28
BAB 1. PENDAHULUAN
Pembangunan yang pesat di segala bidang berdampak pada tata
kehidupan masyarakat terutama di daerah perkotaan yang memerlukan
penyesuaian. Namun tidak semua anggota masyarakat mampu
menyesuaikan dengan perubahan tersebut. Akibatnya adalah terjadi
berbagai masalah kesehatan jiwa. Perilaku, perasaan dan pikiran
yang luar biasa yang jika tidak ditatalaksana dengan baik dapat
menimbulkan ancaman bagi pasien tersebut maupun orang lain. Selain
karena masalah di atas kegawatdaruratan psikiatri juga dapat
disebabkan oleh akibat dari kondisi medik umum yang menampilkan
gejala-gejala psikiatrik, atau sebagai akibat yang merugikan dari
obat/zat atau intoksikasi maupun reaksi antar beberapa jenis obat.
Krisis psikiatrik lain dapat terjadi jika pasien merupakan korban
dari trauma fisik atau emosi yang berat.
Kedaruratan psikiatri adalah keadaan jiwa seseorang sedemikian
rupa sehingga membahayakan diri atau lingkungannya, termasuk orang
lain dan barang-barang disekitarnya sehingga perlu penanganan
segera. Keadaan gaduh gelisah dapat dimasukkan ke dalam golongan
kedaruratan psikiatrik bukan karena frekuensinya yang tinggi, akan
tetapi karena keadaan ini berbahaya, baik bagi pasien maupun
orang-orang disekitarnya.
Kegawatdaruratan Psikiatri merupakan aplikasi klinis dari
psikiatri pada kondisi darurat. Kondisi ini menuntut intervensi
psikiatri seperti percobaan bunuh diri, penyalahgunaan obat,
depresi, penyakit kejiwaan, kekerasan atau perubahan lainnya pada
perilaku. Pelayanan kegawatdaruratan psikiatri dilakukan oleh para
profesional di bidang kedokteran, ilmu perawatan, psikologi dan
pekerja sosial. Permintaan untuk layanan kegawatdaruratan psikiatri
dengan cepat meningkat di seluruh dunia sejak tahun 1960-an,
terutama di perkotaan.
Penatalaksanaan pada pasien kegawatdaruratan psikiatri sangat
kompleks. Para profesional yang bekerja pada pelayanan
kegawatdaruratan psikiatri umumnya beresiko tinggi mendapatkan
kekerasan akibat keadaan mental pasien mereka. Pasien biasanya
datang atas kemauan pribadi mereka, dianjurkan oleh petugas
kesehatan lainnya, atau tanpa disengaja. Penatalaksanaan pasien
yang menuntut intervensi psikiatri pada umumnya meliputi
stabilisasi krisis dari masalah hidup pasien yang bisa meliputi
gejala atau kekacauan mental baik sifatnya kronis ataupun akut.
Oleh karena itu, kita harus mengetahui paling sedikit beberapa hal
pokok yang berhubungan dengan kegawatdaruratan psikiatri, terutama
keadaan gaduh gelisah, agar kita dapat turut berperan serta dalam
penanganannya. Dan kemampuan dokter untuk mengidentifikasi dan
menangani kondisi ini sangatlah penting.BAB 2. PEMBAHASAN
2.1 Kegawat daruratan Psikiatri
2.1.1 Definisi
Kegawat daruratan psikiatri adalah tiap gangguan dalam berpikir,
perasaan atau tingkah laku yang memerlukan intervensi pengobatan
secepatnya (Kusuma Wijaya, 1997). Suatu kegawat daruratan psikiatri
adalah tiap gangguan dalam pikiran, perasaan atau tindakan dimana
diperlukan intervensi teraupetik yang segera (Kaplan, 1997)
Kondisi pada keadaan kegawatdaruratan psikiatri meliputi
percobaan bunuh diri, ketergantungan obat, intoksikasi alkohol,
depresi akut, adanya delusi, kekerasan, serangan panik, dan
perubahan tingkah laku yang cepat dan signifikan, serta beberapa
kondisi medis lainnya yang mematikan dan muncul dengan gejala
psikiatris umum. Kegawatdaruratan psikiatri ada untuk
mengidentifikasi dan menangani kondisi ini.
2.1.2 Etiologi
1. Yang tidak berhubungan dengan kelainan organis (Psikosis,
mania, histeri dissosiatif, gangguan panic, dsb).
2. Yang berhubungan dengan kelainan organis / Delirium (trauma
kapitis, drug abuse, stroke, kelainan metabolik, sensitivitas
terhadap obat, dsb).
2.1.3 Jenis-Jenis Kegawatdaruratan Psikiatri
a. Percobaan Bunuh Diri(Attampted Suicide)Mulai tahun 2000, WHO
memperkirakan satu juta orang di dunia bunuh diri setiap tahunnya.
Tidak terhitung jumlahnya yang berusaha utnuk bunuh diri. Pelayanan
kegawatdaruratan psikiatri ada untuk menangani gangguan mental yang
dihubungkan dengan suatu resiko bunuh diri. Para petugas kesehatan
di sini diharapkan untuk meramalkan tindakan kekerasan pasien pada
diri sendiri atau pada orang lain. Faktor yang mendorong ke arah
suatu bunuh diri berasal dari sangat banyak sumber, termasuk
psikososial, biologi, hubungan antar pribadi, religius dan
antropologi. Para petugas kesehatan akan menggunakan semua sumber
daya mereka yang tersedia untuk menentukan faktor resiko, membuat
suatu penilaian, dan memutuskan perawatan mana yang diperlukan.
Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan
dapat mengakhiri kehidupan. Perilaku bunuh diri yang tampak pada
seseorang disebabkan karena stress yang tinggi dan kegagalan
mekanisme koping yang digunakan dalam mengatasi masalah (Keliat,
1993). Perilaku bunuh diri atau destruktif diri langsung terjadi
terus menerus dan intensif pada diri kehidupan seseorang. Perilaku
yang tampak adalah berlebihan, gejala atau ucapan verbal ingin
bunuh diri, luka atau nyeri (Rawlin dan Heacock, 1993).
Berikut ini adalah tanda-tanda bunuh diri yang mungkin
terjadi:
1. Bicara mengenai kematian: Bicara tentang keinginan
menghilang, melompat, menembak diri sendiri atau ungkapan
membahayakan diri.
2. Baru saja kehilangan: kematian, perceraian, putus dengan
pacar atau kehilangan pekerjaan, semuanya bisa mengarah pada
pemikiran bunuh diri atau percobaan bunuh diri. Kehilangan lainnya
yang bisa menandakan bunuh diri termasuk hilangnya keyakinan
beragama dan hilangnya ketertarikan pada seseorang atau pada
aktivitas yang sebelumnya dinikmati.
3. Perubahan kepribadian: seseorang mungkin memperlihatkan
tanda-tanda kelelahan, keraguan atau kecemasan yang tidak
biasa.
4. Perubahan perilaku: kurangnya konsentrasi dalam bekerja,
sekolah atau kegiatan sehari-hari, seperti pekerjaan rumah
tangga.
5. Perubahan pola tidur: tidur berlebihan, insomnia dan jenis
gangguan tidur lainnya bisa menjadi tanda-tanda dan gejala bunuh
diri.
6. Perubahan kebiasaan makan: kehilangan nafsu makan atau
bertambahnya nafsu makan. Perubahan lain bisa termasuk penambahan
atau penurunan berat badan.
7. Berkurangnya ketertarikan seksual: perubahan seperti ini bisa
mencakup impotensi, keterlambatan atau ketidakteraturan
menstruasi.
8. Harga diri rendah: gejala bunuh diri ini bisa diperlihatkan
melalui emosi seperti malu, minder atau membenci diri sendiri.
9. Ketakutan atau kehilangan kendali: seseorang khawatir akan
kehilangan jiwanya dan khawatir membahayakan dirinya atau orang
lain.
10. Kurangnya harapan akan masa depan: tanda bunuh diri lainnya
adalah seseorang merasa bahwa tidak ada harapan untuk masa depan
dan segala hal tidak akan pernah bertambah baik.
Beberapa tanda bunuh diri lainnya meliputi pernah mencoba bunuh
diri, memiliki riwayat penyalahgunaan obat atau alkohol, belanja
berlebihan, hiperaktivitas, kegelisahan dan kelesuan.
b. Perilaku Kekerasan
Agresi dapat merupakan hasil dari faktor internal dan eksternal
yang menciptakan suatu pengaktifan pada sistem syaraf yang otonom.
Pengaktifan ini dapat muncul menjadi gejala seperti meninju rahang,
melompat, membanting pintu, menampar, atau menjadi mudah terkejut.
Diperkirakan bahwa 17% pengobatan ke pelayanan kegawatdaruratan
psikiatri berhubungan dengan pembunuhan dan 5% melibatkan bunuh
diri dan pembunuhan. Kekerasan dihubungkan dengan banyak kondisi,
seperti intoksikasi akut, penyakit kejiwaan akut, gangguan
kepribadian psikosis paranoid, gangguan kepribadian anti sosial,
gangguan kepribadian narsistik, dan gangguan kepribadian
borderline. Faktor resiko lainnya yang dapat mendorong ke arah
perilaku kekerasan telah diketahui. Faktor resiko ini misalnya,
kehadiran halusinasi, delusi, kerusakan syaraf, putus sekolah,
belum menikah, kemiskinan, atau laki-laki. Faktor resiko lain
perilaku kekerasan termasuk IQ yang tinggi dan memiliki pengetahuan
tentang gangguan mental. Para petugas kesehatan menilai dengan
lengkap faktor resiko prilaku kekerasan yang ada untuk memberikan
keamanan dan perawatan pada pasien.
Umumnya pasien dengan perilaku kekerasan dibawa dengan paksa ke
Rumah sakit Jiwa. Sering tampak pasien diikat secara tidak
manusiawi disertai bentakan dan pengawalan oleh sejumlah anggota
keluarga bahkan polisi. Perilaku kekerasan adalah perilaku individu
yang dapat membahayakan orang, diri sendiri baik secar fisik,
emosional, dan atau sexua litas ( Nanda, 2005 ). Perilaku kekerasan
atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk
melukai seseorang secara fisik maupun psikologis (Berkowitz,1993
dalam Depkes, 2000). Marah merupakan perasaan jengkel yang timbul
sebagai respon terhadap kecemasan, kebutuhan yang tidak terpenuhi
yang dirasakan sebagai ancaman ( Stuart dan Sunden, 1997 ).
Pengertian Perilaku kekerasan merupakan suatu bentuk ekspresi
kemarahan yang tidak sesuai dimana seseorang melakukan
tindakan-tindakan yang dapat membahayakan/mencederai diri sendiri,
orang lain bahkan dapat merusak lingkungan.
Pada pengkajian awal dapat diketahui alasan utama pasien masuk
kerumah sakit adalah perilaku kekerasan di rumah. Dapat dilakukan
pengkajian dengan cara:
1. Observasi:
a. Muka merah, pandangan tajam, otot tegang, nada suara yang
tinggi, berdebat.
b. Sering pula tampak pasien memaksakan kehendak : merampas
makanan, memukul jika tidak senang
2. Wawancara
Diarahkan pada penyebab marah, perasaan marah, tanda-tanda marah
yang dirasakan pasien. Keliat (2002) mengemukakan bahwa tanda
-tanda marah adalah sebagai berikut :
a. Emosi : tidak adekuat, tidak aman, rasa terganggu, marah
(dendam), jengkel.
b. Fisik : muka merah, pandangan tajam, nafas pendek, keringat,
sakit fisik,penyalahgunaan obat dan tekanan darah.
c. Intelektual : mendominasi, bawel, sarkasme, berdebat,
meremehkan.
d. Spiritual : kemahakuasaan, kebajikan/kebenaran diri,
keraguan, tidakbermoral, kebejatan, kreativitas terhambat.
e. Sosial : menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan,
ejekan dan humor.
Tanda ancaman kekerasan (Kaplan and Sadock, 1997) adalah:
a. Tindakan kekerasan belum lama, termasuk kekerasan terhadap
barang milik.
b. Ancaman verbal atau fisik.
c. Membawa senjata atau benda lain yang dapat digunakan sebagai
senjata(misalnya : garpu, asbak).
d. Agitasi psikomator progresif.
e. Intoksikasi alkohol atau zat lain.
f. Ciri paranoid pada pasien psikotik.
g. Halusinasi dengar dengan perilaku kekerasan tetapi tidak
semua pasienberada pada resiko tinggi.
h. Penyakit otak, global atau dengan temuan lobus fantolis,
lebih jarang padatemuan lobus temporalis (kontroversial).
i. Kegembiraan katatonik.
j. Episode manik tertentu.
k. Episode depresif teragitasi tertentu.
l. Gangguan kepribadian (kekerasan, penyerangan, atau diskontrol
implus).
Gambaran klinis menurut Stuart dan Sundeen (1995) adalah sebagai
berikut:
a. Muka merah
b. Pandangan tajam
c. Otot tegang
d. Nada suara tinggi
e. Berdebat
f. Kadang memaksakan kehendak
Gejala yang muncul :
a. Stress
b. Mengungkapkan secara verbal
c. Menentang
Gambaran klinis menurut Direktorat Kesehatan Jiwa, Direktorat
Jendral Pelayanan Kesehatan Departemen Kesehatan RI (1994) adalah
sebagai berikut :
a. Pasif agresif
1) Sikap suka menghambat
2) Bermalas-malasan
3) Bermuka masam
4) Keras kepala dan pendendam
b. Gejala agresif yang terbuka (tingkah laku agresif)
1) Suka membantah
2) Menolak sikap penjelasan
3) Bicara kasar
4) Cenderung menuntut secara terus-menerus
5) Hiperaktivitas
6) Bertingkah laku kasar disertai kekerasanc. Gaduh/Gelisah
Tanda dan gejala pada pasien yang mengalami gaduh gelisah
diantaranya:
a. Gelisah
b. Mondar-mandir
c. Berteriak-teriak
d. Loncat-loncat
e. Marah-marah
f. Curiga +++
g. Agresif
h. Beringas
i. Agitasi
j. Gembira +++
k. Bernyanyi +++
l. Bicara kacau
m. Mengganggu orang lain
n. Tidak tidur beberapa hari
o. Sulit berkomunikasi
d. Psikosis
Pasien dengan gejala psikosis sering ditemukan di bagian
kegawatdaruratan psikiatri. Menentukan sumber psikosis dapat
menjadi sulit. Kadang pasien masuk ke dalam status psikosis setelah
sebelumnya putus dari perawatan yang direncanakan. Pelayanan
kegawatdaruratan psikiatri tidak akan mampu menyediakan penanganan
jangka panjang untuk pasien jenis ini, cukup dengan istirahat
ringkas dan mengembalikan pasien kepada orang yang menangani kasus
mereka dan/atau memberikan lagi pengobatan psikiatri yang
diperlukan. Suatu kunjungan pasien yang menderita suatu gangguan
mental yang kronis dapat menandakan perubahan dalam lifestyle dari
individu atau suatu pergeseran kondisi medis. Pertimbangan ini
dapat berperan dalam perencanaan perawatan.
Seseorang dapat juga sedang menderita psikosis akut. Kondisi
seperti itu dapat disiapkan untuk diagnosis dengan memperoleh
riwayat psikopatologi pasien, melakukan suatu pengujian status
mental, pelaksanaan pengujian psikologis, perolehan neuroimages,
dan memperoleh pengujian neurofisiologi lain. Berdasarkan ini,
tenaga kesehatan dapat memperoleh suatu diagnosa diferensial dan
menyiapkan pasien untuk perawatan. Seperti pertimbangan penanganan
pasien lainnya, asal psikosis akut dapat sukar ditentukan karena
keadaan mental dari pasien. Bagaimanapun, psikosis akut digolongkan
sebagai keadaan yang memerlukan penanganan darurat yang segera dan
penuh perhatian. Tidak adanya perawatan dan identifikasi dapat
mengakibatkan bunuh diri, pembunuhan, atau kekerasan.
e. Ketergantungan dan Penyalahgunaan Obat
Penyebab umum lain pada penderita dengan gejala psikosis adalah
intoksikasi obat. Gejala akut ini terjadi setelah masa pengamatan
atau penanganan psikofarmakologis yang terbatas. Bagaimanapun
isunya, seperti ketergantungan obat atau penyiksaan, sukar untuk
ditangani di Unit Gawat Darurat. Intoksikasi alkohol akut seperti
halnya bentuk lain penyalahgunaan obat memerlukan intervensi
psikiatri. Bertindak sebagai suatu penekan sistem syaraf pusat,
efek awal alkohol pada umumnya diinginkan dan ditandai oleh banyak
bicara, pusing, dan berkurangnya hambatan sosial. Di samping
pertimbangan konsentrasi lemah, penampilan verbal dan motorik,
pengertian yang mendalam, pertimbangan dan kehilangan memori jangka
pendek yang bisa diakibatkan perubahan tingkah laku yang
menyebabkan luka atau kematian, tingkat alkohol di bawah 60
miligram per deciliter darah pada umumnya tidak mematikan.
Bagaimanapun, individu dengan 200 miligram per deciliter darah
dipertimbangkan menderita intoksikasi dan level konsentrasi pada
400 miligram per deciliter darah bersifat mematikan, menyebabkan
anesthesia yang lengkap dari sistem pernapasan.
Di luar perubahan tingkah laku berbahaya yang terjadi setelah
mengkonsumsi sejumlah alkohol tertentu, intoksikasi idionkrasi bisa
terjadi pada beberapa individu setelah mengkonsumsi sedikit
alkohol. Kelainan ini pada umumnya terdiri dari kebingungan,
disorientasi, delusi dan halusinasi visual, agresi meningkat,
amukan, hasutan, kekerasan. Pecandu minuman alkohol yang kronis
dapat menderita halusinasi, dimana konsumsi yang diperpanjang dapat
mencetuskan halusinasi auditorik. Peristiwa seperti ini dapat
terjadi untuk beberapa jam atau seminggu penuh. Antipsikotik
merupakan obat yang sering digunakan untuk menangani gejala
ini.
Klinikus harus menentukan penggunaan obat, dosis, dan waktu
penggunaan untuk menentukan perawatan jangka pendek dan panjang
yang diperlukan. Perawatan yang sesuai harus pula ditentukan. Hal
ini meliputi fasilitas pasien rawat jalan, kediaman pusat
perawatan, atau rumah sakit. Perawatan segera dan jangka panjang
ditentukan oleh keseriusan dan ketergantungan fisiologis yang
ditimbulkan dari penyalahgunaan obat.f. Reaksi dan Interaksi
Obat
Overdosis, interaksi obat, dan reaksi berbahaya dari pengobatan
psikiatris, terutama antipsikotik, dimasukkan ke dalam
kegawatdaruratan psikiatri. Neuroleptic malignant syndrome adalah
komplikasi mematikan dari generasi pertama atau kedua obat
antipsikotik. Jika tidak ditangani, neuroleptic malignant syndrome
dapat mengakibatkan demam, kekakuan otot, kebingungan, tanda vital
tidak stabil, atau bahkan kematian. Sindrom serotonin dapat terjadi
ketika monoamine oxidase inhibitor bercampur dengan buspirone.
Gejala sindrom serotonin yang parah meliputi hyperthermia, mata
gelap, dan tachycardia yang boleh mendorong kearah shock. Sering
pasien dengan gejala medis umum yang parah, seperti tanda vital
yang tidak stabil, akan ditransfer ke unit gawat darurat umum atau
pelayanan medis untuk meningkatkan monitoring.
g. Gangguan kepribadian
Gangguan yang termanifestasi pada kelainan fungsi pada area
kognisi, afek, fungsi interpersonal dan impuls kontrol dapat
digolongkan sebagai gangguan kepribadian. Pasien yang menderita
gangguan kepribadian pada umumnya tidak akan mengeluh tentang
gejala gangguan mereka. Pasien yang menderita kegawatdaruratan dari
gangguan kepribadian dapat menunjukkan perilaku curiga, psikosis,
atau delusi. Pasien rawat jalan yang dibandingkan dengan populasi
yang umum, prevalensi dari individu yang menderita gangguan
kepribadian yang dirawat di rumah sakit pada umumnya 7-25% lebih
tinggi. Klinikus bekerjasama dengan pasien untuk menstabilkan
individu terkait kebutuhan dasar mereka.
h. Kecemasan
Pasien yang menderita kasus kecemasan yang ekstrim boleh mencari
perawatan ketika semua sistem pendukung telah dikerahkan dan mereka
tidak mampu untuk menghilangkan kecemasan itu. Rasa cemas bisa
hadir lewat jalan yang berbeda dari suatu dasar penyakit medis atau
gangguan psikiatri, suatu gangguan fungsional sekunder dari
gangguan psikiatri yang lain, dari suatu gangguan psikiatri utama
seperti gangguan panik atau gangguan cemas umum, atau sebagai hasil
stress dari kondisi seperti gangguan penyesuaian atau gangguan
stress pasca trauma. Pada umumnya langkah awal yang dilakukan
klinikus adalah menyediakan sebuah " pelabuhan aman" untuk pasien
sehingga proses penilaian dan perawatan dapat cukup terfasilitasi.
Inisiasi perawatan untuk suasana hati dan gangguan cemas sangat
penting karena pasien yang menderita gangguan kecemasan mempunyai
resiko tinggi kematian prematur.
i. Bencana
Bencana alami dan hasil perbuatan manusia dapat menyebabkan
stress psikologis yang parah pada korban peristiwa tersebut.
Manajemen kegawatdaruratan sering meliputi layanan kegawatdaruratan
psikiatri yang dirancang untuk membantu korban mengatasi situasi
tersebut. Dampak bencana dapat menyebabkan orang untuk merasa
shock, merasa panik, atau kebingungan. Jam, hari, bulan dan bahkan
tahun setelah suatu bencana, individu dapat mengalami mimpi buruk,
kelesuan, penarikan diri, memori memburuk, kelelahan, hilangnya
selera, kesulitan untuk tidur, depresi, lekas marah, atau serangan
panik. Dalam kaitan dengan lingkungan yang penuh resiko dan
kekacauan suatu bencana, para tenaga kesehatan menilai dan
memperlakukan pasien secepat mungkin. Kecuali jika suatu kondisi
sedang mengancam hidup pasien atau orang lain di sekitar pasien,
pertimbangan dasar penyelamatan diri dan medis lainnya diatur dulu.
Segera setelah itu klinikus boleh mengijinkan individu untuk
menukar udara agar melegakan perasaan pengasingan, sifat mudah kena
luka dan ketakberdayaan. Bergantung atas skala dari bencana, banyak
korban menderita penyakit gangguan stress pasca trauma baik yang
akut ataupun kronis. Pasien yang menderita gangguan ini sering
datang ke rumah sakit jiwa untuk menstabilkan diri.j. Pelecehan
Peristiwa fisik, perkosaan atau pelecehan seksual dapat
mengakibatkan hasil yang berbahaya kepada korban dari tindakan
kriminal. Korban dapat menderita kecemasan yang ekstrim, ketakutan,
ketidakberdayaan, kebingungan, gangguan makan atau tidur,
permusuhan, rasa bersalah dan malu. Penanganan pada umumnya
meliputi pertimbangan psikologis, medis, dan undang-undang yang
sah. Bergantung pada ketentuan hukum di daerah, para tenaga
kesehatan diperlukan untuk melaporkan aktivitas kriminal kepada
suatu kepolisian. Tenaga kesehatan pada umumnya mengumpulkan dan
mengidentifikasi data sepanjang penilaian awal dan menunjuk pasien
yang jika perlu akan menerima perawatan medis.
2.1.4 PenatalaksanaanPenanganan di pelayanan kegawatdaruratan
psikiatri berprinsip untuk menstabilkan kondisi kehidupan. Ketika
distabilkan, pasien yang menderita kondisi kronis dapat dipindahkan
ke tempat yang menyediakan rehabilisasi psikiatri jangka panjang.
Bentuk yang berbeda dari pengobatan psikiatri, psikoterapi, atau
terapi ECT dapat digunakan dalam penanganan kegawatdaruratan.
Pengenalan dan keefektifan dari pengobatan psikiatri sebagai
pilihan pengobatan di psikiatri telah mengurangi pemanfaatan
pengekangan fisik pada kasus kegawatdaruratan psikiatri, dengan
mengurangi gejala berbahaya sakit jiwa atau intoksikasi obat
2.1.5 Tempat Rujukan Pelayanan Kegawatdaruratan Psikiatri
Tempat rujukan layanan kegawatdaruratan psikiatri biasanya
dikenal sebagai Psychiatric Emergency Service, Psychiatric
Emergency Care Centres, atau Comprehensive Psychiatric Emergency
Programs. Tenaga kesehatan terdiri dari berbagai disiplin, mencakup
kedokteran, ilmu perawatan, psikologi, dan karya sosial di samping
psikiater. Untuk fasilitas, kadang dirawat inap di rumah sakit
jiwa, bangsal jiwa, atau unit gawat darurat, yang menyediakan
perawatan segera bagi pasien selama 24 jam. Di dalam lingkungan
yang terlindungi, pelayanan kegawatdaruratan psikiatri diberikan
untuk memperoleh suatu kejelasan diagnostik, menemukan solusi
alternatif yang sesuai untuk pasien, dan untuk memberikan
penanganan pada pasien dalam jangka waktu tertentu. Bahkan
diagnosis tepatnya merupakan suatu prioritas sekunder dibandingkan
dengan intervensi pada keadaan kritis.
Fungsi pelayanan kegawatdaruratan psikiatri adalah menilai
permasalahan pasien, memberikan perawatan jangka pendek, memberikan
pengawasan selama 24 jam , mengerahkan tim untuk menyelesaikan
intervensi pada tempat kediaman pasien, menggunakan layanan
manajemen keadaan darurat untuk mencegah krisis lebih lanjut,
memberikan peringatan pada pasien rawat inap dan pasien rawat
jalan, dan menyediakan pelayanan konseling lewat telepon.
2.1.6 Dasar Hukum Pelayanan Kedaruratan Psikiatri
Penaturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelayanan
gawat darurat adalah UU No 23/1992 tentang Kesehatan, Peraturan
Menteri Kesehatan No.585/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis,
dan Peraturan Menteri Kesehatan No.159b/1988 tentang Rumah
Sakit.
Dipandang dan segi hukum dan medikolegal, pelayanan gawat
darurat berbeda dengan pelayanan non-gawat darurat karena memiliki
karakteristik khusus. Beberapa isu khusus dalam pelayanan gawat
darurat membutuhkan pengaturan hukum yang khusus dan akan
menimbulkan hubungan hukum yang berbeda dengan keadaan bukan gawat
darurat.
Ketentuan tentang pemberian pertolongan dalam keadaan darurat
telah tegas diatur dalam pasal 5l UUNo.29/2004 tentang Praktik
Kedokteran, di mana seorang dokter wajib melakukan pertolongan
darurat atas dasar perikemanusiaan. Selanjutnya, walaupun dalam UU
No.23/1992 tentang Kesehatan tidak disebutkan istilah pelayanan
gawat darurat namun secara tersirat upaya penyelenggaraan pelayanan
tersebut sebenamya merupakan hak setiap orang untuk memperoleh
derajat kesehatan yang optimal (pasal 4) Selanjutnya pasal 7
mengatur bahwa Pemerintah bertugas menyelenggarakan upaya kesehatan
yang merata dan terjangkau oleh masyarakat termasuk fakir miskin,
orang terlantar dan kurang mampu. Tentunya upaya ini menyangkut
pula pelayanan gawat darurat, baik yang diselenggarakan oleh
pemerintah maupun masyarakat (swasta).
Rumah sakit di Indonesia memiliki kewajiban untuk
menyelenggarakan pelayanan gawat darurat 24 jam sehari sebagai
salah satu persyaratan ijin rumah sakit. Dalam pelayanan gawat
darurat tidak diperkenankan untuk meminta uang muka sebagai
persyaratan pemberian pelayanan.
Dalam penanggulangan pasien gawat darurat dikenal pelayanan fase
pra-rumah sakit dan fase rumah sakit. Pengaturan pelayanan gawat
darurat untuk fase rumah sakit telah terdapat dalam Peraturan
Menteri Kesehatan No.159b/1988 tentang Rumah Sakit, di mana dalam
pasal 23 telah disebutkan kewajiban rumah sakit untuk
menyelenggarakan pelayanan gawat darurat selama 24 jam per hari
Untuk fase pra-rumah sakit belum ada pengaturan yang spesifik.
Secara umum ketentuan yang dapat dipakai sebagai landasan hukum
adalah pasal 7 UU No.23/1992 tentang Kesehatan, yang harus
dilanjutkan dengan pengaturan yang spesifik untuk pelayanan gawat
darurat fase pra-rumah sakit Bentuk peraturan tersebut seyogyanya
adalah peraturan pemerintah karena menyangkut berbagai instansi di
luar sektor kesehatan.
Pengertian tenaga kesehatan diatur dalam pasal 1 butir 3 UU
No.23/1992 tentang Kesehatan sebagai berikut: tenaga kesehatan
adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan
serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan
di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan
untuk melakukan upaya kesehatan. Melihat ketentuan tersebut nampak
bahwa profesi kesehatan memerlukan kompetensi tertentu dan
kewenangan khusus karena tindakan yang dilakukan mengandung risiko
yang tidak kecil.
Pengaturan tindakan medis secara umum dalam UU No.23/1992
tentang Kesehatan dapat dilihat dalam pasal 32 ayat (4) yang
menyatakan bahwa pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan
berdasarkan ilmu kedokteran dan ilmu keperawatan hanya dapat
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan untuk itu . Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk
melindungi masyarakat dari tindakan seseorang yang tidak mempunyai
keahlian dan kewenangan untuk melakukan pengobatan/perawatan,
sehingga akibat yang dapat merugikan atau membahayakan terhadap
kesehatan pasien dapat dihindari, khususnya tindakan medis yang
memelakukanngandung risiko.
Pengaturan kewenangan tenaga kesehatan dalam melakukan tindakan
medik diatur dalam pasal 50 UUNo.23/1992 tentang Kesehatan yang
merumuskan bahwa tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan atau
melakukan kegiatan kesehatan sesuai dengan bidang keahlian dan atau
kewenangan tenaga kesehatan yang bersangkutan. Pengaturan di atas
menyangkut pelayanan gawat darurat pada fase di rumah sakit, di
mana pada dasarnya setiap dokter memiliki kewenangan untuk
melakukan berbagai tindakan medik termasuk tindakan spesifik dalam
keadaan gawat darurat. Dalam hal pertolongan tersebut dilakukan
oleh tenaga kesehatan maka yang bersangkutan harus
menemelakukanrapkan standar profesi sesuai dengan situasi (gawat
darurat) saat itu.
Pelayanan gawat darurat fase pra-rumah sakit umumnya tindakan
pertolongan pertama dilakukan oleh masyarakat awam baik yang tidak
terlatih maupun yang teriatih di bidang medis. Dalam hal itu
ketentuan perihal kewenangan untuk melakukan tindakan medis dalam
undang-undang kesehatan seperti di atas tidak akan diterapkan,
karena masyarakat melakukan hal itu dengan sukarela dan dengan
itikad yang baik. Selain itu mereka tidak dapat disebut sebagai
tenaga kesehatan karena pekerjaan utamanya bukan di bidang
kesehatan.
Jika tindakan fase pra-rumah sakit dilaksanakan oleh tenaga
terampil yang telah mendapat pendidikan khusus di bidang kedokteran
gawat darurat dan yang memang tugasnya di bidang ini (misainya
petugas 118), maka tanggungjawab hukumnya tidak berbeda dengan
tenaga kesehatan di rumah sakit. Penentuan ada tidaknya kelalaian
dilakukan dengan membandingkan keterampilan tindakannya dengan
tenaga yang serupa.
Hal-hal yang disoroti hukum dalam pelayanan gawat darurat dapat
meliputi hubungan hukum dalam pelayanan gawat darurat dan
pembiayaan pelayanan gawat darurat Karena secara yuridis keadaan
gawat darurat cenderung menimbulkan privilege tertentu bagi tenaga
kesehatan maka perlu ditegaskan pengertian gawat darurat. Menurut
The American Hospital Association (AHA) pengertian gawat darurat
adalah An emergency is any condition that in the opinion of the
patient, his family, or whoever assumes the responsibility of
bringing the patient to the hospital-remelakukanquires immediate
medical attention. This condition continues until a determination
has been made by a health care professional that the patients life
or well-being is not threatened.
Adakalanya pasien untuk menempatkan dirinya dalam keadaan gawat
Dalam hal pertanggungjawaban hukum, bila pihak pasien menggugat
tenaga kesehatan karena diduga terdapat kekeliruan dalam penegakan
diagnosis atau pemberian terapi maka pihak pasien harus membuktikan
bahwa hanya kekeliruan itulah yang menjadi penyebab
kerugiannya/cacat (proximate cause). Bila tuduhan kelalaian
tersebut dilamelakukankukan dalam situasi gawat darurat maka perlu
dipertimbangkan faktor kondisi dan situasi saat peristiwa tersebut
terjadi. Jadi, tepat atau tidaknya tindakan tenaga kesehatan perlu
dibandingkan dengan tenaga kesehatan yang berkuamelakukanlifikasi
sama, pada pada situasi dan kondisi yang sama pula.
Setiap tindakan medis harus mendapatkan persetujuan dari pasien
(informed consent). Hal itu telah diatur sebagai hak pasien dalam
UU No.23/1992 tentang Kesehatan pasal 53 ayat 2 dan Peraturan
Menteri Kesehatan No.585/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis.
Dalam keadaan gawat darurat di mana harus segera dilakukan tindakan
medis pada pasien yang tidak sadar dan tidak didampingi pasien,
tidak perLu persetujuan dari siapapun (pasal 11 Peraturan Menteri
Kesehatan No.585/1989). Dalam hal persetujuan tersbut dapat
diperoleh dalam bentuk tertulis, maka lembar persetujuan tersebut
harus disimpan dalam berkas rekam medis.
2.1 Gaduh Gelisah
2.1.1 Definisi
Keadaan gaduh gelisah atau agitasi adalah peningkatan aktivitas
mental dan motorik seseorang sedemikian rupa sehingga sukar
dikendalikan.
2.1.2 Gejala
Keadaan gaduh gelisah biasanya timbul akut atau subakut. Gejala
utama adalah psikomotorik yang sangat meningkat. Orang itu banyak
sekali berbicara, berjalan mondar-mandir, tidak jarang juga
berlari-lari dan meloncat-loncat bila keadaannya berat. Gerakan
tangan, kaki, mimik dan suaranya cepat dan hebat. Muka terlihat
bingung, marah-marah atau takut. Ekspresi ini mencerminkan gangguan
afek-emosi dan proses pikir yang tidak realistik lagi. Jalan
pikiran biasanya cepat dan sering terdapat waham curiga. Tidak
jarang juga timbul halusinasi pengelihatan (terutama pada sindrom
otak organik akut) atau halusinasi pendengaran (terutama pada
skizofrenia). (Maramis,2009)
Karena gangguan berpikir ini, serta waham curiga dan halusinasi,
maka pasien menjadi sangat bingung, gelisah dan gaduh. Ia bersikap
bermusuhan dan mungkin menjadi berbahaya bagi dirinya sendiri dan
lingkungannya. Ia dapat melukai dirinya sendiri atau mengalami
kecelakaan maut dalam kegelisahannya yang hebat itu. Jika waham
curiganya keras atau halusinasinya sangat menakutkan, maka ia dapat
menyerang orang lain atau merusak barang-barang disekitarnya.
(Maramis,2009)
Bila orang dalam keadaan gaduh gelisah tidak dihentikan atau
dibuat tidak berdaya oleh orang-orang disekitarnya untuk
mengamankan si pasien maupun lingkungannya, maka ia akan kehabisan
tenaga dengan segala akibatnya atau ia meninggal karena kecelakaan.
(Maramis,2009)
Tergntung pada gangguan primer, maka kesadaran dapat menurun
secara kuantitatif (tidak kompos mentis lagi) dengan amnesia
sesudahnya (seperti pada sindrom otak organic akut) atau kesadaran
itu tidak menurun, akan tetapi berubah secara kualitatif. Sehingga
individu dalam keadaan gaduh gelisah pasti kehilangan kontak dengan
kenyataan, dimana proses berpikir, afek-emosi, psikomotor dan
kemauannya sudah tidak sesuai lagi dengan realitas.
(Maramis,2009)
Psikomotor meningkat
a. Banyak bicara
b. Mondar-mandir
c. Lari-lari
d. Loncat-loncat
e. Destruktif
f. Bingung
Afek/emosi excitement
a. Marah-marah
b. Mengancam
c. Agresif
d. Ketakutan
e. Euphoria
2.1.3 Etiologi
Dapat disebabkan oleh :
1. Psikosis ( fungsional maupun organik ).
Psikosis Fungsional : Psikosis reaktif, Skoizofrenia, manik
depresif, amok dsb).
Psikosis Organik : Delirium, demensia, psikosis berhub.dg zat,
psikosiskrn ggg metabolik, psikosis krn trauma kepala maupun
infeksi pada otak, dsb).
2. Kecemasan Akut dengan/tanpa Panik.
3. Kebingungan post konvulsi.
4. Reaksi disosiasi & keadaan fugue.
5. Ledakan amarah/temper tantrum.
Keadaan gaduh gelisah bukanlah suatu diagnosis dalam arti kata
yang sesungguhnya, akan tetapi hanya menunjuk kepada suatu keadaan
tertentu. Biasanya keadaan gaduh gelisah merupakan manifestasi
salah satu jenis psikosis.
a. Psikosis karena gangguan mental organic (delirium)
Pasien dengan keadaan gaduh-gelisah karena delirium menunjukkan
kesadaran yang menurun. Istilah sindrom otak organic menunjuk
kepada keadaan gangguan fungsi otak karena suatu penyakit badaniah.
Penyakit badaniah itu yang menyebabkan gangguan fungsi otak.
Penyebab itu mungkin terletak di dalam tengkorak atau otak sendiri
dan karenanya menimbulkan kelainan patologi-anatomis ( misalnya
meningoensefalitis, gangguan pembuluh darah otak, neoplasma
intracranial). Mungkin juga terletak di luar otak (misalnya tifus
abdominalis, pneumonia, malaria, uremia, keracunan
atropine/kecubung atau alcohol) dan hanya mengakibatkan gangguan
fungsi otak dengan manifestasi sebagai psikosis atau keadaan gaduh
gelisah tetapi tidak ditemukan kelainan pada otak sendiri.
b. Skizofrenia dan gangguan skizotipal
Bila kesadaran tidak menurun, maka biasanya keadaan gaduh
gelisah merupakan manifestasi suatu psikosis yang tidak berhubungan
dengan suatu penyakit badaniah seperti pada gangguan mental
organik.
c. Gangguan psikotik akut dan sementara
Timbul mendadak tidak lama sesudah terjadi stress psikologis
yang dirasakan hebat sekali oleh individu. Stress ini disebabkan
oleh suatu frustasi atau konflik dari dalam ataupun dari luar
individu yang mendadak, jelas dan tiba-tiba, misalnya kematian
seseorang ataupun bencana.
d. Skizofrenia
Bila kesadaran tidak menurun dan terdapat inkoherensi serta afek
emosi yang inadekuat, tanpa frustasi atau konflik yang jelas.
Diagnosis diperkuat apabila terdapat disharmoni antara beberapa
aspek kepribadian seperti proses berpikir, afek-emosi, psikomotorik
dan kemauan. Yang paling sering adalah episode skizofrenia akut dan
skizofrenia jenis gaduh gelisah katatonik.
e. Psikosis bipolar
Pada psikosis bipolar jenis mania tidak terdapat inkoherensi
dalam arti kata yang sebenarnya, tetapi pasien memperlihatkan jalan
pikiran yang meloncat-loncat atau melayang. Dia merasa gembira luar
biasa (efori), psikomotor meningkat, logorea dan lekas
tersinggung/marah.
f. Amok
Yaitu keadaan gaduh gelisah yang timbul mendadak dan dipengaruhi
oleh factor sosio budaya. Efek malu (pengaruh sosiobudaya) memegang
peranan penting. Biasanya seorang pria, sesudah periode meditasi
atau suatu tindakan ritualistic, maka mendadak ia bisa bangkit dan
mulai mengamuk. Ia menjadi sangat agresif dan destruktif.
Kesadarannya menurun atau berkabut, lalu diikuti keadaan amnesia
total atau sebagian.
2.1.4 Penanganan
Pasien dalam episode kekerasan tidak memperhatikan campur tangan
rasional dari orang lain dan kemungkinan tidak mendengarkan mereka.
Jika memiliki senjata, pasien tersebut secara khusus berbahaya dan
mampu untuk membunuh. Pasien tersebut harus dilucuti senjatanya dan
kalau bisa tanpa membahayakan pasien tersebut. Hal ini sebaiknya
dilakukan oleh aparat keamanan yang terlatih.
Pasien harus ditempatkan dalam lingkungan yang aman. Beberapa
pasien perlu dipindahkan ke unit forensik karena beratnya potensi
kekerasan mereka. Medikasi yang spesifik diberikan jika
diindikasikan, kecuali diperlukan tindakan non spesifik untuk
memodifikasi perilaku sampai penyebabanya dipastikan dan terapi
psesifik dimulai.
Pemakaian medikasi adalah dikontraindikasikan pasien yang
teragitasi akut yang menderita cidera kepala, karena medikasi dapat
membingungkan gambaran klinis. Pada umumnya, haloperidol
intramuskular (IM) adalah salah satu terapi gawat darurat yang
paling bermanfaat untuk pasien psikotik yang melakukan
kekerasan.
Terapi elektrokonvulsif (ECT) juga telah digunakan dalam ruang
gawat darurat untuk mengendalikan kekerasan psikotik. Satu atau
beberapa kali ECT dalam beberapa jam biasanya mengakhiri suatu
episode kekerasan psikotik.
PsikoterapiDalam intervensi psikiatri gawat darurat, semua usaha
dilakukan untuk membantu pasien mempertahankan harga dirinya.
Empati adalah penting untuk penyembuhan pasien psikiatri.
Pengetahuan yang diperlukan adalah bagaimana biogenetik,
situasional, perkembangan dan eksistensial berkumpul pada satu
titik dalam riwayat penyakit untuk menciptakan kegawat daruratan
psikiatri adalah seruppa untuk kematangan keterampilan pada dokter
psikiatri.
Untuk keadaan kegawatdaruratan psikiatri, diperlukan lebih dari
satu orang psikiater. Dan tidak ada prosedur yang baku untuk setiap
orang, karena masing-masing orang memiliki kerentanan yang berbeda
dan proses psikoterapi yang berbeda.
FarmakoterapiIndikasi utama untuk pemakaian medikasi psikotropik
diruang gawat darurat adalah perilaku kekerasan atau menyerang,
kecemasan atau panik yang masif, dan reaksi ekstrapiramidalis,
seperti distonia dan akathisia sebagai efek samping dari obat
psikiatri. Suatu bentuk yang jarang dari distonia adalah
laringospame, dan dokter psikiatri harus siap untuk mempertahankan
jalan nafas yang terbuka dengan intubasi jika diperlukan.
Orang yang paranoid atau dalam keadaan luapan katatonik
memerlukan trankuilisasi. Ledakan kekerasan yang episodik berespon
terhadap lithium (Eskalith), penghambat-beta, dan carbamazepine
(Tegretol). Jika riwayat penyakit mengarahkan suatu gangguan
kejang, penelitian klinis dilakukan untuk menegakkan diagnosis, dan
suatu pemeriksaan dilakukan untuk memastikan penyebabnya. Jika
temuan adalah positif, antikonvulsan adalah dimulai, atau dilakukan
pembedahan yang sesuai (sebagai contohnya, pada massa serebral).
Untuk intoksikasi akibat zat rekreasional, dilakukan tindakan
konservatif mungkin adekuat. Pada beberapa keadaan, obat-obat
seperti thiothixene (Navane) dan Haloperidol (Haldol), 5-10 mg
setiap setengah sampai satu jam diperlukan sampai pasien
distabilkan. Benzodiazepine digunakan sebagai pengganti atau
sebagai tambahan antipsikotik (untuk menurunkan dosis
antipsikotik). Jika obat reaksional memiliki sifat antikolinergik
yang kuat, maka benzodiazepine lebih tepat dibandingkan
antipsikotik. Orang dengan respon alergik atau menyimpang terhadap
antipsikotik atau benzodiazepine diobati dengan sodium amobarbital
(Amytal) (sebagai contohnya, 130 mg oral atau IM), paraldehyde,
atau diphenhydramine (Benadril, 50 sampai 100 mg oral atau IM).
Pasien yang melakukan kekerasan dan melawan paling efektif
ditenangkan dengan sedatif atau antipsikotik yang sesuai. Diazepam
(Valium), 5-10 mg, atau lorazepam (Ativan), 2-4 mg, dapat diberikan
intravena (IV) perlahan-lahan sampai 2 menit. Klinisi harus
memberikan medikasi IV dengan sangat berhati-hati, sehingga henti
pernafasan tidak terjadi. Pasien yang memerlukan medikasi IM dapat
disedasi dengan haloperidol, 5-10 mg IM, atau dengan chlorpromazine
(Thorazine), 25 mg IM. Jika kemarahan disebabkan oleh alkohol atau
sebagai bagian dari gangguan psikomotor pascakejang, tidur yang
ditimbulkan oleh medikasi IV dengan jumlah relatif kecil dapat
berlangsung selama berjam-jam. Saat terjaga, pasien seringkali
sepenuhnya terjaga dan rasonal dan biasanya memiliki amnesia
lengkap untuk episode kekerasan.
Jika kemarahan adalah bagian dari proses psikotik yang sedang
berlangsung dan kembali setelah medikasi IV menghilang, medikasi
kontinu dapat diberikan. Kadang-kadang lebih baik menggunakan dosis
IM atau oral kecil dengan interval sampai 1 jamsebagai contohnya,
Haloperidol 2-5 mg, diazepam 10 mgsampai pasien terkendali
dibandingkan dengan menggunakan dosis besar pada awalnya dan
menghentikannya dengan pasien yang mengalami overmedikasi. Saat
perilaku pasien yang terganggu telah dikendalikan, dosis yang
semakin kecil dan lebih jarang dapat diberikan. Selama terapi
pendahuluan, tekanan darah pasien dan tanda vital lainnya harus
dimonitor.
Transkuilisasi cepat.
Medikasi antipsikotik dapat diberikan dalam cara cepat dengan
interval 30-60 menit untuk mencapai hasil terapetik yang secepat
mungkin. Prosedur ini bermanfaat bagi pasien yang teragitasi dan
pasien yang dalam keadaan tereksitasi. Obat yang dipilih untuk
trankuilisasi cepat adalah haloperidol dan antipsikotik potensi
tinggi lainnya. Pada orang dewasa 5-10 mg Haloperidol peroral atau
IM dan diulangi dalam 20-30 menit sampai pasien menjadi tenang.
Beberapa pasien mungkin mengalami gejala ekstrapiramidal ringan
dalam 24 jan pertama setelah transkuilisasi cepat. Walaupun keadaan
ini jarang, tetapi dokter psikiatri harus bisa mengatasinya. Dan
keadaan ini biasanya terjadi sebelum diberikan dosis total 50 mg.
Tujuan dari pemberian ini bukanlah untuk proses sedasi atau
somnolensi. Tetapi agar pasien mampu bekerja sama dalam proses
pemeriksaan dan dapat memeberikan penjelasan tentang perilaku
teragitasi. Pasien yang teragitasi atau panik dapat diobati dengan
dosis kecil lorazepam, 2-4 mg IV atau IM yang dapat diulangi jika
diperlukan dalam 20-30 menit sampai pasien ditenagkan
Kegawatan ekstrapiramidal berespon terhadap benztropine
(Cogetin) 2 mg peroral atau IM, atau diphenhydramine 50 mg IM atau
IV. Beberapa pasien berespon terhadap diazepam 5-10 mg peroral atu
IV.
PengikatanPengikatan digunakan jika pasien sangat berbahaya bagi
dirinya sendiri atau orang lain karena memiliki ancaman yang sangat
parah yang tidak dapat dikendalikan dengan cara lain. Pasien dapat
diikat secara sementara untuk mendapatkan medikasi atau untuk
periode yang lama jika medikasi tidak dapat digunakan. Paling
sering, pasien yang diikat menjadi tenang setelah beberapa waktu.
Pada tingkat psikodinamika, pasien tersebut mungkin menerima
pengendalian impuls yang diberikan oleh pengikatan.
Fiksasi adalah upaya yg dilakukan petugas untuk membatasi
perilaku pasien supaya tidak mencedarai diri sendiri maupun orang
lain.
Fiksasi dapat dilakukan dengan 3 cara :
1) Fiksasi Psikologis : menarik perhatian pasien dg melakukan
penerimaan yg menyenangkan, memberi perhatian terhadap masalahnya,
mencoba menenteramkan, atau memberi solusi sementara. Dalam hal ini
seluruh perhatian pasien ditarik oleh petugas sehingga melupakan
kegelisahannya.
2) Fiksasi Farmakologis/ Medikasional : dengan pemberian
obat-obatan yg berefek menenangkan atau Sedatif-Hipnotik.
3) Fiksasi Fisik/Mekanis : dengan melakukan pengikatan atau
memasukkan dalam ruang Isolasi (Isolasi/Seclution)
Fiksasi mekanis pada pasien gaduh gelisah:
a. Fiksasi digunakan untuk penjagaan/perawatan pasien. agar
jangan melukai diri sendiri, menyerang orang lain atau merusak
barang.
b. Harus dilakukan dengan mengingat, kenyamanan pasien tak
terganggu, pemberian makanan & obat tetap dapat
berlangsung.
c. Penjelasan kepada pasien penanggung jawab pasien
d. Seharusnya memakai alat yang telah disiapkan secara standar
(Pengikat kulit yang paling aman/bukan tali).Metode Fiksasi/
pengikatan:
a. Gunakan petugas terlatih sebanyak 3 5 orang.
b. Jelaskan pada pasien meengapa hrs diikat.
c. Seorang petugas hrs selalu terlihat pasien dan menenteramkan
untuk menghilangkan rasa takut, ketidakberdayaan & hilangnya
kendali pasien
d. Pasien diikat dg tungkai terpisah, satu lengan diikat di satu
sisi & lengan lain di atas kepala.
e. Pengikatan harus dilakukan sedemikian rupa shg cairan IV
dapat diberikan jika perlu.
f. Kepala pasien agak ditinggikan untuk menurunkan perasaan
rentan & menghindari kemungkinan aspirasi.
g. Pengikatan harus diperiksa berkala demi keamanan &
kenyamanan pasien
h. Setelah pasien diikat, dimulai intervensi terapi.
i. Setelah pasien terkendali, satu ikatan sekali waktu hrs
dilepas dg intervel 5 menit, sampai pasien hanya memiliki dua
ikatan (di kaki). Ke dua ikatan lainnya harus dilepas
bersamaan.
j. Selalu mencatat dengan lengkap alasan pengikatan, perjalanan
terapi & respon pasien terhadap terapi selama pengikatan.BAB 3.
KESIMPULAN1. Gaduh gelisah merupakan salah satu dari kegawat
daruratan dalam bidang psikiatri, sehingga perlu penanganan
secepatnya2. Penyebab gaduh gelisah terdapat lima macam yakni
a. Psikosis ( fungsional maupun organik ).
Psikosis Fungsional : Psikosis reaktif, Skoizofrenia, manik
depresif, amok dsb).
Psikosis Organik : Delirium, demensia, psikosis berhub.dg zat,
psikosiskrn ggg metabolik, psikosis krn trauma kepala maupun
infeksi pada otak, dsb).
b. Kecemasan Akut dengan/tanpa Panik.
c. Kebingungan post konvulsi.
d. Reaksi disosiasi & keadaan fugue.
e. Ledakan amarah/temper tantrum.
3. Penanganan gaduh gelisah bisa melalui farmakoterapi maupun
psikoterapi. Psikoterapi dilakukan untuk membantu pasien
mempertahankan harga dirinya, penangannya sangat individualis.
Farmakoterapi pada orang dewasa 5-10 mg Haloperidol peroral atau IM
dan diulangi dalam 20-30 menit sampai pasien menjadi tenang.DAFTAR
PUSTAKA
http://astaqauliyah.com/2006/12/falsafah-dasar-kegawatdaruratan/trackback/
http://www.lintasberita.com/Lifestyle/Kesehatan/tahukah-anda-tanda-tanda-jika-orang-ingin-bunuh-diri-
Kaplan dan Sadock. 1997. Sinopsis Psikiatri, Edisi 7, Jilid 1
dan 2. Jakarta: Bina Rupa Aksara.
Maramis. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya :
Airlangga University Press.