BAB IPENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Trauma pada gigi dan jaringan pendukungnya sering terjadi pada
pasien trauma. Keterlibatan trauma orofasial diperkirakan sekitar
15 % dari semua pasien emergensi, dan 2% dari kasus tersebut
melibatkan trauma dentoalveolar. Cedera yang terjadi dapat hanya
mengenai gigi dan struktur pendukungnya saja seperti pada seorang
anak yang terjatuh, ataupun dapat juga berhubungan dengan cedera
multisistim, seperti yang terjadi pada kecelakaan kendaraan
bermotor. Cedera dentoalveolar biasanya terjadi karena seseorang
terjatuh, kecelakaan di taman bermain, penganiayaan, kecelakaan
sepeda, kecelakaan sepeda motor, dan kecelakaan olahraga.Deteksi
dan pengobatan dini dapat meningkatkan kelangsungan hidup dan
fungsi dari gigi tersebut. Sekitar 82% gigi yang mengalami trauma
adalah gigi-gigi maksiler. Fraktur gigi maksiler tersebut 64%
adalah gigi incisivus sentral, 15% incisivus lateral, dan 3%
caninus. Fraktur dentoalveolar pada umumnya terjadi pada kelompok
usia anak, remaja, dan dewasa muda dengan rasio laki-laki terhadap
perempuan 2 : 1. 1Pemeriksaan klinis pada fraktur dentoalveolar
meliputi kemungkinan adanya luka pada bibir dan umumnya terjadi
edema dan echymosis. Pada pemeriksaan gigi dan alveolus kemungkinan
terdapat laserasi, echymosis dari pada gingival dan perubahan
bentuk dari pada alveolus. Selain itu pada saat palpasi hati-hati
pada saat memeriksa bibir. Pemeriksaan pada bibir berguna untuk
mengetahui apakah ada benda asing atau gigi di dalam jaringan
tersebut. Palpasi pada alveolus berfungsi untuk merasakan perubahan
bentuk tulang-tulang, dan kadang-kadang terdapat krepitasi.
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Definisi fraktur secara umum adalah pemecahan atau kerusakan
suatu bagian terutama tulang (Kamus Kedokteran Dorland edisi 29,
2002). Literatur lain menyebutkan bahwa fraktur atau patah tulang
adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan
yang umumnya disebabkan oleh trauma (Mansjoer, 2000). Berdasarkan
definisi-definisi tersebut maka fraktur dentoalveolar adalah
kerusakan atau putusnya kontinuitas jaringan keras pada stuktur
gigi dan alveolarnya disebabkan trauma.
2.2 ANATOMI
Pada mandibula, berdasarkan lokasi anatomi fraktur dapat
mengenai daerah : a. Dento alveolar b. Prosesus kondiloideus c.
Prosesus koronoideus d. Angulus mandibula e. Ramus mandibula f.
Korpus mandibula g. Midline / simfisis menti h. Lateral ke midline
dalam regio insisivusGigi adalah salah satu aksesoris dalam mulut
yang mempunyai lima peranan yang sangat penting iaitu sebagai
fungsi mengunyah,fungsi fonasi, fungsi estatika,fungsi kejiwaan,
fungsi identifikasi (forensik). Setiap gigi terdiri daripada tiga
bagian yaitu: mahkota gigi ( coronadentis), leher gigi ( cervix ),
akar gigi ( radix).Setiap gigi mempunyai jaringan gigi yang terdiri
dari:1. Email : Jaringan keras yang mengalami kalsifikasi yang
menutupi dentin dari mahkota gigi. Berasal dari jaringan ektodermal
Berfungsi menahan daya kunyah/abrasi2. Dentin: Jaringan yang
berasal dari mesenchym Merupakan jaringan ikat yang mengalami
kalsifikasi dan jaringan yang terbesar dari gigi3. Pulpa: Jaringan
yang berasal dari mesenchym Pada rongga pulpa biasanya ditemui
saraf,pembuluh darah, pembuluh lymphe dan jaringan ikat (jarang)
Fungsi : formatif ( memberi bentuk),nurtisi, sensoris.Pada ujung
akar gigi terdapat foramen apikal yaitu lubang yang terdapat di
ujung akar gigi yang merupakan jalan masuk persyarafan dan pembuluh
darah pada gigi.Sedangkan bagian-bagian jaringan pendukung gigi
adalah sebagai berikut:1. GingivaBagian dari mukosa mulut yang
mengelilingi leher gigi dan menutupi prosesus alveolaris. Ginggiva
dibentuk oleh jaringan ikat (connective tissue ) yang diliputi
epitel berlapis pipih.Sulkus gingival adalah celah disekeliling
gigi yang dibatai oleh permukaan gigi dan epitel ginggiva
.kedalaman normal 2-3 mm.2. Ligamentum periodontal:Struktur
jaringan ikat yang mengelilingi akar gigi dan mengikatkan ke tulang
alveolar. Mempunyai fungsi yaitu sebagai: sumbernutrisi (
membekalkan nutrisi kepada cementum, tulang dan gingival) dan
sensori( dipersarafi oleh serabut saraf sensori yang berfungsi
untuk menghantarkan stimulus sentuhan, tekanan, dan nyeri). Fungsi
fisikal:- sebagai wadah jaringan lunak untuk melindungi pembuluh
darah dan saraf dari injuri oleh tekanan mekanik. Perlekatan antara
gigi melalui cementum Memelihara hubungan antara gingival dan gigi
Melawan dampak tekanan oklusal Fungsi formatif Berfungsi sebagai
periosteum bagi cementum dan tulang Berperan dalam resopsi aposisi
sementum dan tulang Sel-sel ligament periodontal mengadakan repair(
perbaikan) terhadap injuri akibat tekanan oklusal Fungsi sensoris :
Memberikan sensitifitas proprioceptive dan taktil.3. Alveolar
Processus: Adalah tulang yang membentuk dan mendukung soket gigi di
sekeliling akar gigi4. Cementum: merupakan jaringan ikat
terkalsifikasi yang mengelilingi dentin akar , tempat, tempat
tertanamnya ligament periodontal.
Gambar 1. anatomi gigi
2.3 ETIOLOGI
Trauma dentoalveolar dapat terjadi pada anak-anak, remaja,
maupun dewasa. Pada kelompok anak-anak penyebab utama dari trauma
ini adalah jatuh. Pada usia 1-3 tahun ketika anak belajar berjalan
dan berlari insidennya meningkat yang diakibatkan oleh aktivitas
yang tinggi dan kurangnya koordinasi anggota tubuh menyebabkan anak
sering jatuh. Pada anak usia sekolah, taman bermain dan cidera
akibat bersepeda merupakan penyebab tersering. Selama masa remaja,
cidera olahraga merupakan kasus yang umum. Pada usia dewasa, cidera
olahraga, kecelakaan sepeda motor, kecelakaan industri dan
pertanian, dan kekerasan dalam rumah tangga merupakan penyebab
potensial. Rasio laki-laki dan perempuan adalah 2:1. 1Olahraga yang
melibatkan kontak fisik merupakan penyebab umum fraktur dental,
seperti sepakbola dan bola basket. Frekuensi fraktur dentoalveolar
yang lebih tinggi ditemukan pada pasien dengan retardasi mental dan
serebral palsi. Penyalahgunaan obat dapat meningkatkan kemungkinan
terjadinya frakturdental. Gigi insisivus maksiler yang menonjol
keluar atau ketidakmampuan menutup gigi pada keadaan istirahat
dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya fraktur. Benturan atau
trauma, baik berupa pukulan langsung terhadap gigi atau berupa
pukulan tidak langsung terhadap mandibula, dapat menyebabkan
pecahnya tonjolan-tonjolan gigi, terutama gigi-gigi posterior.
Selain itu, tekanan oklusal yang berlebihan terutama terhadap
tumpatan yang luas dan tonjol-tonjolnya tak terdukung oleh dentin
dapat pula menyebabkan fraktur. Keparahan fraktur bisa hanya
sekedar retak saja, pecahnya prosesus, sampai lepasnya gigi yang
tidak bisa diselamatkan lagi. Trauma langsung kebanyakan mengenai
gigi anterior, dan karena arah pukulan mengenai permukaan labial,
garis retakannya menyebar ke belakang dan biasanya horizontal atau
oblique. Pada fraktur yang lain, tekanan hampir selalu mengenai
permukaan oklusal, sehingga frakturnya pada umumnya vertikal.
Pukulan terhadap gigi anterior paling sering terjadi pada anak-anak
dan apabila dibiarkan maka tubulus dentinnya akan terpapar pada
flora normal mulut sehingga dapat menimbulkan infeksi dan inflamasi
pulpa sehingga perlu dirawat. Di pihak lain, gigi posterior yang
fraktur karena tekanan oklusal yang besar biasanya karena mempunyai
tumpatan yang luas. Pada gigi semacam ini, hanya sedikit tubulus
dentin yang terbuka yang langsung berhubungan dengan pulpa karena
telah terjadinya reaksi terhadap karies dan prosedur penambalannya
berupa kalsifikasi tubulus dan penempatan dentin reaksioner di
rongga pulpa. Dengan demikian jaringan pulpanya jarang sekali ikut
terkena. Trauma terhadap gigi pada umumnya bukan merupakan keadaan
yang mengancam nyawa, tetapi cidera maksilofasial lain yang
berhubungan dengan trauma dental dapat mengganggu jalan napas.
Fraktur biasanya terjadi pada gigi permanen, sedangkan gigi susu
biasanya hanya mengalami perubahan letak. Morbiditas yang
berhubungan dengan fraktur dental bisa seperti gagalnya pergantian
gigi, perubahan warna gigi, abses, hilangnya ruang pada arkus
dental, ankylosis, lepasnya gigi secara abnormal, dan resorpsi akar
merupakan keadaan yang signifikan. Trauma dental sering berhubungan
dengan laserasi intraoral. Ketika ada gigi yang pecah atau hilang
dan pada saat yang bersamaan terdapat laserasi intraoral, maka
harus diperhatikan bahwa bagian gigi yang hilang dapat tertanam di
dalam robekan luka tersebut. Trauma secara langsung biasanya
menyebabkan cedera pada incisivus central maksilla karena posisinya
yang relatif lebih kedepan. Incisivus yang protrusif dengan
penutupan bibir yang tidak seimbang, seperti terlihat pada individu
dengan maloklusi kelas II divisi 1 atau sebagai akibat kebiasaan
buruk menghisap jempol, merupakan faktor predisposisi trauma
incisivus maksilla. Cedera pada gigi akan meningkat dua kali lebih
sering pada anak-anak dengan gigi incisivus yang protrusif
dibandingkan dengan seorang anak yang memiliki oklusi normal.
Trauama tidak langsung pada gigi dan struktur pendukung biasanya
sebagai akibat dari benturan yang mengenai dagu, atau gigi tidak
dalam oklusi yang baik, benturan akan diteruskan ke oklusi
gigi-geligi, menimbulkan kerusakan gigi-gigi posterior atau
jaringan lunak anterior. Cedera dentoalveolar ini paling banyak
terjadi pada gigi sulung yang terjadi pada saat anak-anak mulai
belajar berjalan hingga usia sekolah, yang berusia antara 2-4
tahun, sedangkan pada gigi permanen antara usia 7-10 tahun
Prevalensi dan Insidensi1 dari 5 anak dan 1 dari 4 dewasa memiliki
bukti dental injuri pada gigi anteriornya. Bahkan pada beberapa
negara, prevalensi trauma dental lebih banyak daripada dental
karies. Laki-laki lebih sering mengalami trauma ini 2x lebih besar
dari perempuan. Insidensi puncak dari dental injuri yaitu pada usia
2-4 dan 8-10 tahun.
2.4 KLASIFIKASI TRAUMA DENTOALVEOLAR
Klasifikasi pada fraktur dentoalveolar diperlukan untuk
menentukan rencana perawatan yang akan dilakukan. Klasifikasi
fraktur dentoalveolar dapat dibuat berdasarkan pada bagian anatomi
yang terlibat, penyebab, perawatan alternatif atau kombinasi dari
semua hal tersebut. Klasifikasi fraktur dentoalveolar juga dapat
memberikan informasi yang komprehensif dan universal untuk
mengkomunikasikan mengenai tujuan perawatan tersebut. Terdapat
banyak klasifikasi yang mendeskripsikan mengenai fraktur
dentoalveolar. Akan tetapi ada dua jenis klasifikasi trauma
dentoalveolar yang sering digunakan yaitu klasifikasi dari Ellis
dan Devey, dan Andreasen. Klasifikasi andreasen merupakan
klasifikasi yang paling sering digunakan dan merupakan klasifikasi
yang dipakai oleh WHO. Klasifikasi yang direkomendasikan dari World
Health Organization (WHO) diterapkan pada gigi sulung dan gigi
tetap, yang meliputi jaringan keras gigi, 1jaringan pendukung gigi
dan jaringan lunak rongga mulut. Klasifikasinya yaitu:
Cedera pada jaringan keras gigi dan pulpa 11) Enamel infraction:
jenis fraktur tidak sempurna dan hanya berupa retakan tanpa
hilangnya substansi gigi. 2) Fraktur email: hilangnya substansi
gigi berupa email saja. 3) Fraktur email-dentin: hilangnya
substansi gigi terbatas pada email dan dentin tanpa melibatkan
pulpa gigi. 4) Fraktur mahkota kompleks (complicated crown
fracture): fraktur email dan dentin dengan pulpa yang terpapar. 5)
Fraktur mahkota-akar tidak kompleks (uncomplicated crown-root
fracture): fraktur email, dentin, sementum, tetapi tidak melibatkan
pulpa. 6) Fraktur mahkota-akar kompleks (complicated crown-root
fracture): fraktur email, dentin, dan sementum dengan pulpa yang
terpapar. 7) Fraktur akar: fraktur yang melibatkan dentin,
sementum, dan pulpa, dapat disubklasifikasikan lagi menjadi apikal,
tengah, dan sepertiga koronal (gingiva).
Gambar 2. Cedera pada Jaringan Keras Gigi dan Jaringan Pulpa
(Fonseca, 2005)
Cedera pada jaringan periodontal 11) Concussion: tidak ada
perpindahan gigi, tetapi ada reaksi ketika diperkusi. 2)
Subluksasi: kegoyangan abnormal tetapi tidak ada perpindahan gigi.
3) Luksasi ekstrusif (partial avulsion): perpindahan gigi sebagian
dari soket. 4) Luksasi lateral: perpindahan ke arah aksial disertai
fraktur soket alveolar. 5) Luksasi intrusif: perpindahan ke arah
tulang alveolar disertai fraktur soket alveolar. 6) Avulsi: gigi
lepas dari soketnya
Gambar 3 Cedera pada Jaringan Periodontal (Fonseca, 2005).
Cedera pada tulang pendukung 11) Pecah dinding soket alveolar
mandibula atau maksila : hancur dan tertekannya soket alveolar,
ditemukan pada cedera intrusif dan lateral luksasi. 2) Fraktur
dinding soket alveolar mandibula atau maksila : fraktur yang
terbatas pada fasial atau lingual/palatal dinding soket. 3) Fraktur
prosesus alveolar mandibula atau maksila : fraktur prosesus
alveolar yang dapat melibatkan soket gigi. 4) Fraktur mandibula
atau maksila : dapat atau tidak melibatkan soket Alveolar.
Gambar 4 Cedera pada Tulang Pendukung
2.4Klasifikasi Ellis3a. Klas I : Uncomplicated Crown Fractures
yang Hanya Melibatkan Enamelb. Klas II : Uncomplicated Crown
Fractures yang Melibatkan Enamel dan Dentinc. Klas III :
Complicated Fractures Pada Mahkota dan Melibatkan Pulpa d. Klas IV
: Gigi mengalami trauma sehingga gigi menjadi non vital dengan atau
tanpa hilangnya struktur mahkotagambar 5 klasifikasi ellis
2.5 MENIFESTASI KLINIS Tanda-tanda klinis fraktur alveolar
diantaranya adalah adanya kegoyangan dan pergeseran beberapa gigi
dalam satu segmen, laserasi pada gingiva dan vermilion bibir, serta
adanya pembengkakan atau luka pada dagu. Untuk menegakkan diagnosa
diperlukan pemeriksaan klinis yang teliti dan pemeriksaan
Radiografi .Tanda-tanda klinis lainnya dari fraktur alveolar yaitu
adanya luka pada gingiva dan hematom di atasnya, serta adanya nyeri
tekan pada daerah garis fraktur. Pada kasus ini fraktur alveolar
mungkin terjadi karena adanya trauma tidak langsung pada gigi atau
tulang pendukung yang dihasilkan dari pukulan atau tekanan pada
dagu. Hal ini biasa terlihat dengan adanya pembengkakan dan hematom
pada dagu serta luka pada bibir.42.6 DIAGNOSIS Cedera pada
gigi-gigi dan struktur pendukungnya harus dipertimbangkan sebagai
suatu keadaan darurat. Agar penatalaksanaannya tepat dan berhasil,
dibutuhkan suatu penegakan diagnosa dan perawatan dalam waktu yang
cepat. Pemeriksaan Primary Survey (ABCDE) Pendekatan awal terhadap
pasien trauma oromaksilofasial akut sedikit berbeda dengan cedera
yang lain. Perhatian harus segera diarahkan terhadap saluran
pernapasan, adekuasi dari ventilasi, dan kontrol perdarahan
eksternal. Primary survey adalah penilaian terhadap keadaan
penderita dan prioritas terapi berdasarkan jenis luka, tanda- tanda
vital dan mekanisme cedera. Selama primary survey, keadaan yang
mengancam nyawa harus dikenali dan resusitasinya dilakukan saat itu
juga. Secondary survey adalah pemeriksaan kepala sampai kaki (head
to toe examination), termasuk pemeriksaan tanda vital. Secondary
survey baru dilaksanakan setelah primary survey selesai, resusitasi
sudah dilakukan, dan ABC pasien telah dipastikan membaik. Pada
secondary survey ini, dilakukan pemeriksaan neurologis lengkap,
termasuk mencatat skor GCS bila belum dilaksanakan dalam primary
survey. Prosedur khusus seperti pemeriksaan radiologis, pemeriksaan
laboratorium juga dapat dikerjakan pada kesempatan ini. Pemeriksaan
pada secondary survey meliputi anamnesa, pemeriksaan fisik ekstra
oral seperti kepala dan oromaksilofasial juga pemeriksaan intra
oral yang meliputi status lokalis gigi dan jaringan pendukung
sekitarnyaRiwayat yang komprehensif harus didapatkan dari pasien,
orangtuanya atau orang yang mengetahui informasi yang berhubungan
dengan pasiennya, dimana, kapan, dan bagaimana kejadiannya, terapi
apa yang sudah diberikan sebelumnya. Anamnesis. Yang dimaksud
dengan anamnesis adalah riwayat terjadinya trauma. Anamnesis dapat
dilakukan dengan menanyakan langsung kepada penderita atau
pengantar. Dalam melakukan anamnesis, ada beberapa informasi yang
harus diketahui antara lain sebagai berikut : a. Kapan Terjadinya
Trauma. Karena jarak antara kecelakaan dan perawatan sangat penting
diketahui bukan hanya untuk menentukan jenis perawatan yang akan
dilakukan tetapi berpengaruh juga terhadap prognosisnya. Seperti
pada gigi yang mengalami avulsi, semakin cepat gigi tersebut di
replantasi, maka prognosisnya akan semakin baik. Juga pada fraktur
rahang yang proses penyembuhannya akan berpengaruh jika
perawatannya ditunda. b. Dimana Tempat Trauma Terjadi. Hal ini
penting karena mungkin saja penderita memerlukan suntikan anti
tetanus karena luka akibat trauma tersebut terjadi di daerah yang
kotor yang dengan mudah akan terkontaminasi dengan bakteri.
Demikian juga pada kecelakaan mobil perlu diperhitungkan
kemungkinan ada pecahan kaca pada bibir dan daerah muka. c.
Bagaimana Trauma Terjadi. Informasi ini penting untuk mengetahui
apakah trauma tersebut mengenai benda keras atau tumpul atau lunak.
Karena trauma pada benda keras dapat mengakibatkan fraktur mahkota
gigi, sedangkan trauma pada benda yang lunak atau tumpul seperti
siku biasanya dapat mengakibatkan fraktur akar gigi dan luksasi. d.
Perawatan yang Sudah Didapat. e. Riwayat Trauma pada Gigi f.
Penyakit Sistemik yang Diderita. g. gejala apa saja yang dikeluhkan
sejak terjadi trauma (pusing, pandangan kabur, muntah , gangguan
pendengaran, pengecapan, gangguan keseimbangan, gigi goyang,
perdarahan dll)h. medical history Riwayat alergi obat-obatan
Kelainan lain misalnya gangguan pembekuan darah, DM, hipertensi
Obat-obatan yang dipakai Status imunisasi tetanusApabila terjadinya
trauma ditempat yang kotor atau kemungkinan banyak bakteri dan
mengakibatkan keadaan klinis kemerahan, pembengkakan pada ginggiva,
maka pasien perlu diberikan ATS (Anti Tetanus Serum).
Pemeriksaan Fisik, Pemeriksaan terhadap keadaan umum penderita,
meliputi pemeriksaan denyut nadi, pernafasan, tekanan darah,
tingkat kesadaran dan suhu tubuh. Pemeriksaan Ekstra Oral Pada
kasus trauma dapat dilakukan dengan cara visual dan palpasi.
Palpasi pada wajah dilakukan untuk melihat diskontinuitas tulang
rahang yang menunjukkan adanya fraktur, gangguan pergerakan rahang,
kelainan saraf serta hematoma. Pemeriksaan Intra Oral, Pemeriksaan
ini penting untuk mendapatkan informasi agar dapat memberikan
pertolongan pertama. Tindakan yang sebaiknya dilakukan pada
pemeriksaan intra oral meliputi antara lain : (1) Perkusi gigi (2)
Pencatatan kegoyangan abnormal dari gigi atau tulang alveolar. (3)
Pencatatan adanya perubahan warna gigi (4) Pencatatan kerusakan
jaringan lunak, seperti pada bibir, gusi, langit- langit dan lidah.
(5) Pencatatan perubahan letak gigi (6) Tes vitalitas dari gigi (7)
Pencatatan adanya kerusakan prosesus alveolaris, dengan cara
palpasi prosesus alveolaris. Pemeriksaan Radiologis Kegunaan
Pemeriksaan Radiologis Pemeriksaan ini diperlukan untuk membantu
menegakkan diagnosa kelainan akibat trauma gigi anterior yang tepat
dan benar. Biasanya pemeriksaan radiologis dilakukan pada saat
sebelum memulai perawatan dan pada saat kontrol sesudah perawatan
sebagai evaluasi terhadap perawatan yang telah dilakukan.
Pemeriksaan ini berguna untuk memberikan informasi, misalnya : 1.
Untuk melihat arah garis fraktur 2. Adanya fraktur akar 3.
Bagaimana tingkat keparahan dari gigi yang mengalami instrusi atau
ekstrusi 4. Adanya kelainan dari jaringan periodontal 5. Tingkat
perkembangan akar 6. Ukuran kamar pulpa dan saluran akar 7. Adanya
fraktur rahang 8. Melihat keadaan fragmen gigi dan jaringan lunak
lain disekitar rongga mulut, seperti dasar mulut, bibir dan pipi.
Macam-macam foto rontgen yang digunakan Teknik foto rontgen yang
biasa digunakan dalam melakukan pemeriksaan radiologis pada kasus
trauma gigi anterior adalah teknik intra oral ( foto periapikal dan
foto oklusal), dan kadangkala diperlukan teknik ekstra oral (foto
panoramik, foto lateral dan foto postero-anterior) jika dengan foto
intra oral garis fraktur tidak terlihat. Gambar 6. Foto panoramic,
fraktur alveolar crest pada maksila dan fraktur 1/3 apikal akar
gigi pada mandibula
2.7 PENATALAKSANAAN
Setelah ananmnesis, pemeriksaan klinis dan pemeriksaan
radiologis telah lengkap, maka diagnosis yang tepat juga dapat
ditegakkan sehingga langkah perawatan terhadap kelainan akibat
trauma pada gigi anterior dapat dilakukan dengan segera. Trauma
pada gigi merupakan salah satu kasus darurat yang memerlukan
penanggulangan yang cepat dan tepat, karena keadaan ini
mempengaruhi prognosis yang akan datang. Maka pada prinsipnya
perawatan trauma gigi anterior ini adalah perawatan untuk mencegah
prognosis yang lebih buruk dan mengurangi rasa sakit akibat trauma.
Perawatan trauma gigi anterior dapat dibagi menjadi 2 tahap, yaitu
perawatan segera setelah terjadinya trauma (perawatan darurat) dan
perawatan terhadap gigi anterior yang mengalami trauma (perawatan
definitif). Perawatan Segera Setelah Terjadinya Trauma (Perawatan
Darurat) 1Perawatan darurat merupakan perawatan yang penting dan
harus dilakukan dengan segera karena menyangkut prognosa dari
penderita. Perawatan darurat pada kasus trauma gigi anterior
meliputi : a. Membersihkan luka akibat trauma dengan menggunakan
cairan antiseptik b. Merawat luka akibat trauma, dengan melakukan
penjahitan dan penutupan luka dengan kain kasa. c. Menghentikan
perdarahan d. Menghilangkan rasa sakit e. Pencegahan terhadap
infeksi
Perawatan Gigi pada Cedera Dentoalveolar (Perawatan
Definitif).1Perawatan gigi anterior yang mengalami trauma pada
prinsipnya adalah mengembalikan gigi yang mengalami trauma keposisi
semula (reposisi) dan mempertahankannya hingga proses penyembuhan
(fiksasi dan imobilisasi). Ada beberapa hal yang harus
dipertimbangkan sebelum melakukan perawatan definitif pada kasus
trauma gigi anterior, yaitu : keadaan umum pasien, umur pasien,
trauma terjadi pada gigi sulung atau gigi tetap, lokasi dan luas
daerah yang terkena trauma, keadaan dari tulang pendukung, keadaan
jaringan periodontal serta gigi-geligi yang ada, Vitalitas gigi
yang terkena trauma, apakah disertai dengan fraktur tulang
alveolar. Pada dasarnya perawatan definitif trauma gigi anterior
meliputi : a. Perawatan jaringan keras gigi, misalnya penambalan
dengan resin komposit pada mahkota gigi yang terkena trauma,
pembuatan mahkota jaket, dll. b. Perawatan jaringan pulpa, misalnya
pada perawatan endodontik seperti pulp capping, pulpotomi, dll. c.
Perawatan pada gigi yang goyang dan berubah letak, yaitu dengan
melakukan reposisi dan fiksasi. Yang dimaksud dengan fiksasi adalah
suatu tindakan pemasangan alat yang digunakan untuk menstabilkan
satu gigi atau lebih dengan mengikat atau menggabungkan gigi goyah
atau berubah letak kegigi sebelahnya yang masih kokoh melalui
kawat, band atau splin dari logam cor, plastik atau acrylik. Ada
beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan fiksasi yang
baik ,yaitu : 1. Dapat dengan mudah dipasang didalam mulut tanpa
melalui prosedur laboratorium yang lama. 2. Bersifat pasif pada
tempatnya, tanpa menyebabkan tekanan pada gigi. 3. Tindak berkontak
dengan gusi dan tidak mengiritasi gusi. 4. Tidak terdapat sangkutan
pada saat oklusi yang normal. 5. Dapat dengan mudah dibersihkan dan
dipakai pada oral higiene yang baik. 6. Pada saat dipakai tidak
menyebabkan trauma pada gigi atau gusi. 7. Dapat memberikan jalan
bagi perawatan endodontik. 8. Dapat dengan mudah dikeluarkan. 9.
Memperhatikan nilai estetik yang baik. 10. Harganya murah dan
bahan-bahannya mudah diperoleh dipasaran.
Ada beberapa macam teknik fiksasi yang digunakan pada kasus
trauma gigi anterior ini yaitu : 1. Interdental wiring fixation,
yaitu fiksasi dengan pengikatan kawat interdental. Misalnya dengan
metode Essig, Ernts, Eyelet (Ivy).
Gambar 7. A.essig wire; B.interdental wiring
2. Arch bar wiring, yaitu pengikatan kawat dengan arch bar.
Misalnya dengan metode Erich arch bar, Sauers arch bar, hauptmeyes
arch bar, Circumferential arch bar. 3. Resin komposit splin dengan
menggunakan etsa asam.
4. Penggunaan alat Orthodontik bracket, misalnya pada gigi yang
ekstrusi dan avulsi. 5. Metal cast splint, yaitu splin dengan
menggunakan logam cor. 6. Sectional acrylic splint, yaitu splin
dengan menggunakan bahan dari akrilik. 7. Titanium trauma
Splint
Berikut ini akan diuraikan berbagai macam perawatan definitif
trauma gigi anterior menurut beberapa pakar bedah mulut yaitu
sebagai berikut :
Fraktur MahkotaPada fraktur mahkota yang mengenai email, dentin
serta pulpa tanpa disertai kegoyangan gigi biasanya dilakukan
penambalan pada gigi yang terkena fraktur dengan resin komposit
sistem etsa dengan atau tanpa didahului perawatan endodontik.
Tetapi bila disertai dengan kegoyangan gigi dilakukan juga reposisi
gigi dan fiksasi gigi tersebut.
Fraktur Mahkota Akar a. Jika fragmen mahkota masih berada
ditempat dan tidak goyang, maka perawatan yang dilakukan sama
dengan perawatan pada fraktur mahkota. b. Jika garis fraktur jauh
kearah apikal dan gigi masih dapat direstorasi, maka dilakukan
perawatan endodontik. c. Jika disertai dengan fraktur tulang
alveolar, maka sebaiknya dilakukan ekstraksi gigi tersebut. Fraktur
Akara. Jika garis fraktur sepertiga apikal prognosisnya sangat baik
dan biasanya tidak diperlukan perawatan yang khusus. b. Jika garis
fraktur berada sepertiga tengah akar, prognosisnya sangat baik
terhadap pemulihan pertahanan jaringan pulpa dan penyembuhan dari
fraktur akar tersebut. Dan dalam hal ini diperlukan tindakan
reposisi dan fiksasi selama 2-3 bulan, karena pada periode ini
biasanya telah terjadi proses kalsifikasi dari jaringan dan gigi
kembali vital. c. Jika terjadi fraktur akar vertikal dilakukan
tindakan ekstraksi gigi. Gigi Sensitif (Concussion) Perawatan yang
khusus pada gigi sensitif ini biasanya tidak ada, hanya diperlukan
pemeriksaan yang rutin dan berlanjut untuk mengevaluasi kesehatan
dari jaringan periodontal dan pulpa gigi tersebut dan jika perlu
mengurangi kontak incisal untuk mengurangi trauma saat oklusi yang
diterima gigi. Subluksasi GigiGigi yang mengalami subluksasi
sensitif terhada perkusi dan goyang. Perawatan yang diperlukan
biasanya perawatan simptomatik yaitu dengan memberikan makanan yang
lunak dan jika perlu menghilangkan kontak oklusal/incisal untuk
mengurangi trauma saat oklusi yang diterima dari gigi. Dan apabila
kegoyangan gigi sudah sangat ekstrim, dilakukan fiksasi pada gigi
lawannya. Perawatan Pada Gigi Yang Berubah Letak 1. Intrusi Gigi
Pada apeks yang belum terbentuk sempurna, biasanya dibiarkan saja
karena diharapkan pada saat pertumbuhan, gigi akan kembali pada
posisi semula. Apabila akar sudah terbentuk sempurna, dilakukan
reposisi dan immobilisasi selama 2-3 bulan, dan penggunaan alat
orthodonti juga dapat membantu gigi yang mengalami instrusi dapat
kembali keposisi semula. 2. Ekstrusi Gigi dan Luksasi Gigi ke
lateral Pada gigi yang mengalami ekstrusi dan perubahan letak
kearah lateral dilakukan perawatan reposisi gigi dengan tekanan
jari, kemudian immobilisasi gigi selama 2-3 minggu. 3. Avulsi Gigi
Pada gigi yang mengalami avulsi, dilakukan replantasi gigi dan
stabilisasi gigi. Keberhasilan replantasi gigi pada gigi yang
mengalami avulsi ini tergantung pada lamanya gigi berada diluar
soket. Semakin cepat gigi tersebut direplantasi, maka prognosisnya
semakin baik. Andreasen dan Hjorting-Hansen 1 mengemukakan bahwa
90% dari gigi yang direplantasi kurang dari 30 menit setelah
terjadi avulsi gigi, tidak terdapat resorpsi akar pada gigi
tersebut. Dan resorpsi akar terlihat pada 95% gigi yang
direplantasi setelah lebih dari 2 jam mengalami avulsi. Sebelum
melakukan replantasi, gigi tersebut direndam dahulu dalam larutan
garam fisiologis hangat seperti cairan saline untuk mencegah
kekeringan dari serat-serat periodontal. Kemudian gigi tersebut
dikeringkan dan setelah saku gusi dibersihkan dari gumpalan darah
replantasi dapat segera dilakukan. Setelah gigi direplantasi, gigi
tersebut distabilisasi dengan splint sistem etsa asam atau splint
akrilik selama 7-10 hari (pada gigi yang apeksnya sudah terbentuk
sempurna) dan 3-4 minggu pada gigi yang apeknya belum terbentuk
sempurna. Periode stabilisasi pada kasus cedera dentoalveolar dapat
dilihat pada tabelMenurut Andreasen, ada beberapa faktor yang harus
diperhatikan dalam melakukan replantasi gigi yang mengalami
avulsi,1 yaitu sebagai berikut : a. Gigi tersebut tidak mempunyai
kelainan periodontal. b. Saku alveolar dapat menyediakan tempat
bagi gigi yang direplantasi. c. Tidak ada pertimbangan untuk
melakukan perawatan orthodontik, seperti gigi yang berjejal. d.
Berapa lama gigi tersebut berada diluar saku alveolar. Gigi yang
berada diluar saku gusi kurang dari 30 menit, merupakan indikasi
replantasi yang baik, sedangkan jika gigi berada diluar saku
alveolar lebih dari 2 jam kemungkinan besar akan terjadi komplikasi
yaitu resorpsi dari akar gigi dan gigi menjadi non vital, kecuali
sebelum direplantasi gigi tersebut dirawat endodontik terlebih
dahulu. e. Tingkat perkembangan akar. Fraktur Tulang Alveolar
Fraktur tulang alveolar biasanya disertai dengan fraktur dari
beberapa gigi sehingga dengan fraktur tulang alveolar ini juga
dapat terjadi fraktur mahkota, fraktur akar dan trauma pada
jaringan lunaknya.Maka perawatan yang dilakukan adalah
mengembalikan bagian yang terkena fraktur keposisi semula dan
kemudian dilakukan stabilisasi selama 4 minggu sampai terjadi
proses penyembuhan tulang serta penjahitan gusi yang mengalami
laserasi.Pada pasien yang mengalami fraktur tulang alveolar yang
parah dilakukan tindakan alveolektomi disertai ekstraksi gigi yang
mengalami trauma. Gambar 10. Foto panoramic, fraktur dentoalveolar
pada maksila (panah). Displacement segmen alveolar dan
mengakibatkan maloklusi.
Letak Fraktur pada Daerah Edentulous. Bentuk cedera pada daerah
tidak bergigi ini tidak terlalu berarti. Jika mukosa mengalami
perlukaan maka sebelum tindakan operatif harus diberikan antibiotik
terlebih dahulu baru kemudian dilakukan debridemen, tulang alveolar
yang lepas dan berukuran kecil dan tidak dapat dipertahankan
dibuang dan dilakukan alveolektomi. Kemudian mukosa gingiva atau
rongga mulut diperbaiki dengan cara melakukan penjahitan. Cedera
jenis ini jika mengenai daerah edentulous maksilla dapat
menyebabkan terjadinya fistula oro-nasal pada daerah premaksilla
atau fistula oro- antral di daerah premolar dan molar. Finger
pressure dapat digunakan untuk menekan fragmen alveolar yang
fraktur ke dalam posisinya yang tepat dan jika pasien menggunakan
gigi tiruan dapat digunakan sebagai alat bantu memfiksasi. 5
Masalah jangka panjang yang dapat terjadi jika prosesus
alveolaris yang lepas berukuran besar akan mengakibatkan kesulitan
saat pembuatan gigi tiruan. Komplikasi ini memerlukan perawatan
pendahuluan sebelum pembuatan protesa yaitu augmentasi ridge,
pendalaman sulcus atau teknik implant. Letak Fraktur pada Procesus
Alveolaris Bergigi. Adanya segmen tulang alveolar yang fraktur dan
terdapat gigi permanen pada fragmennya maka diperlukan tindakan
reduksi dan imobilisasi, kecuali gigi pada fragmen tulang
alveolaris memerlukan pencabutan segera. Perawatann ini dilakukan
dengan anestesi lokal dibantu dengan sedasi, seperti diazepam oral
atau intra venous. Prognosis fragmen fraktur dapat ditingkatkan
dengan tindakan imobilisasi, kemudian gigi ditempatkan secara
akurat pada posisinya dan juga membebaskan trauma oklusal dari gigi
lawannya. Splinting harus dipertahankan selama 6 minggu, jika
terdapat gigi pada garis fraktur maka harus dipertimbangkan
perawatan lainnya seperti perawatan endodontik diperlukan jika
pulpa mengalami nekrosis. Kadang-kadang pada fraktur dentoalveolar
gigi pada fragmen fraktur tidak mendapat dukungan tulang alveolar
terutama pada penderita usia tua, maka perlu dirujuk kepada ahli
periodontologi dengan melakukan perawatan splinting metoda Von
Weissenfluh. Fraktur dentoalveolar pada usia sangat muda dapat
membaik tanpa memerlukan imobilisasi dan cukup dirawat dengan
pemberian diet lunak. Tetapi bagaimanapun jika fragmen alveolar
yang fraktur cukup besar maka tetap diindikasikan untuk pemasangan
splint. 5
. 2.8 KOMPLIKASI Komplikasi Trauma Dentoalveolar Komplikasi yang
terjadi pada trauma dentoalveolar dapat dibagi 2 yaitu: 1.
Komplikasi yang timbul selama perawatan, yang paling umum terjadi
adalah Perdarahan, dapat terjadi perdarahan massif akibat robekan
jaringan lunak dan pembuluh darah yang disebabkan oleh segmen
fraktur. Sumbatan jalan nafas, adanya bekuan darah dan gigi yang
terlepas dapat menyebabkan gangguan jalan nafas. Infeksi atau
osteomyelitis, kerusakan saraf, imobilisasi maupun displacement
gigi, kerusakan ginggival dan periodontal. 2. Komplikasi lanjut,
jika terjadi fraktur, tulang alveolar merupakan daerah yang paling
sering mengalami gangguan penyembuhan fraktur baik itu malunion
ataupun non-union, hal ini akan memberi keluhan berupa rasa sakit
dan tidak nyaman (discomfort) yang berkepanjangan pada sendi rahang
oleh karena perubahan posisi dan ketidakstabilan antara sendi
rahang kiri dan kanan. Hal ini tidak hanya berdampak pada sendi
tetapi otot-otot pengunyahan dan otot sekitar wajah juga dapat
memberikan respon nyeri (myofascial pain) Terlebih jika pasien
mengkompensasikan atau memaksakan mengunyah dalam hubungan oklusi
yang tidak normal. Kondisi inilah yang banyak dikeluhkan oleh
pasien patah rahang yang tidak dilakukan perbaikan atau penangnanan
secara adekuat. Ada beberapa faktor risiko yang secara spesifik
berhubungan dengan fraktur alveolardan berpotensi untuk menimbulkan
terjadinya malunion ataupun non-union. Faktor risiko yang paling
besar adalah infeksi, kemudian aposisi yang kurang baik, kurangnya
imobilisasi segmen fraktur, adanya benda asing, tarikan otot yang
tidak menguntungkan pada segmen fraktur. Malunion yang berat pada
mandibula akan mengakibatkan asimetri wajah dan dapat juga disertai
gangguan fungsi. Kelainan-kelainan ini dapat diperbaiki dengan
melakukan perencanaan osteotomi secara tepat untuk merekonstruksi
bentuk lengkung mandibula.
2.9 PENCEGAHAN Hal terbaik yang dilakukan pada fraktur
dentoalveolar adalah melakukan tindakan pencegahan. Pencegahan
adalah orientasi utama seorang dokter gigi, terutama dalam
perawatan gigi anak. Terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan
untuk mencegah kejadian fraktur dentoalveolar, di antaranya adalah
sebagai berikut :1. Perawatan orthodonti; 2. Sabuk pengaman Hal ini
dapat mengurangi resiko cedera saat terjadi kecelakaan lalu lintas.
3. Pemakaian helm saat bersepeda; 4. Pemakaian mouth protector;
Cedera saat berolahraga dapat dicegah dengan mouth protector.
Contoh olahraga yang biasanya membutuhkan alat ini adalah olahraga
dinamis, seperti sepakbola, hoki, baseball, softball, dan lain
sebagainya5. Pengawasan terhadap binatang peliharaan; dan 6.
Edukasi
2.10 PROGNOSIS Trauma pada gigi merupakan salah satu kasus
darurat yang memerlukan penanggulangan yang cepat dan tepat, karena
keadaan ini mempengaruhi prognosis yang akan datang. Maka pada
prinsipnya perawatan trauma gigi anterior ini adalah perawatan
untuk mencegah prognosis yang lebih buruk dan mengurangi rasa sakit
akibat trauma.4Prognosis Dipengaruhi : Adanyaujungakaryang terbuka
Jaringangusiyangintakdankerusakanjaringanperiodontal Kerusakan
jaringan tulang pendukung Fraktur akar
BAB IIIKESIMPULAN
Cedera pada strktur dentoalveolar dapat diakibatkan oleh trauma
secara langsung mengenai gigi atau trauma tidak langsung, biasanya
akibat oklusi yang menutup dengan cepat dan kuat antara gigi-geligi
mandibula ke gigi-geligi maksilla. Cedera dentoalveolar seringkali
melibatkan regio anterior maksila Penyebab tersering cedera
dentoalveolar adalah kecelakaan lalu lintas, olahraga, perkelahian
dan domestic abuse.Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis,
pemeriksaan klinis dan radiologis. Perawatan tergantung pada kasus
dan seringkali melibatkan bidang kedokteran gigi lainnya. Tujuan
perawatan cedera dentoalveolar adalah memperoleh kembali bentuk dan
fungsi normal dari organ pengunyahan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Powers, MP, 1991, Diagnosis and management of Dentoalveolar
Injuries, In, Fonseca RJ, Oral and Maxillofacial Trauma, Volume 1,
WB Saunders Company, Philladelphia. 2. Kaban, LB, 1990, Pediatric
Oral and Maxillofacial Surgery, WB Saunders Company, Philladelphia.
3. Ellis, E III, 2003, Soft Tissue and Dentoalveolar Injuries, In,
Peterson, Contemporary Oral and Maxillofacial Surgery, Third ed.,
Mosby Year Book Inc. St. Louis. 4. Schwenzer, N, and Steinhilber,
1982, Appliances for Immobilization, In, Kruger, E and Schilli,
Oral and Maxillofacial Traumatology, Vol. 1, Quintessence
Publishing Co. 5. Sowray, FH, 1994, Localized Injuries of the Teeth
and Alveolar Process, In. Williams, J, Rowe and Williams
Maxillofacial Injuries, Second Ed. Churchill Livingstone
11