BAB I
PENDAHULUAN
Trauma mata sering menjadi penyebab kebutaan unilateral pada
dewasa muda. Kecelakaan di rumah, kekerasan, cedera akibat
olahraga, dan kecelakaan lalu lintas nerupakan keadaan-keadaan yang
paling sering menyebabkan trauma mata. Trauma mata yang diakibatkan
oleh benda tumpul merupakan peristiwa yang sering terjadi.
Hifema adalah darah yang terdapat di dalam bilik mata depan
(Camera Oculi Anterior) yang dapat terjadi akibat trauma tumpul
pada uvea yang merobek pembuluh darah iris atau badan siliar. (1)
Adanya trauma tumpul pada mata dapat diakibatkan oleh benda yang
keras ataupun tidak keras, dimana benda tersebut dapat mengenai
mata dengan kencang ataupun lambat. (1) Selain itu, hifema dapat
juga terjadi secara spontan, misalnya pada anak dengan kemungkinan
leukimia dan retinoblastoma. (1) Sebanyak 57% pasien trauma mata
dengan hifema berlanjut pada kerusakan segmen posterior dari mata
tersebut.Kerusakan jaringan yang terjadi akibat trauma tersebut
bervariasi dari yang ringan hingga yang berat, bahkan dapat terjadi
kebutaan. Adanya hifema memiliki beberapa konsekuensi seperti
glaukoma sekunder serta siderosis bulbi yang dapat menyebabkan
ptisis bulbi dan kebutaan. (1) Oleh karena hifema dapat menyebabkan
penurunan penglihatan yang signifikan, maka setiap dokter harus
melakukan pemeriksaan yang cermat, yaitu anamnesis, pemeriksaan
oftalmologi, diagnosis, evaluasi, dan penatalaksanaan hifema.BAB
II
HIFEMA2.1. DEFINISI
Hifema merupakan keadaan dimana terdapat darah di dalam camera
oculi anterior (COA) yang dapat terjadi akibat trauma tumpul yang
merobek pembuluh darah iris atau badan siliar (Gambar 1). (1,2)
Darah yang berasal dari pembuluh darah iris atau badan siliar akan
bercampur dengan aquos humor yang jernih.
Gambar 1. Ilustrasi hifema
2.2. ANATOMI MATAMata adalah suatu struktur sferis berisi cairan
yang dibungkus oleh tiga lapisan. Dari luar ke dalam,
lapisanlapisan tersebut adalah: sklera/kornea, koroid/badan
siliaris/iris, dan retina. Sebagian besar mata dilapisi oleh
jaringan ikat yang protektif dan kuat di sebelah luar, sklera, yang
membentuk bagian putih mata.
Bola mata terbenam dalam corpus adiposum orbitae, namun terpisah
oleh selubung fascia bola mata. Bola mata berbentuk bulat dengan
panjang maksimal 24 mm. Bola mata yang bagian depan (kornea)
mempunyai kelengkungan yang lebih tajam sehingga terdapat bentuk
dengan 2 kelengkungan yang berbeda. Bola mata terdiri dari tiga
lapisan, yaitu:
1. Tunica FibrosaTunica fibrosa terdiri atas bagian posterior
yang opaque atau sklera dan bagian anterior yang transparan atau
kornea. Sklera merupakan jaringan ikat padat fibrosa dan tampak
putih. Sklera juga ditembus oleh n.ciliaris dan pembuluh balik yang
terkait yaitu v.vorticosae. Sklera langsung tersambung dengan
kornea di depannya pada batas limbus. Kornea yang transparan,
mempunyai fungsi utama merefraksikan cahaya yang masuk ke mata.
Tersusun atas lapisan-lapisan berikut ini dari luar ke dalam sama
dengan: (1) epitel kornea (epithelium anterius) yang bersambung
dengan epitel konjungtiva (2) substansia propria, terdiri atas
jaringan ikat transparan (3) lamina limitans posterior dan (4)
endothel (epithelium posterius) yang berhubungan dengan aqueous
humour.
2. Lamina vasculosaDari belakang ke depan disusun oleh sama
dengan : (1) choroidea (terdiri atas lapis luar berpigmen dan lapis
dalam yang sangat vaskular) (2) corpus ciliare (ke belakang
bersambung dengan choroidea dan ke anterior terletak di belakang
tepi perifer iris) terdiri atas corona ciliaris, procesus ciliaris
dan musculus ciliaris (3) iris (adalah diafragma berpigmen yang
tipis dan kontraktil dengan lubang di pusatnya yaitu pupil) iris
membagi ruang diantara lensa dan kornea menjadi bilik mata depan
dan bilik mata belakang, serat-serat otot iris bersifat involunter
dan terdiri atas serat-serat sirkuler dan radier.
Anatomi Bilik Mata Depan dan Jaringan Sekitar
3. Tunica sensoria (retina)Retina terdiri atas pars pigmentosa
luar dan pars nervosa di dalamnya. Permukaan luarnya melekat pada
choroidea dan permukaan dalamnya berkontak dengan corpus vitreum.
Tiga perempat posterior retina merupakan organ reseptornya. Ujung
anterior membentuk cincin berombak, yaitu ora serrata, di tempat
inilah jaringan syaraf berakhir. Bagian anterior retina bersifat
non-reseptif dan hanya terdiri atas sel-sel pigmen dengan lapisan
epitel silindris di bawahnya. Bagian anterior retina ini menutupi
procesus ciliaris dan bagian belakang iris.Vaskularisasi Bola
Mata
Pemasok utama orbita dan bagian-bagiannya berasal dari arteri
ophtalmica, yaitu cabang besar pertama arteri karotis interna
bagian intrakranial. Cabang ini berjalan di bawah nervus optikus
dan bersamanya melewati kanalis optikus menuju ke orbita. Cabang
intraorbital pertama adalah arteri sentralis retina, yang memasuki
nervus optikus sebesar 8-15 mm di belakang bola mata. Cabang-cabang
lain arteri oftalmika adalah arteri lakrimalis, yang
memvaskularisasi glandula lakrimalis dan kelopak mata atas,
cabang-cabang muskularis ke berbagai otot orbita, arteri siliaris
posterior longus dan brevis, arteri palpebra medialis ke kedua
kelopak mata, dan arteri supra orbitalis serta supra
troklearis.
Iris sendiri diperdarahi oleh kompleks antara 2 arteri siliar
posterior dan 7 arteri siliar anterior. Arteri ini akan bergabung
membentuk greater arterial circle of iris dan kemudian memperdarahi
iris dan badan siliar.
Drainase vena-vena di orbita terutama melalui vena oftalmika
superior dan inferior, yang juga menampung darah dari vena
verticoasae, vena siliaris anterior, dan vena sentralis retina.
Vena oftalmika berhubungan dengan sinus kavernosus melalui fisura
orbitalis superior dan dengan pleksus venosus pterigoideus melalui
fisura orbitalis inferior.
2.3. ANATOMI DAN FISIOLOGI SUDUT COASudut COA dibentuk oleh
jaringan korneosklera dengan pangkal iris (gambar 2). (1,3)
Ciri-ciri anatomis utama sudut ini adalah garis Schwalbe, anyaman
trabekula (yang terletak di atas kanal Schlemm), taji sklera
(scleral spur), dan jonjot iris (gambar 3). (1,3) Pada bagian ini
terjadi pengaliran keluar cairan bilik mata. Bila terdapat hambatan
pengaliran keluar cairan mata, maka akan terjadi penimbunan cairan
bilik mata di dalam bola mata yang mengakibatkan tekanan
intraokuler (TIO) meningkat. (1) Anyaman trabekula berbentuk
segitiga pada potongan melintang, dengan dasar yang mengarah ke
badan siliar. (3) Anyaman ini mengisi kelengkungan sudut filtrasi
yang mempunyai dua komponen, yaitu badan siliar dan uvea. Anyaman
ini tersusun atas lembar-lembar berlubang jaringan kolagen dan
elastik, yang membentuk suatu filter dengan pori yang semakin
mengecil ketika mendekati kanal Schlemm. Bagian dalam anyaman ini,
yang menghadap ke COA, dikenal sebagai anyaman uvea, sedangkan
bagian luar yang berada di dekat kanal Schlemm disebut dengan
anyaman korneoskleral. (3) Serat-serat longitudinal otot siliaris
menyisip ke dalam anyaman trabekula tersebut. Taji sklera merupakan
penonjolan sklera ke arah dalam di antara badan siliare dan kanal
Schlemm, tempat iris dan badan siliare menempel. (3) Sudut filtrasi
berbatas dengan akar berhubungan dengan sklera kornea dan disini
ditemukan sklera spur yang membuat cincin melingkar 3600 dan
merupakan batas belakang sudut filtrasi serta tempat insersi otot
siliar longitudinal. Pada sudut filtrasi terdapat garis Schwalbe
yang merupakan akhir perifer endotel dan membran descement, dan
kanal Schlemm yang menampung cairan mata keluar ke salurannya.
(1,3) Saluran-saluran eferen dari kanal Schlemm (sekitar 300
saluran pengumpul dan 12 vena aqueous) berhubungan dengan sistem
vena episklera. (3) Sudut bilik mata yang sempit terdapat pada mata
berbakat glaukoma sudut tertutup, hipermetropia, blokade pupil,
katarak intumesen, dan sinekia posterior perifer. (1)
Gambar 2. Anatomi sudut COA
Gambar 3. Gambaran taji spur dan garis Schwalbe
2.4. EPIDEMIOLOGI
Berdasarkan penelitian, 33% dari seluruh trauma mata yang serius
menimbulkan hifema. Sebanyak 80% hifema terjadi pada pria.
Perkiraan rata-rata kejadian hifema di Amerika Utara adalah
17-20/100.000 populasi/tahun. Hifema sering terjadi pada pasien
berumur kurang dari 20 tahun dan pertengahan 30 tahun. Perbandingan
terjadinya hifema pada pria dan wanita adalah sebanyak 3:1. Olah
raga merupakan penyebab dari 60% pada populasi anak muda yang
mengalami hifema.2.5. ETIOLOGIHifema biasanya disebabkan oleh
trauma pada mata, yang menimbulkan perdarahan atau perforasi.
Hifema juga dapat terbentuk pada kornea pasca bedah katarak,
inflamasi yang berat pada iris, serta penderita diabetes. (4)
Perdarahan spontan dapat terjadi pada mata dengan rubeosis iridis,
keganasan pada mata (misalnya retinoblastoma, juvenille
xanthogranuloma, iris melanoma), miotonik distrofi, kelainan darah
dan kelainan pembuluh darah (misalnya anemia sickle cell,
hemofilia, dan penyakit von Willebrand), serta penggunaan
obat-obatan tertentu (misalnya aspirin, warfarin, etanol). (4,5)
Hifema spontan pada anak sebaiknya dipikirkan kemungkinan leukemia
dan retinoblastoma. (1)Perdarahan yang timbul dapat berasal dari
kumpulan arteri utama dan cabang dari badan siliar, arteri koroid,
vena badan siliar, dan pembuluh darah iris pada sisi pupil (gambar
4).
Gambar 4. Asal perdarahan hifema
2.6. PATOFISIOLOGI
Terdapat dua mekanisme yang diduga menyebabkan terjadinya
hifema. Mekanisme pertama adalah mekanisme dimana pada trauma,
terjadi kontusio atau benturan yang dapat mengakibatkan robeknya
pembuluh darah pada iris dan badan siliar. Darah ini dapat bergerak
dalam ruang COA dan mengotori permukaan dalam kornea. Mekanisme
kedua adalah trauma tersebut menyebabkan peningkatan tekanan
intraokuler akut sehingga menyebabkan ruptur pembuluh darah pada
iris dan badan siliar. Benturan dapat mengakibatkan penekanan pada
bola mata anteroposterior, pengembangan bagian tengah skleral,
limbus menegang, dan perubahan letak lensa/iris posterior sehingga
terjadi peningkatan TIO secara tiba-tiba yang mengakibatkan
kerusakan jaringan lunak pada sudut bola mata.
Inflamasi yang hebat pada iris, sel darah yang abnormal, dan
kanker juga dapat menyebabkan perdarahan pada COA. Trauma tumpul
dapat merobek pembuluh darah iris atau badan siliar. Gaya-gaya
kontusif akan merobek pembuluh darah iris dan merusak sudut COA.
Tetapi dapat juga terjadi secara spontan atau pada patologi
vaskuler okuler. Darah ini dapat bergerak dalam ruang COA,
mengotori permukaan dalam kornea.Perdarahan pada bilik mata depan
mengakibatkan teraktivasinya mekanisme hemostasis dan fibrinolisis.
Peningkatan tekanan intraokular, spasme pembuluh darah, dan
pembentukan fibrin merupakan mekanisme pembekuan darah yang akan
menghentikan perdarahan. Bekuan darah ini dapat meluas dari bilik
mata depan ke bilik mata belakang. Bekuan darah ini biasanya
berlangsung hingga 4-7 hari. Setelah itu, fibrinolisis akan
terjadi. Setelah terjadi bekuan darah pada bilik mata depan, maka
plasminogen akan diubah menjadi plasmin oleh aktivator kaskade
koagulasi. Plasmin akan memecah fibrin, sehingga bekuan darah yang
sudah terjadi mengalami disolusi. Produk hasil degradasi bekuan
darah, bersama dengan sel darah merah dan debris peradangan, keluar
dari bilik mata depan menuju jalinan trabekular dan aliran
uveaskleral.
Perdarahan yang terjadi segera setelah trauma disebut perdarahan
primer. Perdarahan ini dapat sedikit atau banyak. Selain perdarahan
primer, juga terdapat perdarahan sekunder yang biasanya timbul pada
hari ke-5 setelah trauma. Perdarahan sekunder sifatnya lebih hebat
daripada primer.(1) Oleh karena itu, penderita hifema harus dirawat
sedikitnya 5 hari. Perdarahan sekunder ini terjadi karena resorpsi
dari bekuan darah terjadi terlalu cepat sehingga pembuluh darah
tidak mendapat waktu yang cukup untuk regenerasi kembali.
Penyembuhan darah pada hifema dikeluarkan dari COA dalam bentuk
sel darah merah melalui sudut COA menuju kanalis Schlemm, sedangkan
sisanya akan di absorbsi melalui permukaan iris. Penyerapan pada
iris dipercepat dengan adanya enzim fibrinolitik di daerah ini.
Sebagian hifema dikeluarkan setelah terurai dalam bentuk
hemosiderin. Bila terdapat penumpukan dari hemosiderin, maka akan
dapat masuk ke dalam lapisan kornea, dan menyebabkan hemosiderosis
atau imbibisi kornea (kornea menjadi bewarna kuning). Jika terjadi
hal ini, maka kondisi tersebut hanya dapat ditolong dengan
keratoplasti. Terjadinya imbibisi kornea dapat dipercepat oleh
hifema yang penuh dan disertai glaukoma. Selain itu, adanya
penumpukan hemosiderin atau siderosis bulbi bila didiamkan akan
dapat menimbulkan ptisis bulbi dan kebutaan.(1)Skema 1.
Patofisiologi terjadinya hifema
2.7. KLASIFIKASI
Klasifikasi dari hifema dapat dibagi menjadi:Menurut Edward
Layden
Hifema dibagi menjadi 3 tingkat, yaitu:
1. Hifema tingkat I, bila perdarahan < 1/3 COA.
2. Hifema tingkat II, bila perdarahan antara 1/3 sampai COA.
3. Hifema tingkat III, bila perdarahan > COA.
Menurut Rakusin
Hifema dibagi menjadi 4 tingkat, yaitu:
1. Hifema tingkat I, bila perdarahan mengisi 1/4 bagian COA.
2. Hifema tingkat II, bila perdarahan mengisi bagian COA.
3. Hifema tingkat III, bila perdarahan mengisi 3/4 bagian
COA.
4. Hifema tingkat IV, bila perdarahan mengisi penuh COA.
Sheppard membagi hifema berdasarkan klinisnya (gambar 5),
yaitu:
1. Grade I: darah mengisi kurang dari sepertiga COA dengan
prevalensi kejadiannya sebanyak 58%.2. Grade II: darah mengisi
sepertiga hingga setengah COA dengan prevalensi kejadiannya
sebanyak 20%.
3. Grade III: darah mengisi lebih dari setengah dan hampir total
COA dengan prevalensi kejadiannya sebanyak 14%.4. Grade IV: darah
mengisi seluruh COA dengan prevalensi kejadiannya sebanyak 8%.
dikenal dengan total hyphema, blackball atau 8-ball hyphema
Gambar 5. A. Hifema grade I, B. Hifema grade II, C. Hifema grade
III, dan D. Hifema grade IV
Berdasarkan penyebabnya, hifema dapat dibagi menjadi:
Hifema traumatika, merupakan perdarahan pada COA yang disebabkan
pecahnya pembuluh darah iris dan badan siliar akibat trauma pada
segmen anterior bola mata.
Hifema akibat tindakan medis, misalnya karena kesalahan prosedur
operasi mata.
Hifema akibat inflamasi yang parah pada iris dan badan siliar,
sehingga pembuluh darah pecah.
Hifema spontan akibat kelainan sel darah atau pembuluh darah dan
keganasan, misalnya juvenille xanthogranuloma,
retinoblastoma.Berdasarkan waktu terjadinya, hifema dibagi
menjadi:
Hifema primer, yaitu hifema yang timbul segera setelah trauma
hingga hari ke-2.
Hifema sekunder, yaitu hifema yang timbul pada hari ke-2 sampai
hari ke-5 setelah terjadi trauma.Berdasarkan darah yang terlihat,
hifema diklasifikasikan menjadi:
1. Makrohifema, perdarahan terlihat dengan mata telanjang
2. Mikrohifema, perdarahan terlihat apabila menggunakan
mikroskop
2.8. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis yang dapat ditemukan pada penderita hifema
adalah adanya keluhan sakit pada mata, disertai dengan epifora dan
blefarospasme. (1,2,4) Penglihatan pasien akan sangat menurun. Bila
pasien duduk, hifema akan terlihat terkumpul di bagian bawah COA,
dan hifema dapat memenuhi seluruh ruang COA. Kadang-kadang terlihat
iridoplegia dan iridodialisis. (1) Iridoplegia yang terjadi
ditandai dengan sukar melihat dekat karena gangguan akomodasi,
fotofobia akibat gangguan pengaturan masuknya sinar pada pupil,
pupil midriasis, anisokor, dan bentuknya dapat ireguler.
(1)Iridodialisis yang terjadi ditandai dengan keluhan penglihatan
ganda dengan satu matanya akibat robekan pada pangkal iris sehingga
bentuk pupil menjadi berubah menjadi lonjong. (1)2.9. DIAGNOSIS
Diagnosis pada hifema meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik,
serta pemeriksaan penunjang. Anamnesis pada hifema meliputi adanya
riwayat trauma serta kapan terjadinya trauma. Perlu ditanyakan
adanya penyakit lain yang menyertai seperti kelainan darah,
penyakit hati dan diabetes, serta riwayat pemakaian obat-obatan
tertentu seperti aspirin.
Pada pemeriksaan mata didapatkan tajam penglihatan yang menurun
dengan menggunakan snellen chart akibat kerusakan kornea, aquos
humor, iris, dan retina. Lapang pandang dapat mengalami penurunan
yang mungkin disebabkan oleh patologi vaskuler okuler atau
glaukoma. Selain itu, juga dilihat bentuk kornea dan pupil serta
adanya perdarahan dengan menggunakan sinar pen light atau senter.
Pengukuran tonografi dilakukan untuk melihat tekanan intra okuler
(TIO). Pemeriksaan menggunakan slit lamp digunakan untuk menilai
jumlah akumulasi darah, memastikan tidak ada darah yang mengeras
(clot), dan penyerapan darah tetap lancar. Pemeriksaan funduskopi
dilakukan untuk melihat apakah terdapat edema pada retina.
Pemeriksaan laboratorium yang diperiksa berupa pemeriksaan darah
lengkap, laju sedimentasi, dan LED untuk melihat apakah terdapat
anemia atau infeksi. Selain itu, juga diperiksa gula darah pasien
apakah menderita diabetes atau tidak. Pemeriksaan laboratorium pada
seluruh orang kulit hitam dan keturunan hispanik dengan hifema
harus diketahui keadaan sel darah merahnya apakah berbetuk sabit.
Pemeriksaan radiologi tidak terlalu diperlukan, tetapi dapat
menilai adanya tulang orbita yang patah atau retak. Pemeriksaan
ultrasonografi mata dapat dilakukan sebagai pemeriksaan dini untuk
mencari kerusakan segmen posterior. (3,4) Berdasarkan penlitian,
pemeriksaan ultrasonografi mata dapat mendeteksi sebanyak 91%
adanya perdarahan pada vitreous dan retinal detachment pada
penderita traumatik hifema. (6)2.10. PENATALAKSANAAN Biasanya
hifema akan hilang dengan sempurna. Bila perjalanan penyakit tidak
berjalan demikian, maka sebaiknya penderita dirujuk. (1) Walaupun
perawatan pada penderita hifema traumatik ini masih diperdebatkan,
namun pada dasarnya prinsip penatalaksanaannya adalah sebagai
berikut:1. Menghentikan perdarahan
2. Mencegah terjadinya perdarahan sekunder
3. Mengeliminasi darah dari COA dengan mempercepat absorbsi
4. Mengontrol glaukoma sekunder dan menghindari komplikasi yang
lain
5. Berusaha mengobati kelainan yang menyertai hifema
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penatalaksanaan traumatik
hifema dibagi dalam 2 golongan, yaitu:
1. Perawatan dengan cara konservatif
2. Perawatan dengan tindakan operatif
Perawatan Konservatif
1. Tirah baring (bed rest total)Penderita ditidurkan dalam
keadaan telentang dengan posisi kepala diangkat (diberi alas
bantal) dengan elevasi kepala 300 (posisi semi fowler) [Gambar 6].
(1) Hal tersebut dapat mengurangi tekanan darah pada pembuluh darah
iris serta memudahkan kita mengevaluasi jumlah perdarahannya.
Menurut pendapat dari banyak para ahli, tirah baring ini merupakan
tindakan pertama yang harus dikerjakan pada penderita hifema,
terutama jika hifema yang tampak mengisi lebih dari 5% COA. (3,4)
Bahkan beberapa penelitian menunjukkan bahwa dengan tirah baring
kesempurnaan absorbsi dari hifema dipercepat dan dapat mengurangi
timbulnya komplikasi perdarahan sekunder. Tirah baring ini harus
dipertahankan minimal 5 hari mengingat kemungkinan terjadinya
perdarahan sekunder. Namun, hal ini sukar dilakukan, terutama pada
anak-anak, sehingga dibutuhkan pengawasan yang lebih ketat.
Gambar 6. Posisi semi fowler pada penderita hifema
2. Bebat mata
Penggunaan bebat mata pada mata yang terkena trauma bertujuan
untuk mengurangi pergerakan bola mata yang sakit, hanya digunakan
pada mata yang mengalami trauma saja.(1,4) Namun, mengenai
pemakaian bebat mata ini masih belum terdapat kesesuaian pendapat,
ada pendapat yang mengatakan bahwa tidak ditemukan adanya pengaruh
yang menonjol dari pemakaian bebat atau tidak terhadap absorbsi,
timbulnya komplikasi maupun prognosis dari tajamnya penglihatan.3.
Pemakaian obat-obatan
Pemberian obat-obatan pada penderita traumatik hifema tidaklah
mutlak, tapi cukup berguna untuk menghentikan perdarahan,
mempercepat absorbsi, dan menekan komplikasi yang timbul.
Obat-obatan yang dapat digunakan antara lain : Koagulansia
Golongan obat koagulansia ini dapat diberikan secara oral
ataupun parenteral dengan tujuan untuk menekan atau menghentikan
perdarahan. Obat-obatan yang dapat diberikan misalnya Anaroxil,
Adona AC, Coagulen, Transamin, vitamin K, dan vitamin C. Pada
hifema yang baru dan terisi darah segar dapat diberi obat anti
fibrinolitik sehingga bekuan darah tidak terlalu cepat diserap dan
pembuluh darah diberi kesempatan untuk memperbaiki diri dahulu
sampai sembuh. Dengan demikian, diharapkan dapat mencegah
terjadinya perdarahan sekunder. Beberapa penelitian mengisyaratkan
bahwa penggunaan asam amino kaproat oral (100 mg/kg setiap 4 jam
sampai maksimum 30 g/hr selama 5 hari) untuk menstabilkan
pembentukan bekuan darah sehingga menurunkan risiko terjadinya
perdarahan sekunder. (3) Pemberiannya jangan sampai melewati satu
minggu karena dapat menyebabkan gangguan transportasi cairan COA
dan terjadi glaukoma serta imbibisi kornea. Selama pemberian obat
ini perlu dilakukan pengukuran TIO. Midriatika Miotika
Masih banyak perdebatan mengenai pemberian obat-obatan golongan
midriatika atau miotika, karena masing-masing obat memiliki
keuntungan dan kerugian masing-masing. Pemberian miotika akan
mempercepat absorbsi, namun dapat meningkatkan kongesti. Pemberian
midriatika dapat mengistirahatkan perdarahan. Pemberian midriatika
dianjurkan bila terdapat komplikasi iridocyclitis. Beberapa
penelitian membuktikan bahwa pemberian midriatika dan miotika
bersama-sama dengan interval 30 menit sebanyak 2 kali sehari akan
mengurangi perdarahan sekunder jika dibandingkan dengan pemberian
salah satu obat saja.
Ocular Hypotensive Drug
Para ahli menganjurkan pemberian acetazolamide (Diamox) jika
terdapat penyulit berupa glaukoma. (1) Obat ini diberikan secara
oral sebanyak 4 kali 250 mg sehari jika ditemukan adanya kenaikan
TIO. (3) Apabila terapi topikal tidak efektif, maka dapat digunakan
obat hiperosmotik seperti manitol, gliserol, dan sorbitol. (3) Pada
hifema yang penuh dengan peningkatan tekanan intra okuler dapat
diberikan diamox dan gliserin dengan evaluasi selama 24 jam. Jika
tekanan intra okuler tetap tinggi atau menurun namun di atas nilai
normal, maka dilakukan parasentesis. Jika tekanan intra okuler
turun sampai normal, maka diamox terus diberikan dan di evaluasi
setiap hari. Jika tekanan intra okuler normal namun masih terdapat
darah pada hari ke-5 sampai ke-9 maka dilakukan parasentesis.
KortikosteroidPemberian steroid tetes harus segera dimulai pada
penderita hifema. (3,4) Pemberian hidrokortison 0,5% secara topikal
akan mengurangi komplikasi iritis dan perdarahan sekunder jika
dibandingkan dengan antibiotika. Jika reflek fundus tidak terlihat,
maka diberi kortikosteroid topikal dan sistemik. (2) Obat
penenang/sedatifPada anak yang gelisah dapat diberikan obat
penenang. (1,4)Perawatan Operatif
Tindakan operatif dilakukan jika ditemukan adanya indikasi
seperti:
1. Glaukoma sekunder
Jika TIO maksimal > 50 mmHg selama 5 hari atau > 35 mmHg
selama 7 hari untuk mencegah atrofi papil saraf optik. (3) Jika TIO
menetap tinggi 50 mmHg atau lebih selama 4 hari, maka pembedahan
tidak boleh ditunda. Pada suatu studi ditemukan bahwa terjadi
atrofi papil sebanyak 50% pasien dengan total hifema ketika
pembedahan terlambat. 2. Tanda imbibisi kornea atau hemosiderosis
kornea
Untuk mencegah imbibisi kornea dapat dilakukan pembedahan jika
TIO rata-rata > 25 mmHg selama 6 hari pada hifema total atau
hifema yang mengisi lebih dari COA. Imbibisi kornea terjadi pada
43% pasien.3. Tidak ada pengurangan dari tingginya hifema dengan
perawatan konservatif selama 3-5 hari. 4. Empat hari setelah onset
hifema total
Mencegah terjadinya sinekia anterior perifer jika hifema total
bertahan selama 5 hari atau hifema yang mengisi lebih dari COA yang
menetap selama 8-9 hari.5. Pada pasien dengan sickle cell disease
dengan hifema berapapun ukurannya dengan TIO > 35 mmHg lebih
dari 24 jam. Pasien dengan sickle cell hemoglobinopathy diperlukan
operasi jika TIO tidak terkontrol dalam 24 jam. Pada pasien dengan
hemoglobinopati, besar kemungkinan terjadi atrofi optik
glaukomatosa, dan pengeluaran bekuan darah secara bedah harus
dipertimbangkan lebih awal. (3)Tindakan operatif yang dapat
dilakukan, antara lain, yaitu:1. ParasentesisParasentesis adalah
tindakan pengeluaran cairan atau darah dari COA melalui lubang
kecil di limbus. Indikasi dilakukan parasentesis jika terdapat
tanda-tanda imbibisi kornea, glaukoma sekunder, hifema penuh dan
berwarna hitam atau bila setelah 5 hari tidak terlihat tanda-tanda
hifema akan berkurang. (1)Teknik parasentesis adalah dengan dibuat
insisi kornea 2 mm dari limbus ke arah kornea yang sejajar dengan
permukaan iris. Biasanya bila dilakukan penekanan pada bibir luka
maka koagulum dari COA akan keluar. Bila darah tidak keluar
seluruhnya maka COA dibilas dengan garam fisiologis. Biasanya luka
insisi kornea pada parasentesis tidak perlu dijahit. (1)2. Lavage
(membilas) COA dan menghilangkan bekuan darah dengan menggunakan
instrumen vitrektomi. Dimasukkan alat irigasi dan probe mekanis di
sebelah anterior limbus melalui bagian kornea yang jernih untuk
menghindari kerusakan iris dan lensa. Jangan mencoba mengeluarkan
bekuan yang terdapat pada sudut COA atau di jaringan iris. Disini
dilakukan iridektomi perifer. (3)3. Evakuasi viskoelastik
Dibuat sebuah insisi kecil di limbus untuk menyuntikkan bahan
viskoelastik, dan sebuah insisi yang lebih besar berjarak 1800 dari
insisi pertama untuk memungkinkan hifema didorong keluar. (3)2.11.
KOMPLIKASI
Komplikasi yang paling sering ditemukan pada hifema traumatik
adalah perdarahan sekunder, glaukoma sekunder, dan hemosiderosis
disamping komplikasi dari traumanya sendiri yang dapat berupa
dislokasi dari lensa, ablatio retina, katarak, dan iridodialisis.
Besarnya komplikasi juga sangat tergantung dari tingginya hifema.1.
Perdarahan sekunder
Menurut penelitian, perdarahan sekunder terjadi pada 16-20%
kasus dalam 2-3 hari. (3) Penelitian lain menyebutkan, komplikasi
ini sering terjadi pada hari ke-3 sampai ke-6, sedangkan
insidensinya sangat bervariasi, antara 0-38%. (5) Perdarahan
sekunder ini timbul karena iritasi pada iris akibat traumanya, atau
merupakan lanjutan dari perdarahan primernya. Hal ini terjadi
karena resorpsi dari bekuan darah terjadi terlalu cepat sehingga
pembuluh darah tidak mendapat waktu yang cukup untuk regenerasi
kembali. Perdarahan sekunder biasanya lebih hebat daripada yang
primer. (1) Adanya perdarahan sekunder memberikan prognosis yang
buruk pada fungsi penglihatan. (5) Berdasarkan penelitian,
perdarahan sekunder lebih sering terjadi pada suku bangsa
Afrika-Amerika dibandingkan dengan bangsa kulit putih. (5)2.
Glaukoma sekunder
Timbulnya glaukoma sekunder pada hifema traumatik disebabkan
oleh tersumbatnya trabecular meshwork oleh butir-butir atau
gumpalan darah dan fibrin serta jika bekuan darah menyebabkan
terjadinya blokade pupil. (3) Adanya darah dalam COA dapat
menghambat aliran cairan bilik mata oleh karena unsur-unsur darah
menutupi sudut COA dan trabekula sehingga terjadi glaukoma. (2)
Glaukoma sekunder dapat pula terjadi akibat kontusi badan siliar
berakibat suatu reses sudut bilik mata sehingga terjadi gangguan
pengaliran cairan mata. (1,2)Terjadinya glaukoma sekunder dapat
dilihat pada skema 2.
Skema 2. Terjadinya glaukoma sekunder