BAB IPENDAHULUAN
Pada tahun 1967 Ashbaugh dan kawan-kawan mempublikasikan artikel
yang menggambarkan karekteristik klinis 12 pasien yang mengalami
gagal nafas akut. Tidak satupun dari pasien tersebut yang menderita
penyakit saluran nafas sebelumnya. Gagal nafas pada pasien-pasien
tersebut ternyata terjadi akibat adanya penyakit serius lainnya,
misalnya trauma yang berat, pankreatitis, dan penyalah gunaan obat.
Gejala Klinis dan perubahan fisiologis yang terjadi ternyata
menyerupai perubahan-perubahan yang terjadi pada neonatus yang
mengalami gagal nafas akibat Infant Respiratory Distress Syndrome.
Berdasarkan hal itu pada pasien-pasien tersebut diberikan istilah
Respiratory Distress Syndrome pada orang dewasa. Sejak saat itu
terminology tersebut dijadikan terminology yang baku dan disebut
sebagai adult respiratory distress syndrome (ARDS)/syndrome gagal
nafas pada orang dewasa. Dalam klinik istilah ARDS digunakan untuk
pasien-pasien yang mengalami edema paru akut yang tidak disebabkan
oleh kelainan jantung.(1,2)Acute Respiratory Distress Syndrome
(ARDS) merupakan sindrom yang ditandai oleh peningkatan
permeabilitas membran alveolar kapiler terhadap air, larutan dan
protein plasma, disertai kerusakan alveolar difus, dan akumulasi
cairan dalam parenkim paru yang mengandung protein. (1,2,3)Acute
Respiratory Distress Syndrome (ARDS) mengakibatkan terjadinya
gangguan paru yang progresif dan tiba tiba ditandai dengan sesak
napas yang berat, hipoksemia dan infiltrat yang menyebar di kedua
belah paru. ARDS (juga disebut syok paru) terjadi akibat cedera
paru dimana sebelumnya ditemukan paru yang sehat, sindrom ini
didapatkan kurang lebih 150.000 sampai 200.000 pasien di dunia tiap
tahun, dengan laju mortalitas 65% untuk semua pasien yang mengalami
ARDS. Faktor resiko yang menonjol adalah sepsis. Kondisi pencetus
lain termasuk trauma mayor, tranfusi darah, aspirasi tenggelam,
inhalasi asap atau kimia, gangguan metabolik, toksik, pankreatitis,
eklamsia, dan kelebihan dosis obat.(1,7,8)Perawatan akut dilakukan
secara khusus, menangani perawatan kritis dengan intubasi dan
ventilasi mekanik. ARDS berkembang sebagai akibat kondisi atau
kejadian berbahaya berupa trauma jaringan paru baik secara langsung
maupun tidak langsung. ARDS terjadi sebagai akibat cedera atau
trauma pada membran alveolar kapiler yang mengakibatkan kebocoran
cairan kedalam ruang interstisiel alveolar dan perubahan dalam
jaring jaring kapiler, terdapat ketidakseimbangan ventilasi dan
perfusi yang jelas akibat kerusakan pertukaran gas dan pengalihan
ekstansif darah dalam paru paru. ARDS menyebabkan penurunan dalam
pembentukan surfaktan, yang mengarah pada kolaps alveolar.
Komplians paru menjadi sangat menurun atau paru paru menjadi kaku,
akibatnya adalah penurunan karakteristik dalam kapasitas residual
fungsional, hipoksia berat dan hipokapnia. (6,12,13)Acute
Respiratory Distress Syndrome (ARDS) diakui sebagai bentuk yang
paling parah pada Acute Lung Injury (ALI), suatu bentuk cedera
alveolar difus. Menurut kriteria American Europe Committe
Conference (AECC), aspek keparahan hipoksemia diperlukan untuk
membuat diagnosis ARDS didefinisikan oleh rasio tekanan parsial
oksigen dalam darah arteri pasien (PaO2) dan fraksi oksigen dalam
udara inspirasi (FiO2). Dalam ARDS, rasio PaO2 / FIO2 < 200, dan
ALI < 300. (1,2,8)
BAB IIACUTE RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME (ARDS)
2.1 DEFINISI Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)
merupakan sindrom yang ditandai oleh peningkatan permeabilitas
membran alveolar kapiler terhadap air, larutan dan protein plasma,
disertai kerusakan alveolar difus, dan akumulasi cairan dalam
parenkim paru yang mengandung protein. (1,2,3,4)Dasar definisi yang
dipakai konsensus Komite Konferensi ARDS Amerika-Eropa (AECC) tahun
1994 terdiri dari : 1. Gagal napas (respiratory failure/distress)
dengan onset akut;2. Rasio tekanan oksigen pembuluh arteri
berbanding fraksi oksigen yang diinspirasi (PaO2 / FIO2) < 200
mmHg hipoksemia berat;3. Radiografi dada : infiltrat alveolar
bilateral yang sesuai dengan edema paru;4. Tekanan baji kapiler
pulmoner (pulmonary capillary wedge pressure) < 18 mmHg, tanpa
tanda tanda klinis (rontgen,dan lain-lain) dengan adanya hipertensi
atrial kiri / (tanpa adanya tanda gagal jantung kiri).(1,2,3,6)
Bila PaO2 / FIO2 antara 200-300 mmHg, maka disebut Acute Lung
Injury (ALI). Konsensus juga mensyaratkan didapatkan adanya faktor
resiko terjadinya ALI dan tidak adanya penyakit paru kronik yang
bermakna.
2.2 EPIDEMIOLOGI Insiden ARDS ini berubah-ubah tergantung dari
kriteria diagnosis yang digunakan untuk definisi yang diberikan,
sebagai penyakit yang mendasari menjadi suatu faktor resiko.
Perkiraan insiden ARDS di Amerika Serikat setiap tahunnya setelah
dijumlahkan mendekati 150 ribu kasus baru pertahunnya. Dalam
penelitian oleh Fowler dkk insiden ini bervariasi dari 2% (yaitu
pada pasien post coronary arteri baypass atau pasien terbakar)
menjadi 36% (yaitu pada Gastric broncho aspirasi). Dalam penelitian
Kohort yang serupa, Pepe dkk menemukan bahwa insiden ARDS berkisar
dari 8% (pada pasien dengan multipel fraktur) menjadi 38% (pada
pasien dengan sepsis). Pada 1970-an, melalui penelitian Institut
Kesehatan Nasional (NIH) di Amerika Serikat, frekuensi tahunan
insiden terjadinya ARDS diperkirakan adalah 75 kasus per 100.000
penduduk. Penelitian selanjutnya, sebelum pengembangan definisi
AECC, dilaporkan terjadi penurunan angka kejadian. Sebagai contoh,
sebuah studi dari Utah menunjukkan kejadian diperkirakan 4,8-8,3
kasus per 100.000 penduduk. (4)Data yang diperoleh baru baru ini
oleh jaringan studi NIH menunjukkan bahwa kejadian ARDS sebenarnya
mungkin lebih tinggi dari perkiraan semula dari 75 kasus per
100.000 penduduk. Sebuah penelitian prospektif dengan menggunakan
definisi 1994 AECC dilakukan di King County, Washington, dari April
1999 sampai Juli 2000 yang dilakukan berdasarkan tingkat usia,
ditemukan angka kejadian rata-rata dari semua tingkat umur adalah
86,2 per 100.000 orang dan mencapai 306 per 100.000 orang tahun
untuk orang di usia 75-84 tahun. Berdasarkan statistik ini,
diperkirakan 190.600 kasus ada di Amerika Serikat setiap tahun, dan
sebanyak 75.400 berakhir dengan kematian. Statistik studi
international pertama yang menggunakan definisi AECC 1994 dilakukan
di Skandinavia, yang melaporkan tingkat tahunan 17,9 kasus per
100.000 penduduk untuk ALI dan 13,5 kasus per 100.000 penduduk
untuk ARDS. (4)ARDS dapat terjadi pada orang dari segala usia.
Insiden meningkat dengan usia lanjut, mulai dari 16 kasus per
100.000 orang tahun pada mereka yang berusia 15-19 tahun untuk 306
kasus per 100.000 orang tahun pada mereka yang berusia antara 75
dan 84 tahun. Distribusi usia mencerminkan kejadian penyebab yang
mendasari. (4)Untuk ARDS berhubungan dengan sepsis dan penyebab
lain, tidak ada perbedaan insidens antara pria dan wanita. Namun,
pada pasien trauma saja, insiden penyakit ini mungkin sedikit lebih
tinggi di antara perempuan. (2,8)
2.3 ETIOLOGI ARDS terjadi jika paru-paru terkena cedera baik
secara langsung maupun tidak langsung. Berdasarkan mekanisme
patogenesisnya maka penyakit dasar yang menyebabkan sindrom ini
dapat dibagi menjadi 2 kelompok :
1. Trauma langsung pada parua. Pneumoni virus, bakterib.
Contusio paruc. Aspirasi cairan lambungd. Inhalasi asap berlebihe.
Inhalasi toksinf. Menghisap O2 konsentrasi tinggi dalam waktu
lama
2. Trauma tidak langsung a. Sepsisb. Shock, Luka bakar hebat,
tenggelamc. DIC (Dissemineted Intravaskuler Coagulation)d.
Pankreatitise. Uremiaf. Overdosis obat seperti heroin, metadon,
propoksifen atau aspiring. Idiophatic (tidak diketahui)h. Bedah
Cardiobaypass yang lamai. Transfusi darah yang banyakj. PIH
(Pregnant Induced Hipertension)k. Peningkatan TIKl. Terapi
radiasim. Trauma hebat, Cedera pada dada
Gejala biasanya muncul dalam waktu 24-48 jam setelah terjadinya
penyakit atau cedera. ARDS seringkali terjadi bersamaan dengan
kegagalan organ lainnya, seperti hati atau ginjal. (1,2,3)Menurut
Hudak & allo ( 1997 ), gangguan yang dapat mencetuskan
terjadinya ARDS adalah ;
1. Sistemik :a. Syok karena berbagai penyebabb. Sepsis gram
negatifc. Hipotermiad. Hipertermiae. Overdosis obat ( Narkotik,
Salisilat, Trisiklik, Paraquat, Metadone, Bleomisin )f. Gangguan
hematology ( DIC, transfusi masif, cardiopulmonal bypass )g.
Eklampsiah. Luka bakar
2. Pulmonal :a. Pneumonia (viral, bakteri, jamur, penumocytis
carnii)b. Trauma (emboli lemak, kontusio paru)c. Aspirasi (cairan
gaster, tenggelam, cairan hidrokarbon)d. Pneumositis
3. Non-Pulmonal :a. Cedera kepalab. Peningkatan tekanan intra
kranialc. Pasca kardioversid. Pankreatitise. Uremia
2.4 FAKTOR RISIKO Kerusakan (Injury) langsung pada epitel
alveolus :1. Aspirasi isi gaster;2. Infeksi paru difus;3. Kontusio
paru;4. Tenggelam;5. Inhalasi toksik.Kerusakan (Injury) tidak
langsung :1. Sepsis;2. Trauma nontoraks;3. Transfusi produk darah
berlebihan;4. Pankreatitis;5. Pintas kardiopulmoner. (1,3,4,10)
2.5 PATOLOGIEpitelium alveolar dan endotelium mikrovaskular
mengalami kerusakan pada ARDS. Kerusakan ini menyebabkan
peningkatan permeabilitas barier alveolar dan kapiler sehingga
cairan masuk ke dalam ruang alveolar. Derajat kerusakan epithelium
alveolar ini menentukan prognosis. (1,4,5)Epitelium alveolar normal
terdiri dari 2 tipe sel, yaitu sel pneumosit tipe I dan sel
pneumosit tipe II. Permukaan alveolar 90% terdiri dari sel
pneumosit tipe I berupa sel pipih yang mudah mengalami kerusakan.
Fungsi utama sel pneumosit tipe I adalah pertukaran gas yang
berlangsung secara difusi pasif. Sel pneumosit tipe II meliputi 10%
permukaan alveolar terdiri atas sel kuboid yang mempunyai aktivitas
metabolik intraselular, transport ion, memproduksi surfaktan dan
lebih resisten terhadap kerusakan. (1,4,5)Kerusakan epitelium
alveolar yang berat menyebabkan kesulitan dalam mekanisme perbaikan
paru dan menyebabkan fibrosis. Kerusakan pada fase akut terjadi
pengelupasan sel epitel bronkial dan alveolar, diikuti dengan
pembentukan membran hialin yang kaya protein pada membran basal
epitel yang gundul. Neutrofil memasuki endotel kapiler yang rusak
dan jaringan interstitial dipenuhi cairan yang kaya akan protein.
(1,4,5
Gambar 1. Pathogenesis alveolar in ARDS (4)
2.6 PATOGENESIS Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)
dimulai dengan kerusakan pada epitel alveolar dan endotel
mikrovaskular. Kerusakan awal dapat diakibatkan injury langsung
atau tidak langsung. Kedua hal tersebut mengaktifkan kaskade
inflamasi, yang dibagi dalam tiga fase yang dapat dijumpai secara
tumpang tindih: inisiasi, amplifikasi, dan injury. (1,2,4,5)Pada
fase inisiasi, kondisi yang menjadi faktor resiko akan menyebabkan
sel sel imun dan non imun melepaskan mediator mediator dan
modulator modulator inflamasi di dalam paru dan ke sistemik. Pada
fase amplifikasi, sel efektor seperti netrofil teraktivasi,
tertarik dan tertahan di dalam paru. Di dalam organ target tersebut
mereka melepaskan mediator inflamasi, termasuk oksidan dan
protease, yang secara langsung merusak paru dan mendorong proses
inflamasi selanjutnya. Fase ini disebut fase injury.
(1,2,4,5)Kerusakan pada membrane alveolar kapiler menyebabkan
peningkatan permeabilitas membran, dan aliran cairan yang kaya
protein masuk ke ruang alveolar. Cairan dan protein tersebut
merusak integritas surfaktan di alveolus, dan terjadi kerusakan
lebih jauh. Terdapat tiga fase kerusakan alveolus :
1. Fase eksudatif : ditandai edema interstitial dan alveolar,
nekrosis sel pneumosit tipe I dan denudasi / terlepasnya membran
basalis, pembengkakan sel endotel dengan pelebaran intercellular
junction, terbentuknya membran hialin pada duktus alveolar dan
ruang udara, dan inflamasi neutrofil. Juga ditemukan hipertensi
pulmoner dan berkurangnya compliance paru;
2. Fase proliferatif : paling cepat timbul setelah 3 hari sejak
onset, ditandai proliferasi sel epitel pneumosit tipe II,
fibroblast dan miofibroblast yang menyebabkan penebalan dinding
alveolus dan perubahan exudat perdarahan menjadi jaringan granulasi
seluler/ membrane hialin. Merupakan fase yang menentukan : cedera
bias mulai sembuh atau menetap , ada resiko terjadinya lung rupture
( pneumothorax ).
3. Fase fibrosis : kolagen meningkat dan paru menjadi padat
karena fibrosis. (1,2,4)
Perubahan patofisiologi yang terjadi pada ARDS adalah edema paru
interstistial dan penurunan kapasitas residu fungsional (KRF)
karena atelektasis kongestif difus. Keadaan normal, filtrasi cairan
ditentukan oleh hukum Starling yang menyatakan filtrasi melewati
endotel dan ruang intertisial adalah selisih tekanan osmotik
protein dan hidrostatik :Q = K (Pc-Pt) D (c-t)Q : kecepatan
filtrasi melewati membran kapilerPt : tekanan hidrostatik
interstitialK : koefisien filtrasic : tekanan onkotik kapilerD :
koefisien refleksit : tekanan onkotik interstitialPc : tekanan
hidrostatik kapilerPerubahan tiap aspek dari hukum Starling akan
menyebabkan terjadinya edema paru. Tekanan hidrostatik kapiler (Pc)
meningkat akibat kegagalan fungsi ventrikel kiri akan menyebabkan
peningkatan filtrasi cairan dari kapiler ke interstitial. Cairan
kapiler tersebut akan mengencerkan protein interstitial sehingga
tekanan osmotik interstitial menurun dan mengurangi pengaliran
cairan ke dalam vena. (1,4,5)Kerusakan endotel kapiler atau epitel
alveoli atau keduanya pada ARDS menyebabkan peningkatan
permeabilitas membran alveoli-kapiler (terutama sel pneumosit tipe
I) sehingga cairan kapiler merembes dan berkumpul didalam jaringan
interstitial, jika telah melebihi kapasitasnya akan masuk ke dalam
rongga alveoli (alveolar flooding) sehingga alveoli menjadi kolaps
(mikroatelektasis) dan compliance paru akan lebih menurun.
Merembesnya cairan yang banyak mengandung protein dan sel darah
merah akan mengakibatkan perubahan tekanan osmotik. (1,4,5)Cairan
bercampur dengan cairan alveoli dan merusak surfaktan sehingga paru
menjadi kaku, keadaan ini akan memperberat atelektasis yang telah
terjadi. Mikroatelektasis akan menyebabkan shunting intrapulmoner,
ketidakseimbangan (mismatch) ventilasi-perfusi (VA/Q) dan
menurunnya KRF, semua ini akan menyebabkan terjadinya hipoksemia
berat danprogresivitas yang ditandai dengan pernapasan cepat dan
dalam. Shunting intrapulmoner menyebabkan curah jantung akan
menurun 40%. (1,4,5)Hipoksemia diikuti asidemia, mulanya karena
pengumpulan asam laktat selanjutnya merupakan pencerminan gabungan
dari unsur metabolik maupun respiratorik akibat gangguan pertukaran
gas. Penderita yang sembuh dapat menunjukan kelainan faal paru
berupa penurunan volume paru, kecepatan aliran udara dan khususnya
menurunkan kapasitas difusi. (2,4,5,10)
Gambar 2. Anatomi alveoli pada ARDS
2.7 PROGNOSIS Mortalitas rata-rata sekitar 50-60%. Mortalitas
sekitar 40% didapatkan pada pasien dengan gagal nafas saja,
sedangkan pada pasien dengan sepsis atau adanya kegagalan organ
utama didapatkan mortalitas sekitar 70-80% dan bahkan bisa sampai
90% kalau sindrom gagal nafas amat berat. Pada pasien yang bertahan
hidup, umumnya fungsi paru akan kembali setelah berbulan-bulan,
namun harapan tersebut sangat kecil karena pasien yang menderita
ARDS akan mengalami kerusakan paru yang permanen dengan infeksi dan
fibrosis. (1,2,4,8)BAB IIIDIAGNOSIS ACUTE RESPIRATORY DISTRESS
SYNDROME (ARDS)
Menurut fakta sampai sekarang belum ada cara penilaian yang
spesifik dan sensitive terhadap kerusakan endotel/epitel, diagnosis
ARDS ditegakkan dengan kriteria phisiologi, namun hal ini masih
kontroversi. Meskipun begitu, pemeriksaan laboratorium dan gambaran
radiologi mungkin berguna Manifestasi klinis sindrom gagal nafas
akut bervariasi tergantung dari penyebab. Penyebab yang paling
penting adalah sepsis oleh kuman gram negatif, trauma berat,
operasi besar, trauma kardiovaskuler, pneumonia karena virus
influenza dan kelebihan dosis narkotik. Yang khas adalah adanya
masa laten antara timbulnya faktor predisposisi dengan timbulnya
gejala klinis sindrom gagal nafas selama sekitar 18-24 jam. Gejala
klinis yang paling menonjol adalah sesak napas, napas cepat, batuk
kering, ketidaknyamanan retrosternal dan gelisah. Pasien yang
memiliki keadaan yang lebih berat dari gagal nafas bisa terjadi
sianosis. Pada saluran nafas orang dewasa didapatkan trias gejala
yang penting yaitu hipoksia, hipotensi dan hiperventilasi. Pada
tahap berikutnya sesak nafas bertambah, sianosis menjadi lebih
berat. Ciri khas ARDS adalah hipoksemia yang tidak dapat diatasi
selama bernapas spontan. Frekuensi pernapasan sering kali meningkat
secara bermakna dengan ventilasi menit tinggi. Sianosis dapat atau
tidak terjadi. Hal yang harus diingat bahwa sianosis adalah tanda
dini dari hipoksemia. (1,3,6)American European Concencus Conference
Committee (AECC) pada tahun 1994 merekomendasikan definisi ARDS,
yaitu sekumpulan gejala dan tanda yang terdiri dari empat komponen
yaitu : onset akut, PaO2/FiO2 < 200, adanya infiltrat billateral
pada rontgen thorax dan tekanan kapiler wedge paru < 18 mmHg.
Dasar definisi yang dipakai konsensus Komite Konferensi ARDS
Amerika-Eropa tahun 1994 terdiri dari : 1. Gagal napas (respiratory
failure/distress) dengan onset akut;2. Rasio tekanan oksigen
pembuluh arteri berbanding fraksi oksigen yang diinspirasi (PaO2 /
FIO2) < 200 mmHg hipoksemia berat;3. Radiografi dada : infiltrat
alveolar bilateral yang sesuai dengan edema paru;4. Tekanan baji
kapiler pulmoner (pulmonary capillary wedge pressure) < 18 mmHg,
tanpa tanda tanda klinis (rontgen,dan lain-lain) adanya hipertensi
atrial kiri / (tanpa adanya tanda gagal jantung kiri).
(1,2,3,6)Definisi ARDS menurut AECC sederhana dan dapat
diaplikasikan secara klinis, tetapi mempunyai keterbatasan yaitu
tidak mempertimbangkan penyebab dasar kelainan dan keberadaan
disfungsi multiorgan. Meskipun demikian definisi ARDS
direkomendasikan kepada klinisi untuk pemakaian rutin dan sebagai
tambahan disarankan untuk mengidentifikasi faktor risiko perjalanan
ARDS dan tidak adanya signifikansi dengan penyakit paru kronik
sebelumnya. (1,3,11,16)
3.1 GEJALA KLINIS
Gejala klinis utama pada kasus ARDS adalah:
a. Distres pernafasan akut: takipnea, dispnea, pernafasan
menggunakan otot aksesoris pernafasan dan sianosis sentral.b. Batuk
kering dan demam yang terjadi lebih dari beberapa jam sampai
sehari.c. Auskultasi paru: ronkhi basah dan halus di seluruh bidang
paru, stridor, wheezing.d. Perubahan kesadaran yang berkisar dari
sopor dan agitasi sampai koma.e. Auskultasi jantung: bunyi jantung
normal tanpa murmur atau gallop (1,2,3,6)
Sindroma gawat pernafasan akut terjadi dalam waktu 24-48 jam
setelah kelainan dasarnya. Mula-mula penderita akan merasakan sesak
nafas, bisanya berupa pernafasan yang cepat dan dangkal. Karena
rendahnya kadar oksigen dalam darah, kulit terlihat pucat atau
biru, dan organ lain seperti jantung dan otak akan mengalami
kelainan fungsi. Hilangnya oksigen karena sindroma ini dapat
menyebabkan komplikasi dari organ lain segera setelah sindroma
terjadi atau beberapa hari/minggu kemudian bila keadaan penderita
tidak membaik. Kehilangan oksigen yang berlangsung lama bisa
menyebabkan komplikasi serius seperti gagal ginjal. Tanpa
pengobatan yang tepat, 90% kasus berakhir dengan kematian. Bila
pengobatan yang diberikan sesuai, 50% penderita akan selamat.
Karena penderita kurang mampu melawan infeksi, mereka biasanya
menderita pneumonia bakterial dalam perjalanan penyakitnya.
Gejala lainnya yang mungkin ditemukan:
a. Cemasb. Tekanan darah rendah atau syok (tekanan darah rendah
disertai oleh kegagalan organ lain)c. Penderita seringkali tidak
mampu mengeluhkan gejalanya karena tampak sangat sakit. (3,6)
Onset akut umumnya ialah 3-5 hari sejak adanya diagnosis kondisi
yang menjadi faktor resiko ARDS. Tanda pertama ialah takipnea.
Dapat ditemui hipotensi, febris. Pada auskultasi ditemukan ronki
basah. (1)
3.2 PEMERIKSAAN FISIKTemuan fisik sering tidak spesifik,
biasanya ditemukan takipnea, takikardia. Pasien mungkin demam atau
hipotermia. Karena ARDS sering terjadi dalam konteks sepsis,
hipotensi maka dapat ditemukan ekstremitas yang dingin. Sianosis
pada bibir dan kuku dapat terjadi. Pemeriksaan paru paru dapat
ditamukan rhonki basah halus bilateral. Rhonki mungkin bias tidak
ditemukan meskipun adanya keterlibatan infeksi luas. (1,3)Pada ARDS
dapat ditemukan manifestasi dari penyebab yang mendasari misalnya,
temuan perut akut dalam kasus ARDS disebabkan oleh pankreatitis.
Pada pasien sepsis tanpa sumber yang jelas, perhatikan selama
pemeriksaan fisik untuk mengidentifikasi penyebab potensial dari
sepsis, termasuk tanda-tanda konsolidasi paru-paru atau temuan
konsisten dengan abdomen akut. Karena edema paru kardiogenik harus
dibedakan dari ARDS, hati-hati mencari tanda-tanda gagal jantung
kongestif atau kelebihan beban volume intravaskular, termasuk
distensi vena jugularis, murmur jantung dan gallop, hepatomegali,
dan edema. (1,3)
3.3 PEMERIKSAAN PENUNJANGARDS ditegakkan jika tekanan parsial
oksigen dalam darah arteri pasien (PaO2) dibagi oleh fraksi oksigen
dalam udara inspirasi (FiO2), hasilnya adalah 200 atau kurang. Pada
cedera paru akut (ALI), rasio PaO2/FIO2 kurang dari 300. Selain
hipoksemia, analisa gas darah sering awalnya menunjukkan alkalosis
respiratorik. Namun, dalam ARDS yang terjadi dalam konteks sepsis,
asidosis metabolik dengan atau tanpa kompensasi pernapasan dapat
terjadi. (1,3,6)Saat kondisi ARDS sedang berlangsung dan terjadi
peningkatan pernapasan, tekanan parsial karbon dioksida (PCO2)
mulai meningkat dan alkalosis pernapasan dapat berubah menjadi
asidosis respiratorik. Pasien dengan pemasangan ventilasi mekanik
mungkin diperbolehkan untuk tetap hiperkapnia (hiperkapnia
permisif) untuk mencapai tujuan dari volume tidal rendah yang
bertujuan untuk membatasi ventilator terkait cedera paru-paru.
Untuk menyingkirkan edema paru kardiogenik, mungkin akan membantu
dengan pemeriksaan plasma B-type natriuretic peptide (BNP) dan
echocardiogram. Tingkat BNP kurang dari 100 pg / mL pada pasien
dengan infiltrat bilateral dan hipoksemia diagnosis ARDS / cedera
paru akut (ALI). Echocardiogram dapat menyediakan informasi tentang
fraksi ejeksi ventrikel kiri, gerakan dinding, dan kelainan katup.
(1,3,4,6)Kelainan lain pada ARDS tergantung pada penyebab atau
komplikasi yang terkait dan pada ARDS dapat dilakukan
pemeriksaan:
1. Laboratorium a. Analisis gas darah : hipoksemia, hipokapnia
(sekunder karena hiperventilasi), hiperkapnia (pada emfisema atau
keadaan lanjut). Alkalosis respiratorik pada awal proses, akan
berganti menjadi asidosis respiratorik.b. Leukositosis (pada
sepsis), anemia, trombositopenia (refleksi inflamasi sistemik dan
injuri endotel), peningkatan kadar amilase (pada pankreatitis).c.
Gangguan fungsi ginjal dan hati, tanda koagulasi intravaskular
diseminata (sebagai bagian dari MODS / multiple organ dysfunction
syndrome).d. Sitokin sitokin, seperti interleukin (IL) -1, IL-6,
dan IL-8, yang meningkat dalam serum pasien pada risiko ARDS
2. Pencitraan a. Foto dada : Pada awal proses, dapat ditemukan
lapangan paru yang relatif jernih, kemudian tampak bayangan
radioopak difus dan tidak terpengaruh gravitasi, tanpa gambaran
kongesti jantung. Mula-mula tidak ada kelainan jelas pada foto
dada. Setelah 12-24 jam tampak infiltrat tanpa batas-batas yang
tegas pada seluruh lapangan paru, mirip dengan edema paru pada
gagal jantung tetapi tanpa tanda-tanda pembesaran jantung dan tanda
bendungan lainnya. Infiltrat tersebut biasanya meluas dengan cepat
dan simetris dalam beberapa jam/hari sehingga mengenai seluruh
lapangan paru tetapi kedua sinus kostofrenikus masih tetap normal
(bilateral white-out). Infiltrat dapat juga bertambah secara lambat
dan asimetris. Perbedaan ARDS dengan edema paru akibat gagal
jantung biasanya perbaikan foto dada pada ARDS lambat, sedangkan
pada edema paru oleh gagal jantung, infiltratnya cepat menghilang
dengan pemberian diuretik. (1,3,4,6)b. CT scan : pola heterogen,
predominasi infiltrat pada area dorsal paru (foto supine), dimana
ditemukan konsolidas dependen yang menunjukkan adanya infiltrat
pada kedua paru. CT Scan toraks juga dapat membantu dalam diagnosa
dan dapat digunakan untuk mengevaluasi perbaikan dari edema paru.
Elektrokardiografi dapat dilakukan untuk membedakan edema paru
akibat kelainan jantung. (1,3,4,6)
HemodynamicVentilator StatusInfectionEnd-organdamage
PCWPFiO2WBC/diffBUN
CardiacoutputPaO2ChestX-rayCreatinine
SaturasiOksigenSaO2TemperatureUrineoutput
MixedvenousoxygenationmVO2CulturesLiverfunctiontest
Hb/HctPlateaupressureChangeinsputumPT
UrineOutputRespiratoryrate
Gambar 3. MONITORING ARAMETERS IN ARDS (3)
BAB IVPENATALAKSANAAN PADA ACUTE RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME
(ARDS)
4.1 TUJUAN TERAPI
Tujuan dari terapi pada ARDS yaitu :1. Tidak ada terapi yang
dapat menyembuhkan umumnya bersifat suportif2. Terapi berfokus
untuk memelihara oksigenasi dan perfusi jaringan yang adekuat3.
Mencegah komplikasi nosokomial (kaitannya dengan infeksi)4.
Pengidentifikasian dan terapi penyebab dasar ARDS.5. Menghindari
cedera paru sekunder misalnya aspirasi, barotrauma, infeksi
nosokomial atau toksisitas oksigen.6. Mengoptimalkan fungsi
kardiovaskuler serta keseimbangan cairan tubuh.7. Dukungan nutrisi.
(1,11,13)Pengobatan yang dilakukan di arahkan terhadap penyakit
primer yang menyebabkan terjadinya edema paru tersebut disertai
pengobatan suportif terutama mempertahankan oksigenasi yang adekuat
dan optimalisasi hemodinamik sehingga diharapkan mekanisme
kompensasi tubuh akan bekerja dengan baik bila terjadi gagal
multiorgan. Pemberian oksigen sering berguna untuk meringankan dan
menghilangkan rasa nyeri dada dan bila memungkinkan dapat dicapai
paling baik dengan memberikan tekanan positif terputus-putus.
Kebutuhan untuk intubasi dan ventilasi mekanik mungkin akan semakin
besar sehingga pasien harus dirawat di unit perawatan intensif
(ICU). (10,11,12,13)Untuk mengoptimalkan oksigenasi dapat dilakukan
teknik-teknik ventilator, yaitu Positive end expiratory pressure
(PEEP) 25-15 mmH2O dapat digunakan untuk mencegah alveoli menjadi
kolaps. Tekanan jalan napas yang tinggi yang terjadi pada ARDS
dapat menyebabkan penurunan cairan jantung dan peningkatan risiko
barotrauma (misalnya pneumotoraks). Tekanan tinggi yang dikombinasi
dengan konsentrasi O2 yang tinggi sendiri dapat menyebabkan
kerusakan mikrovaskular dan mencetuskan terjadinya permeabilitas
yang meningkat hingga timbul edema paru, sehingga penerapannya
harus hati-hati. (1,10,15)Salah satu bentuk teknik ventilator yang
lain yaitu inverse ratio ventilation dapat memperpanjang fase
inspirasi sehingga transport oksigen dapat berlangsung lebih lama
dengan tekanan yang lebih rendah. extra corporeal membrane
oxygenation (ECMO) menggunakan membran eksternal artifisial untuk
membantu transport oksigen dan membuang CO2. Strategi terapi
ventilasi ini tidak begitu banyak memberikan hasil yang memuaskan
untuk memperbaiki prognosis secara umum tapi mungkin bermanfaat
pada beberapa kasus. (11,13,15)Optimalisasi fungsi hemodinamik
dilakukan dengan berbagai cara. Dengan menurunkan tekanan arteri
pulmonal berarti dapat membantu mengurangi kebocoran kapiler paru.
Caranya ialah dengan retriksi cairan, penggunaan diuretik dan obat
vasodilator pulmonal (nitric oxide/NO). Pada prinsipnya
penatalaksanaan hemodinamik yang penting yaitu mempertahankan
keseimbangan yang optimal antara tekanan pulmoner yang rendah untuk
mengurangi kebocoran ke dalam alveoli, tekanan darah yang adekuat
untuk mempertahankan perfusi jaringan dan transport oksigen yang
optimal. (3,9,16)Kebanyakan obat vasodilator arteri pulmonal
seperti nitrat dan antagonis kalsium juga dapat menyebabkan
vasodilatasi sistemik sehingga dapat sekaligus menyebabkan
hipotensi dan perfusi organ yang terganggu, untuk itu penggunaanya
harus hati-hati. Obat-obat inotropik dan vasopresor seperti
dobutamin dan noradrenalin mungin diperlukan untuk mempertahankan
tekanan darah sistemik dan curah jantung yang cukup terutama pada
pasien dengan sepsis (vasodilatasi sistemik). (3,9,16)Inhalasi NO
telah digunakan sebagai vasodilator arteri pulmonal yang selektif.
Karena diberikan secara inhalasi sehingga terdistribusi pada daerah
di paru-paru yang menyebabkan vasodilatasi. Vasodilatasi yang
terjadi pada alveoli yang terventilasi akan memperbaiki disfungsi
ventilasi/perfusi sehingga dengan demikian fungsi pertukaran gas
membaik. NO secara cepat diinaktivasi oleh hemoglobin sehingga
mencegah reaksi sistemik. (9)
4.2 STRATEGI TERAPIStrategi terapi pada ARDS :1. Ambil alih
fungsi pernapasan dengan ventilator mekanik.Prinsip pengaturan
ventilator untuk pasien ARDS meliputi: Volume tidal rendah (4-6
mL/kgBB). Positive end expiratory pressure (PEEP) yang adekuat,
untuk memberikan oksigenasi adekuat (PaO2 > 60 mmHg) dengan
tingkat FiO2 aman. Menghindari barotrauma (tekanan saluran napas 60
mmHg) dengan tingkat FiO2 aman, menghindari barotrauma(tekanan
saluran napas 60 mmHg) dengan tingkat FiO aman.c. Menghindari
barotrauma (tekanan saluran napas