1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD/Dengue Hemmoragic Fever) merupakan masalah kesehatan yang ditemukan di daerah tropis dan subtropis, terutama di daerah perkotaan. DBD merupakan penyakit dengan potensi fatalitas yang cukup tinggi, angka fatalitas kasus DBD dapat mencapai lebih dari 20%, namun dengan penanganan yang baik dapat menurun hingga kurang dari 1 % (WHO, 2008). Jumlah negara yang mengalami wabah DBD telah meningkat empat kali lipat setelah tahun 1995. Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita DBD di tiap tahunnya (WHO, 2009). Sebagian besar kasus DBD menyerang anak- anak. DBD merupakan suatu penyakit endemik di daerah tropis yang memiliki tingkat kematian tinggi terutama pada anak-anak. Indonesia merupakan negara dengan tingkat kejadian DBD maupun Demam Dengue (DD) yang tinggi. Berdasarkan publikasi World Health Organization (WHO) dalam Dengue Guidelines for Diagnosis, Treatment, Prevention and Control, demam dengue merupakan masalah kesehatan masyarakat yang besar di Indonesia. Sejak pertama kali ditemukan di Indonesia pada tahun 1968, angka kejadian
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Demam Berdarah Dengue (DBD/Dengue Hemmoragic Fever) merupakan
masalah kesehatan yang ditemukan di daerah tropis dan subtropis, terutama di
daerah perkotaan. DBD merupakan penyakit dengan potensi fatalitas yang cukup
tinggi, angka fatalitas kasus DBD dapat mencapai lebih dari 20%, namun dengan
penanganan yang baik dapat menurun hingga kurang dari 1 % (WHO, 2008).
Jumlah negara yang mengalami wabah DBD telah meningkat empat kali lipat
setelah tahun 1995. Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita DBD
di tiap tahunnya (WHO, 2009). Sebagian besar kasus DBD menyerang anak-anak.
DBD merupakan suatu penyakit endemik di daerah tropis yang memiliki tingkat
kematian tinggi terutama pada anak-anak. Indonesia merupakan negara dengan
tingkat kejadian DBD maupun Demam Dengue (DD) yang tinggi. Berdasarkan
publikasi World Health Organization (WHO) dalam Dengue Guidelines for
Diagnosis, Treatment, Prevention and Control, demam dengue merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang besar di Indonesia. Sejak pertama kali
ditemukan di Indonesia pada tahun 1968, angka kejadian DBD di Indonesia terus
meningkat. Pada tahun 2007, dilaporkan telah terjadi 150.000 kasus DBD dengan
lebih dari 25.000 kasus terjadi di Jakarta dan Jawa Barat. Indonesia yang berada di
wilayah tropis pada daerah ekuator memungkinkan perkembangbiakan Aedes
aegypti yang merupakan vektor dari virus dengue. Beberapa laporan menyebutkan
Case Fatality Rate (CFR) dari kasus DBD di Indonesia mencapai 1% (WHO,
2009; Karyanti & Hadinegoro, 2009).
Di Indonesia, DBD telah menjadi masalah kesehatan masyarakat selama
30 tahun terakhir. Jumlah kasus DBD pada tahun 2007 telah mencapai 139.695
kasus, dengan angka kasus baru 64 kasus per 100,000 penduduk. Total kasus
2
meninggal adalah 1.395 kasus /Case Fatality Rate sebesar 1% (Depkes RI, 2008).
Pada saat ini kasus DBD dapat ditemukan di seluruh propinsi di Indonesia dan
200 kota telah melaporkan Kejadian Luar Biasa (KLB) DBD (Depkes RI, 2008).
Di Jawa Timur, DBD merupakan masalah kesehatan masyarakat dan
endemis di hampir seluruh kabupaten/kota. Pada tahun 2010, angka kejadian DBD
di Jawa Timur mencapai 25.762 kasus dengan angka kematian 230 jiwa; tahun
2011 menurun tajam mencapai 5.374 kasus dengan angka kematian 65 jiwa; dan
tahun 2012 kembali meningkat dengan angka kejadian DBD di Jawa Timur
mencapai 8.266 kejadian dengan angka kematian mencapai 119 jiwa (Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Timur, 2012). Berdasarkan data Dinas Kesehatan
Provinsi Jawa Timur sampai dengan Juni 2013, telah terjadi 11.207 kejadian DBD
dengan Angka Kejadian (Incidency Rate = IR) 29,25 dan CFR 0,88% (99 orang).
Berdasarkan laporan yang sama, di Surabaya angka kejadiannya adalah 1.504
kasus dengan CFR 0,4% (6 orang) (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, 2013).
Surabaya merupakan kota dengan IR DBD tertinggi di Jawa Timur. Sebagai
pembanding, Kabupaten Malang dan Kabupaten Jember yang menempati
peringkat kedua dan ketiga IR DBD di Jawa Timur menunjukkan angka 2.506.102
dan 2.375.469 kasus pada Januari hingga Juni 2013. Sebanyak 1.817 kasus DBD
telah dilaporkan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur selama tahun 2014.
Sebanyak 160 kasus DBD terlapor dari Kota Malang. (KEMENKES, 2015)
Oleh karena banyaknya kasus demam berdarah dengue cenderung
meningkat maka pada makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai pengertian,
diagnosis, dan tata laksana demam berdarah dengue agar dapat menjadi referensi
pembelajaran bagi tenaga kesehatan khususnya dokter muda di RSUD Dr. Saiful
Anwar, Malang.
3
BAB 2
DAFTAR PUSTAKA
2.1 Definisi Demam Berdarah Dengue
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit infeksi yang
umumnya ditemukan di daerah tropis dan ditularkan lewat hospes perantara jenis
serangga khusus spesies Aedes (Hendratno, 2002). Penyakit DBD adalah penyakit
menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes
aegypti, yang ditandai dengan demam mendadak dua sampai tujuh hari tanpa
penyebab yang jelas, lemah atau lesu, gelisah, nyeri hulu hati, disertai tanda
perdarahan dikulit berupa petekie, purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi,
hematemesis, melena, hepatomegali, trombositopeni, dan kesadaran menurun atau
renjatan (Depkes RI. 1995). Nyamuk Aedes aegypti biasanya menggigit baik di
dalam maupun di luar rumah, biasanya pagi dan sore hari ketika anak-anak sedang
bermain (Suprapto. 1995). Penyebab penyakit ini adalah virus Dengue, termasuk
dalam kelompok Flavivirus dari famili Togaviridae. Virus ini ditularkan dari
orang sakit ke orang sehat melalui gigitan nyamuk Aedes spesies sub genus
Stegomya (Depkes RI. 1990). Cara penularan penyakit DBD yang terjadi secara
propagatif (virus penyebabnya berkembang biak dalam badan vektor), berkaitan
dengan gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang merupakan
vektor utama dan vektor sekunder DBD di Indonesia (Hoedoyo. 1993).
2.2 Epidemiologi Demam Berdarah Dengue
Demam berdarah dengue adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
virus dengue dan mengakibatkan spektrum manifestasi klinis yang bervariasi
antara yang paling ringan, demam dengue (DD), DBD dan demam dengue yang
4
disertai renjatan atau dengue shock syndrome (DSS). Penyakit ini ditularkan
nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang terinfeksi. Host alami DBD
adalah manusia, agentnya adalah virus dengue yang termasuk ke dalam famili
Flaviridae dan genus Flavivirus, yang terdiri dari 4 serotipe yaitu Den-1, Den-2,
Den3 dan Den-4 (Kurane. 2007). Dalam 50 tahun terakhir, kasus DBD meningkat
30 kali lipat dengan peningkatan ekspansi geografis ke negara negara baru dan,
dalam dekade ini, dari kota ke lokasi pedesaan. Penderitanya banyak ditemukan di
sebagian besar wilayah tropis dan subtropis, terutama Asia Tenggara, Amerika
Tengah, Amerika dan Karibia (Kurane. 2007).
Virus dengue dilaporkan telah menjangkiti lebih dari 100 negara, terutama
di daerah perkotaan yang berpenduduk padat dan pemukiman di Brazil dan bagian
lain Amerika Selatan, Karibia, Asia Tenggara, dan India. Jumlah orang yang
terinfeksi diperkirakan sekitar 50 sampai 100 juta orang, setengahnya dirawat di
rumah sakit dan mengakibatkan 22.000 kematian setiap tahun; diperkirakan 2,5
miliar orang atau hampir 40 persen populasi dunia, tinggal di daerah endemis
DBD yang memungkinkan terinfeksi virus dengue melalui gigitan nyamuk
setempat (WHO. 2009).
Jumlah kasus DBD tidak pernah menurun di beberapa daerah tropik dan
subtropik bahkan cenderung terus meningkat dan banyak menimbulkan kematian
pada anak 90% di antaranya menyerang anak di bawah 15 tahun. Di Indonesia,
setiap tahunnya selalu terjadi KLB di beberapa provinsi, yang terbesar terjadi
tahun 1998 dan 2004 dengan jumlah penderita 79.480 orang dengan kematian
sebanyak 800 orang lebih. Pada tahun-tahun berikutnya jumlah kasus terus naik
tapi jumlah kematian turun secara bermakna dibandingkan tahun 2004. Misalnya
jumlah kasus tahun 2008 sebanyak 137.469 orang dengan kematian 1.187 orang
atau case fatality rate (CFR) 0,86% serta kasus tahun 2009 sebanyak 154.855
orang dengan kematian 1.384 orang atau CFR 0,89% (Supartha. 2008).
Penularan virus dengue terjadi melalui gigitan nyamuk yang termasuk
subgenus Stegomya yaitu nyamuk Aedes aegypti dan Ae. albopictus sebagai
vektor primer dan Ae. polynesiensis, Ae.scutellaris serta Ae (Finlaya) niveus
sebagai vektor sekunder, selain itu juga terjadi penularan transeksual dari nyamuk
5
jantan ke nyamuk betina melalui perkawinan serta penularan transovarial dari
induk nyamuk ke keturunannya. Ada juga penularan virus dengue melalui
transfusi darah seperti terjadi di Singapura pada tahun 2007 yang berasal dari
penderita asimptomatik . Dari beberapa cara penularan virus dengue, yang paling
tinggi adalah penularan melalui gigitan nyamuk Ae. aegypti. Masa inkubasi
ekstrinsik (di dalam tubuh nyamuk) berlangsung sekitar 8-10 hari, sedangkan
inkubasi intrinsik (dalam tubuh manusia) berkisar antara 4-6 hari dan diikuti
dengan respon imun (Wulandari. 2004).
Penelitian di Jepara dan Ujungpandang menunjukkan bahwa nyamuk
Aedes spp. berhubungan dengan tinggi rendahnya infeksi virus dengue di
masyarakat, tetapi infeksi tersebut tidak selalu menyebabkan DBD pada manusia
karena masih tergantung pada faktor lain seperti kapasitas vektor (kandungan
sporozoit pada nyamuk), virulensi virus dengue, status kekebalan host dan lain-
lain. Kapasitas vektor dipengaruhi oleh kepadatan nyamuk yang terpengaruh iklim
mikro dan makro, frekuensi gigitan per nyamuk per hari, lamanya siklus
gonotropik, umur nyamuk dan lamanya inkubasi ekstrinsik virus dengue serta
pemilihan Hospes. Frekuensi nyamuk menggigit manusia, di antaranya
dipengaruhi oleh aktivitas manusia, orang yang diam (tidak bergerak), 3,3 kali
akan lebih banyak digigit nyamuk Ae. aegypti dibandingkan dengan orang yang
lebih aktif, dengan demikian orang yang kurang aktif akan lebih besar risikonya
untuk tertular virus dengue. Selain itu, frekuensi nyamuk menggigit manusia juga
dipengaruhi keberadaan atau kepadatan manusia; sehingga diperkirakan nyamuk
Ae. aegypti di rumah yang padat penghuninya, akan lebih tinggi frekuensi
menggigitnya terhadap manusia dibanding yang kurang padat. Kekebalan host
terhadap infeksi dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah usia dan
status gizi, usia lanjut akan menurunkan respon imun dan penyerapan gizi. Status
status gizi yang salah satunya dipengaruhi oleh keseimbangan asupan dan
penyerapan gizi, khususnya zat gizi makro yang berpengaruh pada sistem
kekebalan tubuh. Selain zat gizi makro, disebutkan pula bahwa zat gizi mikro
seperti besi dan seng mempengaruhi respon kekebalan tubuh, apabila terjadi
6
defisiensi salah satu zat gizi mikro, maka akan merusak sistem imun (Suharno.
2003).
Status gizi adalah keadaan kesehatan akibat interaksi makanan, tubuh
manusia dan lingkungan yang merupakan hasil interaksi antara zat-zat gizi yang
masuk dalam tubuh manusia dan penggunaannya. Tanda-tanda atau penampilan
status gizi dapat dilihat melalui variabel tertentu seperti berat badan, tinggi badan,
dan lain lain. Sumber lain mengatakan bahwa status gizi adalah keadaan yang
diakibatkan oleh status keseimbangan antara jumlah asupan zat gizi dan jumlah
yang dibutuhkan oleh tubuh untuk berbagai fungsi biologis seperti pertumbuhan
fisik, perkembangan, aktivitas, pemeliharaan kesehatan, dan lain lain (Harahap.
2004).
Status gizi sangat berpengaruh terhadap status kesehatan manusia karena
zat gizi mempengaruhi fungsi kinerja berbagai sistem dalam tubuh. Secara umum
berpengaruh pada fungsi vital yaitu kerja otak, jantung, paru, ginjal, usus; fungsi
aktivitas yaitu kerja otot bergaris; fungsi pertumbuhan yaitu membentuk tulang,
otot & organ lain, pada tahap tumbuh kembang; fungsi immunitas yaitu
melindungi tubuh agar tak mudah sakit; fungsi perawatan jaringan yaitu
mengganti sel yang rusak; serta fungsi cadangan gizi yaitu persediaan zat gizi
menghadapi keadaan darurat (Gibson. 1990).
Munculnya kejadian DBD dikarenakan berbagai faktor yang saling
berinteraksi, diantaranya agent (virus dengue), host yang rentan serta lingkungan
yang memungkinan tumbuh dan berkembang biaknya nyamuk Aedes spp. Selain
itu, juga dipengaruhi faktor predisposisi diantaranya kepadatan dan mobilitas
penduduk, kualitas perumahan, jarak antar rumah, pendidikan, pekerjaan, sikap
hidup, golongan umur, suku bangsa, kerentanan terhadap penyakit, dan lainnya
(Kasjono. 2008).
2.3. Etiologi Demam Berdarah Dengue
Virus Dengue termasuk dalam kelompok B arthropode-borne virus
(arbovirus) dan sekarang dikenal dengan genus flavivirus, famili Flaviviridae. Di
Indonesia sekarang telah dapat diisolasi 4 serotipe yang berbeda namun memiliki
7
hubungan genetik satu dengan yang lain, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-
4. Ternyata DEN-2 dan DEN-3 merupakan serotipe yang paling banyak sebagai
penyebab. Nimmanitya (1975) di Thailand melaporkan bahwa serotipe DEN-2
yang dominan, sedangkan di Indonesia paling banyak adalah DEN-3, walaupun
akhir-akhir ini ada kecenderungan didominasi oleh virus DEN-2 (Soegijanto.
2010).
Penelitian epidemiologik yang dilakukan oleh Aryati 2005, Fedik 2007
menemukan bahwa virus Den-2 adalah serotipe yang dominan di Surabaya. Studi
epidemiologi yang dilakukan (Yamanaka dkk) pada tahun 2009 dan 2010 pada
penderita Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) ditemukan
virus D1 genotype IV yang menunjukkan manifestasi klinik yang berat
(Soegijanto. 2010).
Infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur
hidup terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap
serotipe yang lain. Disamping itu urutan infeksi serotipe merupakan suatu faktor
risiko karena lebih dari 20% urutan infeksi virus DEN-1 yang disusul DEN-2
mengakibatkan renjatan, sedangkan faktor risiko terjadinya renjatan untuk urutan
virus DEN-3 yang diikuti oleh DEN-2 adalah 2% (Soegijanto. 2010).
Virus Dengue seperti famili Flavivirus lainnya memiliki satu untaian
genom RNA disusun didalam satu unit protein yang dikelilingi dinding
ikosahedral yang tertutup oleh selubung lemak. Genome virus Dengue terdiri dari
11-kb + RNA yang berkode dan terdiri dari 3 stuktur Capsid (C) Membran (M)
Envelope (E) protein dan 7 protein non struktural (NS1, NS2A, NS2B, NS3, NS4,
NS4B, dan NS5). Dinding ikosahedral berbentuk seperti bulat, tetapi kalau dilihat
secara dekat akan nampak ikosahedron terdiri dari segitiga sama sisi menyatu
bersama-sama dalam bentuk bola. Bahan genetik sepenuhnya tertutup di dalam
kapsid. Virus dengan struktur ikosahedral yang dilepaskan ke lingkungan ketika
sel mati, pecah, sehingga melepaskan virion. Contoh virus dengan struktur
ikosahedral yang virus polio.
Di dalam tubuh manusia, virus bekembangbiak dalam sistem
retikuloendothelial dengan target utama adalah APC (Antigen Presenting Cells)
8
dimana pada umumnya berupa monosit atau makrofag jaringan seperti sel Kupfer
di sinusoid hepar (Soegijanto. 2010).
2.4 Patofisiologi Demam Berdarah Dengue
Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih
diperdebatkan. Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa
mekanisme imunpatologis berperan dalam terjadinya DBD dan sindrom renjatan
dengue (Hendarwanto, 1996).
Respons imun yang diketahui berperan delam patogenesis DBD adalah
respons humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses
netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang
dimediasi antibodi. Antibodi terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat
replikasi virus pada monosit atau makrofag. Hipotesis ini disebut antibody
dependent enhancement (ADE). Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T- sitotoksik
(CD8) berperan dalam respon imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T
helper yaitt TH1 akan memproduksi interferon gamma, IL-2 dan limfokin,
sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10. Monosit dan makrofag
berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi antibodi. Namun proses
fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi sitokin oleh
makrofag. Selain itu aktivasi komplemen oleh kompleks imun meyebabkan
terbentuknya terbentuknya C3a dan C5a (Hendarwanto, 1966).
Infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi makrofag yang
memfagositosis kompleks virus-antibodi non netralisasi sehingga virus bereplikasi
di makrofag. Terjadinya infeksi makrofag oleh virus dengue menyababkan
aktivasi T-helper dan T-sitotoksik sehingga diproduksi limfokin dan interferon
gamma. Interferon gamma akan mengaktivasi monosit sehingga disekresi
berbagai mediator inflamasi seperti TNF-cx, IL-1, PAF (platelet activating
factor), lL-6 dan histamin yang mengakibatkan terjadinya disfungsi sel endotel
dan terjadi kebocoran plasma. Peningkatan C3a dan C5a terjadi melalui aktivasi
9
oleh kompleks virus-antibodi yang juga mengakibatkan terjadinya kebocoran
plasma (Suharti C, 2001).
Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme supresi
sumsum tulang dan destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit. Gambaran
sumsum tulang pada fase awal infeksi (< 5 hari) menunjukkan keadaan
hiposelular dan supresi megakariosit. Setelah keadaan nadir tercapai akan terjadi
peningkatan proses hematopoiesis termasuk megakariopoiesis. Kadar
tromobopoietin dalam darah pada saat terjadi trombositopenia justru menunjukkan
kenaikan, hal ini menunjukkan terjadinya stimulasi trombopoiesis sebagai
mekanisme kompensasi terhadap keadaan trombositopenia. Destruksi trombosit
terjadi melalui pengikatan fragmen C3g, terdapatnya antibodi VD (Virus
Dengue), konsumsi trombosit selama proses koagulopati dan sekuestrasi di
perifer. Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui mekanisme gangguan
pelepasan ADP (Adenosine diphosphate), peningkatan kadar b-tromboglobulin
dan PF4 (platelet factor 4) yang merupakan petanda degranulasi trombosit.
Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang
menyebabkan disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan terjadinya
koagulopati konsumtif pada demam berdarah dengue stadium III dan IV. Aktivasi
koagulasi pada demam berdarah dengue terjadi melalui aktivasi jalur ekstrinslk