Page 1
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN.................................................................................................................... 2
BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI...................................................................................................3
BAB III
DEMAM TIFOID................................................................................................................... 10
BAB IV
KESIMPULAN........................................................................................................................30
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................31
1
Page 2
BAB I
PENDAHULUAN
Infeksi Salmonella terjadi di seluruh dunia dengan Enteritis akut merupakan
presentasi yang paling sering ditemukan yang biasanya bersifat self limiting disease. Namun,
bakteremia dan infeksi ekstrakranial fokal dapat terjadi, terutama pada pasien yang
mengalami supresi sistem imun. Kelompok ini menjadi lebih penting dan kompleks karena
meningkatnya jumlah anak-anak yang mengidap AIDS, menjalani transplantasi organ, atau
kemoterapi. Demam enterik, atau demam tifoid, adalah penyakit sistemik berat yang klasik
disebabkan oleh Salmonella ser. Typhi (Salmonella typhi) dan ditemukan terutama di negara
berkembang, tetapi masih tetap ditemui di seluruh dunia..
Pada tahun 1813 Bretoneau melaporkan pertama kali tentang gambaran klinis dan
kelainan anatomis dari demam tifoid, sedangkan Cornwalls Hewett (1826) melaporkan
perubahan patologisnya. Pada tahun 1829 Pierre Louis (Perancis) mengeluarkan istilah
typhoid yang berarti seperti typhus. Baik kata typhoid maupun typhus berasal dari kata
Yunani typhos yang berarti asap/kabut. Terminologi ini dipakai pada penderita yang
mengalami demam disertai kesadaran yang terganggu. Baru pada tahun 1837 William Word
Gerhard dari Philadelphia dapat membedakan tifoid dari typhus. Pada tahun 1880 Eberth
menemukan Bacillus typhosus pada sediaan histologi yang berasal dari kelenjar limfe
mesenterial dan limpa. Pada tahun 1884 Gaffky berhasil membiakkan Salmonella typhi, dan
memastikan bahwa penularannya melalui air dan bukan udara. Pada tahun 1896 A. Pfeifer
berhasil pertama kali menemukan kuman Salmonella dari feses penderita, kemudian Haeppe
menemukan kuman Salmonella di dalam urin, dan R. Neuhauss menemukan kuman
Salmonella di dalam darah. Pada tahun yang bersamaan Widal berhasil memperkenalkan
diagnosis serologis demam tifoid. Pfeifer dan Wright mencoba vaksinasi terhadap demam
tifoid. Pada era 1970 dan 1980 mulai dicoba vaksin oral yang berisi kuman hidup yang
dilemahkan dan vaksin suntik yang berisi Vi kapsul polisakarida. Pada tahun 1948
Woodward dkk di Malaysia menemukan bahwa kloramfenikol adalah efektif untuk
pengobatan penyakit demam tifoid.1,2
BAB II
2
Page 3
ANATOMI DAN FISIOLOGI
ANATOMI SALURAN PENCERNAAN
1. Mulut
Mulut adalah suatu rongga terbuka tempat masuknya makanan dan air pada hewan.
Mulut biasanya terletak di kepala dan umumnya merupakan bagian awal dari sistem
pencernaan lengkap yang berakhir di anus.
Bagian-bagian yang terdapat dalam mulut:
Gigi (dens)
Lidah (lingua) adalah kumpulan otot
rangka pada bagian lantai mulut yang
dapat membantu pencernaan makanan
dengan mengunyah dan menelan.
Berfungsi untuk:
1. sebagai indera pengecap/perasa
2. mengaduk makanan di dalam rongga
mulut
3. membantu proses penelanan
4. membantu membersihkan mulut
5. membantu bersuara/berbicara
Ludah (saliva) dihasilkan oleh kelenjar ludah
Kandungan air liur adalah:
Elektrolit: natrium, kalium, kalsium, magnesium, klorida, bikarbonat, fosfat
Mukosa, mukopolisakarida dan glikoprotein;
Senyawaan antibakteri (tiosianat, hidrogen peroksida, dan immunoglobulin A)
Beberapa macam enzim, di antaranya alfa-amilase, lisozim, dan lingual lipase.
Amilase dan lipase berturut-turut memulai pencernaan pati dan lemak sebelum
3
Page 4
makanan ditelan. Enzim-enzim tersebut bekerja optimal pada pH 7,4. Lisozim
berperan dalam lisis bakteri.
Manusia mengeluarkan sekitar 700 ml air liur setiap harinya.
2. Faring
Ada 3 pembagian faring, yaitu :
1. Epifaring (nasofaring).
2. Mesofaring (orofaring).
3. Hipofaring (faringofaring).
3. Esophagus
Esofagus (dari bahasa Yunani: οiσω, oeso - "membawa", dan έφαγον, phagus -
"memakan") atau kerongkongan adalah tabung (tube) berotot pada vertebrata yang dilalui
sewaktu makanan mengalir dari bagian mulut ke dalam lambung. Makanan berjalan melalui
esofagus dengan menggunakan proses peristaltik. Esofagus bertemu dengan faring – yang
menghubungkan esofagus dengan rongga mulut – pada ruas ke-6 tulang belakang. Menurut
histologi, esofagus dibagi menjadi tiga bagian: bagian superior (sebagian besar adalah otot
rangka), bagian tengah (campuran otot rangka dan otot halus), serta bagian inferior (terutama
terdiri dari otot halus).
4. Lambung
Lambung atau ventrikulus berupa suatu
kantong yang terletak di bawah sekat rongga badan.
Lambung dapat dibagi menjadi tiga daerah, yaitu
daerah kardia, fundus dan pilorus. Kardia adalah
bagian atas, daerah pintu masuk makanan dari
kerongkongan . Fundus adalah bagian tengah,
bentuknya membulat. Pilorus adalah bagianbawah,
daerah yang berhubungan dengan usus 12 jari
(duodenum).
4
Page 5
Di dalam lambung, makanan dicerna secara kmiawi. Dinding lambung tersusun dari
tiga lapisan otot, yakni otot melingkar, memanjang dan menyerong. Kontraksi dan ketiga
macam lapisan otot tersebut mengakibatkan gerak peristaltik (gerak menggelombang). Gerak
peristaltik menyebabkan makanan di dalam lambung diaduk-aduk.
Di bagian dinding lambung sebelah dalam terdapat kelenjar-kelenjar yang
menghasilkan getah lambung. Aroma, bentuk, warna, dan selera terhadap makanan secara
refleks akan menimbulkan sekresi getah lambung. Getah lambung mengandung asam
lambung (HCI), pepsin, musin, dan renin. Asam lambung berperan sebagai pembunuh
mikroorganisme dan mengaktifkan enzim pepsinogen menjadi pepsin. Pepsin merupakan
enzim yang dapat mengubah protein menjadi molekul yang lebih kecil. Musin merupakan
mukosa protein yang melicinkan makanan. Renin merupakan enzim khusus yang hanya
terdapat pada mamalia, berperan sebagai kaseinogen menjadi kasein. Kasein digumpalkan
oleh Ca²+ dari susu sehingga dapat dicerna oleh pepsin. Tanpa adanya reninm sus yang
berwujud cair akan lewat begitu saja di dalam lambuing dan usu tanpa sempat dicerna.
Kerja enzim dan pelumatan oleh otot lambung mengubah makanan menjadi lembut
seperti bubur, disebut chyme (kim) atau bubur makanan. Otot lambung bagian pilorus
mengatur pengeluaran kim sedikit demi sedikit dalam duodenum. Caranya, otot pilorus yang
mengarah ke lambung akan relaksasi (mengendur) jika tersentuk kim yang bersifat
asam.Sebaliknya, oto pilorus yang mengarah ke duodenum akan berkontraksi (mengerut) jika
tersentu kim. Jadi, misalnya kim yang bersifat asam tiba di pilorus depan, maka pilorus akan
membuka, sehingga makanan lewat. Oleh karena makanan asam mengenai pilorus belakang,
pilorus menutup. Makanan tersebut dicerna sehingga keasamanya menurun. Makanan yang
bersifat basa di belakang pilorus akan merangsang pilorus untuk membuka. Akibatnya,
makanan yang asam dari lambung masuk ke duodenum. Demikian seterusnya. Jadi, makanan
melewati pilorus menuju duodenum segumpal demi segumpal agar makanan tersebut dapat
tercerna efektif. Seteleah 2 sampai 5 jam, lambung kosong kembali.
5. Usus halus
Usus halus atau usus kecil adalah bagian dari saluran
pencernaan yang terletak di antara lambung dan usus besar. Usus halus
terdiri dari tiga bagian yaitu usus dua belas jari (duodenum), usus
5
Page 6
kosong (jejunum), dan usus penyerapan (ileum). Pada usus dua belas jari terdapat dua muara
saluran yaitu dari pankreas dan kantung empedu.
Di dalam usus dua belas jari, dihasilkan enzim dari dinding usus. Enzim tersebut
diperlukan untuk mencerna makanan secara kimiawi:
Enterokinase, untuk mengaktifkan tripsinogen yang dihasilkan pankreas;
Erepsin atau dipeptidase, untuk mengubah dipeptida atau pepton menjadi asam
amino;
Laktase, mengubah laktosa menjadi glukosa;
Maltase, berfungsi mengubah maltosa menjadi glukosa;
Disakarase, mengubah disakarida menjadi monosakarida;
Peptidase, mengubah polipeptida menjadi asam amino;
Lipase, mengubah trigliserida menjadi gliserol dan asam lemak;
Sukrase, mengubah sukrosa menjadi fruktosa dan glukosa.
Di dalam usus penyerapan (ileum) terdapat banyak lipatan atau lekukan yang disebut
jonjot-jonjot usus (vili). Vili berfungsi memperluas permukaan penerapan, sehingga makanan
dapat terserap sempurna.
6. Usus Besar
Usus besar atau kolon dalam anatomi adalah bagian usus antara usus buntu dan
rektum. Fungsi utama organ ini adalah menyerap air dari feses. Pada mamalia, kolon terdiri
dari kolon menanjak (ascending), kolon melintang (transverse), kolon menurun (descending),
kolon sigmoid, dan rektum.
7. Organ Assesoris
Hati
Hati merupakan kelenjar terbesar di dalam tubuh, terletak dalam rongga perut sebelah
kanan, tepatnya di bawah diafragma. Berdasarkan fungsinya, hati juga termasuk sebagai alat
ekskresi. Hal ini dikarenakan hati membantu fungsi ginjal dengan cara memecah beberapa
senyawa yang bersifat racun dan menghasilkan anomia, urea, dan asam urat dengan
memanfaatkan nitrogen dari asam amino. Proses pemecahan senyawa racun oleh hati disebut
proses detoksifikasi.
6
Page 7
Sebagai kelenjar, hati menghasilkan empedu yang mencapai ½ liter setiap hari.
Empedu berasal dari hemoglobin sel darah merah yang telah tua. Empedu merupakan cairan
kehijauan dan terasa pahit. Zat ini disimpan di dalam kantong empedut . Empedu
mengandung kolestrol, garam mineral, garam empedu, pigmen bilirubin, dan biliverdin.
Empedu yang disekresikan berfungsi untuk mencerna lemak, mengaktifkan lipase, membantu
daya absorpsi lemak di usus, dan mengubah zat yang tidak larut dalam air menjadi zat yang
larut dalam air. Sel-sel darah merah dirombak di dalam hati. Hemglobin yang terkandung di
dalamnya dipecah menjadi zat besi, globin, dan heme. Zat besi dan globin didaur ulang,
sedangkan heme dirombak menjadi bilirubin dan biliverdin yang bewarna hijau kebiruan. Di
dalam usus, zat empedu ini mengalami oksidasi menjadi urobilin sehingga warna feses dan
urin kekuningan.
Apabila saluran empedu di hati tersumbat, empedu masuk ke peredaran darah
sehingga kulit penderita menjadi kekuningan. Orang yang demikian dikatakan menderita
penyakit kuning. Hati juga menghasilkan enzim arginase yang dapat mengubah arginin
menjadi ornintin dan urea. Ornintin yang terbentuk dapat mengikat NH³ dan CO² yang
bersifat racun. Fungsi lain dari hati adalah mengubah zat buangan dan bahan racun untuk
dikeluarkan dalam empedu dan urin, serta mengubah glukosa yang diambil dari darah
menjadi glikogen yang disimpan di sel-sel hati. Glikogen akan dirombak kembali menjadi
glukosa oleh enzim amilase dan dilepaskan ke darah sebagai respons meningkatnya
kebutuhan energi oleh tubuh.
7
Page 8
Kantung empedu
Kantung empedu atau kandung empedu (Bahasa Inggris: gallbladder) adalah organ
berbentuk buah pir yang dapat menyimpan sekitar 50 ml empedu yang dibutuhkan tubuh
untuk proses pencernaan. Pada manusia, panjang kantung empedu adalah sekitar 7-10 cm dan
berwarna hijau gelap - bukan karena warna jaringannya, melainkan karena warna cairan
empedu yang dikandungnya. Organ ini terhubungkan dengan hati dan usus dua belas jari
melalui saluran empedu.
Pankreas
Pankreas adalah organ pada sistem
pencernaan yang memiliki dua fungsi utama:
menghasilkan enzim pencernaan serta beberapa
hormon penting seperti insulin. Pankreas terletak
pada bagian posterior perut dan berhubungan erat
dengan duodenum (usus dua belas jari).
8
Page 9
BAB III
DEMAM TIFOID
DEFINISI
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan
oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh panas berkepanjangan, ditopang dengan
bakteremia tanpa keterlibatan struktur endotelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus
multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari limpa, kelenjar limfe usus dan Peyer’s
patch. 1
EPIDEMIOLOGI
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan
karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Data
World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus
demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun.4 Di
negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95%
merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih
besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di
seluruh propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di
daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/ tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per
tahun. Umur penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91%
kasus. Sebagian besar dari penderita (80%) yang dirawat di bagian Ilmu Kesehatan Anak
RSCM berumur di atas lima tahun.1. Di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSCM sejak tahun
1992 – 1996 tercatat 550 kasus demam tifoid yang dirawat dengan angka kematian antara
2,63 – 5,13%.5 Terjadinya penularan salmonella typhi sebagian besar melalui makanan /
minuman yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau pembawa kuman,
biasanya keluar bersama-sama dengan tinja (melalui rute oral fekal = jalur oro-fekal).
9
Page 10
ETIOLOGI
Demam tifoid (termasuk para-tifoid) disebabkan oleh kuman Salmonella typhi,
Salmonella paratyphi A, Salmonella paratyphi B, dan Salmonella paratyphi C. Jika
penyebabnya adalah Salmonella paratyphi, gejalanya lebih ringan dibanding dengan yang
disebabkan oleh Salmonella typhi. Pada minggu pertama sakit, demam tifoid sangat sukar
dibedakan dengan penyakit demam lainnya. Untuk memastikan diagnosis diperlukan
pemeriksaan biakan kuman untuk konfirmasi.6
Salmonella typhi termasuk bakteri famili Enterobacteriaceae dari genus Salmonella.
Kuman Salmonella typhi berbentuk batang, Gram negatif, tidak berspora, motile, berflagela,
berkapsul, tumbuh dengan baik pada suhu optimal 370C (150C-410C), bersifat fakultatif
anaerob, dan hidup subur pada media yang mengandung empedu. Kuman ini mati pada
pemanasan suhu 54,40C selama satu jam dan 600C selama 15 menit, serta tahan pada
pembekuan dalam jangka lama. Salmonella mempunyai karakteristik fermentasi terhadap
glukosa dan manosa, namun tidak terhadap laktosa atau sukrosa.7
Salmonella typhi dapat bertahan hidup lama di lingkungan kering dan beku, peka
terhadap proses klorinasi dan pasteurisasi pada suhu 63 0C. Organisme ini juga dapat
bertahan hidup beberapa minggu dalam air, es, debu, sampah kering, pakaian, mampu
bertahan disampah mentah selama 1 minggu, dan dapat bertahan serta berkembang biak
dalam susu, daging, telur, atau produknya tanpa merubah warna dan bentuknya. Manusia
merupakan satu-satunya sumber penularan alami Salmonella typhi melalui kontak langsung
maupun tidak langsung dengan seorang penderita demam tifoid atau karier kronis.8.
Bakteri ini berasal dari feses manusia yang sedang menderita demam tifoid atau karier
Salmonella typhi. Mungkin tidak ada orang Indonesia yang tidak pernah menelan bakteri ini.
Bila hanya sedikit tertelan, biasanya orang tidak menderita demam tifoid. Namun bakteri
yang sedikit demi sedikit masuk ke tubuh menimbulkan suatu reaksi serologi Widal yang
positif dan bermakna.
Salmonella typhi sekurang-kurangnya mempunyai tiga macam antigen, yaitu:
- Antigen O = Ohne Hauch = Somatik antigen (tidak menyebar)
- Antigen H = Hauch (menyebar), terdapat pada flagella dan bersifat
termolabil.
10
Page 11
- Antigen Vi = Kapsul; merupakan kapsul yang meliputi tubuh kuman
dan melindungi O antigen terhadap fagositosis
Ketiga jenis antigen tersebut di dalam tubuh manusia akan menimbulkan
pembentukan tiga macam antibodi yang lazim disebut aglutinin.
Ada 3 spesies utama yaitu :
- Salmonella typhosa (satu serotype)
- Salmonella choleraesius (satu serotype)
- Salmonella enteretidis (lebih dari 1500 serotype)2
Dalam serum penderita terdapat zat anti (aglutinin) terhadap ketiga macam antigen
tersebut. Mempunyai makromolekuler lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar
dari dinding sel dan dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid
faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multiple antibiotik.1
Organisme Salmonella typhi mampu bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam fagosit
mononuklear folikel limfoid, hati, dan limpa. Faktor penting proses ini mencakup jumlah
bakteri, tingkat, tingkat virulensi dan respon tubuh. Bakteri ini kemudian dilepaskan dari
habitat intraseluler masuk aliran darah. Masa inkubasi ini berkisar 7-14 hari. Pada fase
bakteriemi, bakteri akan menyebar dan tempat infeksi sekunder paling sering ialah hati,
limpa, sumsum tulang, kandung empedu, dan lapisan Peyer ileum terminal. Invasi kandung
empedu terjadi langsung dari asam empedu. Jumlah bakteri pada fase akut diperkirakan 1
bakteri /ml darah (sekitar 66 % dalam sel fagositik) dan sekitar 10 bakteri /ml sumsum tulang.
Walaupun Salmonella typhi menghasilkan endotoksin namun angka mortalitas stadium ini <
1 %. Studi menunjukkan peningkatan kadar proinflamasi dan sitokin anti inflamasi dalam
sirkulasi pasien tifoid.1
PATOLOGI
Huckstep membagi patologi dalam plaque Peyeri dalam empat fase. Keempat fase ini
akan terjadi secara berurutan bila tidak segera diberikan antibiotik yaitu :
Fase 1 : hiperplasia folikel limfoid
Fase 2 : nekrosis folikel limfoid selama seminggu kedua melibatkan mukosa dan
submukosa
11
Page 12
Fase 3 : ulserasi pada aksis panjang bowel dengan kemungkinan perforasi dan
pendarahan
Fase 4 : penyembuhan terjadi pada minggu keempat dan tidak menyebabkan
terbentuknya struktur seperti pada tuberkulosis bowel.9
Ileum merupakan lokasi patologi tifoid klasik, tetapi folikel limfoid pada bagian
traktus gastrointestinal lainnya juga dapat terlibat seperti yeyunum dan kolon ascending.
Ileum biasanya mengandung plaque Peyeri lebih banyak dan luas dibandingkan yeyunum.
Jumlah folikel limfoid akan berkurang seiring dengan pertambahan usia.9
PATOFISIOLOGI
Beberapa faktor yang ikut berperan penting dalam patofisiologi demam tifoid
berdasarkan penelitian terbaru ialah :
a. bacterial type III protein secretion system (TTSS)
b. lima gen virulensi (A< B< C< D< dan E) of Salmonella spp yang mengkode
Sips (Salmonella Invasion Proteins).
c. Reseptor Toll R2 and Toll R4 dijumpai pada permukaan makrofag yang
berperan penting dalam signalisasi yang diperantarai LPS dalam makrofag
d. Mekanisme pertahanan tubuh antara lumen intestinal dan organ dalam
e. Peranan fundamental sel endotelial pada deviasi inflamasi dari aliran darah
menuju jaringan yang terinfeksi bakteri.
Kuman Salmonella typhi masuk ke dalam tubuh manusia melalui mulut bersamaan
dengan makanan dan minuman yang terkontaminasi. Setelah kuman sampai lambung maka
mula-mula timbul usaha pertahanan non spesifik yang bersifat kimiawi yaitu, adanya
suasana asam oleh asam lambung dan enzim yang dihasilkannya. Ada beberapa faktor yang
menentukan apakah kuman dapat. melewati barier asam lambung, yaitu (1) jumlah kuman
yang masuk dan (2) kondisi asam lambung.7
Untuk menimbulkan infeksi, diperlukan Salmonella typhi sebanyak 103-109 yang
tertelan melalui makanan atau minuman. Keadaan asam lambung dapat menghambat
multiplikasi Salmonella dan pada pH 2,0 sebagian besar kuman akan terbunuh dengan cepat.
Pada penderita yang mengalami gastrektomi, hipoklorhidria atau aklorhidria maka akan
12
Page 13
mempengaruhi kondisi asam lambung. Pada keadaan tersebut Salmonella typhi lebih mudah
melewati pertahanan tubuh.6
Sebagian kuman yang tidak mati akan mencapai usus halus yang memiliki
mekanisme pertahanan lokal berupa motilitas dan flora normal usus. Tubuh berusaha
menghanyutkan kuman keluar dengan usaha pertahanan tubuh non spesifik yaitu oleh
kekuatan peristaltik usus. Di samping itu adanya bakteri anaerob di usus juga akan merintangi
pertumbuhan kuman dengan pembentukan asam lemak rantai pendek yang akan
menimbulkan suasana asam. Bila kuman berhasil mengatasi mekanisme pertahanan tubuh di
lambung, maka kuman akan melekat pada permukaan usus. Setelah menembus epitel usus,
kuman akan masuk ke dalam kripti lamina propria, berkembang biak dan selanjutnya akan
difagositosis oleh monosit dan makrofag. Namun demikian Salmonella typhi dapat bertahan
hidup dan berkembang biak dalam fagosit karena adanya perlindungan oleh kapsul kuman.
Melalui plak peyeri pada ileum distal bakteri masuk ke dalam KGB mesenterium dan
mencapai aliran darah melalui duktus torasikus menyebabkan bakteriemia pertama yg
asimptomatis.7 Kemudian kuman akan masuk kedalam organ–organ system retikuloendotelial
(RES) terutama di hepar dan limpa sehingga organ tersebut akan membesar disertai nyeri
pada perabaan. Dari sini kuman akan masuk ke dalam peredaran darah, sehingga terjadi
bakteriemia kedua yang simptomatis (menimbulkan gejala klinis). Disamping itu kuman yang
ada didalam hepar akan masuk ke dalam kandung empedu dan berkembang biak disana, lalu
kuman tersebut bersama dengan asam empedu dikeluarkan dan masuk ke dalam usus halus.
Kemudian kuman akan menginvasi epitel usus kembali dan menimbulkan tukak yang
berbentuk lojong pada mukosa diatas plaque peyeri. Tukak tersebut dapat mengakibatkan
terjadinya perdarahan dan perforasi usus yang menimbulkan gejala peritonitis.1
Pada masa bakteriemia kuman mengeluarkan endotoksin yang susunan kimianya
sama dengan somatic antigen (lipopolisakarida). Endotoksin sangat berperan membantu
proses radang lokal dimana kuman ini berkembang biak yaitu merangsang sintesa dan
pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang. Selanjutnya zat pirogen
yang beredar di darah mempengaruhi pusat termoregulator di hypothalamus yang
mengakibatkan terjadinya demam.1 Sedangkan gejala pada saluran pencernaan disebabkan
oleh kelainan pada usus.4
Akhir-akhir ini beberapa peneliti mengajukan patogenesis terjadinya manifestasi
klinis sebagai berikut: Makrofag pada penderita akan menghasilkan substansi aktif yang
13
Page 14
disebut monokin, selanjutnya monokin ini dapat menyebabkan nekrosis seluler dan
merangsang sistem imun, instabilitas vaskuler, depresi sumsum tulang, dan panas.
Perubahan histopatologi pada umumnya ditemukan infiltrasi jaringan oleh makrofag
yang mengandung eritrosit, kuman, limfosit yang sudah berdegenerasi yang dikenal sebagai
sel tifoid. Bila sel-sel ini beragregasi, terbentuklah nodul. Nodul ini sering didapatkan dalam
usus halus, jaringan limfe mesenterium, limpa, hati, sumsum tulang, dan organ-organ yang
terinfeksi.
Kelainan utama terjadi di ileum terminale dan plak peyer yang hiperplasi (minggu
pertama), nekrosis (minggu kedua), dan ulserasi (minggu ketiga) serta bila sembuh tanpa
adanya pembentukan jaringan parut. Sifat ulkus berbentuk bulat lonjong sejajar dengan
sumbu panjang usus dan ulkus ini dapat menyebabkan perdarahan bahkan perforasi.
Gambaran tersebut tidak didapatkan pada kasus demam tifoid yang menyerang bayi maupun
tifoid congenital
BAGAN PATOFISIOLOGI DEMAM TIFOID
14
Page 15
MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis demam tifoid pada anak seringkali tidak khas dan sangat bervariasi
yang sesuai dengan patogenesis demam tifoid. Spektrum klinis demam tifoid tidak khas dan
sangat lebar, dari asimtomatik atau yang ringan berupa panas disertai diare yang mudah
disembuhkan sampai dengan bentuk klinis yang berat baik berupa gejala sistemik panas
tinggi, gejala septik yang lain, ensefalopati atau timbul komplikasi gastrointestinal berupa
perforasi usus atau perdarahan. Hal ini mempersulit penegakan diagnosis berdasarkan
gambaran klinisnya saja. 10,11
Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit. Demam
pada pasien demam tifoid disebut step ladder temperature chart yang ditandai dengan demam
15
Page 16
timbul indisius, kemudian naik secara bertahap tiap harinya dan mencapai titik tertinggi pada
akhir minggu pertama, setelah itu demam akan bertahan tinggi dan pada minggu ke-4 demam
turun perlahan secara lisis, kecuali apabila terjadi fokus infeksi seperti kolesistitis, abses
jaringan lunak, maka demam akan menetap. Demam lebih tinggi saat sore dan malam hari
dibandingkan dengan pagi harinya. Pada saat demam sudah tinggi pada kasus demam tifoid
dapat disertai gejala sistem saraf pusat seperti kesadaran berkabut atau delirium, atau
penurunan kesadaran.1
Masa inkubasi rata-rata 10-14 hari, selama dalam masa inkubasi dapat ditemukan
gejala prodromal, yaitu: anoreksia, letargia, malaise, dullness, nyeri kepala, batuk non
produktif, bradicardia. Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam
dan gejala konstitusional seperti nyeri kepala, malaise, anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan
abdomen, pembesaran hati dan limpa, serta gangguan status mental.1 Pada sebagian pasien
lidah tampak kotor dengan putih di tengah sedang tepi dan ujungnya kemerahan juga banyak
dijumpai meteorismus. Sembelit dapat merupakan gangguan gastrointestinal awal dan
kemudian pada minggu kedua timbul diare. Diare hanya terjadi pada setengah dari anak yang
terinfeksi, sedangkan sembelit lebih jarang terjadi. Dalam waktu seminggu panas dapat
meningkat. Lemah, anoreksia, penurunan berat badan, nyeri abdomen dan diare, menjadi
berat. Dapat dijumpai depresi mental dan delirium. Keadaan suhu tubuh tinggi dengan
bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa. Roseola (bercak
makulopapular) berwarna merah, ukuran 2-4 mm, dapat timbul pada kulit dada dan abdomen,
ekstremitas, dan punggung, timbul pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua,
ditemukan pada 40-80% penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari). Jika tidak ada
komplikasi dalam 2-4 minggu, gejala dan tanda klinis menghilang, namun malaise dan letargi
menetap sampai 1-2 bulan.2
Anak usia sekolah dan remaja
Gejala awal demam, malaise, anoreksia, mialgia, nyeri kepala, dan nyeri perut
berkembang selama 2-3 hari, walaupun diare berkonsistensi mungkin ada selama awal
perjalanan penyakit, konstipasi kemudian menjadi gejala yang lebih mencolok, mual muntah
adalah jarang dan memberi kesan komplikasi terutama jika terjadi pada minggu ke-2 atau ke-
3. Batuk dan epistaksis mungkin ada. Kelesuhan berat dapat terjadi pada beberapa anak.
Demam yang terjadi secara bertingkat menjadi tidak turun-turun dan tinggi dalam 1 minggu,
sering mencapai 40 0C.6
16
Page 17
Tanda-tanda fisik adalah bradikardi relatif, yang tidak seimbang dengan tingginya
demam. Hepatomegali, splenomegali, dan perut kembung dengan nyeri difus, terjadi pada
minggu ke-2 penyakit.6
Bayi dan Anak Muda (< 5 tahun)
Demam enterik relatif jarang pada kelompok umur ini. Demam ringan dan malaise,
salah interpretasi sebagai sindrom virus, ditemukan pada bayi dengan demam tifoid terbukti
secara biakan . Diare lebih lazim pada anak muda dengan demam tifoid daripada orang
dewasa, membawa pada diagnosis gastroenteritis akut. Yang lain dapat datang dengan tanda-
tanda dan gejala-gejala infeksi saluran pernafasan bawah.
Neonatus
Disamping kemampuannya menyebabkan aborsi dan persalinan prematur, demam
enterik selama kehamilan dapat ditularkan secara vertikal. Penyakit neonatus biasanya mulai
dalam 3 hari persalinan. Muntah, diare ,dan kembung sering ada. Suhu bervariasi, tetapi dapat
setinggi 40,5 0C. Dapat terjadi kejang-kejang. Hepatomegali, ikterus, anoreksia, dan
kehilangan berat badan mungkin nyata.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid
dibagi dalam empat kelompok, yaitu : (1) pemeriksaan darah tepi; (2) pemeriksaan
bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman; (3) uji serologis; dan (4) pemeriksaan kuman
secara molekuler.
1. PEMERIKSAAN DARAH TEPI
Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit normal, bisa
menurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia dan hitung jenis biasanya
normal atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia dan limfositosis
relatif, terutama pada fase lanjut.Penelitian oleh beberapa ilmuwan mendapatkan bahwa
hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju endap darah tidak mempunyai nilai sensitivitas,
spesifisitas dan nilai ramal yang cukup tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara
penderita demam tifoid atau bukan, akan tetapi adanya leukopenia dan limfositosis relatif
menjadi dugaan kuat diagnosis demam tifoid. 12
17
Page 18
Penelitian oleh Darmowandowo (1998) di RSU Dr.Soetomo Surabaya mendapatkan
hasil pemeriksaan darah penderita demam tifoid berupa anemia (31%), leukositosis (12.5%)
dan leukosit normal (65.9%).
2. IDENTIFIKASI KUMAN MELALUI ISOLASI / BIAKAN
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi dalam
biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose spots.
Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam
darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam
urine dan feses.11
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor
yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil; (2) perbandingan
volume darah dari media empedu; dan (3) waktu pengambilan darah.11
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil
dibutuhkan 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya
sekitar 0.5-1 mL.Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh
antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur
sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun
dengan volume sampel yang lebih sedikit dan sudah mendapatkan terapi antibiotika
sebelumnya.11 Media pembiakan yang direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu
(gall) dari sapi dimana dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena
hanya S. typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut.
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada
perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80% atau 70-90%
dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu ketiga.11
Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan
meningkat sesuai dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai. 13
Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu
ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu pertama. Biakan
sumsum tulang merupakan metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi
dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan
18
Page 19
penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat untuk
penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur darah negatif
sebelumnya.13 Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek
sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang
diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan
secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak. Salah satu penelitian pada anak
menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum hampir sama dengan
kultur sumsum tulang.
Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang
digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah,
volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat.
Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang
rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan
yang lebih canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk
dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita. 10,11
3. IDENTIFIKASI KUMAN MELALUI UJI SEROLOGIS
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid
dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun mendeteksi
antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang
diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan. Beberapa uji serologis yang dapat
digunakan pada demam tifoid ini meliputi : (1) uji Widal; (2) tes TUBEX®; (3) metode
enzyme immunoassay (EIA); (4) metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA); dan
(5) pemeriksaan dipstik.
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting
dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang
luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena
tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk
melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau
monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan
penyakit).
19
Page 20
3.1 UJI WIDAL
Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan sejak tahun
1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin dalam serum
penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen somatik (O) dan
flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga terjadi aglutinasi.
Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam
serum.
Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan (slide test)
atau uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat dilakukan secara cepat dan digunakan dalam
prosedur penapisan sedangkan uji tabung membutuhkan teknik yang lebih rumit tetapi dapat
digunakan untuk konfirmasi hasil dari uji hapusan.14
Penelitian pada anak oleh Choo dkk (1990) mendapatkan sensitivitas dan spesifisitas
masing-masing sebesar 89% pada titer O atau H >1/40 dengan nilai prediksi positif sebesar
34.2% dan nilai prediksi negatif sebesar 99.2%. Beberapa penelitian pada kasus demam tifoid
anak dengan hasil biakan positif, ternyata hanya didapatkan sensitivitas uji Widal sebesar 64-
74% dan spesifisitas sebesar 76-83%.11
Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor antara lain
sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor penderita seperti status imunitas dan status
gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan antibodi; gambaran imunologis dari masyarakat
setempat (daerah endemis atau non-endemis); faktor antigen; teknik serta reagen yang
digunakan.11,14
Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya
melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan penderita
demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif akan memperkuat dugaan pada
tersangka penderita demam tifoid (penanda infeksi). Saat ini walaupun telah digunakan secara
luas di seluruh dunia, manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena
belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off point). Untuk mencari standar
titer uji Widal seharusnya ditentukan titer dasar (baseline titer) pada anak sehat di populasi
dimana pada daerah endemis seperti Indonesia akan didapatkan peningkatan titer antibodi O
dan H pada anak-anak sehat.10 Penelitian oleh Darmowandowo di RSU Dr.Soetomo Surabaya
(1998) mendapatkan hasil uji Widal dengan titer >1/200 pada 89% penderita.
20
Page 21
3.2 TES TUBEX®
Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan
cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk
meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang
benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat
akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak
mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX® ini, beberapa
penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas
yang lebih baik daripada uji Widal. Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil
sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%. Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar
78% dan spesifisitas sebesar 89%.11 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat
digunakan untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di
negara berkembang.
3.3 METODE ENZYME IMMUNOASSAY (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG
terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi
pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid
pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi
demam tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak
dapat membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M®
yang merupakan modifikasi dari metode Typhidot® telah dilakukan inaktivasi dari IgG total
sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen
terhadap Ig M spesifik.
Penelitian oleh Purwaningsih dkk (2001) terhadap 207 kasus demam tifoid bahwa
spesifisitas uji ini sebesar 76.74% dengan sensitivitas sebesar 93.16%, nilai prediksi positif
sebesar 85.06% dan nilai prediksi negatif sebesar 91.66%. Sedangkan penelitian oleh
Gopalakhrisnan dkk (2002) pada 144 kasus demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini
sebesar 98%, spesifisitas sebesar 76.6% dan efisiensi uji sebesar 84%. Penelitian lain
mendapatkan sensitivitas sebesar 79% dan spesifisitas sebesar 89%.11
21
Page 22
Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-tifoid bila
dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji Widal,
sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna tidak selalu
diikuti dengan uji Widal positif.10 Dikatakan bahwa Typhidot-M® ini dapat menggantikan uji
Widal bila digunakan bersama dengan kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid
akut yang cepat dan akurat.
Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan spesifisitas yang
tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang dengan penyakit demam lain,
murah (karena menggunakan antigen dan membran nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan
alat yang khusus sehingga dapat digunakan secara luas di tempat yang hanya mempunyai
fasilitas kesehatan sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain
adalah bahwa antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan
diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu 4°C dan bila hasil
didapatkan dalam waktu 3 jam setelah penerimaan serum pasien.
3.4 METODE ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi
IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd)
dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi
adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA.
Chaicumpa dkk (1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73%
pada sampel feses dan 40% pada sampel sumsum tulang. Pada penderita yang didapatkan S.
typhi pada darahnya, uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65% pada satu kali
pemeriksaan dan 95% pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 100%.Penelitian oleh Fadeel
dkk (2004) terhadap sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini
sebesar 100% pada deteksi antigen Vi serta masing-masing 44% pada deteksi antigen O9 dan
antigen Hd. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih
lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila dilakukan pada minggu
pertama sesudah panas timbul, namun juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga
pada kasus dengan Brucellosis. 11
22
Page 23
3.5 PEMERIKSAAN DIPSTIK
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat
mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan menggunakan
membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan
antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan
komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan
di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap.
Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 69.8% bila
dibandingkan dengan kultur sumsum tulang dan 86.5% bila dibandingkan dengan kultur
darah dengan spesifisitas sebesar 88.9% dan nilai prediksi positif sebesar 94.6%.20 Penelitian
lain oleh Ismail dkk (2002) terhadap 30 penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji
ini sebesar 90% dan spesifisitas sebesar 96%.15 Penelitian oleh Hatta dkk (2002)
mendapatkan rerata sensitivitas sebesar 65.3% yang makin meningkat pada pemeriksaan
serial yang menunjukkan adanya serokonversi pada penderita demam tifoid. Uji ini terbukti
mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih besar manfaatnya
pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur negatif atau di
tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat pemeriksaan kultur
secara luas.15
4. IDENTIFIKASI KUMAN SECARA MOLEKULER
Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA
(asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam
nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui
identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi.
Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100%
dengan sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu
mendeteksi 1-5 bakteri/mL darah. Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan
sensitivitas sebesar 63% bila dibandingkan dengan kultur darah (13.7%) dan uji Widal
(35.6%).
23
Page 24
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko
kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak
dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses
PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu
dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk
melacak DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan
sehingga saat ini penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian.
DIAGNOSIS BANDING
Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang-kadang secara klinis dapat
menjadi diagnosis bandingnya yaitu influenza, gastroenteritis, bronkitis dan
bronkopneumonia. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme intraseluler
seperti tuberkulosis, infeksi jamur sistemik, bruselosis, tularemia, shigelosis dan malaria juga
perlu dipikirkan. Pada demam tifoid yang berat, sepsis, leukimia, limfoma dan penyakit
hodgkin dapat sebagai dignosis banding1
KOMPLIKASI
Perforasi usus halus dilaporkan dapat terjadi pada 0,5 – 3%, sedangkan perdarahan
usus pada 1 – 10% kasus dema tifoid anak. Penyulit ini biasanya terjadi pada minggu ke-3
sakit, walau pernah dilaporkan terjadi pada inggu pertama. Komplikasi di dahului dengan
penurunan suhu, tekanan darah dan peningkatan frekuensi nadi. Pada perforasi usus halus
ditandai oleh nyeri abdomen lokal pada kuadran kanan bawah akan tetapi dilaporkan juga
nyeri yang menyelubung. Kemudian akan diikuti muntah, nyeri pada perabaan abdomen,
defance muskulare, hilangnya keredupan hepar dan tanda-tanda peritonitis yang lain.
Beberapa kasus perforasi usus halus mempunyai manifestasi klinis yang tidak jelas.1
Dilaporkan pada kasus dengan komplikasi neuropsikiatri. Sebagian besar
bermanifestasi gangguan kesadaran, disorientasi, delirium, obtundasi, stupor bahkan koma.
Beberapa penulis mengaitkan manifestasi klinis neuropsikiatri dengan prognosis buruk.
Penyakit neurologi lain adalah rombosis sereberal, afasia, ataksia sereberal akut, tuli, mielitis
tranversal, neuritis perifer maupun kranial, meningitis, ensefalomielitis, sindrom Guillain-
Barre. Dari berbagai penyakit neurologik yang terjadi, jarang dilaporkan gejala sisa yang
permanen (sekuele).1
24
Page 25
Miokarditis dapat timbul dengan manifestasi klinis berupa aritmia, perubahan ST-T
pada EKG, syok kardiogenik, infiltrasi lemak maupun nekrosis pada jantung. Hepatitis tifosa
asimtomatik dapat dijumpai pada kasus demam tifoid ditandai peningkatan kadar
transaminase yang tidak mencolok. Ikterus dengan atau tanpa disertai kenaikan kadar
transaminase, maupun kolesistitis akut juga dapat dijumpai, sedang kolesistitis kronik yang
terjadi pada penderita setelah mengalami demam tifoid dapat dikaitkan dengan adanya batu
empedu dan fenomena pembawa kuman (karies).1,6
Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri Salmonella typhi melalui urin
pada saat sakit maupun setelah sembuh. Sistitis bahkan pielonefritis dapat juga merupakan
penyulit demam tifoid. Proteinuria transien sering dijumpai, sedangkan glomerulonefritis
yang dapat bermanifestasi sebagai gagal ginjal maupun sindrom nefrotik mempunyai
prognosis buruk. Pneumonia sebagai komplikasi sering dijumpai pada demam tifoid.
Keadaan ini dapat ditimbulkan oleh kuman Salmonella typhi, namun sering kali sebagai
akibat infeksi sekunder oleh kuman lain. Penyulit lain yang dapat dijumpai adalah
trombositopenia, koagulasi intrvaskular diseminata, Hemolytic Uremic Syndrome (HUS),
fokal infeksi di beberapa lokasi sebagai akibat bakteremia misalnya infeksi pada tulang, otak,
hati, limpa, otot, kelenjar ludah dan persendian.
Relaps yang didapat pada 5-10% kasus demam tifoid saat era pre antibiotik, sekarang
lebih jarang ditemukan. Apabila terjadi relaps, demam timbul kembali dua minggu setelah
penghentian antiboitik. Namun pernah juga dilaporkan relaps timbul saat stadium konvalsens,
saat pasien tidak demam akan tetapi gejala lain masih jelas dan masih dalam pengobatan
antibiotik. Pada umumnya relaps lebih ringan dibandingkan gejala demam tifoid sebelumnya
dan lebih singkat.
PENATALAKSANAAN
Sebagian besar pasien demam tifoid dapat diobati dirumah dengan tirah baring, isolasi
yang memadai, pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi serta pemberian antibiotik. Sedangkan
untuk kasus berat harus dirawat dirumah sakit agar pemenuhan kebutuhan cairan, elektrolit
serta nutrisi disamping observasi kemungkinan timbul penyulit dapat dilakukan dengan
seksama. Pengobatan antibiotik merupakan pengobatan utama karena pada dasarnya
patogenesis infeksi Salmonella typhi berhubungan dengan keadaan bakteriemia.1
25
Page 26
Kloramfenikol
Meskipun telah dilaporkan adanya resistensi kuman Salmonella terhadap Kloramfenikol di
berbagai daerah, Kloramfenikol tetap digunakan sebagai obat pilihan pada kasus demam
tifoid. . Kekurangan kloramfenikol antara lain ialah reaksi hipersensitifitas, reaksi toksik,
grey syndrome, kolaps, dan tidak bermanfaat untuk pengobatan karier. Namun pada anak hal
tersebut jarang dilaporkan. Dosis yang diberikan adalah 100mg/kgBB/hari dibagi dalam 4
kali pemberian selama 10-14 hari atau samapi 5-7 hari setelah demam turun, sedang pada
kasus denagn malnutrirs atau penyakit, pengobatan diperpanjang samapi 21 hari, 4-6 minggu
untuk osteomilitis akut, dan 4 minggu untuk meningitis.1,6
Ampisilin memberikan respons perbaikan klinis yang kurang apabila dibandingkan
dengan kloramfenikol. Dosis yang dianjurkan adalah 200mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali
pemberian secara intravena. Amoksisilin dengan dosis 100mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali
pemebrian oral emembrikan hasil yang setara dengan kloramfenikol walaupun penuruna
demam lebih lama. Kombinasi trimethoprim sulfametoksazol (TMP SMZ) memebrikan hasil
yang kurang baik disbanding kloramfenikol. Dosis yang dianjurkan adalah TMP 10
mg/kg/hari atau SMZ 50mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis. Di beberapa Negara dilaporkan
kaus demam tifoid yang resisten terhadap kloramfenikol. Di India resistensi ganda terhadap
kloramfenikol, ampisilin dan TMP SMZ terjadi sebanayak 49-83%. Strain yang resisten
umunya rentan terhadap sefalosporin generasi ketiga. Pemberian sefalosporin generasi ketiga
seperti seftriakson 100mg/kg/hari dibagi dalam 1 atau 2 dosis 9maksiaml 4g/hari) selama 5-7
hari atau sefotaksim 150-200mg/kg/hari dibagi dlam 3-4 dosis efektif pada isolate yang
rentan. Efiksai kuinolon baik tetapi tidak dianjurkan untuk anak-anak. Akhir-akhir ini
cefixime oraln 10-15mg/kgBB/hari salaam 10 hari dapat diberikan sebagai alternative,
terutama apabila jumlah leukosit <2000/ml atau dijumpai resistensi terhadap S.typhi. pada
demam tifoid kasus berat seperti delirium. Obtundasi, stupor, koma dan syok pemberian
deksamektason intravena 93mg/kg diberikan dalam 30 menit untuk dosis awal, dilanjutkan
dengan 1ml.kg tiap 6 jam sampai 48 jam) disamping antibiotic yang memadai dapat
menurunkan angka mortalitas dari 35-55% menjadi 10%. Demam tifoid apabila diduga
terjadi perforasi, adanya cairan peritoneum dan udara bebas pada fto abdomen dapat
membantu menegakkan diagnosis. Laparotomi harus segera dilakukan pada perforasi usus
disertai penambahn antibiotic metronidazol dapat memperbaiki prognosis. Transufi
trombosist dianjurkan untuk pengobatan trombositopenia yang dianggap cukup berat
sehingga meneybabkan perdarahan saluran cerna pada pasien-pasien yang masih dlam
pertimbangan untuk melakukan intervensi bedah.1
26
Page 27
Ampisilin (atau amoksisilin) dosis 40mg/kg/hari dalam 3 dosis per oral ditambah
dengan probenecid 30mg/kg/hari dalam 3 dosis per oral atau TMP smz selama 4-6 minggu
memberikan angka kesembuhan 80% pada karier tanpa penyakit saluran empedu. Bila
terdapat kolelitiasis atau kjelosistitis, pemberian antibiotic saja jarang berhasil, kolisistektomi
dianjurkan setelah setelah pemberian antibiotic 9ampisilin 200mg/kgBB/hari dalam 4-6 dosis
IV) selama 7-10 hari setelah kolisistektomi dilanjutkan dengan amoksisilin 30mg/kgBB/hari
dalam 3 dosis per oral selama 30 hari. Kaus demem tifoid yang relaps diberi pengobatan
sebagai kasus demam tifod seranagn pertama.1
PENCEGAHAN
Higiene perorangan dan lingkungan
Demam tifoid ditularkan melalui rute oro fekal, maka pencegahan utama
memutuskan rantai tersebut dengan meningkatkan higiene perorangan dan lingkungan,
seperti mencuci tangan sebelum makan, penyediaan air bersih, dan pengamanan pembuangan
limbah feses, pemberantasan lalat, pengawasan terhadap kebersihan penjual makanan.2,8
Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar Salmonella typhi, maka
setiap individu harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang mereka konsumsi.
Salmonella typhi dalam air akan mati apabila dipanaskan setinggi 57°C beberapa menit atau
dengan proses iodinasi/ klorinasi.
Untuk makanan, pemanasan sampai suhu 57ºC beberapa menit dan secara merata
juga dapat mematikan kuman Salmonella typhi. Penurunan endemisitas suatu negara atau
suatu daerah tergantung pada baik buruknya pengadaan sarana air dan pengaturan
pembuangan sampah serta tingkat kesadaran individu terhadap hygiene pribadi.8
Imunisasi
Imunisasi aktif dapat membantu menekan angka kejadian demam tifoid. Beberapa
vaksin telah ditemukan untuk mencegah demam tifoid, bentuknya berupa vaksin demam
tifoid oral, dan vaksin polisakarida parenteral.1
Vaksin Demam Tifoid Oral
Vaksin demam tifoid oral dibuat dari kuman Salmonella typhi galur non patogen
yang telah dilemahkan. Kuman dalam vaksin akan mengalami siklus pembelahan dalam usus
dan dieliminasi dalam waktu 3 hari setelah pemakaiannya. Tidak seperti vaksin parenteral,
respon imun pada vaksin ini termasuk sekretorik IgA. Secara umum efektivitas vaksin oral
27
Page 28
sama dengan vaksin parenteral yang diinaktivasi dengan pemanasan, namun vaksin oral
mempunyai reaksi samping lebih rendah. Vaksin tifoid oral dikenal dengan nama Ty-21a.
Penyimpanannya pada suhu 2ºC-8ºC. Kemasan dalam bentuk kapsul, untuk anak umur 6
tahun atau lebih. Cara pemberian 1 kapsul vaksin dimakan setiap hari ke 1,3,5 satu jam
sebelum makan dengan minuman yang tidak lebih dari 37°C. Kapsul ke 4 pada hari ke 7,
diberikan terutama bagi turis. Kapsul harus ditelan utuh dan tidak boleh dibuka karena kuman
dapat mati oleh asam lambung. Vaksin tidak boleh diberikan bersamaan dengan antibiotik,
sulfonamid, atau anti malaria yang aktif terhadap Salmonella. Karena vaksin ini juga
menimbulkan respon yang kuat dari interferon mukosa, pemberian vaksin polio oral
sebaiknya ditunda dua minggu setelah pemberian terakhir dari vaksin tifoid ini. Imunisasi
ulangan diberikan setiap 5 tahun. Namun pada individu yang terus terekspos dengan infeksi
Salmonella sebaiknya diberikan 3-4 kapsul setiap beberapa tahun. Daya proteksi vaksin ini
hanya 50-80%, maka yang sudah divaksinasi juga dianjurkan untuk melakukan seleksi pada
makanan dan minuman.
Vaksin Polisakarida Parenteral
Susunan vaksin polisakarida setiap 0,5ml mengandung kuman Salmonella typhi,
polisakarida 0,025mg, fenol, dan larutan buffer yang mengandung natrium klorida, disodium
fosfat, monosodium fosfat, dan pelarut untuk suntikan. Penyimpanan pada suhu 2°C-8ºC,
jangan dibekukan. Vaksin ini akan kadaluarsa dalam jangka waktu 3 tahun. Pemberian secara
intramuskuler atau subkutan pada daerah deltoid atau paha. Imunisasi ulangan dilakukan tiap
3 tahun. Reaksi samping lokal dari vaksinasi ini berupa bengkak, nyeri, kemerahan di tempat
suntikan. Reaksi sistemik yang dapat timbul yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri sendi,
nyeri otot, nausea, nyeri perut tapi jarang dijumpai. Sangat jarang terjadi reaksi alergi berupa
pruritus, ruam kulit, dan urtikaria. Kontraindikasi pemberian vaksin ini adalah pasien yang
alergi terhadap bahan-bahan dalam vaksin, saat demam, penyakit akut, penyakit kronik
progresif. Daya proteksi 50-80%, maka yang sudah divaksinasi juga dianjurkan untuk
melakukan seleksi pada makanan dan minuman. 16
PROGNOSIS
Prognosis demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan
sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Dinegara maju, dengan terapi antibiotik yang
adekuat, angka mortalitas < 1%. Di negara berkembang, angka mortalitasnya > 10%,
biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnya komplikasi
28
Page 29
seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endokarditis dan
pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S. ser. Typhi ≥ 3
bulan setelah infeksi umumnya manjadi karier kronis. Risiko menjadi karier pada anak-anak
rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronik terjadi pada 1 – 5% dari seluruh pasien
demam tifoid. Insidens penyakit traktus biliaris lebih tinggi pada karier kronis dibanding
dengan populasi umum. Walaupun karier urin kronis juga dapat terjadi, hal ini jarang dan
dijumpai terutama pada individu dengan skistosomiasis.
BAB IV
29
Page 30
KESIMPULAN
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan
oleh Salmonella typhi. Bakteri salmonella typhi bersama makanan / minuman masuk ke
dalam tubuh melalui mulut.
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, secara garis besar gejala-gejala
yang timbul adalah :
Demam satu minggu atau lebih.
Gangguan saluran pencernaan.
Gangguan kesadaran.
Pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam tiga
kelompok, yaitu:
Isolasi kuman penyebab demam tifoid melalui biakan kuman dari spesimen penderita,
seperti darah, sumsum tulang, urin, tinja, cairan duodenum dan rose spot.
Uji serologi untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen S.typhi dan menentukan
adanya antigen spesifik dari Salmonella typhi.
Pemeriksaan melacak DNA kuman S.typhi.
Kloramfenikol digunakan sebagai obat pilihan pada kasus demam tifoid.
Pencegahannya adalah higiene pribadi yang baik dan Imunisasi serta vaksinasi aktif dapat
membantu menekan angka kejadian demam tifoid.
30
Page 31
DAFTAR PUSTAKA
1. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS. Buku ajar ilmu kesehatan anak infeksi
dan penyakit tropis., ed 2. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia: h.367-75.
2. Rampengan TH. Penyakit infeksi tropik pada anak, ed 2. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC, 2008: h.46-62.
3. Diagnosis of typhoid fever. Dalam : Background document : The diagnosis, treatment
and prevention of typhoid fever. World Health Organization, 2003;7-18.
4. Hassan R, dkk. Buku kuliah ilmu kesehatan anak 2, ed 11. Jakarta : Percetakan
Infomedika, 2005: h.592-600.
5. Parry CM. Typhoid fever. N Engl J Med 2002;347(22):1770-82.
6. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson textbook of pediatrics,
18th ed. Philadelphia, 2007: p.1186-1190.
7. Partini P. Tritanu dan Asti Proborini. Demam Tifoid. Pediatrics Update. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI, 2003: h.37-43
8. Pusponegoro HD, dkk. Standar pelayanan medis kesehatan anak, ed 1. Jakarta : Ikatan
Dokter Anak Indonesia, 2004: h.91-4.
9. Concise Reviews of Pediatrics Infectious Diseases. Management of Typhoid Fever in
Children. February 2002: p.157-159.
10. Darmowandowo D. Demam Tifoid. Dalam : Continuing Education Ilmu Kesehatan
Anak XXXIII. Surabaya : Surabaya Intellectual Club, 2003:19-34.
11. Tumbelaka AR. Tata laksana terkini demam tifoid pada anak. Simposium Infeksi –
Pediatri Tropik dan Gawat Darurat pada Anak. IDAI Cabang Jawa Timur. Malang : IDAI
Jawa Timur, 2005, hal.37-50.
31
Page 32
12. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam : Soegijanto S,
Ed. Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, edisi 1. Jakarta : Salemba
Medika, 2002:1-43
13. Parry CM. Typhoid fever. N Engl J Med 2002;347(22):1770-82.
14. Kalra SP, Naithani N, Mehta SR, Swamy AJ. Current trends in the management of
typhoid fever. MJAFI 2003;59:130-5.
15. Ismail TF, Smits HL, Wasfy MO, Malone JL, Fadeel MA, Mahoney F. Evaluation of
disptick serologic tests for diagnosis of brucellosis and typhoid fever in Egypt. J Clin
Microbiol 2002;40(9):3509-11.
16. Imunisasi (Ranuh IGN, Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita CB. Pedoman
imunisasi di Indonesia, ed 2. Jakarta : Badan Penerbit Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak
Indonesia, 2005: h.173-4.
32