Page 1
RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI)
TERHADAP REGULASI BERNUANSA AGAMA
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu
Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
IKA YULISTIANA
NIM: 11150450000033
PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H / 2019 M
Page 5
iv
ABSTRAK
Ika Yulistiana. NIM 11150450000033. RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA
INDONESIA (MUI) TERHADAP REGULASI BERNUANSA AGAMA. Program
Studi Hukum Tata Negara (SIYASAH), Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun 1440 H / 2019 M. ix + 62 Halaman +
29 lampiran
Skripsi yang ditulis ini bertujuan untuk mengetahui pemahaman Tokoh Majelis
Ulama Indonesia (MUI) tentang regulasi bernuansa agama dan respon Tokoh Majelis
Ulama Indonesia terhadap penolakan penerapan regulasi bernuansa agama.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif-empiris. Dengan mengumpulkan
beberapa data yang dilakukan melalui wawancara, buku dan internet. Kemudian data
tersebut diolah dan dianalisis secara sistematis, sehingga menghasilkan suatu penelitian
ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pertama, para tokoh MUI yang terlibat
dalam penelitian ini memahami regulasi bernuansa agama sebagai sebuah
istilah/nomenklatur pada produk hukum daerah yang muatannya digali dari sumber-
sumber hukum agama yang diyakini dan berkembang di tengah umat atau masyarakat.
Kedua, pandangan MUI terhadap penerapan regulasi bernuansa agama bahwa regulasi
yang semacam itu harus tetap diterapkan di tengah-tengah masyarakat karena banyak
memberikan manfaat daripada madharat. Namun meskipun demikian penerapannya
lazim disesuaikan dengan kebutuhan hukum di masyarakat, sehingga tidak terkesan
dipaksakan oleh pemimpin politiknya. Untuk itu regulasi bernuansa agama harus
dibentuk berdasarkan aspirasi masyarakatnya, kalau tokoh MUI menyebutnya dengan
buttom up (muncul dari bawah/masyarakat). Kemudian mengenai respon MUI
terhadap penolakan regulasi bernuansa agama bahwa MUI tidak sepakat dengan
pernyataan tersebut. Sebab, alasan penolakan tersebut tidak sejalan dengan kebutuhan
hukum masyarakat di daerah. Di beberapa daerah sangat dirasakan manfaat adanya
peraturan tersebut.
Kata Kunci : Respon, Tokoh Majelis Ulama Indonesia, Regulasi Bernuansa
Agama
Pembimbing : Dr. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag.
Daftar Pustaka : 2000 s.d. 2018
Page 6
v
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena hanya berkat
rahmat, dan ridha-Nya, penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul “Respon
Tokoh Majelis Ulama Indonesia (MUI) terhadap Regulasi Bernuansa Agama” dengan
baik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar
Sarjana Hukum (S.H.) di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan dan dukungan dari berbagai
pihak, penulis tidak dapat menyelesaikan skripsi ini. Oleh sebab itu, sudah
sepantasnya penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-
tingginya kepada:
1. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, SH, MA, MH, Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ibu Dr. Maskufa, MA, Ketua Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah) UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Sri Hidayati, M.Ag, Sekretaris Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Prof. Dr. Masykuri Abdillah, Penasehat Akademik yang telah memberikan
bimbingan dan arahan serta kemudahan dalam menyetujui proposal penulis untuk
diajukan kepada fakultas.
5. Bapak Dr. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag. Selaku pembimbing Skripsi penulis yang
telah memberikan bimbingan dan arahan dengan tulus dan sabar kepada penulis
sejak awal penulis menyusun proposal skripsi untuk mengikuti Seminar Proposal
hingga proses penyelesaian Skripsi penulis.
6. Dosen-dosen Hukum Tata Negara, atas transfer ilmu yang telah diberikan selama
studi di kampus UIN Syarif Hidayatullah tercinta. Semoga dengan ketulusan dan
Page 7
vi
keikhlasan hati, menjadi amal jariyah Bapak dan Ibu yang terus mengalir sampai
akhirat nanti.
7. Drs. H. Masduki Baidlowi, M.Si, Prof. Dr. Mohammad Baharun, Prof. Dr. Zainal
Arifin Hoesein, S.H, M.H, Abdul Kholik, S.H, M.Si, Drs. Zafrullah Salim, S.H,
M.Hum, merupakan para Tokoh MUI yang sudah membatu penulis dalam
memberikan informasi dan data terkait penelitian ini.
8. Orang tua tercinta, Bapak Rusdiono dan Ibu Rahwati serta keluarga besar penulis
yang selalu menyelipkan nama anada dalam setiap doanya, dukungan serta
ketulusan cinta dan kasih sayang yang tak terhingga. Tanpa doa dan dorongan
dari beliau berdua ananda tidak mudah melakukan proses studi di UIN Syarif
Hidayatullah tercinta.
9. Kepada teman-teman seperjuangan Hukum Tata Negara angkatan 2015,
terkhusus delapan srikandi HTN, Indar Dewi, Lesnida Borotan, Agilia Gunawan,
Trini Diyani, S.H, Badriatul Munawaroh, Fatma Agustina, Settia Fany, dan Muh.
Ridwan. Tentunya juga sahabat-sahabat penulis lainnya yang tak bisa penulis
sebutkan satu persatu.
10. Kepada sahabat penulis, Indar Dewi, S.H. yang selalu setia menemani penulis
berjuang dalam segala hal selama menempuh pendidikan di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta terutama dalam proses penyusunan skripsi. Kebaikan-
kebaikannya tidak dapat saya ungkapkan dengan kata-kata karena sudah beribu-
ribu kebaikan sudah Indar lakukan untuk penulis.
11. Teman-teman KKN 20 “Increedeble Bee” yang sudah berjuang bersama-sama
selama di tempat KKN hingga kembali ke kampus UIN Syarif Hidayatullah
tercinta dan berjuang bersama-sama membuat laporan. Tanpa kesolidan kalian,
penulis tidak mungkin mampu menyelesaikan semua tugas itu sendiri.
12. Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala,
Kutsiatun Hasanah, Neng Ulfah, Masriatin) sudah menjadi keluarga dan tempat
pulang penulis sepanjang hari-hari penulis menempuh pendidikan di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Page 8
vii
13. Kepada teman-teman Daru al-Quran Fatahillah (Daqufa) mereka adalah keluarga
kedua penulis
14. Dan kepada seluruh civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang tak
bisa penulis sebutkan satu persatu.
Terima kasih atas segala bantuan yang telah diberikan oleh semua pihak.
Semoga bantuan yang telah diberikan mendapat pahala dari Allah SWT. Semoga
skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Ciputat, 20 Mei 2019
15 Ramadhan 1440 H
Ika Yulistiana
Page 9
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN ....................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ...................................................................................... iii
ABSTRAK ................................................................................................................. iv
KATA PENGANTAR ................................................................................................ v
DAFTAR ISI ............................................................................................................ viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah....................................................................................1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Rumusan Masalah…………………………….6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……………………………………………..…7
D. Review Studi Terdahulu……………………………………………………….8
E. Metode Penelitian……………………………………………………………..9
F. Sistematika Pembahasan……………………………………………………..11
BAB II TEORI OTONOMI DAERAH DAN REGULASI BERNUANSA
AGAMA
A. Teori Otonomi Daerah………………………………….................................13
B. Sejarah Lahirnya Regulasi Bernuansa Agama……..…………………………16
C. Gambaran Regulasi Bernuansa Agama……………...……………………….18
B. Klasifikasi Regulasi Bernuansa Agama……..………………………………..31
C. Problematika Penerapan Regulasi Bernuansa Agama……..…………………33
BAB III PROFIL MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI)
A. Sejarah Berdirinya MUI....................................................................................37
B. Visi, Misi, Orientasi dan Peran MUI …………………………………………39
C. Struktur Kepengurusan MUI………………………………………...………..44
Page 10
ix
BAB IV RESPON DAN SOLUSI TOKOH MUI TERHADAP PERDEBATAN
REGULASI BERNUANSA AGAMA
A. Pemahaman Tokoh MUI tentang Regulasi Bernuansa Agama……………...49
B. Respon Tokoh MUI terhadap Penolakan Regulasi Bernuansa Agama…….56
C. Solusi Tokoh MUI terhadap Perdebatan Regulasi Bernuansa Agama………58
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………………………………61
B. Saran………………………………………………………………………..62
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………....63
LAMPIRAN………………………………………………………………………...68
Page 11
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar dan majemuk, terdiri atas
berbagai suku, bahasa, budaya, agama, dan adat istiadat. Kemajemukan itu
merupakan kekayaan dan kekuatan sekaligus menjadi tantangan bagi Bangsa
Indonesia sendiri. Heterogenitas masyarakat Indonesia yang terhimpun dalam
semangat nasionalisme merupakan satu hal yang patut diapresiasi.
Pengakuan akan kesamaan derajat dari fenomena budaya yang beragam itu
juga tampak dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu.
Ungkapan itu sendiri mengisyaratkan suatu kemauan yang kuat untuk mengakui
perbedaan tapi sekaligus memelihara kesatuan atas dasar pemeliharaan keragaman,
bukan dengan menghapuskannya atau mengingkarinya. Perbedaan dihargai dan
dipahami sebagai realitas kehidupan, hal ini adalah asumsi dasar yang juga
melandasi paham multi kulturalisme.
Tantangan yang kemudian muncul adalah adanya benturan prinsip
kesetaraan terhadap perbedaan elemen yang sering menimbulkan konflik inheren
terutama di kalangan minoritas. Selain itu, dikhawatirkan akan menimbulkan
perbedaan perlakuan terhadap golongan yang satu dengan yang lain. Dalam sejarah
perjalanan berbangsa dan bernegara, memang tidak dapat dipungkiri bahwa sering
terjadi persinggungan dan perselisihan. Sehingga, dibutuhkanlah suatu formalisasi
hukum yang dapat mengatur ketertiban, keamanan dan kerukunan di tengah
kehidupan yang majemuk tersebut.
Pada rezim orde baru, diberlakukan asas tunggal Pancasila sebagai wujud
dari pembinaan identitas nasional. Indonesia adalah negara yang menganut sistem
Negara Kesatuan (unitary) yang berbentuk Republik.1 Namun demikian, Pola
pemerintahan Orde Baru tersebut sangat bertentangan dengan keadaan Bangsa
1Hayatun Na’imah, “Perda Berbasis Syariah dan Hubungan Negara-Agama Dalam
Perspektif Pancasila”, Jurnal Mazahib, Vol. XV, No. 2 (Desember 2016), h., 15
Page 12
2
Indonesia. Adanya penyeragaman peraturan akan menimbulkan kesan dalam
wujud resistensi atau bahkan terkikisnya budaya di masing-masing daerah.
Sehingga, dibutuhkan suatu prinsip pengakuan terhadap budaya hukum masing-
masing daerah sebagai wujud keadilan terhadap daerah-daerah multikultural.
Dalam proses formalisasi hukum, karakteristik Negara Indonesia yang
heterogen memang berdampak pada banyaknya sumber hukum yang tanpa disadari
menuntut hak yang sama untuk diakomodasi dalam peraturan negara maupun
daerah mengingat Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri atas daerah-
daerah yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Beberapa identitas budaya atau
agama yang mayoritas di daerahnya akan mengadopsi norma budaya mereka
sebagai hukum yang mengatur daerah mereka sendiri, terutama dalam hal
pengakomodasian hukum agama yang selanjutnya diaktualisasikan dalam bentuk
peraturan daerah.
Pasca reformasi, isu pelaksanaan Syariat Islam semakin merebak di
beberapa daerah di Indonesia. Hal ini seiring dengan semangat otonomi daerah yang
memberi peluang kepada setiap daerah untuk mengatur dirinya sendiri. Didahului
oleh Aceh yang secara gencar menuntut perwujudan Syariat Islam di daerahnya,
yang kemudian disetujui oleh pemerintah pusat. Saat ini, dalam rentang waktu yang
relatif singkat, beberapa daerah seperti Sulawesi Selatan, Banten, Tasikmalaya,
Pamekasan, Riau, Ternate, Gorontalo, melakukan beberapa penetapan peraturan
daerah bernuansa Syariat Islam. Belakangan regulasi berbasis Injil juga mulai
diperkenalkan di Manokwari. Fenomena ini tak jarang menimbulkan pro dan
kontra, bahkan dalam masyarakat Islam sendiri. Kelompok yang pro mengatakan,
sudah sewajarnya Syariat Islam menjadi landasan hukum kehidupan berbangsa dan
bernegara, karena umat Islam adalah mayoritas penduduk Indonesia.2
Pada dasarnya hal ini bukanlah persoalan baru karena dalam sejarah awal
pembentukan negara pun sudah banyak wacana pembentukan Negara Islam atau
adanya pergolakan politik antara agama-agama dalam menentukan ideologi negara.
2Nur Rohim Yunus, Penerapan Syariat Islam terhadap Peraturan Daerah Dalam Sistem
Hukum Nasional Indonesia, Jurnal Studia Islamika (Vol. 12, No. 2, Desember 2015), h., 255-256
Page 13
3
Isu penerapan Syariat Islam sebenarnya telah menjadi agenda perdebatan sejak
menjelang kemerdekaan Indonesia. Perdebatan serius dalam Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada pertengahan 1945
tentang dasar dan filsafat negara.3 Gagasan negara berdasarkan Islam, yang
diperjuangkan golongan Islam dan akhirnya mencapai kompromi dalam bentuk
Piagam Jakarta.4 Piagam Jakarta ini menurut Ir. Soekarno, Ketua Panitia Sembilan
merupakan hasil kompromi yang dicapai dengan susah payah antara golongan
Nasionalis dan golongan Islam.5
Perubahan ini dianggap sebagai kompromi paling solutif untuk menengahi
perdebatan sengit antara pendukung Negara Islam dan Negara Sekuler. Sehingga,
diharapkan mampu mewujudkan keadilan di tengah masyarakat yang mayoritas
muslim namun tetap mengakui keberadaan kaum minoritas agama lainnya.
Dari penjelasan di atas, secara historis pembentukan negara sejak awal
sudah melibatkan agama dalam proses perumusan Pancasila yang kemudian
dijadikan sebagai landasan dasar negara. Berbicara mengenai Ideologi Pancasila,
dapat disimpulkan bahwa dalam aspek filosofis hal pengimplementasian norma
Agama ke dalam hukum bukanlah hal yang bertentangan. Lebih lanjut, dalam
pelaksanaan ketatanegaraan Indonesia, banyaknya peraturan perundang-undangan
yang lahir berbasis agama khususnya Islam misalnya undang-undang Perbankan
Syariah, Perkawinan, Zakat, Haji, dan lain sebagainya dibuat dengan tujuan
menjamin hak-hak muslim dan membantu masyarakat muslim dalam mengatur
pelaksanaan Perbankan Syariah, Perkawinan, Zakat, dan Haji tersebut.
3H. Suismanto, “Perda Syariat Islam dan Problematikanya”, Jurnal Aplikasia, Vol. VII, No.
I, (Juni 2007), h., 31 lihat juga: Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar,
(Jakarta: Prapanca, 1959)
4Piagam Jakarta sebenarnya merupakan mukadimah bagi konstitusi yang diajukan dalam
sidang BPUPKI. Di dalamnya, Pancasila sebagai dasar negara diakui, dengan tambahan 7 kata dalam
butir pertamanya, yakni "Dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya".
Namun, dalam pertemuan mendadak pada 18 Agustus 1945, ketujuh kata tersebut disepakati
penghapusannya dalam Pancasila dan UUD 1945. Sebagai kompromi, sila ketuhanan mendapat
atribut tambahan "Yang Maha Esa".
5Mujar Ibnu Syarif, “Spirit Piagam Jakarta dalam Undang-Undang Dasar 1945”, Jurnal
Cita Hukum, Vol. 4, No. 1, (2016), h., 16
Page 14
4
Regulasi bernuansa Syariah ataupun Injil merupakan bagian dari aspirasi
masyarakat daerah dalam proses demokratisasi di daerahnya sendiri. Hal ini sejalan
dengan prinsip otonomi daerah dalam sistem desentralisasi di mana setiap daerah
berhak untuk mengatur daerahnya masing-masing. Selain itu, pada dasarnya agama
ataupun adat istiadat merupakan bagian dari sumber hukum. Sehingga, peraturan-
peraturan ini meskipun tidak diundangkan dalam label agama, tanpa disadari
peraturan tersebut telah banyak mengadopsi hukum atau norma agama itu sendiri.
Dalam perkembangannya regulasi bernuansa Agama di Indonesia, tidak semua
masyarakat pro terhadap peraturan-peraturan tersebut. Tidak sedikit dari mereka
menentang secara lantang. Regulasi tersebut dianggap menciderai keadilan dan
bersifat intoleransi terhadap golongan tertentu. Misalnya saja Qanun bagi
masyarakat non muslim di Aceh, Perda Injil bagi umat minoritas muslim di
Manokwari, dan banyak Perda dan bentuk regulasi lain di daerah yang dianggap
tidak menjamin hak kelompok minoritas. Hal ini menjadi dasar pemikiran bagi
beberapa politisi dalam memberikan argumentasi terhadap penolakan Perda Syariah
maupun Perda Injil di suatu daerah.
Kalangan elit politik pun juga berbeda persepsi terhadap penerapan regulasi
bernuansa agama seperti Perda Syariah dan Perda Injil. PDIP menyatakan secara
terang-terangan bahwa partainya menolak penerapan regulasi semacam itu karena
regulasi semacam itu tidak menginduk kepada konstitusi yang ada di Indonesia.6
Bahkan yang terbaru pernyataan salah satu fungsionaris Partai, Grace
Natalie menuai kecaman dari berbagai pihak. Pasalnya dalam Orasi politik Ketua
Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) ini pada Harlah PSI ke-4 11 November
2018 lalu yang berjudul “Muda Menangkan Indonesia” membuat suatu pernyataan
yang menimbulkan beberapa polemik khususnya dalam pernyataan larangan Perda
Syariah dan Perda Injil. “PSI akan mencegah lahirnya ketidakadilan, diskriminasi,
dan seluruh tindak intoleransi di negeri ini. Partai ini tidak akan pernah
6Peraturan Harus Sesuai Konstitusi, PDIP Tolak Perda Syariah,
https//m.cnnindonesia.com/nasional/20181119215026-32-347808/peraturan-harus-sesuai-
konstitusi-pdip-tolak-perda-syariah, diakses 20/10/2018 diakses pada 18 Mei 2019 pkl. 08:45
Page 15
5
mendukung Perda Injil atau Perda Syariah. Tidak boleh ada lagi penutupan rumah
ibadah secara paksa”7
Dalam pernyataan tersebut seolah-olah Perda Syariah maupun Perda Injil
adalah penyebab utama ketidakadilan, diskriminasi, dan seluruh tindakan
intoleransi. Sejatinya perda agama adalah perda yang bermuatan nilai-nilai agama,
dengan tidak mengucilkan agama tertentu termasuk di dalamnya keadilan dan
kesetaraan. Adapun jika dianggap intoleran terhadap kelompok minoritas, sugguh
ini adalah generalisasi yang kurang bijak. Kita ambil contoh Aceh sebagai salah
satu daerah yang diberikan hak istimewa dalam menerapkan Qanun (Hukum Islam)
di sana. Namun, sampai saat ini tidak ada peristiwa yang menimbulkan konflik
ataupun protes dari pihak non muslim, atau keberadaan Perda Injil di Manokwari
tidak serta merta menindas hak umat muslim di sana.
Ridwan Kamil Walikota Bandung merupakan salah satu walikota yang
banyak menerapkan aturan-aturan Islam dalam masa pemerintahannya sejak 2016,
antara lain menggalakkan program resmi Pemerintah Kota Bandung yaitu “Maghrib
Mengaji” dan “Subuh Berjamaah” di Kota Bandung. Bahkan 2018 ini Ridwan
Kamil menjadikan “Jabar Maghrib Mengaji” sebagai 10 Program Utama Jawa
Barat.8 Selain itu, pemerintahan Ridwan Kamil juga berupaya memfasilitasi
program pembacaan kitab suci umat Hindu maupun program ATM beras di setiap
Gereja untuk umat kristiani. Jadi, yang perlu ditekankan bahwa pemberlakuan
peraturan berbasis agama bukan untuk menciderai keadilan atau mendiskriminasi
kelompok minoritas namun peraturan tersebut hadir sebagai wujud implementasi
penjaminan hak dan keadilan bagi seluruh masyarakat tanpa membedakan SARA.
Dari uraian-uraian di atas, kita tidak dapat menutup mata bahwa regulasi
bernuansa agama yang dianggap diskriminatif oleh beberapa kalangan elit politik,
ternyata tidak demikian adanya berdasarkan kenyataan yang terjadi di beberapa
daerah. Untuk mencari jawaban mengenai perbedaan pendapat penerapan regulasi
7Menjawab Orasi Politik Grace Natalie, https://www.kiblat.net/2018/11/17/menjawab-
orasi-politik-grace-natalie/diakses pada 2 Desember 2018, pukul 05.18.
8Ridwan Kamil Terapkan Program Maghrib Mengaji di Wilayah Jabar,
https://www.liputan6.com/news/read/3644359/ridwan-kamil-terapkan-program-magrib-mengaji-
di-wilayah-jabardiakses pada 2 Desember 2018, pukul 06.36.
Page 16
6
bernuansa agama, maka dibutuhkanlah respon MUI. Sebagaimana diketahui bahwa
MUI sebagai kepemimpinan umat Islam yang bersifat kolektif. Serta sebagai media
penghubung antara ulama dan umara dalam usaha mensukseskan pembangunan
nasional. Hal ini sejalan dengan ungkapan mantan ketua umum MUI Prof. Dr. Din
Syamsudin di acara pembukaan Munas IX MUI di Surabaya, yang mengatakan
bahwa MUI adalah mitra strategis pemerintah yang saling memberikan manfaat.
Dari landasan di atas, respon MUI sangat dibutuhkan untuk menjadi pertimbangan
pemerintah dan politisi dalam mengambil kebijakan dan membuat suatu aturan.
Menariknya lagi, MUI adalah organisasi kegamaan yang bersifat
independen, tidak berafiliasi kepada salah satu partai politik, mazhab, atau aliran
keagamaan Islam yang ada di Indonesia.9 Sehingga, dengan sifat independensi
tersebut penulis mengharapkan respon MUI nantinya akan menjadi jawaban yang
solutif terhadap isu regulasi bernuansa agama yang akhir-akhir ini diperbincangkan
kembali mengenai eksistensinya.
Berdasarkan uraian di atas, menarik untuk diteliti seperti apakah tanggapan
dan solusi dari MUI tentang perdebatan mengenai eksistensi Perda Syariah di
tengah-tengah masyarakat. Kemudian penelitian ini penulis angkat dalam bentuk
skripsi dengan judul “Respon Tokoh Majelis Ulama Indonesia (MUI) terhadap
Regulasi Bernuansa Agama”.
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Rumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Adapun identifikasi masalah yang penulis dapatkan dalam penelitian ini
antara lain:
a. Perlunya formulasi hukum untuk mengatur tatanan kehidupan berbangsa
dan bernegara khususnya di daerah.
b. Munculnya Perda Syariah yang diduga dapat mendiskreditkan agama
minoritas serta dapat memecah persatuan NKRI.
9Azumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani: Gagasan, Fakta dan Tanggapan, (Bandung:
Rosdakarya, 2000), cet. 1, h., 60
Page 17
7
c. Perda Syariah dianggap bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila oleh
beberapa kalangan elit negara.
d. Pernyataan ketua umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dalam
pidatonya yang menentang adanya Perda Syariah dan Perda Injil.
2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka masalah ini
hanya dibatasi pada Respon Tokoh MUI Pusat terhadap penolakan penerapan
Regulasi Bernuansa Agama.
3. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah penulis uraikan di atas, maka
pertanyaan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
a. Bagaimana pemahaman Tokoh MUI tentang Regulasi Bernuansa Agama?
b. Bagaimana respon Tokoh MUI terhadap penolakan penerapan Regulasi
Bernuansa Agama?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Yang menjadi pokok tujuan penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui pemahaman tokoh MUI tentang Regulasi Bernuansa
Agama.
b. Untuk mengetahui respon dan solusi tokoh MUI terhadap penolakan
penerapan Regulasi Bernuansa Agama.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Secara akademik, hasil penelitian ini bermanfaat untuk menambah
wawasan dan pengetahuan penulis dan pembaca tentang politik dan hukum
melalui respon MUI terhadap regulasi bernuansa agama.
Page 18
8
b. Secara praktis, hasil penelitian ini bermanfaat untuk menambah
inventarisasi kekayaan intelektual di lingkungan akademik UIN Syarif
Hidayatullah umumnya dan Fakultas Syariah dan Hukum khususnya
melalui hasil penelitian penulis mengenai respon MUI terhadap regulasi
bernuansa agama.
D. Review Studi Terdahulu
Dalam rangka mendukung penelitian ini, peneliti telah berusaha melakukan
penelusuran terhadap berbagai karya-karya ilmiah baik yang berbentuk buku, jurnal
dan sebagainya yang mempunyai relevansi dengan penelitian ini. Adapun hasil
penelusuran yang peneliti dapatkan, antara lain:
Syukron Kamil, dalam bukunya yang berjudul lengkap “Syariah Islam dan
HAM: Implikasi Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan,
dan Non Muslim” ini merupakan hasil riset CSRC UIN Jakarta selama hampir satu
tahun (Pada Tahun 2006). Penelitian ini adalah penelitian lapangan melalui survey
dengan margin of error 3% pada tingkat kepercayaan 95% yang diperkuat oleh
wawancara dan studi dokumen. Ada beberapa temuan dalam buku ini yang patut
untuk dicermati. Temuan tersebut mengkonfrontir perspektif-perspektif Syariah
tradisional yang tidak selaras dengan HAM universal. Mencermati konteks dan
dinamika sosial-politik nasional yang tengah berlangsung.
Nur RohimYunus, Penerapan Syariat Islam terhadap Peraturan Daerah
dalam Sistem Hukum Nasional Indonesia, dalam Jurnal Studia Islamika. Fokus
pembahasannya mengenai penerapan Syariat Islam dalam tata Hukum Nasional.
Peneliti juga mencoba untuk mengkaji karya ilmiah yang berupa skripsi. Di
antaranya skripsi yang ditulis oleh Andi Sofian Efendi Mahasiswa Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, yang berjudul “Pengaruh Fatwa Majelis
Ulama Indonesia (MUI) terhadap Proses Pengambilan Kebijakan Pemerintah
Indonesia.”Pembahasan skripsi tersebut lebih terfokus kepada peran fatwa MUI
dalam proses lahirnya SKB tiga Mentri tentang Ahmadiyah dan lahirnya Undang-
undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Page 19
9
Skripsi karya Esa Mariyani Mahasiswa Fakultas Syariah UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang berjudul “Perda Keagamaan dalam Pelaksanaan
Otonomi Daerah di Kota Solok – Sumatera Barat” fokus pembahasan pada
penelitian ini adalah mengenai motif dan strategi pemerintah Solok dalam
menerapkan sejumlah Perda Keagamaan serta dampak Perda Keagamaan terhadap
masyarakat Kota Solok.
Dari semua karya ilmiah dengan masing-masing titik fokus pembahasan
yang menarik. Penulis melihat adanya celah untuk membahas tema dan obyek
penelitian yang sama, tapi dengan titik fokus yang berbeda. Dengan judul “Respon
Tokoh Majelis Ulama Indonesia (MUI) terhadap Regulasi Bernuansa Agama”,
penelitian yang penulis lakukan ini lebih terarah kepada tanggapan MUI soal
perdebatan penerapan regulasi bernuansa agama yang akhir-akhir ini mulai
diperdebatkan kembali oleh beberapa kalangan elit politik.
E. Metode Penelitian
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian skripsi ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian
kualitatif didefinisikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat
diamati.10 Sejalan dengan pendapat Lexy di atas, maka data-data penelitian ini
nantinya akan diperoleh secara lisan maupun secara tertulis. Sedangkan,
metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
sosiologis yaitu metode untuk mengetahui efektifitas penerapan regulasi
bernuansa Agama melalui pengamatan tokoh MUI sebagai warga Negara
Indonesia. Metode ini dipilih karena metode sosiologis relevan dengan
penelitian yang dilakukan oleh penulis yakni dengan mengaitkan hukum
kepada usaha untuk mencapai tujuan-tujuan serta memenuhi kebutuhan-
10Lexy J Maleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2005),
h., 3
Page 20
10
kebutuhan dalam masyarakat dan memusatkan perhatian pada pengamatan
mengenai efektivitas dari hukum.11
Kemudian pendekatan yang peneliti gunakan adalah pendekatan
empiris. Pendekatan ini digunakan untuk mendapatkan pandangan tokoh MUI
mengenai istilah regulasi bernuansa Agama (Perda Syariah), yang mana
pemahaman akan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin dari MUI tersebut
merupakan sandaran bagi peneliti dalam membangun suatu argumentasi hukum
dalam memecahkan isu yang dihadapi.12
2. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini ada dua, yaitu:
a. Data primer dengan menggunakan metode interview
Data ini peneliti dapatkan melalui wawancara kepada informan
(MUI), dalam wawancara ini saya mengambil lima informan tokoh MUI
yakni Drs. H. Masduki Baidlowi, M.Si, Prof. Dr. Mohammad Baharun,
Prof. Dr. Zainal Arifin Hoesein, S.H, M.H, Abdul Kholik, S.H, M.Si, Drs.
Zafrullah Salim, S.H, M.Hum,. Metode ini digunakan untuk mendapatkan
data dan informasi tentang pemahaman MUI terhadap regulasi bernuansa
agama, serta respon MUI terhadap penolakan regulasi bernuansa agama.
Hal ini dilakukan dengan cara tanya jawab secara langsung dengan para
tokoh yang benar-benar mengetahui tentang permasalahan dalam
penelitian ini.
b. Data sekunder.
Adapun data sekunder dari penelitian ini adalah semua bahan yang
memberikan penjelasan mengenai data primer berupa tulisan-tulisan, baik
dalam bentuk buku, jurnal, artikel, maupun melalui informasi media
internet.
11Fahmi Muhammad Ahmadi & Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Ciputat:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2010), h., 10
12Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008), h., 95
Page 21
11
Sedangkan teknik pengumpulan data yang akan penulis gunakan
adalah wawancara secara langsung kepada beberapa anggota MUI
sebagaimana disebutkan di atas. Selain itu, melalui metode dokumentasi yang
nantinya akan penulis dapatkan melalui buku-buku, jurnal, surat kabar dan
lain sebagainya.
3. Teknik Analisis Data
Setelah semua data terkumpul, maka langkah berikutnya adalah
pengolahan dan analisis data. Teknik analisis data yang digunakan penulis yaitu
dengan menggunakan teknik analisa data kualitatif dengan cara mengolah data
kemudian diuraikan untuk memberi gambaran (deskriptif), uraian-uraian yang
berisi penafsiran dan penalaran terhadap gambaran yang diperoleh, serta
argumentasi rasional (analitik) untuk menjelaskan dan mempertahankan
gambaran yang diperoleh. Objek analisis penulis adalah data hasil wawancara,
yang disempurnakan dengan data sekunder lainnya seperti buku, jurnal, surat
kabar dan lain sebagainya.
4. Teknik Penulisan
Pada skripsi ini, penulis menggunakan teknik penulisan skripsi yang
mengacu pada Pedoman Penulisan Skripsi Tahun 2017 Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Buku ini
diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
F. Sistematika Pembahasan
Untuk mendapatkan gambaran jelas mengenai materi yang menjadi pokok
pembahasan skripsi dan supaya memudahkan para pembaca dalam mempelajari tata
urutan penulisan skripsi ini, maka penulis menyusun sistematika sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan. Pada bab ini dibahas mengenai, Latar Belakang
Masalah, Identifikasi Masalah, Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah,
Tujuan dan Manfaat Penelitian, Review Studi Terdahulu, Metode Penelitian, dan
Sistematika Pembahasan.
Page 22
12
BAB II Otonomi Daerah dan Regulasi Bernuansa Agama. Pada bab ini
disajikan Teori Otonomi Daerah, Sejarah Lahirnya Regulasi Bernuansa Agama,
Gambaran Regulasi Bernuansa Agama, Klasifikasi Regulasi Bernuansa Agama,
dan Problematika Penerapan Regulasi Bernuansa Agama.
BAB III Profil Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pada bab ini dibahas
mengenai, Sejarah Berdirinya MUI, Visi dan Misi, Orientasi dan Peran MUI, dan
Struktur Kepengurusan MUI.
BAB IV Respon dan Solusi Tokoh MUI terhadap Perdebatan Regulasi
Bernuansa Agama. Pada bab ini dibahas mengenai Pemahaman Tokoh MUI tentang
Regulasi Bernuansa Agama, Respon Tokoh MUI terhadap Penolakan Regulasi
Bernuansa Agama, dan Solusi MUI terhadap Perdebatan Regulasi Bernuansa
Agama.
BAB V Penutup. Pada bab ini akan diuraikan kesimpulan sebagai jawaban
atas pertanyaan penelitian yang dirumuskan dalam bab pertama dan diakhiri dengan
saran atau masukan sebagai usulan follow up bagi penulisan skripsi ini.
Page 24
13
BAB II
TEORI OTONOMI DAERAH DAN REGULASI
BERNUANSA AGAMA
A. Teori Otonomi Daerah
1. Pengertian Otonomi Daerah
Otonomi atau autonomy berasal dari dua suku kata Bahasa Yunani, yaitu:
“autos” yang berarti “sendiri atau self” dan “nomous” yang berarti “hukum atau
peraturan” yang berarti: memberi aturan sendiri, pemerintahan sendiri; atau hak
untuk memerintah sendiri.1
Menurut Bagir Manan otonomi merupakan kebebasan dan kemandirian
(vrijheiddan zelfstandigheid) satuan pemerintahan yang lebih rendah untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan.2 Dalam konteks ketatanegaraan
Indonesia bahwa yang dimaksud dengan pemerintah yang lebih rendah adalah
pemerintah daerah.
Sedangkan pengertian otonomi dalam makna sempit dapat diartikan
sebagai mandiri, sedangkan dalam makna yang lebih luas diartikan sebagai
berdaya. Otonomi daerah dengan demikian berarti kemandrian suatu daerah dalam
kaitan pembuatan dan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri.3
Dalam kaitannya dengan politik dan pemerintahan, otonomi daerah berarti
self government atau condition of living under one’s own laws. Artinya otonomi
daerah adalah daerah yang memiliki legal self sufficiency yang bersifat self
government yang diatur dan diurus oleh own laws. Artinya daerah berhak untuk
1Liat William L. Reece, Dictionary of Philosophy and Religion: Eastern and Western Though,
Exponded Edition, (New York: Humanity Books, 1996), h., 54
2Bagir Manan, Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945, (Bandung: Uniska Press, 1993), h., 3
3 Widjaja, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002),
h., 76
Page 25
14
mengatur rumah tangganya sendiri selama tidak bertentangan dengan aturan yang
ada di atasnya.4
Adapun menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 otonomi daerah
adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Prinsip Otonomi Daerah
Tahun 2014, dengan hadirnya UU No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah maka prinsip untuk menjalankan pemerintahan daerah
mengingat wilayah Indonesia yang sangat luas, UUD 1945 beserta perubahannyan
telah memberikan landasan konstitusional mengenai penyelenggaraan
pemerintahan daerah di Indonesia. Di antara ketentuan tersebut antara lain:5
a) Prinsip pengakuan dan penghormatan negara terhadap kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup
dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI.
b) Prinsip daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
c) Prinsip menjalankan otonomi seluas-luasnya.
d) Prinsip mengakui dan menghormati pemerintahan daerah yang bersifat
khusus dan istimewa.
e) Prinsip badan perwakilan dipilih langsung dalam suatu pemilu.
f) Prinsip hubungan pusat dan daerah harus dilaksanakan secara selaras dan
adil.
4Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1999), h., 2
5Muhammad Ridwansyah, “Upaya Menemukan Konsep Ideal Hubungan Pusat-DaerahMenurut
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”, Jurnal Konstitusi, Volume 14, No 4,
(Desember 2017), h., 848
Page 26
15
g) Prinsip hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah harus memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.
h) Prinsip hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfatan sumber daya
alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan
daerah dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.
i) Prinsip pengakuan dan penghormatan negara terhadap satuan-satuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa
3. Asas Pelaksanaan Otonomi Daerah
Asas pelaksanaan pemerintahan daerah ada tuga asas pokok, yakni:
a. Asas Desentralisasi
R. G. Kartasapoetra mendefinisikan desentralisasi sebagai penyerahan
urusan dari pemerintah pusat kepada daerah menjadi urusan rumah tangganya.
Penyerahan ini bertujuan untuk mencegah pemusatan kekuasaan, keuangan
serta sebagai pendemokratisasian pemerintahan untuk mengikutsertakan rakyat
bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan pemerintahan di daerah.6
b. Asas Dekonsentrasi
Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintahan kepada
daerah otonom sebagai wakil pemerintah dan/atau perangkat pusat di daerah
dalam kerangka Negara Kesatuan dan lembaga yang melimpahkan
kewenangan dapat memberikan perintah kepada pejabat yang telah dilimpahi
kewenangan itu mengenai pengambilan atau pembuatan keputusan.7
6R.G Kartasapoetra, Sistematika Hukum Tata Negara, Cet. 1, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), h.,
87-98. 7Noer fauzi dan R. Yando Zakaria, Mensiasati Otonomi Daerah, Cet. 1, (Yogyakarta:
Konsorsium Pembaruan agraria berkerjasama dengan INSIST “Press”, 2000), h., 157
Page 27
16
c. Asas Medebewind (Tugas Pembantuan)
Tugas pembantuan (medebewind) adalah keikutsertaan pemerintah
daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah yang kewenangannya lebih luas
dan lebih tinggi di daerah tersebut. Tugas pembantuan (medebewind) adalah
salah satu wujud dekonsentrasi, akan tetapi pemerintah tidak membentuk badan
sendiri untuk itu, yang tersusun secara vertikal. Jadi madebewindmerupakan
kewajiban-kewajiban untuk melaksanakan peraturan-peraturan yang ruang
lingkup wewenangnya bercirikan 3 (tiga) hal yaitu :
1) Materi yang dilaksanakan tidak termasuk rumah tangga daerah-daerah
otonom untuk melaksanakannya.
2) Dalam menyelenggarakan pelaksanaan itu, daerah otonom itu
mempunyai kelonggaran untuk menyesuaikan segalasesuatudengan
kekhususan daerahnya sepanjang peraturan mengharuskan memberikan
kemungkinan untuk itu.
3) Yang dapat diserahi utusan medebewindhanya daerah-daerah otonom
saja, tidak mungkin alat-alat pemerintahan lain yang tersusun secara
vertikal.
B. Sejarah Lahirnya Regulasi Bernuansa Agama
Dilihat dari fase legislasi ketatanegaraan, maraknya Perda syari’at Islam adalah
fase atau tahapan ketiga upaya formalisasi syariat Islam. Tiga fase tersebut adalah
sebagai berikut :8
a. Fase pertama adalah fase konstitusionalisasi syari’at Islam. Fase ini terjadi
dalam tiga kali proses pembuatan konstitusi di tahun 1945, 1946-1959 dan 1999-
2002 dimana masalah relasi Islam dan Negara selalu menjadi perdebatan yang
tidak kunjung selesai. Ditahun 1945, konstitusionalisasi syari’at Islam
8Denny Indrayana, “Kompleksitas Peraturan Daerah Bernuansa Syari’at Perspektif Hukum
Tata Negara”, Jurnal Yustisia Edisi 81 September-Desember 2010, h., 95-97
Page 28
17
menghasilkan Piagam Jakarta yang terkenal dengan tujuh katanya, “dengan
kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya”. Tujuh kata Piagam
Jakarta ini yang awalnya merupakan bagian dari Pembukaan UUD, akhirnya
dihilangkan dengan prakarsa dari Muhammad Hatta. Kemudian di tahun 1956-
1959, upaya untuk kembali menjadikan Islam sebagai dasar Negara dan
memasukkan tujuh kata Piagam Jakarta ke dalam konstitusi yang dibuat
konstituante kembali tidak tercapai setelah Presiden Soekarno
mengintervensinya dengan mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Akhirnya, di tahun 1999-2002, upaya untuk kembali memasukkan tujuh kata
Piagam Jakarta tertolak karena kurangnya dukungan politik di MPR, maupun
dukungan sosiologis dari masyarakat.
b. Fase kedua adalah formalisasi syari’at Islam ditingkat Undang-undang, terutama
dengan lahirnya Undang-undang nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan,
yang pada prinsipnya tidak sedikit mengadopsi nilai-nilai hukum Islam.
Pamungkas “Undang-undangisasi” syari’at Islam adalah ditetapkannya UU
Nomor 44 Tahun 1999 tentang keistimewaan Daerah Istimewa Aceh dan UU
Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa
Aceh Darussalam yang telah diubah menjadi UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh. Dalam undang-undang tentang Aceh inilah diperkuat
aturan hukum sekaligus pintu pertama dan utama bagi secara resmi
diberlakukannya syari’at Islam di salah satu provinsi di bumi pertiwi.
c. Fase ketiga yaitu pengadopsian syari’at Islam ke dalam Peraturan Daerah
(Perda). “Perdaisasi” syari’at Islam ini menjamur setelah proses reformasi
bergulir sejak tahun 1999 dan semakin marak. Secara legal-formal pintu
perdaisasi syari’at Islam itu terbuka lebih lebar ketika konsep desentralisasi
diakui dengan ditetapkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah. Interpretasi otonomi yang luas berdasarkan UU tersebut diartikan
beragam oleh daerah, salah satunya adalah dengan mereinkarnasi identitas-
identitas lokal yang dirasa pernah diberangus oleh praktik sentralisasi orde baru.
Page 29
18
Perda-perda bernuansa syari’ah ini tumbuh subur di Indonesia antara lain
karena inisiatif yang dibuat di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Yakni Pasal
6 Perda No. 6 Tahun 2003 Kabupaten Bulukumba, yang isinya memuat aturan : “Setiap
pasangan calon pengantin yang akan melaksanakan pernikahan wajib mampu
membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar.”9
C. Gambaran Regulasi Bernuansa Agama
Perlu dijelaskan terlebih dahulu menagapa dalam penelitian ini penulis
menggunakan istilah regulasi bernuansa agama:
Pertama, untuk meluruskan asumsi seluruh lini masyarakat bahwa aturan yang
selama ini diperdebatkan tidak hanya berupa Perda, melainkan dalam bentuk regulasi
yang lainnya. Robin L. Bush mencatat, setidaknya terbit sekitar 78 perda bernuansa
agama yang tersebar di 52 kabupaten dan kota di seluruh wilayah Indonesia. Jumlah
tersebut belum termasuk surat edaran, surat keputusan gubernur, bupati dan walikota
maupun draf perda yang belum diputuskan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD).10 Untuk itulah penulis menggunakan istilah regulasi supaya mengcover
seluruh aturan yang diperdebatkan.
Kedua, istilah agama untuk mengeneralkan muatan aturan yang diperdebatkan.
Sebab, beberapa aturan yang dipertentangkan memuat nilai ajaran dari beberapa
agama. Misalnya, perda tentang Miras.
Ketiga, penelitian ini bersifat ilmiah. Untuk itu, digunakanlah istilah akademis
sehingga dapat dipertanggungjawawbkan secara akademis.
9Ihsan Ali Fauzi, Saeful Mujani, Gerakan Kebebasan Sipil Studi Dan Advokasi Kritis Atas
Perda Syari’ah, (Jakarta: Nalar, 2009, h., 2
10Rumadi dkk, Islamisme, Konflik dan Demokrasi, (Jakarta: The Wahid Institute, 2011), h.,
13-14
Page 30
19
Adapun macam-macam regulasi keagamaan yang dimaksud oleh penulis:
Kota/Kabupaten/Provinsi Uraian ringkas Perda
Nanggroe Aceh
Darussalam
UU No 18/2001 tentang Otonomi Khusus Aceh
memberi kewenangan penerapan syariat Islam.
Masih diperdebatkan apakah kewenangan
Mahkamah Syariat juga akan mencakup semua
penduduk, termasuk non-Muslim.
Padang Pariaman Perda No 2/2004 tentang Pencegahan, Penindakan
dan Pemberantasan Maksiat
Solok 1. Perda No 10/2001 tentang Wajib Baca Al-Quran
untuk Siswa dan Pengantin.
2. Perda No 6/2002 tentang Wajib Berbusana
Muslim
Sumatera Barat Perda No 11/2001 tentang Pemberantasan dan
Pencegahan Maksiat
Kota Padang Instruksi Wali Kota tgl 7 Maret 2005 tentang
Pemakaian Busana Muslim
Pasaman Barat Wajib berbusana Muslim untuk siswa sekolah
Riau Awal April HTI dan PPP sepakat untuk membentuk
Komite Penegakkan Syariat Islam di Riau
Kepulauan Riau Pemkot Batam mengeluarkan Perda No 6/2002
tentang Ketertiban Sosial, yang isinya
pemberantasan pelacuran, pengaturan pakaian warga
dan pemberantasan kumpul kebo
Bengkulu 1. Perda No 24/2000 tentang Pelarangan Pelacuran
Page 31
20
2. Instruksi Wali Kota No 3/2004 tentang Program
Kegiatan Peningkatan Keimanan
Sumatera Selatan Perda No 13/2002 tentang Pemberantasan Maksiat
Palembang Perda No 2/2004 tentang Pemberantasan Pelacuran
Banten (Serang,
Pandeglang, dan Lebak)
Imbauan agar perempuan memakai jilbab
Tangerang Perda No 8/2005 tentang Pemberantasan Maksiat
DKI Jakarta Akhir April, MUI Jakarta mendesak DPRP
membahas kemungkinan penerapan perda anti-
maksiat
Depok DPRD sedang membahas penerbitan Perda
pemberantasan pelacuran dan minuman keras seperti
di Tangerang
Tasikmalaya 1. Surat Edaran Bupati tahun 2001 tentang
peningkatan kualitas keimanan dan ketakwaan
2. Perda No. 28 tahun 2000 ttg Pemberantasan
Pelacuran
3. Perda No. 5 tahun 2004 ttg Pengendalian dan
Pengawasan Minuman Keras
Garut 1. Perda No 6/2000 tentang Kesusilaan
2. Bupati juga membentuk Lembaga Pengkajian
Persiapan Penerapan Syariat Islam pada 2002
Kabupaten Cianjur Pencanangan Program Gerakan Masyarakat
Berakhlaqul Karimah, September 2001
Page 32
21
Kota Cianjur Surat Edaran Wali Kota tanggal 29 Agustus 2003
tentang wajib berjilbab untuk siswa sekolah
Indramayu 1. Perda No 7/1999 tentang Prostitusi
2. Perda No. 30 tahun 2001 ttg Pelarangan
Peredaran dan Penggunaan Minuman Keras
3. Perda No. 2 tahun 2003 ttg Wajib Belajar
Madrasah Diniyah Awaliyah
4. Perda No. 7 tahun 2005 ttg Pelarangan Minuman
Beralkohol
5. Edaran Bupati tentang wajib busana Muslim dan
pandai baca Al-Quran untuk siswa sekolah
Cirebon (Kab) 1. Perda No. 77/2004 ttg Pendidikan Madrasah
Diniyah Awaliyah
2. Perda No. 05/2002 ttg Larangan Perjudian,
Prostitusi, dan Minuman Keras
Sukabumi 1. Keputusan Bupati No. 114/2003 ttg Susunan
Organisasi dan Personalia Pengurus Badan
Pengkajian dan Pengembangan Syariat Islam
(BPPSI) Sukabumi
2. Intruksi Bupati No. 04/2004 ttg Pemakaian
Busana Muslim bagi Siswa dan Mahasiswa di
Sukabumi
3. Perda No. 11 th 2005 ttg Penertiban Minuman
Beralkohol
4. Perda No. 12 tahun 2005 ttg Pengelolaan Zakat
Page 33
22
Pamekasan Surat Edaran Bupati No 450/2002 tentang
Pemberlakuan Syariat Islam
Jember Perda No 14/2001 tentang Penanganan Pelacuran
NTB DPRD sedang merancang Perda wajib berbusana
Muslim
Takalar Penerapan Perda berbusana Muslim
Sulawesi Selatan DPRD pertengahan April mengesahkan Perda
tentang pendidikan Al-Quran
Eurekang Perda No 6/2005 tentang Busana Muslim dan Perda
pandai baca-tulis Al-Quran
Gorontalo Perda No 10/2003 tentang Pencegahan Maksiat
Gowa Mewajibkan pemakaian jilbab bagi karyawan
pemerintahan dan penambahan jam pelajaran agama
Islam
Kabupaten Maros Perda No 15/2005 tentang Gerakan Bebas Buta
Aksara Al-Quran
Sinjai Menerapkan aturan penggunaan jilbab untuk
pegawai negeri sipil
Bulukumba Perda No 4/2003 tentang Busana Muslim dan Perda
kemampuan baca Al-Quran bagi siswa dan calon
pengantin
Yogyakarta (Kodya) Kep. Walikota No 169 th 2006 ttg Pembentukan tim
kebijakan dan tim pemberantasan perjudian,
kemaksiatan, penyalahgunaan narkotika,
psikotropika, dan zat adiktif, minuman keras,
Page 34
23
kenakalan remaja, pornografi, serta bentuk kekerasan
lainnya
Namun, dari beberapa argumentasi di atas ada catatan penting dari penulis
bahwa yang menjadi fokus penelitian adalah perdebatan mengenai peraturan daerah
bernuansa Syariah.
1. Definisi Perda Syariah
Salah satu bentuk undang-undang atau “statute” yang dikenal dalam literatur
adalah “locale statute” atau “local wet”, yaitu undang-undang yang bersifat lokal. Di
lingkungan Negara-negara federal seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Jerman,
dikenal adanya pengertian mengenai konstitusi federal (federal constitution) dan
konstitusi Negara-negara bagian (state constitution) seperti di Amerika Serikat
misalnya setiap Negara bagian memiliki naskah undang-undang dasar sendiri-sendiri,
di samping konstitusi Federal, yaitu the Constitution of The United State of America.11
Di lingkungan negara-negara yang susunannya berbentuk negara kesatuan
(unitary state, eenheidsstaat), konstitusi atau undang-undang dasar hanya dikenal di
tingkat pusat saja. Sedangkan, di daerah-daerah bagian, (provinsi-provinsi atau
prefecture), tidak ada konstitusi yang tersendiri. Namun kemudian, dalam literatur
seperti dalam pandangan Wolhoff, di daerah-daerah dalam lingkungan negara-negara
kesatuan, juga terdapat konstitusi yang tersendiri pula. Menurutnya, secara teoritis,
yang berfungsi sebagai konstitusi untuk daerah-daerah bagian dalam Negara kesatuan
itu adalah undang-undang tentang pemerintahan daerah yang disusun sedemikian
rupa sehingga berfungsi sebagai pedoman yang bersifat konstitutif seperti undang-
undang dasar bagi daerah-daerah provinsi atau prefecture itu masing-masing.
Berkaitan dengan pengertian “local constitution” atau “local grondwet”
tersebut di atas, maka Perda juga dapat dilihat sebagai bentuk undang-undang yang
11Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang (Jakarta: Konstitusi Press, 2008), h., 91-92
Page 35
24
bersifat lokal. Meskipun dalam tata urutan menurut ketentuan Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2004 dan penggantinya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah, Perda itu adalah bentuk peraturan perundang-
undangan di bawah Undang-Undang dan Perppu, Peraturan Pemerintah, dan
Peraturan Presiden. Akan tetapi, dari segi isinya maupun mekanisme
pembentukannya, Perda itu mirip dengan Undang-Undang. Seperti undang-undang
maka organ negara yang terlibat dalam proses pembentukan Perda itu adalah lembaga
legislatif dan eksekutif secara bersama-sama.12
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 10 Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintah Daerah yang dimaksud dengan Peraturan daerah adalah
Peraturan Daerah Provinsi dan/atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.13 Lebih lanjut
dijelaskan oleh seorang ahli hukum bahwa Peraturan Daerah (Perda) adalah peraturan
yang dibuat oleh kepala daerah provinsi maupun Kabupaten/Kota bersama-sama
dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi maupun
Kabupaten/Kota, dalam ranah pelaksanaan penyelenggaraan otonomi daerah yang
menjadi legalitas perjalanan eksekusi pemerintah daerah.14
Dalam perkembangannya, pada peraturan daerah ini dikenal adanya istilah
Peraturan Daerah (Perda) Syariah. Menurut Ija Suntana bahwa yang dimaksud
dengan Perda Syariah adalah peraturan yang bermuatan nilai dan/atau norma Islam
yang bersumber dari al-Quran dan al-Sunah yang berlaku di suatu daerah.15
Meskipun sampai saat ini tidak ada perda yang secara eksplisit menyebut
dirinya sebagai Perda Syariah, namun isinya secara implisit bernuansa Syariat Islam.
12Dayanto dan Asma Karim, Peraturan Daerah Responsif Fondasi Teoritik dan Pedoman
Pembentukannya, (Yogyakarta: Deepublish, 2015), h., 170-171
13A. Zarkasi, “Pembentukan Peraturan Daerah Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan”,
Jurnal Ilmu Hukum Inovatif , Vol. 2 No. 4, h., 104
14Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-undangan, (Yokyakarta: Kanisius, 2007), h., 202
15Ija Suntana, Poitik Hukum Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2014), h., 389
Page 36
25
Istilah Perda Syariah digunakan secara luas terhadap sejumlah Perda yang isinya
mengatur kehidupan masyarakat berdasarkan ketentuan ajaran tertentu, yakni ajaran
Islam.16
Perda semacam ini pertama muncul di Aceh yang dikenal dengan istilah
Qanun. Dalam perkembangannya, qanun dapatlah dikatakan identik dengan undang-
undang di Negara Islam atau negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam,
berupa:
a) Mengatur hal-hal yang berkaitan antar sesama manusia (terutama sekali wilayah
muamalat atau hal-hal keduniaan). Ada qanun (undang-undang) mengatur
masalah-masalah yang subtansinya berkaitan dengan ibadah. Di Indonesia
misalnya, ada qanun yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan zakat, wakaf,
dan haji.
b) Berisi Hukum Islam yang sudah jelas ketentuan pokoknya dari nasnya dan dalam
waktu bersamaan kebijakan publik atas dasar ‘urf (adat/tradisi yang baik),
istihsan, dan mashlahah.
c) Qanun yang secara eklektis memilah dan memilih materi yang berasal dari
sekian banyak perbedaan pendapat (ikhtilaf) di kalangan ahli Hukum Islam
(mujtahidin/fuqaha) untuk kemudian disusun dan ditetapkan sebagai peraturan
yang harus ditaati oleh seluruh masyarakat. Terutama sekali ketika qanun ini
merupakan produk lembaga legislatif, maka qanun juga berarti mempunyai nilai
konsensus atau ijma’, meskipun dianggap terbatas pada negara tertentu saja.
d) Dalam beberapa hal terkadang melewati ketentuan Hukum Islam yang berlaku
dengan alasan untuk kepentingan umum (maslahah mursalah) dengan dalih
siyasah syar’iyyah (Politik Hukum Islam). Dengan alasan ini, terkadang
kepentingan negara atau bahkan pemerintah tampak sangat menonjol. Di sini
16Cholida Hanum, “Analisis Yuridis terhadap Asas-Asas Pembentukan dan Asas-Asas Materi
Muatan Peraturan Daerah: Kajian Perda Syariah di Indonesia”, Jurnal Agama dan Hak Azazi Manusia,
Vol. 7, No. 1, h., 45
Page 37
26
sering terjadi konflik antara pendukung konsep qanun, yang terkadang dengan
alasan reinterpretasi terhadap Hukum Islam yang dipahami selama ini, dengan
para ulama yang mengikatkan dirinya untuk konsisten dengan Hukum Islam
yang juga mereka pahami selama ini.
e) Berupa undang-undang resmi produk lembaga legislatif atau lembaga eksekutif
yang mempunyai fungsi legislatif. Dalam sejarahnya, memang tidak selalu
bernama undang-undang dan juga tidak selalu produk legislatif, namun dapat
berupa “Titah Raja” atau penguasa. Dengan demikian, qanun mempunyai
kekuatan mengikat dan sekaligus jika sudah diputuskan akan ada alat negara
untuk eksekusi terhadap putusan atas dasar qanun tersebut.17
Sebagai istilah yang mempunyai pengertian yang sama dengan undang-
undang, maka qanun ini mempunyai kekuasaan atau kekuatan untuk
pelaksanaannya, persis seperti undang-undang. Ada pelaksanaan dan penegakan
hukum, ketika terjadi sengketa atau perkara yang memerlukan putusan hakim di
pengadilan. Negara menyediakan perangkat atau alat untuk memaksakan putusan
hukum tersebut.18
2. Landasan Pembentukan Perda
Beberapa landasan yang perlu diperhatikan secara seksama dalam
membentuk atau membuat sebuah peraturan perundang-undangan antara lain:
a. Landasan Filosofis
Landasan filosofis adalah uraian yang memuat tentang pemikiran terdalam
yang harus terkandung dalam peraturan perundang-undangan, dan pandangan
hidup yang mengarahkan pembuatan peraturan perundang-undangan. Pemikiran
17Ahmad Sukardja dan Mujar Ibnu Syarif, Tiga Kategori Hukum Syariat, Fikih, dan Kanun,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h., 123-124
18Ahmad Sukardja dan Mujar Ibnu Syarif, Tiga Kategori Hukum Syariat, Fikih, dan Kanun, h.,
122
Page 38
27
terdalam dan pandangan hidup yang harus tercermin dalam peraturan perundang-
undangan adalah nilai-nilai proklamasi dan pancasila.19
Suatu peraturan perundang-undangan dikatakan memepunyai landasan
filosofi apabila rumusannya atau norma-normanya mendapatkan pembenaran
(rechtvaardiging) apabila dikaji secara filososfis. Jadi, terdapat alasan yang dapat
dibenarkan apabila dipikirkan secara mendalam, khususnya filsafat tentang
pandangan hidup (way of life) suatu bangsa yang berisi nilai-nilai moral dan etika
dari bangsa tersebut. Secara universal harus didasarkan pada peradaban, cita-cita
kemanusiaan dalam pergaulan hidup bermasyarakat sesuai pula dengan cita-cita
kebenaran (idee der waarheid), cita-cita keadilan (idee der gerechtigheid), dan cita-
cita kesusilaan (idee der zedelijkheid).20
Berdasarkan pemahaman seperti ini, maka bagi pembentukan/pembuatan
hukum atau peraturan perundang-undangan di Indonesia harus berlandaskan
pandangan filosofis Pancasila, yakni:
1) Nilai-nilai religiusitas bangsa yang terangkum dalam sila Ketuhanan Yang
Maha Esa;
2) Nilai-nilai Hak Asasi Manusia dan penghormatan terhadap harkat dan
martabat kemanusiaan sebagaimanaterdapat dalam sila kemanusiaan yang
adil dan beradab;
3) Nilai-nilai kepentingan bangsa secara utuh dan kesatuan hukum nasional
yang terangkum dalam sila persatuan Indonesia;
4) Nilai-nilai demokrasi dan kedaulatan rakyat, sebagaimana terdapat di dalam
sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijkasanaan dalam
permusyawaran/perwakilan; dan
19Jazim Hamidi, dkk., Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif, (Jakarta: Prestasi Pustaka,
2008), h., 29
20Dayanto dan Asma Karim, Peraturan Daerah Responsif Fondasi Teoritik dan Pedoman
Pembentukannya, h., 242
Page 39
28
5) Nilai-nilai keadilan sosial seperti yang tercantum dalam sila keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
b. Landasan Yuridis
Landasan yuridis adalah uraian tentang ketentuan-ketentuan hukum yang
harus diacu (menjadi acuan) dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.21
Landasan tersebut mengisyaratkan agar setiap pembentukan peraturan perundang-
undangan itu memiliki dasar keabsahan, baik yang bersifat formal maupun
material.22
Landasan yuridis dapat dibedakan menjadi:
1) Landasan yuridis formal, yaitu ketentuan-ketentuan hukum yang menunjuk
atau memberi kewenangan kepada lembaga/organisasi atau lingkungan jabatan
untuk membuat suatu peraturan perundang-undangan.
2) Landasan yuridis material, yaitu ketentuan-ketentuan hukum yang menentukan
isi daripada peraturan perundang-undangan yang dibentuk.
c. Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis ialah bahwa Perda harus mencerminkan kenyataan
hidup dalam masyarakat. Dengan demikian, Perda yang dibentuk akan dapat
diterima masyarakat, mempunyai daya laku efektif, dan tidak banyak memerlukan
pengerahan institusi atau penegak hukum dalam melaksanakannya.23 Landasan
tersebut terdiri dari fakta-fakta yang merupakan tuntutan kebutuhan masyarakat
yang mendorong perlunya pembuatan peraturan perundang-undangan, yaitu bahwa
21Jazim Hamidi, dkk., Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif, h., 29
22Dayanto dan Asma Karim, Peraturan Daerah Responsif Fondasi Teoritik dan Pedoman
Pembentukannya, h., 243-24
23Jazim Hamidi, dkk., Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif, h., 31
Page 40
29
ada sesuatu yang pada dasarnya dibutuhkan oleh masyarakat sehingga perlu
pengaturan.24
d. Landasan Politik
Suatu peraturan perundang-undangan dikatakan mempunyai landasan
politis apabila sejalan dengan garis kebijakan politik yang menjadi dasar
selanjutnya bagi kebijakan-kebijakan dan pengarahan ketatalaksanaan
pemerintahan negara. Dalam hal ini harus sejalan dengan politik (kebijakan) hukum
secara menyeluruh. Di samping itu, harus sejalan dengan kesiapan penegak hukum
yang akan memaksakan norma-norma hukum yang ada dalam peraturan
perundang-undangan.25
Dalam konteks landasan politis ini, maka hukum (khususnya peraturan
perundang-undangan) merupakan alat pencapaian tujuan negara dan juga
didayagunakan sebagai alat pengubah masyarakat (a tool of social engineering)
sesuai dengan arah cita-cita bernegara.26
e. Landasan Ekonomis
Landasan ekonomis ialah bahwa Perda harus memuat juga pertimbangan-
pertimbangan ekonomi, baik mikro maupun makro. Dengan landasan ekonomis
maka Perda yang dibentuk tidak terlalu memberatkan kepada mereka yang terkena
pada saat pelaksanaan.
24Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera, Cara Peraktis Menyusun dan Merancang
Peraturan Daerah (Suatu Kajian Teoritis dan Praktis Disertai Manualnya): Konsepsi Teoritis Menuju
Artikulasi Empiris, (Jakarta: Prenada Media Group, 2009), h., 25
25Montesquieu, dalam Dayanto, Negara Hukum dan Demokrasi: Pergulatan Paradigmatik dan
Kritik Realitas dalam Meluruskan Jalan Bernegara, (Yogyakarta: Deepublish, 2014), h., 201
26Dayanto dan Asma Karim, Peraturan Daerah Responsif Fondasi Teoritik dan Pedoman
Pembentukannya, h., 248
Page 41
30
f. Landasan Ekologis
Landasan ekologis ialah bahwa dalam pembentukan Perda harus pula
memuat pertimbangan-pertimbangan ekologis yang berkaitan dengan keselamatan
dan kelestarian lingkungan hidup serta ekosistemnya.27
Urgensi landasan ekologis ini semakin terlihat sejalan dengan munculnya
berbagai ragam kekhawatiran masyarakat tentang penurunan fungsi lingkungan
hidup sebagaimana dinyatakan oleh Jimly Asshidiqie bahwa: “Negara ini sedang
melihat proses kegentingan ekologi yang tak terbendung, bencana ekologis
mengancam, di mana jutaan rakyat terus bertaruh atas keselamatan diri dan
keluarga mereka akibat lemahnya peran negara di dalam melindungi keselamatan
warga negaranya sebagaimana yang diamanatkan oleh konstiusi negara.28
g. Landasan Kultural
Indonesia adalah Negara dengan tingkat keberagaman atau kemajemukan
yang cukup tinggi dan karenanya melahirkan adanya perbedaan-perbedaan: suku,
kebudayaan, adat istiadat dan sebagainya. Perbedaan yang sama juga ada di daerah-
daerah. Oleh karena itu, pembentukan Perda harus pula mempertimbangkan
berbagai kultur yang ada di daerah sehingga tidak menimbulkan konflik dengan
nilai-nilai kultur yang hidup dalam masyarakat.29 Nilai-nilai kultural yang
merupakan kearifan lokal (local genius) penting untuk dirawat bahkan
27M. Solly Lubis, Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan (Bandung: CV Mandar Maju,
2009), h., 15 dalam buku Dayanto dan Asma Karim, Peraturan Daerah Responsif Fondasi Teoritik dan
Pedoman Pembentukannya, (Yogyakarta: Deepublish, 2015), h., 248
28Maret Priyanta, “Penerapan Konsep Konstitusi Hijau (Green Constitution) di Indonesia
sebagai Tanggung Jawab Negara dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup”, Jurnal
Konstitusi, Vol. 7, No. 4, h., 116
29Jazim Hamidi, dkk., Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif, h., 32
Page 42
31
dilembagakan sepanjang hal tersebut dapat memberikan nilai emansipatoris bagi
kehidupan sosial dan hukum masyarakat.30
h. Landasan Religi
Sebagai bangsa dan negara yang berke-Tuhan-an, nilai-nilai religi
(keagamaan) memegang peranan penting dalam semua aspek kehidupan manusia.
Karena itu, nilai-nilai religi (keagamaan) juga penting untuk dipertimbangkan
dalam pembentukan Perda, khususnya Perda-perda tertentu yang bersentuhan
dengan nilai-nilai religi tersebut.31
D. Klasifikai Regulasi Bernuansa Agama
Muntoha dalam disertasinya mengkategorikan ada 4 klasifikasi regulasi
bernuansa agama (Perda Syariah) yaitu:32
1. Perda yang terkait dengan isu moralitas masyarakat secara umum (Perda anti
miras, pelacuran dan perzinaan). Peraturan Daerah Tangerang Nomor 07 Tahun
2005 tentang Larangan Distribusi dan Penjualan Minuman Keras dan Peraturan
Daerah Tangerang Nomor 8/2005 tentang Larangan Prostitusi.
2. Perda yang terkait dengan fashion (keharusan memakai jilbab dan jenis pakaian
lainnya di tempat-tempat tertentu). Seperti Peraturan Daerah Kabupaten
Bulukumba Nomor 05 tahun 2003 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah.
3. Perda yang terkait dengan keterampilan beragama (keharusan pandai baca tulis
Al-Quran). Seperti Peraturan Daerah Sulawesi Selatan Nomor 4 tahun 2006
tentang Pendidikan Al-Qur’an di Sulawesi Selatan.
30Dayanto, “Pembentukan Peraturan Daerah yang Baik Sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan
Otonomi Daerah”, Jurnal Syariah dan Hukum Tahkim, Vol. IX, No. 2, h., 146-147
31Jazim Hamidi, dkk., Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif, h., 32
32Muntoha, “Otonomi Daerah dan Perkembangan Peraturan Peraturan Daerah Berbasis
Syariah”, (Jakarta: Disertasi Kearsipan Program Pascasarjana Fakultas Hukum UI, 2008), h., 6
Page 43
32
4. Perda yang terkait dengan pemungutan dana sosial dari masyarakat (zakat, infaq
dan sadaqah). Seperti Peraturan Daerah Kabupaten Garut Nomor 1 Tahun 2003
tentang Pengelolaan Zakat, Infaq, dan Shadaqah.
Sedangkan Dani Muhtada mengklasifikasikannya ke dalam tujuh macam,
dengan tambahan:33
1. Perda yang terkait dengan pengembangan ekonomi Islam. Seperti, Perda Baitu
al-Mal wa al-Tamwil (BMT) dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS)
2. Perda tentang keimanan seorang muslim, seperti larangan kegiatan Ahmadiyah
atau sekte-sekte muslim yang dianggap sesat.
3. Perda dalam kategori lain. Seperti, Perda tentang masjid Agung, Pelayanan
Haji, dan Penyambutan Ramadhan.
Jauh sebelum kedua peneliti di atas, Rumadi telah melakukan penelitian terkait
regulasi-regulasi yang dipertentangkan. Dalam hasil penelitiannya disebutkan bahwa
secara umum, muatan atau isi dari regulasi-regulasi bernuansa agama itu dapat dipilih
menjadi beberapa kategori:34
1. Mengatur ketertiban sosial, seperti larangan pelacuran minuman keras,
perzinaan, dan khalwat antara laki-laki dan perempuan bukan mahram di
tempat sepi.
2. Mengatur kualitas keimanan dan ketakwaan, termasuk kewajiban mendirikan
shalat bagi anak sekolah dan calon pengantin.
3. Mengatur tata cara berpakaian, semisal keharusan berjilbab dan berbaju koko
bagi pegawai negeri sipil
33Dani Muhtada, Makalah disampaikan dalam orasi ilmiah dalam rangka Dies Natalis VII
Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang pada tanggal 4 Desember 2014 di Semarang.
34Rumadi dkk, Islamisme, Konflik dan Demokrasi, h., 14
Page 44
33
4. Mengatur keterampilan beragama seperti keahlian baca tulis al-Quran dan
bebas buta aksara Arab.
5. Mengatur mobilisasi ekonomi termasuk keharusan zakat, shadaqah, dan infaq.
6. Mengatur ketentuan hukum pidana, termasuk cambuk bagi pemabuk, potong
tangan pencuri dan rajam bagi pelaku zina.
E. Problematika Penerapan Perda Syariah
Kegagalan pemerintah dalam mengentaskan bidang perekonomian, politik dan
terutama sosial juga menjadi alasan kuat lainnya. Mereka berpandangan bahwa
permasalahan sosial hanya bisa diatasi dengan penerapan Syari’at di tengah-tengah
masyarakat. Hal ini mendorong lahirnya banyak Perda yang mengatur permasalahan-
permasalahan seperti pelacuran, judi, dan minuman keras. Ketiga permasalahan
tersebut dinilai sebagai bagian dari sumber utama kejahatan yang terjadi di tengah-
tengah masyarakat, selain juga faktor kemiskinan. Berdasarkan hasil survey yang
dilakukan oleh Center for Study Religion and Culture (CSRC) Universitas Syarif
Hidayatullah. Perda-Perda ini mampu memberikan rasa aman dan meningkatkan
kehidupan religiusitas masyarakat.35
Namun dalam pandangan lain Perda-perda tersebut diduga menuai banyak
permasalahan sosial di samping juga dipandang efektif mengurangi tindakan kriminal.
Banyak yang berpandangan bahwa permasalahan-permasalahan yang ditimbulkan oleh
Perda disebabkan oleh kurang kemampuan pemerintah daerah dalam proses legalisasi
dan pelaksanaan, penegakan dan pengawasan hukum yang mereka produksi sendiri.36
Kemungkinan yang menjadi alasan utama karena Perda Syariah dianggap
kurang demokratis secara prosedural. Hal ini dikarenakan rendahnya partisipasi
35Sukron Kamil et Al, Syari’at Islam Dan HAM: Dampak Perda Syari’at Terhadap Kebebasan
Sipil, Hak-Hak Perempuan, Dan Non-Muslim, ed. Sukron Kamil & Chaider S Bamualim (Jakarta: Center
for the Study of Religion and Culture & Konrad Adenauer Stifftung, 2007), h., 140-141
36Dewi Candranigrum, “Keadilan Islami Menjunjung Tinggi Kesetaraan Gender”, Jurnal
Perempuan 60 (2008), h., 85
Page 45
34
masyarakat dalam proses penerbitan Perda Syariah. Artinya agenda penerapan syariah
cenderung dilakukan secara tertutup, tanpa proses dialog yang partisipatif dengan
melibatkan sebanyak mungkin elemen masyarakat, baik komunitas non-Muslim
maupun komunitas Muslim. Fakta ini memperkuat dugaan bahwa perda syariah adalah
agenda politik elit. Sebagaimana telah diungkap, sebagian masyarakat yang diteliti
mengakui adanya politisasi syariah. Hampir sepertiga dari mereka menyatakan bahwa
formalisasi syariah tidak jarang menjadi isu kampanye dalam pemilihan kepala daerah
(Pilkada). Menurut mereka, politisasi syariah juga terjadi dalam pemilu nasional yang
dilakukan partai-partai tertentu untuk menarik perhatian pemilih dalam jumlah yang
besar. Bahkan, perda syariah disinyalir sebagai move politik elite daerah, guna
mengalihkan perhatian rakyat dari penderitaan ekonomi yang dialaminya.37
Salah satu alasan yang memperkuat pernyataan di atas bahwa dalam
implementasinya juga banyak ditemukan sejumlah Perda yang materi muatannya
bersinggungan dengan materi muatan Hak Asasi Manusia yang dimuat dalam
konstitusi. Sebagian kalangan memandang bahwa Perda-Perda ini bertentangan dengan
dengan Hak-hak Asasi Manusia yang telah secara tegas dimuat dalam UUD NRI 1945.
Hak asasi yang yang dimaksud dalam UUD NRI 1945 adalah:
1. Hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya (Pasal 28 A).
2. Hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama dihadapan hukum (Pasal 28 D ayat (1).
3. Hak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan (Pasal 28 D ayat
(3).
4. Hak atas kebebasan memeluk agama dan beribadah menurut keyakinan
agamanya (Pasal 28 E ayat (1).
5. Hak atas kebebasan meyekini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap,
sesuai dengan hati nuraninya (Pasal 28 E ayat (2).
37Reza Fahmi, “Peraturan Daerah Syariah dan Tantangan Kerukunan Umat Beragama”,
Academia Edu, h., 5-6
Page 46
35
6. Hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta
benda yang di bawah kekuasaannya serta berhak atas rasa aman dan
perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu
yang merupakan hak asasi (Pasal 28 G).
7. Hak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan
berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat
diskriminatif itu (Pasal 28 I ayat (2).38
Kemudian dalam praktiknya respon terhadap eksistensi Perda Syariah ini telah
membuat daerah-daerah di Indonesia terkotak-kotak. Perda Syariah dinilai
memberikan efek tertekan, perasaan tidak enak bagi pemeluk agama lain. Alhasil, hal
ini menimbulkan daerah dengan mayoritas agama lain contoh Kristen, terdorong
membentuk Perda sesuai ajaran Agama Kristen yaitu Perda Injil.39 Hal ini lah yang
juga menimbulkan anggapan bahwa Perda Syariah diskriminatif terhadap suatu
kelompok tertentu.
Diskriminasi dalam konteks Perda Syariah terjadi karena Pemerintah Daerah
membentuk peraturan yang seharusnya diperuntukkan untuk seluruh warga di daerah
tersebut namun ternyata hanya berlaku untuk pemeluk Agama Islam. Perda Syariah
menunjukkan bahwa pengurusan dan pengaturan otonomi daerah lebih difokuskan
pada Agama Islam saja, sedangkan agama lain dimarginalkan. Selain itu, jika dikaitkan
dengan APBD, penegakan dan segala kewajiban daerah yang timbul dari Perda Syariah
akan dijalankan menggunakan dana dari APBD. Dalam hal ini, dengan semakin
banyaknya Perda Syariah yang dibentuk semakin banyak APBD yang dialokasikan
untuk penegakan Syariat dan ajaran Agama Islam, semakin timpang pula pengaturan
dan pengurusan yang dilakukan daerah terhadap warga daerah, terutama warga non-
38Cholida Hanum, “Analisis Yuridis terhadap Asas-Asas Pembentukan dan Asas-Asas Materi
Muatan Peraturan Daerah: Kajian Perda Syariah di Indonesia”, h., 51
39Komarudin Hidayat & Puput Widjanarko, Reimventing Indonesia menemukan Kembali,
(Jakarta: Mizan, 2008), h., 88
Page 47
36
Islam. Fokus Otonomi Daerah menjadi hanya pada pemeluk Agama Islam bukan warga
daerah secara keseluruhan. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan sikap pelaksanaan
otonomi daerah oleh pemerintah daerah yang didasarkan pada agama dan hal ini adalah
tindakan diskriminatif. Padahal, seharusnya otonomi daerah dijalankan tanpa terfokus
pada agama tertentu saja.40
40Patty Regina, dkk., “Perda Syariah dalam Otonomi Daerah”, Academia Edu, (Depok), 12
Mei 2015, h., 6
Page 49
37
BAB III
PROFIL MAJELIS ULAMA INDONESIA
A. Sejarah Berdirinya MUI
Berdirinya Majelis Ulama Indonesia (MUI) bermula saat ulama Indonesia
menyadari keberadaannya sebagai ahli waris para nabi (warasatu al-anbiya'), pelayan
umat (khadimu al-ummah), dan penerus misi yang diemban oleh Rasulallah, sehingga
senantiasa terpanggil untuk memberikan peran-peran kesejahteraan baik pada masa
penjajahan, pergerakan kemerdekaan dan seluruh perkembangan dalam kehidupan
kebangsaan melalui berbagai potensi dan ikhtiar-ikhtiar kebajikan bagi terwujudnya
masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT.
Sebagai warasatu al-anbiya', Ulama Indonesia berkewajiban untuk
menegakkan kebenaran dan keadilan dengan cara yang baik dan terpuji yang
merupakan kewajiban bersama (fardhun jama'iy). Oleh karena itu, kepemimpinan umat
Islam yang bersifat kolektif merupakan kewajiban (ijab al-Imamah) dalam rangka
mewujudkan masyarakat madani (khair al-ummah). Yang menekankan nilai-nilai
persamaan (al-Musawah), keadilan (al-'adalah) dan demokrasi (syura).1 Selain itu, di
berbagai negara terutama Asia Tenggara ketika itu telah terbentuk Dewan
Ulama/Majelis Ulama atau Mufti selaku penasehat di bidang yang memiliki peran
strategis.2
Dari cita-cita mulia di atas maka didirikanlah lembaga ulama, zu’ama, dan
cendikiawan Islam di Indonesia yang dikenal dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI)
dengan tujuan untuk membimbing, membina dan mengayomi kaum muslimin di
1Tim Penyusun, 35 Tahun Majelis Ulama Indonesia Berkiprah Menjaga Integritas Bangsa,
(Jakarta: Majelis Ulama Indonesia), h., 241-242.
2Abdusshomad Buchori, Bunga Rampai Kajian Islam, (Surabaya: Majelis Ulama Indonesia,
2015), h., 95.
Page 50
38
seluruh Indonesia. Lembaga ini didirikan di Jakarta pada tanggal 17 Rajab 1395
Hijriah, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 Masehi.
Tanda berdirinya MUI diabadikan dalam bentuk penandatanganan piagam oleh
51 orang ulama, terdiri dari 26 orang Ketua Majelis Ulama Dati I se-Indonesia, 10
orang ulama unsur organisasi Islam tingkat pusat, 4 orang ulama dari Dinas Rohani
Islam Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), Angkatan Udara (AU), dan Polri,
serta 11 orang ulama yang hadir sebagai pribadi.
Kesepuluh Ormas Islam tersebut adalah: NU (KH. Moh. Dahlan),
Muhammadiyah (Ir. H. Basit Wahid), Syarikat Islam (H. Syafi'i Wirakusumah), Perti
(H. Nur Hasan Ibnu Hajar), Al-Washliyah (Anas Tanjung), GUPPI (KH. S.
Qudratullah), PTDI (H. Sukarsono), DMI (KH. Hasyim Adnan), al-Ittihadiyyah (H.
Zaenal Arifin Abbas) dan Mathlaul Anwar.
Pertemuan alim ulama yang melahirkan MUI tersebut ditetapkan sebagai
Musyawarah Nasional (MUNAS) MUI yang pertama. Dengan demikian, sebelum
adanya MUI Pusat, terlebih dahulu di daerah-daerah telah terbentuk Majelis Ulama.3
Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika Bangsa Indonesia tengah berada
pada fase kebangkitan kembali setelah 30 tahun merdeka, di mana energi bangsa telah
banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap
masalah kesejahteraan rohani umat. Selama dua puluh lima tahun Majelis Ulama
Indonesia sebagai wadah musyawarah para ulama, zu’ama, dan cendekiawan muslim
berusaha untuk:4
1) Memberikan bimbingan dan tuntunan kepada Umat Islam Indonesia dalam
mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridhai Allah;
2) Memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan
kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan
3Abdusshomad Buchori, Bunga Rampai Kajian Islam, h., 93
4https://mui.or.id/sejarah-mui/index.php
Page 51
39
bagi terwujudnya hubungan keislaman dan kerukunan antar-umat beragama
dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa;
3) Menjadi penghubung antara ulama dan pemerintah dan penerjemah timbal balik
antara umat dan pemerintah guna menyukseskan pembangunan nasional;
4) Meningkatkan hubungan, serta kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan
cendekiawan muslim dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada
masyarakat khususnya Umat Islam dengan mengadakan konsultasi dan
informasi secara timbal balik.
Dalam perjalanannya MUI berusaha untuk memberikan bimbingan dan
tuntunan kepada Umat Islam dalam mewujudkan kehidupan beragama dan
bermasyarakat yang diridhoi oleh Allah SWT, memberikan nasehat dan fatwa
mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada pemerintah dan
masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya Ukhuwah Islamiyah dan
kerukunan antar umat beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa,
serta menjadi penghubung antara ulama dan umara (pemerintah) dan penerjemah
timbal balik antara umat dan pemerintah guna mensukseskan pembangunan nasional,
serta kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan cendekiawan muslim dalam
memberikan bimbingan dan tuntunan kepada masyarakat khususnya umat Islam
dengan mengadakan konsultasi dan informasi secara timbal balik.
B. Visi, Misi, Orientasi, dan Peran MUI
a. Visi
Terciptanya kondisi kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan, dan
kenegaraan yang baik sebagai partisipasi Umat Islam melalui aktualisasi potensi
Ulama’, Zu’ama, dan Cendekiawan Muslim untuk kejayaan Islam dan Umat
Page 52
40
Islam, guna terwujudnya Islam yang penuh rahmat di tengah kehidupan umat
manusia dan masyarakat Indonesia khususnya.5
b. Misi
1) Menggerakkan kepemimpinan dan kelembagaan umat secara efektif,
dengan menjadikan ulama sebagai panutan (qudwah hasanah) sehingga
mampu mengarahkan dan membina Umat Islam dalam menanamkan dan
memupuk Aqidah Islamiyah serta menjalankan Syariah Islamiyah.
2) Melaksanakan Dakwah Islamiyah, amar ma'ruf nahi mungkar dalam
mengembangkan akhlak karimah, agar terwujud masyarakat berkualitas
(khaira ummah) dalam berbagai aspek kehidupan.
3) Mengembangkan Ukhuwah Islamiyah dan kebersamaan dalam
mewujudkan persatuan dan kesatuan umat Islam dalam wadah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.6
c. Orientasi
Majelis Ulama Indonesia mempunyai sembilan orientasi perkhidmatan,
yaitu:7
1) Diniyah (Keagamaan)
Majelis Ulama Indonesia adalah wadah pengkhidmatan yang mendasari
semua langkah dan kegiatannya pada nilai dan ajaran Islam. Karena Islam adalah
agama yang berdasarkan pada prinsip tauhid dan mempunyai ajaran yang meliputi
seluruh aspek kehidupan manusia.
5Anwar Abbas, dkk, Pedoman Penyelenggaraan Organisasi Majelis Ulama Indonesia, h., 7
6Abdusshomad Buchori, Bunga Rampai Kajian Islam, h., 99
7Din Samsudin, Pedoman Penyelenggaraan Organisasi Majelis Ulama Indonesia, h., 7-10.
Page 53
41
2) Irsyadiyah (Memberi Arahan)
Majelis Ulama Indonesia adalah wadah pengkhidmatan dakwah al-Irsyad,
yaitu untuk mengajak umat manusia kepada kebaikan serta melaksanakan amar
makruf dan nahi mungkar dalam arti yang seluas-luasnya.
3) Ijabiyah (Responsif)
Majelis Ulama Indonesia adalah wadah pengkhidmatan ijabiyah yang
senantiasa memberikan jawaban positif terhadap setiap permasalahan yang di
hadapi masyarakat melalui prakarsa kebajikan (amal saleh) dalam semangat
berlomba dalam kebaikan (fastabiq al-khairat).
4) Hurriyah (Independen)
Majelis Ulama Indonesia adalah wadah pengkhidmatan independen yang
bebas dan merdeka serta tidak tergantung maupun terpengaruh oleh pihak-pihak
lain dalam mengambil keputusan, mengeluarkan pikiran, pandangan dan
pendapat.
5) Ta’awuniyah (Tolong Menolong)
Majelis Ulama Indonesia adalah wadah pengkhidmatan yang mendasari
diri pada semangat tolong-menolong untuk kebaikan dan ketakwaan dalam
membuka kaum dhuafa’ untuk meningkatkan harkat dan martabat, serta derajat
kehidupan masyarakat. Semangat ini dilaksanakan atas persaudaraan di kalangan
seluruh lapisan golongan Umat Islam.
6) Syuriyah (Permusyawaratan)
Majelis Ulama Indonesia adalah wadah pengkhidmatan yang
melaksanakan prinsip musyawarah dalam mencapai permufakatan melalui
pengembangan sikap demokratis, akomodatif dan aspiratif terhadap berbagai
aspirasi yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
Page 54
42
7) Tasamuh (Toleran dan Moderat)
Majelis Ulama Indonesia adalah wadah pengkhidmatan yang
mengembangkan sikap toleransi dan moderat dalam melaksanakan kegiatan
dengan senantiasa menciptakan keseimbangan di antara berbagai arus pemikiran
di kalangan masyarakat sesuai dengan syariat Islam.
8) Qudwah (Panutan/Kepeloporan)
Majelis Ulama Indonesia adalah wadah penghidupan yang mengedepankan
kepeloporan dan keteladanan melalui prakarsa kebajikan yang bersifat perintisan
untuk kebutuhan kemaslahatan umat.
9) Addualiyah (Mendunia)
Majelis Ulama Indonesia adalah wadah pengkhidmatan yang menyadari
dirinya sebagai anggota masyarakat dunia yang ikut aktif memperjuangkan
perdamaian dan tatanan dunia yang sesuai dengan ajaran Islam. Sesuai dengan itu
Majelis Ulama Indonesia menjalin hubungan dan kerjasama dengan Lembaga/
Organisasi Islam Internasional di berbagai Negara.
d. Peran
Peran utama Majelis Ulama Indonesia ada lima, yaitu:8
1) Sebagai Pewaris Tugas Para Nabi (Warasat al-Anbiya)
Majelis Ulama Indonesia berperan sebagai pewaris tugas-tugas para
Nabi, yaitu menyebarkan Agama Islam serta memperjuangkan terwujudnya
suatu kehidupan sehari-hari secara arif dan bijaksana yang berdasarkan Islam.
Walaupun dengan konsekuensi akan menerima kritik, tekanan dan ancaman
karena perjuangannya bertentangan dengan sebagian tradisi, budaya dan
peradaban manusia.
8Din Samsudin, Pedoman Penyelenggaraan Organisasi Majelis Ulama Indonesia, h., 10.
Page 55
43
2) Sebagai Pemberi Fatwa
Majelis Ulama Indonesia berperan sebagai pemberi fatwa bagi umat
Islam baik diminta maupun tidak diminta. Sebagai lembaga pemberi fatwa
MUI mengakomodasikan dan menyalurkan aspirasi Umat Islam di Indonesia
yang sangat beragam aliran paham dan pemikiran serta organisasi
keagamaannya.
3) Sebagai Pembimbing dan Pelayan Umat (Ri’ayat wa Khadimal Ummah)
Majelis Ulama Indonesia berperan sebagai pelayan umat (khadim al-
ummah) itu melayani umat Islam dan masyarakat luas dalam memenuhi
harapan, aspirasi dan tuntutan mereka.
4) Sebagai Gerakan Islam Wa al-Tajdid
Majelis Ulama Indonesia berperan sebagai pelopor ishlah yaitu gerakan
pembaharuan pemikiran Islam. Apabila terjadi perbedaan di kalangan Umat
Islam, maka MUI dapat menempuh jalan tadjid yaitu gerakan pembaharuan
pikiran Islam dan dengan jalan taufiq (kompromi) ataupun tarjih (mencari
hukum yang lebih kuat). Dengan ini diharapkan tetap terpelihara semangat
persaudaraan di kalangan umat Islam Indonesia.
5) Sebagai Penegak Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Majelis Ulama Indonesia berperan sebagai wahana penegakan amar
makruf nahi munkar, yaitu dengan menegaskan kebenaran sebagai kebenaran
dan kebatilan dengan penuh hikmah dan istiqomah.
Page 56
44
e. Asas, Sifat dan Fungsi Lembaga MUI
Terhitung sejak berlangsungnya Munas VI MUI tahun 2000 sesuai dengan
perubahan dan penyempurnaan AD/ART, beberapa perubahan atas asas dan
susunan organisasi MUI yaitu:9
1. Asas MUI yang semula pancasila, berubah menjadi Islam
2. MUI merupakan organisasi yang bersifat keagamaan, kemasyarakatan
independen, dalam arti tidak terikat atau menjadi bagian dari pemerintah atau
kelompok manapun. Independensi juga harus tercermin dalam berfikir,
bersikap, bertindak dan berbuat. MUI tidak berafiliasi kepada salah satu
organisasi sosial politik.
3. Susunan organisasi semula hanya di propinsi, kota/kabupaten, telah diperluas
hingga ke tingkat kecamatan.
4. Hubungan organisasi MUI Pusat dengan MUI Propinsi, MUI Kota/Kabupaten
yang semula bersifat horizontal aspiratif menjadi koordinatif, aspiratif
struktural administratif. Dalam arti, tak lagi bersifat horizontal aspiratif, tapi
lebih kepada vertikal koordinatif.
5. Hubungan antara MUI dengan organisasi/kelembagaan Islam bersifat
konsultatif dan kemitraan. MUI bukan supra struktur yang membawahi atau
atasan Ormas Islam. MUI bukan organisasi federasi, tetapi merupakan wadah
musyawarah.
C. Struktur Kepengurusan MUI
Dalam Pasal 9 Pedoman Dasar Majelis Ulama Indonesia tentang Susunan
Pengurus bahwa susunan kepengurusan MUI di semua tingkatan secara umum,
9Din Samsudin, Pedoman Penyelenggaraan Organisasi Majelis Ulama Indonesia, h., 18-22.
Page 57
45
meliputi: 1. Dewan Pertimbangan, 2. Dewan Pimpinan Harian; dan 3. Anggota Pleno,
Komisi dan Lembaga.10
1. Dewan Pertimbangan
Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia berfungsi untuk: a.
memberikan pertimbangan, nasihat, bimbingan dan bantuan kepada Dewan Pimpinan
Majelis Ulama Indonesia dalam pelaksanaan usaha Majelis Ulama Indonesia sesuai
dengan tingkatannya masing-masing; b. membahas isu-isu strategis yang dihadapi
umat Islam dan solusinya, serta direkomendasikan ke pimpinan harian.11
Adapun susunan Dewan Pertimbangan MUI Pusat pada Periode 2015-2020
yaitu: 1) Ketua: Prof. Dr. HM. Din Syamsuddin, MA 2) Wakil Ketua: Prof. Dr. H.
Azyumardi Azra., Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, MA., Prof. Dr. H. Didin Hafiduddin,
MA 3) Sekretaris: Prof. Dr. H. Noor Ahmad, MA., Dr. H. Bachtiar Natsir., Drs. H.
Natsir Zubaidi.
2. Dewan Pimpinan Harian
Kepengurusan MUI di setiap jenjang berlangsung lima tahun. Sampai 2015
MUI Pusat telah menyelenggarakan delapan kali Musyawarah Nasional (Munas) dan
delapan periode.12 Kemudian pada tahun 2015 dilaksanakan Munas yang ke-sembilan
karena merupakan tahun terakhir periode yang ke-delapan.13 Selama delapan periode
10Pedoman Dasar Majelis Ulama Indonesia, http://test.islamwasathiyah.com/wp-
content/uploads/2016/04/1.-PO_PD-PRT-MUI-HASIL-MUNAS-2015_1-42.pdf diakses pada Rabu, 10
April 2019 Pkl. 11:46
11Pedoman Rumah Tangga Majelis Ulama Indonesia, http://test.islamwasathiyah.com/wp-
content/uploads/2016/04/1.-PO_PD-PRT-MUI-HASIL-MUNAS-2015_1-42.pdf diakses pada Senin, 22
April 2019 Pkl. 12:41
12Abdusshomad Buchori, Bunga Rampai Kajian Islam, h., 96-97
13Profil Majelis Ulama Indonesia, https://mui.or.id/kepengurusan-mui/# diakses pada Hari
Kamis, 7 Februari 2019 Pkl. 15:26
Page 58
46
dan periode yang ke-sembilan tersebut telah terpilih beberapa dewan pengurus harian,
yaitu:
1) Periode I (1975-1980), Ketua Umum Prof. Dr. Hamka, Sekretaris Umum Drs.
H. Kafrawi Ridwan, MA.
2) Periode II (1980-1985), Ketua Umum KH. M. Syukri Ghozali, Sekretaris Umum
H.A. Burhani Tjokrohandoko (sebelum masa bakti berakhir H.A. Burhani wafat,
digantikan H.A. Qadir Basalamah).
3) Periode III (1985-1990), Ketua Umum KH. Hasan Basri, Sekretaris Umum H.S.
Projokusumo
4) Periode IV (1990-1995), Ketua Umum KH. Hasan Basri, Sekretaris Umum H.S.
Projokusumo
5) Periode V (1995-2000), Ketua Umum KH. Hasan Basri (sebelum masa bakti
berakhir KH. Hasan Basri wafat, digantikan oleh Prof. KH. Alie Yafie),
Sekretaris Umum Drs. H. Nazri Adlani
6) Periode VI (2000-2005), Ketua Umum Dr. KH. M.A. Sahal Mahfudz, Sekretaris
Umum Prof. Dr. H. M. Din Syamsudin
7) Periode VII (2005-2010), Ketua UmumDr. KH. M.A. Sahal Mahfudz, Wakil
Ketua Umum Prof. Dr. H. M. Din Syamsudin, dan Sekretaris Umum: Drs. H.
Ichwan Sam
8) Periode VIII (2010-2015), Ketua Umum Dr. KH. M.A. Sahal Mahfudz, Wakil
Ketua Umum Prof. Dr. H. M. Din Syamsudin, dan Sekretaris Umum: Drs. H.
Ichwan Sam. (pada hari Jum'at 24 Januari 2014 Dr. KH. M.A. Sahal Mahfudz
wafat, maka rapat pimpinan MUI yang diselenggarakan pada Selasa 18 Februari
2014 menetapkan Prof. Dr. H. M. Din Syamsudin sebagai Ketua Umum yang
baru dan DR. KH. Ma'ruf Amin sebagai Wakil Ketua Umum. Sementara
Sekretaris Umum tetap Drs. H. Ichwan Sam).
Page 59
47
9) Periode IX (2015-2020), Ketua Umum Prof. Dr. KH. Ma'ruf Amin, Wakil Ketua
Umum Prof. Dr. H. Yunahar Ilyas, LC dan Drs. H. Zainut Tauhid Sa'adi, M.Si,
serta Sekretaris Umum Dr. H. Anwar Abbas, MM., M.Ag.
3. Anggota Pleno, Komisi, dan Lembaga
Dalam Pasal 6 ayat (2) dan (3) Pedoman Rumah Tangga MUI disebutkan
bahwa dalam menjalankan tugasnya, Dewan Pimpinan membentuk komisi-komisi
yang bertugas untuk menelaah, membahas, merumuskan dan menyampaikan usul-usul
kepada Dewan Pimpinan sesuai dengan bidang masing-masing. Komisi-komisi yang
dimaksud adalah: a. Komisi Fatwa; b. Komisi Ukhuwah Islamiyah; c. Komisi Dakwah
dan Pengembangan Masyarakat; d. Komisi Pendidikan dan Kaderisasi; e. Komisi
Pengkajian dan Penelitian; f. Komisi Hukum dan Perundang-undangan; g. Komisi
Pemberdayaan Ekonomi Umat; h. Komisi Perempuan, Remaja dan Keluarga; i. Komisi
Informatika dan Komunikasi; j. Komisi Hubungan Antar Umat Beragama; k. Komisi
Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama Internasional; l. Komisi Pembinaan Seni
Budaya Islam.
Lebih lanjut disebutkan dalam Pasal 6 ayat (4) dan (5) bahwa dalam
menjalankan program yang bersifat khusus/perintisan, Dewan Pimpinan dapat
membentuk Lembaga/Badan sesuai dengan kebutuhan. Lembaga/Badan yang
dimaksud seperti: a. Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, Minuman dan
Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI); b. Dewan Syariah Nasional
Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI); c. Badan Arbitrase Syariah Nasional Majelis
Ulama Indonesia (BASYARNAS MUI); d. Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup
dan Sumber Daya Alam Majelis Ulama Indonesia (LPLH-SDA) MUI; e. Komite
Dakwah Khusus Majelis Ulama Indonesia (KDK MUI); f. Lembaga Pentashhih Buku
Page 60
48
dan Konten Keislaman; g. Lembaga Wakaf, Zakat, Infak, dan Sadaqoh; h. dan yang
dianggap perlu, dan ditetapkan oleh Dewan Pimpinan MUI.14
14Pedoman Rumah Tangga Majelis Ulama Indonesia, http://test.islamwasathiyah.com/wp-
content/uploads/2016/04/1.-PO_PD-PRT-MUI-HASIL-MUNAS-2015_1-42.pdf diakses pada Senin,
22 April 2019 Pkl. 12:20
Page 61
49
BAB IV
RESPON DAN SOLUSI TOKOH MUI TERHADAP
PERDEBATAN REGULASI
BERNUANSA AGAMA
A. Pemahaman Tokoh MUI tentang Regulasi Bernuansa Agama
Sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa yang dimaksud dengan
regulasi bernuansa agama dalam penelitian ini ada segala bentuk peraturan daerah
khusunya Perda Syariah. Perda Syariah merupakan salah satu produk hukum daerah
yang setelah otonomi daerah diberikan oleh pemerintahan pusat.1 Namun,
keberadaannya dipertentangkan oleh sebagian kalangan, baik elit negara, akademisi,
dan juga beberapa peneliti yang concern pada bidang hukum. Telah banyak penelitian
yang mengemukakan bahwa penerapan Perda Syariah diskriminatif, sehingga
menimbulkan konflik inheren yang menyebabkan perpecahan terhadap pluralitas
bangsa Indonesia. Meskipun di balik itu juga ada beberapa kalangan yang mendukung
keberadaan Perda Syariah.
Sejatinya, perdebatan mengenai Perda Syariah ini sudah ada sejak awal masa
Reformasi, yakni sejak diberlakukannya otonomi daerah, sehingga mulai saat itulah
daerah diberikan kewenangan untuk mengatur daerahnya sendiri-sendiri demi
terwujudnya good local governance. Tentunya pemerintahan daerah yang baik secara
Pembangunan, ketertiban, keamanan, dan moral warganya. Otonomi daerah yang
dimaksud tidak lain sebagai bentuk pengejawantahan dari adanya kebijakan
desentralisasi.
Landasan yuridis yang menyangkut otonomi daerah kemudian membuat
daerah berlomba-lomba untuk mengatur segala urusan yang berkaitan dengan
1Mohammad Baharun, Ketua Komisi Hukum dan Perundang-Undangan MUI, Interview
Pribadi, Jakarta, 28 Januari 2019
Page 62
50
daerahnya ke dalam Peraturan Daerah (Perda).2 Oleh sebab itu, banyak bermunculan
Perda Syariah, mengingat mayoritas bangsa Indonesia beragama Islam. Tentunya
mereka ingin hidup aman, tentram, dan ada jaminan kepastian hukum dalam
menjalankan syariat agamanya. Untuk itulah banyak dibuat Perda Syariah, sehingga
kurang tepat jika alasan utamanya umat Islam memiliki power di daerah, melainkan
untuk memperoleh kemudahan dan kepastian hukum dalam menjalankan syariat
agamanya.
Namun, bagi kalangan yang tidak setuju dengan keberadaan Perda Syariah,
mereka menganggap bahwa Perda Syariah itu diskriminatif terhadap kelompok
minoritas, serta dapat menimbulkan perpecahan. Perda Syariah yang sudah lumayan
lama diadopsi dalam Hukum Indonesia, dan mulai diterima di masyarakat, kini
dipertentangkan kembali keberadaannya oleh sekelompok partai baru yakni Partai
Solidaritas Indonesia.
Penentangan tersebut mendapat respon dari ketua MUI dan juga beberapa
pimpinan yang lain. Misalnya seperti Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Umum MUI
Yunahar Ilyas menganggap pernyataan ketua umum PSI tidaklah tepat. Bapak
Yunahar menyebut Perda Syariah merupakan kebijakan populis dan bermanfaat. Ia
menilai selama ini banyak Undang-Undang yang lahir berdasarkan hukum syariah.3
Dari data yang penulis dapatkan melalui hasil wawancara beberapa anggota
MUI, mereka memiliki pemahaman yang berbeda tentang istilah tersebut. Ada yang
memahami bahwa Perda Syariah itu bagian dari Perda saja, yang kedudukannya ada
di daerah mengacu kepada Undang-Undang yang ada di atasnya.4 Sehingga, apabila
2Alim Muhammad, “Perda-Perda Bernuansa Islam dan Hubungan dengan Konstitusi”, Jurnal
Hukum Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Vol. 17 h., 120
3Felix Nataniel, "Pandangan PSI Soal Perda Agama: Ditentang MUI, Dibela PGI, Tapi..."
,Majalah Tirto.id, (Jakarta), 19 November 2018
4Masduki Baidlowi, Ketua Bidang Informasi dan Komunikasi MUI, Interview Pribadi,
Jakarta, 25 Januari 2019
Page 63
51
ada yang mengatakan bahwa Perda Syariah itu bertentangan dengan Undang-Undang
yang ada di atasnya itu merupakan pernyataan yang kurang tepat.
Pemahaman yang lain yaitu Perda Syariah merupakan produk hukum daerah
yang digali dari sumber-sumber hukum agama yang diyakini dan berkembang di
tengah umat atau masyarakat muslim, seperti hukum adat yang juga menjadi Undang-
Undang dan Perda.5 Pendapat ini tidak jauh berbeda dengan penjelasan Abdul Kholik
bahwa Perda Syariah adalah Perda yang berisi aturan-aturan dijiwai dan berisi ajaran-
ajaran Agama Islam.6
Kemudian ada yang memahami bahwa Perda Syariah itu hanya sebuah istilah
atau nomenklatur yang merupakan semangat keberagamaan. Seperti yang dinyatakan
oleh Van Den Berg dalam teorinya yang terkenal dengan receptio in complexu bahwa
hukum yang berlaku pada masyarakat adalah norma-norma yang bersumber pada
nilai-nilai keyakinannya. Nilai-nilai keyakinan yang dimaksud adalah agama.
Indonesia merupakan Negara yang 85% masyarakat yang diatur itu adalah beragama
Islam.7
Namun pendapat yang terakhir ini justru berseberangan dengan beberapa
pendapat di atas, seperti dijelaskan bahwa istilah Perda Syariah merupakan salah satu
bentuk Public Fallacy (penyesatan istilah di kalangan publik). Dalam sistem
perundang-undangan di Indonesia tidak dikenal istilah Perda Syariah. Jenis peraturan
perundang-undangan itu sifatnya sudah limitatif, terbatas yang ada dalam Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan. Dalam undang-undang tersebut disebutkan tentang jenis dan hierarki
5Mohammad Baharun, Ketua Komisi Hukum dan Perundang-Undangan MUI, Interview
Pribadi, Jakarta, 28 Januari 2019
6Abdul Kholik, Wakil Sekretaris Komisi Hukum dan Perundang-Undangan MUI, Interview
Pribadi, Jakarta, 03 Maret 2019
7Zainal Arifin Hoesein, Wakil Ketua Komisi Hukum dan Perundang-Undangan MUI,
Interview Pribadi, Jakarta, 20 Februari 2019
Page 64
52
peraturan perundang-undangan sebagai berikut, Undang-Undang Dasar 1995, Tap
MPR, Undang-Undang atau Perppu, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden,
Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Dalam Peraturan
Daerah tersebut hanya dikenal Peraturan Daerah atau qanun atau Peraturan Daerah
Khusus (Perdasus) atau Peraturan Daerah Istimewa.8
Kemudian apabila suatu aturan sudah melewati proses yang disebut dengan
transformasi hukum atau disebut dengan istilah positivering (mempositifkan hukum-
hukum yang ada) dia tidak disebut lagi dengan Hukum Islam.9 Alasan tersebutlah yang
memperkuat argumentasi narasumber yang terakhir bahwa Perda Syariah itu tidak ada
dalam sistem Perundang-undangan di Indonesia.
Pernyataan yang serupa dengan pendapat terakhir ini juga dikemukakan oleh
A. M. Fatwa bahwa istilah Perda Syariah tidak dikenal dalam hukum positif Indonesia.
Dalam Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 menyebutkan bahwa Pemerintah Daerah berhak
menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain dan peraturan-peraturan
lain untuk melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan. Begitu dalam UU
No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tidak
mencantumkan kata-kata Perda Syariah, melainkan cukup Perda saja. Adanya
penggunaan istilah Perda Syariah berpotensi menyesatkan karena menimbulkan
pemahaman bahwa perda tersebut adalah Perda Syariat Islam. Padahal yang
dimaksudkan hanyalah perda biasa yang materi muatannya mengandung nilai-nilai
agama tertentu. Perlu adanya pembedaan akan hal itu, mengingat perda merupakan
bagian dari perundang-undangan Negara, sementara syariat mengandung hukum
agama.10
8Zafrullah Salim, Anggota Komisi Fatwa MUI, Interview Pribadi, Jakarta, 23 April 2019
9Zafrullah Salim, Anggota Komisi Fatwa MUI, Interview Pribadi, Jakarta, 23 April 2019
10A. M. Fatwa, “Perda Syariah dan Pluralisme Hukum di Indonesia”, http://www.A.M. Fatwa
Officila Site/ pemikiran.htm, diakses pada 15 Mei 2019 Pkl. 09:24
Page 65
53
Meskipun terdapat perbedaan pemahaman mengenai istilah Perda Syariah,
tetapi menurut penuturan Bapak Abdul Kholik bahwa MUI selama ini memberikan
perhatian dan selalu mendorong untuk adanya Perda Syariah karena itu sejalan dengan
kebutuhan hukum masyarakat.11 Bahkan dalam sekala nasional, fatwa MUI sudah
banyak yang menjadi undang-undang, seperti Undang-Undang tentang Perbankan
Syariah karena memang tujuannya untuk kemaslahatan umat.Perbedaan pemahaman
yang terjadi karena memang tidak aturan baku yang menjelaskan secara eksplisit
tentang pengertian Perda Syariah. Pemahamn tersebut berangkat dari pemahaman para
narasumber yang disimpulkan dari keriteria-keriteria Perda Syariah.
1. Manfaat dan Urgensi Penerapan Regulasi Bernuansa Agama dalam
Pandangan Tokoh MUI
Majelis Ulama Indonesia yang memiliki peran sebagai pewaris tugas para
Nabi, yaitu menyebarkan Agama Islam serta memperjuangkan terwujudnya suatu
kehidupan sehari-hari secara arif dan bijaksana berdasarkan Islam. Walaupun
peran tersebut terkadang mendapat kritik, tekanan dan ancaman karena
perjuangannya bertentangan dengan sebagian tradisi, budaya dan peradaban
manusia. Namun, tugas mulia itulah yang membuat MUI tetap berdiri kuat sampai
saat ini dan selalu ada untuk mewujudkan kehidupan yang mashlahat dan
mencapai Maqashid Syariah.
Untuk itu MUI bersifat responsif dalam permaslahan yang dihadapi oleh
masyarakat Islam. Di Kota Padang misalnya, para tokoh MUI lokal berperan aktif
dalam mengusulkan Perda tentang zakat dan baca tulis AlQuran. Di Kabupaten
Kuningan, peran yang serupa juga dilakukan oleh para tokoh MUI lokal ketika
11Abdul Kholik, Wakil Sekretaris Komisi Hukum dan Perundang-Undangan MUI, Interview
Pribadi, Jakarta, 03 Maret 2019
Page 66
54
menyusun perda anti minuman keras.12 Hal ini sejalan dengan Visi misi MUI
seperti yang disampaikan oleh Zainuttauhid bahwa selain khadimul ummah atau
pelayan masyarakat juga sebagai shadiqul hukumah (sebagai mitra pemerintah)
yang salah satunya adalah upaya penegakan hukum.13 Menurut penulis shadiqul
hukumah tersebut tidak hanya dalam penegakan hukum saja, melainkan juga
dalam pembuatan kebijakan pemerintah.
Oleh sebab itu, wajar apabila sikap politik partai yang tidak mendukung
penerapan terhadap penolakan Perda Syariah mendapat respon dari MUI.
Mengingat, Perda Syariah merupakan salah satu bentuk dakwah MUI Lokal lewat
kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Lokal.
Dari data hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis bersama
beberapa anggota MUI bahwa MUI setidaknya memiliki beberapa argumentasi
untuk tetap mendukung penerapan Perda Syariah. Argumentasi tersebut tidak
lepas dari manfaat dan urgensi penerapan Perda Syariah tersebut, yaitu:
Pertama, Perda Syariah memberikan kepastian hukum kepada warga.14
Kedua, untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat.
Pertimbangan ini sejalan dengan tugas dan kewajiban Negara untuk memberikan
apa yang disebut to protect, to respect, to fullfing (perhatian, perlindungan dan
pemenuhan).15
12Dani Muhtada, Makalah disampaikan dalam orasi ilmiah dalam rangka Dies Natalis VII
Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang pada tanggal 4 Desember 2014 di Semarang.
13Optimalkan Layanan Hukum, MUI Tingkatkan Kompetensi Penanganan Kasus, Berita
MUI, (Jakarta), 18 Oktober 2018
14Mohammad Baharun, Ketua Komisi Hukum dan Perundang-Undangan MUI, Interview
Pribadi, Jakarta, 28 Januari 2019
15Zainal Arifin Hoesein, Wakil Ketua Komisi Hukum dan Perundang-Undangan MUI,
Interview Pribadi, Jakarta, 20 Februari 2019
Page 67
55
Ketiga, apabila Perda tersebut berjalan secara efektif, tentu akan
memberikan dampak positif bagi masyarakat. Misalnya beberapa Perda tentang
Pengelolaan Zakat yang ada di banyak daerah sangat membantu dalam mengelola
dan menghimpun dana zakat dan kemudian manfaatanya untuk masyarakat luas.16
Keempat, solusi di antara masalah-masalah sosial-keagamaan yang
muncul di daerah. Misalnya Perda tentang Larangan Miras di Papua, lahirnya
Perda Anti Miras di Papua merupakan hasil inisiasi ibu-ibu yang tidak tahan akibat
para suaminya mabuk-mabukan dan merusak keluarga dan masyarakat.17
Kelima, melalui pertimbangan apakah subtansi dari Perda tersebut sudah
sesuai dengan Maqashid Syariah, karena memang yang penting untuk dicapai
adalah Maqashid Syariahnya.
Tentu beberapa pertimbangan di atas yang membuat MUI tetap bertahan
dengan harapannya bahwa Perda Syariah harus tetap dipertahankan
penyelenggaraannya dengan baik di tengah-tengah masyarakat, karena Perda
Syariah merupakan salah satu instrumen untuk mencapat tujuan syariat Islam atau
yang biasa dikenal dengan Maqashid Syariah.
Bahkan, menurut ketua MUI Pasuruan KH. Fayumi berdasarkan data
hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti The Wahid Institute saat Perda
Ramadhan di daerahnya dipersoalkan, ia mengatakan bahwa Perda ini merupakan
harga mati, bahkan ia mengancam mengundurkan diri dari posisinya.18 Mengingat
ia adalah salah satu ulama yang sangat getol agar Perda Ramadhandiberlakukan.
Mungkin inilah tambahan argumentasi dari MUI lokal tentang betapa pentingnya
regulasi bernuansa agama.
16Abdul Kholik, Wakil Sekretaris Komisi Hukum dan Perundang-Undangan MUI, Interview
Pribadi, Jakarta, 03 Maret 2019
17Abdul Kholik, Wakil Sekretaris Komisi Hukum dan Perundang-Undangan MUI, Interview
Pribadi, Jakarta, 03 Maret 2019
18Rumadi dkk, Islamisme, Konflik dan Demokrasi, h., 55
Page 68
56
B. Respon Tokoh MUI Terhadap Penolakan Regulasi Bernuansa Agama
Sebagaimana telah dijelaskan pada sub pembahasan sebelumnya, bahwa salah
satu isu yang masih hangat diperbincangkan terkait perda syariah adalah sikap politik
Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang menolak dengan tegas penerapan Perda
Syariah. Dalam pidato yang disampaikan oleh Grace Natalie selaku Ketua Umum PSI
beberapa waktu lalu, ia menegaskan akan menolak Perda-Perda berbasis agama baik
Perda Syariah maupun Perda Injil. Mereka berdalih bahwa keberadaan perda agama
akan menimbulkan ketidakadilan, diskriminatif, dan intoleransi antar umat beragama.19
Penolakan PSI terhadap Perda Syariah tersebut menuai pro dan kontra berbagai
pihak. Beberapa pihak menganggap bahwa hal itu menjadi wajar sebagai sikap politik
suatu partai politik dalam menyampaikan visi dan misinya dalam pemerintahan.
Bahkan tidak sedikit yang membenarkan penolakan tersebut. Wakil presiden Jusuf
Kalla turut membenarkan argumentasi tersebut, menurutnya urusan agama merupakan
akidah atau keyakinan yang tidak perlu diatur melalui perda. Adapun pihak-pihak yang
tidak sependapat dengan pernyataan Grace Natalie tersebut datang dari politisi-politisi
parpol berbasis Islam seperti PPP dan PKS, anggota DPD Aceh hingga anggota dewan
PBNU.
Penentangan terhadap penerapan Perda Syariah tersebut juga mendapat respon
dari Kyai Ma’ruf Amin cawapres nomor urut 01 sekaligus selaku ketua umum MUI
menurutnya Perda Syariah bukanlah hal yang harus diperdebatkan dan tidak perlu
menjadi polemik. Sebab, Perda merupakan hak setiap daerah dalam menentukan aturan
daerahnya masing-masing selama tidak bertentangan dengan perundang-undangan di
atasnya.20 Selanjutnya beberapa pandangan anggota MUI dalam wawancara pribadi
yang dilakukan oleh penulis, antara lain sebagai berikut:
19Grace Natalie Jelaskan Mengapa PSI Tolak Perda Religi,
https://www.google.com/amp/s/m.republika.co.id/amp/picex5409, diakses pada 02 Mei 2019, Pukul
15.04. 20Kontroversi Grace Natalie Tak Dukung Perda Syariah, https://m.detik.com/news/berita/d-
4308836/kontroversi-grace-natalie-tak-dukung-perda-syariah, diakses pada 02 Mei 2019, Pukul 16.58.
Page 69
57
Partai Solidaritas Indonesia (PSI) merupakan partai baru yang memang butuh
kejutan, butuh pembeda, butuh hal yang bersifat kontroversial untuk menarik perhatian
publik.21 Penolakan ini muncul sebagai isu dan pencitraan politik belaka agar dapat
dukungan dari kalangan liberal dalam rangka kampanye negatif.22 Mereka juga tidak
memiliki kepentingan dalam produk hukum syariah tersebut, sehingga mereka seolah
menyuarakan asal menyuarakan tanpa tahu substansi dari produk hukum Syariah itu.
Pada dasarnya arah perjuangan PSI sedikit tidak jelas, apakah mereka paham
pancasila atau tidak. Ketika mereka menyuarakan penentangan terhadap Perda Syariah,
jelas sikap tersebut adalah sikap anti Pancasila. Hal ini dimaksudkan bahwa Perda
Syariah merupakan kontekstualisasi dari Pancasila, bertujuan untuk menjalankan
amanah Pancasila. Tidak ada satu pun Perda Syariah yang bertentangan dengan
pancasila.23
Tanggapan yang lain juga mengatakan bahwa Penolakan itu karena tidak
memahami keberadaan perda Syariah yang dijamin oleh konstitusi baik Pasal 28E ayat
(1), Pasal 29 ayat (2) dan juga beberapa peraturan perundang-undangan seperti
Undang-Undang Zakat, Undang-Undang Perbankan Syariah, dan lain-lain yang di
antaranya membutuhkan peraturan turunan di tingkat daerah.24 Sehingga, sikap PSI
sebagai politisi yang menyuarakan sesuatu yang pada dasarnya kurang dipahami bisa
dikategorikan sebagai public fallacy, yaitu kebohongan publik, karena mereka tidak
paham tapi menyatakannya seolah-olah benar adanya.25
21Masduki Baidlowi, Ketua Bidang Informasi dan Komunikasi MUI, Interview Pribadi,
Jakarta, 25 Januari 2019
22Mohammad Baharun, Ketua Komisi Hukum dan Perundang-Undangan MUI, Interview
Pribadi, Jakarta, 28 Januari 2019
23Zainal Arifin Hoesein, Wakil Ketua Komisi Hukum dan Perundang-Undangan MUI,
Interview Pribadi, Jakarta, 20 Februari 2019
24Abdul Kholik, Wakil Sekretaris Komisi Hukum dan Perundang-Undangan MUI, Interview
Pribadi, Jakarta, 03 Maret 2019
25Zafrullah Salim, Anggota Komisi Fatwa MUI, Interview Pribadi, Jakarta, 23 April 201
Page 70
58
Sebab, dalam pembuatan Peraturan Daerah, selama tidak berdampak negatif
terhadap keberlangsungan masyarakat yang dapat menimbulkan perpecahan dan tidak
bertentangan dengan UU yang ada di atasnya maka tidak ada salahnya. Misalnya
Daerah Aceh, karena memang daerahnya mayoritas muslim dan sudah mendapatkan
kekhususan maka tidak ada salahnya jika menerapkan perda syariah sebagai aktualisasi
Otonomi Daerah. Adapun untuk daerah-daerah yang majemuk atau daerah yang plural,
pengaturan perda syariah selama tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi
juga sah saja.
C. Solusi Tokoh MUI Terhadap Pordebatan Regulasi Bernuansa Agama
Mengingat Indonesia bukanlah Negara Islam melainkan negara muslim yang
mengharapkan terciptanya nilai-nilai Islami dalam kehidupan bermasyarakatnya.
Nilai-nilai islami yang dimaksud, seperti sikap toleransi antar umat beragama, tolong
menolong, dan dapat hidup berdampingan secara damai dengan non muslim. Di
samping itu, terwujudnya keadilan dan kesejahteraan masyarakat dalam segala aspek
juga menjadi prioritas utama dalam setiap pembentukan hukum.
Oleh sebab itu, MUI sebagai salah satu wadah ulama yang merupakan mitra
pemerintah dalam menyukseskan Pembangunan Nasional.26 Tentunya tidak ingin
apabila perdebatan yang seperti ini menjadi polemik yang berkepanjangan. Maka dari
itu MUI mengajukan beberapa solusi. Adapun solusi yang disampaikan adalah sebagai
berikut.
Pertama, menghimbau kepada pemerintah terutama legislator, apabila ingin
membuat suatu aturan syariah yang penting untuk diperhatikan terlebih dahulu adalah
bahwa inisiatif tersebut muncul dari bawah (buttom up). Yaitu muncul dari
masyarakat, ada kesadaran masyarakat terlebih dahulu baru kemudian setelah itu
mudah melaksanakannya. Sehingga, akhirnya ketika misalnya terjadi pengesahan
26M. Mohtarom Ilyas, “Kekurangan dan Kelebihan MUI (Majelis Ulama Indonesia) di Era Orde
Baru”, Jurnal Sosial Humaniora, Vol. 2, No. 1, h., 98
Page 71
59
dalam bentuk UU atau dalam bentuk apa pun sifatnya itu tidak perlu dipaksa-paksa
dan tidak mengandung unsur-unsur yang sifatnya politis.27
Kedua, Setiap pembentukan peraturan perundang-undangan terlebih dahulu
harus dikaji pertimbangan filosofis, sosiologis, dan yuridisnya. Kemudian dikaji juga
pertimbangan-pertimbangan (consideration) dalam membentuk suatu peraturan.
Selain itu kita juga harus melihat bagaimana subtansi yang akan dituangkan.
Pembentukan hukum di Indonesia berkarakter ke-Indonesiaan atau disebut asas ke-
Indonesiaan yang berimbang, dengan demikian ketika membentuk suatu peraturan
harus merujuk pada lima asas Pancasila sebagai dasar negara. Ketuhanan Yang Maha
Esa merupakan moral religious dalam lima sila tersebut, sehingga tidaklah salah jika
terdapat peraturan-peraturan yang berbasis agama atau secara substansial mengatur
persoalan agama dan bersumber dari agama tertentu.28
Ketiga, Negara harus aktif dalam memberikan fasilitas terkait keberagamaan
masyarakatnya. Ada dua fasilitas yang dimaksud:29
1. Seperti forum internum, yaitu seluruh aktivitas keagamaan dikelola dan
diputuskan oleh umat beragama yang bersangkutan. Contoh haji, Ibadah Haji itu
adalah bagian dari ritual yang kewajibannya individual, negara harus
memberikan kemudahan untuk orang berniat haji, maka undang-undang haji itu
bukan subtansi haji, hukum-hukum haji, fikih haji, tetapi terkait pengelolaan haji.
Sama halnya dengan Undang-undang Zakat, undang-undang ini lebih terfokus
pada pengelolaan zakatnya, bukan persoalan berapa nishab, dan sebagainya.
27Masduki Baidlowi, Ketua Bidang Informasi dan Komunikasi MUI, Interview Pribadi,
Jakarta, 25 Januari 2019
28Zafrullah Salim, Anggota Komisi Fatwa MUI, Interview Pribadi, Jakarta, 23 April 2019
29Zainal Arifin Hoesein, Wakil Ketua Komisi Hukum dan Perundang-Undangan MUI,
Interview Pribadi, Jakarta, 20 Februari 2019
Page 72
60
2. Forum Eksternum, negara hanya bagaimana memudahkan aplikasi dari nilai-nilai
yang terkandung. Dalam hal ini negara melindungi atau negara menjamin
kebebasan beragama dalam bentuk undang-undang atau bentuk peraturan lain.
Misalnya di Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, negara menjamin kebebasan beribadah
setiap umat beragama tanpa ada intervensi dari pihak lain. Menjamin di sini salah
satunya dengan memberikan fasilitas, dan melayani setiap kebutuhan
masyarakatnya.
Keempat, untuk meminimalisir perdebatan yang sedang terjadi, hal berupa
keputusan juga sudah cukup untuk mengatur tentang peraturan yang berbasis syariah.
Catatan terpentingnya adalah tujuan syariahnya, hal itu yang menjadi pokok masalah.
tujuan Syariah yang harus didahulukan dan diutamakan, bukan kulit syariahnya.
Page 73
61
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah dipaparkan pada materi sebelumnya, maka dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Para tokoh MUI yang terlibat dalam penelitian ini, memahami regulasi bernuansa
agama sebagai sebuah istilah/nomenklatur pada produk hukum daerah yang
muatannya digali dari sumber-sumber hukum agama yang diyakini dan
berkembang di tengah umat atau masyarakat.
2. Adapun pandangan MUI terhadap penerapan regulasi bernuansa agama bahwa
regulasi yang semacam itu harus tetap diterapkan di tengah-tengah masyarakat
karena banyak memberikan manfaat daripada madharat. Namun meskipun
demikian penerapannya lazim disesuaikan dengan kebutuhan hukum di
masyarakat, sehingga tidak terkesan dipaksakan oleh pemimpin politiknya. Untuk
itu regulasi bernuansa agama harus dibentuk berdasarkan aspirasi masyarakatnya,
kalau tokoh MUI menyebutnya dengan buttom up (muncul dari
bawah/masyarakat). Kemudian mengenai respon MUI terhadap penolakan
regulasi bernuansa agama bahwa MUI tidak sepakat dengan pernyataan tersebut.
Sebab, alasan penolakan tersebut tidak sejalan dengan kebutuhan hukum
masyarakat di daerah. Di beberapa daerah sangat dirasakan manfaat adanya
peraturan tersebut.
Page 74
62
B. Saran
Pada bagian ini penulis memberikan saran baik secara praktik maupun secara
akademik
1. Secara praktik, kepada pemerintah daerah direkomendasikan hendaknya lebih
memahami kebutuhan hukum masyarakatnya, kemudian tidak semestinya semua
kebijakan dituangkan dalam bentuk Perda, melainkan ke dalam bentuk yang
lainnya. Seperti yang disebutkan dalam hukum administrasi bisa dalam bentuk
surat edaran, maklumat, petunjuk pelaksana, petunjuk teknis, dll. Sehingga, tidak
bertitik tumpu pada Perda.
2. Secara akademik, kepada umat non muslim direkomendasikan agar jangan alergi
dengan Perda Syariah. Sebab, hal tersebut merupakan hak umat beragama yang
telah dijamin pemenuhannya dalam UUD 1945.
Page 75
63
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abbas, Anwar, dkk, Pedoman Penyelenggaraan Organisasi Majelis Ulama
Indonesia, Majelis Ulama Indonesia, 2010.
Ahmadi, Fahmi Muhammad, & Aripin, Jaenal, Metode Penelitian Hukum,
Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2010.
Asshiddiqie, Jimly, Perihal Undang-Undang, Jakarta: Konstitusi Press, 2008.
Azra, Azumardi, Menuju Masyarakat Madani: Gagasan, Fakta dan
Tanggapan,Bandung: Rosdakarya, 2000.
Buchori, Abdusshomad, Bunga Rampai Kajian Islam, Surabaya: Majelis Ulama
Indonesia, 2015.
Dayanto dan Asma Karim, Peraturan Daerah Responsif Fondasi Teoritik dan
Pedoman Pembentukannya, Yogyakarta: Deepublish, 2015.
Farida Indrati S, Maria, Ilmu Perundang-undangan, Yokyakarta: Kanisius, 2007.
Ihsan Ali Fauzi, Saeful Mujani, Gerakan Kebebasan Sipil Studi Dan Advokasi
Kritis Atas Perda Syari’ah, Jakarta: Nalar, 2009.
Fauzi, Noer dan R. Yando Zakaria, Mensiasati Otonomi Daerah, Cet. 1,
Yogyakarta: Konsorsium Pembaruan agraria berkerjasama dengan INSIST
“Press”, 2000.
Halim, Hamzah dan Kemal Redindo Syahrul Putera, Cara Peraktis Menyusun dan
Merancang Peraturan Daerah (Suatu Kajian Teoritis dan Praktis Disertai
Manualnya): Konsepsi Teoritis Menuju Artikulasi Empiris, Jakarta: Prenada
Media Group, 2009.
Hamidi, Jazim, dkk., Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif, Jakarta:
Prestasi Pustaka, 2008.
Hidayat, Komarudin dan Puput Widjanarko, Reimventing Indonesia menemukan
Kembali, Jakarta: Mizan, 2008.
Lubis, M. Solly, Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan, Bandung: CV Mandar
Maju, 2009.
Muntoha, “Otonomi Daerah dan Perkembangan Peraturan Peraturan Daerah
Berbasis Syariah”, Jakarta: Disertasi Kearsipan Program Pascasarjana
Fakultas Hukum UI, 2008
Page 76
64
Kamil, Sukron, et Al, Syari’at Islam Dan HAM: Dampak Perda Syari’at
Terhadap Kebebasan Sipil, Hak-Hak Perempuan, Dan Non-Muslim, ed.
Sukron Kamil & Chaider S Bamualim Jakarta: Center for the Study of
Religion and Culture & Konrad Adenauer Stifftung, 2007.
Maleong, Lexy J, MetodePenelitianKualitatif, Bandung: Remaja Rosda Karya,
2005.
Manan, Bagir, Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945, Bandung: Uniska
Press, 1993.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2008.
Montesquieu, dalam Dayanto, Negara Hukum dan Demokrasi: Pergulatan
Paradigmatik dan Kritik Realitas dalam Meluruskan Jalan Bernegara,
Yogyakarta: Deepublish, 2014.
Reece, William L., Dictionary of Philosophy and Religion: Eastern and Western
Though, Exponded Edition, New York: Humanity Books, 1996.
Regina, Patty, dkk., “Perda Syariah dalam Otonomi Daerah”, Academia Edu,
(Depok), 12 Mei 2015.
Rumadi dkk, Islamisme, Konflik dan Demokrasi, Jakarta: The Wahid Institute,
2011.
Kartasapoetra, R.G, Sistematika Hukum Tata Negara, Cet. 1, Jakarta: Bina
Aksara, 1987.
Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1999.
Samsudin, Din, Pedoman Penyelenggaraan Organisasi Majelis Ulama Indonesia,
Jakarta: MUI Pusat, 2001.
Sukardja, Ahmad dan Mujar Ibnu Syarif, Tiga Kategori Hukum Syariat, Fikih,
dan Kanun, Jakarta: Sinar Grafika, 2012.
Suntana, Ija, Poitik Hukum Islam, Bandung: CV Pustaka Setia, 2014.
Tim Penyusun, 35 Tahun Majelis Ulama Indonesia Berkiprah Menjaga Integritas
Bangsa, Jakarta: Majelis Ulama Indonesia.
Widjaja, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2002.
Page 77
65
Jurnal
Candranigrum, Dewi, “Keadilan Islami Menjunjung Tinggi Kesetaraan Gender”,
Jurnal Perempuan 60, 2008.
Hanum, Cholida, “Analisis Yuridis terhadap Asas-Asas Pembentukan dan Asas-
Asas Materi Muatan Peraturan Daerah: Kajian Perda Syariah di Indonesia”,
Jurnal Agama dan Hak Azazi Manusia, Vol. 7, No. 1.
Indrayana, Denny, “Kompleksitas Peraturan Daerah Bernuansa Syari’at Perspektif
Hukum Tata Negara”, Jurnal Yustisia, Edisi 81 September-Desember 2010.
Muhammad, Alim, “Perda-Perda Bernuansa Islam dan Hubungan dengan
Konstitusi”, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jurnal Hukum Vol.
17.
Na’imah, Hayatun, Perda Berbasis Syariah dan Hubungan Negara-Agama
Dalam Perspektif Pancasila, Jurnal Mazahib Vol. XV, No. 2 (Desember
2016).
Priyanta, Maret, “Penerapan Konsep Konstitusi Hijau (Green Constitution) di
Indonesia sebagai Tanggung Jawab Negara dalam Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup”, Jurnal Konstitusi, Vol. 7, No. 4.
Ridwansyah, Muhammad, “Upaya Menemukan Konsep Ideal Hubungan Pusat-
Daerah Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945”, Jurnal Konstitusi, Volume 14, No 4, (Desember 2017).
Syarif, Mujar Ibnu, “Spirit Piagam Jakarta dalam Undang-Undang Dasar 1945”,
Jurnal Cita Hukum, Vol. 4, No. 1, (Juni 2016)
Suismanto, H., Perda Syariat Islam dan Problematikanya, Jurnal Aplikasia Vol.
VII, No. I, (Juni 2007).
Yamin, Muhammad, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar, (Jakarta:
Prapanca, 1959).
Yunus, Nur Rohim, PenerapanSyariat Islam Terhadap Peraturan Daerah
dalam Sistem Hukum Nasional Indonesia, Jurnal Studia Islamika Vol. 12,
No. 2, (Desember 2015).
Zarkasi, A., “Pembentukan Peraturan Daerah Berdasarkan Peraturan Perundang-
undangan”, Jurnal Ilmu Hukum Inovatif , Vol. 2 No. 4.
Page 78
66
Wawancara
Interview Pribadi dengan Abdul Kholik, Wakil Sekretaris Komisi Hukum dan
Perundang-Undangan MUI, Jakarta, 03 Maret 2019.
Interview Pribadi dengan Masduki Baidlowi, Ketua Bidang Informasi dan
Komunikasi MUI, Jakarta, 25 Januari 2019.
Interview Pribadi dengan Mohammad Baharun, Ketua Komisi Hukum dan
Perundang-Undangan MUI, Jakarta, 28 Januari 2019.
Interview Pribadi dengan Zainal Arifin Hoesein, Wakil Ketua Komisi Hukum dan
Perundang-Undangan MUI, Jakarta, 20 Februari 2019.
Interview Pribadi dengan Zafrullah Salim, Anggota Komisi Fatwa MUI, Jakarta,
23 April 2019.
Internet
A. M. Fatwa, “Perda Syariah dan Pluralisme Hukum di Indonesia”,
http://www.A.M. Fatwa Officila Site/ pemikiran.htm, diakses pada 15
Mei 2019 Pkl. 09:24
Dani Muhtada, Makalah disampaikan dalam orasi ilmiah dalam rangka Dies
Natalis VII Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang pada tanggal 4
Desember 2014 di Semarang.
Felix Nataniel, "Pandangan PSI Soal Perda Agama: Ditentang MUI, Dibela PGI,
Tapi..." ,Majalah Tirto.id, (Jakarta), 19 November 2018
“Grace Natalie Jelaskan Mengapa PSI Tolak Perda Religi”, https://
www.google.com/amp/s/m.republika.co.id/amp/picex5409, diakses pada
02 Mei 2019, Pukul 15.04.
“Kontroversi Grace Natalie Tak Dukung Perda Syariah”,
https://m.detik.com/news/
berita/d-4308836/kontroversi-grace-natalie-tak-dukung-perda-syariah,
diakses pada 02 Mei 2019, Pukul 16.58.
“Menjawab Orasi Politik Grace Natalie”, https://www.kiblat.net/2018/11/17/
menjawab-orasi-politik-grace-natalie/
“Optimalkan Layanan Hukum, MUI Tingkatkan Kompetensi Penanganan Kasus”,
Berita MUI, (Jakarta), 18 Oktober 2018.
Page 79
67
“Peraturan Harus Sesuai Konstitusi, PDIP Tolak Perda Syariah”,
https//m.cnnindonesia.com/nasional/20181119215026-32-
347808/peraturan-harus-sesuai-konstitusi-pdip-tolak-perda-syariah,
diakses 20/10/2018 diakses pada 18 Mei 2019 pkl. 08:45
“Pedoman Dasar Majelis Ulama Indonesia”, http://test.islamwasathiyah.com/wp-
content/ uploads/2016/04/1.-POPD-PRT-MUI-HASIL-MUNAS-2015_1-
42.pdf, diakses pada Rabu, 10 April 2019 Pkl. 11:46.
“Profil Majelis Ulama Indonesia, https://mui.or.id/kepengurusan-mui/# diakses
pada Hari Kamis, 7 Februari 2019 Pkl. 15:26.
“Ridwan Kamil Terapkan Program Magrib Mengaji di Wilayah Jabar“, https://
www.liputan6.com/news/read/3644359/ridwan-kamil-terapkan-program-
magrib-mengaji-di-wilayah-jabar.
“Sejarah MUI”, https://mui.or.id/sejarah-mui/index.php
Page 80
68
Lampiran-Lampiran
Transkrip Wawancara Skripsi
Respon Majelis Ulama Indonesia (MUI) terhadap Perda Syariah
Informan 1
Nama : Drs. H. Masduki Baidlowi, M.Si.
Jabatan : Ketua Bidang Informasi dan Komunikasi MUI
Hari/Tanggal : Jumat, 25 Januari 2019
Waktu : 17:10 – 17:55
Tempat : Lantai 3 Kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)
1. Apakah Bapak mengetahui tentang Perda Syariah?
Jawab: Peraturan daerah.
2. Menurut Bapak apa yang dimaksud dengan Perda Syariah?
Jawab: Bagian dari Perda saja, yang kedudukannya ada di daerah mengacu kepada
Undang-Undang yang ada di atasnya. Jadi begini, kita mesti tau terlebih dahulu
kalau kita berbicara Perda Syariah dan kenapa banyak Perda Syariah itu yang
dibatalkan, kita mesti selesai terlebih dahulu terhadap asumsi dasarnya. Asumsi
dasar dari Undang-Undang yang ada di Indonesia, pertama yang paling tinggi itu
kan UUD 1945. Jadi, UUD 1945 yang sekarang adalah UUD terakhir yang sudah
direvisi. Itu saya kira patokan utama sebagai payung hukum nasional UUD dan
dari UUD itu kemudian muncullah UU, dari UU lalu kemudian ada yang namanya
Peraturan Pemerintah. Setelah Peraturan Pemerintah itu ada yang namanya
Kepres, Peraturan Presiden dan seterusnya, ada Peraturan Menteri termasuk juga
di dalamnya menteri dalam negeri juga punya peraturan. Nah ini semua itu ada di
atasnya Perda. Jadi, Perda itu ada di bawah, di tingkat dua yang selama ini banyak
muncul Undang-Undang Syariah. Asumsi dasar ini yang saya maksud adalah
Page 81
69
bahwa apa pun peraturan atau Perda Syariah yang akan diputuskan oleh Pemda
mana pun, maka dia tidak boleh bertentangan dengan hukum yang ada di atasnya,
itu yang paling pokok. Jadi, jangan kemudian misalnya ada daerah yang merasa
paling Islam sendiri, terus dia buat Perda Syariah sendiri, jelas itu bertentangan.
Yakni bertentangan dengan UU yang ada di atasnya. Itu yang pertama yang mesti
kita coba shering untuk ide itu, paham saya sperti itu. Jadi, tidak boleh ada UU,
Perda, Perda apa pun itu, apakah syariah atau tidak syariah. Yang kedua, yang
paling pokok itu begini, syariah atau tidak syariah itu dari mana? Kalau menurut
saya sebagai Pengurus Majelis Ulama Indonesia bidang Infokom. Jadi seperti ini,
syariah itu yang terpenting terlebih dahulu muncul dari bawah, buttom up (muncul
dari masyarakat) ada kesadaran masyarakat terlebih dahulu baru kemudian setelah
itu enak melaksanakannya. Sehingga, akhirnya ketika misalnya terjadi pengesahan
dalam bentuk UU atau dalam bentuk apa pun sifatnya itu tidak perlu dipaksa-
paksa dan tidak mengandung unsur-unsur yang sifatnya politis. Contoh misalnya,
orang sholat, kalau dari kecil sudah dibiasakan sholat, maka kemudian ada UU
atau tidak, maka sebenarnya UU itu antara ia dan tidak. Tapi, kalau pun ada, ya
silahkan ada, toh juga dilaksanakan di masyarakat seperti itu. Tapi, kalau
misalnya kemudian tidak ada UU itu lalu kemudian masyarakatnya ada, maka itu
akan bagus, tetapi juga ada beberapa memang UU yang memang mestinya ada
tapi tidak ada, lalu kemudian diadakan. Contoh misalnya, UU mengenai Jaminan
Halal, itu yang selama ini menjadi UU Negara (menjadi Hukum Positif Negara)
itu adalah UU Syariah. Ada juga misalnya, UU mengenai Keuangan Syariah,
misalnya ada sukuk dan macam-macam. Itu juga termasuk UU yang sebelumnya
tidak ada, karena sebelumnya sistem transaksi semuanya konvensional, lalu
masyarakat kemudian juga memang belum terlatih banyak untuk melaksanakan
Ekonomi Syariah lalu kemudian dipaksa lewat UU. Tapi, itu pun masih ada
pilihan orang bisa melaksanakan itu atau tidak melaksanakan itu. Nah, terhadap
hal yang seperti itu, maka sebenarnya menurut prinsip saya sebaiknya hal-hal
yang terkait dengan syariah itu mestinya lebih baik apabila masyarakatnya matang
terlebih dahulu baru kemudian UU itu bisa diadakan oleh pemimpin-pemimpin
politiknya, kalau masyarakatnya belum matang, maka ada kecenderungan
Page 82
70
pembuatan UU dan segala macamnya itu, hanya menjadi perdebatan politik di
antara elit politiknya itu menurut saya kurang bagus, dan saya tidak setuju, lebih
bagus sebenarnya matang di masyarakatnya baru diundangkan, itu akan lebih
bagus atau setidak-tidaknya sudah ada introdusir, ada perkembangan yang terjadi
di masyarakat lalu kemudian ada UU seperti itu. Jangan kemudian tidak ada apa-
apa, lalu diundangkan, nanti terjadi kontroversi antara yang setuju dengan yang
tidak setuju, lalu dipolitisasi akhirnya menjadi masalah. Ketika jadi masalah,
akhirnya tuduh menuduh. Yang tidak setuju, akhirnya dianggap tidak Islami
bahkan dianggap kafir atau dianggap toghut misalkan seperti itu. Padahal
sebenarnya, tidak betul tapi lebih kepada persoalan mempertimbangkan hierarki
yang di atas tadi. Lalu yang ketiga, saya berprinsip seperti ini, dalam agama itu
sebenarnya yang paling pokok itu syariah, ada Maqashid al-Syariah iya kan?
Contoh konkritnya begini, apa sebenarnya Maqashid al-Syariah itu? Di dalam
Ushul Fiqh banyak disebutkan salah satunya sebagaimana yang sudah kita kenal
dengan Kulliyat al-Khams. Jadi, tentang pentingnya menjaga Hifz al-Din
misalnya, ada Hifdz al-Aql, Hifdz al-Nasl, Hifdz al-Nafs. Jadi itu adalah prinsip-
prinsp dasar dari sebuah tujuan syariah, sehingga dengan demikian, maka syariah
sendiri sebenarnya itu hanya label (kulit) sebenarnya isinya itu adalah tujuan
syariah itu. Persoalannya sekarang kan memang begini, apakah kita dalam
bersyariah itu penting label atau penting isi? Kan begitu? Itulah yang kemudian
menjadi perdebatan di antara kalangan-kalangan Islam. Gerakan Islam, aktivis
Islam seperti itu. Ada juga yang mementingkan dua-duanya. Tetapi, kalau
misalnya negara kita bukan negara yang menghendaki sebuah label Islam, bukan
Negara Islam, kalau begitu yang penting sampai kepada kita hanyalah tujuannya.
Tujuan syariah itu yang mesti kita capai. Lah, saya sebagai orang muslim dan di
Indonesia ini kita sudah sepakat bahwa kita tidak ingin mendirikan Negara Islam,
karena kita sudah sepakat dengan para pendiri bangsa kita ini, baik yang
Muhammadiyah, NU, atau pun yang lain itu tokoh-tokoh muslim pendiri Negara,
ada Kiyai Wahid Hasyim, Kiyai Kahar Muzakir, ada banyak orang. Itu semua
sepakat agar Negara kita ini tidak pecah, maka bersepakat dengan yang lain,
walaupun engkau lebih sedikit orangnya, kata orang Islam, dan saya lebih banyak
Page 83
71
daripada Negara ini nanti pecah, yaudah mari kita bangun bersama-sama tidak
perlu menggunakan Negara Islam, maka dicabutlah tiga kata itu dalam Pagam
Jakarta. Ketika itu dicabut, itu artinya sebenarnya kita itu tidak mementingkan
lagi persoalan verbalisasi syariah. Sebenarnya yang kita tuju itu kan maqashid,
maqashidu al-syari bukan syariahnya. Memang sebaiknya kulit dan isi kalau bisa,
tapi kan tidak bisa. Nah, sebenarnya tiga itulah yang ingin saya sampaikan kepada
sebagai prinsip dasar dulu, supaya nanti kalau ada apa-apa pun balikkan ke tiga
dasar itu.
3. Seberapa besar urgensi penerapan Perda Syariah?
Mengenai urgensi penerapan Perda Syariah itu menurut saya kalau Maqashid
Syariah-nya sudah dicapai, maka Perda itu sudah tidak penting lagi, apa Maqashid
Syariah misalnya di dalam Islam itu disebutkan “Tasharruf al-Imam ala al-
Raiyati Manuthun bi al-Mashlahah”. Nah, pemimpin itu harus begitu. Kalau
pemimpin sudah berlaku seperti itu untuk apa dibuat Perda Syariah dan segala
macamnya, masyarakatnya sejahtera, masyarakatnya adil, karena sebenarnya itu
yang diharapkan. Jadi, kelompok-kelompok spiritualis itu memang kadang-
kadang berkepentingan untuk hal-hal yang bersifat kulit itu, tapi di Indonesia ini
pada umumnya yang disebut dengan Islam moderat itu tidak mementingkan hal
yang bersifat tekstual saja, tapi yang terpenting itu adalah kontekstual dan
syariatnya tercapai. Sebenarnya ketika Islam itu sampai ke Negara kita modelnya
seperti itu, kita itu termasuk ditakdirkan oleh Allah ber-Islam dengan tanpa
ditaklukkan, karena orang ber-Islam itu ke berbagai tempat, ada daerah
penaklukan diperangi dulu, baru takluk habis kemudian ditata. Nah, kita itu tidak,
kita ber-Islam tapi di saat yang sama Borobudur sebagai tempat Agama Budha
terbesar. Jadi, masyarakat Islam bisa bermasyarakat dengan baik di Jawa Tengah
di Kabupaten Magelang di tengah-tengah tempat beribadahnya orang Budha
terbesar di dunia. itu tidak ada di tempat lain. Jadi, kalau pandangan orang Islam
penaklukan itu harus hancur dulu, tapi kalau dalam pandangan Imam Walisongo
nggak begitu. Jadi, tujuan itu tercapai, makanya landasan dasarnya “ud’u ila sabili
rabbika bi al-hikmati wa al-mauidah al-hasanah”. Kalau sudah seperti itu,
akhirnya “wa jadilhum billati hiya ahsan”. Jadi, ada hasanah, ada ahsan. Kalau
Page 84
72
kita mau bermujadalah harus yang lebih baik, yang lebih baik itu artinya tidak
menyakiti hati orang yang kita ajak bicara, nggak menyinggung, luar biasa itu
kan, itu al-Quran. Lah, kalo orang-orang yang tekstual itu kan begitu, bahkan
ayat-ayat ini kalau menurut fahamnya orang-orang yang menganut faham radikal
dinasakh. Dinasakh oleh apa? Oleh ayat-ayat qital (ayat perang), kan kacau itu
orang disuruh perang semua. Padahal, di sini Islam itu tanpa perang. Jadi, saya
termasuk orang yang berpandangan perda-perda syariah itu, mungkin kalau pun
perlu di daerah-daerah dan hal-hal tertentu sepanjang itu tidak bertentaangan
dengan prinsip-prinsip dasar di atas (hukum positif yang di atas). Tetapi, menurut
saya sebagai bentuk perjuangan yang lebih taktis dan strategis sebenarnya lebih
baik kita mencapai kepada maqashid al-syariah tanpa lebel-lebel syariah. Nilainya
yang diambil, subtansinya.
4. Apakah Perda Syariah bertentangan dengan Ideologi Negara dan Peraturan
Perundang-undangan yang di atasnya?
Jawab: Kalau dianggap bertentangan atau tidak, sebenarnya tergantung tadi itu,
kalau dia bertentangan dengan undang-undang yang di atasnya, dia dikatakan
bermasalah. Sebenarnya tidak ada ideologi Negara yang berhubungan langsung
dengan Perda karena yang namanya Ideologi Negara Pancasila itu lebih kepada
sebuah nilai-nilai abstrak. Nilai-nilai yang konkrit dari UU itu UUD. Maka perda
itu, rujukannya, hirarkinya adalah peraturan-peraturan di atasnya, UU, dan UUD.
Kalau dengan ideologi tidak bersentuhan secara langsung, apalagi kalau misalnya
dikatakan. Apakah Perda itu bertentangan dengan Ideologi? Kalau Ideologi
Negara yang ke satu “Ketuhanan yang Maha Esa” tidak bertentangan. Tapi, tidak
begitu cara berfikir UU, karena yang namanya Ideologi itu adalah hal, nilai-nilai
ideal yang bersifat abstrak dan tidak bisa dirujuk sebagai bagian dari rujukan
untuk sebuah peraturan, apalagi peraturan itu di daerah terbawah. Maka
sebenarnya, yang relevan kalau mau dihubungkan itu, bertentangan atau tidak itu
dengan UU yang di atasnya, karena terlalu jauh kalau menurut saya, tidak runut,
sehingga orang pada akhirnya mengenal begitu. Ini Perda bertentangan dengan
peraturan, tetapi dengan Ideologi tidak bertentangan, nggak apa2 kalau menurut
UUD kan begitu pada akhirnya. Cara berfikirnya tidak bisa begitu, walaupun saya
Page 85
73
bukan ahli hukum ya, tapi setidak-tidaknya ini menjadi penting agar kita sebagai
aktivis Islam, sebagai orang yang misal mau buat Perda segala macam itu, tentu
saja itu harus menjadi acuan.
5. Apakah dampak positif dan negatif dari penerapan Perda Syariah di tengah
Bangsa Indonesia yang majemuk?
Jawab: Tadi itu, karena negara ini adalah negara majemuk, kalau negaranya
majemuk seperti ini lalu daerahnya yang mana dulu. Perda itu menurut saya lebih
banyak nilai negatifnya, karena perjuangan yang bersifat verbal itu, bisa
berdampak negatif. Dampak positifnya ada, kepada masyarakat di tempat itu.
Misalnya contoh konkrit, kenapa kemudian ada masyarakat di Papua Barat
membuat Perda Injil? Dan itu disebut sebagai Kota/Daerah Injil, sebagai
daerahnya Yesus di situ, karena dia merespon terhadap Perda-perda yang ada di
sini. Sehingga, akhirnya nanti negara ini menjadi pertarungan aturan-aturan yang
dilandasi oleh agama dan itu sebenarnya cara berpikir sempit. Kenapa cara
berpikir sempit? Karena tidak memperhitungkan bagaimana negara itu mesti kita
bangun bersama-sama, karena itu akan berdampak. Memang dalam jangka pendek
dia itu akan mempunyai kesan, o iya, daerah ini daerah Islami, bagus seperti itu,
tapi dampak lebih jauhnya akhirnya akan mengakibatkan ke daerah lain yang
bukan Islam sebagai mayoritas itu akhirnya membuat undang-undang yang
menandingi itu. Dan kami dari Majelis Ulama Indonesia, dari NU sekarang
sedang menerima keluhan itu dari Papua Barat. Jadi, teman-teman Papua Barat
yang muslim karena yang mayoritas mengeluh tentang hal itu. Salah satu
keluhannya karena salah satu isi Perdanya berisi begini, isi Perdanya itu bahwa
yang namanya hari Sabtu-Minggu itu nggak boleh ada aktivitas apa pun, karena
Sabtu-Minggu itu adalah hari keagamaan Injil. Kira-kira nanti bagaimana kalau
hari lebaran bertepatan dengan hari Minggu? Kan susah itu, maka sekarang
akhirnya Perda itu masuk ke Kemendagri dan sekarang masih ditahan, belum
dijalankan. Perda Syariah itu bisa memicu konflik, tidak secara langsung tapi itu
akan berakibat. Tapi kalau kemudian, seperti yang kita bilang bahwa kalau Islam
itu lebih dicari subtansinya, tujuannya, nilai-nilainya, lalu kemudian kita
massukkan dan tidak menggunakan lebel Islam itu akan lebih teratur dan akan
Page 86
74
lebih bisa diterima semuanya dan itu akan lebih bagus. Kan lebih baik begitu,
dibanding misalnya berlebel-lebel, karena orientasinya berlebel seperti itu. Kan
sama, jadi orang sholat, batas aurat itu kan ma baina al-surrah wa al-rukbah, kalau
laki menurut auratnya sampai di situ, kalau perempuan kecuali wajah kan harus
tertutup. Itu kan ketentuan Allah, tujuan dasar dari ketentuan Allah kan seperti itu.
Tapi, kan kalau orang Arab cara menutup auratnya pakai gamis, kalau orang
Indonesia model khas Jawa. Nah, lebel itu, sebenarnya hal-hal yang sifatnay
seperti itu, hal-hal yang sifatnya bungkus, padahal tujuan dasarnya itulah yang
perlu kita capai sebenarnya. Orang mau pakai gamis, mau pakai celana, pake
sarung, mau pakai apa saja ya boleh, yang penting menutup aurat, sasarannya
tercapai. Lebih daripada itu, sebenarnya kalau saya berpandangan, tapi ini
memang semuanya berbeda-beda setiap orang. Tapi, kalau di MUI pada umumnya
memang rata-rata bagaimana maqashid al-Syariahnya tercapai kalau bisa, kalau
memang harus ingin dilakukan secara bersamaan seperti itu tadi. Misalnya, UU
Keuangan Syariah itu, memang tidak bisa. Memang harus harus seperti itu, karean
apa? Karena memang keuangan konvensional itu, tidak mengakomodasi terhadap
prinsip-prinsip bermualamah secara syariah walaupun mungkin namanya ketika
itu harus syariah. Saya ketika itu kepikiran juga kenapa tidak harus syariah. Kan
tidak harus syariah? Muamalah apalah namanya tapi begitu DPR sudah
mengesahkan.
6. Apakah Bapak pernah mendengar bahwa Partai PSI menolak Perda Syariah?
Jawab: Kalau partai baru itu adalah partai yang memang butuh kejutan, butuh
pembeda, saya kira sifatnya partai yang harus ditengok oleh orang lain. Jadi, harus
bedalah dengan partai-partai yang lain, pertama pasti seperti itu. Yang kedua,
partai itu memang sekuler nampaknya. Jadi, memang diciptakan sebagai partai
yang sekuler, karena dia ciptakan sebagai partai sekuler ya ini negeri kan bukan
Negeri Islam, setiap orang bisa sepanjang dia berada di bawah UU dan demokratis
ya silahkan saja berpendapat seperti itu. Tetapi, kalau saya tidak sependapat.
Dalam arti, Perda Syariah itu kalau memang memungkinkan dilaksanakan dan
tidak berdampak seperti yang saya bilang tadi itu, iya nggak apa-apa silakan saja
laksanakan, tapi kalau berdampak secara negatif sehingga menimbulkan
Page 87
75
perpecahan dan segala macam itu jangan, kemudian tidak bertentangan dengan
UU yang ada di atasnya. Misalnya Daerah Aceh, karena memang daerahnya
seperti itu, sudah mendapatkan kekhususan, tapi kalau di daerah-daerah yang
majemuk, daerah-daerah yang plural saya tidak setuju kalau diterapkan Perda
Syariah. Tapi, catatan terpentingnya adalah bahwa buat kita yaitu tujuan
syariahnya itu yang harus dikedepankan, bukan kulit syariahnya. Jadi, tujuan
syariahnya itu yang menjadi pokok masalah.
7. Bagaimanakah solusi dan harapan Bapak terhadap kontroversi penerapan Perda
Syariah?
Jawab: Harapan terhadap Perda Syariah, sebaiknya kalau tidak perlu ada ya tidak
usah ada lah, jangan dipaksa-paksa karena ini negara bukan negara Islam. Tapi
negara muslim yang lebih mementingkan terciptanya nilai-nilai Islami yang bisa
bertetangga secara baik dengan non muslim, yang bisa membangun negara ini
dengan baik, bisa sejahtera semuanya dan tidak menjadikan agama sebagai
penyebab perpecahan. Jadi, kalau selama itu tidak menjadi penyebab perpecahan
saya kira monggo, tapi kalau kiranya menjadi penyebab perpecahan itu bisa
merepotkan, jangan. Cita-cita ke depan kalau saya yaudah UUD 1945 dan
pancassila itu kan sudah bersifat final, karena dia bersifat final maka pertama itu
adalah satu sikap keagamaan buat MUI, NU, Muhammadiyah, dan rata-rata
seperti itu. Yang namanya Ideologi Pancasila dan NKRI itu adalah sikap
keagamaan ketika dia sudah dinyatakan sebagai final. Kenapa dikatakan sikap
keagamaan? Karena dia punya landasan agama. Tapi kalau menurut kita, nggak
ada satupun nilai-nilai dari sila-sila itu yang bertentangan. Artinya tidak apa-apa,
karena itu disebut sebagai ikatan pemersatu, karena dia sebagai pengikat
pemersatu ya nggak apa-apa. Daripada kita dengan kehendak kita sendiri,
akhirnya kita tidak dapat bersatu, ya itu kalau dalam bahasa agama yang disebut
dengan”misaqan ghalidza”. Jadi, sebagai misaq itu penting sehingga ia
mempunyai landasan agama yang kuat, sehingga tidak bisa dikatakan bahwa
ketika orang menganggap Ideologi Pancasila itu sebagai sebuah ideologi lantas
kemudian nilai agamanya berkurang, tidak. Justru punya nilai lebih karena cerdas.
Page 88
76
Informan 2
Nama : Prof. Dr. Mohammad Baharun
Jabatan : Ketua Komisi Hukum dan Perundang-Undangan MUI
Hari/Tanggal : Senin, 28 Januari 2019
Waktu : 19:11
Keterangan : Via Wathsapp
1. Apakah Bapak mengetahui tentang Perda Syariah?
Jawab: Perda adalah produk hukum daerah, yang setelah otonomi daerah
diberikan oleh pemerintahan pusat, maka semangat untuk mengakomodasi
kepastian hukum bagi warga makin terbuka lebar, termasuk Perda Syariah.
2. Menurut Bapak apa yang dimaksud dengan Perda Syariah?
Jawab: Perda Syariah adalah produk hukum daerah yang digali dari sumber-
sumber hukum agama yang diyakini dan berkembang di tengah umat/masyarakat
muslim, seperti hukum adat yang juga jadi Undang-undang dan Perda, seperti
Undang-undang Gono-gini dan seterusnya. Umumnya Perda Syariah juga bisa
diterima penganut agama lain seperti Perda tentang larangan pelacuran, penertiban
minuman keras dan lain sebagainya.
3. Seberapa besar urgensi penerapan Perda Syariah?
Jawab: Urgensi penetapannya lazim disesuaikan dengan kemaslahatan atau
kepentingan bersama warga.
4. Apakah manfaat Perda Syariah?
Jawab: Manfaat Perda Syariah memberikan kepastian hukum kepada warga
5. Apakah Bapak pernah mendengar bahwa Partai PSI menolak Perda Syariah?
Jawab: PSI menolak Perda Syariah, itu hak mereka karena mungkin tidak ada
kepentingan tentang produk hukum daerah ini. Saya kira penolakannya karena isu
Page 89
77
dan pencitraan politik saja agar dapat dukungan dari kalangan liberal dalam
rangka kampanye negatif.
6. Apakah dampak positif dan negatif dari penerapan Perda Syariah di tengah
Bangsa Indonesia yang majemuk?
Jawab: Saya kira tidak ada dampak negatifnya karena asasnya kemaslahatan
bersama. Ambil contoh Undang-undang Jasa Keuangan, ternyata non muslim
banyak tertarik dengan sistem Syariah karena banyak memberikan profit dan
benefit daripada sistem konvensional yang ribawi itu.
7. Apakah Perda Syariah bertentangan dengan Ideologi Negara dan Peraturan
Perundang-undangan yang di atasnya?
Jawab: Perda Syariah tidak bertentangan dengan ideologi negara karena sila
pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, dan dalam Undang-undang Dasar
kebebasan beragama itu terjamin. Negara juga telah memberikan otonomi khusus
kepada Povinsi Aceh untuk menerapkan Syariah seluanya.
8. Bagaimanakah Bapak menyikapi dilematis penerapan Perda Syariah?
Hal ini tidak dilematis, karena fungsi utama Undang-undang dan peraturan itu
untuk memberikan kepastian hukum. Sudah banyak fatwa-fatwa MUI yang
menjadi Undang-undang seperti Undang-undang tentang Perbankan Syariah,
Pegadaian Syariah, Obligasi Syariah, Koperasi Syariah, Saham Syariah dan lain-
lain. Bahkan, kini sudah ada hotel Syariah, Rumah Sakit Syariah, Wisata Syariah
dan seterusnya, daftar itu bisa panjang dalam rangka mengakomodasi kebutuhan
masyarakat, Umat Islam telah merepresentasikan kepentingan itu untuk
kemaslahatan bersama.
Page 90
78
Informan 3
Nama : Prof. Dr. Zainal Arifin Hoesein, S.H., M.H.
Jabatan : Wakil Ketua Komisi Hukum dan Perundang-Undangan MUI
Tanggal : Rabu, 20 Februari 2019
Waktu : 16:10-16:55
Tempat : Lantai 2 Fakultas Hukum UMJ
1. Apakah bapak sudah pernah mengetahui tentang Perda Syariah?
Jawab: Iya
2. Menurut pemahaman Bapak Perda Syariah itu apa?
Jawab: Perda Syariah itu kan nomenklatur, sebenarnya itu semangat
keberagamaan. Nah, yang penting adalah materi muatan dari perda itu. Dari
materi muatan itu, terlihat apa yang menjadi obyek yang diatur. Nah, di dalam
Peraturan Perundang-undangan yang ada di Indonesia itu, semua perundang-
undangan selalu mengacu kepada Pancasila. Apa itu Pancasila? Yaitu harus
merujuk kepada sila kesatu, Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, semua
Peraturan Perundang-undangan harus landasannya Ketuhanan Yang Maha Esa.
Nah, Ketuhanan Yang Maha Esa itu tidak ada pada ajaran-ajaran lain kecuali pada
ajaran agama. Terjemahan dari Ketuhanan Yang Maha Esa dalam bentuk hukum,
itu bisa dikatakan sebagai kewajiban. Tidak boleh ada sebuah aturan apapun di
Indonesia yang bertentangan dengan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.
Ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi sumber utama. Lihat itu, di UU No.
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yaitu
bahwa Pancasila adalah sumber segala sumber hukum. Artinya, Ketuhanan Yang
Maha Esa itu sebagai dari segala sumber hukum, secara teori. Bahwa semua
aliran-aliran teoritik hukum, aliran-aliran filsafat hukum, itu selalu
mengedepankan nilai-nilai teologi. Nah, nilai-nilai teologi itulah yang
memberikan inspirasi, memberikan sinar, memberikan panduan, bagaimana
Page 91
79
berkehidupan, baik mengatur individu dan individu, baik mengatur individu
dengan kelompoknya, kelompok dengan negara dan lain-lain. Jadi, secara teoritik
semua hal yang terkait dengan perumusan hukum, maka tidak boleh lepas dari
nilai-nilai teologi. Nah, mengapa ini ada Perda Syariah? Itu kan nomenklatur, jadi
bukan subtansi. Yang penting itu subtansinya, bukan nomenklatur. Nama itu
boleh apa saja, Itu kan akhirnya dipelesetkan menjadi kepentingan politik, jadi
kepentingan politik golongan tertentu. Wah Perda Syariah, Perda Syariah nanti
berbahaya. Nah, diembuskannya yang seperti ini menjadi tidak sehat. Padahal,
yang diatur itu ya kehidupan bermasyarakat, siapa masyarakat yang diatur? 85%
yang diatur itu, masyarakat beragama Islam. Vonden Berechteu sudah
menyatakan bahwa hukum yang berlaku pada masyarakat adalah norma-norma
yang bersumber pada nilai-nilai keyakinannya. Apa nilai keyakinannya? Ya
agama itu, agama itu ada sebelum negara ada. Dulu negara Indonesia belum ada,
orang beragama sudah ada. Jadi, tidak perlu mempersoalkan ini Perda Syariah
atau tidak. Contoh ya, minuman alkohol, haram tidak? Haram toh, itu sedikit
banyak ketukaran, ketika merumuskan RUU mengenai minuman beralkohol
namanya minol (minuman beralkohol), yang menentang banyak. Kenapa? Itu
bisnis. Padahal yang dilindungi itu adalah sekian juta orang, generasi, yang akan
mengelola negara ini, tapi ini ditentang. Jadi, Perda Syariah itu, istilah
nomenklatur yang muatannya politik. Jadi, bukan terus kemudian muatannya
ayat-ayat, ya nggak juga. Di Aceh itu Qanun namanya, padahal Qanun itu
undang-undang. Kalau dalam peraturan perundang-undangan kita namanya
Peraturan Daerah. Itu, kalau menurut saya, jadi Perda Syariah itu hanya istilah
atau nomenklatur, tapi yang penting itu adalah isinya. Jadi ada, dibatalkan Perda
Syariah, nggak ada itu. Saya pernah diskusi saya undang Dirjennya karena waktu
itu mau dibatalkan 3000 sekian Perda, termasuk Perda Syariah. Saya Tanya,
“Mas, kira-kira ada nggak situ Perda Syariah yang dibatalkan?” “Nggak, Mas”.
Jadi, umpamanya seperti ini, di Tasik, atau Tangerang aja, wanita yang keluar
malam sampai jam sekian, nggak boleh. Umpamanya begitu kan? Apa bedanya,
wanita yang berkeliaran malam, yang menjajahkan diri, sama dengan wanita yang
keluar bekerja dengan sift. Nah, itu gimana? Itu nanti teknis yang mengaturnya,
Page 92
80
sehingga ada tanggungjawab perusahaan, jangan dong kalau wanita sift malam
pulangnya sendiri. Harus ada tanggungjawab perusahaan, apakah itu rombongan
diantarkan oleh perusahaan, ada tanggungjawab, itu loh. Ya tidak semuanya
wanita, laki-lakinya juga begitu. Nah, inilah banyak istilah kepentingan politik.
3. Mugkin pernyataan Bapak tadi bisa dianggap relevan dengan pernyataan
bahwa Perda Syariah dianggap diskriminatif terhadap perempuan?
Jawab: Katanya Perda Syariah itu diskriminatif, tidak ada. Perda itu, kalau dalam
teori perundang-undangan namanya regel/regeling (mengatur/pengaturan). Sifat
mengatur itu, pasti untuk semua orang, ya kan? Mengikatnya semua orang. Jadi,
berlaku untuk semua, mengikat kepada semua, diskriminasinya di mana? Katakan,
kalau diskriminasinya itu untuk non muslim, tapi kan hanya muslin, untuk non
muslim tidak berlaku. Sekarang kita kaitkan dengan pasal 29 ayat (1), negara
berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, ada tidak Pancasilanya? Kan iya,
Ketuhanan Yang Maha Esa, artinya nilai teologisnya itu ada. Terus ayat (2)
negara menjamin kepada pemeluk-pemeluk agama untuk menjalankan ibadah
menurut agama dan keyakinannya. Artinya apa? Loh kalau spesifik berlakunya ya
boleh dong dalam rangka menjalankan. Contoh ya, UU yang mengatur mengenai
Ekonomi Syariah. Diskriminatif tidak? Tidak, semua orang boleh
memperaktekkan Bank Syariah asal tunduk kepada aturan-aturan Bank Syariah.
Kan ada metode penundukan diri, penundukan hukum, jadi itu tidak ada istilah
diskriminatif, itu golongan orang-orang yang over estimate (ketakutan)
identitasnya. Nah itu, jadi tidak ada nilai diskriminatif, justru negara wajib
memberikan apa yang disebut “to protect, to respect, to fullfing” karena apa, ini
bagian dari Human Right, ini bagian dari Citizen Constitutional Right. Jadi,
bagian hak asasi beragama, bagian dari ketenangan beribadah sebagai warga
negara, itu bagian dari Citizen Constitutional Right (Hak-hak Konstitusional
Warga Negara). Ini harus diperhatikan, dilindungi dan dipenuhi oleh negara. Itu
Pasal 29 ayat (2) dan Pasal 28 juga. Nah, dengan demikian kalau ada orang yang
mengatakan bahwa nomenklatur Perda Syariah itu diskriminatif, untuk
mendirikan negara Islam, itu Islamopobhia (ketakutan yang tidak berdasar dan
berlebihan).
Page 93
81
4. Kemudian kalau menurut Bapak penerapan Perda Syariah itu penting tidak?
Jawab: Penting. Persoalannya kalau saya bukan masalah Perda Syariahnya, nilai-
nilai Syariah masuk di dalam peraturan Perudang-undangan itu penting, karena
semua peraturan perundang-undangan harus konteksnya berlandaskan Ketuhanan
Yang Maha Esa, aspek teologinya, terus mau apa lagi?. Kalau mayoritasnya umat
Islam, yang diatur masa orang Kristen? Oleh karena itu, ada bagian-bagian
tertentu yang nuansanya memang untuk umat muslim, ya nggak masalah. Bagus
juga kalau ada toleransi secara politik, secara sosial itu toleransi juga. Nah dengan
demikian, tidak ada alasan orang menolak. Bukan persoalan Perda Syariahnya,
tetapi itu hak Umat Islam untuk mendapatkan perhatian, perlindungan dan
pemenuhan. Hak-hak dia untuk beragama. Freedom of religion itu penting, bagian
dari hak asasi yang seluruh dunia itu mengakui, masa orang Indonesia tidak mau
mengakui? Jadi, sekali lagi Perda Syariah itu nomenklatur. Seolah-olah itu
mensyariah Islamkan seluruh Indonesia, tidak begitu. Tapi, membumikan nilai-
nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari penting, karena 85%-nya itu orang yang
berkeyakinan Islam sebagai agama. Masa negara mau mengingkari itu?
5. Kalau demikian, berarti banyak ya Pak manfaat dari Perda Syariah?
Jawab: Iya, bagi saya justru wajib. Jadi, Perda-perda atau termasuk undang-
undang, contoh RUU KUHP saya termasuk ketua tim untuk menyusun kejahatan
susila, tentang perzinaan. Menurut KUHP Belanda, overspel itu hubungan laki-
laki dan perempuan yang salah satu atau dua-duanya terikat perkawinan. Artinya
laki-laki dan perempuan, apakah laki-lakinya sudah beristri ataukah yang
perempuan sudah bersuami atau dua-duanya bersuami dan beristri, melakukan
hubungan yang bukan ikatan nikah. Itu hukumannya sudah tetap. Bagaimana
kalau tidak terikat perkawinan? Tidak. Suka sama suka bagaimana? Tidak, tidak
dikatakan berzina. Nah itu, kita definisikan sesuai dengan syariah. Jadi, gampang
aja rumusannya, seseorang melakukan hubungan atau persetubuhan yang tidak
didasarkan ikatan perkawinan yang sah, dihukum (bla, bla, bla, bla) nah itu,
gampang kan rumusannya. Islam tidak ini? “Seseorang”, jadi semua, termasuk
yang tomboy, lestbi, homo, dan LGBT tercakup semua. Tapi itu masih ada yang
Page 94
82
menentang, akhirnya kita jelasin, ketua DPR datang “Pak Kiyai undang aja
ketuanya”, datang MUI akhirnya kita jelasin, titik-koma tidak boleh dirubah. Jadi,
ini yang namanya transformasi atau disebut penyelundupan hukum kepada suatu
aturan tertentu. Kalau saya mengistilahkan sebagai transformasi yaitu mengubah
sesuatu secara legal.
Berarti yang penting untuk diterapkan nilai-nilainya saja ya Pak?
Iya, yang penting nilainya. Jadi, kalau pendapat saya, boleh kamu nanti kutip ya
bahwa Perda Syariah itu nomenklatur, itu tidak terlalu penting yang penting itu
justru materi muatannya. Jadi, materi muatannya memuat kebijakan dasarnya,
politik hukumnya. Nah, politik hukum dalam perspektif kesyariahan itu ya nilai-
nilai Ketuhanan. Terjemah kitab berlindung kepada nilai Ketuhanan dalam
perspektif Islam. Nilai tauhidnya, tinggal nilai Syariahnya masukkan ke dalam
aturan yang mengikat. Banyak kog, umpanya tadi tentang minuman keras,
kemudian ekonomi yang paling jelas, yang sekarang itu pidana (kesusilaan),
kemudian prinsip-prinsip retroaktif, itu kan Islam. Allah itu tidak akan
menurunkan adzab kepada suatu kaum, sebelum Nabi diutus. Artinya, dosanya
yang dulu itu tidak bisa dibebankan lagi. Umar Ibn Khattab, bagaimana dulu,
membunuh, minum, mempekosa, macam-macam lah kelakuannya. Zaman
sebelum kenabian, begitu datang kenabian dia masuk Islam, baru dipertanyakan,
“Apakah perbuatan yang lalu dibebankan?“ kan nggak. Nah, itu maksudnya.
6. Lalu apakah Bapak pernah mendengar mengenai isu bahwa Partai Solidaritas
Indonesia (PSI) menolak Perda Syariah?
Jawab: Ya itu tidak jelas, artinya dia menyuarakan asal menyuarakan. Sebenarnya
dia ini, arah perjuangannya mau ke mana? Mau ke arah Pancasila atau tidak, kalau
dia menentang kaitannya Perda Syariah, jelas dia anti Pancasila. Lah iya kan?
Wong Perda Syariah konteksnya adalah Pancasila, menjalankan amanah
Pancasila. Mana ada Perda Syariah bertentangan dengan pancasila? Nggak ada
satupun. Mereka itu nggak paham, nggak ngerti.
Page 95
83
7. Bagaiman Bapak menyikapi penentangan PSI?
Jawab: Ya, harus dilawan. Dengan konsep, dengan penjelasan, kalau di dalam al-
Quran kan bi al-hikmah. Nggak boleh dengan kekerasan, biarkan saja. Jadi
sadarkan, nggak mau terus aja, nggak mau lagi ya harus diperangi lama-lama.
8. Bagaimana solusi dan harapan Bapak mengenai kontoversi penerapan Perda
Syariah?
Jawab: Ya, itu artinya dalam perspektif politik hukum, negara tetap harus
memberikan peluang umat beragama atau masyarakat untuk menjalankan
ibadahnya secara baik. Negara harus bisa memberikan/memfasilitasi yang adil,
menjalankan segala keyakinan masyarakat itu. Kalau ada konflik, pendekatannya
jangan politik, pendekatannya adalah sosial. Sehingga, tidak sampai bentrok
horizontal, karena bahaya itu. Oleh karena itu, ke depannya negara itu harus lebih
aktif dan masyarakat (umat Islam) perlu menggali nilai-nilai dalam Islam yang
akan dituangkan dalam sebuah kehidupan beragama. Seperti piagama Madinah
persis, Piagam Madinah itu bagaimana prinsip-prinsip yang sifatnya universal
banyak misalnya persaudaraan. Apa itu persaudaraan? Bahasa agama kita
ukhuwah. Apakah istilah persaudaraan itu umpamanya salah? Nggak. Kan tinggal
ditermahkan aja. Nah, itu jadi ada strategi, tantangan. Sehingga, orang lain tidak
curiga. Ini kan karena over estimate (ketakutannya berlebihan).
Tadi Bapak mengatakan bahwa negara harus aktif. Aktif dalam artian yang seperti
apa itu Pak?
Aktif itu, negara memberikan fasilitas. Jadi ada dua ya, ada sifatnya forum
internum. Forum internun itu adalah seluruh aktivitas keagamaan dikelola dan
diputuskan oleh umat beragama yang bersangkutan. Contoh ya haji, Ibadah Haji
itu adalah bagian dari ritual yang kewajibannya individual, negara harus
memberikan kemudahan untuk orang berniat haji, maka undang-undang haji itu
bukan subtansi haji, hukum-hukum haji, fikih haji, tidak. Tapi, pengelolaan haji.
Undang-undang Zakat, undang-undang Pengelolaan Zakat. Bukan persoalan
berapa nishab, tidak, itu urusan internum. Eksternumnya, negara hanya bagaimana
memudahkan aplikasi dari nilai-nilai ini. Itu makna apa yang disebut negara
Page 96
84
melindungi atau negara menjamin, di Pasal 29 ayat (2) itu negara menjamin.
Menjamin itu adalah memberikan fasilitas, melayani, negara itu pelayan.
9. Menurut pengamatan Bapak apakah ada dampak negatif dari Perda Syariah?
Jawab: Nggak ada. Yang membuat negatif itu orang yang tidak suka. Itu semangat
keberagamaan yang tinggi jangan kemudian dimatikan, itu kan fitnah. Jadi orang
yang tidak suka, ya begitu. Quran sudah menjelaskan bahwa Yahudi dan Nasrani
itu selalu tidak suka, sampai umat Islam mengikuti ajaran dia lagi.
Informan 4
Nama : Abdul Kholik, S.H., M.Si
Jabatan : Wakil Sekretaris Komisi Hukum dan Perundang-Undangan MUI
Hari/Tanggal : Minggu, 03 Maret 2019
Waktu : 10:00
Keterangan : Via Email
1. Apakah Bapak mengetahui tentang Perda Syariah? Apa yang dimaksud
dengan Perda Syariah?
Jawab: MUI selama ini memberikan perhatian dan selalu mendorong untuk
adanya Perda Syariah (Perda yang berisi atuaran-aturan dijiwai dan berisi ajaran-
ajaran Agama Islam) dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat. Keberadaan
Perda Syariah adalah konstitusional sepanjang dibentuk sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
2. Seberapa besar urgensi penerapan Perda Syariah?
Jawab: Sebagai produk hukum daerah Perda Syariah memiliki urgensi yang kuat
sejalan dengan kebutuhan hukum masyarakat. Bahkan khusus di Aceh
keberadaan perda Syariah dijamin sesuai dengan Undang-Undang Otonomi
Khusus Aceh. Di luar Aceh juga terus bermunculan sejalan dengan semangat
otonomi daerah dan perkembangan masyarakat di daerah. Urgensinya di
Page 97
85
beberapa daerah sangat kuat misalnya, tentang Perda Larangan Minuman keras
(Alkohol) (Lihat Perda Larangan Miras Provinsi Papua dan Perda Larangan
Miras di berbagai kabupataen di Papua karena kondisi masyarakatnya yang
banyak menjadi korban Miras).
3. Apakah manfaat Perda Syariah?
Jawab: Manfaat suatu Produk Hukum Perda, termasuk Perda Syariah tentu akan
kembali kepada masyarakat dan Pemerintah daerah dalam menegakkannya.
Sepanjang dapat berjalan baik maka tentu akan memberikan dampak positif bagi
masyarakat. Misalnya beberapa Perda tentang Pengelolaan Zakat yang ada di
banyak daerah sangat membantu dalam mengelola dan menghimpun dana zakat
dan kemudian manfaatanya untuk masyarakat luas.
4. Apakah Bapak/Ibu pernah mendengar bahwa Partai PSI menolak Perda
Syariah?
Jawab: Melalaui pemberitaan media, ketua Umum PSI menegaskan partaianya
akan menolak Perda Syariah.
5. Problema apa yang terjadi sehingga Perda Syariah dipersoalkan kembali?
Jawab: Penolakan itu karena tidak memahami keberadaan perda Syariah yang
dijamin oleh konstitusi baik Pasal 28E ayat (1), Pasal 29 ayat (2) dan juga
beberapa peraturan perundang-undnagan seperti Undang-Undang Zakat,
Undang-Undang Perbankan Syariah, dan lain-lain yang di antaranya
membutuhkan peraturan turunan di tingkat daerah.
6. Apakah Bapak setuju dengan sikap partai PSI tersebut?
Jawab: Tidak setuju.
7. Apakah dampak positif dan negatif dari penerapan Perda Syariah di tengah
Bangsa Indonesia yang majemuk?
Jawab: Dampak posisitifnya kembali pada masyarakatnya seperti yang di Papua
terkait Larangan Miras, bertujuan melindungi masyarakat Papua dari dampak
buruk Miras yang merugikan masyarakat. (lihat lahirnya Perda Anti Miras di
Manokwari yang diinisiasi oleh Ibu Ibu yang tidak tahan akibat para suaminya
mabuk-mabukan dan merusak keluarga dan masyarakat).
Page 98
86
8. Apakah Perda Syariah bertentangan dengan Ideologi Negara dan Peraturan
Perundang-undangan yang di atasnya?
Jawab: Jelas tidak bertentangan dengan idiologi negara, Sila pertama pancasila
dan pasal 29 ayat (1), dan ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.
9. Bagaimanakah solusi dan harapan Bapak menghadapi dilematis penerapan
Perda Syariah?
Jawab: Bagi kami keberadaan perda syariah tidak dilematais, hanya yang salah
memahami saja yang menyoal Perda Syariah.
Informan 5
Nama : Drs. Zafrullah Salim, S.H., M.Hum.
Jabatan : Anggota Komisi Fatwa MUI
Hari/Tanggal : Selasa, 23 April 2019
Waktu : 13:05-13:35
Tempat : Ruang Sidang Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta
1. Menurut pemahaman Bapak apakah yang dimaksud dengan Perda Syariah?
Jawab: Jadi seperti ini, pertama terjadi penyesatan istilah. Dalam sistem
perundang-undangan kita tidak dikenal yang namanya Perda Syariah. Jenis
peraturan perundang-undangan itu sudah sifatnya limitatif, terbatas yang ada
dalam undang-undang. Baca Undang-Undang 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Jadi, jenis Peraturan Perundang-
Undangan yang sifatnya hierarki itu tidak mengenal adanya Perda Syariah.
Kenapa? Karena yang ada itu Peraturan Daerah atau qanun atau Perdasus
(Peraturan Daerah Khusus) atau Peraturan Daerah Istimewa. Yang ada apa? Isi
sebuah peraturan perundang-undangan yang mengikat umum itu berasal dari
unsur-unsur Hukum Islam. Jadi, kalau kita sebut namanya Perda Zakat, bukan
Perda Syariah mengenai zakat, ini artinya ketentuan-ketentuan hukum agama
Page 99
87
yang terkait dengan zakat, wakaf, mungkin juga Surat Berharga Syariah Negara
itu seluruhnya adalah hukum positif di negeri kita yang telah melalui proses
transformasi hukum. Itu satu ya. Apakah dimungkinkan sistem Hukum Islam
masuk dalam institusi? Sangat dimungkinkan, karena kalau kita katakana hukum
yang bertitik tumpu pada peraturan perundang-undangan, maka referensi dalam
bidang hukum nasional, dalam arti undang-undang (peraturan perundang-
undangan) itu adalah pertama Hukum Barat, melalui perubahan UUD 1945,
maka hukum yang ada pada zaman kolonial Belanda itu masih tetap berlaku
sepanjang tidak berubah dan diganti dengan undang-undang yang baru. Yang
kedua Hukum Adat. Yang ketiga Hukum Islam. Jadi, kalau dia sudah melewati
masa proses yang disebut dengan transformasi hukum atau disebut dengan
istilah positivering (mempositifkan hukum-hukum yang ada) dia tidak disebut
lagi dengan Hukum Islam. Jadi, kalau saya baca undang-undang tentang
Perbankan Syariah itu bukan undang-undang Syariah, tapi isinya itu berasal dari
Islam. Ya silahkan isinya berasal dari mana saja, itu satu jawaban saya. Yang
kedua, dimensi apa yang menyebabkan orang “Anti Perda Syariah”, karena
mereka menganggap bahwa Perda Syariah itu mengganggu kepentingan dia.
Pada umumnya yang disoroti itu adalah perda-perda yang sifatnya mengatur
ketertiban umum (keamanan masyarakat), misalnya Miras (Alkohol). Itu mereka
tidak suka, padahal di situ sifat dari sebuah Perda yang berasal dari Hukum
Syariah tadi itu adalah untuk ketertiban umum, agar supaya sebuah
Perda/Undang-Undang dapat memberikan pengayoman kepada orang-orang.
Jadi, dari segi ini tidak bisa kita katakan Perda itu adalah bertentangan dengan
aturan-aturan yang ada. Tempo dulu juga begitu, itu kan ada gara-gara Tempo,
ada dulu majalah entah tahun berapa judulnya “Perda Syariah”. Itu jadi
menyesatkan, namanya Public Fallacy (kesesatan yang menimbulkan kekacauan
di kalangan publik). Perda sebagai salah satu jenis peraturan perundang-
undangan dia merupakan hierarki, mulai UUD, Tap MPR, UU/Perppu, Peraturan
Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota. Yang ketiga, bagaimana mungkin bisa terjadi proses
transformasi? Jadi, mentransformasikan hukum itu adalah wajib, proses
Page 100
88
pengujian terhadap norma-norma Hukum Islam yang kemudian dicoba,
diintrodusi, tidak dengan bahasa yang dipakai dalam Al-Quran, Sunah. Tapi,
dengan mengambil sifat-sifatnya yang umum, yang sifatnya general, norma-
norma yang sesungguhnya untuk seluruh dunia itu sama. Makanya dikatakan
proses transformasi hukum itu melewati tiga hal, pertama dari segi prosedurnya,
kalau dalam Undang-Undang 12 tahun 2011 itu dikenal dengan Tahapan
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Tahapan itu mulai dari
perencanaan, pengkajian dimulai dari menyusun Naskah Akademik, kemudian
penyusunan, Pembahasan, terakhir pengundangan, itu namanya prosedur.
Melewati prosedur penyusunan Naskah Akademik, kalau kita ingin
memproduksi Hukum Islam, jadi tidak boleh loncat, karena kita berkuasa orang
segan, sehingga asal-asalan tidak melalui prosedur. Yang kedua, segi
subtansinya, kita uji, kita lihat, apakah hukum yang hidup di tengah masyarakat
memungkinkan tidak itu. Yang ketiga, dari segi teknik bagaimana cara kita
menuangkan. Apakah setiap gagasan-gagasan Islam, islamisasi Hukum di
Indonesia perlu dengan undang-undang/peraturan peruundang-undangan? Oh,
lihat dulu. Inilah kesalahan kita karena kita kurang diintrodusi mengenai sistem
perundang-undangan di Indonesia. Jadi harusnya seperti ini, ada yang namanya
sebuah instrumen, instrumen pemerintah ini bagaimana caranya kita
menuangkan sebuah kebijkan pemerintah (bupati, gubernur, walikota) punya
satu keinginan, oh ini mestinya anak-anak mengaji, rumah potong hewan
seharusnya mendapat sertifikat dari MUI ini bagaimana caranya? Hukum
Administrasi mengatakan bahwa instrumen Pemerintahan itu bisa kita tuangkan
dalam banyak hal, pertama kita tuangkan dia dalam bentuk peraturan perundang-
undangan, itulah melahirkan apa yang kita sebut dengan rancangan peraturan
perundang-undangan. Yang kedua, kita menuangkannya dalam bentuk peraturan
kebijakan, misalnya dengan surat edaran, maklumat, petunjuk pelaksana,
petunjuk teknis, karena ini kewenangan diskresi dari setiap pejabat negara.
Kalau tidak dengan itu, kita menggunakan instrumen keputusan (besickhing),
keputusan ini misalnya mengangkat orang dengan SK diberi dia kewenangan
untuk menjalankan kebijakan kita. Mungkin juga nanti kita akan menggunakan
Page 101
89
melalui perencanaan. Yang terakhir kita bisa menggunakannya melalui
perbuatan keperdataan. Jadi, tidak seluruhnya bertitik tumpu pada peraturan
perundang-undangan. Salah kalau semua kebijakan itu dituangkan dalam
peraturan perundang-undangan. Kalau memang semua masyarakat di sana sudah
muslim, kenapa harus dikeluarkan Perda? Tidak perlu Perda, cukup surat edaran
saja. Jadi, karena kurangnya pemahaman kita mengenai instrumen pemerintah,
bagaimana pemerintah seharusnya melakukan perbuatan pemerintahan atau
tindakan pemerintahan. Itu setiap perbuatan, tindakan pemerintah itu tidak mesti
melalui diskresi, bisa melalui perbuatan kebijakan/peraturan kebijakan. Nah, ini
jadi kesalahanya itu di sini. Saya melihat kedua belah pihak baik kita yang
idealis itu tidak paham bagaimana cara menuangkan suatu kebijakan. Akhirnya
menimbulkan keributan, misalnya diwajibkan membaca Quran, padahal itu
sudah the living law. Namanya calon gubernur di Aceh, tidak lazim kalau dia
tidak bisa Quran. Jadi kalau dia tuangkan di situ seorang gubernur pandai baca
Quran, ya itu wajar saja. Tapi kenapa harus dengan Perda kan seperti itu? Nah,
di sinilah masalah. Itulah sebabnya, akhirnya harus ada sebuah introdusir
mengenai konsep-konsep peraturan perundang-undangan supaya nanti bisa
memilih instrumen mana yang mesti dipakai.
2. Tapi bagaimana dengan Perda Syariah yang ada di Aceh?
Jawab: Itu kan qanun. Ya itu lain, qanun itu bukan Perda tapi dia se level dengan
Perda. Tapi untuk daerah Aceh Perda itu disebut dengan qanun, sifat
pembentukannya, jalurnya atau landasan hukumnya memang bukan peraturan
perundang-undangan, tapi adalah undang-undang tentang Pemerintahan Aceh.
3. Lalu bagaiamana dengan Perda Syariah yang ada di daerah lain Pak? Kan ada
yang mengatakan bahwa itu bertentangan dengan UU?
Jawab: Apanya yang bertentangan? Kalau masyarakat di sana itu menganggap
adalah sebuah kelaziman, itu makanya yang disebut dengan the living law, jadi
kalau di sana sudah ada. Baca UUD kita, hukum yang hidup dalam masyarakat
Hukum Adat itu. Jadi kita tidak mengada-ngada, makanya untuk membuat
sebuah aturan itu harus dilihat dulu, cocok tidak ini. Jadi tidak perlu nanti, ini
Page 102
90
Perda Injil, ini Perda Syariah. Itu bahasa provokatif, kalau memang masyarakat
Papua yang mayoritas beragama Kristen mewajibkan harus bisa baca Injil masuk
di sekolah, itu tidak apa-apa. Itu memang harus seperti itu. Pluralistik kita, kita
berbeda suku, agama, itu kenyataan sosial mestinya tidak boleh cemburu.
Berbeda ketika muslim dipaksa belajar Injil itu baru salah. Jadi hukum muncul
kalau timbul ketidaktertiban umum.
4. Bagaimana Bapak merespon pernyataan Ketua PSI?
Jawab: Ya, karena itu tidak mengerti saja, kurang paham. Ngomong sebagai
seorang politikus tapi tidak paham. Tidak paham tapi seolah-olah benar. Jadi dia
mengalami apa yang disebut public fallacy, itu namanya kebohongan publik,
karena dia tidak paham. Mestinya dia harus diintrodusi. Sebaliknya juga, jangan
mentang-mentang kita mayoritas, kemudian kita berkuasa, jangan semuanya
dituangkan dalam peraturan perundang-undangan, pilih instrumen lain.
Keputusan saja sudah cukup.
5. Lalu bagaimanakah solusi dan harapan Bapak terhadap polemik penerapan
Perda Syariah?
Jawab: begini, setiap pembentukan peraturan perundang-undangan itu kaji dulu
setiap pertimbangan filosofis, sosiologis, dan yuridisnya. Ketiga itu adalah
pertimbangan-pertimbangan (consideration) dalam membentuk suatu peraturan.
Selain itu kita juga harus melihat bagaimana subtansi yang akan kita tuangkan.
Apa artinya? Sebenarnya pembentukan hukum di Indonesia ini dia berkarakter
ke-Indonesiaan. Jadi namanya asas ke-Indonesiaan yang berimbang, dengan
demikian kalau kita membentuk suatu peraturan itu kita lihat lima asas
Pancasila itu. Ketuhanan Yang Maha Esa, tapi kita tidak menyebut dia sebagai
asas Ketuhana Yang Maha Esa, tetapi disebut yang namanya moral religious,
asas-asas moral agama yang sudah dipertimbangkan, apalagi kalau kita sudah
mengatur hal yang terakait dengan kesusilaan.
6. Bagaimanakah bapak menanggapi penerapan Perda Syariah?
Jawab: lihat dulu subtansinya, apakah subtansinya sesuai dengan Maqashid
Syariah atau tidak. Jadi yang namanya Pancasila itu, kalau kita bawa dalam
Page 103
91
hukum agama kita itu namanya Maqashid Syariah. Jadi, satu saja dasar hukum,
itu sudah cukup. Apa kita mau moral religius, demokrasi. Kalau kemanusiaan
yang adil dan beradab ya jangan sebut keadilan yang beradab, tapi humanisme.
Udah, ini Internasional dan ini Indonesia. Kemudian kalau kita sebut Ketuhanan
Yang Maha Esa, jangan sebut seperti itu, tapi sebut moral religious. Jadi dengan
begitu, apa yang menjadi khazanah Islam menajadi nilai-nilai universal.
Kemudian Persatuan Indonesia, jangan sebut Persatuan Indonesia, tapi sebut
nasionalisme. Jadi disalin-salin akhirnya Islam tadi itu menjadi universal.
Sehingga, kalau sebut dengan formalistik, kalau ini nanti subtantif. Kalau tidak
bisa dapat keduanya, satu saja ini sudah cukup, yang penting sesuai dengan
Islam. Kan “al-ashlu fi al-mu’amalati al-ibaahatu” Lalu manakah asas-asas
Pancasila yang dianggap bertentangan dalam sebuah perancangan, lihat dulu
mananya yang dilarang, karena kalau dia sudah tidak dilarang Quran tidak
membantah, muslim tidak membantah.
Page 104
92
Dokumentasi pelaksanaan Wawancara
1.1 Wawancara bersama Prof. Dr. Zainal Arifin Hoesein, S.H, M.H
1.2 Wawancara bersama Drs. Zafrullah Salim, S.H, M.Hum
Page 105
93
1.2 Wawancara bersama Drs. H. Masduki Baidlowi, M.Si
Page 106
94
1.4 Wawancara bersama Prof. Dr. Mohammad Baharun
1.5 Wawancara bersama Abdul Kholik, S.H, M.Si