BAB I PENDAHULUAN Kesehatan merupakan kebutuhan terpenting bagi manusia sehingga berbagai usaha dilakukan untuk memperoleh tubuh yang sehat, mulai dari berolah raga, hidup secara teratur, diet yang seimbang, istirahat yang cukup, sampai dengan mengkonsumsi vitamin atau suplemen tertentu. Bagi mereka yang mengalami gangguan kesehatan atau sakit, usaha penyembuhan akan dilakukan agar dapat kembali sehat, baik dengan menggunakan obat konvensional maupun obat yang berasal dari bahan alam. Dewasa ini penggunaan obat bahan alam cenderung terus meningkat dari tahun ke tahun, baik yang digunakan untuk menjaga dan meningkatkan kesehatan, maupun untuk pengobatan suatu penyakit. Hal ini tidak saja terjadi pada negara-negara berkembang seperti Indonesia, akan tetapi juga pada negara- negara maju. Dengan adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi, makin banyak hasil penelitian obat bahan alam dapat diakses dengan mudah melalui berbagai media elektronik, sehingga dengan banyaknya info ini semakin menumbuhkan keinginan penggunaan obat bahan alam Di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, penggunaan pengobatan komplementer dan alternatif (complementary and alternative medicine, CAM) dalam 20 tahun terakhir semakin meningkat tajam, tidak hanya sekedar karena trend back to nature namun juga karena CAM merupakan sumber layanan kesehatan yang mudah diperoleh dan terjangkau oleh masyarakat luas. Di Indonesia 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
Kesehatan merupakan kebutuhan terpenting bagi manusia sehingga berbagai usaha
dilakukan untuk memperoleh tubuh yang sehat, mulai dari berolah raga, hidup secara teratur,
diet yang seimbang, istirahat yang cukup, sampai dengan mengkonsumsi vitamin atau
suplemen tertentu. Bagi mereka yang mengalami gangguan kesehatan atau sakit, usaha
penyembuhan akan dilakukan agar dapat kembali sehat, baik dengan menggunakan obat
konvensional maupun obat yang berasal dari bahan alam.
Dewasa ini penggunaan obat bahan alam cenderung terus meningkat dari tahun ke
tahun, baik yang digunakan untuk menjaga dan meningkatkan kesehatan, maupun untuk
pengobatan suatu penyakit. Hal ini tidak saja terjadi pada negara-negara berkembang seperti
Indonesia, akan tetapi juga pada negara-negara maju. Dengan adanya kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi informasi, makin banyak hasil penelitian obat bahan alam dapat
diakses dengan mudah melalui berbagai media elektronik, sehingga dengan banyaknya info
ini semakin menumbuhkan keinginan penggunaan obat bahan alam
Di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, penggunaan pengobatan komplementer dan
alternatif (complementary and alternative medicine, CAM) dalam 20 tahun terakhir semakin
meningkat tajam, tidak hanya sekedar karena trend back to nature namun juga karena CAM
merupakan sumber layanan kesehatan yang mudah diperoleh dan terjangkau oleh masyarakat
luas. Di Indonesia sendiri saat ini tercatat sekitar 40% penduduk Indonesia menggunakan
pengobatan tradisional, 70% berada di daerah pedesaan.
Di Indonesia, masyarakat dapat menggunakan herbal secara bebas tanpa harus
berkonsultasi dengan dokter atau tenaga medis lainnya. Kecenderungan yang ada adalah
masyarakat telah bertindak menjadi “dokter” untuk dirinya sendiri dalam penggunaan herbal,
bahkan tidak jarang mereka mengkonsumsinya bersamaan dengan obat konvensional. Dosis
dan waktu yang tepat dalam mengkonsumsi herbal dan jamu seringkali diabaikan.
Masyarakat seringkali “bereksperimen” dalam penggunaan herbal dan jamu untuk mengobati
penyakitnya. Hal ini terjadi karena mayoritas dari mereka menganggap herbal adalah aman
untuk dikonsumsi karena berasal dari alam dan sudah digunakan secara turun temurun.
Fenomena ini tentu saja sangat mengkhawatirkan karena paradigma “alami berarti aman” dan
“herbal dan jamu pasti aman” merupakan hal yang salah. Faktanya adalah, walaupun herbal
bersifat “alami”, namun kenyataannya banyak jenis herbal yang dalam penggunaannya perlu
pengawasan ketat dari tenaga medis professional karena cukup berbahaya, bahkan ada
1
beberapa jenis herbal yang sudah dilarang penggunaannya oleh Badan POM karena malah
dapat merugikan kesehatan yang serius. Selain itu, penggunaan herbal seringkali memiliki
interaksi negatif bila dikonsumsi bersamaan dengan obat konvensional. Dari penelitian
diungkap bahwa sekitar 63% tanaman obat tradisional Indonesia dapat menyebabkan
interaksi farmakokinetik dengan obat-obat konvensional bila dikonsumsi secara bersamaan.
Fakta-fakta di atas diperparah dengan kondisi industri jamu di Indonesia yang masih
sangat memprihatinkan. Dengan modal yang sangat minim, banyak produk jamu yang
beredar di pasaran sangat rendah kualitasnya sehingga sebenarnya tidak layak untuk
dikonsumsi. Kualitas produk jamu yang buruk tersebut diakibatkan oleh banyak hal, misalnya
bahan baku yang jelek dan tidak standar, proses pengolahan yang tidak higienis, hingga
kemasan yang asal-asalan.
Persaingan yang semakin ketat cenderung pula membuat Industri jamu menghalalkan
segala cara untuk dapat bertahan hidup. Pencampuran jamu dengan bahan-bahan kimia
berbahaya sering dilakukan untuk menjadikan jamu tersebut semakin berkhasiat secara
instan. Tentunya kita masih ingat tentang penarikan peredaran beberapa produk jamu yang
dicampur dengan bahan-bahan kimia berbahaya beberapa tahun yang lalu. Kasus serupa
terulang lagi pada akhir tahun 2006 ini dimana sebanyak 93 produk ditarik dari peredaran.
Jamu-jamu yang ditarik dari peredaran tersebut oleh Badan POM justru merupakan jamu-
jamu yang laris di pasaran karena efeknya cespleng dalam mengobati berbagai penyakit
seperti pegal linu, rematik, sesak napas, masuk angin dan pelangsing. Bahan-bahan kimia
berbahaya yang digunakan meliputi metampiron, fenilbutason, antalgin, deksametason,
allopurinol, CTM, sildenafil sitrat, sibutramin hidroksida, furosemid, kofein, teofilin dan
parasetamol. Obat-obat yang mengandung bahan-bahan kimia tersebut memiliki efek
samping berbahaya. Misalnya jamu yang mengandung fenilbutason dapat menyebabkan
peradangan lambung dan dalam jangka panjang akan merusak hati dan ginjal. Sedangkan
jamu yang mengandung altalgin dapat menimbulkan kelainan darah.
Cara-cara pengiklanan yang menyesatkan seringpula ditempuh untuk mendongkrak
penjualan. Misalnya dengan mengklaim dapat mengobati segala macam penyakit, padahal
aturan dari Badan POM hanya memperbolehkan satu klaim penyakit untuk satu jenis jamu.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Jenis obat herbal dan pengertiannya
Jenis obat herbal menurut badan POM (Pemeriksaan Obat dan Makanan) Badan POM
sendiri membedakan obat tradisional yang beredar di Indonesia menjadi beberapa jenis, yaitu:
1. Jamu
Jamu adalah obat tradisional Indonesia. Ramuan atau bahan-bahan yang digunakan untuk
membuat jamubiasanya merupakan bahan yang secara turun temurun digunakan untuk
pengobatan secara tradisional,misalnya beras kencur, kunyit asam, temulawak, brotowali
dll. Dahulu jamu tersedia dalam bentuk rebusanataupun cairan, untuk saat ini produk
jamu sudah banyak yang beredar dalam bentuk serbuk ataupun kapsul.Karena obat
tradisional merupakan produk yang dibuat dari bahan alam yang jenis dan sifat
kandungannyasangat beragam, maka untuk menjamin mutu obat tradisional diperlukan
cara pembuatan yang baik denganlebih memperhatikan proses produksi dan penanganan
bahan baku. Untuk itu pihak BPOM telah mengeluarkan standar produksi obat tradisional
yang dikenal dengan CPOTB (Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik)
2. Obat herbal terstandar
Obat herbal terstandar adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan
dan khasiatnyasecara ilmiah dengan uji praklinik dan bahan bakunya telah di standarisasi.
Jadi pada tahap ini obat herbaltersebut selain telah distandarisasi bahan baku dan proses
produksinya juga harus melalui proses pengujian dilaboratorium yang meliputi uji khasiat
dan uji keamanan. Uji khasiat dilakukan terhadap hewan uji yang secarafisiologi dan
anatomi dianggap hampir sama dengan manusia, sedangkan uji keamanan dilakukan
untukmengetahui apakah bahan tersebut membahayakan atau tidak. Uji keamanan yang
dilakukan berupa ujitoksisitas akut, uji toksisitas subkronis atau bila diperlukan uji
toksisitas kronis. Dari hasil pengujian prakliniktersebut akan dapat diketahui mengenai
khasiat bahan tersebut, dosis yang tepat untuk terapi, keamanan danbahkan efek samping
yang mungkin timbul.
3
3. Fitofarmaka
Fitofarmaka merupakan standar yang lebih tinggi lagi terhadap obat herbal. Fitofarmaka
sendiri adalah sediaanobat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya
secara ilmiah dengan uji praklinik dan ujiklinik. Jadi selain obat telah melalui proses
standarisasi produksi dan bahan baku, kemudian melakukan ujipraklinik di laboratorium,
maka selanjutnya obat dilakukan uji coba kepada manusia (uji klinik) untukmengetahui
khasiatnya terhadap orang sakit ataupun orang sehat sebagai pembanding. Tahapan ini
yangbiasanya memerlukan waktu yang lama dan biaya yang mahal karena melibatkan
orang banyak. Setelah lolos uji klinik maka obat herbal tersebut telah memiliki evidance
based herbal medicine yang artinya telah memilikibukti medis terhadap khasiat dan
keamanannya bagi manusia. Di Indonesia sendiri saatini telah ada beberapa jenis obat
herbal yang telah masuk dalam golongan fitofarmaka dan bahkan telah diresepkan
penggunaannyaoleh dokter
2.2 Tahapan Pengembangan Obat Tradisional Indonesia
Agar obat tradisional dapat diterima di pelayanan kesehatan formal/profesi dokter,
maka hasil data empirik harus didukung oleh bukti ilmiah adanya khasiat dan keamanan
penggunaannya pada manusia. Bukti tersebut hanya dapat diperoleh dari penelitian yang
dilakukan secara sistematik.
Tahapan pengembangan obat tradisional menjadi fitofarmaka adalah sebagai berikut.
1. Seleksi
2. Uji preklinik, terdiri atas uji toksisitas dan uji farmakodinamik
3. Standarisasi sederhana, penentuan identitas dan pembuatan sediaan terstandar
4. Uji klinik
2.2.1 Tahap Seleksi
Sebelum memulai penelitian, perlu dilakukan pemilihan jenis obat tradisional/obat
herbal yang akan diteliti dan dikembangkan. Jenis obat tradisional/obat herbal yang
diprioritaskan untuk diteliti dan dikembangkan adalah
1. Diharapkan berkhasiat untuk penyakit yang menduduki urutan atas dalam angka
kejadiannya (berdasarkan pola penyakit)
2. Berdasarkan pengalaman berkhasiat untuk penyakit tertentu
3. Merupakan alternatif jarang untuk penyakit tertentu, seperti AIDS dan kanker.
4
2.2.2 Tahap Uji Preklinik
Uji preklinik dilaksanakan setelah dilakukan seleksi jenis obat tradisional yang akan
dikembangkan menjadi fitofarmaka. Uji preklinik dilakukan secara in vitro dan in vivo pada
hewan coba untuk melihat toksisitas dan efek farmakodinamiknya. Bentuk sediaan dan cara
pemberian pada hewan coba disesuaikan dengan rencana pemberian pada manusia. Menurut
pedoman pelaksanaan uji klinik obat tradisional yang dikeluarkan Direktorat Jenderal POM
Departemen Kesehatan RI hewan coba yang digunakan untuk sementara satu spesies tikus
atau mencit, sedangkan WHO menganjurkan pada dua spesies. Uji farmakodinamik pada
hewan coba digunakan untuk memprediksi efek pada manusia, sedangkan uji toksisitas
dimaksudkan untuk melihat keamanannya.
2.2.2.1 Uji Toksisitas
Uji toksisitas dibagi menjadi uji toksisitas akut, subkronik, kronik, dan uji toksisitas
khusus yang meliputi uji teratogenisitas, mutagenisitas, dan karsinogenisitas. Uji toksisitas
akut dimaksudkan untuk menentukan LD50 (lethal dose50) yaitu dosis yang mematikan 50%
hewan coba, menilai berbagai gejala toksik, spektrum efek toksik pada organ, dan cara
kematian. Uji LD50 perlu dilakukan untuk semua jenis obat yang akan diberikan pada
manusia. Untuk pemberian dosis tunggal cukup dilakukan uji toksisitas akut. Pada uji
toksisitas subkronik obat diberikan selama satu atau tiga bulan, sedangkan pada uji toksisitas
kronik obat diberikan selama enam bulan atau lebih. Uji toksisitas subkronik dan kronik
bertujuan untuk mengetahui efek toksik obat tradisional pada pemberian jangka lama. Lama
pemberian sediaan obat pada uji toksisitas ditentukan berdasarkan lama pemberian obat pada
manusia.
Uji toksisitas khusus tidak merupakan persyaratan mutlak bagi setiap obat tradisional agar
masuk ke tahap uji klinik. Uji toksisitas khusus dilakukan secara selektif bila:
1. Obat tradisional berisi kandungan zat kimia yang potensial menimbulkan efek khusus
seperti kanker, cacat bawaan.
2. Obat tradisional potensial digunakan oleh perempuan usia subur
3. Obat tradisional secara epidemiologik diduga terkait dengan penyakit tertentu
misalnya kanker.
4. Obat digunakan secara kronik
5
2.2.2.2 Uji Farmakodinamik
Penelitian farmakodinamik obat tradisional bertujuan untuk meneliti efek
farmakodinamik dan menelusuri mekanisme kerja dalam menimbulkan efek dari obat
tradisional tersebut. Penelitian dilakukan secara in vitro dan in vivo pada hewan coba. Cara
pemberian obat tradisional yang diuji dan bentuk sediaan disesuaikan dengan cara
pemberiannya pada manusia. Hasil positif secara in vitro dan in vivo pada hewan coba hanya
dapat dipakai untuk perkiraan kemungkinan efek pada manusia
2.2.3 Standardisasi Sederhana, Penentuan Identitas dan Pembuatan Sediaan
Terstandar
Pada tahap ini dilakukan standarisasi simplisia, penentuan identitas, dan menentukan
bentuk sediaan yang sesuai. Bentuk sediaan obat herbal sangat mempengaruhi efek yang
ditimbulkan. Bahan segar berbeda efeknya dibandingkan dengan bahan yang telah
dikeringkan. Proses pengolahan seperti direbus, diseduh dapat merusak zat aktif tertentu yang
bersifat termolabil. Sebagai contoh tanaman obat yang mengandung minyak atsiri atau
glikosida tidak boleh dibuat dalam bentuk decoct karena termolabil. Demikian pula prosedur
ekstraksi sangat mempengaruhi efek sediaan obat herbal yang dihasilkan. Ekstrak yang
diproduksi dengan jenis pelarut yang berbeda dapat memiliki efek terapi yang berbeda karena
zat aktif yang terlarut berbeda. Sebagai contoh daun jati belanda (Guazuma ulmifolia Lamk)
memiliki tiga jenis kandungan kimia yang diduga berperan untuk pelangsing yaitu tanin,
musilago, alkaloid. Ekstraksi yang dilakukan dengan etanol 95% hanya melarutkan alkaloid
dan sedikit tanin, sedangkan ekstraksi dengan air atau etanol 30% didapatkan ketiga
kandungan kimia daun jati belanda yaitu tanin, musilago, dan alkaloid tersari dengan baik
2.2.4 Uji klinik Obat tradisional
Untuk dapat menjadi fitofarmaka maka obat tradisional/ obat herbal harus dibuktikan
khasiat dan keamanannya melalui uji klinik. Seperti halnya dengan obat moderen maka uji
klinik berpembanding dengan alokasi acak dan tersamar ganda (randomized double-blind
controlled clinical trial) merupakan desain uji klinik baku emas (gold standard). Uji klinik
pada manusia hanya dapat dilakukan apabila obat tradisional/obat herbal tersebut telah
terbukti aman dan berkhasiat pada uji preklinik. Pada uji klinik obat tradisional seperti halnya
dengan uji klinik obat moderen, maka prinsip etik uji klinik harus dipenuhi. Sukarelawan
harus mendapat keterangan yang jelas mengenai penelitian dan memberikan informed-
6
consent sebelum penelitian dilakukan. Standardisasi sediaan merupakan hal yang penting
untuk dapat menimbulkan efek yang terulangkan (reproducible).
Uji klinik dibagi empat fase yaitu:
Fase I : Dilakukan pada sukarelawan sehat, untuk menguji keamanan dan tolerabilitas
obat tradisional
Fase II awal : Dilakukan pada pasien dalam jumlah terbatas, tanpa pembanding
Fase II akhir : Dilakukan pada pasien jumlah terbatas, dengan pembanding
Fase III : Uji klinik definitif
Fase IV : Pasca pemasaran,untuk mengamati efek samping yang jarang atau yang
lambat timbulnya
Saat ini belum banyak uji klinik obat tradisional yang dilakukan di Indonesia
meskipun nampaknya cenderung meningkat dalam lima tahun belakangan ini. Kurangnya uji
klinik yang dilakukan terhadap obat tradisional antara lain karena:
1. Besarnya biaya yang dibutuhkan untuk melakukan uji klinik
2. Uji klinik hanya dapat dilakukan bila obat tradisional telah terbukti berkhasiat dan
aman pada uji preklinik
3. Perlunya standardisasi bahan yang diuji
4. Sulitnya menentukan dosis yang tepat karena penentuan dosis berdasarkan dosis
empiris, selain itu kandungan kimia tanaman tergantung pada banyak faktor.
5. Kekuatiran produsen akan hasil yang negatif terutama bagi produk yang telah laku di
pasaran
Setelah melalui penilaian oleh Badan POM, dewasa ini terdapat sejumlah obat bahan
alam yang digolongkan sebagai obat herbal terstandar dan dalam jumlah lebih sedikit
digolongkan sebagai fitofarmaka.
2.3 Perbedaan obat tradisional indonesia dengan obat modern
Berbeda dengan obat moderen yang mengandung satu atau beberapa zat aktif yang
jelas identitas dan jumlahnya, obat tradisional/obat herbal mengandung banyak kandungan
kimia dan umumnya tidak diketahui atau tidak dapat dipastikan zat aktif yang berperan dalam
menimbulkan efek terapi atau menimbulkan efek samping. Selain itu kandungan kimia obat
herbal ditentukan oleh banyak faktor. Hal itu disebabkan tanaman merupakan organisme
hidup sehingga letak geografis/tempat tumbuh tanaman, iklim, cara pembudidayaan, cara dan
waktu panen, cara perlakuan pascapanen (pengeringan, penyimpanan) dapat mempengaruhi
7
kandungan kimia obat herbal. Kandungan kimia tanaman obat ditentukan tidak saja oleh jenis
(spesies) tanaman obat, tetapi juga oleh anak jenis dan varietasnya. Sebagai contoh bau
minyak kayu putih yang disuling dari daun Eucalyptus sp bervariasi tergantung dari anak
jenis dan varietas tumbuhan, bahkan ada di antaranya yang tidak berbau. Pada tanaman obat,
kandungan kimia yang memiliki kerja terapeutik termasuk pada golongan metabolit
sekunder. Umumnya metabolit sekunder pada tanaman bermanfaat sebagai mekanisme
pertahanan terhadap berbagai predator seperti serangga dan mikroorganisme dan hanya
dihasilkan oleh tanaman tertentu termasuk tanaman obat. Kandungan aktif tanaman obat
antara lain berupa alkaloid, flavonoid, minyak esensial, glikosida, tanin, saponin, resin, dan
terpen.17 Lemak, protein, karbohidrat merupakan metabolit primer yang dihasilkan oleh
semua jenis tanaman.
Tabel 2.3 Perbedaan Obat Tradisional/obat Herbal dengan Obat Moderen
Obat modern Obat tradisional/obat herbal
Kandungan senyawa kimia Satu atau beberapa
dimurnikan/ sintetik
Campuran banyak senyawa
alami
Zat aktif Jelas Sering tidak diketahui/ tidak
pasti
Kendali mutu Relative mudah Sangat sulit
Efektivitas dan keamanan Ada bukti ilmiah, uji klinik Umumnya belum ada bukti
ilmiah/ ujia klinik
2.4 Efek samping dan reaksi negative obat medis, jamu, dan herbal
Penggunaan obat dikatakan rasional bila pasien menerima obat sesuai dengan
kebutuhannya untuk periode waktu tertentu dengan harga yang wajar dan masuk akal.
Sungguh tidak bijak bila menginginkan penyakitnya cepat sembuh lalu segala macam obat