BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan WHO perkiraan pada tahun 2002, salah satu penyebab terbanyak kebutaan di dunia adalah degenerasi makula terkait usia yang menempati urutan ke-4 sebesar 8,7%. 1 Degenerasi makula terkait usia ( Age related Macular Degeneration, AMD) merupakan penyebab utama hilangnya ketajaman penglihatan pada satu atau dua mata pada orang berusia di atas 50 tahun di Amerika Serikat. Diperkirakan 15 juta warga negara Amerika Utara menderita AMD. Prevalensi AMD adalah 85-90% pada AMD non eksudatif dan 10 – 15 % pada eksudatif AMD. 2 Di Indonesia sendiri, hingga saat ini belum ada data pasti tentang insidens dan angka morbiditas AMD. Salah satu penelitian dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia periode 03 Maret 2008 - 05 Januari 2009 di Jakarta Timur, yang menggunakan 1259 responder didapati prevalensi non eksudatif dan eksudatif AMD didapatkan pada 52 orang (4,1%) and 3 orang (0,2%). Prevalensi AMD didapatkan semakin meningkat dengan bertambahnya usia, dimana 3,4% pada kelompok usia 40-49 tahun, 4,8% pada kelompok usia 50-59 tahun, dan 7,4% pada usia > 70 tahun. 3 Berdasarkan American Academy of Opthalmology, degenerasi makula terkait usia adalah gangguan pada makula yang 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berdasarkan WHO perkiraan pada tahun 2002, salah satu penyebab terbanyak kebutaan
di dunia adalah degenerasi makula terkait usia yang menempati urutan ke-4 sebesar
8,7%.1 Degenerasi makula terkait usia ( Age related Macular Degeneration, AMD)
merupakan penyebab utama hilangnya ketajaman penglihatan pada satu atau dua mata
pada orang berusia di atas 50 tahun di Amerika Serikat. Diperkirakan 15 juta warga
negara Amerika Utara menderita AMD. Prevalensi AMD adalah 85-90% pada AMD
non eksudatif dan 10 – 15 % pada eksudatif AMD.2 Di Indonesia sendiri, hingga saat ini
belum ada data pasti tentang insidens dan angka morbiditas AMD. Salah satu penelitian
dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia periode 03 Maret 2008 - 05 Januari 2009
di Jakarta Timur, yang menggunakan 1259 responder didapati prevalensi non eksudatif
dan eksudatif AMD didapatkan pada 52 orang (4,1%) and 3 orang (0,2%). Prevalensi
AMD didapatkan semakin meningkat dengan bertambahnya usia, dimana 3,4% pada
kelompok usia 40-49 tahun, 4,8% pada kelompok usia 50-59 tahun, dan 7,4% pada usia >
70 tahun.3
Berdasarkan American Academy of Opthalmology, degenerasi makula terkait usia
adalah gangguan pada makula yang dikarakteristikkan dengan satu atau lebih dari tanda-
paparan sinar matahari, mikronutrien, asupan ikan, dan konsumsi alkohol.6
1. Usia
Usia merupakan faktor risiko yang paling berpengaruh pada degenerasi makula
terkait usia. Pada Frammingham Eye Study, 6,4 % pasien usia 65-74 tahun dan
19,7 % pasien usia lebih dari 75 tahun memiliki tanda-tanda AMD. Sama dengan
9
Frammingham Eye Study, The Eye Disease Research Prevalence Group
menemukan bahwa pasien usia di atas 80 tahun memiliki prevalensi 6 kali lipat
dibandingkan dengan pasien usia 60-64 tahun.2,6
2. Ras
AMD lebih sering terjadi pada pasien ras kaukasia dibandingkan dengan Afrika-
Amerika yang berkulit hitam, sedangkan pada orang Asia dijumpai adanya
peningkatan dibandingkan dengan dengan Afrika-Amerika yang berkulit hitam. 2,6,8,9 Penelitian kohort oleh Klein, dkk, menujukkan prevalensi AMD pada empat
ras yaitu kulit putih(kaukasia), hitam, hipanik, dan chinese pada pasien usia 45-80
tahun adalah 2,4 % pada kulit hitam, 4,2 % pada hispanik, 4,6 % pada chinese,
dan 5,4% pada kulit putih (kaukasia).6
3. Riwayat keluarga
Beberapa predisposisi terjadinya AMD adalah faktor genetik yaitu gen CHF
FA merupakan pemeriksaan yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi adanya
kelainan pada makula oleh karena AMD. Pada pemeriksaan ini, zat warna
flouresens akan diinjeksikan secara intravenous dan foto serial dari retina akan
diambil seiring perjalanan zat tersebut melalui koroid dan pembuluh darah retina.
Abnormalitas yang dapat tampak adalah adanya daerah dimana zat tersebut
berkumpul (hiperfluoresens) dan daerah dimana zat tersebut tidak tampak
(hipofluoresens).2,6,7,8,9,17
16
Gambar 2.7 Angiografi Flouresens
Lesi hiperfluoresens2:
a. Drusen lunak dan keras
b. Atrofi lapisan pigmen retina
c. Robekan lapisan pigmen retina (tear RPE)
d. CNV (Choroidal Neovascularisation)
e. Serous PED (Pigment Endohelial Detachment)
f. Fibrosis subretinal
g. Skar laser
Lesi hipofluoresens2:
a. Perdarahan
b. Lemak
c. Proliferasi pigmen
17
Atrofi geografik skar laser
Tear RPEDetachment RPE
Lemak Skar disciform
Perdarahan pada retina Exudative retinal Detachment
18
Gambar 2.8 Angiografi Flouresens pada AMD6,17
5. Indocyanine green angiography (ICGA)17
ICGA dapat digunakan untuk mengidentifikasi CNV yang tampak sebagai daerah
hiperflouresens fokal baik ‘hot spot’ atau ‘plaque’, pemeriksaan ini jauh lebih
baik dibandingkan dengan FA karena beberapa alasan yaitu:
a. Meningkatkan sensitivitas dalam mendeteksi CNV dimana CNV dengan
adanya perdarahan densitas rendah, cairan atau pigmen yang kurang tampak
pada FA
b. Membedakan CNV dengan diagnosis lain yang memiliki presentasi yang
sama terutama retinal angiomatous proliferation (RAP) daan central serous
chorioretinopathy (CSR).
c. Identifikasi vascular feeder complexes yang menyuplai daerah CNV
Gambar 2.9 Indocyanine green angiography pada AMD
6. Optical coherence tomography (OCT)
OCT sangat membantu dalam menentukan adanya cairan subretinal dan dalam
menentukan tingkat ketebalan retina. OCT menawarkan kemampuan unik untuk
menunjukkan gambaran cross sectional dari retina yang tidak mungkin dengan
19
teknologi pencitraan lain dan dapat membantu dalam mengevaluasi respon dari
retina dan RPE terhadap terapi dengan memungkinkan pengamatan terhadap
perubahan struktural secara akurat. 8,9,17
Gambar 2.10 High Defenition Optical coherence tomography AMD noneksudatif8
Gambar 2.10 High Defenition Optical coherence tomography AMD eksudatif8
2.3.7 Tatalaksana
Tatalaksana AMD noneksudatif meliputi edukasi dan follow up, mikronutrien,
perubahan gaya hidup, dan laser fotokoagulasi.2,6,8 Edukasi dan follow up merupakan
hal yang penting untuk mencegah progresi AMD menjadi lebih lanjut. Penggunaan
Amsler grid penting untuk tes penglihatan pada pasien dan dilakukan setiap hari.
20
Amsler grid adalah suatu tes dengan garis-garis berwarna hitam pada latar putih
dengan titik fiksasi di tengah. Setiap mata diperiksa berganti-gantian dengan
menggunakan kacamata baca untuk mengevaluasi adanya metamorfosia yang baru,
skotoma, dan perubahan penglihatan sentral. Setiap perubahan pada Amsler grid harus
dievaluasi. 2,6,8
Mikronutrien, beberapa penelitian menunjukkan kegunaan dari konsumsi
mikronutrien. The Age-Related Eye Diseases Study (AREDS) telah melakukan
penelitian pada pasien dengan AMD noneksudatif ringan dan sedang yang diberikan
suplemen antioksidan (15 mg betakaroten, 500 mg vitamin C, vitamin E 400 IU, seng
80 mg, dan tembaga 2 mg) dengan hasil adanya penurunan progresi AMD menjadi
AMD lanjut walaupun efek tersebut kecil. Data menunjukkan kegunaan lain yaitu
mencegah AMD non eksudatif menjadi eksudatif. Penelitian lain oleh Rotterdam
Study yang mencari hubungan asupan antioksidan dengan penurunan resiko menjadi
AMD pada lebih dari 4000 orang yang berusia 55 tahun atau lebih di Belanda. Pada
penelitian ini asupan tinggi betakaroten, vitamin C, vitamin E, dan seng berhubungan
dengan penurunan resiko AMD pada orang usia tua. 2,4,8
Berdasarkan American Academy of Ophtalmology, suplemen mikronutrien
yang disarankan adalah vitamin C 500 mg, vitamin E 400 IU per hari, betakaroten 15
mg, seng 80 mg, dan tembaga 2 mg. 4 Suplemen lain adalah omega-3 long chain
polyunsaturated fatty acids (LCPUFAs:docohexaechonoic acid [DHA], dan
eicosapentaenoic acid [EPA]).
Tabel 1. Suplemen mikronutrien pada AMD4
21
Perubahan gaya hidup, beberapa penelitian menunjukkan bahwa gaya
hidup berperan dalam terjadinya AMD yaitu konsumsi makanan tinggi lemak dan
merokok. Pada pasien AMD disarankan untuk menurunkan berat badan dan berhenti
merokok.2,8
Laser fotokoagulasi, terapi ini memiliki manfaat yang kurang bermakna,
hal ini telah diteliti oleh National Eye Institute sponsored the complications of Age-
Related Macular Degeneration Prevention Trial (CAPT) yang menggunakan 1052
pasien pada 22 klinik mata.2
Berbeda dengan tatalaksana AMD noneksudatif, pada AMD eksudatif
diterapi dengan medikamentosa, thermal laser photocoagulation, photodynamic
therapy, dan terapi pembedahan. Terapi medikamentosa yang menjadi sorotan
sekarang adalah anti VEGF seperti Pegaptanib sodium, Ranibizumab, Bevacizumab,
Aflibercept.2,9
Pegaptanib sodium merupakan antagonis VEGF selektif yang
menstabilkan penglihatan dan mengurangi hilangnya ketajaman penglihatan serta
menurunkan progresi terjadinya kebutaan. VEGF menyebabkan terjadinya
angiogenesis dan meningkatkan permeabilitas serta inflamasi, ketiga hal ini berperan
dalam neovaskularisasi pada AMD eksudatif. FDA telah mencanangkan penggunaan
obat anti VEGF untuk AMD eksudatif tahun 2004. Pegaptanib sodium diberikan
secara intravitreal dengan dosis 0.3 mg intravitreous selama 6 minggu.2,9
Ranibizumab merupakan rekombinan IgG1-kappa isotype monoclonal
antibody fragment yang berkerja dengan mengikat VEGF-A sehingga mencegah
VEGF berikatan dengan reseptornya (seperti VEGFR1, VEGFR2) pada permukaan sel
endotel sehingga mencegah proliferasi, kebocoran vaskular, dan pembentukan
pembuluh darah baru. Ranibizumab diberikan secara intravitreal dengan dosis 0,5 mg
setiap bulan dan dapat diberikan setiap 3 bulan kemudian setelah 4 suntikan. 2,9
Bevacizumab merupakan monoklonal antibodi dari murin yang
menghambat angiogenesis dengan menghambat VEGF. Secara farmakologi ekonomi,
obat ini lebih menguntungkan karena memiliki harga yang lebih murah. The National
Eye Institute melakukan penelitian yang membandingkan keamanan dan kegunaan dari
kedua obat ini, dan didapatkan bahwa baik keamanan dan kegunaan pada kedua obat
22
ini sama- sama menimbulkan meningkatkan ketajaman penglihatan setelah 1 tahun.
Bevacizumab diberikan secara intravitreal dengan dosis 1.25 mg (dalam larutan
0.05mL ) setiap bulan. 2,9
Aflibercept berikatan dan mencegah aktivasi VEGF dan PIGF (placental
growth factor). Aktivasi VEGF-A dan PIGF akan menyebabkan terjadinya
neovaskularisasi. Aflibercept diberikan secara intravitreal dengan dosis 2 mg (0,05 ml)
setiap bulan selama 3 bulan pertama, dan 2 mg setiap 2 bulan. 9
Thermal laser photocoagulation biasanya digunakan untuk CNV diluar
fovea dan untuk terapi beberapa varian dari AMD eksudatif termasuk retinal
angiomatous proliferation (RAP) dan polypoidal choroidal vasculopathy. Walaupun
data dari MPS untuk subfoveal CNV menyatakan bahwa laser fotokoagulasi lebih baik
dari observasi tetapi kebanyakan dokter tidak melakukannya karena menginduksi
skotoma sentral iatrogenik. 9
Photodynamic therapy(PDT), untuk mencegah skotoma pada subfoveal
CNV, para dokter beralih ke PDT. Setalh menginjeksikan tinta fotosensitif dan
menunggu sampai tinta untuk mengkonsentrasi CNV patologis, fotosensitisiser akan
terstimulasi oleh cahaya dengan panjang gelombang spesifik yang di arahkan ke CNV.
Tinta akan bereaksi dengan air untuk menghasilkan oksigen dan radikal bebas
hidroksil yang kemudian akan menginduksi oklusi dari pembuluh darah patologis
akibat aktivasi masif dari platelet dan thrombosis. Tinta yang dapat digunakan adalah
verteporfirin. Verteporfirin merupakan porfirin yang dimodifikasi dengan tingkat
absorpsi pada 689 nm yang diberikan secara intravena sampai 10 menit. 9
Tindakan pembedahan submakular tidak menunjukkan mamfaat yang
signifikan dibandingkan observasi. Hal ini telah diteliti oleh National Eye Institute
yang membandingkan tindakan pembedahan dengan observasi selama 2 tahun. 9
2.3.8 Diagnosis Banding
Diagnosis banding AMD noneksudatif adalah sebagai berikut 2,6,8,17:
a. Central Serous Retinopathy (CSC) dapat dibedakan dengan AMD noneksudatif
dengan usia di bawah 50 tahun, apabila lebih dari 50 tahun, CSC dibedakan
dengan tidak adanya drusen, atrofi lapisan pigmen retina (RPE), dan serous
detachment RPE multipel.
23
b. Pattern dystrophy of RPE dapat dibedakan dengan AMD noneksudatif dengan
adanya pewarnaan kuning lambat pada pemeriksaan FA dan bisa pada pasien
muda.
c. Toksisitas obat seperti klorokuin yang dapat dibedakan dengan AMD noneksudatif
dengan adanya riwayat penggunaan obat dan tidak dijumpai adanya drusen ukuran
besar.
Diagnosis banding AMD eksudatif adalah sebagai berikut2,6,9,17:
a. Makroaneurisma arteri retina
b. Vitelliform detachments
c. Polypoidal choroidal vasculopathy
d. Central serous chorioretinopathy
e. Inflammatory conditions
f. Small tumor such as choroidal melanoma
2.3.9 Prevensi
Beberapa prevensi yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya AMD adalah
dengan tidak merokok baik aktif maupun pasif, melindungi mata dari paparan sinar
matahari dengan menggunakan kacamata hitam ataupun topi, mengkonsumsi makanan
yang mengandung antioksidan yang tinggi, mengkonsumsi ikan 1-2 ekor per hari,
mengkonsumsi sayuran hijau seperti bayam setiap hari, konsumsi sumplemen
tambahan yang mengandung asam folat 2,5 mg/hari, piridoksin 50 mg/hari, dan
vitamin B12 1 mg/hari.2,8,9,12
2.3.10 Prognosis
Perkembangan kehilangan penglihatan pada AMD noneksudatif bervariasi dan harus
dievaluasi secara individual. Gambaran oftalmoskopik dari makula tidak berkorelasi langsung
dengan derajat kehilangan penglihatan. Keterlibatan foveal tampaknya terjadi di awal
proses atrofik, tetapi interval rata-rata dari pengamatan pertama hingga kebutaan adalah 9 atau
10 tahun.12 Prognosis untuk AMD noneksudatif secara signifikan lebih baik daripada
prognosis untuk AMD eksudatif. Pasien mungkin mengalami perburukan ketajaman
penglihatan tapi terjadi secara perlahan-lahan.9
24
The Age-Related Eye Disease Study (AREDS) membuat skala berdasarkan ada atau
tidaknya kelainan retina pada masing-masing mata yaitu 2:
a. Terdapat satu atau lebih drusen ukuran besar (1 poin)
b. Terdapat gangguan pigmen (1 poin)
c. Pada pasien tanpa drusen ukuran besar, terdapat drusen ukuran sedang (1 poin)
d. Terdapat neovaskular AMD (2 poin)
Faktor-faktor risiko dijumlahkan pada kedua mata dan dijumpai angka 0-4 yang dapat
digunakan untuk perkiraan resiko untuk menjadi AMD lanjut dalam 5 -10 tahun.
Tabel 2.1 Risiko 5 tahun dan 10 tahun AMD menjadi AMD lanjut 2
25
Risiko 5 tahun
mendatang
Risiko 5 tahun
mendatang
0 faktor 0,5 % 1 %
1 faktor 3 % 7 %
2 faktor 12% 22 %
3 faktor 25 % 50 %
4 faktor 50 % 67 %
BAB 3
KESIMPULAN
Degenerasi makula terkait usia sebagai suatu keadaan dimana hilangnya refleks
makular, dispersi dan penggumpalan dari pigmen retina, dan terbentuknya drusen yang
berhubungan dengan ketajaman penglihatan.6 Berdasarkan WHO perkiraan pada tahun 2002, salah
satu penyebab terbanyak kebutaan di dunia adalah degenerasi makula terkait usia yang menempati urutan
ke-4 sebesar 8,7%. 1Degenerasi makula terkait usia ( Age related Macular Degeneration, AMD)
merupakan penyebab utama hilangnya ketajaman penglihatan pada satu atau dua mata pada orang
berusia di atas 50 tahun di Amerika Serikat. Diperkirakan 15 juta warga negara Amerika Utara menderita
AMD. Prevalensi AMD adalah 85-90% pada AMD non eksudatif dan 10 – 15 % pada eksudatif AMD.
Di Indonesia sendiri, hingga saat ini belum ada data pasti tentang insidens dan angka morbiditas.2
Etiologi pasti dari degenerasi makula masih belum jelas, tetapi terdapat berberapa
faktor risiko terjadinya degenerasi makula terkait usia, dimana faktor risiko yang telah banyak
diteliti adalah usia, ras, riwayat keluarga, dan merokok, sedangkan beberapa faktor risiko yang
mungkin lainnya adalah jenis kelamin, status sosioekonomi, warna iris, densitas pigmen makula,
katarak dan operasinya, gangguan refraksi, dll. 6
Degenerasi makula dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu degenerasi makula
eksudatif dan degenerasi makula noneksudatif. 90 % dari degenerasi makula adalah degenerasi
makula noneksudatif yang ditandai dengan adanya drusen, yang merupakan endapan putih
kuning, bulat, diskret, dengan ukuran bervariasi di belakang epitel pigmen dan tersebar di
seluruh makula dan kutub posterior. Sedangkan 10 % lainnya adalah makula degenersi eksudatif
yang sering ditandai dengan adanya neovaskularisasi dari koroid. 5,6,8
Degenerasi makula dapat didiagnosa berdasarkan gejala klinis seperti pandangan
mata kabur, skotoma, metamorphosia, kehilangan ketajaman penglihatan, kehilangan
kemampuan membaca dan pada degenerasi makula eksudatif kehilangan penglihatan dapat
terjadi secara tiba-tiba. Pemeriksaan tambahan yang mungkin berguna adalah Amsler grid,
angiografi flouresen, Indocyanine green angiography (ICGA), dan Optical coherence
tomography. 2,6,8,9,12,15
Tatalaksana pada degenerasi makula tergantuk dari klasifikasi noneksudatif
maupun eksudatif. Tatalaksana AMD noneksudatif meliputi edukasi dan follow up, mikronutrien,
perubahan gaya hidup, dan laser fotokoagulasi. Berbeda dengan tatalaksana AMD noneksudatif,
26
pada AMD eksudatif diterapi dengan medikamentosa, thermal laser photocoagulation,
photodynamic therapy, dan terapi pembedahan. Terapi medikamentosa yang menjadi sorotan
sekarang adalah anti VEGF seperti Pegaptanib sodium, Ranibizumab, Bevacizumab, Aflibercept 2,6,8,9. Prognosis untuk AMD noneksudatif secara signifikan lebih baik daripada prognosis untuk
AMD eksudatif. Pasien mungkin mengalami perburukan ketajaman penglihatan tapi terjadi
secara perlahan-lahan.9
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Jenny, Rahmalita. 2011. Prevalensi Kebutaan Akibat Kelainan Retina Di Kabupaten Langkat. Available at: http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/22961 [Accesed on August, 10]
2. Regillo, Carl D. 2011-2012. Retina and Vitreous : Age Related Macular Degeneration. American Academy of Ophtalmology.
3. Elvioza, dkk. Prevalensi dan Karakteristik Faktor Risiko Pada Kejadian Age Related Macular Degeneration di Jakarta Timur. Available at: http://mru.fk.ui.ac.id/index.php?uPage=profil.profil_detail&smod=profil&sp=public&idpenelitian=1498[Accesed on August, 10]
4. American Academy of Ophtalmology. 2008. Age Related Macular Degeneration PPP. Available at: http://one.aao.org/CE/PracticeGuidelines/PPP_Content.aspx?cid=f413917a-8623-4746-b441-f817265eafb4[Accesed on August, 10]
5. Flethcer, Emily dan Victor Chong. 2007. Retina. In Oftalmologi Umum Vaughan dan Asbury. Mc Graw Hill.
6. Lim, Jenifer. 2008. Age Related Macular Degeneration Second Edition. New York: Informa Healthcare USA, Inc.
7. Lang K, Gerrald. 2000. Ophtalmology : Age Related Macular Degeneration. New York: Georg Thieme Verlag.
8. Maturi, Raj K. 2012. Nonexudative ARMD. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/1223154-overview. [Accesed on August, 10]
9. Prall, Ryan. 2012. Exudative ARMD. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/1226030-clinical. [Accesed on August, 10]
10. Effendi, Raden Gunawan. 2008. Idiophatic Macular Hole. Jurnal Oftalmologi Indonesia 6(3): 158-168.
11. Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 2. Jakarta: EGC.12. Cavallerano, Anthony, John P.Cummings, Paul B.Freeman, dkk. 2004. Care of the
Patient wih Age Related Macular Degeneration. American Optometric Association.13. Erry.2009. Karakteristik Klinik Penderita ARMD di Rumah Sakit Mata Cicendo
Bandung. CDK 36(1): 28-30.14. Holz G., Frank, Danielle Pauleikhoff, Richard.F. Spaide, dan Alan.C.Bird.2004. Age
Related Macular Degeneration. Germany: Springer.15. James, Bruce, Chris Chew, Anthony Bron. Lecture Note: Ophtalmology. Blackwell
Publishing. 16. American Macular Degeneration Foundation. Amsler Chart to Test Your Sight.
Available at: http://www.macular.org/chart.html [Accesed on August, 10]17. Kanski, Jack J dan Brad Bowling. 2011.Clinical Ophthalmology, A Systematic