-
RESPON INDONESIA TERHADAP KEBIJAKAN PERTAHANAN MARITIM AUSTRALIA
PADA ERA KEPEMIMPINAN PRESIDEN
SOESILO BAMBANG YUDHOYONO (2004-2014)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Ilmu Sosial (S.Sos)
Diajukan Oleh:
Choirul Anam
NIM : 108083000020
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015
-
i
-
ii
-
iii
-
iv
ABSTRAK
Nama : Choirul Anam
Program Studi : Ilmu Hubungan Internasional
Judul : Respon Indonesia Terhadap Kebijakan Pertahanan Maritim
Australia Pada Era Kepemimpinan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono
(2004-2014)
Skripsi ini akan menganalisa Respon Indonesia Terhadap Kebijakan
Pertahanan Maritim Australia (AMIZ) Pada Era Kepemimpinan Presiden
Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY). Penelitian ini berupa penelitian
kualitatif, dengan mengumpulkan data-data yang berasal dari sumber
dokumen dan hasil-hasil penelitian yang sudah diolah terlebih
dahulu. Hasil penelitian menunjukan bahwa respon yang dikeluarkan
oleh Presiden SBY untuk tidak mempermasalahkan AMIZ adalah
dipengaruhi oleh beberapa hal: pertama, terkait dengan pengertian
mengenai tujuan dan fungsi dasar diciptakannya AMIZ oleh Australia;
kedua, karena model Politik Luar Negeri Presiden SBY yang lebih
menginginkan persahabatan dan menghindari konflik dengan negara
lain; ketiga, adalah karena terjalinnya sebuah perjanjian keamanan
antara Indonesia dan Australia dalam Agreement Between The Republic
of Indonesia and Australia on The Framework for Security
Cooperation. Dengan perjanjian tersebut, secara tidak langsung
Indonesia telah mengikat Australia agar tidak mencampuri urusan
dalam negeri masing-masing negara. Selain itu, prinsip dari
agreement tersebut juga mengatur agar lebih menghargai kedaulatan
teritorial masing-masing negara. Kata kunci:
Kebijakan luar negeri, sistem pertahanan, keamanan
-
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabilalamin, segala puja dan puji syukur penulis
panjatkan
kepada Alloh SWT atas segala niKmat, rahmat, dan petunjuknya
sehingga
penulisan skripsi ini dapat terselesaikan, demi untuk memperoleh
gelar Sarjana
Sosial (S. Sos) dalam Program Studi Ilmu Hubungan
Internasional.
Terselesaikannya skripsi ini merupakan berkat dukungan dari
berbagai
pihak. Oleh karenanya penulis mengucapkan rasa terimakasih yang
sangat besar
kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung dalam
proses
penyelesaian skripsi ini. Terimakasih yang paling utama adalah
kepada kedua
orang tua penulis yang telah memberikan dukungan moral,
finansial dan doa nya
yang tiada pernah terhenti. Selanjutnya rasa terima kasih
penulis ucapkan kepada
seluruh anggota keluarga yang selalu memberikan supportnya
untuk
menyelesaikan skripsi ini.
Penulis juga mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya,
kepada
Bapak M. Adian Firnas, M.Si. yang telah membantu sebagai dosen
pembimbing
dan membantu penulisan skripsi ini. Terimakasih atas segala
saran dan sharing
serta supportnya yang sangat bermanfaat kepada penulis.
Terimakasih sudah
meluangkan waktunya disela-sela kesibukannya. Bapak telah
memberikan arahan
dan motivasi yang sangat berharga, sehingga penulisan skripsi
ini dapat
diselesaikan dengan baik.
Selanjutnya penulis juga menyampaikan terimakasih kepada Bapak
Agus
Nilmada Azmi, M.Si. sebagai Penasehat Akademik, kemudian kepada
ibu Debbie
Affianty, MA sebagai ketua jurusan HI, serta seluruh Bapak/Ibu
dosen HI UIN
Jakarta yang telah mengajarkan berbagai ilmu selama masa
perkuliahan.
Penulis juga sangat berterima kasih kepada istri tercinta, Irma
Yuanita,
untuk segala dukungan dan dorongan serta semangat yang diberikan
untuk
menyelesaikan tugas akhir ini. Selanjutnya penulis juga
mengucapkan terimakasih
kepada temen-teman kerja yang telah sedikit banyak mengajarkan
tentang
kehidupan yang sebenarnya. Tak lupa juga temen seperjuangan HI
Kingdom atas
-
vi
pertemanan dan pengalaman yang luar biasa selama menuntut ilmu
di UIN
Jakarta.
Penulis sangat berharap semoga skripsi ini bisa bermanfaat bagi
para
pembacanya dan diharapkan dapat menambah keilmuan HI dengan
tidak terlepas
dari segala kekurangan didalamnya. Penulis hanya dapat berdoa
semoga Alloh
SWT membalas segala kebaikan yang telah diberikan oleh seluruh
pihak yang
turut membantu dalam menyelesaikan skripsi ini yang oleh penulis
tidak dapat
disebutkan satu persatu. Terimakasih.
Jakarta, Mei 2015
Choirul Anam
-
vii
DAFTAR ISI
ABSTRAK...........................................................................................................
iv
KATA
PENGANTAR...........................................................................................
v
DAFTAR
ISI.........................................................................................................vii
DAFTAR
GAMBAR..............................................................................................x
BAB I:
PENDAHULUAN..................................................................................1
A. Latar Belakang
Masalah...............................................................................1
B. Pertanyaan
Penelitian...................................................................................6
C. Kerangka Teoritis
1. Kepentingan
Nasional............................................................................6
2. Politik Luar
Negeri.................................................................................8
3. Keamanan
Nasional.............................................................................10
D. Tujuan dan Manfaat
Penelitian..................................................................11
E. Tinjauan
Pustaka........................................................................................11
F. Metode
Penelitian......................................................................................13
G. Sistematika
Penelitian................................................................................14
BAB II: KEBIJAKAN PERTAHANAN MARITIM
AUSTRALIA..............16
A. Isu-Isu Strategis dalam Perkembangan Kebijakan Pertahanan
Maritim
Australia.....................................................................................................17
1.
Terorisme.............................................................................................17
2. Migrasi
Ilegal.......................................................................................19
3. Pengamanan Kilang
Minyak................................................................20
B. Australias Maritime Identification Zone
(AMIZ).....................................21
C. AMIZ dalam Hukum Laut
Internasional....................................................26
D. Strategic Interest dalam Sistem Pertahanan
Australia...............................27
-
viii
BAB III: POTENSI ANCAMAN YANG DITIMBULKAN OLEH
KEBIJAKAN PERTAHANAN MARITIM AUSTRLIA ...................30
A. Kebijakan Pertahanan Maritim Australia (AMIZ) dalam Batas
Yuridiksi
Indonesia....................................................................................................30
B. Potensi Ancaman dari Kebijakan Pertahanan Maritim Australia
Terhadap
Indonesia....................................................................................................35
C. Reaksi Indonesia Terhadap Kebijakan Pertahanan Maritim
Australia
(AMIZ)......................................................................................................39
BAB IV: ANALISA FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBIJAKAN
PRESIDEN SOESILO BAMBANG YUDHOYONO UNTUK TIDAK
MEMPERMASALAHKAN AUSTRALIAS MARITIME
IDENTIFICATION ZONE
...................................................................42
A. Tujuan dan Fungsi Dasar Australias Maritime Identification
Zone (AMIZ
....................................................................................................................43
B. Politik Luar Negeri Presiden Soesilo Bambang
Yudhoyono.................................................................................................45
C. Perjanjian Keamanan Indonesia-Australia
...............................................47
BAB V:
KESIMPULAN......................................................................................53
-
ix
DAFTAR GAMBAR
Gambar III.B.1 Jangkauan Sistem Radar
AMIZ....................................................36
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kebijakan pertahanan Australia sebelum tahun 2000 dikembangkan
dengan
lebih terfokus pada pertahanan udara, hal ini sebagaimana yang
dijelaskan dalam
Buku Putih Pertahanan 1997 yang menyatakan bahwa kunci bagi
pertahanan
Australia adalah kontrol atas wilayah udaranya (Bhakti dan Alami
2005:41).
Kemudian, pada tahun 2000-an kebijakan tersebut mulai berubah,
dengan lebih
memfokuskan pertahanannya pada pertahanan yang berbasis maritim.
Perubahan
tersebut ditandai dengan dikeluarkannya Buku Putih Pertahanan
Australia yang
berjudul Defence Review 2000-Our Defence Force oleh Departemen
Pertahanan
Australia. Buku Putih Pertahanan tersebut berisi tentang sebuah
penegasan bahwa
perlu adanya upaya untuk melindungi pantai-pantai Australia yang
menghasilkan
tambang. Selain itu, di dalam Buku Putih Pertahanan tersebut
juga terdapat
himbauan untuk melakukan operasi keamanan pada kawasan pantai
Australia.
Perubahan kebijakan pertahanan tersebut terjadi akibat perubahan
cara pandang
Australia mengenai ancaman, Australia memandang bahwa ancaman
pada tahun
2000 datangnya bukan lagi pada ancaman militer, akan tetapi
lebih pada ancaman
yang berasal dari non-militer. Ancaman-ancaman tersebut
diperkirakan akan
berasal dari kawasan laut Australia, untuk itulah Australia
merasa perlu untuk
meningkatkan serta menguatkan patroli angkatan dan polisi
lautnya (Pudjiastuti
2005:63-69).
-
2
Perubahan kebijakan pertahanan Australia tersebut dilandasi oleh
beberapa
isu strategis yang dianggap sebagai ancaman oleh Australia.
Sebagaimana yang
dijelaskan oleh Atase Pertahanan Australia, Ken Brown Rigg, yang
disampaikan
pada Focus Group Discussion di P2P-LIPI pada tanggal 16 Mei
2005, bahwa
Australia sedang menghadapi banyak persoalan keamanan termasuk
didalamnya
adalah potensi ancaman-ancaman non-militer, seperti serangan
cyber, kejahatan
terorganisir dan terorisme (Sitohang 2005:113). Kemudian, isu
strategis lainnya
adalah berkaitan dengan semakin meningkatnya jumlah imigran
illegal yang
masuk ke Australia. Banyaknya imigran illegal yang masuk ke
Australia ini
dianggap akan mengganggu keamanan nasional Australia, hal ini
terkait dengan
kemungkinan bahwa mereka adalah bagian dari kelompok terorisme
internasional.
Selain itu, persoalan penjagaan kilang minyak yang berada
dikawasan lepas pantai
Australia juga menjadi perhatian khusus pemerintah Australia
melalui kebijakan
pertahanan maritimnya.
Kebijakan pertahanan maritim ini kemudian diimplementasikan
oleh
Australia melalui sebuah sistem pertahanan yang diberi nama
Australias
Maritime Identification Zone (AMIZ). AMIZ adalah sebuah
kebijakan pertahanan
maritim Australia yang digunakan untuk melakukan deteksi dini
terhadap kapal-
kapal yang akan menuju kawasan Australia, kapal-kapal tersebut
diwajibkan
untuk memberikan laporan mengenai semua informasi tentang kapal.
Dalam
penerapannya, AMIZ memiliki jangkauan pengamanan wilayah seluas
1000 Nm
(1850 Km), dengan menggunakan radar sebagai alat deteksinya.
Ketika kapal
yang akan menuju Australia sudah memasuki zona deteksi radar
AMIZ, maka
-
3
diwajibkan untuk memberikan informasi terkait data kapal kepada
pihak Australia
(Pudjiastuti 2005:69).
Ketika AMIZ diumumkan untuk pertama kalinya, timbul reaksi
penolakan
dari beberapa negara, diantaranya adalah Indonesia dan Malaysia.
Hal ini
dikarenakan kedua negara tersebut secara geografis merupakan
negara yang
terletak berdekatan dengan Australia. Malaysia melalui Wakil
Deputy Menteri
Pertahanannya, Zainal Abidin Zin, menyatakan bahwa Australia
tidak bisa
mengatasnamakan kepentingan nasionalnya dengan melanggar
kedaulatan negara
lain, karena ketentuan 1850 Km yang ditetapkan dalam AMIZ telah
memasuki
batas wilayah laut negara lain. Dengan demikian, Australia tidak
menghormati
wilayah kedaulatan negara-negara tetanganya (Elisabeth
2005:197). Senada
dengan Wakil Deputy Menteri Pertahanan Malaysia, Menteri
Pertahanan
Indonesia, Juwono Sudarsono, mengatakan bahwa Indonesia akan
menggelar
kekuatan laut jika Australia tetap akan menerapkan AMIZ. Begitu
juga dengan
Menteri Luar Negeri Indonesia, Hasan Wirajuda, dia menyatakan
bahwa yang
tidak bisa diterima dari AMIZ adalah pencampur adukan dua
yuridiksi demi
kepentingan mereka sendiri (Hertanto 2004). Konsep AMIZ yang
dimiliki oleh
Australia tersebut dinilai dapat mengancam kepentingan nasional
Indonesia,
karena konsep ini pada dasarnya merupakan surveillance untuk
wilayah seluas
1.850 Km dari daratan Australia. Jika jarak itu diterapkan, maka
akan menjangkau
dua per tiga wilayah Indonesia, diantaranya adalah Laut
Halmahera, Sulawesi dan
Jawa (Hakim 2010:53). Sedangkan Indonesia memiliki kedaulatan
penuh terhadap
wilayah-wilayah tersebut.
-
4
Permasalah utama yang mengakibatkan protes terhadap AMIZ
sebagaimana
yang disebutkan di atas, adalah terkait dengan jangkauan
pengamanan yang
diterapkan AMIZ. Setiap kapal yang masuk dalam zona AMIZ (1850
Km)
diwajibkan untuk memberikan informasi baik mengenai identitas
kapal, awak
kapal, kargo, lokasi dan pelabuhan tujuan di Australia. Langkah
pengamanan ini
diterapkan Australia untuk melakukan pencegahan dan pengamanan
dini terhadap
kapal-kapal yang dinilai akan mengancam negaranya, sehingga
kapal-kapal yang
dinilai mencurigakan dapat ditangkap sebelum masuk ke wilayah
Australia,
persoalannya adalah kawasan yang menjadi zona AMIZ tersebut bisa
jadi masih
terdapat di dalam wilayah negara lain yang memiliki kedaulatan
penuh
(Pudjiastuti 2005:69). Jika dilihat dari Hukum Laut
Internasional, telah
ditentukan bahwasanya batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang
telah
disepakati bersama adalah tidak boleh melebihi 200 Nm yang
diukur dari garis
pangkal sebagai titik atau tempat pengukuran lebar laut
teritorial (UNCLOS Pasal
57).
Dalam konteks kepentingan keamanan tersebut, Australia
berkepentingan
agar semua ancaman keamanan maritim yang menuju ke wilayahnya
dapat
dipatahkan sebelum memasuki wilayah Australia, oleh karena itu
segala cara akan
ditempuh untuk terjaminnya pengendalian laut di kawasan tersebut
(Hakim
2010:54). Kemudian, jika persoalan jangkauan tersebut dikaitkan
dengan strategic
interest Australia (a secure Australia is secure region) bukan
tidak mungkin
suatu saat jika terjadi konflik di wilayah Indonesia akan
mengundang intervensi
langsung oleh Australia di kawasan Indonesia, tentunya dengan
alasan untuk
-
5
mengamankan Australia dan kepentingannya serta mengamankan
stabilitas
kawasan. Sebagaimana waktu terjadi konflik Timor-Timur,
Australia dianggap
turut campur dalam lepasnya Timor-Timur dari Indonesia dengan
mendukung dan
mendorong referendum yang dilakukan oleh Presiden BJ Habibie
(Setiawan
2013).
Sebagai sebuah negara yang berdaulat, tentunya Indonesia
tidak
menginginkan adanya ancaman terhadap negaranya. Ada beberapa
potensi
ancaman yang ditimbulkan oleh AMIZ, yaitu pelanggaran kedaulatan
dan
yuridiksi Indonesia. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh
Menteri Luar
Negeri saat itu, Hasan Wirajuda, bahwasanya dengan menerapkan
jarak 1850 Km
maka AMIZ akan menjangkau dua per tiga wilayah Indonesia,
sedangkan wilayah
tersebut merupakan yuridiksi penuh Indonesia. Kemudian, menurut
konvensi
Hukum Laut Internasional dijelaskan bahwa Indonesia memiliki
kedaulatan penuh
terhadap wilayah tersebut (www.kompas.com 2004; Anggoro
2005:217). Potensi
ancaman lainnya adalah terkait dengan sistem persenjataan yang
akan menopang
kebijakan AMIZ, sebagaimana diketahui bahwasanya pada saat itu
Australia
sedang melakukan kerjasama dengan Amerika Serikat untuk
mengembangkan
sebuah senjata pemusnah masal, yaitu Standart Missile (Bhakti
2005:56-58).
Namun, dalam hal ini Presiden SBY mengambil langkah yang
berbeda
dengan Menteri Hasan Wirajuda dan beberapa pejabat lainnya yang
cenderung
untuk mempermaslahkan keberadaan AMIZ. Presiden SBY lebih
memilih untuk
diam dan tidak mempermasalahkan AMIZ, hal ini terlihat dari pada
saat Presiden
SBY melakukan kunjungan ke Australia pada bulan Mei 2005, dalam
kunjungan
-
6
tersebut Presiden SBY tidak secara khusus untuk membicarakan
persoalan AMIZ,
padahal kunjungan tersebut adalah dalam rangka kerjasama
keamanan (Anggoro
2005:217-219). Hal tersebut mendorong penulis untuk membahas
lebih dalam
mengenai alasan Presiden SBY yang lebih memilih untuk tidak
mempermasalahkan kebijakan pertahanan maritim Australia yang
tertuang dalam
Australias Maritime Identification Zone.
B. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penulis mengajukan
pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
Mengapa Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono tidak
mempermasalahkan kebijakan pertahanan maritim Australia
(AMIZ),
terkait dengan potensi ancaman yang akan ditimbulkan?
C. Kerangka Teoritis
Untuk menjawab pertanyaan penelitian diatas, penulis akan
menggunakan
Konsep Kepentingan Nasional, Politik Luar Negeri, Soft Power dan
Keamanan
Nasional.
1. Kepentingan Nasional
Masoed (1994) menjelaskan kepentingan nasional merupakan dasar
untuk
menjelaskan perilaku luar negeri suatu negara (h.139).
Sedangkan, menurut
Morgenthau yang dikutip dalam Robinson (1969), kepentingan
nasional
merupakan primary interests, yakni kepentingan utama yang
termasuk di
dalamnya untuk melindungi keamanan negara dan politik, identitas
kebudayaan
-
7
(kehidupan dan nilai-nilai dari warga negaranya), serta untuk
bertahan melawan
ancaman dari luar (h.184-185).
Kepentingan nasional merupakan tolak ukur atau kriteria pokok
bagi para
pengambil keputusan (decision makers) masing-masing negara
sebelum
merumuskan dan menetapkan sikap atau tindakan. Bahkan setiap
langkah
kebijakan luar negeri (foreign policy) perlu dilandaskan kepada
kepentingan
nasional dan diarahkan untuk mencapai serta melindungi apa yang
dikategorikan
atau ditetapkan sebagai kepentingan nasional (Rudy
2002:116).
Menurut Wolfers yang dikutip dalam Holsti (1987), terdapat tiga
kategori
dari kepentingan nasional secara umum: (1) Kepentingan utama
yang menjadi
dasar dalam perumusan kebijakan yang harus disiapkan, (2) Tujuan
jangka
menengah termasuk tuntutan beberapa negara, (3) Tujuan jangka
panjang yang
kadang-kadang dibatasi waktunya (h.182).
Pertama, kepentingan dan nilai yang utama dapat diartikan
sebagai salah
satu tujuan dimana masyarakat dengan sukarela berkorban untuk
mencapai tujuan
akhir. Nilai dan kepentingan tersebut biasanya dihubungkan
dengan usaha
perlindungan diri atau eksistensi. Sebuah negara dalam
merumuskan kebijakan
luar negeri akan ditujukan dari peningkatan pertahanan, baik di
wilayahnya
sendiri maupun kestabilan daerah sekitarnya, serta
mempertahankan keadaan
politik, ekonomi dan sosial yang berada dalam wilayah
kekuasaannya (Holsti
1987:183-184).
Kedua, penentuan tujuan jangka menengah di dasarkan pada
usaha-usaha
pemerintah untuk meningkatkan prestise negaranya. Hal tersebut
dilakukan
-
8
melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi, kemampuan militer,
serta kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Tujuan jangka menengah negara
maju yang
pertumbuhan ekonominya telah mencapai taraf yang tinggi adalah
berupa
peningkatan prestise negaranya di mata internasional yang
biasanya dilakukan
melalui peningkatan kemampuan militer dengan tujuan untuk
memperluas
pengaruhnya kepada negara lain. Peluasan pengaruh tersebut juga
dilakukan oleh
negara maju melalui pemberian bantuan luar negeri, terutama
kepada negara
berkembang, baik yang bersifat pinjaman maupun bantuan tanpa
ikatan (Holsti
1987:188-189).
Ketiga, tujuan jangka panjang adalah menyangkut perencanaan
untuk
melakukan reorganisasi seluruh dunia dengan jalan membangun
militer yang kuat
dan menghancurkan negara-negara revolusioner melalui kekerasan
perang (Holsti
1987:192).
Sedangkan kepentingan nasional menurut Joseph Frankel (1988)
adalah
merupakan aspirasi dari suatu negara yang bisa direalisasikan
secara operasional
pada suatu kebijakan untuk mencapai tujuan yang spesifik. Dalam
menetapkan
kepentingan nasional, sistem nilai dijadikan pedoman dalam
perilaku suatu
negara.
2. Politik Luar Negeri
Politik Luar Negeri atau Kebijakan Luar Negeri tidak terlepas
dari berbagai
perkembangan keadaan nasional dan internasional, bahkan Politik
Luar Negeri
merupakan cerminan dari kebijakan dalam negeri yang diambil oleh
Pemerintah.
Demikian pula dengan Politik Luar Negeri Indonesia tidak
terlepas dari pengaruh
-
9
banyak faktor, antara lain posisi geografis Indonesia yang
terletak pada posisi
silang antara dua benua dan dua samudera, potensi sumber daya
alam serta faktor
demografi atau penduduk di Indonesia, serta berbagai
perkembangan yang terjadi
di dunia internasional (Thoyib 2009:23).
Menurut Holsti (1987), kebijakan luar negeri merupakan tindakan
atau ide
yang dirancang oleh para pembuat kebijakan untuk memecahkan
suatu masalah
atau melancarkan perubahan dalam lingkungan internasional dalam
kebijakan,
sikap, atau tindakan negara (h.135). Menurut Millar (1969),
kebijakan luar negeri
merupakan suatu kebijakan dari pemerintah suatu negara yang
mempunyai
pengaruh terhadap hubungan dengan pemerintah negara lainnya
(h.57).
Kebijakan luar negeri yang dikeluarkan oleh sebuah negara
memiliki empat
tujuan, yaitu: keamanan (security), kesejahteraan (welfare),
otonomi (autonomy),
dan prestise (prestige) (Holsti 1992:84). Dalam orientasi
kebijakan luar negeri,
suatu negara memiliki sikap dan komitmen terhadap lingkungan
eksternal untuk
mencapai tujuan secara domestik maupun eksternal (Holsti
1987:137). Strategi
yang digunakan sebuah negara merupakan hasil dari serangkaian
keputusan yang
dibuat untuk menyelaraskan tujuan, nilai dan kepentingan
terhadap kondisi dan
karakteristik lingkungan domestik maupun eksternal.
Rosenau (1976), menjelaskan bahwa kebijakan luar negeri
digunakan untuk
menganalisis kekuatan-kekuatan internal dan eksternal yang
mempengaruhi
kebijakan luar negeri suatu negara terhadap negara lain (h.60).
Menurut Holsti
(1992), faktor eksternal terdiri dari struktur sistem,
karakteristik atau struktur
ekonomi global, tujuan dan tindakan aktor lain, masalah regional
atau global, serta
-
10
hukum dan organisasi internasional. Sedangkan faktor internal
terdiri dari
kebijakan sosial ekonomi atau keamanan, karakteristik topografi
atau letak
geografis, struktur dan filosofi pemerintahan, serta birokrasi
(h.272).
Menurut Breuning (2007), dengan banyaknya sumber yang
mempengaruhi
kebijakan luar negeri suatu negara tidak harus mempertimbangkan
atau
menjelaskan semua sumber, hal tersebut dapat disederhanakan
dengan fokus
terhadap satu atau beberapa sumber. Dalam penelitian ini,
penulis akan
menggunakan beberapa faktor yang terkait, yakni: (1) letak
geografis, (2)
kebijakan keamanan, serta (3) masalah regional (h.9).
3. Keamanan Nasional
Konsep keamanan nasional adalah sebuah kebutuhan untuk
menjaga
ketahanan suatu bangsa melalui daya ekonomi, militer serta
kekuatan politik dan
kepiawaian berdiplomasi (Collins 2003).
Masih menurut Alan Colins, Karena sifat yang kompetitif antar
bangsa-
bangsa, keamanan nasional dengan negara yang mempunyai nilai
sumber daya
yang signifikan didasarkan kepada tindakan-tindakan teknis dan
proses
operasional. Hal ini berkisar pada perlindungan informasi yang
berkaitan dengan
rahasia negara untuk persenjataan militer hingga strategi
bernegosiasi dengan
negara bangsa lain.
Ketika suatu negara melihat masalah keamanan, maka, akan dilihat
dari dua
sisi yaitu internal dan eksternal. Keamanan eksternal berkaitan
dengan adanya
ancaman dari luar negara yang berupa militer maupun noNmiliter.
Ancaman non-
-
11
militer umumnya berbentuk organisasi lintas negara, penyebaran
senjata dan uji
coba nuklir. (R.P, Barston 1988:184).
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan sikap yang diambil
oleh Presiden
Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) terkait dengan kebijakan
pertahanan maritim
Australia yang tertuang dalam Australias Maritime Identification
Zone (AMIZ).
Presiden SBY memilih untuk tidak mempermasalahkan kebijakan
pertahanan
maritim Australia yang berpotensi akan melanggar Kedaulatan dan
Yuridiksi
Indonesia terkait dengan jangkauan radar AMIZ yang mencapai dua
per tiga
wilayah Indonesia.
Penelitian ini juga diharapkan nantinya mampu memberikan
manfaat
informasi bagi study Ilmu Hubungan Internasional terkait dengan
sikap Presiden
Soesilo Bambang Yudhoyono terhadap kebijakan pertahanan maritim
Australia
yang dinilai mempunyai potensi pelanggaran Kedaulatan dan
Yuridiksi Indonesia.
E. Tinjauan Pustaka
Skripsi yang ditulis oleh Susi Pesta Romauli Boru Aritonang
dengan judul
Pengaruh Kebijakan Maritim Australia (Australias Maritim
Identification Zone
(AMIZ) Terhadap Batas Yurisdiksi Perairan Indonesia, di dalam
skripsi ini fokus
membahas tentang bagaimana pengaruh Australias Maritim
Identification Zone
(AMIZ) terhadap batas Yuridiksi perairan Indonesia serta
menjelaskan tentang
bagaimana AMIZ ini dalam pandangan Hukum Laut Internasional
(Aritonang
2004).
-
12
Skripsi yang ditulis oleh Sekar Ayu Lestari yang berjudul
Kerjasama
keamanan Indonesia-Australia dalam kerangka Agreement between
the republic
of Indonesia and Australia on the frame work for security
cooperation 2006-
2009, didalam skripsi ini membahas tentang bagaimana bentuk
kerjasama
keamanan dan apa yang menjadi fokus kerjasama keamanan dalam
agreement
between the republic of Indonesia and Australia on the framework
for security
cooperation (Lestari 2012).
Buku penelitian dari LIPI yang berjudul Kebijakan Pertahanan
Australia
Tahun 2000-2005 dan Respon Negara-Negara Asia Timur dan Selandia
Baru. Di
dalam buku ini ini dijelaskan secara detail tentang evolusi
kebijakan pertahanan
Australia dari tahun 1986 sampai dengan 2003. Disini juga
dijelaskan tentang
bagaimana negara-negara di Asia Timur dan Selandia Baru merespon
AMIZ
terkait dengan jangkauannya yang mencapai 1000 mil laut dari
pelabuhan-
pelabuhan Australia dan juga persenjataan-persenjataan yang
melengkapi sistem
pertahanan tersebut (Pudjiastuti et al. 2005).
Sedangkan dalam penelitian ini, penulis akan lebih terfokus
pada
pembahasan mengenai sikap Presiden SBY terhadap kebijakan
pertahanan
maritim Australia. Kebijakan pertahanan maritim Australia yang
tertuang dalam
sistem pertahanan AMIZ memiliki jangkauan yang mencapai dua per
tiga wilayah
Indonesia, hal tersebut dinilai akan berpotensi mengancam
Kedaulatan dan
Yuridiksi Indonesia. Namun Presiden SBY justru memilih untuk
diam dan tidak
mempermasalahkan. Untuk itu, penulis ingin membahas lebih dalam
mengenai
kebijakan Presiden SBY tersebut.
-
13
F. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan Metode Penelitian
Kualitatif,
karena pada dasarnya pengumpulan data dalam penelitian
kualitatif ini meliputi
empat tipe, yaitu observasi, interview, dokumen dan gambar
visual yang masing-
masing mempunyai fungsi dan keterbatasan (Creswell 1994) dan
penulis disini
akan lebih banyak menggunakan data-data yang berasal dari sumber
dokumen
atau hasil-hasil penelitian yang sudah di olah terlebih dahulu
dan telah
dipublikasikan oleh para penerbit.
Sedangkan, pengertian dari Metode Penelitian Kualitatif adalah
prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata
tertulis atau lisan
dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Moleong 2002).
Gaya
penelitian kualitatif berusaha mengkonstruksi realitas dan
memahami maknanya.
Sehingga, penelitian kualitatif biasanya sangat memperhatikan
proses, peristiwa
dan otentisitas (Soemantri 2005).
Penelitian kualitatif memiliki enam asumsi, Pertama, penelitian
kualitatif
mementingkan proses dari pada hasil atau produk. Kedua,
penelitian kualitatif
tertarik dalam mengartikan bagaimana manusia mengartikan
kehidupan,
pengalaman-pengalaman dan struktur dunia mereka. Ketiga,
penelitian kualitatif
merupakan instrumen utama dalam mengumpulkan dan menganalisis
data.
Keempat, penelitian kualitatif meliputi kerja lapangan. Kelima,
penelitian
kualitatif adalah deskriptif, peneliti berkepentingan dalam
proses, pengartian dan
pemahaman yang diperoleh atau melalui kata-kata atau gambar.
Keenam, proses
-
14
penelitian kualitatif adalah induktif, dalam hal ini peneliti
membuat abstraksi,
konsep, hipotesis dan teori (Creswell 2004).
Dengan menggunakan sumber kepustakaan serta pengumpulan data
dengan
metode kualitatif, diharapkan nantinya dapat mendukung dalam
proses mendalami
dan menganalisa respon Indonesia yang dikeluarkan oleh Presiden
Soesilo
Bambang Yudhoyono terhadap kebijakan pertahanan maritim
Australia.
G. Sistematika Penelitian
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang Masalah
B. Pertanyaan Penelitian
C. Kerangka Teoritis
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
E. Tinjauan Pustaka
F. Metode Penelitian
G. Sistematika Penelitian
BAB II KEBIJAKAN PERTAHANAN MARITIM AUSTRALIA
A. Isu-Isu Strategis dalam Perkembangan Kebijakan Pertahanan
Maritim
Australia
1. Terorisme
2. Migrasi Ilegal
3. Pengamanan Kilang Minyak
B. Australias Maritime Identification Zone (AMIZ)
C. AMIZ dalam Hukum Laut Internasional
-
15
D. Strategic Interest dalam Sistem Pertahanan Australia
BAB III POTENSI ANCAMAN YANG DITIMBULKAN OLEH KEBIJAKAN
PERTAHANAN MARITIM AUSTRALIA TERHADAP INDONESIA
A. Kebijakan Pertahanan Maritim Australia (AMIZ) dalam Batas
Yuridiksi
Indonesia.
B. Potensi Ancaman dari Kebijakan Pertahanan Maritim Australia
Terhadap
Indonesia
C. Reaksi Pemerintah Indonesia Terhadap Kebijakan Pertahanan
Maritim
Australia (AMIZ)
BAB IV ANALISA FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBIJAKAN
PRESIDEN SOESILO BAMBANG YUDHOYONO UNTUK TIDAK
MEMPERMASALAHKAN AUSTRALIAS MARITIME
IDENTIFICATION ZONE
A. Tujuan dan Fungsi Dasar Australias Maritime Identification
Zone
(AMIZ)
B. Politik Luar Negeri Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono
C. Perjanjian Keamanan Indonesia-Australia
BAB V KESIMPULAN
-
16
BAB II
KEBIJAKAN PERTAHANAN MARITIM AUSTRALIA
Sebelum tahun 2000, sistem pertahanan Australia lebih terfokus
pada
pertahanan yang berbasis udara. Jika dibandingkan dengan sistem
pertahanan
darat atau maritimnya, Australia pada saat itu lebih memilih
untuk memperkuat
sistem pertahanan udara mereka. Hal ini sesuai dengan yang
terdapat pada Buku
Putih Pertahanan 1997 yang menekankan bahwa kunci bagi
mempertahankan
Australia adalah kontrol atas wilayah udara. Selain itu, mereka
fokus untuk
memperkuat angkatan udara, karena dapat menjangkau wilayah jauh
dari teritori
Australia, untuk menghalau musuh yang masuk ke Australia (Bhakti
2005:39-40).
Namun pasca tahun 2000, beberapa isu strategis yang terjadi
membuat fokus
kebijakan pertahanan Australia berubah untuk lebih fokus
mengembangkan
pertahanan yang berbasis maritim, hal inilah yang kemudian
melatarbelakangi
pembentukan sistem pertahanan baru yang berbasis maritim, yaitu
Australias
Maritime Identification Zone. Kemudian dalam bab ini akan
menjelaskan
beberapa isu strategis yang membuat pemerintah Australia
memfokuskan
perhatiannya kepada kebijakan pertahanan yang berbasis maritim
dan juga akan
membahas sistem pertahanan maritim Australia yang diberi nama
Australias
Maritim Identification Zone.
-
17
A. Isu-Isu Strategis dalam Perkembangan Kebijakan Pertahanan
Maritim
Australia
1. Terorisme
Dalam buku putih pertahanan Australia tahun 2000 dijelaskan
bahwasanya
Australia menghadapi banyak tantangan dalam persoalan keamanan,
selain pada
persoalan keamanan yang melibatkan kekuatan militer, juga
terdapat ancaman-
ancaman yang berasal dari non-militer, seperti serangan cyber,
kejahatan yang
terorganisir dan terorisme (Pudjiastuti 2005:73).
Namun, pada waktu itu Australia belum memberikan respon yang
signifikan terhadap ancaman terorisme, karena pada saat itu
belum ada ancaman
nyata oleh teroris terhadap Australia. Hal ini kemudian berubah
pasca terjadinya
serangan terorisme terhadap menara World Trade Center (WTC) di
Amerika
Serikat (AS), tragedi ini kemudian dikenal dengan istilah
tragedi 11 september,
karena kejadian tersebut terjadi pada 11 september 2001. Isu 11
september
menjadi isu yang sangat diperhitungkan dalam pertahanan keamanan
Australia,
hal ini terlihat dari tindakan Australia yang lebih berhati-hati
dalam melihat lalu
lintas manusia dan barang yang masuk dan keluar negerinya. Salah
satu tindakan
nyata Australia dalam bentuk kehati-hatiannya terhadap terorisme
adalah dengan
melakukan penggeledahan dan penangkapan secara langsung terhadap
warga
negara asing yang dicurigai keterlibatannya dalam
organisasi-organisasi yang
terkait dengan jaringan terorisme internasional. Selain itu,
bentuk perhatian
Australia yang lain terhadap terorisme adalah dengan
menandatangani perjanjian
-
18
ANZUS (Australia, New Zealand, United States Security Treaty)
(Pudjiastuti
2005:74-76).
ANZUS merupakan sebuah perjanjian pertahanan bersama yang
beranggotakan Australia, New Zealand dan Amerika Serikat di
kawasan Pasifik
(Crowley 1980:248). ANZUS bertujuan untuk meningkatkan keamanan
di
kawasan Pasifik dan meningkatkan kerjasama militer untuk
mencegah terjadinya
agresi dari negara lain ke kawasan Pasifik. Selain itu, anggota
ANZUS harus
menyatakan keterikatannya untuk menghadapi ancaman yang dapat
mengganggu
integritas teritorial, kebebasan politik dan keamanan di setiap
anggota ANZUS.
Dalam fakta ini negara anggota ANZUS juga berjanji untuk
mempertahankan dan
mengembangkan kemampuan individu dan kolektif untuk menahan
serangan
(Grey 1990:208).
Isu terorisme semakin menjadi perhatian Australia ketika terjadi
peristiwa
bom Bali 1, yang terjadi pada 12 Oktober 2002 di Bali Indonesia
. Karena pada
saat itu korban terbesar adalah warga negara Australia. Hal ini
kemudian
membuat Australia dalam Buku Putih Australia tahun 2003
(Australias National
Security: A Defence Update 2003) secara tegas mengatakan bahwa
perhatian
kepada kebijakan maritim adalah salah satu yang harus
mendapatkan porsi besar.
Dengan mengedepankan strategi kebijakan maritim, Australia
berharap akan dapat
langsung mendeteksi ancaman terorisme secara dini dari wilayah
daratannya
(Pudjiastuti 2005:75).
Dalam melakukan tindakan preventif, Australia bekerjasama
dengan
negara-negara anggota ASEAN dan negara Asia lainnya dengan
mengembangkan
-
19
kerjasama dikawasan tersebut untuk melawan terorisme. Seperti
pada tahun 2002,
Australia menandatangani kerjasama melawan terorisme
internasional dengan
Indonesia, Malaysia dan Thailand (Pudjiastuti 2005:77).
2. Migrasi Ilegal
Australia sejak akhir 1990-an melihat persoalan migran ilegal
menjadi
salah satu faktor penting dalam persoalan keamanan dibandingkan
persoalan
kemanusiaan, ekonomi atau politik. Hal ini dikarenakan semakin
banyaknya
imigran illegal yang masuk ke Australia. Pada tahun 1999/2000
imigran illegal
yang masuk ke Australia berjumlah 4.175 orang dan kemudian
meningkat tajam
menjadi 13.547 ditahun 2004 dengan menggunakan kapal
(Pudjiastuti 2005:85).
Dalam menangani kasus semakin meningkatnya imigran illegal
yang
datang, akhirnya Australia mengeluarkan sebuah kebijakan untuk
mengeluarkan
Pulau Christmas, Ashmore Reef, dan Pulau Cartier serta daerah
instalasi
pengeboran minyak lepas pantai dari wilayah keimigrasian
Australia (Coombs.
2004). Hal itu sebagai strategi pertahanan dan keamanan yang
diterapkan oleh
Australia dalam menghadapi persoalan-persoalan perairan.
Artinya, bila ada
imigran gelap berhasil masuk ke dalam wilayah tersebut mereka
tidak akan dapat
memproseskan diri menjadi pengungsi tetapi, langsung ditangkap
sebagai imigran
ilegal (Pudjiastuti 2005:86).
Kebijakan Australia untuk mengamankan perairan Australia dari
imigran
illegal sebenarnya telah lama menjadi bagian dari kebijakan
keamanan maritim
Australia, hal ini dikarenakan perairan merupakan jalur terpadat
para imigran
illegal. Dalam buku pertahanan Australia 2000 dijelaskan bahwa
persoalan
-
20
imigran illegal menjadi salah satu yang ditekankan menjadi
bagian dari isu-isu
keamanan non militer. isu tersebut dikaitkan dengan ancaman
terorisme
internasional, karena para imigran illegal dicurigai memiliki
kaitan dengan
kelompok terorisme internasional Al-Qaedah. Oleh karena itu,
setelah kejadian
bom Bali 1 2002, Australia dengan cepat mengeluarkan kesimpulan
dengan
mengkaitkan para imigran illegal maupun yang telah menjadi
pengungsi menjadi
ancaman bagi Australia (Pudjiastuti 2005:87-88).
3. Pengamanan Kilang Minyak
Salah satu tujuan dari pengembangan kebijakan pertahanan
maritim
Australia adalah untuk melindungi aset-aset negara, seperti
yang
direkomendasikan oleh satuan tugas pemerintah Australia dalam
hal Offshore
Maritime Security, bahwa melakukan pengamanan dan perlindungan
pada aset-
aset negara yang difokuskan pada kilang-kilang minyak dan gas
lepas pantai
adalah hal yang sangat penting. Kebijakan tersebut diwujudkan
dengan adanya
tindakan langsung berupa peningkatan budget keamanan wilayah
perairan
Australia dari 10,6 juta menjadi lebih dari 187 juta Dolar
Australia (Pudjiastuti
2005:80)
Dijelaskan oleh Alan Oxley, Konsultan Manajemen pada ITS
Global
Strategies bahwa If terorism is not countered and the risk it
presents is not
managed, Australia could lose $12 billion in GDP (gross domestic
product) over
the next five years (Jika terorisme tidak dilawan dan resikonya
tidak ditangani,
maka Australia akan kehilangan $12 Milyar GDP pada 5 tahun yang
akan
-
21
datang) (Pudjiastuti 2005). Hal ini terkait dengan kemungkinan
serangan yang
akan dilakukan oleh para teroris terhadap kilang-kilang minyak
Australia.
Oleh karenanya, Australia perlu memberikan pengamanan lebih
pada
kilang-kilang minyak tersebut, demi melindungi aset dan
penghasilan negara dari
serangan-serangan yang berasal dari luar Australia, terlebih
pada ancaman yang
berasal dari organisasi terorisme internasional.
B. Australias Maritime Identification Zone (AMIZ)
Untuk merespon berbagai ancaman yang akan dihadapi Australia
sebagaimana yang telah dibahas di atas, Australia mengeluarkan
Buku Putih
Pertahanan Australia tahun 2000 yang berjudul Defence Review
2000-Our Future
Defence Force). Dalam Buku Putih 2000 dijelaskan tentang adanya
pengaturan
bersama pertahanan dan keamanan khusus pada kawasan laut dan
udara. Hal
tersebut dilakukan sebagai upaya untuk melindungi pantai-pantai
Australia yang
menghasilkan tambang, pendukung penegakan hukum dan operasi
pantai. Selain
itu, strategi pertahanan bersama dalam hal maritim ini adalah
bentuk ketegasan
Australia atas persoalan-persoalan yang terjadi di perairannya,
seperti migrasi
illegal, penyelundupan obat terlarang, senjata, bajak laut, dan
terorisme. Hal ini
kemudian mendorong angkatan udara Australia bekerjasama dengan
angkatan laut
dan daratnya, ketiga angkatan tersebut kemudian membentuk sebuah
strategi
pertahanan maritim, anggotanya tidak hanya melibatkan personil
militer tetapi
juga non-militer yaitu pihak Bea Cukai, yang kemudian tergabung
dalam The
Australian Security Intelligence Organization (ASIO).
Pengembangan pertahanan
maritim ini secara intensif ditujukan untuk melawan serangan
atas aset-aset
-
22
Australia di wilayah perairan dan juga untuk melawan terorisme
(Pudjiastuti
2005:67-80).
Sementara itu, Australia dalam mengembangkan sistem
pertahanannya
selalu dalam lingkup kerjasamanya dengan Amerika Serikat (AS).
Hal ini
sebagaimana yang ditunjukan dalam Buku Putih Pertahanan
Australia tahun 2000,
bahwa bagi Australia melanjutkan hubungannya dengan AS akan
mendukung
kemampuan pertahanan Australia dan memainkan peran penting
dalam
mewujudkan stabilitas strategis di kawasan Asia Pasifik.
Kebijakan pertahanan
dan keamanan Australia juga tidak dapat dilepaskan kerangka
aliansi Australia
dan AS dalam ANZUS yang ditandatangani pada tahun 1951.
Kesepakatan yang
terdapat dalam ANZUS merupakan pijakan bagi kebijakan keamanan
Australia
(Bhakti dan Alami 2005:45-47).
Begitu juga dengan Australias Maritime Identification Zone
(AMIZ).
Diumumkan pertama kali oleh Perdana Menteri (PM) Australia, John
Howard,
pada 15 Desember 2004, AMIZ disebut Howard sebagai upgrading
maritime
security (Bhakti dan Alami 2005:54). Pada era John Howard, AMIZ
merupakan
sebuah kebijakan sistem pertahanan maritim yang ditujukan untuk
mendukung
program Proliferation Security Initiative (PSI) Amerika Serikat.
PSI adalah
sebuah kebijakan yang digagas oleh George W. Bush, Presiden
Amerika Serikat,
diumumkan pada tanggal 31 Mei 2003 di Polandia. Kegiatannya
secara intensif
diarahkan ke laut, akan tetapi PSI sasarannya mengarah ke semua
sarana angkut
dan pelabuhan (darat-laut-udara). Tujuan pokoknya adalah
mencegah penyebaran
senjata pemusnah masal atau yang disebut dengan Weapon of Mass
Destruction
-
23
(WMD) kepada negara atau aktor non negara yang dinilai ilegal.
Dasar hukumnya
adalah semua konvensi dan perjanjian yang terkait dengan
pencegahan
penyebaran WMD, khususnya Resolusi DK PBB No.1540. Bentuk
kerjasamanya
adalah di bidang intelijen, diplomatik dan penegakan hukum
(www.fkpmaritim.org 2006).
Kemudian pada era kepemimpinan Kevin Rudd, AMIZ lebih
ditujukan
sebagai salah satu dasar dalam membangun kebijakan pertahanan
maritim
Australia. Munculnya ancaman dan potensi ancaman yang muncul
seperti,
imigrasi, perubahan iklim, krisis global, modernisasi militer
China dan India
membuat Rudd memandang perlu penguatan kebijakan pertahanan
Australia yang
lebih mandiri. Asia Pasifik menjadi perhatian utama Australia
dalam membangun
pertahanannya. Kebijakan identifikasi maritim ini menunjukan
keinginan
Australia untuk dapat mengendalikan dan memproyeksi kekuatan
dari laut.
apabila muncul ancaman-ancaman yang berasal dari laut, maka
angkatan laut
Australia dapat langsung dimobilisasi untuk melakukan penindakan
dari laut,
tanpa menunggu komando dari darat (Wangge 2012:102-103).
Pada awal diumumkannya AMIZ mengundang perhatian
internasional
terkait dengan jangkauan pengamanannya yang mencapai 1000 Nm
(1850 Km)
dari garis pantai. Jarak yang ditentukan tersebut berbeda dengan
kesepakatan
internasional yang hanya mencapai 200Nm sebagai batas wilayah
nasional suatu
negara. Dikarenakan menuai banyak protes dari beberapa negara
akhirnya pada
Februari 2005 Australia mengubah Australias Maritime
Identification Zone
(AMIZ) menjadi Australias Maritime Identification System (AMIS)
(Pudjiastuti
-
24
2005:65) yang kemudian resmi diterapkan mulai bulan Mei 2005.
Akan tetapi,
perubahan AMIZ menjadi AMIS tidaklah merubah ketentuan-ketentuan
yang
telah dirumuskan dalam AMIZ, Australia tetap menerapkan AMIS
dengan
jangkauan 1000 Nm (www.dotar.gov.au 2005). Oleh karenanya,
pada
pembahasan selanjutnya penulis akan menggunakan kedua istilah
tersebut sesuai
dengan kebutuhan.
AMIS pada dasarnya dimaksudkan untuk menjaga keamanan
nasional
Australia. Karena sebagaimana dijelaskan oleh Colins (2003),
bahwa keamanan
nasional adalah sebuah kebutuhan untuk menjaga ketahanan suatu
bangsa melalui
daya ekonomi, militer serta kekuatan politik dan kepiawaian
untuk berdiplomasi.
Kemudian dalam melihat masalah keamanan, maka ada dua sisi yang
harus
dilihat, yaitu internal dan eksternal. Dalam hal ini, Australia
memfokuskan
pertahanannya pada ancaman-ancaman eksternal yaitu ancaman yang
berasal dari
luar negara yang berbentuk militer maupun non-militer. Ancaman
non-militer
umumnya berbentuk organisasi lintas negara, penyebaran senjata
dan uji coba
nuklir (Barston 1988:184). Hal ini sesuai dengan yang dikatakan
oleh Atase
Pertahanan Australia, Ken Brown Rigg, yang disampaikan pada
Focus Group
Discussion, di P2P-LIPI pada tanggal 16 Mei 2005. Brown
menyatakan bahwa
Australia menghadapi banyak persoalan keamanan termasuk potensi
ancaman-
ancaman non-militer seperti serangan cyber, kejahatan
terorganisir dan terorisme.
Sedangkan tugas dari AMIS adalah untuk dapat segera
mengidentifikasi seluruh
kapal ke zona AMIS, yaitu ketika kapal sudah berada dalam jarak
1000 Nm (1850
KM), sehingga kapal-kapal tersebut harus memberikan informasi
mengenai
-
25
identitas kapal, awak kapal, kargo, lokasi dan pelabuhan tujuan
di Australia
(Sitohang 2005:113).
Kemudian terkait AMIZ, dalam pidatonya di depan Austraian
Broadcasting
Corporation pada tanggal 15 Desember 2004, PM John Howard
mengatakan
bahwa inti dari kebijakan AMIS adalah sebagai terror
surveillance/ interception
zone (pengawasan terhadap ancaman/ zona penangkapan). Sehingga,
kebijakan
pertahanan maritim Australia lebih ditekankan pada tiga hal,
yaitu:
Inteligent: menjadi komponen yang paling penting dalam strategi
maritim
Australia, karena segala informasi yang berasal dari intelijen
akan
menentukan tindakan yang akan diambil oleh Australia. Apakah
perlu
untuk menyerang, menghalau atau sekedar mengawasi bila ada kapal
atau
hal yang merugikan yang mengarah dalam perairan Australia.
Surveillance: diartikan sebagai sebuah sistem observasi angkasa,
luar
wilayah, tempat, orang atau barang yang dapat ditangkap secara
visual,
elektronik, fotografik atau dengan cara lain. Observasi ini
berperan dalam
hal mendeteksi segala hal yang masuk dalam wilayah
pengamatan
keamanan Australia. Sistem yang dikembangkan dalam pendeteksian
itu
menggunakan radar yang berfrekuensi tinggi dan dioperasionalkan
selama
24 jam penuh serta difokuskan ke arah sebelah utara
Australia.
Command and Control: operasi komando Australia Defence Force
dan
pengembangan proyek kerjasama yang diarahkan pada pengamanan
ancaman keamanan non-militer dibandingkan ancaman keamanan
militer.
Semua itu ditujukan untuk menjaga dan melawan kemungkinan
-
26
penyerangan terorisme dan bajak laut pada kapal, infrastruktur
pantai
maupun kilang minyak lepas pantai Australia (Pudjiastuti
2005:66-71).
C. AMIZ dalam Hukum Laut Internasional
Dalam Hukum Laut Internasional telah ditentukan bahwasanya batas
Zona
Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang telah disepakati bersama adalah
tidak boleh
melebihi 200 Nm, yang diukur dari garis pangkal sebagai titik
atau tempat
pengukuran lebar laut teritorial (UNCLOS Pasal 57). Oleh
karenanya, AMIZ
dengan jangkauan pengamanannya yang mencapai 1000-1500 Nm laut
telah
melanggar Konvensi Hukum Internasional. Meskipun, sebagaimana
yang
dijelaskan oleh Ken Brown Rigg, bahwasanya AMIZ adalah sebuah
sistem
pertahanan yang dimaksudkan untuk melindungi keamanan Australia
dari potensi-
potensi ancaman yang akan menyerang Australia (Sitohang
2005:113).
Sebagaimana dijelaskan oleh Menteri Luar Negeri pada saat itu,
Hasan
Wirajuda, bahwa ketika melihat peta, maka jika AMIZ diterapkan
dengan
jangkauan 1000-1500 Nm akan mencapai dua per tiga wilayah
perairan Indonesia.
Diantara wilayah yang nantinya akan terjangkau oleh AMIZ adalah
laut
Halmahera di Maluku, laut Sulawesi di atas Manado, laut Arafuru
dan sebagian
besar laut Jawa, dan Indonesia memiliki Kedaulatan penuh
terhadap wilayah-
wilayah tersebut (www.kompas.com 2004).
Dalam Hukum Laut Internasional Pasal 49 dinyatakan dengan jelas
tentang
status legal negara kepulauan (Indonesia) yang berKedaulatan
penuh atas perairan
dan landas kontinen di bawah serta diatas (udara). Hal tersebut
akan bertentangan
dengan ketentuan AMIZ yang menerapkan jarak 1000-1500 Nm-nya.
Setiap
-
27
kapal yang memasuki zona deteksi AMIZ diwajibkan untuk
memberikan laporan
terkait dengan identitas kapal, awak kapal, kargo, lokasi dan
pelabuhan tujuan di
Australia. Sehingga Australia bisa melakukan penangkapan
terhadap kapal yang
dinilai mencurigakan dan akan menimbulkan ancaman terhadap
negaranya,
padahal wilayah deteksi dini tersebut bisa juga berada diwilayah
perairan negara
lain (Indonesia) yang berKedaulatan penuh (Pudjiastuti
2005:69).
Langkah yang diambil oleh Australia tentu tak lepas dari
kepentingan
nasional Australia untuk menjamin keamanan nasionalnya. Karena
kepentingan
nasional menurut Morgenthau yang dikutip dalam Robinson (1969)
adalah sebuah
primary interest, yakni kepentingan utama yang termasuk
didalamnya untuk
melindungi keamanan negara dan politik, identitas kebudayaan
(kehidupan dan
nilai-nilai dari warga negaranya), serta untuk bertahan melawan
ancaman dari luar
(h.184-185).
D. Strategic Interest dalam Sistem Pertahanan Australia
Pengertian dari Strategic Interest pertahanan Australia
sebagaimana
dijelaskan dalam buku pertahanan Australia tahun 2009 yang
berjudul Defending
Australia In The Asia Pacific Century: Force 2030 adalah sebuah
kebijakan
pertahanan yang didasarkan pada tujuan yang jelas, yaitu
menentukan persoalan
yang harus diprioritaskan dalam menentukan kebijakan agar dapat
mengefektifkan
sumber daya yang dimiliki. Pemerintah bertugas meneliti semua
persoalan
keamanan yang ada untuk merencanakan sebuah sistem pertahanan
dan
memutuskan persoalan yang termasuk dalam kepentingan strategis
Australia.
Dalam hal ini strategic interest pertahanan Australia harus
mampu menjamin
-
28
keamanan Australia dari serangan bersenjata (www.defence.gov.au.
2009). Dalam
bab V buku pertahanan Australia tahun 2009 dijelaskan strategic
interest
pertahanan Australia adalah a secure Australia in secure region,
yang berarti
bahwa Australia tidak menginginkan adanya instabilitas di
kawasan (Helvas Ali
2009).
Strategic interest ini merupakan salah satu cara suatu negara
dalam
mengimplementasikan kebijakan luar negerinya. Karena dalam
orientasi
kebijakan luar negeri, suatu negara memiliki sikap dan komitmen
terhadap
lingkungan eksternal untuk mencapai tujuan secara domestik
maupun eksternal
(Holsti 1987:137). Strategi yang digunakan sebuah negara
merupakan hasil dari
serangkaian keputusan yang dibuat untuk menyelaraskan tujuan,
nilai, dan
kepentingan terhadap kondisi dan karakteristik lingkungan
domestik maupun
eksternal.
Dalam buku pertahanan 2009 juga disebutkan bahwa Indonesia
merupakan
salah satu negara yang menjadi perhatian Australia. Indonesia
memiliki jalur
pendekatan maritim terhadap Australia. Sehingga ketidakstabilan
Indonesia
nantinya akan berpotensi sebagai ancaman dan tantangan terhadap
Australia. Oleh
karenanya, Indonesia yang stabil, bersatu dan demokratis dan
didukung oleh
militer profesional merupakan kepentingan mendasar Australia
(Helvas Ali 2009).
Selanjutnya, dalam Buku Putih 2009 juga dijelaskan mengenai
pengembangan sistem persenjataan Australia, hal ini dilakukan
demi mendukung
strategic interest Australia. Sistem persenjataan utama yang
dikembangkan adalah
kapal-kapal perang permukaan, kapal-kapal pengangkut militer,
kapal-kapal
-
29
patrol, kapal-kapal pengisian bahan bakar dan sejumlah
helikopter dengan daya
jelajah tinggi (Davies 2010:2).
-
30
BAB III
POTENSI ANCAMAN YANG DITIMBULKAN OLEH KEBIJAKAN
PERTAHANAN MARITIM AUSTRALIA TERHADAP INDONESIA
Kebijakan pertahanan maritim Australia yang dituangkan dalam
Austraias
Maritime Identification Zone dengan jangkauan 1000-1500 Nm (1850
Km)
menimbulkan beberapa potensi ancaman bagi Indonesia. Ketika
jarak tersebut
diterapkan, maka akan menjangkau dua pertiga dari wilayah
Indonesia, dan hal
tersebut tentu akan berpotensi mengancam Kedaulatan dan
Yuridiksi Indonesia.
Maka, pada bab ini penulis akan membahas potensi-potensi ancaman
yang akan
ditimbulkan AMIZ, kemudian pada bab ini juga akan membahas
tentang reaksi
Indonesia terhadap AMIZ.
A. Kebijakan Pertahanan Maritim Australia (AMIZ) dalam Batas
Yuridiksi
Indonesia.
Keputusan Australia untuk menerapkan Australias Maritime
Identification
Zone adalah sebagai bentuk kebijakan luar negeri yang
dikeluarkan untuk
melindungi kepentingan nasionalnya, yaitu untuk melindungi
negara dari
ancaman-ancaman nasional. Sebagaimana dijelaskan oleh Rosenau
(1976) bahwa
kebijakan luar negeri adalah upaya suatu negara melalui
keseluruhan sikap dan
aktivitasnya untuk mengatasi dan memperoleh keuntungan dari
lingkungan
eksternalnya, kebijakan luar negeri menurutnya ditujukan untuk
memelihara dan
mempertahankan kelangsungan hidup suatu negara. Kemudian menurut
Jack C.
Plano dan Roy Olton (1999) kebijakan luar negeri merupakan
strategi atau
rencana tindakan yang dibuat oleh para pembuat kebijakan dalam
menghadapi
-
31
negara lain atau unit politik internasional lainnya dan
dikendalikan untuk
mencapai tujuan nasional spesifik yang dituangkan dalam
terminologi
kepentingan nasional.
Australiaa Maritime Identification Zone merupakan sebuah
kebijakan
pertahanan yang dikeluarkan oleh Australia demi melindungi
kepentingan
nasionalnya, berupa untuk menjamin keamanan nasionalnya dari
ancaman-
ancaman eksternal. AMIZ sebagaimana dijelaskan pada bab
sebelumnya
diproyeksikan untuk melakukan deteksi dini terhadap
ancaman-ancaman yang
berasal dari laut, dalam hal ini adalah kapal-kapal yang akan
menuju pelabuhan-
pelabuhan Australia. Konsep AMIZ menuai banyak kecaman dari
dunia
internasional terkait dengan jangkauan radarnya yang mencapai
1000-1500 Nm,
karena ketika jarak tersebut diterapkan, maka, akan menjangkau
wilayah perairan
negara lain, sebagai contoh adalah Indonesia yang dua per tiga
wilayahnya akan
terjangkau oleh AMIZ. Kemudian, kapal-kapal yang masuk ke dalam
zona AMIZ
berkewajiban untuk memberikan informasi terkait identitas kapal,
padahal zona
AMIZ tersebut bisa jadi masih sebagai bagian dari wilayah
negara. Maka,
menurut penulis hal tersebut dapat dikategorikan sebagai
pelanggaran kedaulatan
dan wujud ketidak patuhan Australia terhadap Hukum Laut
Internasional. Karena
dalam Hukum Laut Internasional telah disepakati bahwasanya Zona
Ekonomi
Eksklusif (ZEE) suatu negara tidak lebih dari 200 Nm. Sedangkan,
zona diluar
dari ZEE merupakan laut lepas yang membebaskan siapapun untuk
berlayar dan
melakukan aktifitas sebagaimana yang diatur dalam Pasal 88 Hukum
Laut
Internasional yang berisi sebagai berikut:
-
32
1. Laut lepas terbuka untuk semua negara, baik negara pantai
atau tidak
berpantai. Kebebasan laut lepas, dilakasanakan berdasarkan
syarat-syarat
yang ditentukan dalam konvensi ini dan ketentuan lain hukum
internasional. Kebebasan laut lepas itu meliputi:
Kebebasan berlayar
Kebebasan penerbangan
Kebebasan untuk memasang kabel dan pipa bawah laut
Kebebasan untuk membangun pulau buatan dan instalasi lainya
sesuai dengan yang diperbolehkan oleh hukum internasional
Kebebasan menangkap ikan, dengan tunduk pada persyaratan
yang
tercantum dalam bagian 2.
2. Kebebasan ini akan dilaksanakan oleh semua negara, dengan
memperhatikan kepentingan negara lain sebagaimana mestinya.
Disisi lain, Indonesia adalah salah satu negara kepulauan
terbesar di dunia
dengan jumlah pulau menurut Kementerian Dalam negeri RI pada
tahun 2004
adalah 17.504 buah serta luas wilayah sebesar 1,9 juta Km
persegi. Memiliki
jumlah pulau yang sangat banyak tentu akan membawa keuntungan
bagi
Indonesia sebagai aset negara, akan tetapi, jika tidak mampu
dikelola dengan baik
tentu akan menjadi ancaman bagi Indonesia terutama dalam masalah
batas negara.
Batas negara akan menjadi sangat penting dikarenakan perbatasan
suatu negara
merupakan manifestasi utama kedaulatan sebuah negara. Selain
itu, hal ini juga
berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam, keamanan dan juga
keutuhan
sebuah wilayah.
-
33
Terkait dengan masalah perbatasan perairan, Indonesia memiliki
Undang-
undang nasional yang mengatur tentang segala hal mengenai
perairan Indonesia.
Dalam UU Nomer 6 tahun 1996 tentang perairan Indonesia Pasal 2
dikatakan
dengan jelas bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara
kepulauan (ayat 1).
Segala perairan disekitar, diantara, adalah yang menghubungkan
pulau-pulau atau
bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik
Indonesia dengan
tidak memperhitungkan luas atau lebarnya merupakan bagian
integral dan wilayah
daratan Negara Republik Indonesia sehingga merupakan bagian dari
perairan
Indonesia yang berada dibawah Kedaulatan negara republik
Indonesia (ayat 2).
Kemudian, dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomer 43 Tahun 2008
dikatakan
bahwa Negara Indonesia memiliki hak-hak berdaulat dan hak-hak
lain di wilayah
yuridiksi yang pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-
undangan dan Hukum Laut Internasional. Indonesia juga
mempunyai
kewenangan, yaitu: Pemerintah dan pemerintah daerah berwenang
mengatur
pengelolaan dan pemanfaatan wilayah negara dan kawasan
perbatasan (Pasal 9).
Kemudian diperjelas dalam pasal 10 ayat 1 yaitu, dalam
pengelolaan wilayah
negara dan kawasan perbatasan, pemerintah berwenang:
1. Menetapkan kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan wilayah
negara dan
kawasan perbatasan.
2. Mengadakan perundingan dengan negara lain mengenai penetapan
batas
wilayah negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan
dan Hukum Internasional.
3. Membangun atau membuat tanda batas wilayah negara.
-
34
4. Melakukan pendataan dan pemberian nama pulau dan kepulauan
serta
unsur geografis lainnya.
5. Memberikan izin kepada penerbangan internasional untuk
melintasi
wilayah udara teritorial pada jalur yang telah ditentukan dalam
peraturan
perundang-undangan.
6. Memberikan izin lintas damai kepada kapal-kapal asing untuk
melintasi
laut teritorial dan perairan kepulauan pada jalur yang telah
ditentukan
dalam peraturan perundang-undangan.
7. Melaksanakan pengawasan di zona tambahan yang diperlukan
untuk
mencegah pelanggaran dan menghukum pelanggar peraturan
perundang-
undangan dibidang bea cukai, fiskal, imigrasi, atau saniter di
dalam
wilayah negara atau laut teritorial.
8. Menetapkan wilayah udara yang dilarang dilintasi oleh
penerbangan
internasional untuk pertahanan dan keamanan.
9. Membuat dan memperbarui peta wilayah negara dan
menyampaikannya
kepada Dewan Perwakilan Rakyat sekurang-kurangnya setiap 5
(lima)
tahun sekali.
10. Menjaga keutuhan, kedaulatan dan keamananan wilayah negara
serta
kawasan perbatasan.
Indonesia adalah negara yang berdaulat, oleh karenanya, menjaga
kedauatan
negara adalah wajib hukumnya. Hal ini sebagaimana dijelaskan
pada Pasal 10
ayat 1 (j) tentang pentingnya menjaga keutuhan, kedaulatan dan
keamanan
wilayah negara serta kawasan perbatasan. Maka, ketika Australia
menerapkan
-
35
AMIZ tentu akan menjadi permasalahan terhadap Yuridiksi
Indonesia.
Sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-Undang Pasal 1 ayat 3
bahwa
wilayah yuridiksi adalah wilayah diluar wilayah negara yang
terdiri atas Zona
Ekonomi Eksklusif, Landas Kontinen dan Zona tambahan dimana
negara
memiliki hak-hak berdaulat dan kewenangan tertentu lainnya
sebagaimana yang
telah diatur dalam peraturan perundang-undangan dan hukum
internasional.
Ketika jarak 1000-1500 Nm laut diterapkan oleh AMIZ, maka
sebagaimana yang
dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa akan ada beberapa wilayah
Indonesia
yang terjangkau oleh AMIZ yaitu Laut Halmahera, Sulawesi, dan
Jawa,
kemudian terdapat kewajiban bagi-bagi kapal-kapal tujuan
Australia yang berada
dalam zona tersebut untuk memberikan informasi kepada pihak
Australia. Hal ini
bertujuan agar Australia bisa melakukan penangkapan terhadap
kapal-kapal yang
dianggap mencurigakan (Pudjiastuti 2005:69).
B. Potensi Ancaman dari Kebijakan Pertahanan Maritim
Australia
Terhadap Indonesia
Kebijakan maritim Australia sebagaimana dijelaskan pada bab
sebelumnya
adalah ditujukan untuk mengatasi berbagai permasalahan keamanan
yang
berpotensi akan mengancam Australia. Kebijakan pertahanan
maritim ini
kemudian oleh Australia dituangkan kedalam sebuah sistem
pertahanan yang
diberi nama Australias Maritime Identification Zone (AMIZ). Pada
awal
diumumkan AMIZ mendapat banyak protes dari dunia internasional,
salah
satunya adalah Indonesia yang merasa AMIZ telah melanggar
kedaulatan
negaranya. AMIZ dalam hal ini adalah termasuk dalam salah satu
kebijakan luar
-
36
negeri yang dikeluarkan oleh Australia, hal ini sesuai dengan
pengertian tentang
kebijakan luar negeri yang dijelaskan oleh Millar (1969), bahwa
kebijakan luar
negeri merupakan sebuah kebijakan dari pemerintah suatu negara
yang
mempunyai pengaruh terhadap hubungan dengan pemerintah negara
lainnya
(h.57).
Konsep AMIZ yang dimiliki oleh Australia tersebut dapat
mengancam
kepentingan nasional Indonesia karena konsep ini pada dasarnya
adalah untuk
tujuan surveillance dan intelijen. Sedangkan jangkauannya adalah
seluas 1000
Nm dari daratan Australia. Maka, jika diukur secara melingkar
akan dapat
menjangkau Laut Halmahera, Sulawesi, dan Jawa. Berikut adalah
jangkauan
sistem radar yang merupakan bagian dari AMIZ.
Gambar III.B.1 Jangkauan Sistem Radar AMIZ
Sumber: Mabes TNI AL dalam Thoyib 2009.
-
37
Berdasar jangkauan AMIZ yang mencapai dua per tiga wilayah
Indonesia
seperti yang telah dijelaskan diatas, maka dapat dikatakan bahwa
Australia sangat
berkepentingan terhadap Indonesia. Australia tentu akan selalu
berusahan agar
kawasan Indonesia Timur utamanya berada dalam jangkauan
pengamatannya.
Dalam konteks dengan kepentingan maritim, Australia
berkepentingan agar
semua ancaman keamanan maritim yang menuju ke wilayahnya dapat
dipatahkan.
Oleh karena itu, segala cara akan ditempuh untuk terjaminnya
pengendalian laut
di kawasan tersebut (Hakim 2010:54).
Selain itu, perlu dipahami juga bahwa dalam menerapkan
kebijakan
pertahanannya, Australia memiliki sebuah strategic interest
sebagaimana yang
tercantum dalam Buku Putih Pertahanan Australia 2009 yang
menyatakan bahwa
a secure Australia is secure region, yang berarti bahwa
Australia tidak
menginginkan terjadinya ketidakstabilan di kawasan yang
berdekatan dengan
Australia, termasuk didalamnya adalah kawasan Asia Pasifik dan
Asia Tenggara
(Helvas Ali 2009). Hal ini berarti dalam memastikan keamanan
negaranya,
Australia juga perlu untuk memastikan bahwa negara-negara yang
berada dalam
kawasannya juga harus aman.
Maka persoalan yang akan timbul dan berpotensi menjadi ancaman
bagi
Indonesia adalah pertama, terkait dengan permasalahan kedaulatan
dan yuridiksi.
Bagi Indonesia, AMIZ adalah sebuah sistem pertahanan yang akan
mengancam
kedaulatan dan yuridiksi Indonesia, hal ini didasarkan pada
kesepakatan yang
telah disepakati dalam Hukum Internasional mengenai batas-batas
wilayah dan
juga terkait kemampuan AMIZ untuk menjangkau wilayah Indonesia.
Kemudian
-
38
yang kedua, adalah terkait dengan fungsi AMIZ sebagai
penangkalan, maka
kehadirannya perlu dikaitkan dengan sistem persenjataan yang
dimiliki oleh
Australia sebagai pendukung AMIZ (Anggoro 2005:217). Perlu untuk
diketahui
bahwasanya AMIZ adalah suatu strategi maritim yang luas tidak
hanya dalam
lingkup maritim saja, AMIZ menggabungkan berbagai elemen
pertahanan,
keamanan dan penegakan hukum. AMIZ mengatur siapa yang terlibat
dan
bagaimana aturan keterlibatannya (rules of engagement) (Bhakti
dan Alami
2005:59).
Ketika membahas sistem persenjataan, Australia dan Amerika
Serikat
tengah mengembangkan sebuah senjata pemusnah masal. Australia
memiliki nota
kesepahaman dengan Amerika Serikat untuk bekerja sama
mengembangkan
Pertahanan Misil (Missile Defence). Keikutsertaan Australia
dalam program
kerjasama pertahanan misil diantaranya termasuk modernisasi
Standart Missile-1
(SM-1) menjadi Standar Missile-2 (SM-2) dan menjadi Standart
Missile-3 (SM-3)
(Bhakti dan Alami 2005:56-58).
Potensi ancaman selanjutnya adalah mengenai Strategic Interest
Australia,
dalam Defending Australia in The Asia Pacific century: Force
2030 dijelaskan
bahwa Australia tidak menginginkan adanya instabilitas kawasan
karena demi
menjamin keamanan negaranya Australia juga harus menjamin
bahwa
kawasannya dalam kondisi aman. Dengan jangkauan yang dimiliki
sistem radar
yang dipakai dalam AMIZ, maka Australia akan dengan mudah
mengawasi dan
melakukan pengamatan terhadap kondisi Indonesia, hal ini
berkaitan dengan
fungsi dari kebijakan maritim Australia, yaitu untuk fungsi
intelijen dan
-
39
surveillance. Oleh karena itu, bukan tidak mungkin suatu saat
jika terjadi konflik
di wilayah Indonesia, akan mengundang intervensi langsung
Australia, tentunya
dengan alasan untuk mengamankan Australia dan kepentingannya,
serta
mengamankan stabilitas kawasan. Sebagaimana waktu terjadi
konflik Timor-
Timur, Australia turut campur dalam lepasnya Timor-Timur dari
Indonesia
dengan mendukung dan mendorong referendum yang dilakukan oleh
Presiden BJ
Habibie (Setiawan 2013).
C. Reaksi Pemerintah Indonesia Terhadap Kebijakan Pertahanan
Maritim
Australia (AMIZ)
Reaksi yang diberikan Pemerintah Indonesia terhadap kebijakan
maritim
Australia yang terwujud dalam konsep AMIZ merupakan sebuah
fenomena yang
sangat menarik dalam hubungan bilateral antara Indonesia dan
Australia. Ketika
AMIZ diumumkan pertama kali oleh kantor Perdana Menteri
Australia pada 15
Desember 2004, timbul reaksi penolakan yang sangat kuat dari
kalangan
Pemerintah maupun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sebagaimana
yang
dikatakan oleh Menteri Pertahanan, Juwono Sudarsono, bahwa
Indonesia akan
menggelar kekuatan laut jika Australia tetap menerapkan AMIZ.
Menteri Luar
Negeri, Hasan Wirajuda, juga menambahkan bahwa yang tidak bisa
diterima dari
AMIZ adalah pencampur adukan dua yuridiksi demi kepentingan
mereka sendiri
(Hertanto 2004). Kemudian Ketua Komisi 1 DPR RI, Theo Sambuaga,
juga
mengatakan bahwasanya AMIZ ini akan dapat memprovokasi Indonesia
dan juga
dapat dijadikan pijakan untuk serangan militer ke Indonesia
(Anggoro 2005:242).
-
40
Gelombang protes tersebut dilatar belakangi oleh beberapa hal
yang dinilai
dapat mengancam kepentingan nasional Indonesia, salah satunya
adalah karena
konsep AMIZ ini sebagaimana yang dijelaskan oleh John Howard
adalah untuk
terror survailance/ interception zone (pengawasan terhadap
ancaman/wilayah
penangkapan) (Bhakti dan Alami 2005:66-71). Hal tersebut dapat
diartikan
bahwasanya AMIZ akan melakukan pengawasan terhadap kawasan
tersebut,
selain itu AMIZ juga akan melakukan penangkapan terhadap
kapal-kapal yang
dinilai akan mengancam bagi Australia. AMIZ dalam penerapannya
memiliki
jangkauan pengamanan sejauh 1850 Km, ketika zona 1850 Km itu
diterapkan,
maka akan menjangkau dua pertiga wilayah Indonesia, yaitu Laut
Halmahera,
Sulawesi, dan Jawa. Dalam hal ini, Indonesia memiliki kedaulatan
penuh terhadap
wilayah-wilayah tersebut. Potensi pelanggaran kedaulatan
tersebutlah yang
memunculkan reaksi penolakan dari beberapa kalangan pemerintah
Indonesia
terhadap AMIZ.
Selain itu, reaksi dari beberapa negara terhadap AMIZ juga
turut
memberikan kesan bahwa AMIZ merupakan kebijakan strategis yang
dianggap
membahayakan, ofensif, dan merupakan ancaman serius terhadap
kedaulatan
negara-negara di sekitar Australia. Seperti halnya yang
dilakukan oleh Malaysia,
yang menyebut AMIZ sebagai buldozer terhadap kedaulatan dan
yuridiksi
negara lain. Wakil Menteri Pertahanan Malaysia, Zainal Abidin
Zin, menyebutkan
bahwa Australia tidak bisa mengambil tindakan untuk mencegat
kapal-kapal
dengan sekedar mengatasnamakan kepentingan mereka sendiri,
perbuatan seperti
-
41
itu melambangkan keinginan Australia untuk memperoleh supremasi
di kawasan
Asia Tenggara (Hakim 2010:55; Anggoro 2005:226).
Akan tetapi reaksi berbeda ditunjukan oleh Presiden SBY
dalam
menanggapi AMIZ, Presiden SBY lebih memilih untuk diam dan
tidak
mempermasalahkan AMIZ. Hal ini terlihat dari pada saat Presiden
SBY
melakukan kunjungan ke Australia, pada bulan April 2005. Beliau
tidak secara
khusus membahas tentang AMIZ, meskipun kunjungan tersebut adalah
bertema
tentang kerjasama keamanan (Anggoro 2005:217-219). Sedangkan
pernyataan
resmi dari Pemerintah Indonesia terkait AMIZ adalah sebagaimana
yang
dijelaskan oleh Juru Bicara Departemen Luar Negeri saat itu,
Marty Natalegawa,
adalah hanya seputar kesiapan Indonesia untuk menjalin dialog
dengan Australia
tentang AMIZ (Anggoro 2005:205-242).
-
42
BAB IV
ANALISA FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBIJAKAN PRESIDEN
SOESILO BAMBANG YUDHOYONO UNTUK TIDAK
MEMPERMASALAHKAN AUSTRALIAS MARITIME IDENTIFICATION
ZONE
Ketika diumumkan untuk pertama kalinya oleh Perdana Menteri
(PM)
Australia, John Howard, AMIZ mendapat reaksi penolakan dari
beberapa
kalangan di Indonesia. Sebagaimana yang dibahas pada bab
sebelumnya,
penolakan terhadap AMIZ tersebut dikarenakan menurut mereka
terdapat
beberapa potensi ancaman yang akan ditimbulkan oleh AMIZ
terhadap Indonesia,
diantaranya adalah potensi tentang pelanggaran kedaulatan dan
yuridiksi
Indonesia. Akan tetapi, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY)
memilih
untuk diam dan tidak mempermasalahkannya. Reaksi Presiden SBY
terhadap
AMIZ yang cenderung berbeda dengan beberapa kalangan pejabat
Indonesia
dipengaruhi oleh beberapa faktor, pertama, adalah terkait dengan
tujuan dan
fungsi dari AMIZ. AMIZ pada dasarnya adalah diproyeksikan untuk
melindungi
Australia dari ancaman-ancaman yang berasal dari non-negara (non
state actor),
hal ini sesuai dengan perubahan cara pandang Australia tentang
ancaman pada
tahun 2000-an. Untuk itu dalam bab ini pembahasan pertama yang
penulis bahas
adalah mengenai tujuan dan fungsi dasar dari AMIZ. Kedua, adalah
terkait
dengan Politik Luar Negeri yang dijalankan oleh Presiden SBY.
Dalam
menjalankan Politik Luar Negerinya Presiden SBY menggunakan
filosofi Zero
Enemy and One Million Friends, beliau tidak menginginkan
Indonesia untuk
-
43
bertikai dengan negara lain dan lebih mengutamakan untuk
menjalin
persahabatan. Ketiga, adalah terkait dengan kerjasama pertahanan
yang terjalin
antara Indonesia dan Australia. Dalam kerjasama tersebut telah
mengatur prinsip
penghormatan dan dukungan atas kedaulatan, integritas
teritorial, kesatuan
nasional, dan kemerdekaan masing-masing pihak, serta
non-intervensi terhadap
urusan dalam negeri satu sama lain.
A. Tujuan dan Fungsi Dasar Australias Maritime Identification
Zone (AMIZ)
Australias Maritime Identification Zone (AMIZ) diumumkan oleh
Perdana
Menteri (PM) Australia, John Howard, pada Desember 2004. Dengan
tujuan
untuk memberikan dukungan terhadap Proliferation Security
Initiative (PSI) yang
digalang oleh Amerika Serikat. PSI adalah sebuah kebijakan yang
digagas oleh
Amerika Serikat (AS) untuk mencegah penyebaran senjata pemusnah
masal, yang
ditujukan kepada aktor negara maupun non-negara yang dinilai
ilegal. PSI
berdasar hukum pada semua konvensi dan perjanjian yang terkait
dengan
pencegahan dan penyebaran senjata pemusnah masal, khususnya
Resolusi DK
PBB No. 1540 (www.fkpmaritim.org 2006). AMIZ merupakan bagian
dari sistem
pertahanan Australia yang dirancang sesuai dengan persepsi
Australia tentang
ancaman. Menurut Australia, ancaman saat ini lebih didominasi
oleh aktor-aktor
non-negara, yang sebagian besar berasal dari wilayah laut
Australia, seperti
terorisme, migrasi illegal, dan penyelundupan manusia. Ken Brown
Rigg, yang
merupakan Atase Pertahanan Australia, menyatakan bahwa Australia
sedang
mengalami banyak persoalan keamanan, termasuk di dalamnya adalah
potensi
ancaman-ancaman non-militer seperti serangan cyber, kejahatan
terorganisir, dan
-
44
terorisme (Sitohang 2005:113). Selain itu, AMIZ juga ditujukan
untuk melindungi
kilang-kilang minyak Australia yang berada di kawasan
pelabuhan-pelabuhan
Australia. Dalam artian, AMIZ diciptakan berdasarkan pada
pengertian dari
konsep keamanan nasional, yaitu sebuah kebutuhan untuk menjaga
ketahanan
suatu bangsa melalui daya ekonomi, militer, serta kekuatan
politik dan kepiawaian
berdiplomasi (Collins 2003).
Dalam menjalankan misinya, AMIZ menerapkan jangkauan
pengamanan
sejauh 1850 Km, yang menjangkau dua pertiga wilayah Indonesia,
yaitu laut
Halmahera, Jawa dan Sulawesi. Hal inilah yang kemudian
menimbulkan banyak
reaksi protes dari beberapa negara, salah satunya adalah protes
dari beberapa
pejabat Indonesia sebagaimana yang telah dibahas dalam bab III.
Namun, perlu
untuk diketahui bahwasanya menurut Australia, fungsi utama
penerapan jarak
1850 Km tersebut adalah difungsikan untuk melakukan deteksi dini
terhadap
kapal-kapal yang akan berlabuh ke pelabuhan Australia, ketika
kapal-kapal
tersebut sudah memasuki zona AMIZ (1850 Km) maka diwajibkan
untuk
melaporkan kepada pihak Australia terkait data-data kapal dan
pelabuhan
tujuannya di Australia (Pudjiastuti 2005:69). Hal tersebut
bertujuan agar Australia
dapat melakukan tindakan dini terhadap kapal-kapal yang dinilai
mencurigakan
dan akan mengancam keamanan nasional negaranya.
Dari keterangan di atas, dapat diambil sebuah pengertian
bahwasanya AMIZ
pada dasarnya diciptakan adalah dalam kerangka untuk melindungi
keamanan
nasional Australia, bukan untuk mengancam kedaulatan dan
yuridiksi atau bahkan
melakukan serangan terhadap negara lain, sebagaimana yang
dikhawatirkan oleh
-
45
beberapa pejabat pemerintahan Indonesia. Selain itu, AMIZ adalah
sebuah sistem
pertahanan yang diproyeksikan untuk mengantisipasi
ancaman-ancaman yang
bersifat non-tradisional atau ancaman-ancaman yang berasal dari
non state actor,
hal ini sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Atase Pertahanan
Australia, Ken
Brown Rigg tentang persepsi ancaman yang akan dihadapi oleh
Ausralia. Hal ini
kemudian diperkuat dengan pernyataan dari Menteri Pertahanan
Australia, Robert
Hill, bahwasanya tidak ada niat sama sekali bagi Australia untuk
memperluas
yuridiksi. AMIZ hanya memperluas lingkup Australia untuk
mengetahui sesuatu
tentang kapal yang akan memasuki perairan Australia. Pernyataan
tersebut
disampaikan oleh Hill pada saat melakukan pertemuan dengan
Menteri Luar
Neberi Hasan Wirajuda, Panglima TNI Endrianto Sutarto, dan
Menteri Pertahanan
Juwono Sudarsono pada 16 Desember 2004 (Hertanto 2004).
B. Politik Luar Negeri Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono
Alasan lain yang melatar belakangi sikap Presiden SBY terhadap
AMIZ
adalah terkait dengan sistem Politik Luar Negeri yang diterapkan
oleh Presiden
SBY. Dalam menjalankan Politik Luar Negerinya, sebagaimana yang
dijelaskan
oleh Dino Patti Djalal (2009) bahwa Presiden SBY menerapkan
Politik Luar
Negeri yang bebas dan aktif, Presiden SBY juga memiliki filosofi
Zero Enemy
and One Million Friends dalam Politik Luar Negerinya, dengan
demikian
Presiden SBY lebih menginginkan Indonesia untuk mampu bersahabat
dengan
sebanyak-banyaknya negara tanpa ada pertikaian dan konflik.
Pengertian Politik Luar Negeri menurut Roseneau (1976) adalah
suatu
proses yang melibatkan hubungan aktor negara dan non-negara
didalamnya,
-
46
dibutuhkan adanya kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh
aktor-aktor tersebut
sebagai representasi dari kepentingan masing-masing aktor yang
kemudian saling
bertemu (h.15). Dalam menjalankan Politik Luar Negeri, Indonesia
memiliki
Landasan idiil yang berpedoman pada Pancasila yang merupakan
pedoman dasar
bagi pelaksanaan berbangsa dan bernegara yang ideal. Sedangkan
landasan
konstitusional dari Politik Luar Negeri RI adalah pada UUD 1945
alinea pertama
dan ke empat yang berbunyi sebagai berikut:
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan adalah hak segala bangsa oleh
sebab itu maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena
tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan
... dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial...
Sedangkan untuk landasan operasional, Politik Luar Negeri RI
adalah
prinsip bebas aktif. Menurut Hatta (1976), politik Bebas berarti
Indonesia tidak
berada dalam kedua blok dan memilih jalan sendiri untuk
mengatasi persoalan
internasional. Istilah Aktif berarti upaya untuk bekerja lebih
giat guna menjaga
perdamaian dan meredakan ketegangan kedua blok (h.17).
Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam menjalankan
politik
luar negerinya memiliki sebuah filosofi Zero Enemy and One
Million Friends,
yang berarti bahwa Presiden SBY menginginkan Indonesia untuk
mampu
bersahabat dan menjalin kerjasama dengan sebanyak-banyaknya
negara tanpa ada
pertikaian dan konflik (Djalal 2009). Kemudian, dijelaskan dalam
Forum Kajian
Pertahanan dan Maritim bahwasanya pada era kepemimpinan Presiden
SBY
kebijakan luar negeri Indonesia lebih mengarah pada pembangunan
citra positif
Indonesia, antara lain menjadi tuan rumah forum-forum
Internasional, menjalin
-
47
berbagai kerjasama, serta memberi peluang kepada
investor-investor asing untuk
masuk ke Indonesia (Rahmawaty 2014).
Terkait dengan AMIZ, Anggoro (2005) menjelaskan bahwa
keengganan
Presiden SBY untuk mempersoalkan AMIZ adalah karena sopan santun
untuk
menghindari pertikaian dengan PM Howard. Sebab selama ini antara
Indonesia
dan Australia telah menjalin hubungan yang baik (h.206).
Cederwell (2005)
menyatakan bahwa beberapa kasus seperti bom Bali dan kematian
tentara
Australia yang sedang membantu penyelamatan bencana di Nias,
telah
menjadikan hubungan kedua negara menjadi sangat dekat. Selain
itu, antara
Indonesia dan Australia juga telah terjalin kerjasama dalam
bidang ekonomi yang
cukup baik, sebagaimana dikutip dari website resmi kedutaan
besar Australia,
bahwasanya Australia dan Indonesia telah bermitra dalam
pembangunan selama
lebih dari 60 tahun. Kerjasama tersebut bergerak dalam beberapa
bidang,
diantaranya adalah dalam bidang ekonomi, pembangunan
infrastruktur,
pendidikan, menciptakan lapangan kerja, kesehatan, dan
memperkuat demokrasi
(www.indonesia.embassy.gov.au). Dalam bidang ekonomi, antara
Indonesia dan
Australia terjalin kerjasama dalam bentuk perdagangan. Indonesia
merupakan
mitra dagang yang penting bagi Australia, pada tahun 2004 saja
perdaganagn
Indonesia-Australia mencapai angka 8,5 juta dolar Australia
(Pudjiastuti
2005:148).
C. Perjanjian Keamanan Indonesia-Australia
Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia menyepakati
sebuah
perjanjian bersama dalam kerangka kerjasama keamanan (Agreement
Between
-
48
The Republic of Indonesia and Australia on The Framework for
Security
Cooperation) yang kemudian dikenal dengan nama Lombok Treaty,
perjanjian ini
ditandatangi pada tahun 2006 di Lombok, Indonesia. Meskipun
ditandatangani
pada tahun 2006, akan tetapi pembahasannya sudah dimulai sejak
tahun 2003,
yang pada saat itu Presiden SBY masih menjabat sebagai
Menkopolhukam. Bagi
Indonesia, perjanjian keamanan tersebut ditujukan dalam konteks
untuk menjaga
integritas dan kedaulatan wilayahnya. Salah satu yang melatar
belakangi
pembahasan perjanjian tersebut adalah kekhawatiran Indonesia
atas Australia.
Kekhawatiran Indonesia atas Australia cukup beralasan jika
dikaitkan dengan
peristiwa politik di Timor-Timur tahun 1999, sikap dan dukungan
pemerintah
serta LSM Australia yang akhirnya berhasil mewujudkan
kemerdekaan Timor-
Timur. Kemudian juga mengenai adanya informasi bahwa Australia
membentuk
Task Force Papua, yang diketuai oleh Chief of Defense Force,
Jenderal Peter
Cosgrove, untuk mengkaji permasalahan di Papua dan prospek
kemerdekaan
Papua (Hakim 2010:51-96). Dari penjelasan tersebut dapat ditarik
sebuah
kesimpulan bahwa perjanjian keamanan tersebut akan terfokus pada
pembahasan
mengenai isu kedaulatan dan teritorial, hal inilah yang menjadi
salah satu faktor
yang melatar belakangi keputusan Presiden SBY untuk tidak
mempermasalahkan
AMIZ, karena pada dasarnya persoalan AMIZ juga adalah terkait
dengan
persoalan kedaulatan dan teritorial.
Dan berikut adalah prinsip-prinsip yang terkandung dalam
perjanjian
keamanan antara Indonesia dan Australia, sebagaimana yang
dijelaskan dalam
pasal 2 Agreement Between The Republic of Indonesia and
Australia on The
-
49
Framework for Security Cooperation, pertama, prinsip kesetaraan
dan
keuntungan bersama, kedua, prinsip penghormatan dan dukungan
atas kedaulatan,
integritas teritorial, kesatuan nasional dan kemerdekaan
masing-masing pihak
serta non-intervensi terhadap urusan dalam negeri satu sama
lain. Ketiga, kedua
belah pihak, sesuai dengan hukum nasional dan hukum
internasional yang
berlaku, tidak mendukung atau berpartisipasi dengan cara apapun
dalam kegiatan
yang dilakukan baik oleh perorangan, atau kelompok tertentu yang
bisa
mengancam stabilitas, kedaulatan, atau integritas politik pihak
lain, termasuk
menggunakan wilayah pihak lainnya untuk melakukan sparatisme.
Keempat,
setiap pihak, sesuai dengan Piagam PBB akan menyelesaikan
pertikaian dengan
cara damai tanpa mengancam perdamaian, keamanan dan keadilan
internasional.
Kelima, setiap pihak akan menghindari ancaman atau penggunaan
kekerasan
terhadap integritas teritorial atau kemerdekaan politik pihak
lainnya, sesuai
dengan Piagam PBB. Keenam, perjanjian ini tidak akan
mempengaruhi hak dan
kewajiban para pihak terhadap hukum internasional yang berlaku.
Dengan
disepakatinya perjanjian tersebut, maka Indonesia secara tidak
langsung telah
mengikat Australia agar kedepannya tidak ikut campur dalam
urusan dalam negeri
Indonesia, dan juga mengharuskan Australia untuk menghormati
teritorial
Indonesia.
Sedangkan isi dari perjanjian tersebut secara umum mengatur 10
bidang
kerjasama, yaitu kerjasama pertahanan, penegakan hukum,
pemberantasan
terorisme, intelijen, kerjasama maritim, keselamatan dan
keamanan penerbangan,
pencegahan perluasan senjata pemusnah masal, tanggap darurat
bencana,
-
50
kerjasama organisasi multilateral dan membangun kontak dan
saling pengertian
masyarakat mengenai persoalan-persoalan bidang keamanan. Berikut
adalah
penjelasan tentang kerangka kerjasama perjanjian keamanan yang
tertuang dalam
pasal 3 Agreement Between The Republic of Indonesia and
Australia on The
Framework for Security Cooperation;
Di bidang pertahanan
Beberapa bentuk kerjasama yang sudah dijalankan dalam bidang
pertahanan antara lain; latihan bersama antara Tentara Nasional
Indonesia
(TNI) dengan Aus