BAB I
PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang
Trombosis merupakan salah satu masalah kesehatan utama baik di
negara maju maupun negara berkembang. Insiden penyakit terkait
dengan trombosis semakin meningkat setiap tahunnya. Selain
peningkatan angka mortalitas dan morbiditas, menurunnya kualitas
hidup dan produktivitas kerja serta hilangnya hari kerja juga
merupakan hal yang menyebabkan peningkatan pembiayaan kesehatan
yang terkait dengan trombosis ini.1,2
Trombosis merupakan penyebab kematian utama di Amerika Serikat.
Sekitar 2 juta penduduk setiap tahunnya meninggal akibat trombosis
arteri, vena, atau komplikasinya. Insiden tromboemboli vena di
Amerika Serikat sekitar 100 per 100.000 orang per tahun dan
meningkat seiring dengan bertambahnya umur, dua pertiga dari kasus
tromboemboli vena adalah trombosis vena dalam dan sepertiganya
adalah emboli paru dan sekitar 20% dari pasien dengan emboli paru
meninggal sebelum terdiagnosis atau dalam hari pertama rawatan.
Sementara data di Eropa, tromboemboli vena merupakan penyebab
tingginya angka mortalitas, morbiditas, dan perawatan di rumah
sakit. Berdasarkan data Eupean Union di enam negara Eropa di tahun
2004 didapatkan sekitar 317.000 orang meninggal yang dihubungkan
dengan kejadian tromboemboli vena dengan rincian 34 % meninggal
tiba-tiba, 59 % meninggal selama proses diagnosa, dan hanya 7%
pasien meninggal yang sudah didiagnosa jelas dengan emboli paru
sebelum pasien meninggal.3,4,5,6Trombosis adalah pembentukan suatu
massa abnormal di dalam sistem peredaran darah makhluk hidup yang
berasal dari komponen-komponen darah. Massa abnormal itu disebut
trombus dan bila terlepas dari dinding bekuan darah yang terjadi in
vitro atau yang terdapat di dalam rongga tubuh maupun yang
terbentuk post mortem bukan merupakan suatu trombus. Teori mengenai
patogenesis trombosis sudah dikenal sejak abad 19. Pada tahun 1845,
Virchow pertama kali mengemukakan adanya tiga faktor utama yang
memegang peranan dalam patogenesis trombosis yaitu kelainan dinding
pembuluh darah, perubahan aliran darah dan perubahan daya beku
darah. Ketiga faktor tersebut di atas disebut Triad of
Virchow.1,7Berdasarkan komposisinya, trombus dapat dibedakan atas 3
jenis, yaitu white trombus yang biasanya terdapat di arteri dan
terutama terdiri dari trombosit, red trombus yang ditemukan di vena
terutama terdiri dari fibrin dan eritrosit, serta mixed thrombus
yang komposisinya merupakan gabungan dari white thrombud dan red
thrombus. Komposisi suatu trombus dipengaruhi oleh kecepatan aliran
darah di tempat trombus itu terbentuk. Pada umumnya trombus yang
banyak mengandung trombosit terbentuk di daerah dengan aliran darah
yang cepat, sedangkan trombus yang banyak mengandung eritrosit dan
fibrin terbentuk di daerah statis.1Goldhaber pada tahun 2010
membagi faktor risiko tromboemboli vena menjadi faktor risiko yang
dapat dimodifikasi, faktor risiko yang berhubungan dengan perawatan
di rumah sakit dan faktor genetik. Faktor resiko yang dapat
dimodifikasi adalah obesitas, kebiasaan merokok, hipertensi,
diabetes mellitus, dislipidemia, dan nutrisi. Faktor risiko yang
berhubungan dengan perawatan dirumah sakit adalah tindakan operasi,
kanker, kegagalan jantung kongestif, penyakit paru obstruksi
kronik, gagal ginjal kronik khususnya sindroma nefrotik. Sedangkan
faktor genetik seperti faktor V Leiden, prothrombin mutasi gen dan
anticardiolipin antibodi.8Kombinasi dari ketiga faktor Triad of
Virchow merupakan patogenesis terjadinya tromboemboli vena. Peranan
stasis vena memegang peranan penting dalam terbentuknya trombus
pada vena, karena dapat menimbulkan gangguan mekanisme pembersih
terhadap aktifitas faktor pembekuan darah sehingga memudahkan
terbentuknya trombin. Inisiasi tromboemboli vena terutama muncul
pada valve pocket sinus. Perubahan faktor-faktor pembekuan
mekanisme kontrol pembekuan juga berperan penting, seperti pada
Faktor V Leiden, defisiensi protein C dan S, dan defisiensi
antithrombin. Sedangkan faktor dinding pembuluh darah lebih
cendrung kepada terbentuknya trombosis arteri.1,9
Presentasi klinis dari tromboemboli vena yang utama adalah
trombosis vena dalam dan emboli paru yang berhubungan dengan faktor
risiko yang sama. Trombosis vena dalam adalah suatu keadaan yang
ditandai dengan ditemukannya trombus di dalam vena dalam terutama
pada tungkai bawah. Trombosis vena dalam adalah satu penyakit yang
dapat menimbulkan kematian kalau tidak dikenal dan diobati secara
efektif. Kematian terjadi sebagai akibat lepasnya trombus vena,
membentuk emboli yang dapat menimbulkan kematian mendadak apabila
sumbatan terjadi pada arteri di dalam paru-paru yang disebut dengan
emboli paru.10,11,12Perkembangan strategi diagnostik terhadap
trombosis vena dalam dan emboli paru berkembang dengan pesat.
Trombosis vena dalam dan emboli paru merupakan dua manifestasi
klinis yang sangat berbeda, tetapi memiliki satu entitas yang
dinamakan dengan tromboemboli vena. Alat-alat diagnostik
non-invasive seperti pengukuran D-Dimer, ultrasonografi kompresi,
dan multidetektor CT angiografi sudah berkembang luas. Hal ini
telah mereduksi secara jelas penggunaan sarana diagnostik invasif
seperti venografi dan pulmonary angiography.13Antikoagualan
merupakan terapi utama pada kasus-kasus tromboemboli vena. Pasien
membutuhkan terapi antikoagulan secepat mungkin setelah diagnosis
tromboemboli vene ditegakkan. Ada tiga opsi terapi antikoagulan
parenteral yang bisa diberikan untuk terapi inisial pada
tromboemboli vena akut yaitu unfractional heparin, low molecular
weight heparin (LMWH) dan fondaparinux. Antikoagulan oral baru
sebagai terapi tromboemboli vena akut telah mulai banyak juga
digunakan.14 Buller et all (2012) pada studi EINSTEIN-PE di Amerika
Serikat mengadakan penelitian secara random terhadap 4.832 pasien
yang mengalami emboli paru akut baik dengan atau tanpa trombosis
vena dalam dan membandingkan pemberian rivaroxaban 15 mg 2 kali
sehari selama 3 minggu kemudian dilanjutkan dengan 20 mg sekali
sehari, dibandingkan dengan terapi standar dengan enoxaparin yang
dilanjutkan dengan pemberian vitamin K antagonis didapatkan hasil
bahwa terapi emboli paru dengan rivaroxaban tidak inferior
dibandingkan dengan terapi standar enoxaparin.15Pencegahan terhadap
munculnya trombus baru merupakan salah satu hal penting dalam
penatalaksanaan tromboemboli vena. Pencegahan ini dapat dilakukan
dengan mengendalikan faktor risiko yang dapat dimodifikasi.
Pemberian antikoagulan profilaks juga juga harus diberikan pada
pasien-pasien dengan risiko tinggi terjadinya tromboemboli vena.
American College of Physician pada tahun 2011 memberikan
rekomendasi propilaksis tromboemboli vena pada pasien yang dirawat
di rumah sakit berupa pemberian injeksi heparin pada pasien dengan
resiko tinggi tromboemboli vena dan tidak beresiko perdarahan.8,16
Tromboemboli vena merupakan salah satu masalah kesehatan yang
memerlukan perhatian yang serius dari kita bersama. Angka
mortalitas dan morbiditas yang disebabkan penyakit ini masih
tinggi. Sulitnya diagnosis dan penatalaksanaan masih menjadi
masalah. Adanya faktor risiko yang bisa dikendalikan, memberikan
kita peluang untuk menekan angka penyakit ini. Untuk itu referat
ini dibuat untuk memaparkan patogenesis dan penatalakasanaan
tromboemboli vena.BAB IIFISIOLOGI HEMOSTASIS
Hemostasis adalah proses fisiologis untuk mempertahankan
integritas vaskular dengan mempertahankan fluiditas darah dan
mencegah keluarnya darah serta menghancurkan bekuan yang terbentuk
setelah terjadinya restorasi pembuluh darah yang rusak. Komponen
utama sistem hemostasis adalah sistem vaskuler, sistem trombosit
dan sistem koagulasi.7,172.1 Sistem VaskulerPeran sistem vaskuler
dalam mencegah perdarahan meliputi proses kontraksi pembuluh darah
(vasokonstriksi) serta aktivasi trombosit dan pembekuan darah.
Apabila pembuluh darah mengalami luka, maka akan terjadi
vasokontriksi yang mula-mula secara reflektoris dan kemudian akan
dipertahankan oleh faktor lokal seperti 5-hidroksitriptamin (5-HT),
serotonin, dan epinefrin. Vasokontriksi ini akan menyebabkan
pengurangan aliran darah besar masih diperlukan lain seperti
trombosit dan pembekuan darah.7,17Pembuluh darah dilapisi oleh sel
endotel. Apabila lapisan endotel rusak maka jaringan ikat dibawah
endotel seperti serat kolagen, serat elastin dan membrana basalis
terbuka sehingga terjadi aktivasi trombosit. Di samping itu terjadi
aktivasi faktor pembekuan darah baik jalur intrinsik maupun jalur
ekstrinsik yang menyebabkan pembekuan fibrin.7Adanya kerusakan
endotel akan menyebabkan keluarnya endotelin 1 serta substansi lain
yang menyebabkan terjadinya vasokonstriksi. Endotelin 1 berfungsi
sebagai kemoatraktan, menarik leukosit dan trombosit. Sel endotel
juga mengandung berbagai proteoglikan seperti hepatin sulfat,
kondroitin sulfat, dermatan sulfat, dan trombomodulin. Proteoglikan
ini akan berinteraksi dengan antitrombin untuk meningkatkan
hambatan terhadap protease serin. Trombomodulin berfungsi sebagai
reseptor trombin. Trombomudulin ini akan mengubah aktivitas
prokoagulan dari trombin sehingga trombomodulin yang terikat dengan
trombin kehilangan kemampuan untuk mengubah fibrinogen menjadi
fibrin, mengaktifkan trombosit dan mengaktifkan faktor XIII.72.2
Sistem TrombositTrombosit mempunyai peran penting dalam hemostasis
yaitu pembekuan dan stabilitas sumbat trombosit. Pembentukan sumbat
trombosit terjadi melalui beberapa tahap yaitu adesi trombosit,
agregasi trombosit dan reaksi pelepasan. Apabila pembuluh darah
luka, maka sel endotel akan rusak sehingga jaringan ikat dibawah
endotel akan terbuka. Hal ini akan mencetuskan adesi trombosit
yaitu suatu proses dimana trombosit melekat pada permukaan asing
terutama serat kolagen. Adesi trombosit sangat tergantung pada
protein plasma yang disebut faktor von willebrands (vWF) yang
disintesis oleh sel endotel dan megakariosit. Faktor ini berfungsi
sebagai jembatan antara trombosit dan jaringan subendotel.
Disamping melekat pada permukaan asing, trombosit akan melekat pada
trombosit lain dan proses ini disebut sebagai agregasi
trombosit.17,18 Agregrasi trombosit mula-mula dicetuskan oleh
adenosin difospat (ADP) yang dikeluarkan oleh trombosit yang
melekat pada serat subendotel. Agregasi yang terbentuk disebut
agregasi trombosit primer dan bersifat reversible. Trombosit pada
agregasi primer akan mengeluarkan ADP sehingga terjadi agregasi
trombosit sekunder yang bersifat irreversible. Disamping ADP, untuk
agregasi trombosit diperlukan ion kalsium dan ikatan diantara
fibrinogen yang melekat pada dinding trombosit dengan perantara ion
kalsium. Mula-mula ADP akan terikat pada reseptornya permukaan
trombosit dan interaksi ini menyebabkan reseptor untuk fibrinogen
terbuka sehingga memungkinkan ikatan antara fibrinogen dengan
reseptor tersebut. Kemudian ion kalsium akan menghubungkan
fibrinogen tersebut sehingga terjadi agregasi trombosit. Selain itu
akan terjadi aktifasi enzin fosfolipase A2 sehingga fosfolipid yang
terdapat pada dinding trombosit akan dipecah dan melepaskan asam
arakhidonat. Asam arakhidonat akan diubah oleh enzim
siklo-oksigenase menjadi prostaglandin G2 (PGG2) yang kemudian akan
diubah menjadi prostaglandin H2 (PGH2) oleh enzim peroksidase. PGH2
akan diubah oleh enzim tromboksan sintetase menjadi tromboksan A2
(TxA2) yang akan merangsang agregasi trombosit. Tromboksan A2 akan
segera diubah menjadi bentuk tidak aktif TxB2. Di dalam sel endotel
akan terjadi proses yang sama, akan tetapi PGH2 akan diubah oleh
enzim prostasiklin sintetase menjadi prostasiklin (PGI2) yang
mempunyai efek berlawanan dengan TxA2.17Selama proses agregasi,
terjadi perubahan bentuk trombosit dari bentuk cakram menjadi bulat
disertai dengan pembentukan pseudopodi. Akibat perubahan bentuk ini
maka granula trombosit akan terkumpul di tengah dan akhirnya akan
melepaskan isinya. Proses ini disebut sebagai reaksi pelepasan dan
memerlukan adanya enersi. Zat agregator lain seperti trombin,
kolagen, epinefrin dan TxA2 dapat menyebabkan reaksi pelepasan.
Tergantung zat yang merangsang, akan dilepaskan bermacam-macam
substansi biologik yang terdapat di dalam granula padat dan granula
alfa. Trombin dan kolagen menyebabkan pelepasan isi granula padat,
alfa dan lisosom. Dari granula padat dilepaskan ADP, ATP, ion
kalsium, serotonin, epinefrin dan nor-epinefrin. Dari granula alfa
dilepaskan fibrinogen, vWF, FV, Platelet faktor 4 (PF4), beta
tromboglobulin ( TG). Sedangkan dari lisosom dilepaskan
bermacam-macam enzim hidrolase asam.17,18Masa agregasi trombosit
akan melekat pada endotel, sehingga terbentuk sumbat trombosit yang
menutup luka pada pembuluh darah. Walaupun masih permeabel terhadap
cairan, sumbat trombosit mungkin dapat menghentikan perdarahan pada
pembuluh darah kecil. Tahap terakhir untuk menghentikan perdarahan
adalah pembentukan sumbat trombosit yang stabil melalui
fibrin.17,18
Gambar 2.1. Fungsi trombosit pada hemostasis182.3 Sistem
Pembekuan DarahProses pembekuan darah terdiri dari rangkaian reaksi
enzimatik yang melibatkan protein plasma yang disebut sebagai
faktor pembekuan darah, fosfolipid dan ion kalsium. Faktor
pembekuan darah dinyatakan dalam angka Romawi yang sesuai dengan
urutan ditemukannya.17Tabel 2.1 Nomenklatur faktor pembekuan
darah17
FaktorNamaSinonim
IFibrinogen-
IIProthrombin-
IIITissue faktorTissue Thromboplastin
IVIon kalsium-
VProaccelelerinLabile factor
VI--
VIIProconvertinStable factor
VIIIAntihemophilic factor (AHF)Antihemophilic globulin
IXPlasma Thromboplastin Component (PTC)Christmas factor
XStuart factorPrower factor
XIPlasma Thromboplastin Antecedent (PTA)Antihemophilic factor
C
XIIHageman factorContact factor
XIIIFibrin Stabilizing factor (FSF)Fibrinase lorand factor
-High Molecular Weight Kininogen (HMWK)Fitzgerald factor
-Pre Kalikrein (PK)Fletcher factor
Teori yang banyak dianut untuk menerangkan proses pembekuan
darah adalah teori cascade atau waterfall yang dikemukakan oleh Mac
Farlane, Davic dan Ratnoff. Menurut teori ini tiap faktor pembekuan
darah diubah menjadi bentuk aktif oleh faktor sebelumnya dalam
rangkaian reaksi enzimatik. Faktor pembekuan beredar dalam darah
sebagai prekursor yang akan diubah menjadi enzim bila diaktifkan.
Enzim ini akan mengubah prekursor selanjutnya menjadi enzim. Jadi
mula-mula faktor pembekuan darah bertindak sebagai substrat dan
kemudian sebagai enzim.17Proses pembekuan darah mulai melalui dua
jalur yaitu jalur instrinsik yang dicetuskan oleh aktivasi kontak
dan melibatkan F.XII, FXI, FIX, F.VIII, HMWK, PK, platelet factor 3
(PF.3) dan ion kalsium, serta jalur ekstrinsik yang dicetuskan oleh
tromboplastin jaringan dan melibatkan melibatkan F.VII, ion
kalsium. Kedua jalur ini kemudian akan bergabung menjadi jalur
bersama yang melibatkan F.X, F.V, PF.3, protombin dan
fibrinogen.17Jalur intrinsik meliputi fase kontak dan pembentukan
kompleks aktivator F.X. Adanya kontak antara F.XII dengan permukaan
asing seperti kolagen akan menyebabkan aktivasi F.XII menjadi
F.XIIa. Dengan adanya kofaktor HMWK, F.XIIa akan mengubag
prekalikrein kalikrein yang akan meningkatkan aktivasi F.XII
selanjutnya dengan adanya kofaktor HMWK. Disamping itu kalikrein
akan mengaktifkan F.VII menjadi F.VIIa pada jalur ekstrinsik, serta
mengubah kininogen menjadi kinin yang berperan dalam reaksi
inflamasi. Jadi aktivasi F.XII disamping mencetuskan pembekuan
darah baik jalur intrinsik maupun jalur ekstrinsik, juga
mencetuskan sistem fibrinolitik dan kinin. Reaksi selanjutnya pada
jalur intrinsik adalah interaksi nonenzimatik antara F.IXa, PF.3,
F.VIII dan ion kalsium membentuk kompleks yang mengaktifkan F.X.
Walaupun F.IXa dapat mengaktifkan F.X, tetapi dengan adanya PF.3,
F.VIII dan ion kalsium maka reaksi ini akan dipercepat.17Jalur
ekstrinsik terdiri dari reaksi tunggal di mana F.VII akan
diaktifkan menjadi F.VII dengan adanya ion kalsium dan
tromboplastin jaringan yang dikeluarkan oleh pembuluh darah yang
luka. Akhir-akhir ini terbukti bahwa aktivasi F.VII menjadi F.VIIa
dapat terjadi dengan adanya kalikrein. Hal ini membuktikan adanya
hubungan antara jalur intrinsik dan ekstrinsik. Selanjutnya F.VIIa
yang terbentuk akan mengaktifkan F.X menjadi F.Xa.17Jalur bersama
meliputi pembentukan prothombin converting complex (protombinase),
aktivasi protombin dan pembekuan fibrin. Reaksi pertama pada jalur
bersama adalah perubahan F.X menjadi F.Xa oleh adanya kompleks yang
terbentuk pada jalur intrinsik dan atau F.VIIa dari jalur
ekstrinsik. FXa bersama F.V, PF 3 dan ion kalsium membentuk
prothrombin converting complex yang akan mengubah protombin menjadi
trombin. Trombin merupakan enzim proteolitik yang mempunyai
beberapa fungsi yaitu mengubah fibrinogen menjadi fibrin, mengubah
F.XIII menjadi F.XIIIa, meningkatkan aktivitas F.V dan F.VIII,
merangsang reaksi pelepasan dan agregasi trombosit.17 Pada reaksi
selanjutnya trombin akan mengubah fibrinogen menjadi fibrin
monomer. Seperti kita ketahui fibrinogen terdiri dari 3 pasang
rantai polipeptida yaitu 2 alfa, 2 beta dan 2 gama. Trombin akan
memecah rantai alfa dan beta pada N-terminal menjadi fibrinopeptida
A, B dan fibrin monomer. Fibrin monomer. Fibrin monomer akan segera
mengalami polimerisasi untuk membentuk fibrin polimer. Mula-mula
fibrin polimer yang terbentuk bersifat tidak stabil karena mudah
larut oleh adanya zat tertentu seperti urea. Sehingga disebut
fibrin polimer soluble. Dengan adanya F.XIIIa dan ion kalsium, maka
fibrin polimer soluble akan diubah menjadi fibrin polimer insoluble
karena terbentuk ikatan silang antara 2 rantai gama dari fibrin
monomer yang bersebelahan. Aktivasi F.XIII menjadi F.XIIIa terjadi
dengan adanya trombin.17
Koagulasi dapat dibagi atas tiga fase yaitu; fase inisiasi, fase
amplifikasi dan fase propagasi.7
1. Fase Inisiasi
Fase ini merupakan jalur ekstrinsik klasik pada sistem
koagulasi, dimulai dengan adanya injuri vaskuler dan terpaparnya
sel subendotel terhadap aliran darah. Terpaparnya sel ini merupakan
kunci untuk terjadinya kaskade koagulasi, dimulai dengan
berikatannya faktor jaringan (tissue factor/TF) dengan faktor VII.
Faktor jaringan ini berperan sebagai kofaktor dari F.VII, sehingga
faktor VII berubah menjadi bentuk aktif yaitu faktor VIIa. Komplek
TF F.VIIa ini akan mengubah F.IX dan F.X menjadi F.IXa dan F.Xa.
Kemudian F.Xa dengan kofaktor Va berikatan membentuk kompleks
protrombinase pada sel ekspresi TF, yang akan mengubah protrombin
(F.II) menjadi trombin.7
2. Fase Amplifikasi
Akumulasi dari trombin akan mengaktifasi trombosit yang ada di
sisi pembuluh darah yang rusak. Trombin akan mengkonversi F.V
menjadi F.Va, yang akan mengamplifikasi aktivitas protrombinase,
dan mengkonversi F.VIII menjadi VIIIa, yang selanjutnya berperan
sebagai kofaktor F.IXa pada permukaan trombosit yang teraktivasi
untuk membantu pembentukan F.Xa. Trombin juga berperan dalam
mengubah F.XI menjadi XIa.73. Fase Propagasi
Fase propagasi muncul pada permukaan yang mengandung fosfolipid
prokoagulan, seperti trombosit yang teraktifasi. Faktor XIa
mengkonversi F.IX menjadi IXa, yang selanjutnya dihubungkan dengan
trombin-cleaved F.VIII. Pada fosfatidilserin membran sel, komplek
tenase dari IXa/VIIIa mengkatalisis konversi F.X menjadi Xa,
setelah kompleks F.Xa/Va memproduksi sejumlah trombin sampai
terbentuknya serat-serat fibrin. Sebagai tahap akhir, trombin
teraktivasi, dan F.XIIIa mengkatalisis pembentukan crosslink antar
fibrin untuk membentuk klot fibrin yang elastik dan
terpolimerisasi.7
Gambar 2.2 Skema proses koagulasi72.4 FibrinolisisFibrinolisis
adalah proses penghancuran deposit fibrin oleh sistem fibrinolitik
sehingga aliran darah akan terbuka kembali. Sistem fibrinolitik
terdiri dari tiga komponen utama yaitu plasminogen yang akan
diaktifkan menjadi plasmin, aktivator plasminogen dan inhibitor
plasmin. Aktivator plasminogen adalah subtansi yang dapat
mengaktifkan plasminogen menjadi plasmin. Menurut asalnya dibedakan
menjadi aktivator intrinsik, ekstrinsik dan eksogen. Aktivator
intrinsik terdapat di dalam darah seperti F.XIIa dan kalikrein.
Aktivator ekstrinsik terdapat pada endotel pembuluh darah dan
bermacam-macam jaringan, disebut tissue plasminogen activator
(t-PA). Sedangkan aktivator eksogen contohnya adalah urokinase yang
merupakan produk streptokokus beta hemolitikus.17
Aktivator plasminogen merupakan enzim proteolitik, kecuali
streptokinase yang akan mengikat plasminogen membentuk kompleks
streptokinase-plasminogen yang mempunyai aktivitas sebagai
aktivator plasminogen. t-PA mempunyai afinitas tinggi terhadap
fibrin dan ikatan ini akan meningkatkan aktivasi plasminogen
menjadi plasmin. Inhibitor plasmin adalah subtansi yang macam
antiplasmin terdapat di dalam plasma, seperti alfa-2 plasmin
inhibitor, alfa-2 makroglobulin, alfa-1 antitripsin dan antitrombin
(AT). Yang kerjanya paling cepat adalah alfa-2, plasmin inhibitor.
Akhir-akhir ini dikenal juga inhibitor yang bekerja terhadap
aktivator plasminogen yang disebut plasminogen activator inhibitor
(PAI), yang diberi nomer urut oleh Internasional Committe on
Thrombosis and Hameostasis. PAI-1 atau endothelial cell-type PAI
adalah suatu glikoprotein yang disintesis oleh sel endotel.
Disamping itu PAI-1 juga disintesis oleh kultur sel hati, sel
melanoma, fibroblast paru-paru, sel fibrosarkoma, sel granulosa dan
sel otot polos.17 Sistem fibrinolitik dicetuskan oleh adanya
aktivator plasminogen yang akan memecah plasminogen menjadi
plasmin. Aktivasi plasminogen terjadi melalui tiga jalur yang
berbeda yaitu jalur intrinsik, jalur ekstrinsik dan jalur eksogen.
Jalur intrinsik melibatkan F.XII, prekalikrein dan HMWK. Aktivasi
F.XII menjadi F.XIIa yang akan mengubah prekalikrein menjadi
kalikrein dengan adanya HMWK. Kalikrein yang terbentuk akan
mengaktifkan plasminogen menjadi plasmin, juga mengubah F.XII
menjadi F.XIIa. Pada Jalur ekstrinsik aktivator yang terdapat di
dalam jaringan atau endotel pembuluh darah akan dilepaskan ke dalam
pembuluh darah bila terdapat amin vasoaktif dan protein C. Seperti
kita ketahui sebagian besar plasminogen terikat pada fibrin dan
sebagian lagi terdapat bebas di dalam plasma. Apabila plasminogen
tersebut diaktifkan, akan terbentuk plasmin bebas dan plasmin yang
terikat fibrin. Plasmin bebas akan segera dinetralkan oleh
antiplasmin. Apabila plasmin bebas terdapat jumlah berlebihan
sehingga melebihi kapasitas antiplasmin, maka plasmin merupakan
enzim proteolitik yang akan memecah fibrin menjadi fragmen-fragmen
yang disebut fibrin degradation products (FDP). Mula-mula terbentuk
fragmen X yang pada proses selanjutnya akan dipecah menjadi fragmen
Y dan D. Fragmen Y akan dipecah oleh plasmin menjadi fragmen D dan
E. Pada umumnya FDP merupakan inhibitor pembekuan darah terutama
fragmen Y yaitu dengan cara menghambat kerja trombin dan menghambat
polimerisasi fibrin. Selain itu FDP juga mengganggu fungsi
trombosit. Pada proses selanjutnya FDP akan dibersihkan dari
sirkulasi darah oleh hati dan RES.17BAB IIIPATOGENESIS
TROMBOSISTeori mengenai patogenesis trombosis sudah dikenal sejak
abad 19. Pada tahun 1845 Virchow pertama kali mengemukakan adanya
tiga faktor utama yang memegang peranan dalam patogenesis trombosis
yaitu kelainan dinding pembuluh darah, perubahan aliran darah dan
perubahan daya beku darah. Ketiga faktor tersebut disebut Triad of
Virchows. Pada waktu itu peranan trombosit dalam patogenesis
trombosis belum diketahui. Baru pada tahun 1875 Zahn menemukan
adanya akumulasi trombosit pada arteri yang terluka.1,12
Gambar 3.1. Triad of virchows12
Berdasarkan triad of virchows terdapat tiga faktor yang berperan
dalam patofisiologi trombosis, yaitu kelainan dinding pembuluh
darah, perubahan aliran darah dan perubahan daya beku darah. Ketiga
faktor tersebut saling berkaitan, tetapi besarnya peranan
masing-masing faktor tidak sama. Pada trombosis arteri faktor yang
paling penting adalah kelainan dinding pembuluh darah, sedang pada
trombosis vena yang terpenting adalah adanya stasis dan
hiperkoagulabilitas.1,123.1 Perubahan aliran darahPembuluh darah
bukan merupakan saluran tunggal yang lurus, tetapi
bercabang-cabang. Adanya pola percabangan ini menyebabkan aliran
darah di dalamnya juga mengikuti pola percabangan. Trombosis arteri
sering dimulai pada orifisium dan daerah percabangan, karena di
tempat tersebut terjadi perubahan aliran darah. Daya hemodinamik
sendiri dapat menyebabkan kerusakan endotel, selain itu perubahan
aliran darah akan menimbulkan akumulasi zat-zat yang terdapat
merusak dinding pembuluh darah.2Pada vena, aliran darah cenderung
lambat, bahkan dapat terjadi stasis pada vena di tungkai yang
mengalami immobilisasi. Stasis ini mengakibatkan gangguan
mekanismen pembersih sehingga menimbulkan akumulasi faktor-faktor
pembekuan yang aktif. Trombosis vena biasanya mulai di tempat yang
mengalami stasis, misalnya pada daerah antara dinding vena dan
katub yang disebut valve-pocket thrombi.2Kecepatan aliran darah
dipengaruhi oleh viskositas darah. Faktor-faktor yang menentukan
viskositas darah adalah nilai hematokrit, kemampuan eritrosit untuk
berubah bentuk serta kadar fibrinogen dan protein-protein lain yang
bermolekul besar. Bila nilai hematokrit naik dari 40% menjadi 50%
maka viskositas naik dua kali. Untuk melewati pembuluh darah yang
kecil, eritrosit harus mampu merubah bentuknya. Kemampuan berubah
bentuk ini tergantung dari sifat membran eritrosit. Protein yang
bermolekul besar seperti fibrinogen dan makroglobulin, maupun
interaksinya dengan sel-sel darah sangat mempengaruhi viskositas.
Interaksi eritrosit dengan protein-protein tersebut mengakibatkan
pembentukan rouleaux yang akan meningkatkan viskositas darah.23.2
Peranan Pembuluh DarahSemua pembuluh darah, baik arteri, vena
maupun kapiler dilapisi oleh endotel pada permukaan yang menghadap
ke lumen. Endotel yang utuh bersifat non trombogenik. Hal ini
disebabkan oleh beberapa substansi yang dihasilkan oleh endotel
yaitu prostasiklin (PGI2), proteoglikan, enzim ADPase, aktivator
plasminogen dan trombomodulin.2,12PGI2 adalah metabolit
prostaglandin yang merupakan penghambat agregasi trombosit yang
kuat. Mekanisme penghambatan ini melalui perangsangan adenilat
siklase yang akan meningkatkan siklik AMP. Pembentukan PGI2 oleh
endotel dirangsang antara lain oleh trombolin dan trauma mekanik.
Pada bercak aterosklerotik pembentukan PGI2 berkurang. Demikian
juga pada diabetes melitus, haemolytic uremic syndrome, thrombotic
thrombocytopenic purpura, pre eklamsia, perokok dan adanya
antikoagulan lupus.2,12Dinding pembuluh darah mengandung beberapa
proteoglikan yaitu dermatan sulfat, heparan sulfat, chondroitin 4
sulfat, condroitin 6 sulfat dan asam hialuronat. Diantara zat-zat
ini ada yang dapat menghambat agregasi trombosit. Heparan sulfat
dan dermatan sulfat dapat berperan seperti heparin dalam
meningkatkan inaktivasi trombin oleh antitrombin. Adanya enzim
ADPase pada dinding pembuluh darah ikut mencegah pembentukan
trombous dengan menghilangkan efek proagregasi ADP. Endotel dapat
melepaskan aktivator plasminogen yang akan mengaktifkan plasminogen
menjadi plasmin yang selanjutnya akan memecah fibrin. Pelepasan
aktivator plasminogen dirangsang oleh stimulus yang bersifat
vasoaktif baik lokal maupun sistemik seperti iskemia, trombin,
bradiklin, asetikolin, histamin, serotonin dan epinefrin. Kerusakan
endotel pembuluh darah menyebabkan aktivator plasminogen berkurang.
Endotel kapiler mengandung paling banyak aktivator plasminogen dari
pada vena pada lengan, karena itu trombosis vena lebih sering
terjadi pada tungkai dari pada lengan. Trombomodulin adalah protein
yang berfungsi sebagai kofaktor dalam aktivasi protein C oleh
trombin. Protein C aktif berfungsi sebagai antikoagulan dengan
memecah F Va dan F VIIIa serta meningkatkan fibrinolisis.2Cedera
minimal yang kronis dapat menyebabkan disfungsi endotel yaitu
perubahan fungsi endotel yang disebabkan oleh stres oksidatif
misalnya radikal bebas akibat rokok sigaret, stres hemodinamik
misalnya hipertensi maupun oleh penyebab lain seperti dislipidemia,
diabetes melitus, kelainan genetik, peningkatan kadar homosistein
dan infeksi mikroorganisme seperti virus herpes dan chlamidya
pneumaniae.2,12Pada trombosis vena, kerusakan endotel tidak
memegang peranan penting, kecuali pada trombosis vena femoralis
yang terjadi setelah operasi panggul. Pada operasi ini terjadi
kerusakan jaringan yang luas dan melibatkan vena. Selain efek
mekanik tindakan operasi, pemakaian alat protese juga dapat merusak
dinding vena dan kerusakan ini berlangsung relatif lama. Penurunan
tonus vena yang terjadi pada kehamilan dan pemakaian pil
kontrasepsi akan menimbulkan stasis sehingga memudahkan terjadinya
trombosis. Diduga hal ini karena efek ekstrogen.2,123.3 Perubahan
Daya Beku DarahDalam keadaan normal terdapat keseimbangan dalam
sistem pembekuan darah dan sistem fibrinolisis maupun antara kedua
sistem tersebut. Kecenderungan trombosis timbul bila aktivitas
sistem pembekuan darah meningkat dan atau aktivitas sistem
fibrinolisis menurun.2,12Menurut beberapa peneliti, darah
penderita-penderita trombosis lebih cepat membeku dibandingkan
orang normal. Keadaan tersebut disebut hiperkoagulabilitas.
Ternyata pada penderita-penderita tersebut dijumpai trombositosis
dan peningkatan kadar berbagai faktor pembekuan terutama
fibrinogen, FV, VII, VIII dan X. Timbulnya trombosis vena dapat
diinduksi dengan menyuntikkan serum ke dalam vena yang stasis,
sedangkan stasis saja tidak cukup untuk menimbulkan trombosis. Hal
ini menunjukkan bahwa adanya aktivasi ringan sistem pembekuan darah
lebih penting dari pada peningkatan kadar faktor pembekuan darah.
Efek trombogenik serum disebabkan oleh sistem pembekuan darah
merupakan faktor utama pada patofisiologi trombosis vena. Aktivasi
sistem pembekuan darah dapat terjadi karena masuknya tromboplastin
jaringan ke dalam darah seperti operasi, trauma dan keganasan.
Beberapa jenis tumor seperti karsinoma pankreas dapat menimbulkan
kecenderungan trombosis vena adalah defisiensi AT, defisiensi
protein C, defisiensi protein S, disfibrinogenemia kongenital,
defisiensi F XII dan kelainan struktur plasminogen.2,12Defisiensi
AT dapat terjadi secara bawaan maupun didapat. AT berfungsi
menetralkan trombin, VIIa, IXa, Xa, XIa dan XIIa. Pada defisiensi
AT, maka faktor-faktor pembekuan yang aktif tidak dinetralkan
sehingga kencendrungan trombosis meningkat. Pada defisiensi AT
bawaan, terjadi trombosis vena berulang yang dimulai sejak usia
muda. Defisiensi AT yang didapat, dijumpai pada sirosis hati,
sindroma nefrotik, pemakai pil kontrasepsi, setelah trombosis yang
luas dan setelah pengobatan dengan heparin dosis tinggi. AT
disintesis di hati sehingga pada sirosis hati produksinya menurun.
Pada sindroma nefrotik terjadi kehilangan AT melalui urin karena
kebocoran membranaglomeruli. Pada pemakai pil kontrasepsi yang
mengandung estrogen terjadi penurunan aktivitas AT yang bersifat
reversible. Mekanisme terjadinya hal ini belum diketahui dengan
jelas. Setelah trombosis yang luas, AT banyak terpakai untuk
menetralkan faktor-faktor yang aktif sehingga aktivitasnya
berkurang.Demikian pula setelah pengobatan dengan heparin dosis
tinggi AT banyak terpakai karena heparin tidak dapat bekerja tanpa
AT.2,12Protein C adalah suatu protein yang dibentuk di hati dan
pembentukannya memerlukan vitamin K. Protein ini setelah diaktifkan
oleh trombin dengan bantuan trombomodulin dapat menghambat
aktivitas F Va dan F VIIIa serta meningkatkan fibrinolisis. Oleh
karena itu pada defisiensi protein C secara bawaan akan terjadi
trombosis vena yang berulang-ulang. Demikian pula pada defisiensi S
merupakan kofaktor protein C.2,12Pada defisiensi F XII tidak
terdapat gejala perdarahan, melainkan kecenderungan trombosis.
Mungkin hal tersebut berkaitan dengan peranan F XII pada aktivitas
fibrinolisis berkurang. Kelainanan struktur molekul plasminogen
mengakibatkan aktivitas fibrinolisis berkurang sehingga menimbulkan
kecenderungan trombosis.2Trombosit, leukosit dan eritrosit juga
ikut berperan dalam hal menimbulkan trombosis, karena di samping
dapat mengeluarkan oksigen radikal yang dapat merusak endotel,
leukosit juga mengandung tromboplastin. Selain itu leukosit juga
merangsang agregasi trombosit dengan mengeluarkan platelet
activating factor (PAF). Eritrosit banyak mengandung ADP dan
fosfolipid, hal ini mungkin dapat menerangkan terjadinya trombosis
pada penderita paroxysmal nocturnal hemoglobinuria.2,123.4
Faktor-Faktor Risiko Untuk Trombosis VenaBerdasarkan ketiga faktor
yang dijelaskan sebelumnya, faktor utama yang berperan terhadap
terjadinya trombosis vena adalah perubahan aliran darah berupa
statis aliran darah dan perubahan daya beku darah dengan
meningkatnya aktifitas pembekuan darah. Faktor kerusakan dinding
pembuluh darah relatif berkurang berperan terhadap timbulnya
trombosis vena dibandingkan trombosis arteri. Sehingga setiap
keadaan yang menimbulkan statis aliran darah dan meningkatkan
aktifitas pembekuan darah dapat menimbulkan trombosis vena. Faktor
risiko tersebut antara lain:7,8a. Immobilisasib. Tindakan operasi
yang lama
c. Kontrasepsi oral
d. Trauma jaringan yang luase. Keganasan
f. Kehamilang. Antiphospholipid syndrome (APS)h. Activated
protein C resistancei. Defisiensi antitrombinj. Defisiensi protein
C dan protein Sk. Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria
Cushman pada tahun 2007 membagi faktor risiko untuk trombosis
vena antara lain dengan faktor resiko yang bisa dimodifikasi,
faktor resiko yang bersifat temporer dan faktor resiko yang tidak
dapat di modifikasi. Faktor resiko yang bisa dimodifikasi adalah
obesitas, homasistein. Faktor resiko yang bersifat temporer adalah
perawatan di rumah sakit, trauma, immobiltas, cancer dan faktor
resiko yang yang tidak dapat dimodifikasi adalah faktor
genetik.2
American Family Physician tahun 2012 membagi faktor risiko
tromboemboli vena menjadi tiga bagian yaitu, faktor risiko kuat
diantaranya fraktur tungkai, terapi pengganti lutut atau tungkai,
operasi besar, trauma yang luas, dan trauma pada tulang belakang.
Faktor resiko sedang meliputi kemoterapi, penyakit vena sentral,
penyakit jantung congestiv dan gagal nafas, terapi hormon,
keganasan, kontrasepsi oral, stroke, kehamilan, riwayat trombosis
vena sebelumnya dan trombopilia. Faktor risiko lemah meliputi tirah
baring lebih dari tiga hari, immobilisasi karena duduk lebih dari 8
jam seperti pada perjalanan, umur, obesitas, dan varises vena.4BAB
IVDIAGNOSIS TROMBOEMBOLI VENA4.1 Diagnosis Trombosis Vena
DalamAnamnesa dan pemeriksaan fisik merupakan hal yang sangat
penting dalam pendekatan pasien dengan dugaan trombosis. Keluhan
utama pasien dengan trombosis vena dalam adalah kaki yang bengkak,
nyeri, panas dan kemerahan. Pada beberapa kasus, kadang-kadang bisa
bersifat asimtomatis dan tidak mempunyai gejala yang spesifik.
Adanya trauma pada tungkai, infeksi, penyakit arteri perifer,
penyakit vena lainya dapat memiliki klinis yang menyerupai
trombosis vena dalam. Riwayat penyakit sebelumnya merupakan hal
penting karena dapat diketahui faktor resiko dan riwayat trombosis
sebelumnya. Adanya riwayat trombosis dalam keluarga juga merupakan
hal penting.3,4,19,20
Gambar 4.1. Trombosis vena dalam pada tungkai kiri Pada
pemeriksaan fisik, tanda-tanda klinis yang klasik tidak selalu
ditemukan. Gambaran klasik dari trombosis vena dalam adalah edema
tungkai uni lateral, eritema, hangat, nyeri, dapat diraba pembuluh
darah superfisial, dan tanda Hoffman yang pasitif.3,4Menegakkan
diagnosis trombosis vena dari gejala klinis saja terkadang kurang
sensitif dan kurang spesifik karena banyak kasus trombosis vena
yang besar tidak menimbulkan penyumbatan dan peradangan jaringan
perivaskuler sehingga tidak menimbulkan keluhan dan gejala. Oleh
karena itu, pasien yang dicurigai trombosis vena dalam harus
dilakukan penentuan kemungkinan adanya trombosis dahulu. Skor Wells
telah tervalidasi dan digunakan untuk mengkategorisasi pasien
dengan kemungkinan rendah, sedang ataupun tinggi untuk menderita
penyakit ini.4,19,20Tabel 4.1. Skor Wells untuk trombosis vena
dalam4
Peranan pemeriksaan penunjang sangat membantu dalam menegakkan
diagnosis trombosis vena dalam. Pemeriksaan yang dapat dilakukan
untuk menegakkan diagnosis trombosis vena dalam, yaitu pemeriksaan
D-Dimer, ultrasonografi, venografi, Flestimografi impendans, dan
magnetic resonance imaging (MRI). Pemeriksaan D-Dimer bertujuan
untuk mengukur kadar D-Dimer dalam darah. Peningkatan D-Dimer
merupakan indikator adanya trombosis yang aktif. Pemeriksaan ini
sensitif, tetapi tidak spesifik, dan sebenarnya lebih berperan
untuk menyingkirkan adanya trombosis jika hasilnya negatif.
Pemeriksaan ini mempunya sensitifitas lebih dari 95% dengan
spesifisitas yang rendah.4,20,21Dinisio et all (2007) melakukan
studi tentang akurasi pemeriksaan D-Dimer dalam mendiagnosis
tromboemboli vena. Total 217 pasien didiagnosa dengan trombosis
vena dalam. Studi ini menyimpulkan sensitifitas pemeriksaan D-Dimer
dengan metode ELISA pada trombosis vena dalam adalah 94% dengan
spesifisitas 53%.22
Ultrasonografi vena merupakan pemeriksaan pencitraan pilihan
untuk dignosis trombosis vena dalam. Pemeriksaan ini tidak invasif,
aman, relatif tersedia dan tidak mahal. Ada 3 tipe ultrasonografi
vena, yaitu ultrasonografi kompresi, duplex ultrasonografi (
imaging dan doppler ) dan ultrasonografi doppler. Pada akhir abad
ini, penggunaan ultrasonografi berkembang dengan pesat, sehingga
adanya trombosis vena dapat di deteksi dengan ultrasonografi,
terutama ultrasonografi doppler. Pemeriksaan ini menggunakan
gelombang suara untuk membentuk gambaran aliran darah melalui
pembuluh darah arteri dan pembuluh darah vena pada tungkai yang
terkena. Pemeriksaan ini memberikan hasil sensivity 95% dan
spesifity 93,9%. 20,21
Venografi masih merupakan pemeriksaan standar untuk trombosis
vena. Akan tetapi teknik pemeriksaannya relatif sulit, mahal dan
bisa menimbulkan nyeri dan terbentuk trombosis baru sehingga tidak
menyenangkan penderitanya. Prinsip pemeriksaan ini adalah
menyuntikkan zat kontras ke dalam di daerah dorsum pedis dan akan
kelihatan gambaran sistem vena di betis, paha, inguinal sampai ke
proksimal vena iliaca. Pemeriksaan ini tidak terlalu
direkomendasikan, dan dilakukan ketika kecurigaan adanya trombosis
vena dalam tidak ditemukan dengan pemeriksaan
non-invasif.4,21Prinsip pemeriksaan Flestimografi impendans adalah
mengobservasi perubahan volume darah pada tungkai. Pemeriksaan ini
lebih sensitif pada tombosis vena femoralis dan iliaca dibandingkan
vena di betis. Pemeriksaan ini memiliki sensitifitas 91% dan
spesifisitas 96%.4,21Pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI)
merupakan salah satu modalitas diagnostik yang sangat sensitif
untuk mendeteksi adanya trombosis vena dalam pada pelvis dan
extremitas atas. Pemeriksaan ini merupakan pilihan utama pada
pasien dicurigai trombosis vena dalam pada vena iliaka atau vena
cava ketika CT venografi kontra indikasi. Pemeriksaan ini tidak
memeliki resiko radiasi, akan tetapi masih merupakan pemeriksaan
yang mahal.21American Family Physician pada tahun 2012 mengeluarkan
algoritma diagnosis trombosi vena dalam. Dalam algoritma ini,
pasien yang dicurigai menderita trombosis vena dalam dilakukan
pemeriksaan skor Wells untuk melihat resiko terjadinya trombosis
vena dalam. Setelah itu, pemeriksaan D-dimer dan ultrasonografi
kompresi sangat memiliki peranan penting.4
Gambar 4.2. Algoritma diagnosis trombosis vena dalam44.2
Diagnosis Emboli Paru
Diagnosis trombosis vena dalam dapat ditegakkan berdasarkan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Pada emboli paru pasien umumnya mengeluh nyeri dada mendadak, sesak
nafas, hemoptisis, banyak keringat dan gelisah. Pada kasus-kasus
emboli paru yang masiv bisa menyebabkan kegagalan hemodinamik
berupa hipotensi dan syok. Pada kasus-kasus emboli paru yang
minimal yang hanya segmental dan subsegmental kadang hanya
menimbulkan keluhan yang minimal dan bahkan asimtomatis.
Keluhan-keluhan ini dapat menyerupai nyeri dada pada sindrom
koroner akut, sehingga diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
evaluasi yang lebih cermat.3,4,21Tabel 4.2. Keluhan pada emboli
paru6
Kecurigaaan adanya emboli paru bisa dinilai dengan pemeriksaan
prediksi klinik. Ada beberapa pemeriksaan prediksi klinik yang bisa
dilakukan, yaitu skor wells untuk emboli paru, skor Geneva , PERC
(pulmonary embolism rule-out criteria) dan PISA-PED (prospective
investigative studi of acute pulmonary embolism diagnosis).
Diantara semua skor tersebut, tidak ada kriteria tunggal yang lebih
superior. Akan tetapi skor Wells sudah digunakan secara luas untuk
memprediksi adanya emboli paru.4 Tabel 4.3. Skor Wells untuk emboli
paru4
Pemeriksaan penunjang sangat dibutuhkan untuk menegakkan
diagnosis emboli paru. Beberapa pemeriksaan penunjang seperti
laboratorium, radiologi dan elekrokardiografi dapat membantu
menegakkan diagnosa. Peningkatan D-Dimer merupakan indikator adanya
trombosis yang aktif. Pemeriksaan ini sensitif, tetapi tidak
spesifik, dan sebenarnya lebih berperan untuk menyingkirkan adanya
trombosis jika hasilnya negatif. Pemeriksan D-Dimer tidak dapat
digunakan secara tunggal untuk memprediksi adanya emboli paru,
karena memiliki spesifisitas yang rendah, karena D-Dimer juga dapat
meningkat pada kondisi seperti adanya kanker, inflamasi,
perdarahan, trauma, operasi dan nekrosis jaringan.3,5
Dinisio et all (2007) melakukan studi tentang akurasi
pemeriksaan D-Dimer dalam mendiagnosis tromboemboli vena. Total 111
pasien didiagnosa dengan trombosis vena dalam. Studi ini
menyimpulkan sensitifitas pemeriksaan D-Dimer dengan metode ELISA
pada trombosis vena dalam adalah 95% dengan spesifisitas 50%.22
Troponin baik itu troponin I dan troponin T dapat diasosiasikan
dengan kemungkinan prognosis pada emboli paru akut. Pada beberapa
penelitian didapatkan adanya hubungan antara peningkatan troponin
dengan angka mortalitas pada emboli paru. Selain itu, peningkatan
natriuretic peptide baik itu brain natriuretic peptide (BNP) maupun
N-terminal pro-BNP memiliki prediksi tingginya angka
mortalitas.6
Henzler et all (2012) mengadakan penelitian terhadap 557 orang
pasien dengan kecurigaan emboli paru, disamping dilakukan
pemeriksaan CT angiografi, juga dilakukan pemeriksaan
ekhocardiografi dan NT-proBNP serta troponin I, menyimpulkan bahwa
kombinasi pemeriksaan dengan pengukuran kadar NT-proBNP dan
troponin I menambah akurasi adanya kegagalan ventrikel kanan pada
emboli paru akut.23
Foto rontgen toraks biasanya menunjukkan kelainan, walaupun
tidak jelas, non spesifik dan tidak memastikan diagnosis. Gambaran
yang nampak berupa atelektasis atau infiltrat. Gambaran lain dapat
berupa konsolidasi, perubahan letak diafragma, penurunan gambaran
vaskuler paru, walaupun dapat dijumpai normal pada 40%
kasus.3Temuan elektrokardiografi tidak spesifik. Elektrokardiogram
normal tidak menyingkirkan diagnosis emboli paru, bila ditemukan
perubahan, seringkali dapat berupa:6a. Sinus takikardi atau atrial
aritmia
b. Low voltage
c. Q wave di lead III dan AVF (pseudoinfarction)
d. S1Q3T3 pattern
e. Qr pattern di V1
f. P pulmonal
g. Right axis deviasi
h. QT prolongation
i. RBBB komplit atau inkomplit
Pada emboli paru akut, adanya overload dan peningkatan tekanan
serta disfungsi ventrikel kanan dapat dideteksi dengan pemeriksaan
ekhokardiografi. Pemeriksaan ekhokardiografi tidak terlalu
spesifik, karena disfungsi ventrikel kanan bisa saja disebabkan
oleh penyakit lain seperti penyakit paru kronik dan hasil yang
negatif pada ekhokardiografi tidak dapat menyingkirkan adanya
emboli paru. Hasil yang positif pada pemeriksaan ekhokardiografi
juga menunjukan buruknya prognasis pasien dengan meningkatnya angka
mortalitas.5,6
Multidetektor Computed Tomografi (CT) angiografi merupakan
modalitas diagnosis imaging utama pada pasien dengan emboli paru di
Amerika Serikat. Pemeriksaan ini digunakan pada pasien yang
dicurigai menderita emboli paru dengan D-dimer positif atau dengan
tinggi pada pemeriksaan prediksi klinis emboli paru. Pemeriksaan
ini dilaporkan memiliki validitas yang sama dengan diagnosis emboli
paru dengan pulmonari angiografi konvensional dan ventilasi-perfusi
(V/Q) scaning. Pada pasien dengan intermediet dan resiko tinggi
emboli paru, pemeriksaan CT angiografi memiliki nilai prediksi
positif 92-96%.4,5
Stein et all (2006) mengadakan penelitian terhadap penggunaan CT
angiografi pada pasien dengan emboli paru akut. Sebanyak 824 pasien
yang diikutkan dalam studi ini didapatkan hasil CT angiografi
memiliki sensitifitas 83% dengan spesifisitas 96% dan ini lebih
meningkat lagi jika dikombinasikan dengan CT pada fase vena.24
Anderson et all (2007) mengadakan penelitian membandingkan CT
angiografi dengan Ventilasi-Perfusi (V/Q) Lung Scaning pada 1.417
pasien emboli paru akut. Studi ini menyimpulkan CT angiografi tidak
inferior jika dibandingkan dengan Ventilasi-Perfusi (V/Q) Lung
Scaning untuk mendiagnosis emboli paru.25
Pulmonari angiografi sudah lama menjadi standar pemeriksaan
untuk diagnosis emboli paru. Namun, pemeriksaan ini sekarang sudah
jarang dilakukan karena pemeriksaan CT angiografi lebih kurang
invasif tapi memberikan hasil akurasi yang sama dengan pemeriksaan
pulmonari angiografi. Pulmonari angiografi sering digunakan pada
penatalaksaan emboli akut langsung dengan kateter perkutaneus.
Diagnosis emboli paru ditegakkan dengan menilai adanya trombus yang
terlihat dengan gambaran filling defect atau terputusnya
cabang-cabang arteri pulmonalis.4,5
American Family Physician tahun 2012 merekomendasikan skema
diagnosis emboli paru. Pada skema ini digambarkan pentingnya
penilaian awal terhadap kemungkinan trombosis dan diikuti dengan
pemeriksaan penunjang lainnya.4
Gambar 4.3. Algoritma diagnosis emboli paru4BAB VPENATALAKSANAAN
TROMBOEMBOLI VENA5.1 Penatalaksanaan Trombosis Vena
DalamPenatalaksanaan trombosis vena dalam harus segera dilakukan
setelah diagnosis ditegakkan. Tujuan terapi trombosis vena dalam
adalah:3,21 Menghentikan bertambahnya trombus
Membatasi bengkak yang progresif pada tungkai
Melisiskan atau membuang trombus dan mencegah disfungsi vena
sindrom pasca trombosis
Mencegah terjadinya emboli
5.1.1 Terapi Antikoagulan
Antikoagulan merupakan terapi utama pada kasus-kasus
tromboemboli vena. Ada beberapa jenis antikoagulan yang dapat
digunakan pada terapi trombosis vena dalam, diantaranya,
unfractionated heparin (UFH), low molecular weight heparin,
fondaparinux, vitamin K antagonis, dan antikoagulan oral baru.
Unfractionated heparin (UFH) sudah lama digunakan sebagai terapi
trombosis vena dalam pada saat awal. Mekanisme kerja obat ini
adalah dengan meningkatkan kerja antitrombin III sebagai inhibitor
faktor pembekuan dan melepaskan tissue factor pathway inhibitor
(TFPI) dari dinding pembuluh darah. Terapi ini diberikan dengan
bolus 80 IU/kgBB intravena dilanjutkan dengan infus 18 IU/kgBB
dengan pemantauan nilai activated partial tromboplastin time (APTT)
sekitar 6 jam setelah bolus untuk mencapai target APTT 1,5-2,5 kali
nilai kontrol dan kemudian dipantau sedikitnya setiap hari.
3,6,26
Pemberian UFH dapat diberikan 5-7 hari. UFH dapat dihentikan
setelah 4-5 hari pemberian kombinasi dengan warfarin dengan INR
2.0-3.0. Sebelum memulai terapi UFH, APTT, protrombin time (PT),
dan jumlah trombosit harus diperiksa, terutama pada pasien dengan
resiko perdarahan yang tinggi atau dengan gangguan hati dan ginjal.
Berikut adalah tabel dosis UFH berdasarkan nilai APTT dan berat
badan pasien:6Tabel. 5.1. Dosis UFH berdasarkan nilai APTT dan
berat badan
Low molecular weight heparin (LMWH) merupakan antikoagulan
parenteral bekerja lebih besar pada inhibitor faktor Xa dan sedikit
efek pada antitrombin III dalam hal sebagai antikoagulan. LMWH
dapat diberikan satu atau dua kali sehari secara subkutan dan
mempunyai efikasi yang baik. American Heart Association (AHA) pada
tahun 2011 merekomendasikan pemberian LMWH dengan dosis
1mg/kgBB/hari subkutan 2 kali sehari atau 1,5 mg/kg satu kali per
hari. Keuntungan dari LMWH adalah resiko perdarahan yang lebih
kecil dan tidak memerlukan pemantauan laboratorium yang sering
dibanding UFH, kecuali pada pasien tertentu seperti gagal ginjal
dan obesitas.3,6
Fondaparinux merupakan sintetik pentasakarida analog yang
bekerja sebagai inhibitor faktor Xa secara tidak langsung. American
Heart Association pada tahun 2011 merekomendasikan pemberian dosis
5 mg sekali sehari untuk pasien dengan berat badan < 50 kg dan
7,5 mg untuk pasien 50-100 kg secara subkutan.6,21
Pemberian antikoagulan parenteral merupakan pilihan utama pada
penatalaksanaan awal trombosis vena dalam. American Heart
Association pada tahun 2011 memberikan rekomendasi yang sama kepada
ketiga antikoagulan parenteral, yaitu UFH, LMWH, dan fondaparinux
untuk terapi inisial pada trombosis vena dalam. Japanese
Circulation Society pada tahun 2009 dan American Family Physician
pada tahun 2012 merekomendasikan pemberian UFH untuk terapi inisial
pada trombosis vena dalam, LMWH dan fondaparinux merupakan
alternatif ketika ada kontraindikasi pemberian UFH.4,6,27
Pemberian antikoagulan vitamin K antagonis sebagai terapi awal
pada trombosis vena dalam tidak direkomendasikan. Obat ini
diberikan bersamaan sagera setelah koagulan parenteral diberikan
dengan pemantauan international normalised ratio (INR). Target INR
dari terapi warfarin adalah 2.0-3.0. Lama pemberiannya sangat
bervariasi, tergantung pada faktor resiko trombosis vena dalam pada
pasien tersebut. Berikut adalah tabel dosis warfarin sesuai dengan
target INR 3,11,21Tabel 5.2. Dosis warfarin sesuai dengan target
INR
Penelitian mengenai penggunaan antikoagulan oral baru sudah
banyak dilakukan sebagai terapi tromboemboli vena. Antikoagulan
oral baru terdiri dari direct trombin inhibitor seperti darbigtran
dan anti Xa seperti seperti rivaroxaban, apixaban dan edoxaban.
Beberapa studi yang dilakukan didapatkan kesimpulan bahwa
antikoagulan baru memiliki efek yang sama sama bagusnya dalam hal
sebagai terapi tromboemboli vena dan bahkan lebih bagus mengurangi
efek samping perdarahan pada pasien.27
Buller et all (2013) pada studi The Hokusai-VTE di Amerika
Serikat mengadakan penelitian secara random terhadap 4.921 pasien
yang mengalami trombosis vena dalam dan 3.319 pasien dengan emboli
paru yang telah mendapat terapi inisial dengan heparin,
membandingkan pemberian edoxaban 60 mg sekali sehari, dibandingkan
dengan terapi standar warfarin. didapatkan hasil bahwa pemberian
terapi edoxaban setelah terapi inisial dengan heparin tidak
inferior dibandingkan dengan terapi standar warfarin dan secara
signifikan menurunkan angka efek samping perdarahan pada pemberian
antikoagulan.28
Wang et all (2013) mengadakan penelitian di China terhadap 439
orang pasien dengan tromboemboli vena membandingkan pemberian
rivaroxaban dengan terapi standar enoxaparin yang dilanjutkan
dengan pemberian vitamin K antagonis. Studi ini menyimpulkan bahwa
rivaroxaban memiliki efikasi yang sama dengan terapi standar pada
pasien dengan tromboemboli vena.29
Yamada et all (2014) melakukan penelitian di Jepang terhadap 81
orang dengan tromboemboli vena membandingkan pemberian rivaroxaban
dengan terapi standar unfractioned heparin (UFH) yang dilanjutkan
dengan pemberian vitamin K antagonis. Studi ini menyimpulkan bahwa
rivaroxaban memiliki efikasi yang sama dengan terapi standar pada
pasien dengan tromboemboli vena.30
Bauersachs et all (2014) mengadakan penelitian membandingkan
pemberian rivaroxaban dengan terapi standar enoxaparin / vitamin K
antagonis pada pasien dengan tromboemboli vena dengan gangguan
ginjal. Studi ini menyimpulkan bahwa pasien tromboemboli vena
dengan gangguan ginjal memiliki resiko tinggi untuk terjadinya
rekurensi. Gangguan ginjal juga meningkatkan resiko perdarahan pada
terapi tromboemboli vena dengan enoxapari / vitamin K antagonis,
tetapi resiko ini berkurang jika diterapi dengan
rivaroxaban.315.1.2 Terapi Trombolitik
Terapi ini bertujuan untuk melisiskan trombus secara cepat
dengan cara mengaktifkan plasminogen menjadi plasmin. Trombolitik
yang biasa digunakan adalah tissue plasminogen actvator,
streptokinase, dan urokinase. Terapi ini jarang dilakukan dan
umumnya hanya efektif pada fase awal dan penggunaanya harus
benar-benar dipertimbangkan secara baik karena mempunyai efek
resiko perdarahan tiga kali lipat dibandingkan dengan teerapi
antikoagulan saja. Pada umumnya terapi ini hanya dilakukan pada
trombosis vena dalam dengan oklusi total, terutama pada
iliofemoral.3,215.1.3 Terapi Kompresi
Terapi kompresi dengan menggunakan stoking elastis bertujuan
untuk mencegah stasis vena, mengurangi bengkak dan nyeri pada
tungkai, sebagai preventif timbulnya trombus baru dan mencegah
timbulnya sindrom pos trombosis. Pemasangan stoking elastis dengan
tekanan 30-40 mmHg pada ankel kaki sampai pangkal paha. Terapi ini
dapat diberikan secara bersamaan dengan terapi lain.10,21
American College of Physician pada tahun 2011 tidak
merekomendasikan terapi kompresi dengan elastis stoking pada
trombosis vena dalam, sedangkan Japanese Circulation Society tahun
2009 dan American Heart Association pada tahun 2011, tetap
merekomendasikan terapi kompresi pada pasien trombosis vena
dalam.6,16,275.1.4 Trombektomi
Indikasiopen surgical thrombectomy antara lain adalah trombosis
vena iliofemoral akut tetapi terdapat kontraindikasi trombolitik
atau gagal dengan trombolitik maupunmechanical thrombectomy, lesi
yang tidak dapat diakses oleh kateter, lesi dimana trombus sukar
dipecah dan pasien yang dikontraindikasikan untuk penggunaan
antikoagulan. Setelah tindakan pembedahan, heparin diberikan selama
5 hari dan pemberian warfarin harus dimulai 1 hari setelah operasi
dan dilanjutkan selama 6 bulan setelah pembedahan. Untuk hasil yang
maksimal tindakan pembedahan sebaiknya dilakukan kurang dari 7 hari
setelah onset trombosis vena dalam.265.2 Penatalaksanaan Emboli
Paru
Emboli paru merupakan salah satu kegawatdaratan medis yang harus
ditangani dengan segera. Kegagalan jantung kanan akut menyebabkan
menurunnya perfusi sistemik yang meningkatkan angka kematian pada
pasien emboli paru. Keadaan ini menyebabkan kita untuk menjaga
keadaan vital pasien sebagai akibat dari kegagalan jantung kanan
pada emboli paru. Penelitian yang mengindikasikan pemberian cairan
yang agresif tidak menguntungkan dan bahkan tambah memburuknya
fungsi jantung kanan. Pemberian vasopresor sangat diperlukan dan
bisa diberikan bersamaan dengan terapi lain terhadap emboli paru
untuk menstabilkan hemodinamik. Pemberian oksigen untuk mencegah
terjadinya hipoksemia juga diperlukan.55.2.1 Terapi
Antikoagulan
Pada pasien dengan emboli paru, antikoagulan merupakan terapi
utama yang direkomendasikan. Lama pemberian antikoagulan minimal
selama 3 bulan. Pada fase akut, antikoagulan parenteral yang paling
direkomendasikan. Antikoagulan parenteral yaitu UFH, LMWH dan
fondaparinux yang diberikan selama 5-10 hari. Pemberian terapi
antikogulan parenteral harus diberikan bersamaan dengan terapi
koagulan oral sebelum dilanjutkan dengan terapi antikoagulan oral
tunggal.5
Unfractionated heparin (UFH), LMWH, dan fondaparinux merupakan
antikoagulan parenteral yang digunakan pada terapi awal pada emboli
paru. Dosis dan lama pemberian sama dengan pemberian antikogulan
parenteral pada trombosis vena dalam. UFH diberikan dengan dosis
awal bolus 80 IU/kgBB intravena dilanjutkan dengan infus 18 IU/kgBB
dengan pemantauan nilai activated partial tromboplastin time (APTT)
sekitar 6 jam setelah bolus untuk mencapai target APTT 1,5-2,5 kali
nilai kontrol dan kemudian dipantau sedikitnya setiap hari. LMWH
dengan dosis 1mg/kgBB/hari subkutan 2 kali sehari atau 1,5 mg/kg
satu kali per hari. Fondaparinux diberikan dengan ndosis 5 mg
sekali sehari untuk pasien dengan berat badan < 50 kg dan 7,5 mg
untuk pasien 50-100 kg secara subkutan.5,6,26
European Society of Cardiology pada tahun 2014 dan American
Heart Association pada tahun 2011 memberikan rekomendasi yang sama
kepada ketiga antikoagulan parenteral, yaitu UFH, LMWH, dan
fondaparinux untuk terapi inisial pada emboli paru. Japanese
Circulation Society pada tahun 2009 dan American Family Physician
pada tahun 2012 merekomendasikan pemberian UFH untuk terapi inisial
pada emboli paru, LMWH dan fondaparinux merupakan alternatif ketika
ada kontraindikasi pemberian UFH.4,5,6,27
Pemberian antikoagulan vitamin K antagonis sebagai terapi awal
pada emboli paru tidak direkomendasikan. VKA merupakan obat
antiokoagulan standar yang sudah ada sejak 50 tahun yang lalu. Obat
ini diberikan bersama-sama saat terapi koagulan parenteral
sedikitnya 5 hari dengan pemantauan international normalised ratio
(INR). Target INR dari terapi warfarin adalah 2.0-3.0. Lama
pemberiannya sangat bervariasi, tergantung pada faktor resiko
emboli paru pada pasien tersebut.5,6
Penelitian mengenai penggunaan antikoagulan oral baru sudah
banyak dilakukan sebagai terapi tromboemboli vena. Antikoagulan
oral baru terdiri dari direct trombin inhibitor seperti darbigtran
dan anti Xa seperti seperti rivaroxaban, apixaban dan edoxaban.
Beberapa studi yang dilakukan didapatkan kesimpulan bahwa
antikoagulan baru memiliki efek yang sama sama bagusnya dalam hal
sebagai terapi emboli paru dan bahkan lebih bagus mengurangi efek
samping perdarahan pada pasien.27
Buller et all (2012) pada studi The EINSTEIN-PE di Amerika
Serikat mengadakan penelitian secara random terhadap 4.832 pasien
yang mengalami emboli paru akut baik dengan atau tanpa trombosis
vena dalam dan membandingkan pemberian rivaroxaban 15 mg 2 kali
sehari selama 3 minggu kemudian dilanjutkan dengan 20 mg sekali
sehari, dibandingkan dengan terapi standar dengan enoxaparin yang
dilanjutkan dengan pemberian vitamin K antagonis didapatkan hasil
bahwa terapi emboli paru dengan rivaroxaban tidak inferior
dibandingkan dengan terapi standar enoxaparin.28
Schulman et all (2014) mengadakan penelitian terhadap 2.589
pasien yang mengalami tromboemboli vena akut yang diberikan terapi
dengan antikoagulan parenteral selama 5-10 hari. Studi ini
membandingkan pemberian dabigatran 150 mg 2 kali sehari
dibandingkan dengan warfarin setelah pemberian terapi antikoagulan
parenteral, didapatkan hasil bahwa dabigatran memiliki efikasi yang
sama dengan warfarin dan menurunkan risiko perdarahan.32
Agnelli et all (2013) mengadakan penelitian terhadap 5.395
pasien yang mengalami tromboemboli vena akut. Studi ini
membandingkan pemberian apixaban 10 mg 2 kali sehari selama 7 hari
dan dilanjutkan dengan 5 mg 2 kali sehari selama 6 bulan
dibandingkan dengan terapi konvensional, didapatkan hasil bahwa
apixaban tidak inferior dibandingkan dengan terapi konvensional
pada terapi tromboemboli vena dan secara siknifikan menurunkan
risiko perdarahan.33
5.2.2 Terapi Trombolitik
Terapi trombolitik merupakan salah satu modalitas terapi pada
tromboemboli paru. Penggunaan terapi harus dengan pertimbangan yang
klinis yang ketat. Efek samping perdarahan pada terapi trombolitik
meningkat 3 kali lipat dibandingkan dengan terapi anti koagulan.
Untuk menghindari efek samping perdarahan pada terapi trombolitik,
ada beberapa kondisi yang menjadi kontra indikasi terapi
trombolitik, diantaranya perdarahan yang aktif, riwayat perdarahan
intrakranial spontan, operasi dalam 10 hari sebelumnya dan strok
iskemik dalam 2 bulan terakhir. Indikasi pemberian terapi
trombolitik pada emboli paru adalah emboli paru yang masif dengan
hemodinamik yang tidak stabil yang ditandai dengan disfungsi
ventrikel kanan yang dapat dilihat pada ekhokardiografi. Japanese
Circulation Society tahun 2011 tetap merekomendasikan pemberian
intravena monteplase dengan dosis 13.750-27.500 unit/kgBB selama 2
menit. Sedangkan American Heart Association tahun 2011
merekomendasikan pemberian intra vena alteplase 100 mg selama 2
jam.6,265.2.3 Operasi Embolektomi
Operasi embolektomi dilakukan pada pasien dengan emboli paru
yang masif dengan hemodinamik yang stabil serta kontra indikasi
pemberian trombolitik atau gagal terapi trombolitik. Emboli
biasanya menutupi cabang-cabang utama dari arteri pulmonalis,
sehingga menimbulkan kegagalan sirkulasi. Pada kondisi seperti
operasi embolektomi bisa menjadi salah satu modalitas terapi ketika
terapi trombolitik gagal atau kontraindikasi. Pada sebuah studi
baru-baru ini, terdapat 47 pasien yang dilakukan operasi
embolektomi dengan 96% survival rate dalam 4 tahun.6,265.2.4 Filter
vena cava inferior
Filter vena cava inferior diindikasikan pada pasien
kontraindikasi absolut penggunaan antikoagulan, gagal terapi
antikoagulan. Absolut kontraindikasi antikoagulan meliputi
perdarahan intraserebral, perdarahan saluran cerna, batuk darah
yang masiv, CNS trauma, trombositopeni signifikan (