BAB 1PENDAHULUANVirus dengue dilaporkan telah menginfeksi lebih
dari 100 negara, terutama di daerah perkotaan yang berpenduduk
padat dan pemukiman di Brazil dan bagian lain Amerika Selatan,
Karibia, Asia Tenggara, dan India. Jumlah orang yang terinfeksi
diperkirakan sekitar 50 sampai 100 juta orang, setengahnya dirawat
di rumah sakit dan mengakibatkan 22.000 kematian setiap tahun;
diperkirakan 2,5 miliar orang atau hampir 40 persen populasi dunia,
tinggal di daerah endemis DBD yang memungkinkan terinfeksi virus
dengue melalui gigitan nyamuk setempat (Candra, 2010).Indonesia
merupakan negara endemi Dengue dengan kasus tertinggi di Asia
Tenggara. Pada 2006 Indonesia melaporkan 57% dari kasus Dengue dan
hampir 80% kematian dengue dalam daerah Asia Tenggara (1132
kematian dari jumlah 1558 kematian dalam wilayah regional). Di
Indonesia infeksi virus Dengue selalu dijumpai sepanjang tahun di
beberapa kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, Medan
dan Bandung. Morbiditas dan mortalitas karena DBD/DSS yang
dilaporkan berbagai negara bervariasi disebabkan beberapa faktor,
antara lain status umur penduduk, kepadatan vektor, tingkat
penyebaran virus dengue, prevalensi serotipe virus dengue dan
keadaan meteorologis (Frans, 2012).Jumlah kasus DBD tidak pernah
menurun di beberapa daerah tropik dan subtropik bahkan cenderung
terus meningkat dan banyak menimbulkan kematian pada anak 90%
diantaranya menyerang anak di bawah 15 tahun. Di Indonesia, setiap
tahunnya selalu terjadi KLB di beberapa provinsi, yang terbesar
terjadi tahun 1998 dan 2004 dengan jumlah penderita 79.480 orang
dengan kematian sebanyak 800 orang lebih. Pada tahun-tahun
berikutnya jumlah kasus terus naik tapi jumlah kematian turun
secara bermakna dibandingkan tahun 2004. Misalnya jumlah kasus
tahun 2008 sebanyak 137.469 orang dengan kematian 1.187 orang atau
case fatality rate (CFR) 0,86% serta kasus tahun 2009 sebanyak
154.855 orang dengan kematian 1.384 orang atau CFR 0,89% (Candra,
2012).Penularan virus dengue terjadi melalui gigitan nyamuk yang
termasuk subgenus Stegomya yaitu nyamuk Aedes aegypti dan Ae.
albopictus sebagai vektor primer dan Ae. polynesiensis,
Ae.scutellaris serta Ae (Finlaya) niveus sebagai vektor sekunder,
selain itu juga terjadi penularan transexsual dari nyamuk jantan ke
nyamuk betina melalui perkawinan serta penularan transovarial dari
induk nyamuk ke keturunannya. Ada juga penularan virus dengue
melalui transfusi darah seperti terjadi di Singapura pada tahun
2007 yang berasal dari penderita asimptomatik. Dari beberapa cara
penularan virus dengue, yang paling tinggi adalah penularan melalui
gigitan nyamuk Ae. aegypti. Masa inkubasi ekstrinsik (di dalam
tubuh nyamuk) berlangsung sekitar 8-10 hari, sedangkan inkubasi
intrinsik (dalam tubuh manusia) berkisar antara 4-6 hari dan
diikuti dengan respon imun (Candra, 2012).Penelitian di Jepara dan
Ujung pandang menunjukkan bahwa nyamuk Aedes spp. berhubungan
dengan tinggi rendahnya infeksi virus dengue di masyarakat, tetapi
infeksi tersebut tidak selalu menyebabkan DBD pada manusia karena
masih tergantung pada faktor lain seperti vector capacity,virulensi
virus dengue, status kekebalan host dan lain-lain. Vector capacity
dipengaruhi oleh kepadatan nyamuk yang terpengaruh iklim mikro dan
makro, frekuensi gigitan per nyamuk per hari, lamanya siklus
gonotropik, umur nyamuk dan lamanya inkubasi ekstrinsik virus
dengue serta pemilihan Hospes. Frekuensi nyamuk menggigit manusia,
di antaranya dipengaruhi oleh aktivitas manusia; orang yang diam
(tidak bergerak), 3,3 kali akan lebih banyak digigit nyamuk Ae.
Aegypti dibandingkan dengan orang yang lebih aktif, dengan demikian
orang yang kurang aktif akan lebih besar risikonya untuk tertular
virus dengue. Selain itu, frekuensi nyamuk menggigit manusia juga
dipengaruhi keberadaan atau kepadatan manusia; sehingga
diperkirakan nyamuk Ae. aegypti di rumah yang padat penghuninya,
akan lebih tinggi frekuensi menggigitnya terhadap manusia dibanding
yang kurang padat. Kekebalan host terhadap infeksi dipengaruhi oleh
beberapa faktor, salah satunya adalah usia dan status gizi, usia
lanjut akan menurunkan respon imun dan penyerapan gizi. Penderita
DBD yang tercatat selama ini, tertinggi adalah pada kelompok umur
45 tahun sangat rendah seperti yang terjadi di Jawa Timur berkisar
3,64%. Munculnya kejadian DBD, dikarenakan penyebab majemuk,
artinya munculnya kesakitan karena berbagai faktor yang saling
berinteraksi, diantaranya agent (virus dengue), host yang rentan
serta lingkungan yang memungkinan tumbuh dan berkembang biaknya
nyamuk Aedes spp. Selain itu, juga dipengaruhi faktor predisposisi
diantaranya kepadatan dan mobilitas penduduk, kualitas perumahan,
jarak antar rumah, pendidikan, pekerjaan, sikap hidup, golongan
umur, suku bangsa, kerentanan terhadap penyakit, dan lainnya
(Candra, 2012).
BAB 2INFEKSI VIRUS DENGUEInfeksi virus dengue tergantung dari
faktor yang mempengaruhi daya tahan tubuh dengan faktor-faktor yang
mempengaruhi virulensi virus. Dengan demikian infeksi virus dengue
dapat menyebabkan keadaan yang bermacam-macam, mulai dari tanpa
gejala (asimtomatik), demam ringan yang tidak spesifik
(undifferentiated febrile illness), Demam Dengue, atau bentuk yang
lebih berat yaitu Demam Berdarah Dengue (DBD) dan sindrom syok
dengue.
Sumber: Gershon, 2004Gambaran manifestasi klinis yang bervariasi
ini memperlihatkan sebuah fenomena gunung es, dengan kasus DBD dan
DSS yang dirawat di rumah sakit sebagai puncak gunung es yang
terlihat di atas permukaan laut, sedangkan kasus dengue ringan
(silent dengue infection dan demam dengue) merupakan dasarnya
(Sudarmo, 2003).
2.1EtiologiVirus Dengue termasuk dalam kelompok B
arthropode-borne virus (arbovirus) dan sekarang dikenal dengan
genus flavivirus, famili Flaviviridae. Di Indonesia sekarang telah
dapat diisolasi 4 serotipe yang berbeda namun memiliki hubungan
genetik satu dengan yang lain, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4.
Infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur
hidup terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi tidak ada
perlindungan terhadap serotipe yang lain. Serotipe DEN-2 dan DEN-3
merupakan serotipe yang paling banyak sebagai penyebab (Sudarmo,
2003).
2.2Vektor penularan virus dengueVirus-virus Dengue ditularkan
oleh nyamuk-nyamuk dari famili Stegomya, yaitu Aedes aegypti, Aedes
albopticus, Aedes scuttelaris, Aedes polynesiensis dan Aedes
niveus. Di Indonesia Aedes aegypti dan Aedes albopticus merupakan
vektor utama. Keempat virus telah ditemukan dari Aedes aegypti yang
terinfeksi. Spesies ini dapat berperan sebagai tempat penyimpanan
dan replikasi virus (Frans, 2012).
2.3PatogenesisMekanisme sebenarnya tentang patofisiologi,
hemodinamika dan biokimiawi DBD belum diketahui secara pasti karena
kesukaran mendapatkan model binatang percobaan yang dapat digunakan
untuk menimbulkan gejala klinis DBD seperti pada manusia. Hingga
kini sebagian besar masih menggunakan the secondary heterologous
infection hypothesis atau the sequential infection hypothesis yang
menyatakan bahwa DBD dapat terjadi apabila seseorang setelah
terinfeksi virus dengue pertama kali mendapatkan infeksi kedua
dengan virus dengue serotipe lain dalam jarak waktu 6 bulan sampai
5 tahun (Sudarmo, 2003).The immunological enhancement
hypothesisAntibodi yang terbentuk pada infeksi dengue terdiri dari
IgG yang berfungsi menghambat peningkatan replikasi virus dalam
monosit, yaitu enhancing-antibody dan neutralizing antibody. Pada
saat ini dikenal 2 jenis tipe antibodi yaitu:1. Kelompok monoklonal
reaktif yang tidak mempunyai sifat menetralisasi tetapi memacu
replikasi virus.2. Antibodi yang dapat menetralisasi secara
spesifik tanpa disertai daya memacu replikasi virus.Perbedaan ini
berdasarkan adanya virion determinant spesificity. Antibodi
non-neutralisasi yang dibentuk pada infeksi primer akan menyebabkan
terbentuknya kompleks imun pada infeksi sekunder dengan akibat
memacu replikasi virus. Teori ini pula yang mendasari pendapat
bahwa infeksi sekunder virus dengue oleh serotipe dengue yang
berbeda cenderung menyebabkan manifestasi berat. Dasar utama
hipotesis ialah meningkatnya reaksi immunologis (the immunological
enhancement hypothesis) yang berlangsung sebagai berikut:a) Sel
fagosit mononuklear yaitu monosit, makrofag, histiosit dan sel
Kupffer merupakan tempat utama terjadinya infeksi virus dengue
primer.b) Non neutralizing antibody baik yang bebas dalam sirkulasi
maupun yang melekat (sitofilik) pada sel, bertindak sebagai
reseptor spesifik untuk melekatnya virus dengue pada permukaan sel
fagosit mononuklear. Mekanisme pertama ini disebut mekanisme
aferen.c) Virus dengue kemudian akan bereplikasi dalam sel fagosit
mononuklear yang telah terinfeksi.d) Selanjutnya sel monosit yang
mengandung kompleks imun akan menyebar ke usus, hati, limpa dan
sumsum tulang. Mekanisme ini disebut mekanisme eferen. Parameter
perbedaan terjadinya DBD dengan dan tanpa rejatan ialah jumlah sel
yang terkena infeksi.e) Sel monosit yang telah teraktivasi akan
mengadakan interaksi dengan sistem humoral dan sistem komplemen
dengan akibat dilepaskanna mediator yang mempengaruhi permeabilitas
kapiler dan mengaktivasi sistem koagulasi. Mekanisme ini disebut
mekanisme efektor (Sudarmo, 2003).Aktivasi limfosit TLimfosit T
juga memegang peranan penting dalam patogenesis DBD. Akibat
rangsang monosit yang terinfeksi virus dengue atau antigen virus
dengue, limfosit dapat mengeluarkan interferon (IFN- dan ). Pada
infeksi sekunder oleh virus dengue (serotipe berbeda dengan infeksi
pertama), limfosit T CD4+ berproliferasi dan menghasilkan IFN-.
IFN- selanjutnya merangsang sel yang terinfeksi virus dengue dan
mengakibatkan monosit memproduksi mediator. Oleh limfosit T CD4+
dan CD8+ spesifik virus dengue, monosit akan mengalami lisis dan
mengeluarkan mediator yang menyebabkan kebocoran plasma dan
pendarahan (Sudarmo, 2003).Hipotesis kedua patogenesis DBD
mempunyai konsep dasar bahwa keempat serotipe virus dengue
mempunyai potensi patogen yang sama dan gejala berat terjadi
sebagai akibat seroipe/ galur serotipe virus dengue yang paling
virulen (Sudarmo, 2003).
2.4PatofisiologiPatofisiologi primer DBD dan dengue syock
syndrome (DSS) adalah peningkatan akut permeabilitas vaskuler yang
mengarah ke kebocoran plasma ke dalam ruang ekstravaskuler,
sehingga menimbulkan hemokonsentrasi dan penurunan tekanan darah.
Pada kasus berat, volume plasma menurun lebih dari 20%, hal ini
didukung penemuan post mortem meliputi efusi pleura,
hemokonsentrasi dan hipoproteinemi. Setelah masuk dalam tubuh
manusia, virus dengue berkembang biak dalam sel retikuloendotelial
yang selanjutnya diikuti dengan viremia yang berlangsung 5-7 hari.
Akibat infeksi ini, muncul respon imun baik humoral maupun selular,
antara lain anti netralisasi, anti-hemaglutinin dan anti komplemen.
Antibodi yang muncul pada umumnya adalah IgG dan IgM, pada infeksi
dengue primer antibodi mulai terbentuk, dan pada infeksi sekunder
kadar antibodi yang telah ada jadi meningkat. Antibodi terhadap
virus dengue dapat ditemukan di dalam darah sekitar demam hari
ke-5, meningkat pada minggu pertama sampai dengan ketiga, dan
menghilang setelah 60-90 hari. Kinetik kadar IgG berbeda dengan
kinetik kadar antibodi IgM, oleh karena itu kinetik antibodi IgG
harus dibedakan antara infeksi primer dan sekunder. Pada infeksi
primer antibodi IgG meningkat sekitar demam hari ke-14 sedang pada
infeksi sekunder antibodi IgG meningkat pada hari kedua. Oleh
karena itu diagnosa dini infeksi primer hanya dapat ditegakkan
dengan mendeteksi antibodi IgM setelah hari sakit kelima, diagnosis
infeksi sekunder dapat ditegakkan lebih dini dengan adanya
peningkatan antibodi IgG dan IgM yang cepat (Sudarmo, 2003).Volume
plasmaFenomena patofisiologi utama yang menentukan derajat penyakit
dan membedakan antara demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue
(DBD) ialah peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah,
penurunan volume plasma, terjadinya hipotensi, trombositopenia
serta diatesis hemoragik. Penyelidikan volume plasma pada kasus DBD
pada kasus DBD dengan menggunakan 131 iodine labelled human albumin
sebagai indikator membuktikan bahwa plasma merembes selama
perjalanan penyakit mulai dari permulaan masa demam dan mencapai
puncaknya pada masa syok. Pada kasus berat, syok terjadi secara
akut, nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan menghilangnya
plasma mlalui endotel dinding pembuluh darah. Meningginya nilai
hematokrit pada kasus syok menimbulkan dugaan bahwa syok terjadi
ebagai akibat kebocoran plasma ke daerah extra vaskular (ruang
intertisial dan rongga serosa) melalui kapiler yang rusak. Bukti
yang mendukung dugaan ini ialah meningkatnya berat badan,
ditemukannya cairan yang tertimbun dalam rongga serosa yaitu rongga
peritoneum, pleura, dan perikardium yang pada otopsi ternyata
melebihi cairan yang diberikan melalui infus dan terdapatnya edema
(Sudarmo, 2003).Pada sebagian besar kasus, plasma yang menghilang
dapat diganti secara efektif dengn memberikan plasma atau ekspander
plasma. Pada masa dini dapat diberikan cairan yang mengandung
elektrolit. Syok terjadi secara akut dan perbaikan klinis terjadi
secara cepat dan drastis. Sedangkan pada otopsi tidak ditemukan
kerusakan dinding pembuluh darah yang bersifat destruktif atau
akibat radang, sehingga menimbulkan dugaan bahwa perubahan
fungsional dinding pembuluh darah agaknya disebabkan oleh mediator
farmakologis yang bekerja secara cepat. Gambaran mikrokop elekron
biopsi kulit pasien DBD pada masa akut memperlihatkan kerusakan sel
endotel vaskular yang mirip dengan luka akibat anoksia atau luka
bakar. Gambaran itu juga mirip dengan binatang yang diberi histamin
atau serotonin atau dibuat keadaan trombositopenia (Sudarmo,
2003).TrombositopeniaTrombositopenia merupakan kelainan hematologis
yang ditemukan pada sebagian besar kasus DBD. Nilai trombosit mulai
menurun pada masa demam dan mencapai nilai terendah pada masa syok.
Jumlah trombosit secara cepat meningkat pada masa konvalesens dan
nilai normal biasanya tercapai 7-10 hari sejak permulaan sakit.
Trombositopenia yang dihubungkan dengan meningkatnya megakariosit
muda dalam sumsum tulang dan pendeknya masa hidup trombosit diduga
akibat meningkatnya destruksi trombosit. Dengan mekanisme lain
trombositopenia ialah depresi fungsi megakarioit. Penyelidikan
dengan radioisotop membuktikan bahwa penghancuran trombosit terjadi
dalam sistem retikuloendotel, limpa dan hati. Penyebab peningkatan
destruksi trombosit tidak diketahui, namun beberapa faktor dapat
menjadi penyebab yaitu virus dengue, komponen aktif sistem
komplemen, kerusakan sel endotel dan aktivasi sistem pembekuan
darah secara bersamaan atau secara terpisah. Lebih lanjut fungsi
trombosit pada DBD terbukti menurun mungkin disebabkan proses
imunologis terbukti ditemui kompleks imun dalam peredaran daah.
Trombositopenia dan gangguan fungsi trombosit dianggap sebagai
penyebab utama terjadinya pendarahan pada DBD (Sudarmo,
2003).Sistem koagulasi dan fibrinolisisKelainan sistem koagulasi
juga berperan dalam pendarahan. Masa perdarahan memanjang, masa
pembekuan darah normal, masa tromboplastin parsial yang teraktivasi
memanjang. Beberapa faktor pembekuan menurun termasuk faktor II, V,
VII, VIII, X dan fibrinogen. Pada kasus DBD berat terjadi
peningkatan fibrinogen degradation products (FDP). Penelitian lebih
lanjut faktor koagulasi membuktikan adanya penurunan aktifitas
antitrombin III. Disamping itu juga dibuktikan bahwa menurunnya
aktifitas faktor VII, faktor II dan antitrombin III tidak sebanyak
seperti fibrinogen dan faktor VIII. Hal ini menimbulkan dugaan
bahwa menurunnya kadar fibrinogen dan faktor VIII tidak hanya
diakibatkan oleh konsumsi sitem koagulasi, tetapi juga oleh
konsumsi sistem fibrinolisis. Kelainan fibrinolisis pada DBD
dibuktikan dengan penurunan aktifitas -2 plasmin inhibitor dan
penurunan aktifitas plasminogen.Seluruh penelitian diatas
membuktikan bahwa: 1. Pada DBD stadium akut telah terjadi proses
koagulasi dan fibrinolisis.2. Disseminated intravascular
coagulation (DIC) secara potensial dapat terjadi juga pada DBD
tanpa syok. Pada masa dini DBD, peran DIC tidak menonjol
dibandingkan dengan perubahan plasma tetapi apabila penyakit
memburuk sehingga terjadi syok dan asidosis maka syok akan
memperberat DIC sehingga perannya akan mencolok. Syok dan DIC akan
saling mempengaruhi sehingga penyakit akan memasuki syok
ireversibel disertai pendarahan hebat, terlibatnya organ-organ
vital yang biasanya diakhiri dengan kematian.3. Pendarahan kulit
pada umumnya disebabkan oleh faktor kapiler, gangguan fungsi
trombosit dan trombositopenia; sedangkan perdarahan masif ialah
akibat kelainan mekanisme yang lebih kompleks seperti
trombositopenia, gangguan faktor pembekuan dan kemungkinan besar
oleh faktor DIC, terutama pada kasus dengan syok lama yang tidak
dapat teratasi disertai komplikasi asidosis metabolik.4.
Antitrombin III yang merupakan kofaktor heparin. Pada kasus dengan
kekurangan antitrombin III, respons pemberian heparin akan
berkurang (Sudarmo, 2003).Sistem komplemenPenelitian sistem
komplemen pada DBD memperlihatkan penurunan kadar C3, C3
proaktivator, C4 dan C5, baik pada kasus yang disertai syok maupun
tidak. Terdapat hubungan positif antara kadar serum komplemen
dengan derajat penyakit. Penurunan ini menimbulkan perkiraan bahwa
pada dengue, aktivasi komplemen terjadi baik melalui jalur klasik
maupun jalur alternatif. Hasil penelitian radioisotop mendukung
pendapat bahwa penurunan kadar serum komplemen disebabkan oleh
aktivasi sistem komplemen dan bukan oleh karena produksi yang
menurun atau ekstrapolasi komplemen. Aktivasi ini menghasilkan
anafilaktosin C3a dan C5a yang mempunyai kemampuan menstimulasi sel
mast untuk melepaskan histamin dan merupakan meditor kuat untuk
menimbulkan peningkatan permeabilitas kapiler, pengurangan volume
plasma dan syok hipovolemik. Komplemen juga beraksi dengan epitop
virus pada sel endotel, permukaan trombosit dan limfosit T, yang
mengakibatkan waktu paruh trombosit memendek, kebocoran plasma,
syok dan pendarahan. Disamping itu komplemen juga merangsang
monosit untuk memproduksi sitokin seperti tumor necrosis factor
(TNF), interferon gamma, interleukin (IL-2 dan IL-1).Bukti-bukti
yang mendukung peran sistem komplemen pada penderita DBD ialah:1.
Ditemukannya kadar histamin yang meningkat dalam urin 24jam.2.
Adanya kompleks imun yang bersirkulasi (circulating immune complex)
baik pada DBF derajat ringan maupun berat.3. Adanya korelasi antara
kadar kuantitatif kompleks imun dengan derajat berat penyakit
(Sudarmo, 2003).Respon leukositPada perjalanan penyakit DBD, sejak
demam hari ketiga terlihat peningkatan limfosit atopik yang
berlangsung sampai hari kedelapan. Suvatte dan longaman menyebutnya
sebagai transformed lymphocytes. Dilaporkan juga bahwa pada sediaan
hapus buffy coat kasus DBD dijumpai transformed lymphocytes dalam
prosentase yang tinggi (20-50%). Hal ini khas untuk DBD oleh karena
proporsinya sangat berbeda dengan infeksi virus lain (0-10%).
Penelitian yang lebih mendalam dilakukan oleh sutaryo yang
menyebutnya sebagai limfosit plasma biru (LPB). Pemeriksaan LPB
secara seri dari preparat hapus darah tepi memperlihatkan bahwa LPB
pada infeksi dengue mencapai puncak pada hari demam keenam.
Selanjutnya dibuktikan pula bahwa di antara hari keempat sampai
kedelapan demam terdapat perbedaan bermakna proporsi LPB pada DBD
dengan demam dengue. Namun, antara hari kedua sampai dengan hari
kesembilan demam, tidak terdapat perbedaan bermakna proporsi LPB
pada DBD syok dan tanpa syok. Berdasarkan uji diagnostik maka
dipilih titik potong (cut off point) LPB 4%. Nilai titik potong itu
secara praktis mampu membantu diagnosis dini infeksi dengue dan
non-dengue. Dari penelitian imunologi disimpulkan bahwa LPB
merupakan campuran antara limfosit-B dan limfosit-T. Definisi LPB
ialah limfosit dengan sitoplasma biru tua, pada umumnya mempunyai
ukuran lebih besar ataus ama dengan limfosit besar, sitoplasma
lebar dengan vakuolisasi halus sampai sangat nyata, dengan daerah
perinuklear yang jernih. Inti terletak pada salah satu tepi sel
berbentuk bulat oval atau berbentuk ginjal. Kromsom inti kasar dan
kadang-kadang di dalam inti terdapat nukleoli. Pada sitoplasma
tidak ada granula azurofilik. Daerah yang berdekatan dengan
eritrosit tidak melekuk dan tidak bertambah biru (Sudarmo,
2003).
2.5Demam dengue2.5.1DefinisiDemam dengue merupakan sindrom yang
disebabkan oleh beberapa virus arthropoda-borne yang ditandai
dengan demam biphasic, mialgia atau artralgia, ruam, leukopenia,
dan limfadenopati (Halstead, 2004). Salah satu varian klinis
infeksi virus dengue ditandai oleh gejala panas 2-7 hari dan pada
saat panas turun disertai/disusul dengan gangguan hemostatik dan
kebocoran plasma (Darmowandowo, 2008).
2.5.2Gejala klinis1. Demam Timbul mendadak, berlangsung 2-7 hari
Disertai dengan tidak mau bermain, nafsu makan menghilang, mual dan
tidak jarang disertai muntah Kadang kurva suhu berbentuk plana
(sadle-back fever) Suhu turun mendadak, kemudian penderita
merasa/tampak membaik dan muncul nafsu makan.2. Nyeri Nyeri kepala
Nyeri belakang mata (retro orbital) Nyeri otot (myalgia) Nyeri
sendi (arhralgia)3. Ruam Pada awal sakit dapat timbul kemerahan
(fluhing) pada kulit penderita Pada periode penyembuhan dapat
muncul confalescence rash, berupa morbilli like rash yang lokasinya
di ekstremitas bawah (shoe like appearance) dan di ekstremitas atas
(handglove like appearance)4. Manifestasi pendarahan Tidak selalu
ada Dapat berupa torniquet test yang positif, petekie, epitaksis,
pendarahan gusi dan dapat terjadi pendarahan masif berupa
hematemesis/melena yang sampai membutuhkan transfusi darah.5. Dapat
dijumpai gejala gastrointestinal berupa diare dan gejala saluran
napas atas berupa batuk serta pilek yang ringan (Darmowandowo,
2008).
2.5.3Pemeriksaan Lakukan pemeriksaan klinis yang lengkap
meliputi anamnesis yang teliti, tetapkan hitungan hari sakit
penderita datang, pemeriksaan fisik yang cermat khususnya mencari
tanda pendarahan (bila memungkinkan lakukan torniquet test).
Laboratorium rutin sering dijumpai leukopenia dan dapat disertai
penurunan trombosit, walaupun seringkali masih >100.000.
Diagnosis etiologis: Serologis elisa, memeriksa IgM dan IgG dengue,
lakukan pada hari sakit 5 untuk lebih memperoleh hasil positif.
Serologis hemaglutinasi inhibisi dengan mengambil serum sepasang,
serum pertama saat masuk rumah sakit dan serum kedua usahakan 7
hari kemudian (seringkali susah dipenuhi). Virologi, isolasi virus
dari spesimen darah, usahakan pengambilan serum aat periode febris,
kemudian dengan dry ice dikirim ke pusat-pusat pemeriksaan virologi
(dilakukan saat riset) (Darmowandowo, 2008).
2.5.4Diagnosis banding Exanthema subitum German measles
Chikunguya (Darmowandowo, 2008).
2.5.5Tata laksana demam dengueSebagian besar anak dapat dirawat
dirumah dengan memberikan nasehat perawatan pada orang tua anak.
Berikan anak banyak minum dengan air hangat atau larutan oralit
unuk mengganti cairan yang hilang akibat demam dan muntah. Berikan
parasetamol untuk demam. Jangan berikan asetosal atau ibuprofen
karena obat-obatan ini dapat merangsang pendarahan. Anak harus
dibawa dirumah sakit apabila demam tinggi, kejang, tidak bisa
minum, muntah terus menerus (WHO, 2005).
Periode afebrisKebanyakan penderita demam dengue setelah panas
turun, merasa/tampak lebih segar timbul nafsu makan dan akan segera
sembuh tanpa disertai komplikasi, sehingga tidak pengobatan khusus.
Kadang timbul gejala klinis confalescense petechial rash pada
tangan atau kaki dengan memberi kesan seperti sarung tangan atau
kaus kaki. Dalam proentase yang kecil periode confalescence ini
membutuhkan waktu agak panjang (WHO, 2005).
2.5.6KomplikasiKomplikasi demam dengue walaupun jarang
dilaporkan adalah orkhitis atau ovaritis, keratiis dan retinitis.
Berbagai kelainan neurologis dilaporkan, diantaranya menurunnya
kesadaran, paralisis sensorium yang bersifat sementara, meningismus
dan ensefalopati (Sudarmo,2003).
2.6 Demam Berdarah Dengue2.6.1Definisi Demam berdarah dengue
merupakan penyakit demam yang parah, sering fatal, yang disebabkan
oleh virus dengue. Hal ini ditandai dengan permeabilitas kapiler,
kelainan hemostasis dan dalam kasus yang parah terjadi dengue shock
syndrome (Halstead, 2004).
2.6.2Gejala klinisGejala klinis berikut harus ada, yaitu: Demam
tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus
selama 2-7 hari. Terdapat manifestasi pendarahan ditandai dengan:
Uji bendung positif Petekie, ekimosis, purpura Pendarahan mukosa,
epitaksis, pendarahan gusi Hematemesis dan atau melena Pembesaran
hati Syok, ditndai dengan nadi cepat dan lemah sampai tidak teraba,
penyempitan tekanan nadi ( 20mmHg), hipoteni sampai tidak terukur,
kaki dan tangan dingin, kulit lembab, capillary refill time
memanjang (>2 detik) dan pasien tampak gelisah (WHO, 2005).
2.6.3Derajat penyakitDerajat penyakit DBD diklasifikasikan dalam
4 derajat (pada setiap derajat sudah ditentukan trombositopenia dan
hemokonsentrasi)Derajat 1Demam diertai gejala tidak khas dan
satu-satunya manifestasi pendarahan ialah uji tourniquet
positif.Derajat 2Seperti derajat 1, disertai pendarahan spontan
dikulit dan atau pendarahan lain.Derajat 3Didapatkan kegagalan
sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lambat,tekanan nadi menurun (20mmHg
atau kurang) atau hipotensi, sianosis disekitar mulut, kulit dingin
dan lembap dan anak tampak gelisah.Derajat 4Syok berat (profund
shock), nadi tidak dapat diraba dan tekanandarah tidak dapat
terukur (WHO, 2005).Warning signs menurut WHO 2009: Nyeri perut,
muntah berkepanjangan, terdapat akumulasi cairan, perdarahan
mukosa, letargi, lemah, pembesaran hati > 2 cm, kenaikan
hematokrit seiring dengan penurunan jumlah trombosit yang
cepat.
2.6.4Pemeriksaan Lakukan anamnesis yang cermat, tetapkan
hitungan/jumlah/besaran hari sakit dan berapa lama penderita sudah
berada pada gejala klinis yang diasses sebagai demam berdarah
dengue ini. Lakukan pemeriksaan fisik yang seksama, gangguan
sirkulasi berupa penyempitan tekanan nadi, penurunan sistole dan
diastole. Efusi pleura dan asites, sebagai akibat kebocoran plasma.
Foto thorax untuk mendeteksi efusi pleura, terutama pada kasus yang
dugaan plasma leakage tidak seberapa banyak, dan deteksi asites
tidak jelas didapat. Etiologis, serologis hanya diperlukan pada
penderita yang tampilan klinisnya meragukan, sedangkan virologis
hanya dilakukan saat riset (Darmowandowo, 2008). Laboratorium
Trombositopenia (100.000/l atau kurang) Adanya kebocoran plasma
karena peningkatan permeabilitas kapiler, dengan manifestasi
sebagai berikut: Peningkatan hematokrit 20% dari nilai standar
Penurunan hematokrit 20%, setelah mendapat terapi cairan Efusi
pleura/perikardial, asites, hipoproteinemiaDua kriteria klinis
pertama ditambah satu dari kriteria laboratoratorium (atau hanya
peningkatan hematokrit) cukup untuk menegakkan diagnosis kerja DBD
(WHO, 2005).
2.6.5Diagnosis banding1. Demam berdarah dengue grade I/II perlu
dibedakan dengan demam dengue2. Penderit demam berdarah dengue
grade III/IV yang diserti febris perlu dibedakan dengan sepsis
(Darmowandowo, 2008).
2.6.6PenatalaksaanPeriode febrisApabila penderta infeksi virus
dengue datang dengan periode febris, saat/ketika/belum/tidak dapat
dibedakan dengan dengue fever/dengue hemorrhagic fever, maka
pengobatan yang dapat diberikan adalah sbb: AntipiretikParasetamol
sebagai pilihan dengan dosis 10mg/BB/kali tidak lebih dari 4x kali
sehari Antibiotik tidak diperlukan Makan disesuaikan dengan kondisi
nafsu makannya Apabila penderita ditetapkan rawat jalan, maka kalau
dalam perjalanan didapatkan keluhan dan tanda klinis seperti
dibawah ini dianjurkan utuk segera datang kerumah sakit untuk
pengobatan salanjutnya.Gejala dan tanda yang dimaksud adalah: Nyeri
abdomen tanda pendarahan dikulit, petekie dan ekimosis Pendarahan
lain seperi epitaksis dan pendarahan gusi Penderita tampak loyo dan
pada peraban terasa dinginKebutuhan cairan harus dipenuhi. Pemberin
cairan dapat diberikan peroral, akan tetapi apabila penderita tidak
mau minum, muntah terus atau panas yang tidak terlalu tinggi maka
pemberian cairan intravena menjadi pilihan.Apabila cairan intravena
dijadikan pilihan terapi, maka dikenal formula untuk memenuhi
cairan rumatan yaitu formula halliday segar dengan rincian sebagai
berikut:Berat badan (Kg)Cairan rumatan
(volume)/24jam10100cc/Kg/BB10-201000cc+50cc/Kg BB
>201500cc+20cc/Kg BB Setiap derajat C peningkatan temperatur,
cairan ditambah 12% dari kebutuhan atau D5 saline untuk penderita
berumur 3 tahun.Lakukan observasi secara cermat setiap 6 jam atas
tanda vitalnya dengan tujuan untuk mendeteksi tanda-tanda kebocoran
plasma, yang mengarah ke dengue haemorrhagic fever (Darmowandowo,
2008).Periode afebrisPada saat temperatur turun, pada penderita
demam berdarah dengue terjadi 2 fenomena yang dapat membawa
penderita pada keadaan kritis bahkan dapat berakhir dengan kematian
apabila tidak tertangani secara benar, yaitu gangguan hemotatik
berupa penurunan jumlah dan kualitas trombosit, gangguan faktor
beku darah, bahan dapat timbul DIC dan kebocoran plasma sebagai
akibat peningkatan permabilitas pembuluh darah. Apabila diurut
tahapan klinis defisit plasma dalam pembuluh darah didapat urutan
sbb:1. Peningkatan hemtokrit 20%, tanpa disertai gejala gangguan
sirkulasi2. Peningkatan hematokrit 20%, disertai munculnya gejala
penyempitan tekanan nadi.3. Peningkatan hematokrit 20%, disertai
dengan timbulnya gejala syok yang ditandai dengan tekanan darah
sistole dan diastole menurun, nadi kecil dan cepat serta perabaan
akral dingin.4. Peningkatan hematokrit 20, disertai gejala nadi
tidak teraba dan tekanan darah tidak terukur (profund shock)
(Darmowandowo, 2008).Tatalaksana demam berdarah dengue tanpa syok
Anak dirawat dirumah sakit. Berikan anak banyak minum larutan
oralit atau jus buah, air sirup, susu untuk mengganti cairan yang
hilang akibat kebocoran plasma, demam, muntah/diare. Berikan
parasetamol bila demam. Jangan berikan asetosal atau ibuprofen
karena obat-obatan ini dapa merangang terjadinya pendarahan.
Berikan infus sesuai dengan dehidrasi sedang Pantau tanda vital dan
diuresis setiap jam, serta periksa laboratorium (hematokrit,
trombosit, leukosit dan hemoglobin) tiap 6 jam. Apabila terjadi
penurunan hematokrit dan klinis membaik, turunkan jumlah cairan
secara bertahap sampai keadaan stabil. Cairan intravena biasanya
hanya memerlukan waktu 24-48 jam seja kebocoran pembuluh kapiler
spontan setelah pemberian cairan. Apabila terjadi perburukan klinis
berikan tata laksana sesuai dengan tata laksana syok terkompensasi
(WHO, 2005).Tata laksana demam berdarah dengue dengan syok
Perlakukan hal ini sebagai gawat darurat. Berikan oksigen 2-4
L/menit secara nasal. Berikan 20ml/kg larutan kristaloid seperti
ringer laktat/asetat secepatnya Jika tidak menunjukkan perbaikan
klinis, ulangi pemberian kristaloid 20 ml/kgBB secepatnya (maksimal
30 menit) atau pertimbangkan pemberian koloid 10-20 ml/kgBB/jam
maksimal 30ml/kgBB/24jam. Jika tidak ada perbaikan klinis tetapi
hematokrit dan hemoglobin menurun pertimbangkan terjadinya
pendarahan tersembunyi; berikan tranfusi darah/ komponen. Jika
terdapat perbaikan klinis (pengisian kapiler dan perfusi perifer
mulai membaik, tekanan nadi melebar), jumlah cairan dikurangi
hingga 10 ml/kgBB/jam dalam 2-4 jam dan secara bertahap diturunkan
tiap 4-6 jam sesuai kondisi klinis dan laboratorium. Dalam banyak
kasus, cairan intravena dapat dihentikan setelah 36-48 jam. Perlu
diingat, banyak kematian terjadi karena pemberian cairan yang
terlalu banyak daripada pemberian yang terlalu sedikit (WHO,
2005).Tata laksana komplikasi pendarahan Jika terjadi pendarahan
berat segera beri darah bila mungkin. Bila tidak, beri koloid dan
segera rujuk (WHO, 2005).Penanganan kelebihan cairanKelebihan
cairan merupakan komplikasi penting dalam penanganan syok. Hal ini
dapat terjadi karena: Kelebihan dan/atau pmberian cairan yang
terlalu cepat Penggunaan jenis cairan yang hipotonik Pemberian
cairan intravena yang terlalu lama Pemberian cairan intravena yang
jumlahnya terlalu banyak dengan kebocoran yang hebatTanda awal
Napas cepat Tarikan dada kedalam Efusi pleura Asites Edema
peri-orbital atau jaringan lunak
Tanda-tanda lanjut kelebihan cairan yang berat Edema paru
Sianosis Syok ireversibelTatalaksana penanganan-penanganan
kelebihan cairan berbeda tergantung pada keadaan klinis apakah
masih menunjukkan syok atau tidak: Anak yang masih syok dan
menunjukkan tanda kelebihan cairan yng berat sangat sulit untuk
ditangan dan berada pada resiko kematian yang tinggi. Jik syok
sudah pulih namun anak masih sukar bernapas atau bernapas cepat dan
mengalami efusi yang luas, berikan obat minum atau furosemid
intravena 1 mg/kgBB/dosis sekali atau dua kali sehari selama 24 jam
dan terapi oksigen. Jika syok sudah pulih dan anak stabil, hentikan
pemberian cairan intravena dan jaga anak agar tetap istirahat
ditempat tidur selama 24-48 jam. Kelebihan cairan akan diserap
kembali dan hilang melalui diuresis (WHO, 2005).Pemantauan Untuk
anak dengan syokPetugas medik memeriksa tanda vital anak setiap jam
(terutama tekanan nadi) hingga pasien stabil, dan periksa nilai
hematokrit setiap 6 jam. Untuk anak tanpa syokPetugas medis
memeriksa tanda vital anak (suhu badan, denyut nadi dan tekanan
darah) minimal 4 kali sehari dan nilai hematokrit minimal sekali
sehari (WHO, 2005).
2.7Pencegahan1. Melaksanakan penyemprotan masal sebelum musim
penularan penyakit di desa/ kelurahan endemis DBD yng merupakan
pusat-pusat penyebaran penyakit ke wilayah lainnya.2. Menggalakan
pembinaan peran serta masyarakat dalam kegiatan pemberantasan
sarang nyamuk (PSN).3. Melaksanakan penanggulanagan fokus di rumah
pasien dan disekitar tempat tinggalnya guna mencegah terjadinya
kejadian luar biasa (KLB).4. Melaksanakan penyuluhan pada
masyarakat melalui berbagai media.Apabila dari hasil penyelidikan
epidemiologi diperoleh data adanya resiko penularan DBD, maka akan
dilakukan langkah-langkah upaya penanggulangan berupa foging,
abatisasi efektif dan menggalakan masyarakat untuk melakukan kerja
bakti dalam PSN (Sudarmo, 2003).
BAB 3KESIMPULAN
Indonesia merupakan negara endemi Dengue dengan kasus tertinggi
di Asia Tenggara. Infeksi virus Dengue ini selalu dapat dijumpai
sepanjang tahun dengan morbiditas dan mortalitas yang bervariasi.
Pengetahuan akan tata laksana dan pencegahan penyakit demam dengue
sangat penting untuk mengurangi tingginya angka kejadian penyakit
tersebut. Tinjauan kepustakaan ini diharapkan dapat membantu
memperluas wawasan masyarakat mengenai demam dengue.
DAFTAR PUSTAKACandra, A 2010, Demam Berdarah Dengue:
Epidemiologi, Patogenesis, dan Faktor Risiko Penularan, Aspirator,
Vol 2, No 2, pp. 110-119Darmowandowo, W, Basuki, PS, Soegitjanto, S
2008, Infeksi virus dengue dalam Pedoman Diagnosis Dan Terapi,
edisi 3, Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo, Surabaya.Dengue
Guidelines For Diagnosis, Treatment, Prevention And Control, 2009,
WHO, france.Frans, HE 2012, Patogenesis Infeksi Virus Dengue,
Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.Gershon, AA,
Hotez, PJ, Katz, SL 2004, Krugmans Infectious Disease of Children,
11th ed, Mosby, USA.Halstead, SB 2004, Dengue Fever and Dengue
Hemorrhagic Fever in Nelson Textbook of Pediatrics, 17th ed,
Saunders, USA.Pelayanan Kesehatan Anak Di Rumah Sakit, 2005, edisi
1, WHO, Jakarta.Sudarmo, SP, Garna, H, Hadinegoro, S, Satari, HI
2003, Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis, Ikatan dokter anak
Indonesia, Jakarta.Tata laksana DBD, retrieved from
http://www.depkes.go.id/downloads/Tata%20Laksana%20DBD.pdf
Lampiran 1
Lampiran 2
Lampiran 3
25