1 KEBIJAKAN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO TERHADAP TKI KEBIJAKAN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO TERHADAP TKI YANG TERANCAM HUKUMAN MATI DI SAUDI ARABIA TAHUN 2010-2013 CHASTITI MEDIAFIRA WULOLO NIM D0412013 ABSTRACT Foreign Policy of Susilo Bambang Yudhoyono towards the Indonesian Workers who endangered the capital punishment at Saudi Arabia becomes the main topic examined in this research. Foreign Policy of Indonesian Government towards Indonesian workers is being analyzed from the aspects of policy evaluation. This research uses a qualitative approach with literature study and interview as the technique of the data collection. Data analysis draws on qualitative analysis consisted of multiple steps such as data collection, data reduction, data displays, and conclusion drawing. Data validation uses the triangulation of source and technique. The framework of this research departs from the foundations of the current policy and policy evaluation towards Indonesian workers problematic cases. The results of this research shows that the Indonesian government policy which is named moratorium is the relatively the effective way to prevent the increasing of of Indonesian workers’ cases in Saudi Arabia. This policy is used to postpone the consigment of Indonesian workers to Saudi Arabia until the signing of a Memorandum of Understanding (MoU) between Indonesian government with the government of Saudi Arabia about the protection of Indonesian workers in Saudi Arabia. Indonesian government is also doing diplomacy by negotiating with the government of Saudi Arabia to absolve Indonesian workers towards the capital punishment in Saudi Arabia. Diplomacy by negotiating becomes the mainstay of President Susilo Bambang Yudhoyono to solve the problem of Indonesian workers and release them who endangered the capital punishment by paying diyat. Nevertheless, the Indonesian government policies deemed not fully effective for cases of troubled migrant workers in Saudi Arabia has not been solved completely. Nevertheless, the Indonesian government policy is still not fully effective for solving the cases of troubled
28
Embed
KEBIJAKAN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO · PDF file1 kebijakan susilo bambang yudhoyono terhadap tki kebijakan susilo bambang yudhoyono terhadap tki yang terancam hukuman mati di saudi
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
KEBIJAKAN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO TERHADAP TKI
KEBIJAKAN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO TERHADAP TKI YANG TERANCAM HUKUMAN MATI DI SAUDI ARABIA
TAHUN 2010-2013
CHASTITI MEDIAFIRA WULOLO
NIM D0412013
ABSTRACT
Foreign Policy of Susilo Bambang Yudhoyono towards the Indonesian Workers who
endangered the capital punishment at Saudi Arabia becomes the main topic examined in
this research. Foreign Policy of Indonesian Government towards Indonesian workers is being
analyzed from the aspects of policy evaluation.
This research uses a qualitative approach with literature study and interview as the
technique of the data collection. Data analysis draws on qualitative analysis consisted of
multiple steps such as data collection, data reduction, data displays, and conclusion
drawing. Data validation uses the triangulation of source and technique. The framework of
this research departs from the foundations of the current policy and policy evaluation
towards Indonesian workers problematic cases.
The results of this research shows that the Indonesian government policy which is
named moratorium is the relatively the effective way to prevent the increasing of of
Indonesian workers’ cases in Saudi Arabia. This policy is used to postpone the consigment of
Indonesian workers to Saudi Arabia until the signing of a Memorandum of Understanding
(MoU) between Indonesian government with the government of Saudi Arabia about the
protection of Indonesian workers in Saudi Arabia. Indonesian government is also doing
diplomacy by negotiating with the government of Saudi Arabia to absolve Indonesian
workers towards the capital punishment in Saudi Arabia. Diplomacy by negotiating
becomes the mainstay of President Susilo Bambang Yudhoyono to solve the problem of
Indonesian workers and release them who endangered the capital punishment by paying
diyat. Nevertheless, the Indonesian government policies deemed not fully effective for cases
of troubled migrant workers in Saudi Arabia has not been solved completely. Nevertheless,
the Indonesian government policy is still not fully effective for solving the cases of troubled
2
KEBIJAKAN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO TERHADAP TKI
Indonesian workers in Saudi Arabia. Researcher forms that the immature of Indonesian
workers’ management to organize migrant workers before and after sent becomes the
main factors which causing the increasing of Indonesian workers cases. For solving this
problem the Indonesian government must have a strict policy and really ripe to organize the
Indonesian workers before and after consigment.
Keywords: Policy Analysis, Foreign Policy, Indonesian Workers, Moratorium, Negotiation.
3
KEBIJAKAN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO TERHADAP TKI
PENDAHULUAN
Tenaga Kerja Indonesia (TKI) atau yang sering disebut sebagai pahlawan devisa
bagi negara Indonesia sering kali tidak mendapatkan hak-haknya sebagai seorang
pahlawan; seperti hak-hak mereka untuk diberi perlindungan, gaji yang layak, perlakuan
yang semestinya bahkan kesempatan untuk cuti pulang ke negara asalnya. Meskipun
demikian usaha mereka untuk memperoleh pekerjaan yang layak dengan cara pergi ke
luar negeri, tentu harus mengorbankan banyak hal termasuk waktu bersama keluarga di
tanah air.
Dewasa ini media justru menayangkan hanya berita-berita yang bernada negatif
terkait TKI di luar negeri. Misalnya tentang banyaknya kekerasan yang dilakukan majikan
terhadap TKI, dan juga kasus lain seperti TKI yang terancam hukuman mati. Hal tersebut
membentuk pola pikir masyarakat Indonesia bahwa TKI hanyalah pekerja kasar yang
mengadu nasib di luar negeri dengan mempertaruhkan nyawanya, karena belum tentu
mereka dapat kembali ke tanah air dalam keadaan “utuh”.
Fakta seputar TKI yang terancam hukuman mati di negara lain tentu sangat
mengawatirkan sejumlah pihak terutama keluarga yang bersangkutan, pasalnya
terpidana mati baru bisa dibebaskan dari hukuman mati apabila ada uang tebusan yang
dibayarkan sebagai ganti rugi bagi pihak korban.
Salah satu contohnya adalah kekecewaan pemerintah dan masyarakat Indonesia
atas eksekusi hukuman mati yang diberikan kepada Siti Zaenab pada Selasa, (14/4/2015)
siang waktu Indonesia, tanpa ada pemberitahuan sebelumnya. Siti dijatuhi hukuman mati
sejak tahun 2001, karena menjambak dan menusuk perut majikannya. Menurut
pengakuannya ia hanya berusaha untuk membela diri dari usaha pemerkosaan yang
hendak dilakukan majikannya. Protes keras dari pemerintah Indonesia juga telah
ditujukan kepada pemerintah Saudi Arabia yang terlambat memberikan informasi
sebelum dilaksanakannya eksekusi mati.
Berita yang ditayangkan di stasiun televisi lokal Indonesia seolah tidak berpihak
kepada usaha pemerintah untuk menangani kasus TKI. Asumsi tersebut diutarakan
peneliti karena berita-berita yang disiarkan tentang TKI, mayoritas adalah berita-berita
4
KEBIJAKAN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO TERHADAP TKI
negatif. Namun faktanya tidak semua TKI yang bekerja di luar negeri mengalami masalah
yang serupa.
Selain media, asumsi bahwa hukum Indonesia tidak cocok dengan norma dan
hukum yang berlaku di Saudi Arabia juga menjadi alasan mengapa banyak TKI Indonesia
yang terancam hukuman mati. Berangkat dari fakta dan opini peneliti tersebut, penelitian
mengenai Kebijakan Pemerintah terhadap TKI yang akan dihukum Mati di Saudi Arabia
pada Masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, menjadi kajian yang menarik
untuk diteliti lebih lanjut. Terlebih sampai pada masa pemerintahan Presiden yang baru
yakni Joko Widodo, permasalahan TKI masih terus bermunculan.
Fokus penelitian dikhususkan pada TKI yang ada di Saudi Arabia karena berdasarkan
data Pengaduan TKI tahun 2010-2013 Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), negara Saudi Arabia lah yang menempati tempat
teratas dengan jumlah kasus yang diadukan sebesar 31.676 kasus pada tahun 2010,
seperti yang dapat dilihat pada tabel tersebut :
Tabel 1.1 PELAYANAN TKI BERMASALAH MENURUT NEGARA
di Badan Pemeriksa Keuangan-TKI (BPK-TKI) Selapajang Tangerang (Tahun
2010-2013) Sumber data : PUSAT PENELITIAN PENGEMBANGAN DAN INFORMASI (PUSLITFO BNP2TKI)
5
KEBIJAKAN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO TERHADAP TKI
Penelitian akan fokus pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pada
periode kedua, dimana kredibilitas Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden
dipertaruhkan. Skripsi ini ditulis dengan data Pengaduan TKI tahun 2010-2013 BNP2TKI
yang terdiri dari berbagai jenis permasalahan, ditunjukkan penurunan angka yang
signifikan. Hal tersebut membuat peneliti berasumsi bahwa kebijakan pemerintah efektif
untuk mengatasi permasalahan yang ada.
Pembahasan topik ini dimulai dari periode pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono periode ke 2 dengan cakupan tahun 2010-2013. Bahasan penelitian ini meliputi
Kebijakan Luar Negeri pemerintah Indonesia terhadap TKI, selain itu peneliti juga akan
meneliti bagaimana manajemen sebelum dan sesudah TKI dikirim ke luar negeri, dan
perlindungan seperti apa yang diberikan pemerintah Indonesia kepada TKI yang bekerja
di luar negeri. Selain membahas kebijakan pemerintah Indonesia, penelitian ini juga akan
membahas bagaimana pengaruh positif maupun negatif bagi kebijakan moratorium yang
dibentuk pemerintah Indonesia terhadap TKI yang hendak ke Saudi Arabia.
PEMBAHASAN
Undang-Undang Perlindungan TKI
Setelah membahas tentang dasar-dasar mengapa suatu negara perlu melindungi
rakyatnya, pada sub bab kali ini akan dibahas mengenai perlindungan yang diberikan
suatu pemerintah terhadap rakyatnya khususnya TKI yang terwujud dalam ratifikasi
Konvensi PBB oleh pemerintah Indonesia dan undang-undang yang menjamin
perlindungan TKI.
1) Ratifikasi Konvensi Migran 1990
Konvensi yang biasa disebut dengan Konvensi Migran 1990 meurupakan
Konvensi yang dideklarasikan di New York, Amerika Serikat dan disahkan melalui
resolusi PBB 45/158 pada tanggal 18 Desember tahun 1990. International Convention
on The Protection of The Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families
tersebut merupakan konvensi yang fokus terhadap perlindungan hak buruh migran
beserta keluarga. Konvensi ini mulai berlaku efektif pada tanggal 1 Juli 2003 dan telah
diratifikasi oleh 20 negara pada bulan Maret 2003, serta menjadi konvensi dengan
kekuatan hukum yang mengikat. Konvensi Migran 1990 ini telah diratifikasi oleh 42
5
KEBIJAKAN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO TERHADAP TKI
negara hingga tahun 2010. Indonesia merupakan salah satu negara pengirim buruh
migran terbesar, namun Indonesia juga tergolong memerlukan waktu yang lama
dalam meratifikasi konvensi ini, yakni delapan tahun terhitung setelah proses
penandatanganan yang dilakukan pada tanggal 22 September 2004 di New York.
Ratifikasi yang dilakukan negara Indonesia dilakukan karena timbulnya banyak
tekanan dari dalam negeri baik lembaga sosial masyarakat maupun organisasi-
organisasi lain yang memperjuangkan nasib tenaga kerja. Maka pada tanggal 2 Mei
2012 Indonesia meratifikasi Konvensi Migran 1990 tersebut. i
Pemerintah Indonesia mengalami proses yang penuh dengan dinamika yang
dimulai setelah proses penandatanganan pada tahun 2004. Faktor utama
penghambat proses ratifikasi adalah ketidaksepakatan antara pemerintah dan DPR
tentang perlunya ratifikasi konvensi ini. Menurut surat Kementrian tenaga Kerja dan
Transmigrasi (Kemenakertrans) pada tahun 2005, dengan nomor surat
B.359/SJ/HK/2005 yang ditunjukan kepada Pusat Litbang Hak-Hak Ecosoc, Badan
Penelitian dan Pengembangan HAM, Kementrian Hukum dan HAM pada tanggal 12
September 2005, Kemenakertrans menyatakan keberatan untuk meratifikasi
Konvensi Migran 1990. Adapun beberapa argumentasi yang disampaikan oleh
Kemenakertrans dalam surat tersebut. Pertama, dengan meratifikasi konfensi
tersebut dapat menimbulkan sejumlah kewajiban bagi pemerintah untuk
memberikan peluang yang sama bagi tenaga kerja asing dan anggota keluarganya
untuk datang dan bekerja di Indonesia, hal ini termasuk pemberian kompensasi
berupa tunjangan pengangguran jika tenaga kerja asing tersebut mengalami
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Kedua, substansi Konvensi Migran 1990
mengatur kewajiban bagi negara peratifikasi untuk memberikan perlindungan
kepada tenaga kerja asing yang bekerja di negara tersebut, sehingga meskipun
Indonesia meratifikasi, konvensi tersebut tidak bisa memberikan perlindungan bagi
TKI yang bekerja di luar negeri, di sisi lain dengan adanya jaminan yang sama dengan
pekerja lokal, hal yang menjadi ancaman adalah semakin banyaknya tenaga kerja
asing masuk ke Indonesia yang semakin lama merebut lahan pekerjaan bagi para
pekerja lokal. Ketiga, pasal-pasal yang ada dalam konvensi tersebut antara lain
tentang hak berserikat bagi buruh migran, pengaturan tidak boleh memutus
hubungan kerja dengan buruh migran, serta akses untuk mencari dan mendapat
6
KEBIJAKAN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO TERHADAP TKI
pekerjaan, dinilai tidak sejalan dengan substansi UU No. 13/2003 tentang
ketenagakerjaan. ii
Direktur Jendral Pembinaan Penemparan Tenaga Kerja Luar Negeri
Kemenakertrans, I Made Arka, pada tahun 2006, menyatakan bahwa Indonesia
belum siap untuk meratifikasi Konvensi Migran 1990 tersebut, karena Indonesia
belum mampu untuk memfasilitasi tenaga kerja asing sebagaimana fasilitas yang
didapatkan oleh pekerja lokal. Menanggapi hal tersebut, Wahyu Susilo, analisis
kebijakan Migrant Care, mengatakan bahwa pemerintah tidak memiliki inisiatif untuk
melindungi buruh migran dengan tidak adanya keputusan politik untuk meratifikasi
konvensi itu menjadi hukum nasional. Hingga tahun 2008, Kemenakertrans masih
tetap mengandalkan Memorandum of Understanding (MoU) yang dilakukan antara
PJTKI dengan negara-negara penempatan, namun hal ini dirasa kurang ata bahkan
tidak signifikan dalam mengatur mengenai permasalahan perlindungan TKI.
Perdebatan yang terjadi antara elit pemerintah terkait ratifikasi Konvensi Migran
1990 terjadi sampai tahun 2011. Pada tahun 2009 Kemenakertrans, Kementrian Luar
Negeri (Kemenlu), Kementrian Hukum dan HAM, beserta pakar mengadakan
pembahasan yang pada akhirnya tetap tidak mengakomodasi presepsi para
pemangku kepentingan utama tentang pentingnya ratifikasi konvesi tersebut. Lalu
pada tahun 2011,Kemenlu menyuarakan persiapan ratifikasi Konvensi Migran 1990
dengan menyusun ulang draft naskah akademik ratifikasi Konvensi Migran 1990 yang
sebelumnya telah dibahas sebanyak dua kali dalam workshop yang diadakan oleh
Kemenlu bersama dengan departemen dan masyarakat sipil pada 15-16 Juli 2011 dan
Oktober 2011, yang berisi tentang argumentasi setuju dan tidak setuju untuk
meratifikasi konvensi tersebut.
Pada tahun 2012, terbitlah Amanat Presiden (AmPres) No. R-17/Pres/02/2012
terkait ratifikasi Konvensi Migran 1990 yang telah ditandantangani oleh Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 7 Februari 2012, yang kemudian
diserahkan kepada ketua DPR pada 9 Februari 2012. AmPres tersebut tidak
ditindaklanjuti dengan diadakannya rapat kerja antara Komisi IX DPR RI dengan
Pemerintah yang diwakili oleh Kemenlu, Kemenakertrans dan Kementran Hukum dan
HAM. Rapat tersebut menghasilkan suatu keputusan bahwa Konvensi Perlindungan
Hak Buruh Migran dan Anggota Keluarga atau yang biasa disebut Konvensi Migran
7
KEBIJAKAN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO TERHADAP TKI
1990 perlu segera diratifikasi unutk lebih memaksimalkan perlindungan para TKI.
Setelah itu Rancangan Undang-Undang Ratifikasi Konvensi dibawa ke rapat
paripurna DPR RI pada tanggal 12 April 2012, dan menghasilkan Undang-undang
tanpa reservasi pada tanggal 2 Mei 2012. iii
Konvensi Migran 1990 memiliki arti penting yang diutarakan dalam 10 poin
sebagai berikut :
a. Konvensi tersebut berupaya membangun standar minimum perlindungan buruh
migran beserta anggota keluarga terkait hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan
budaya, selain itu konvensi tersebut juga mendorong agar negara semakin
menyelaraskan undang-undang negara dengan standar universal yang termaktub
dalam konvensi tersebut.
b. Konvensi tersebut melihat buruh migran bukan sebagai komoditas ekonomi
melainkan sebagai manusia yang memiliki hak asasi.
c. Konvensi mengakui banyaknya kontribusi yang disumbangkan oleh buruh migran
baik dalam sektor ekonomi maupun sosial masyarakat di negara penempatan serta di
negara asal buruh tersebut, sehingga perlu adanya pengakuan dan perlindungan
hukum terhadap hak asasi mereka.
d. Konvensi ini mengakui kerentanan nasib yang dialami oleh buruh migran melihat
banyaknya buruh migran yang sering mendapat perlakuan yang tidak manusiawi,
sehingga harus adanya perlindungan yang lebih baik yang menaungi nasib buruh
migran.
e. Konvensi ini dianggap paling komperhensif untuk menangani nasib buruh migran
dikarenakan berisi serangkaian standar untuk menangani berbagai aspek diantaranya
kesejahteraan dan hak-hak seluruh buruh migran beserta anggota keluarga,
kewajiban dan tanggung jawab negara terkait meliputi negara pengirim (asal),
negara penerima, maupun negara transit.
f. Konvensi ini berupaya untuk melindungi hak-hak seluruh buruh migran baik yang
berdokumen maupun yang tidak berdokumen dikarenakan konvensi ini bersifat
inklusif bagi seluruh buruh migran tanpa memandang status hukum yang dimiliki,
namun konvensi juga berusaha untuk mendorong buruh migran untuk tetap
mematuhi prosedur yang ada dengan melengkapi dokumen-dokumen yang
diperlukan.
8
KEBIJAKAN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO TERHADAP TKI
g. Konvensi memegang teguh prinsip-prinsip non diskriminasi sehingga seluruh buruh
migran tanpa memandang status hukum yang dimiliki berhak mendapat fasilitas dan
perlakuan yang sama dengan warga lokal di negara penempatan.
h. Konvensi tersebut membuat satu definisi buruh migran dengan cakupan yang luas
dan mencakup seluruh buruh migran baik laki-laki, perempuan, yang akan, sedang,
maupun telah menjalani aktivitas di negara penempatan yang disepakati secara
universal.
i. Konvensi ini berupaya mencegah dan menghapus praktek-praktek eksploitasi buruh
migran beserta anggota keluarganya dalam seluruh proses yang dijalani baik pra,
sedang, maupun pasca migrasi, selain itu konvensi ini juga berkomitmen untuk
mengakhiri perekrutan buruh migran ilegal dan tidak berdokumen.
j. Bertujuan untuk memaksimalkan perlindungan buruh migran beserta anggota
keluarga, konvensi ini membentuk Komite Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja
Migran dan Anggota Keluarga. Komite tersebut berfungsi untuk mengkaji
pelaksanaan konvensi oleh negara peratifikasi melalui pengkajian laporan mengenai
langkah-langkah yang telah dilakukan oleh negara peratifikasi terkait
pengimplementasian konvensi tersebut (The International Steering Committee For The
Campaign For Ratification Of The Migrants Rights Convention. 2012).
Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti menemukan beberapa alasan mengapa
terdapat rintangan yang cukup rumit untuk meratifikasi Konvensi Migran 1990
tersebut. Seperti kita ketahui bersama untuk meratifikasi sebuah konvensi
diperlukan kesepakatan antar golongan pemerintah yang terkait untuk bersama-
sama memproses menjadi sebuah kebijakan yaitu Kebijakan Luar Negeri.
Perjanjian Internasional Ratifikasi Kebijakan Luar Negeri
Gambar 3.1 Proses Terbentuknya Kebijakan Luar Negeri Setelah Ratifikasi
Perjanjian Internasional
Sumber : http://journal.unair.ac.id/filerPDF/-Jurnal.docx