REFERAT Pneumonia Pembimbing : dr. Rini Sulviani, Sp.A M.Kes Disusun oleh : Irawati 2011730142 Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak
REFERAT
Pneumonia
Pembimbing : dr. Rini Sulviani, Sp.A M.Kes
Disusun oleh :
Irawati
2011730142
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak
RSUD R. Syamsudin. SH – Sukabumi
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Jakarta
2015
1. Definisi Pneumonia
Pneumonia merupakan infeksi akut parenkim paru yang meliputi alveolus dan
jaringan interstisial.1 Penyakit peradangan paru yang disebabkan oleh infeksi
mikroorganisme dan sebagian kecil disebabkan oleh penyebab non-infeksi.2
Pneumonia adalah infeksi akut parenkim paru yang meliputi alveolus dan
jaringan interstitial. Walaupun banyak pihak yang sependapat bahwa pneumonia
merupakan suatu keadaan inflamasi, namun sangat sulit untuk membuat suatu
definisi tunggal yang universal. Pneumonia didefinisikan berdasarkan gejala dan
tanda klinis, serta perjalanan penyakitnya. World Health Organization (WHO)
mendefinisikan pneumonia hanya berdasarkan penemuan klinis yang didapat pada
pemeriksaan inspeksi dan frekuensi pernapasan.5
Pneumonia adalah infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah yang mengenai
parenkim paru. Pneumonia pada anak dibedakan menjadi:
1. Pneumonia lobaris
2. Pneumonia interstisial (bronkiolitis)
3. Bronkopneumonia
Pneumonia adalah salah satu penyakit yang menyerang saluran nafas bagian
bawah yang terbanyak kasusnya didapatkan di praktek-praktek dokter atau rumah
sakit dan sering menyebabkan kematian terbesar bagi penyakit saluran nafas bawah
yang menyerang anak-anak dan balita hampir di seluruh dunia. Diperkirakan
pneumonia banyak terjadi pada bayi kurang dari 2 bulan, oleh karena itu pengobatan
penderita pneumonia dapat menurunkan angka kematian anak.6
2. Klasifikasi2 :
1) Berdasarkan lokasi lesi di paru
Pneumonia lobaris
Pneumonia interstisialis
Bronkopneumonia
2) Berdasarkan asal infeksi
Pneumonia yang di dapat dari masyarakat (community acquired
pneumonia = CAP)
Pneumonia yang di dapat dari rumah sakit (Hospital-based pneumonia)
3) Berdasarkan mikroorganisme penyebab
Pneumonia bakteri
Pneumonia virus
Pneumonia mikroplasma
Pneumonia jamur
4) Berdasarkan karakteristik penyakit
Pneumonia tipikal
Pneumonia atipikal
5) Berdasarkan lama penyakit
Pneumonia akut
Pneumonia persisten
WHO merekomendasikan penggunaan peningkatan frekuensi napas dan retraksi
subkosta untuk mengklasifikasikan pneumonia di negara berkembang. Namun
demikian, kriteria tersebut mempunyai sensitivitas yang buruk untuk anak
malnutrisi dan sering overlapping dengan gejala malaria.5
Klasifikasi pneumonia (berdasarkan WHO):
Bayi kurang dari 2 bulan
Pneumonia berat: napas cepat atau retraksi yang berat
Pneumonia sangat berat: tidak mau menetek/minum, kejang, letargis,
demam atau hipotermia, bradipnea atau pernapasan ireguler
Anak umur 2 bulan-5 tahun
Pneumonia ringan: napas cepat
Pneumonia berat: retraksi
Pneumonia sangat berat: tidak dapat minum/makan, kejang, letargis,
malnutrisi
3. Epidemiologi
Pneumonia masih merupakan masalah kesehatan utama dan menyebabkan lebih
dari 5 juta kematian per tahun pada anak balita di negara berkembang. Penyakit ini
juga merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak berusia < 5 tahun.
Insidens pneumonia pada anak berusia < 5 tahun adalah 10-20 kasus/ 100 anak/
tahun di negara berkembang dan 2-4 kasus/ anak/ tahun di negara maju.1,5
Penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada anak usia < 5 tahun di seluruh
dunia, terutama di negara berkembang. Estimasi insidensi pneumonia pada anak < 5
tahun di negara berkembang 0,28 episode dibandingkan dengan 0,05 episode/ anak/
tahun di negara maju.4
Pneumonia sebenarnya bukan penyakit baru. American Lung Association
misalnya, menyebutkan hingga tahun 1936 pneumonia menjadi penyebab kematian
nomor satu di Amerika. Penggunaan antibiotik membuat penyakit ini bisa dikontrol
beberapa tahun kemudian. Namun pada tahun 2000 kombinasi pneumonia dan
influenza kembali merajalela dan menjadi penyebab kematian ketujuh di negara itu.3
Pneumonia merupakan masalah kesehatan di dunia karena angka kematiannya
tinggi, tidak saja di negara berkembang tetapi juga di negara maju seperti Amerika
Serikat, Kanada, dan negara-negara Eropa.3
Di Amerika Serikat misalnya, terdapat dua juta sampai tiga juta kasus pneumonia
per tahun dengan jumlah kematian rata-rata 45.000 orang.3
Di Indonesia, pneumonia merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah
kardiovaskuler dan tuberkulosis. Faktor sosial ekonomi yang rendah mempertinggi
angka kematian.3
Infeksi saluran napas bawah, termasuk pneumonia dan influenza, masih menjadi
masalah kesehatan di negara berkembang maupun negara maju. Menurut survei
kesehatan rumah tangga tahun 2002, penyakit saluran napas merupakan penyebab
kematian nomor 2 di Indonesia. Data dari SEAMIC Health Statistic tahun 2001
menunjukkan bahwa influenza dan pneumonia merupakan penyebab kematian
nomor 6 di Indonesia, nomor 9 di Brunei, nomor 7 di Malaysia, nomor 3 di
Singapura dan Vietnam. Laporan dari WHO tahun 1999 menyebutkan bahwa
penyebab kematian akibat infeksi saluran napas akut termasuk influenza dan
pneumonia.3
4. Etiologi dan Faktor Risiko
Etiologi pneumonia sulit dipastikan karena kultur sekret bronkus merupakan
tindakan yang sangat invasif sehingga tidak dilakukan. Hasil penelitiannya yaitu 44-
85% CAP disebabkan oleh bakteri dan virus, dan 25-40% diantaranya disebabkan
lebih dari satu patogen. Patogen penyebab pneumonia pada anak bervariasi
tergantung:
a. Usia
b. Status imunologis
c. Kondisi lingkungan (epidemiologi setempat, polusi udara)
d. Status imunisasi
e. Faktor penjamu (penyakit peserta, malnutrisi)
Pada awalnya sebagian besar didahului oleh infeksi virus
1. Bayi baru lahir (neonatus 2 bulan)
Organisme saluran genital ibu: Streptokokus grup B, Escherichia coli
dan kuman
Gram negatif lain, Listeric monocytogenes, Chlamydia trachomatis
merupakan tersering
Sifilis kongenital yaitu pneumonia alba
Sumber infeksi lain: Pasase transplasental, aspirasi mekonium, CAP
2. Usia >2-12 bulan
Streptokokus grup B, E.coli, P.aeruginosa, Klebsiela, S.Pneumoniae,
dan H. Influenzae tipe b merupakan yang tersering
Staphylococcus aureus dan Streptokokus grup A merupakan yang tidak
tersering tapi dapat fatal
Pneumonia dapat ditemukan oada 20% anak dengan pertusis.
Immunocompromised: Pseudomonas spp, Enterobakter, Legionella
pneumophilia, Actinomyces, dan bakteri anaerob.
3. Usia 1-5 tahun
Streptococcus pneumoniae, H. Influenzae, Streptokokus grup A, S.
Aureus merupakan yang tersering
Chlamydina pneumoniae: banyak pada usia 5-14 tahun (disebuit
pneumonia atipikal)
4. Usia sekolah dan remaja
S. pneumoniae, Streptokokus grup A, dan Mycoplasma pneumoniae
(pneumonia atipikal) merupakan yang terbanyak.2
Penyebab tersering pneumonia bakterial adalah S. Pneumoniae. Virus lebih
sering ditemukan pada anak <5 tahun dan respiratory syncytial virus (RSV)
merupakan penyebab tersering pada anak <3 tahun. Virus lain penyebab pneumonia
meliputi adenovirus, parainfluenza virus, dan influenza virus, Mycoplasma
pneumonia dan Chlamydia pneumonia lebih sering ditemukan pada anak >10 tahun.1
Penelitian di Bandung menunjukkan bahwa Streptococcus pneumonia dan
Staphylococcus epidermidis merupakan bakteri yang paling sering ditemukan pada
apusan tenggorok pasien pneumonia umur 2-59 bulan.5
Beberapa faktor resiko yang meningkatkan angka kejadian dan derajat
pneumonia adalah defek anatomi bawaan, imunodefisiensi, polusi, GERD, aspirasi,
gizi buruk, berat badan lahir rendah, tidak mendapat ASI, imunisasi tidak lengkap,
terdapat anggota keluarga serumah yang menderita batuk, dan kamar tidur yang
terlalu padat.1
Faktor yang meningkatkan faktor resiko pneumonia bakterialis adalah:2
1.) Kelainan anatomi bawaan
2.) Status imunologi yang rendah akibat penyakit atau obat
3.) Fistula trakeoensofageal
4.) Fibrosis kistik
5.) Refluks gastroesofageal
6.) Aspirasi benda asing
7.) Ventilasi mekanik
8.) Perawatan lama
Etiologi pneumonia adalah oleh bakteri, virus, mikrobacterium, dan jamur.
Bakteri itu sendiri adalah penyebab utama di negara berkembang, yaitu:
1. Streptococcus pneumoniae (30-50 %)
2. Haemophilus influenzae type b (Hib)
3. Staphylococcus aureus
4. Klabsiella pneumoniae
Penyebab dari virus itu sendiri adalah:
1. Respiratory syncytial virus (RSV) 15-40%
2. Virus influenza A dan B
3. Parainfluenza
4. Human metapneumovirus
5. Adenovirus
Infeksi virus bersamaan dengan bakteri juga dapat terjadi di negara industri,
epidemi RSV dan atau influenza koinsidensi dengan epidemi S. pneumoniae. Usia
merupakan prediktor yang baik untuk memperkirakan patogen penyebab pneumonia.
Virus merupakan penyebab utama pneumonia pada anak usia lebih muda.
Sedangkan bakteri merupakan oenyebab sebagian besar pneumonia pada anak
yang lebih tua. Faktor usia pneumonia pada anak meliputi malnutrisi, berat badan
lahir rendah (BBLR), tidak mendapat ASI ekslusif, tidak medapat imunisasi campak,
polusi udara dalam rumah, dan kepadatan hunian.4
Tabel 1. Penyebab utama pneumonia yang di dapat di masyarakat pada anak
berdasarkan usia
Usia Bakteri Virus
< 1 bulan
Streptokokus grup B
Escherichia coli
Bakteri enterik gram negatif
lainnya
Listeria monocytogenes
Cytomegalovirus
2 bulan – 1 tahun
Streptococcus pneumoniae
Haemophilus influenzae
Staphylococcus aureus
Pseudomonas aeruginosa
Chlamydia trachomatis
Respiratory synctial
virus
Virus influenza
Virus parainfluenza
Adenovirus
Human metapneumovirus
2 – 5 tahun
Streptococcus pneumoniae
Haemophilus influenzae
Mycoplasma pneumoniae
Mycobacterium tuberculosis
Respiratory syncytial
virus
Virus influenza
Virus parainfluenza
Adenovirus
Human metapneuvirus
Rhinovirus
6 – 18 tahun
Streptococcus pneumoniae
Chlamydophilia pneumonia
Mycoplasma pneumoniae
Mycobacterium tuberculosis
Virus influenza
Pneumonia pada anak balita
Pneumonia pada anak balita paling sering disebabkan oleh virus
pernapasan dan puncaknya terjadi pada umur 2-3 tahun sedangkan pada anak
umur sekolah paling sering disebabkan oleh bakteri Mycoplasma pneumoniae.3
Pada bayi dan anak-anak penyebab yang paling sering adalah:
Virus sinsisial pernapasan
Adenovirus
Virus influenza
Virus parainfluenza
Penyakit paru “Pneumonia” merupakan penyebab utama mortalitas anak
balita di Indonesia
Menurut Prof. Dr. H. Mardjanis, Sp. A (K), Pneumonia adalah penyakit
infeksi akut paru yang disebabkan terutama oleh bakteri, merupakan penyakit
infeksi saluran napas akut (ISPA) yang paling sering menyebabkan kematian
pada bayi dan anak balita. Bakteri penyebab pneumonia paling sering adalah
Streptococcus pneumoniae (pneumokokus), Hemophilus influenzae tipe b (Hib)
dan Staphylococcus aureus (S. aureus). Diperkirakan 75% pneumonia pada anak
balita di negara berkembang termasuk Indonesia disebabkan oleh pneumokokus
dan Hib.
Diseluruh dunia setiap tahun diperkirakan terjadi lebih 2 juta kematian
balita karena pneumonia. Di Indonesia menurut survei kesehatan rumah tangga
tahun 2001 kematian balita akibat pneumonia 5 per 100 balita per tahun. Ini
berarti bahwa pneumonia menyebabkan kematian lebih dari 100.000 balita setiap
tahun, atau hampir 300 balita setiap hari, atau 1 balita setiap 5 menit.
Merujuk pada angka-angka di atas bisa dimengerti bahwa para ahli
menyebut pneumonia sebagai The Forgotten Pandemic atau “wabah raya yang
terlupakan” karena begitu banyak korban yang meninggal karena pneumonia
tetapi sangat sedikit perhatian yang diberikan kepada masalah pneumonia. Tidak
heran bila melihat kontribusinya yang besar terhadap kematian balita pneumonia
dikenal juga sebagai “pembunuh balita nomor satu”.3
5. Gejala dan tanda pneumonia
a. Anak umur 2 bulan sampia kurang dari 5 tahun, terjadinya Pneumonia berat
ditandai, antara lain:
Batuk atau (juga disertai kesulitan bernapas)
Napas sesak atau penarikan dinding dada sebelah bawah ke dalam (servere
chest indrawing)
Dahak berwarna kehijauan atau seperti karet.
Pada kelompok usia ini dikenal juga pneumonia sangat berat dengan gejala batuk
dan kesukaran bernapas karena tidak ada ruang tersisa untuk oksigen di paru-
paru.
b. Anak di bawah umur 2 bulan, terjadinya Pneumonia berat ditandai, antara lain:
Frekuensi pernapasan sebanyak 60 kali per menit atau lebih (juga disertai)
Penarikan kuat pada dinding dada sebelah bawah ke dalam
Jika bayi bernapas dengan bantuan ventilator akan tampak bahwa jumlah lendir
meningkat. Kadang-kadang bayi tiba-tiba menjadi sakit yang disertai turun
naiknya suhu tubuh.3
6. Manifestasi klinis
Gajala penyakit pneumonia biasanya didahului dengan infeksi saluran nafas
atas akut selama beberapa hari. Selain didapatkan demam, menggigil, suhu tubuh
meningkat dapat mencapai 40oC, sesak nafas, nyeri dada dan batuk dengan dahak
kental, terkadang dapat berwarna kuning hingga hijau. Pada sebagian penderita juga
ditemui gajala lain seperti nyeri perut, kurang nafsu makan, dan sakit kepala.3
Tanda dan gejala lainnya, antara lain:
Batuk nonproduktif
Ingus (nasal discharge)
Suara napas lemah
Retraksi intercosta
Penggunaan otot bantu napas
Demam
Ronchii
Cyanosis
Reukositosis
Thorax photo menunjukkan infiltrasi melebar
Sakit kepala
Kekakukan dan nyeri otot
Sesak napas
Menggigil
Berkeringat
Lelah
Gejala lainnya yang mungkin ditemukan:
Kulit yang lembab
Mual dan muntah
Tanda pneumonia
Berupa retraksi (penarikan dinding dada bagian bawah ke dalam saat
bernapas bersama dengan peningkatan frekuensi napas), perkusi pekak, fremitus
melemah, suara napas melemah, dan ronki.
Tanda efusi pleura atau empiema
Berupa gerak ekskursi dada tertinggal di daerah efusi, perkusi pekak,
fremitus melemah, suara napas melemah, suara napas tubuler tepat di atas batas
cairan, friction rub, nyeri dada karena iritasi pleura (nyeri berkurang bila efusi
bertambah dan berubah menjadi nyeri tumpul), kaku kuduk/ meningismus (iritasi
meningen tanpa inflamasi) bila terdapat iritasi pleura lobus atas, nyeri abdomen
(kadang terjadi bila iritasi mengenai diafragma pada pneumonia lobus kanan
bawah).
Pada neonatus dan bayi kecil tanda pneumonia tidak selalu jelas. Efusi
pleura pada bayi akan menimbulkan pekak perkusi.
Tanda infeksi ektra pulmunal
Komplikasi:
Abses paru
Edusi pleural
Empisema
Gagal napas
Perikarditis
Meningitis
Atelektasis
Hipotensi
Delirium
Asidosis metabolik
Dehidrasi
Penyakit multilobular3
7. Patogenesis
Pada keadaan yang normal, saluran respiratorik mulai dari area sublaring
sampai parenkim paru adalah steril. Paru terlindungi dari infeksi bakteri oleh
berbagai mekanisme perlindungan yang meliputi barier antomi dan mekanis, serta
faktor imunologi lokal dan sistemik. Infeksi paru terjadi apabila ≥ 1 dari mekanisme
tersebut berubah atau mikroorganisme yang masuk sangat banyak dan virulen.
Inhalasi mikroorganisme atau masuknya kuman flora normal saluran respiratorik
atas, sebagian kecil melalui hematogen kemudiam kedalam alveoli lalu terjadi
hiperaemia, eksudasi cairan intra-alveolar, deposi fibrin, serta infiltrasi neutrofil (red
hepatization) lalu menyebabkan konsolidasi eksudatif lobuler (bronkopneumonia),
lobar (pneumonia lobaris), atau interstitial mengakibatkan peningkatan aliran darah
ke daerah yang terkena sehingga menyebabkan ventilation-perfusion mismatching
kemudian desaturasi oksigen akan menyebabkan meningkatnya kerja jantung
sehingga deposisi fibrin dan disintegrasi sel inflamasi makin meningkat secara
progresif (gray hepatization) dan resolusi ini terjadi setelah 8-10 hari bila
berlangsung digesti eksudat secara enzimatik sehingga reabsorbsi dan pengeluaran
oleh mekanisme batuk.2
Normalnya, saluran pernafasan steril dari daerah sublaring sampai parenkim
paru. Paru-paru dilindungi dari infeksi bakteri melalui mekanisme pertahanan
anatomis dan mekanis, dan faktor imun lokal dan sistemik. Mekanisme pertahanan
awal berupa filtrasi bulu hidung, refleks batuk dan mukosilier aparatus. Mekanisme
pertahanan lanjut berupa sekresi Ig A lokal dan respon inflamasi yang diperantarai
leukosit, komplemen, sitokin, imunoglobulin, makrofag alveolar, dan imunitas yang
diperantarai sel.
Infeksi paru terjadi bila satu atau lebih mekanisme di atas terganggu, atau
bila virulensi organisme bertambah. Agen infeksius masuk ke saluran nafas bagian
bawah melalui inhalasi atau aspirasi flora komensal dari saluran nafas bagian atas,
dan jarang melalui hematogen. Virus dapat meningkatkan kemungkinan
terjangkitnya infeksi saluran nafas bagian bawah dengan mempengaruhi mekanisme
pembersihan dan respon imun. Diperkirakan sekitar 25-75 % anak dengan
pneumonia bakteri didahului dengan infeksi virus.
Invasi bakteri ke parenkim paru menimbulkan konsolidasi eksudatif jaringan
ikat paru yang bisa lobular (bronkhopneumoni), lobar, atau intersisial. Pneumonia
bakteri dimulai dengan terjadinya hiperemi akibat pelebaran pembuluh darah,
eksudasi cairan intra-alveolar, penumpukan fibrin, dan infiltrasi neutrofil, yang
dikenal dengan stadium hepatisasi merah. Konsolidasi jaringan menyebabkan
penurunan compliance paru dan kapasitas vital. Peningkatan aliran darah yamg
melewati paru yang terinfeksi menyebabkan terjadinya pergeseran fisiologis
(ventilation-perfusion missmatching) yang kemudian menyebabkan terjadinya
hipoksemia. Selanjutnya desaturasi oksigen menyebabkan peningkatan kerja
jantung.
Stadium berikutnya terutama diikuti dengan penumpukan fibrin dan
disintegrasi progresif dari sel-sel inflamasi (hepatisasi kelabu). Pada kebanyakan
kasus, resolusi konsolidasi terjadi setelah 8-10 hari dimana eksudat dicerna secara
enzimatik untuk selanjutnya direabsorbsi dan dan dikeluarkan melalui batuk.
Apabila infeksi bakteri menetap dan meluas ke kavitas pleura, supurasi intrapleura
menyebabkan terjadinya empyema. Resolusi dari reaksi pleura dapat berlangsung
secara spontan, namun kebanyakan menyebabkan penebalan jaringan ikat dan
pembentukan perlekatan.6
Secara patologis, terdapat 4 stadium pneumonia, yaitu:
1. Stadium I (4-12 jam pertama atau stadium kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan
peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi.
Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-
sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator
tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga
mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin
dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan
permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma
ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar
kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus
meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida
maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering
mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
2. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah
merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian
dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya
penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah
dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau
sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung
sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
3. Stadium III (3-8 hari berikutnya)
Disebut hepatisasi kelabu, yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin
terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel.
Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat
karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan
kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
4. Stadium IV (7-11 hari berikutnya)
Disebut juga stadium resolusi, yang terjadi sewaktu respon imun dan
peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh
makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.6
8. Kriteria Diagnosis
Setelah mengetahui gejala klinis dan kelainan fisis melalui pemeriksaan fisik
yang dilakukan oleh dokter, menurut Prof. Dr. Nirwan Arief, Sp.P (K), masih
diperlukan pemeriksaan penunjang seperti rontgent dan laboratorium. Hal ini perlu
dilakukan untuk memperkuat diagnosis apakah seseorang mengidap pneumonia atau
tidak.3
Gambaran yang diperoleh dari hasil rontgent memperlihatkan kepadatan pada
bagian paru. Kepadatan terjadi karena paru dipenuhi sel radang dan cairan yang
sebenarnya merupakan reaksi tubuh untuk mematikan kuman. Akibatnya fungsi paru
terganggu, penderita mengalami kesulitan bernapas karena tak tersisa ruang untuk
oksigen.3
Kelainan yang tampak pada foto rontgent penderita pneumonia dapat berupa:
bercak putih setempat atau tersebar di sekitar paru ataupun gambaran lainnya
terdapat komplikasi pneumonia.3
a. Anamnesis
Demam tinggi, batuk, gelisah, rewel dan sesak napas. Pada bayi, gejala tidak
khas, sering kali tanpa demam dan batuk. Pada anak yang lebih besar kadang
mengeluh nyeri kepala, nyeri abdomen, serta muntah.4
Non-respiratorik
Demam, sakit kepala, kaku kuduk terutama bila lobus kanan atas yang
terkena, anoreksia, letargi, muntah, diare, sakit perut, dan distensi
abdomen terutama pada bayi
Respiratorik
Batuk, sakit dada
Menurut buku IDAI tahun 2009 kriteria diagnosis pada anamnesa adalah:5
Batuk yang awalnya kering, kemudian menjadi produktif dengan dahak
purulen bahkan bisa berdarah
Sesak napas
Demam
Kesulitan makan/minum
Tampak lemah
Serangan pertama atau berulang, untuk membedakan dengan kondisi
imunokompromais, kelainan anatomi bronkus, atau asma
b. Pemeriksaan fisis
Pemeriksaan fisis pada kriteria diagnosis menurut IDAI tahun 2009 yaitu:5
Penilaian keadaan umum anak, frekuensi napas, dan nadi harus dilakukan
pada saat awal pemeriksaan sebelum pemeriksaan lain yang dapat
menyebabkan anak gelisah atau rewel.
Penilaian keadaan umum antara lain meliputi kesadaran dan kemampuan
makan/minum.
Gejala distres pernapasan seperti takipnea, retraksi subkostal, batuk,
krepitasi, dan penurunan suara paru
Demam dan sianosis
Anak di bawah 5 tahun mungkin tidak menunjukkan gejala pneumonia
yang klasik. Pada anak yang demam dan sakit akut, terdapat gejala nyeri
yang diproyeksikan ke abdomen. Pada bayi muda, terdapat gejala
pernapasan tak teratur dan hipopnea.
Manifestasi klinis yang terjadi akan berbeda-beda berdasarkan kelompok usia
tertentu.4
Neonatus : sering dijumpai takipnea, grunting, pernapasan cuping hidung,
rettraksi dinding dada, sianosis dan malas menetek.
Bayi yang lebih tua : jarang ditemukan grunting. Gejala lainnya yang
sering terlihat adalah batuk, panas dan iritabel.
Anak prasekolah : selain gejala di atas, dapat ditemukan batuk produktif/
nonproduktif dan dispnea.
Anak sekolah dan remaja : gejala lainnya yang dapat dijumpai nyeri dada,
nyeri kepala, dehidrasi dan letargi.
Pada pemeriksaan fisis juga dapat ditemukan takipnea, grunting, pernapasan
cuping hidung, retraksi subkostal, sianosis, auskultasi paru crackles
Takipnea berdasarkan WHO:
Usia < 2 bulan ≥ 60x/ menit
Usia 2-12 bulan ≥ 50x/ menit
Usia 1-5 tahun ≥ 40x/ menit
Frekuensi pernapasan normal usia 6 tahun – pubertas: 16-20x/menit
Hepatomegali akibat perubahan letak diafragma yang tertekan kebawah
oleh hiperinflasi paru atau sekunder akibat gagal jantung kongestif
Takipnea terbukti memiliki sensitivitas dan spesifitas yang tinggi dalam
mendiagnosis pneumonia. Menurut WHO derajat beratnya pneumonia
pada anak usia 2 bulan – 5 tahun seperti tabel berikut:
Tabel 2. Derajat berat pneumonia pada anak usia 2 bulan sampai 5 tahun
Beratnya Penyakit Gambaran Klinis
Pneumonia sangat berat Tidak dapat makan, atau distress
pernapasan berat atau sianosis sentral, atau
kesadaran menurun/ kejang
Pneumonia berat Tarikan dinding dada bagian bawah dan
tidak ada tanda pneumonia sangat berat
Bukan pneumonia berat Napas cepat dan tidak ada tanda
pneumonia berat atau sangat berat
Bukan pneumonia;
batuk/ “flu”
Tidak ada tanda pneumonia atau
pneumonia sangat berat
Sumber: WHO, 2009
Auskultasi fine crackles (ronki basah halus) yang khas pada anak besar,
mungkin tidak ditemukan pada bayi.
Iritasi pleura akan menyebabkan nyeri dada: bila berat gerakan dada
tertinggal waktu inspirasi, anak berbaring ke arah yang sakit dengan kaki
fleksi. Rasa nyeri dapat menjalar ke leher, bahu dan perut.
c. Radiologis
Pneumonia interstitialis (kelainan perivaskular dan interalveolar)
Bronkopneumonia (peradangan saluran respiratorik bagian bawah dan
parenkim paru)
Pneumonia lobaris (konsolidasi pada satu lobus penuh)
Foto rontgen thoraks proyeksi posterior-anterior (PA) merupakan dasar
diagnosis utama pneumonia. Foto lateral dibuat bila diperlukan informasi
tambahan (tidak rutin dilakukan). Untuk negara berkembang foto rontgen
toraks secara rutin tidak direkomendasikan terutama pneumonia yang tidak
memerlukan perawatan di rumah sakit. Indikasi spesifik foto rontgen toraks
adalah pneumonia sangat berat, dugaan komplikasi pneumonia (misal efusi
pleura)/ tidak berespons terhadap terapi yang diberikan dan kecurigaan
tuberkulosis.
Indikasi tambahan lainnya adalah gejala atipikal dan pemantauan pada
anak dengan kolaps lobar atau gejala yang berlanjut. Pemeriksaan foto
rontgen toraks ulang hanya dilakukan bila pada foto sebelumnya didapatkan
lobar collapse, gambaran round pneumonia/ bila gejala menetap/ memburuk.
Pada bayi dan anak kecil, gambaran radiologis sering tidak sesuai dengan
gambaran klinis.
Foto rontgen toraks tidak dapat membedakan antara pneumonia bakteri
dan pneumonia virus. Gambaran radiologis yang klasik dapat berupa:
konsolidasi lobar/ segmental disertai air bronchogram, biasanya disebabkan
infeksi pneumoccocus spp./ bakteri lain. Pneumonia interstisial, biasanya
karena virus/ mikoplasma, gambaran berupa corakan bronkovaskular
bertambah, peribronchial cuffing, dan overaeration, bila berat terjadi patchy
consolidation karena atelektasis. Gambaran difus bilateral, corakan
peribronkial bertambah, dan infiltrat halus sampai ke perifer. Gambaran
pneumonia karena S.aureus biasanya menunjukkan pneumatokel.4
Sedangkan kriteria diagnosis pada pemeriksaan radiologi menurut IDAI
tahun 2009 adalah:5
Pemeriksaan foto dada tidak direkomendasikan secara rutin pada anak
dengan infeksi saluran napas bawah akut ringan tanpa komplikasi
Pemeriksaan foto dada direkomendasikan pada penderita pneumonia
yang dirawat inap atau bila tanda klinis yang ditemukan
membingungkan
Pemeriksaan foto dada follow up hanya dilakukan bila didapatkan
adanya kolaps lobus, kecurigaan terjadinya komplikasi, pneumonia
berat, gejala yang menetap atau memburuk, atau tidak respons terhadap
antibiotik
Pemeriksaan foto dada tidak dapat mengidentifikasi agen penyebab
d. Laboratorium
Hitung leukosit dapat membantu membedakan antara pneumonia viral dan
bakterial
Virus: leukosit normal atau peningkatan (tidak melebihi 20.000/mm3),
limfosit predominan
Bakteri: leukosit meningkat (15.000-40.000/mm3), neutrofil predominan
Jumlah leukosit > 15.000/ µL dengan dominasi neutrofil sering didapatkan
pada pneumonia bakteri, tetapi dapat pula karena pneumonia nonbakteri.
Diagnosis definitif pneumonia bakterial isolasi mikroorganisme dari
paru, cairan pleura, atau darah. Namun pengambilan spesimen dari paru
sangat invasif dan tidak rutin diindikasikan.
Kultur darah hanya positif pada 10-30% kasus
Pemeriksaan C-reactive protein perlu dipertimbangkan pada pneumonia
dengan komplikasi dan dapat bermanfaat untuk melihat respons antibiotik.
Meskipun penyebab pneumonia sulit ditentukan, namun ada beberapa
gejala dan tanda yang dapat dikenali secara klinis
S.aureus
Progesivitas penyakit sangat cepat dengan gejala respiratorik
sangat berat: grunting, sianosis, takipnea, dan perburukan gambaran
radiologis yang sangat cepat necrotizing pneumonia, pneumonia
dengan komplikasi (efusi pleura, empiema, piopneumonia toraks),
perburukan klinis dan radiologis yang sangat cepat/ pada keadaan
pascainfeksi campak (saat ini/ 4 minggu sebelumnya). Pada kulit
penderita dapat dijumpai bisul/ abses.4
Streptokokus grup A
Penyebab tersering faringitis, tonsilitis dengan limfadenitis koli,
demam, malaise, sakit kepala, gejala pada abdomen. Sering
merupakan penyakit infeksi kulit pada anak dengan vousela. Awitan
penyakit fulminan dalam 24 jam. Sering diikuti dengan syok septik,
empiema dan pneumatokel yang terjadi dalam beberapa hari sampai
1 minggu setelah pengobatan. Sindrom distress pernafasan akut
(ARDS = Adult Respiratory Distress Syndrome).2
Pada pemeriksaan laboratorium untuk kriteria diagnosis menurut IDAI pada
tahun 2009 adalah:5
Pemeriksaan jumlah leukosit dan hitung jenis leukosit perlu dilakukan
untuk membantu menentukan pemberian antibiotik
Pemeriksaan kultur dan pewarnaan Gram sputum dengan kualitas yang
baik direkomendasikan dalam tata laksana anak dengan pneumonia
yang berat
Kultur darah tidak direkomendasikan secara rutin pada pasien rawat
jalan, tetapi direkomendasikan pada pasien rawat inap dengan kondisi
berat dan pada setiap anak yang dicurigai menderita pneumonia
bakterial
Pada anak kurang dari 18 bulan, dilakukan pemeriksaan untuk
mendeteksi antigen virus dengan atau tanpa kultur virus jika fasilitas
tersedia
Jika ada efusi pleura, dilakukan pungsi cairan pleura dan dilakukan
pemeriksaan mikroskopis, kultur, serta deteksi antigen bakteri (jika
fasilitas tersedia) untuk penegakkan diagnosis dan menentukan
mulainya pemberian antibiotik
Pemeriksaan C-reactive protein (CRP), LED, dan pemeriksaan fase
akut lain tidak dapat membedakan infeksi viral dan bakterial dan tidak
direkomendasikan sebagai pemeriksaan rutin
Pemeriksaan uji tuberkulin selalu dipertimbangkan pada anak dengan
riwayat kontak dengan penderita TBC dewasa
e. Pulse oxymetri
Pengukuran saturasi O2 merupakan pemeriksaan nonivasif yang dapat
memperkirakan oksigenasi arteri. Semua anak yang dirawat inap karena
pneumonia seharusnya diperiksa pulse oxymetri. Pemeriksaan ini sangat
dianjurkan untuk negara berkembang dengan keterbatasan sarana untuk
mendeteksi hipoksemia.
f. Pemeriksaan mikrobiologis
Pemeriksaan biakan darah harus dilakukan pada semua anak yang
dicurigai menderita pneumonia bakteri, pneumonia berat, pneumonia dengan
komplikasi. Hasil (+) hanya didapatkan pada 10 – 30% kasus.
g. Pemeriksaan sputum
Walaupun kurang berguna, tetapi jika anak memungkinkan untuk
mengeluarkan sputum, periksa preparat gram. Rapid test untuk deteksi antigen
bakteri mempunyai spesifisitas dan sensivitas rendah.4
9. Pemeriksaan Diagnostik
a. Sinar X
Mengidentifikasikan distribusi strukstural (misal, lobar, bronchial) dapat juga
menyatakan abses luas/ infiltrate, empiema (stapilococcus), infiltrasi menyebar
atau terlokalisasi (bacterial)/ penyebaran/ perluasan infiltrate nodul (lebih sering
virus). Pada pneumonia mikoplasma, sinar X dada mungkin bersih.
b. GDA
Tidak normal mungkin terjadi, tergantung pada luas paru yang terlibat dan
penyakit paru yang ada.
c. JDL leukositosis
Biasanya ditemukan, meskipun sel darah putih rendah terjadi pada infeksi virus,
kondisi tekanan imun.
d. LED meningkat
e. Fungsi paru hipoksemia, volume menurun, tekanan jalan napas meningkat dan
komplain menurun.
f. Elektrolit Na dan Cl mungkin rendah
g. Bilirubin meningkat
h. Aspirasi/ biopsi jaringan paru
Alat diagnosa termasuk sinar-x dan pemeriksaan sputum. Perawatan
tergantung dari penyebab pneumonia. Pneumonia disebabkan oleh bakteri dirawat
dengan antibiotik.3
Pemeriksaan penunjang:
Rontgen dada
Pembiakan dahak
Hitung ,jenis darah
Gas darah arteri
10.Diagnosis
a. Infeksi perinatal/ kongenital (pada neonatus)
b. Hyaline membrane disease/ HMD (pada neonatus)
c. Aspirasi pneumonia
d. Edema paru
e. Atelektasis
f. Perdarahan paru
g. Kelainan kongenital parenkim paru
h. Tuberkulosis
i. Gagal jantung kongestif
j. Neoplasma
k. Reaksi hipersensitivitas (pneumonitis)2
11.Penyulit2
a. Empiema (paling sering oleh S. pneumoniae dan S. aureus)
b. Perikarditis
c. Pneumotoraks
d. Pneumatokel
e. Meningitis bakterialis
f. Artritis supuratif
g. Osteomelitis
12.Konsultasi2
a. Unit rehabilitasi Medik (URM)
b. Bedah toraks (bila diperlukan)
13.Terapi
a. Terapi pneumonia bakterial berdasarkan penyebab yang diduga serta manifestasi
klinis
b. Pneumonia ringan amoksisilin (di wilayah dengan angka resistensi penisilin
yang cukup tinggi dosis dapat meningkat sampai 80-90 mg/KgBB/hari)
c. Faktor yang perlu dipertimbangkan pemilihan terapi:
Kuman yang dicurigai atas dasar data klinis, etiologis, dan epidemiologis
Berat ringan penyakit
Riwayat pengobatan sebelumnya serta respons klinis
Ada tidaknya penyakit yang mendasari
Antibiotik
a. Antibiotik yang merupakan drug of choice untuk kuman yang dicurigai
b. Bila tidak ada kuman yang dicurigai, berikan antibiotik awal (24-72 jam
pertama) menurut kelompok usia
c. Neonatus dan bayi muda (< 2 bulan)
Ampisilin + Aminoglikosid
Amoksisilin-asam klavulanat
Amoksisilin + Aminoglikosid
Sefalosporin generasi ke-3
d. Bayi dan anak usia prasekolah ( 2 bulan – 5 tahun)
Beta-laktam amoksisilin
Amosisilin/ amoksisilin klavulanat
Golongan sefalosporin
Kotrimoksazol
Makrolid (eritromisin)
e. Anak usia sekolah ( > 5 tahun)
Amoksisilin atau makrolid (eritromisin, klaritromisin, azitromisin)
Tetrasiklin (pada anak berusia > 8 tahun)
Karena dasar pemberian antibiotika awa di atas adalah coba-coba (trial
and error) maka harus dilaksanakan dengan pemantauan ketat, minimal
tiap 24 jam sekali sampai hari ke-3
f. Bila penyakit bertambah berat atau tidak menunjukkan perbaikan yang nyata
dalam 24-72 jam ganti dengan antibiotik lain yang lebih tepat sesuai
kuman penyebab yang diduga (sebelumnya perlu diyakinkan dulu ada
tidaknya penyulit seperti empiema, abses paru yang menyebabkan seolah-
olah antibiotik tidak efektif).
Simtomatik
Obat penurun panas dan pereda batuk sebaiknya tidak diberikan terutama selama
72 jam pertama karena akan mengaburkan interpretasi reaksi terhadap antibiotik
awal.
Suportif
O2 lembab 2-4 L/ menit (nasal prong) sampai sesak hilang atau PaO2 pada
analisis gas darah ≥ 60 Torr.
Cairan dan Nutrisi
Melalui oral, pipa nasogastrik atau cairan infus (larutan 1 : 4 bila kadar
elektrolit normal)
Asidosis diatasi dengan pemberian bikarbonat i.v.
Dosis awal 0,5 x 0,3 x devisit basa x BB (Kg) mEq
Selanjutnya periksa ulang analisis gas darah (AGD) setiap 4-6 jam dan
koreksi berikutnya tergantung pada hasil AGD
Bila AGD tidak bisa dilakukan, maka dosis awal bikarbonat 0,5 x 2-3
mEq x BB (Kg)
Selanjutnya tergantung gambaran klinis 6 jam kemudian.2
Indikasi perawatan di rumah sakit pada bayi5
SaO2 ≤ 92%
Sianosis
Frekuensi napas > 60x/ menit
Kesukaran bernapas
Apnea intermitten, grunting
Tidak dapat makan/ minum
Keluarga tidak mampu memantau anaknya dengan baik
Indikasi perawatan di rumah sakit pada anak besar5
SaO2 ≤ 92%
Sianosis
Frekuensi napas > 50x/ menit
Kesukaran bernapas
Grunting
Tanda dehidrasi
Keluarga tidak mampu memantau anak dengan baik
Perawatan umum di rumah sakit
1. Terapi oksigen
Bayi dan anak yang mengalami hipoksia mungkin tidak tampak
sianosis
Agitasi mungkin menjadi indikasi hipoksia
Oksigen diberikan pada penderita dengan saturasi oksigen < 92% pada
udara kamar untuk mempertahankan saturasi oksigen ≥ 92%, dan pada
penderita dengan distress napas.
Pasien dengan saturasi oksigen <92% pada saat +bernapas dengan udara
kamar harus diberikan terapi oksigen dengan kanul nasal, head box, atau
sungkup untuk mempertahankan saturasi oksigen >92%
Pada pneumonia berat atau asupan per oral kurang, diberikan cairan
intravena dan dilakukan balans cairan ketat
Fisioterapi dada tidak bermanfaat dan tidak direkomendasikan untuk anak
dengan pneumonia
Antipiretik dan analgetik dapat diberikan untuk menjaga kenyamanan
pasien dan mengontrol batuk
Nebulisasi dengan β2 agonis dan/atau NaCl dapat diberikan untuk
memperbaiki mucocilliary clearance
Pasien yang mendapatkan terapi oksigen harus diobservasi setidaknya
setiap 4 jam sekali, termasuk pemeriksaan saturasi oksigen5
2. Analgetik antipiretik
Anak yang terkena infeksi saluran pernapasan bagian bawah akut
umumnya mengalami pireksia dan dapat merasakan nyeri seperti nyeri
kepala, nyeri dada, nyeri sendi, nyeri perut, dan nyeri telinga.
3. Terapi cairan
Anak yang tidak mampu mempertahankan asupan cairan akibat sesak/
kelelahan memerlukan terapi cairan. Pipa nasogastrik dapat memengaruhi
pernapasan dan karena itu harus dihindari pada anak yang sakit berat,
terutama bayi dengan lubang hidung yang kecil. Penderita yang muntah-
muntah/ sakit berat memerlukan cairan i.v. Bila diperlukan, cairan i.v.
diberikan 80% dari kebutuhan basal dan perlu dipantau elektrolit serum.
4. Pemberian antibiotik
Antibiotik empiris diberikan berdasarkan usia penderita dan derajat
penyakit.
Antibiotik yang sesuai harus diberikan segera sesudah penderita masuk
rumah sakit.
Untuk pneumonia/ bukan pneumonia berat dapat diberikan
kotrimoksazol (8 mg/ KgBB/ dosis diberikan tiap 12 jam p.o.
(penelitian menunjukkan amoksisilin 2 dosis sehari memiliki
konsentrasi dalam darah yang sama dengan amoksisilin 3 dosis/ hari)
selama 5 hari.
Efikasi kedua obat sama, kecuali didaerah yang mengalami resistensi
pada salah satu obat.
Antibiotik parenteral harus diberikan pada anak dengan pneumonia
berat.
Pemberian antibiotik berdasarkan IDAI tahun 2009:
Amoksisilin merupakan pilihan pertama untuk antibiotik oral pada
anak <5 tahun karena efektif melawan sebagian besar patogen yang
menyebabkan pneumonia pada anak, ditoleransi dengan baik, dan
murah. Alternatifnya adalah co-amoxiclav, ceflacor, eritromisin,
claritromisin, dan azitromisin
M. pneumoniae lebih sering terjadi pada anak yang lebih tua maka
antibiotik golongan makrolid diberikan sebagai pilihan pertama
secara empiris pada anak >5 tahun
Makrolid diberikan jika M. pneumoniae atau C. pneumonia dicurigai
sebagai penyebab
Amoksisilin diberikan sebagai pilihan pertama jika S. pneumoniae
sangat mungkin sebagai penyebab.
Jika S. aureus dicurigai sebagai penyebab, diberikan makrolid atau
kombinasi flucloxacillin dengan amoksisilin
Antibiotik intravena diberikan pada pasien pneumonia yang tidak
dapat menerima obat per oral (misal karena muntah) atau termasuk
dalam derajat pneumonia berat
Antibiotik intravena yang danjurkan adalah: ampisilin dan
kloramfenikol, co-amoxiclav, ceftriaxone, cefuroxime, dan
cefotaxime
Pemberian antibiotik oral harus dipertimbangkan jika terdapat
perbaikan setelah mendapat antibiotik intravena 5
Tabel 3. Pilihan antibiotik intravena untuk pneumonia
Antibiotik Dosis Frekuensi Relative cost
Keterangan
Penisilin G 50.000 unit/ kg/ kali
Dosis tunggal maks.
4.000.000 unit
Tiap 4 jam rendah S. pneumonia
Ampisilin 100 mg/ kg/ hari
Tiap 6 jam Rendah
Kloramfenikol
100 mg/ kg/ hari
Tiap 6 jam Rendah
Ceftriaxone 50 mg/ kg/ kali
Dosis tunggal maks. 2 gram
1x/ hari Tinggi S. pneumoniae, H. influenza
Cefuroxime 50 mg/ kg/ kali
Dosis tunggal maks. 2 gram
Tiap 8 jam Tinggi S. pneumoniae, H. Influenza
Clindamycin 10 mg/ kg/ kali
Dosis tunggal maks 1,2
gram
Tiap 6 jam Rendah Group A Streptococcus,
S.aureus, S. pneumoniae (alternatif untuk anak alergi beta
lactam, lebih jarang
menimbulkan flebitis pada
pemberian IV dari pada
eritromisin)
Eritromisin 10 mg/ kg/ kali
Dosis tunggal maks. 1 gram
Tiap 6 jam Rendah S. pneumoniae, Chlamydia pneumonia, Mycoplasma pneumonia
Rekomendasi UKK Respirologi
Antibiotik untuk community acquired pneumonia:
Neonatus - 2 bulan: Ampisilin + gentamisin
> 2 bulan:
Lini pertama Ampisilin bila dalam 3 hari tidak ada perbaikan
dapat ditambahkan kloramfenikol
Lini kedua Seftriakson
Bila klinis perbaikan antibiotik intravena dapat diganti preparat oral
dengan antibiotik golongan yang sama dengan antibiotik intravena
sebelumnya.5
Pilihan pemberian antibiotik inisial pada pneumonia anak
Ampisilin 50 mg/ KgBB/ dosis i.v./ i.m. setiap 6 jam yang harus
dipantau dalam 24 jam selama 48 -72 jam pertama.
Bila keadaan klinis berat, pengobatan inisial berupa kombinasi
ampisilin – gentamisin/ ampisilin – kloramfenikol.
Bayi kurang < 2 bulan/ pneumonia sangat berat, ampisilin dosis diatas
ditambah gentamisin 7,5 mg/ kgBB i.v./ i.m. sekali sehari.
Pedoman lain menganjurkan kombinasi ampisilin dan aminoglikosida
diberikan pada bayi usia < 3 bulan, serta kombinasi ampisilin dan
kloramfenikol diberikan pada bayi usia > 3 bulan
Pada keadaan dicurigai meningitis (malas menetek, letargis, kejang,
menangis lemah, fontanel menonjol) dan septikemia, maka obat pilihan
pertama adalah sefotaksim/ seftriakson i.v.
Sesudah 48 jam pengobatan pneumonia sangat berat tidak tampak
perbaikan, antibiotik diubah menjadi sefalosporin generasi ketiga,
seperti seftriakson dan sefotaksim.
5. Nutrisi
Pada anak dengan distres pernapasan berat, pemberian makanan per oral harus dihindari. Makanan dapat diberikan lewat nasogastric tube (NGT) atau intravena. Tetapi harus diingat bahwa pemasangan NGT
dapat menekan pernapasan, khususnya pada bayi/anak dengan ukuran lubang hidung kecil. Jika memang dibutuhkan, sebaiknya menggunakan ukuran yang terkecil.
Perlu dilakukan pemantauan balans cairan ketat agar anak tidak mengalami overhidrasi karena pada pneumonia berat terjadi peningkatan sekresi hormon antidiuretik.5
6. Pneumonia pada anak HIV
Pada anak bukan pneumonia berat, terapi inisial dengan
amoksisilin oral (25 – 30 mg/ kgBB/ dosis, 2x/ hari selama 5 hari).
Penderita memerlukan monitoring kondisi klinis. Pneumonia berat harus
dirawat di rumah sakit karena risiko tinggi cepat perburukan dan
kegagalan terapi. Pemberian antibiotik inisial harus memperhatikan
pemberian antibiotik sebelumnya dan prevalensi resistensi antibiotik di
daerah tersebut.
Ampisilin dan gentamisin dapat diberikan selama 10 hari. Bila
tidak ada respons, antibiotik dapat diganti dengan seftriakson/ sefotaksim.
Jika diduga infeksi S.aureus dapat diberikan kloksasilin dan gentamisin.
Pada anak usia < 1 tahun dengan pneumonia berat dapat diterapi
secara empiris dengan kotrimoksazol i.v. (15 – 20 mg/ kgBB/ hari
komponen trimetoprim) dalam 3 atau 4 dosis terbagi di infus dalam 1 jam
selama 21 hari. Terapi kotrimoksazol oral diberikan pada penyakit yang
ringan/ sedang/ bila sudah terjadi perbaikan.
Perbaikan klinis biasanya lambat, membutuhkan 5 – 7 hari.
Kortikosteroid sudah terbukti menurunkan ketergantungannya O2 dan
mortalitas penderita HIV dewasa bila diberikan dalam 72 jam pemberian
terapi kotrimoksazol. Hal ini belum dapat dibuktikan pada anak, tetapi
mungkin efektif pada dosis 1 mg/ kgBB/ hari selama 7 hari dan kemudian
di tappering selama 7 hari berikutnya.
7. Pneumonia pada anak malnutrisi berat
Ampisilin dan gentamisin merupakan antibiotik inisial. Terapi suportif
seperti mempertahankan suhu, pencegahan hipoglikemia, dan pemberian
nutrisi yang tepat sangat penting untuk memperoleh hasil terapi yang baik.
8. Pemantauan
Sesudah pemberian antibiotik inisial, pantau dalam 24 jam selama 48 – 72
jam pertama. Apabila kondisi klinis membaik; tidak didapatkan tanda
sepsis, empiema, necrotizing pneumonia, dan abses paru; tanda vital stabil
selama minimal 48 jam; biakan darah tidak menunjukkan pertumbuhan
kuman; dan dapat makan/ minum p.o. maka:
Antibioti i.v. dapat diganti dengan antibiotik oral. Umumnya
peralihan ke antibiotik oral dilakukan sesudah 2 – 4 hari pemberian
antibiotik i.v. selanjutnya, terapi dilanjutkan di rumah dengan
amoksisilin p.o. (15 mg/ kgBB/ kali 3x/ hari).
Pemberian antibiotik pada pneumonia berat dilanjutkan sampai 5 – 7
hari/ kepustaka-an lain menyebutkan 7 – 10 hari, dan pada
pneumonia sangat berat diberikan selama 7 – 10 hari/ kepustakaan
lain menyebutkan 10 – 14 hari.
Apabila:
Demam/ manifestasi klinis lainnya menetap sesudah 48 jam
pemberian antibiotik, atau
Keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam, atau
Terdapat keadaan yang berat (tidak dapat menyusu/ minum/ makan/
memuntahkan semuanya, kejang, letargis/ tidak sadar, sianosis,
distress pernapasan berat) maka terapi harus dievaluasi kembali dan
dipertimbangkan foto rontgen toraks ulang. Tambahkan
kloramfenikol 25 mg/ kgBB/ kali i.m. atau i.v. setiap 8 jam/
gentamisin 7,5 mg/ kgBB i.v. atau i.m. 1x/ hari.
Apabila terjadi kegagalan terapi pada penderita yang diberi
kotrimoksazol, diganti dengan amoksisilin.
Jika obat pertama yang diberikan adalah amoksisilin, maka bila
terjadi kegagalan terapi dapat ditambahkan gentamisin/ diganti
dengan amoksisilin – asam klavulanat (80 – 90 mg/ kgBB/ hari
amoksisilin dalam dosis terbagi dengan maks. 6,4 mg/ kgBB/ hari
asam klavulanat) untuk meningkatkan aktivitas terhadap H.
influenzae penghasil beta – laktamase dan S. pneumoniae yang
resisten.
Bila terjadi kegagalan terapi berikutnya, sefalosporin generasi ke-2
(sefuroksim)/ generasi ke-3 (seftriakson, sefopodoksim) dapat
digunakan untuk memperluas cakupan terhadap organisme penghasil
β-laktamase
Apabila diduga pneumonia stafilokokal, ganti antibiotik dengan
gentamisin (7,5 mg/ kgBB/ i.m. 1x/ hari) dan kloksasilin (50 mg/
kgBB/ i.m. atau i.v. setiap 6 jam). Bila keadaan anak membaik,
lanjutkan kloksasilin (atau dikloksasilin) secara oral 4x/ hari sampai
mencapai 3 minggu, atau klindamisin secara oral selama 2 minggu.
Pilihan antibiotik selanjutnya berdasarkan hasil pemeriksaan pola
kepekaan antibiotik
Indikasi penderita dipulangkan
Perbaikan secara klinis, nafsu makan membaikk, bebas demam 12 – 24 jam,
stabil, saturasi O2 > 92% dalam udara ruangan selama 12 – 24 jam (tanpa O2)
orangtua sudah mengerti untuk melanjutkan pemberian antibiotik oral.4
Gejala dan tanda pneumonia menghilang
Asupan per oral adekuat
Pemberian antibiotik dapat diteruskan di rumah (per oral)
Keluarga mengerti dan setuju untuk pemberian terapi dan rencana kontrol
Kondisi rumah memungkinkan untuk perawatan lanjutan di rumah5
14.Pencegahan
Vaksinasi dengan vaksin pertusis, H.influenzae
Vaksin influenza untuk bayi > 6 bulan dan usia remaja
Untuk orangtua/ pengasuh bayi < 6 bulan disarankan untuk diberikan vaksin
influenza dan pertusis4
DAFTAR PUSTAKA
2
1. Kapita selekta
2. Prof. Herry Gama, dr. Sp. A (K), Ph. D, Heda Melinda D. Nataprawira, dr. Sp.
A (K), M.Kes, dkk. Pedoman Diagnosis dan Terapu Ilmu Kesehatan Anak
Edisi Ke-3. Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran RS. Dr.
Hasan Sadikin Bandung; 2005.
3. Misnadiarly. Penyakit Infeksi Saluran Napas Pneumonia Pada Anak Balita,
Orang Dewasa, Usia Lanjut, Pneumonia Atipik Dan Pneumonia Atypik
Mycobacterium/ Misnadiarly. Ed. 1. Jakarta: Pustaka Obor Populer; 2008.
4. Garna, Herry, Herda Melinda Nataprawira. Pedoman Dan Diagnosis Terapi
Ilmu Kesehatan Anak. Ed. Ke-3. Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran RSUP. Dr. Hasan Sadikin Bandung. 2012.
5. Antonius H. Pudjiadi, Badriul Hegar, Setyo Handryastuti, dkk. Pedoman pelayanan medis Ikatan dokter anak indonesia. Ikatan dokter anak indonesia, 2009
6. Bennete M.J. 2013. Pediatric Pneumonia.
http://emedicine.medscape.com/article/967822-overview. (9 Marert 2013)
7. Bradley J.S., Byington C.L., Shah S.S, Alverson B., Carter E.R., Harrison C.,
Kaplan S.L., Mace S.E., McCracken Jr G.H., Moore M.R., St Peter S.D.,
Stockwell J.A., and Swanson J.T. 2011. The Management of Community-
Acquired Pneumonia in Infants and Children Older than 3 Months of Age :
Clinical Practice Guidelines by the Pediatric Infectious Diseases Society and
the Infectious Diseases Society of America. Clin Infect Dis. 53 (7): 617-630
8. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2012. Panduan Pelayanan Medis Ilmu
Kesehatan Anak. Jakarta : Penerbit IDAI
9.