RESPONSI
IMPENDING EKLAMPSIA DENGAN PARTIAL HELLP SYNDROME
PADA PRIMIGRAVIDA HAMIL ATERM
Oleh:
Ikhsan Marsaid
G99141156Fariz Edi Wibowo
G99141161Akrim Permitasari
G99141173Nabila Exa Talita
G99141176Pembimbing:
dr. Nutria Widya Purna Anggraini, SpOG, M.Kes
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2015IMPENDING EKLAMPSIA DENGAN PARTIAL HELLP SYNDROME
PADA PRIMIGRAVIDA HAMIL ATERMABSTRAKPendahuluan: Pre eklampsia
ialah penyakit yang ditandai dengan adanya hipertensi, dan
proteinuria yang timbul karena kehamilan. Mortalitas maternal pada
pre eklampsia disebabkan oleh karena akibat komplikasi seperti:
syndrom HELLP yang merupakan suatu kumpulan gejala terdiri dari
Hemolysis, Elevated liver enzym, Low Platellete. PEB dengan
sindroma HELLP, maka penanganan terutama diprioritaskan untuk
stabilisasi kondisi ibu terutama tekanan darah, balance cairan dan
abnormalitas pembekuan darah.Isi: Seorang G1P0A0, 28 tahun, UK 40+5
minggu, riwayat obstetri dan fertilitas belum dapat dinilai, teraba
janin tunggal, intra uterin, preskep, punggung kiri, kepala masuk
panggul > 1/3 bagian. TFU 30 cm ~ TBJ: 2790 gram, his (-), DJJ
(+), (: - cm, eff: 10%, AK (-), STLD (-), belum dalam persalinan.
Dari pemeriksaan inspekulo didapatkan: Vulva/uretra tenang, dinding
vagina kesan dalam batas normal, portio livide, OUE tertutup, darah
(-). jaringan (-). Dari pemeriksaan VT didapatkan: vulva/uretra
tenang, dinding vagina kesan dalam batas normal, portio lunak, (: -
cm, eff: 10%, kulit ketuban dan penunjuk belum dapat dinilai,
presentasi kepala, AK (-), STLD (-). Hasil: Pasien didiagnosis
dengan Post SCTP emergency + insersi IUD atas indikasi Impending
eklampsia dengan partial HELLP syndrome pada primipara hamil
aterm.Kesimpulan: Tata laksana utama yang diberikan pada pasien
adalah terminasi kehamilan dikarenakan usia janin sudah aterm (40+5
minggu). Pasien belum dalam persalinan, maka dipertimbangkan untuk
persalinan per-abdominal karena pasien sudah pernah mengalami
impending eklampsia yang apabila dilanjutkan untuk persalinan
per-vaginam akan membahayakan ibu sendiri dan janinnya. Lahir bayi
laki-laki dengan berat badan 2900 gram per-abdominal. Kata kunci:
Pre eklampsia berat, impending eklampsia, partial HELLP syndromeBAB
I
PENDAHULUAN
Pre eklampsia penyakit yang ditandai dengan adanya hipertensi
dan proteinuria yang timbul karena kehamilan, sedangkan eklampsia
mempunyai gambaran klinik seperti pre eklampsia, biasanya disertai
kejang dan penurunan kesadaran (koma). Sampai sekarang etiologi pre
eklampsia masih belum diketahui. Setelah perdarahan dan infeksi,
pre eklampsia dan eklampsia merupakan penyebab kematian maternal
dan perinatal yang paling tinggi dalam ilmu kebidanan (POGI, 2005;
Rustam Mochtar, 1998).
Hipertensi dalam kehamilan (HDK) adalah salah satu penyebab
morbiditas dan mortalitas ibu di samping perdarahan dan infeksi.
Pada HDK juga didapatkan angka mortalitas dan morbiditas bayi yang
cukup tinggi. Di Indonesia pre eklampsia dan eklampsia merupakan
penyebab dari 30-40% kematian perinatal, sementara di beberapa
rumah sakit di Indonesia telah menggeser perdarahan sebagai
penyebab kematian maternal utama (Haryono, 2004).
Mortalitas maternal pada pre eklampsia disebabkan oleh karena
akibat komplikasi dari pre eklampsia dan eklampsianya seperti:
syndrom Hellp, solusio plasenta, hipofibrinogenemia, hemolisis,
perdarahan otak, gagal ginjal, dekompensasi kordis dengan oedema
pulmo dan nekrosis hati. Mortalitas perinatal pada pre eklampsia
dan eklampsia disebabkan asfiksia intra uterin, prematuritas,
dismaturitas, dan kematian janin intrauterin. Asfiksia terjadi
karena adanya gangguan perfusi uteroplasenta akibat vasospasme
arteriole spiralis. (Sarwono, 2002)
Syndrom HELLP merupakan kumpulan gejala multi sistem pada
penderita pre eklampsia berat (PEB) dan eklampsia yang terutama
ditandai dengan adanya hemolisis, peningkatan kadar enzim hepar dan
penurunan jumlah trombosit. Terjadinya sindroma HELLP merupakan
manifestasi akhir kerusakan endotel mikrovaskuler dan aktivasi
platelet intravaskuler. Karakteristik penderita pada sindroma HELLP
lebih banyak ditemukan pada nullipara dan pada usia kehamilan yang
belum aterm. Karena adanya mikroangiopati yang menyebabkan aktivasi
dan konsumsi yang meningkat dari platelet, terjadi penumpukan
fibrin di sinusoid hepar, maka gejala yang menonjol adalah rasa
nyeri pada daerah epigastrium kanan, mual muntah, ikterus, nyeri
kepala dan gangguan penglihatan serta tanda-tanda hemolisis. (POGI,
2005; Haryono, 2004; Rijanto Agung, 1995).Apabila pada pemeriksaan
antenatal ditemukan PEB dengan sindroma HELLP, maka penanganan
terutama diprioritaskan untuk stabilisasi kondisi ibu terutama
tekanan darah, balance cairan dan abnormalitas pembekuan darah.
Dilakukan terminasi kehamilan dengan segera tanpa memperhitungkan
usia kehamilan, mengingat besarnya risiko maternal serta jeleknya
luaran perinatal apabila kehamilan diteruskan (Rijanto Agung,
1995).BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. PRE EKLAMPSIA 1. Definisi
Pre eklampsia adalah penyakit hipertensi dan proteinuria yang
didapatkan setelah umur kehamilan 20 minggu. (POGI, 2005). Dulu,
pre eklampsia didefinisikan sebagai penyakit dengan tanda-tanda
hipertensi, edema dan proteinuria yang timbul karena kehamilan.
Penyakit ini terjadi pada triwulan ke-3 kehamilan tetapi dapat juga
terjadi sebelumnya, misalnya pada mola hidatidosa (Sarwono,
2002).Pada kasus yang diabaikan atau yang lebih jarang terjadi,
pada kasus hipertensi karena kehamilan yang fulminan dapat terjadi
eklampsia. Bentuk serangan kejangnya ada kejang grand mal dan dapat
timbul pertama kali sebelum, selama, atau setelah persalinan.
Kejang yang timbul lebih dari 48 jam setelah persalinan lebih besar
kemungkinannya disebabkan lesi lain yang bukan terdapat pada
susunan saraf pusat (Cunningham, et al., 1995).Eklampsia yang
terjadi dalam kehamilan menyebabkan kelainan pada susunan saraf.
Penyebab eklampsia adalah kurangnya cairan darah ke otak, hipoksia
otak, atau edema otak (Rustam Mochtar, 1998).PEB dapat menjadi
impending eklampsia. Impending eklampsia ditandai dengan adanya
hiperrefleksi. Gejala subyektif dari pasien yaitu jika pasien
merasa kepalanya pusing, muntah, atau adanya nyeri epigastrik (Turn
Bull, 1995).
2. Etiologi
Penyebab pre eklampsia sampai sekarang belum diketahui pasti.
Teori yang dewasa ini dapat dikemukakan sebagai penyebab pre
eklampsia ialah iskemia plasenta (Budiono, 1999).
Vasospasme merupakan dasar patofisiologi pre eklampsia dan
eklampsia. Konsep ini yang pertama kali diajukan oleh Volhard
(1918) (Cunningham, et al., 1995). Namun tetap banyak teori yang
mencoba menerangkan sebab penyakit ini, akan tetapi tidak ada yang
dapat memberi jawaban yang memuaskan.
Sekarang ini tiga hipotesis menempati penyelidikan utama,
hipotesis pertama menghubungkan pre eklampsia dengan faktor
imunologi (ketidakcocokan berlebihan antara ibu dengan anak),
hipotesis kedua menghubungkan sindrom prostalglandin yang
menimbulkan ketidakseimbangan diantara vasodilator PG2 dan
prostasiklin serta rangkaian vasokonstriktor PGF dan tromboksan,
hipotesis ketiga menghubungkan pre eklampsia dengan iskhemii
uteroplasenta (Neville, dkk., 2001).
Rupanya tidak hanya satu faktor melainkan banyak faktor yang
menyebabkan pre eklampsia dan eklampsia. Diantara faktor-faktor
yang ditemukan seringkali sukar ditentukan mana yang sebab dan mana
yang akibat (Sarwono, 2002).
3. PatofisiologiPada pre eklampsia terjadi spasme pembuluh darah
disertai dengan retensi garam dan air. Jika semua arteriolae pada
tubuh mengalami spasme, maka tekanan darah akan naik, sebagai usaha
untuk mengatasi kenaikan tekanan perifer agar oksigenasi jaringan
tetap tercukupi. Sedangkan kenaikan berat badan dan oedem yang
disebabkan oleh penimbunan air yang berlebihan dalam ruang
interstisial belum diketahui sebabnya, mungkin karena retensi garam
dan air. Proteinuria dapat disebabkan oleh spasme arteriolae
sehingga terjadi perubahan pada glomerulus (Rustam Mochtar,
1998).
4. FrekuensiUntuk tiap negara berbeda karena banyak faktor yang
mempengaruhinya; jumlah primigravida, keadaan sosial ekonomi,
perbedaan dalam penentuan diagnosa. Dalam kepustakaan, frekuensi di
lapangan berkisar antara 3-10%.
Pada primigravida frekuensi pre eklampsia lebih tinggi bila
dibandingkan dengan multigravida terutama primigravida muda, DM
Tipe I, diabetes gestasional, mola hidatidosa, kehamilan ganda,
hidrops fetalis, umur lebih dari 35 tahun, obesitas, riwayat pernah
eklampsia, hipertensi kronik, dan penyakit ginjal merupakan faktor
predisposisi untuk terjadinya pre eklampsia (Sarwono, 2002).
5. KlasifikasiPre eklampsia dibagi menjadi 2 golongan, yaitu
:
a. Pre eklampsia ringan
Kriteria diagnostik :
Tekanan darah ( 140/90 mmHg yang diukur pada posisi telentang;
atau kenaikan sistolik ( 30 mmHg; atau kenaikan tekanan diastolik (
15 mmHg.
Cara pengukuran sekurang-kurangnya pada dua kali pemeriksaan
dengan jarak periksa 1 jam, sebaiknya 6 jam.
Proteinuria kuantitatif ( 0,3 gram/liter; kualitatif 1+ atau 2+
pada urin kateter atau mid stream
Oedema: lokal pada tungkai tidak dimasukkan dalam kriteria
diagnostik kecuali anasarka.
b. Pre eklampsia berat
Pre eklampsia digolongkan berat bila terdapat satu atau lebih
gejala:
1. Tekanan sistole 160 mmHg atau lebih, atau tekanan diastole
110 mmHg atau lebih
2. Proteinuria 5 gr atau lebih per jumlah urin selama 24 jam
3. Oliguria, air kencing kurang dari atau sama dengan 400 cc
dalam 24 jam.
4. Kenaikan kreatinin serum
5. Nyeri di daerah epigastrium dan nyeri kuadran atas kanan
abdomen
6. Terjadi oedema paru-paru dan sianosis
7. Terjadi kelainan serebral dan gangguan penglihatan
8. Terjadi gangguan fungsi hepar
9. Hemolisis mikroangiopatik
10. Trombositopenia (< 100.000 sel/mm3)
11. Sindroma Hellp. (POGI, 2005; Sarwono, 2002; Rustam Mochtar,
1998)
6. DiagnosisDiagnosis pre eklampsia didasarkan atas adanya
hipertensi dan proteinuria (POGI, 2005).Diagnosis eklampsia umumnya
tidak mengalami kesukaran. Dengan adanya tanda dan gejala pre
eklampsia yang disusul oleh serangan kejang, maka diagnosis
eklampsia sudah tidak diragukan (Budiono, 1999).Menurut
Organization Gestosis, impending eklampsia adalah gejala-gejala
oedema, protenuria, hipertensi disertai gejala subyektif dan
obyektif. Gejala subyektif antara lain: nyeri kepala, gangguan
visual dan nyeri epigastrium. Sedangkan gejala obyektif antara
lain: hiperreflexia, eksitasi motorik dan sianosis. (M. Dikman
Angsar, 1995)
7. PencegahanYang dimaksud pencegahan adalah upaya untuk
mencegah terjadinya pre eklampsia pada wanita hamil yang mempunyai
resiko terjadinya pre eklampsia (POGI, 2005).Penerangan tentang
manfaat istirahat dan diet berguna dalam pencegahan. Istirahat
tidak selalu berarti berbaring di tempat tidur, namun pekerjaan
sehari-hari perlu dikurangi dan dianjurkan lebih banyak duduk dan
berbaring. Diet tinggi protein dan rendah lemak, karbohidrat, garam
dan penambahan berat badan yang tidak berlebihan perlu dianjurkan.
Mengenal secara dini preeklamsi dan segera merawat penderita tanpa
memberikan diuretik dan obat antihipertensi. Memang merupakan
kemajuan dari pemeriksaan antenatal yang baik (Sarwono, 2002).
8. Diagnosis Banding
Hipertensi menahun
Penyakit ginjal
Epilepsi
9. Penanganan
Prinsip penatalaksanaan pre eklampsia berat adalah mencegah
timbulnya kejang, mengendalikan hipertensi guna mencegah perdarahan
intrakranial serta kerusakan dari organ-organ vital dan melahirkan
bayi dengan selamat (Sarwono, 2002).
Pada pre eklampsia, penyembuhan dilakukan dengan ekspulsi yaitu
pengeluaran trofoblast. Pada pre eklampsia berat, penundaan
merupakan tindakan yang salah. Karena pre eklampsia sendiri bisa
membunuh janin (Cunningham, et al., 1995).PEB dirawat segera
bersama dengan bagian Interna dan Neurologi, dan kemudian
ditentukan jenis perawatan / tindakannya. Perawatannya dapat
meliputi :
a. Perawatan aktif, yang berarti kehamilan segera diakhiri
setelah mendapat terapi medikamentosa untuk stabilisasi ibu.
Indikasi :
Bila didapatkan satu atau lebih dari keadaan berikut ini
1). Ibu :
a). Kegagalan terapi pada perawatan konservatif :
Setelah 6 jam sejak dimulai pengobatan medikamentosa, terjadi
kenaikan darah yang persisten
Setelah 24 jam sejak dimulai pengobatan medikamentosa, terjadi
kenaikan desakan darah yang persisten
b). Adanya tanda-tanda terjadinya impending eklampsia
c). Gangguan fungsi hepar
d). Gangguan fungsi ginjal
e). Dicurigai terjadi solutio plasenta
f). Timbulnya onset partus, ketuban pecah dini, perdarahan
2). Janin :
a). Umur kehamilan lebih dari 37 minggu
b). Adanya tanda-tanda gawat janin (bisa diketahui dari NST
nonreaktif dan profil biofisik abnormal)
c). Adanya tanda-tanda pertumbuhan janin terhambat berat (IUGR
berat) berdasarkan pemeriksaan USG
d). Timbulnya oligohidramnion
3). Laboratorium :
Trombositopenia progresif yang menjurus ke HELLP syndrome (POGI,
2005).
Pengobatan Medisinal :1). Segera masuk rumah sakit
2). Tirah baring ke kiri secara intermiten
3). Infus D5% yang tiap liternya diselingi dengan larutan RL 500
cc (60-125 cc/jam)
4). Pemberian obat anti kejang MgSO4 sebagai pencegahan dan
terapi. Pemberian dibagi loading dose (dosis awal) dan dosis
lanjutan.
5). Anti hipertensi diberikan bila tensi 180/110
6). Diuretikum diberikan atas indikasi edema paru, payah jantung
kongestif, edema anasarka
7). Diet cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam
(POGI, 2005).
b. Pengelolaan Konservatif, yang berarti kehamilan tetap
dipertahankan sehingga memenuhi syarat janin dapat dilahirkan,
meningkatkan kesejahteraan bayi baru lahir tanpa mempengaruhi
keselamatan ibu.
Indikasi :
Kehamilan kurang bulan (< 37 minggu) tanpa disertai
tanda-tanda impending eklamsi dengan keadaan janin baik.Pengobatan
Medisinal :
Sama dengan perawatan medisinal pada pengelolaan secara aktif.
Hanya dosis awal MgSO4 tidak diberikan i.v. cukup i.m. saja (MgSO4
40% 8 gr i.m.) (Hidayat W., dkk., 1998).
Sebagai pengobatan untuk mencegah timbulnya kejang-kejang dapat
diberikan:
i. Larutan sulfas magnesikus 40 % (4 gram) disuntikan IM pada
bokong kiri dan kanan sebagai dosis permulaan, dan dapat diulang 4
gram tiap 6 jam menurut keadaan. Tambahan sulfas magnesikus hanya
diberikan bila diuresis baik, reflek patella positif, dan kecepatan
pernapasan lebih dari 16 kali per menitii. klorpromazin 50 mg
IMiii. diazepam 20 mg IM.Penggunaan obat hipotensif pada pre
eklampsia berat diperlukan karena dengan menurunkan tekanan darah
kemungkinan kejang dan apopleksia serebri menjadi lebih kecil.
Apabila terdapat oligouria, sebaiknya penderita diberi glukosa 20 %
secara intravena. Obat diuretika tidak diberikan secara rutin.
Untuk penderita pre eklampsia diperlukan anestesi dan sedativa
lebih banyak dalam persalinan. Pada kala II, pada penderita dengan
hipertensi, bahaya perdarahan dalam otak lebih besar, sehingga
apabila syarat-syarat telah terpenuhi, hendaknya persalinan
diakhiri dengan cunam atau vakum. Pada gawat janin, dalam kala I,
dilakukan segera seksio sesarea; pada kala II dilakukan ekstraksi
dengan cunam atau ekstraktor vakum (Budiono, 1999).
10. Prognosis
Prognosis PEB dan eklampsia dikatakan jelek karena kematian ibu
antara 9,8 20,5%, sedangkan kematian bayi lebih tinggi lagi, yaitu
42,2 48,9%. Kematian ini disebabkan karena kurang sempurnanya
pengawasan antenatal, disamping itu penderita eklampsia biasanya
sering terlambat mendapat pertolongan. Kematian ibu biasanya karena
perdarahan otak, decompensatio cordis, oedem paru, payah ginjal dan
aspirasi cairan lambung. Sebab kematian bayi karena prematuritas
dan hipoksia intra uterin.
B. SINDROMA HELLP
1. Definisi
Sindroma HELLP yang merupakan singkatan dari Hemolysis, Elevated
Liver enzymes and Low Platelet counts, pertama kali dilaporkan oleh
Louis Weinstein tahun 1982 pada penderita PEB. Sindroma ini
merupakan kumpulan gejala multi sistem pada penderita PEB dan
eklampsia yang terutama ditandai dengan adanya hemolisis,
peningkatan kadar enzim hepar dan trombositopeni (Haryono, 2004).2.
Insiden
Insiden sindroma HELLP sampai saat ini belum diketahui dengan
pasti. Hal ini disebabkan karena onset sindroma ini sulit di duga,
gambaran klinisnya sangat bervariasi dan perbedaan dalam kriteria
diagnosis. Insiden sindroma HELLP berkisar antara 2 12% dari pasien
dengan PEB, dan berkisar 0,2 0, 6% dari seluruh kehamilan (Haryono,
2004).
3. Patogenesis
Karena sindroma HELLP adalah merupakan bagian dari pre
eklampsia, maka etiopatogenesisnya sama dengan pre eklampsia.
Sampai saat ini belum diketahui dengan pasti patogenesis pre
eklampsia atau sindroma HELLP. Ada perbedaan yang nyata antara
kehamilan normal dan pre eklampsia, yaitu pada tekanan darah pada
trimester II (kehamilan normal) menurun, sedangkan kadar plasma
renin, angiotensin II, prostasiklin dan volume darah meningkat.
Lain halnya pada pre eklampsia, tekanan darah pada trimester II
meningkat, sedangkan kadar plasma renin, angiotensin II dan
prostasiklin menurun. Beberapa ahli menitikberatkan pada gangguan
fungsi endotel atau trofoblast dan teori ini dikenal dengan teori
kerusakan endotel.4. Klasifikasi
Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium, Martin
mengelompokkan penderita sindroma HELLP dalam 3 kategori, yaitu
:
Kelas I : jumlah platelet ( 50.000/mm3.
Kelas II: jumlah platelet 50.000 100.000/mm3.
Kelas III: jumlah platelet 100.000 150.000/mm3 (7).
Menurut Audibert dkk. (1996), dikatakan sindroma HELLP partial
apabila hanya dijumpai satu atau lebih perubahan parameter sindroma
HELLP seperti hemolisis (H), elevate liver enzymes (EL) dan low
platelets (LP); dan dikatakan sindroma HELLP murni jika dijumpai
perubahan pada ketiga parameter tersebut.
5. Gambaran Klinis
Gejala klinis sindroma HELLP merupakan gambaran adanya
vasospasme pada sistem vaskuler hepar yang menurunkan fungsi hepar.
Oleh karena itu gejala sindroma HELLP memberi gambaran gangguan
fungsi hepar yang dapat berupa : malaise, nausea, kadang-kadang
disertai vomitus dan keluhan nyeri di epigastrium kanan atas (M.
Dikman Angsar, 1995).
Karena gejala dan tanda bervariasi maka seringkali terjadi salah
diagnosis, sehingga ada peneliti yang merekomendasikan bahwa semua
ibu hamil yang memiliki salah satu dari gejala tersebut hendaknya
dilakukan pemeriksaan apusan darah, jumlah trombosit dan enzim
hepar serta tekanan darah ibu.
6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium pada sindroma HELLP sangat diperlukan
karena diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil laboratorium,
walaupun sampai saat ini belum ada batasan yang tegas tentang nilai
batas untuk masing-masing parameter.
Hemolisis
Menurut Weinstein (1982) dan Sibai (1986) gambaran ini merupakan
gambaran yang spesifik pada sindroma HELLP. Hemoglobin bebas dalam
sistem retikulo endothelial akan berubah menjadi bilirubin.
Peningkatan kadar bilirubin menunjukkan terjadinya hemolisis.
Hemolisis intravaskuler menyebabkan sumsum tulang merespon dengan
mengaktifkan proses eritropoesis, yang mengakibatkan beredarnya
eritrosit imatur.
Peningkatan kadar enzim hepar
Serum aminotransferase yaitu aspartat aminotransferase (SGOT)
dan glutamat piruvat transaminase (SGPT) meningkat pada kerusakan
sel hepar. Pada pre eklampsia, SGOT dan SGPT meningkat 1/5 kasus,
dimana 50% diantaranya adalah peningkatan SGOT. Pada sindroma HELLP
peningkatan SGOT lebih tinggi dari SGPT terutama pada fase akut dan
progresivitas sindroma ini. Peningkatan SGOT dan SGPT dapat juga
merupakan tanda terjadinya ruptur hepar.
Laktat dehidrogenase (LDH) adalah enzim katalase yang
bertanggungjawab terhadap proses oksidasi laktat menjadi piruvat.
LDH yang meningkat menggambarkan terjadinya kerusakan sel hepar.
Peningkatan kadar LDH tanpa disertai peningkatan kadar SGOT dan
SGPT menunjukkan terjadinya hemolisis.
Jumlah platelet yang rendah (Haryono, 2004).
7. Diagnosis
Kriteria diagnosis sindroma HELLP menurut Sibai adalah sebagai
berikut :(Cunningham, 1995)
Hemolisis
i) Schistiosit pada apusan darah
ii) Bilirubin ( 1,2 mg/dl
iii) Haptoglobin plasma tidak ada
Peningkatan enzim hepar
i) SGOT ( 72 IU/L
ii) LDH ( 600 IU/L
Jumlah trombosit rendah
i) Trombosit ( 100.000/mm38. Penatalaksanaan
Mengingat kejadian sindroma HELLP pada kehamilan muda, maka
terdapat kontroversi pada penanganan sindroma HELLP. Prioritas
utama adalah menstabilkan kondisi ibu terutama jika terjadi
gangguan pembekuan darah. Tahap berikutnya adalah melihat
kesejahteraan janin, kemudian keputusan segera apakah ada indikasi
untuk dilahirkan atau tidak.
Sebagian setuju untuk melakukan perawatan secara konservatif
sampai kematangan paru janin tercapai dalam upaya meningkatkan
kualitas bayi yang dilahirkan. Sebagian lainnya melakukan tindakan
agresif untuk melakukan terminasi secepatnya apabila gangguan
fungsi hati dan koagulasi diketahui. Beberapa peneliti menganjurkan
terminasi kehamilan dengan segera tanpa memperhitungkan usia
kehamilan, mengingat besarnya risiko maternal serta jeleknya luaran
perinatal apabila kehamilan diteruskan. Namun semua peneliti
sepakat bahwa terminasi kehamilan merupakan satu-satunya terapi
yang definitif (Haryono, 2004).
Penanganan pertama sesuai dengan penanganan PEB. Kemudian
dilakukan evaluasi dan koreksi kelainan faktor-faktor pembekuan
(Haryono, 2004).
Untuk perawatan konservatif dianjurkan tirah baring total dengan
infus plasma albumin 525%. Tujuannya untuk menurunkan
hemokonsentrasi, peningkatan jumlah trombosit dan pengurangan
beberapa gejala toksemia. Jika cervix memadai dapat dilakukan
induksi oksitosin drip pada usia kehamilan ( 32 minggu. Apabila
keadaan cervix kurang memadai, dilakukan elektif Sectio Caesaria.
Apabila jumlah trombosit ( 50.000/mm3 dilakukan tranfusi
trombosit.9. Prognosis
Penderita sindroma HELLP mempunyai kemungkinan 19-27% untuk
mendapat risiko sindrom ini pada kehamilan berikutnya dan mempunyai
risiko sampai 43% untuk mendapat pre eklampsia pada kehamilan
berikutnya. Angka morbiditas dan mortalitas pada bayi tergantung
dari keparahan penyakit ibu. Anak yang menderita sindroma HELLP
mengalami perkembangan yang terhambat (IUGR) dan sindroma kegagalan
napas (Haryono, 2004).BAB III
STATUS PENDERITA
A. ANAMNESIS
Tanggal 07 Februari 2015 Pukul 02.301. Identitas Penderita
Nama :Ny. NSUmur: 28 tahun
Jenis Kelamin:Perempuan
Pekerjaan :Ibu rumah tangga
Agama:IslamAlamat :Kerten, SurakartaStatus Perkawinan :Menikah
1x/ 1 tahunHPMT:28 April 2014HPL:05 Februari 2015UK:40+5
mingguTanggal Masuk:7 Februari 2015
No.CM :01289465Berat badan
: 60 Kg
Tinggi Badan : 157 cm
2. Keluhan Utama
Kenceng-kenceng3. Riwayat Penyakit Sekarang
Datang seorang G1P0A0, 28 tahun, usia kehamilan 40+5 minggu
dating sendiri dengan keluhan kenceng-kenceng. Pasien merasa hamil
9 bulan, gerakan janin masih dirasakan, kenceng-kenceng teratur
belum dirasakan, air kawah belum dirasakan keluar, lendir darah
disangkal, nyeri kepala frontal disangkal, pasien merasa pandangan
kabur, pasien merasa mual, namun tidak disertai muntah.4. Riwayat
Penyakit Dahulu
Riwayat Hipertensi
: Disangkal
Riwayat Penyakit Jantung
: Disangkal
Riwayat DM
: Disangkal
Riwayat Asma
: Disangkal
Riwayat Alergi Obat/makanan
: Disangkal
Riwayat Minum Obat Selama Hamil: Disangkal
5. Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat Hipertensi
: Disangkal
Riwayat Penyakit Jantung
: Disangkal
Riwayat DM
: Disangkal
Riwayat Asma
: Disangkal
Riwayat Alergi Obat/makanan
: Disangkal
6. Riwayat Fertilitas dan obstetri
Belum dapat dievaluasi7. Riwayat Ante Natal Care (ANC)
Teratur, pertama kali periksa ke puskesmas pada usia kehamilan 1
bulan.
8. Riwayat Haid
Menarche
: 13 tahun
Lama menstruasi
: 6-7 hari
Siklus menstruasi: 28 hari
9. Riwayat Perkawinan
Menikah 1 kali ( umur 27 tahun )
10. Riwayat Keluarga Berencana
(-)
B. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Interna
Keadaan Umum : Baik,, CM, gizi kesan cukup
Tanda Vital :
Tensi
: 190/100 mmHg
Nadi
: 81 x / menit
Respiratory Rate : 20 x/menit
Suhu
: 36,8 0C
Kepala : Mesocephal
Mata : Conjunctiva Anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-)
THT : Tonsil tidak membesar, Pharynx hiperemis (-)
Leher: Pembesaran kelenjar tiroid (-), limfadenopati (-)Thorax
:Normothorax, Gld. Mammae dalam batas normal, areola mammae
hiperpigmentasi (+)
Cor :
Inspeksi : IC tidak tampak
Palpasi : IC tidak kuat angkat
Perkusi : Batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : Bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler,
bising (-)
Pulmo :
Inspeksi : Pengembangan dada ka = ki
Palpasi : Fremitus raba dada ka = ki
Perkusi : Sonor/Sonor
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), Ronki basah kasar
(-/-), wheezing (-/-)Abdomen:
Inspeksi : Dinding perut > dinding dada
Stria gravidarum (+)
Palpasi : Supel, NT (-), hepar lien tidak membesar
Perkusi :Tympani pada bawah processus xiphoideus, redup pada
daerah uterus
Auskultasi: Peristaltik (+) normal
Genital : Lendir darah (-), air ketuban (-)
Ekstremitas : Oedema
--
++
Akral dingin
--
--
2. Status Obstetri
Inspeksi
Kepala
: Mesocephal
Mata
: Conjungtiva Anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
Wajah
: Kloasma gravidarum (+)
Thorax :Glandula mammae hipertrofi (+), aerola mammae
hiperpigmentasi (+)
Abdomen :
Inspeksi : Dinding perut > dinding dada, stria gravidarum
(+)
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), teraba janin tunggal, intra
uterin, memanjang, presentasi kepala, punggung kiri, kepala masuk
panggul > 1/3 bagian, his (-). DJJ (+)
145x/menit/regular.Pemeriksaan Leopold
I: TFU setinggi 30 cm, teraba bagian lunak dan bulat, kesan
bokong janinII: teraba punggung di sebelah kiri, dan bagian kecil
sebelah kananIII: teraba 1 bagian keras kesan kepala janin
IV: kepala janin masuk panggulPerkusi :Tympani pada bawah
processus xipoideus, redup pada daerah uterus
Auskultasi : DJJ (+) 12-13-12/reguler
Genital eksterna :Vulva/uretra tidak ada kelainan, lendir darah
(-), peradangan (-), tumor (-)
Ekstremitas :
Oedema
--
++
akral dingin
--
--
Pemeriksaan Dalam :
Inspekulo: vulva/uretra tenang, dinding vagina kesan dalam batas
normal, portio livide, OUE tertutup, darah (-). jaringan (-).VT :
vulva / uretra tenang, dinding vagina kesan dalam batas normal,
portio lunak, ( : - cm, eff: 10%, kulit ketuban & penunjuk
belum dapat dinilai, presentasi kepala, AK (-), STLD (-).
UPD: promontorium tidak teraba
linea terminalis teraba < 1/3 bagian
spina ischiadica tidak menonjol
arcus pubis > 900
kesan : panggul ginekoid normal
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium Darah tanggal 7 Februari 2015
(05:54WIB):Hemoglobin
: 12,4 gr/dl
Hematokrit
: 36 %
Antal Eritrosit
: 4,11 x 103/uLAntal Leukosit
: 9,1 x 103/uL
Antal Trombosit
: 64 x 103/uL
GDS
: 87 mg/dL
Ureum
: 54 mg/dL
Creatinin
: 1,0 mg/dL
SGOT
: 25 u/l
SGPT
: 13 u/lLDH
: 403Na+
: 134 mmol/L
K+
: 4,5 mmol/L
Ion klorida
: 108
HbS Ag
: non reaktifAlbumin: 2,9PT: 10,5
APTT: 37,5
Ewitz: +4 (Positif 4)
2. Ultrasonografi (USG) tanggal 7 Februari 2015
Tampak janin tunggal, intrauterin, memanjang, presentasi kepala,
DJJ (+), dengan biometri:
Janin I BPD: 9,07 cm
FL: 7,18 cm
AC: 30,26 cm
EFBW: 2696 gram Plasenta berinsersi di corpus Grade II
Air ketuban kesan cukup
Tak tampak kelainan kongenital mayor
Kesimpulan: saat ini janin dalam keadaan baik
D. KESIMPULAN
Seorang G1P0A0, 28 tahun, UK 40+5 minggu, riwayat obstetri dan
fertilitas belum diketahui, teraba janin tunggal, intra uterin,
preskep, punggung kiri, kepala masuk panggul > 1/3 bagian. TFU
30 cm ~ TBJ : 2790 gram, his (-), DJJ (+), ( : - cm, eff: 10%, AK
(-), STLD (-), belum dalam persalinan.E. DIAGNOSA AWAL
Impending eklampsia dengan partial HELLP syndrome pada
primigravida hamil aterm, belum dalam persalinan + hipoalbumin
(2,9) + proteinuria (+4)F. PROGNOSA
DubiaG. TERAPI
Infus RL 12 tpm Cek lab Usul SCTP emergency + IUD KIE Protap PEB
: O2 3 lpm Injeksi MgSO4 4 gram/6 jam Nifedipin 3x10 mg bila TD
160/110 DC ( BC NST ( reaktifEvaluasi 7 Februari 2015 jam 06.00KU :
baik, CM, gizi kesan cukup
VS: T = 190/100 mmHg
Rr = 20 x/ menit
N = 80x/menit
S = 36,70 C
Mata
: Conjungtiva Anemis (-), Sklera Ikterik (-)
Thoraks : C/P dalam batas normal
Abdomen: Supel, nyeri tekan (-), teraba janin tunggal, intra
uterin, memanjang, preskep, punggung kiri, kepala masuk panggul,
his (+), DJJ (+) 153x / menit / reguler
Genital: darah (-), discharge (-)Diagnosa: Impending eklampsia
partial HELLP syndrome pada primigravida hamil aterm,
belum dalam persalinan + hipoalbumin (2,9) + proteinuria
(+4)Terapi
: - Protap PEB : O2 2 lpm Infus RL 12 tpm Injeksi MgSO4 4 gram/6
jam selama 24 jam (03.30 ( selesai )
Nifedipin 3x10 mg bila TD 160/110 DC ( BC Injeksi Ceftriaxone (
skin test Persiapan SCTP emergency + IUDEvaluasi 7 Februari 2015
jam 06.10Dibawa ke OK untuk SCTP emergency. Operasi dimulai jam
06.25 WIB. Operasi selesai 07.25 WIB.
Output
Lahir bayi laki-laki dengan berat badan 2900 gram, panjang badan
48 cm, AS 7-8-9, anus (+), kelainan kongenital (-), injeksi vitamin
K (+).
Plasenta lahir perabdominal, kesan lengkap, PPV dalam batas
normal, UC keras.Follow up post SC tanggal 7 Februari 20151.
Intruksi post operasi :a. Injeksi dexamethasone 2 ampul/12 jam
b. Injeksi ceftriaxone 2 gr/12 jam
c. Injeksi metronidazole 500 mg/8 jam
d. Injeksi ketorolac 1 ampul/12 jam
2. Terapi post SC DPH 0-2 :a. Awasi KU/VS/BC
b. Awasi tanda-tanda perdarahan
c. Puasa sampai peristaltic (+)
d. Cek DR3 post OP
e. Medikamentosa :
Injeksi dexamethasone 2 ampul/12 jam
Injeksi ceftriaxone 2 gr/12 jam
Injeksi metronidazole 500 mg/8 jam
Injeksi ketorolac 1 ampul/12 jamFollow up tanggal 7 Februari
2015 jam 09.00 WIBKel: -
KU: baik, CM
VS: T: 150/110 mmHg
Rr: 20 x/ menit
N: 81 x/ menit
S: 36,20C
Mata
: CA (-/-), SI (-/-)
Thorax
: cor/pulmo dbn
Abdomen: Supel, nyeri tekan (-), tampak luka post op tertutup
perban, TFU 2 jari di bawah pusat, kontraksi uterus (+)Genital:
darah (-), lokia (-)Diagnosa: Post SCTP emergency + insersi IUD
atas indikasi Impending eklampsia partial
HELLP syndrome pada primipara hamil aterm dengan leukositosis
ringan (115) dan trombositopenia (79) DPH 0Terapi
: Injeksi dexamethasone 2 ampul/12 jam
Injeksi ceftriaxone 2 gr/12 jam
Injeksi metronidazole 500 mg/8 jam Injeksi ketorolac 1 ampul/12
jam Protap PEB : O2 3 lpm Infus RL 12 tpm Injeksi MgSO4 1 gram/jam
( 24 jam Nifedipin 3x10 mg bila TD 160/110Follow up tanggal 8
Februari 2015
Kel: Nyeri bekas operasiKU: baik, CM
VS: T: 140/90 mmHg
Rr: 20 x/ menit
N: 81 x/ menit
S: 36,20C
BC: -200Mata
: CA (-/-), SI (-/-)
Thorax
: cor/pulmo dbn
Abdomen: Supel, nyeri tekan (-), tampak luka post op tertutup
perban, TFU 2 jari di bawah pusatGenital
: darah (-), lokia (-)Diagnosa: Post SCTP emergency + insersi
IUD atas indikasi Impending eklampsia partial
HELLP syndrome pada primipara hamil aterm dengan anemia ringan
(11,9), leukositosis (26,1) dan trombositopenia (123) DPH
1Terapi
: Injeksi dexamethasone 2 ampul/12 jam ( stop Injeksi
ceftriaxone 2 gr/12 jam
Injeksi metronidazole 500 mg/8 jam Injeksi ketorolac 1 ampul/12
jam Protap PEB : O2 3 lpm Infus RL 12 tpm Injeksi MgSO4 1 gram/jam
( 24 jam Nifedipin 3x10 mg bila TD 160/110
Follow up tanggal 9 Februari 2015
Kel: -KU: baik, CM
VS: T: 140/85 mmHg
Rr: 20 x/ menit
N: 81 x/ menit
S: 36,70C
BC: -600Mata
: CA (-/-), SI (-/-)
Thorax
: cor/pulmo dbn
Abdomen: Supel, nyeri tekan (-), tampak luka post op tertutup
perban, TFU 2 jari di bawah pusat, peristaltik (+)Genital: darah
(-), lokia (+)Diagnosa: Post SCTP emergency + insersi IUD atas
indikasi Impending eklampsia partial
HELLP syndrome pada primipara hamil aterm dengan anemia ringan
(11,9), leukositosis (26,1) dan trombositopenia (123) DPH
2Terapi
: Injeksi dexamethasone 2 ampul/12 jam ( stop Injeksi
ceftriaxone 2 gr/12 jam
Injeksi metronidazole 500 mg/8 jam Injeksi ketorolac 1 ampul/12
jam
Injeksi asam transexamat 1 ampul/8jam Protap PEB : O2 3 lpm
Infus RL 12 tpm Injeksi MgSO4 4 gram/6jam Nifedipin 3x10 mg bila TD
160/110 Diet TKTP Mobilisasi bertahap Pindah bangsal ( acc Cek lab
PEB/3hariFollow up tanggal 10 Februari 2015
Kel: -KU: baik, CM
VS: T: 140/90 mmHg
Rr: 18 x/ menit
N: 78 x/ menit
S: 36,70C
Mata
: CA (-/-), SI (-/-)
Thorax
: cor/pulmo dbn
Abdomen: Supel, nyeri tekan (-), tampak luka post op tertutup
perban, TFU 2 jari di bawah pusat, peristaltic (+)Genital : darah
(-), lokia (+)Diagnosa: Post SCTP emergency + insersi IUD atas
indikasi Impending eklampsia partial
HELLP syndrome pada primipara hamil aterm dengan anemia ringan
(11,9), leukositosis (26,1) dan trombositopenia (123) DPH
3Terapi
: Aff infus dan DC
Cefadroxil 2x1
Metronidazole 3x1
Asam mefenamat 3x1
Protap PEB : O2 3 lpm Infus RL 12 tpm Injeksi MgSO4 4 gram/6jam
Nifedipin 3x10 mg bila TD 160/110 Diet TKTP
Mobilisasi bertahap
Medikasi ganti perban
BLPL jika ada perbaikan ( tidak jadi karena LDH naik (667)
Hasil lab tanggal 10 Februari 2015
Hemoglobin
: 7 gr/dl
Hematokrit
: 23 %
Antal Eritrosit
: 2,79 x 103/uL
Antal Leukosit
: 12,7 x 103/uL
Antal Trombosit
: 95 x 103/uL
LDH
: 667
Albumin
: 2,4Ewitz
: normalTambahan terapi untuk menyikapi hasil lab tanggal 10
Februari 2015:
Diet TKTP
Transfusi 2 kolf PRC
Injeksi dexamethasone 2 amp/12jam
Follow up tanggal 11 Februari 2015
Kel: -KU: baik, CM
VS: T: 140/90 mmHg
Rr: 18 x/ menit
N: 78 x/ menit
S: 36,70C
Mata
: CA (-/-), SI (-/-)
Thorax
: cor/pulmo dbn
Abdomen: Supel, nyeri tekan (-), tampak luka post op tertutup
perban, TFU 2 jari di bawah pusat, peristaltic (+)Genital : darah
(-), lokia (+)Diagnosa: Post SCTP emergency + insersi IUD atas
indikasi Impending eklampsia partial
HELLP syndrome pada primipara hamil aterm dengan anemia (7,0),
hipoalbumin (2,4) DPH 4Terapi
: Cefadroxil 2x1
Metronidazole 3x1
Asam mefenamat 3x1
Protap PEB selesai
Transfusi s/d Hb 10 g/dl ( 2 kolf Cek DR3 post transfusi
Injeksi dexamethasone 2 ampul/12 jam
Diet TKTP
Mobilisasi bertahap
Hasil lab tanggal 11 Februari 2015 (post
transfusi)Hemoglobin
: 11,2 gr/dl
Hematokrit
: 32 %
Antal Eritrosit
: 3,80 x 103/uL
Antal Leukosit
: 17,4 x 103/uL
Antal Trombosit
: 193 x 103/uLFollow up tanggal 12 Februari 2015
Kel: -KU: baik, CM
VS: T: 110/80 mmHg
Rr: 18 x/ menit
N: 78 x/ menit
S: 36,50C
Mata
: CA (-/-), SI (-/-)
Thorax
: cor/pulmo dbn
Abdomen: Supel, nyeri tekan (-), tampak luka post op tertutup
perban, TFU 2 jari di bawah pusat, peristaltic (+)Genital : darah
(-), lokia (+)Diagnosa: Post SCTP emergency + insersi IUD atas
indikasi Impending eklampsia partial
HELLP syndrome pada primipara hamil aterm dengan leukositosis
(17,4) dan hipoalbumin (2,4) DPH 5Terapi
: Cefadroxil 2x1
Metronidazole 3x1
Asam mefenamat 3x1
Injeksi dexamethasone 2 ampul/12 jam
Diet TKTP
Mobilisasi bertahap
Usul BLPL ( accBAB IV
ANALISIS KASUS
Pada kasus ini didapatkan pasien dengan keluhan utama
kenceng-kenceng. Pasien merupakan seorang G1P0A0, 28 tahun dengan
usia kehamilan 40+5 minggu. Pasien merasa hamil 9 bulan, gerakan
janin masih dirasakan, kenceng-kenceng teratur belum dirasakan, air
kawah belum dirasakan keluar, lendir darah disangkal.Dari
anamnesis, pasien mengaku mengalami pandangan kabur dan mual. Nyeri
kepala frontal, muntah dan riwayat hipertensi disangkal. Dari
pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 190/100. Pada
pemeriksaan abdomen dan genitalia belum didapatkan adanya
tanda-tanda persalianan. Dari pemeriksaan urin didapatkan protein
+4 sedangkan dari pemeriksaan laboratorium darah didapatkan
penurunan trombosit (64 x 103/uL), kenaikan LDH (403) dan penurunan
albumin (2,9).Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang didapatkan diagnosis Impending eklampsia
dengan partial HELLP syndrome pada primigravida hamil aterm, belum
dalam persalinan + hipoalbumin (2,9) + proteinuria (+4).
Impending eklamsia didiagnosis berdasarkan tekanan darah
190/100, proteinuria +4, dan adanya tanda-tanda impending yang pada
pasien ini adalah pandangan kabur dan mual. Partial HELLP Syndrom
didiagnosis berdasarkan kenaikan LDH dan trombositopenia. Pada
pasien ini belum ada kenaikan SGOT dan SGPT sehingga masih dalam
tahap partial HELLP Syndrome.Proteinuria yang terjadi pada pasien
ini disebabkan karena adanya kerusakan endotel glomerulus akibat
radikal bebas dari plasenta yang iskemik. Kerusakan glomerulus
menyebabkan protein yang seharusnya tersaring menjadi keluar
melalui urin. Keluarnya protein melalui urin menimbulkan penurunan
albumin pada pembuluh darah dan menyebabkan hipoalbuminemia (2,9).
Albumin dalam pembuluh darah berfungsi menjaga tekanan onkotik
pembuluh darah. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan
onkotik, sehingga terjadi kebocoran plasma yang menyebabkan edema
di berbagai organ seperti, ekstremitas, paru, mata dan otak. Pada
pasien ini terdapat beberapa tanda impending yaitu pandangan kabur
dan mual. Pandangan kabur disebabkan karena adanya edema di otak
terutama di lobut occipitalis, di ganglion genikulatum laterale dan
di retina dan peningkatan tekanan intra okuler.Peningkatan LDH
menunjukkan adanya hemolisis. LDH merupakan enzim yang ada di dalam
eritrosit, sehingga jika eritrosit pecah, maka LDH akan keluar dari
membran eritrosit dan terdeteksi dalam pemeriksaan laboratorium
darah.
Pada pasien ini dilakukan tatalaksana infus RL, protap PEB: O2 3
lpm, injeksi MgSO4 4 gram/6 jam, nifedipin 3x10 mg bila TD 160/110,
pemasangan DC, pemeriksaan NST) dan diusulkan untuk SCTP emergency.
SCTP emergency dilakukan karena adanya komplikasi pada PEB yaitu
impending eklamsia dan partial HELLP syndrome. Selain itu, SCTP
emergency juga dilakukan karena usia janin sudah cukup umur
(aterm).
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Bari S., 2003. Standar Pelayanan Medik Obstetri dan
Ginekologi. PB POGI, FKUI. Jakarta.
Abdul Bari S., George andriaanzs, Gulardi HW, Djoko W, 2000,
Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal,
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta.
Anonim. 1995. Protokol Penanganan Kasus Obstetri dan Ginekologi.
RS dr. Moewardi. Surakarta.
Budiono Wibowo. (1999). Pre eklampsia dan Eklampsia dalam Ilmu
Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Jakarta.Cunningham, Mac Donald, Gant, Levono, Gilstrap, Hanskin,
Clark, 1997, Williams Obstetrics 20th Prentice-Hall
International,Inc.
Haryono Roeshadi. (2004). Sindroma HELLP dalam Ilmu Kedokteran
Maternal. Himpunan Kedokteran Fetomaternal. Surabaya.
Hidayat W., 1998. Pedoman Diagnosis dan Terapi Obstetri dan
Ginekologi, RSUP dr.Hasan Sadikin. Edisi ke-2. Penerbit: SMF
Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Univ. Padjajaran, RSUP
dr.Hasan Sadikin, Bandung.
Kelompok Kerja Penyusunan Pedoman Pengelolaan Hipertensi dalam
Kehamilan di Indonesia.,2005. Himpunan Kedokteran Fetomaternal
POGI.
Loekmono Hadi, 2003. Pre eklampsia. Catatan kulih Obgyn.
UNS.
M. Dikman Angsar. 1995. Kuliah Dasar Hipertensi dalam Kehamilan
(EPH-Gestosis). Lab/UPF Obstetri dan Ginekologi FK UNAIR/RSUD Dr.
Sutomo.
Neville, F. Hacker, J. George Moore. 2001. Esensial Obstetri dan
Ginekologi. Hipokrates, Jakarta.
Rustam Mochtar. 1998. Sinopsis Obstetri : Obstetri Fisiologi,
Obstetri Patologi. Editor: Delfi Lutan, EGC, Jakarta.
Rijanto Agung. (1995). Tinjauan Kepustakaan : Sindroma HELLP.
Fakultas Kedokteran UNAIR. Surabaya.Sarwono Prawirohardjo dan
Wiknjosastro. 1999. Ilmu kandungan. FK UI, Jakarta.Sastrawinata,
S., 2003. Obstetri Patologi. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.