REFERAT SINDROM NEFROTIK
(qwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnm)REFERAT
SINDROM NEFROTIKAISYA ANDINISHAIFUL BACHRIKEPANITERAAN STASE
PEDIATRI RSUD CIANJUR
PENDAHULUAN
Sampai pertengahan abad ke 20 morbiditas SN pada anak masih
tinggi, yaitu melebihi 50 %. Pasien-pasien ini dirawat untuk jangka
waktu lama karena edema anasarka disertai dengan ulserasi dan
infeksi kulit. Dengan ditemukannya obat-obat sufonamid dan
penisilin pada tahun 1940 dan dipakainya hormone
adrenokortijotropik (ACTH) dan kortikosteroid pada tahun 1950,
mortalitas penyakit ini diperkirakan mencapai 67% yang sering
disebabkan oleh komplikasi peritonitis dan sepsis dan pada decade
berikutnya mortalitas menurun sampai 40%. Angka kematian menurun
lagi mencapai 35% setelah obat penisilin mulai digunakan pada tahun
1946-1950.
Dengan pemakaian ACTH atau kortison pada awal 1950 untuk
mengatasi edema dan mengurangi kerentangan terhadap infeksi, angka
kematian meurun mencapai 20%. Schwartz dan kawan-kawan melaporkan
angka mortalitas 23%, 15 tahun setelah awitan penyakit. Diantara
pasien SN yang selamat dari infeksi sebelum era sulfonamide umumnya
kematian pada periode ini disebabkan oleg=h gagal ginjal
kronik.
STRUKTUR DAN FUNGSI GINJAL
Dua ginjal terletak pada dinding posterior abdomen, diluar
rongga peritoneum. Ginjal kisaran panjang serta beratnya
berturut-turut dari kira-kira 6 cm dan 24 g pada bayi cukup bulan,
sampai 12 cm atau lebih dan 150 gram pada orang dewasa. (nelson
1805)
Sisi medial setiap ginjal merupakan daerah lekukan yang disebut
hilum tempat lewatnya arteri dan vena renalis, cairan limfatik,
suplai saraf, dan ureter yang membawa urin akhir dari ginjal ke
kandung kemih. Ginjal dilingkupi oelh kapsul fibrosa yang keras
untuk melindungi struktur dalamnya yang rapuh. (fisiologi 326)
Jika ginjal dibagi dua dari atas ke bawah, dua daerah utama yang
dapat digambarkan yaitu korteks dibagian luar dan medulla dibagian
dalam. Medulla ginjla terbagi menjadi beberapa massa jaringan
berbentuk kerucut yang disebut piramida ginjal. Dasar dari setiap
piramida dimulai pada perbatasan antara korteks dan medulla serta
akhir di papilla, yang menonjol ke dalam ruang pelvis ginjal, yaiut
sambungan dari ujung ureter bagian atas yang berbentuk corong.
(fisi )
Batas luar pelvis terbagi menjadi kantong-kantong dengan ujung
terbuka yang disebut kalises mayor, yang meluas kebawah dan berubah
menjadi kalises minor, yang mengumpulkan urin dari tubulus setiap
papilla. Dinding kalises, pelvis, dan ureter terdiri dari
elemen-elemen kontraktil yang mendorong urin menuju kandung kemih.
(fisi).
Suplai Darah Ginjal
Darah yang mengalir ke kedua ginjal normalnya sekitar 22% dari
curah jantung atau 110ml/menit. Arteri renalis memasuki ginjla
melalui hilum dan kemudian bercabang-cabang secara progresif
membentuk arteri interlobaris, arteri akuarta, arteri
interlobularis (juga disebut arteri radialis), dan arteriol aferen,
yang menuju ke kapiler glomerulus tempat sejumlah besar cairan dan
zat terlarut (kecuali protein plasma) difiltrasi untuk memulai
pembentukan urin. Ujung distal kapiler pada setiap glomerulus
bergabung untuk membentuk arteriol eferen yang menuju jaringan
kapiler kedua, yaitu kapiler peritubular, yang mengelilingi tubulus
ginjal.
Sirkulasi ginjal ini bersifat unik karena memliki dua bentuk
kapiler, yaitu kapiler glomerulus dan kapiler peritubulus, yang
tersusun dalam suatu rangkaian dan dipisahkan oleh arteriol eferen
yang membantu untuk mengatur tekanan hidrostatik dalam kedua
perangkat kapiler. Tekanan hidrostatik yang tinggi dalam kapiler
glomerulus (kira-kira 60 mmHg) menyebabkan filtrasi cairan yang
cepat, sedangkan tekana hidrostatik yang jauh lebih rendah pada
kapiler peritubulus (kira-kira 13 mmHg) memungkinkan reabsorpsi
cairan yang cepat. Dengan mengatur tahanan arteriol aferen dan
eferen, ginjal dapat mengatur tekanan hidrostatik pada kapiler
glomerulus dan kapiler peritubulus, dengan demikian mengubah laju
filtrasi glomerulus dan/atau reabsorpsi tubulus sebagai respon
terhadap kebutuhan hemostatik tubuh.
Kapiler peritubulus mengosongkan isinya ke dalam pembuluh system
vena, yang berjalan secara parallel dengan pembuluh arteriol dan
secara progresif membentuk vena iterlobularis, vena arkuata, vena
interlobaris, dan vena renalis, yang meinggalkan ginjal di samping
arteri renalis dan ureter.
Nefron Sebagai Unit Fungsional Ginjal
Masing-masing ginjal manusia terdiri dari kurang lebih satu juta
nefron, masing-masing mampu membentuk urin. Ginjal tidak dapat
membentuk nefron baru. Oleh karena itu, pada trauma ginjal,
penyakit ginjal, atau proses penuaan yang normal, akan terjadi
penurunan jumlah nefron sedara bertahap. Berkurangnya fungsi nefron
tidak mengancam jiwa karena perubahan adaptif sisa nefron
menyebabkan nefron tersebut dapat mengekskresikan air, elektroolit,
dan produk sisa dalam jumlah yang tepat. Setiap nefron terdiri dari
:
1. Glomerulus (sekumpulan kapiler glomerulus) yang dilalui
sek=jumlah besar cairan yang difiltrasi dari darah, dan
2. Tubulus yang panjang tempat cairan hasil filtrasi diubah
menjadi urin dalam perjalanannya menuju pelvis ginjal
Glomerulus tersusun dari suatu jaringan kapiler glomerulus yang
bercabang dan beranastomosis, yang mempunyai tekanan hidrostatik
tinggi (kira-kira 60 mmHg) bila dibandingkan dengan kapiler
lainnya. Kapiler glomerulus dilapisi oleh sel-sel epitel, dan
keseluruhan glomerulus dibungkus dalam kapsula Bowman. Cairan yang
difiltrasi dari kapiler glomerulus mengalir ke dalam kapsula bowman
dan kemudia masuk ke tubulus proksimal, yang terletak dalam korteks
ginjal.
Dari tubulus proksimal, cairan mengalir ke ansa Henle yang masuk
ke dalam medulla renal. Setiap lengkung terdiri atas cabang
desenden dan asenden. Dinding cabang desenden dan ujung cabang
asenden yang paling rendah sangat tipis, dan oelh karena itu
disebut bagian tipis ansa Henle. Ditengah perjalan kembalinya
cabang asenden dari lengkung tersebut ke korteks, dindingnya
menjadi jauh lebih tebal dan oleh karena itu disebut bagian tebal
cabang asenden.
Pada ujung cabang asenden tebal terdapat bagian yang pendek,
yang sebenarnya merupakan plak pada dindingnya, dikenal sebagai
macula densa. Macula densa memainkan peranan penting dalam mengatur
fungsi nefron. Setelah macula densa, cairan memasuki tubulus
distal, yang terletak pada korteks renal (seperti tubulus
proksimal). Tubulus ini kemudian dilanjutkan dengan tubulus renalis
arkuatus dan tubulus koligentes kortikal yang menuju ke duktus
koligentes kortikal. Bagian awal dari 8 sampai 10 duktus koligentes
kortikal bergabung membentuk duktus koligentes tunggal yang lebih
besar, yang turun ke medulla dan menkadi duktus koligentes medulla.
Duktus koligentes bergabung membentuk duktus yang lebih besar
secara progresif, yang akhirnya mengalir menuju pelvis renal
melalui ujung papilla renal.
Filtrasi Glomerulus
Saat darah melewati kapiler glomerulus, plasmanya difiltrasi
memlaui dinding kapiler glomerulus. Ultrafiltrat, yang bebas sel,
mengandung semua substansi dalam plasma (elektrolit, glukosa,
fosfat, uream kreatinin, peptide, protein dengan berat
molekul-rendah), kecuali protein (seperti albumin dan dlobulin)
yang mempunyai berat molekul lebih dari 68.000. Filtrate terkumpul
di ruang Bowman dan masuk tubulus, dimana komposisinya diubah
sesuai dengan kebutuhan tubuh sampai filtrate tersebut meninggalkan
ginjal sebagai urin.
DEFINISI
Sindrom nefrotik ialah sekumpulan gejala yang terdiri dari
proteinuria masih ( > 50 mg/kgBB/24 jam), hipoalbuminemia (<
2,5 gram/100 ml) yang disertai atau tidak dengan edema dan
hiperkolesterolemia.
Pada anak kausa SN yang tidak jelas disebut Sindrom Nofrotik
Idiopatik (SNI). Kelainan histologist SNI menunjukkan
kelainan-kelainan yang tidak jelas atau sangat sedikit perubahan
yang terjadi disebut Minimal Change Nephrotic Syndrome atau Sindrom
Nefrotik Kelainan Minimal (SNKM).
EPIDEMIOLOGI
Insidens dapat mengenai semua umur tetapi sebagaian besar (74%)
dijumpai pada usia 2-7 tahun. Rasio laki-laki : perempuan = 2:1,
sedangkan pada masa remaja dan dewasa rasio ini berkisar 1:1.
Angka kejadian SN di Amerika dan Inggris berkisar antara 2-7 per
100.000 anak berusia di bawah 18 tahun per tahun, sedangkan di
Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 anak per tahun pada usia anak
kurang dari 14 tahun
ETIOLOGI
Kebanyakan (90%) anak yang menderita nefrosis mempunyai beberapa
bentuk sindrom nefrotik idiopatik; penyakit lesi-minimal 85%,
proliferasi mesangium 5%, dan sklerosis setempat 10%. Pada 10% anak
sisanya menderita nefrosis, sindrom nefrotik sebagian besar
diperantarai oleh beberapa bentuk glomerulonefritis dan yang
tersering adalah membranosa dan membranoproliferatif.
Sebab penyakit sindrom nefrotik yang pasti belum diketahui,
akhir-akhir ini dianggap sebagai suatu penyakit autoimun. Jadi
merupakan suatu reaksi antigen-antibodi. Umumnya para ahli membagi
etiologinya menjadi:
a. Sindrom nefrotik bawaan
Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi
maternofetal. Gejalanya adalah edema pada masa neonatus. Sindrom
nefrotik jenis ini resisten terhadap semua pengobatan. Salah satu
cara yang bisa dilakukan adalah pencangkokan ginjal pada masa
neonatus namun tidak berhasil. Prognosis buruk dan biasanya
penderita meninggal dalam bulan-bulan pertama kehidupannya.
b. Sindrom nefrotik sekunder
Disebabkan oleh:
Malaria kuartana atau parasit lain.
Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus diseminata, purpura
anafilaktoid.
Glumeronefritis akut atau glumeronefritis kronis, trombisis vena
renalis.
Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam
emas, sengatan lebah, air raksa.
Amiloidosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis
membranoproliferatif hipokomplementemik.
c. Sindrom nefrotik idiopatik ( tidak diketahui sebabnya ) 75 80
%.
Berdasarkan histopatologis yang tampak pada biopsi ginjal dengan
pemeriksaan mikroskop biasa dan mikroskop elektron, Churg dkk
membagi dalam 4 golongan yaitu: kelainan minimal, nefropati
membranosa, glumerulonefritis proliferatif dan glomerulosklerosis
fokal segmental
PATOGENESIS
Sindrom nefrotik idiopatik dengan kelainan hitologi berupa SNKM
mempunyai beberapa teori mengenai proses terjadinya, yaitu :
Soluble Antigen Antibody Complex (SAAC)
Antigen yang masuk ke sirkulasi menimbulkan antibody sehingga
terjadi reaksi antigen antibody yang larut (soluble) dalam darah.
SAAC ini kemudian menyebabkan system komplemen dalam tubuh bereaksi
sehingga komplemen C3 akan bersatu dengan SAAC membentuk deposit
yang kemudian terperangkap di bawah epitel kapsula Bowman yang
secara imunofloresensi terlihat berupa benjolan yang disebut HUMPS
sepanjang membrane basalis glomerulus (MBG) berbentuk granuler atau
noduler. Komplemen C3 yang ada dalam HUMPS inilah yang menyebabkan
permeabilitas MBG terganggu sehingga eritrosit, protein dan
lain-lain dapat melewati MBG sehinga terdapat dalam urin.
Perubahan Elektrokemis
Selain perubahahn sruktur MBG, maka perubahan elektrokemis dapat
juga menimbulkan proteinuria. Dari beberapa percobaan terbukti
bahwa kelainan terpenting pada glomerulus berupa gangguan fungsi
elektrostatik (sebagai sawar glomerulus terhadap filtrasi protein)
yaitu hilangnya fixed negative ion yang terdapat pada lapisan
sialo-protein glomeruli. Akibat hilangnya muatan listrik ini maka
permeabilitas MBG terhadap protein berat molekul rendah seperti
albumin meningkat sehingga albumin dapat keluar bersama urin.
PATOFISIOLOGI
Proteinuria
Proteinuria umumnya diterima sebagai kelaian utama pada SN,
sedangkan gejala klinis lainnya dianggap sebagai manifestasi
sekunder. Proteinuria dinyatakan berat untuk membedakan dengan
proteinuria yang lebih ringan pada paien yang bukan sindrom
nefrotik. Ekskresi protein sama atau lebih besar dari 40 mg/jam/m2
luas permukaan badan, dianggap proteinuria berat.
Selektivitas protein
Jenis protein yang keluar pada sindrom nefrotik bervariasi
bergantung pada kelainan dasar glomerulus. Pada SNKM (sindrom
nefrotik tipe kalian minimal) protein yang keluar hamper seluruhnya
terdiri atas albumin dan disebut sebagai proteinuria selektif. Pada
SN dengan kelianan glomerulus yang lain, keluarnya protein terdiri
atas campuran albumin dan protein dengan berat molekul besar, dan
jenis proteinuria ini disebut proteinuria non selektif. Derajat
selektivitas proteinuria dapat ditetapkan secara sederhana dengan
membagi rasio IgG urin terhadap plasma (BM 150.000) dengan rasio
urin plasma transferin (BM 88.000). rasio yang kurang dari 0,2
menunjukkan adanya proteinuria selektif. Pasien SN dengan rasio
rndah umumnya berkaintan dengan kelainan minimal dan responsive
terhadap steroid. Namun karena selektivitas protein pada SN sangat
bervariasi maka agak sulit untuk membedakan jenis KM (kelainan
minimal) dan BKM (bukan kelainan minimal) dengan pemeriksaan ini
sehingga pemeriksaan ini dianggap tidak efisien.
Perubahan pada filter kapiler glomerulus.
Umumnya karakteristik perubahan permeabilitas membrane basal
bergantung pada tipe kelainan glomerulus pada SN. Pada SNKM
terdapat penurunan klirens protein netral dengan semua berat
molekul, namun terdapat peningkatan klirens protein bermuatan
negative seperti albumin. Keadaan ini menunjukkan bahwa kelainan
utama pada SNKM adalah hilangnya sawar muatan negative selektif.
Namun pada SN dengan glomerulusnefritis proliferative klirens
molekul kecil menurun dan yang bermolekul besar meningkat.
Proteoglikan sulfat heparan yang menimbulkan muatan negative
pada lamina rara interna dan eksterna merupakan sawar utama
penghambat keluarnya molekul muatan negative, seperti albumin.
Dihilangkannya proteoglikan sulfat heparan dengan heparatinase
mengakibatkan timbulnya albuminuria. Hipoalbuminuria menyebabkan
penurunan tekanan onkotik koloid plasma intravaskuler. Keadaan ini
menyebabkan meningkatnya cairan transudat melawati dinding kapiler
dari ruang intravaskuler ke ruang interstisial yang menyebabkan
terbentuknya edema.
Sebagai akibat dari pergeseran cairan volume plasma total dan
volume darah arteri dalam peredaran menurun dibandingkan dengan
volume sirkulasi efektif. Menurunnya volume plasma atau volume
sirkulasi efektif merupakan stimulasi timbulnya retensi air dan
natrium renal. Retensi natrium dan air ini timbul sebagai usaha
badan untuk menjaga volume dan tekanan intravaskuler agar tetap
normal dan dapat sebagai peristiwa kompensasi sekunder. Retensi
cairan yang secara terus-menerus menjaga volume plasma, selanjutnya
akan mengencerkan protein plasma dan dengan demikian menurunkan
tekanan onkotik plasma dan akhirnya mempercepat gerak cairan masuk
ke ruang interstisial. Sehingga dapat memperberat edema sampai
terdapat keseimbangan hingga edema stabil. (Buku Ajar Nefrologi
Anak IDAI. 2002)
Kelainan patogenteik yang mendasari nefrosis adalah proteinuria,
akibat dari kenaikan permeabilitas dinding kapiler glomerulus.
Mekanisme dari kenaikan permeabilitas ini belum diketahui tetapi
mungkin terkait, setidak-tidaknya dengan sebagian, dengan hilangnya
muatan negative glikoprotein dalam dinding kapiler. Pada status
nefrosis protein yang hilang biasanya melebihi 2 g/24jam dan
terutama terdiri dari albumin; hipoproteinemianya pada dasarnya
adalah hipoalbuminemia. Umumnya, edema muncul bila kadar albumin
serum turun di bawah 2,5 g/dL (25 g/L).
Mekanisme pembentukan edema pada nefrosis tidak dimengerti
sepenuhnya. Kemungkinannya adalah bahwa edema didahului oleh
timbulnya hipoalbuminemia, akibat kehilangan protein urin.
Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma, yang
memungkinkan transudasi cairan dari ruang intravaskuler ke ruang
interstisial. Penurunan volume intravaskuler menurunkan tekanan
perfusi ginjal; mengaktifkan system rennin-angiotensin-aldosteron,
yang merangsang reabsorpsi air dalam duktus kolektivus. Karena
tekanan onkotik plasma berkurang, natrium dan air yang telah
direabsorpsi masuk ke ruang instertisial, memperberat edema. Adanya
faktor-faktor lain yang juga memainkan peran pada pembentukan edema
dapat ditunjukkan melalui observasi bahwa beberapa penderita
sindrom nefrotik mempunyai volume intravaskuler yang normal atau
meningkat, dan kadar rennin serta aldosteron plasma normal atau
menurun. Penjelasan secara hipotesis meliputi defek intrarenal
dalam ekskresi natrium dan air atau adanya agen dalam sirkulasi
yang menaikkan permeabilitas dinding kapiler di seluruh tubuh,
serta dalam ginjal.
Pada status nefrosis, hampir semua kadar lemak (kolesterol,
trigliserida) dan lipoproyerin serum meningkat. Sekurang-kurangnya
ada dua faktor yang memberikan sebagian penjelasan:
1. Hipoproteinemia merangsang sintesis protein, menyeluruh dalam
hati, termasuk lipoprotein
2. Katabolisme lemak menurun, karena penurunan kadar lipoprotein
lipase plasma, system enzim utama yang mengambil lemak dari plasma.
Apakah lipoprotein lipase keluar melalui urin belum jelas.
(Buku Ilmu Kesehatan Anak Nelson)
(proteinuria) (hipoproteinemia) (edema) (Retensi Na dan air)
(Volume plasma ) (hiperlipidemia) (Di hepar sintesa B lipoprotein )
(Permeabilitas MBG ) (GFR ) (Reaksi antigen antibody pada
glomerulus)
(Tekanan koloid osmotic plasma )
(hiperkolesterolemia) (Difusi air dan cairan ke jaringan
interstisial)
( Catatan Kuliah Nefrologi Anak FK UH)
KLASIFIKASI HISTOPATOLOGIS
Klasifikasi kelainan histopatologi glomerulus pada SN yang
digunakan sebagaian besar ditegakkan dengan pemeriksaan mikroskop
cahaya, ditambah dengan pemeriksaan mikroskop electron dan
imunofluoresensi.
Klasifikasi Kelainan Glomerulus pada SN Primer
1. Kelainan minimal (KM)
Sindrom nefrotik kelainan minimal atau glomerulopati lesi
minimal (GLM) mempunyai gambaran klinik yang khas, yaitu : faal
ginjal normal, tidak ditemukan hematuria, normotensi, mempunyai
respon yang baik terhadap kortikosteroid dengan remisi mencapai
90%.
Gambaran pada mikroskopik menunjukkan tidak terdapat proliferasi
selular di dalam glomerulus dan tidak ada penebalan membrane
basal.
2. Glomerulosklerosis (GS)
Kelainan khas terdapat daerah perpadatan di dalam glomerulus,
beberapa kapiler kolaps, pertambahan matriks mesangial, pertambahan
sel mesangial, dan endapan sejumlah hialin di dalam mesangium atau
lumen kapiler
a. Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
b. Glomerulosklerosis fokal global (GSFG)
3. Glomerulonefritis proliferative mesangial
Pembesaran merata dan pertambahan selaritas didaerah mesangial
yang mengandung masing-masing 4 sel.
a.Glomerulonefritis proliferative mesangial difus (GNPMD)
b.Glomerulonefritis proliferative mesangial difus eksudatif
4. Glomerulonefritis kresentik (GNK)
5. Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP)
Glomerulus tampak besar karena proliferasi sel mesangium dan
pertambahan matriks mesangial, sehingga menyebabkan meluasnya
daerah mesangial dan terbentuk gambaran lobulasi glomerulus, dan
juga terjadi duplikasi membrane basal.
a. GNMP tipe I dengan deposit subendotelial
b. GNMP tipe II dengan deposit intramembran
c. GNMP tipe III dengan deposit transmembran/subepitelial
6. Glomerulopati membranosa (GM)
7. Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL)
MANIFESTASI KLINIS
Edema merupakan keluhan utama, tidak jarang merupakan keluhan
satu-satunya dari sindrom nefrotik. Timbulnya muncul terutama pada
pagi hari dan hilang pada siang hari. Edema dapat menetap atau
bertambah, baik lambat atau cepat atau hilang kemudian timbul
kembali. Lokasi edema biasanya mengenai mata. Kemudian edema
menjadi menyeluruh, yaitu ke pinggang, perut, genitalia dan tungkai
bawah. Sebelum mencapai keadaan ini orang tua pasien sering
mengeluh berat badan anak tidak mau naik, namun kemudian mendadak
berat badan bertambah dan terjadinya pertambahan ini tidak diikuti
dengan nafsu makan yang meningkat.
Edema berpindah dengan perubahan posisi dan akan lebih jelas di
kelopak mata dan muka sesudah tidur sedangkan pada tungkai tampak
selama dalam posisi berdiri. Edema pada anak pada awal perjalaan
penyakit SN umumnya dinyatakan sebagai lembek dan pitting. Pada
edema ringan dapat dirasakan pada pemakaian baju dan kaos kaki yang
menyempit. Kadang pada edema yang massif terjadi robakan pada kulit
secara spontan dengan keluarnya cairan. Pada keadaan ini, edema
telah mengenai semua jaringan dan menimbulkan asites, pembengkakan
skrotum atau labia, bahkan efusi pleura.
Gangguan Gastrointestinal
Gangguan ini sering ditemukan dalam perjalanan penyakit SN.
Diare sering dialami pasien dalam keadaan edema yang massif dan
keadaan ini tidak berkaitan dengan infeksi namun diduga penyebabnya
adalah edema pada mukosa usus. Hepatomegali dapat ditemukan pada
pemeriksaan fisik, yang disebabkan karena sistesis albumin yang
meningkat atau edema, atau keduanya. Terdapat nyeri perut yang
terkadang berat yang dirasakan terbatas pada kuadaran atas kanan
saja, timbul mual dan muntah, serta dapat dirasakan dinding perut
menjadi tegang. Anoreksia dan hilangnya protein dapat menyebabkan
timbulnya tanda-tanda malnutrisi seperti perubahan rambut dan
kulit, pembesaran kelenjar parotis. Asites yang hebat dapat
menyebabkan herniaumbilikalis dan prolaps ani.
Gangguan Pernafasan
Karena adanya distensi abdomen dengan atau tanpa efusi pleura
maka saluran pernafasan sering terganggu, bahkan terkadang keadaan
menjadi gawat. Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian infuse
albumin dan furosemid.
Gangguan Fungsi Psikososial
Pada umumnya terdapat stress nonspesifik terhadap anak yang
sedang berkembang dan keluarganya. Timbul kecemasan dan perasaan
bersalah pada keluarga dan pasien merupakan respon emosional.
(Buku IDAI)
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dapat ditemukan, pasien akan tampak
sesak, muka sembab (edema), anemia ringan, efusi pleura, asites,
edema pada tungkai, lengan, dan genitalia, serta terdapat
hipertensi ringan sampai sedang.
Pemeriksaan Laboraturium
Pada SN, proteinuria umumnya bersifat massif, yang berarti
ekskresi protein > 50 mg/kgBB/hari atau > 40 mg/m2/jam, atau
secara kualitatif proteinuria +++ sampai ++++. Untuk menentukan
derajat kerusakan glomerulus dengan menggunakan ISP (Index
Selectivity of Proteinuria) dengan cara mengukur rasio Clearance
IgG dan Clearance transferin. Bila hasil < 0,2 menunjukkan
kerusakan glomerulus ringan dan respon terhadap kortikosteroid
baik. Jika hasil > 0,2 maka menunjukkan kerusakan glomerulus
berat dan tidak respon terhadap kortikosteroid.
Hipoalbuminemia ialah apabila kadar albumin dalam darah < 2,5
gram/100ml. Edema anasarka umumnya terjadi bila kadar albumin darah
< 2 gram/100ml, dan syok hipovolemik biasanya terjadi pada kadar
albumin darah < 1gram/100ml.
Hiperlipidemia merupakan gejala umum pada sindrom nefrotik, dan
umumnya, berkorelasi terbalik dengan kadar albumin serum. Kadar
kolesterol LDL dan VLDL meningkat, sedangkan kadar kolesterol HDL
menurun. Kadar lipid tetap tinggi sampai 1-3 bulan setelah remisi
sempurna dari proteinuria.
Hematuria mikroskopik kadang-kadang terlihat pada sindrom
nefrotik, namun tidak dapat dijadikan petanda untuk membedakan
berbagai tipe sindrom nefrotik.
Fungsi ginjal tetap normal pada sebagian besar pasien pada saat
awal penyakit. Penurunan fungsi ginjal yang tercermin dari
peningkatan kreatinin serum biasanya terjadi pada sindrom nefrotik
dari tipe histologik yang bukan SNKM.
Tidak perlu dilakukan pencitraan secara rutin pada pasien
sindrom nefrotik. Pada pemeriksaan foto toraks, tidak jarang
ditemukan adanya efusi pleura dan hal tersebut berkorelasi secara
langsung dengan derajat sembab dan secara tidak langsung dengan
kadar albumin serum. Sering pula terlihat gambaran asites. USG
ginjal sering terlihat normal meskipun kadang-kadang dijumpai
pembesaran ringan dari kedua ginjal dengan ekogenisitas yang
normal.
KRITERIA DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang.
Anamnesis
Keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak di ke dua kelopak
mata, perut, tungkai, atau seluruh tubuh dan dapat disertai jumlah
urin yang berkurang. Keluhan lain juga dapat ditemukan seperti urin
berwarna kemerahan.
Pemeriksaan fisis
Pada pemeriksaan fisik sindrom nefrotik dapat ditemukan edema di
kedua kelopak mata, tungkai, atau adanya asites dan edema
skrotum/labia. Kadang-kadang ditemukan hipertensi.
Pemeriksaan penunjang
Pada urinalisis ditemukan proteinuria masif (3+ sampai 4+),
dapat disertai hematuria. Pada pemeriksaan darah didapatkan
hipoalbuminemia (< 2,5 g/dl), hiperkolesterolemia, dan laju
endap darah yang meningkat, rasio albumin/globulin terbalik. Kadar
ureum dan kreatinin umumnya normal kecuali ada penurunan fungsi
ginjal.
DIAGNOSIS BANDING1. Sembab non-renal : gagal jantung kongestif,
gangguan nutrisi, edema hepatal, edema Quincke.2. Glomerulonefritis
akut3. Lupus sistemik eritematosus.
KOMPLIKASI
Komplikasi pada SN tergantung pada beberapa faktor, yaitu :
Kelainan histopatologi, lamanya sakit, usia pasien
1. Malnutrisi
Hipoalbuminemia berat dan berlangsung lama dapat menyebabkan
keadaan malnutrisi yang memperburuk keadaan umum.
2. Infeksi sekunder
Setiap pasien SN umumnya sangat peka terhadap macam-macam
infeksi renal dan saluran kemih, ekstrarenal terutama saluran
nafas. Kepekaan terhadap infeksi disebabkan gangguan mekanisme
pertahanan humoral dan penurunan gamma globulin serum.
3. Gangguan koagulasi
Umumnya berubah sifat menjadi hiperkoagulasi dan dapat
menyebabkan fenomena trombo-emboli pada pembuluh darah arteri
maupun vena.
4. Akselerasi ateroskelosis
Hiperlipidemia yang berlangsung lama dan tidak terkontrol dapat
mempercepat proses aterosklerosis pembuluh darah koroner, aorta dan
arteria renalis. Sehingga dapat menyebabkan penyakit jantung
iskemi.
5. Kolaps hipovolemi
Pada sindrom nefrotik berat dengan proteinuria lebih dari 60
gram/hari terutama pada pasien anak-anak dapat menyebabkan
penurunan circulating protein pool yang diikuti hipovolemia berat
dan fatal.
6. Efek samping obat-obatan
Seperti pemakaian obat-obatan diuretika, antibiotika,
kortikosteroid, antihipertensi, sitostatika.
7. Gagal ginjal
RAIJ dkk. (1976) melaporkan 5 pasien sindrom glomerulopati lesi
minimal dan glomerulosklerosis fokal disertai komplikasi gagal
ginjal akut yang iriversibel.
TERAPI
Tata laksana sindrom nerotik idiopatik
Tata laksana sindrom nefrotik dibedakan atas pengobatan dengan
imunosupresif dan atau imunomodulator, dan pengobatan suportif atau
simtomatik.
1. Terapi Kortikosteroid
Sejak tahun 1940 kortikosteroid telah terbukti efektif dan
merupakan pengobatan SN idiopatik lini pertama, meskipun belum ada
suatu uji klinis acak terkontrol mengenai obat ini. Pengobatan
dengan kortikosteroid dibedakan antara pengobatan inisial dan
pengobatan relaps.
Kontroversi terletak pada dosis dan lama pengobatan steroid
untuk terapi inisial SN, yaitu pengobatan standar menurut ISKDC dan
terapi inisial jangka panjang.Pengobatan standar menurut ISKDC
ialah pemberian prednison dengan dosis penuh (full dose) 60
mg/m/hari atau 2 mg/kg/hari (maksimum 80 mg/hari) dibagi 3 dosis,
selama 4 minggu berturut-turut. Kemudian dilanjutkan dengan dosis
40 mg/m/hari (2/3 dosis awal? maksimum 60 mg/hari) satu kali sehari
setelah sarapan pagi, secara intermiten atau alternating (3 kali
dalam seminggu). Dengan pengobatan inisial standar ini, dalam 2
minggu pertama telah terjadi remisi pada 80% kasus, sedangkan
setelah pengobatan prednison 4 minggu pertama remisi ditemukan pada
95% kasus. Bila setelah 4 minggu pemberian prednison dosis penuh
tidak juga terjadi remisi, maka pasien tersebut dilabel sebagar
SNRS.
Terapi inisial jangka panjang terbukti dapat mempertahankan
remisi lebih lama bila dibandingkan terapi standar tersebut di
atas. 50% kasus SN yang mendapat terapi inisial jangka panjang
tetap mengalami remisi selama 2 tahun, dibandingkan kasus yang
mendapat terapi inisial standar hanya 27,3%. APN
(Arbeitgemeinschaft fur Pediatrische Nephrologie) Jerman
menganjurkan pengobatan inisial jangka panjang dengan pemberian
prednison 6 minggu dosis penuh dilanjutkan dengan 6 minggu dosis
alternating. Di Malaysia, terapi inisial pednison jangka panjang
adalah dengan dosis 60 mg/m/hari selama 4 minggu, kemudian dosis 40
mg/m/hari selang sehari selama 4 minggu, dilanjutkan dengan
menurunkan dosis prednison 25% setiap bulan selama 4 bulan.
Sebagian besar SN (80-90%) pada anak usia di bawah 10 tahun
mengalami remisi dengan pemberian steroid selama 8 minggu, kelompok
ini disebut sebagai sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS).
Median waktu terjadinya remisi berkisar 11 hari. Remisi
didefinisikan sebagai proteinuria kurang dari 4 mg/m/jam atau
dengan dipstik negatif atau trace, 3 hari berturut-turut dalam 1
minggu; sedangkan relaps didefinisikan sebagai proteinuria ? 2+ (?
40 mg/m/jam) 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu. Kelompok SNSS
dalam perjalanan penyakit dapat dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu SN
non-relaps (30%), SN relaps jarang (10-20%), SN relaps sering dan
SN dependen steroid (40-50%).
Sindrom nefrotik non relaps ialah penderita yang tidak pernah
mengalami relaps setelah mengalami episode pertama penyakit ini.
Sindrom nefrotik relaps jarang ialah anak yang mengalami relaps
kurang dari 2 kali dalam periode 6 bulan atau kurang dari 4 kali
dalam periode 12 bulan setelah pengobatan inisial. Sindrom nefrotik
relaps sering ialah penderita yang mengalami relaps ?2 kali dalam
periode 6 bulan pertama setelah respons awal atau ? 4 kali dalam
periode 12 bulan. Sindrom nefrotik dependen steroid bila dua relaps
terjadi berturut-turut pada saat dosis steroid diturunkan atau
dalam waktu 14 hari setelah pengobatan dihentikan. Penderita SN non
relaps dan relaps jarang mempunyai prognosis yang baik, sedangkan
penderita relaps sering dan dependen steroid merupakan kasus sulit
yang mempunyai risiko besar untuk memperoleh efek samping steroid,
seperti hipertensi, moon face, gangguan pertumbuhan, striae,
gangguan perilaku, obesitas, katarak, glaukoma, dll. SN resisten
steroid mempunyai prognosis yang paling buruk.
Pengobatan relaps menurut ISKDC ialah dengan pemberian prednison
60 mg/m/hari sampai terjadi remisi, kemudian dilanjutkan dengan
dosis 40 mg/m/hari secara alternating selama total 28 hari (14
dosis).
Pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid dapat
diberikan dengan steroid jangka panjang, yaitu setelah remisi
dengan prednison dosis penuh dilanjutkan dengan steroid alternating
dengan dosis yang diturunkan bertahap sampai dosis terkecil yang
tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1-0,5 mg/kg secara
alternating. Dosis ini disebut sebagai dosis treshold, diberikan
minimal selama 3-6 bulan, kemudian dicoba untuk dihentikan. Dosis
treshold ini dapat diberikan sampai 9-18 bulan. Umumnya anak usia
sekolah dapat mentolerir prednison 0,5-0,6 mg/kg dan usia pra
sekolah sampai 1 mg/kg secara alternating, perlu dikombinasikan
dengan imunomodulator lain seperti levamisol, siklofosfamid, atau
siklosporin. (Tabel 1).
Pada SN resisten steroid telah dilaporkan pengobatan agresif
dengan metil prednisolon puls intravena 30 mg/kg, dimulai dengan 3
kali per minggu untuk 2 minggu pertama, kemudian 1 kali per minggu
untuk 8 minggu berikutnya, lalu tiap 2 minggu selama 8 minggu,
kemudian setiap 4 minggu selama 9 bulan, dilanjutkan dengan tiap 8
minggu selama 6 bulan lagi, dikombinasikan dengan prednison oral 2
mg/kg dosis alternating. Pada pengamatan selama 6 tahun, 21 dari 32
penderita tetap menunjukkan remisi total. Namun hasil ini tidak
dapat dikonfirmasikan dengan laporan penelitian lain.
Terapi non steroid
Siklofosfamid
Klorambusil
Siklosporin A
Levamisol
Obat imunosupresif lain
Inhibitor enzim angiotensin konvertase
2. Terapi suportif/simtomatik
Edema
Diuretik hanya diberikan pada edema yang nyata, dan tidak dapat
diberikan SN yang disertai dengan diare, muntah atau hipovolemia.
Pada edema sedang atau edema persisten, dapat diberikan furosemid
dengan dosis 1-3 mg/kg per hari. Pemberian spironolakton dapat
ditambahkan bila pemberian furosemid telah lebih dari 1 minggu
lamanya, dengan dosis 1-2 mg/kg per hari. Bila edema menetap dengan
pemberian diuretik, dapat diberikan kombinasi diuretik dengan infus
albumin. Pemberian infus albumin diikuti dengan pemberian furosemid
1-2 mg/kg intravena. (Tabel 2). Albumin biasanya diberikan selang
sehari untuk menjamin pergeseran cairan ke dalam vaskuler dan untuk
mencegah kelebihan cairan (overload). Penderita yang mendapat infus
albumin harus dimonitor terhadap gangguan napas dan gagal jantung.
Asites refrakter yang disertai dengan sesak napas atau kulit yang
pecah, perlu dikeluarkan secara bertahap.
Dietetik
Jenis diet yang direkomendasikan ialah diet seimbang dengan
protein dan kalori yang adekuat. Kebutuhan protein anak ialah 1,5 2
g/kg, namun anak-anak dengan proteinuria persisten yang seringkali
mudah mengalami malnutrisi diberikan protein 2 2,25 g/kg per hari.
Maksimum 30% kalori berasal dari lemak. Karbohidrat diberikan dalam
bentuk kompleks seperti zat tepung dan maltodekstrin. Restriksi
garam tidak perlu dilakukan pada SNSS, namun perlu dilakukan pada
SN dengan edema yang nyata.
Infeksi
Penderita SN sangat rentan terhadap infeksi, yang paling sering
ialah selulitis dan peritonitis. Hal ini disebabkan karena
pengeluaran imunoglobulin G, protein faktor B dan D di urin,
disfungsi sel T, dan kondisi hipoproteinemia itu sendiri. Pemakaian
imunosupresif menambah risiko terjadinya infeksi. Pemeriksaan fisis
untuk mendeteksi adanya infeksi perlu dilakukan. Selulitis umumnya
disebabkan oleh kuman stafilokokus, sedang sepsis dapa SN sering
disebabkan oleh kuman Gram negatif. Peritonitis primer umumnya
disebabkan oleh kuman Gram-negatif dan Streptococcus pneumoniae
sehingga perlu diterapi dengan penisilin parenteral dikombinasikan
dengan sefalosporin generasi ke-tiga, seperti sefotaksim atau
seftriakson selama 10-14 hari. Di Inggris, penderita SN dengan
edema anasarka dan asites masif diberikan antibiotik profilaksis
berupa penisilin oral 125 mg atau 250 mg, dua kali sehari sampai
asites berkurang.
Hipertensi
Hipertensi pada SN dapat ditemukan sejak awal pada 10-15% kasus,
atau terjadi sebagai akibat efek samping steroid. Pengobatan
hipertensi pada SN dengan golongan inhibitor enzim angiotensin
konvertase, calcium channel blockers, atau beta adrenergic
blockers.
Hipovolemia
Komplikasi hipovolemia dapat terjadi sebagai akibat pemakaian
diuretik yang tidak terkontrol, terutama pada kasus yang disertai
dengan sepsis, diare, dan muntah. Gejala dan tanda hipovolemia
ialah hipotensi, takikardia, akral dingin dan perfusi buruk,
peningkatan kadar urea dan asam urat dalam plasma. Pada beberapa
anak memberi keluhan nyeri abdomen. Hipovalemia diterapi dengan
pemberian cairan fisiologis dan plasma sebanyak 15-20 ml/kg dengan
cepat, atau albumin 1 g/kg berat badan.
Tromboemboli
Tromboemboli ditemukan pada 2 - 4% anak dengan SN, biasanya
merupakan trombosis vena dalam di ekstremitas, vena renalis, dan
vena-vena di paru atau di serebral. Risiko untuk mengalami
tromboemboli ini disebabkan oleh karena keadaan
hiperkoagulabilitas. Selain disebabkan oleh penurunan volume
intravaskular, keadaan hiperkoagulabilitas ini dikarenakan juga
oleh peningkatan faktor pembekuan darah antara lain faktor V, VII,
VIII, X serta fibrinogen, dan dikarenakan oleh penurunan
konsentrasi antitrombin III yang keluar melalui urin. Risiko
terjadinya tromboemboli akan meningkat pada kadar albumin plasma
< 2 g/dL, kadar fibrinogen > 6 g/dL, atau kadar antitrombin
III < 70%. Pada SN dengan risiko tinggi, pencegahan komplikasi
tromboemboli dapat dilakukan dengan pemberian asetosal dosis rendah
dan dipiridamol. Heparin hanya diberikan bila telah terhadi
tromboemboli, dengan dosis 50 U/kg intravena dan dilanjutkan dengan
100 U/kg tiap 4 jam secara intravena.
Hiperlipidemia
Hiperlipidemia pada SN meliputi peningkatan kolesterol,
trigliserida, fosfolipid dan asam lemak. Kolesterol hampir selalu
ditemukan meningkat, namun kadar trigliserida, fosfolipid tidak
selalu meningkat. Peningkatan kadar kolesterol berbanding terbalik
dengan kadar albumin serum dan derajat proteinuria. Keadaan
hiperlipidemia ini disebabkan oleh karena penurunan tekanan onkotik
plasma sebagai akibat dari proteinuria merangsang hepar untuk
melakukan sintesis lipid dan lipoprotein, di samping itu
katabolisme lipid pada SN juga menurun. Hiperlipidemia pada SNSS
biasanya bersifat sementara, kadar lipid kembali normal pada
keadaan remisi, sehingga pada keadaan ini cukup dengan pengurangan
diit lemak
TAHAPAN TATA LAKSANA SINDROM NEFROTIK
1. SN episode pertama
Prednisolon 60 mg/m/hari (maksimum 80 mg) sampai
remisi.Dilanjutkan dengan 40 mg/m (maksimum 60 mg) alternating
selama 4 minggu
2. Relaps pertama
Prednisolon 60 mg/m/hari (maksimum 80 mg) sampai
remisi.Dilanjutkan dengan 40 mg/m (maksimum 60 mg) alternating
selama 4 minggu
3. Relaps sering
Pertahankan prednisolon alternating 0,1-0,5 mg/kg/hari selama
3-6 bulan, kemudian diturunkan
4. Relaps saat mendapat prednison > 0,5 mg/kg alternating
Dapat dicoba ditambah levamisol 2,5 mg/kg alternating selama
4-12 bulan
5. Relaps saat mendapat prednisolon > 0,5 mg/kg alternating
DAN menderita/mempunyai risiko efek samping steroid ATAU relaps
saat mendapat prednisolon > 1,0 mg/kg alternating
Beri siklofosfamid 3 mg/kg/hari selama 8 minggu
6. Relaps pasca pemberian siklofosfamid
Seperti tahap (2) dan (3) di atas
7. Relaps saat mendapat prednison > 0,5 mg/kg alternatingBeri
siklosporin 5 mg/kg/hari selama 1 tahun
Sumber : Report of a Workshop by the British Association for
Pediatric Nephrology and Research Unit, Royal College of
Physicians.
TAHAPAN TATA LAKSANA EDEMA PADA SINDROM NEFROTIK
Furosemid 1-3 mg/kg/hari. Dapat ditambah dengan spironolakton
2-4 mg/kg/hari. Bila tidak ada respons (berat badan tidak turun
atau diuresis dalam 48 jam)Dosis furosemid dinaikkan 2 kali sampai
timbul diuresis atau sampai dosis maksimum 4-5 mg/kg/hari. Bila
tidak ada respons tambahkan metolazon 0,1-0,3 mg/kg/hari. Bila
tidak ada respons berikan furosemid bolus intravena 2-3 mg/kg per
dosis atau per infus 0,3-1 mg/kg per jam. Bila tidak ada respons
berikan albumin 20% 1g/kg intravena, diikuti dengan furosemid
intravena
Keterangan :
Bila diuresis telah tercapai, dosis furosemid diturunkan secara
bertahap
Pada pemberian furosemid dan metolazon perlu dilakukan monitor
kadar elektrolit, bila terjadi hipokalemia ditambahkan
spironolakton atau suplemen kalium
Sumber : Consensus statement on management of steroid responsive
nephrotic symdrome. Indian Pediatric Nephrology Group, Indian
Academy of Pediatrics.
PROGNOSIS
Prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan-keadaan sebagai
berikut :
1. Menderita untuk pertamakalinya pada umur di bawah 2 tahun
atau di atas 6 tahun.
2. Disertai oleh hipertensi.
3. Disertai hematuria.
4. Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder.
5. Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal.
Pada umumnya sebagian besar (+ 80%) sindrom nefrotik primer
memberi respons yang baik terhadap pengobatan awal dengan steroid,
tetapi kira-kira 50% di antaranya akan relapse berulang dan sekitar
10% tidak memberi respons lagi dengan pengobatan steroid
DAFTAR PUSTAKA
1. Alatas, H dkk. 2002. Buku Ajar Nefrologi Anak Edisi II IDAI.
Jakarta: Sagung Seto.
2. Behram, dkk. 2002. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Edisi II.
Jakarta: EGC
3. Rauf, S. 2002. Catatan Kuliah Nefrologi Anak. Makasar: Bagian
Ilmu Kesehatan Anak FK-UH
4. Sukandar, E. Nefrologi Klinik Edisi III. Bandung: PII Bagian
Ilmu Penyakit Dalam FK-UNPAD
5. Internet:
a. WWW.PEDIATRIK.COM | INDONESIA - JAWA TIMUR SURABAYA
Bag/ SMF Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran UNAIR
Surabaya
b. www.one.indoskripsi.com.