BAB I PENDAHULUAN Demam tifoid telah diketahui menjadi masalah kesehatan yang besar di negara berkembang. Demam tifoid ini disebabkan oleh Salmonella thypi. Penyebab lain dari demam tifoid dan tidak menyebabkan penyakit berat yaitu S. paratyphi A, S. paratyphi B (Schotmulleri) dan S. paratyphi C (Hirschfeldil). Penyakit ini merupakan endemik di daerah yang persediaan air bersih tidak adekuat, seperti di Asia Tenggara, negara bagian India, Afrika, Amerika selatan dan Amerika tengah. 1 Insiden demam tifoid ini diperkirakan mencapai 22 juta kasus dengan paling sedikit terdapat 200.000 kematian setiap tahun. 2 Penyakit ini bisa terjadi pada semua usia dengan insiden tertinggi ditemukan pada anak-anak. 3 Menurut penelitian Crump, J.A., dkk (2000), insiden demam tifoid di Eropa yaitu 3 per 100.000 penduduk, di Afrika yaitu 50 per 100.000 penduduk, dan di Asia yaitu 274 per 100.000 penduduk. 4 Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia 2005, demam tifoid menempati urutan ke-2 dari 10 penyakit terbanyak pasien rawat inap di rumah sakit tahun 2004 yaitu 77.555 kasus. Menurut Survei Kesehatan Nasional (Surkesnas) tahun 2001, demam tifoid menempati urutan ke-8 dari 10 penyakit penyebab kematian umum di Indonesia sebesar 4,3%. 5 Pada tahun 2005 jumlah pasien rawat inap demam tifoid yaitu 81.116 kasus (3,15%) dan menempati urutan ke-2 KKS ILMU KESEHATAN ANAK RSUD BANGKINANG Page 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
Demam tifoid telah diketahui menjadi masalah kesehatan yang besar di negara
berkembang. Demam tifoid ini disebabkan oleh Salmonella thypi. Penyebab lain dari demam
tifoid dan tidak menyebabkan penyakit berat yaitu S. paratyphi A, S. paratyphi B (Schotmulleri)
dan S. paratyphi C (Hirschfeldil). Penyakit ini merupakan endemik di daerah yang persediaan air
bersih tidak adekuat, seperti di Asia Tenggara, negara bagian India, Afrika, Amerika selatan dan
Amerika tengah.1 Insiden demam tifoid ini diperkirakan mencapai 22 juta kasus dengan paling
sedikit terdapat 200.000 kematian setiap tahun.2 Penyakit ini bisa terjadi pada semua usia dengan
insiden tertinggi ditemukan pada anak-anak.3
Menurut penelitian Crump, J.A., dkk (2000), insiden demam tifoid di Eropa yaitu 3 per
100.000 penduduk, di Afrika yaitu 50 per 100.000 penduduk, dan di Asia yaitu 274 per 100.000
penduduk.4 Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia 2005, demam tifoid menempati urutan ke-2
dari 10 penyakit terbanyak pasien rawat inap di rumah sakit tahun 2004 yaitu 77.555 kasus.
Menurut Survei Kesehatan Nasional (Surkesnas) tahun 2001, demam tifoid menempati urutan
ke-8 dari 10 penyakit penyebab kematian umum di Indonesia sebesar 4,3%.5 Pada tahun 2005
jumlah pasien rawat inap demam tifoid yaitu 81.116 kasus (3,15%) dan menempati urutan ke-2
dari 10 penyakit terbanyak pasien rawat inap di rumah sakit di Indonesia.6
Diagnosis dini dan akurat sangat penting untuk penatalaksaan yang tepat dan efektif bagi
pasien dengan demam tifoid. Perlu penanganan yang tepat dan komprehensif agar memberikan
pelayanan yang tepat pada pasien. Tidak hanya dengan pemberian obat, perawatan yang baik dan
benar serta pengaturan diet yang tepat agar dapat mempercepat proses penyembuhan pasien
dengan demam tifoid.6
KKS ILMU KESEHATAN ANAK RSUD BANGKINANG Page 1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typoid fever adalah penyakit
infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan gejala demam
satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa
gangguan kesadaran.7
Demam tifoid dan paratifoid merupakan penyakit infeksi akut usus halus. Demam
paratifoid menunjukkan manifestasi yang sama dengan tifoid, namun biasanya lebih ringan.5
Demam tifoid ialah penyakit infeksi akut yang biasa mengenai saluran cerna dengan
gejala demam >7 hari, gangguan pada saluran cerna, dan gangguan kesadaran.9
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh
salmonella typhii. Penyakit ini ditandai oleh panas berkepanjangan, ditopang dengan bakterimia
tanpa keterlibatan struktur endothelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi
ke dalam sel fagosit mononuclear dari hati, limpa, Kelenjar limfe, usus, dan Peyer’s patch.
Beberapa terminology lain erat kaitannnya adalah demam paratifoid dan demam enteric. Demam
paratiroid secara patologik maupun klinis adalah sama dengan demam tifoid namun biasanya
lebih ringan, penyakit ini disebabkan spesies Salmonella enteriditis sedangkan demam enteric
dipakai baik pada demam tifoid maupun demam paratifoid. Terdapat 3 bioserotipe Salmonella
enteriditis yaitu bioserotipe paratyphi A, B (S. Schotsmuelleri), atau C (S. Hirschfeldii).11
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typoid fever. Demam tifoid
adalah suatu penyakit sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh Salmonella enterica serotype
typhi, dapat juga disebabkan oleh Salmonella enterica serotype paratyphi A, B, atau C (demam
paratifoid).31
2.2 Epidemiologi
KKS ILMU KESEHATAN ANAK RSUD BANGKINANG Page 2
a. Distribusi dan frekuensi
1) Orang
Demam tifoid dapat menginfeksi semua orang dan tidak ada perbedaan yang nyata antara
insiden pada laki-laki dan perempuan. Insiden pasien demam tifoid dengan usia 12 – 30 tahun 70
– 80 %, usia 31 – 40 tahun 10 – 20 %, usia > 40 tahun 5 – 10 %.8
Menurut penelitian Simanjuntak, C.H, dkk (1989) di Paseh, Jawa Barat terdapat 77 %
penderita demam tifoid pada umur 3 – 19 tahun dan tertinggi pada umur 10 -15 tahun dengan
insiden rate 687,9 per 100.000 penduduk. Insiden rate pada umur 0 – 3 tahun sebesar 263 per
100.000 penduduk.9
2) Tempat
Demam tifoid tersebar di seluruh dunia. Pada tahun 2000, insiden rate demam tifoid di
Amerika Latin 53 per 100.000 penduduk dan di Asia Tenggara 110 per 100.000 penduduk.4 Di
Indonesia demam tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun, di Jakarta Utara pada tahun 2001,
insiden rate demam tifoid 680 per 100.000 penduduk dan pada tahun 2002 meningkat menjadi
1.426 per 100.000 penduduk.10
b. Faktor yang mempengaruhi
1) Faktor Host
Manusia adalah sebagai reservoir bagi kuman Salmonella thypi. Terjadinya penularan
Salmonella thypi sebagian besar melalui makanan/minuman yang tercemar oleh kuman yang
berasal dari penderita atau carrier yang biasanya keluar bersama dengan tinja atau urine. Dapat
juga terjadi trasmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang berada dalam bakterimia kepada
bayinya.11
Penelitian yang dilakukan oleh Heru Laksono (2009) dengan desain case control,
mengatakan bahwa kebiasaan jajan di luar mempunyai resiko terkena penyakit demam tifoid
pada anak 3,6 kali lebih besar dibandingkan dengan kebiasaan tidak jajan diluar (OR=3,65) dan
anak yang mempunyai kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum makan beresiko terkena
KKS ILMU KESEHATAN ANAK RSUD BANGKINANG Page 3
penyakit demam tifoid 2,7 lebih besar dibandingkan dengan kebiasaan mencuci tangan sebelum
makan (OR=2,7).12
2) Faktor Agent
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella thypi. Jumlah kuman yang dapat
menimbulkan infeksi adalah sebanyak 105 – 109 kuman yang tertelan melalui makanan dan
minuman yang terkontaminasi. Semakin besar jumlah Salmonella thypi yang tertelan, maka
semakin pendek masa inkubasi penyakit demam tifoid.13
3) Faktor Environment
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai secara luas di daerah tropis
terutama di daerah dengan kualitas sumber air yang tidak memadai dengan standar hygiene dan
sanitasi yang rendah. Beberapa hal yang mempercepat terjadinya penyebaran demam tifoid
adalah urbanisasi, kepadatan penduduk, sumber air minum dan standart hygiene industri
pengolahan makanan yang masih rendah.14
Berdasarkan hasil penelitian Lubis, R. di RSUD. Dr. Soetomo (2000) dengan desain case
control, mengatakan bahwa higiene perorangan yang kurang, mempunyai resiko terkena
penyakit demam tifoid 20,8 kali lebih besar dibandingkan dengan yang higiene perorangan yang
baik (OR=20,8) dan kualitas air minum yang tercemar berat coliform beresiko 6,4 kali lebih
besar terkena penyakit demam tifoid dibandingkan dengan yang kualitas air minumnya tidak
tercemar berat coliform (OR=6,4) .14
2.3 Etiologi
KKS ILMU KESEHATAN ANAK RSUD BANGKINANG Page 4
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi dari
Genus Salmonella.
Gambar 1. Bakteri Salmonella Typhi
Ciri – ciri :
1. Bakteri bentuk batang
2. Gram negatif,
3. Tidak membentuk spora,
4. Motil berkapsul dan mempunyai flagella (bergerak dengan rambut getar),
5. Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam air, es,
sampah dan debu,
6. Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu 60ºC) selama 15-20 menit, pasteurisasi,
pendidihan dan khlorinisasi. 15
Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu :
KKS ILMU KESEHATAN ANAK RSUD BANGKINANG Page 5
a. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh kuman. Bagian ini
mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut juga endotoksin.Antigen ini tahan
terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.
b. Antigen H (Antigen Flagella), yang terletak pada flagella, fimbriae atau pili dari kuman.
Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan terhadap formaldehid tetapi tidak
tahan terhadap panas dan alkohol.
c. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat melindungi kuman
terhadap fagositosis.
Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan menimbulkan pula
pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut aglutinin.15
2.4 Sumber penularan
Penularan penyakit demam tifoid oleh basil Salmonella typhi ke manusia melalui
makanan dan minuman yang telah tercemar oleh feses atau urin dari penderita tifoid.16
Ada dua sumber penularan Salmonella typhi, yaitu :
KKS ILMU KESEHATAN ANAK RSUD BANGKINANG Page 6
a. Penderita Demam Tifoid
Yang menjadi sumber utama infeksi adalah manusia yang selalu mengeluarkan
mikroorganisme penyebab penyakit, baik ketika ia sedang menderita sakit maupun yang sedang
dalam penyembuhan. Pada masa penyembuhan penderita pada umumnya masih mengandung
bibit penyakit di dalam kandung empedu dan ginjalnya.17
b. Karier Demam Tifoid.
Penderita tifoid karier adalah seseorang yang kotorannya (feses atau urin) mengandung
Salmonella typhi setelah satu tahun pasca demam tifoid, tanpa disertai gejala klinis.Pada
penderita demam tifoid yang telah sembuh setelah 2 – 3 bulan masih dapat ditemukan kuman
Salmonella typhi di feces atau urin.Penderita ini disebut karier pasca penyembuhan.17
Pada demam tifoid sumber infeksi dari karier kronis adalah kandung empedu dan ginjal
(infeksi kronis, batu atau kelainan anatomi). Oleh karena itu apabila terapi medika-mentosa
dengan obat anti tifoid gagal, harus dilakukan operasi untuk menghilangkan batu atau
memperbaiki kelainan anatominya.18 Karier dapat dibagi dalam beberapa jenis.19
a. Healthy carrier (inapparent)
Adalah mereka yang dalam sejarahnya tidak pernah menampakkan menderita penyakit
tersebut secara klinis akan tetapi mengandung unsur penyebab yang dapat menular pada
orang lain, seperti pada penyakit poliomyelitis, hepatitis B dan meningococcus.
b. Incubatory carrier (masa tunas)
Adalah mereka yang masih dalam masa tunas, tetapi telah mempunyai potensi untuk
menularkan penyakit/ sebagai sumber penularan, seperti pada penyakit cacar air, campak dan
pada virus hepatitis.
c. Convalescent carrier (baru sembuh klinis)
Adalah mereka yang baru sembuh dari penyakit menular tertentu, tetapi masih
merupakan sumber penularan penyakit tersebut untuk masa tertentu, yang masa penularannya
kemungkinan hanya sampai tiga bulan umpamanya kelompok salmonella, hepatitis B dan
pada dipteri.
d. Chronis carrier (menahun)
KKS ILMU KESEHATAN ANAK RSUD BANGKINANG Page 7
Merupakan sumber penularan yang cukup lama seperti pada penyakit tifus abdominalis
dan pada hepatitis B.17
2.5 Patogenesis
S. Typhi masuk tubuh manusia melalui makanan dan air yang tercemar. Sebagian kuman
dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan mencapai jaringan
limfoid plak payeri di ileum terminalis yang hipertrofi. 17
Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) kurang baik , maka kuman akan menembus
sel-sel epitel. Dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan
di fagosit terutama oleh sel-sel fagosit. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam
KKS ILMU KESEHATAN ANAK RSUD BANGKINANG Page 8
makrofag dan selanjutnya di bawa ke plak peyeri ileum distal dan ke kelenjar getah bening
mesenterika.1 Di dalam makrofag ini kuman masuk ke dalam sirkulasi darah( mengakibatkan
bakterimia pertama yang asimtomatik). Dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh
terutama hati dan limpa. 1 Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan
berkembang biak diluar sel dan masuk ke sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakterimia yang
kedua kalinya disertai tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik. 1
Didalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama
cairan empedu diekskresikan secara intermitten ke dalam lumen usus. Sebagian kuman
dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus.
Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka
saat fagositosis kuman terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang akan menimbulkan
gejala reaksi inflamasi sistemik.1
Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plaque peyeri
yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di
dinding usus.1 S. Typhi dan endotoksinnya merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen dan
leukosit pada jaringan yang meradang.9
2.6 Gejala klinis
Gejala demam tifoid yang timbul sangat bervariasi. Perbedaan ini tidak hanya saja antara
berbagai bagian dunia, tetapi juga di daerah yang sama dari waktu ke waktu. Selain itu gambaran
KKS ILMU KESEHATAN ANAK RSUD BANGKINANG Page 9
penyakit bervariasi dari penyakit ringan yang tidak terdiagnosis sampai gambaran penyakit yang
khas dengan komplikasi dan kematian.16
1. Demam > 7 hari minggu II makin tinggi terutama malam hari siang agak
sindrom Guillain-Barre, psikosis dan sindrom katatonia.
KKS ILMU KESEHATAN ANAK RSUD BANGKINANG Page 21
Pada anak-anak dengan demam paratifoid, komplikasi lebih jarang terjadi.
Komplikasi lebih sering terjadi pada keadaan toksemia berat dan kelemahan umum, bila
perawatan pasien kurang sempurna.9,30.31
DAFTAR PUSTAKA
KKS ILMU KESEHATAN ANAK RSUD BANGKINANG Page 22
1. Gillespie S. Salmonella infection. In: Cook GC, Zumla A, eds. Manson's Tropical Diseases, 21st ed. London, UK:Elsevier Science, Health Science Division; 2003: pp. 937-947.
2. Crump JA, Luby SP, Mintz ED. The global burden of typhoid fever. Bull World Health Organ 2004; 82: 1-24.
3. Anggraini R, Handoyo I, Aryati. DOT-EIA typhoid test using Omp Salmonella thypi local phage type antigen to support the diagnosis of typhoid fever. Folia Medica Indonesiana 2004;40:10-20.
4. Crump, J.A., dkk. 2004. The global burden of typhoid fever.Bull World Health Organ. May 2004;82(5):346-53.
5. Depkes RI. 2005. Profil kesehatan Indonesia tahun 2005
6. Depkes RI. 2006. Profil kesehatan Indonesia tahun 2006
7. T. H. Rampengan. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak. Penerbit Buku Kedokteran. EGC. Cetakan I. Tahun 1993.
8. Dinas Kesehatan Kab. Karanganyer Tahun 2007. Profil Kesehatan Kabupaten Karanganyer Tahun 2007. Karanganyer.
9. Simanjuntak, C. H, 1993. Demam Tifoid, Epidemiologi dan Perkembangan Penelitian. Cermin Dunia Kedokteran No. 83.
10. Ariyanti, T. Dan Supar, 2006. Problematika Salmonellosis pada Manusia.www. Peternakan. Litbang. Deptan.go.id.
11. Soedarno SS, Garna H, Hadinegoro SR. Buku Ajar Infeksi & Pediatric Tropis. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta. 2008.
12. Heru Laksono, 2009. Faktor- Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Demam Tifoid Pada Anak Yang Dirawat di RS Kota Bengkulu Tahun 2009. Tesis Program Pasca Sarjana FK- Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. 2009.
13. Agus Syahrurahman. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran Edisi Revisi. Penerbit Binarupa Aksara. 1994.
14. Lubis, R, 2001. Faktor Resiko Kejadian Demam Tifoid Penderita Yang Dirawat di RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Tesis Program Pasca Sarjana. Universitas Airlangga. Surabaya.
15. Indro Handojo. Imunoasai Terapan Pada Beberapa Penyakit Infeksi. Airlangga University Press. 2004.
16. Ditjen P2M & PL. Depkes RI, 2005. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid Bagi Tenaga Kesehatan. Jakarta.
17. Aru W. Sudoyo, Bambang Setiyohadi. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III edisi IV. Penerbit FK-UI. Jakarta. 2006.
KKS ILMU KESEHATAN ANAK RSUD BANGKINANG Page 23
18. Eddy Soewandojo Soewando, 2002. Seri Penyakit Tropik Infeksi; Perkembangan Terkini Dalam Pengelolaan Beberapa Penyakit Tropik Infeksi. Penerbit Airlangga University Press.
19. Nur Nasry Noor. Pengantar Epidemiologi Penyakit Menular. Penerbit Rineka Cipta. 2006.
20. Rusepno Hasan. Buku Kuliah 2 Ilmu Kesehatan Anak. Penerbit Bagian Ilmu Kesehatan Anak. Penerbit Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK-UI. Jakarta. 1995.
21. Soegijanto, S., 2002. Demam tifoid. Ilmu Penyakit Anak Diagnosa dan Edisi Penatalaksanaannya. Edisi Pertama. Salemba Medika:Jakarta
22. Agus Syahrurahman. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran Edisi Revisi. Penerbit Binarupa Aksara. 1994.
23. Juwono R, 1996. Demam Tifoid. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi III. Balai Penerbit FK-UI. Jakarta.
24. Pohan HT. Management of resistant Salmonella infection. Paper presented at: 12th Jakarta Antimicrobial Update; 2011 April 16-17; Jakarta, Indonesia
25. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2006, Standar Pelayanan Medik, PB PABDI, Jakarta.
26. Cammie F. Lesser, Samuel I. Miller, 2005. Salmonellosis. Harrison’s Principles of Internal Medicine (16th ed), 897-900.
27. Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2008, Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis (2nd ed), Badan Penerbit IDAI, Jakarta.
29. Gunawan SG, Nafrialdi RS, Elysabeth. Farmakologi dan terapi. Edisi 5. Jakarta: departemen farmakologi dan terapeutik FKUI. 2009.
30. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam : Soegijanto S, Ed. Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, edisi 1. Jakarta : Salemba Medika, 2002:1-43.
31. Widodo Darmowandoyo. Demam Tifoid. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Infeksi. EGC: Jakarta.2008
32. Dr. Mahar Mardjono. 2007. Farmakologi dan Terapi.Jakarta: FKUI
33. Darsono, Lusiana. 2002. “Diagnosis dan Terapi Intoksikasi Salisilat dan Parasetamol” Jurnal Kimia Vol. 2, No. 1.
34. Martindale.2006. The Complete Drug Reference 35th Edition.London: Pharmaceutical Press
KKS ILMU KESEHATAN ANAK RSUD BANGKINANG Page 24
35. Soegijianto,2002. Ilmu Penyakit Anak, Diagnosa dan Penatalaksanaan. Jakarta: Salemba Medika.