BAB I
Pendahuluan
Anemia defisiensi besi merupakan anemia yang terbanyak baik di
Negara maju maupun Negara yang sedang berkembang. Padahal besi
merupakan suatu unsure terbanyak pada lapisan kulit bumi, akan
tetapi defisiensi besi merupakan penyebab anemia yang tersering.
Hal ini disebabkan tubuh manusia mempunyai kemampuan terbatas untuk
menyerap besi dan seringkali tubuh mengalami kehilangan besi yang
berlebihan yang diakibatkan perdarahan.1
Besi merupakan bagian dari molekul Hemoglobin, dengan
berkurangnya besi maka sintesa hemoglobin akan berkurang dan
mengakibatkan kadar hemoglobin akan turun. Hemoglobin merupakan
unsur yang sangat vital bagi tubuh manusia, karena kadar hemoglobin
yang rendah mempengaruhi kemampuan menghantarkan O2 yang sangat
dibutuhkan oleh seluruh jaringan tubuh. Anemia defisiensi besi ini
dapat diderita oleh bayi, anak-anak, bahkan orang dewasa baik pria
maupun wanita, dimana banyak hal yang dapat mendasari terjadinya
anemia defisiensi besi. Dampak dari anemia defisiensi besi ini
sangat luas, antara lain terjadi perubahan epitel, gangguan
pertumbuhan jika terjadi pada anak-anak, kurangnya konsentrasi pada
anak yang mengakibatkan prestasi disekolahnya menurun, penurunan
kemampuan kerja bagi para pekerja sehingga produktivitasnya
menurun. Kebutuhan besi yang dibutuhkan setiap harinya untuk
menggantikan zat besi yang hilang dari tubuh dan untuk pertumbuhan
ini bervariasi, tergantung dari umur, jenis kelamin. Kebutuhan
meningkat pada bayi, remaja, wanita hamil, menyusui serta wanita
menstruasi. Oleh karena itu kelompok tersebut sangat mungkin
menderita defisiensi besi jika terdapat kehilangan besi yang
disebabkan hal lain maupun kurangnya intake besi dalam jangka
panjang.1BAB IITinjauan Pustaka2.1. Definisi Anemia Defisiensi
BesiAnemia Defisiensi besi adalah anemia yang terjadi akibat
kekurangan zat besi dalam darah, artinya konsentrasi hemoglobin
dalam darah berkurang karena terganggunya pembentukan sel-sel darah
merah akibat kurangnya kadar zat besi dalam darah. Jika simpanan
zat besi dalam tubuh seseorang sudah sangat rendah berarti orang
tersebut mendekati anemia walaupun belum ditemukan gejala-gejala
fisiologis. Simpanan zat besi yang sangat rendah lambat laun tidak
akan cukup untuk membentuk sel-sel darah merah di dalam sumsum
tulang sehingga kadar hemoglobin terus menurun di bawah batas
normal, keadaan inilah yang disebut anemia defisiensi besi.2Menurut
Evatt, anemia Defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan oleh
berkurangnya cadangan besi tubuh. Keadaan ini ditandai dengan
menurunnya saturasi transferin, berkurangnya kadar feritin serum
atau hemosiderin sumsum tulang. Secara morfologis keadaan ini
diklasifikasikan sebagai anemia mikrositik hipokrom disertai
penurunan kuantitatif pada sintesis hemoglobin. Defisiensi besi
merupakan penyebab utama anemia. Wanita usia subur sering mengalami
anemia, karena kehilangan darah sewaktu menstruasi dan peningkatan
kebutuhan besi sewaktu hamil.22.2 Metabolisme BesiSenyawa-senyawa
esensial yang mengandung besi dapat ditemukan dalam plasma dan di
dalam semua sel. Karena zat besi yang terionisasi bersifat toksik
terhadap tubuh, maka zat besi selalu hadir dalam bentuk ikatan
dengan hem yang berupa hemoprotein (seperti hemoglobin, mioglobin
dan sitokrom) atau berikatan dengan sebuah protein (seperti
transferin, ferritin dan hemosiderin)4. Jumlah besi di dalam tubuh
seorang normal berkisar antara 3-5 g tergantung dari jenis kelamin,
berat badan dan hemoglobin. Besi dalam tubuh terdapat dalam
hemoglobin sebanyak 1,5 3g dan sisa lainnya terdapat dalam plasma
dan jaringan. Kebanyakan besi tubuh adalah dalam hemoglobin dengan
1 ml sel darah merah mengandung 1 mg besi (2000 ml darah dengan
hematokrit normal mengandung sekitar 2000 mg zat besi) Pertukaran
zat besi dalam tubuh merupakan lingkaran yang tertutup. Besi yang
diserap usus setiap hari kira-kira 1-2 mg, ekskresi besi melalui
eksfoliasi sama dengan jumlah besi yang diserap usus yaitu 1-2 mg.
Besi yang diserap oleh usus dalam bentuk transferin bersama dengan
besi yang dibawa oleh makrofag sebesar 22 mg dengan jumlah total
yang dibawa tranferin yaitu 24mg untuk dibawa ke sumsum tulang
untuk eritropoesis. Eritrosit yang terbentuk memerlukan besi
sebesar 17 mg yang merupakan eritrosit yang beredar keseluruh
tubuh, sedangkan yang 7 mg akan dikembalikan ke makrofag karena
berupaeritropoesis inefektif.4Secara umum, metabolisme besi ini
menyeimbangkan antara absorbsi 1-2 mg/ hari dan kehilangan 1-2 mg/
hari. Kehamilan dapat meningkatkan keseimbangan besi, dimana
dibutuhkan 2-5 mg besi perhari selama kehamilan dan laktasi. Diet
besi normal tidak dapat memenuhi kebutuhan tersebut sehingga
diperlukan suplemen besi.5 2.3 Absorbsi Besi Untuk Pembentukan
Hemoglobin Menurut Bakta (2006) proses absorbsi besi dibagi menjadi
tiga fase, yaitu: a. Fase Luminal Besi dalam makanan terdapat dalam
dua bentuk, yaitu besi heme dan besi non-heme. Besi heme terdapat
dalam daging dan ikan, tingkat absorbsi dan bioavailabilitasnya
tinggi. Besi non-heme berasal dari sumber nabati, tingkat absorbsi
dan bioavailabilitasnya rendah. Besi dalam makanan diolah di
lambung (dilepaskan dari ikatannya dengan senyawa lain) karena
pengaruh asam lambung. Kemudian terjadi reduksi dari besi bentuk
feri (Fe3+) ke fero (Fe2+) yang dapat diserap di duodenum. b. Fase
Mukosal Penyerapan besi terjadi terutama melalui mukosa duodenum
dan jejunum proksimal. Penyerapan terjadi secara aktif melalui
proses yang sangat kompleks dan terkendali. Besi heme dipertahankan
dalam keadaan terlarut oleh pengaruh asam lambung. Pada brush
border dari sel absorptif (teletak pada puncak vili usus, disebut
sebagai apical cell), besi feri direduksi menjadi besi fero oleh
enzim ferireduktase (Gambar 2.2), mungkin dimediasi oleh protein
duodenal cytochrome b-like (DCYTB). Transpor melalui membran
difasilitasi oleh divalent metal transporter (DMT 1). Setelah besi
masuk dalam sitoplasma, sebagian disimpan dalam bentuk feritin,
sebagian diloloskan melalui basolateral transporter ke dalam
kapiler usus. Pada proses ini terjadi konversi dari feri ke fero
oleh enzim ferooksidase (antara lain oleh hephaestin). Kemudian
besi bentuk feri diikat oleh apotransferin dalam kapiler usus.
Sementara besi non-heme di lumen usus akan berikatan dengan
apotransferin membentuk kompleks transferin besi yang kemudian akan
masuk ke dalam sel mukosa dibantu oleh DMT 1. Besi non-heme akan
dilepaskan dan apotransferin akan kembali ke dalam lumen usus.3
Gambar 2.1. Absorbsi Besi di Usus Halus (sumber: Andrews, N.C.,
2005. Understanding Heme Transport. N Engl J Med; 23: 2508-9).Besar
kecilnya besi yang ditahan dalam enterosit atau diloloskan ke
basolateral diatur oleh set point yang sudah diatur saat enterosit
berada pada dasar kripta (Gambar 2.3). Kemudian pada saat
pematangan, enterosit bermigrasi ke arah puncak vili dan siap
menjadi sel absorptif. Adapun mekanisme regulasi set-point dari
absorbsi besi ada tiga yaitu, regulator dietetik, regulator
simpanan, dan regulator eritropoetik. 3
Gambar 2.2. Regulasi Absorbsi Besi (sumber: Andrews, N.C., 1999.
Disorders of Iron Metabolism. N Engl J Med; 26: 1986-95).
c. Fase Korporeal
Besi setelah diserap melewati bagian basal epitel usus, memasuki
kapiler usus. Kemudian dalam darah diikat oleh apotransferin
menjadi transferin. Satu molekul transferin dapat mengikat maksimal
dua molekul besi. Besi yang terikat pada transferin (Fe2-Tf) akan
berikatan dengan reseptor transferin (transferin receptor = Tfr)
yang terdapat pada permukaan sel, terutama sel normoblas(Gambar
2.3).
Kompleks Fe2-Tf-Tfr akan terlokalisir pada suatu cekungan yang
dilapisi oleh klatrin (clathrin-coated pit). Cekungan ini mengalami
invaginasi sehingga membentuk endosom. Suatu pompa proton
menurunkan pH dalam endosom sehingga terjadi pelepasan besi dengan
transferin. Besi dalam endosom akan dikeluarkan ke sitoplasma
dengan bantuan DMT 1, sedangkan ikatan apotransferin dan reseptor
transferin mengalami siklus kembali ke permukaan sel dan dapat
dipergunakan kembali.
Gambar 2.3. Siklus Transferin (sumber: Andrews, N. C., 1999.
Disorders of Iron Metabolism. N Engl J Med; 26: 1986-95).
Besi yang berada dalam sitoplasma sebagian disimpan dalam bentuk
feritin dan sebagian masuk ke mitokondria dan bersama-sama dengan
protoporfirin untuk pembentukan heme. Protoporfirin adalah suatu
tetrapirol dimana keempat cincin pirol ini diikat oleh 4 gugusan
metan hingga terbentuk suatu rantai protoporfirin. Empat dari enam
posisi ordinal fero menjadi chelating kepada protoporfirin oleh
enzim heme sintetase ferrocelatase. Sehingga terbentuk heme, yaitu
suatu kompleks persenyawaan protoporfirin yang mengandung satu atom
besi fero ditengahnya.32.4. EtiologiDefisiensi zat besi terjadi
jika kecepatan kehilangan atau penggunaan elemen tersebut melampaui
kecepatan asimilasinya. Penurunan cadangan zat besi jika bukan pada
anemia yang nyata, biasanya dijumpai pada bayi dan remaja dimana
merupakan masa terbanyak penggunaan zat besi untuk pertumbuhan.
Neonatal yang lahir dari perempuan dengan defisiensi besi jarang
sekali anemis tetapi memang memiliki cadangan zat besi yang rendah.
Bayi ini tidak memiliki cadangan yang diperlukan untuk pertumbuhan
setelah lahir. ASI merupakan sumber zat besi yang adekuat secara
marginal. Berdasarkan data dari the third National Health and
Nutrition Examination Survey ( NHANES III ), defisiensi besi
ditentukan oleh ukuran yang abnormal dari serum ferritin,
transferring saturation, dan/atau erythrocyte protophorphyrin.
Kebutuhan zat besi yang sangat tinggi pada laki-laki dalam masa
pubertas dikarenakan peningkatan volume darah, massa otot dan
myoglobin. Pada wanita kebutuhan zat besi setelah menstruasi sangat
tinggi karena jumblah darah yang hilang, rata-rata 20mg zat besi
tiap bulan, akan tetapi pada beberapa individu ada yang mencapai
58mg. Penggunaan obat kontrasepsi oral menurunkan jumblah darah
yang hilang selama menstruasi, sementara itu alat-alat intrauterin
meningkatkan jumblah darah yang hilang selama menstruasi.Tambahan
beban akibat kehilangan darah karena parasit seperti cacing tambang
menjadikan defisiensi zat besi suatu masalah dengan proporsi yang
mengejutkan. Penurunan absorpsi zat besi, hal ini terjadi pada
banyak keadaan klinis. Setelah gastrektomi parsial atau total,
asimilasi zat besi dari makanan terganggu, terutama akibat
peningkatan motilitas dan by pass usus halus proximal, yang menjadi
tempat utama absorpsi zat besi. Pasien dengan diare kronik atau
malabsorpsi usus halus juga dapat menderita defisiensi zat besi,
terutama jika duodenum dan jejunum proximal ikut terlibat.
Kadang-kadang anemia defisiensi zat besi merupakan pelopor dari
radang usus non tropical ( celiac sprue ) 2.
Kehilangan zat besi, dapat terjadi secara fisiologis atau
patologis. Fisiologis disebabkan oleh karena Menstruasi, Kehamilan,
pada kehamilan aterm, sekitar 900mg zat besi hilang dari ibu kepada
fetus, plasenta dan perdarahan pada waktu partus. Patologis dapat
disebabakan oleh karena Perdarahan saluran makan merupakan, hal ini
penyebab paling sering dan selanjutnya anemia defisiensi besi
prosesnya sering tiba-tiba. Selain itu dapat juga karena cacing
tambang, pasien dengan telangiektasis herediter sehingga mudah
berdarah, perdarahan traktus gastrourinarius, perdarahan paru
akibat bronkiektasis atau hemosiderosis paru idiopatik 2.Yang
beresiko mengalami anemia defisiensi zat besi antara lain Wanita
menstruasi, Wanita menyusui/hamil karena peningkatan kebutuhan zat
besi, Bayi, anak-anak dan remaja yang merupakan masa pertumbuhan
yang cepat, Orang yang kurang makan makanan yang mengandung zat
besi, jarang makan daging dan telur selama bertahun-tahun.
Menderita penyakit maag, Penggunaan aspirin jangka panjang, Colon
cancer, Vegetarian karena tidak makan daging, akan tetapi dapat
digantikan dengan brokoli dan bayam.Penyebab defisiensi besi antara
lain disebabkan karena Peningkatan penggunaan zat besi, Percepatan
pertumbuhan pascanatal Percepatan pertumbuhan remaja. Kehilangan
darah fisiologik disebabkan oleh Menstruasi, Kehamilan sedangkan
kehilangan darah patologis disebabkan oleh perdarahan saluran
makanan, perdarahan genitourinarius, hemosiderosis paru, hemolisis
intravascular, penurunan pengambilan besi, makanan kaya gandum,
rendah daging, malabsorpsi, orang lanjut usia dan masayrakat dengan
sosial ekonomi yang rendah 2.2.5 PatofisiologiPerdarahan menahun
yang menyebabkan kehilangan besi atau kebutuhan besi yang meningkat
akan dikompensasi tubuh sehingga cadangan besi makin menurun.3
gambar 2.4 Distribusi Besi Dalam Tubuh Dewasa (sumber: Andrews,
N. C., 1999. Disorders of iron metabolism. N Engl J Med; 26:
1986-95).
Jika cadangan besi menurun, keadaan ini disebut keseimbangan zat
besi yang negatif, yaitu tahap deplesi besi (iron depleted state).
Keadaan ini ditandai oleh penurunan kadar feritin serum,
peningkatan absorbsi besi dalam usus, serta pengecatan besi dalam
sumsum tulang negatif. Apabila kekurangan besi berlanjut terus maka
cadangan besi menjadi kosong sama sekali, penyediaan besi untuk
eritropoesis berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk
eritrosit tetapi anemia secara klinis belum terjadi. Keadaan ini
disebut sebagai iron deficient erythropoiesis. Pada fase ini
kelainan pertama yang dijumpai adalah peningkatan kadar free
protophorphyrin atau zinc protophorphyrin dalam eritrosit. Saturasi
transferin menurun dan kapasitas ikat besi total (total iron
binding capacity = TIBC) meningkat, serta peningkatan reseptor
transferin dalam serum. Apabila penurunan jumlah besi terus terjadi
maka eritropoesis semakin terganggu sehingga kadar hemoglobin mulai
menurun (Tabel 2.2). Akibatnya timbul anemia hipokromik mikrositik,
disebut sebagai anemia defisiensi besi (iron deficiency
anemia).3Tabel 2.1. Distribusi normal komponen besi pada pria dan
wanita (mg/kg)
Tabel 2.2. Perbandingan tahap keseimbangan zat besi yang
negative
Sumber: Centers for Disease Control and Prevention, 1998.
Recommendations to Prevent and Control Iron Deficiency in the
United States. Morb Mortal Wkly Rep; 47: 1-36.
2.6 Manifestasi KlinisGejala Umum Anemia
Gejala umum anemia disebut juga sebagai sindrom anemia (anemic
syndrome) dijumpai pada anemia defisiensi besi apabila kadar
hemoglobin kurang dari 7-8 g/dl. Gejala ini berupa badan lemah,
lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang, serta telinga mendenging.
Pada pemeriksaan fisik dijumpai pasien yang pucat, terutama pada
konjungtiva dan jaringan di bawah kuku (Bakta, 2006). Pada umumnya
sudah disepakati bahwa bila kadar hemoglobin < 7 gr/dl maka
gejala-gejala dan tanda-tanda anemia akan jelas6. Gejala Khas
Defisiensi Besi
Gejala yang khas dijumpai pada defisiensi besi, tetapi tidak
dijumpai pada anemia jenis lain adalah:
a. Koilonychia, yaitu kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi
rapuh, bergaris-garis vertikal dan menjadi cekung sehingga mirip
sendok.
b. Atrofi papil lidah, yaitu permukaan lidah menjadi licin dan
mengkilap karena papil lidah menghilang.
c. Stomatitis angularis (cheilosis), yaitu adanya keradangan
pada sudut mulut sehingga tampak sebagai bercak berwarna pucat
keputihan.
d. Disfagia, yaitu nyeri menelan karena kerusakan epitel
hipofaring. 2.7 Pemeriksaan
2.7.1 Pemeriksaan Laboratorium 1. Hemoglobin (Hb) Hemoglobin
adalah parameter status besi yang memberikan suatu ukuran
kuantitatif tentang beratnya kekurangan zat besi setelah anemia
berkembang. Pada pemeriksaan dan pengawasan Hb dapat dilakukan
dengan menggunakan alat sederhana seperti Hb saachli, yang
dilakukan minimal 2 kali selama kehamilan, yaitu trimester I dan
III2.
2. Penentuan Indeks Eritrosit Penentuan indeks eritrosit secara
tidak langsung dengan flowcytometri atau menggunakan rumus:
a. Mean Corpusculer Volume (MCV)
MCV adalah volume rata-rata eritrosit, MCV akan menurun apabila
kekurangan zat besi semakin parah, dan pada saat anemia mulai
berkembang. MCV merupakan indikator kekurangan zat besi yang
spesiflk setelah thalasemia dan anemia penyakit kronis
disingkirkan. Dihitung dengan membagi hematokrit dengan angka sel
darah merah. Nilai normal 70-100 fl, mikrositik < 70 fl dan
makrositik > 100 fl.
b. Mean Corpuscle Haemoglobin (MCH)
MCH adalah berat hemoglobin rata-rata dalam satu sel darah
merah. Dihitung dengan membagi hemoglobin dengan angka sel darah
merah. Nilai normal 27-31 pg, mikrositik hipokrom < 27 pg dan
makrositik > 31 pg.
c. Mean Corpuscular Haemoglobin Concentration (MCHC)
MCHC adalah konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata. Dihitung
dengan membagi hemoglobin dengan hematokrit. Nilai normal 30-35%
dan hipokrom < 30%2.
3. Pemeriksaan Hapusan Darah Perifer Pemeriksaan hapusan darah
perifer dilakukan secara manual. Pemeriksaan menggunakan pembesaran
100 kali dengan memperhatikan ukuran, bentuk inti, sitoplasma sel
darah merah. Dengan menggunakan flowcytometry hapusan darah dapat
dilihat pada kolom morfology flag2.
4. Luas Distribusi Sel Darah Merah (Red Distribution Wide = RDW)
Luas distribusi sel darah merah adalah parameter sel darah merah
yang masih relatif baru, dipakai secara kombinasi dengan parameter
lainnya untuk membuat klasifikasi anemia. RDW merupakan variasi
dalam ukuran sel merah untuk mendeteksi tingkat anisositosis yang
tidak kentara. Kenaikan nilai RDW merupakan manifestasi hematologi
paling awal dari kekurangan zat besi, serta lebih peka dari besi
serum, jenuh transferin, ataupun serum feritin. MCV rendah bersama
dengan naiknya RDW adalah pertanda meyakinkan dari kekurangan zat
besi, dan apabila disertai dengan eritrosit protoporphirin dianggap
menjadi diagnostik. Nilai normal 15%3.5. Eritrosit Protoporfirin
(EP) EP diukur dengan memakai haematofluorometer yang hanya
membutuhkan beberapa tetes darah dan pengalaman tekniknya tidak
terlalu dibutuhkan. EP naik pada tahap lanjut kekurangan besi
eritropoesis, naik secara perlahan setelah serangan kekurangan besi
terjadi. Keuntungan EP adalah stabilitasnya dalam individu,
sedangkan besi serum dan jenuh transferin rentan terhadap variasi
individu yang luas. EP secara luas dipakai dalam survei populasi
walaupun dalam praktik klinis masih jarang3.
6. Besi Serum (Serum Iron = SI) Besi serum peka terhadap
kekurangan zat besi ringan, serta menurun setelah cadangan besi
habis sebelum tingkat hemoglobin jatuh. Keterbatasan besi serum
karena variasi diurnal yang luas dan spesitifitasnya yang kurang.
Besi serum yang rendah ditemukan setelah kehilangan darah maupun
donor, pada kehamilan, infeksi kronis, syok, pireksia, rhematoid
artritis, dan malignansi. Besi serum dipakai kombinasi dengan
parameter lain, dan bukan ukuran mutlak status besi yang
spesifik3.7. Serum Transferin (Tf) Transferin adalah protein
tranport besi dan diukur bersama -sama dengan besi serum. Serum
transferin dapat meningkat pada kekurangan besi dan dapat menurun
secara keliru pada peradangan akut, infeksi kronis, penyakit ginjal
dan keganasan3.
8. Transferrin Saturation (Jenuh Transferin) Jenuh transferin
adalah rasio besi serum dengan kemampuan mengikat besi, merupakan
indikator yang paling akurat dari suplai besi ke sumsum tulang.
Penurunan jenuh transferin dibawah 10% merupakan indeks kekurangan
suplai besi yang meyakinkan terhadap perkembangan eritrosit. Jenuh
transferin dapat menurun pada penyakit peradangan. Jenuh transferin
umumnya dipakai pada studi populasi yang disertai dengan indikator
status besi lainnya. Tingkat jenuh transferin yang menurun dan
serum feritin sering dipakai untuk mengartikan kekurangan zat besi.
Jenuh transferin dapat diukur dengan perhitungan rasio besi serum
dengan kemampuan mengikat besi total (TIBC), yaitu jumlah besi yang
bisa diikat secara khusus oleh plasma3.
9. Serum Feritin Serum feritin adalah suatu parameter yang
terpercaya dan sensitif untuk menentukan cadangan besi orang sehat.
Serum feritin secara luas dipakai dalam praktek klinik dan
pengamatan populasi. Serum feritin < 12 ug/l sangat spesifik
untuk kekurangan zat besi, yang berarti kehabisan semua cadangan
besi, sehingga dapat dianggap sebagai diagnostik untuk kekurangan
zat besi. Rendahnya serum feritin menunjukan serangan awal
kekurangan zat besi, tetapi tidak menunjukkan beratnya kekurangan
zat besi karena variabilitasnya sangat tinggi. Penafsiran yang
benar dari serum feritin terletak pada pemakaian range referensi
yang tepat dan spesifik untuk usia dan jenis kelamin. Konsentrasi
serum feritin cenderung lebih rendah pada wanita dari pria, yang
menunjukan cadangan besi lebih rendah pada wanita. Serum feritin
pria meningkat pada dekade kedua, dan tetap stabil atau naik secara
lambat sampai usia 65 tahun. Pada wanita tetap saja rendah sampai
usia 45 tahun, dan mulai meningkat sampai sama seperti pria yang
berusia 60-70 tahun, keadaan ini mencerminkan penghentian
mensturasi dan melahirkan anak. Pada wanita hamil serum feritin
jatuh secara dramatis dibawah 20 ug/l selama trimester II dan III
bahkan pada wanita yang mendapatkan suplemen zat besi. Serum
feritin adalah reaktan fase akut, dapat juga meningkat pada
inflamasi kronis, infeksi, keganasan, penyakit hati, alkohol. Serum
feritin diukur dengan mudah memakai Essay immunoradiometris (IRMA),
Radioimmunoassay (RIA), atau Essay immunoabsorben (Elisa) 3.
2.7.2 Pemeriksaan Sumsum Tulang Masih dianggap sebagai standar
emas untuk penilaian cadangan besi, walaupun mempunyai beberapa
keterbatasan. Pemeriksaan histologis sumsum tulang dilakukan untuk
menilai jumlah hemosiderin dalam sel-sel retikulum. Tanda
karakteristik dari kekurangan zat besi adalah tidak ada besi
retikuler. Keterbatasan metode ini seperti sifat subjektifnya
sehingga tergantung keahlian pemeriksa, jumlah struma sumsum yang
memadai dan teknik yang dipergunakan. Pengujian sumsum tulang
adalah suatu teknik invasif, sehingga sedikit dipakai untuk
mengevaluasi cadangan besi dalam populasi umum3.2.8 Pencegahan
Tindakan pencegahan yang terpadu sangat diperlukan mengingat
tingginya prevalensi defisiensi besi di masyarakat. Pencegahan
dapat dilakukan dengan memberikan penyuluhan kesehatan masyarakat
tentang kebersihan lingkungan tempat tinggal dan higiene sanitasi
masyarakat yang tingkat pendidikan dan faktor sosial ekonominya
yang rendah yaitu dengan memberikan penyuluhan tentang pemakaian
jamban terutama di daerah pedesaan, atau daerah yang terpencil
Menganjurkan supaya memakai alas kaki terutama ketika keluar rumah,
membiasakan cuci tangan pakai sabun sebelum makan. Juga dilakukan
penyuluhan gizi yaitu penyuluhan yang ditujukan kepada masyarakat
pedesaan mengenai gizi keluarga, yaitu dengan mengkonsumsi makanan
yang banyak mengandung zat besi terutama yang berasal dari protein
hewani,yaitu daging dan penjelasan tentang bahan bahan makanan apa
saja yang dapat membantu penyerapan zat besi dan yang dapat
menghambat penyerapan besi. Untuk anak sekolah dilakukan melalui
UKS (Usaha Kesehatan Sekolah) yang melibatkan murid, guru dan orang
tua dengan cara mensosialisasikan tentang cara hidup sehat yaitu
cuci tangan sebelum makan , makan makanan yang mengandung zat besi.
Pemberian suplementasi besi pada ibu hamil dan anak balita. Pada
ibu hamil diberikan suplementasi besi oral sejak pertama kali
pemeriksaan kehamilannya sampai post partum, sedangkan untuk bayi
diberikan ASI dan pemberian sayur, buah/ jus buah saat usia 6
bulan. Selain itu dilakukan upaya pemberantasan infeksi cacing
tambang sebagai sumber perdarahan kronik, yang paling sering
terjadi didaerah tropik7.2.9 Penatalaksanaan
Pertama tama tindakan yang harus dilakukan adalah mencari dan
mengatasi penyebab dari anemia. kemudian pemberian terapi.
Defisiensi zat besi berespons sangat baik terhadap pemberian obat
oral seperti garam besi (misalnya sulfas ferosus) atau sediaan
polisakarida zat besi (misalnya polimaltosa ferosus). Terapi zat
besi yang dikombinasikan dengan diit yang benar untuk meningkatkan
penyerapan zat besi dan vitamin C sangat efektif untuk mengatasi
anemia defisiensi besi karena terjadi peningkatan jumblah
hemoglobin dan cadangan zat besi. CDC merekomendasikan penggunaan
elemen zat besi sebesar 60 mg, 1-2 kali perhari bagi remaja yang
menderita anemia. Contoh dari suplemen yang mengandung zat besi dan
kandungan elemen zat besi dapat dilihat pada tabel di bawah
ini2,6.SupplementTotal iron (mg)Elemental iron (mg)
Ferrous sulfate
Ferrous gluconate
Feostat chewable
Feostat liquid
Slow Fe
Fe 50 extended release
Ferro-Sequels timed release
Feosol caplets324
325
100
100
160
160
50
5066
36
33
33/5 ml
50
50
50
50
Tabel 2.3 Contoh dari suplemen yang mengandung zat besi. Sumber:
Drug facts and comparisons. St. Louis, MO: Facts and Comparisons,
1998 Pemberian preparat besi
Sulfat ferrosus 4 x 1 tabl
Ferrous fumarat 4 x 1 tabl
Ferous glukonat 3 x 1 tabl
Pemberian preparat besi dilanjutkan sampai 4-6 bulan sesudah Hb
normal.Zat besi paling baik diabsorpsi jika dimakan diantara waktu
makan. Sayangnya, ketidaknyamanan abdominal, yang ditandai dengan
kembung, rasa penuh dan rasa sakit yang kadang-kadang, biasanya
muncul dengan sediaan besi ini6.Tetapi resiko efek samping ini
dapat dikurangi dengan cara menaikkan dosis secara bertahap,
menggunakan zat besi dosis rendah, atau menggunakan preparat yang
mengandung elemen besi yang rendah, salah satunya glukonat ferosus.
Kompleks polisakarida zat besi seringkali lebih berhasil
dibandingkan dengan garam zat besi, walaupun kenyataannya tablet
tersebut mengandung 150 mg elemen zat besi. Campuran vitamin yang
mengandung zat besi biasanya harus dihindari, karena sediaan ini
mahal dan mengandung jumblah zat besi yang suboptimal.
Retikulositosis dimulai 3-4 hari setelah inisiasi terapi zat besi,
dengan puncaknya sekitar 10 hari. Pasien dapat tidak berespon
dengan penggantian zat besi sebagai akibat dari:a. Diagnosis yang
tidak benar.
b. Tidak patuh.
c. Kehilangan darah melampaui kecepatan penggantian.
d. Supresi sum-sum tulang oleh tumor, radang kronik, dll.
e. Malabsorpsi, sangat jarang akan tetapi jika terjadi,
diperlukan penggantian zat besi parenteral.
Kompleks dekstran-zat besi dapat digunakan melalui suntikan im
setelah tes dengan dosis 25 mg untuk reaksi alergi. 100 mg
dekstran-zat besi, per sesi terapi. Pemberian dapat diulang setiap
minggu sampai cadangan zat besi terpenuhi. Traktus Z sebaiknya
digunakan pada suntikan untuk mencegah mengembunnya gabungan
tersebut kedalam dermis, yang dapat menghasilkan pewarnaan kulit
yang tidak dapat dihilangkan. Pemberian secara iv dapat dilakukan
pada pasien yang tidak dapat menerima suntikan im atau yang
memerlukan koreksi defisiensi zat besi lebih cepat. Pendekatan yang
paling nyaman adalah dengan mengencerkan 500 mg campuran tersebut
kedalam 100 ml cairan salin steril dan memasukkan dosis percobaan
sebanyak 1 ml. jika tidak terjadi reaksi alergi, sisa solusi dapat
diberikan dalam 2 jam. Pemberian iv sampai 4 g zat besi dalam satu
keadaan memungkinkan koreksi defisiensi zat besi dalam satu sesi.
Sekitar 20% dari pasien mengalami artralgia, menggigil dan demam
yang tergantung dari dosis yang diberikan dan dapat berlangsung
sampai beberapa hari setelah infus. Zat besi-dekstran harus
digunakan secara hemat, jika perlu, pada semua pasien dengan
artritis reumatoid, karena gejala tersebut secara nyata dipacu oleh
penyakit ini. Obat anti inflamasi non steroid biasanya mengatur
gejala tersebut. Anafilaksis, komplikasi serius penggunaan zat
besi-dekstran, jarang muncul. Jika gejala awal muncul, infus
dihentikan dan perbaikan keadaan dengan benadril dan epinefrin
dapat dimulai. jumblah zat besi yang diperlukan untuk penggantian
dapat dihitung dari deficit massa sel darah merah, dengan tambahan
1000 mg untuk mengganti cadangan tubuh. Transfusi darah jarang
diperlukan kecuali untuk pasien dengan anemia defisiensi zat besi
yang berat yang mengancam fungsi kardiovaskular atau cerebral 2.BAB
III
PenutupAnemia Defisiensi Besi merupakan jenis anemia yang paling
banyak dijumpai di masyarakat. Banyak penyebab yang mendasari
terjadinya anemia ini, tetapi perdarahan merupakan penyebab
terbanyak terjadinya anemia defisiensi besi ini. Anemia Defisiensi
Besi ini memberikan dampak buruk bagi kesehatan masyarakat baik
anak-anak, para wanita baik yang hamil maupun yang tidak, juga pada
pria dewasa. Dengan dilakukan pencegahan, masyarakat dapat
terhindar dari anemia ini, sehingga pada anaka-anak usia sekolah
tidak terjadi penurunan prestasi.
DAFTAR PUSTAKA1. Hoffbrand, AV. et all. 2005. Kapita Selekta
Hematologi. Jakarta: EGC.
2. Harrison, Isselbacher, Braunwald, Wilson, Martin, Fauci,
Kasper; Prinsip Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. edisi 13, volume 3;
1919-1921; penerbit buku kedokteran EGC3. Bakta, IM. 2007.
Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC.4. Jones, NCH.
Wickramasinghe, SN. 2000. Catatan Kuliah Hematologi. Jakarta: EGC.
(Jones.NCH, Wickramasinghe.SN, 2000, hal. 67-83)
5. Soeparman. Waspadji, S. 1990. Ilmu Penyakit Dalam II .
Jakarta: FKUI.6.Boediwarsono et all,2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam FK Airlangga Rumah Sakit Pendidikan dr.soetomo : Airlangga
University Press7. Cielsa ,B. 2007. Hematology in Practice.
Philadelphia: FA Davis Company.
8. Andrews, N.C., 2005. Understanding Heme Transport. N Engl J
Med; ( 23: 2508-9).
9.Centers for Disease Control and Prevention, 1998.
Recommendations to Prevent and Control Iron Deficiency in the
United States. Morb Mortal Wkly Rep; 47: 1-36.
10. Drug facts and comparisons. St. Louis, MO: Facts and
Comparisons, 1998PAGE 20