BAB I
PENDAHULUANTindakan bunuh diri, kekerasan dan penyalahgunaan zat
merupakan masalah-masalah serius yang perlu intervensi segera.
Ketiga kondisi tersebut merupakan sebagian dari pelbagai kondisi
kedaruratan psikiatrik. Pemahaman kesehatan masyarakat bahwa
kasus-kasus tersebut merupakan keadaan yang perlu pertolongan
segera, menyebabkan dokter akan lebih banyak menemui kassus-kasus
kedaruratan psikiatrik tersebut. Hal ini juga sejalan dengan
peningkatan pemahaman bahwa perubahan status mental seseorang dapat
disebabkan oleh penyakit organik (sesuai dengan konsep hierarki
dalam pemehaman diagnosis gangguan jiwa).
Sebagai ujung tombak di lapangan, peran dokter umum sangat
penting dalam hal ini adalah sebagai bagian dari pelayanan
kedaruratan medik yang terintegrasi.
Diperlukan keterampilan dalam assesment dan teknik evaluasi
untuk membuat diagnosis kerja. Dalam pelaksanaannya sering
diperlukan pemeriksaan fisik serta laboratorium yang sesuai dan
memadai. Kerja sama dalam suatu tim adalah bentuk pelayanan yang
paling diharapkan untuk hasil optimal. Pendekatan
Consultation-Liaison Psychiatry bermanfaat untuk beberapa
penanganan kasus-kasus kedaruratan, seperti tindakan bunuh diri,
delirium, sindrom neuroleptik maligna, dll.
Dalam referat ini akan lebih mendalam dibahas mengenai bunuh
diri sebagai kedaruratan psikiatrik.BAB II
PEMBAHASAN
2. 1 Kedaruratan psikiatriKedaruratan psikiatri merupakan cabang
ilmu kedokteran jiwa dan kedokteran kedaruratan, yang dibuat untuk
menghadapi kasus kedaruratan yanng memerlukan intervensi
psikiatrik.
Dokter masa kini harus mengembangkan perannya untuk menjadi
bagian dari ruang gawat darurat psikiatrik. Kasus yang datang minta
pertolongan sangat bervariasi. Ada yang sekedar ingin minta resep,
ada yang memerlukan teman bicara, hingga yang merupakan kasus-kasus
psikiatrik, seperti : panik, kondisi medik umum (delirium,
intoksikasi, gejala putus zay, dll), krisis perkawinan, skizofrenia
atau psikosis akut, dll.
Kasus kedaruratan psikiatrik meliputi gangguan pikiran,
perasaan, dan perilaku yang memerlukan intervensi terapeutik
segera, antara lain:
Kondisi gaduh gelisah
Dampak tindak kekerasan
Bunuh diri
Gejala ekstrapiramidal akibat penggunaan obat
Delirium
2.1.1 Evaluasi
Menilai kondisi pasien yang sedang dalam krisis secara cepat dan
tepat adalah tujuan utama dalam melakukan evaluasi kedaruratan
psikiatrik. Tindakan segera dengan pendekatan pragmatis, yang harus
dilakkan secara tepat adalah:1. Menentukan diagnosis awal,2.
Melakukan identifikasi faktor-faktor presipitasi dan kebutuhan
segera sang pasien,3. Memulai terapi atau merujuk pasien ke
fasilitas yang sesuai.
Dalam kondisi tertentu, terkadang pasien tidak diharapkan berada
terlalu lama di unit gawat darurat, antara lain karena sifat
kegawatdaruratan yang tidak terduga, baik medis, klinis maupun
psikiatris, serta keterbatasan waktu, ruang, dan pemeriksaan
penunjang.
Tujuan utama dalam evaluasi kedaruratan psikiatrik adalah:
menilai kondisi pasien yang sedang dalam krisis sacara cepat dan
tepat. Dengan tugas di unit gawat darurat yang sifatnya sering tak
terduga, banyaknya pasien dengan keluhan-keluhan fisik dan
emosional, terbatasnya waktu, ruang, dan pemeriksaan penunjang,
diperlukan pendekatan yang pragmatis bagi pasien. Kadang-kadang
lebih baik bagi pasien untuk tidak terlalu lama berada di unit
gawat darurat. Dalam proses evaluasi dilakukan:
1. Wawancara Kedaruratan Psikiatrik
Wawancara dilaksanakan dengan lebih terstruktur. Secara umum,
fokus wawancara ditujukan pada keluhan pasien dan alasan dibawa ke
unit gawat darurat. Keterangan tambahan dari pihak pengantar,
keluarga, teman ataupun polisi dapat melengkapi informasi, terutama
pada pasien mutisme, negativistik, tidak kooperatif atau
inkoheren.
Seperti halnya wawancara psikiatrik yang biasa dilakukan,
hubungan dokter-pasien sangat berpengaruh terhadap informasi yang
diberikan dan yang diinterpretasikan. Karenanya diperlukan
kemampuan mendengar, melakukan observasi dan melakukan interpretasi
terhadap apa yang dikatakan ataupun yang tidak dikatakan olh
pasien, dan ini dilakukan dalam waktu yang cepat.
Sikap yang tenang dan jujur akan sangat diperlukan dalam proses
wawancara. Hal ini membuat pasien mengerti bahwa dokter memegang
kendali, dan bahwa keputusan untuk melakukan setiap tindakan,
adalah untuk mencegah perilaku yang melukai diri sendiri atau orang
lain.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan psikiatrik standar meliputi: riwatyat perjalanan
penyakit, pemeriksaan status mental, pemeriksaan status
fisik/neurologik, dan kalau perlu pemeriksaan penunjang.
Yang pertama dan terpenting yang harus dilakukan oleh dokter di
unit gawat darurat adalah menilai tanda-tanda vital pasien. Tekanan
darah, suhu, nadi adalah sesuatu yang mudah diukur yang dapat
memberikan suatu informasi yang bermakna secara cepat. Misalnya
seseorang yang gaduh gelisah dan mengalami halusinasi, demam,
frekuensi nadi 120 per menit, dan tekanan darah meningkat,
kemungkinan besar mengalami delirium dibandingkan dengan suatu
gangguan psikiatrikApapun penyakit pasien yang sesungguhnya,
tanda-tanda vital dapat membantu dokter untuk memilih alur
diagnosis yang benar karena pemeriksaan ini saja sudah banyak yang
bisa kita simpulkan atau kita singkirkan.
Pada bagan, dapat dilihat salah satu model alur evaluasi dan
penatalaksanaan pasien darurat psikiatrik.
Bagan alur evaluasi dan penatalaksanaan pasien gawat darurat
psikiatriPasien rujukan
Datang sendiri
Pasien diantar oleh polisiPelayanan gawat darurat psikiatrik
Triage
Tanda vital
Kesadaran
Pemeriksaan medik, neurologik
Pemeriksaan laboratorium
Triage psikiatrik
Evaluasi medik
Evaluasi psikiatrik; organik atau fungsional
Rawat bersama dengan disiplin ilmu lain Rawat inap psikiatrik
Rawat jalan
Lima hal yang harus ditentukan sebelum menangani pasien
selanjutnya:
1. Keamanan pasien
Sebelum mengevaluasi pasien, dokter harus dapat memastikan bahwa
situasi di ruang gawat darurat, pola pelayanan dan kominikasi antar
staf, serta jumlah pasien dalam ruangan tersebut cukup aman bagi
pasien, baik secara fisik maupun emosional. Jika intervensi verbal
tidak cukup atau merupakan kontraindikasi, perlu dipikirkan
pemberian obat atau pengekangan. Perhatian perlu diberikan terhadap
kemungkinan timbulnya agitasi atau perilaku merusak.
2. Medik atau psikiatrik?
Penting sekali bagi dokter untuk menilai apakah kasusnya medik,
psikiatrik, atau kombinasi keduanya, sebab penanganannya akan jauh
berbeda. Kondisi-kondisi medik umum seperti trauma kepala, infeksi
berat dengan demam tinggi, kelainan metabolisme, tumor, AIDS,
intoksikasi atau gejala putus zat, seringkali menyebabkan gangguan
fungsi mental yang menyerupai gangguan psikiatrik pda umumnya. Bila
konsisi ini tidak ditangani semestinya, dapat menyebabkan kematian.
Karena itu dokter gawat darrurat tetap arus menelusuri semua
kemungkinan penyebab gangguan fungsi mental yang tampak, meskipun
sebelumnya secara mesik telah dinyatakan tak ada kelainan oleh
dokter lain.3. Psikosis
Yang penting disini bukanlah penegakan diagnosisnya, tetapi
seberapa jauh ketidakmampuannya dalam menilai realita dan buruknya
tilikan mempengaruhi hidupnya. Hal ini dapat mempengaruhi sikapnya
terhadap pertolongan yang kita berikan serta kepatuhannya dalam
berobat.
Kominikasi dengan pasien psikosis harus luwes dan tidak
bertele-tele. Semua intervensi klinis harus dijelaskan secara
singkat dan jelas, dalam bahasa yang dapat dimengerti. Jangan
mengharapkan pasien mempercayai atau mengharapkan bantuan kita.
Dokter harus siap untuk melakukan wawancara terstruktur atau
menghentikan wawancara sewaktu-waktu untuk membatasi kemungkinan
terjadinya agitasi atau regresi.
4. Suicidal atau homicidal
Pasien-pasien dengan kecenderungan ini sangat membehayakan
dirinya atau orang lain. Jangan pernah menyepelekan semua ancaman,
pikiran atau sikap yang menunjukkan adanya kecenderungan bunuh
diri, sampai terbukti hal itu tidak benar. Semua pasien dengan
kecenderungan bunuh diri harus diobservasi secara ketat.
Perasaan-perasaan yang berkaitan dengan tindak kekerasan atau
pikiran bunuh diri harus selalu ditanyakan pada pasien.
5. Kemampuan merawat diri sendiriSebelum memulangkan pasien,
harus dipertimbangkan apakah pasien mampu merawat dirinya sendiri,
mampu menjalankan saran yang dianjurkan. Ketidakmampuan pasien dan
atau keluarganya untuk merawat pasien di rumah merupakan salah satu
indikasi rawat inap.
Indikasi rawat inap adalah:
Bila pasien membahayakan diri sendiri atau orang lain, Bila
perawatan di rumah tidak memadai, Perlu observasi lebih
lanjut.2.1.2 Pertimbangan Dalam Penegakan Diagnosis dan Terapi
Beberapa hal yang perludipertimbangkan dalam penegakan diagnosis
dan terapi antara lain:
1. Diagnosis
Meskipun pemeriksaan gawat darurat tidak harus lengkap, namun
ada beberapa hal yang harus dilakukan sesegera mungkin untuk
keakuratan data, misalnya penapisan toksikologi (tes urin untuk
opioid, amfetamin, benzodiazepin, kanabis, dsb), pemeriksaan
radiologi, EKG, tes laboratorium. Sedapat mungkin pemeriksaan dan
konsultasi medik untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab organik
dilakukan di ruang gawat darurat. Data penunjang seperti catatan
medik sebelumnya, informasi dari sumber luar (alloanamnesis dari
keluarga, polisi, dll) juga dikumpulkan sebelum kita menentukan
tindakan. Prioritas utama memang kemanan, namun hal ini jangan
sampai menunda penegakan diagnosis.
2. Terapi
Pemberian terapi obat atau pengekangan (bila memang diperlukan)
harus mengikuti prinsip terapi: maximum tranquilization with
minimum sedation.Tujuannya adalah untuk:
Membantu pasien untuk dapat mengendalikan dirinya kembali
Mengurangi/menghilangkan penderitaannya,
Agar evaluasi dapat dilanjutkan sampai didapat kesimpulan
akhir.
Pasien yang tidur memang tidak dapat membahayakan orang lain,
tetapi kita pun tidak dapat melakukan pemeriksaan status mental
pada pasien tersebut. Obat-obatan yang sering digunakan adalah:
Low-dose high-potency anti psychotics, seperti haloperidol,
trifluoperazine, perphenazine, dsb, karena batas keamanannya cukup
luas. Haloperidol terdapat dalam kemasan injeksi dan tetes (cairan)
sehingga memudahkan pemberian.
Atypical anti psychotics,seperti risperidone, quetiapine,
olanzapine. Olanzapine juga terdapat dalam bentuk injeksi.
Injeksi benzodiazepin. Kombinasi antipsikotik dengan
benzodiazepin kadang sangat efektif.
Kesalahan yang sering dilakukan oleh para dokter adalah:
1. Pemberian dosis yang terlalu besar atau penggunaan preparat
yang terlalu kuat (overmedication), sehingga evaluasi atau
pemulangan menjadi terlambat,
2. Pemberian dosis yang kurang atau pemberian preparat yang
kurang tepat (undermedication),
3. Penggantian obat yang terlalu cepat.2.1.3
Rujukan/Pemindahan
Pada beberapa keadaan, misalnya psikosis akibat zat, reaksi
stres akut, dekompensasi psikologik sementara pada pasien dengan
gangguan kepribadian tertentu, akan lebih baik pasien tidak
langsung dirawat atau dipulangkan.
Penempatan di ruang observasi berkelanjutan akan memberikan
waktu bagi dokter untuk mendapatkan kejelasan lebih lanjut mengenai
penyebab gangguan mentalnya. Selain itu keadaan pasien juga akan
membaik bila berada di tempat yang aman.
Dengan demikian pasien mungkin tidak perlu dirawat di instalasi
rawat inap psikiatrik yang dapat menimbulkan stigma atau trauma
baginya, juga mengurangi kapasitas tempat tidur yang mungkin dapat
diberikan pada orang lain yang benar-benar membutuhkannya.
Intervensi krisis pada korban perkosaan atau korban trauma lainnya,
misalnya, juga dapat dilakukan pada fasilitas observasi ini.
Bila pasien dianggap perlu untuk dirawatinapkan, sebaiknya hal
itu dilakukan dengan persetujuan pasien sehingga ia merasa dapat
mengendalikan hidupnya dan ikut berpartisipasi dalam pengambilan
keputusan berkenaan dengan pengobatannya. Bila pasien memang
membahayakan diri sendiri atau lingkungannya, maka hal itu dapat
dilakukan tanpa persetujuannya.
2.1.4 DokumentasiSemua penemuan dan tindakan harus didiskusikan
dan dicatat dengan baik untuk kepentingan pasien, dokter dan RS,
asuransi/pembayaran, dan hukum. Catatan medik harus dapat
menggambarkan keadaan pasien. Penemuan positif maupun negatif serta
informasi yang belu didapat sebaiknya dicatat. Nama-nama serta
alamat dan nomor telepon yang dapat dihubungi wajib dicatat.
Rencana penatalaksanaan awal dilakukan sesuai diagnosis kerja saat
itu. 2.2 Bunuh Diri2.2.1 Definisi Bunuh Diri (Suicide)Bunuh diri
merupakan kematian yang ditimbulkan oleh diri sendiri dan disengaja
dimana bukan tindakan yang acak dan tidak bertujuan. Sebaliknya,
bunuh diri merupakan jalan keluar dari masalah atau krisis yang
hampir selalu menyebabkan penderitaan yang kuat.
Bunuh diri merujuk kepada perbuatan memusnahkan diri karena
enggan berhadapan dengan suatu perkara yang dianggap tidak dapat
ditangani. Menurut Keliat (1994) bunuh diri adalah tindakan agresif
yang merusak diri sendiri dan dapat mengakhiri kehidupan dan
merupakan keadaan darurat psikiatri karena individu berada dalam
keadaan stres yang tinggi dan menggunakan koping yang maladaptif.
Lebih lanjut menurut Keliat, bunuh diri merupakan tindakan merusak
integritas diri atau mengakhiri kehidupan, dimana keadaan ini
didahului oleh respon maladaptif dan kemungkinan keputusan terakhir
individu untuk memecahkan masalah yang dihadapi.
Bunuh diri adalah pengambilan tindakan untuk melukai diri
sendiri yang secara sengaja dilakukan oleh seseorang. Orang yang
melakukan tindakan bunuh diri mempunyai pikiran dan perilaku yang
merupakan perwakilan (representing) dari kesungguhan untuk mati dan
juga merupakan manifestasi kebingungan (ambivalence) pikiran
tentang kematian (Hoeksema, 2001).
Para klinikus menemukan adanya perbedaan antara bunuh diri yang
asli (genuine suicide) dengan bunuh diri yang dimanipulasi
(manipulative suicide). Bunuh diri asli adalah bunuh diri yang
dilakukan oleh orang yang benar-benar ingin mati dan tindakan yang
dilakukan untuk merealisasikan bunuh dirinya tersebut, dilakukan
tanpa perhitungan yang salah (miscalculation).
Sementara orang yang melakukan bunuh diri yang dimanipulasi
tidak sungguh-sungguh ingin membunuh dirinya, tindakan mereka
(bunuh diri) adalah percobaan yang terkontrol, yang dilakukan untuk
memanipulasi orang lain (Landis & Meyer, Shneidman, dalam
Barlow & Durand, 2002).
Lyttle (1986) juga membedakan antara bunuh diri (suicide) dengan
usaha bunuh diri (parasuicide). Wilkinson menyebutkan jika bunuh
diri (suicide) sebagai tindakan fatal untuk mencederai diri sendiri
yang dilakukan dalam kesadaran untuk merusak diri yang kuat atau
secara sungguh-sungguh (conscious self-destructive intent).
Sementara usaha bunuh diri (parasuicide) merujuk pada tindakan
menyakiti diri sendiri yang dilakukan dengan pertimbangan yang
mendalam yang biasanya tidak berakibat fatal. Usaha bunuh diri
(parasuicide), biasanya juga digambarkan sebagai percobaan bunuh
diri (attempted suicide).
Heeringan (2001) menyebutkan jika perilaku bunuh diri merupakan
istilah yang digunakan untuk mewakili istilah bunuh diri itu
sendiri dan usaha bunuh diri sebagai suatu perbuatan yang
menghasilkan kejadian fatal maupun tidak fatal.Jenis-Jenis Bunuh
Diri
Bunuh diri terselubung (Masked Suicide) atau bunuh diri tak
langsung (Indirect Suicide) menurut Karin R. Andriolo.
Pelaku bunuh diri mengatur suatu kesempatan yang baik dengan
membiarkan dirinya sendiri terbunuh. Secara kultural kebudayaan
bunuh diri ini bisa diterima dan pada sekelompok orang justru
dihargai. Contohnya adalah hara-kiri, juntamendo, carok dan siri.
Bunuh Diri Kronik menurut Mininger
Pelaku bunuh diri kronik melakukan tindakan berpuasa atau
bertapa sehingga ia meninggal sebagai martir. Selain itu, pelaku
alkoholisme kronik, kelakuan anti sosial / dissosial, dan pelanggan
kecelakaan atau accident proneness juga termasuk ke dalam jenis
ini. Bunuh Diri Fokal menurut Mininger
Pelaku bunuh diri fokal, berupaya untuk melukai diri sendiri
(auto mutilation), meminta untuk dioperasi berkali-kali (Sindroma
Munchaussen), hospital addiction, serta impotensi sexual dan
frigiditas. Indirect Self Destruction menurut Kalle Achte
Pelaku bunuh diri berusaha untuk merusak dirinya sendiri dengan
cara makan terlalu banyak, mengabaikan kesehatan fisik, minum
alcohol berlebihan, mencari-cari stress, tidak berobat bila sakit,
meroko, dan memiliki hobi atau pekerjaan berisiko tinggi. Bunuh
Diri Mikro menurut Scide and Firestone
Pelaku bunuh diri ini memiliki perilaku, komunikasi sikap, atau
gaya hidup yang menginduksi atau mengancam dirinya sendiri.
Perilakunya bertentangan dengan kesehatan pribadi, kesejahteraan
emosional, atau memiliki tujuan tertentu2.2.2 EpidemiologiTiap
tahun kira-kira 30.000 kematian di Amerika Serikat disebabkan oleh
bunuh diri. Angka tersebut adalah untuk bunuh diri yang berhasil;
jumlah usaha bunuh diri diperkirakan 8 sampai 10 kali lebih besar
dari angka tersebut.
Antara tahun 1970 dan 1980 lebih dari 230.000 orang melakukan
bunuh diri di Amerika Serikat, kira-kira satu dalam setiap 20
menit, 75 bunuh diri dalam sehari. Angka bunuh diri total agak
tetap setiap tahunnya. Di tahun 1977 bunuh diri berada dalam
puncaknya yaitu 13,3 per 100.000. Sekarang, bunuh diri berada dalam
urutan kedelapan dari semua penyebab kematian di Amerika Serikat,
setelah penyakit jantung, kanker, penyakit serebrovaskular,
kecelakaan, pneumonia, diabetes melitus, dan sirosis.
Insiden bunuh diri di Amerika Serikat terjadi pada usia 15-24
tahun sedangkan dalam survey nasional baru-baru ini terhadap siswa
senior sekolah lanjutan 27% dari mereka pernah memikirkan secara
serius untuk bunuh diri dan salah satunya pernah mencobanya. Secara
internasional, angka bunuh diri yang lebih dari 25 per 100.000
orang terjadi di Skandinavia, Swiss, Jerman, Austria, Negara-negara
Eropa Timur, dan Jepang. Sedangkan yang kurang dari 10 per 100.000
orang terjadi di Spanyol, Italia, Irlandia, Mesir, dan Belanda.
Tempat bunuh diri nomor satu di dunia adalah Jembatan Golden Gate
di San Francisco, dengan lebih dari 800 bunuh diri sejak di buka
tahun 1937.2.2.3 EtiologiTerdapat beberapa faktor yang menjadi
penyebab bunuh diri, diantaranya adalah:Faktor Sosial
Teori Durkheim. Sumbangan pertama yang besar untuk penelitian
pengaruh sosial dan kultural terhadap bunuh diri dilakukan pada
akhir abad yang lalu oleh ahli sosiologi Perancis Emile Durkheim.
Dalam upaya menjelaskan pola statistikal, Durkheim membagi bunuh
diri menjadi tiga kategori sosial : egoistik, altruistik, dan
anomik.
Bunuh Diri Egoistik diterapkan pada mereka yang tidak
terintegrasi secara kuat ke dalam kelompok sosial. Tidak adanya
integrasi keluarga dapat digunakan untuk menjelaskan mengapa orang
yang tidak menikah adalah lebih rentan terhadap bunuh diri
dibandingkan dengan mereka yang menikah dan mengapa pasangan dengan
anak-anak adalah kelompok yang paling terlindung dari semua
kelompok. Masyarakat perkotaan memiliki lebih banyak integrasi
sosial dibandingkan dengan daerah pedesaan, jadi lebih sedikit
bunuh diri.
Bunuh Diri Altruistik terjadi dalam masyarakat yang mempunyai
ikatan sosial yang kuat. Bunuh diri ini dimaksudkan demi kelompok,
hampir seperti bunuh diri ritual Jepang Seppuku yang dilakukan
ketika kekacauan melada masyarakat.
Bunuh Diri Anomik terkait dengan apa yang disebut Anomie atau
keadaan dimana anda tidak tahu tempat yang tepat bagi seseorang
seperti menjadi tunawisma atau yatim piatu. Orang tersebut merasa
tidak punya apa-apa dan ini berarti berada dalam keadaan tanpa
norma dan peraturan yang membimbing dalam kehidupan sosial
sehari-hari. Hal ini dapat menjelaskan mengapa mereka dengan
situasi ekonomi yang berubah secara drastik lebih rentan
dibandingkan mereka sebelum perubahan keberuntungan mereka. Anomik
juga dimaksudkan pada ketidakstabilan sosial, dengan kehancuran
standar dan nilai-nilai masyarakat.Faktor Psikologis
Teori FreudTilikan psikologis pertama yang paling penting ke
dalam bunuh diri berasal dari Sigmund Freud. Ia menggambarkan hanya
satu pasien yang mencoba bunuh diri, tetapi ia melihat banyak
pasien depresi. Dalam tulisannya Mourning and Melancholia, Freud
menyatakan keyakinannya bahwa bunuh diri mencerminkan agresi yang
dibelokkan ke dalam objek cinta yang terintroyeksi, dan ditangkap
secara ambivalen. Teori Karen HorneyKaren Horney menjelaskan
tentang teori psikoanalitik. Dimana terdapat empat faktor utama
yang mendasari kejadian bunuh diri, yaitu akibat tidak adanya
harapan, penderitaan, keterasingan (alienation), dan pencarian
kejayaan (search of glory). Teori MenningerBerdasarkan konsep
Freud, Karl Menninger menyimpulkan bahwa bunuh diri adalah
pembunuhan yang di retrofleksikan, pembunuhan yang dibalikkan
sebagai akibat kemarahan pasien kepada orang lain, yang dibalikkan
pada diri sendiri atau digunakan sebagai pengampunan akan
hukuman.
Ia juga menggambarkan insting kematian yang diarahkan kepada
diri sendiri (konsep Thanatos dari Freud). Ia menggambarkan tiga
komponen permusuhan dalam bunuh diri : keinginan untuk membunuh,
keinginan untuk dibunuh dan keinginan untuk mati. Teori Nico
SpeijerNico Speijer, sependapat dengan konsep yang dikemukakan
Freud. Bahwasanya tindakan bunuh diri disebaban karena adanya
agresi hebat yang tidak dapat disalurkan atau disublimasikan.
Agresi timbul oleh karena adanya frustasi, sebagaiman teori Agresi
Frustasi yang dikemukakan Dollard. Teori Erwin RingelErwin Ringel
memperkenalkan Presuicidal Syndrome Theory, teori ini terdiri dari
konstriksi yang berkembang, oto-agresi, dan fantasi bunuh diri.
Konstriksi yang berkembang terdiri dari konstriksi situasional,
konstriksi psikodinamik, keterbatasan hubungan interpersonal, dan
penyempitan nilai-nilai. Konstriksi situasional terdiri dari
musibah berat, hari-hari terakhir, dan perasaan terhimpit
subjektif. Konstriksi psikodinamik terdiri dari penyempitan isolasi
serta mekanisme emosional dan mental. Oto-agresi adalah agresi
terhambat dan membalik pada dirinya sendiri yang mengakibatkan
munculnya gangguan jiwa. Fantasi bunuh diri mula-mula berupa
pertimbangan, kemudian muncul spontan dengan sendirinya, kemudian
menjadi fantasi aktif (dying or being death), kemudian muncul
perilaku kompulsif hingga akhirnya timbul rencana bunuh diri yang
lebih rinci. Teori-teori Baru
Peneliti bunuh diri kontemporer tidak yakin bahwa struktur
psikodinamika atau kepribadian spesifik berhubungan dengan bunuh
diri. Tetapi mereka telah menulis bahwa banyak yang dipelajari
tentang psikodinamika pasien bunuh diri dari khayalan mereka
seperti apa yang akan terjadi dan apa akibatnya jika mereka
melakukan bunuh diri. Khayalan tersebut sering kali termasuk
keinginan untuk balas dendam, kekuatan, pengendalian atau hukuman;
untuk pertobatan, pengorbanan, atau pemulihan; untuk meloloskan
diri atau untuk tidur; atau untuk pembebasan, kelahiran kembali,
berkumpul kembali dengan orang yang telah meninggal atau untuk
hidup baru. Pasien bunuh diri yang paling mungkin melakukan
khayalan bunuh diri adalah mereka yang telah menderita kehilangan
objek cinta atau menderita cedera narsisistik, yang mengalami efek
berat seperti kemarahan dan rasa bersalah, atau yang
teridentifikasi dengan seorang korban bunuh diri. Dinamika kelompok
mendasari bunuh diri massal seperti yang terjadi di Masada dan
Jonestown.Diagram hubungan bunuh diri dengan gangguan mood dan
usaha bunuh diri
Faktor Fisiologis
GenetikaTeori faktor genetik dalam bunuh diri telah diajukan.
Penelitian menunjukan bahwa bunuh diri cenderung berjalan di dalam
keluarga. Sebagai contohnya,
pada orang yang mencoba bunuh diri ditemukan adanya riwayat
bunuh diri dalam keluarga lebih banyak secara bermakna daripada
orang yang tidak pernah melakukan bunuh diri.
Satu penelitian terbesar menemukan bahwa resiko bunuh diri untuk
sanak saudara dari pasien psikiatri hampir delapan kali lebih
tinggi dibanding sanak saudara dari kontrol. Selain itu, resiko
bunuh diri pada sanak saudara pasien psikiatri yang melakukan bunuh
diri adalah empat kali lebih tinggi dibandingkan pada sanak saudara
pasien psikiatri yang tidak melakukan bunuh diri.
NeurokimiaDefisiensi serotonin, diukur sebagai penurunan
metabolisme 5-hydroxyindo-leacetic acid (5-HIAA), telah ditemukan
dalam kelompok pasien depresi yang mencoba bunuh diri. Pasien
depresi yang mencoba bunuh diri dengan cara keras (contoh, senjata
api atau meloncat) memiliki kadar 5-HIAA yang lebih rendah di dalam
cairan serebrospinalisnya dibandingkan pasien depresi yang tidak
melakukan bunuh diri atau yang mencoba bunuh diri dengan cara yang
kurang keras (overdosis zat).
Beberapa penelitian terhadap binatang dan manusia telah
menyatakan suatu hubungan antara defisiensi sistem serotonin
sentral dan pengendalian impuls yang buruk. Beberapa peneliti telah
memandang bunuh diri sebagai salah satu tipe perilaku impulsif.
Kelompok pasien lain yang diperkirakan memiliki masalah dengan
pengendalian impuls adalah pelaku kekerasan, pembakar rumah dan
mereka dengan ketergantungan alkohol.
Beberapa peneliti telah menemukan pembesaran ventrikular dan
elektroensefalogram (EEG) yang abnormal pada beberapa pasien bunuh
diri. Sampel darah dari kelompok sukarelawan normal yang dianalisis
untuk monoamin oksidase trombosit menemukan bahwa orang dengan
kadar enzim yang terendah didalam trombositnya memiliki prevalensi
bunuh diri delapan kali lebih besar didalam keluarganya,
dibandingkan dengan orang yang memiliki kadar enzim yang
tinggi.
2.2.4 Faktor yang terkait
Adapun faktor-faktor yang terkait dengan tindakan bunuh diri
adalah:
1. Jenis Kelamin
Laki-laki tiga kali lebih sering melakukan bunuh diri
dibandingkan wanita. Akan tetapi wanita adalah empat kali lebih
mungkin berusaha bunuh diri dibandingkan laki-laki.
2. Metode
Lebih tingginya angka bunuh diri yang berhasil pada laki-laki
adalah berhubungan dengan metode yang digunakan dimana laki-laki
menggunakan pistol, menggantung diri, atau lompat dari tempat yang
tinggi. Sedangkan wanita lebih mungkin menggunakan zat psikoaktif
secara overdosis atau memotong pergelangan tangannya, tetapi mereka
mulai lebih sering menggunakan pistol dibandingkan sebelumnya. 3.
Usia
Angka bunuh diri meningkat sesuai dengan bertambahnya usia. Pada
laki-laki, puncak bunuh diri adalah usia 45 tahun; pada wanita,
jumlah terbesar bunuh diri yang berhasil adalah diatas 55 tahun.
Orang lanjut usia kurang sering melakukan usaha bunuh diri
dibandingkan orang muda tetapi lebih sering berhasil. Angka untuk
mereka yang berusia 75 tahun atau lebih adalah lebih dari tiga kali
dibandingkan angka untuk orang muda.
4. Ras
Angka bunuh diri diantara orang kulit putih adalah hampir dua
kali lebih besar dari angka bulan kulit putih, tetapi angka
tersebut masih diragukan, karena angka bunuh diri pada kulit hitam
adalah meninggi.
5. Status perkawinan
Perkawinan yang diperkuat oleh anak tampaknya secara bermakna
menurunkan risiko bunuh diri. Orang yang hidup sendirian dan tidak
pernah menikah memiliki angka hampir dua kali lipat angka untuk
orang yang menikah. Tetapi, orang yang sebelumnya pernah menikah
menunjukan angka yang jelas lebih tinggi dibandingkan orang yang
tidak pernah menikah. Bunuh diri lebih sering pada orang yang
memiliki riwayat bunuh diri dalam keluarganya dan yang terisolasi
secara sosial. Yang disebut bunuh diri ulang tahun (anniversary
suicide) adalah bunuh diri yang dilakukan oleh orang yang mencabut
hidupnya pada hari yang sama seperti yang dilakukan oleh anggota
keluarganya.
6. Pekerjaan
Semakin tinggi status sosial seseorang, semakin besar resiko
bunuh diri, tetapi penurunan status sosial juga meningkatkan
risiko. Pada umumnya, pekerjaan menghalangi bunuh diri. Bunuh diri
lebih tinggi pada orang yang pengangguran dibandingkan orang yang
bekerja. Selama resesi ekonomi dan depresi, angka bunuh diri
menjadi meningkat. Selama waktu tingginya pekerjaan dan selama
perang, angka bunuh diri menurun. Dokter secara tradisional
dianggap memiliki risiko terbesar untuk bunuh diri. Dokter
psikiatri dianggap memiliki risiko yang paling tinggi. Populasi
yang berada dalam risiko khusus adalah musisi, dokter gigi, petugas
hukum, pengacara dan agen asuransi.
7. Kesehatan Fisik
Hubungan antara kesehatan fisik dan bunuh diri sangat bermakna.
Penelitian postmortem menunjukan bahwa suatu penyakit fisik
ditemukan pada 25 sampai 75 persen dari semua korban bunuh diri.
50% orang dengan kanker yang melakukan bunuh diri melakukannya
dalam satu tahun setelah mendapatkan diagnosis. Tujuh penyakit
sistem saraf pusat yang meningkatkan risiko bunuh diri : epilepsi,
sklerosis multipel, cedera kepala, penyakit kardiovaskular,
penyakit Huntington, demensia, dan AIDS. Semua adalah penyakit
dimana diketahui terjadi gangguan mood yang menyertai.
Faktor yang berhubungan dengan penyakit dan terlibat didalam
bunuh diri dan usaha bunuh diri adalah hilangnya mobilitas pada
orang yang aktivitas fisiknya memiliki kepentingan pekerjaan atau
rekreasional; kecacatan, terutama pada wanita; dan rasa sakit
kronis yang tidak dapat diobati.
Obat tertentu dapat menyebabkan depresi, yang dapat menyebabkan
bunuh diri pada beberapa kasus. Diantara obat-obat tersebut adalah
reserpine (Serpasil), kortikosteroid, antihipertensi
(propanolol/Inderal), dan beberapa obat antikanker.
8. Kesehatan Menal
Faktor psikiatrik yang sangat penting dalam bunuh diri adalah
penyalahgunaan zat, gangguan depresif, skizofrenia, dan gangguan
mental lainnya. Hampir 95 persen dari semua pasien yang melakukan
bunuh diri atau berusaha bunuh diri memiliki gangguan mental yang
terdiagnosis. Pasien yang menderita depresi delusional berada pada
resiko tertinggi untuk bunuh diri sebesar 80%. 20% dari semua
pasien yang memiliki riwayat perilaku impulsif atau tindakan
kekerasan juga berada dalam resiko untuk bunuh diri. Perawatan
psikiatrik sebelumnya untuk alasan apapun meningkatkan resiko bunuh
diri.
9. Pasien Psikiatrik
Resiko pasien psikiatrik untuk melakukan bunuh diri adalah 3
sampai 12 kali lebih besar dibandingkan bukan pasien psikiatrik.
Derajat resikonya adalah bervariasi tergantung usia, jenis kelamin,
diagnosis, dan status rawat inap atau rawat jalan. Diagnosis
psikiatrik yang memiliki resiko tertinggi untuk bunuh diri pada
kedua jenis kelamin adalah gangguan mood.
Relatif mudanya korban bunuh diri sebagian disebabkan oleh
kenyataan bahwa dua gangguan mental kronis yang memiliki onset
awal, skizofrenia dan gangguan depresif yang berat rekuren
berjumlah lebih dari setengah dari semua bunuh diri tersebut.
2.2.5 Gangguan-gangguan yang beresiko terjadinya bunuh diri
:
1. Gangguan mood
Gangguan mood adalah diagnosis yang paling sering berhubungan
dengan bunuh diri. Pasien laki-laki lebih banyak yang melakukan
bunuh diri dibanding pasien wanita. Kemungkinan orang terdepresi
yang melakukan bunuh meningkat jika tidak menikah, dipisahkan,
diceraikan, janda atau baru saja mengalami kehilangan. 2.
Skizofrenia
Resiko bunuh diri tinggi diantara pasien skizofrenik; sampai 10
persen meninggal akibat bunuh diri. Usia onset skizofrenia biasanya
pada masa remaja atau dewasa awal dan sebagian besar pasien
skizofrenik yang melakukan bunuh diri melakukannnya selama
tahun-tahun pertama penyakitnya; dengan demikian pasien skizofrenia
yang melakukan bunuh diri cenderung relatif muda.
Gejala depresif berhubungan erat dengan bunuh diri mereka. Hanya
sejumlah kecil yang melakukan bunuh diri karena instruksi
halusinasi atau untuk melepaskan waham penyiksaan. Jadi, faktor
resiko untuk bunuh diri diantara pasien skizofrenik adalah usia
yang muda, jenis kelamin laki-laki, status tidak menikah, usaha
bunuh diri sebelumnya, kerentanan terhadap gejala depresif, dan
baru dipulangkan dari rumah sakit.
3. Ketergantungan Alkohol
15 persen orang yang ketergantungan alkohol melakukan bunuh
diri. Kira-kira 80 persen dari semua korban bunuh diri yang
tergantung alkohol adalah laki-laki. Kelompok terbesar pasien
laki-laki yang ketergantungan alkohol adalah mereka dengan gangguan
kepribadian antisosial. Korban bunuh diri yang tergantung alkohol
cenderung merupakan golongan kulit putih, usia pertengahan, tidak
menikah, tidak memiliki teman, terisolasi secara sosial dan baru
saja mulai minum.
4. Ketergantungan Zat Lain.
Penelitian di berbagai negara telah menemukan peningkatan resiko
bunuh diri diantara penyalahgunaan zat. Angka bunuh diri untuk
orang yang tergantung heroin kira-kira 20 kali lebih besar
dibandingkan angka untuk populasi umum.
5. Gangguan Kepribadian
Sejumlah besar korban bunuh diri memiliki berbagai macam
gangguan kepribadian yang menyertai. Menderita suatu gangguan
kepribadian mungkin merupakan suatu determinan perilaku bunuh diri
dalam beberapa cara : dengan mempredisposisikan pada gangguan
mental berat seperti gangguan depresif atau ketergantungan alkohol,
dengan menyebabkan kesulitan dalam hubungan dan penyesuaian sosial,
dengan mencetuskan peristiwa kehidupan yang tidak diinginkan,
dengan mengganggu kemampuan untuk mengatasi gangguan mental atau
fisik dan dengan menarik orang ke dalam konflik dengan orang
disekitar mereka, termasuk anggota keluarga, dokter dan anggota
staf rumah sakit.
Depresi adalah berhubungan tidak hanya dengan bunuh diri yang
dilakukan tetapi juga dengan usaha bunuh diri yang serius. Jika
orang yang melakukan usaha bunuh diri dinyatakan sebagai memiliki
maksud bunuh diri yang tinggi dibandingkan dengan mereka yang
memiliki maksud bunuh diri yang rendah, mereka secara bermakna
lebih banyak adalah laki-laki, berusia lebih tua, tidak menikah
atau bercerai dan hidup sendirian. Kesimpulan dari korelasi
tersebut adalah bahwa pasien depresi yang melakukan usaha bunuh
diri yang serius lebih menyerupai korban bunuh diri dibandingkan
dengan mereka yang berusaha bunuh diri.
2.2.6 Terapi
Tidak semua pasien memerlukan perawatan di rumah sakit, beberapa
dapat diobati dengan rawat jalan. Untuk menentukan apakah
dimungkinkan terapi rawat jalan, klinisi harus menggunakan
pendekatan klinis yang langsung meminta pasien yang diduga
bermaksud bunuh diri untuk setuju menelepon segera jika mencapai
titik dimana mereka tidak yakin akan kemampuan mereka untuk
mengendalikan impuls bunuh dirinya. Pasien yang dapat membuat
persetujuan tersebut memperkuat keyakinan bahwa mereka memiliki
kekuatan yang cukup untuk mengendalikan impuls tersebut dan
berusaha mencari bantuan. Jika pasien tidak dapat memenuhi komitmen
ini, maka perawatan di rumah sakit menjadi indikasi yang harus
diambil.
Menurut Schnedman, klinisi memiliki beberapa tindakan preventif
praktis untuk menghadapi orang yang ingin bunuh diri seperti :
1. Menurunkan penderitaan psikologi dengan memodifikasi
lingkungan pasien yang penuh dengan stress, menuliskan bantuan dari
pasangan, perusahaan atau teman.
2. Membangun dukungan yang realistik dengan menyadari bahwa
pasien mungkin memiliki keluhan yang masuk akal.
3. Menawarkan alternatif terhadap bunuh diri.
Keputusan untuk merawat pasien di rumah sakit tergantung pada
diagnosis, keparahan depresi dan gagasan bunuh diri, kemampuan
pasien dan keluarga untuk mengatasi masalah, situasi hidup pasien,
tersedianya dukungan sosial dan ada atau tidaknya faktor resiko
untuk bunuh diri.
Dalam rumah sakit pasien mungkin menerima medikasi antidepresan
atau antipsikotik sesuai dengan indikasi, terapi individual, terapi
kelompok dan pasien mendapatkan dukungan sosial rumah sakit dan
rasa aman. Tindakan terapeutik lain tergantung pada diagnosis dasar
pasien. Sebagai contohnya, jika ketergantungan alkohol adalah
masalah yang berhubungan, terapi harus diarahkan untuk
menghilangkan kondisi tersebut.
Tindakan yang berguna untuk terapi pasien rawat inap yang
mencoba bunuh diri dan mengalami depresi adalah memeriksa
barang-barang pasien dan orang yang berkunjung ke bangsal. Hal ini
bertujuan untuk mencari benda-benda yang dapat digunakan untuk
bunuh diri dan secara berulang mencari eksaserbasi gagasan bunuh
diri. Idealnya, pasien rawat inap yang mencoba bunuh diri dan
mengalami depresi harus diobati dalam bangsal yang terkunci dimana
jendela dipasang terali dan ruangan pasien harus berlokasi dekat
dengan tempat perawat untuk memaksimalkan pengamatan oleh staf
perawat. Tim yang mengobati harus memeriksa secara berulang atau
terus menerus mengawasi secara langsung. Terapi yang efektif dengan
medikasi antidepresan harus dimulai. Terapi elektrokonvulsif (ECT)
mungkin diperlukan untuk beberapa pasien yang terdepresi parah yang
mungkin memerlukan beberapa kali pengobatan.
Pasien yang sedang pulih dari depresi bunuh diri berada pada
resiko khusus. Saat depresi menghilang, pasien menjadi memiliki
energi dan mampu untuk melakukan rencana bunuh dirinya.
kadang-kadang pasien depresi dengan atau tanpa terapi secara
tiba-tiba tampak damai dengan dirinya sendiri karena mereka telah
mengambil keputusan rahasia untuk melakukan bunuh diri. Klinisi
harus secara khusus mencurigai perubahan klinis yang dramatis
tersebut, yang mungkin meramalkan usaha bunuh diri.Terapi
Psikofarmaka
Seseorang yang sedang dalam krisi karena baru ditinggal mati
atau baru mengalami suatu kejadian yang jangka waktunya tak lama,
biasanya akan berfungsi lebih baik setelah mendapatkan tranquilizer
ringan, terutama bila tidurnya terganggu. Obat pilihannya adalah
golongan benzodiazepine misalnya lorazepam 3 x 1 mg sehari, selama
2 minggu. Hati-hati memberikan benzodiazepine pada pasien yang
hostile, karena penggunaan benzodiazepine yang teratur dapat
meningkatkan iritabilitas pasien. Jangan memberikan obat dalam
jumlah banyak sekaligus kepada pasien (resepkan sedikit-sedikit
saja) dan pasien harus kontrol dalam beberapa hari.
Pemberian antidepresan biasanya tidak dimulai di ruang gawat
darurat, meskipun biasanya terapi definitif pasien-pasien yang
mempunyai kecenderungan bunuh diri adalah antidepresan.
Antidepresan boleh diberikan di instalasi gawat darurat asal dibuat
perjanjian kontrol keesokan harinya secara pasti.
2.3 Pencegahan Bunuh DiriSebagian besar bunuh diri pada
psikiatri dapat dicegah. Dimana depresi menjadi gangguan paling
sering yang menyebabkan seseorang untuk melakukan bunuh diri.
Berdasarkan teori Psikodinamika oleh Sigmund Freud, fungsi Ego
sangat berhubungan erat dengan pertimbangan yang melibatkan
kemampuan menghadapi akibat dari suatu tindakan seseorang. Ego
dipakai dalam memecahkan masalah pribadi orang tersebut, khususnya
bila terjadi konflik dengan dunia realitas atau bila terdapat
ketidaksesuaian antara keinginan yang tidak sinkron secara
internal. Selain itu juga mempertimbangkan keuntungan dan kerugian
dari suatu tindakan, sebelum akhirnya memutuskan untuk melakukan
atau tidak melakukan sesuatu.
Bunuh diri menjadi tindakan yang diambil pada orang-orang yang
mengalami gangguan kejiwaan seperti depresi akibat Ego tidak cukup
kuat menahan desakan ataupun dorongan-dorongan yang muncul dari
dalam dirinya sehingga ia akan mengembangkan mekanisme pertahanan
diri. Mekanisme pertahanan diri ini sebenarnya upaya ego untuk
menyalurkan dorongan dari dalam dirinya dan bisa tetap berhadapan
dengan lingkungan. Tetapi jika mekanisme pertahanan diri ini
dipergunakan secara kaku, terus menerus dan berkepanjangan, maka
hal ini dapat menimbulkan perilaku yang tidak adaptif dan tidak
realistis seperti keinginan untuk bunuh diri.
Untuk mencegah terjadinya bunuh diri tersebut, maka
penanganannya dengan memberikan kesempatan kepada orang tersebut
untuk mengeluarkan seluruh isi pikiran atau perasaannya yang muncul
di dalam dirinya secara verbal. Dimana Ego akan lebih bebas dan
tidak harus terus berlindung di balik mekanisme pertahanan diri
yang dikembangkannya. Adapun cara yang digunakan oleh Sigmund Freud
untuk terapi sekaligus untuk mengumpulkan data, yaitu :
1. Metode asosiasi bebas (free association), dimana pasien
diminta untuk berbicara tentang segala sesuatu dan apa saja yang
terjadi pada dirinya dengan leluasa dan tanpa perlu berusaha
membuat uraian yang logis, teratur dan penuh arti. Untuk menjaga
agar pengaruh gangguan yang datang dari luar tetap minimal,
biasanya pasien disuruh berbaring diatas dipan dalam ruangan yang
tenang. Ucapan-ucapan pasien yang serba tidak teratur ini merupakan
pernyataan yang memiliki hubungan dinamik dan penuh arti dengan
pernyataan sebelumnya, sehingga terbentuklah suatu rangkaian
asosiasi yang kontinyu dari awal hingga akhir. Mungkin banyak
ucapan yang menyesatkan maupun hambatan-hambatan, tetapi pada
akhirnya sejarah kejiwaan pasien dapat sampai kepada pendengar
(terapis) dengan mengikuti rangkaian asosiasi melalui lika-liku
ungkapan verbal.2. Analisis tentang mimpi (dream interpretation),
dimana pasien diminta secara spontan teringat tentang mimpi-mimpi
mereka dan selanjutnya melakukan asosiasi bebas tentang mimpi-mimpi
tersebut. Mimpi-mimpi yang dilaporkan dan asosiasi bebas yang
mengiringnya merupakan sumber informasi yang kaya tentang dinamika
kepribadian manusia.Peran Ego yang terpenting adalah sebagai
eksekutif organisasi kepribadian dimana energi digunakan untuk
menciptakan integrasi diantara ketiga sistem. Tujuan dari fungsi
integrasi Ego adalah untuk menciptakan keselarasan batin dalam
kepribadian antara Ego dengan lingkungan sehingga dapat berjalan
lancar dan efektif. Caranya, Ego harus mengendalikan Id dan
Superego agar Ego mampu mengarahkan kepribadian secara bijak supaya
bisa berhubungan dengan dunia luar. Apabila Id menguasai sebagian
besar energi, maka tingkah laku akan menjadi impulsif dan primitif,
bila Superego yang menguasai sebagian besar energi maka fungsi
kepribadian akan didominasi oleh pertimbangan-pertimbangan
moralistik dari pada pertimbangan-pertimbangan realistik.
Antikateksis (daya kekang) suara hati bisa membelenggu Ego dengan
nilai moral dan menghalangi tindakan apapun sementara kateksis
(daya dorong) Ego ideal bisa menentukan norma-norma yang sangt
tinggi bagi Ego sehingga pribadi terus menerus dikecewakan dan
akhirnya mengalami perasaan gagal yang membuat depresi. BAB
IIIKESIMPULANBunuh diri merupakan perasaan putus asa dan ketidak
berdayaan, konflik ambivalen antara keinginan hidup dan tekanan
yang tidak dapat ditanggung, menyempitnya pilihan yang dirasakan
dan keinginan untuk melarikan diri. bisa dikatakan bunuh diri
merupakan cara keluar dari masalah atau krisis yang hampir selalu
menyebabkan penderitaan yang kuat.
Orang yang mau melakukan bunuh diri memiliki riwayat, tanda dan
gejala kearah bunuh diri, seperti :
Upaya atau khayalan bunuh diri sebelumnya
Kecemasan, depresi dan kelelahan
Tersedia alat-alat untuk bunuh diri
Riwayat bunuh diri dalam keluarga
Gagasan bunuh diri yang diungkapkan
Krisis hidup seperti duka cita
Pesimisme atau keputusan yang pervasif
Menurut teori Psikodinamika dari Sigmund Freud, struktur
kepribadian Ego sangat mempengaruhi tindakan yang akan diambil
seseorang. Dimana peran Ego sebagai organ pelaksana (executive)
dari jiwa yang mengontrol pergerakan, persepsi, kontak dengan
kenyataan dan melalui mekanisme pertahanan yang ada padanya akan
memperlambat dan memodifikasi dorongan ekspresi atau denagn kata
lain Ego menjadi tidak bebas dan terus berlindung dibalik mekanisme
pertahanan diri yang dikembangkannya.
Untuk mengatasinya maka Sigmund Freud menggunakan metode free
association dan dream interpretation untuk membebaskan Ego supaya
keluar dan tidak berada dibalik mekanisme pertahanan. Selain itu
bila pencegahannya dengan Psikodinamika tidak dijalankan, maka
dapat terjadi gangguan kejiwaan yang nantinya mengarah ke bunuh
diri. Bila hal ini terjadi, maka pasien harus mendapatkan terapi
seperti rawat inap dan rawat jalan, pemberian obat-obat seperti
antidepresan atau antipsikosis. Selain itu pasien juga membutuhkan
terapi individu atau terapi kelompok sesuai indikasi dari diagnosis
dasar yaitu gangguan kejiwaan yang mencetuskan terjadinya bunuh
diri.DAFTAR PUSTAKA
1. Hawari, D.; Psikopatologi Bunuh Diri . Balai penerbit FKUI ,
Jakarta, 2010.
2. Prayitno, A. ; Percobaan Bunuh Diri di Jakarta, Dalam
Hubungannya Dengan Diagnosis Psikiatri dan Faktor Sosiokultural,
Disertasi Gelar Doktor FKUI, 1984.
3. Maramis, W.F., Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Cetakan
kesembilan, Surabaya : Airlangga University Press, 2005.
4. Rumah Sakit Jiwa Lawang, Membangun Kesadaran-Mengurangi
Resiko Gangguan Mental dan Bunuh Diri, 2007. (online), available :
http://rsjlawang.com/artikel_070309a.html Diakses 7 Oktober 2009.
Diakses 7 Juni2011
5. Suwanto, Bunuh Diri, 2009. (online), available :
http://ezcobar.com/dokter-online/dokter15/index.php? Diakses 7 Juni
2011.
6. Kaplan dan Sadock. Kaplan H. I, Sadock B.J Sinopsis Psikiatri
: Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri, Hal 353-367, Klinis Edisi
Ketujuh, Jilid Dua. Binarupa Aksara, Jakarta. 1997.
2 | KEDARURATAN PSIKIATRI