BAB II. TINJAUAN PUSTAKA Definisi Tumor mata disebut juga sebagai tumor orbita adalah tumor yang menyerang rongga orbita (tempat bola mata) sehingga merusak jaringan lunak mata, seperti otot mata, saraf mata, dan kelenjar air mata. Tumor Orbita jarang ditemukan dan dapat berasal dari dinding orbita, isi orbita, sinus dan sekelilingnya (Rahmadani dan Ovy, 2012) Anatomi Orbita Orbita berbentuk suatu rongga yang secara skematis digambarkan sebagai piramida yang berkonvergensi ke arah belakang. Puncaknya adalah foramen optikum, dan dasarnya menghadap ke depan luar dan terbuka disebut aditus orbitae. Sedangkan dinding-dindingnya meliputi dinding medial, dinding lateral, dinding atas (atap orbita), dan dinding bawah (dasar orbita). Orbita terletak di kanan dan kiri basis nasi (pangkal hidung) (Rahmadani dan Ovy, 2012). Tulang-tulang yang membentuk orbita berjumlah 7 buah, yaitu tulang frontal, tulang zigoma, tulang sphenoid, tulang maksila, tulang etmoid, tulang nasal, dan tulang lakrima.Antara dinding lateral (dinding temporal) dengan atap orbita terdapat fissura orbitalis 3
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Tumor mata disebut juga sebagai tumor orbita adalah tumor yang
menyerang rongga orbita (tempat bola mata) sehingga merusak jaringan lunak
mata, seperti otot mata, saraf mata, dan kelenjar air mata. Tumor Orbita jarang
ditemukan dan dapat berasal dari dinding orbita, isi orbita, sinus dan sekelilingnya
(Rahmadani dan Ovy, 2012)
Anatomi Orbita
Orbita berbentuk suatu rongga yang secara skematis digambarkan sebagai
piramida yang berkonvergensi ke arah belakang. Puncaknya adalah foramen
optikum, dan dasarnya menghadap ke depan luar dan terbuka disebut aditus
orbitae. Sedangkan dinding-dindingnya meliputi dinding medial, dinding lateral,
dinding atas (atap orbita), dan dinding bawah (dasar orbita). Orbita terletak di
kanan dan kiri basis nasi (pangkal hidung) (Rahmadani dan Ovy, 2012).
Tulang-tulang yang membentuk orbita berjumlah 7 buah, yaitu tulang
- Pada fotografi fluorescein ditemukan titik hitam
- Pada USG ditemukan gambaran homogeny (AAO, 2008)
Jika pada pemeriksaan tersebut ditemukan penyebaran yang luas, maka
perubahan menuju keganasan harus dipikirkan.Penatalaksanaan yang
direkomendasikan untuk nevi koroid adalah dengan pemantauan secara rutin.
36
Gambar 2.10. A. Nevus koroid dengan penampakan drusen, di bawah arcus retinovascular bagian temporal bawah. B. Nevus koroid ukuran sedang dengan
penampakan drusen, pada papil nervus optic sebelah superior (AAO, 2008)
37
2.4 TUMOR PADA RETINA
2.4.1 Retinoblastoma
Definisi
Retinoblastoma dalah keganasan intraokular primer yang paling sering
pada bayi dan anak dan merupakan tumor neuroblastik yang secara biologi mirip
dengan neuroblastoma dan medulloblastoma (AAO,2009).
Epidemiologi
Retinoblastoma adalah tumor intraokular yang paling sering pada bayi dan
anak yang berjumlah sekitar 3% dari seluruh tumor pada anak. Kasus
Retinoblastoma bilateral secara khas didiagnosis pada tahun pertama kehidupan
dalam keluarga dan pada kasus sporadik unilateral di diagnosis antara umur 1–3
tahun. Onset diatas 5 tahun jarang terjadi (AAO,2009).
Frekuensi Retinoblastoma 1:14.000 sampai 1:20.000 kelahiran hidup,
tergantung negara. Di Amerika Serikat diperkirakan 250-300 kasus baru
Retinoblastoma setiap tahun. Di Mexico dilaporkan 6-8 kasus per juta populasi
dibandingkan dengan Amerika Serikat sebanyak 4 kasus per juta populasi
(AAO,2009)..
Epidemiologi retinoblastoma
- Tumor intraokular paling sering pada anak
- Tumor intraokular ketiga paling sering dari seluruh tumor intraokular
setelah melanoma dan metastasis pada seluruh populasi
- Insiden 1:14.000 – 1:20.000 kelahiran hidup
- 90% dijumpai sebelum umur 3 tahun
- Terjadi sama pada laki-laki dan perempuan
- Terjadi sama pada mata kiri dan kanan
- Tidak ada predileksi ras
- 60%-70% unilateral (rata-rata umur saat diagnosis 24 bulan)
- 30%-40% bilateral (rata-rata umur saat diagnosis 14 bulan) (AAO, 2009).
38
Etiologi
Retinoblastoma disebabkan oleh mutasi gen RB1, yang terletak pada
lengan panjang kromosom 13 pada locus 14 (13q14) dan kode protein pRB, yang
berfungsi sebagai supresor pembentukan tumor. pRB adalah nukleoprotein yang
terikat pada DNA (Deoxiribo Nucleid Acid) dan mengontrol siklus sel pada
transisi dari fase G1 sampai fase S. Jadi mengakibatkan perubahan keganasan dari
sel retina primitif sebelum diferensiasi berakhir (AAO,2009).
Retinoblastoma normal yang terdapat pada semua orang adalah suatu gen
supresor atau anti-onkogen. Individu dengan penyakit yang herediter memiliki
satu alel yang terganggu di setiap sel tubuhnya, apabila alel pasangannya di sel
retina yang sedang tumbuh mengalami mutasi spontan, terbentuklah tumor. Pada
bentuk penyakit yang nonherediter, kedua alel gen Retinoblastoma normal di sel
retina yang sedang tumbuh diinaktifkan oleh mutasi spontan (Yanoff, 2009).
Patofisiologi
Teori tentang histogenesis dari retinoblastoma yang paling banyak dipakai
umumnya berasal dari sel prekursor multipotensial (mutasi pada lengan panjang
kromosom pita 13, yaitu 13q14 yang dapat berkembang pada beberapa sel retina
dalam atau luar. Pada intraokular, tumor tersebut dapat memperlihatkan berbagai
pola pertumbuhan (Yanoff, 2009).
Pola Penyebaran Tumor
1. Pola pertumbuhan
Retinoblastoma intraokular dapat menampakkan sejumlah pola
pertumbuhan, pada pola pertumbuhan endofitik, ini tampak sebagai gambaran
massa putih sampai coklat muda yang menembus membran limitan interna.
Retinoblastoma endofitik kadang berhubungan dengan vitreus seeding. Sel-sel
dari retinoblastoma yang masih dapat hidup terlepas dalam vitreous dan ruang sub
retina dan biasanya dapat menimbulkan perluasan tumor melalui mata. Vitreous
seeding sebagian kecil meluas memberikan gambaran klinis mirip endoftalmitis,
vitreous seeding mungkin juga memasuki bilik mata depan, yang dapat berkumpul
39
di iris membentuk nodule atau menempati bagian inferior membentuk
pseudohipopion (AAO, 2009).
Tumor eksofitik biasanya kuning keputihan dan terjadi pada ruang
subretinal, yang mengenai pembuluh darah retina dan sering kali terjadi
peningkatan diameter pembuluh darah dengan warna lebih pekat. Pertumbuhan
retinoblastoma eksofitik sering dihubungkan dengan akumulasi cairan subretina
yang dapat mengaburkan tumor dan sangat mirip ablasio retina eksudatif yang
memberi kesan suatu Coats disease lanjut. Sel retinoblastoma mempunyai
kemampuan untuk implan dimana sebelumnya jaringan retina tidak terlibat dan
tumbuh. Dengan demikian membuat kesan multisentris pada mata dengan hanya
tumor primer tunggal.Sebagaimana tumor tumbuh, fokus kalsifikasi yang
berkembang memberikan gambar khas chalky white appearance (AAO, 2009).
2. Invasi saraf optikus
Penyebaran tumor sepanjang ruang sub araknoid ke otak. Sel retinoblastoma
paling sering keluar dari mata dengan menginvasi saraf optikus dan meluas
kedalam ruang sub aracnoid (AAO, 2009).
3. Diffuse infiltration retina
Retinoblastoma yang tumbuh menginfiltrasi luas yang biasanya unilateral,
nonherediter, dan ditemukan pada anak yang berumur lebih dari 5 tahun. Pada
tumor dijumpai adanya injeksi konjungtiva, anterior chamber seeding,
pseudohipopion, gumpalan besar sel vitreous dan tumor yang menginfiltrasi
retina, karena masa tumor yang dijumpai tidak jelas, diagnosis sering dikacaukan
dengan keadaan inflamasi seperti pada uveitis intermediat yang tidak diketahui
etiologinya. Glaukoma sekunder dan rubeosis iridis terjadi pada sekitar 50% kasus
(AAO, 2009).
4. Penyebaran metastasis ke kelenjar limfe regional, paru, otak dan tulang.
Sel tumor mungkin juga melewati kanal atau melalui sklera untuk masuk
ke orbita. Perluasan ekstraokular dapat mengakibatkan proptosis sebagaimana
tumor tumbuh dalam orbita. Pada bilik mata depan, sel tumor menginvasi
trabekular messwork, memberi jalan masuk ke limfatik konjungtiva. Kemudian
timbul kelenjar limfe preauricular dan servical yang dapat teraba (AAO, 2009).
40
Manifestasi klinis
Pasien umur < 5 tahun
Leukokoria (54%-62%), * Proptosis
Strabismus (18%-22%) * Katarak
Hipopion * Glaukoma
Hifema * Nistagmus
Heterokromia * Tearing
Spontaneous globe perforation * Anisokoria
Pasien umur > 5 tahun
Leukokoria (35%) * Inflamasi (2%-10%)
Penurunan visus (35%) * Floater (4%)
Strabismus (15%) * Pain (4% ) (AAO, 2009).
Gambar 2.11 retinoblastoma pada mata tampak leukokoria
41
Gambar 2.12 funduskopi pada penderita retinoblastoma (AAO, 2009).
Diagnosis
Diagnosis pasti retinoblastoma intraokuler hanya dapat ditegakkan dengan
pemeriksaan PA, karena tindakan biopsy merupakan kontra indikasi, maka dapat
dilakukan dengan pemeriksaan penunjang:
1. Pemriksaan fundus okuli ditemukan adanya masaa yang menonjol dari
retina disertai pembuluh darah pada permukaan maupun di dalam massa
tumor tersebut dan berbatas kabur.
2. Pemeriksaan x-rays, hamper 60-70% menunjukkan kalsifikasi. Bila tumor
mengadakan infiltrasi ke saraf optic foramen optikum melebar
3. USG, dengan pemeriksaan ini dapat mengetahui adanya massa intraokuler
meskipun media keruh.
4. Lactic acid dehydrogenase (LDH), dengan membandingkan kadar LDH
akuos humor dan serum darah. Bila rasio lebih besar dari 1.5 dicurigai
kemungkinan adanya retinoblastoma intraokuler (pada keadaan normal
rasio kurang dari 1 (PDT,2006).
Gambaran Histologi
Tumor terdiri dari sel basofilik kecil ( retinoblas), dengan nukleus
hiperkromotik besar dan sedikit sitoplasma. Kebanyakan retinoblastoma tidak
dapat dibedakan, tapi macam-macam derajat diferensiasi retinoblastoma ditandai
oleh pembentukan Rosettes, yang terdiri dari 3 tipe :
42
1. Flexner-wintersteiner Rosettes, yang terdiri dari lumen sentral yang dikelilingi
oleh sel kolumnar tinggi. Nukleus sel ini lebih jauh dari lumen.
2. Homer-Wright Rosettes, rosettes yang tidak mempunyai lumen dan sel
terbentuk mengelilingi masa proses eosinofilik
3. Flerettes adalah fokus sel tumor, yang mana menunjukkan differensiasi
fotoreseptor, kelompok sel dengan proses pembentukan sitoplasma dan
tampak menyerupai karangan bunga (Kanski, 2007).
Gambar 2.12 Retinoblastoma (AAO, 2009).
Klasifikasi
Klasifikasi Reese-Ellsworth adalah metode penggolongan retinoblastoma
intraokular yang paling sering digunakan, tetapi klasifikasi ini tidak
menggolongkan Retinoblastoma ekstraokular. Klasifikasi diambil dari
perhitungan jumlah, ukuran, lokasi tumor dan dijumpai atau tidak dijumpai
adanya vitreous seeding.
Klasifikasi Reese-Ellsworth
• Group I
a. Tumor Soliter, ukuran kurang dari 4 diameter disc, pada atau dibelakang
equator
b. Tumor Multipel, ukuran tidak melebihi 4 diameter disc, semua pada atau
dibelakang equator
• Group II
a. Tumor Soliter, ukuran 4-10 diameter disc, pada atau dibelakang equator
43
b. Tumor Multipel, ukuran 4-10 diameter disc, dibelakang equator
• Group III
a. Ada lesi dianterior equator
b. Tumor Soliter lebih besar 10 diameter disc dibelakang equator.
• Group IV
a. Tumor Multipel, beberapa besarnya lebih besar dari 10 diameter disc
b. Ada lesi yang meluas ke anterior ora serrata
• Group V
a. Massive Seeding melibatkan lebih dari setengah retina
b. Vitreous seeding (AAO, 2009).
Diagnosa Banding
- Katarak
- Persistent hyperplastic primary vitreus
- Retinophaty of prematurity
- Ablasi retina
- Panoftalmitis (AAO, 2009).
Terapi
1. Enukleasi
Enukleasi dipertimbangkan sebagai intervensi yang tepat jika :
- Tumor melibatkan lebih dari 50% bola mata
- Dugaan terlibatnya orbita dan nervus optikus
- Melibatkan segmen anterior dengan atau tanpa glaukoma neovaskular
(AAO, 2009)..
2. Eksenterasi orbita
Dilakukan pada tumor yang sudah ekstensi ke jaringan orbita ialah dengan
mengangkat seluruh isi orbita dengan jaringan periostnya (AAO, 2009)..
3. Kemoterapi
Pemberian kemoterapi sistemik mengurangi ukuran tumor, berikutnya
dapat menggunakan gabungan fokal terapi dengan laser. Sekarang ini regimen
44
kombinasi bermacam-macam seperti Carboplatin, Vincristine, Etoposide dan
Cyclosporine. Anak-anak yang mendapat obat kemoterapi secara intravena setiap
3-4 minggu untuk 4-9 siklus kemoterapi. (AAO, 2009).
4. Photocoagulation dan Hyperthermia
Xenon dan Argon Laser (532 nm) secara tradisional digunakan untuk
terapi retinoblastoma yang tinggi apek kurang dari 3mm dengan dimensi basal
kurang dari 10 mm, 2-3 siklus putaran Photocoagulation merusak suplai darah
tumor, selanjutnya mengalami regresi. Laser yang lebih berat digunakan untuk
terapi langsung pada permukaan tumor. Laser diode (8-10mm) digunakan sebagai
hipertermia. Penggunaan langsung pada permukaan tumor menjadikan temperatur
tumor sampai 45-60 oC dan mempunyai pengaruh sitotoksik langsung yang dapat
bertambah dengan kemoterapi dan radioterapi. (AAO, 2009).
5. Krioterapi
Juga efektif untuk tumor dengan ukuran dimensi basal kurang dari 10mm
dan ketebalan apical 3mm. Krioterapi digunakan dengan visualisasi langsung
dengan Triple Freeze-Thaw Technique. Khususnya Laser Photoablation dipilih
untuk tumor pada lokasi posterior dan cryoablation untuk tumor yang terletak
lebih anterior.Terapi tumor yang berulang sering memerlukan kedua tekhnik
tersebut. Selanjut di follow up pertumbuhan tumor atau komplikasi terapi. (AAO,
2009).
Prognosis
Bila masih terbatas retina, kemungkinan hidup 95%
Bila metastase ke orbita retina, kemungkinan hidup 5%
Bila metastase ke tubuh, kemungkinan hidup 0% (PDT,2006)
45
2.5 TUMOR PADA KONJUNGTIVA
2.5.1 Karsinoma Sel Skuamosa pada Konjungtiva
Definisi
Karsinoma sel skuamosa (KSS) adalah satu jenis tumor ganas intra
epithelial yang bermanifestasi pada mata di daerah limbus dan margo palpebral,
yaitu daerah peralihan epitel (Sandra, 1992)..
Epidemiologi
Karsinoma sel skuamosa paling sering ditemukan pada laki-laki dengan
usia tua yang berkulit putih (76%). Rata-rata usia pasien yang terkena adalah 56
tahun. Tumor in mrupakan 14% dari semua tumor mata primer dan tumor orbital
terkait dengan paparan sinar matahari. Sinar matahari, terutama radiasi sinar
ultraviolet-B (UV-B) dapat menyebabkan kerusakan DNA, mutasi, dan sel
kanker. Meskipun human papillomavirus-16 telah ditemukan dalam spesimen
tumor konjungtiva, namun belum terbukti menyebabkan tumor ini (Sandra,
1992)..
Patogenesis
Lesi karsinoma sel skuamosa dimulai dengan timbulnya massa berukuran
kecil, 1-2 mm berwarna putih seperti gelatin, kemerahan disekitarnya akibat
bertambahnya vaskularisasi. Lesi akan tumbuh menjadi besar, kemudian timbul
erosi sampai akhirnya menjadi ulkus. Permukaan lesi tidak rata dan batasnya tidak
jelas. Lesi di limbus biasanya berada di daerah nasal atau temporal. Dalam
pertumbuhannya, lesi berkembang sangat lambat dan menimbulkan rasa sakit,
sehingga sering baru dikeluhkan oleh penderita setelah beberapa bulan (Sandra,
1992)..
Gambaran Klinis
Selain dari adanya lesi pada permukaan okuler, terdapat gejala lain seperti
mata merah dan terdapatnya iritasi. Secara klinis agak sukar untuk membedakan
antara dysplasia epitel konjungtiva, karsinoma in situ dan karsinoma sel
skuamosa. Lesi-lesi ini sering muncul diantara fissure interpalpebral, sering pada
46
limbus walaupun ia juga bisa ditemukan pada bagian lain dari konjungtiva dan
kornea.
KSS bisa terlihat seperti agar-agar (gelatinous) dengan pembuluh darah
superficial atau dengan bentuk seperti papil atau leukoplakia dengan plak keratin
yang menutupinya (Sandra, 1992)..
Gambar 2.13 karsinoma sel skuamosa pada konjungtiva (Sumber: Finger, 2010)
Gambaran Histopatologi
Evaluasi secara histopatologi dari lesi yang dieksisi atau insisi yang bisa
membedakan antara lesi-lesi di dalam spekturm KSS. Lesi displastik
memperlihatkan atipia seluler yang ringan, sedang, atau berat yang bisa
melibatkan berbagai ketebalan epithelium bermula dari lapisan basal menuju
keluar. Biasanya lapisan yang paling superfisial yang tidak terkena. Perubahan
displastik yang berat adalah sama dengan karsinoma in situ. Karsinoma in situ
bisa memperlihatkan semua ciri bagi karsinoma sel skuamosa, tetapi masih tetap
terbatas pada epithelium. Invasi yang dalam dari kornea ataupun sklera dan
penyebaran intraocular merupakan komplikasi yang jarang. Gambaran
histopatologi menunjukkan infiltrasi yang masuk kedalam dasar membrane
epithelial yang menyebar pada stroma konjungtiva. Sel tumor dapat dibedakan
dengan baik atau well differentiated dan dapat dikenali dengan mudah sebagai
skuamosa, moderately differentiated ataupun poorly differentiated dan dapat sulit
dibedakan dari keganasan lain seperti karsinoma sebasea (Kloek, 2004)
47
.
Gambar 2.14 Gambaran histopatologi karsinoma sel skuamosa pada konjunctiva (Kloek, 2004)
Klasifikasi Sistim TNM5
T (Tumor Primer)
Tx Tidak ditemukan tumor primer
T0 Tidak ada bukti tumor primer
Tis Karsinoma in situ
T1 Tumor 5 mm dengan dimensi yang lebih besar
T2 Tumor dengan ukuran > 5mm dengan dimensi yang lebih besar tanpa invasi ke
struktur yang berdekatan
T3 Tumor menginvasi struktur yang berdekatan (Tidak termasuk orbita)
T4 Tumor menginvasi orbita dengan atau tanpa perluasan yang lebih jauh
T4a Tumor menginvasi jaringan lunak orbita, tanpa invasi ke tulang
T4b Tumor menginvasi tulang
T4c Tumor menginvasi sinus paranasal yang berdekatan
T4d Tumor menginvasi otak
Kelenjar Limf Regional (N)
NX Kelenjar getah bening tidak ditemukan
N0 Tidak ada metastasis kelenjar getah bening regional
N1 Metastasis kelenjar getah bening regional
Metastasis Jauh
M0 Tidak ada metastasis jauh
M1 Metastasis Jauh
48
Diagnosis Banding
a. Pterigium
b. Melanoma tanpa pigmentasi
Terapi
Pemilihan jenis terapi pada karsinoma sel skuamosa pada konjungtiva
dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya ukuran lesi, lokasi, derajat invasi
dari lesi, keadaan mata yang satunya, usia, keadaan umum pasien.
1. Pembedahan
Pembedahan secara eksisi adalah metode tradisional bagi pengobatan lesi
KSS. Untuk mencegah dari terjadinya kekambuhan, direkomendasikan untuk
mengeksisi jaringan tumor dengan lebar margin sekitar 2mm ± 3mm. Apabila
lapisan kornea atau sklera yang lebih dalam terlibat, deep lamellar keratectomy
atau skelerektomi dilakukan (Oral, 2010).
Eksenterasi direkomendasikan apabila tumor konjungtiva telah menginvasi
ke anterior dari orbita. Exenterasi pada orbita meliputi membuang bola mata,
kelopak mata, dan berbagai isi dari rongga orbita. Pada keadaan yang lebih
ekstrim, juga termasuk di dalamnya membuang seluruh jaringan yang terdapat
pada rongga orbita, termasuk periorbita dan pada beberapa kasusmelakukan
reseksi pada tulangnya. Tindakan ini diindikasikan pada keadaan keganasan yang
dapat mengancam jiwa pasien atau ketika modalitas pengobatan secara
konservatif telah gagal atau tidak sesuai(Augsburger, 2004).
2. Krioterapi
Kombinasi dengan pembedahan secara eksisi dan cryosurgery untuk
mengurangkan kadar kekambuhan (Oral, 2010).
3. Kemoterapi topical
Disebabkan adanya kemungkinan terjadinya komplikasi pada pembedahan
eksisi, krioterapidan brakiterapi, penggunaan kemoterapi topical seperti tetes
mitomycin C, 5-fluorourasil,atau interferon alfa 2b telah dianjurkan. Efek
samping yang nyata adalah dari mitomycin c yang berupa hyperemia dan kadang
sebagian pasien bisa mengalami nyeri atauSensasi terbakar sakit dari toksisitas
49
pada epithelial kornea. Efek sampingtersebut akan hilang dalam waktu 2 minggu
selepas pemberian obat dihentikan (Oral, 2010)
Prognosis
Karsinoma sel skuamosa dengan kekambuhan lokal diasumsikan sebagai
keganasan tipe low-grade. Kekambuhan setelah operasi eksisi tergantung dari
margin pembedahan (5% pada margin yang bebas, dan 50% pada margin yang
terlibat). Invasi intraokuler sangat jarang terjadi, begitu juga metastasis. Area
metastasis diantaranya adalah kelenjar getah bening pada preaurikuler,
submandibular dan servikal, kelenjar parotis, paru dan tulang. Penyebab utama
dari metastasis adalah terlambat dalam mendiagnosa dan terapi (Oral, 2010).
2.6 TUMOR SARAF OPTIK
2.6.1 Meningioma
Meningioma orbita primer biasanya berkembang dari araknoid selubung
nervus optikus.
Tumor ini cenderung menyebabkan defek visual pada tahap awalnya.
CT-scan dapat membedakan meningioma nervus optikus ( radiolusen di
bagian sentral) dari glioma nervus optikus ( hiperdens di bagian sentral ).
Meningioma orbita primer dapat meluas ke bagian luar dari duramater
menuju jaringan lunak orbita.
Meningioma nervus optikus biasanya lebih bersifat agresif dan letal pada
anak-anak dibanding dewasa.
Pada kebanyakan kasus, meningioma nervus optikus dapat menyebabkan
kebutaan.
Intervensi pembedahan, jika tumor tersebut tidak mengancam struktur
intrakranial dan jika penglihatannya dipertahankan.
Tanda yang paling sering dijumpai adalah hilangnya penglihatan dan atrofi
optikus. Proptosis terjadi apabila tumor terletak di dalam orbita.
Pengobatannya masih kontroversial. Belum terdapat statistik yang
meyakinkan untuk mengindikasikan bahwa pembedahan atau radiasi
memberi hasil yang efektif (Yuniarti, 2005)
50
2.6.2 Glioma Nervus Optikus
Definisi
Glioma adalah tumor yang berasal dari sel-sel glia saraf. Sel glia merupakan sel
yang berkaitan erat dengan neuron, yang berfungsi sebagai pendukung struktur
dan fungsi neuron, namun tidak terlibat dalam fungsi penjalaran impuls. Dalam
otak manusia, jumlah sel glia jauh lebih besar daripada jumlah neuron.
Perbandingan antara jumlah sel glia dan neuron ialah 10:1 (Yuniarti, 2005).
Epidemiologi
Glioma merupakan tumor saraf optik yang paling sering ditemukan terutama pada
anak-anak (usia < 20 tahun). Tumor neuroglia ini dapat tumbuh di dalam orbita,
intrakanalikular, atau bagian saraf intrakranium, seringkali melibatkan khiasma
optikum.
Secara histologis biasanya glioma optik merupakan lesi benigna. Pengaruh
merugikannya tergantung kepada lokasi dan pola pertumbuhan. Glioma ini jarang
menunjukkan tanda-tanda ganas. Glioma optik terjadi dengan frekuensi yang
meningkat pada penderita neurofibromatosis (Yuniarti, 2005).
Manifestasi klinis
Manifestasi klinis glioma optik intraorbital adalah kehilangan penglihatan
unilateral, proptosis dan deviasi mata, dapat juga ditemukan atrofi optik atau
kongesti papil nervus optikus. Pada glioma khiasma sering ditemukan defek
lapangan pandang ( biasanya hemianopsia bilateral), kenaikan tekanan
intrakranial, edema papil atau atrofi optik, disfungsi hipothalamus, disfungsi
hipofisis, dan kadang-kadang nistagmus atau strabismus.Glioma optik terjadi
dengan frekuensi yang meningkat pada penderita neurofibromatosis (Yuniarti,
2005).
51
Gambaran radiologi
CT scan orbita
.Gambar 2.15 CT scan menunjukkan massa solid fusiformis pada distribusi persarafan,
dengan low attenuation dan kalsifikasi pada area sentral.
Gambar 2.16 Optic nerve glioma appears as diffuse enlargement of the left optic nerve (arrows) in an 8-year-old girl. Glioma saraf optik tampak sebagai pembesaran difus pada
nervup otik kiri (tanda panah).
52
Gambaran Magnetic Resonance Imaging
Gambar 2.17 MRI pada anak perempuan usia 7 tahun dengan riwayat keluarga NF1 yang mengalami kebutaan sejak usia 18 bulan. MRI T2-weighted transaxial
menunjukkan glioma saraf optic bilateral (tanda panah).
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan glioma optik meliputi pembedahan, radiasi dan kemoterapi). Bila
tumor ini terbatas intraorbital, intrakanalikular, atau bagian saraf prekhiasma,
reseksi sering dilakukan, terutama bila proptosis tidak terlalu tampak dengan
kehilangan penglihatan sempurna atau hampir sempurna di mata yang terkena.
Bila khiasma terlibat, tindakan bedah tidak dianjurkan, walaupun intervensi bedah
untuk mengendalikan hidrosefalus dan kenaikan tekanan intraakranium sekunder
atau bahan untuk biopsi mungkin diperlukan.. Radioterapi dapat mengubah
pertumbuhan tumor. Kemoterapi masih dalam tahap penelitian (Yuniarti, 2005).
53
BAB III. KESIMPULAN
Tumor mata adalah tumor yang menyerang rongga orbita, sebagian
merusak jaringan lunak mata, saraf mata dan kelenjar air mata. Tumor mata jarang
ditemukan dan dapat berasal dari dinding orbita, isi orbita, sinus paranasalis, dan
sekelilingnya.
Tumor orbita diklasifikasikan berdasarkan asal tumor menjadi: tumor
orbita primer, tumor orbita sekunder, dan tumor orbita metastatic. Klasifikasi
tumor orbita yang lain dapat berdasarkan asal jaringan/ lokasi anatominya; tumor
kelenjar lakrimalis, tumor jaringan limfoid, tumor retina, tumor tulang, tumor
selubung saraf optic, tumor saraf optic, tumor jaringan ikat dan tumor metastase
melalui darah.
Gejala dan tanda dari tumor orbita meliputi: nyeri orbital, proptosis
(penonjolan bola mata), pembengkakan kelopak mata, palpasi teraba massa, gerak
mata terbatas, ketajaman penglihatan terganggu. Untuk menegakkan diagnosis
tumor mata diperlukan beberapa pemeriksaan penunjang dan pemeriksaan
tambahan.
Penanganan tumor orbita dibedakan berdasarkan sifat tumor apakah tumor
bersifat jinak atau ganas. Bila tumor jinak maka memerlukan eksisi dan atau
pendekatan konservatif. Bila tumor orbita bersifat ganas maka memerlukan
tindakan biopsy dan redioterapi dan kemoterapi.
Tumor orbita bisa juga berasal dari tempat lain sehingga disebut sebagai
tumor sekunder. Kebanyakan tumor orbita sekunder berasal dari hidung dan sinus
paranasal. Prognosis atau angka keberhasilan kelangsungan hidup penderita tumor
orbita mencapai 80%, artinya masih ada harapan hidup yang cukup baik. Angka
kematian sangat dipengaruhi oleh stadium tumor itu sendiri. Tentu saja pada
stadium lanjut angka kelangsungan hidup lebih buruk.
54
DAFTAR PUSTAKA
American Academy of Ophtalmology : Ophtalmic Pathology and Intraocular Tumors, section 4, 2007-2008. Page 251-303.
America Academy of Ophthalmology. Pediatric Ophthalmology and Strabismus in Basic and Clinical Science Course. Section 6. 2008-09 : 390-99
American Cancer Society. 2012. Retinoblastoma.
Augsburger JJ, Schneider S. 2004. Tumors of Conjunctiva and Cornea. In Opthalmology. Mosby. Spain.
Brunner and Suddarth’s. 2008. Textbook of Medical-Surgical Nursing. Penerbit : LWW, Philadelphia.
Classon, Marie and Ed Harlow. The Retinoblastoma Tumors Suppresor in Development and Cancer. Nature Publishing Group USA : 2002. Vol 2 : 910-917.
Feri M dan Sagiran. 2000. Hemangioma Karya Ilmiah. Bagian Bedah FK UMY. Yogyakarta.
Finger, PT. 2010. Squamous carcinoma and intraepithelial neoplasia of the conjunctiva. Available from : http:// www.Eyecancer.com/Patient/ Condition.aspx?nID=38&Category=Conjunctival+Tumors&Condition=+Carcinoma+and+Intraepithelial+Neoplasia+of+the + Conjunctiva
Hasan Q., Tan T.S, Gush J, Peters S, Davis P. Steroid Therapy of a Proliferating Hemangioma: Histochemical and Molecular Changes. J Pediatr 2000; 105: 117-20.
Ilyas, S. 2006. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit Buku Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Ilyas S. 2003. Dasar Teknik Pemeriksaan Dalam Ilmu Penyakit Mata. Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit Buku Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
James B, Chris C, Anthony B,. 2005. Lectures Note Oftalmologi Ed. 9. Penerbit Erlangga. Jakarta. Hlm. 126-127.
Jay justin older. 2003. Eyelid Tumors clinical diagnosis & surgical treatment. Second edition. hal : 38 – 40.
Kanski, J. Jack. Sixth Nerve in Clinical Ophthalmology A Systematic Approach. 6th ed. 2007 : 542-50
Kloek C. Digital journal of oftalmology. Massachusetts Eye and Ear Infirmary. 2004. Available from : http://www.djo.harvard.edu/site.php?url=/patients.
Mark R. Levine, MD, FACS. 2003. Malignant Melanoma of the Eyelids an Increasing Threat.. http://www.osnsupersite.com/view.aspx?rid=6622. Accessed 17 Agustus, 2012.
Metry, DW. MD. 2000. Hemangioma in Infancy, avaliabel dalam http/www.dmetry.edu.http://www.umd.be/VHL/W_VHL/images/Retinal.gif.
Mounir Bashour, MD, CM, FRCS(C), PhD, FACS. 2008. Pigmented Lesions of the Eyelid. http://emedicine.medscape.com/. Accessed 17 Agustus, 2012
Mulliken J.B. Vascular Anomalies. In: Aston S, Beasley R, Thorne C, Editors. Grabb and Smith's Plastic Surgery. 5th ed. Philadelphia : Lippincot-Raven Publ; 1997. p. 191-200
Oral, D. Conjunctival squamous cell carcinoma. 2010. Available formhttp: //www. Osnsupersite.com/view.aspx?rid=66118.
Oski F, Deangelis C, Feigen R. Hemangioma. In: Julia A. McMillan, Catherine D. Deangelis, Ralph D, editors. Principle and Practice of Pediatrics. 2nd
edition. Philadelphia : WB Saunders Co; 1999. p.802-12
Rahmadani, A. dan Rizky, O. 2012. Referat Tumor Palpebra dan Penatalaksanaannya. Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta.
Rosdiana, Nelly. Retinoblastoma Familial. 2009. Indonesia Journal of Cancer. Vol. 3 (1) : 33-36.
RSCM Kirana - Dept. Mata FKUI-RSCM. 2012. Tumor Kelopak, Karsinoma Sel Basal.http://mata-fkui-rscm.org/v2/tumor-kelopak-karsinomaselbasal/? doing_wp_cron=1358765081.9458808898925781250000
Sandra R, Moeloek NF, Usman TA. Virus sebagai etiologi karsinoma sel skuamosa adneksa mata. Bagian ilmu penyakit mata fakultas kedokteran Indonesia. Jakarta.1992. p 664-5 [gambarretinoblastoma] http://radiographics.rsna.org/content/27/4/1159/F15.large.jpg
Skuta GL, Cantor LB, Weiss JS. Dermal Neoplasms. In: Skuta GL, Cantor LB, Weiss JS. Basic and Clinical Science Course: Ophthalmic Pathology and