-
REFERAT
ILMU PENYAKIT SARAF
BELLS PALSY
Pembimbing :
Dr. Diah Utari, Sp.S
Penyusun :
Oktaria Nurul A. 2009.04.0.0095 Deisy Vania K.
2010.04.0.0096
Putrantos Madedi 2009.04.0.0100 Maria Shintya D.
2010.04.0.0097
Christa Graziella 2010.04.0.0094 Melati Hafsari
2010.04.0.0098
Chandra Gunawan 2010.04.0.0095
RSAL DR RAMELAN SURABAYA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HANG TUAH
SURABAYA
2015
-
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
atas
rahmat dan kasih karunia-Nya sehingga pembuatan tugas referat
ilmu penyakit saraf
yang berjudul Bells Palsy dapat terselesaikan tepat pada
waktunya.
Terima kasih juga saya ucapkan kepada dr. Diah Utari, Sp.S
selaku pembimbing
yang telah meluangkan waktu dalam pemberian arahan guna
meningkatkan
pemahaman, penerapan klinis dan penatalaksanaan yang
komprehensif terhadap
kasus Bells Palsy.
Penulis menyadari bahwa tulisan yang tersusun ini masih banyak
kekurangan di
dalam penulisan, baik teori maupun penyusunan tugas ini. Oleh
karena itu, penulis
membutuhkan kritik dan saran sehingga tugas referat rehabilitasi
ini bisa bermanfaat
bagi semua pihak.
Surabaya, 25 Januari 2015
Penulis
-
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
.......................................................................................................
i
DAFTAR ISI
....................................................................................................................
iI
BAB 1 PENDAHULUAN
.................................................................................................
1
1.1 LATAR BELAKANG
..........................................................................................
1
1.2
MANFAAT.........................................................................................................
1
1.3 TUJUAN
...........................................................................................................
1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
.........................................................................................
2
2.1
DEFINISI...........................................................................................................
2
2.2 EPIDEMIOLOGI
................................................................................................
2
2.3 ETIOLOGI
.........................................................................................................
2
2.4 PATOGENESIS
................................................................................................
3
2.5 PATOFISIOLOGI
..............................................................................................
6
2.6 SIGN & SYMTOMPS
........................................................................................
9
2.7 DIAGNOSA
.......................................................................................................
9
2.8 DIAGNOSA BANDING
....................................................................................
16
2.9 TERAPI
...........................................................................................................
17
2.10 PROGNOSIS
..................................................................................................
18
2.11 KOMPLIKASI
..................................................................................................
18
DAFTAR PUSTAKA
.....................................................................................................
21
-
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Bells palsy merupakan kelemahan ataupun kelumpuhan saraf
fasialis perifer,
bersifat akut, dan penyebabnya belum diketahui secara pasti
(idiopatik). Bells palsy ini
pertama kali diperkenalkan pada tahun 1812 oleh Sir Charles
Bell, seorang peneliti
scotlandia, yang mempelajari mengenai persarafan otot-otot wajah
(dr. Robby Tjandra
Kartadinata SpKFR, 2011).
Insiden sindrom bells palsy ini berkisar 23 kasus per 100.000
orang setiap
tahunnya. Berdasarkan manifestasi klinisnya, terkadang
masyarakat awam
mengganggap sindrom bells palsy sebagai serangan stroke atau
yang berhubungan
dengan tumor sehingga perlu diketahui penerapan klinis sindrom
bells palsy tanpa
melupakan diagnosa banding yang kemungkinan diperoleh dari
klinis yang sama
(Handoko lowis dan Maulana N Gaharu, 2012)
Masalah kecacatan yang ditimbulkan oleh Bells palsy cukup
kompleks, yaitu
meliputi impairment (kelainan di tingkat organ) berupa
ketidak-simetrisnya wajah, kaku
dan bahkan bisa berakibatnya terjadi kontraktur; disability /
ketidakmampuan (di tingkat
individu) berupa keterbatasan dalam aktivitas sehari-hari berupa
gangguan makan dan
minum, gangguan menutup mata, serta gangguan berbicara dan
ekspresi wajah;
handicap (di tingkat lingkungan) berupa keterkaitan dalam
profesi terutama di bidang
entertainment; dan masalah selanjutnya dari segi psikologis
penderita.
1.2 MANFAAT
Manfaat penulisan referat ini guna mempelajari sindrom bells
palsy secara
secara mendalam meliputi, pengenalan sindrom bells palsy dari
klinis serta
penatalaksanaanya yang berhubungan dengan ilmu kedokteran
neurologi.
1.3 TUJUAN
Tujuan tugas ini adalah untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik
sub
departemen saraf di RSAL Dr. Ramelan, Surabaya.
-
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Bells palsy adalah kelumpuhan fasialis perifer akibat proses
non-supuratif, non-
neoplasmatik, non-degeneratif primer namun sangat mungkin akibat
edema jinak pada
bagian nervus fasialis di foramen stilomastoideus atau sedikit
proksimal dari foramen
tersebut, yang mulainya akut dan dapat sembuh sendiri tanpa
pengobatan (Priguna,
2010).
2.2 EPIDEMIOLOGI
Bells palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari
paralysis fasial
akut. Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang
tahun 1986 dan insiden
terendah ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat,
insiden Bells palsy
setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63% mengenai
wajah sisi kanan.
Insiden Bells palsy rata-rata 15-30 kasus per 100.000 populasi
(Danette C Taylor, DO,
MS. 2011).
2.3 ETIOLOGI
Penyebab adalah kelumpuhan n. fasialis perifer. Umumnya dapat
dikelompokkan
sebagai berikut (Djamil, 2009):
A. Idiopatik
Sampai sekarang belum diketahui secara pasti penyebabnya yang
disebut bells
palsy. Faktor-faktor yang diduga berperan menyebabkan Bells
Palsy antara lain :
sesudah bepergian jauh dengan kendaraan, tidur di tempat
terbuka, tidur di lantai,
hipertensi, stres, hiperkolesterolemi, diabetes mellitus,
penyakit vaskuler, gangguan
imunologik dan faktor genetik.
B. Kongenital
a. anomali kongenital (sindroma Moebius)
b. trauma lahir (fraktur tengkorak, perdarahan intrakranial
.dll.)
C. Didapat
a. Trauma Penyakit tulang tengkorak (osteomielitis)
b. Proses intrakranial (tumor, radang, perdarahan dll)
c. Proses di leher yang menekan daerah prosesus
stilomastoideus)
-
3
d. Infeksi tempat lain (otitis media, herpes zoster dll)
e. Sindroma paralisis n. fasialis familial
Banyak kontroversi mengenai etiologi dari Bells palsy, tetapi
ada 4 teori yang
dihubungkan dengan etiologi Bells palsy yaitu :
1. Teori Iskemik vaskuler
Nervus fasialis dapat menjadi lumpuh secara tidak langsung
karena gangguan regulasi
sirkulasi darah di kanalis fasialis.
2. Teori infeksi virus
Virus yang dianggap paling banyak bertanggung jawab adalah
Herpes Simplex Virus
(HSV), yang terjadi karena proses reaktivasi dari HSV (khususnya
tipe 1).
3. Teori herediter
Bells palsy terjadi mungkin karena kanalis fasialis yang sempit
pada keturunan atau
keluarga tersebut, sehingga menyebabkan predisposisi untuk
terjadinya paresis fasialis.
4. Teori imunologi
Dikatakan bahwa Bells palsy terjadi akibat reaksi imunologi
terhadap infeksi virus yang
timbul sebelumnya atau sebelum pemberian imunisasi (Annsilva,
2010).
2.4 PATOGENESIS
Mekanisme bells palsy telah diperdebatkan selama beberapa
dekade, dengan
penyebab neuropathy tetap sukar dipahami dengan beberapa teori
yang ada. Salah
satu teori menjelaskan bahwa Bells palsy adalah penyakit
demyelinasi akut, yang
mungkin mempunyai mekanisme patogenesis yang mirip
Guillain-Barre syndrome.
Diduga bahwa keduanya adalah inflamasi neuritis demyelinasi
dimana Bells palsy
dapat dipertimbangkan sebagai varian mononeuritis dari
Guillain-Barre. (Greco A, 2012)
Patogenesis Bells palsy diduga berasal dari edema kompresi
epineural
retrograde dengan ischemia pada N.facialis. Walaupun etiologinya
masih belum jelas,
teori yang menarik berasal dari vasospasme, dari beberapa
penyebab, sepanjang
cabang N.facialis, mungkin juga melibatkan chorda tympani,
keterlibatan primer umum.
Distensi vaskular retrograde dan edema, di dalam epineurium dari
canalis facialis
tulang, menekan saraf dari luar selubung perineurium. Gaya
tekanan mungkin ringan
-
4
atau berat, menyebabkan variasi derajat degenerasi ischemia
reversible atau
irreversible selubung myelin dan axon, dengan derajat bervariasi
dair reaksi seluler
terhadap kerusakan myelin. Edema mungkin diserap, yang
meninggalkan kerusakan
saraf reversible atau irreversible, atau mungkin menstimulasi
pembentukan kolagen di
dalam epineurium, dengan neuropathy kompresi fibrous yang
menetap N.facialis.
Konsep ini konsisten dengan hasil bervariasi Bells palsy, dan
bergantung pada derajat
dan durasi edema, dan dimana fibrosis terjadi di dalam
epineurium canalis facialis.
Fibrosis epineural juga menyebabkan gangguan pertukaran
metabolik melalui jaringan
epineurial-perineurial-endoneurial, dan mungkin menyebabkan
obliterasi drainase
vaskular. (Ann Otol, 1977)
Berdasarkan data terbaru, penyebab dugaan dapat karena
reaktivasi infeksi
herpes virus laten dalam ganglion geniculatum, dan migrasi
berikutnya ke N. VII. HSV-1
dan HZV mungkin merupakan penyebab, dengan HZV yang dianggap
lebih agresif
karena ini menyebar sepanjang saraf melalui sel satelit (Holland
NJ, 2004). Data
tersebut didukung dengan berhasilnya isolasi DNA HSV-1 dari
cairan endoneural
N.facialis melalui PCR selama fase akut Bells palsy (Murakami
S,1996).. N.facialis
membengkak dan mengalami inflamasi sebagai reaksi terhadap
infeksi, yang
menyebabkan tekanan di dalam Canalis Fallopian dan menyebabkan
iskemia (restriksi
darah dan oksigen menuju sel saraf). Dalam beberapa kasus ringan
(dimana
penyembuhan berlangsung cepat), terdapat kerusakan hanya pada
selubung myelin
saraf (NINDS, 2014). Sebagaimana disebutkan sebelumnya,
literatur mendukung
inflamasi yang dimediasi HSV menyebabkan kompresi dan gambaran
klinis facial
paralysis (Peitersen E,2002).
-
5
Gambar 2.1
Sumber:
http://www.dentalcare.com/en-US/dental-education/continuing-
education/ce323/ce323.aspx?ModuleName=coursecontent&PartID=1&SectionID=0
Akhir-akhir ini, vaksin influenza intranasal inaktif juga
berkaitan dengan bells
palsy Mutsch et al. Melakukan studi kasus kontrol dengan
analisis serial kasus, pada
773 pasien bells palsy yang mendapatkan vaksin flu (Mutsch M,
2004). Setelah
mengatur variabel lain, mereka melaporkan bahwa terdapat
hubungan spesifik dan
sementara; resiko terjadinya bells palsy pada pasien yang
mendapat vaksin mencapai
19x kelompok kontrol tanpa vaksin flu. Penelitian Mutsch
menemukan insiden puncak
Bells palsy pada 31-60 hari setelah vaksinasi. Dari data
tersebut, diduga bahwa
aktivasi Bells pallsy bukan karena efek toksik langsung dari
vaksin, melainkan karena
penyakit autoimmune atau reaktivasi HSV (Couch RB,2004). Ini
penting untuk
mengingat bahwa vaksin intranasal tidak lama dalam penggunaan
klinis. Tidak ada
hubungan antara palsy dengan vaksin flu parenteral.
Penyebab infeksi lain bells palsy yang diketahui meliputi:
adenovirus, coxsackie
virus, CMV, EBV, influenza, mumps, dan rubella (Morgan M ,
1992). Rickettsia adalah
penyebab infeksi yang jarang (Bitsori M,2001). Dugaan penyebab
non-infeksi meliputi
proses autoimun seperti Ensefalopati Hashimoto (Schaitkin
BM,2000), ischemia dari
atherosclerosis yang mengarah pada edema N.facialis (Goroll AH,
2009), dan familial,
dengan sekitar 4% sampai 8% pasien Bells palsy mempunyai riwayat
keluarga serupa
(Wolfson AB,2009)
-
6
Kondisi lain penyebab bells palsy antara lain lesi struktural
dalam telinga atau
kelenjar parotis (contoh cholesteatoma, tumor saliva) dapat
memproduksi kompresi dan
paralisis N.facialis. Penyebab lain palsy nervus perifer
meliputi Guillain-Barre syndrome,
Lyme disease, otitis media, Ramsay Hunt sydnrome (outbreak
herpes zooster dalam
distribusi nervus facialis), sarcoidosis. Penyebab-penyebab
tersebut mempunyai
gambaran lain yang dapat membedakannya dari Bells palsy (AAFP,
2007). Kerusakan
langsung pada N.facialis karena trauma pada wajah atau fraktur
tengkorak juga dapat
menyebabkan bells palsy (Ninds, 2014)
2.5 PATOFISIOLOGI
Patofisiologi pasti Bells palsy masih diperdebatkan. Perjalanan
N.facialis melalui
bagian os temporalis umumnya disebut sebagai facial canal.
Sebuah teori populer
menduga edema dan ischemia berasal dari kompresi N.facialis di
dalam kanal tulang
ini. Penyebab edema dan iskemia masih belum diketahui. Kompresi
ini telah nampak
dalam scan MRI dengan fokus N.facialis (Seok JI, 2008).
Bagian pertama dari canalis facialis, segmen labyrinthine,
adalah yang paling
sempit; foramen meatus dalam segmen ini hanya mempunyai diameter
0,66 mm. Ini
adalah lokasi yang diduga paling sering terjadi kompresi
N.facialis pada Bell palsy.
Karena sempitnya canalis facialis, ini nampaknya logis bahwa
inflamasi, demyelinasi,
iskemia, atau proses kompresi mungkin mengganggu konduksi neural
pada tempat ini
(Medscape, 2014).
-
7
Gambar 2.2
Sumber:
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/9/9c/Facial_canal.png/250px-
Facial_canal.png
Kerusakan pada N.facialis dalam Bell Palsy bersifat perifer
terhadap nucleus
saraf. Lokasi kerusakan diduga dekat atau pada ganglion
geniculatum. Jika lesi
proksimal dari ganglion geniculatum, paralysis motorik diikuti
dengan abnormalitas
gustatory dan autonom. Lesi antara ganglion geniculatum dan awal
chorda tympani
menyebabkan efek sama, namun tanpa gangguan lakrimasi. Jika lesi
berada pada
foramen stylomastoideus, ini mungkin hanya menyebabkan paralisis
wajah (Medscape,
2014).
-
8
Gambar 2.3
Sumber: http://www.aafp.org/afp/2007/1001/p997.pdf
Gambar 2.4
Sumber: http://www.aafp.org/afp/2007/1001/p997.pdf
-
9
2.6 SIGN & SYMTOMPS
Onset Bells palsy adalah akut, sekitar satu - setengah dari
kasus mencapai
kelumpuhan maksimum dalam 48 jam dan hampir semua berjalan dalam
waktu 5 hari .
Nyeri di belakang telinga bisa mendahului kelumpuhan selama satu
atau dua hari dan
dalam beberapa pasien cukup intens dan terus-menerus.
Terganggunya facial nerve yang complit pada foramen stylomastoid
dapat
menyebabkan kelumpuhan pada keseluruhan otot ekspresi wajah.
Sudut mulut jatuh,
garis dan lipatan kulit juga terpengaruh, garis dahi menghilang,
lipatan palpebra
melebar, dan lid margin mata tidak tertutup. Kantong mata bawah
dan punctum jatuh,
disertai air mata yang menetes melewati pipi. Makanan yang
mengumpul diantara gigi
dan pipi dan saliva yang menetes dari sudut mulut. Pasien juga
mengeluh rasa tebal
atau mati rasa dan terkadang mengeluh nyeri pada wajah.
Jika lesi berada pada canal nervus facialis di atas pertemuan
dengan chorda
tympani tetapi di bawah ganglion genikulatum, semua gejala bisa
timbul ditambah
kehilangan rasa pada lidah 2/3 anterior pada sisi yang sama
dengan lesi. Jika lesi juga
mempengaruhi saraf pada otot stapedius maka dapat terjadi
hyperakustikus dimana
pasien sensitif dan merasa nyeri bila mendengar suara-suara yang
keras. Jika ganglion
genikulatum terpengaruh, produksi air mata dan air liur mungkin
berkurang. Lesi pada
daerah ini dapat berpengaruh juga pada nervus delapan yang
menyebabkan tuli,
tinnitus dan pusing yang berputar (dizziness).
2.7 DIAGNOSA
Anamnesa
o Perkembangan gejala (perjalanan penyakit dan gejala
penyerta)
Progresif paralisis>3 minggu harus dievaluasi untuk
neoplasma
Kehilangan pendengaran mendadak dan nyeri hebat disertai
paralisis wajah dapat disebabkanoleh Ramsay Hunt Syndrome.
o Riwayat penyakit : stroke, tumor, trauma (yang
menyebabkanparalisis)
Pemeriksaan
o Nervus fasialis
-
10
Inspeksi
a. Kerutan dahi
b. Pejaman mata
c. Plika nasolabialis
d. Sudut mulut
Gambar 2.5
Sumber:
http://www.riversideonline.com/health_reference/nervous-system/ds00168.cfm
Motorik
a. Mengangkat alis dan mengererutkan dahi
b. Memejamkan mata
c. Menyeringai (menunjukkan gigi geligi)
d. Mencucurkan bibir
e. Menggembungkan pipi
-
11
Sensorik
a. Schirmer test
Digunakan untuk mengetahui fungsi produksi air mata.
Menggunakan kertas lakmus merah 5x50 mm dengan salah satu
ujung dilipat dan diselipkan di kantus medial kiri dan kanan
selama
5 menit dengan mata terpejam. Normal: menjadi biru dan
terjadi
perembesan 20- 30 mm.
Gambar 2.6
Sumber:
http://tube.medchrome.com/2013/09/schirmers-test-i-ii-dry-eye-screening.html
b. Pengecapan 2/3 anterior lidah
Menggunkan cairan Bornstein (4% glukosa, 1% asamsitrat, 2,5%
sodium klorida, 0,075% quinine HCl).Pasien diminta
menjulurkan
lidah kemudian dikeringkan dahulu baru dilakukan tes dengan
menggunakan lidi kapas. Rasa manis pada ujung lidah, rasa
asam
dan asin pada samping lidah dan rasa pahit pada belakang
lidah.
Setiap selesai pemeriksaan, pasien berkumur dengan air
hangat
-
12
kuku dan dikeringkan dahulu baru dilanjutkan pemeriksaan
berikutnya.
Gambar 2.7
Sumber:
http://hubpages.com/hub/Tongue-Map-Myth-How-Does-Taste-Work
c. Refleks stapedius
Memasang stetoskop pada telinga pasien kemudian dilakukan
pengetukan lembut pada diafragma stetoskop atau dengan
menggetarkan garpu tala 256Hz di dekat stetoskop. Abnormal
jika
hiperakusis (suara lebih keras atau nyeri).
Gambar 2.8
Sumber:
http://www.soundandvision.com/content/through-diaphonic-lens
-
13
o Penunjang
Tidak ada yang spesifik untuk bells palsy, namun tes- tes
berikut dapat
berguna untuk mengidentifikasi atau menyingkirkan penyakit lain
:
a. CBC
b. Glukosa darah, HbA1c
Untuk mengetahui adanya diabetes yang tidak terdiagnosa
(orang
yang memiliki diabetes 29% lebih beresiko terkena bells
palsy)
c. Salivary flow test
Pemeriksa menempatkan kateter kecil pada kelenjar
submandibular yang paralisis dan normal, kemudian pasien
diminta
menghisap lemon dan aliran saliva dibandingkan antara kedua
kelenjar. Sisi yang normal menjadi kontrol.
Gambar 2.9
Sumber:
http://www.nidcr.nih.gov/research/NIDCRLaboratories/MolecularPhysiology/SjogrensSy
ndrome/SjogrensSyndromeClinic.htm
-
14
d. CT-Scan, MRI
CT-Scan digunakan apabila paresis menjadi progesif dan tidak
berkurang. MRI digunakan untuk menyingkirkan kelainan
lainnya
yang menyebabkan paralisis atau untuk melihat
cerebellopontine
angle.
MRI pada pasien bells palsy menunjukkan pembengkakan dan
peningkatan yang merata dari N.VII (N. Fasialis) dan
ganglion
genikulatum. MRI juga dapat menunjukkan adanya pembengkakan
N.VII yang terjebak di tulang temporal dan tumor yang
menekan
N.VII (schwannoma (tersering), hemangioma, meningioma).
Gambar 2.10
Sumber:
http://laceyspathologyexperience.blogspot.com/2009/09/bells-palsy.html
-
15
Grading
Menurut House danBrackmann, bells palsy dikategorikan menjadi
:
Tabel 2.1
Grade Deskripsi Umum Istirahat Gerakan
1 Normal Normal Normal Normal
2 DisfungsiRingan
Sedikit kelemahan terlihat pada pemeriksaan dekat, dapat
memiliki sedikit sinkinesis
Normal
Asimetris ringan mulut dan dahi; menutup mata keseluruhan dengan
usaha minimal
3 DisfungsiSedang
Jelas namun tidak Nampak perbedaan antara kedua sisi; Nampak
sinkinesis. Kontraktur dan atau spasme hemifasial namun tidak
berat
Tonus normal dan simetris
Dahi: pergerakan ringan atau sedang Mata: dapat menutup
keseluruhan dengan usaha Mulut:sedikit kelemahan dengan usaha
maksimal
4 Disfungsi Cukup Berat
Kelemahan dan atau asimetris nyata
Tonus normal dan simetris
Dahi : - Mata: tidak menutup sempurna Mulut: asimetris dengan
usaha maksimal
5 DisfungsiBerat
Hanya gerak yang hampir tidak Nampak
Asimetris
Dahi : - Mata: tidak menutup sempurna Mulut: sedikit gerakan
6 Paralisis Total
Tidak ada gerakan
Tidak ada gerakan
Tidak ada gerakan
-
16
2.8 DIAGNOSA BANDING
Herpes zoster (Ramsay Hunt Syndrome)
Inflamasi n. facialis dan ganglion geniculate yang disebabkan
oleh virus varicella
zoster. Biasanya diikuti dengan erupsi vesicular pada membrane
mukosa faring,
vesikel pada chonca atau saluran pendengaran externa. Sering
melibatkan
nervus ke 8 (n. vestibulocochlearis). Terdapat gejala prodromal
sebelumnya
seperti malaise, sakit kepala, demam.
Lyme disease
Sering bilateral, pada daerah endemic dan diketahui disebabkan
oleh gigitan
kuku (erythema chronicum migrans).
Facial diplegia
Sering disebabkan oleh karena Guillainbarre syndrome, juga dapat
disebabkan
oleh sarcoidosis yang dikenal sebagai uveoparotid fever
(Heefordt syndrome).
Sarcoidosis
Granuloma dari sarcoid mempunyai kecenderungan untuk
mempengaruhi n.
facialis lebih daripada n. kranialis lainnya. Gejala akut
diikuti demam,
pembesaran kelenjar parotis, dan uveitis. Meskipun jarang
terjadi tetapi
merupakan karakteristik sarcoidosis.
Tumor
Tumor yang menekan n.facialis dapat menyebabkan facial palsy
(meningioma,
cholesteatoma, dermoid, carotid body tumor). Permulaannya
tersembunyi dan
semakin lama semakin memburuk.
Facial Palsy with Pontine Lesions
Dapat disebabkan oleh adanya infark, tumor. Biasanya diikuti
dengan acular
abduction.
Melkersson-Rosenthal Syndrome
Merupakan gangguan yang langka dan penyebabnya tidak diketahui.
Ditandai
dengan facial paralisis berulang yang akhirnya menetap, labial
edema, lipatan
lidah. Dapat terjadi pada anak-anak dan dewasa.
Hemifacial Spasm
-
17
Idiopatik, melibatkan otot wajah disalah satu sisidan diikuti
dengan kontraksi
yang tidak beraturan. Kebanyakan dialami oleh wanita dekadeke 5
& ke 6.
Kekakuan biasanya dimulai dari m. Orbicularis oculi kemudian
menjalar ke otot
lain disisi yang terkena.
Facial Hemiatrophy ( Parry-Romberg Syndrome)
Terjadi terutama pada wanita, ditandai dengan hilangnya lemak
dari kulit dan
jaringan subkutan pada satu atau kedua sisi wajah. Dapat dimulai
pada masa
remaja atau dewasa. Perjalanan penyakit lambat.
HIV infection
Beberapa individu dengan HIV mengalami unilateral atau bilateral
Bells palsy.
2.9 TERAPI
Non-Medikamentosa:
1. Penggunaan selotip untuk menutup kelopak mata saat tidur dan
eye patch untuk
mencegah pengeringan pada kornea.
2. Fisikal terapi seperti facial massage dan latihan otot dapat
mencegah terjadinya
kontraktur pada otot yang paralisa. Pemberian panas pada area
yang
terpengaruh dapat mengurangi nyeri
Gambar 2.11
Sumber:
https://gottabeot.files.wordpress.com/2014/04/face-exercises.jpg
-
18
Medikamentosa
1. Kortikostreoid
Oral kortikosteroid sering diberikan untuk mencegah terjadinya
inflamasi saraf
pada pasien dengan Bells palsy. Prednisone biasanya diberikan
dengan dosis
60-80 mg per hari selama 5 hari, dan di tappering off 5 hari
selanjutnya. Hal ini
dapat memperpendek masa penyembuhan dan meningkatkan hasil
akhirnya.
2. Antivirus
Dikarenakan adanya kemungkinan keterlibatan HSV-1 pada Bells
palsy, maka
telah diteliti efek dari Valacyclovir (1000 mg per hari,
diberikan 5-7 hari) dan
Acyclovir (400 mg, 5 kali sehari, diberikan 10 hari). Dari hasil
penelitian,
penggunaan antivirus sendiri tidak memberikan keuntungan untuk
penyembuhan
penyakit. Tetapi, penggunaan Valacyclovir dan prednisone,
memberikan hasil
yang lebih baik, dibandingkan penggunaan prednisone sendiri,
terutama pada
pasien dengan gejala klinis yang parah
3. Analgesic untuk meredakan nyeri, dan methylcellulose eye
drops untuk
mencegah kekeringan pada kornea
2.10 PROGNOSIS
Prognosis ummnya sangat baik. Tingkat keparahan kerusakan
syaraf
menentukan proses penyembuhan. Perbaikannya bertahap dan durasi
waktu yang
dibutuhkan bervariasi. Dengan atau tanpa terapi, sebagian besar
individu membaik
dalam waktu 2 minggu setelah onset gejala dan membaik secara
penuh, fungsinya
kembali normal dalam waktu 3-6 bulan. Tetapi untuk beberapa
pasien bisa lebih lama.
Pada kasus jarang, gangguan bisa muncul kembali di tempat yang
sama atau di sisi
lain wajah (NIH, 2014).
2.11 KOMPLIKASI
Komplikasi jangka panjang cenderung muncul apabila:
Pasien terserang palsy komplit, sehingga paralisis pada satu
sisi wajah
Usia lebih dari 60 tahun
Mengalami nyeri parah saat pertama kali timbul gejala
-
19
Hipertensi
Diabetes
Kehamilan
N. facialis rusak berat
Perbaikan tidak ada setelah dua bulan terlewati
Tidak ada tanda perbaikan setelah empat bulan
Sekitar 14% pasien mungkin terserang Bells palsy di kemudian
hari, pada sisi wajah
lain. Hal ini cenderung muncul apabila ada riwayat Bells palsy
pada keluarga.
Komplikasi jangka panjang
Sekitar 2 dari 10 orang mengalami gangguan jangka panjang oleh
sebab Bells palsy,
yang bisa menimbulkan hal-hal dibawah ini:
Epifora dan ulkus kornea
Ulkus kornea bisa muncul ketika kelopak mata terlalu lemah untuk
menutup
secara penuh dan protective tear film menjad terpengaruh.
Sehingga mengarah
pada infeksi dan menyebabkan kebutaan
Kelemahan wajah
Kelemahan wajah permanen bisa dilihat pada 20-30% pasien setelah
terserang
Bells palsy.
Gangguan bicara
Disebabkan kerusakan pada otot wajah
Synkinesias mata-mulut
Disebabkan n. facialis tumbuh kembali dengan jalan yang beda.
Menyebabkan
mata dapat berkedip saat makan, tertawa atau tersenyum, kadang
bisa menjadi
sangat parah sehingga mata dapat tertutup penuh saat sedang
makan.
Kontraktur wajah
Otot wajah menjadi kaku, menyebabkan gangguan bentuk seperti
mata menjadi
kecil, pipi menjadi tebal atau nasolabial menjadi dalam.
Sensasi rasa di lidah berkurang
-
20
Disebabkan kerusakan syaraf yang tidak membaik penuh.
Crocodile tears
Menangis saat sedang makan.
Ramsay Hunt syndrome
Bells palsy yang disebabkan oleh varicella-zoster virus dapat
menyebabkan tmbulnya
sindrom ini. Sindrom ini ditandai dengan adanya vesikel pada
lidah dan di dalam liang
telinga. Terapinya dengan steroid dan antiviral.
-
21
DAFTAR PUSTAKA
Adam, R. D., Victor, M. and Ropper, A.H. 2005. Principles of
Neurology. 8th.ed. Mc
Graw-Hill, New York.
Ann Otol Rhinol Laryngol. Pathogenesis of Bell's palsy.
Retrograde epineurial edema
and postedematous fibrous compression neuropathy of the facial
nerve. 1977
Jul-Aug;86(4 Pt 1):549-58.
Annsilva, 2010, Bells Palsy,
http://annsilva.wordpress.com/2010/04/04/bells-palsy-
case-report/
Anonim, 2015, Bells Palsy, American Academy Of Otolaryngology-
Head And Neck
Surgery, http://www.entnet.org/content/bells-palsy
Anonim, 2013, Bells Palsy,
http://www.facialpalsy.org.uk/about-facial-palsy/causes-
diagnoses/bells-palsy/37
Anonim, Bells Palsy, NHS Choice,
http://www.nhs.uk/conditions/Bells-
palsy/Pages/Introduction.aspx
Anonim, 2013, Facial Nerve Disorders : Bells Palsy and Facial
Paralysis, University Of
Maryland Medical Center,
http://umm.edu/programs/hearing/services/facial-
nerve-disorders
Anonim, Frequently Asked Question, Bells Palsy Information
Site,http://www.bellspalsy.ws
Baringer JR. Herpes simplex virus and Bell palsy. Ann Intern
Med. 1996;124(1 Pt 1):63.
Bitsori M, Galanakis E, Papadakis CE, Sbyrakis S. Facial nerve
palsy associated with
Rickettsia conorii infection. Arch Dis Child. 2001;85(1):54.
Chaco J. Subclinical pheripheral nerve involvement in unilateral
Bells palsy. Am J Phys
Med.1973;52:19597
-
22
Couch RB. Nasal vaccination, Escherichia coli enterotoxin, and
Bells palsy. N Engl J
Med.2004;350(9):86061
Danette C Taylor, DO, MS. 2011, Bell Palsy,
http://emedicine.medscape.com/article/1146903-overview#a0156
Djamil Y, A Basjiruddin. Paralisis Bell. Dalam: Harsono, ed.
Kapita selekta neurologi;
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.2009. hal 297-300.
dr. Robby Tjandra Kartadinata SpKFR, 2011, Rehabilitasi Medik
Bells Palsy, Siaran
RRI, Instalasi Rehabilitasi Medik RSUP Dr. Kariadi Semarang
Greco A, Gallo A, Fusconi M, et al. Bells palsy and
autoimmunity. Autoimmun
Rev. 2012;12:32328.
Handoko lowis, Maulana N Gaharu, 2012, Bells Palsy, Diagnosis
dan Tata Laksana di
Pelayanan Primer, Artikel Pengembangan Pendidikan
Keprofesian
Berkelanjutan, Departemen Saraf Rumah Sakit Jakarta Medical
Center
Harrison. 2006. Neurology in Clinical Medicine. Mc Graw-Hill,
New York
Holland NJ, Weiner GM. Recent developments in Bells palsy.
[Review] BMJ. 2004;329(7465):55357
Jeffrey Tiemstra, MD. Bell's Palsy: Diagnosis and Management, Am
Fam
Physician. 2007 Oct 1;76(7):997-1002.
Lei H, Mei L, Long XH, et al. A case of Hashimotos
encephalopathy misdiagnosed as
viral encephalitis.Am J Case Rep. 2013;14:36669.
Lumbantobing, SM, 2010, NeurologiKlinik: PemeriksaanFisik Dan
Mental, Jakarta:
BalaiPenerbit FKUI. Pp.55-60
Morgan M, Nathwani D. Facial palsy and infection: the unfolding
story. Clin Infect
Dis. 1992;14(1):263.
-
23
Murakami S, Mizobuchi M, Nakashiro Y, et al. Bells palsy and
herpes simplex virus:
identification of viral DNA in endoneurial fluid and muscle. Ann
Intern
Med. 1996;124(1):2733.
Mutsch M, Zhou W, Rhodes P, et al. Use of the inactivated
intranasal influenza vaccine
and the risk of Bells palsy in Switzerland. N Engl J Med.
2004;350(9):896903.
http://emedicine.medscape.com/article/1146903-overview#showall
NINDS, 2014, Bells Palsy Fact Sheet,
http://www.ninds.nih.gov/disorders/bells/detail_bells.htm
National Institute of Neurological Disorder and Stroke,
http://www.ninds.nih.gov/disorders/bells/detail_bells.htm
NHS UK, 2014.
http://www.nhs.uk/Conditions/Bells-palsy/Pages/Complications.aspx
Poinier, AC, dkk, 2014, Bells Palsy : Topic Overview, WebMD
Medical Reference from
Healthwise,
http://www.webmd.com/brain/tc/bells-palsy-topic-overview
Peitersen E. Bells palsy: The spontaneous course of 2,500
peripheral facial nerve
palsies of different etiologies. Acta Otolaryngol Suppl.
2002;(549):430.
Rahmawati, dkk, 2010, Diagnosis FisikNeurologi, PPDS
IlmuPenyakitSaraf, Surabaya:
FakultasKedokteranUnair RSUD Dr.Soetomo, pp.14-16
Schaitkin BM, May M, Podvinec M, et al. Idiopathic (Bells)
palsy, herpes zoster
cephalicus, and other facial nerve disorders of viral origin.
In: May M, Schaitkin
BM, editors. The facial nerve: Mays. 2nd ed. New York: Thieme
Medical; 2000.
pp. 31938
Schirm J, Mulkens PS. Bells palsy and herpes simplex virus.
APMIS. 1997;105:81523
Seok JI, Lee DK, Kim KJ. The usefulness of clinical findings in
localising lesions in Bell's
palsy: comparison with MRI. J Neurol Neurosurg Psychiatry. Apr
2008;79(4):418-
20.
Sidharta, Priguna. Tata Pemeriksaan Klinis Dalam Neurologi. Dian
Rakyat. 2007.
-
24
Sorensen J, dkk, House Brackmann, London: Sorensen Clinic,
http://sorensenclinic.com/microsurgery/house-brackmann/
Taylor, DC, dkk, 2014, Bell Palsy, Medscape,
http://emedicine.medscape.com/article/1146903-overview
Tidy C, 2013, Bells Palsy,
http://www.patient.co.uk/health/bells-palsy