1 BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang. Menjadi tua adalah suatu proses alamiah yang berkesinambungan, terjadi terus menerus sejak seorang lahir ke dunia. Karena tidak terjadi secara tiba-tiba, mass tua dapat direncanakan dan ditata sesuai keinginan. Memang disadari ada beberapa ancaman yang mungkin dihadapi oleh para lanjut usia, dalam area organik-biologik, psiko-edukatif dan sosio-ekonomik. Namun ancaman itu sedikit banyak dapat dikurangi, terlebih-lebih bila individu bersangkutan memahami dan dapat mengantisipasi kemungkinan yang tidak dikehendaki. Pemeliharaan kesehatan tubuh dan kepribadian, dalam hal kepribadian : khususnya kemampuan memecahkan konflik secara efektif dan baik, dapat merupakan prasyarat suatu kehidupan di hari tua yang berbahagia. Sementara itu disadari bahwa kualitas para lanjut usia banyak ditentukan oleh nilai sosial dan budaya masyarakatnya. Sebenarnya lanjut usia adalah suatu proses alami yang tidak dapat dihindarkan, sebab manusia sebagai mahluk hidup, umurnya terbatas oleh suatu peraturan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB 1.
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang.
Menjadi tua adalah suatu proses alamiah yang berkesinambungan,
terjadi terus menerus sejak seorang lahir ke dunia. Karena tidak terjadi secara
tiba-tiba, mass tua dapat direncanakan dan ditata sesuai keinginan. Memang
disadari ada beberapa ancaman yang mungkin dihadapi oleh para lanjut usia,
dalam area organik-biologik, psiko-edukatif dan sosio-ekonomik. Namun
ancaman itu sedikit banyak dapat dikurangi, terlebih-lebih bila individu
bersangkutan memahami dan dapat mengantisipasi kemungkinan yang tidak
dikehendaki. Pemeliharaan kesehatan tubuh dan kepribadian, dalam hal
kepribadian : khususnya kemampuan memecahkan konflik secara efektif dan
baik, dapat merupakan prasyarat suatu kehidupan di hari tua yang berbahagia.
Sementara itu disadari bahwa kualitas para lanjut usia banyak ditentukan oleh
nilai sosial dan budaya masyarakatnya.
Sebenarnya lanjut usia adalah suatu proses alami yang tidak dapat
dihindarkan, sebab manusia sebagai mahluk hidup, umurnya terbatas oleh
suatu peraturan alam. Semua orang akan mengalami proses menjadi tua, dan
masa tua merupakan masa hidup yang terakhir, dimana pada masa ini
seseorang akan mengalami kemunduran fisik, mental, dan sosial sedikit demi
sedikit sampai tidak dapat melakukan tugasnya sehari-hari. Sehingga bagi
kebanyakan orang, masa tua itu merupakan masa yang kurang menyenangkan
(Gallo, 1998)
Peningkatan jumlah orang lanjut usia diikuti dengan peningkatan
jumlah morbiditas dan mortalitas. Banyak penyakit-penyakit yang
menyebabkan morbiditas dan mortalitas pada orang lanjut usia diantaranya
penyakit pada sistem saraf.
2
BAB 2.
PEMBAHASAN
2.1. Susunan saraf otonom
Susunan saraf otonom adalah bagian susunan saraf yang mengurus
perasaan visceral dan semua gerakan involuntary reflektorik, seperti
b. Gangguan dari aktivitas baro-refleks akibat tirah baring yang terlalu lama.
Keadaan ini sering terdapat pada penderita lansia yang tekanan darahnya di
pertahankan dengan vasokonstriksi yang hamper maksimal (misalnya setelah
terkena infark miokard). Tak terdapat lagi cadangan otot jantung, sehingga
pada saat bangun tidur tekanan darah tidak bisa dipertahankan lagi.
c. Hipovolemi dan/atau hiponatremia sebagai akibat berbagai keadaan, antara
lain pemberian diuretic.
d. Berbagai obat yang bersifat hipotensif, antara lain tiasid dan diuretika lain,
fenotiasin, antidepresan trisiklik, butirofenon, levodopa, dan bromokriptin.
e. Akibat berbagai penyakit yang mengganggu saraf otonom sebagaimana dapat
dilihat dari table dibawah ini.
Tabel 1. Penyakit yang mengganggu saraf otonom.
Penyakit mengenai susunan saraf pusat Penyakit langsung berakibat neuropati otonomParkinsonisme Diabetes mellitusSindrom Shy-Drager KeganasanEnselofati Wernicke AmiloidosisLesi hipotalamus Polineropati infektif akut sindr.gillain-barre Penyakit serebrovaskular defisiensi vitamin B kompleksTabes dorsalis Alkoholisme kronikparaplegia
Diagnosis
Penegakan diagnosis didasarkan pada ditemukannya penurunan tekanan
darah sebesar 20 mmHg/ lebih pada waktu tegak mendadak setelah berbaring.
Harus dicari kemungkinan terdapatnya berbagai penyakit seperti yang terdapat
pada tabel diatas dan penggunaan obat seperti yang telah disebutkan dimuka.
Beberapa tes untuk fungsi otonom sering tidak ditoleransi baik oleh penderita
lansia, oleh karenanya tes berikut bia dilakukan (Collin, 1980 dikutip oleh Van
der Cammen, 1991).
11
1. Tanggapan laju denyut pada saat berdiri
2. Fungsi regulatorik vasomotor
3. Tekanan negative bagian bawah badan.
Penatalaksanaan
Umum : peningggian kepala waktu tidur merupakan upaya penatalaksanaan
utama yang harus dilakukan. Tekanan ini dapat meningkatkan
volume darah penderita dengan jalan mengurangi hilangnya cairan
dan garam di malam hari. Dengan cara ini berat badan penderita
dapat meningkat sampai beberapa kilogram. Semua penyebab
hipotensi ortostatik yang bisa dikoreksi haru diobati, dan obat-obat
dengan kerja hipotensif harus dihentikan.
Khusus : terdapat beberapa upaya penatalaksanaan, tapi tidak satupun yang
berhasil secara menyeluruh. Tindakan tersebut dapat dilihat dari
tabel.
12
Tabel 2. Terapi pada hipotensi ortostatik.
Jenis tindakan/terapi
Titik tangkap-mekanisme kerja
Dosis/catatan
Pakaian anti-gravitasi/elastik
Cegah pooling darah akibat posisi tegak
Tidak praktis untuk lansia: pakaian elastik harus sebadan penuh dikombinasi dengan support abdominal elastic.
fludrokortison Hormon mineralokortikoid, meretensi cairan dan garam ekspansi darah
0,1 mg tingkatkan sp.maks.1 mg (dosis besar bisa hipertensi/gagal jantung)-efektif hanya pada jenis ringan.
dan perasaan dingin menyebabkan orang tersebut mengenakan baju lebih tebal
dengan akibat meningkatnya suhu tubuh mendekati suhu yang ditetapkan.
Sebaliknya bila suhu tubuh ditetapkan pada temperatur yang lebih rendah, maka
13
mekanisme vasodilatasi, berkeringat dan melepas baju akan menurunkan
temperatur ke suhu mendekati yang ditetapkan.
“Penetapan” suhu tersebut bisa dinaikkan oleh adanya pirogen atau
mekanisme sensorik tubuh yang mencatat bahwa suhu sekitar terlalu rendah,
sebaliknya penetapan suhu bisa diturunkan bila badan terpanasi sebagai akibat
olahraga atau lingkungan yang terlalu panas. Berbagai keadaan akan
menyebabkan gangguan regulasi suhu sebagai mana terlihat pada tabel berikut.
Tabel 3. Penyebab gangguan regulasi temperatur tubuh.
Hipertermia Hipotermia Penetapan ambang suhu tubuh terlalu tinggi hilangnya sensasi atau kedinginanKurang/hilangnya kemampuan berkeringat gangguan atas sensasi terhadap
perubahan suhuGangguan persepsi peningkatan suhu tubuh tanggapan vasokonstriksi otonom
abdormal atas kedinginan Tanggapan abnormalaliran darah perifer atas gangguan tanggapan dari reaksi menggigilmeningkatnya suhu tubuhCadangan kardiovaskuler menurun/terkom- kerusakan termogenesispromi(Kane et al, 1994)
A. Hipertermia
Dalam serangan akut, hipertermia dikenal sebagai heat stroke dan
didefinisikan sebagai kegagalan mempertahankan suhu tubuh, yang ditandai
dengan suhu inti tubuh yang > 40,6 oC, disfungsi susunan saraf pusat hebat
(psikosis, delirium, koma) (Van der Cammen, 1991). Dua golongan yang
seringkali terserang adalah para lansia dengan penyakit kronis dan golongan
dewasa muda yang melakukan olahraga berat. Begitu manifestasi sindrom
terlihat, angka kematian bisa mencapai 80%. Faktor yang mempredisposisi
sindrom ini bisa dilihat pada tabel dibawah :
14
Tabel 4. Faktor predisposisi heat stroke.
Ambilan panas oksigen
Peningkatan produksi panas
Gangguan keluarkan panas
Suhu lingkungan yang tinggi.Peningkatan risiko pada :
a. Usia sangat tua
b. Penyakit kronis/berat
Peminum alkohol
Olahraga dan latihan.Infeksi (keadaan demam tinggi).Keadaan agitasi dan gaduh gelisah.Obat (amfetamin, eks-tasi)Hipertiroidisme.
Tidak bisa aktimatisasi.Suhu lingkungan tinggi.Obesitas.Pakaian terlalu tebal.Penyakit kardiovaskuler.Dehidrasi.Usia sangat lanjut.Hil/deplesi kalium.
Lesi di SSP.Obat-obatan :a. Fenotiazinb. Antikolinergikc. DiuretiPropanolol.Disfungsi kelainan keringat.
( Kane et al1, 994).
Gambaran klinik
Awitan gejalanya biasanya tidak spesifik; antara lain berupa rasa berputar,
lemah, perasaan hangat/demam, anoreksia , nausea, tumpah, nyeri kepala dan
sesak nafas. Pada keadaan lanjut, timbul gejala disfungsi susunan saraf pusat
berupa psikosis, delirium sampai koma dan gejala anhidrosis berupa kulit yang
panas dan kering. Apabila gejala lanjt ini tampak prognosis memburuk.
Komplikasi
Pada keadaan lanjut dapat timbul komplikasi pada berbagai organ. Komplikasi ini
yang sering memperburuk prognosis, diantaranya adalah :
a. kerusakan miokardium
1. gagal jantung
2. aritmia
b. gagal ginjal akut
c. edema serebri
1. kejang atau difus
2. dapatan fokal
15
d. Nekrosis hepatoselular
1. ikterus
2. gagal hati
e. Rebdomiolosis : mioglobinuria
f. Diathesis hemorhagi : koagulasi intravaskuler diseminata
g. Gangguan elektrolit
h. Gangguan metabolism asam basa :
1. Asidosis metabolik
2. Asidosis respiratorik
i.Infeksi :
1. Pneumonia aspirasi
2. Sepsis
j. Dehidrasi dan syok
Penatalaksanaan
Pemberian terapi spesifik terdiri dari upaya pendinginan/penurunan suhu tubuh
sampai sekitar 38,8oC dalam satu jam pertama. Penggunaan buntalan es atau
imersi penderita dalam air es jauh lebih baik disbanding alcohol bath. Pencegahan
dan monitoring atas komplikasi yang terjadi kemudian bisa dilakukan.
B. Hipotermia
Definisi
Hipotermia adalah penurunan suhu tubuh (rektal, esophageal atau timpanik)
menjadi dibawah 35oC. Oleh karenanya yang paling utama dari diagnosis
adalah pengenalan dini dengan menggunakan thermometer berskala rendah,
karena thermometer biasa tidak akan bermanfaat.
16
Klasifikasi
1. Hipotermia primer :
Bila dianggap bahwa paparan ke dingin merupakan satu-satunya atau
faktor utama yang bertanggung jawab. Pada usia lanjut seringkali terdapat
gangguan regulasi temperature yang “fisiologik” dan tidak sebagai akibat
penyakit tertentu.
2. Hipotermia sekunder :
Bilamana dianggap bahwa hipotermia adalah akibat penyakit yang
mendasarinya, walaupun suhu badan yang rendah mungkin dipresipitasi oleh
Hipotiroidisme.Hipoglisemia.Kelaparan/malnutrisi.Imobilitas/penurunan aktivitas (missal oleh karena stroke, arthritis parkinsonisme)
Lemak bawah kulit tipis.Pernafasan/imersi ke hawa/ lingkungan dingin.
Disfungsi hipotalamus/ SSP : Trauma kepala Hipoksia Tumor Penyakit
serebrovaskulerGangguan dipicu oleh obat-obatan : Alkohol Barbiturate Trankil.minor/mayor Antidep.trisiklik Salisilat/parasetamol Obat anestesi umum Glutetimid ReserpinUsia lanjut campuran : Sepsis Penyakit
kardiovaskuler Bronkopneumonia
(Kane et al, 1994)
17
Gejala klinik
Gejala awal biasanya ringan dan tidak jelas, oleh karenanya kecurigaan
akan hal ini sangat membantu penegakkan diagnosis. Riwayat bila pernah terjadi
sebelumnya akan sangat membantu, walaupun lansia bisa mengalami hipotermia
hanya akibat pemaparan pada suhu yang tidak terlalu dingin. Diagnosis banding
yang sering sukar pada hipotermia berat adalah dengan hipotiroidisme. Riwayat
penyakit tiroid sebelumnya, luka bekas operasi kelenjar tiroid di leher dan
pelambatan fase relaksasi reflex tendon dalam sering membantu diagnosis
hipotiroidisme. Makin besar penurunan suhu badan, gejala makin nyata dan makin
berat.
Tabel 6. Gejala klinik hipotermia.
Gejala awal (32-35oC) Gejala berikutnya (28-30oC)
Gejala akhir (<28oC)
Rasa capai/fatigue.Lemah.Langkah melambat.Apatis.Bicara pelo.Konfusio.Menggigil.Kulit yang dingin.Merasa dingin.
Kulit dingin.Hipopneu.Sianosis.Bradikardia.Aritmia atrial/ventrikel.Hipotensi.Semikoma-koma.Kekakuan otot.Edema umum.Refleks melambat.Reaksi pupil <Poliuria atau oliguria.
Kulit sangat dingin.Kaku/rigiditas.Nadi tidak teraba/fibrilasi ventrikel.Refleks menghilang.Tidak beri tanggapan terhadap rangsang.Pupil menetap/reaksi (-).
d. Komposisi darah yang abnormal (hipoksemia, hipoglikemia, anemia akut).
20
Tabel 8. Algoritme untuk evaluasi diagnosis sinkop penderita usia lanjut.
ElektroensefalogramDan CT Scan kepala
Peresepan yang tepat dipulangkan dengan
Resep obat/observasi
Telemetri/infark miokard lama atau baru/Ekokardiografi/pemeriksaan lain (misalnya pemeriksaan Elektrofisiologi) sesuai indikasi berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik
diagnosis positif peresepan evaluasi negatif
yang tepat
positif negative
resep observasi
Pengobatan :
tujuan pengobatan sinkop pada usia lanjut adalah mencegah morbiditas dan
mortalitas sehubungan episode yang berulang. Faktor risiko yang ada diusahakan
seminimal mungkin pengaruhnya. Intervensi farmakologis jangan sampai
Identifikasi penyakit kardiak atau dugaan emboli paru
Kecurigaan penyakit kardiak
Tidak ada kecurigaaan penyakit kardiak
Perawatan RS
Evaluasi ulang dalam 24 jam
dipulangkan
Monitor holter atau loop recorder ambulatori
Kambuh
21
menimbulkan efek toksis, bila memungkinkan menghilangkan penyakit dasarnya.
Geriatric problems perlu diperhatikan.
4. Konstipasi
Definisi.
Suatu batasan dari konstipasi diusulkan oleh Holson, meliputi paling sedikit 2
dari keluhan dibawah ini dan terjadi dalam waktu 3 bulan :
a. Konsistensi feses yang keras
b. Mengejan dengan keras saat BAB
c. Rasa tidak tuntas saat BAB, meliputi 25% dari keseluruhan BAB
d. Frekuensi BAB 2 kali seminggu atau kurang.
Tabel 8. Definisi konstipasi sesuai international Workshop on Constipation
Tipe Kriteria1. Konstipasi fungsional
2. Penundaan pada muara rektum
Dua atau lebih dari keluhan ini ada paling sedikit dalam 12 bulan : Mengedan keras 25% dari BAB Feses yang keras 25% dari BAB Rasa tidak tuntas 25% dari BAB BAB kurang dari 2 kali per
minggu
Hambatan pada anus lebih dari 25% BAB
Waktu untuk BAB lebih lama Perlu bantuan jari-jari untuk
mengeluarkan feses
Patofisiologi
Defekasi dimulai dari gerakan peristaltic usus besar yang menghantarkan feses
ke rectum untuk dikeluarkan. Feses masuk dan meregangkan amfula dari
rectum diikuti relaksasi dari sfingter anu sinterna. Untuk menghindarkan
pengeluaran feses yang spontan, terjadi refleks kontraksi dari sfinkter anus
eksterna dan kontraksi otot dasar pelvis yang dipersarafi oleh saraf pudendus.
Otak menerima rangsang keinginan untuk BAB dan sfinkter anus eksterna
diperintahkan untuk relaksasi, sehingga rectum mengeluarkan isinya dengan
22
bantuan kontraksi otot dinding perut. Kontraksi ini akan menaikkan tekanan
dalam perut, relaksasi sfingter dan otot levator ani. Baik persarafan simpatis
maupun parasimpatis terlibat dalam proses BAB.
a. Diskesia rectum :
Ditandai dengan penurunan tonus rectum, dilatasi rectum, gangguan
sensasi rectum, dan peningkatan ambang kapasitas. Dibutuhkan lebih
besar regangan rectum untuk untuk menginduksi refleks relaksasi dari
sfingter eksterna dan interna. Pada colok dubur pada diskesia rectum
sering didapatkan impaksi feses yang tidak disadari karena dorongan
untuk BAB sering sudah tumpul. Diskesia rectum juga dapat diakibatkan
kurang tanggapnya atau penekanan pada dorongan untuk BAB seperti
yang dijumpai pada penderita demensia, imobilitas, atau sakit daerah anus
dan rectum.
b. Dis-sinergia pelvis :
Terdapat kegagalan untuk relaksasi otot pubo-rektalis dan sfingter anus
eksterna saat BAB. Pemeriksaan secara manometrik menunjukan
peningkatan tekanan pada saluran anus saat mengejan.
c. Peningkatan tonus rectum :
Terjadi kesulitan mengeluarkan feses yang bentuknya kecil. Sering
ditemukan pada kolon yang spastic seperti pada penyakit irritable bowel
syndrome, dimana konstipasi merupakan hal yang dominan.
23
Tabel 9. Faktor-faktor risiko konstipasi pada usia lanjut.Obat-obatan Golongan antikolinergik Golongan narkotik Golongan analgetik Golongan diuretic NSAID Kalsium antagonis Perparat kalsium Preparat besi Antasida aluminium Penyalahgunaan pencahar
Kondisi neurologis Strok Penyakit Parkinson Trauma medulla spinalis Neuropati diabetik