BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gangguan afektif bipolar merupakan gangguan jiwa yang tersifat oleh episode berulang (sekurang- kurangnya dua episode) dimana afek pasien dan tingkat aktivitasnya jelas terganggu, pada waktu tertentu terdiri dari peningkatan afek disertai penambahan energi dan aktivitas (mania atau hipomania) dan pada waktu lain berupa penurunan afek disertai pengurangan energi dan aktivitas (depresi). Yang khas dari gangguan ini adalah bahwa biasanya ada penyembuhan sempurna antar episode (Maslim, 2001). Terdapat dua tipe gangguan afektif bipolar, yaitu tipe I dan tipe II. Pada gangguan afektif bipolar tipe I, pasien mengalami episode manik dan depresif atau pasien mengalami episode manik saja. Sedangkan pada gangguan afektif bipolar tipe II ditandai oleh adanya episode depresif berat dan berganti-ganti dengan hipomania (Kaplan, 2010). Gangguan afektif bipolar disebut-sebut bertanggung jawab untuk hendaya yang terjadi pada seseorang oleh karena onsetnya yang cepat dan kronisitasnya selama masa hidup seseorang. Estimasi 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gangguan afektif bipolar merupakan gangguan jiwa yang tersifat oleh
episode berulang (sekurang-kurangnya dua episode) dimana afek pasien dan
tingkat aktivitasnya jelas terganggu, pada waktu tertentu terdiri dari
peningkatan afek disertai penambahan energi dan aktivitas (mania atau
hipomania) dan pada waktu lain berupa penurunan afek disertai pengurangan
energi dan aktivitas (depresi). Yang khas dari gangguan ini adalah bahwa
biasanya ada penyembuhan sempurna antar episode (Maslim, 2001).
Terdapat dua tipe gangguan afektif bipolar, yaitu tipe I dan tipe II.
Pada gangguan afektif bipolar tipe I, pasien mengalami episode manik dan
depresif atau pasien mengalami episode manik saja. Sedangkan pada
gangguan afektif bipolar tipe II ditandai oleh adanya episode depresif berat
dan berganti-ganti dengan hipomania (Kaplan, 2010).
Gangguan afektif bipolar disebut-sebut bertanggung jawab untuk
hendaya yang terjadi pada seseorang oleh karena onsetnya yang cepat dan
kronisitasnya selama masa hidup seseorang. Estimasi agregat prevalensi
seumur hidup gangguan ini adalah sekitar 1,0% dari populasi umum untuk
gangguan afektif bipolar tipe I, sedangkan estimasi prevalensi pada tipe II
adalah sebesar 1,2% (Merikangas, 2011).
Studi komorbiditas nasional Amerika melaporkan prevalensi seumur
hidup gangguan afektif bipolar sebesar 4% dan gangguan ini lebih sering
ditemukan pada wanita dibandingkan dengan pria dengan rasio 3:2. Usia rata-
rata penderita saat onset adalah 25 tahun, dengan pria memiliki onset yang
lebih awal dibandingkan dengan wanita (Andreasen, 2006).
Pada populasi yang memiliki asuransi, 7,5% dari semua penuntut
manfaat asuransi layanan kesehatan jiwa yang mengajukan klaim, 3,0%nya
mengajukan klaim dengan diagnosis gangguan afektif bipolar. Seseorang
dengan gangguan afektif bipolar, mengeluarkan sekitar $568 di setiap
1
tahunnya yang mana biayanya dua kali lipat dibandingkan dengan penuntut
manfaat asuransi kesehatan jiwa lainnya. Hal ini membuat gangguan afektif
bipolar menjadi diagnosis gangguan jiwa termahal, dengan biaya pengobatan
dua kali lipat dibandingkan dengan pasien yang menderita depresi saja (Peele,
2003). Selain menimbulkan dampak pada ekonomi, gangguan ini juga
berdampak sosial pada komunitas di tempat pasien tinggal (American
Psychiatric Association, 2000).
Oleh karena alasan tersebut, maka diperlukan adanya intervensi dini
dan peningkatan manajemen pencegahan pada gangguan tersebut. Salah satu
cara yang dapat dilakukan adalah dengan mengetahui apa peran dari
epigenetik, genetik, dan biomolekuler pada gangguan ini, sehingga pada
akhirnya insidensi dan prevalensi gangguan ini dapat menurun serta mungkin
dapat ditemukannya cara terapi yang efektif dan efisien dibandingkan dengan
cara terapi tradisional untuk gangguan tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Apa peran epigenetik pada gangguan afektif bipolar?
2. Apa peran genetik pada gangguan afektif bipolar?
3. Apa peran biomolekuler pada gangguan afektif bipolar?
C. Tujuan
1. Mengetahui peran epigenetik pada gangguan afektif bipolar
2. Mengetahui peran genetik pada gangguan afektif bipolar
3. Mengetahui peran biomolekuler pada gangguan afektif bipolar
D. Manfaat
1. Manfaat Teoritis
Makalah ini diharapkan dapat memberi informasi dan pengetahuan ilmiah
dalam bidang genetik, epigenetik, dan biomolekuler pada gangguan
afektif bipolar.
2
2. Manfaat Praktis
Makalah ini diharapkan dapat memberikan informasi, pengetahuan secara
umum, dan manfaat kepada pembaca dan kepada penulis pada khususnya
agar lebih memahami gangguan afektif bipolar.
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Epigenetik
Epigenetik adalah suatu mekanisme yang menentukan apakah suatu
gen akan diekspresikan menjadi RNA dan protein, atau akan dibungkam.
Epigenetik merujuk pada perubahan yang diwariskan dalam ekspresi gen
yang tidak melibatkan perubahan pada urutan DNA yang mendasari atau
dengan kata lain perubahan fenotipe tanpa perubahan genotipe. Jika genom
adalah "kata," maka epigenom adalah "cerita" yang dihasilkan dari mengatur
"kata" menjadi cerita yang koheren. Neurotransmisi, gen itu sendiri, obat-
obatan, dan lingkungan mengatur gen yang diekspresikan atau dibungkam
(Stahl, 2013).
1. Mekanisme molekuler epigenetik
Mekanisme epigenetik menghidupkan dan mematikan gen dengan
memodifikasi struktur kromatin dalam inti sel. Karakter sel secara
fundamental ditentukan oleh kromatin, sebuah substansi yang terdiri dari
nukleosom. Nukleosom merupakan rangkaian DNA yang melilit suatu
protein yang disebut histon. Epigenetik mengatur apakah gen akan
diekspresikan atau tidak diekspresikan, dicapai dengan memodifikasi
struktur kromatin. Modifikasi kimia yang dapat melakukan hal ini tidak
hanya metilasi, tetapi juga asetilasi, fosforilasi, dan proses lainnya yang
diatur oleh neurotransmisi, obat-obatan, dan lingkungan. Misalnya, ketika
DNA atau histon ter-metilasi, ia akan memadatkan kromatin dan menutup
akses faktor transkripsi molekul ke daerah promotor DNA, dengan
konsekuensi bahwa gen dibungkam dan tidak diekspresikan. Sehingga
tidak ada RNA atau protein yang diproduksi. Silenced DNA berarti bahwa
fitur molekul bukan bagian dari kepribadian sel itu (Stahl, 2013).
Histon yang termetilasi oleh enzim disebut histone metil-
transferase (HMT), dan dapat diubah kembali oleh enzim yang disebut
4
histone demethylase (HDM). Metilasi histon dapat membungkam gen,
sedangkan demetilasi dari histon dapat mengaktifkan gen. DNA juga dapat
termetilasi, dan ini juga membungkam gen. Demetilasi DNA akan
mengaktifkan gen. Metilasi DNA diatur oleh enzim DNA metil-transferase
(DNMT), dan demetilasi DNA oleh enzim DNA demethylase. Ada banyak
bentuk enzim metil-transferase, dan semuanya menambahkan substrat
dengan kelompok metil yang disumbangkan dari L-methylfolate melalui S-
adenosyl-methionin (SAMe). Ketika neurotransmisi, obat-obatan, atau
lingkungan mempengaruhi metilasi, hal inilah yang mengatur gen secara
epigenetik apakah gen akan diekspresikan atau dibungkam (Stahl, 2013).
Metilasi DNA akhirnya dapat juga menyebabkan deasetilasi histon,
dengan mengaktifkan enzim yang disebut histone deacetylases (HDAC).
Deasetilasi histon juga memiliki efek pembungkaman pada ekspresi gen.
Metilasi dan deasetilasi akan memadatkan kromatin, seakan gerbang
molekul telah ditutup. Hal ini untuk mencegah faktor transkripsi
mengakses daerah promotor yang mengaktifkan gen; dengan demikian,
gen dibungkam dan tidak ditranskripsi menjadi RNA atau diterjemahkan
menjadi protein. Di sisi lain, demetilasi dan asetilasi melakukan
dekompresi kromatin seakan gerbang molekul telah dibuka, dan dengan
demikian faktor transkripsi bisa sampai ke daerah promotor gen dan
mengaktifkan gen. Gen diaktifkan dengan demikian menjadi bagian dari
kepribadian molekul dari sel tertentu (Stahl, 2013).
5
Gambar 1. Gene activation and silencing
Pada mamalia, modifikasi DNA genomik terjadi terutama di posisi
kelima dari cincin pirimidin sitosin di dinukleotida CpG (Gambar 1). Gen
promotor mamalia sering dikaitkan dengan regio kaya-CpG (CpG islands),
dan tingkat metilasinya sangat dinamis selama tahap-tahap perkembangan
(Garinis et al.2002).
6
Gambar 2. Modifikasi epigenetik pada histon
Modifikasi epigenetik pada histon terjadi pada unit octamer dari
protein histon (Gambar 2). Ekor yang menonjol dari protein histon adalah
bagian untuk modifikasi posttranslational, seperti asetilasi, metilasi, dan
fosforilasi (Jenuwein dan Allis 2001). Aktivitas yang berlawanan dari
enzim HMT, HDM, HAT, dan HDAC ini memberikan sebuah
keseimbangan yang dinamis antara struktur kromatin dan transkripsi gen
yang terkait. Telah diketahui modifikasi histon juga terkait dengan pola
metilasi DNA pada lokus kromosom. Methyl-binding domain proteins
(MBD), seperti metil-CpG-binding protein 2 (MECP2), bisa untuk metilasi
DNA dan menarik kompleks protein besar yang mengandung HDAC dan
HMT, yang selanjutnya menekan aktivitas gen (Khare et al, 2011).
Baru-baru ini, diketahui bahwa regulasi epigenetik melibatkan
small interfering RNA (siRNA) / mikro RNA (miRNA). RNA kecil terdiri
dari 21-28 nukleotida, dan berasal dari pembelahan RNA untai ganda.
RNA dapat memainkan peran regulasi tingkat transkripsi dan
posttranscriptional. RNA-mediated gene silencing memainkan peran
penting dalam mempertahankan struktur kromosom, pertahanan genom,
dan regulasi gen, dan baru-baru ini menunjukkan peran penting dalam
perkembangan penyakit (Khare et al, 2011).
7
a. Epigenetik pada gangguan afektif bipolar
Pada umumnya, penyakit yang kompleks, seperti gangguan
afektif bipolar, disebabkan oleh dua kelompok faktor risiko, yaitu:
perubahan dalam rangkaian DNA dan lingkungan yang berbahaya.
Epigenetik telah diketahui memiliki banyak peran pada regulasi
beberapa proses genomik yang berhubungan dengan penyakit psikiatri
dan penyakit kompleks lainnya.
Model epigenetik dari gangguan afektif bipolar dan penyakit
kompleks lainnya bergantung pada tiga konsep dasar yaitu:
1) Regulasi epigenetik spatiotemporal fungsi gen yang sangat dinamis
Epigenetik suatu sel dipengaruhi oleh perkembangan
organisme, lingkungan internal dan/atau eksternal, dan faktor
stokastik. Dengan demikian, jenis sel dalam suatu jaringan memiliki
epigenotipe yang berbeda dengan jenis suatu sel di jaringan lain
(Khare et al, 2011).
2) Beberapa tanda epigenetik menampilkan stabilitas meiosis parsial
Selama meiosis, tanda epigenetik akan terhapus dalam sel
germinal dan akan terbentuk profil sel yang baru. Efek
transgenerational fenotipik muncul jika tanda epigenetik tidak
terhapus secara sempurna (Khare et al, 2011).
3) Faktor-faktor epigenetik penting dalam fungsi normal dari genom
Penyimpangan dalam status epigenetik sel dapat
menyebabkan kerugian yang serius pada genom, sel, jaringan, atau
individu (Khare et al, 2011).
Macam-macam mekanisme epigenetik pada gangguan afektif
bipolar adalah sebagai berikut:
a) Diskordansi Kembar Monozigot
Pada gangguan afektif bipolar, korkondansi (fenotip sama)
teramati sebanyak 62% dan 79% pada kembar monozigot pria dan
wanita. Sedangkan pada kembar dizigot, menunjukkan 12-15%
konkordansi. Perbedaan fenotip pada kembar monozigot sering
8
diinterpretasikan sebagai bukti dari interaksi lingkungan yang
menyebabkan penyakit pada salah satu dari dua anak kembar, tetapi
Taylor et al (2002) menunjukkan bahwa orang tua yang
membesarkan anak mereka dalam lingkungan yang normal tidak
menurunkan risiko terjadinya gangguan afektif bipolar. Dari sudut
pandang epigenetik, diskordansi kembar monozigot dapat dijelaskan
sebagai kaskade perubahan epigenetik yang dimulai dengan pre-
epimutasi, suatu masalah epigenetik yang timbul selama maturasi
germline. Pre-epimutasi tidak menyebabkan suatu kondisi kesakitan,
melainkan dapat menjadi faktor predisposisi seorang individu
menderita suatu penyakit. Pre-epimutasi dapat dipengaruhi oleh
pengaruh dari pre- dan post-natal, seperti diferensiasi jaringan,
lingkungan eksternal, hormon, kejadian stokastik, dll. Oleh karena
sifat dinamis tersebut, epimutasi penuh hanya dapat terjadi pada
salah satu anak kembar. Perbedaan epigenetik pada anak kembar
seperti yang telah diuraikan di atas dapat menyebabkan diskordansi
penuh atau parsial (variasi muncul pada onset usia, keparahan
penyakit, dan respon pengobatan). Perbedaan epigenetik molekuler
telah diidentifikasi pada “discordant” kembar monozigot pada
Sindrom Beckwith Wiedemann, dan pada kembar monozigot yang
menderita gangguan psikiatri (Khare et al, 2011).
Inaktivasi kromosom X yang tidak simetris pada wanita
merupakan proses epigenetik lain yang dapat menjelaskan
diskordansi kembar monozigot pada wanita (Rosa et al, 2008).
Beberapa tingkat regulasi epigenetik, seperti metilasi DNA, ekspresi
RNA Xist non-coding, dan modifikasi histon, terlibat dalam
inaktivasi kromosom X (Khare et al, 2011).
b) Dismorfisme seksual
Pengaruh seks, atau dimorfisme seksual, merujuk ke
perbedaan kerentanan terhadap penyakit pada jenis kelamin laki-laki
dan perempuan. Perbedaan tersebut dahulu diduga terkait dengan
9
perbedaan gen yang berada pada kromosom seks. Sebagai tambahan,
efek spesifik dari gender telah dikaitkan dengan hormon seks dan
peran penting mereka dalam berbagai proses regulasi dan kondisi
penyakit (Sit, 2004). Perbedaan seks terdapat pada gangguan afektif
bipolar, seperti yang terlihat pada lebih tingginya insidensi dari
rapid cycling, gangguan campuran, dan siklotimia pada wanita dan
prevalensi yang lebih tinggi dari onset dini gangguan afektif bipolar
pada pria (Braunig et al 2009). Beberapa penelitian mengungkapkan
bahwa gen autosomal juga mungkin menunjukkan pengaruh gender
(Kaminsky et al. 2006). Sebagai contoh, studi asosiasi gen G
protein-coupled receptor 78 (GPR78), yang terletak di kromosom 4,
ditemukan dua haplotipe yang muncul, terutama wanita dengan
gangguang bipolar (Underwood et al. 2006). Epigenetik dapat
memberikan penjelasan tentang efek seks pada gen autosom.
Yang menjadi perhatian adalah reseptor androgen dan
reseptor estrogen, yang merupakan bagian dari reseptor steroid (SR)
yang merupakan anggota dari reseptor hormon di inti sel (Fu et al
2004). SR merespon hormon steroid dengan merekrut kompleks
protein lalu dihubungkan dengan beberapa enzim yang dapat
memodifikasi histon, seperti HAT, HDAC, dan HMT, yang
menentukan bisa atau tidaknya RNA polimerase II dan faktor
transkripsi mengakses DNA (Fu et al. 2004). Beberapa studi telah
menunjukkan bahwa modifikasi histon, serta perubahan dalam
metilasi DNA dari gen-gen tertentu, dapat dimediasi melalui hormon
seks. Selain itu, efek dari hormon seks telah terbukti spesifik
terhadap gen dan jaringan tertentu, berdasarkan pada diferensiasi
spesifik jaringan tertentu terhadap respon dari reseptor hormon seks
diantara gender dan terget gennya (Azzi et al 2006). Misalnya, efek
spesifik pada jaringan yang disebabkan oleh seks hormon
ditunjukkan pada terapi estradiol pada tikus, yang mengakibatkan
peningkatan metilasi gen prolaktin dan penurunan mRNA hanya di
10
hipofisi dan liver. Dari penelitian tersebut, dapat diasumsikan bahwa
alel atau haplotype tertentu terlibat menjadi faktor risiko setelah
adanya perubahan epigenetik yang dimediasi oleh sistem endokrin.
c) Efek dari orang tua
Orang tua juga berpengaruh dalam kondisi biologis manusia,
mengacu pada pengaruh spesifik gender orang tua terhadap risiko
pengembangan penyakit pada keturunannya. Ada banyak penelitian
yang menunjukkan sering terjadinya transmisi maternal pada
gangguan afektif bipolar pada kasus familial (Lan et al. 2007).
Mekanisme lain yang mungkin menjelaskan pengaruh dari orang tua
yang bisa menurunkan gangguan afektif bipolar adalah pewarisan
mitokondria dan genomic imprinting.
Genomic imprinting mengacu pada beberapa ratus gen dari
ekspresi monoalel, terutama disebabkan perbedaan tanda epigenetik
pada alel ibu atau ayah. Biasanya, gen yang tercetak menunjukkan
sebuah jenis ekspresi "on/off"; contohnya, H19 diekspresikan ketika
diturunkan dari ibu, sedangkan IGF2 secara eksklusif diekspresikan
ketika diwarisi dari ayah. Gen yang tercetak biasanya terletak dalam
suatu kompleks dan mungkin dapat menunjukkan regulasi epigenetik
dalam jaringan secara spesifik. Regulasi gen yang tercetak dalam
suatu komples melibatkan satu atau beberapa elemen regulasi yang
memiliki perbedaan epigenetik pada alel ayah dan ibu, disebut
sebagai imprinting center IC) atau differentially methylated regions
(DMR). Modifikasi pada epigentik di IC dipertahankan sepanjang
perkembangan organisme dan hanya terhapus dan dimunculkan
kembali selama pembentukan germ cell (Sasaki dan Matsui 2008).
Perlu dicatat bahawa gen ayah dan gen ibu mungkin saling
mendominasi satu sama lain di setiap daerah otak yang berbeda.
Pada tikus, daerah otak yang menunjukkan dominasi pengaruh ayah
berada di hipotalamus dan daerah septum, yang memediasi perilaku
insting, seperti makan, kawin, dan agresi sosial. Pengaruh ibu terlihat
11
di bidang yang terkait dengan perkembangan kognitif (Barrett et al
2009). Selanjutnya, sindom imprinting sering menunjukkan
komorbiditas psikiatrik. Imprinting biasanya terletak di kromosom
15q11-13, yang terlibat dalam etiologi Prader-Willi dan Angelman
syndrome (PWS dan AS). Angelman syndrome, atau sindrom
"happy puppet", ditandai dengan penurunan regulasi epigenetik dari
gen ibu. Individu yang terkena menunjukkan adanya gangguan
ADHD pada masa bayi, dengan tingginya insiden autisme.
Sebaliknya, PWS disebabkan penurunan regulasi gen ayah, yang
memperlihatkan perilaku sangat tenang di masa bayi. Individu yang
terkena PWS memiliki insidensi yang tinggi untuk terjadinya
psikosis dengan depresi.
d) Efek Epigenetik lainnya
Perkembangan penelitan menunjukkan bahwa faktor
lingkungan, seperti pola makan, faktor kimia, dan faktor fisik, serta
faktor-faktor psikososial, dapat memodulasi profil epigenetik dari
genom, baik pada lokus yang spesifik maupun global. Pengaruh pola
makan diamati dari suatu penelitian yang dilakukan pada penyakit
skizofren (memiliki fenotip mirip dengan gangguan afektif bipolar)
menunjukkan bahwa anak dimana ibunya terkena bencana kelaparan
menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi untuk skizofrenia. Selain
itu, anak tersebut juga menampilkan penyimpangan modifikasi
epigenetik pada promotor dari gen IGF 2. Pada hewan, penambahan
suplemen metyl-donor, seperti asam folat dan vitamin B12, selama
kehamilan ditemukan meningkatkan metilasi DNA keseluruhan
genom embrio. Efek ini terdokumentasikan dengan baik pada elemen
IAP yang muncul pada lokus gen Agouti dan, sebagai hasil,
perubahan warna bulu yang diamati. Selain diet, regulasi dari fungsi
genom dapat dipengaruhi oleh penggunaan narkoba. Misalnya,
methamphetamine mempengaruhi metilasi DNA dengan mengubah
ekspresi DNMT1. Penggunaan jangka panjang dari metamfetamin
12
diketahui menyebabkan perilaku yang berlebihan dari agresif,
defensif, dan perilaku seksual, kadang-kadang diamati pada pasien
BPD dan skizofrenia (Khare et al, 2011).
Pasien dengan gangguan afektif bipolar sering menunjukkan
kebiasaan sleep-wake dysrhythmic, seperti insomnia, variasi diurnal
pada mood, dan bangun tidur terlalu pagi. Studi dengan
menggunakan tikus menunjukkan keterlibatan sleep-wake rhythm;
seperti (1) mutasi pada gen Clock (Circadian Locomotor Output
Cycles Kaput Protein) pada tikus yang mengarah ke perilaku mania
seperti pada manusia, dan (2) tikus transgenik yang mengekspresikan
secara berlebihan Gsk3b (Glycogen kinase 3 beta) juga
menunjukkan hiperaktif dan perilaku seperti manik. Serangkaian gen
yang terlibat dalam ritme sirkadian juga menonjol sebagai kandidat
potensial orang yang akan mengalami gangguan afektif bipolar,
terutama untuk gangguan afektif bipolar anak. Sleep-wake rhytm
dipertahankan pada nukleus suprachiasmatic (SCN) di hipotalamus
dan diregulasi dengan mekanisme umpan balik transkripsi, yang
dapat berjalan tanpa adanya masukan dari lingkungan selama 24
jam. Heterodimer dari CLOCK dan Brain and Muscle ARNT-like
Protein-1 (BMAL1) berfungsi sebagai aktivator transkripsi dari
target gen CLOCK (PER 1 dan 2, CRY1 dan 2). GSK-3b
memfosforilasi target gen CLOCK dan mengarahkan mereka ke inti
sel, dimana mereka menghambat aktivitas fungsional
CLOCK/kompleks BMAL1, sehingga menyelesaikan umpan balik
transkripsi. Melatonin, merupakan sebuah hormon kunci yang
terlibat dalam pemeliharaan ritme sirkadian, disekresikan oleh
kelenjar pineal, yang diatur oleh SCN. Sekresi melatonin
dipengaruhi oleh siklus terang-gelap, dimana kegelapan merangsang
dan cahaya menekan produksinya. Cahaya memicu fosforilasi
H3Ser10 dalam neuron-neuron di SCN dan memicu asetilasi H3
menjadi K14. Modifikasi epigenetik ini digabungkan dengan
13
transkripsi aktif dari gen CLOCK. Menariknya, protein CLOCK
memproses aktivitas intrinsik HAT, pengasetilasian histon H3 dan
H4, dengan preferensi yang tinggi untuk H3K14. Demikian pula,
modifikasi histon yang berbeda juga berjalan selama ritme sirkadian
untuk represi transkripsi gen target CLOCK, misalnya di-metilasi
dan tri-metilasi H3K27 pada PER 1 dan PER 2 bagian promotor
(Khare et al, 2011).
Penstabil mood digunakan untuk mengobati gangguan afektif
bipolar – lithium dan asam valproat - dapat berkontribusi untuk
sleep-wake rhytm dengan memodifikasi epigenetik. Lithium,
menghambat aktivitas GSK-3, dan asam valproat sering digunakan
sebagai kombinasi dan memiliki efek neuroprotektif. Lithium juga
dikenal untuk memperpanjang umur C.elegans, yang menyebabkan
menekan ekspresi dari LSD-1 (Lysine-spesific demethylase-1), pen-
demetilasi histon, sehingga mempengaruhi status epigenetik (Khare
et al, 2011).
e) Pendekatan Eksperimental pada Studi Epigenetik dan Epigenomik
dari gangguan afektif bipolar
Komponen epigenetik digunakan untuk menyelidiki dua
komponen dari genom: modifikasi pada DNA atau pada protein
histon. Modifikasi pada protein histon diselidiki pertama kali dengan
memperkaya fraksi DNA dengan mengikatkannya pada sebuah
modifikasi histon yang spesifik. Modifikasi histon didapat melalui
penggunaan antibodi spesifik. Setelah fraksi yang diperkaya telah
diisolasi, fraksi tersebut dijadikan lokus khusus PCR atau dapat
diamati pada microarray. Modifikasi DNA terdiri dari residu sitosin
yang ter-metilasi dan ter-hidroksimetilasi (Khare et al, 2011).
f) Penelitian Methylome DNA pada gangguan afektif bipolar
Di korteks prefrontal individu dengan gangguan afektif
bipolar dan skizofren, terjadi peningkatan kadar ekspresi gen
DNMT1 dan donor metil SAM (S-adenosyl metionin), yang
14
menyebabkan peningkatan secara global metilasi DNA. Namun,
jumlah sitosin yang ter-metilasi di leukosit perifer dalam kasus BPD
dan kelompok kontrol menunjukkan tidak ada perbedaan (Khare et
al, 2011).
Kuratomi et al (2008) menyelidiki perbedaan metilasi DNA
di sel darah lymphoblast pada kembar monozigot. Dalam penelitian
ini, kembar yang terkena menunjukkan peningkatan metilasi di
promotor spermine synthase gene (SMS) dan penurunan metilasi di
peptidylprolyl isomerase E-like gene (PPIEL) (Khare et al, 2011).
g) Kompleksitas metodologis dan eksperimental pada penelitian faktor
epigenetik penyakit jiwa
Pada gangguan afektif bipolar dan gangguan kejiwaan lain,
jaringan yang terkena adalah otak, stabilitas post-mortem faktor
epigenetik harus diperhitungkan. Hal ini juga diketahui bahwa
metilasi DNA jauh lebih stabil dari modifikasi histon,
menjadikannya pilihan pada investigasi epigenetik di post-mortem
jaringan otak. Namun, metilasi DNA pada jaringan nonstem terbatas
pada situs CpG dan profil epigenetik pada daerah CpG (Khare et al,
2011).
Hubungan antara perubahan epigenetik dan penyakit tidak
memberikan kesimpulan yang pasti mengenai hubungan sebab-
akibat. Misregulasi epigenetik dapat menjadi penyebab penyakit atau
mungkin disebabkan oleh proses penyakit, peristiwa kompensasi
dalam sel dan jaringan, penyakit yang berhubungan dengan
perubahan gaya hidup, pengobatan, dan banyak faktor dan peristiwa
yang terdeteksi maupun yang tidak terdeteksi. Salah satu cara yang
mungkin untuk mendapatkan informasi tentang masalah ini adalah
dengan menguji jaringan yang tidak terlibat dalam proses penyakit,
misalnya dalam sel darah atau sel epitel buccal. Sisa-sisa epimutasi
di jaringan bukan otak akan menyarankan bahwa epigenetik telah
terjadi selama embriogenesis awal sebelum jaringan utama
15
diferensiasi, atau bahkan diwariskan, bukan muncul sebagai hasil
dari kemajuan penyakit. Misalnya, beberapa penelitian menunjukkan
adanya epimutasi pada lokus IGF2 dalam limfosit pasien kanker usus
besar (Khare et al, 2011).
h) Ringkasan
Gangguan afektif bipolar masih sulit untuk dijelaskan secara
pasti dengan mekanisme epigenetik.
B. Pengaruh Genetik terhadap Gangguan Afektif Bipolar
1. Gangguan afektif bipolar diwariskan secara genetik dalam keluarga
Gangguan afektif bipolar dapat terjadi dalam keluarga. Hal ini telah
diakui selama 500 tahun. Dalam prakteknya, jarang ditemui seorang
individu bipolar tanpa adanya riwayat keluarga dengan gangguan afektif.
Studi-studi untuk menerangkan risiko pewarisan genetik secara spesifik
dalam keluarga dimulai pada awal abad ke-20 dan diakumulasi terutama
pada pertengahan akhir abad. Tipe investigasi ini dinamakan studi
keluarga, studi kembar, dan studi adopsi, digunakan untuk mendapatkan
pola pewarisan gangguan afektif bipolar dan untuk mengetahui risiko
pewarisan dalam keluarga (Goodwin & Jamison, 2007; Nurnberger, 2012).
a. Studi keluarga mengenai gangguan afektif bipolar
Studi keluarga biasanya dimulai pada individu yang terkena (the
proband) dan kemudian mengidentifikasi tingkat relatif penyakit di
antara keluarga. Seperti yang telah dijelaskan oleh Nurnberger (2012),
studi ini menjelaskan pola penurunan gangguan afektif bipolar dengan
menanyakan tiga pertanyaan:
1) Apakah seseorang yang memiliki hubungan kekeluargaan dengan
penderita gangguan afektif bipolar mempunyai risiko yang lebih
tinggi untuk menderita gangguan tersebut dibandingkan dengan
seseorang yang tidak memiliki hubungan kekeluargaan dengan
penderita gangguan afektif bipolar?
16
2) Apakah gangguan lain berbagi risiko pewarisan dalam keluarga
dengan gangguan afektif bipolar; dan juga, apakah kondisi terkait
lainnya juga meningkat kejadiannya dalam keluarga?
3) Dapatkah cara pewarisan yang spesifik diidentifikasi?
Seperti yang telah ditinjau oleh Goodwin dan Jamison (2007),
pada studi keluarga mengenai gangguan afektif bipolar secara umum
ditemukan bahwa rata-rata keturunan pertama dalam suatu keluarga
memiliki risiko untuk terjadi gangguan afektif bipolar sebesar 12%,
yang pada dasarnya terjadi peningkatan 10 kali lipat dari populasi
umum. Keturunan pertama dalam suatu keluarga juga menunjukkan
peningkatan risiko 2 kali lipat untuk terjadinya episode depresi berat;
namun kenyataannya, karena prevalensinya yang tinggi, episode depresi
berat lebih sering terjadi dibandingkan gangguan afektif bipolar pada
keluarga dengan gangguan afektif bipolar. Suatu studi pada tahun 1980
mencoba untuk menggambarkan lebih baik risiko relatif keluarga
dengan subtipe spesifik gangguan afektif bipolar; dinamakan tipe I dan
II. Hasilnya diringkas dalam Tabel 1.1. Sebagaimana digambarkan,
tidak ada satupun “keturunan asli” (breed true) gangguan afektif bipolar
dari kedua tipe tersebut yang mengalami peningkatan satu sama lain
seperti pada episode depresi berat; namun, risiko relatif dari masing-
masing tipe gangguan mood meningkat berdasarkan subtipe proband.
Sayangnya, cara pewarisan spesifik dari gangguan afektif
bipolar masih belum jelas karena bervariasi di antara keluarga yang
berbeda, dari transmisi yang menyerupai pola dominan atau resesif
Mendel hingga pewarisan maternal. Kemungkinan, variabilitas ini
mencerminkan beberapa gen risiko.
17
Tabel 1.1 Persentase Gangguan afektif bipolar dan Episode Depresi Berat dari
Studi Keluarga
Proband BPI BPII MDD
Gangguan afektif
bipolar I
5.2 3.8 16.6
Gangguan afektif
bipolar II
2.1 6.5 21.6
Episode Depresi Berat 0.8 2.4 20.5
Populasi Sehat 0.1 0.9 7.3
Dikutip dari Goodwin & Jamison, 2007
b. Studi Kembar
Meskipun gangguan afektif bipolar terjadi dalam keluarga,
bukan berarti hal itu disebabkan oleh genetik, karena keluarga berbagi
gen dan lingkungan yang sama. Oleh karena itu, lingkungan dapat
menjadi penyebab utama kondisi ini. Studi yang membandingkan
kembar monozigot, yang memiliki kemiripan gen 100%, dengan
kembar dizigot, yang hanya berbagi 50% dari gen mereka seperti
saudara lainnya, memberikan suatu pendekatan terhadap penjelasan
mengenai kontribusi relatif dari genetik dan lingkungan. Secara
spesifik, jika gangguan afektif bipolar disebabkan oleh genetik,
diharapkan gangguan afektif bipolar akan lebih sering mengenai
kembar monozigot (identik) dibandingkan kembar dizigot (fraternal).
Perbedaan tingkat konkordinasi pada gangguan afektif bipolar (antara 2
tipe orang kembar, yaitu tingkat dimana orang kembar tersebut
terpengaruh) dapat kemudian digunakan untuk menghitung risiko relatif
genetik pada kondisi tersebut. Risiko relati ini disebut “Holzinger
Heritability Index” (H2) (Nurnberger, 2012), dan dihitung sebagai: