Top Banner
RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI) TERHADAP REGULASI BERNUANSA AGAMA SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh: IKA YULISTIANA NIM: 11150450000033 PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H / 2019 M
110

RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

Jan 19, 2020

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI)

TERHADAP REGULASI BERNUANSA AGAMA

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu

Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

IKA YULISTIANA

NIM: 11150450000033

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1440 H / 2019 M

Page 2: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

i

Page 3: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

ii

Page 4: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

iii

Page 5: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

iv

ABSTRAK

Ika Yulistiana. NIM 11150450000033. RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA

INDONESIA (MUI) TERHADAP REGULASI BERNUANSA AGAMA. Program

Studi Hukum Tata Negara (SIYASAH), Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun 1440 H / 2019 M. ix + 62 Halaman +

29 lampiran

Skripsi yang ditulis ini bertujuan untuk mengetahui pemahaman Tokoh Majelis

Ulama Indonesia (MUI) tentang regulasi bernuansa agama dan respon Tokoh Majelis

Ulama Indonesia terhadap penolakan penerapan regulasi bernuansa agama.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif-empiris. Dengan mengumpulkan

beberapa data yang dilakukan melalui wawancara, buku dan internet. Kemudian data

tersebut diolah dan dianalisis secara sistematis, sehingga menghasilkan suatu penelitian

ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pertama, para tokoh MUI yang terlibat

dalam penelitian ini memahami regulasi bernuansa agama sebagai sebuah

istilah/nomenklatur pada produk hukum daerah yang muatannya digali dari sumber-

sumber hukum agama yang diyakini dan berkembang di tengah umat atau masyarakat.

Kedua, pandangan MUI terhadap penerapan regulasi bernuansa agama bahwa regulasi

yang semacam itu harus tetap diterapkan di tengah-tengah masyarakat karena banyak

memberikan manfaat daripada madharat. Namun meskipun demikian penerapannya

lazim disesuaikan dengan kebutuhan hukum di masyarakat, sehingga tidak terkesan

dipaksakan oleh pemimpin politiknya. Untuk itu regulasi bernuansa agama harus

dibentuk berdasarkan aspirasi masyarakatnya, kalau tokoh MUI menyebutnya dengan

buttom up (muncul dari bawah/masyarakat). Kemudian mengenai respon MUI

terhadap penolakan regulasi bernuansa agama bahwa MUI tidak sepakat dengan

pernyataan tersebut. Sebab, alasan penolakan tersebut tidak sejalan dengan kebutuhan

hukum masyarakat di daerah. Di beberapa daerah sangat dirasakan manfaat adanya

peraturan tersebut.

Kata Kunci : Respon, Tokoh Majelis Ulama Indonesia, Regulasi Bernuansa

Agama

Pembimbing : Dr. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag.

Daftar Pustaka : 2000 s.d. 2018

Page 6: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

v

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena hanya berkat

rahmat, dan ridha-Nya, penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul “Respon

Tokoh Majelis Ulama Indonesia (MUI) terhadap Regulasi Bernuansa Agama” dengan

baik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar

Sarjana Hukum (S.H.) di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan dan dukungan dari berbagai

pihak, penulis tidak dapat menyelesaikan skripsi ini. Oleh sebab itu, sudah

sepantasnya penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-

tingginya kepada:

1. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, SH, MA, MH, Dekan Fakultas Syariah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Ibu Dr. Maskufa, MA, Ketua Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah) UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Ibu Sri Hidayati, M.Ag, Sekretaris Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Bapak Prof. Dr. Masykuri Abdillah, Penasehat Akademik yang telah memberikan

bimbingan dan arahan serta kemudahan dalam menyetujui proposal penulis untuk

diajukan kepada fakultas.

5. Bapak Dr. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag. Selaku pembimbing Skripsi penulis yang

telah memberikan bimbingan dan arahan dengan tulus dan sabar kepada penulis

sejak awal penulis menyusun proposal skripsi untuk mengikuti Seminar Proposal

hingga proses penyelesaian Skripsi penulis.

6. Dosen-dosen Hukum Tata Negara, atas transfer ilmu yang telah diberikan selama

studi di kampus UIN Syarif Hidayatullah tercinta. Semoga dengan ketulusan dan

Page 7: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

vi

keikhlasan hati, menjadi amal jariyah Bapak dan Ibu yang terus mengalir sampai

akhirat nanti.

7. Drs. H. Masduki Baidlowi, M.Si, Prof. Dr. Mohammad Baharun, Prof. Dr. Zainal

Arifin Hoesein, S.H, M.H, Abdul Kholik, S.H, M.Si, Drs. Zafrullah Salim, S.H,

M.Hum, merupakan para Tokoh MUI yang sudah membatu penulis dalam

memberikan informasi dan data terkait penelitian ini.

8. Orang tua tercinta, Bapak Rusdiono dan Ibu Rahwati serta keluarga besar penulis

yang selalu menyelipkan nama anada dalam setiap doanya, dukungan serta

ketulusan cinta dan kasih sayang yang tak terhingga. Tanpa doa dan dorongan

dari beliau berdua ananda tidak mudah melakukan proses studi di UIN Syarif

Hidayatullah tercinta.

9. Kepada teman-teman seperjuangan Hukum Tata Negara angkatan 2015,

terkhusus delapan srikandi HTN, Indar Dewi, Lesnida Borotan, Agilia Gunawan,

Trini Diyani, S.H, Badriatul Munawaroh, Fatma Agustina, Settia Fany, dan Muh.

Ridwan. Tentunya juga sahabat-sahabat penulis lainnya yang tak bisa penulis

sebutkan satu persatu.

10. Kepada sahabat penulis, Indar Dewi, S.H. yang selalu setia menemani penulis

berjuang dalam segala hal selama menempuh pendidikan di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta terutama dalam proses penyusunan skripsi. Kebaikan-

kebaikannya tidak dapat saya ungkapkan dengan kata-kata karena sudah beribu-

ribu kebaikan sudah Indar lakukan untuk penulis.

11. Teman-teman KKN 20 “Increedeble Bee” yang sudah berjuang bersama-sama

selama di tempat KKN hingga kembali ke kampus UIN Syarif Hidayatullah

tercinta dan berjuang bersama-sama membuat laporan. Tanpa kesolidan kalian,

penulis tidak mungkin mampu menyelesaikan semua tugas itu sendiri.

12. Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala,

Kutsiatun Hasanah, Neng Ulfah, Masriatin) sudah menjadi keluarga dan tempat

pulang penulis sepanjang hari-hari penulis menempuh pendidikan di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Page 8: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

vii

13. Kepada teman-teman Daru al-Quran Fatahillah (Daqufa) mereka adalah keluarga

kedua penulis

14. Dan kepada seluruh civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang tak

bisa penulis sebutkan satu persatu.

Terima kasih atas segala bantuan yang telah diberikan oleh semua pihak.

Semoga bantuan yang telah diberikan mendapat pahala dari Allah SWT. Semoga

skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Ciputat, 20 Mei 2019

15 Ramadhan 1440 H

Ika Yulistiana

Page 9: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

viii

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN ....................................................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................................... ii

LEMBAR PERNYATAAN ...................................................................................... iii

ABSTRAK ................................................................................................................. iv

KATA PENGANTAR ................................................................................................ v

DAFTAR ISI ............................................................................................................ viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah....................................................................................1

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Rumusan Masalah…………………………….6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……………………………………………..…7

D. Review Studi Terdahulu……………………………………………………….8

E. Metode Penelitian……………………………………………………………..9

F. Sistematika Pembahasan……………………………………………………..11

BAB II TEORI OTONOMI DAERAH DAN REGULASI BERNUANSA

AGAMA

A. Teori Otonomi Daerah………………………………….................................13

B. Sejarah Lahirnya Regulasi Bernuansa Agama……..…………………………16

C. Gambaran Regulasi Bernuansa Agama……………...……………………….18

B. Klasifikasi Regulasi Bernuansa Agama……..………………………………..31

C. Problematika Penerapan Regulasi Bernuansa Agama……..…………………33

BAB III PROFIL MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI)

A. Sejarah Berdirinya MUI....................................................................................37

B. Visi, Misi, Orientasi dan Peran MUI …………………………………………39

C. Struktur Kepengurusan MUI………………………………………...………..44

Page 10: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

ix

BAB IV RESPON DAN SOLUSI TOKOH MUI TERHADAP PERDEBATAN

REGULASI BERNUANSA AGAMA

A. Pemahaman Tokoh MUI tentang Regulasi Bernuansa Agama……………...49

B. Respon Tokoh MUI terhadap Penolakan Regulasi Bernuansa Agama…….56

C. Solusi Tokoh MUI terhadap Perdebatan Regulasi Bernuansa Agama………58

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan…………………………………………………………………61

B. Saran………………………………………………………………………..62

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………....63

LAMPIRAN………………………………………………………………………...68

Page 11: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar dan majemuk, terdiri atas

berbagai suku, bahasa, budaya, agama, dan adat istiadat. Kemajemukan itu

merupakan kekayaan dan kekuatan sekaligus menjadi tantangan bagi Bangsa

Indonesia sendiri. Heterogenitas masyarakat Indonesia yang terhimpun dalam

semangat nasionalisme merupakan satu hal yang patut diapresiasi.

Pengakuan akan kesamaan derajat dari fenomena budaya yang beragam itu

juga tampak dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu.

Ungkapan itu sendiri mengisyaratkan suatu kemauan yang kuat untuk mengakui

perbedaan tapi sekaligus memelihara kesatuan atas dasar pemeliharaan keragaman,

bukan dengan menghapuskannya atau mengingkarinya. Perbedaan dihargai dan

dipahami sebagai realitas kehidupan, hal ini adalah asumsi dasar yang juga

melandasi paham multi kulturalisme.

Tantangan yang kemudian muncul adalah adanya benturan prinsip

kesetaraan terhadap perbedaan elemen yang sering menimbulkan konflik inheren

terutama di kalangan minoritas. Selain itu, dikhawatirkan akan menimbulkan

perbedaan perlakuan terhadap golongan yang satu dengan yang lain. Dalam sejarah

perjalanan berbangsa dan bernegara, memang tidak dapat dipungkiri bahwa sering

terjadi persinggungan dan perselisihan. Sehingga, dibutuhkanlah suatu formalisasi

hukum yang dapat mengatur ketertiban, keamanan dan kerukunan di tengah

kehidupan yang majemuk tersebut.

Pada rezim orde baru, diberlakukan asas tunggal Pancasila sebagai wujud

dari pembinaan identitas nasional. Indonesia adalah negara yang menganut sistem

Negara Kesatuan (unitary) yang berbentuk Republik.1 Namun demikian, Pola

pemerintahan Orde Baru tersebut sangat bertentangan dengan keadaan Bangsa

1Hayatun Na’imah, “Perda Berbasis Syariah dan Hubungan Negara-Agama Dalam

Perspektif Pancasila”, Jurnal Mazahib, Vol. XV, No. 2 (Desember 2016), h., 15

Page 12: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

2

Indonesia. Adanya penyeragaman peraturan akan menimbulkan kesan dalam

wujud resistensi atau bahkan terkikisnya budaya di masing-masing daerah.

Sehingga, dibutuhkan suatu prinsip pengakuan terhadap budaya hukum masing-

masing daerah sebagai wujud keadilan terhadap daerah-daerah multikultural.

Dalam proses formalisasi hukum, karakteristik Negara Indonesia yang

heterogen memang berdampak pada banyaknya sumber hukum yang tanpa disadari

menuntut hak yang sama untuk diakomodasi dalam peraturan negara maupun

daerah mengingat Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri atas daerah-

daerah yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Beberapa identitas budaya atau

agama yang mayoritas di daerahnya akan mengadopsi norma budaya mereka

sebagai hukum yang mengatur daerah mereka sendiri, terutama dalam hal

pengakomodasian hukum agama yang selanjutnya diaktualisasikan dalam bentuk

peraturan daerah.

Pasca reformasi, isu pelaksanaan Syariat Islam semakin merebak di

beberapa daerah di Indonesia. Hal ini seiring dengan semangat otonomi daerah yang

memberi peluang kepada setiap daerah untuk mengatur dirinya sendiri. Didahului

oleh Aceh yang secara gencar menuntut perwujudan Syariat Islam di daerahnya,

yang kemudian disetujui oleh pemerintah pusat. Saat ini, dalam rentang waktu yang

relatif singkat, beberapa daerah seperti Sulawesi Selatan, Banten, Tasikmalaya,

Pamekasan, Riau, Ternate, Gorontalo, melakukan beberapa penetapan peraturan

daerah bernuansa Syariat Islam. Belakangan regulasi berbasis Injil juga mulai

diperkenalkan di Manokwari. Fenomena ini tak jarang menimbulkan pro dan

kontra, bahkan dalam masyarakat Islam sendiri. Kelompok yang pro mengatakan,

sudah sewajarnya Syariat Islam menjadi landasan hukum kehidupan berbangsa dan

bernegara, karena umat Islam adalah mayoritas penduduk Indonesia.2

Pada dasarnya hal ini bukanlah persoalan baru karena dalam sejarah awal

pembentukan negara pun sudah banyak wacana pembentukan Negara Islam atau

adanya pergolakan politik antara agama-agama dalam menentukan ideologi negara.

2Nur Rohim Yunus, Penerapan Syariat Islam terhadap Peraturan Daerah Dalam Sistem

Hukum Nasional Indonesia, Jurnal Studia Islamika (Vol. 12, No. 2, Desember 2015), h., 255-256

Page 13: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

3

Isu penerapan Syariat Islam sebenarnya telah menjadi agenda perdebatan sejak

menjelang kemerdekaan Indonesia. Perdebatan serius dalam Badan Penyelidik

Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada pertengahan 1945

tentang dasar dan filsafat negara.3 Gagasan negara berdasarkan Islam, yang

diperjuangkan golongan Islam dan akhirnya mencapai kompromi dalam bentuk

Piagam Jakarta.4 Piagam Jakarta ini menurut Ir. Soekarno, Ketua Panitia Sembilan

merupakan hasil kompromi yang dicapai dengan susah payah antara golongan

Nasionalis dan golongan Islam.5

Perubahan ini dianggap sebagai kompromi paling solutif untuk menengahi

perdebatan sengit antara pendukung Negara Islam dan Negara Sekuler. Sehingga,

diharapkan mampu mewujudkan keadilan di tengah masyarakat yang mayoritas

muslim namun tetap mengakui keberadaan kaum minoritas agama lainnya.

Dari penjelasan di atas, secara historis pembentukan negara sejak awal

sudah melibatkan agama dalam proses perumusan Pancasila yang kemudian

dijadikan sebagai landasan dasar negara. Berbicara mengenai Ideologi Pancasila,

dapat disimpulkan bahwa dalam aspek filosofis hal pengimplementasian norma

Agama ke dalam hukum bukanlah hal yang bertentangan. Lebih lanjut, dalam

pelaksanaan ketatanegaraan Indonesia, banyaknya peraturan perundang-undangan

yang lahir berbasis agama khususnya Islam misalnya undang-undang Perbankan

Syariah, Perkawinan, Zakat, Haji, dan lain sebagainya dibuat dengan tujuan

menjamin hak-hak muslim dan membantu masyarakat muslim dalam mengatur

pelaksanaan Perbankan Syariah, Perkawinan, Zakat, dan Haji tersebut.

3H. Suismanto, “Perda Syariat Islam dan Problematikanya”, Jurnal Aplikasia, Vol. VII, No.

I, (Juni 2007), h., 31 lihat juga: Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar,

(Jakarta: Prapanca, 1959)

4Piagam Jakarta sebenarnya merupakan mukadimah bagi konstitusi yang diajukan dalam

sidang BPUPKI. Di dalamnya, Pancasila sebagai dasar negara diakui, dengan tambahan 7 kata dalam

butir pertamanya, yakni "Dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya".

Namun, dalam pertemuan mendadak pada 18 Agustus 1945, ketujuh kata tersebut disepakati

penghapusannya dalam Pancasila dan UUD 1945. Sebagai kompromi, sila ketuhanan mendapat

atribut tambahan "Yang Maha Esa".

5Mujar Ibnu Syarif, “Spirit Piagam Jakarta dalam Undang-Undang Dasar 1945”, Jurnal

Cita Hukum, Vol. 4, No. 1, (2016), h., 16

Page 14: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

4

Regulasi bernuansa Syariah ataupun Injil merupakan bagian dari aspirasi

masyarakat daerah dalam proses demokratisasi di daerahnya sendiri. Hal ini sejalan

dengan prinsip otonomi daerah dalam sistem desentralisasi di mana setiap daerah

berhak untuk mengatur daerahnya masing-masing. Selain itu, pada dasarnya agama

ataupun adat istiadat merupakan bagian dari sumber hukum. Sehingga, peraturan-

peraturan ini meskipun tidak diundangkan dalam label agama, tanpa disadari

peraturan tersebut telah banyak mengadopsi hukum atau norma agama itu sendiri.

Dalam perkembangannya regulasi bernuansa Agama di Indonesia, tidak semua

masyarakat pro terhadap peraturan-peraturan tersebut. Tidak sedikit dari mereka

menentang secara lantang. Regulasi tersebut dianggap menciderai keadilan dan

bersifat intoleransi terhadap golongan tertentu. Misalnya saja Qanun bagi

masyarakat non muslim di Aceh, Perda Injil bagi umat minoritas muslim di

Manokwari, dan banyak Perda dan bentuk regulasi lain di daerah yang dianggap

tidak menjamin hak kelompok minoritas. Hal ini menjadi dasar pemikiran bagi

beberapa politisi dalam memberikan argumentasi terhadap penolakan Perda Syariah

maupun Perda Injil di suatu daerah.

Kalangan elit politik pun juga berbeda persepsi terhadap penerapan regulasi

bernuansa agama seperti Perda Syariah dan Perda Injil. PDIP menyatakan secara

terang-terangan bahwa partainya menolak penerapan regulasi semacam itu karena

regulasi semacam itu tidak menginduk kepada konstitusi yang ada di Indonesia.6

Bahkan yang terbaru pernyataan salah satu fungsionaris Partai, Grace

Natalie menuai kecaman dari berbagai pihak. Pasalnya dalam Orasi politik Ketua

Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) ini pada Harlah PSI ke-4 11 November

2018 lalu yang berjudul “Muda Menangkan Indonesia” membuat suatu pernyataan

yang menimbulkan beberapa polemik khususnya dalam pernyataan larangan Perda

Syariah dan Perda Injil. “PSI akan mencegah lahirnya ketidakadilan, diskriminasi,

dan seluruh tindak intoleransi di negeri ini. Partai ini tidak akan pernah

6Peraturan Harus Sesuai Konstitusi, PDIP Tolak Perda Syariah,

https//m.cnnindonesia.com/nasional/20181119215026-32-347808/peraturan-harus-sesuai-

konstitusi-pdip-tolak-perda-syariah, diakses 20/10/2018 diakses pada 18 Mei 2019 pkl. 08:45

Page 15: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

5

mendukung Perda Injil atau Perda Syariah. Tidak boleh ada lagi penutupan rumah

ibadah secara paksa”7

Dalam pernyataan tersebut seolah-olah Perda Syariah maupun Perda Injil

adalah penyebab utama ketidakadilan, diskriminasi, dan seluruh tindakan

intoleransi. Sejatinya perda agama adalah perda yang bermuatan nilai-nilai agama,

dengan tidak mengucilkan agama tertentu termasuk di dalamnya keadilan dan

kesetaraan. Adapun jika dianggap intoleran terhadap kelompok minoritas, sugguh

ini adalah generalisasi yang kurang bijak. Kita ambil contoh Aceh sebagai salah

satu daerah yang diberikan hak istimewa dalam menerapkan Qanun (Hukum Islam)

di sana. Namun, sampai saat ini tidak ada peristiwa yang menimbulkan konflik

ataupun protes dari pihak non muslim, atau keberadaan Perda Injil di Manokwari

tidak serta merta menindas hak umat muslim di sana.

Ridwan Kamil Walikota Bandung merupakan salah satu walikota yang

banyak menerapkan aturan-aturan Islam dalam masa pemerintahannya sejak 2016,

antara lain menggalakkan program resmi Pemerintah Kota Bandung yaitu “Maghrib

Mengaji” dan “Subuh Berjamaah” di Kota Bandung. Bahkan 2018 ini Ridwan

Kamil menjadikan “Jabar Maghrib Mengaji” sebagai 10 Program Utama Jawa

Barat.8 Selain itu, pemerintahan Ridwan Kamil juga berupaya memfasilitasi

program pembacaan kitab suci umat Hindu maupun program ATM beras di setiap

Gereja untuk umat kristiani. Jadi, yang perlu ditekankan bahwa pemberlakuan

peraturan berbasis agama bukan untuk menciderai keadilan atau mendiskriminasi

kelompok minoritas namun peraturan tersebut hadir sebagai wujud implementasi

penjaminan hak dan keadilan bagi seluruh masyarakat tanpa membedakan SARA.

Dari uraian-uraian di atas, kita tidak dapat menutup mata bahwa regulasi

bernuansa agama yang dianggap diskriminatif oleh beberapa kalangan elit politik,

ternyata tidak demikian adanya berdasarkan kenyataan yang terjadi di beberapa

daerah. Untuk mencari jawaban mengenai perbedaan pendapat penerapan regulasi

7Menjawab Orasi Politik Grace Natalie, https://www.kiblat.net/2018/11/17/menjawab-

orasi-politik-grace-natalie/diakses pada 2 Desember 2018, pukul 05.18.

8Ridwan Kamil Terapkan Program Maghrib Mengaji di Wilayah Jabar,

https://www.liputan6.com/news/read/3644359/ridwan-kamil-terapkan-program-magrib-mengaji-

di-wilayah-jabardiakses pada 2 Desember 2018, pukul 06.36.

Page 16: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

6

bernuansa agama, maka dibutuhkanlah respon MUI. Sebagaimana diketahui bahwa

MUI sebagai kepemimpinan umat Islam yang bersifat kolektif. Serta sebagai media

penghubung antara ulama dan umara dalam usaha mensukseskan pembangunan

nasional. Hal ini sejalan dengan ungkapan mantan ketua umum MUI Prof. Dr. Din

Syamsudin di acara pembukaan Munas IX MUI di Surabaya, yang mengatakan

bahwa MUI adalah mitra strategis pemerintah yang saling memberikan manfaat.

Dari landasan di atas, respon MUI sangat dibutuhkan untuk menjadi pertimbangan

pemerintah dan politisi dalam mengambil kebijakan dan membuat suatu aturan.

Menariknya lagi, MUI adalah organisasi kegamaan yang bersifat

independen, tidak berafiliasi kepada salah satu partai politik, mazhab, atau aliran

keagamaan Islam yang ada di Indonesia.9 Sehingga, dengan sifat independensi

tersebut penulis mengharapkan respon MUI nantinya akan menjadi jawaban yang

solutif terhadap isu regulasi bernuansa agama yang akhir-akhir ini diperbincangkan

kembali mengenai eksistensinya.

Berdasarkan uraian di atas, menarik untuk diteliti seperti apakah tanggapan

dan solusi dari MUI tentang perdebatan mengenai eksistensi Perda Syariah di

tengah-tengah masyarakat. Kemudian penelitian ini penulis angkat dalam bentuk

skripsi dengan judul “Respon Tokoh Majelis Ulama Indonesia (MUI) terhadap

Regulasi Bernuansa Agama”.

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Rumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Adapun identifikasi masalah yang penulis dapatkan dalam penelitian ini

antara lain:

a. Perlunya formulasi hukum untuk mengatur tatanan kehidupan berbangsa

dan bernegara khususnya di daerah.

b. Munculnya Perda Syariah yang diduga dapat mendiskreditkan agama

minoritas serta dapat memecah persatuan NKRI.

9Azumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani: Gagasan, Fakta dan Tanggapan, (Bandung:

Rosdakarya, 2000), cet. 1, h., 60

Page 17: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

7

c. Perda Syariah dianggap bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila oleh

beberapa kalangan elit negara.

d. Pernyataan ketua umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dalam

pidatonya yang menentang adanya Perda Syariah dan Perda Injil.

2. Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka masalah ini

hanya dibatasi pada Respon Tokoh MUI Pusat terhadap penolakan penerapan

Regulasi Bernuansa Agama.

3. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang sudah penulis uraikan di atas, maka

pertanyaan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

a. Bagaimana pemahaman Tokoh MUI tentang Regulasi Bernuansa Agama?

b. Bagaimana respon Tokoh MUI terhadap penolakan penerapan Regulasi

Bernuansa Agama?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Yang menjadi pokok tujuan penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui pemahaman tokoh MUI tentang Regulasi Bernuansa

Agama.

b. Untuk mengetahui respon dan solusi tokoh MUI terhadap penolakan

penerapan Regulasi Bernuansa Agama.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Secara akademik, hasil penelitian ini bermanfaat untuk menambah

wawasan dan pengetahuan penulis dan pembaca tentang politik dan hukum

melalui respon MUI terhadap regulasi bernuansa agama.

Page 18: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

8

b. Secara praktis, hasil penelitian ini bermanfaat untuk menambah

inventarisasi kekayaan intelektual di lingkungan akademik UIN Syarif

Hidayatullah umumnya dan Fakultas Syariah dan Hukum khususnya

melalui hasil penelitian penulis mengenai respon MUI terhadap regulasi

bernuansa agama.

D. Review Studi Terdahulu

Dalam rangka mendukung penelitian ini, peneliti telah berusaha melakukan

penelusuran terhadap berbagai karya-karya ilmiah baik yang berbentuk buku, jurnal

dan sebagainya yang mempunyai relevansi dengan penelitian ini. Adapun hasil

penelusuran yang peneliti dapatkan, antara lain:

Syukron Kamil, dalam bukunya yang berjudul lengkap “Syariah Islam dan

HAM: Implikasi Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan,

dan Non Muslim” ini merupakan hasil riset CSRC UIN Jakarta selama hampir satu

tahun (Pada Tahun 2006). Penelitian ini adalah penelitian lapangan melalui survey

dengan margin of error 3% pada tingkat kepercayaan 95% yang diperkuat oleh

wawancara dan studi dokumen. Ada beberapa temuan dalam buku ini yang patut

untuk dicermati. Temuan tersebut mengkonfrontir perspektif-perspektif Syariah

tradisional yang tidak selaras dengan HAM universal. Mencermati konteks dan

dinamika sosial-politik nasional yang tengah berlangsung.

Nur RohimYunus, Penerapan Syariat Islam terhadap Peraturan Daerah

dalam Sistem Hukum Nasional Indonesia, dalam Jurnal Studia Islamika. Fokus

pembahasannya mengenai penerapan Syariat Islam dalam tata Hukum Nasional.

Peneliti juga mencoba untuk mengkaji karya ilmiah yang berupa skripsi. Di

antaranya skripsi yang ditulis oleh Andi Sofian Efendi Mahasiswa Fakultas Syariah

dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, yang berjudul “Pengaruh Fatwa Majelis

Ulama Indonesia (MUI) terhadap Proses Pengambilan Kebijakan Pemerintah

Indonesia.”Pembahasan skripsi tersebut lebih terfokus kepada peran fatwa MUI

dalam proses lahirnya SKB tiga Mentri tentang Ahmadiyah dan lahirnya Undang-

undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

Page 19: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

9

Skripsi karya Esa Mariyani Mahasiswa Fakultas Syariah UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, yang berjudul “Perda Keagamaan dalam Pelaksanaan

Otonomi Daerah di Kota Solok – Sumatera Barat” fokus pembahasan pada

penelitian ini adalah mengenai motif dan strategi pemerintah Solok dalam

menerapkan sejumlah Perda Keagamaan serta dampak Perda Keagamaan terhadap

masyarakat Kota Solok.

Dari semua karya ilmiah dengan masing-masing titik fokus pembahasan

yang menarik. Penulis melihat adanya celah untuk membahas tema dan obyek

penelitian yang sama, tapi dengan titik fokus yang berbeda. Dengan judul “Respon

Tokoh Majelis Ulama Indonesia (MUI) terhadap Regulasi Bernuansa Agama”,

penelitian yang penulis lakukan ini lebih terarah kepada tanggapan MUI soal

perdebatan penerapan regulasi bernuansa agama yang akhir-akhir ini mulai

diperdebatkan kembali oleh beberapa kalangan elit politik.

E. Metode Penelitian

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Jenis penelitian skripsi ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian

kualitatif didefinisikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data

berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat

diamati.10 Sejalan dengan pendapat Lexy di atas, maka data-data penelitian ini

nantinya akan diperoleh secara lisan maupun secara tertulis. Sedangkan,

metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

sosiologis yaitu metode untuk mengetahui efektifitas penerapan regulasi

bernuansa Agama melalui pengamatan tokoh MUI sebagai warga Negara

Indonesia. Metode ini dipilih karena metode sosiologis relevan dengan

penelitian yang dilakukan oleh penulis yakni dengan mengaitkan hukum

kepada usaha untuk mencapai tujuan-tujuan serta memenuhi kebutuhan-

10Lexy J Maleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2005),

h., 3

Page 20: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

10

kebutuhan dalam masyarakat dan memusatkan perhatian pada pengamatan

mengenai efektivitas dari hukum.11

Kemudian pendekatan yang peneliti gunakan adalah pendekatan

empiris. Pendekatan ini digunakan untuk mendapatkan pandangan tokoh MUI

mengenai istilah regulasi bernuansa Agama (Perda Syariah), yang mana

pemahaman akan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin dari MUI tersebut

merupakan sandaran bagi peneliti dalam membangun suatu argumentasi hukum

dalam memecahkan isu yang dihadapi.12

2. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini ada dua, yaitu:

a. Data primer dengan menggunakan metode interview

Data ini peneliti dapatkan melalui wawancara kepada informan

(MUI), dalam wawancara ini saya mengambil lima informan tokoh MUI

yakni Drs. H. Masduki Baidlowi, M.Si, Prof. Dr. Mohammad Baharun,

Prof. Dr. Zainal Arifin Hoesein, S.H, M.H, Abdul Kholik, S.H, M.Si, Drs.

Zafrullah Salim, S.H, M.Hum,. Metode ini digunakan untuk mendapatkan

data dan informasi tentang pemahaman MUI terhadap regulasi bernuansa

agama, serta respon MUI terhadap penolakan regulasi bernuansa agama.

Hal ini dilakukan dengan cara tanya jawab secara langsung dengan para

tokoh yang benar-benar mengetahui tentang permasalahan dalam

penelitian ini.

b. Data sekunder.

Adapun data sekunder dari penelitian ini adalah semua bahan yang

memberikan penjelasan mengenai data primer berupa tulisan-tulisan, baik

dalam bentuk buku, jurnal, artikel, maupun melalui informasi media

internet.

11Fahmi Muhammad Ahmadi & Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Ciputat:

Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2010), h., 10

12Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008), h., 95

Page 21: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

11

Sedangkan teknik pengumpulan data yang akan penulis gunakan

adalah wawancara secara langsung kepada beberapa anggota MUI

sebagaimana disebutkan di atas. Selain itu, melalui metode dokumentasi yang

nantinya akan penulis dapatkan melalui buku-buku, jurnal, surat kabar dan

lain sebagainya.

3. Teknik Analisis Data

Setelah semua data terkumpul, maka langkah berikutnya adalah

pengolahan dan analisis data. Teknik analisis data yang digunakan penulis yaitu

dengan menggunakan teknik analisa data kualitatif dengan cara mengolah data

kemudian diuraikan untuk memberi gambaran (deskriptif), uraian-uraian yang

berisi penafsiran dan penalaran terhadap gambaran yang diperoleh, serta

argumentasi rasional (analitik) untuk menjelaskan dan mempertahankan

gambaran yang diperoleh. Objek analisis penulis adalah data hasil wawancara,

yang disempurnakan dengan data sekunder lainnya seperti buku, jurnal, surat

kabar dan lain sebagainya.

4. Teknik Penulisan

Pada skripsi ini, penulis menggunakan teknik penulisan skripsi yang

mengacu pada Pedoman Penulisan Skripsi Tahun 2017 Fakultas Syariah dan

Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Buku ini

diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

F. Sistematika Pembahasan

Untuk mendapatkan gambaran jelas mengenai materi yang menjadi pokok

pembahasan skripsi dan supaya memudahkan para pembaca dalam mempelajari tata

urutan penulisan skripsi ini, maka penulis menyusun sistematika sebagai berikut:

BAB I Pendahuluan. Pada bab ini dibahas mengenai, Latar Belakang

Masalah, Identifikasi Masalah, Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah,

Tujuan dan Manfaat Penelitian, Review Studi Terdahulu, Metode Penelitian, dan

Sistematika Pembahasan.

Page 22: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

12

BAB II Otonomi Daerah dan Regulasi Bernuansa Agama. Pada bab ini

disajikan Teori Otonomi Daerah, Sejarah Lahirnya Regulasi Bernuansa Agama,

Gambaran Regulasi Bernuansa Agama, Klasifikasi Regulasi Bernuansa Agama,

dan Problematika Penerapan Regulasi Bernuansa Agama.

BAB III Profil Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pada bab ini dibahas

mengenai, Sejarah Berdirinya MUI, Visi dan Misi, Orientasi dan Peran MUI, dan

Struktur Kepengurusan MUI.

BAB IV Respon dan Solusi Tokoh MUI terhadap Perdebatan Regulasi

Bernuansa Agama. Pada bab ini dibahas mengenai Pemahaman Tokoh MUI tentang

Regulasi Bernuansa Agama, Respon Tokoh MUI terhadap Penolakan Regulasi

Bernuansa Agama, dan Solusi MUI terhadap Perdebatan Regulasi Bernuansa

Agama.

BAB V Penutup. Pada bab ini akan diuraikan kesimpulan sebagai jawaban

atas pertanyaan penelitian yang dirumuskan dalam bab pertama dan diakhiri dengan

saran atau masukan sebagai usulan follow up bagi penulisan skripsi ini.

Page 23: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

13

Page 24: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

13

BAB II

TEORI OTONOMI DAERAH DAN REGULASI

BERNUANSA AGAMA

A. Teori Otonomi Daerah

1. Pengertian Otonomi Daerah

Otonomi atau autonomy berasal dari dua suku kata Bahasa Yunani, yaitu:

“autos” yang berarti “sendiri atau self” dan “nomous” yang berarti “hukum atau

peraturan” yang berarti: memberi aturan sendiri, pemerintahan sendiri; atau hak

untuk memerintah sendiri.1

Menurut Bagir Manan otonomi merupakan kebebasan dan kemandirian

(vrijheiddan zelfstandigheid) satuan pemerintahan yang lebih rendah untuk

mengatur dan mengurus urusan pemerintahan.2 Dalam konteks ketatanegaraan

Indonesia bahwa yang dimaksud dengan pemerintah yang lebih rendah adalah

pemerintah daerah.

Sedangkan pengertian otonomi dalam makna sempit dapat diartikan

sebagai mandiri, sedangkan dalam makna yang lebih luas diartikan sebagai

berdaya. Otonomi daerah dengan demikian berarti kemandrian suatu daerah dalam

kaitan pembuatan dan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri.3

Dalam kaitannya dengan politik dan pemerintahan, otonomi daerah berarti

self government atau condition of living under one’s own laws. Artinya otonomi

daerah adalah daerah yang memiliki legal self sufficiency yang bersifat self

government yang diatur dan diurus oleh own laws. Artinya daerah berhak untuk

1Liat William L. Reece, Dictionary of Philosophy and Religion: Eastern and Western Though,

Exponded Edition, (New York: Humanity Books, 1996), h., 54

2Bagir Manan, Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945, (Bandung: Uniska Press, 1993), h., 3

3 Widjaja, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002),

h., 76

Page 25: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

14

mengatur rumah tangganya sendiri selama tidak bertentangan dengan aturan yang

ada di atasnya.4

Adapun menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 otonomi daerah

adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan

mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat

dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2. Prinsip Otonomi Daerah

Tahun 2014, dengan hadirnya UU No. 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah maka prinsip untuk menjalankan pemerintahan daerah

mengingat wilayah Indonesia yang sangat luas, UUD 1945 beserta perubahannyan

telah memberikan landasan konstitusional mengenai penyelenggaraan

pemerintahan daerah di Indonesia. Di antara ketentuan tersebut antara lain:5

a) Prinsip pengakuan dan penghormatan negara terhadap kesatuan-kesatuan

masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup

dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI.

b) Prinsip daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan

menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

c) Prinsip menjalankan otonomi seluas-luasnya.

d) Prinsip mengakui dan menghormati pemerintahan daerah yang bersifat

khusus dan istimewa.

e) Prinsip badan perwakilan dipilih langsung dalam suatu pemilu.

f) Prinsip hubungan pusat dan daerah harus dilaksanakan secara selaras dan

adil.

4Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,

1999), h., 2

5Muhammad Ridwansyah, “Upaya Menemukan Konsep Ideal Hubungan Pusat-DaerahMenurut

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”, Jurnal Konstitusi, Volume 14, No 4,

(Desember 2017), h., 848

Page 26: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

15

g) Prinsip hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah

daerah harus memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.

h) Prinsip hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfatan sumber daya

alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan

daerah dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.

i) Prinsip pengakuan dan penghormatan negara terhadap satuan-satuan

pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa

3. Asas Pelaksanaan Otonomi Daerah

Asas pelaksanaan pemerintahan daerah ada tuga asas pokok, yakni:

a. Asas Desentralisasi

R. G. Kartasapoetra mendefinisikan desentralisasi sebagai penyerahan

urusan dari pemerintah pusat kepada daerah menjadi urusan rumah tangganya.

Penyerahan ini bertujuan untuk mencegah pemusatan kekuasaan, keuangan

serta sebagai pendemokratisasian pemerintahan untuk mengikutsertakan rakyat

bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan pemerintahan di daerah.6

b. Asas Dekonsentrasi

Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintahan kepada

daerah otonom sebagai wakil pemerintah dan/atau perangkat pusat di daerah

dalam kerangka Negara Kesatuan dan lembaga yang melimpahkan

kewenangan dapat memberikan perintah kepada pejabat yang telah dilimpahi

kewenangan itu mengenai pengambilan atau pembuatan keputusan.7

6R.G Kartasapoetra, Sistematika Hukum Tata Negara, Cet. 1, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), h.,

87-98. 7Noer fauzi dan R. Yando Zakaria, Mensiasati Otonomi Daerah, Cet. 1, (Yogyakarta:

Konsorsium Pembaruan agraria berkerjasama dengan INSIST “Press”, 2000), h., 157

Page 27: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

16

c. Asas Medebewind (Tugas Pembantuan)

Tugas pembantuan (medebewind) adalah keikutsertaan pemerintah

daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah yang kewenangannya lebih luas

dan lebih tinggi di daerah tersebut. Tugas pembantuan (medebewind) adalah

salah satu wujud dekonsentrasi, akan tetapi pemerintah tidak membentuk badan

sendiri untuk itu, yang tersusun secara vertikal. Jadi madebewindmerupakan

kewajiban-kewajiban untuk melaksanakan peraturan-peraturan yang ruang

lingkup wewenangnya bercirikan 3 (tiga) hal yaitu :

1) Materi yang dilaksanakan tidak termasuk rumah tangga daerah-daerah

otonom untuk melaksanakannya.

2) Dalam menyelenggarakan pelaksanaan itu, daerah otonom itu

mempunyai kelonggaran untuk menyesuaikan segalasesuatudengan

kekhususan daerahnya sepanjang peraturan mengharuskan memberikan

kemungkinan untuk itu.

3) Yang dapat diserahi utusan medebewindhanya daerah-daerah otonom

saja, tidak mungkin alat-alat pemerintahan lain yang tersusun secara

vertikal.

B. Sejarah Lahirnya Regulasi Bernuansa Agama

Dilihat dari fase legislasi ketatanegaraan, maraknya Perda syari’at Islam adalah

fase atau tahapan ketiga upaya formalisasi syariat Islam. Tiga fase tersebut adalah

sebagai berikut :8

a. Fase pertama adalah fase konstitusionalisasi syari’at Islam. Fase ini terjadi

dalam tiga kali proses pembuatan konstitusi di tahun 1945, 1946-1959 dan 1999-

2002 dimana masalah relasi Islam dan Negara selalu menjadi perdebatan yang

tidak kunjung selesai. Ditahun 1945, konstitusionalisasi syari’at Islam

8Denny Indrayana, “Kompleksitas Peraturan Daerah Bernuansa Syari’at Perspektif Hukum

Tata Negara”, Jurnal Yustisia Edisi 81 September-Desember 2010, h., 95-97

Page 28: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

17

menghasilkan Piagam Jakarta yang terkenal dengan tujuh katanya, “dengan

kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya”. Tujuh kata Piagam

Jakarta ini yang awalnya merupakan bagian dari Pembukaan UUD, akhirnya

dihilangkan dengan prakarsa dari Muhammad Hatta. Kemudian di tahun 1956-

1959, upaya untuk kembali menjadikan Islam sebagai dasar Negara dan

memasukkan tujuh kata Piagam Jakarta ke dalam konstitusi yang dibuat

konstituante kembali tidak tercapai setelah Presiden Soekarno

mengintervensinya dengan mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Akhirnya, di tahun 1999-2002, upaya untuk kembali memasukkan tujuh kata

Piagam Jakarta tertolak karena kurangnya dukungan politik di MPR, maupun

dukungan sosiologis dari masyarakat.

b. Fase kedua adalah formalisasi syari’at Islam ditingkat Undang-undang, terutama

dengan lahirnya Undang-undang nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan,

yang pada prinsipnya tidak sedikit mengadopsi nilai-nilai hukum Islam.

Pamungkas “Undang-undangisasi” syari’at Islam adalah ditetapkannya UU

Nomor 44 Tahun 1999 tentang keistimewaan Daerah Istimewa Aceh dan UU

Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa

Aceh Darussalam yang telah diubah menjadi UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang

Pemerintahan Aceh. Dalam undang-undang tentang Aceh inilah diperkuat

aturan hukum sekaligus pintu pertama dan utama bagi secara resmi

diberlakukannya syari’at Islam di salah satu provinsi di bumi pertiwi.

c. Fase ketiga yaitu pengadopsian syari’at Islam ke dalam Peraturan Daerah

(Perda). “Perdaisasi” syari’at Islam ini menjamur setelah proses reformasi

bergulir sejak tahun 1999 dan semakin marak. Secara legal-formal pintu

perdaisasi syari’at Islam itu terbuka lebih lebar ketika konsep desentralisasi

diakui dengan ditetapkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

Daerah. Interpretasi otonomi yang luas berdasarkan UU tersebut diartikan

beragam oleh daerah, salah satunya adalah dengan mereinkarnasi identitas-

identitas lokal yang dirasa pernah diberangus oleh praktik sentralisasi orde baru.

Page 29: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

18

Perda-perda bernuansa syari’ah ini tumbuh subur di Indonesia antara lain

karena inisiatif yang dibuat di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Yakni Pasal

6 Perda No. 6 Tahun 2003 Kabupaten Bulukumba, yang isinya memuat aturan : “Setiap

pasangan calon pengantin yang akan melaksanakan pernikahan wajib mampu

membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar.”9

C. Gambaran Regulasi Bernuansa Agama

Perlu dijelaskan terlebih dahulu menagapa dalam penelitian ini penulis

menggunakan istilah regulasi bernuansa agama:

Pertama, untuk meluruskan asumsi seluruh lini masyarakat bahwa aturan yang

selama ini diperdebatkan tidak hanya berupa Perda, melainkan dalam bentuk regulasi

yang lainnya. Robin L. Bush mencatat, setidaknya terbit sekitar 78 perda bernuansa

agama yang tersebar di 52 kabupaten dan kota di seluruh wilayah Indonesia. Jumlah

tersebut belum termasuk surat edaran, surat keputusan gubernur, bupati dan walikota

maupun draf perda yang belum diputuskan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

(DPRD).10 Untuk itulah penulis menggunakan istilah regulasi supaya mengcover

seluruh aturan yang diperdebatkan.

Kedua, istilah agama untuk mengeneralkan muatan aturan yang diperdebatkan.

Sebab, beberapa aturan yang dipertentangkan memuat nilai ajaran dari beberapa

agama. Misalnya, perda tentang Miras.

Ketiga, penelitian ini bersifat ilmiah. Untuk itu, digunakanlah istilah akademis

sehingga dapat dipertanggungjawawbkan secara akademis.

9Ihsan Ali Fauzi, Saeful Mujani, Gerakan Kebebasan Sipil Studi Dan Advokasi Kritis Atas

Perda Syari’ah, (Jakarta: Nalar, 2009, h., 2

10Rumadi dkk, Islamisme, Konflik dan Demokrasi, (Jakarta: The Wahid Institute, 2011), h.,

13-14

Page 30: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

19

Adapun macam-macam regulasi keagamaan yang dimaksud oleh penulis:

Kota/Kabupaten/Provinsi Uraian ringkas Perda

Nanggroe Aceh

Darussalam

UU No 18/2001 tentang Otonomi Khusus Aceh

memberi kewenangan penerapan syariat Islam.

Masih diperdebatkan apakah kewenangan

Mahkamah Syariat juga akan mencakup semua

penduduk, termasuk non-Muslim.

Padang Pariaman Perda No 2/2004 tentang Pencegahan, Penindakan

dan Pemberantasan Maksiat

Solok 1. Perda No 10/2001 tentang Wajib Baca Al-Quran

untuk Siswa dan Pengantin.

2. Perda No 6/2002 tentang Wajib Berbusana

Muslim

Sumatera Barat Perda No 11/2001 tentang Pemberantasan dan

Pencegahan Maksiat

Kota Padang Instruksi Wali Kota tgl 7 Maret 2005 tentang

Pemakaian Busana Muslim

Pasaman Barat Wajib berbusana Muslim untuk siswa sekolah

Riau Awal April HTI dan PPP sepakat untuk membentuk

Komite Penegakkan Syariat Islam di Riau

Kepulauan Riau Pemkot Batam mengeluarkan Perda No 6/2002

tentang Ketertiban Sosial, yang isinya

pemberantasan pelacuran, pengaturan pakaian warga

dan pemberantasan kumpul kebo

Bengkulu 1. Perda No 24/2000 tentang Pelarangan Pelacuran

Page 31: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

20

2. Instruksi Wali Kota No 3/2004 tentang Program

Kegiatan Peningkatan Keimanan

Sumatera Selatan Perda No 13/2002 tentang Pemberantasan Maksiat

Palembang Perda No 2/2004 tentang Pemberantasan Pelacuran

Banten (Serang,

Pandeglang, dan Lebak)

Imbauan agar perempuan memakai jilbab

Tangerang Perda No 8/2005 tentang Pemberantasan Maksiat

DKI Jakarta Akhir April, MUI Jakarta mendesak DPRP

membahas kemungkinan penerapan perda anti-

maksiat

Depok DPRD sedang membahas penerbitan Perda

pemberantasan pelacuran dan minuman keras seperti

di Tangerang

Tasikmalaya 1. Surat Edaran Bupati tahun 2001 tentang

peningkatan kualitas keimanan dan ketakwaan

2. Perda No. 28 tahun 2000 ttg Pemberantasan

Pelacuran

3. Perda No. 5 tahun 2004 ttg Pengendalian dan

Pengawasan Minuman Keras

Garut 1. Perda No 6/2000 tentang Kesusilaan

2. Bupati juga membentuk Lembaga Pengkajian

Persiapan Penerapan Syariat Islam pada 2002

Kabupaten Cianjur Pencanangan Program Gerakan Masyarakat

Berakhlaqul Karimah, September 2001

Page 32: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

21

Kota Cianjur Surat Edaran Wali Kota tanggal 29 Agustus 2003

tentang wajib berjilbab untuk siswa sekolah

Indramayu 1. Perda No 7/1999 tentang Prostitusi

2. Perda No. 30 tahun 2001 ttg Pelarangan

Peredaran dan Penggunaan Minuman Keras

3. Perda No. 2 tahun 2003 ttg Wajib Belajar

Madrasah Diniyah Awaliyah

4. Perda No. 7 tahun 2005 ttg Pelarangan Minuman

Beralkohol

5. Edaran Bupati tentang wajib busana Muslim dan

pandai baca Al-Quran untuk siswa sekolah

Cirebon (Kab) 1. Perda No. 77/2004 ttg Pendidikan Madrasah

Diniyah Awaliyah

2. Perda No. 05/2002 ttg Larangan Perjudian,

Prostitusi, dan Minuman Keras

Sukabumi 1. Keputusan Bupati No. 114/2003 ttg Susunan

Organisasi dan Personalia Pengurus Badan

Pengkajian dan Pengembangan Syariat Islam

(BPPSI) Sukabumi

2. Intruksi Bupati No. 04/2004 ttg Pemakaian

Busana Muslim bagi Siswa dan Mahasiswa di

Sukabumi

3. Perda No. 11 th 2005 ttg Penertiban Minuman

Beralkohol

4. Perda No. 12 tahun 2005 ttg Pengelolaan Zakat

Page 33: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

22

Pamekasan Surat Edaran Bupati No 450/2002 tentang

Pemberlakuan Syariat Islam

Jember Perda No 14/2001 tentang Penanganan Pelacuran

NTB DPRD sedang merancang Perda wajib berbusana

Muslim

Takalar Penerapan Perda berbusana Muslim

Sulawesi Selatan DPRD pertengahan April mengesahkan Perda

tentang pendidikan Al-Quran

Eurekang Perda No 6/2005 tentang Busana Muslim dan Perda

pandai baca-tulis Al-Quran

Gorontalo Perda No 10/2003 tentang Pencegahan Maksiat

Gowa Mewajibkan pemakaian jilbab bagi karyawan

pemerintahan dan penambahan jam pelajaran agama

Islam

Kabupaten Maros Perda No 15/2005 tentang Gerakan Bebas Buta

Aksara Al-Quran

Sinjai Menerapkan aturan penggunaan jilbab untuk

pegawai negeri sipil

Bulukumba Perda No 4/2003 tentang Busana Muslim dan Perda

kemampuan baca Al-Quran bagi siswa dan calon

pengantin

Yogyakarta (Kodya) Kep. Walikota No 169 th 2006 ttg Pembentukan tim

kebijakan dan tim pemberantasan perjudian,

kemaksiatan, penyalahgunaan narkotika,

psikotropika, dan zat adiktif, minuman keras,

Page 34: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

23

kenakalan remaja, pornografi, serta bentuk kekerasan

lainnya

Namun, dari beberapa argumentasi di atas ada catatan penting dari penulis

bahwa yang menjadi fokus penelitian adalah perdebatan mengenai peraturan daerah

bernuansa Syariah.

1. Definisi Perda Syariah

Salah satu bentuk undang-undang atau “statute” yang dikenal dalam literatur

adalah “locale statute” atau “local wet”, yaitu undang-undang yang bersifat lokal. Di

lingkungan Negara-negara federal seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Jerman,

dikenal adanya pengertian mengenai konstitusi federal (federal constitution) dan

konstitusi Negara-negara bagian (state constitution) seperti di Amerika Serikat

misalnya setiap Negara bagian memiliki naskah undang-undang dasar sendiri-sendiri,

di samping konstitusi Federal, yaitu the Constitution of The United State of America.11

Di lingkungan negara-negara yang susunannya berbentuk negara kesatuan

(unitary state, eenheidsstaat), konstitusi atau undang-undang dasar hanya dikenal di

tingkat pusat saja. Sedangkan, di daerah-daerah bagian, (provinsi-provinsi atau

prefecture), tidak ada konstitusi yang tersendiri. Namun kemudian, dalam literatur

seperti dalam pandangan Wolhoff, di daerah-daerah dalam lingkungan negara-negara

kesatuan, juga terdapat konstitusi yang tersendiri pula. Menurutnya, secara teoritis,

yang berfungsi sebagai konstitusi untuk daerah-daerah bagian dalam Negara kesatuan

itu adalah undang-undang tentang pemerintahan daerah yang disusun sedemikian

rupa sehingga berfungsi sebagai pedoman yang bersifat konstitutif seperti undang-

undang dasar bagi daerah-daerah provinsi atau prefecture itu masing-masing.

Berkaitan dengan pengertian “local constitution” atau “local grondwet”

tersebut di atas, maka Perda juga dapat dilihat sebagai bentuk undang-undang yang

11Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang (Jakarta: Konstitusi Press, 2008), h., 91-92

Page 35: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

24

bersifat lokal. Meskipun dalam tata urutan menurut ketentuan Undang-undang

Nomor 23 Tahun 2004 dan penggantinya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014

tentang Pemerintahan Daerah, Perda itu adalah bentuk peraturan perundang-

undangan di bawah Undang-Undang dan Perppu, Peraturan Pemerintah, dan

Peraturan Presiden. Akan tetapi, dari segi isinya maupun mekanisme

pembentukannya, Perda itu mirip dengan Undang-Undang. Seperti undang-undang

maka organ negara yang terlibat dalam proses pembentukan Perda itu adalah lembaga

legislatif dan eksekutif secara bersama-sama.12

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 10 Undang-undang Nomor 32 Tahun

2004 tentang Pemerintah Daerah yang dimaksud dengan Peraturan daerah adalah

Peraturan Daerah Provinsi dan/atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.13 Lebih lanjut

dijelaskan oleh seorang ahli hukum bahwa Peraturan Daerah (Perda) adalah peraturan

yang dibuat oleh kepala daerah provinsi maupun Kabupaten/Kota bersama-sama

dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi maupun

Kabupaten/Kota, dalam ranah pelaksanaan penyelenggaraan otonomi daerah yang

menjadi legalitas perjalanan eksekusi pemerintah daerah.14

Dalam perkembangannya, pada peraturan daerah ini dikenal adanya istilah

Peraturan Daerah (Perda) Syariah. Menurut Ija Suntana bahwa yang dimaksud

dengan Perda Syariah adalah peraturan yang bermuatan nilai dan/atau norma Islam

yang bersumber dari al-Quran dan al-Sunah yang berlaku di suatu daerah.15

Meskipun sampai saat ini tidak ada perda yang secara eksplisit menyebut

dirinya sebagai Perda Syariah, namun isinya secara implisit bernuansa Syariat Islam.

12Dayanto dan Asma Karim, Peraturan Daerah Responsif Fondasi Teoritik dan Pedoman

Pembentukannya, (Yogyakarta: Deepublish, 2015), h., 170-171

13A. Zarkasi, “Pembentukan Peraturan Daerah Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan”,

Jurnal Ilmu Hukum Inovatif , Vol. 2 No. 4, h., 104

14Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-undangan, (Yokyakarta: Kanisius, 2007), h., 202

15Ija Suntana, Poitik Hukum Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2014), h., 389

Page 36: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

25

Istilah Perda Syariah digunakan secara luas terhadap sejumlah Perda yang isinya

mengatur kehidupan masyarakat berdasarkan ketentuan ajaran tertentu, yakni ajaran

Islam.16

Perda semacam ini pertama muncul di Aceh yang dikenal dengan istilah

Qanun. Dalam perkembangannya, qanun dapatlah dikatakan identik dengan undang-

undang di Negara Islam atau negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam,

berupa:

a) Mengatur hal-hal yang berkaitan antar sesama manusia (terutama sekali wilayah

muamalat atau hal-hal keduniaan). Ada qanun (undang-undang) mengatur

masalah-masalah yang subtansinya berkaitan dengan ibadah. Di Indonesia

misalnya, ada qanun yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan zakat, wakaf,

dan haji.

b) Berisi Hukum Islam yang sudah jelas ketentuan pokoknya dari nasnya dan dalam

waktu bersamaan kebijakan publik atas dasar ‘urf (adat/tradisi yang baik),

istihsan, dan mashlahah.

c) Qanun yang secara eklektis memilah dan memilih materi yang berasal dari

sekian banyak perbedaan pendapat (ikhtilaf) di kalangan ahli Hukum Islam

(mujtahidin/fuqaha) untuk kemudian disusun dan ditetapkan sebagai peraturan

yang harus ditaati oleh seluruh masyarakat. Terutama sekali ketika qanun ini

merupakan produk lembaga legislatif, maka qanun juga berarti mempunyai nilai

konsensus atau ijma’, meskipun dianggap terbatas pada negara tertentu saja.

d) Dalam beberapa hal terkadang melewati ketentuan Hukum Islam yang berlaku

dengan alasan untuk kepentingan umum (maslahah mursalah) dengan dalih

siyasah syar’iyyah (Politik Hukum Islam). Dengan alasan ini, terkadang

kepentingan negara atau bahkan pemerintah tampak sangat menonjol. Di sini

16Cholida Hanum, “Analisis Yuridis terhadap Asas-Asas Pembentukan dan Asas-Asas Materi

Muatan Peraturan Daerah: Kajian Perda Syariah di Indonesia”, Jurnal Agama dan Hak Azazi Manusia,

Vol. 7, No. 1, h., 45

Page 37: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

26

sering terjadi konflik antara pendukung konsep qanun, yang terkadang dengan

alasan reinterpretasi terhadap Hukum Islam yang dipahami selama ini, dengan

para ulama yang mengikatkan dirinya untuk konsisten dengan Hukum Islam

yang juga mereka pahami selama ini.

e) Berupa undang-undang resmi produk lembaga legislatif atau lembaga eksekutif

yang mempunyai fungsi legislatif. Dalam sejarahnya, memang tidak selalu

bernama undang-undang dan juga tidak selalu produk legislatif, namun dapat

berupa “Titah Raja” atau penguasa. Dengan demikian, qanun mempunyai

kekuatan mengikat dan sekaligus jika sudah diputuskan akan ada alat negara

untuk eksekusi terhadap putusan atas dasar qanun tersebut.17

Sebagai istilah yang mempunyai pengertian yang sama dengan undang-

undang, maka qanun ini mempunyai kekuasaan atau kekuatan untuk

pelaksanaannya, persis seperti undang-undang. Ada pelaksanaan dan penegakan

hukum, ketika terjadi sengketa atau perkara yang memerlukan putusan hakim di

pengadilan. Negara menyediakan perangkat atau alat untuk memaksakan putusan

hukum tersebut.18

2. Landasan Pembentukan Perda

Beberapa landasan yang perlu diperhatikan secara seksama dalam

membentuk atau membuat sebuah peraturan perundang-undangan antara lain:

a. Landasan Filosofis

Landasan filosofis adalah uraian yang memuat tentang pemikiran terdalam

yang harus terkandung dalam peraturan perundang-undangan, dan pandangan

hidup yang mengarahkan pembuatan peraturan perundang-undangan. Pemikiran

17Ahmad Sukardja dan Mujar Ibnu Syarif, Tiga Kategori Hukum Syariat, Fikih, dan Kanun,

(Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h., 123-124

18Ahmad Sukardja dan Mujar Ibnu Syarif, Tiga Kategori Hukum Syariat, Fikih, dan Kanun, h.,

122

Page 38: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

27

terdalam dan pandangan hidup yang harus tercermin dalam peraturan perundang-

undangan adalah nilai-nilai proklamasi dan pancasila.19

Suatu peraturan perundang-undangan dikatakan memepunyai landasan

filosofi apabila rumusannya atau norma-normanya mendapatkan pembenaran

(rechtvaardiging) apabila dikaji secara filososfis. Jadi, terdapat alasan yang dapat

dibenarkan apabila dipikirkan secara mendalam, khususnya filsafat tentang

pandangan hidup (way of life) suatu bangsa yang berisi nilai-nilai moral dan etika

dari bangsa tersebut. Secara universal harus didasarkan pada peradaban, cita-cita

kemanusiaan dalam pergaulan hidup bermasyarakat sesuai pula dengan cita-cita

kebenaran (idee der waarheid), cita-cita keadilan (idee der gerechtigheid), dan cita-

cita kesusilaan (idee der zedelijkheid).20

Berdasarkan pemahaman seperti ini, maka bagi pembentukan/pembuatan

hukum atau peraturan perundang-undangan di Indonesia harus berlandaskan

pandangan filosofis Pancasila, yakni:

1) Nilai-nilai religiusitas bangsa yang terangkum dalam sila Ketuhanan Yang

Maha Esa;

2) Nilai-nilai Hak Asasi Manusia dan penghormatan terhadap harkat dan

martabat kemanusiaan sebagaimanaterdapat dalam sila kemanusiaan yang

adil dan beradab;

3) Nilai-nilai kepentingan bangsa secara utuh dan kesatuan hukum nasional

yang terangkum dalam sila persatuan Indonesia;

4) Nilai-nilai demokrasi dan kedaulatan rakyat, sebagaimana terdapat di dalam

sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijkasanaan dalam

permusyawaran/perwakilan; dan

19Jazim Hamidi, dkk., Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif, (Jakarta: Prestasi Pustaka,

2008), h., 29

20Dayanto dan Asma Karim, Peraturan Daerah Responsif Fondasi Teoritik dan Pedoman

Pembentukannya, h., 242

Page 39: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

28

5) Nilai-nilai keadilan sosial seperti yang tercantum dalam sila keadilan sosial

bagi seluruh rakyat Indonesia.

b. Landasan Yuridis

Landasan yuridis adalah uraian tentang ketentuan-ketentuan hukum yang

harus diacu (menjadi acuan) dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.21

Landasan tersebut mengisyaratkan agar setiap pembentukan peraturan perundang-

undangan itu memiliki dasar keabsahan, baik yang bersifat formal maupun

material.22

Landasan yuridis dapat dibedakan menjadi:

1) Landasan yuridis formal, yaitu ketentuan-ketentuan hukum yang menunjuk

atau memberi kewenangan kepada lembaga/organisasi atau lingkungan jabatan

untuk membuat suatu peraturan perundang-undangan.

2) Landasan yuridis material, yaitu ketentuan-ketentuan hukum yang menentukan

isi daripada peraturan perundang-undangan yang dibentuk.

c. Landasan Sosiologis

Landasan sosiologis ialah bahwa Perda harus mencerminkan kenyataan

hidup dalam masyarakat. Dengan demikian, Perda yang dibentuk akan dapat

diterima masyarakat, mempunyai daya laku efektif, dan tidak banyak memerlukan

pengerahan institusi atau penegak hukum dalam melaksanakannya.23 Landasan

tersebut terdiri dari fakta-fakta yang merupakan tuntutan kebutuhan masyarakat

yang mendorong perlunya pembuatan peraturan perundang-undangan, yaitu bahwa

21Jazim Hamidi, dkk., Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif, h., 29

22Dayanto dan Asma Karim, Peraturan Daerah Responsif Fondasi Teoritik dan Pedoman

Pembentukannya, h., 243-24

23Jazim Hamidi, dkk., Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif, h., 31

Page 40: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

29

ada sesuatu yang pada dasarnya dibutuhkan oleh masyarakat sehingga perlu

pengaturan.24

d. Landasan Politik

Suatu peraturan perundang-undangan dikatakan mempunyai landasan

politis apabila sejalan dengan garis kebijakan politik yang menjadi dasar

selanjutnya bagi kebijakan-kebijakan dan pengarahan ketatalaksanaan

pemerintahan negara. Dalam hal ini harus sejalan dengan politik (kebijakan) hukum

secara menyeluruh. Di samping itu, harus sejalan dengan kesiapan penegak hukum

yang akan memaksakan norma-norma hukum yang ada dalam peraturan

perundang-undangan.25

Dalam konteks landasan politis ini, maka hukum (khususnya peraturan

perundang-undangan) merupakan alat pencapaian tujuan negara dan juga

didayagunakan sebagai alat pengubah masyarakat (a tool of social engineering)

sesuai dengan arah cita-cita bernegara.26

e. Landasan Ekonomis

Landasan ekonomis ialah bahwa Perda harus memuat juga pertimbangan-

pertimbangan ekonomi, baik mikro maupun makro. Dengan landasan ekonomis

maka Perda yang dibentuk tidak terlalu memberatkan kepada mereka yang terkena

pada saat pelaksanaan.

24Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera, Cara Peraktis Menyusun dan Merancang

Peraturan Daerah (Suatu Kajian Teoritis dan Praktis Disertai Manualnya): Konsepsi Teoritis Menuju

Artikulasi Empiris, (Jakarta: Prenada Media Group, 2009), h., 25

25Montesquieu, dalam Dayanto, Negara Hukum dan Demokrasi: Pergulatan Paradigmatik dan

Kritik Realitas dalam Meluruskan Jalan Bernegara, (Yogyakarta: Deepublish, 2014), h., 201

26Dayanto dan Asma Karim, Peraturan Daerah Responsif Fondasi Teoritik dan Pedoman

Pembentukannya, h., 248

Page 41: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

30

f. Landasan Ekologis

Landasan ekologis ialah bahwa dalam pembentukan Perda harus pula

memuat pertimbangan-pertimbangan ekologis yang berkaitan dengan keselamatan

dan kelestarian lingkungan hidup serta ekosistemnya.27

Urgensi landasan ekologis ini semakin terlihat sejalan dengan munculnya

berbagai ragam kekhawatiran masyarakat tentang penurunan fungsi lingkungan

hidup sebagaimana dinyatakan oleh Jimly Asshidiqie bahwa: “Negara ini sedang

melihat proses kegentingan ekologi yang tak terbendung, bencana ekologis

mengancam, di mana jutaan rakyat terus bertaruh atas keselamatan diri dan

keluarga mereka akibat lemahnya peran negara di dalam melindungi keselamatan

warga negaranya sebagaimana yang diamanatkan oleh konstiusi negara.28

g. Landasan Kultural

Indonesia adalah Negara dengan tingkat keberagaman atau kemajemukan

yang cukup tinggi dan karenanya melahirkan adanya perbedaan-perbedaan: suku,

kebudayaan, adat istiadat dan sebagainya. Perbedaan yang sama juga ada di daerah-

daerah. Oleh karena itu, pembentukan Perda harus pula mempertimbangkan

berbagai kultur yang ada di daerah sehingga tidak menimbulkan konflik dengan

nilai-nilai kultur yang hidup dalam masyarakat.29 Nilai-nilai kultural yang

merupakan kearifan lokal (local genius) penting untuk dirawat bahkan

27M. Solly Lubis, Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan (Bandung: CV Mandar Maju,

2009), h., 15 dalam buku Dayanto dan Asma Karim, Peraturan Daerah Responsif Fondasi Teoritik dan

Pedoman Pembentukannya, (Yogyakarta: Deepublish, 2015), h., 248

28Maret Priyanta, “Penerapan Konsep Konstitusi Hijau (Green Constitution) di Indonesia

sebagai Tanggung Jawab Negara dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup”, Jurnal

Konstitusi, Vol. 7, No. 4, h., 116

29Jazim Hamidi, dkk., Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif, h., 32

Page 42: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

31

dilembagakan sepanjang hal tersebut dapat memberikan nilai emansipatoris bagi

kehidupan sosial dan hukum masyarakat.30

h. Landasan Religi

Sebagai bangsa dan negara yang berke-Tuhan-an, nilai-nilai religi

(keagamaan) memegang peranan penting dalam semua aspek kehidupan manusia.

Karena itu, nilai-nilai religi (keagamaan) juga penting untuk dipertimbangkan

dalam pembentukan Perda, khususnya Perda-perda tertentu yang bersentuhan

dengan nilai-nilai religi tersebut.31

D. Klasifikai Regulasi Bernuansa Agama

Muntoha dalam disertasinya mengkategorikan ada 4 klasifikasi regulasi

bernuansa agama (Perda Syariah) yaitu:32

1. Perda yang terkait dengan isu moralitas masyarakat secara umum (Perda anti

miras, pelacuran dan perzinaan). Peraturan Daerah Tangerang Nomor 07 Tahun

2005 tentang Larangan Distribusi dan Penjualan Minuman Keras dan Peraturan

Daerah Tangerang Nomor 8/2005 tentang Larangan Prostitusi.

2. Perda yang terkait dengan fashion (keharusan memakai jilbab dan jenis pakaian

lainnya di tempat-tempat tertentu). Seperti Peraturan Daerah Kabupaten

Bulukumba Nomor 05 tahun 2003 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah.

3. Perda yang terkait dengan keterampilan beragama (keharusan pandai baca tulis

Al-Quran). Seperti Peraturan Daerah Sulawesi Selatan Nomor 4 tahun 2006

tentang Pendidikan Al-Qur’an di Sulawesi Selatan.

30Dayanto, “Pembentukan Peraturan Daerah yang Baik Sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan

Otonomi Daerah”, Jurnal Syariah dan Hukum Tahkim, Vol. IX, No. 2, h., 146-147

31Jazim Hamidi, dkk., Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif, h., 32

32Muntoha, “Otonomi Daerah dan Perkembangan Peraturan Peraturan Daerah Berbasis

Syariah”, (Jakarta: Disertasi Kearsipan Program Pascasarjana Fakultas Hukum UI, 2008), h., 6

Page 43: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

32

4. Perda yang terkait dengan pemungutan dana sosial dari masyarakat (zakat, infaq

dan sadaqah). Seperti Peraturan Daerah Kabupaten Garut Nomor 1 Tahun 2003

tentang Pengelolaan Zakat, Infaq, dan Shadaqah.

Sedangkan Dani Muhtada mengklasifikasikannya ke dalam tujuh macam,

dengan tambahan:33

1. Perda yang terkait dengan pengembangan ekonomi Islam. Seperti, Perda Baitu

al-Mal wa al-Tamwil (BMT) dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS)

2. Perda tentang keimanan seorang muslim, seperti larangan kegiatan Ahmadiyah

atau sekte-sekte muslim yang dianggap sesat.

3. Perda dalam kategori lain. Seperti, Perda tentang masjid Agung, Pelayanan

Haji, dan Penyambutan Ramadhan.

Jauh sebelum kedua peneliti di atas, Rumadi telah melakukan penelitian terkait

regulasi-regulasi yang dipertentangkan. Dalam hasil penelitiannya disebutkan bahwa

secara umum, muatan atau isi dari regulasi-regulasi bernuansa agama itu dapat dipilih

menjadi beberapa kategori:34

1. Mengatur ketertiban sosial, seperti larangan pelacuran minuman keras,

perzinaan, dan khalwat antara laki-laki dan perempuan bukan mahram di

tempat sepi.

2. Mengatur kualitas keimanan dan ketakwaan, termasuk kewajiban mendirikan

shalat bagi anak sekolah dan calon pengantin.

3. Mengatur tata cara berpakaian, semisal keharusan berjilbab dan berbaju koko

bagi pegawai negeri sipil

33Dani Muhtada, Makalah disampaikan dalam orasi ilmiah dalam rangka Dies Natalis VII

Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang pada tanggal 4 Desember 2014 di Semarang.

34Rumadi dkk, Islamisme, Konflik dan Demokrasi, h., 14

Page 44: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

33

4. Mengatur keterampilan beragama seperti keahlian baca tulis al-Quran dan

bebas buta aksara Arab.

5. Mengatur mobilisasi ekonomi termasuk keharusan zakat, shadaqah, dan infaq.

6. Mengatur ketentuan hukum pidana, termasuk cambuk bagi pemabuk, potong

tangan pencuri dan rajam bagi pelaku zina.

E. Problematika Penerapan Perda Syariah

Kegagalan pemerintah dalam mengentaskan bidang perekonomian, politik dan

terutama sosial juga menjadi alasan kuat lainnya. Mereka berpandangan bahwa

permasalahan sosial hanya bisa diatasi dengan penerapan Syari’at di tengah-tengah

masyarakat. Hal ini mendorong lahirnya banyak Perda yang mengatur permasalahan-

permasalahan seperti pelacuran, judi, dan minuman keras. Ketiga permasalahan

tersebut dinilai sebagai bagian dari sumber utama kejahatan yang terjadi di tengah-

tengah masyarakat, selain juga faktor kemiskinan. Berdasarkan hasil survey yang

dilakukan oleh Center for Study Religion and Culture (CSRC) Universitas Syarif

Hidayatullah. Perda-Perda ini mampu memberikan rasa aman dan meningkatkan

kehidupan religiusitas masyarakat.35

Namun dalam pandangan lain Perda-perda tersebut diduga menuai banyak

permasalahan sosial di samping juga dipandang efektif mengurangi tindakan kriminal.

Banyak yang berpandangan bahwa permasalahan-permasalahan yang ditimbulkan oleh

Perda disebabkan oleh kurang kemampuan pemerintah daerah dalam proses legalisasi

dan pelaksanaan, penegakan dan pengawasan hukum yang mereka produksi sendiri.36

Kemungkinan yang menjadi alasan utama karena Perda Syariah dianggap

kurang demokratis secara prosedural. Hal ini dikarenakan rendahnya partisipasi

35Sukron Kamil et Al, Syari’at Islam Dan HAM: Dampak Perda Syari’at Terhadap Kebebasan

Sipil, Hak-Hak Perempuan, Dan Non-Muslim, ed. Sukron Kamil & Chaider S Bamualim (Jakarta: Center

for the Study of Religion and Culture & Konrad Adenauer Stifftung, 2007), h., 140-141

36Dewi Candranigrum, “Keadilan Islami Menjunjung Tinggi Kesetaraan Gender”, Jurnal

Perempuan 60 (2008), h., 85

Page 45: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

34

masyarakat dalam proses penerbitan Perda Syariah. Artinya agenda penerapan syariah

cenderung dilakukan secara tertutup, tanpa proses dialog yang partisipatif dengan

melibatkan sebanyak mungkin elemen masyarakat, baik komunitas non-Muslim

maupun komunitas Muslim. Fakta ini memperkuat dugaan bahwa perda syariah adalah

agenda politik elit. Sebagaimana telah diungkap, sebagian masyarakat yang diteliti

mengakui adanya politisasi syariah. Hampir sepertiga dari mereka menyatakan bahwa

formalisasi syariah tidak jarang menjadi isu kampanye dalam pemilihan kepala daerah

(Pilkada). Menurut mereka, politisasi syariah juga terjadi dalam pemilu nasional yang

dilakukan partai-partai tertentu untuk menarik perhatian pemilih dalam jumlah yang

besar. Bahkan, perda syariah disinyalir sebagai move politik elite daerah, guna

mengalihkan perhatian rakyat dari penderitaan ekonomi yang dialaminya.37

Salah satu alasan yang memperkuat pernyataan di atas bahwa dalam

implementasinya juga banyak ditemukan sejumlah Perda yang materi muatannya

bersinggungan dengan materi muatan Hak Asasi Manusia yang dimuat dalam

konstitusi. Sebagian kalangan memandang bahwa Perda-Perda ini bertentangan dengan

dengan Hak-hak Asasi Manusia yang telah secara tegas dimuat dalam UUD NRI 1945.

Hak asasi yang yang dimaksud dalam UUD NRI 1945 adalah:

1. Hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya (Pasal 28 A).

2. Hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil

serta perlakuan yang sama dihadapan hukum (Pasal 28 D ayat (1).

3. Hak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan (Pasal 28 D ayat

(3).

4. Hak atas kebebasan memeluk agama dan beribadah menurut keyakinan

agamanya (Pasal 28 E ayat (1).

5. Hak atas kebebasan meyekini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap,

sesuai dengan hati nuraninya (Pasal 28 E ayat (2).

37Reza Fahmi, “Peraturan Daerah Syariah dan Tantangan Kerukunan Umat Beragama”,

Academia Edu, h., 5-6

Page 46: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

35

6. Hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta

benda yang di bawah kekuasaannya serta berhak atas rasa aman dan

perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu

yang merupakan hak asasi (Pasal 28 G).

7. Hak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan

berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat

diskriminatif itu (Pasal 28 I ayat (2).38

Kemudian dalam praktiknya respon terhadap eksistensi Perda Syariah ini telah

membuat daerah-daerah di Indonesia terkotak-kotak. Perda Syariah dinilai

memberikan efek tertekan, perasaan tidak enak bagi pemeluk agama lain. Alhasil, hal

ini menimbulkan daerah dengan mayoritas agama lain contoh Kristen, terdorong

membentuk Perda sesuai ajaran Agama Kristen yaitu Perda Injil.39 Hal ini lah yang

juga menimbulkan anggapan bahwa Perda Syariah diskriminatif terhadap suatu

kelompok tertentu.

Diskriminasi dalam konteks Perda Syariah terjadi karena Pemerintah Daerah

membentuk peraturan yang seharusnya diperuntukkan untuk seluruh warga di daerah

tersebut namun ternyata hanya berlaku untuk pemeluk Agama Islam. Perda Syariah

menunjukkan bahwa pengurusan dan pengaturan otonomi daerah lebih difokuskan

pada Agama Islam saja, sedangkan agama lain dimarginalkan. Selain itu, jika dikaitkan

dengan APBD, penegakan dan segala kewajiban daerah yang timbul dari Perda Syariah

akan dijalankan menggunakan dana dari APBD. Dalam hal ini, dengan semakin

banyaknya Perda Syariah yang dibentuk semakin banyak APBD yang dialokasikan

untuk penegakan Syariat dan ajaran Agama Islam, semakin timpang pula pengaturan

dan pengurusan yang dilakukan daerah terhadap warga daerah, terutama warga non-

38Cholida Hanum, “Analisis Yuridis terhadap Asas-Asas Pembentukan dan Asas-Asas Materi

Muatan Peraturan Daerah: Kajian Perda Syariah di Indonesia”, h., 51

39Komarudin Hidayat & Puput Widjanarko, Reimventing Indonesia menemukan Kembali,

(Jakarta: Mizan, 2008), h., 88

Page 47: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

36

Islam. Fokus Otonomi Daerah menjadi hanya pada pemeluk Agama Islam bukan warga

daerah secara keseluruhan. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan sikap pelaksanaan

otonomi daerah oleh pemerintah daerah yang didasarkan pada agama dan hal ini adalah

tindakan diskriminatif. Padahal, seharusnya otonomi daerah dijalankan tanpa terfokus

pada agama tertentu saja.40

40Patty Regina, dkk., “Perda Syariah dalam Otonomi Daerah”, Academia Edu, (Depok), 12

Mei 2015, h., 6

Page 48: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun
Page 49: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

37

BAB III

PROFIL MAJELIS ULAMA INDONESIA

A. Sejarah Berdirinya MUI

Berdirinya Majelis Ulama Indonesia (MUI) bermula saat ulama Indonesia

menyadari keberadaannya sebagai ahli waris para nabi (warasatu al-anbiya'), pelayan

umat (khadimu al-ummah), dan penerus misi yang diemban oleh Rasulallah, sehingga

senantiasa terpanggil untuk memberikan peran-peran kesejahteraan baik pada masa

penjajahan, pergerakan kemerdekaan dan seluruh perkembangan dalam kehidupan

kebangsaan melalui berbagai potensi dan ikhtiar-ikhtiar kebajikan bagi terwujudnya

masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT.

Sebagai warasatu al-anbiya', Ulama Indonesia berkewajiban untuk

menegakkan kebenaran dan keadilan dengan cara yang baik dan terpuji yang

merupakan kewajiban bersama (fardhun jama'iy). Oleh karena itu, kepemimpinan umat

Islam yang bersifat kolektif merupakan kewajiban (ijab al-Imamah) dalam rangka

mewujudkan masyarakat madani (khair al-ummah). Yang menekankan nilai-nilai

persamaan (al-Musawah), keadilan (al-'adalah) dan demokrasi (syura).1 Selain itu, di

berbagai negara terutama Asia Tenggara ketika itu telah terbentuk Dewan

Ulama/Majelis Ulama atau Mufti selaku penasehat di bidang yang memiliki peran

strategis.2

Dari cita-cita mulia di atas maka didirikanlah lembaga ulama, zu’ama, dan

cendikiawan Islam di Indonesia yang dikenal dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI)

dengan tujuan untuk membimbing, membina dan mengayomi kaum muslimin di

1Tim Penyusun, 35 Tahun Majelis Ulama Indonesia Berkiprah Menjaga Integritas Bangsa,

(Jakarta: Majelis Ulama Indonesia), h., 241-242.

2Abdusshomad Buchori, Bunga Rampai Kajian Islam, (Surabaya: Majelis Ulama Indonesia,

2015), h., 95.

Page 50: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

38

seluruh Indonesia. Lembaga ini didirikan di Jakarta pada tanggal 17 Rajab 1395

Hijriah, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 Masehi.

Tanda berdirinya MUI diabadikan dalam bentuk penandatanganan piagam oleh

51 orang ulama, terdiri dari 26 orang Ketua Majelis Ulama Dati I se-Indonesia, 10

orang ulama unsur organisasi Islam tingkat pusat, 4 orang ulama dari Dinas Rohani

Islam Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), Angkatan Udara (AU), dan Polri,

serta 11 orang ulama yang hadir sebagai pribadi.

Kesepuluh Ormas Islam tersebut adalah: NU (KH. Moh. Dahlan),

Muhammadiyah (Ir. H. Basit Wahid), Syarikat Islam (H. Syafi'i Wirakusumah), Perti

(H. Nur Hasan Ibnu Hajar), Al-Washliyah (Anas Tanjung), GUPPI (KH. S.

Qudratullah), PTDI (H. Sukarsono), DMI (KH. Hasyim Adnan), al-Ittihadiyyah (H.

Zaenal Arifin Abbas) dan Mathlaul Anwar.

Pertemuan alim ulama yang melahirkan MUI tersebut ditetapkan sebagai

Musyawarah Nasional (MUNAS) MUI yang pertama. Dengan demikian, sebelum

adanya MUI Pusat, terlebih dahulu di daerah-daerah telah terbentuk Majelis Ulama.3

Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika Bangsa Indonesia tengah berada

pada fase kebangkitan kembali setelah 30 tahun merdeka, di mana energi bangsa telah

banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap

masalah kesejahteraan rohani umat. Selama dua puluh lima tahun Majelis Ulama

Indonesia sebagai wadah musyawarah para ulama, zu’ama, dan cendekiawan muslim

berusaha untuk:4

1) Memberikan bimbingan dan tuntunan kepada Umat Islam Indonesia dalam

mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridhai Allah;

2) Memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan

kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan

3Abdusshomad Buchori, Bunga Rampai Kajian Islam, h., 93

4https://mui.or.id/sejarah-mui/index.php

Page 51: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

39

bagi terwujudnya hubungan keislaman dan kerukunan antar-umat beragama

dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa;

3) Menjadi penghubung antara ulama dan pemerintah dan penerjemah timbal balik

antara umat dan pemerintah guna menyukseskan pembangunan nasional;

4) Meningkatkan hubungan, serta kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan

cendekiawan muslim dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada

masyarakat khususnya Umat Islam dengan mengadakan konsultasi dan

informasi secara timbal balik.

Dalam perjalanannya MUI berusaha untuk memberikan bimbingan dan

tuntunan kepada Umat Islam dalam mewujudkan kehidupan beragama dan

bermasyarakat yang diridhoi oleh Allah SWT, memberikan nasehat dan fatwa

mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada pemerintah dan

masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya Ukhuwah Islamiyah dan

kerukunan antar umat beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa,

serta menjadi penghubung antara ulama dan umara (pemerintah) dan penerjemah

timbal balik antara umat dan pemerintah guna mensukseskan pembangunan nasional,

serta kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan cendekiawan muslim dalam

memberikan bimbingan dan tuntunan kepada masyarakat khususnya umat Islam

dengan mengadakan konsultasi dan informasi secara timbal balik.

B. Visi, Misi, Orientasi, dan Peran MUI

a. Visi

Terciptanya kondisi kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan, dan

kenegaraan yang baik sebagai partisipasi Umat Islam melalui aktualisasi potensi

Ulama’, Zu’ama, dan Cendekiawan Muslim untuk kejayaan Islam dan Umat

Page 52: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

40

Islam, guna terwujudnya Islam yang penuh rahmat di tengah kehidupan umat

manusia dan masyarakat Indonesia khususnya.5

b. Misi

1) Menggerakkan kepemimpinan dan kelembagaan umat secara efektif,

dengan menjadikan ulama sebagai panutan (qudwah hasanah) sehingga

mampu mengarahkan dan membina Umat Islam dalam menanamkan dan

memupuk Aqidah Islamiyah serta menjalankan Syariah Islamiyah.

2) Melaksanakan Dakwah Islamiyah, amar ma'ruf nahi mungkar dalam

mengembangkan akhlak karimah, agar terwujud masyarakat berkualitas

(khaira ummah) dalam berbagai aspek kehidupan.

3) Mengembangkan Ukhuwah Islamiyah dan kebersamaan dalam

mewujudkan persatuan dan kesatuan umat Islam dalam wadah Negara

Kesatuan Republik Indonesia.6

c. Orientasi

Majelis Ulama Indonesia mempunyai sembilan orientasi perkhidmatan,

yaitu:7

1) Diniyah (Keagamaan)

Majelis Ulama Indonesia adalah wadah pengkhidmatan yang mendasari

semua langkah dan kegiatannya pada nilai dan ajaran Islam. Karena Islam adalah

agama yang berdasarkan pada prinsip tauhid dan mempunyai ajaran yang meliputi

seluruh aspek kehidupan manusia.

5Anwar Abbas, dkk, Pedoman Penyelenggaraan Organisasi Majelis Ulama Indonesia, h., 7

6Abdusshomad Buchori, Bunga Rampai Kajian Islam, h., 99

7Din Samsudin, Pedoman Penyelenggaraan Organisasi Majelis Ulama Indonesia, h., 7-10.

Page 53: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

41

2) Irsyadiyah (Memberi Arahan)

Majelis Ulama Indonesia adalah wadah pengkhidmatan dakwah al-Irsyad,

yaitu untuk mengajak umat manusia kepada kebaikan serta melaksanakan amar

makruf dan nahi mungkar dalam arti yang seluas-luasnya.

3) Ijabiyah (Responsif)

Majelis Ulama Indonesia adalah wadah pengkhidmatan ijabiyah yang

senantiasa memberikan jawaban positif terhadap setiap permasalahan yang di

hadapi masyarakat melalui prakarsa kebajikan (amal saleh) dalam semangat

berlomba dalam kebaikan (fastabiq al-khairat).

4) Hurriyah (Independen)

Majelis Ulama Indonesia adalah wadah pengkhidmatan independen yang

bebas dan merdeka serta tidak tergantung maupun terpengaruh oleh pihak-pihak

lain dalam mengambil keputusan, mengeluarkan pikiran, pandangan dan

pendapat.

5) Ta’awuniyah (Tolong Menolong)

Majelis Ulama Indonesia adalah wadah pengkhidmatan yang mendasari

diri pada semangat tolong-menolong untuk kebaikan dan ketakwaan dalam

membuka kaum dhuafa’ untuk meningkatkan harkat dan martabat, serta derajat

kehidupan masyarakat. Semangat ini dilaksanakan atas persaudaraan di kalangan

seluruh lapisan golongan Umat Islam.

6) Syuriyah (Permusyawaratan)

Majelis Ulama Indonesia adalah wadah pengkhidmatan yang

melaksanakan prinsip musyawarah dalam mencapai permufakatan melalui

pengembangan sikap demokratis, akomodatif dan aspiratif terhadap berbagai

aspirasi yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.

Page 54: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

42

7) Tasamuh (Toleran dan Moderat)

Majelis Ulama Indonesia adalah wadah pengkhidmatan yang

mengembangkan sikap toleransi dan moderat dalam melaksanakan kegiatan

dengan senantiasa menciptakan keseimbangan di antara berbagai arus pemikiran

di kalangan masyarakat sesuai dengan syariat Islam.

8) Qudwah (Panutan/Kepeloporan)

Majelis Ulama Indonesia adalah wadah penghidupan yang mengedepankan

kepeloporan dan keteladanan melalui prakarsa kebajikan yang bersifat perintisan

untuk kebutuhan kemaslahatan umat.

9) Addualiyah (Mendunia)

Majelis Ulama Indonesia adalah wadah pengkhidmatan yang menyadari

dirinya sebagai anggota masyarakat dunia yang ikut aktif memperjuangkan

perdamaian dan tatanan dunia yang sesuai dengan ajaran Islam. Sesuai dengan itu

Majelis Ulama Indonesia menjalin hubungan dan kerjasama dengan Lembaga/

Organisasi Islam Internasional di berbagai Negara.

d. Peran

Peran utama Majelis Ulama Indonesia ada lima, yaitu:8

1) Sebagai Pewaris Tugas Para Nabi (Warasat al-Anbiya)

Majelis Ulama Indonesia berperan sebagai pewaris tugas-tugas para

Nabi, yaitu menyebarkan Agama Islam serta memperjuangkan terwujudnya

suatu kehidupan sehari-hari secara arif dan bijaksana yang berdasarkan Islam.

Walaupun dengan konsekuensi akan menerima kritik, tekanan dan ancaman

karena perjuangannya bertentangan dengan sebagian tradisi, budaya dan

peradaban manusia.

8Din Samsudin, Pedoman Penyelenggaraan Organisasi Majelis Ulama Indonesia, h., 10.

Page 55: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

43

2) Sebagai Pemberi Fatwa

Majelis Ulama Indonesia berperan sebagai pemberi fatwa bagi umat

Islam baik diminta maupun tidak diminta. Sebagai lembaga pemberi fatwa

MUI mengakomodasikan dan menyalurkan aspirasi Umat Islam di Indonesia

yang sangat beragam aliran paham dan pemikiran serta organisasi

keagamaannya.

3) Sebagai Pembimbing dan Pelayan Umat (Ri’ayat wa Khadimal Ummah)

Majelis Ulama Indonesia berperan sebagai pelayan umat (khadim al-

ummah) itu melayani umat Islam dan masyarakat luas dalam memenuhi

harapan, aspirasi dan tuntutan mereka.

4) Sebagai Gerakan Islam Wa al-Tajdid

Majelis Ulama Indonesia berperan sebagai pelopor ishlah yaitu gerakan

pembaharuan pemikiran Islam. Apabila terjadi perbedaan di kalangan Umat

Islam, maka MUI dapat menempuh jalan tadjid yaitu gerakan pembaharuan

pikiran Islam dan dengan jalan taufiq (kompromi) ataupun tarjih (mencari

hukum yang lebih kuat). Dengan ini diharapkan tetap terpelihara semangat

persaudaraan di kalangan umat Islam Indonesia.

5) Sebagai Penegak Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Majelis Ulama Indonesia berperan sebagai wahana penegakan amar

makruf nahi munkar, yaitu dengan menegaskan kebenaran sebagai kebenaran

dan kebatilan dengan penuh hikmah dan istiqomah.

Page 56: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

44

e. Asas, Sifat dan Fungsi Lembaga MUI

Terhitung sejak berlangsungnya Munas VI MUI tahun 2000 sesuai dengan

perubahan dan penyempurnaan AD/ART, beberapa perubahan atas asas dan

susunan organisasi MUI yaitu:9

1. Asas MUI yang semula pancasila, berubah menjadi Islam

2. MUI merupakan organisasi yang bersifat keagamaan, kemasyarakatan

independen, dalam arti tidak terikat atau menjadi bagian dari pemerintah atau

kelompok manapun. Independensi juga harus tercermin dalam berfikir,

bersikap, bertindak dan berbuat. MUI tidak berafiliasi kepada salah satu

organisasi sosial politik.

3. Susunan organisasi semula hanya di propinsi, kota/kabupaten, telah diperluas

hingga ke tingkat kecamatan.

4. Hubungan organisasi MUI Pusat dengan MUI Propinsi, MUI Kota/Kabupaten

yang semula bersifat horizontal aspiratif menjadi koordinatif, aspiratif

struktural administratif. Dalam arti, tak lagi bersifat horizontal aspiratif, tapi

lebih kepada vertikal koordinatif.

5. Hubungan antara MUI dengan organisasi/kelembagaan Islam bersifat

konsultatif dan kemitraan. MUI bukan supra struktur yang membawahi atau

atasan Ormas Islam. MUI bukan organisasi federasi, tetapi merupakan wadah

musyawarah.

C. Struktur Kepengurusan MUI

Dalam Pasal 9 Pedoman Dasar Majelis Ulama Indonesia tentang Susunan

Pengurus bahwa susunan kepengurusan MUI di semua tingkatan secara umum,

9Din Samsudin, Pedoman Penyelenggaraan Organisasi Majelis Ulama Indonesia, h., 18-22.

Page 57: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

45

meliputi: 1. Dewan Pertimbangan, 2. Dewan Pimpinan Harian; dan 3. Anggota Pleno,

Komisi dan Lembaga.10

1. Dewan Pertimbangan

Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia berfungsi untuk: a.

memberikan pertimbangan, nasihat, bimbingan dan bantuan kepada Dewan Pimpinan

Majelis Ulama Indonesia dalam pelaksanaan usaha Majelis Ulama Indonesia sesuai

dengan tingkatannya masing-masing; b. membahas isu-isu strategis yang dihadapi

umat Islam dan solusinya, serta direkomendasikan ke pimpinan harian.11

Adapun susunan Dewan Pertimbangan MUI Pusat pada Periode 2015-2020

yaitu: 1) Ketua: Prof. Dr. HM. Din Syamsuddin, MA 2) Wakil Ketua: Prof. Dr. H.

Azyumardi Azra., Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, MA., Prof. Dr. H. Didin Hafiduddin,

MA 3) Sekretaris: Prof. Dr. H. Noor Ahmad, MA., Dr. H. Bachtiar Natsir., Drs. H.

Natsir Zubaidi.

2. Dewan Pimpinan Harian

Kepengurusan MUI di setiap jenjang berlangsung lima tahun. Sampai 2015

MUI Pusat telah menyelenggarakan delapan kali Musyawarah Nasional (Munas) dan

delapan periode.12 Kemudian pada tahun 2015 dilaksanakan Munas yang ke-sembilan

karena merupakan tahun terakhir periode yang ke-delapan.13 Selama delapan periode

10Pedoman Dasar Majelis Ulama Indonesia, http://test.islamwasathiyah.com/wp-

content/uploads/2016/04/1.-PO_PD-PRT-MUI-HASIL-MUNAS-2015_1-42.pdf diakses pada Rabu, 10

April 2019 Pkl. 11:46

11Pedoman Rumah Tangga Majelis Ulama Indonesia, http://test.islamwasathiyah.com/wp-

content/uploads/2016/04/1.-PO_PD-PRT-MUI-HASIL-MUNAS-2015_1-42.pdf diakses pada Senin, 22

April 2019 Pkl. 12:41

12Abdusshomad Buchori, Bunga Rampai Kajian Islam, h., 96-97

13Profil Majelis Ulama Indonesia, https://mui.or.id/kepengurusan-mui/# diakses pada Hari

Kamis, 7 Februari 2019 Pkl. 15:26

Page 58: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

46

dan periode yang ke-sembilan tersebut telah terpilih beberapa dewan pengurus harian,

yaitu:

1) Periode I (1975-1980), Ketua Umum Prof. Dr. Hamka, Sekretaris Umum Drs.

H. Kafrawi Ridwan, MA.

2) Periode II (1980-1985), Ketua Umum KH. M. Syukri Ghozali, Sekretaris Umum

H.A. Burhani Tjokrohandoko (sebelum masa bakti berakhir H.A. Burhani wafat,

digantikan H.A. Qadir Basalamah).

3) Periode III (1985-1990), Ketua Umum KH. Hasan Basri, Sekretaris Umum H.S.

Projokusumo

4) Periode IV (1990-1995), Ketua Umum KH. Hasan Basri, Sekretaris Umum H.S.

Projokusumo

5) Periode V (1995-2000), Ketua Umum KH. Hasan Basri (sebelum masa bakti

berakhir KH. Hasan Basri wafat, digantikan oleh Prof. KH. Alie Yafie),

Sekretaris Umum Drs. H. Nazri Adlani

6) Periode VI (2000-2005), Ketua Umum Dr. KH. M.A. Sahal Mahfudz, Sekretaris

Umum Prof. Dr. H. M. Din Syamsudin

7) Periode VII (2005-2010), Ketua UmumDr. KH. M.A. Sahal Mahfudz, Wakil

Ketua Umum Prof. Dr. H. M. Din Syamsudin, dan Sekretaris Umum: Drs. H.

Ichwan Sam

8) Periode VIII (2010-2015), Ketua Umum Dr. KH. M.A. Sahal Mahfudz, Wakil

Ketua Umum Prof. Dr. H. M. Din Syamsudin, dan Sekretaris Umum: Drs. H.

Ichwan Sam. (pada hari Jum'at 24 Januari 2014 Dr. KH. M.A. Sahal Mahfudz

wafat, maka rapat pimpinan MUI yang diselenggarakan pada Selasa 18 Februari

2014 menetapkan Prof. Dr. H. M. Din Syamsudin sebagai Ketua Umum yang

baru dan DR. KH. Ma'ruf Amin sebagai Wakil Ketua Umum. Sementara

Sekretaris Umum tetap Drs. H. Ichwan Sam).

Page 59: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

47

9) Periode IX (2015-2020), Ketua Umum Prof. Dr. KH. Ma'ruf Amin, Wakil Ketua

Umum Prof. Dr. H. Yunahar Ilyas, LC dan Drs. H. Zainut Tauhid Sa'adi, M.Si,

serta Sekretaris Umum Dr. H. Anwar Abbas, MM., M.Ag.

3. Anggota Pleno, Komisi, dan Lembaga

Dalam Pasal 6 ayat (2) dan (3) Pedoman Rumah Tangga MUI disebutkan

bahwa dalam menjalankan tugasnya, Dewan Pimpinan membentuk komisi-komisi

yang bertugas untuk menelaah, membahas, merumuskan dan menyampaikan usul-usul

kepada Dewan Pimpinan sesuai dengan bidang masing-masing. Komisi-komisi yang

dimaksud adalah: a. Komisi Fatwa; b. Komisi Ukhuwah Islamiyah; c. Komisi Dakwah

dan Pengembangan Masyarakat; d. Komisi Pendidikan dan Kaderisasi; e. Komisi

Pengkajian dan Penelitian; f. Komisi Hukum dan Perundang-undangan; g. Komisi

Pemberdayaan Ekonomi Umat; h. Komisi Perempuan, Remaja dan Keluarga; i. Komisi

Informatika dan Komunikasi; j. Komisi Hubungan Antar Umat Beragama; k. Komisi

Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama Internasional; l. Komisi Pembinaan Seni

Budaya Islam.

Lebih lanjut disebutkan dalam Pasal 6 ayat (4) dan (5) bahwa dalam

menjalankan program yang bersifat khusus/perintisan, Dewan Pimpinan dapat

membentuk Lembaga/Badan sesuai dengan kebutuhan. Lembaga/Badan yang

dimaksud seperti: a. Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, Minuman dan

Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI); b. Dewan Syariah Nasional

Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI); c. Badan Arbitrase Syariah Nasional Majelis

Ulama Indonesia (BASYARNAS MUI); d. Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup

dan Sumber Daya Alam Majelis Ulama Indonesia (LPLH-SDA) MUI; e. Komite

Dakwah Khusus Majelis Ulama Indonesia (KDK MUI); f. Lembaga Pentashhih Buku

Page 60: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

48

dan Konten Keislaman; g. Lembaga Wakaf, Zakat, Infak, dan Sadaqoh; h. dan yang

dianggap perlu, dan ditetapkan oleh Dewan Pimpinan MUI.14

14Pedoman Rumah Tangga Majelis Ulama Indonesia, http://test.islamwasathiyah.com/wp-

content/uploads/2016/04/1.-PO_PD-PRT-MUI-HASIL-MUNAS-2015_1-42.pdf diakses pada Senin,

22 April 2019 Pkl. 12:20

Page 61: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

49

BAB IV

RESPON DAN SOLUSI TOKOH MUI TERHADAP

PERDEBATAN REGULASI

BERNUANSA AGAMA

A. Pemahaman Tokoh MUI tentang Regulasi Bernuansa Agama

Sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa yang dimaksud dengan

regulasi bernuansa agama dalam penelitian ini ada segala bentuk peraturan daerah

khusunya Perda Syariah. Perda Syariah merupakan salah satu produk hukum daerah

yang setelah otonomi daerah diberikan oleh pemerintahan pusat.1 Namun,

keberadaannya dipertentangkan oleh sebagian kalangan, baik elit negara, akademisi,

dan juga beberapa peneliti yang concern pada bidang hukum. Telah banyak penelitian

yang mengemukakan bahwa penerapan Perda Syariah diskriminatif, sehingga

menimbulkan konflik inheren yang menyebabkan perpecahan terhadap pluralitas

bangsa Indonesia. Meskipun di balik itu juga ada beberapa kalangan yang mendukung

keberadaan Perda Syariah.

Sejatinya, perdebatan mengenai Perda Syariah ini sudah ada sejak awal masa

Reformasi, yakni sejak diberlakukannya otonomi daerah, sehingga mulai saat itulah

daerah diberikan kewenangan untuk mengatur daerahnya sendiri-sendiri demi

terwujudnya good local governance. Tentunya pemerintahan daerah yang baik secara

Pembangunan, ketertiban, keamanan, dan moral warganya. Otonomi daerah yang

dimaksud tidak lain sebagai bentuk pengejawantahan dari adanya kebijakan

desentralisasi.

Landasan yuridis yang menyangkut otonomi daerah kemudian membuat

daerah berlomba-lomba untuk mengatur segala urusan yang berkaitan dengan

1Mohammad Baharun, Ketua Komisi Hukum dan Perundang-Undangan MUI, Interview

Pribadi, Jakarta, 28 Januari 2019

Page 62: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

50

daerahnya ke dalam Peraturan Daerah (Perda).2 Oleh sebab itu, banyak bermunculan

Perda Syariah, mengingat mayoritas bangsa Indonesia beragama Islam. Tentunya

mereka ingin hidup aman, tentram, dan ada jaminan kepastian hukum dalam

menjalankan syariat agamanya. Untuk itulah banyak dibuat Perda Syariah, sehingga

kurang tepat jika alasan utamanya umat Islam memiliki power di daerah, melainkan

untuk memperoleh kemudahan dan kepastian hukum dalam menjalankan syariat

agamanya.

Namun, bagi kalangan yang tidak setuju dengan keberadaan Perda Syariah,

mereka menganggap bahwa Perda Syariah itu diskriminatif terhadap kelompok

minoritas, serta dapat menimbulkan perpecahan. Perda Syariah yang sudah lumayan

lama diadopsi dalam Hukum Indonesia, dan mulai diterima di masyarakat, kini

dipertentangkan kembali keberadaannya oleh sekelompok partai baru yakni Partai

Solidaritas Indonesia.

Penentangan tersebut mendapat respon dari ketua MUI dan juga beberapa

pimpinan yang lain. Misalnya seperti Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Umum MUI

Yunahar Ilyas menganggap pernyataan ketua umum PSI tidaklah tepat. Bapak

Yunahar menyebut Perda Syariah merupakan kebijakan populis dan bermanfaat. Ia

menilai selama ini banyak Undang-Undang yang lahir berdasarkan hukum syariah.3

Dari data yang penulis dapatkan melalui hasil wawancara beberapa anggota

MUI, mereka memiliki pemahaman yang berbeda tentang istilah tersebut. Ada yang

memahami bahwa Perda Syariah itu bagian dari Perda saja, yang kedudukannya ada

di daerah mengacu kepada Undang-Undang yang ada di atasnya.4 Sehingga, apabila

2Alim Muhammad, “Perda-Perda Bernuansa Islam dan Hubungan dengan Konstitusi”, Jurnal

Hukum Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Vol. 17 h., 120

3Felix Nataniel, "Pandangan PSI Soal Perda Agama: Ditentang MUI, Dibela PGI, Tapi..."

,Majalah Tirto.id, (Jakarta), 19 November 2018

4Masduki Baidlowi, Ketua Bidang Informasi dan Komunikasi MUI, Interview Pribadi,

Jakarta, 25 Januari 2019

Page 63: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

51

ada yang mengatakan bahwa Perda Syariah itu bertentangan dengan Undang-Undang

yang ada di atasnya itu merupakan pernyataan yang kurang tepat.

Pemahaman yang lain yaitu Perda Syariah merupakan produk hukum daerah

yang digali dari sumber-sumber hukum agama yang diyakini dan berkembang di

tengah umat atau masyarakat muslim, seperti hukum adat yang juga menjadi Undang-

Undang dan Perda.5 Pendapat ini tidak jauh berbeda dengan penjelasan Abdul Kholik

bahwa Perda Syariah adalah Perda yang berisi aturan-aturan dijiwai dan berisi ajaran-

ajaran Agama Islam.6

Kemudian ada yang memahami bahwa Perda Syariah itu hanya sebuah istilah

atau nomenklatur yang merupakan semangat keberagamaan. Seperti yang dinyatakan

oleh Van Den Berg dalam teorinya yang terkenal dengan receptio in complexu bahwa

hukum yang berlaku pada masyarakat adalah norma-norma yang bersumber pada

nilai-nilai keyakinannya. Nilai-nilai keyakinan yang dimaksud adalah agama.

Indonesia merupakan Negara yang 85% masyarakat yang diatur itu adalah beragama

Islam.7

Namun pendapat yang terakhir ini justru berseberangan dengan beberapa

pendapat di atas, seperti dijelaskan bahwa istilah Perda Syariah merupakan salah satu

bentuk Public Fallacy (penyesatan istilah di kalangan publik). Dalam sistem

perundang-undangan di Indonesia tidak dikenal istilah Perda Syariah. Jenis peraturan

perundang-undangan itu sifatnya sudah limitatif, terbatas yang ada dalam Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan. Dalam undang-undang tersebut disebutkan tentang jenis dan hierarki

5Mohammad Baharun, Ketua Komisi Hukum dan Perundang-Undangan MUI, Interview

Pribadi, Jakarta, 28 Januari 2019

6Abdul Kholik, Wakil Sekretaris Komisi Hukum dan Perundang-Undangan MUI, Interview

Pribadi, Jakarta, 03 Maret 2019

7Zainal Arifin Hoesein, Wakil Ketua Komisi Hukum dan Perundang-Undangan MUI,

Interview Pribadi, Jakarta, 20 Februari 2019

Page 64: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

52

peraturan perundang-undangan sebagai berikut, Undang-Undang Dasar 1995, Tap

MPR, Undang-Undang atau Perppu, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden,

Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Dalam Peraturan

Daerah tersebut hanya dikenal Peraturan Daerah atau qanun atau Peraturan Daerah

Khusus (Perdasus) atau Peraturan Daerah Istimewa.8

Kemudian apabila suatu aturan sudah melewati proses yang disebut dengan

transformasi hukum atau disebut dengan istilah positivering (mempositifkan hukum-

hukum yang ada) dia tidak disebut lagi dengan Hukum Islam.9 Alasan tersebutlah yang

memperkuat argumentasi narasumber yang terakhir bahwa Perda Syariah itu tidak ada

dalam sistem Perundang-undangan di Indonesia.

Pernyataan yang serupa dengan pendapat terakhir ini juga dikemukakan oleh

A. M. Fatwa bahwa istilah Perda Syariah tidak dikenal dalam hukum positif Indonesia.

Dalam Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 menyebutkan bahwa Pemerintah Daerah berhak

menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain dan peraturan-peraturan

lain untuk melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan. Begitu dalam UU

No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tidak

mencantumkan kata-kata Perda Syariah, melainkan cukup Perda saja. Adanya

penggunaan istilah Perda Syariah berpotensi menyesatkan karena menimbulkan

pemahaman bahwa perda tersebut adalah Perda Syariat Islam. Padahal yang

dimaksudkan hanyalah perda biasa yang materi muatannya mengandung nilai-nilai

agama tertentu. Perlu adanya pembedaan akan hal itu, mengingat perda merupakan

bagian dari perundang-undangan Negara, sementara syariat mengandung hukum

agama.10

8Zafrullah Salim, Anggota Komisi Fatwa MUI, Interview Pribadi, Jakarta, 23 April 2019

9Zafrullah Salim, Anggota Komisi Fatwa MUI, Interview Pribadi, Jakarta, 23 April 2019

10A. M. Fatwa, “Perda Syariah dan Pluralisme Hukum di Indonesia”, http://www.A.M. Fatwa

Officila Site/ pemikiran.htm, diakses pada 15 Mei 2019 Pkl. 09:24

Page 65: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

53

Meskipun terdapat perbedaan pemahaman mengenai istilah Perda Syariah,

tetapi menurut penuturan Bapak Abdul Kholik bahwa MUI selama ini memberikan

perhatian dan selalu mendorong untuk adanya Perda Syariah karena itu sejalan dengan

kebutuhan hukum masyarakat.11 Bahkan dalam sekala nasional, fatwa MUI sudah

banyak yang menjadi undang-undang, seperti Undang-Undang tentang Perbankan

Syariah karena memang tujuannya untuk kemaslahatan umat.Perbedaan pemahaman

yang terjadi karena memang tidak aturan baku yang menjelaskan secara eksplisit

tentang pengertian Perda Syariah. Pemahamn tersebut berangkat dari pemahaman para

narasumber yang disimpulkan dari keriteria-keriteria Perda Syariah.

1. Manfaat dan Urgensi Penerapan Regulasi Bernuansa Agama dalam

Pandangan Tokoh MUI

Majelis Ulama Indonesia yang memiliki peran sebagai pewaris tugas para

Nabi, yaitu menyebarkan Agama Islam serta memperjuangkan terwujudnya suatu

kehidupan sehari-hari secara arif dan bijaksana berdasarkan Islam. Walaupun

peran tersebut terkadang mendapat kritik, tekanan dan ancaman karena

perjuangannya bertentangan dengan sebagian tradisi, budaya dan peradaban

manusia. Namun, tugas mulia itulah yang membuat MUI tetap berdiri kuat sampai

saat ini dan selalu ada untuk mewujudkan kehidupan yang mashlahat dan

mencapai Maqashid Syariah.

Untuk itu MUI bersifat responsif dalam permaslahan yang dihadapi oleh

masyarakat Islam. Di Kota Padang misalnya, para tokoh MUI lokal berperan aktif

dalam mengusulkan Perda tentang zakat dan baca tulis AlQuran. Di Kabupaten

Kuningan, peran yang serupa juga dilakukan oleh para tokoh MUI lokal ketika

11Abdul Kholik, Wakil Sekretaris Komisi Hukum dan Perundang-Undangan MUI, Interview

Pribadi, Jakarta, 03 Maret 2019

Page 66: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

54

menyusun perda anti minuman keras.12 Hal ini sejalan dengan Visi misi MUI

seperti yang disampaikan oleh Zainuttauhid bahwa selain khadimul ummah atau

pelayan masyarakat juga sebagai shadiqul hukumah (sebagai mitra pemerintah)

yang salah satunya adalah upaya penegakan hukum.13 Menurut penulis shadiqul

hukumah tersebut tidak hanya dalam penegakan hukum saja, melainkan juga

dalam pembuatan kebijakan pemerintah.

Oleh sebab itu, wajar apabila sikap politik partai yang tidak mendukung

penerapan terhadap penolakan Perda Syariah mendapat respon dari MUI.

Mengingat, Perda Syariah merupakan salah satu bentuk dakwah MUI Lokal lewat

kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Lokal.

Dari data hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis bersama

beberapa anggota MUI bahwa MUI setidaknya memiliki beberapa argumentasi

untuk tetap mendukung penerapan Perda Syariah. Argumentasi tersebut tidak

lepas dari manfaat dan urgensi penerapan Perda Syariah tersebut, yaitu:

Pertama, Perda Syariah memberikan kepastian hukum kepada warga.14

Kedua, untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat.

Pertimbangan ini sejalan dengan tugas dan kewajiban Negara untuk memberikan

apa yang disebut to protect, to respect, to fullfing (perhatian, perlindungan dan

pemenuhan).15

12Dani Muhtada, Makalah disampaikan dalam orasi ilmiah dalam rangka Dies Natalis VII

Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang pada tanggal 4 Desember 2014 di Semarang.

13Optimalkan Layanan Hukum, MUI Tingkatkan Kompetensi Penanganan Kasus, Berita

MUI, (Jakarta), 18 Oktober 2018

14Mohammad Baharun, Ketua Komisi Hukum dan Perundang-Undangan MUI, Interview

Pribadi, Jakarta, 28 Januari 2019

15Zainal Arifin Hoesein, Wakil Ketua Komisi Hukum dan Perundang-Undangan MUI,

Interview Pribadi, Jakarta, 20 Februari 2019

Page 67: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

55

Ketiga, apabila Perda tersebut berjalan secara efektif, tentu akan

memberikan dampak positif bagi masyarakat. Misalnya beberapa Perda tentang

Pengelolaan Zakat yang ada di banyak daerah sangat membantu dalam mengelola

dan menghimpun dana zakat dan kemudian manfaatanya untuk masyarakat luas.16

Keempat, solusi di antara masalah-masalah sosial-keagamaan yang

muncul di daerah. Misalnya Perda tentang Larangan Miras di Papua, lahirnya

Perda Anti Miras di Papua merupakan hasil inisiasi ibu-ibu yang tidak tahan akibat

para suaminya mabuk-mabukan dan merusak keluarga dan masyarakat.17

Kelima, melalui pertimbangan apakah subtansi dari Perda tersebut sudah

sesuai dengan Maqashid Syariah, karena memang yang penting untuk dicapai

adalah Maqashid Syariahnya.

Tentu beberapa pertimbangan di atas yang membuat MUI tetap bertahan

dengan harapannya bahwa Perda Syariah harus tetap dipertahankan

penyelenggaraannya dengan baik di tengah-tengah masyarakat, karena Perda

Syariah merupakan salah satu instrumen untuk mencapat tujuan syariat Islam atau

yang biasa dikenal dengan Maqashid Syariah.

Bahkan, menurut ketua MUI Pasuruan KH. Fayumi berdasarkan data

hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti The Wahid Institute saat Perda

Ramadhan di daerahnya dipersoalkan, ia mengatakan bahwa Perda ini merupakan

harga mati, bahkan ia mengancam mengundurkan diri dari posisinya.18 Mengingat

ia adalah salah satu ulama yang sangat getol agar Perda Ramadhandiberlakukan.

Mungkin inilah tambahan argumentasi dari MUI lokal tentang betapa pentingnya

regulasi bernuansa agama.

16Abdul Kholik, Wakil Sekretaris Komisi Hukum dan Perundang-Undangan MUI, Interview

Pribadi, Jakarta, 03 Maret 2019

17Abdul Kholik, Wakil Sekretaris Komisi Hukum dan Perundang-Undangan MUI, Interview

Pribadi, Jakarta, 03 Maret 2019

18Rumadi dkk, Islamisme, Konflik dan Demokrasi, h., 55

Page 68: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

56

B. Respon Tokoh MUI Terhadap Penolakan Regulasi Bernuansa Agama

Sebagaimana telah dijelaskan pada sub pembahasan sebelumnya, bahwa salah

satu isu yang masih hangat diperbincangkan terkait perda syariah adalah sikap politik

Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang menolak dengan tegas penerapan Perda

Syariah. Dalam pidato yang disampaikan oleh Grace Natalie selaku Ketua Umum PSI

beberapa waktu lalu, ia menegaskan akan menolak Perda-Perda berbasis agama baik

Perda Syariah maupun Perda Injil. Mereka berdalih bahwa keberadaan perda agama

akan menimbulkan ketidakadilan, diskriminatif, dan intoleransi antar umat beragama.19

Penolakan PSI terhadap Perda Syariah tersebut menuai pro dan kontra berbagai

pihak. Beberapa pihak menganggap bahwa hal itu menjadi wajar sebagai sikap politik

suatu partai politik dalam menyampaikan visi dan misinya dalam pemerintahan.

Bahkan tidak sedikit yang membenarkan penolakan tersebut. Wakil presiden Jusuf

Kalla turut membenarkan argumentasi tersebut, menurutnya urusan agama merupakan

akidah atau keyakinan yang tidak perlu diatur melalui perda. Adapun pihak-pihak yang

tidak sependapat dengan pernyataan Grace Natalie tersebut datang dari politisi-politisi

parpol berbasis Islam seperti PPP dan PKS, anggota DPD Aceh hingga anggota dewan

PBNU.

Penentangan terhadap penerapan Perda Syariah tersebut juga mendapat respon

dari Kyai Ma’ruf Amin cawapres nomor urut 01 sekaligus selaku ketua umum MUI

menurutnya Perda Syariah bukanlah hal yang harus diperdebatkan dan tidak perlu

menjadi polemik. Sebab, Perda merupakan hak setiap daerah dalam menentukan aturan

daerahnya masing-masing selama tidak bertentangan dengan perundang-undangan di

atasnya.20 Selanjutnya beberapa pandangan anggota MUI dalam wawancara pribadi

yang dilakukan oleh penulis, antara lain sebagai berikut:

19Grace Natalie Jelaskan Mengapa PSI Tolak Perda Religi,

https://www.google.com/amp/s/m.republika.co.id/amp/picex5409, diakses pada 02 Mei 2019, Pukul

15.04. 20Kontroversi Grace Natalie Tak Dukung Perda Syariah, https://m.detik.com/news/berita/d-

4308836/kontroversi-grace-natalie-tak-dukung-perda-syariah, diakses pada 02 Mei 2019, Pukul 16.58.

Page 69: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

57

Partai Solidaritas Indonesia (PSI) merupakan partai baru yang memang butuh

kejutan, butuh pembeda, butuh hal yang bersifat kontroversial untuk menarik perhatian

publik.21 Penolakan ini muncul sebagai isu dan pencitraan politik belaka agar dapat

dukungan dari kalangan liberal dalam rangka kampanye negatif.22 Mereka juga tidak

memiliki kepentingan dalam produk hukum syariah tersebut, sehingga mereka seolah

menyuarakan asal menyuarakan tanpa tahu substansi dari produk hukum Syariah itu.

Pada dasarnya arah perjuangan PSI sedikit tidak jelas, apakah mereka paham

pancasila atau tidak. Ketika mereka menyuarakan penentangan terhadap Perda Syariah,

jelas sikap tersebut adalah sikap anti Pancasila. Hal ini dimaksudkan bahwa Perda

Syariah merupakan kontekstualisasi dari Pancasila, bertujuan untuk menjalankan

amanah Pancasila. Tidak ada satu pun Perda Syariah yang bertentangan dengan

pancasila.23

Tanggapan yang lain juga mengatakan bahwa Penolakan itu karena tidak

memahami keberadaan perda Syariah yang dijamin oleh konstitusi baik Pasal 28E ayat

(1), Pasal 29 ayat (2) dan juga beberapa peraturan perundang-undangan seperti

Undang-Undang Zakat, Undang-Undang Perbankan Syariah, dan lain-lain yang di

antaranya membutuhkan peraturan turunan di tingkat daerah.24 Sehingga, sikap PSI

sebagai politisi yang menyuarakan sesuatu yang pada dasarnya kurang dipahami bisa

dikategorikan sebagai public fallacy, yaitu kebohongan publik, karena mereka tidak

paham tapi menyatakannya seolah-olah benar adanya.25

21Masduki Baidlowi, Ketua Bidang Informasi dan Komunikasi MUI, Interview Pribadi,

Jakarta, 25 Januari 2019

22Mohammad Baharun, Ketua Komisi Hukum dan Perundang-Undangan MUI, Interview

Pribadi, Jakarta, 28 Januari 2019

23Zainal Arifin Hoesein, Wakil Ketua Komisi Hukum dan Perundang-Undangan MUI,

Interview Pribadi, Jakarta, 20 Februari 2019

24Abdul Kholik, Wakil Sekretaris Komisi Hukum dan Perundang-Undangan MUI, Interview

Pribadi, Jakarta, 03 Maret 2019

25Zafrullah Salim, Anggota Komisi Fatwa MUI, Interview Pribadi, Jakarta, 23 April 201

Page 70: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

58

Sebab, dalam pembuatan Peraturan Daerah, selama tidak berdampak negatif

terhadap keberlangsungan masyarakat yang dapat menimbulkan perpecahan dan tidak

bertentangan dengan UU yang ada di atasnya maka tidak ada salahnya. Misalnya

Daerah Aceh, karena memang daerahnya mayoritas muslim dan sudah mendapatkan

kekhususan maka tidak ada salahnya jika menerapkan perda syariah sebagai aktualisasi

Otonomi Daerah. Adapun untuk daerah-daerah yang majemuk atau daerah yang plural,

pengaturan perda syariah selama tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi

juga sah saja.

C. Solusi Tokoh MUI Terhadap Pordebatan Regulasi Bernuansa Agama

Mengingat Indonesia bukanlah Negara Islam melainkan negara muslim yang

mengharapkan terciptanya nilai-nilai Islami dalam kehidupan bermasyarakatnya.

Nilai-nilai islami yang dimaksud, seperti sikap toleransi antar umat beragama, tolong

menolong, dan dapat hidup berdampingan secara damai dengan non muslim. Di

samping itu, terwujudnya keadilan dan kesejahteraan masyarakat dalam segala aspek

juga menjadi prioritas utama dalam setiap pembentukan hukum.

Oleh sebab itu, MUI sebagai salah satu wadah ulama yang merupakan mitra

pemerintah dalam menyukseskan Pembangunan Nasional.26 Tentunya tidak ingin

apabila perdebatan yang seperti ini menjadi polemik yang berkepanjangan. Maka dari

itu MUI mengajukan beberapa solusi. Adapun solusi yang disampaikan adalah sebagai

berikut.

Pertama, menghimbau kepada pemerintah terutama legislator, apabila ingin

membuat suatu aturan syariah yang penting untuk diperhatikan terlebih dahulu adalah

bahwa inisiatif tersebut muncul dari bawah (buttom up). Yaitu muncul dari

masyarakat, ada kesadaran masyarakat terlebih dahulu baru kemudian setelah itu

mudah melaksanakannya. Sehingga, akhirnya ketika misalnya terjadi pengesahan

26M. Mohtarom Ilyas, “Kekurangan dan Kelebihan MUI (Majelis Ulama Indonesia) di Era Orde

Baru”, Jurnal Sosial Humaniora, Vol. 2, No. 1, h., 98

Page 71: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

59

dalam bentuk UU atau dalam bentuk apa pun sifatnya itu tidak perlu dipaksa-paksa

dan tidak mengandung unsur-unsur yang sifatnya politis.27

Kedua, Setiap pembentukan peraturan perundang-undangan terlebih dahulu

harus dikaji pertimbangan filosofis, sosiologis, dan yuridisnya. Kemudian dikaji juga

pertimbangan-pertimbangan (consideration) dalam membentuk suatu peraturan.

Selain itu kita juga harus melihat bagaimana subtansi yang akan dituangkan.

Pembentukan hukum di Indonesia berkarakter ke-Indonesiaan atau disebut asas ke-

Indonesiaan yang berimbang, dengan demikian ketika membentuk suatu peraturan

harus merujuk pada lima asas Pancasila sebagai dasar negara. Ketuhanan Yang Maha

Esa merupakan moral religious dalam lima sila tersebut, sehingga tidaklah salah jika

terdapat peraturan-peraturan yang berbasis agama atau secara substansial mengatur

persoalan agama dan bersumber dari agama tertentu.28

Ketiga, Negara harus aktif dalam memberikan fasilitas terkait keberagamaan

masyarakatnya. Ada dua fasilitas yang dimaksud:29

1. Seperti forum internum, yaitu seluruh aktivitas keagamaan dikelola dan

diputuskan oleh umat beragama yang bersangkutan. Contoh haji, Ibadah Haji itu

adalah bagian dari ritual yang kewajibannya individual, negara harus

memberikan kemudahan untuk orang berniat haji, maka undang-undang haji itu

bukan subtansi haji, hukum-hukum haji, fikih haji, tetapi terkait pengelolaan haji.

Sama halnya dengan Undang-undang Zakat, undang-undang ini lebih terfokus

pada pengelolaan zakatnya, bukan persoalan berapa nishab, dan sebagainya.

27Masduki Baidlowi, Ketua Bidang Informasi dan Komunikasi MUI, Interview Pribadi,

Jakarta, 25 Januari 2019

28Zafrullah Salim, Anggota Komisi Fatwa MUI, Interview Pribadi, Jakarta, 23 April 2019

29Zainal Arifin Hoesein, Wakil Ketua Komisi Hukum dan Perundang-Undangan MUI,

Interview Pribadi, Jakarta, 20 Februari 2019

Page 72: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

60

2. Forum Eksternum, negara hanya bagaimana memudahkan aplikasi dari nilai-nilai

yang terkandung. Dalam hal ini negara melindungi atau negara menjamin

kebebasan beragama dalam bentuk undang-undang atau bentuk peraturan lain.

Misalnya di Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, negara menjamin kebebasan beribadah

setiap umat beragama tanpa ada intervensi dari pihak lain. Menjamin di sini salah

satunya dengan memberikan fasilitas, dan melayani setiap kebutuhan

masyarakatnya.

Keempat, untuk meminimalisir perdebatan yang sedang terjadi, hal berupa

keputusan juga sudah cukup untuk mengatur tentang peraturan yang berbasis syariah.

Catatan terpentingnya adalah tujuan syariahnya, hal itu yang menjadi pokok masalah.

tujuan Syariah yang harus didahulukan dan diutamakan, bukan kulit syariahnya.

Page 73: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

61

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan yang telah dipaparkan pada materi sebelumnya, maka dapat

diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Para tokoh MUI yang terlibat dalam penelitian ini, memahami regulasi bernuansa

agama sebagai sebuah istilah/nomenklatur pada produk hukum daerah yang

muatannya digali dari sumber-sumber hukum agama yang diyakini dan

berkembang di tengah umat atau masyarakat.

2. Adapun pandangan MUI terhadap penerapan regulasi bernuansa agama bahwa

regulasi yang semacam itu harus tetap diterapkan di tengah-tengah masyarakat

karena banyak memberikan manfaat daripada madharat. Namun meskipun

demikian penerapannya lazim disesuaikan dengan kebutuhan hukum di

masyarakat, sehingga tidak terkesan dipaksakan oleh pemimpin politiknya. Untuk

itu regulasi bernuansa agama harus dibentuk berdasarkan aspirasi masyarakatnya,

kalau tokoh MUI menyebutnya dengan buttom up (muncul dari

bawah/masyarakat). Kemudian mengenai respon MUI terhadap penolakan

regulasi bernuansa agama bahwa MUI tidak sepakat dengan pernyataan tersebut.

Sebab, alasan penolakan tersebut tidak sejalan dengan kebutuhan hukum

masyarakat di daerah. Di beberapa daerah sangat dirasakan manfaat adanya

peraturan tersebut.

Page 74: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

62

B. Saran

Pada bagian ini penulis memberikan saran baik secara praktik maupun secara

akademik

1. Secara praktik, kepada pemerintah daerah direkomendasikan hendaknya lebih

memahami kebutuhan hukum masyarakatnya, kemudian tidak semestinya semua

kebijakan dituangkan dalam bentuk Perda, melainkan ke dalam bentuk yang

lainnya. Seperti yang disebutkan dalam hukum administrasi bisa dalam bentuk

surat edaran, maklumat, petunjuk pelaksana, petunjuk teknis, dll. Sehingga, tidak

bertitik tumpu pada Perda.

2. Secara akademik, kepada umat non muslim direkomendasikan agar jangan alergi

dengan Perda Syariah. Sebab, hal tersebut merupakan hak umat beragama yang

telah dijamin pemenuhannya dalam UUD 1945.

Page 75: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

63

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abbas, Anwar, dkk, Pedoman Penyelenggaraan Organisasi Majelis Ulama

Indonesia, Majelis Ulama Indonesia, 2010.

Ahmadi, Fahmi Muhammad, & Aripin, Jaenal, Metode Penelitian Hukum,

Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2010.

Asshiddiqie, Jimly, Perihal Undang-Undang, Jakarta: Konstitusi Press, 2008.

Azra, Azumardi, Menuju Masyarakat Madani: Gagasan, Fakta dan

Tanggapan,Bandung: Rosdakarya, 2000.

Buchori, Abdusshomad, Bunga Rampai Kajian Islam, Surabaya: Majelis Ulama

Indonesia, 2015.

Dayanto dan Asma Karim, Peraturan Daerah Responsif Fondasi Teoritik dan

Pedoman Pembentukannya, Yogyakarta: Deepublish, 2015.

Farida Indrati S, Maria, Ilmu Perundang-undangan, Yokyakarta: Kanisius, 2007.

Ihsan Ali Fauzi, Saeful Mujani, Gerakan Kebebasan Sipil Studi Dan Advokasi

Kritis Atas Perda Syari’ah, Jakarta: Nalar, 2009.

Fauzi, Noer dan R. Yando Zakaria, Mensiasati Otonomi Daerah, Cet. 1,

Yogyakarta: Konsorsium Pembaruan agraria berkerjasama dengan INSIST

“Press”, 2000.

Halim, Hamzah dan Kemal Redindo Syahrul Putera, Cara Peraktis Menyusun dan

Merancang Peraturan Daerah (Suatu Kajian Teoritis dan Praktis Disertai

Manualnya): Konsepsi Teoritis Menuju Artikulasi Empiris, Jakarta: Prenada

Media Group, 2009.

Hamidi, Jazim, dkk., Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif, Jakarta:

Prestasi Pustaka, 2008.

Hidayat, Komarudin dan Puput Widjanarko, Reimventing Indonesia menemukan

Kembali, Jakarta: Mizan, 2008.

Lubis, M. Solly, Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan, Bandung: CV Mandar

Maju, 2009.

Muntoha, “Otonomi Daerah dan Perkembangan Peraturan Peraturan Daerah

Berbasis Syariah”, Jakarta: Disertasi Kearsipan Program Pascasarjana

Fakultas Hukum UI, 2008

Page 76: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

64

Kamil, Sukron, et Al, Syari’at Islam Dan HAM: Dampak Perda Syari’at

Terhadap Kebebasan Sipil, Hak-Hak Perempuan, Dan Non-Muslim, ed.

Sukron Kamil & Chaider S Bamualim Jakarta: Center for the Study of

Religion and Culture & Konrad Adenauer Stifftung, 2007.

Maleong, Lexy J, MetodePenelitianKualitatif, Bandung: Remaja Rosda Karya,

2005.

Manan, Bagir, Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945, Bandung: Uniska

Press, 1993.

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2008.

Montesquieu, dalam Dayanto, Negara Hukum dan Demokrasi: Pergulatan

Paradigmatik dan Kritik Realitas dalam Meluruskan Jalan Bernegara,

Yogyakarta: Deepublish, 2014.

Reece, William L., Dictionary of Philosophy and Religion: Eastern and Western

Though, Exponded Edition, New York: Humanity Books, 1996.

Regina, Patty, dkk., “Perda Syariah dalam Otonomi Daerah”, Academia Edu,

(Depok), 12 Mei 2015.

Rumadi dkk, Islamisme, Konflik dan Demokrasi, Jakarta: The Wahid Institute,

2011.

Kartasapoetra, R.G, Sistematika Hukum Tata Negara, Cet. 1, Jakarta: Bina

Aksara, 1987.

Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah, Jakarta: Pustaka Sinar

Harapan, 1999.

Samsudin, Din, Pedoman Penyelenggaraan Organisasi Majelis Ulama Indonesia,

Jakarta: MUI Pusat, 2001.

Sukardja, Ahmad dan Mujar Ibnu Syarif, Tiga Kategori Hukum Syariat, Fikih,

dan Kanun, Jakarta: Sinar Grafika, 2012.

Suntana, Ija, Poitik Hukum Islam, Bandung: CV Pustaka Setia, 2014.

Tim Penyusun, 35 Tahun Majelis Ulama Indonesia Berkiprah Menjaga Integritas

Bangsa, Jakarta: Majelis Ulama Indonesia.

Widjaja, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada, 2002.

Page 77: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

65

Jurnal

Candranigrum, Dewi, “Keadilan Islami Menjunjung Tinggi Kesetaraan Gender”,

Jurnal Perempuan 60, 2008.

Hanum, Cholida, “Analisis Yuridis terhadap Asas-Asas Pembentukan dan Asas-

Asas Materi Muatan Peraturan Daerah: Kajian Perda Syariah di Indonesia”,

Jurnal Agama dan Hak Azazi Manusia, Vol. 7, No. 1.

Indrayana, Denny, “Kompleksitas Peraturan Daerah Bernuansa Syari’at Perspektif

Hukum Tata Negara”, Jurnal Yustisia, Edisi 81 September-Desember 2010.

Muhammad, Alim, “Perda-Perda Bernuansa Islam dan Hubungan dengan

Konstitusi”, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jurnal Hukum Vol.

17.

Na’imah, Hayatun, Perda Berbasis Syariah dan Hubungan Negara-Agama

Dalam Perspektif Pancasila, Jurnal Mazahib Vol. XV, No. 2 (Desember

2016).

Priyanta, Maret, “Penerapan Konsep Konstitusi Hijau (Green Constitution) di

Indonesia sebagai Tanggung Jawab Negara dalam Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup”, Jurnal Konstitusi, Vol. 7, No. 4.

Ridwansyah, Muhammad, “Upaya Menemukan Konsep Ideal Hubungan Pusat-

Daerah Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945”, Jurnal Konstitusi, Volume 14, No 4, (Desember 2017).

Syarif, Mujar Ibnu, “Spirit Piagam Jakarta dalam Undang-Undang Dasar 1945”,

Jurnal Cita Hukum, Vol. 4, No. 1, (Juni 2016)

Suismanto, H., Perda Syariat Islam dan Problematikanya, Jurnal Aplikasia Vol.

VII, No. I, (Juni 2007).

Yamin, Muhammad, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar, (Jakarta:

Prapanca, 1959).

Yunus, Nur Rohim, PenerapanSyariat Islam Terhadap Peraturan Daerah

dalam Sistem Hukum Nasional Indonesia, Jurnal Studia Islamika Vol. 12,

No. 2, (Desember 2015).

Zarkasi, A., “Pembentukan Peraturan Daerah Berdasarkan Peraturan Perundang-

undangan”, Jurnal Ilmu Hukum Inovatif , Vol. 2 No. 4.

Page 78: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

66

Wawancara

Interview Pribadi dengan Abdul Kholik, Wakil Sekretaris Komisi Hukum dan

Perundang-Undangan MUI, Jakarta, 03 Maret 2019.

Interview Pribadi dengan Masduki Baidlowi, Ketua Bidang Informasi dan

Komunikasi MUI, Jakarta, 25 Januari 2019.

Interview Pribadi dengan Mohammad Baharun, Ketua Komisi Hukum dan

Perundang-Undangan MUI, Jakarta, 28 Januari 2019.

Interview Pribadi dengan Zainal Arifin Hoesein, Wakil Ketua Komisi Hukum dan

Perundang-Undangan MUI, Jakarta, 20 Februari 2019.

Interview Pribadi dengan Zafrullah Salim, Anggota Komisi Fatwa MUI, Jakarta,

23 April 2019.

Internet

A. M. Fatwa, “Perda Syariah dan Pluralisme Hukum di Indonesia”,

http://www.A.M. Fatwa Officila Site/ pemikiran.htm, diakses pada 15

Mei 2019 Pkl. 09:24

Dani Muhtada, Makalah disampaikan dalam orasi ilmiah dalam rangka Dies

Natalis VII Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang pada tanggal 4

Desember 2014 di Semarang.

Felix Nataniel, "Pandangan PSI Soal Perda Agama: Ditentang MUI, Dibela PGI,

Tapi..." ,Majalah Tirto.id, (Jakarta), 19 November 2018

“Grace Natalie Jelaskan Mengapa PSI Tolak Perda Religi”, https://

www.google.com/amp/s/m.republika.co.id/amp/picex5409, diakses pada

02 Mei 2019, Pukul 15.04.

“Kontroversi Grace Natalie Tak Dukung Perda Syariah”,

https://m.detik.com/news/

berita/d-4308836/kontroversi-grace-natalie-tak-dukung-perda-syariah,

diakses pada 02 Mei 2019, Pukul 16.58.

“Menjawab Orasi Politik Grace Natalie”, https://www.kiblat.net/2018/11/17/

menjawab-orasi-politik-grace-natalie/

“Optimalkan Layanan Hukum, MUI Tingkatkan Kompetensi Penanganan Kasus”,

Berita MUI, (Jakarta), 18 Oktober 2018.

Page 79: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

67

“Peraturan Harus Sesuai Konstitusi, PDIP Tolak Perda Syariah”,

https//m.cnnindonesia.com/nasional/20181119215026-32-

347808/peraturan-harus-sesuai-konstitusi-pdip-tolak-perda-syariah,

diakses 20/10/2018 diakses pada 18 Mei 2019 pkl. 08:45

“Pedoman Dasar Majelis Ulama Indonesia”, http://test.islamwasathiyah.com/wp-

content/ uploads/2016/04/1.-POPD-PRT-MUI-HASIL-MUNAS-2015_1-

42.pdf, diakses pada Rabu, 10 April 2019 Pkl. 11:46.

“Profil Majelis Ulama Indonesia, https://mui.or.id/kepengurusan-mui/# diakses

pada Hari Kamis, 7 Februari 2019 Pkl. 15:26.

“Ridwan Kamil Terapkan Program Magrib Mengaji di Wilayah Jabar“, https://

www.liputan6.com/news/read/3644359/ridwan-kamil-terapkan-program-

magrib-mengaji-di-wilayah-jabar.

“Sejarah MUI”, https://mui.or.id/sejarah-mui/index.php

Page 80: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

68

Lampiran-Lampiran

Transkrip Wawancara Skripsi

Respon Majelis Ulama Indonesia (MUI) terhadap Perda Syariah

Informan 1

Nama : Drs. H. Masduki Baidlowi, M.Si.

Jabatan : Ketua Bidang Informasi dan Komunikasi MUI

Hari/Tanggal : Jumat, 25 Januari 2019

Waktu : 17:10 – 17:55

Tempat : Lantai 3 Kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)

1. Apakah Bapak mengetahui tentang Perda Syariah?

Jawab: Peraturan daerah.

2. Menurut Bapak apa yang dimaksud dengan Perda Syariah?

Jawab: Bagian dari Perda saja, yang kedudukannya ada di daerah mengacu kepada

Undang-Undang yang ada di atasnya. Jadi begini, kita mesti tau terlebih dahulu

kalau kita berbicara Perda Syariah dan kenapa banyak Perda Syariah itu yang

dibatalkan, kita mesti selesai terlebih dahulu terhadap asumsi dasarnya. Asumsi

dasar dari Undang-Undang yang ada di Indonesia, pertama yang paling tinggi itu

kan UUD 1945. Jadi, UUD 1945 yang sekarang adalah UUD terakhir yang sudah

direvisi. Itu saya kira patokan utama sebagai payung hukum nasional UUD dan

dari UUD itu kemudian muncullah UU, dari UU lalu kemudian ada yang namanya

Peraturan Pemerintah. Setelah Peraturan Pemerintah itu ada yang namanya

Kepres, Peraturan Presiden dan seterusnya, ada Peraturan Menteri termasuk juga

di dalamnya menteri dalam negeri juga punya peraturan. Nah ini semua itu ada di

atasnya Perda. Jadi, Perda itu ada di bawah, di tingkat dua yang selama ini banyak

muncul Undang-Undang Syariah. Asumsi dasar ini yang saya maksud adalah

Page 81: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

69

bahwa apa pun peraturan atau Perda Syariah yang akan diputuskan oleh Pemda

mana pun, maka dia tidak boleh bertentangan dengan hukum yang ada di atasnya,

itu yang paling pokok. Jadi, jangan kemudian misalnya ada daerah yang merasa

paling Islam sendiri, terus dia buat Perda Syariah sendiri, jelas itu bertentangan.

Yakni bertentangan dengan UU yang ada di atasnya. Itu yang pertama yang mesti

kita coba shering untuk ide itu, paham saya sperti itu. Jadi, tidak boleh ada UU,

Perda, Perda apa pun itu, apakah syariah atau tidak syariah. Yang kedua, yang

paling pokok itu begini, syariah atau tidak syariah itu dari mana? Kalau menurut

saya sebagai Pengurus Majelis Ulama Indonesia bidang Infokom. Jadi seperti ini,

syariah itu yang terpenting terlebih dahulu muncul dari bawah, buttom up (muncul

dari masyarakat) ada kesadaran masyarakat terlebih dahulu baru kemudian setelah

itu enak melaksanakannya. Sehingga, akhirnya ketika misalnya terjadi pengesahan

dalam bentuk UU atau dalam bentuk apa pun sifatnya itu tidak perlu dipaksa-

paksa dan tidak mengandung unsur-unsur yang sifatnya politis. Contoh misalnya,

orang sholat, kalau dari kecil sudah dibiasakan sholat, maka kemudian ada UU

atau tidak, maka sebenarnya UU itu antara ia dan tidak. Tapi, kalau pun ada, ya

silahkan ada, toh juga dilaksanakan di masyarakat seperti itu. Tapi, kalau

misalnya kemudian tidak ada UU itu lalu kemudian masyarakatnya ada, maka itu

akan bagus, tetapi juga ada beberapa memang UU yang memang mestinya ada

tapi tidak ada, lalu kemudian diadakan. Contoh misalnya, UU mengenai Jaminan

Halal, itu yang selama ini menjadi UU Negara (menjadi Hukum Positif Negara)

itu adalah UU Syariah. Ada juga misalnya, UU mengenai Keuangan Syariah,

misalnya ada sukuk dan macam-macam. Itu juga termasuk UU yang sebelumnya

tidak ada, karena sebelumnya sistem transaksi semuanya konvensional, lalu

masyarakat kemudian juga memang belum terlatih banyak untuk melaksanakan

Ekonomi Syariah lalu kemudian dipaksa lewat UU. Tapi, itu pun masih ada

pilihan orang bisa melaksanakan itu atau tidak melaksanakan itu. Nah, terhadap

hal yang seperti itu, maka sebenarnya menurut prinsip saya sebaiknya hal-hal

yang terkait dengan syariah itu mestinya lebih baik apabila masyarakatnya matang

terlebih dahulu baru kemudian UU itu bisa diadakan oleh pemimpin-pemimpin

politiknya, kalau masyarakatnya belum matang, maka ada kecenderungan

Page 82: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

70

pembuatan UU dan segala macamnya itu, hanya menjadi perdebatan politik di

antara elit politiknya itu menurut saya kurang bagus, dan saya tidak setuju, lebih

bagus sebenarnya matang di masyarakatnya baru diundangkan, itu akan lebih

bagus atau setidak-tidaknya sudah ada introdusir, ada perkembangan yang terjadi

di masyarakat lalu kemudian ada UU seperti itu. Jangan kemudian tidak ada apa-

apa, lalu diundangkan, nanti terjadi kontroversi antara yang setuju dengan yang

tidak setuju, lalu dipolitisasi akhirnya menjadi masalah. Ketika jadi masalah,

akhirnya tuduh menuduh. Yang tidak setuju, akhirnya dianggap tidak Islami

bahkan dianggap kafir atau dianggap toghut misalkan seperti itu. Padahal

sebenarnya, tidak betul tapi lebih kepada persoalan mempertimbangkan hierarki

yang di atas tadi. Lalu yang ketiga, saya berprinsip seperti ini, dalam agama itu

sebenarnya yang paling pokok itu syariah, ada Maqashid al-Syariah iya kan?

Contoh konkritnya begini, apa sebenarnya Maqashid al-Syariah itu? Di dalam

Ushul Fiqh banyak disebutkan salah satunya sebagaimana yang sudah kita kenal

dengan Kulliyat al-Khams. Jadi, tentang pentingnya menjaga Hifz al-Din

misalnya, ada Hifdz al-Aql, Hifdz al-Nasl, Hifdz al-Nafs. Jadi itu adalah prinsip-

prinsp dasar dari sebuah tujuan syariah, sehingga dengan demikian, maka syariah

sendiri sebenarnya itu hanya label (kulit) sebenarnya isinya itu adalah tujuan

syariah itu. Persoalannya sekarang kan memang begini, apakah kita dalam

bersyariah itu penting label atau penting isi? Kan begitu? Itulah yang kemudian

menjadi perdebatan di antara kalangan-kalangan Islam. Gerakan Islam, aktivis

Islam seperti itu. Ada juga yang mementingkan dua-duanya. Tetapi, kalau

misalnya negara kita bukan negara yang menghendaki sebuah label Islam, bukan

Negara Islam, kalau begitu yang penting sampai kepada kita hanyalah tujuannya.

Tujuan syariah itu yang mesti kita capai. Lah, saya sebagai orang muslim dan di

Indonesia ini kita sudah sepakat bahwa kita tidak ingin mendirikan Negara Islam,

karena kita sudah sepakat dengan para pendiri bangsa kita ini, baik yang

Muhammadiyah, NU, atau pun yang lain itu tokoh-tokoh muslim pendiri Negara,

ada Kiyai Wahid Hasyim, Kiyai Kahar Muzakir, ada banyak orang. Itu semua

sepakat agar Negara kita ini tidak pecah, maka bersepakat dengan yang lain,

walaupun engkau lebih sedikit orangnya, kata orang Islam, dan saya lebih banyak

Page 83: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

71

daripada Negara ini nanti pecah, yaudah mari kita bangun bersama-sama tidak

perlu menggunakan Negara Islam, maka dicabutlah tiga kata itu dalam Pagam

Jakarta. Ketika itu dicabut, itu artinya sebenarnya kita itu tidak mementingkan

lagi persoalan verbalisasi syariah. Sebenarnya yang kita tuju itu kan maqashid,

maqashidu al-syari bukan syariahnya. Memang sebaiknya kulit dan isi kalau bisa,

tapi kan tidak bisa. Nah, sebenarnya tiga itulah yang ingin saya sampaikan kepada

sebagai prinsip dasar dulu, supaya nanti kalau ada apa-apa pun balikkan ke tiga

dasar itu.

3. Seberapa besar urgensi penerapan Perda Syariah?

Mengenai urgensi penerapan Perda Syariah itu menurut saya kalau Maqashid

Syariah-nya sudah dicapai, maka Perda itu sudah tidak penting lagi, apa Maqashid

Syariah misalnya di dalam Islam itu disebutkan “Tasharruf al-Imam ala al-

Raiyati Manuthun bi al-Mashlahah”. Nah, pemimpin itu harus begitu. Kalau

pemimpin sudah berlaku seperti itu untuk apa dibuat Perda Syariah dan segala

macamnya, masyarakatnya sejahtera, masyarakatnya adil, karena sebenarnya itu

yang diharapkan. Jadi, kelompok-kelompok spiritualis itu memang kadang-

kadang berkepentingan untuk hal-hal yang bersifat kulit itu, tapi di Indonesia ini

pada umumnya yang disebut dengan Islam moderat itu tidak mementingkan hal

yang bersifat tekstual saja, tapi yang terpenting itu adalah kontekstual dan

syariatnya tercapai. Sebenarnya ketika Islam itu sampai ke Negara kita modelnya

seperti itu, kita itu termasuk ditakdirkan oleh Allah ber-Islam dengan tanpa

ditaklukkan, karena orang ber-Islam itu ke berbagai tempat, ada daerah

penaklukan diperangi dulu, baru takluk habis kemudian ditata. Nah, kita itu tidak,

kita ber-Islam tapi di saat yang sama Borobudur sebagai tempat Agama Budha

terbesar. Jadi, masyarakat Islam bisa bermasyarakat dengan baik di Jawa Tengah

di Kabupaten Magelang di tengah-tengah tempat beribadahnya orang Budha

terbesar di dunia. itu tidak ada di tempat lain. Jadi, kalau pandangan orang Islam

penaklukan itu harus hancur dulu, tapi kalau dalam pandangan Imam Walisongo

nggak begitu. Jadi, tujuan itu tercapai, makanya landasan dasarnya “ud’u ila sabili

rabbika bi al-hikmati wa al-mauidah al-hasanah”. Kalau sudah seperti itu,

akhirnya “wa jadilhum billati hiya ahsan”. Jadi, ada hasanah, ada ahsan. Kalau

Page 84: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

72

kita mau bermujadalah harus yang lebih baik, yang lebih baik itu artinya tidak

menyakiti hati orang yang kita ajak bicara, nggak menyinggung, luar biasa itu

kan, itu al-Quran. Lah, kalo orang-orang yang tekstual itu kan begitu, bahkan

ayat-ayat ini kalau menurut fahamnya orang-orang yang menganut faham radikal

dinasakh. Dinasakh oleh apa? Oleh ayat-ayat qital (ayat perang), kan kacau itu

orang disuruh perang semua. Padahal, di sini Islam itu tanpa perang. Jadi, saya

termasuk orang yang berpandangan perda-perda syariah itu, mungkin kalau pun

perlu di daerah-daerah dan hal-hal tertentu sepanjang itu tidak bertentaangan

dengan prinsip-prinsip dasar di atas (hukum positif yang di atas). Tetapi, menurut

saya sebagai bentuk perjuangan yang lebih taktis dan strategis sebenarnya lebih

baik kita mencapai kepada maqashid al-syariah tanpa lebel-lebel syariah. Nilainya

yang diambil, subtansinya.

4. Apakah Perda Syariah bertentangan dengan Ideologi Negara dan Peraturan

Perundang-undangan yang di atasnya?

Jawab: Kalau dianggap bertentangan atau tidak, sebenarnya tergantung tadi itu,

kalau dia bertentangan dengan undang-undang yang di atasnya, dia dikatakan

bermasalah. Sebenarnya tidak ada ideologi Negara yang berhubungan langsung

dengan Perda karena yang namanya Ideologi Negara Pancasila itu lebih kepada

sebuah nilai-nilai abstrak. Nilai-nilai yang konkrit dari UU itu UUD. Maka perda

itu, rujukannya, hirarkinya adalah peraturan-peraturan di atasnya, UU, dan UUD.

Kalau dengan ideologi tidak bersentuhan secara langsung, apalagi kalau misalnya

dikatakan. Apakah Perda itu bertentangan dengan Ideologi? Kalau Ideologi

Negara yang ke satu “Ketuhanan yang Maha Esa” tidak bertentangan. Tapi, tidak

begitu cara berfikir UU, karena yang namanya Ideologi itu adalah hal, nilai-nilai

ideal yang bersifat abstrak dan tidak bisa dirujuk sebagai bagian dari rujukan

untuk sebuah peraturan, apalagi peraturan itu di daerah terbawah. Maka

sebenarnya, yang relevan kalau mau dihubungkan itu, bertentangan atau tidak itu

dengan UU yang di atasnya, karena terlalu jauh kalau menurut saya, tidak runut,

sehingga orang pada akhirnya mengenal begitu. Ini Perda bertentangan dengan

peraturan, tetapi dengan Ideologi tidak bertentangan, nggak apa2 kalau menurut

UUD kan begitu pada akhirnya. Cara berfikirnya tidak bisa begitu, walaupun saya

Page 85: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

73

bukan ahli hukum ya, tapi setidak-tidaknya ini menjadi penting agar kita sebagai

aktivis Islam, sebagai orang yang misal mau buat Perda segala macam itu, tentu

saja itu harus menjadi acuan.

5. Apakah dampak positif dan negatif dari penerapan Perda Syariah di tengah

Bangsa Indonesia yang majemuk?

Jawab: Tadi itu, karena negara ini adalah negara majemuk, kalau negaranya

majemuk seperti ini lalu daerahnya yang mana dulu. Perda itu menurut saya lebih

banyak nilai negatifnya, karena perjuangan yang bersifat verbal itu, bisa

berdampak negatif. Dampak positifnya ada, kepada masyarakat di tempat itu.

Misalnya contoh konkrit, kenapa kemudian ada masyarakat di Papua Barat

membuat Perda Injil? Dan itu disebut sebagai Kota/Daerah Injil, sebagai

daerahnya Yesus di situ, karena dia merespon terhadap Perda-perda yang ada di

sini. Sehingga, akhirnya nanti negara ini menjadi pertarungan aturan-aturan yang

dilandasi oleh agama dan itu sebenarnya cara berpikir sempit. Kenapa cara

berpikir sempit? Karena tidak memperhitungkan bagaimana negara itu mesti kita

bangun bersama-sama, karena itu akan berdampak. Memang dalam jangka pendek

dia itu akan mempunyai kesan, o iya, daerah ini daerah Islami, bagus seperti itu,

tapi dampak lebih jauhnya akhirnya akan mengakibatkan ke daerah lain yang

bukan Islam sebagai mayoritas itu akhirnya membuat undang-undang yang

menandingi itu. Dan kami dari Majelis Ulama Indonesia, dari NU sekarang

sedang menerima keluhan itu dari Papua Barat. Jadi, teman-teman Papua Barat

yang muslim karena yang mayoritas mengeluh tentang hal itu. Salah satu

keluhannya karena salah satu isi Perdanya berisi begini, isi Perdanya itu bahwa

yang namanya hari Sabtu-Minggu itu nggak boleh ada aktivitas apa pun, karena

Sabtu-Minggu itu adalah hari keagamaan Injil. Kira-kira nanti bagaimana kalau

hari lebaran bertepatan dengan hari Minggu? Kan susah itu, maka sekarang

akhirnya Perda itu masuk ke Kemendagri dan sekarang masih ditahan, belum

dijalankan. Perda Syariah itu bisa memicu konflik, tidak secara langsung tapi itu

akan berakibat. Tapi kalau kemudian, seperti yang kita bilang bahwa kalau Islam

itu lebih dicari subtansinya, tujuannya, nilai-nilainya, lalu kemudian kita

massukkan dan tidak menggunakan lebel Islam itu akan lebih teratur dan akan

Page 86: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

74

lebih bisa diterima semuanya dan itu akan lebih bagus. Kan lebih baik begitu,

dibanding misalnya berlebel-lebel, karena orientasinya berlebel seperti itu. Kan

sama, jadi orang sholat, batas aurat itu kan ma baina al-surrah wa al-rukbah, kalau

laki menurut auratnya sampai di situ, kalau perempuan kecuali wajah kan harus

tertutup. Itu kan ketentuan Allah, tujuan dasar dari ketentuan Allah kan seperti itu.

Tapi, kan kalau orang Arab cara menutup auratnya pakai gamis, kalau orang

Indonesia model khas Jawa. Nah, lebel itu, sebenarnya hal-hal yang sifatnay

seperti itu, hal-hal yang sifatnya bungkus, padahal tujuan dasarnya itulah yang

perlu kita capai sebenarnya. Orang mau pakai gamis, mau pakai celana, pake

sarung, mau pakai apa saja ya boleh, yang penting menutup aurat, sasarannya

tercapai. Lebih daripada itu, sebenarnya kalau saya berpandangan, tapi ini

memang semuanya berbeda-beda setiap orang. Tapi, kalau di MUI pada umumnya

memang rata-rata bagaimana maqashid al-Syariahnya tercapai kalau bisa, kalau

memang harus ingin dilakukan secara bersamaan seperti itu tadi. Misalnya, UU

Keuangan Syariah itu, memang tidak bisa. Memang harus harus seperti itu, karean

apa? Karena memang keuangan konvensional itu, tidak mengakomodasi terhadap

prinsip-prinsip bermualamah secara syariah walaupun mungkin namanya ketika

itu harus syariah. Saya ketika itu kepikiran juga kenapa tidak harus syariah. Kan

tidak harus syariah? Muamalah apalah namanya tapi begitu DPR sudah

mengesahkan.

6. Apakah Bapak pernah mendengar bahwa Partai PSI menolak Perda Syariah?

Jawab: Kalau partai baru itu adalah partai yang memang butuh kejutan, butuh

pembeda, saya kira sifatnya partai yang harus ditengok oleh orang lain. Jadi, harus

bedalah dengan partai-partai yang lain, pertama pasti seperti itu. Yang kedua,

partai itu memang sekuler nampaknya. Jadi, memang diciptakan sebagai partai

yang sekuler, karena dia ciptakan sebagai partai sekuler ya ini negeri kan bukan

Negeri Islam, setiap orang bisa sepanjang dia berada di bawah UU dan demokratis

ya silahkan saja berpendapat seperti itu. Tetapi, kalau saya tidak sependapat.

Dalam arti, Perda Syariah itu kalau memang memungkinkan dilaksanakan dan

tidak berdampak seperti yang saya bilang tadi itu, iya nggak apa-apa silakan saja

laksanakan, tapi kalau berdampak secara negatif sehingga menimbulkan

Page 87: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

75

perpecahan dan segala macam itu jangan, kemudian tidak bertentangan dengan

UU yang ada di atasnya. Misalnya Daerah Aceh, karena memang daerahnya

seperti itu, sudah mendapatkan kekhususan, tapi kalau di daerah-daerah yang

majemuk, daerah-daerah yang plural saya tidak setuju kalau diterapkan Perda

Syariah. Tapi, catatan terpentingnya adalah bahwa buat kita yaitu tujuan

syariahnya itu yang harus dikedepankan, bukan kulit syariahnya. Jadi, tujuan

syariahnya itu yang menjadi pokok masalah.

7. Bagaimanakah solusi dan harapan Bapak terhadap kontroversi penerapan Perda

Syariah?

Jawab: Harapan terhadap Perda Syariah, sebaiknya kalau tidak perlu ada ya tidak

usah ada lah, jangan dipaksa-paksa karena ini negara bukan negara Islam. Tapi

negara muslim yang lebih mementingkan terciptanya nilai-nilai Islami yang bisa

bertetangga secara baik dengan non muslim, yang bisa membangun negara ini

dengan baik, bisa sejahtera semuanya dan tidak menjadikan agama sebagai

penyebab perpecahan. Jadi, kalau selama itu tidak menjadi penyebab perpecahan

saya kira monggo, tapi kalau kiranya menjadi penyebab perpecahan itu bisa

merepotkan, jangan. Cita-cita ke depan kalau saya yaudah UUD 1945 dan

pancassila itu kan sudah bersifat final, karena dia bersifat final maka pertama itu

adalah satu sikap keagamaan buat MUI, NU, Muhammadiyah, dan rata-rata

seperti itu. Yang namanya Ideologi Pancasila dan NKRI itu adalah sikap

keagamaan ketika dia sudah dinyatakan sebagai final. Kenapa dikatakan sikap

keagamaan? Karena dia punya landasan agama. Tapi kalau menurut kita, nggak

ada satupun nilai-nilai dari sila-sila itu yang bertentangan. Artinya tidak apa-apa,

karena itu disebut sebagai ikatan pemersatu, karena dia sebagai pengikat

pemersatu ya nggak apa-apa. Daripada kita dengan kehendak kita sendiri,

akhirnya kita tidak dapat bersatu, ya itu kalau dalam bahasa agama yang disebut

dengan”misaqan ghalidza”. Jadi, sebagai misaq itu penting sehingga ia

mempunyai landasan agama yang kuat, sehingga tidak bisa dikatakan bahwa

ketika orang menganggap Ideologi Pancasila itu sebagai sebuah ideologi lantas

kemudian nilai agamanya berkurang, tidak. Justru punya nilai lebih karena cerdas.

Page 88: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

76

Informan 2

Nama : Prof. Dr. Mohammad Baharun

Jabatan : Ketua Komisi Hukum dan Perundang-Undangan MUI

Hari/Tanggal : Senin, 28 Januari 2019

Waktu : 19:11

Keterangan : Via Wathsapp

1. Apakah Bapak mengetahui tentang Perda Syariah?

Jawab: Perda adalah produk hukum daerah, yang setelah otonomi daerah

diberikan oleh pemerintahan pusat, maka semangat untuk mengakomodasi

kepastian hukum bagi warga makin terbuka lebar, termasuk Perda Syariah.

2. Menurut Bapak apa yang dimaksud dengan Perda Syariah?

Jawab: Perda Syariah adalah produk hukum daerah yang digali dari sumber-

sumber hukum agama yang diyakini dan berkembang di tengah umat/masyarakat

muslim, seperti hukum adat yang juga jadi Undang-undang dan Perda, seperti

Undang-undang Gono-gini dan seterusnya. Umumnya Perda Syariah juga bisa

diterima penganut agama lain seperti Perda tentang larangan pelacuran, penertiban

minuman keras dan lain sebagainya.

3. Seberapa besar urgensi penerapan Perda Syariah?

Jawab: Urgensi penetapannya lazim disesuaikan dengan kemaslahatan atau

kepentingan bersama warga.

4. Apakah manfaat Perda Syariah?

Jawab: Manfaat Perda Syariah memberikan kepastian hukum kepada warga

5. Apakah Bapak pernah mendengar bahwa Partai PSI menolak Perda Syariah?

Jawab: PSI menolak Perda Syariah, itu hak mereka karena mungkin tidak ada

kepentingan tentang produk hukum daerah ini. Saya kira penolakannya karena isu

Page 89: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

77

dan pencitraan politik saja agar dapat dukungan dari kalangan liberal dalam

rangka kampanye negatif.

6. Apakah dampak positif dan negatif dari penerapan Perda Syariah di tengah

Bangsa Indonesia yang majemuk?

Jawab: Saya kira tidak ada dampak negatifnya karena asasnya kemaslahatan

bersama. Ambil contoh Undang-undang Jasa Keuangan, ternyata non muslim

banyak tertarik dengan sistem Syariah karena banyak memberikan profit dan

benefit daripada sistem konvensional yang ribawi itu.

7. Apakah Perda Syariah bertentangan dengan Ideologi Negara dan Peraturan

Perundang-undangan yang di atasnya?

Jawab: Perda Syariah tidak bertentangan dengan ideologi negara karena sila

pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, dan dalam Undang-undang Dasar

kebebasan beragama itu terjamin. Negara juga telah memberikan otonomi khusus

kepada Povinsi Aceh untuk menerapkan Syariah seluanya.

8. Bagaimanakah Bapak menyikapi dilematis penerapan Perda Syariah?

Hal ini tidak dilematis, karena fungsi utama Undang-undang dan peraturan itu

untuk memberikan kepastian hukum. Sudah banyak fatwa-fatwa MUI yang

menjadi Undang-undang seperti Undang-undang tentang Perbankan Syariah,

Pegadaian Syariah, Obligasi Syariah, Koperasi Syariah, Saham Syariah dan lain-

lain. Bahkan, kini sudah ada hotel Syariah, Rumah Sakit Syariah, Wisata Syariah

dan seterusnya, daftar itu bisa panjang dalam rangka mengakomodasi kebutuhan

masyarakat, Umat Islam telah merepresentasikan kepentingan itu untuk

kemaslahatan bersama.

Page 90: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

78

Informan 3

Nama : Prof. Dr. Zainal Arifin Hoesein, S.H., M.H.

Jabatan : Wakil Ketua Komisi Hukum dan Perundang-Undangan MUI

Tanggal : Rabu, 20 Februari 2019

Waktu : 16:10-16:55

Tempat : Lantai 2 Fakultas Hukum UMJ

1. Apakah bapak sudah pernah mengetahui tentang Perda Syariah?

Jawab: Iya

2. Menurut pemahaman Bapak Perda Syariah itu apa?

Jawab: Perda Syariah itu kan nomenklatur, sebenarnya itu semangat

keberagamaan. Nah, yang penting adalah materi muatan dari perda itu. Dari

materi muatan itu, terlihat apa yang menjadi obyek yang diatur. Nah, di dalam

Peraturan Perundang-undangan yang ada di Indonesia itu, semua perundang-

undangan selalu mengacu kepada Pancasila. Apa itu Pancasila? Yaitu harus

merujuk kepada sila kesatu, Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, semua

Peraturan Perundang-undangan harus landasannya Ketuhanan Yang Maha Esa.

Nah, Ketuhanan Yang Maha Esa itu tidak ada pada ajaran-ajaran lain kecuali pada

ajaran agama. Terjemahan dari Ketuhanan Yang Maha Esa dalam bentuk hukum,

itu bisa dikatakan sebagai kewajiban. Tidak boleh ada sebuah aturan apapun di

Indonesia yang bertentangan dengan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.

Ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi sumber utama. Lihat itu, di UU No.

12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yaitu

bahwa Pancasila adalah sumber segala sumber hukum. Artinya, Ketuhanan Yang

Maha Esa itu sebagai dari segala sumber hukum, secara teori. Bahwa semua

aliran-aliran teoritik hukum, aliran-aliran filsafat hukum, itu selalu

mengedepankan nilai-nilai teologi. Nah, nilai-nilai teologi itulah yang

memberikan inspirasi, memberikan sinar, memberikan panduan, bagaimana

Page 91: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

79

berkehidupan, baik mengatur individu dan individu, baik mengatur individu

dengan kelompoknya, kelompok dengan negara dan lain-lain. Jadi, secara teoritik

semua hal yang terkait dengan perumusan hukum, maka tidak boleh lepas dari

nilai-nilai teologi. Nah, mengapa ini ada Perda Syariah? Itu kan nomenklatur, jadi

bukan subtansi. Yang penting itu subtansinya, bukan nomenklatur. Nama itu

boleh apa saja, Itu kan akhirnya dipelesetkan menjadi kepentingan politik, jadi

kepentingan politik golongan tertentu. Wah Perda Syariah, Perda Syariah nanti

berbahaya. Nah, diembuskannya yang seperti ini menjadi tidak sehat. Padahal,

yang diatur itu ya kehidupan bermasyarakat, siapa masyarakat yang diatur? 85%

yang diatur itu, masyarakat beragama Islam. Vonden Berechteu sudah

menyatakan bahwa hukum yang berlaku pada masyarakat adalah norma-norma

yang bersumber pada nilai-nilai keyakinannya. Apa nilai keyakinannya? Ya

agama itu, agama itu ada sebelum negara ada. Dulu negara Indonesia belum ada,

orang beragama sudah ada. Jadi, tidak perlu mempersoalkan ini Perda Syariah

atau tidak. Contoh ya, minuman alkohol, haram tidak? Haram toh, itu sedikit

banyak ketukaran, ketika merumuskan RUU mengenai minuman beralkohol

namanya minol (minuman beralkohol), yang menentang banyak. Kenapa? Itu

bisnis. Padahal yang dilindungi itu adalah sekian juta orang, generasi, yang akan

mengelola negara ini, tapi ini ditentang. Jadi, Perda Syariah itu, istilah

nomenklatur yang muatannya politik. Jadi, bukan terus kemudian muatannya

ayat-ayat, ya nggak juga. Di Aceh itu Qanun namanya, padahal Qanun itu

undang-undang. Kalau dalam peraturan perundang-undangan kita namanya

Peraturan Daerah. Itu, kalau menurut saya, jadi Perda Syariah itu hanya istilah

atau nomenklatur, tapi yang penting itu adalah isinya. Jadi ada, dibatalkan Perda

Syariah, nggak ada itu. Saya pernah diskusi saya undang Dirjennya karena waktu

itu mau dibatalkan 3000 sekian Perda, termasuk Perda Syariah. Saya Tanya,

“Mas, kira-kira ada nggak situ Perda Syariah yang dibatalkan?” “Nggak, Mas”.

Jadi, umpamanya seperti ini, di Tasik, atau Tangerang aja, wanita yang keluar

malam sampai jam sekian, nggak boleh. Umpamanya begitu kan? Apa bedanya,

wanita yang berkeliaran malam, yang menjajahkan diri, sama dengan wanita yang

keluar bekerja dengan sift. Nah, itu gimana? Itu nanti teknis yang mengaturnya,

Page 92: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

80

sehingga ada tanggungjawab perusahaan, jangan dong kalau wanita sift malam

pulangnya sendiri. Harus ada tanggungjawab perusahaan, apakah itu rombongan

diantarkan oleh perusahaan, ada tanggungjawab, itu loh. Ya tidak semuanya

wanita, laki-lakinya juga begitu. Nah, inilah banyak istilah kepentingan politik.

3. Mugkin pernyataan Bapak tadi bisa dianggap relevan dengan pernyataan

bahwa Perda Syariah dianggap diskriminatif terhadap perempuan?

Jawab: Katanya Perda Syariah itu diskriminatif, tidak ada. Perda itu, kalau dalam

teori perundang-undangan namanya regel/regeling (mengatur/pengaturan). Sifat

mengatur itu, pasti untuk semua orang, ya kan? Mengikatnya semua orang. Jadi,

berlaku untuk semua, mengikat kepada semua, diskriminasinya di mana? Katakan,

kalau diskriminasinya itu untuk non muslim, tapi kan hanya muslin, untuk non

muslim tidak berlaku. Sekarang kita kaitkan dengan pasal 29 ayat (1), negara

berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, ada tidak Pancasilanya? Kan iya,

Ketuhanan Yang Maha Esa, artinya nilai teologisnya itu ada. Terus ayat (2)

negara menjamin kepada pemeluk-pemeluk agama untuk menjalankan ibadah

menurut agama dan keyakinannya. Artinya apa? Loh kalau spesifik berlakunya ya

boleh dong dalam rangka menjalankan. Contoh ya, UU yang mengatur mengenai

Ekonomi Syariah. Diskriminatif tidak? Tidak, semua orang boleh

memperaktekkan Bank Syariah asal tunduk kepada aturan-aturan Bank Syariah.

Kan ada metode penundukan diri, penundukan hukum, jadi itu tidak ada istilah

diskriminatif, itu golongan orang-orang yang over estimate (ketakutan)

identitasnya. Nah itu, jadi tidak ada nilai diskriminatif, justru negara wajib

memberikan apa yang disebut “to protect, to respect, to fullfing” karena apa, ini

bagian dari Human Right, ini bagian dari Citizen Constitutional Right. Jadi,

bagian hak asasi beragama, bagian dari ketenangan beribadah sebagai warga

negara, itu bagian dari Citizen Constitutional Right (Hak-hak Konstitusional

Warga Negara). Ini harus diperhatikan, dilindungi dan dipenuhi oleh negara. Itu

Pasal 29 ayat (2) dan Pasal 28 juga. Nah, dengan demikian kalau ada orang yang

mengatakan bahwa nomenklatur Perda Syariah itu diskriminatif, untuk

mendirikan negara Islam, itu Islamopobhia (ketakutan yang tidak berdasar dan

berlebihan).

Page 93: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

81

4. Kemudian kalau menurut Bapak penerapan Perda Syariah itu penting tidak?

Jawab: Penting. Persoalannya kalau saya bukan masalah Perda Syariahnya, nilai-

nilai Syariah masuk di dalam peraturan Perudang-undangan itu penting, karena

semua peraturan perundang-undangan harus konteksnya berlandaskan Ketuhanan

Yang Maha Esa, aspek teologinya, terus mau apa lagi?. Kalau mayoritasnya umat

Islam, yang diatur masa orang Kristen? Oleh karena itu, ada bagian-bagian

tertentu yang nuansanya memang untuk umat muslim, ya nggak masalah. Bagus

juga kalau ada toleransi secara politik, secara sosial itu toleransi juga. Nah dengan

demikian, tidak ada alasan orang menolak. Bukan persoalan Perda Syariahnya,

tetapi itu hak Umat Islam untuk mendapatkan perhatian, perlindungan dan

pemenuhan. Hak-hak dia untuk beragama. Freedom of religion itu penting, bagian

dari hak asasi yang seluruh dunia itu mengakui, masa orang Indonesia tidak mau

mengakui? Jadi, sekali lagi Perda Syariah itu nomenklatur. Seolah-olah itu

mensyariah Islamkan seluruh Indonesia, tidak begitu. Tapi, membumikan nilai-

nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari penting, karena 85%-nya itu orang yang

berkeyakinan Islam sebagai agama. Masa negara mau mengingkari itu?

5. Kalau demikian, berarti banyak ya Pak manfaat dari Perda Syariah?

Jawab: Iya, bagi saya justru wajib. Jadi, Perda-perda atau termasuk undang-

undang, contoh RUU KUHP saya termasuk ketua tim untuk menyusun kejahatan

susila, tentang perzinaan. Menurut KUHP Belanda, overspel itu hubungan laki-

laki dan perempuan yang salah satu atau dua-duanya terikat perkawinan. Artinya

laki-laki dan perempuan, apakah laki-lakinya sudah beristri ataukah yang

perempuan sudah bersuami atau dua-duanya bersuami dan beristri, melakukan

hubungan yang bukan ikatan nikah. Itu hukumannya sudah tetap. Bagaimana

kalau tidak terikat perkawinan? Tidak. Suka sama suka bagaimana? Tidak, tidak

dikatakan berzina. Nah itu, kita definisikan sesuai dengan syariah. Jadi, gampang

aja rumusannya, seseorang melakukan hubungan atau persetubuhan yang tidak

didasarkan ikatan perkawinan yang sah, dihukum (bla, bla, bla, bla) nah itu,

gampang kan rumusannya. Islam tidak ini? “Seseorang”, jadi semua, termasuk

yang tomboy, lestbi, homo, dan LGBT tercakup semua. Tapi itu masih ada yang

Page 94: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

82

menentang, akhirnya kita jelasin, ketua DPR datang “Pak Kiyai undang aja

ketuanya”, datang MUI akhirnya kita jelasin, titik-koma tidak boleh dirubah. Jadi,

ini yang namanya transformasi atau disebut penyelundupan hukum kepada suatu

aturan tertentu. Kalau saya mengistilahkan sebagai transformasi yaitu mengubah

sesuatu secara legal.

Berarti yang penting untuk diterapkan nilai-nilainya saja ya Pak?

Iya, yang penting nilainya. Jadi, kalau pendapat saya, boleh kamu nanti kutip ya

bahwa Perda Syariah itu nomenklatur, itu tidak terlalu penting yang penting itu

justru materi muatannya. Jadi, materi muatannya memuat kebijakan dasarnya,

politik hukumnya. Nah, politik hukum dalam perspektif kesyariahan itu ya nilai-

nilai Ketuhanan. Terjemah kitab berlindung kepada nilai Ketuhanan dalam

perspektif Islam. Nilai tauhidnya, tinggal nilai Syariahnya masukkan ke dalam

aturan yang mengikat. Banyak kog, umpanya tadi tentang minuman keras,

kemudian ekonomi yang paling jelas, yang sekarang itu pidana (kesusilaan),

kemudian prinsip-prinsip retroaktif, itu kan Islam. Allah itu tidak akan

menurunkan adzab kepada suatu kaum, sebelum Nabi diutus. Artinya, dosanya

yang dulu itu tidak bisa dibebankan lagi. Umar Ibn Khattab, bagaimana dulu,

membunuh, minum, mempekosa, macam-macam lah kelakuannya. Zaman

sebelum kenabian, begitu datang kenabian dia masuk Islam, baru dipertanyakan,

“Apakah perbuatan yang lalu dibebankan?“ kan nggak. Nah, itu maksudnya.

6. Lalu apakah Bapak pernah mendengar mengenai isu bahwa Partai Solidaritas

Indonesia (PSI) menolak Perda Syariah?

Jawab: Ya itu tidak jelas, artinya dia menyuarakan asal menyuarakan. Sebenarnya

dia ini, arah perjuangannya mau ke mana? Mau ke arah Pancasila atau tidak, kalau

dia menentang kaitannya Perda Syariah, jelas dia anti Pancasila. Lah iya kan?

Wong Perda Syariah konteksnya adalah Pancasila, menjalankan amanah

Pancasila. Mana ada Perda Syariah bertentangan dengan pancasila? Nggak ada

satupun. Mereka itu nggak paham, nggak ngerti.

Page 95: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

83

7. Bagaiman Bapak menyikapi penentangan PSI?

Jawab: Ya, harus dilawan. Dengan konsep, dengan penjelasan, kalau di dalam al-

Quran kan bi al-hikmah. Nggak boleh dengan kekerasan, biarkan saja. Jadi

sadarkan, nggak mau terus aja, nggak mau lagi ya harus diperangi lama-lama.

8. Bagaimana solusi dan harapan Bapak mengenai kontoversi penerapan Perda

Syariah?

Jawab: Ya, itu artinya dalam perspektif politik hukum, negara tetap harus

memberikan peluang umat beragama atau masyarakat untuk menjalankan

ibadahnya secara baik. Negara harus bisa memberikan/memfasilitasi yang adil,

menjalankan segala keyakinan masyarakat itu. Kalau ada konflik, pendekatannya

jangan politik, pendekatannya adalah sosial. Sehingga, tidak sampai bentrok

horizontal, karena bahaya itu. Oleh karena itu, ke depannya negara itu harus lebih

aktif dan masyarakat (umat Islam) perlu menggali nilai-nilai dalam Islam yang

akan dituangkan dalam sebuah kehidupan beragama. Seperti piagama Madinah

persis, Piagam Madinah itu bagaimana prinsip-prinsip yang sifatnya universal

banyak misalnya persaudaraan. Apa itu persaudaraan? Bahasa agama kita

ukhuwah. Apakah istilah persaudaraan itu umpamanya salah? Nggak. Kan tinggal

ditermahkan aja. Nah, itu jadi ada strategi, tantangan. Sehingga, orang lain tidak

curiga. Ini kan karena over estimate (ketakutannya berlebihan).

Tadi Bapak mengatakan bahwa negara harus aktif. Aktif dalam artian yang seperti

apa itu Pak?

Aktif itu, negara memberikan fasilitas. Jadi ada dua ya, ada sifatnya forum

internum. Forum internun itu adalah seluruh aktivitas keagamaan dikelola dan

diputuskan oleh umat beragama yang bersangkutan. Contoh ya haji, Ibadah Haji

itu adalah bagian dari ritual yang kewajibannya individual, negara harus

memberikan kemudahan untuk orang berniat haji, maka undang-undang haji itu

bukan subtansi haji, hukum-hukum haji, fikih haji, tidak. Tapi, pengelolaan haji.

Undang-undang Zakat, undang-undang Pengelolaan Zakat. Bukan persoalan

berapa nishab, tidak, itu urusan internum. Eksternumnya, negara hanya bagaimana

memudahkan aplikasi dari nilai-nilai ini. Itu makna apa yang disebut negara

Page 96: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

84

melindungi atau negara menjamin, di Pasal 29 ayat (2) itu negara menjamin.

Menjamin itu adalah memberikan fasilitas, melayani, negara itu pelayan.

9. Menurut pengamatan Bapak apakah ada dampak negatif dari Perda Syariah?

Jawab: Nggak ada. Yang membuat negatif itu orang yang tidak suka. Itu semangat

keberagamaan yang tinggi jangan kemudian dimatikan, itu kan fitnah. Jadi orang

yang tidak suka, ya begitu. Quran sudah menjelaskan bahwa Yahudi dan Nasrani

itu selalu tidak suka, sampai umat Islam mengikuti ajaran dia lagi.

Informan 4

Nama : Abdul Kholik, S.H., M.Si

Jabatan : Wakil Sekretaris Komisi Hukum dan Perundang-Undangan MUI

Hari/Tanggal : Minggu, 03 Maret 2019

Waktu : 10:00

Keterangan : Via Email

1. Apakah Bapak mengetahui tentang Perda Syariah? Apa yang dimaksud

dengan Perda Syariah?

Jawab: MUI selama ini memberikan perhatian dan selalu mendorong untuk

adanya Perda Syariah (Perda yang berisi atuaran-aturan dijiwai dan berisi ajaran-

ajaran Agama Islam) dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat. Keberadaan

Perda Syariah adalah konstitusional sepanjang dibentuk sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

2. Seberapa besar urgensi penerapan Perda Syariah?

Jawab: Sebagai produk hukum daerah Perda Syariah memiliki urgensi yang kuat

sejalan dengan kebutuhan hukum masyarakat. Bahkan khusus di Aceh

keberadaan perda Syariah dijamin sesuai dengan Undang-Undang Otonomi

Khusus Aceh. Di luar Aceh juga terus bermunculan sejalan dengan semangat

otonomi daerah dan perkembangan masyarakat di daerah. Urgensinya di

Page 97: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

85

beberapa daerah sangat kuat misalnya, tentang Perda Larangan Minuman keras

(Alkohol) (Lihat Perda Larangan Miras Provinsi Papua dan Perda Larangan

Miras di berbagai kabupataen di Papua karena kondisi masyarakatnya yang

banyak menjadi korban Miras).

3. Apakah manfaat Perda Syariah?

Jawab: Manfaat suatu Produk Hukum Perda, termasuk Perda Syariah tentu akan

kembali kepada masyarakat dan Pemerintah daerah dalam menegakkannya.

Sepanjang dapat berjalan baik maka tentu akan memberikan dampak positif bagi

masyarakat. Misalnya beberapa Perda tentang Pengelolaan Zakat yang ada di

banyak daerah sangat membantu dalam mengelola dan menghimpun dana zakat

dan kemudian manfaatanya untuk masyarakat luas.

4. Apakah Bapak/Ibu pernah mendengar bahwa Partai PSI menolak Perda

Syariah?

Jawab: Melalaui pemberitaan media, ketua Umum PSI menegaskan partaianya

akan menolak Perda Syariah.

5. Problema apa yang terjadi sehingga Perda Syariah dipersoalkan kembali?

Jawab: Penolakan itu karena tidak memahami keberadaan perda Syariah yang

dijamin oleh konstitusi baik Pasal 28E ayat (1), Pasal 29 ayat (2) dan juga

beberapa peraturan perundang-undnagan seperti Undang-Undang Zakat,

Undang-Undang Perbankan Syariah, dan lain-lain yang di antaranya

membutuhkan peraturan turunan di tingkat daerah.

6. Apakah Bapak setuju dengan sikap partai PSI tersebut?

Jawab: Tidak setuju.

7. Apakah dampak positif dan negatif dari penerapan Perda Syariah di tengah

Bangsa Indonesia yang majemuk?

Jawab: Dampak posisitifnya kembali pada masyarakatnya seperti yang di Papua

terkait Larangan Miras, bertujuan melindungi masyarakat Papua dari dampak

buruk Miras yang merugikan masyarakat. (lihat lahirnya Perda Anti Miras di

Manokwari yang diinisiasi oleh Ibu Ibu yang tidak tahan akibat para suaminya

mabuk-mabukan dan merusak keluarga dan masyarakat).

Page 98: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

86

8. Apakah Perda Syariah bertentangan dengan Ideologi Negara dan Peraturan

Perundang-undangan yang di atasnya?

Jawab: Jelas tidak bertentangan dengan idiologi negara, Sila pertama pancasila

dan pasal 29 ayat (1), dan ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.

9. Bagaimanakah solusi dan harapan Bapak menghadapi dilematis penerapan

Perda Syariah?

Jawab: Bagi kami keberadaan perda syariah tidak dilematais, hanya yang salah

memahami saja yang menyoal Perda Syariah.

Informan 5

Nama : Drs. Zafrullah Salim, S.H., M.Hum.

Jabatan : Anggota Komisi Fatwa MUI

Hari/Tanggal : Selasa, 23 April 2019

Waktu : 13:05-13:35

Tempat : Ruang Sidang Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta

1. Menurut pemahaman Bapak apakah yang dimaksud dengan Perda Syariah?

Jawab: Jadi seperti ini, pertama terjadi penyesatan istilah. Dalam sistem

perundang-undangan kita tidak dikenal yang namanya Perda Syariah. Jenis

peraturan perundang-undangan itu sudah sifatnya limitatif, terbatas yang ada

dalam undang-undang. Baca Undang-Undang 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Jadi, jenis Peraturan Perundang-

Undangan yang sifatnya hierarki itu tidak mengenal adanya Perda Syariah.

Kenapa? Karena yang ada itu Peraturan Daerah atau qanun atau Perdasus

(Peraturan Daerah Khusus) atau Peraturan Daerah Istimewa. Yang ada apa? Isi

sebuah peraturan perundang-undangan yang mengikat umum itu berasal dari

unsur-unsur Hukum Islam. Jadi, kalau kita sebut namanya Perda Zakat, bukan

Perda Syariah mengenai zakat, ini artinya ketentuan-ketentuan hukum agama

Page 99: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

87

yang terkait dengan zakat, wakaf, mungkin juga Surat Berharga Syariah Negara

itu seluruhnya adalah hukum positif di negeri kita yang telah melalui proses

transformasi hukum. Itu satu ya. Apakah dimungkinkan sistem Hukum Islam

masuk dalam institusi? Sangat dimungkinkan, karena kalau kita katakana hukum

yang bertitik tumpu pada peraturan perundang-undangan, maka referensi dalam

bidang hukum nasional, dalam arti undang-undang (peraturan perundang-

undangan) itu adalah pertama Hukum Barat, melalui perubahan UUD 1945,

maka hukum yang ada pada zaman kolonial Belanda itu masih tetap berlaku

sepanjang tidak berubah dan diganti dengan undang-undang yang baru. Yang

kedua Hukum Adat. Yang ketiga Hukum Islam. Jadi, kalau dia sudah melewati

masa proses yang disebut dengan transformasi hukum atau disebut dengan

istilah positivering (mempositifkan hukum-hukum yang ada) dia tidak disebut

lagi dengan Hukum Islam. Jadi, kalau saya baca undang-undang tentang

Perbankan Syariah itu bukan undang-undang Syariah, tapi isinya itu berasal dari

Islam. Ya silahkan isinya berasal dari mana saja, itu satu jawaban saya. Yang

kedua, dimensi apa yang menyebabkan orang “Anti Perda Syariah”, karena

mereka menganggap bahwa Perda Syariah itu mengganggu kepentingan dia.

Pada umumnya yang disoroti itu adalah perda-perda yang sifatnya mengatur

ketertiban umum (keamanan masyarakat), misalnya Miras (Alkohol). Itu mereka

tidak suka, padahal di situ sifat dari sebuah Perda yang berasal dari Hukum

Syariah tadi itu adalah untuk ketertiban umum, agar supaya sebuah

Perda/Undang-Undang dapat memberikan pengayoman kepada orang-orang.

Jadi, dari segi ini tidak bisa kita katakan Perda itu adalah bertentangan dengan

aturan-aturan yang ada. Tempo dulu juga begitu, itu kan ada gara-gara Tempo,

ada dulu majalah entah tahun berapa judulnya “Perda Syariah”. Itu jadi

menyesatkan, namanya Public Fallacy (kesesatan yang menimbulkan kekacauan

di kalangan publik). Perda sebagai salah satu jenis peraturan perundang-

undangan dia merupakan hierarki, mulai UUD, Tap MPR, UU/Perppu, Peraturan

Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan

Daerah Kabupaten/Kota. Yang ketiga, bagaimana mungkin bisa terjadi proses

transformasi? Jadi, mentransformasikan hukum itu adalah wajib, proses

Page 100: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

88

pengujian terhadap norma-norma Hukum Islam yang kemudian dicoba,

diintrodusi, tidak dengan bahasa yang dipakai dalam Al-Quran, Sunah. Tapi,

dengan mengambil sifat-sifatnya yang umum, yang sifatnya general, norma-

norma yang sesungguhnya untuk seluruh dunia itu sama. Makanya dikatakan

proses transformasi hukum itu melewati tiga hal, pertama dari segi prosedurnya,

kalau dalam Undang-Undang 12 tahun 2011 itu dikenal dengan Tahapan

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Tahapan itu mulai dari

perencanaan, pengkajian dimulai dari menyusun Naskah Akademik, kemudian

penyusunan, Pembahasan, terakhir pengundangan, itu namanya prosedur.

Melewati prosedur penyusunan Naskah Akademik, kalau kita ingin

memproduksi Hukum Islam, jadi tidak boleh loncat, karena kita berkuasa orang

segan, sehingga asal-asalan tidak melalui prosedur. Yang kedua, segi

subtansinya, kita uji, kita lihat, apakah hukum yang hidup di tengah masyarakat

memungkinkan tidak itu. Yang ketiga, dari segi teknik bagaimana cara kita

menuangkan. Apakah setiap gagasan-gagasan Islam, islamisasi Hukum di

Indonesia perlu dengan undang-undang/peraturan peruundang-undangan? Oh,

lihat dulu. Inilah kesalahan kita karena kita kurang diintrodusi mengenai sistem

perundang-undangan di Indonesia. Jadi harusnya seperti ini, ada yang namanya

sebuah instrumen, instrumen pemerintah ini bagaimana caranya kita

menuangkan sebuah kebijkan pemerintah (bupati, gubernur, walikota) punya

satu keinginan, oh ini mestinya anak-anak mengaji, rumah potong hewan

seharusnya mendapat sertifikat dari MUI ini bagaimana caranya? Hukum

Administrasi mengatakan bahwa instrumen Pemerintahan itu bisa kita tuangkan

dalam banyak hal, pertama kita tuangkan dia dalam bentuk peraturan perundang-

undangan, itulah melahirkan apa yang kita sebut dengan rancangan peraturan

perundang-undangan. Yang kedua, kita menuangkannya dalam bentuk peraturan

kebijakan, misalnya dengan surat edaran, maklumat, petunjuk pelaksana,

petunjuk teknis, karena ini kewenangan diskresi dari setiap pejabat negara.

Kalau tidak dengan itu, kita menggunakan instrumen keputusan (besickhing),

keputusan ini misalnya mengangkat orang dengan SK diberi dia kewenangan

untuk menjalankan kebijakan kita. Mungkin juga nanti kita akan menggunakan

Page 101: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

89

melalui perencanaan. Yang terakhir kita bisa menggunakannya melalui

perbuatan keperdataan. Jadi, tidak seluruhnya bertitik tumpu pada peraturan

perundang-undangan. Salah kalau semua kebijakan itu dituangkan dalam

peraturan perundang-undangan. Kalau memang semua masyarakat di sana sudah

muslim, kenapa harus dikeluarkan Perda? Tidak perlu Perda, cukup surat edaran

saja. Jadi, karena kurangnya pemahaman kita mengenai instrumen pemerintah,

bagaimana pemerintah seharusnya melakukan perbuatan pemerintahan atau

tindakan pemerintahan. Itu setiap perbuatan, tindakan pemerintah itu tidak mesti

melalui diskresi, bisa melalui perbuatan kebijakan/peraturan kebijakan. Nah, ini

jadi kesalahanya itu di sini. Saya melihat kedua belah pihak baik kita yang

idealis itu tidak paham bagaimana cara menuangkan suatu kebijakan. Akhirnya

menimbulkan keributan, misalnya diwajibkan membaca Quran, padahal itu

sudah the living law. Namanya calon gubernur di Aceh, tidak lazim kalau dia

tidak bisa Quran. Jadi kalau dia tuangkan di situ seorang gubernur pandai baca

Quran, ya itu wajar saja. Tapi kenapa harus dengan Perda kan seperti itu? Nah,

di sinilah masalah. Itulah sebabnya, akhirnya harus ada sebuah introdusir

mengenai konsep-konsep peraturan perundang-undangan supaya nanti bisa

memilih instrumen mana yang mesti dipakai.

2. Tapi bagaimana dengan Perda Syariah yang ada di Aceh?

Jawab: Itu kan qanun. Ya itu lain, qanun itu bukan Perda tapi dia se level dengan

Perda. Tapi untuk daerah Aceh Perda itu disebut dengan qanun, sifat

pembentukannya, jalurnya atau landasan hukumnya memang bukan peraturan

perundang-undangan, tapi adalah undang-undang tentang Pemerintahan Aceh.

3. Lalu bagaiamana dengan Perda Syariah yang ada di daerah lain Pak? Kan ada

yang mengatakan bahwa itu bertentangan dengan UU?

Jawab: Apanya yang bertentangan? Kalau masyarakat di sana itu menganggap

adalah sebuah kelaziman, itu makanya yang disebut dengan the living law, jadi

kalau di sana sudah ada. Baca UUD kita, hukum yang hidup dalam masyarakat

Hukum Adat itu. Jadi kita tidak mengada-ngada, makanya untuk membuat

sebuah aturan itu harus dilihat dulu, cocok tidak ini. Jadi tidak perlu nanti, ini

Page 102: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

90

Perda Injil, ini Perda Syariah. Itu bahasa provokatif, kalau memang masyarakat

Papua yang mayoritas beragama Kristen mewajibkan harus bisa baca Injil masuk

di sekolah, itu tidak apa-apa. Itu memang harus seperti itu. Pluralistik kita, kita

berbeda suku, agama, itu kenyataan sosial mestinya tidak boleh cemburu.

Berbeda ketika muslim dipaksa belajar Injil itu baru salah. Jadi hukum muncul

kalau timbul ketidaktertiban umum.

4. Bagaimana Bapak merespon pernyataan Ketua PSI?

Jawab: Ya, karena itu tidak mengerti saja, kurang paham. Ngomong sebagai

seorang politikus tapi tidak paham. Tidak paham tapi seolah-olah benar. Jadi dia

mengalami apa yang disebut public fallacy, itu namanya kebohongan publik,

karena dia tidak paham. Mestinya dia harus diintrodusi. Sebaliknya juga, jangan

mentang-mentang kita mayoritas, kemudian kita berkuasa, jangan semuanya

dituangkan dalam peraturan perundang-undangan, pilih instrumen lain.

Keputusan saja sudah cukup.

5. Lalu bagaimanakah solusi dan harapan Bapak terhadap polemik penerapan

Perda Syariah?

Jawab: begini, setiap pembentukan peraturan perundang-undangan itu kaji dulu

setiap pertimbangan filosofis, sosiologis, dan yuridisnya. Ketiga itu adalah

pertimbangan-pertimbangan (consideration) dalam membentuk suatu peraturan.

Selain itu kita juga harus melihat bagaimana subtansi yang akan kita tuangkan.

Apa artinya? Sebenarnya pembentukan hukum di Indonesia ini dia berkarakter

ke-Indonesiaan. Jadi namanya asas ke-Indonesiaan yang berimbang, dengan

demikian kalau kita membentuk suatu peraturan itu kita lihat lima asas

Pancasila itu. Ketuhanan Yang Maha Esa, tapi kita tidak menyebut dia sebagai

asas Ketuhana Yang Maha Esa, tetapi disebut yang namanya moral religious,

asas-asas moral agama yang sudah dipertimbangkan, apalagi kalau kita sudah

mengatur hal yang terakait dengan kesusilaan.

6. Bagaimanakah bapak menanggapi penerapan Perda Syariah?

Jawab: lihat dulu subtansinya, apakah subtansinya sesuai dengan Maqashid

Syariah atau tidak. Jadi yang namanya Pancasila itu, kalau kita bawa dalam

Page 103: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

91

hukum agama kita itu namanya Maqashid Syariah. Jadi, satu saja dasar hukum,

itu sudah cukup. Apa kita mau moral religius, demokrasi. Kalau kemanusiaan

yang adil dan beradab ya jangan sebut keadilan yang beradab, tapi humanisme.

Udah, ini Internasional dan ini Indonesia. Kemudian kalau kita sebut Ketuhanan

Yang Maha Esa, jangan sebut seperti itu, tapi sebut moral religious. Jadi dengan

begitu, apa yang menjadi khazanah Islam menajadi nilai-nilai universal.

Kemudian Persatuan Indonesia, jangan sebut Persatuan Indonesia, tapi sebut

nasionalisme. Jadi disalin-salin akhirnya Islam tadi itu menjadi universal.

Sehingga, kalau sebut dengan formalistik, kalau ini nanti subtantif. Kalau tidak

bisa dapat keduanya, satu saja ini sudah cukup, yang penting sesuai dengan

Islam. Kan “al-ashlu fi al-mu’amalati al-ibaahatu” Lalu manakah asas-asas

Pancasila yang dianggap bertentangan dalam sebuah perancangan, lihat dulu

mananya yang dilarang, karena kalau dia sudah tidak dilarang Quran tidak

membantah, muslim tidak membantah.

Page 104: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

92

Dokumentasi pelaksanaan Wawancara

1.1 Wawancara bersama Prof. Dr. Zainal Arifin Hoesein, S.H, M.H

1.2 Wawancara bersama Drs. Zafrullah Salim, S.H, M.Hum

Page 105: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

93

1.2 Wawancara bersama Drs. H. Masduki Baidlowi, M.Si

Page 106: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

94

1.4 Wawancara bersama Prof. Dr. Mohammad Baharun

1.5 Wawancara bersama Abdul Kholik, S.H, M.Si

Page 107: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

95

Page 108: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

96

Page 109: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

97

Page 110: RESPON TOKOH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46222...Kepada teman-teman kontrakan Juwita (Nailatul Izzah, Desi Nur Kumala, Kutsiatun

98