daerah juksta artikuler.

    6. Rheumatoid Factor serum positif

    7. Perubahan gambaran radiologis yang khas pada RA pada sendi tangan

    atau pergelangan tangan yaitu erosi atau dekalsifikasi tulang pada sendi

    yang terlibat

    Diagnosa RA, jika sekurang-kurangnya memenuhi 4 dari 7 kriteria di

    atas dan kriteria 1 sampai 4 harus ditemukan minimal 6 minggu. Selain

    kriteria diatas, dapat pula digunakan kriteria diagnosis RA berdasarkan skor

    dari American College of Rheumatology (ACR/Eular) 2010. Jika skor ≥6,

    maka pasien pasti menderita RA. Sebaliknya jika skor 10 sendi kecil

    0

    1

    2

    3

    5

    Serologi (0-3)

    RF negatif DAN ACPA negatif

    Positif rendah RF ATAU positif rendah ACPA

    Positif tinggi RF ATAU positif tinggi ACPA

    0

    2

    3

  • 13

    Durasi Gejala (0-1)

  • 14

    yang melumasi antar sendi, sehingga gesekan bisa terhindarkan.

    Konsumsi air yang disrankan adalah 8 gelas setiap hari. (Candra, 2013)

    6. Berdasarkan sejumlah penelitian sebelumnya, ditemukan bahwa merokok

    merupakan faktor risiko terjadinya RA. Sehingga salah satu upaya

    pencegahan RA yang bisa dilakukan masyarakat ialah tidak menjadi

    perokok akif maupun pasif. (Febriana, 2015).

    2.6.2 Penanganan

    Penatalaksanaan pada RA mencakup terapi farmakologi, rehabilitasi dan

    pembedahan bila diperlukan, serta edukasi kepada pasien dan keluarga.

    Tujuan pengobatan adalah menghilangkan inflamasi, mencegah deformitas,

    mengembalikan fungsi sendi, dan mencegah destruksi jaringan lebih lanjut

    (Kapita Selekta,2014).

    1. NSAID (Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drug)

    Diberikan sejak awal untuk menangani nyeri sendi akibat inflamasi.

    NSAID yang dapat diberikan atara lain: aspirin, ibuprofen, naproksen,

    piroksikam, dikofenak, dan sebagainya. Namun NSAID tidak melindungi

    kerusakan tulang rawan sendi dan tulang dari proses destruksi.

    2. DMARD (Disease-Modifying Antirheumatic Drug)

    Digunakan untuk melindungi sendi (tulang dan kartilago) dari proses

    destruksi oleh Rheumatoid Arthritis. Contoh obat DMARD yaitu:

    hidroksiklorokuin, metotreksat, sulfasalazine, garam emas, penisilamin,

    dan asatioprin. DMARD dapat diberikan tunggal maupun kombinasi

    (Putra dkk,2013).

    3. Kortikosteroid

    Diberikan kortikosteroid dosis rendah setara prednison 5-7,5mg/hari

    sebagai “bridge” terapi untuk mengurangi keluhan pasien sambil

    menunggu efek DMARDs yang baru muncul setelah 4-16 minggu.

    4. Rehabilitasi

    Terapi ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.

    Caranya dapat dengan mengistirahatkan sendi yang terlibat melalui

  • 15

    pemakaian tongkat, pemasangan bidai, latihan, dan sebagainya. Setelah

    nyeri berkurang, dapat mulai dilakukan fisioterapi.

    5. Pembedahan

    Jika segala pengobatan di atas tidak memberikan hasil yang diharapkan,

    maka dapat dipertimbangkan pembedahan yang bersifat ortopedi,

    contohnya sinovektomi, arthrodesis, total hip replacement, dan

    sebagainya. (Kapita Selekta, 2014)

    Tabel 1. DMARD untuk terapi RA

    OBAT ONSET DOSIS Keterangan

    Sulfasalazin 1-2 bulan 1x500mg/hari/io

    ditingkatkan setiap

    minggu hingga

    4x500mg/hari

    Digunakan sebagai lini

    pertama

    Metotreksat 1-2 bulan Dosis awal 7,5-10

    mg/ minggu/IV

    atau peroral 12,5-

    17,5mg/minggu

    dalam 8-12 minggu

    Diberikan pada kasus

    lanjut dan berat. Efek

    samping: rentan infeksi,

    intoleransi GIT,

    gangguan fungsi hati dan

    hematologik

    Hidroksiklorokuin 2-4 bulan 400 mg/hari Efek samping: penurunan

    tajam penglihatan, mual,

    diare, anemia hemolitik

    Asatioprin 2-3 bulan 50-150 mg/hari Efek samping: gangguan

    hati, gejala GIT,

    peningkatan TFH

    D-penisilamin 3-6 bulan 250-750mg/hari Efek samping: stomatitis,

    proteinuria, rash

    2.7 Diagnosis Banding Rheumatoid Arthritis

    RA harus dibedakan dengan sejumlah penyakit lainnya seperti artropati reaktif

    yang berhubungan dengan infeksi, spondiloartropati seronegatif dan penyakit

    jaringan ikat lainnya seperti Lupus Eritematosus Sistemik (LES), yang mungkin

  • 16

    mempunyai gejala menyerupai RA. Adanya kelainan endokrin juga harus

    disingkirkan. Artritis gout jarang bersama-sama dengan RA, bila dicurigai ada

    artritis gout maka pemeriksaan cairan sendi perlu dilakukan. Selain itu,

    osteoartritis juga memiliki kemiripan gejala dengan RA.

    2.8 Prognosis Rheumatoid Arthritis

    Perjalanan penyakit dari RA ini bervariasi dan juga ditentukan dari ketaatan

    pasien untuk berobat dalam jangka waktu yang lama. Lima puluh hingga tujuh

    puluh lima persen penderita ditemukan mengalami remisi dalam dua tahun.

    Selebihnya dengan prognosis yang lebih buruk. Kejadian mortalitas juga

    meningkat 10-15 tahun lebih awal dibandingkan mereka yang tidak mengalami

    RA. Khususnya pada penderita RA dengan manifestasi yang berat, kematian dapat

    disebabkan oleh infeksi, penyakit jantung, gagal nafas, gagal ginjal, dan gangguan

    saluran cerna. Sekitar 40% pasien RA mengalami hendaya dalam 10 tahun ke

    depanya. Penggunaan DMARD kurang dari 12 minggu setelah gejala awal

    menunjukkan hasil remisi yang lebih baik (Kapita Selekta, 2014). Indikator

    prognostik buruk berupa banyak sendi yang terserang, LED dan CRP tinggi, RF

    (+) tinggi dan anti CCP (+), erosi sendi pada awal penyakit dan sosial ekonomi

    rendah.

  • 17

    BAB IIILAPORAN KASUS

    3.1 IDENTITAS PASIEN

    Nama : M

    Umur : 49 Tahun

    Jenis Kelamin : Perempuan

    Suku : Jawa

    Agama : Islam

    Status Perkawinan : Menikah

    Pendidikan Terakhir : SMP

    Pekerjaan : Pedagang dan penjaga villa

    Alamat : Jl. Goa Gong Br. Kutuh Unggasan Kuta

    Badung

    Tanggal MRS : 13 September 2015

    Tanggal Pemeriksaan Pasien : 17 September 2015

    3.2 KELUHAN UTAMA

    Nyeri sendi

    3.3 RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

    Pasien datang sadar pada tanggal 13 September 2015 dengan keluhan nyeri

    sendi di lutut kiri dan kanan sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS)

    sampai tidak bisa berjalan. Keluhan dikatakan oleh pasien pertama kali dirasakan

    sejak 2 bulan SMRS, semakin hari semakin memberat dan terparah sejak 2 hari

    SMRS. Selain itu, nyeri sendi juga dirasakan di pergelangan tangan dan jari-jari

    tangan kanan dan kiri terutama pada ibu jari, jari telunjuk, dan jari tengah. Awal

    mula keluhan adalah rasa kaku di pangkal jari-jari tangan dan pergelangan tangan

    kanan kiri yang muncul bersamaan pada pagi hari dan berlangsung kurang dari 30

    menit namun semakin hari muncul hingga lebih dari 1 jam. Semakin lama, pasien

    merasa sendi jari-jarinya menjadi bengkak. Selanjutnya nyeri dirasakan pula di

    kedua lutut pasien yang semakin memberat dari hari ke hari, dimana pasien masih

  • 18

    bisa menahan dan beraktivitas seperti biasa hingga nyeri yang dirasakannya

    menjadi kemerahan dan bengkak sehingga tidak bisa berjalan. Kemudian pasien

    juga merasakan nyeri di sendi-sendi seluruh badan. Utamanya di leher, bahu, siku,

    dan pinggang. Keluhan tersebut membaik saat pasien beristirahat dan memberat

    saat beraktivitas atau saat sendi digerakkan.

    Pasien juga mengeluhkan lemas sejak 1 hari SMRS. Lemas dikatakan tidak

    membaik dengan istirahat. Keluhan demam, sesak, diare, mual, muntah dan

    kekeringan pada mata disangkal pasien. Pasien tidak merasakan adanya

    penurunan nafsu makan dan berat badan dikatakan biasa saja. Riwayat BAB dan

    BAK dikatakan tidak ada masalah dan dalam batas normal.

    Riwayat Pengobatan

    Sejak keluhan muncul, pasien sempat memeriksakan diri ke dokter klinik

    sebanyak 3 kali. Saat periksa tersebut pasien dicek kadar asam uratnya dan

    dinyatakan normal, pasien juga tidak dijelaskan mengenai jenis penyakit yang

    dideritanya dan hanya diberikan berbagai macam obat mulai dari obat oral dan

    suntik namun pasien mengatakan lupa jenis dan merk obatnya. Ketika obat habis,

    pasien memeriksakan kembali keluhannya yang tidak membaik ke dokter lainnya.

    Pasien juga membeli obat-obatan sendiri seperti tablet penambah stamina dan

    parasetamol. Karena merasa lemas sejak satu hari SMRS, pagi hari SMRS pasien

    meminum tablet penambah stamina dan beberapa saat kemudian semakin lemas

    karena mengganggap mengonsumsi obat tanpa makan terlebih dahulu.

    Riwayat Penyakit Dahulu

    Pasien sebelumnya tidak pernah mengalami keluhan nyeri sendi dan

    bengkak seperti ini. Riwayat hipertensi, penyakit jantung, penyakit ginjal, dan

    lupus disangkal oleh pasien. Sekitar 2 tahun lalu pasien hanya pernah MRS di RS

    Kasih Ibu karena sakit muntaber.

    Riwayat Keluarga

  • 19

    Tidak ada anggota keluarga yang pernah mengalami keluhan yang sama.

    Riwayat hipertensi, penyakit jantung, penyakit ginjal, dan lupus pada keluarga

    disangkal oleh pasien.

    Riwayat Sosial dan Pribadi

    Pasien bekerja sebagai pedagang dan penjaga villa. Terkadang pasien

    membuat dan berjualan krupuk di rumahnya, namun tidak sampai berkeliling

    dalam menjajakan dagangannya. Setiap harinya pasien beraktivitas membersihkan

    villa yang satu kawasan dengan rumahnya. Riwayat konsumsi rokok dan alkohol

    disangkal oleh pasien. Pasien hanya memiliki kebiasaan minum kopi 3 gelas

    setiap harinya yang diminum setiap pagi, siang, dan sore. Pasien tidak memiliki

    kebiasaan khusus dalam mengonsumsi makanan karena selalu berganti-ganti

    menu di setiap harinya, pasien menyangkal sering mengonsumsi daging merah.

    Pasien juga tidak terlalu sering makan sayur-sayuran dan buah-buahan.

    3.4 PEMERIKSAAN FISIK (17 September 2015)

    Status Present

    Keadaan Umum : Sedang

    Kesadaran : Compos Mentis

    GCS : E4V5M6

    Tekanan darah : 120/80 mmHg

    Nadi : 88 x/menit reguler

    Respirasi : 20 x/menit

    Temperatur : 36,5ºC

    BB / TB : 45 kg / 152 cm

    BMI : 19,47 kg/m2

    Satus Gizi : Baik

    VAS : 3/10 (nyeri sendi)

    Status General

    Mata : anemis (-/-), ikterus (-/-), refleks pupil (+/+) isokor,

    edema palpebra (-/-)

    THT : dalam batas normal,

  • 20

    Leher : pembesaran kelenjar limfe (-)

    Thoraks : simetris

    Cor: Inspeksi : iktus kordis tidak tampak

    Palpasi : iktus kordis tidak teraba

    Perkusi : batas atas jantung ICS II, batas kanan jantung

    parasternal line dekstra, batas kiri jantung

    midclavicular line sinistra ICS V

    Auskultasi : S1 S2 tunggal, reguler, murmur (-)

    Pulmo:Inspeksi : Simetris saat statis & dinamis, retraksi (-)

    Palpasi : Vokal fremitus N|N

    N|N

    N|N

    Perkusi : sonor | sonor

    sonor | sonor

    sonor | sonor

    Auskultasi : vesikuler +|+, ronkhi -|-, wheezing -|-

    +|+, -|-, -|-

    +|+, -|-, -|-

    Abdomen

    Inspeksi : Distensi (-),

    Auskultasi : Bising usus (+) normal

    Palpasi : Nyeri tekan (-), hepar tidak teraba, lien tidak teraba

    Perkusi : Timpani

    Ekstremitas : Hangat +|+ edema -|-

    +|+ -|-

    Status Lokalis

    Sendi Proximal Interphalangeal (PIP) digiti I, II, III dekstra dan sinistra

    Inspeksi : eritema (-), edema (+), kontraktur(-),nodul rematoid(-)

  • 21

    Palpasi : hangat (+), nyeri tekan (+)

    ROM : terbatas

    Sendi Genu Dekstra dan Sinistra

    Inspeksi : eritema (+), edema (+), kontraktur (-)

    Palpasi : hangat (+), nyeri tekan (+), bulging (-), krepitasi (-)

    ROM : terbatas

    3.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG

    Darah Lengkap (13 September 2015)

    Kimia Klinik (13 September 2015)

    Pemeriksaan Hasil Satuan Normal RemarksWBC 13,31 103µL 4,10-11,00 Tinggi% NEUT 81,8 % 47,00-80,00 Tinggi% LYMPH 9,2 % 13,00-40,00 Rendah%MONO 6,3 % 2,00-11,00% EOS 1,6 % 0,00-5,00% BASO 0,1 % 0,00-2,00#NEUT 10,89 103µL 2,50-7,50 Tinggi#LYMPH 1,23 103µL 1,00-4,00#MONO 0,84 103µL 0,10-1,20#EOS 0,21 103µL 0,00-0,50#BASO 0,02 103µL 0,00-0,10RBC 4,69 106µL 4,00 – 5,20Hemoglobin 11,1 g/dL 12,00-16,00 RendahHematokrit 38,0 % 36,00-46,00Platelet 426 103µL 140,00-440,00MCV 81,0 fL 80,00-100,00MCH 23,6 Pg 26,00-34,00MCHC 29,2 g/dL 31,00-36,00RDW 11,4 % 11,60-14,80 RendahMPV 5,3 fL 6,80-10,00 Tinggi

  • 22

    Urinalisis (13 September 2015)

    Hematologi (13 September 2015)

    Hematologi (15 September 2015)

    Imunologi (15 September 2015)

    Kimia Klinik (15 September 2015)

    Pemeriksaan Hasil Satuan Normal RemarksSGOT 11,8 U/L 11-27SGPT 10,5 U/L 11,00-34,00 RendahAlbumin 3,14 g/dL 3,40-4,80 RendahBS Acak 110 mg/dL 70,00-140,00BUN 6 mg/dL 8,00-23,00 RendahCreatinin 0,54 mg/dL 0,50-0,90Uric acid 2,9 mg/dL 2,00-5,70Natrium (Na) 132 mmol/L 136-145 RendahKalium (K) 3,08 mmol/L 3,50-5,10 rendah

    Pemeriksaan Hasil Satuan Normal RemarksSpecific gravity 1,005 NegatifPH 7 7,35-7,45 RendahLeucocyte Negatif leuco/uL NegatifNitrite Negatif NegatifProtein (urine) Negatif mg/dL NegatifGlukosa (urine) Normal mg/dL NormalKET Negatif NegatifUrobilinogen Normal mg/dL NormalBilirubin (urine) Negatif mg/dL NegatifERY 25 (++) Ery/uL NegatifColour Amber p-yellow-yellow

    Pemeriksaan Hasil Satuan Normal RemarksLED I 30 Mm 0-2 TinggiLED II 60 Mm 2-11 Tinggi

    Pemeriksaan Hasil Satuan Normal RemarksLED I 1 Mm 0-2LED II 14 Mm 2-11 Tinggi

    Pemeriksaan Hasil Satuan Normal RemarksRF (Kuantitatif) 16

  • 23

    Pemeriksaan Radiologi (13 September 2015)

    Foto Thorax AP:

    Cor : kesan membesar

    Pulmo : tak tampak infiltrat/nodul

    Sinus pleura kanan kiri tajam

    Diaphragma kanan kiri normal

    Tulang-tulang tidak tampak kelainan

    Kesan : cardiomegaly

    Pulmo tak tampak kelainan

    Pemeriksaan Hasil Satuan Normal RemarksCRP(Kuantitatif)

    71,4 mg/L 0,00-5,00 Tinggi

  • 24

    Foto Manus Kanan-Kiri AP/Oblique:

    Tampak non-union fraktur avulsi processus styloideus os ulna kiri

    Trabekulasi tulang normal

    Celah dan permukaan sendi baik

    Tak tampak erosi/destruksi tulang

    Tak tampak soft tissue mass/swelling

    Kesan : non-union fraktur avulsi processus styloideus os ulna kiri

    Tulang-tulang manus kanan tak tampak kelainan

  • 25

    Foto Genu Kanan-Kiri AP/Lateral:

    Aligment baik

    Tampak osteophyte pada condylus lateralis et medialis dan eminentia

    intercondylaris os tibia kanan-kiri, margo posteroinferior os patella kanan-

    kiri

    Trabekulasi tulang normal

    Celah dan permukaan sendi baik

    Tak tampak erosi/destruksi tulang

    Tampak soft tissue swelling regio genu kanan-kiri

    Kesan : osteoarthritis genu bilateral grade I (Kellgren-lawrence)

    Soft tissue swelling regio genu kanan-kiri

  • 26

    Foto Pedis Kanan-Kiri AP/Lateral:

    Aligment b2aik

    Tak tampak garis fraktur/dislokasi

    Trabekulasi tulang normal

    Celah dan permukaan sendi baik

    Tak tampak erosi/destruksi tulang

    Tak tampak soft tissue mass/swelling

    Kesan : Tulang-tulang pedis kanan-kiri tak tampak kelainan

    3.6 DIAGNOSIS

    - Rheumatoid Arthritis dd SLE

    - Secondary Osteoarthritis Genu D et S

    3.7 PLANNING

    Terapi

    IVFD NS 20 tpm

    Paracetamol 4x750mg io

  • 27

    Na diclofenac 3x50mg io

    Metotrexat 1x7,5mg io

    Diet tinggi kalori tinggi protein

    Kompres hangat

    Diagnostik

    Analisis synovial fluid

    Monitoring:

    Keluhan

    Tanda vital : Kesadaran, Tekanan Darah, Nadi, Suhu, Respirasi

    CM-CK

    3.8 Prognosis

    Vitally : dubius ad bonam

    Functionally : dubius ad bonam

    Sanationum : dubius ad bonam

  • 28

    BAB IV

    PEMBAHASAN

    4.1 Alur Kunjungan

    Kunjungan dilakukan pada hari Kamis tanggal 17 September 2015 ke

    tempat tinggal pasien yang berada di Jalan Goa Gong, Jimbaran, Badung.

    Pasien beserta keluarganya menyambut dengan baik. Prinsip-prinsip umum

    pengelolaan Rheumatoid Arthritis tidak hanya terbatas pada terapi

    farmakologis, namun juga memerlukan terapi non-farmakologis yaitu

    pendekatan bio-psiko-sosial. Kunjungan dilakukan ke rumah pasien untuk

    mengidentifikasi masalah, mengamati kondisi pasien dengan turun langsung

    ke lapangan, menemukan permasalahan yang ada, serta mencari

    penyelesaiannya. Saat melakukan kunjungan ke rumah pasien, keluhan pasien

    sudah lebih membaik dibandingkan dengan saat di rumah sakit. Adapun

    intervensi yang dilakukan yaitu:

    a. Edukasi untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman pasien beserta

    keluarganya tentang Rheumatoid Arthritis.

    b. Menyadarkan pasien beserta keluarganya akan pentingnya menjaga

    kesehatan dengan memenuhi kebutuhan nutrisi serta beraktivitas dengan

    baik.

    4.2 Daftar Permasalahan

    Adapun permasalahan yang masih menjadi kendala pasien dalam hal

    menghadapi penyakitnya antara lain:

    1. Pasien kurang peduli dengan masalah kesehatan yang dialaminya, dalam

    hal ini penyakit Rheumatoid Arthritis yang dimilikinya. Pasien tidak

    mengetahuinya sampai pasien menimbulkan gejala yang berat.

    2. Pasien masih kurang paham tentang penyakitnya, meliputi faktor resiko dan

    gejala-gejalanya.

  • 29

    3. Kepatuhan pasien dalam minum obat dan pengaturan jenis makanan

    sehari – hari kurang.

    4. Masalah biaya pengobatan pasien. Awalnya pasien bingung tentang biaya

    pengobatannya, dan pasien belum sempat mengurus asuransi karena pasien

    tidak memiliki KTP Bali.

    4.3 Analisis Kebutuhan

    4.3.1 Kebutuhan Fisik-Biomedis

    1. Kecukupan Gizi

    Menurut pengakuan pasien, dalam sehari pasien makan 3 kali sehari

    dengan uraian menu untuk sarapan berupa nasi putih , lauk pauk ,air

    dan kopi. Untuk makan siang dan malam menunya hampir sama

    kecuali pada siang dan malam hari pasien tidak mengonsumsi kopi .

    Pasien mengatakan lebih sering memasak sendiri karena pasien

    biasanya membuka warungnya pukul 9 pagi

    Menu makanan pasien berisi nasi putih sebagai sumber karbohidrat,

    berisi sayur sebagai sumber serat, berisi telur ayam, daging ayam, dan

    tahu tempe sebagai sumber protein. Untuk buah-buahan pasien

    mengaku jarang memakan buah-buahan, pasien biasanya membeli

    buah apabila ke pasar. Pasien juga jarang membeli makanan-makanan

    camilan, namun kadang-kadang anak pasien membelikan makanan

    untuk pasien. Pasien mengatakan tidak memiliki riwayat alergi

    makanan tertentu.

    Analisis Kebutuhan Kalori

    Kebutuhan kalori pasien dapat dihitung dengan menggunakan rumus

    Broca dengan pertama-tama menentukan berat badan ideal.

    Berat Badan Ideal (BBI) = [tinggi badan (cm) - 100] x 1 kg ± 10%

    = (152 - 100) x 1 kg ± 10%

    = 42-62 kg

    Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik berat badan pasien saat ini adalah

    45 kg &BMI = 19,47 pasien termasuk kategori normal.

  • 30

    Kebutuhan Kalori Basal

    Jenis kelamin perempuan:

    = berat badan (kg) x 25 kalori/kgBB

    = 45x 25 kalori/kg

    = 1125 kalori

    KoreksiTingkat aktivitas sedang =20% x KKB

    = 20% x 1125 kalori

    = 225 kalori

    Total kebutuhan kalori per hari = (KKB - koreksi umur +

    koreksi tingkat aktivitas)

    kalori/hari

    = (1125 – 56,25 + 225)kalori/hari

    = 1293,75,5kalori/hari

    Untuk Memudahkan penghitungan maka dipakai kebutuhan kalori

    penderita adalah 1300 kalori/hari

    Distribusi Makanan

    Jumlah kalori per hari pasien ini dibagi dalam 3 porsi makan utama

    dan 2 porsi makanan selingan, yaitu:

    a. Makan pagi : 20% x 1300 kalori = 260 kalori

    b. Makan siang : 30% x 1300 kalori = 390 kalori

    c. Makan malam : 25% x 1300 kalori = 325 kalori

    d. Asupan di sela makan pagi dan siang : 15% x 1300 = 195 kalori

    e. Asupan di sela makan siang dan malam : 10% x 1300 = 130 kalori

    a. Distribusi makanan berdasarkan komponen makanan adalah:

    Waktu Total Karbohidrat Protein Lemak

  • 31

    makan (50% x kalori) (20% x kalori) (30% x kalori)

    Makan Pagi 260 kalori 130 kalori 52 kalori 78 kalori

    Makan Siang 390 kalori 195 kalori 78 kalori 117 kalori

    Makan Malam 325 kalori 162,5 kalori 65 kalori 97,5 kalori

    Selingan 1 195 kalori

    Selingan 2 130 kalori

    Perhitungan Nutrisi Pada Pasien

    Jenis Jumlah Satuan

    Penukar

    Jumlah Kalori Total

    Karbohidrat

    Nasi

    Roti

    Lainnya

    Protein Hewani

    -Telur

    Protein Nabati

    -Tahu

    -Tempe

    Sayur

    3 piring

    1

    -

    1 butir

    2 potong

    2 potong

    1/2 piring

    1 1/2 gelas

    -

    -

    1 butir

    2 biji besar

    2 potong

    sedang

    600

    150

    -

    95

    160

    160

    200

    Perhitungan jumlah nutrisi total yang dikonsumsi pasien =1365 kalori di

    mana sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan energi pasien.

    Kegiatan fisik

    Pasien memiliki aktivitas yang tidak terlalu sibuk.Setiap hari pasien bangun pada

    pukul 6.00 untuk memasak bahan dagangan dan menyiapkan sarapanj. Setelah itu

    pasien dan suami sarapan bersama. Setelah itu pasien pergi ke warung-warung

    yang berjarak sekitar ±2 Km dari rumah pasien untuk menitipkan barang

    dagannya. Kemudian pasien melanjutkan pekerjaan rumahnya seperti menyapu,

    mencuci pakaian dan menyetrika dan kemudian membantu suaminya

    membersihkan villa di sebelah rumah pasien. Pasien biasanya makan siang dijeda

  • 32

    jam bekerjanya antara pukul 13.00 – 14.00. setelah makan siang pasien dan suami

    biasanya beristirahat sejenak seperti tidur siang atau bercerita-bercerita dengan

    suami sambil mengkonsumsi kopi. dan pukul 16.00 pasien melanjutkan

    membersihkan villa. Pada malam harinya pasien dan suami mulai tidur pukul

    22.00 WITA.

    Lingkungan

    Pasien tinggal disebuah rumah bersama suaminya. Dalam satu

    pekarangan terdapat 2 kamar yaitu 1 kamar tidur dan 1 kamar lagi

    dijadikan sebagai tempat penyimpanan barang-barang kerjaan pasien.

    Kamar berukuran 3 x 3 m2, 1 pintu masuk setiap kamar tanpa jendela,

    serta 1 dapur dan 1 kamar mandi di luar rumah. Lantai kamar terbuat dari

    keramik, tembok batako, dan beratapkan genteng. Kamar pasien terkesan

    tidak rapi karena memang luasnya yang sempit dan terdapat banyak

    sekali barang-barang yang dimiliki pasien tetapi tidak tertata. Baju-baju

    kotor dan baju berantakan disekitar kamar.Di depan kamar pasien

    terdapat ruang keluargan yang berisi sebuat TV dan beraslaskan oleh tiker.

    Dapur pasien menjadi satu dengan rumah pasien berisikan tempat

    menaruh peralatan dapur serta kompor gas kecil, dibawahnya terdapat

    tong sampah. Dapur terkesan cukup bersih dan rapi. Kamar mandi

    letaknya dibelakang dapur. Sumber air MCK untuk pasien adalah dari air

    PAM sedangkan sumber air minum adalah air galon. Keadaan rumah

    disebelah pasien kanan dan kiri kamar pasien apabila dilihat dari luar

    terkesan tidak rapi. Halaman rumah tidak begitu luas, halaman ini

    dipergunakan oleh penghuni rumah sebagai tempat parkir motor. Pasien

    memiliki binatang peliharaan yaitu tiga ekor burung. Pembuangan

    sampah menggunakan tempat. Disekitar rumah pasien tidak ada penghuni

    lain. Jarak rumah pasien menuju kawasan perumahan lain sekitar 1,5 km.

    Hubungan pasien dengan tetangga lainnya terlihat baik, dimana saling

    bertegur sapa dan bercanda dan pasien juga sering menitipkan barang

    daganganny ke tetangganya.

    4.3.2 Kebutuhan bio-psikosoial

  • 33

    1. Lingkungan biologis

    Pasien dengan berat badan 45 kg dan dengan tinggi badan 152 cm,

    dengan BMI pasien sebesar 19,47 kg/m2. Berat badan ideal pasien

    adalah ( TB – 100 ) = 52 kg. Dari pengakuan pasien, pola makan

    cenderung teratur dan baik. Menu makan pasien sehari-hari berupa

    sarapan nasi putih serta lauk pauk dan kopi, makan siang dan makan

    malam berupas nasi serta lauk pauk , dimana dilengkapi dengan lauk

    sayur dan daging.Pasien juga mengatakan meminum air mineral yang

    cukup, yaitu sekali minumnya 2 gelas, dan biasanya pasien minum

    lebih dari 8 gelas setiap harinya.Pasien mengatakan selalu mencuci

    tangan sebelum dan sesudah makan, namun terkadang pasien tidak

    mencuci tangan dengan baik dan hanya membahsahi tangannya

    sebelum makan. Pasien mencuci tangan dengan sabun apabila tangan

    pasien benar-benar kotor. Dalam lingkungan biologis atau keluarga

    pasien tidak ada yang pernah mengalami keluhan yang sama

    sebelumnya, ataupun mengalami keluhan yang serupa dengan pasien

    saat ini.

    2. Faktor psikososial

    Secara psikososial, pasien tidak memiliki masalah dengan lingkungan

    sosial sekitarnya. Pasien memiliki hubungan harmonis dengan

    keluarga, pasien selalu menyempatkan waktu untuk bercerita-bercerita

    dengan keluarga pada malam hari sambil menonton TV. Hubungan

    pasien dengan tetangga juga cukup baik.Berdasarkan penghasilan

    keluarga dan pasien sendiri, keluarga termasuk ke dalam ekonomi

    menengah.

    4.2 Pemecahan Masalah dan Saran

    4.4.1 Pemecahan masalah

    Dari beberapa fokus permasalahan yang telah kami jabarkan pada sub bab

    sebelumnya, kami mengusulkan penyelesaian masalah sebagai berikut :

    1. Meningkatkan edukasi dan informasi pasien tentang penyakitnya.

  • 34

    Untuk mencari penyelesaian dalam masalah pertama, solusi yang

    kami berikan yaitu berupa penjelasan dan pemberian informasi seputar

    penyakit yang meliputi :

    a. Gejala dari Reumatoid Atritis

    Kaku di pagi hari di persendian kurang dari 1 jam sebelum

    ada perbaikan maksimal.

    Timbul artiris pada 3 daerah persendian atau lebih yang

    timbul secara bersamaan dan biasanya terkenanya simetris

    atau di kedua pergelangan.

    Dapat ditemukan adanya tanda-tanda peradangan pada

    persendian seperti kemerahan, bengkak, panas maupun

    nyeri.

    Gejala yang tidak khas seperti adanya demam, kelemahan

    dan penurunan berat badan.

    Dapat di temukan adanya penonjolan di bawah kulit pada

    tulang yang menonjol seperti di lutut.

    b. Penyebab dan Faktor Resiko Artritis Reumatoid

    Penyebab pasti masih belum diketahui secara pasti dimana

    merupakan penyakit autoimun yang dicetuskan faktor luar

    (infeksi, cuaca) dan faktor dalam (usia, jenis kelamin,

    keturunan, dan psikologis). Diperkirakan infeksi virus dan

    bakteri sebagai pencetus awal RA. Sering faktor cuaca yang

    lembab dan daerah dingin diperkirakan ikut sebagai faktor

    pencetus.

    Faktor resiko dari arthritis rheumatoid ada 2 yaitu dapat

    dimidifikasi seperti pekerjaan, merokok, makanan (sering

    makan daging), kopi, status ekonomi. Dan yang tidak dapat

    dimodifikasi seperti genetic, jenis kelamin dan usia.

    c. Beberapa tindakan pencegahan yang dapat dilakukan :

    Dari manusia sebagai host

    Pencegahan dapat berupa meningkatkan kondisi pertahan

    tubuh/imunitas pasien dengan mengkonsumsi makanan

  • 35

    dengan nutrisi yang seimbang dan rajin melakukan

    olahraga atau aktivitas fisik yang sesuai untuk RA.

    Dari agen penyebab RA

    Karena penyebab dari arthritis rheumatoid masih belum

    diketahui penyebabnya

    Diare paling sering diakibatkan oleh bakteri yang

    mengkontaminasi makanan atau minuman yang

    dikonsumsi.Memasak makanan dengan baik sebelum

    dimakan, dan memasak air minum dengan benar sebelum

    diminum berperan penting dalam meminimalisir

    kontaminasi bakteri pada makanan dan minuman. Selain itu

    kebiasaan mencuci tangan sebelum makan dapat

    mengurangi resiko terjangkit penyakit diare.Tangan dapat

    berisi berbagai jenis bakteri yang dapat menyebabkan

    penyakit, apabila tidak dicuci dengan benar, bakteri

    tersebut dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui

    makanan yang kita pegang saat makan.

    Dari lingkungan

    Memberikan penjelasan dan informasi untuk selalu

    menjaga kebersihan lingkungan, termasuk kebersihan alat

    makan, dan kamar mandi.

    4.3.2 Kebutuhan Bio-Psiko-Sosial

    a. Lingkungan Biologis

    Dalam lingkungan keluarga pasien tidak ada yang mengalami

    keluhan yang sama dengan pasien saat ini ataupun penyakit sistemik lain.

    Kondisi rumah pasien sudah cukup terjaga kebersihannya.

    Kualitas kehidupan sehari-hari pasien dikatakan cukup baik,

    karena pasien bisa melakukan semua aktivitas dasar seperti makan,

    minum, membersihkan diri, mengontrol BAB dan BAK tanpa ada

    masalah dan tidak perlu bantuan.

  • 36

    b. Faktor Psikologis dan Sosial

    Dalam keadaan sakit ini pasien sangat membutuhkan pengertian

    dan dukungan dari keluarga dalam menjalani aktivitas sehari-hari dan

    menjalani pengobatannya termasuk untuk minum obat setiap harinya dan

    pengaturan dietnya. Pasien saat ini tinggal bersama suaminya. Dimana

    suami dan anak-anak pasien sangat memperhatikan perkembangan

    kondisi pasien. Pasien mengaku terkadang merasa jenuh karena

    aktivitasnya yang terbatas. Hubungan pasien dengan tetangga terlihat baik,

    dari cara mereka saling bertegur sapa dan bercerita satu sama lain.

    4.4 Pemecahan Masalah

    Dari beberapa permasalahan yang telah kami jabarkan sebelumnya,

    kami mengusulkan penyelesaian masalah sebagai berikut:

    2. Edukasi pasien dan keluarga tentang penyakitnya.

    Pasien dijelaskan bahwa gagal ginjal kronik merupakan penyakit

    seumur hidup yang terapi definitifnya adalah transplantasi ginjal. Namun,

    untuk saat ini pasien harus menjalani terapi pengganti yaitu melakukan

    hemodialisis reguler setiap minggu. Diberi tahu juga bahwa penyakitnya

    tersebut tidak bisa sembuh karena merupakan suatu kelainan ginjal yang

    bisa disebabkan oleh berbagai hal seperti genetik, infeksi, atau penyakit

    sistemik lainnya, tetapi bisa dikontrol agar tidak memberat dengan

    melakukan hemodialisis secara rutin. Dengan menjelaskan keadaan

    penyakitnya kepada pasien, diharapkan akan meningkatkan kepatuhan

    pasien dan pasien tidak bosan berobat. Memberikan penjelasan bahwa rasa

    lemah yang dialami pasien adalah karena anemia yang dialami pasien.

    Memberikan informasi faktor resiko yang kemungkinan terjadi pada

    pasien. Tekanan darah tinggi yang berkelanjutan dapat merusak atau

    mengganggu pembuluh darah halus dalam ginjal yang lama kelamaan

    dapat mengganggu kemampuan ginjal untuk menyaring darah. Dengan

    mengendalikan tekanan darah maka risiko terjadinya kerusakan ginjal

    yang lebih parah dapat dicegah.

    Memberikan informasi kepada pasien dan keluarganya bahwa

    untuk dapat mengendalikan penyakitnya, diperlukan kombinasi antara

  • 37

    terapi gizi, medis, latihan jasmani, dan intervensi farmakologis. Pasien

    juga dapat berperan aktif dalam pemantauan gula dan tekanan darahnya

    secara mandiri serta menginformasikan kepada pasien mengenai target

    pencapaian yang diharapkan.

    3. Biaya Pengobatan

    Karena pasien harus rutin mendapatkan hemodialisis dan obat-

    obatan untuk penyakitnya, tentunya memerlukan biaya yang tidak sedikit.

    Hal ini diatasi oleh pasien dengan memakai BPJS Kesehatan. Karena

    pasien sudah terdaftar di BPJS Kesehatan, jadi biaya pengobatannya pun

    ditanggung BPJS Kesehatan.

    4. Edukasi pasien tentang kontrol dan hemodialisis

    Kontrol ke RSUP Sanglah secara reguler dan teratur, dan selalu

    terbuka serta rajin melaporkan perkembangan penyakit serta keluhannya

    kepada dokter. Kontrol dilakukan untuk mengecek tekanan darah dan

    melakukan hemodialisis. Memberikan saran pada pasien yang melakukan

    hemodialisis di RSUP Sanglah agar menjaga kondisi tubuhnya, sehingga

    pasien dapat menghindari terjadinya infeksi yang didapat di rumah sakit

    sehingga mencegah perburukan kondisi pasien. Pasien juga harus proaktif

    dalam bertanya mekanisme pemesanan jadwal hemodialisis baik itu melalui

    petugas kesehatan yang bertugas di poliklinik penyakit dalam ataupun di

    ruang hemodialisis.

    5. Dukungan keluarga

    Pasien disarankan untuk berkomunikasi secara rutin dengan

    keluarganya mengenai kehidupan sehari-hari dan terutama perkembangan

    penyakitnya, dengan demikian pasien mendapatkan dukungan emosional

    dari keluarga dan keluarga bisa dengan sigap terhadap kondisi pasien.

    Sesekali keluarga juga dapat mengajak pasien keluar jalan-jalan keluar

    untuk refreshing.

    6. Pola makan yang teratur

  • 38

    Menjelaskan pada pasien bahwa kunci keberhasilan dari

    pengobatan CKD adalah dalam pengaturan pola hidup dimana didalamnya

    termasuk juga pola makan pasien. Beri saran kepada pasien untuk tetap

    menerapkan pola hidup sehat dan pola makan yang teratur sesuai dengan

    diet CKD. Beri tahu juga kepada pasien dan keluarga agar mengatur

    makanannya agar menjadi makanan seimbang dengan gizi yang cukup.

    Pola makan yang teratur ini dengan tujuan mempertahankan kondisi

    optimal dari pasien sehingga tidak muncul infeksi atau komplikasi dari

    penyakitnya.

  • 39

    BAB V

    SIMPULAN

    Pasien laki-laki WKS berumur 57 tahun bertempat tingal di Jalan Gurita

    IV gang Pari no. 21 Denpasar. Pasien terdiagnosa gagal ginjal sejak 25 Maret

    2015 dan sudah menjalani hemodialisis pasien sedang menunggu hasil

    pemeriksaan saat pasien kontrol kembali tanggal 15 April 2015. Pasien

    merupakan seorang pensiunan PNS yang tinggal bersama seorang istri dan 3

    orang anaknya.

    Permasalahan yang masih menjadi kendala pasien antara lain Pasien

    awalnya kurang peduli dengan masalah kesehatan yang dialaminya, pasien juga

    belum memahami jika memerlukan pengobatan CKD untuk seumur hidup, pasien

    masih kurang paham tentang penyakitnya, dan sebelum sakit pasien mengaku

    jarang berolahraga karena tidak memiliki waktu. Maka dari itu berdasarkan

    analisis kondisi pasien saat ini, penulis mengusulkan beberapa penyelesaian

    masalah yakni edukasi pasien dan keluarga tentang penyakitnya, edukasi pasien

    tentang kontrol kondisi kesehatan, dukungan keluarga dan pola makan yang

    teratur

  • 40

    BAB IV

    PEMBAHASAN

    Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit autoimun progresif dengan

    inflamasi kronik yang menyerang sistem muskuloskeletal namun dapat

    melibatkan organ dan sistem tubuh secara keseluruhan, yang ditandai dengan

    pembengkakan, nyeri sendi serta destruksi jaringan sinovial yang disertai

    gangguan pergerakan. RA merupakan penyakit autoimun dimana etiologinya

    masih belum jelas namun terdapat beberapa faktor risiko yang dapat memicu

    terjadinya RA. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi adalah adanya faktor

    genetik, jenis kelamin perempuan, dan usia diatas 40 tahun. Pada faktor risiko

    yang dapat dimodifikasi, terdapat faktor gaya hidup yang meliputi sosial ekonomi

    yang rendah, merokok terutama yang lebih dari 10 tahun, diet tinggi daging merah

    dibanding sayur-sayuran dan buah-buahan, adanya infeksi virus maupun bakteri,

    dan pekerjaan yang terpapar zat kimia utamanya silica ataupun pestisida seperti

    pada petani dan pekerja tambang, dan bentuk tubuh obesitas memperburuk faktor

    risiko.

    Pada pasien ini merupakan perempuan berusia 49 tahun dengan faktor

    predisposisi genetik yang tidak diketahui karena pasien menyangkal adanya

    riwayat keluarga yang menderita keluhan yang sama dan tidak dilakukan

    pemeriksaan genetika. Pasien berpendidikan akhir sebagai lulusan SMP dan

    bekerja sebagai penjaga villa dan pedagang yang memiliki penghasilan pas-pasan

    dalam menghidupi kebutuhan sehari-hari. Selama bekerja pasien jarang

    menghirup zat kimia seperti pestisida atau zat kimia lainnya. Pasien menyangkal

    memiliki kebiasaan merokok dan minum alkohol. Pasien juga memiliki kebiasaan

    konsumsi makanan yang biasa saja dan menyangkal sering makan daging merah

    karena keterbatasan ekonomi. Pasien mengakui jika jarang mengonsumsi buah-

    buahan. Pasien memiliki status gizi cukup.

    Manifestasi klinis RA meliputi keluhan umum, kelainan sendi, dan kelainan

    diluar sendi. Keluhan umum dapat berupa perasaan badan lemah, nafsu makan

    menurun, peningkatan panas badan yang ringan atau penurunan berat badan.

  • 41

    Keluhan sering berupa kaku sendi di pagi hari, pembengkakan dan nyeri sendi.

    Terutama mengenai sendi kecil dan simetris yaitu sendi pergelangan tangan, lutut

    dan kaki (sendi diartrosis). Sendi lainnya juga dapat terkena seperti sendi siku,

    bahu sterno-klavikula, panggul, pergelangan kaki. Kelainan tulang belakang

    terbatas pada leher. Dan kelainan diluar sendi dapat meliputi kelainan pada kulit

    yaitu nodul rematoid, kelainan jantung, paru, saraf, mata, dan kelenjar limfe.

    Pasien ini mengeluhkan nyeri sendi lutut kanan dan kiri hingga tidak bisa

    berjalan. Pasien juga mengeluhkan kaku dan nyeri sendi di jari-jari tangan

    terutama di ibu jari, jari telunjuk, dan jari tengah serta pergelangan tangan kanan

    dan kiri. Nyeri dirasakan sejak 2 bulan SMRS dan semakin lama semakin

    memburuk. Pasien juga mengeluhkan badan yang lemas sejak 1 hari SMRS.

    Demam, sesak, diare, kekeringan pada mata, penurunan nafsu makan dan berat

    badan disangkal pasien.

    Pemeriksaan penunjang pada pasien RA ditemukan pada hasil laboratorium

    yaitu penanda inflamasi Laju Endap Darah (LED) dan C-Reactive Protein (CRP)

    meningkat. Kemudian adanya Rheumatoid Factor (RF) positif namun RF negatif

    tidak menyingkirkan diagnosis. Dan Anti Cyclic Citrullinated Peptide (anti-CCP)

    yang positif namun hubungan antara anti-CCP terhadap beratnya penyakit tidak

    konsisten. Dari hasil pemeriksaan radiologis dapat terlihat berupa pembengkakan

    jaringan lunak, penyempitan ruang sendi, demineralisasi “juxta articular”,

    osteoporosis, erosi tulang, atau subluksasi sendi.

    Hasil laboratorium pasien ini pada saat masuk RS (13/9/2015) menunjukkan

    LED meningkat dengan hasil LED I 30mm dan LED II 60mm. Hasil CRP juga

    meningkat dengan hasil 71,4 mg/L. Selain itu RF juga mengalami peningkatan

    yaitu dengan hasil 16 dan tidak dilakukan pemeriksaan anti-CCP. Dari hasil

    pemeriksaan radiologis didapatkan gambaran osteoarthritis dan soft tissue

    swelling pada kedua sendi lutut.

    Penegakan diagnosis berdasarkan kriteria ARA tahun 1987 pada pasien ini

    terpenuhi karena trdapat minimal 4 kriteria dari 7 kriteria dan telah berlangsung

    lebih dari 6 minggu. Sedangkan pada kriteria ACR tahun 2010, pasien ini

    memenuhi kriteria karena memiliki skor lebih dari 6. Uraian masing-masing

    kriteria diagnosis dijabarkan sebagai berikut:

  • 42

    No Kriteria Diagnosis ARA tahun 1987 Skor

    1 Kaku pagi hari pada sendi dan sekitarnya, sekurang-

    kurangnya selama 1 jam sebelum perbaikan maksimal.

    2 Pembengkakan jaringan lunak atau persendian (arthritis)

    pada 3 daerah sendi atau lebih secara bersamaan.

    3 Artritis pada persendian tangan sekurang-kurangnya terjadi

    satu pembengkakan persendian tangan yaitu PIP (proximal

    interphalangeal), MCP (metacarpophalangeal), atau

    pergelangan tangan.

    4 Artritis simetris, keterlibatan sendi yang sama pada kedua

    belah sisi misalnya PIP (proximal interphalangeal), MCP

    (metacarpophalangeal), atau MTP (metatarsophalangeal).

    5 Nodul rheumatoid, yaitu nodul subkutan pada penonjolan

    tulang atau permukaan ekstensor atau daerah juksta

    artikuler.

    -

    6 Rheumatoid Factor serum positif, √

    7 Perubahan gambaran radiologis yang khas pada RA pada

    sendi tangan atau pergelangan tangan yaitu erosi atau

    dekalsifikasi tulang pada sendi yang terlibat

    -

    Kriteria Diagnosis ACR tahun 2010

    Distribusi Sendi (0-5) Skor Skor Pasien

    1 sendi besar

    2-10 sendi besar

    1-3 sendi kecil (sendi besar tidak diperhitungkan)

    4-10 sendi kecil (sendi besar tidak diperhitungkan)

    >10 sendi kecil

    0

    1

    2

    3

    5

    3

    Serologi (0-3)

    RF negatif DAN ACPA negatif

    Positif rendah RF ATAU positif rendah ACPA

    Positif tinggi RF ATAU positif tinggi ACPA

    0

    2

    3

    3

  • 43

    Durasi Gejala (0-1)

  • 44

    BAB V

    SIMPULAN

    Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit autoimun progresif dengan

    inflamasi kronik yang menyerang sistem muskuloskeletal namun dapat

    melibatkan organ dan sistem tubuh secara keseluruhan, yang ditandai dengan

    pembengkakan, nyeri sendi serta destruksi jaringan sinovial yang disertai

    gangguan pergerakan diikuti dengan kematian prematur. Terdapat banyak faktor

    risiko terjadinya RA diantaranya ada yang bersifat tidak dapat dimodifikasi

    (genetik, ras, jenis kelamin, dan usia) dan yang dapat dimodifikasi (gaya hidup,

    infeksi, dan bentuk tubuh). Manifestasi klinis RA dapat berupa keluhan umum,

    kelainan sendi, dan kelainan diluar sendi. Dengan penegakkan diagnosis

    berdasarkan kriteria ARA tahun 1987 ataupun ACR tahun 2010 dimana meliputi

    dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada pasien

    perempuan 49 tahun ini didapatkan tanda tanda yang serupa dengan manifestasi

    klinis artritis yang mengarah ke diagnosis rheumatoid arthritis dengan

    pemeriksaan fisik dan penunjang yang mendukung. Berdasarkan prosedur

    penatalaksanaan RA, saat ini pasien menjalani perawatan di rumah sakit dan

    mendapatkan terapi suportif dan medikamentosa untuk menghilangkan inflamasi

    dan mencegah destruksi jaringan lebih lanjut.

  • 45

    DAFTAR PUSTAKA

    Aletaha D, Neogi T, Silman AJ, Funovits, Felson T, Bingham III CO et al. (2010).Rematoid Arthritis Classification Criteria An American College ofRheumatology/European League Against Rheumatism CollaborativeInitiative. Arthritis Rheum, vol.62, pp.2569 – 81

    Bresnihan B. (2002). Rheumatoid Arthritis: Principles of Early Treatment. TheJournal of Rheumatology, vol.29, no.66, pp.9-12

    Candra K. (2013). Teknik Pemeriksaan Genu Pada Kasus Osteoarthritis DenganPasien Non Koperatif. Academia Edu

    Choy E. (2012). Understanding The Dynamics: Pathway Involved In ThePathogenesis Of Rheumatoid Arthritis. Oxford University Press on behalf ofthe British Society for Rheumatology, vol. 51, pp.3-11

    Febriana (2015). Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Rheumatoid ArthritisAnkle Billateral Di RSUD Saras Husada Purworejo. Fakultas IlmuKesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta

    Kapita Selekta Kedokteran/editor. Chris Tanto, et al. Ed.4.(2014). Jakarta: MediaAesculapius, pp 835-839

    McInnes, I.B., Schett, G. (2011). The Pathogenesis of Rheumatoid Arthritis. NEngl J Med, vol. 365, pp. 2205-19

    Nainggolan,Olwin. (2009). Prevalensi dan Determinan Penyakit Rematik diIndonesia. Maj Kedokt Indon, vol.59, no.12, pp.588-594

    Pradana,S.Y. (2012). Sensitifitas Dan Spesifisitas Kriteria ACR 1987 danACR/EULAR 2010 pada Penderita Artritis Reumatoid di RSUP Dr. KariadiSemarang. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

    Putra,T.R., Suega,K., Artana,I.G.N.B. (2013). Pedoman Diagnosis dan TerapiIlmu Penyakit Dalam. Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FakultasKedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah

    Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia. (2014). Diagnosis danPengelolaan Artritis Reumatoid. Perhimpunan Reumatologi Indonesia.ISBN

    Rudan, I., et al. (2015). Prevalence Of Rheumatoid Arthritis In Low– AndMiddle–Income Countries: A Systematic Review And Analysis. Journal ofGlobal Health, vol.5, no.1, pp.1-10

    Suarjana, I.N. (2009). Artritis Reumatoid. dalam Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B.,Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S. (editor). Buku Ajar Ilmu PenyakitDalam. Edisi V, FKUI, Jakarta, pp.2495-508

    Sumariyono, H.I. (2010). Predictor Of Joint Damage In Rheumatoid Arthritis.Indonesian Journal of Rheumatology, vol.03, no.02, pp. 15-20

  • 46

    Suyasa, I.G.P.D., Krisnandari, A.A.I.W., Onajiati NWU. (2013). Keluhan-Keluhan Lanjut Usia Yang Datang Ke Pengobatan Gratis Di Salah SatuWilayah Pedesaan di Bali. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Bali, pp.42-48

    Tobon, G.J., Youinou, P., Saraux, A. (2009). The Environment, Geo-Epidemiology, and Autoimmune Disease: Rheumatoid Arthritis, Elsevier,doi:10.1016/j.autrev.2009.11.019

  • 47

    LAMPIRAN

    Foto klinis jari-jari tangan dan lutut pasien